BAB II Ekoteologi dan Revolusi Hijau · 2018. 8. 24. · 23 BAB II Ekoteologi dan Revolusi Hijau ....
Transcript of BAB II Ekoteologi dan Revolusi Hijau · 2018. 8. 24. · 23 BAB II Ekoteologi dan Revolusi Hijau ....
23
BAB II
Ekoteologi dan Revolusi Hijau
Allah menulis FirmanNya tidak hanya di Alkitab.
Tapi juga di pohon-pohon, bunga-bunga, awan dan bintang-bintang.
Marthin Luther
1483-1546
2. Ekoteologi
Istilah ekoteologi atau yang biasa disebut juga dengan Teologi Lingkungan,
sebenarnya adalah sebuah pemahaman yang merupakan gabungan antara pokok-
pokok pemikiran dari ilmu Ekologi, suatu cabang dalam ilmu Biologi dan Teologi.
Ketika Ekologi ini dibicarakan dalam kaitannya dengan Teologi, maka seringkali
bahasan ini sangat berhubungan erat dengan masalah moral. Permasalahan ekologi
memang umumnya terkait dengan krisis moral dalam usaha memahami ciri saling
ketergantungan antara manusia dengan lingkungan hidup. Ini menyangkut cara
tentang bagaimanakah seharusnya manusia bersikap terhadap lingkungannya.1
Munculnya pemikiran tentang ekoteologi ini menunjukkan adanya kesadaran umum
dalam diri manusia bahwa selama ini telah terjadi kesalahan berkenaan dengan sikap
dasar manusia terhadap lingkungan hidup.2
Ekoteologi berasal dari kata ekologi dan teologi. Istilah ekologi pertama kali
digunakan oleh Haeckel, seorang ahli ilmu hayat dalam pertengahan dasawarsa 1860-
1 William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 31 2 William Chang, Moral Lingkungan Hidup, . . . 31-32
24
an. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah dan logos
yang berarti ilmu. Oleh karena itu, secara harafiah ekologi adalah ilmu tentang
makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah
tangga makhluk hidup.3 Istilah teologi dalam bahasa Yunani adalah theologia. Istilah
ini berasal dari gabungan dua kata theos yang berarti Allah dan logos yang berarti
logika. Jadi, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan
dengan keyakinan beragama. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa ekoteologi merupakan ilmu yang mempelajari interrelasi antara Tuhan dengan
alam semesta demi terciptanya keseimbangan dan pola relasi yang saling menghargai
antara manusia dengan alam.
Jika dilihat dari sudut pandang agama maka dapat dikatakan bahwa agama
hampir tidak pernah menyinggung aspek ekologi, padahal lingkungan adalah masalah
yang sangat mendasar dalam kehidupan kita. Hans Kung menegaskan bahwa agama
yang baik adalah agama yang menjaga dan melestarikan, bukan menghancurkan dan
memusnahkan kemanusiaan. Corak teologi yang hanya mengurus Tuhan belaka dan
melupakan persoalan bumi, tidak akan bertahan lama. Masa depan agama akan
ditentukan sejauh mana ia bermanfaat untuk kehidupan manusia di bumi. Ekoteologi
menandai babak baru dalam relasi antara teologi dan ekologi. Paradigma ekoteologi
telah mulai diadopsi oleh masyarakat dunia sejak tahun 1970-an, namun mulai
populer di akhir abad ke-20. Konferensi Stockholm di Swedia yang digelar pada 1972
menjadi tonggak diterimanya paradigma ekoteologi. Ekoteologi muncul sebagai
3 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan
(Jakarta:Djambatan,1991), 19.
25
reaksi terhadap penafsiran Alkitab yang membenarkan tindakan pengeksploitasian
alam secara semena-mena oleh manusia sehingga berdampak pada krisis ekologi.
Era 60-an dan 70-an dianggap sebagai masa lahirnya kesadaran ekologis
manusia. Sebab pada tahun-tahun inilah mulai terjadinya krisis ekologis di seluruh
dunia dan terjadinya eksploitasi alam yang besar-besaran.4 Oleh sebab itulah kritik-
kritik berkenaan dengan sikap dan tingkah laku manusia terhadap alam mulai
bermunculan. Bahkan kritik-kritik yang bermunculan tersebut ternyata juga diarahkan
kepada gereja dan kekristenan, yang dianggap sebagai biang keladi kerusakan alam
yang selama ini telah terjadi. Seorang yang paling terkenal berkenaan dengan
kritiknya terhadap gereja dan kekristenan tersebut adalah Lynn Townsend White, Jr.,
dengan tulisannya berjudul The Historical Roots of Our Ecologic Crisis. Dalam
artikelnya ini, White menunjukkan bahwa pada saat ini, ketika teknologi telah
berkembang dengan pesat, memungkinkan manusia untuk menghancurkan dan
mengeksploitasi lingkungan secara habis-habisan. Ia menunjukkan bahwa mentalitas
Revolusi Industri, yang menganggap bumi hanyalah sumber daya untuk konsumsi
manusia, itu sesungguhnya jauh lebih tua dari aktualitas mesin, yang ternyata berakar
dari kekristenan abad pertengahan. Menurut White, apa yang telah dilakukan orang
terhadap alam itu sangat tergantung dari apa yang sedang manusia pikirkan tentang
diri mereka sendiri dalam kaitannya dengan segala hal di lingkungan mereka.5
4 A. Sunarko dan A. Eddy Kristiyanto, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi (Yogyakarta :
Kanisius, 2008), 138 5 http://www.bookrags.com/wiki/Lynn_Townsend_White,_Jr., Diunduh pada tgl. 15 Juni
2017. Pkl. 16.27WIB
26
2.1 Manusia, Alam dan Lingkungan
Douglas John Hall seorang teolog berkebangsaan Kanada memberikan tiga
paradigma utama berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam yakni: pertama,
manusia di atas alam. Kedua, manusia di dalam alam dan ketiga, manusia bersama
alam.6
1. Paradigma hubungan manusia di atas alam mau menjelaskan bahwa manusia
itu sebagai penguasa alam semesta. Pemikiran atau pandangan ini sebenarnya
merupakan pandangan tradisional yang masih dipegang teguh oleh manusia,
sehingga dengan adanya pandangan ini manusia bertindak seenaknya demi
mensejahterakan kehidupannya tanpa mau memperlakukan alam sebagai
teman.
2. Paradigma hubungan manusia di dalam alam, mau menjelaskan bahwa
manusia adalah satu di antara banyaknya makhluk hidup lain yang berada di
dalam alam
3. Paradigma hubungan manusia bersama alam, mau menjelaskan bahwa
manusia hidup bersama dengan alam memperlakukan alam tidak sesuka hati
tetapi menjadikan alam sebagai ciptaan yang juga mempunyai tempat di
dalam karya penciptaan Allah.7
Eka Darmaputera juga mengemukakan tiga hal mengenai hubungan manusia
dengan alam yaitu: Pertama, orang memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa yang
6 Doglas John Hall, The Steward a Biblical Symbol Come of Age dalam buku Polifonik Bukan
Monofonik karangan Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo (salatiga: satya Wacana, 2015), 102 7 Makalah disampaikan Pdt Ebenheizer I. Nuban Timo dalam kegiatan diskusi kampus antara
UKSW dan UIN yang mengusung tema: Embbeding Eco-Spirituality upaya mencari titik temu
Agama-agama Melaksanakan Mandat Merawat Bumi, di UKSW pada tanggal 06 Juni 2017
27
menakutkan sehingga manusia harus tunduk kepada alam dan menghormatinya
seperti dengan menggunakan sesajen. Kedua, alam dipandang sebagai obyek dan
manusia mengambil peran sebagai subyek. Ketiga, Manusia dan alam sama-sama
dipandang sebagai dua subyek yang saling mempengaruhi sehingga dapat dibangun
hubungan yang selaras.8 Hal ini ditinjau dari pandangan masyarakat tradisional.
Malcolm Brownlee melihat hubungan manusia dengan alam pada era modern di mana
manusia berusaha menguasai dan menggunakan alam seperti pada pandangan kedua
di atas. Perkembangan ilmu teknologi menjadikan alam bukan lagi sesuatu yang
sakral, melainkan sebagai obyek penelitian untuk diselidiki dan digarap.9 Pandangan
Kristen tentang hubungan manusia dengan alam di mana pada satu segi manusia
merupakan bagian dari alam yang adalah sama ciptaan Tuhan, namun di pihak lain
manusia diciptakan berbeda dari makhluk hidup lainnya. Seharusnya sikap manusia
terhadap alam ialah seperti dalam Kejadian 2: 15 “TUHAN Allah mengambil
manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan
memelihara taman itu.” Karena itu sikap yang tepat ialah manusia perlu untuk
menghargai alam. Dari ketiga paradigma mengenai hubungan manusia dengan alam,
tidak dapat dipungkiri bahwa paradigma pertama masih menjadi paradigma favorit
bagi manusia sebagai umat Allah, sebagai ciptaan yang diberikan mandat penuh
untuk menguasai alam ciptaan. Namun paradigma ketiga merupakan paradigma yang
8 Eka Darmaputera, Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian
Society (Ph. D, dissertation, Boston College and Andover Newton Theological School, Newton Center,
Massachusetts, 1982) 263-264. 9 Brownlee Malcolm, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001) 152-156.
28
sebenarnya diharapkan oleh Allah bahwa manusia sebaiknya hidup bersama dengan
alam bahkan bukan saja dengan alam tetapi dengan semua ciptaan yang ada.
2.2 Kesetaraan Manusia dan Alam
Dalam kehidupan masyarakat yang masih tradisional manusia dan alam sederajat
tingkatannya, artinya bahwa mereka berasal dari satu sumber dan sama-sama
diciptakan. Hubungan tersebut pada akhirnya merupakan sebuah hubungan
kontinuitas, bahwa tidak dapat dipungkiri ketika di dalam alam manusia hanyalah
bagian terkecil yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Manusia berusaha menyesuaikan
diri dengan kehidupannya bersama alam, dengan cara menyesuaikan diri dengan
musim pertanian dan tidak berani menganggu lingkungan kecuali melalui proses
ritual. Pada waktu itu, alam dianggap sebagai sesuatu yang sakral, yang dapat
berperilaku kejam apalagi diperlakukan dengan sembarangan. Inilah yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat tradisional.10 Konsep masyarakat tradisional ini sudah
mulai hilang di beberapa tempat, alam tidak lagi setara dengan manusia, alam tidak
lagi menjadi yang ditakutkan sebaliknya alam menjadi yang tertindas dan menderita.
Manusia tidak lagi memedulikan keberadaan alam.
2.3 Manusia Menguasai dan Mengksploitasi Alam
Perkembangan teknologi yang semakin maju memungkinkan manusia dapat
mengubah lingkungan alamnya dengan sesuka hati mengubah lingkungan alamiah
menjadi lingkungan buatan demi dan untuk mempertahankan kehidupannya. Makin
tinggi kebudayaan manusia makin beragam kebutuhannya, akan tetapi kebutuhan
10 Robert P. Borong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.2, 2000). 26
29
manusia tidak dapat dipisahkan dari keinginan hidupnya. Akibat dari semua itu
bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan digunakan untuk menguasai dan
mengeksploitasi lingkungan alam. Dalam semua kegiatan yang menguasai itu, alam
dikorbankan dan dijadikan objek untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan
papan manusia. Kekuasaan manusia yang semakin besar atas lingkungan ditandai
dengan populasi manusia yang semakin bertambah menjadi salah satu penyebab
penting mengapa eksploitasi terhadap lingkungan semakin marak terjadi.11
Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh manusia sebagai yang sudah
berpengetahuan tinggi mengakibatkan alam menjadi tidak ramah dan rusak.
2.4 Alam Menguasai dan Mengeksploitasi Manusia
Pada akhirnya, ini bukan lagi manusia yang mengusai alam ataupun manusia
setara dengan alam, sebaliknya alam yang menguasai dan mengeksploitasi manusia.
Manusia dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
menghancurkan alam, tetapi harus diingat bahwa secara tidak sadar alam yang
mengeksploitasi dan merusak manusia. Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana alam
memberikan keindahannya baik di darat maupun di laut, binatang-binatang yang
memiliki keunikkan tersendiri membuat manusia semakin merasa bahwa alam terlalu
indah untuk tidak dinikmati. Hal ini berkaitan dengan psikologi manusia modern.
Eric Fromm, dalam bukunya yang berjudul Fear of Freedom, menulis tentang
bagaimana psikologis manusia juga menjadi faktor mengapa manusia menjadi brutal
dan berlaku sewenang-wenang terhadap alam. Pada intinya bahwa manusia sendiri
11 Robert P. Borong, Etika Bumi Baru, . . . 31-33
30
tidak mampu menaklukkan alam yang ada. Manusia tidak dapat mencegah datangnya
bencana alam, tsunami ataupun gempa bumi. Teknologi maupun pengetahuan
manapun tidak mampu menandingi ganasnya alam yang mulai tidak selaras dan
setara dengan manusia.12 Artinya bahwa alam menyimpan kekuatannya sendiri yang
seringkali tidak dapat diketahui oleh manusia atau bahkan oleh alat secanggih apapun
yang diciptakan oleh manusia.
2.5 Pendamaian dengan Alam Semesta
Pendamaian yang dilakukan oleh Allah pada hakikatnya tidak hanya berfokus
pada pendamaian kepada manusia yang telah berbuat salah, akan tetapi juga
diarahkan kepada alam semesta. Dalam kisah penciptaan, alam semesta adalah tempat
di mana manusia pertama itu hidup. Alam semesta diciptakan dengan begitu
sempurna dan ditata oleh Allah agar manusia dapat hidup dengan sebaik-baiknya.13
Pada awalnya hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang begitu ramah,
seperti ibu dan anak atau bahkan sebagai sahabat karib. Ketika manusia jatuh dalam
dosa alam seketika menjadi tidak ramah lagi. Ada jembatan yang membuat manusia
tidak lagi dapat dengan bebas memasuki taman Eden yang telah dijadikan sebagai
tempat tinggal manusia yang begitu sempurna dalam pandangan Allah.
Tidak sampai di situ bahwa pada akhirnya dengan semakin majunya zaman,
teknologi, dan ilmu pengetahuan modern yang semakin berkembang mengakibatkan
seorang professor Biologi dari Ausralia bernama Charles Birch 14 mengatakan bahwa
12 Eric Fromm, Fear Of Freedom (London/Melbourne: 1964), 154. 13 Lihat Kejadian 1:1-31 14 Andreas A. Yewangoe, Pendamaian (Jorjakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 184
31
manusia modern itu seperti Brontosaurus (yakni binatang purba), yang karena
keadaan alam yang berubah, maka tidak mungkin lagi ia dapat menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan tempat ia tinggal dan pada akhirnya akan musnah. Manusia juga
akan tiba pada keadaan yang demikian, apabila ia tidak waspada akan bahaya yang
mengancamnya sebagai akibat kesalahannya sendiri
Pendamaian yang dimaksud seperti yang dijelaskan Yewangoe dalam bukunya
tentang Pendamaian,15 yakni ada bagian-bagian dari ayat Alkitab yang paling tidak
berusaha mengajak umat manusia untuk menghormati alam semesta dalam hal ini
penghormatan terhadap tanah, misalnya kebiasaan Tahun Sabat dan Tahun Yobel
menurut Imamat 25, yaitu: pertama, membiarkan tanah (yang sudah diusahakan) tetap
tinggal kosong sehingga orang-orang miskin, orang-orang asing dan binatang-
binatang dapat menikmati apa yang tumbuh sendiri tanpa usaha manusia. Kedua,
penghapusan hutang-hutang yang dibuat selama enam tahun dan pemulihan segala
hak milik yang dijual selama enam tahun kepada pemiliknya yang mula-mula, dan
ketiga, pembebasan dari segala hamba-hamba yang dibeli dalam enam tahun
sebelumnya.
Terkadang pendamaian dengan alam semesta sering dimaknai dalam konsep
pendamaian yang begitu rumit. Padahal, pendamaian dengan alam semesta dapat
dilakukan oleh setiap umat manusia dalam konteks yang sederhana, seperti misalnya
sebagai petani harus mampu menjaga tanah dari penggunaan pupuk kimia yang
terlalu berlebihan.
15 Yewangoe, . . . 206
32
2.6 Teologi Penciptaan
Upaya pendasaran teologi terhadap lingkungan hidup mengalami perjalanan yang
panjang. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat dari para teolog. Beberapa
teolog memandang Kejadian 1:26-28 sebagai dasar teologi dari hubungan manusia
dan lingkungan hidupnya. Terhadap teks ini, ada beberapa catatan penting yang harus
diperhatikan supaya teks ini tidak dijadikan sebagai dasar untuk upaya pengrusakan
lingkungan hidup secara tidak bertanggung jawab. Pertama, kata “berkuasa” perlu
dimengerti berdasarkan konteks terdekat Kejadian 1. Artinya kata tersebut dipahami
dalam kaitan dengan konsep tentang berkat (ayat 28a) dan pembagian antara manusia
dan binatang tanpa adanya saling membunuh. Kata “berkuasa” (raddah) di sini tidak
boleh dimengerti sebagai kesewenang-wenangan atau perlakuan keras dan kasar,
melainkan lebih sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Hal tersebut sesuai
pula dengan Raja atau Gembala Timur Tengah Kuno yang memang bertugas
mengatur dan mengupayakan agar rakyatnya hidup dalam damai dan sejahtera.16
Berikutnya, kata “menaklukkan” (kabbas) tidak boleh dimengerti secara negatif
tetapi harus dimengerti secara positif (mengolah dan mengerjakan). Jika Kejadian 1
dimengerti seperti ini, maka kejadian 1 tidak bisa dijadikan dasar untuk
membenarkan tindakan eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab. Manusia
berdasarkan Kejadian 1 harus lebih dilihat sebagai wakil Allah, wazir atau kalifah
yang bertanggung jawab atas bumi dan segala makhluknya.17 Lebih lanjut, Jurgen
16 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada Lingkungan
(Kanisius. 2008:Yogyakarta), 33. 17 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi, . . . 34
33
Moltmann menyampaikan kritik terhadap upaya penafsiran ulang Kejadian 1 karena
menurutnya masih terlalu antroposentris. Memang sudah ditegaskan bahwa tugas
manusia adalah memelihara dan bukan merusak alam. Namun demikian, pusat
perhatian tetap diberikan kepada manusia. Dunia dilihat sebagai milik manusia.
Karena itu, Moltmann menegaskan bahwa mahkota karya penciptaan sebenarnya
bukan manusia melainkan sabat, yaitu kegembiraan Allah atas segala karya ciptaan-
Nya sendiri yang baik.18
Dalam perspektif hubungan antara sains dan iman serta teologi, Moltmann
menegaskan bahwa teologi penciptaan perlu memandang dunia sungguh sebagai
ciptaan Allah. Hanya dengan demikian ciri antroposentris pandangan kristiani tentang
realitas dapat direlatifkan. Konsep tersebut memuat empat unsur berikut: pertama,
sebagai ciptaan dunia ini bukan sesuatu yang ilahi dan karena itu tidak perlu
disembah, dunia juga bukan sesuatu yang jahat pada dirinya sendiri, sehingga tidak
perlu ditakuti. Kedua, bila dunia dipahami sebagai ciptaan maka relasi dikotomis
subjek-objek dalam sains dapat diatasi. Baik realitas yang merupakan objek sains
maupun manusia dengan subjektivitasnya adalah ciptaan Allah. Akal budi dan
kehendak manusia juga bersifat kontingen dan karena itu tidak boleh dimutlakkan.
Ketiga, Allah adalah pencipta surga dan bumi, segala yang kelihatan maupun yang
tidak kelihatan. Realitas yang diketahui manusia (melalui sains) tidaklah mutlak
melainkan hanyalah sebagian saja dari realitas. Bahkan, manusia sendiri sebagai
subjek sains hanyalah bagian dari ciptaan yang kelihatan. Penegasan bahwa dunia
18 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi, . . . 35
34
adalah ciptaan Allah menolak klaim saintisme tentang keluasan makna realitas.
Keempat, dasar Alkitab yang diusulkan Moltmann untuk paham dunia sebagai
ciptaan adalah yang berbunyi: “sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk
menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah
ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri tetapi oleh kehendak
Dia, yang telah menaklukkannya, tetapidalam pengharapan, karena makhluk itu
sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk dalam
kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.” Roma 8:19-21.
Teks Roma 8:19-21 lebih dekat dengan keprihatinan yang hidup dalam
masyarakat kontemporer, masyarakat yang mengalami dunianya dengan penuh
kekhawatiran, tetapi sekaligus dengan harapan, karena seluruh makhluk telah
ditakhlukkan kepada kesia-siaan tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu
sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam
kemuliaan anak-anak Allah. Moltman menekankan Sabat sebagai akhir dan puncak
dari penciptaan (bukan penciptaan manusia).19 Pemikiran Moltman ini didukung oleh
pendapat Robert P. Borrong yang mengatakan bahwa kita perlu memelihara
lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada Allah Sang Pencipta yang telah
mengaruniakan lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya untuk menopang
hidup kita dan yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Hal tersebut sebagai
tanda syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui
19 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi, . . . 36
35
pengorbanan Yesus Kristus. Maka, memelihara lingkungan tidak lain merupakan
ibadah kita kepada Allah.20
Lebih lanjut Fred Van Dyke, dalam bukunya Beetwen Earth and Heaven,
mengemukakan bahwa kita perlu memahami kembali lingkungan sebagai anugerah
penciptaan atau creation dari Allah kepada manusia sebagai bagian dari tradisi
sejarah kekristenan yang harus diketahui dan dimaknai kembali. Sejarah tradisi
tentang penciptaan tersebut merupakan landasan dasar kita dalam memahami makna
dan value atau nilai-nilai yang mengarahkan orang percaya untuk dapat
bertanggungjawab dengan alam ciptaan Allah. Tanpa sejarah dari tradisi-tradisi
kekristenan ini, orang percaya tidak akan tahu di mana posisinya sekarang berada
dalam membahas tentang masalah masalah lingkungan.21
Fred Van Dyke mencoba menghubungkan antara apa yang dipercayai dalam
iman Kristen lewat tradisi-tradisi yang ada dan memandang lingkungan sebagai
bagian dari pelayanan, karena ini merupakan bagian dari pengajaran gereja, baik
teologinya, sejarah dan praktik kehidupan orang percaya di masa lalu dan terhadap
keprihatinannya saat ini, sebagai bentuk pelayanan gereja yang mewujudkan misi
Allah di dunia lewat lingkungan melalui komunitas gereja itu sendiri terhadap
dunia.22 Artinya bahwa ada hubungan antara kepercayaan dan tradisi dalam
memandang lingkungan, sehingga harus ada tindakan yang dilakukan bukan hanya
20 Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita
zaman; Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998). 21 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection
(Santa Barbara California: Praeger, 2010), Vii-Viii. 22 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection, . . .
20-23
36
soal percaya semata. Oleh karenanya, penekanan yang pertama terkait dengan
intrinsic value atau nilai dari dalam diri terhadap bahaya kerusakan lingkungan dan
perubahan iklim yang berkaitan dengan aktivitas manusia.23
3. Pandangan para Ekoteolog
Dalam bagian ini penulis mencoba memasukkan beberapa pemikiran dari para
ekoteolog berkaitan dengan pandangan mereka tentang ekologi dan manusia.24
3.1 Lynn White Jr
Tulisannya yang paling terkenal adalah The Historical Roots of Our Ecological
Crisis, mengemukakan bahwa permasalahan lingkungan sebenarnya berkaitan dengan
paham Yahudi Kristiani akan Allah Pencipta dalam kitab Kejadian pasal 1, di mana
ajaran Kekristenan tentang manusia sebagai makhluk yang diberikan kuasa untuk
bertanggungjawab atas segala ciptaan yang Allah ciptakan. Selain itu, krisis
lingkungan hidup juga disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Sebenarnya jauh sebelum White mengemukakan pandangannya, sudah ada terlebih
dahulu seorang ilmuan bernama Harvey Cox’s yang berpendapat bahwa ada kaitan
antara sekularisasi dengan paham penciptaan dalam Alkitab di mana ada pemisahan
alam dari Allah dan membedakan manusia dari alam.25 White begitu mengecam ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berasal dari Barat yang mengubah karakter
23 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection, . . .
2 24 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan (Jogjakarta: Kanisius,
2008), 29-44 25 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan, . . . 29-30
37
manusia26 sebagai penjaga “Kebun Anggur Allah” menjadi seorang penguasa dengan
mandat penuh dari Allah untuk menguasai tanpa pernah menyadari bahwa alam dan
manusia adalah satu kesatuan. Dalam tulisannya yang terkenal itu, White
mengemukakan dua hal, yakni:
Teknologi dan Ilmu Pengetahuan dari Tradisi Barat
White melihat bahwa pengaruh atau tradisi dari Barat yang terdiri dari teknologi
dan ilmu pengetahuan menjadi salah satu pemicu kerusakan lingkungan. Negara-
negara maju seperti Cina, Jepang, dan Nigeria mengakui bahwa teknologi yang
mereka kembangkan menjadi sukses itu karena pengaruh teknologi yang berasal dari
Barat. Pada akhir abad ke-15, keunggulan teknologi di Eropa sedemikian rupa
sehingga negara-negara kecil yang saling bermusuhan bisa mengalahkan seluruh
dunia, menaklukkan, menjarah, dan mengkloning. Lambang keunggulan teknologi ini
adalah kenyataan bahwa Portugal, salah satu negara bagian yang paling lemah di
negara Barat, dapat berubah menjadi nyonya di Hindia Timur dan juga bahwa
teknologi Vasco da Gama dan Albuquerque dibangun dengan empirisme murni,
sedikit sekali mendapat dukungan atau inspirasi dari ilmu pengetahuan.27
Dalam pemahaman Vernakular sekarang ini, ilmu pengetahuan modern
seharusnya dimulai pada tahun 1543. Ketika Copernicus dan Vesalius menerbitkan
karya besar mereka, tradisi sains Barat yang khas, sebenarnya dimulai pada abad ke-
11 dengan sejumlah besar terjemahan karya ilmiah Arab dan Yunani di Latin. Ilmu
26 Lynn White, The Historical RootsOf Our Ecologic Crisis (New York: Harper and Row,
1974), 2 27 White, . ., 2
38
pengetahuan dan teknologi serta gerakan ilmiah memulai usaha mereka, dengan
tujuan memperoleh karakter dan mencapai dominasi dunia di abad pertengahan, tetapi
satu hal yang terlupakan bahwa sifat atau dampaknya terhadap ekologi tidak dapat
diklaim atau dicurigai tanpa menguji asumsi dan perkembangan abad pertengahan.28
Eksploisitas sains dan teknologi berakar pada pandangan antroposentris tradisi
Yudeo-Kristiani yang menganggap bahwa manusia dan alam adalah dua hal yang
berbeda. Posisi yang berbeda ini meletakkan manusia lebih tinggi dari alam, oleh
karenanya manusia berhak menguasai alam tersebut. Argumentasi White kemudian
menekankan bahwa penyebab makin massif, dramatis, serta kompleksnya kerusakan
lingkungan adalah ketika cara pandang yang antroposentris itu kemudian didukung
oleh berbagai penemuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang terbukti
lebih banyak bersifat destruktif terhadap alam.29
Pandangan Abad Pertengahan tentang Manusia dan Alam
Sampai saat ini, pertanian merupakan hal yang utama dalam kehidupan
masyarakat dunia, bahkan dalam masyarakat yang sudah "maju". Oleh karenanya,
setiap perubahan metode pengolahan tanah sangat penting. Awalnya pembajakan
tanah hanya dilakukan oleh binatang, yakni oleh dua ekor lembu, biasanya hanya
membantu menggaruk tanah agar lebih mudah ketika hendak ditanam. Namun
demikian, seiring dengan berjalannya waktu, proses ini mengalami perubahan,
misalnya: di tanah yang cukup terang dan iklim semi kering di Timur Dekat dan
Mediterania, kegiatan bertani yang tradisional ini bekerja dengan baik, tetapi bajak
28 White, . ., 3 29 Lynn White, Jr., The Historical Roots of Our Ecological Crisis, dalam Jurnal Science,
(New York: Harvard University Center, Vol.155 No.3767, 1967), 1205
39
seperti itu akan tidak sesuai dengan iklim basah dan tanah yang sering lengket di
Eropa Utara. Pada bagian akhir abad ke-7 setelah Kristus, bagaimanapun, beberapa
petani Eropa Utara menggunakan jenis bajak yang sama sekali baru, dilengkapi pisau
vertikal untuk memotong garis alur, bagian horizontal untuk diiris di bawah pohon,
dan papan cetakan untuk membaliknya. Gesekan bajak ini dengan tanah begitu besar
sehingga biasanya tidak dibutuhkan dua melainkan delapan ekor lembu. Pada
awalnya, hal ini memang membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun demikian, sistem bertani yang dilakukan bukan lagi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, sebaliknya hanya kepada bagaimana teknologi baru membantu
masyarakat agar tidak perlu lagi bersusah payah. Hubungan manusia dengan tanah
sangat berubah. Dahulu memang manusia bagian dari alam namun sekarang manusia
adalah pengeksploitasi alam. Di tempat lain di dunia ini, para petani mengembangkan
penerapan pertanian yang serupa. Pertanyaan White adalah apakah kebetulan bahwa
teknologi modern, dengan kekejaman terhadap alam, sebagian besar telah dihasilkan
oleh keturunan petani-petani kecil di Eropa utara ini?30
Selanjutnya White memberikan pertanyaan pada satu sisi, yakni: “Apa pendapat
orang Kristen tentang hubungan mereka dengan lingkungan?” Sementara banyak
mitologi dunia memberikan cerita tentang penciptaan, mitologi Yunani-Romawi
sama sekali tidak koheren dalam hal ini. Seperti Aristoteles, para intelektual Barat
kuno menyangkal bahwa dunia yang terlihat memiliki awal. Memang, gagasan
tentang sebuah permulaan tidak mungkin dilakukan dalam kerangka gagasan siklus
30 White, . . . 4
40
waktu mereka. Sebaliknya, agama Kristen yang diwarisi dari Yudaisme tidak hanya
merupakan konsep waktu yang tidak berulang dan linier namun juga merupakan kisah
penciptaan yang mencolok. Secara bertahap, Tuhan yang penuh kasih dan telah
menciptakan terang dan kegelapan, tubuh surgawi, bumi dan semua tanaman, hewan,
burung, dan ikannya. Akhirnya, Tuhan telah menciptakan Adam dan Hawa menjaga
manusia agar tidak kesepian. Manusia menamai semua binatang sehingga
menciptakan dominasinya atas mereka. Tuhan merencanakan semua ini secara
eksplisit untuk keuntungan dan peraturan manusia; tidak ada barang dalam
penciptaan fisik yang memiliki tujuan untuk tidak melayani kebutuhan manusia dan
walaupun tubuh manusia terbuat dari tanah liat, dia bukan hanya bagian dari alam;
dia diciptakan menurut gambar Allah. Apa yang dapat kita lakukan berkaitan dengan
ekologi tergantung pada gagasan kita tentang hubungan manusia-alam. Ilmu dan
teknologi tidak akan mengeluarkan kita dari krisis ekologi saat ini sampai kita
menemukan agama baru, atau memikirkan kembali pemikiran lama kita.31
3.2 Sallie McFague
Sallie McFague, satu-satunya teolog perempuan yang berbicara tentang
pentingnya membangun teologi Kristen yang ramah kepada alam, mengusung model
yang keempat, yaitu teologi kenosis. Teologi kenosis adalah teologi yang difokuskan
pada kisah inkarnasi Yesus Kristus ke dalam dunia. Teologi yang dikembangkan oleh
McFague ini tidak memandang Allah sebagai Pencipta yang terpisah dari dunia dan
31 White, . . . 6
41
ciptaanNya.32 Allah telah berinkarnasi dan menjadi bagian dari dunia di dalam diri
Yesus Kristus, Allah menyatu dengan dunia. Oleh karena itu, Allah dan dunia adalah
kesatuan.33 Akibatnya adalah ciptaan harus melihat dunia sebagai bagian dari “tubuh
Allah,” walaupun Allah tidak bisa dibatasi hanya dalam dunia saja tetapi Allah dapat
diidentifikasi lewat ciptaanNya. Berbeda dengan White, McFague memandang bahwa
alam semesta sebagai tubuh dari roh Ilahi (the body of God), baginya ada hubungan
yang saling berkaitan antara manusia dengan makhluk hidup lain yang ada di dalam
dunia ini. Metafor roh oleh McFague dipilih di atas self, mind, heart, will, soul,
hikmat dan logos sehingga baginya metafor ini akan sangat eksklusif jika dikaitkan
dengan manusia. Kiasan roh dimaksudkan bahwa mungkin saja Allah tidak pertama-
tama dipandang sebagai sumber dan pemberi daya.34 Dalam eko-teologi Mcfague,
Allah yang telah hadir dalam Yesus Kristus adalah Allah pencipta, pecinta dan
pemelihara.35 Mcfague dan The Body Of God yang menjadi kekhasan ekoteologinya
intinya mau menegaskan bahwa manusia dan alam semesta adalah juga merupakan
bagian dari tubuh Allah yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Sebagai satu
kesatuan tentunya manusia dan alam semesta diberikan oleh Allah “roh” agar mampu
hidup secara berdampingan dan tidak saling melukai.
32 Sallie McFague, Blessed are the Consumers: Climate Change and the Practice of
Restraint. (Fortress Press: Kindle Edition, 2013), 173 33 Sallie McFague, . . , 171-172 34 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan. , , , 35 35 Sallie McFague, Models of God: Theology for an Ecological, Nuclear Age, (Philadelphia:
Fortress Press, 1987).
42
3.3 Denis Edwards
Pandangannya mengenai kehadiran Roh yang menghidupkan alam semesta. Roh
yang begitu konkrit hadir sebagai nafas kehidupan yang tidak saja diberikan kepada
manusia tetapi kepada ciptaan yang lain. Di samping itu, ekoteologi Edwards
bertujuan untuk memulihkan keanekaragaman ciptaan yang berkelimpahan sebagai
ekspresi diri yang ilahi, tetapi serentak menghindari pandangan romantisme yang buta
akan pergulatan, penderitaan dan kematian dalam ciptaan. Roh adalah kehadiran
Allah dalam ciptaan itu sendiri dan kehadiran ciptaan dalam kehidupan ilahi
(hubungan timbal balik), yang dipahami sebagai daya penciptaan yang terus menerus
memberi kehidupan dalam segala keterbatasan, roh yang juga menciptakan segalanya
dan mengantarnya kepada persekutuan dengan Allah merupakan dasar hubungan satu
sama lain di antara makhluk hidup yang lainnya. Di dalam roh segala makhluk adalah
bagian dari manusia dan manusia adalah bagian dari ciptaan yang lainnya. Hubungan
yang sangat erat dan intim setiap makhluk dengan Allah melalui Roh yang
menghidupkan, menyatukan dan mendorong semuanya kepada penggenapan dan juga
menjadi peringatan bagi manusia yang sekarang dalam posisi dapat meniadakan
sekian banyak makhluk ciptaan, menjadi peringatan untuk lebih menghormati
martabat dan kehidupan seluruh ciptaan.36
Edwards, melihat peristiwa penciptaan sebagai proses yang masih terus menerus
berlangsung dengan pengawalan dari Roh Allah sendiri. Roh Kudus berfungsi di
dalam dunia sebagai yang menyertai ciptaan dan merangkul ciptaan menuju sebuah
36 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan. , , ,39-41
43
kesinambungan. Roh Kudus menderita bersama ciptaan yang menderita dan memberi
kekuatan kepada ciptaan. Menurut Edwards, Roh Kudus memainkan peran penting
karena “di dalam roh, segala makhluk adalah bagian dari kita, dan kita bagian dari
mereka, bersama-sama dihidupkan oleh satu Roh yang merangkum semua”. Roh
menyatukan ciptaan dengan penciptaNya dalam persekutuan yang saling memelihara.
3.4 Aldo Leopold (1887-1948)
Seorang Ekoteolog yang berasal dari Amerika Utara, menulis tentang Etika
Tanah. Leopold menulis tentang bagaimana kepedulian tidak saja ditujukan kepada
manusia tetapi juga kepada tanaman, hewan, air dan tanah. Menurut Leopold, sebuah
tindakan pantas dikatakan baik apabila jika tindakan itu melestarikan ciptaan. Selain
Leopold, ada beberapa ekoteolog yang berasal dari Amerika Utara seperti Arne Naess
dengan tulisannya tentang Deep Ecology yang menyusun sebuah platform dan
memberikan penegasan bahwa manusia maupun ciptaan lainnya (nonhuman)
memiliki nilai intrinsik; keanekaragaman hayati yang memiliki nilai pada dirinya
sendiri. Naess menegaskan bahwa demi memperbaiki lingkungan hidup, perlu
dilakukan pengubahan kebijakan dalam bidang ekonomi, teknologi dan stuktur-
struktur ideologis.37
3.5 John B. Cobb
Tulisan Cobb yang terkenal yakni is it to late? A Theology of Ecology,
mengungkapkan bahwa lingkungan hidup telah mengalami kerusakan yang menurut
37 Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Teologi Ramah Lingkungan: Sekilas tentang Ekoteologi
Kristiani (Jogjakarta: Kanisius, 2015), 53-54
44
para ahli akan sangat membahayakan kehidupan di masa depan. Lanjutnya bahwa
alam sendiri merupakan sebuah sistim yang saling berkaitan satu dengan yang lain,
dan terdiri dari banyak unsur, ketika satu unsur rusak maka itu akan mempengaruhi
unsur yang lain. kerusakan lingkungan pada akhirnya hanya dapat ditanggulangi
dengan perubahan sikap dasar manusia sebagai “agen resmi” terhadap alam semesta
baik perubahan dalam pola pikir maupun tingkah laku yang mempengaruhi orang
lain.38 Banyak yang menganggap bahwa kerusakan lingkungan hanya dapat diatasi
dengan teknologi canggih, tetapi banyak orang juga lupa bahwa tidak semua
teknologi canggih dapat menyelesaikan semua permasalahan lingkungan, sebaliknya
teknologi canggih cenderung menjadikan alam sebagai objek untuk dirombak.
Kerusakan lingkungan hanya dapat diatasi jika ada perubahan visi dan misi tentang
alam, tentang posisi manusia yang cenderung antroposentisme. Lebih lanjut Coob
mengajak umat manusia agar belajar dari masyarakat primitif dan budaya Timur,
yakni orang Indian di mana mereka melihat manusia sebagai bagian integral dari
alam. Kalau pandangan orang Israel yang agak memisahkan manusia dari ciptaan-
ciptaan nonhuman, pandangan Cina sebaliknya. Namun demikian, pandangan Cina
kuno tidak lagi dapat diamalkan lagi oleh masyarakat dewasa ini yang menandakan
bahwa masyarakat primitif juga memiliki kelemahan di mana mereka sering merasa
bersalah saat menggunakan alam untuk kepentingan mereka dan budaya Timur sering
cenderung pasif, kurang aktif, kreatif sehingga di satu pihak pandangan barat juga
dapat dikombinasikan dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, dipihak
38 Hadiwardoyo, . . . 40
45
lain budaya timur tidak perlu meninggalkan tradisi atau kearifan lokal yang
dimiliki.39
3.6 Simone Morandini
Morandini dalam bukunya yang berjudul Theologia ed Ecologia yang diterbitkan,
mengungkapkan bahwa sejak tahun 1960 sudah ada kesadaran akan rusaknya
lingkungan hidup. Menanggapi rusaknya lingkungan hidup, Perserikatan Bangsa-
bangsa menyelenggarakan Konferensi tentang lingkungan hidup di Stckholm.
Sementara, para teolog Kristen tidak tinggal diam, mereka juga berusaha keras
bagaimana caranya agar dapat mengembangkan ekoteologinya dan menyanggah
Lynn White seorang teolog yang mati-matian menyalahkan narasi alkitab dalam
Kejadian 1 tentang manusia dan segala mandat yang diberikan oleh Allah sebagai
seorang penguasa alam semesta.40
3.7 Leonardo Boff
Seorang Ekoteolog Amerika Serikat dalam pandangannya tentang lingkungan,
Boff membela semua makhluk yang tertindas baik manusia maupun alam.
Menurutnya, manusia hanya boleh menggunakan alam sejauh hal itu sungguh perlu
hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yakni sandang, pangan dan papan, ia
begitu mengecam antroposentrisme dan androsentrisme. Boff menawarkan agar
nafsu kekuasaan diganti dengan hormat terhadap kehidupan, namun demikian Boff
39 Hadiwardoyo, . . . 43-44 40 Hadiwardoyo, . . . 80-81
46
tetap menitikberatkan kepada keadilan manusia yang harus tetap didahulukan
dibandingkan keadilan bagi ciptaan-ciptaan nonhuman.41
4. Revolusi Hijau42
Revolusi hijau atau revolusi agrarian yaitu suatu perubahan cara bercocok tanam
dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas
pertanian. Definisi lain menyebutkan revolusi hijau adalah revolusi produksi biji-
bijian dari penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari varietas gandum, padi,
jagung yang membawa dampak tingginya hasil panen. Tujuan revolusi hijau adalah
meningkatkan produktivitas pertanian dengan cara penelitian dan eksperimen bibit
unggul. Selain itu juga bahwa Revolusi hijau adalah perpanjangan tangan dari
kemajuan ilmu pengetahuan di bidang pemuliaan tanaman. Gagasan revolusi hijau
sebenarnya dimulai dari hasil penelitian Norman Borlaug, peneliti dari Amerika
Serikat yang bekerja di Meksiko. Pada tahun 1960-an, Borlaug merakit varietas
gandum yang responsif terhadap pupuk namun hasilnya belum memuaskan.
Kemudian Borlaug menyilangkan varietas gandum lokal Meksiko dengan varietas
asal Jepang yang pendek (dwarfi) untuk menghasilkan tanaman yang dapat
memanfaatkan pupuk lebih efisien. Varietas gandum temuannya kala itu mampu
mengatasi kelaparan di negara-negara sedang berkembang pada tahun 1960-an.
Varietas gandum ajaib tersebut dikembangkan secara luas oleh petani Meksiko, India,
dan Pakistan. Pada tahun 1970, Borlaug menerima hadiah Nobel di Bidang pangan.
41 Hadiwardoyo, . . . 55 42 https://herydotus.wordpress.com/2012/01/25/revolusi-hijau-revolusi-agraria/, diunduh pada
tanggal 25 Februari 2017, Pkl. 15.40WIB
47
Keberhasilan Borlaug dalam merakit varietas gandum menarik perhatian para peneliti
di International Rice Research Institute (IRRI) yang kemudian berhasil pula
menciptakan padi ajaib IRS dan IR8. Inilah tonggak sejarah revolusi hijau.43
Revolusi hijau tidak terlepas dari berbagai kritikan, terutama dari pakar lingkungan,
ekonomi, maupun sosial. Kritikan tersebut berkaitan dengan terjadinya degradasi
lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan, perlunya irigasi
karena penggunaan air yang lebih banyak, menurunnya biodiversitas akibat hilangnya
berbagai varietas lokal, patahnya berbagai ketahanan genetik terhadap hama dan
penyakit, teknologi yang hanya dinikmati oleh petani berpendapatan tinggi karena
lebih mampu mengadakan input untuk memperoleh hasil tinggi dari varietas unggul
baru yang diintroduksikan.44 Artinya revolusi hijau mendatangkan beberapa hal yang
merugikan kehidupan petani dan juga lingkungan. Lingkungan hidup menjadi rusak
seperti yang tercantum dalam UU No 32 tahun 2009 tentang kriteria kerusakan
lingkungan yang mencakup ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
melestarikan fungsinya.45
4.1 Latar Belakang Munculnya Revolusi hijau
Gagasan tentang revolusi hijau bermula dari hasil penelitian dan tulisan Thomas
Robert Malthus (1766–1834) yang berpendapat bahwa “Kemiskinan dan kemelaratan
43 Sriani Sujiprihati dan Muhamad Syukur, Pemuliaan Tanaman dalam Merevolusi Revolusi
Hijau (Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB), 264 44 PC Kesavan & MS Swaminathan, From Green Revolution to Evergreen Revolution:
Pathways and Terminologies. (Current Sci. 91:2, 2006), 145- 146. 45 http://www.unhas.ac.id/pplh/wpcontent/uploads/2012/12/UU_2009_32PPLH_1.pdf
http://e-journal.uajy.ac.id/2999/3/2TA12223.pdf, diunduh pada Rabu, 13 Desember 2017, Pkl.
07.04WIB
48
adalah masalah yang dihadapi manusia yang disebabkan oleh tidak seimbangnya
pertumbuhan penduduk dengan peningkatan produksi pertanian. Pengaruh tulisan
Robert Malthus tersebut, yaitu: pertama, gerakan pengendalian pertumbuhan
penduduk dengan cara pengontrolan jumlah kelahiran dan kedua, gerakan usaha
mencari dan meneliti bibit unggul dalam bidang pertanian.46
Pemerintah Indonesia sangat antusias menyambut penemuan teknologi baru
melalui program Revolusi Hijau. Kebijakan Revolusi Hijau dilatar belakangi oleh
suatu kelangkaan beras di pasaran yang terjadi di kota-kota besar ini merupakan salah
satu masalah yang belum teratasi sejak kemerdekaan Indonesia diumumkan.
Kebijakan ini bertujuan untuk menyebarluaskan cara-cara bertani yang baik. Namun,
kurangnya dana dan tenaga ahli, serta kegagalan panen pada 1955 menyebabkan
program ini gagal. Revolusi Hijau merupakan usaha pemerintah era Presiden
Soeharto untuk meningkatkan produksi pertanian. Hal ini direalisasikan oleh
pemerintah melalui intensifikasi pertanian dengan memperkenalkan cara-cara bertani
yang dianggap efektif untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya beras bagi
Indonesia. Melalui program Revolusi Hijau ini produktifitas di bidang pertanian
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hanya dalam kurun waktu 14 tahun
pelaksanaannya, produksi padi di Indonesia bisa dipompa dari 1,8 ton per hektar
46 Thomas Malthus, An Essay on the Principle of Population: An Essay on the Principle of
Population, as it Affects the Future Improvement of Society with Remarks on the Speculations of Mr.
Godwin, M. Condorcet, and Other Writer (London: Printed for J. Johnson, in St. Paul’s Church-Yard,
1798), 6-13
49
menjadi 3,01 ton per hektar, dan puncaknya adalah tercapainya swasembada beras
pada tahun 1984.47
4.2 Perkembangan Revolusi Hijau
Revolusi hijau dimulai sejak berakhirnya PD I yang berakibat hancurnya lahan
pertanian. Penelitian disponsori oleh Ford and Rockefeller Foundation di Meksiko,
Filipina, India, dan Pakistan. IMWIC atau International Maize and Wheat
Improvement Centre merupakan pusat penelitian di Meksiko. Sedangkan di Filipina,
IRRI atau International Rice Research Institute berhasil mengembangkan bibit padi
baru yang produktif yang disebut padi ajaib atau padi IR-8. Pada tahun 1970 dibentuk
CGIAR atau Consultative Group for International Agriculture Research yang
bertujuan untuk memberikan bantuan kepada berbagai pusat penelitian
international.48 Pada tahun 1970 juga, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
di Indonesia mendapatkan hadiah nobel karena gagasannya mencetuskan revolusi
hijau dengan mencari jenis tanaman biji-bijian yang bentuknya cocok untuk
mengubah energi surya menjadi karbohidrat pada tanah yang diolah menjadi subur
dengan tanaman yang tahan terhadap hama penyakit. Upaya meningkatkan
produktivitas pertanian antara lain dengan cara sebagai berikut: Pertama, pembukaan
areal pertanian dengan pengolahan tanah. Kedua, mekanisme pertanian dengan
penggunaan alat-alat pertanian modern seperti bajak dan mesin penggiling. Ketiga,
penggunaan pupuk-pupuk baru. Keempat, penggunaan metode yang tepat untuk
47 Khudori, Ironi Negeri Beras. (Yogyakarta: Insis Press, 2008), 10. 48 John Pontius, Awal Pengembangan Revolusi Hijau (Prisma, No.2 Tahun XXIV, 1995), 62
50
memberantas hama, misalnya dengan alat penyemprot hama, penggunaan pestisida,
herbisida, dan fungisida.49
Perkembangan Revolusi Hijau juga berpengaruh terhadap kehidupan pertanian di
Indonesia. Upaya peningkatan produktivitas pertanian Indonesia dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut:
1. Intensifikasi Pertanian yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan
menerapkan formula pancausaha tani (pengolahan tanah, pemilihan bibit
unggul, pemupukan, irigasi, dan pemberantasan hama).
2. Ekstensifikasi Pertanian yaitu upaya peningkatan produksi pertanian
dengan memperluas lahan pertanian, biasanya di luar Pulau Jawa.
3. Diversifikasi Pertanian yaitu upaya peningkatan produksi pertanian
dengan cara penganekaragaman tanaman, misal dengan sistem tumpang
sari (di antara lahan sawah ditanami kacang panjang, jagung, dan
sebagainya).
4. Rehabilitasi pertanian yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan
cara pemulihan kemampuan daya produktivitas sumber daya pertanian
yang sudah kritis.50
49 Sumarno (Profesor Riset pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan),
Teknologi Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan Masa Depan. Makalah ini disampaikan
pada Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Pertanian, Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan
Pertanian. Bogor, 14-15 September 2006. Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 No. 2 -2007, 136 50 Revolusi Hijau, Perkembangan Teknologi dan industrialisasi serta Ekonomi masyarakat
Indonesia pada Masa Orde Baru dalam :
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uac=8&ved=0ah
UKEwicvtHx2ujVAhUUR48KHeXlDBYQFgg4MAI&url=https%3A%2%2Fcenterformunawareducat
ion.files.wordpress.com%2F2013%2F06%2Frevolusi-hijau-perkembangan-tekonologi-dan-
51
4.3 Bahaya Masuknya Revolusi Hijau
Peningkatan produksi pangan secara drastis akibat penemuan varietas baru hasil
pemuliaan tanaman dengan produktivitas tinggi, habitus kerdil, dan responsif
terhadap pupuk N tinggi menandai terjadinya revolusi hijau. Revolusi hijau ini di
Indonesia pernah membawa keberhasilan pencapaian swasembada pangan pada tahun
1984. Contoh varietas padi hasil revolusi hijau di Indonesia dimulai antara lain
dengan padi IR atau PB tahun 1960-an. Pemuliaan padi pada masa permulaan
revolusi hijau di Indonesia bertujuan untuk menghasilkan padi dengan hasil tinggi
(high yielding varieties—HYV) dengan ideotype:
1. Berdaun tebal, pendek, dan tegak,
2. Malai pendek dan kuat,
3. Anakan banyak, anakan produktif tinggi,
4. Respons terhadap pemupukan N tinggi,
5. Indeks panen tinggi.51
Meskipun revolusi hijau menyebabkan peningkatan produksi pangan banyak
negara berkembang, tanpa diikuti dengan pengelolaan dan perluasan lahan yang
memadai, revolusi hijau juga dianggap banyak membawa dampak negatif. Dampak
negatif revolusi hijau itu tidak hanya pada sektor pertanian saja, melainkan juga
melimbas ke lingkungan hidup (ekosistem secara luas), kelestarian alam dan makhluk
perkembangan industrialisasi-serta-ekonomi-masyarakat-indonesia-pada-masa-
orba.doc&usg=AFQjCNH1GjH6brldxVe-ptDrSQJQKiDh7w, diunduh pada tgl. 21 Agustus 2017, Pkl.
23.16WIB 51 Pandangan Mengenai Revolusi Hijau Lestari (Evergreen Revolution) G.A. Wattimena,
anggota DGB, IPB dalam:
http://novelgro.com/assets/brochure/Pandangan_Mengenai_Revolusi_Hijau_Lestari.pdf, diunduh pada
tgl, 21 Agustus 2017, Pkl. 23.24WIB
52
hidup, serta paradigma budaya pertanian itu sendiri. Ditinjau dari peningkatan
produktivitas dan produksi pertanian, khususnya bahan pangan, revolusi hijau
merupakan jawaban bagi pembangunan pertanian abad XX, selain itu masuknya
revolusi hijau mengakibatkan sebagian masyarakat tani berperilaku secara instan
artinya bahwa tidak mau bersabar menunggu hasil panen, juga mengubah pola
perilaku masyarakat dalam hal mengolah lahan pertanian. Dampak lain yang
ditimbulkan akibat masuknya revolusi hijau yakni: pertama, petani bergantung pada
sarana berasal dari luar usaha tani yang harus dibeli. Kedua, petani terbiasa dengan
hutang untuk menyediakan sarana produksi, ketiga apabila terjadi kegagalan panen
akan berakibat kerugian yang besar bagi petani. Keempat, musim tanam dan panen
yang bersamaan dalam satu wilayah luas menjadikan harga jual menjadi jatuh pada
saat panen. Kelima, usaha produksi padi menjadi usaha bisnis, dalam arti hasil panen
gabah seluruhnya dijual, tidak lagi diperuntukkan bagi persediaan pangan keluarga
setahun. Keenam, petani padi menjadi pembeli beras guna kebutuhan pangan sehari-
hari. Ketujuh, perbedaan luas pemilikan lahan antar petani membentuk senjang
ekonomi-sosial yang menjadi lebih kentara dan Kedelapan, timbul anggapan bahwa
Revolusi Hijau hanya menguntungkan petani yang lahannya luas.52
Banyak negara yang sedang berkembang terlepas dari ancaman kelaparan.
Lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan tanaman pangan, seperti IRRI di
Filipina, berperan besar dalam upaya penghindaran kelaparan dunia, yang merupakan
52 Sumarno, Teknologi Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan Nasional di Masa
Depan, Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 No. 2 – 2007. Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional
Sumber Daya Lahan Pertanian, Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor, 14-15
September 2006.
53
misi utama keberadaan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Namun,
penggunaan HYV ternyata mendesak varietas-varietas lokal. Penanaman HYV
secara meluas telah mengurangi bahkan menghilangkan keberadaan varietas-varietas
lokal. Contoh kasus yang sangat memprihatinkan terjadi di Bangladesh, yang
sebelumnya memiliki tidak kurang dari 200 varietas padi lokal. Dengan penggalakan
HYV, hanya tersisa lima varietas unggul yang semuanya varietas introduksi. Itu
artinya varietas padi lokal Bangladesh punah terdesak oleh HYV. Demikian juga
yang terjadi di Chambodia. Revolusi hijau yang dipengaruhi perang saudara
berkepanjangan telah menghilangkan kemampuan bercocok tanam padi bagi sebagian
rakyat Chambodia. Sebelum perang berkecamuk, rakyat Chambodia telah terbiasa
dengan bercocok tanam padi lokal yang sangat erat terkait dengan kondisi ekosistem
pertanian setempat. Setelah perang selesai, petani Chambodia diberi HYV yang
berbeda karakternya dengan padi-padi lokal sebelum perang. Akibatnya, petani
Chambodia kehilangan kemampuan bercocok tanam padi lokalnya, sehingga lama
kelamaan varietas padi lokal punah karena tidak ada yang membudidayakan lagi.
Keterdesakan varietas lokal menyebabkan menurunnya keanekaragaman genetik.
Padahal keanekaragaman genetik adalah modal utama dalam pemuliaan tanaman.
Selain keanekaragaman genetik tanaman yang bermanfaat mengalami erosi,
sebaliknya populasi tanaman pertanian lama kelamaan menjadi rentan terhadap hama
dan penyakit. Gejala ini, pada tanaman padi di Indonesia, ditunjukkan dengan
meledaknya hama wereng dan virus tungro pada tahun 1980-an. Revolusi hijau yang
disertai dengan penerapan teknologi maju untuk mempertahankan daya dukung lahan
54
membawa dampak negatif tersendiri terhadap lingkungan dan ekosistem pertanian.
Penggunaan pupuk an-organik dan pestisida buatan pabrik lama-kelamaan
mengganggu kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Polusi zat kimia pertanian
menjadi masalah tersendiri meskipun tujuannya baik, yaitu untuk mempertahankan
daya dukung lahan untuk memproduksi tanaman. Penggunaan pestisida nonselektif
menyebabkan semakin hilangnya musuh alami hama dan penyakit. Dampak negatif
revolusi hijau di negara-negara berkembang mengakibatkan tingkat ketergantungan
yang semakin tinggi terhadap input dan teknologi pertanian dari negara-negara maju.
Kondisi ini akhirnya melahirkan konsep-konsep budi daya tanaman yang lebih ramah
kepada lingkungan, terutama dalam konsep pertanian organik dan pertanian terpadu.53
Program revolusi hijau juga telah mengubah bentuk sosial masyarakat di
pedesaan. Semula masyarakat pedesaan hidup dengn sistem komunal, saling bantu
dan gotong royong kemudian berubah memasuki sistem kapitalis yang lebih
mengedepankan modal dan berorientasi produksi. Para petani pedesaan yang pada
umumnya menganut teguh moral ekonomi sebagai prinsip hidup dan memegang erat
tradisi komunal kemudian berubah pendiriannya menjadi berpihak kepada ekonomi
rasional. Rezim Soeharto memanfaatkan perubahan ini untuk mendukung
kekuasannya dengan mengundang investor untuk membangun sektor industri dengan
menjual buruh berupah murah. Para buruh ini datang dari pedesaan karena kehilangan
pekerjaan atau kehilangan tempat usaha atau tanah sebagai akibat dari program
revolusi hijau. Pada konteks inilah, sebenarnya peran tersembunyi yang dimainkan
53 Ir. Winarso Drajad Widodo, M.S.,Ph.D dalam Modul Dasar-dasar Budidaya Tanaman,29-
30
55
revolusi hijau untuk mendukung sektor industri. Dengan demikian, program revolusi
hijau ini digunakan sebagai katup pengaman kekuasaan Soeharto dari potensi protes,
perlawanan atau revolusi dari masyarakat yang telah kehilangan pekerjaaan,
kehilangan lapangan usaha, berpendapatan dan berupah rendah yang disebabkan
karena perubahan kebijakan pada sektor pertanian, dari pertanian tradisional ke
pertanian modern.54
Dengan demikian, petani menjadi bagian korban pembangunan. Kapitalisasi
dalam bidang pertanian sebagai implikasi dari pelaksanaan revolusi hijau ini justru
menyebabkan petani kaya menjadi lebih kaya dan petani miskin menjadi lebih
miskin, karena banyak kemudian petani kecil yang kehilangan tanahnya. Program-
program yang ditimbulkan dari proses industrialisasi pertanian ini secara sistematis
telah menyingkirkan petani kecil pemilik tanah dan menimbulkan ketimpangan
penguasaan tanah yang cukup tinggi. Dengan lahan yang sempit, para buruh tani
lebih mengandalkan kegiatan berburuh dalam mencukupi keluarganya. Kondisi ini
nampaknya akan semakin parah mengingat perkembangan riil upah buruh pertanian
cenderung konstan atau menurun, sementara kebufuhan hidup terus bertambah.55
4.4 Pestisida : Agenda Revolusi Hijau
Pestisida mulai diperkenalkan pertama kalinya oleh bangsa Cina pada tahun 900
M, dengan memakai senyawa arsenat. Berkembangnya pestisida di kalangan bangsa
54 Mujahidin Imam Fahmid, Gagalnya Politik Pangan Di Bawah Rezim Orde BAru, Kajian
Ekonomi Politik Pangan di lndonesia (Jakarta: Yayasan Studi Perkotaan (Sandi Kota) dan Institute For
Social and Political Economic Issues (ISPEI), 2004), 7 55 Araf Al dan Puryadi Awan, Perebutan Kuasa Tanah (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama,
2002), 47
56
Cina, menunjukkan bahwa bangsa Cina sudah lebih maju di bidang pertanian, hal ini
dibuktikan dengan kenyataan mengenai pengenalan pestisida yang pertama kali
dilakukan oleh manusia karena belum ada penemuan-penemuan baru, bahan arsenat
ini masih bertahan cukup lama, sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa hama-hama
sudah menunjukkan gejala kekebalan. Pada akhirnya secara tidak sengaja, banyak
penemuan yang mulai dikembangkan, misalnya racun tembakau yang mulai
diperkenalkan kepada masyarakat mulai tahun 1960 di Eropa. Pada waktu itu, metode
yang digunakan masih sangat sederhana sebab perkembangan teknologi belum begitu
banyak. Tembakau direndam di dalam air selama satu hari satu malam, kemudian air
rendaman yang ada digunakan untuk menyemprot atau disiramkan kepada tanaman,
dan ternyata racun nikotin tersebut cukup efektif sebagai obat sekaligus racun
pembunuh hama. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di daratan Eropa, di Malaysia
dan sekitarnya misalnya, orang lebih mengenal bubuk pohon deris yang mengandung
bahan aktif rorenon sebagai zat pembunuh. Bubuk atau bahan ini dihasilkan dari
golongan tanaman Legiminosae yakni Deris Eliptica.56
Semenjak ditemukannya bahan-bahan aktif yang berasal dari tumbuh-tumbuhan,
perkembangan pestisida semakin berkembang. Berbagai upaya dilakukan guna
mendapatkan jenis-jenis pestisida yang baru dan maanfaat yang lebih baik lagi dalam
mengatasi hama pada tanaman serta lebih ampuh. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri
bahwa pestisida yang dihasilkan tidaklah merupakan satu-satunya obat mujarab yang
paling ampuh untuk mengatasi hama tanaman, seiring dengan berkembangnya dunia
56 Isvasta Ekha, Dilema Pestisida: Tragedi Revolusi Hijau (Jogjakarta: Kanisius, 1988), 26
57
teknologi, mendorong manusia untuk terus dan terus mencari berbagai pestisida
untuk membantu membasmi hama tanaman. Sehingga pada tahun 1874, seorang
bernama Zidler dari Jerman menciptakan Dichloro Diphenyl Trichloretane (DDT)
yang merupakan sebuah babak baru dari perkembangan industri pestisida di dunia57.
Pada akhirnya manusia (petani) mulai menggantungkan diri pada “obat yang sakti
ini” yakni pestisida yang merupakan akibat dari industri yang semakin berkembang.
Sisi negatif dari pestisida ini yang menurut saya tidak diketahui oleh masyarakat pada
umumnya, sehingga jumlah permintaan semakin betambah banyak.
Di Indonesia untuk keperluan perlindungan tanaman, khususnya untuk pertanian
dan kehutanan pada tahun 1986 tercatat 371 formulasi yang telah terdaftar dan
diijinkan penggunaannya dan 38 formulasi yang baru mengalami proses pendaftaran
ulang, sehingga ada 215 bahan aktif yang sudah terdaftar serta beredar di lingkungan
para petani. Dalam bidang pengendalian hama tanaman, kita masih mengandalkan
penggunaan pestisida. Oleh karena itu kebutuhan akan pestisida setiap tahunnya
selalu meningkat. Pada tahun 1979 pengadaan pestisida bersubisidi dan non subsidi
untuk tanaman pangan dan perkebunan adalah 9.166 ton/kiloliter sedangkan pada
tahun 1985 naik menjadi 38.837 ton/kiloliter. Pestisida yang digunakan lebih banyak
pada tanaman pangan daripada tanaman perkebunan58 pada akhirnya tidak dapat
dipungkiri bahwa penggunaan pestisida akan terus bertambah selama belum adanya
57 Isvasta Ekha, Dilema Pestisida: Tragedi Revolusi Hijau, . . . 27 58 Perbandingan itu mulai terbalik, di mana untuk sekarang penggunaan pestisida digunakan
semakin merata baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan bahkan tanaman yang akan dijual
untuk kebutuhan sehari-hari.
58
alternatif atau cara untuk mengendalikan hama.59 Hal lain yang mengkhawatirkan
adalah penggunaan pestisida yang masih tinggi dan masih meningkat pada beberapa
sistem tanam. Data dari California menunjukkan bahwa dari tahun 1991 sampai 1995
pemakaian pestisida meningkat dari 161 menjadi 212 juta pon bahan aktif. Kenaikan
ini bukan karena kenaikan areal tanam, karena luas tanaman di seluruh negara bagian
tetap sama selama periode ini. Sebagian besar kenaikannya terutama pada pestisida
beracun, banyak di antaranya terkait dengan kanker, yang digunakan pada tanaman
seperti stroberi dan anggur.60
Di Amerika Latin misalnya, penggunaan pestisida pada umumnya meningkat,
terutama pada sistim produksi berskala besar. Penjualan pestisida meningkat dua kali
lipat di wilayah ini antara tahun 1976 dan 1980, melebihi prediksi industri. Dampak
ekologis pertanian modern ada secara terus-menerus di Amerika Serikat dan Amerika
Latin 125 pertumbuhan konsumsi, baik melalui impor dan produksi dalam negeri,
sepanjang tahun 1980an. Bagian Amerika Latin dari pasar pestisida global, saat ini
sekitar 10 persen, terus mengalami kerutan. Brasil sendiri menyumbang hampir 50
persen dari jumlah total di wilayah tersebut, diikuti oleh Meksiko, Argentina, dan
Kolombia. Dari tahun 1980 sampai 1986, penjualan pestisida meningkat secara
dramatis di Brasil dan Argentina. Jika tren saat ini terus berlanjut, biaya untuk
pengendalian hama kimia Amerika Latin diperkirakan mencapai US $ 3,97 miliar
oleh Tahun 2000. Penggunaan pestisida yang meningkat tersebut telah menyebabkan
59 Subiyakno Sudarmo, Pestisida (Jokjakarta: Kanisius, 1991), 9 60 Miguel A. Altieri and Clara Ines Nicholls dalam tulisan Ecological Impacts of Modern
Agriculture in the United States and Latin America, 124
59
banyak korban jiwa. Tingkat keracunan pestisida yang dilaporkan sendiri dari survei
di Amerika Latin mencapai sekitar 13 persen pekerja pertanian per tahun. Racun
pestisida di kalangan anak-anak di bawah usia 18 tahun menyumbang sekitar 10-20
persen dari semua keracunan. Beberapa penelitian yang dilakukan di seluruh wilayah
ini secara mengejutkan mengkonfirmasi risiko yang meluas yang dihadapi paparan
pestisida pada pekerja pertanian dan keluarga mereka.61
4.4.1 Jenis-jenis Pestisida
Dalam buku pestisida tanaman yang ditulis oleh Subiyakto Sudarmo62, pestisida
dapat digolongkan berdasarkan fungsi dan asal katanya, seperti:
Akarisida, yang berasal dari bahasa Yunani dengan akar kata akari yang
artinya kutu. Fungsi dari pestisida jenis ini yakni untuk membunuh kutu
pada daun tumbuhan,
Herbisida, yang berasal dari bahasa latin herba yang artinya tanaman
setahun. Jenis pestisida ini berfungsi untuk membunuh gulma atau
tumbuhan pengganggu
Insektisida, yang berasal dari bahasa latin insectum yang artinya potongan,
keratin, segmen tubuh yang fungsinya untuk membunuh serangga.
Predisida, yang berasal dari bahasa Yunani praeda yang artinya
pemangsa, berfungsi untuk membunuh predator.
61 Miguel A. Altieri and Clara Ines Nicholls, Ecological Impacts of Modern Agriculture in the
United States and Latin America, 125 62 Subiyakno Sudarmo, Pestisida Tanaman (Jogjakarta: Kanisius, 1988), 21
60
Mollusisida, yang berasal dari bahasa Yunani molluscus yang artinya
berselubung tipis atau lembek, berfungsi untuk membunuh siput atau
keong
Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan
mengancam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik, yaitu golongan
organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh senyawa organoklorin lebih
tinggi dibandingkan senyawa lain, karena senyawa ini peka terhadap sinar matahari
dan tidak mudah terurai.63
Selain itu juga ada beberapa bahan kimia yang biasanya digunakan oleh para
petani, yang tidak menggunakan akhiran sida:
Defoliant yakni zat yang digunakan untuk menggugurkan daun supaya
memudahkan panen,
Zat pengatur tumbuh yang berfungsi untuk mmeperlambat, menghentikan
atau juga mempercepat pertumbuhan tanaman.
Repellen yakni zat yang berfungsi sebagai penolak atau penghalau hama.
Desinfestan merupakan zat yang berfungsi untuk membasmi hama,
gulma, tikus dan organism pengganggu lainnya.
Inhibitor merupakan zat yang digunakan untuk menekan pertumbuhan
batang dan tunas.64
Pada kesimpulannya bahwa jenis-jenis pestisida yang penulis sebutkan di atas
membawa dampak buruk bagi kehidupan ekosistem dan lingkungan khususnya dalam
63 E.G. Sa’id, Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua. Agrotek, Vol.
2(1). 1994. IPB, Bogor, hal 71-72. 64 Subiyakno Sudarmo, Pestisida Tanaman, . . 23-23
61
lingkungan pertanian. Tidak hanya berdampak negatif atau buruk bagi manusia, tetapi
yang lebih parahnya lagi berdampak buruk bagi ekosistem tanah sebagai tempat
hidup makhluk hidup lainnya. Masing-masing pestisida dengan kemampuannya
membasmi hama ataupun hewan pengganggu tumbuhan, akan berdampak negatif
ketika digunakan dengan tidak bertanggungjawab dan mengikuti aturan yang telah
ditentukan.
4.4.2 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 Tentang Peredaran,
Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida.65
Dalam rangka melindungi keselamatan manusia dan juga sumber-sumber
kekayaan alam khususnya kekayaan alam hayati serta agar supaya penggunaan
pestisida dapat digunakan dengan lebih efektif maka peraturan tentang peredaran,
penyimpnana dan penggunaan pestisida diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 7
Tahun 1973:
Setiap pestisida harus didaftarkan kepada menteri pertanian melalui Komisi
Pestisida untuk dimintakan ijin penggunaannya,
Hanya pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diijinkan oleh
Menteri Pertanian boleh disimpan, diedarkan dan digunakan,
Pestisida yang penggunaannya telah terdaftar dan atau dijinkan oleh Menteri
Pertanian hanya boleh disimpan, diedarkan dan digunakan menurut ketentuan
yang ditetapkan dalam ijin pestisida itu,
65 PP No. 7 Th. 1973 ttg Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan
Pestisida.pdf
62
Setiap pestisida harus diberi label dalam bahasa Indonesia yang berisi
keterangan-keterangan yang dimaksud dalam surat keputusan Menteri
Pertanian No. 429/ Kpts/Mm/1973 dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan di dalam pendaftaran dan ijin masing-masing pestisida.
Sedangkan menurut The United States Federal Enviromental Pesticide Control
Act, bahwa:
Pestisida adalah semua zat atau campuran zat yang khusus
untuk memberantas atau mencegah gangguan serangga,
binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri,
jasad renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteri atau
jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya
atau dengan kata lain semua zat atau campuran zat yang
digunakan sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau
pengering tanaman.66
Dalam peraturan pemerintah tersebut yang disebut sebagai pestisida adalah semua
zat kimia dan bahan lain serta jasad mahkluk hidup yang telah lama mati dan virus
yang dipergunakan untuk menjaga tumbuhan agar tetap tumbuh dengan subur dan
menghasilkan panen yang banyak. Menurut penulis bahwa pestisida di satu sisi
memberikan pengaruh yang positif tetapi juga pengaruh yang negatif. Pengaruh yang
positif yakni: pertama, memberantas atau mencegah hama atau penyakit yang
merusak tanaman atau hasil pertanian. Dalam hal ini peranan pestisida menjadi teman
bagi para petani, yang membantu dalam menjaga tanaman sehingga hasil panen dapat
melimpah. Kedua, memberantas gulma pengganggu tanah atau tanaman. Kehadiran
pestisida pada akhirnya membantu para petani agar tidak lagi bersusah payah untuk
mencabut rumput ataupun membersihkan gulma atau tanaman pengganggu dengan
66 Dalam Subiyakno Sudarmo, Pestisida , . . .16
63
menggunakan alat tradisional, sehingga pekerjaan menjadi lebih efisien dan petani
dapat dengan cepat menyiapkan lahan ataupun bibit untuk menanam, dan ketiga,
mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman yang tidak diinginkan.
Pengaruh positif inilah yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh para petani
guna menjaga tanaman.
Sedangkan pengaruh negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yakni:
pertama, bahwa pestisida digunakan adalah untuk mengatur atau merangsang
pertumbuhan tanaman agar cepat tumbuh. Tanaman dipaksa agar tumbuh dengan
cepat tanpa memperhatikan kualitas hasil tanaman. Kedua, pestisida digunakan untuk
memberantas atau mencegah hama liar pada ternak dan hewan peliharaan. Ketiga,
pestisida digunakan untuk memberantas atau mencegah binatang yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang dilindungi, dengan
penggunaan pada tanaman atau air dan keempat, pestisida merupakan racun yang
dapat mematikan makhluk hidup, sehingga dalam penggunaannya dapat memberikan
pengaruh yang buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan secara umum.
Salah satu contoh, pestisida yang disemprotkan dapat mencemari udara dan apabila
terkena langsung paparan sinar matahari dapat ikut terbawa angin dan ketika dihirup
oleh manusia maupun makhluk lain dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar atau 75% aplikasi pestisida dilakukan
dengan cara disemprotkan, baik itu untuk mematikan hama ataupun untuk
membersihkan kebun sebelum ditanam.
64
Beberapa penelitian telah dilakukan yang mengidentifikasi berbagai kemungkinan
yang diakibatkan dari penggunaan pestisida yakni:67 pertama, keracunan terhadap
Manusia. Keracunan pestisida secara kronik maupun akut dapat terjadi pada pemakai
dan pekerja yang berhubungan langsung dengan pestisida, misalnya petani, pengecer
pestisida, pekerja gudang pestisida dan lain-lain. keracunan tersebut terjadi karena
kontaminasi melalui mulut atau saluran pencernaan, kulit dan juga pernafasan.
Kedua, keracunan terhadap ternak dan hewan piaraan. Keracunan pada ternak
maupun hewan yang dipelihara (sebagain besar di ladang atau kebun) dapat terjadi
secara langsung dan tidak langusng. Secara langsung mungkin pestisida digunakan
untuk melawan penyakit pada ternak, sedangkan secara tidak langsung digunakan
untuk membunuh serangga hama atau serangga lainnya, hal ini dapat terjadi ketika
hewan peliharaan secara tidak langsung memakan bahan yang mengandung racun
atau zat kimia tersebut. Ketiga, keracunan terhadap satwa liar. Penggunaan
pestisida yang tidak bijaksana dan berlebihan dapat menimbulkan keracunan yang
berakibat kematian pada satwa atau binanatang liar seperti burung, lebah, serangga
penyerbuk yang binatang lainnya yang hidup di alam bebas. Keracunan tersebut dapat
terjadi secara langsung karena terjadi kontak dengan pestisida, maupun secara tidak
langsung karena melalui rantai makanan. Keempat, keracunan terhadap tanaman.
Beberapa insektisida dan fungisida yang langsung digunakan pada tanaman dapat
mengkibatkan kerusakan pada tanaman.
67 Subiyakno Sudarmo, Pestisida , . . . 99-102
65
Hal ini dapat terjadi karena penggunaan formulasi atau takaran pestisida yang
mengandung bahan aktif tertentu, dosis yang berlebihan atau mungkin pada saat
penyemprotan suhu atau cuaca terlalu panas apalagi dilakukan pada siang hari, dan
Kelima, keracunan terhadap Tanah. Pestisida sebagai racun, tidak hanya
berdampak negatif bagi manusia, makhluk hidup lain dan juga mikro-organisme
tetapi juga berdampak buruk bagi tanah. Terkadang manusia lupa bahwa, akibat
tindakannya yang hanya mementingkan keberlangsungan hidupnya, lingkungan
sendiri menjadi rusak. Tanah yang sering terkena pestisida akan mengakibatkan: (a)
meningkatnya salinitas dan water logging; (b) perubahan status hara dalam tanah,
gejala kekurangan hara, peningkatan toksisitas tanah; (c) pembentukan lapisan keras
bawah tanah (hardpan); dan (d) peningkatan serangan hama dan penyakit dan
kerusakan tanaman.68 Menurut data WHO69 bahwa pestisida yang disemprotkan ke
tanah hanya untuk membunuh hama atau gulma pengganggu tanaman, ada beberapa
pestisida yang mungkin hanya jatuh ke permukaan tanah saja, tetapi ada jenis
pestisida yang mengendap di dalam tanah yang memakan habis unsur hara dan
membunuh cacing tanah. Tanah yang terkena pestisida secara terus-menerus akan
menjadi kering dan tidak sehat, sehingga harus selalu disiram agar tetap basah, tanah
akan menjadi lebih keras sehingga akan menghambat pertumbuhan akar tanaman.
Tanah yang tidak disemprot pestisida diketahui memiliki kualitas yang lebih baik,
dan mengandung kadar organik yang lebih tinggi sehingga meningkatkan
68 Pingali, P.L; M. Hossain, and R.V. Gerpacio. Asian rice bowls: the returning crisis?. IRRI
and CAB International, 1997. 69 World Health Organization in 2000, Bahaya Bahan Kimia pada Kesehatan Manusia dan
Lingkungan (Hazardaous Chemicals in Human dan Enviromental Health. (Ed.Bahasa Indonesia)
Palupi Widiastuti dan Monica Ester, 27
66
kemampuan tanah dalam menahan air Hal ini diketahui memiliki dampak positif
terhadap hasil pertanian di musim kering. Kadar organik yang rendah juga
meningkatkan kemungkinan pestisida meninggalkan lahan dan menuju perairan,
karena bahan organik tanah mampu mengikat pestisida. Bahan organik tanah juga
bisa mempercepat proses pelapukan bahan kimia pestisida.70 Hal, ini yang tidak
diketahui oleh sebagian besar masyarakat tani sehingga praktek penggunaan pestisida
yang melebihi takaran masih menjadi fenomena menarik yang tetap terlihat. Ini
menjadi poin penting yang akan dibahas oleh penulis berkaitan dengan bagaimana
ekoteologi memandang pengaruh revolusi hijau terhadap gaya bertani yang ramah
lingkungan.
Kesimpulan: menurut saya sekalipun sudah ada aturan yang mengatur tentang
keberadaan, peredaran dan penggunaan pestisida maupun bahan kimia lain tetapi
ketika tidak diikuti dengan pemahaman yang baik dari masyarakat maka yang akan
terjadi adalah penggunaan pestisida akan semakin tidak bertanggungjawab. Sebagian
besar bahaya yang ditimbulkan adalah bahaya negatif dan mengancam tidak saja
keberlangsungan hidup manusia tetapi juga keberlangsungan makhluk hidup lainnya.
Sehingga penggunaan pestisida harus diimbangi dengan pengetahuan masyarakat
tani, tingkat pendidikan dapat menentukan apakah para petani selama ini paham atau
sebaliknya. Hal sederhana yang terjadi ketika masyarakat masih tetap
mempertahankan kegiatan bertani dengan penggunaan pestisida dengan dosis tinggi
70 Maksuk Ikhsan, Environmental Health Risk Analysis to Pesticides Exposure in
Agricultural Area dalam Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27
September 2014, 716
67
adalah tanah tempat di mana manusia hidup tidak akan ramah ataupun bersahabat.
Manusia lupa bahwa ia sendiri berasal dari tanah dan sudah semestinya ia
memperlakukan tanah sebagai sahabat karib ataukah bahkan sebagai orangtua yang
memberikan kehidupan.