BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di · PDF filetitik-titik jaring kontrol geodesi statik...
Transcript of BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di · PDF filetitik-titik jaring kontrol geodesi statik...
BAB II
CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia
Tanah merupakan bagian dari alam yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan umat manusia. Hampir seluruh kegiatan manusia dilakukan di atas bidang
tanah. Tanah merupakan sumber daya alam yang tidak pernah berubah luasnya
meskipun jumlah bidang tanah terus bertambah. Dengan jumlah yang terus bertambah
itu, diperlukan suatu ketentuan mengenai kepemilikan dan hal-hal lain terkait bidang
tanah. Peraturan mengenai administrasi pertanahan di Indonesia sebenarnya sudah
ada sejak sebelum Indonesia merdeka yaitu dengan adanya Hukum Barat yang
merupakan hukum tertulis, dan Hukum Adat yang berupa hukum tidak tertulis,
namun adanya kedua hukum ini menyebabkan dualisme hukum pertanahan di
Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, diberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang lahir pada tanggal 24 September 1960, sebagai satu-satunya dasar
hukum yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan bidang tanah. Dalam UUPA
tersebut salah satunya dicantumkan mengenai kegiatan pendaftaran tanah yang
dilakukan oleh pemerintah.
Dalam kegiatan pendaftaran tanah diperlukan adanya suatu referensi yang
dapat dijadikan sebagai acuan bagi seluruh bidang tanah di Indonesia. Di Indonesia,
referensi ini diwujudkan dalam bentuk pilar titik dasar teknik berorde yang harus
dapat mencakup seluruh area pengukuran. Seiring perkembangan teknologi yang
semakin maju, realisasi kerangka referensi ini tidak lagi berupa pilar di lapangan
seperti yang selama ini dikenal sebagai titik dasar teknik. Diadakan suatu titik ikat
yang permanen, stabil, dan beroperasi secara kontinyu serta dapat menjangkau area
pengukuran bidang tanah sampai daerah pelosok, yang dinamakan sistem GPS
CORS. GPS CORS merupakan istilah yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan
produsen receiver GPS. Teknologi serupa yang diterapkan di seluruh dunia oleh
sponsor yang berbeda memiliki nama dan istilah yang berbeda-beda, misalnya ACS
(Active Control System) di Kanada, MOLDPOS di Republic Moldova, Hongkong
GPS Network di Hongkong, dan SIMRSN (Singapore Integrated Multiple Reference
Station Network) di Singapura [Rizos, C. et al, 2003]. Sampai saat ini belum ada
istilah umum dan baku yang digunakan untuk penyebutan sistem ini, tergantung
kepada masing-masing negara pengelola dan penyedia sistem.
2.1 Kadaster
Kadaster adalah suatu sistem informasi pertanahan berbasis persil yang berisi
informasi terkini tentang segala kepentingan yang terkait dengan tanah, seperti hak
atas tanah, batasan-batasan dan tanggung-jawab yang harus dipenuhi dalam
pemilikan dan pengelolaan tanah [http://surkad.gd.itb.ac.id, 2007]. Umumnya
kadaster meliputi deskripsi geometris bidang tanah atau persil yang dikaitkan dengan
catatan lain mengenai kepentingan yang terkait dengan bidang tanah tersebut,
kepemilikan atau kontrol terhadap kepentingan-kepentingan tersebut, selain itu sering
pula berisi informasi mengenai nilai bidang tanah dan pengembangan yang telah
dilakukan diatas bidang tanah tersebut. Secara umum kadaster dimaksudkan untuk
pengelolaan hak atas tanah, nilai tanah, dan pemanfaatan tanah. Untuk menuangkan
data-data dan informasi suatu bidang tanah agar tersusun menjadi suatu sistem yang
baik, dilakukan kegiatan pendaftaran tanah yang kemudian menghasilkan peta
kadaster atau peta pendaftaran tanah.
2.2 Dynamic Cadastre
Konsep dynamic cadastre dilatarbelakangi fenomena geodinamika yang
terjadi di dalam bumi dan menimbulkan efek bagi kestabilan posisi dan terutama
titik-titik jaring kontrol geodesi statik sebagai acuan atau referensi yang digunakan di
suatu wilayah. Karena adanya pergerakan geodinamika ini, koordinat batas-batas
bidang tanah yang dinyatakan dalam suatu referensi koordinat akan berubah
mengikuti pergerakan yang terjadi pada tanah di bawahnya. Dynamic cadastre
merupakan suatu program yang dikembangkan dalam rangka mengatasi perubahan
koordinat yang diakibatkan geodinamika ini. Konsepnya adalah membangun jaringan
kontrol modern untuk menggantikan jaringan kontrol statik yang ada sebelumnya,
dan menempatkan receiver GPS di atas titik tersebut. Receiver GPS ini kemudian
mengontrol perubahan jaring yang terjadi akibat pergerakan tanah di tempat titik
jaring tersebut melalui informasi posisi yang diperoleh dari sinyal satelit. Selanjutnya
pengukuran titik-titik batas bidang tanah tinggal mengacu pada stasiun jaringan dan
koordinatnya telah terdefinisi dalam referensi yang sama dengan jaringan kontrol
geodetik yang baru dan fleksibel mengikuti pergerakan geodinamika [Blick and
Grant, 2007].
Di Indonesia konsep dynamic cadastre belum diterapkan. Salah satu negara
yang sudah menerapkan sistem dynamic cadastre di negaranya adalah Selandia Baru.
Di negara tersebut konsep ini dikembangkan dengan latar belakang kondisi
geografisnya yang mirip dengan Indonesia, dimana terdapat lempeng Pasifik dan
lempeng Australia yang dinamis dan menyebabkan pergerakan dan dinamika bagi
tanah Selandia Baru. Perubahan yang diakibatkan pergerakan lempeng ini mencapai
angka 5 cm per tahun dan mengakibatkan perubahan posisi batas-batas bidang tanah
di Selandia Baru. Hal ini kemudian diatasi dengan membangun kerangka referensi
yang dinamis dan diintegrasikan dengan teknologi GPS, dan mampu menyingkirkan
30.000 titik kontrol geodesi sebelumnya dengan ribuan titik kerangka yang baru dan
dinamis [Blick and Grant, 2007].
2.3 Pendaftaran Tanah di Indonesia
Administrasi pertanahan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman sebelum
Indonesia merdeka, dimana saat itu berlaku Hukum Barat yang berlaku pada tanah-
tanah yang dikuasai oleh orang-orang Barat / Belanda di Indonesia, dan Hukum Adat
yang mengatur tanah-tanah adat di Indonesia (misalnya tanah ulayat). Adanya dua
jenis peraturan ini kemudian menimbulkan dualisme hukum pertanahan di Indonesia.
Sejak 24 September 1960 dikeluarkanlah Undang-Undang Pokok Agraria sebagai
satu-satunya dasar hukum di Indonesia yang berkaitan dengan bidang tanah. UUPA
berdasar pada hukum adat yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi
seluruh rakyat Indonesia dan memuat seluruh hak-hak atas tanah, fungsi tanah,
subjek-subjek yang berwenang memiliki bidang tanah, kedudukan pemerintah dalam
pertanahan nasional, dan pendaftaran tanah.
Menurut PP No.24 tahun 1997, pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya
bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Dalam PP No 24 Tahun 1997
disebutkan bahwa kegiatan pendaftaran tanah meliputi :
1. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, yang terdiri dari :
o Pengukuran atau pengadaan titik dasar teknik.
o Pengukuran batas bidang tanah.
o Pembuatan Peta Pendaftaran Tanah
2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
Salah satu tujuan pendaftaran tanah adalah menjamin kepastian hukum dan
perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah. Jaminan kepastian
hukum ini dituangkan dalam bentuk sertipikat. Sertipikat merupakan surat tanda bukti
hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data
yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut
sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Sertipikat menjadi suatu jaminan dan pegangan agar objek bidang tanah yang dimiliki
seseorang tidak tertukar dan tidak berpotensi menimbulkan konflik, yang
diidentifikasikan melalui koordinat yang unik dan tunggal. Definisi bidang tanah
sendiri adalah bagian dari permukaan bumi yang dengan sengaja telah diberikan
tanda-tanda batas penguasaannya oleh seseorang atau badan hukum maupun badan
kekuasaan negara ataupun masyarakat hukum adat sehingga menjadi suatu lahan
mandiri [Haroen, 2008].
Gambar 2.1 menunjukkan tahapan-tahapan yang dilakukan dalam kegiatan
pendaftaran tanah. Diawali dengan pengadaan titik dasar teknik sebagai referensi
pengukuran bidang tanah yang kemudian dicantumkan dalam Peta Dasar Pendaftaran.
Selanjutnya Peta Dasar Pendaftaran diintegrasikan dengan informasi bidang tanah
dan selanjutnya dilakukan pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang akan
dibuatkan Daftar Tanah dan Surat Ukur atas tanah tersebut.
Gambar 2.1 Tahapan Kegiatan Pendaftaran Tanah
2.3.1 Kerangka Referensi di Indonesia
Pengukuran batas bidang tanah harus mengacu atau diikatkan ke titik ikat
yang permanen dan memiliki cakupan luas. Titik acuan yang disebut sebagai
kerangka klasik adalah titik dasar teknik, yang merupakan titik tetap yang
mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam
suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik acuan ataupun titik ikat untuk
keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas. Syarat untuk tugu yang akan dijadikan
Pengukuran dan pemetaan
batas bidang tanah
Pembuatan Daftar Tanah
Pengadaan titik dasar
teknik orde 2, 3, dan 4
Penetapan batas
bidang tanah
Pembuatan Peta
Pendaftaran Tanah
Pembuatan Surat Ukur
Peta Dasar
Pendaftaran
Pengumpulan data
bidang tanah
titik dasar adalah sebaiknya ditempatkan pada lokasi yang aman dari gangguan dan
dibangun di atas suatu daerah atau tanah yang dianggap stabil.
Titik dasar teknik atau titik kerangka klasik diklasifikasikan menurut
kerapatannya (orde) yaitu titik dasar teknik orde 0, titik dasar teknik orde 1, titik
dasar teknik orde 2, titik dasar teknik orde 3, dan titik dasar teknik orde 4.
Pengukuran titik dasar teknik orde 2 dilaksanakan dalam sistem koordinat nasional
dengan mengikatkan ke titik-titik dasar teknik orde 0 dan orde 1 dari KDGN
(Kerangka Dasar Geodesi Nasional) yang dibangun oleh Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Pengukuran titik dasar teknik orde 3
dilaksanakan dalam sistem koordinat nasional dengan mengikatkan ke titik-titik dasar
teknik orde 2. Pengukuran titik dasar teknik orde 4 dilaksanakan dalam sistem
koordinat nasional dengan mengikatkan ke titik-titik dasar teknik orde 3, dan
dibangun dengan kerapatan 150-200 m. Apabila tidak memungkinkan, pengukuran
titik dasar teknik orde 4 dapat dilaksanakan dalam sistem koordinat lokal dimana
kemudian hari harus ditransformasikan ke dalam sistem koordinat proyeksi nasional.
[Riandoko, 1996]. Sistem koordinat nasional menggunakan sistem koordinat proyeksi
Transverse Mercator dengan lebar zone 3° atau sering disebut sebagai TM3°.
Pembagian orde titik dasar yang digunakan di Indonesia saat ini ditunjukkan
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pembagian orde titik dasar [Handoko, 1998]
Orde Kerapatan Penyelenggara Metode Pengukuran
Orde 0 250-600 km Bakosurtanal Pengamatan GPS
Orde 1 30 km Bakosurtanal Pengamatan GPS
Orde 2 10 km BPN Pengamatan GPS
Orde 3 2 km BPN Pengamatan GPS
Orde 4 150-200 m BPN Pengamatan GPS / terestris
Pengukuran titik dasar orde 2 dan 3 dilakukan dengan menggunakan metode
GPS dan berbentuk jaringan yang dinamakan Kerangka Dasar Kadastral Nasional
(KDKN). Untuk pengukuran dan pemetaan bidang tanah secara klasik, titik ikat yang
menjadi acuan adalah titik dasar teknik orde 4 yang merupakan perapatan dari titik-
titik dasar teknis orde 3. Realisasi pengukuran titik orde 4 di BPN dilakukan dengan
metode GPS atau pengukuran terestris dengan poligon. Untuk lebih jelas mengenai
karakteristik geometrik titik-titik dasar ini ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Karakteristik geometrik titik dasar teknik orde 2, 3, dan 4
[Abidin, 2000]
2.3.2 Permasalahan Pendaftaran Bidang Tanah Dikaitkan dengan Keadaan
Referensi Klasik di Indonesia Saat Ini
Menurut PP No.24 tahun 1997 Bab III Pasal 5 dinyatakan bahwa Pendaftaran
Tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN adalah
Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang tugasnya meliputi bidang pertanahan.
Beberapa fungsi BPN diantaranya adalah penyelenggaraan dan pelaksanaan survey,
pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan, dan pelaksanaan pendaftaran tanah
dalam rangka menjamin kepastian hukum.
Dalam melakukan pemetaan bidang tanah, diperlukan titik-titik ikat yang
permanen dan mencakup seluruh kawasan pengukuran dalam rangka konsistensi
referensi objek yang diukur. Dalam hal ini titik ikat yang dimaksud adalah titik dasar
= titik dasar teknik orde 2
= titik dasar teknik orde 3
teknik. Titik dasar teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari
suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu referensi tertentu yang berfungsi
sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas
[PP No.24 Tahun 1997, Pasal 1 Ayat 13]. Pengadaan titik dasar ini dilakukan oleh
badan pemerintah yang berewenang, dalam hal ini BPN dan Bakosurtanal. BPN
melakukan pembangunan titik dasar orde 2, 3, dan 4 yang pada prinsipnya merupakan
densifikasi titik kontrol geodesi nasional orde 0 dan 1 atau disebut juga Jaring
Kontrol Geodesi (Horisontal) Nasional yang diukur dan dibangun oleh Bakosurtanal.
Titik dasar teknik orde 2 dibangun dengan kerapatan ± 10 km, titik dasar orde 3
dibangun dengan kerapatan ± 1-2 km, dan titik dasar orde 4 dibangun dengan
kerapatan ± 150-200 m, dengan mengacu pada datum WGS 1984.
Pada tahun 2007 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan
Presiden no.85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional. Dalam PerPres
ini disebutkan bahwa saat ini data spasial sebagai data yang berkaitan dengan unsur
keruangan belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh instansi pemerintah
maupun masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibentuklah Jaringan Data
Spasial Nasional (JDSN) sebagai suatu sistem penyelenggaraan pengelolaan data
spasial secara bersama, tertib, terukur, terintegrasi, dan berkesinambungan serta
berdayaguna.
Dalam Pasal 9 PerPres tersebut dicantumkan bahwa Bakosurtanal adalah
Penghubung Simpul Jaringan yang bertugas membangun sistem akses JDSN,
memfasilitasi pertukaran data spasial, memelihara sistem akses JDSN, dan melakukan
pembinaan kepada Simpul Jaringan. Simpul Jaringan adalah institusi yang
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengumpulan, pemeliharaan,
pemutakhiran, pertukaran, dan penyebarluasan data spasial tertentu, termasuk
diantaranya adalah Badan Pertanahan Nasional. Sebagai lembaga pemerintah yang
melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang pertanahan, BPN bertugas
menyiapkan data spasial berupa kerangka dasar kadastral dan bidang tanah, termasuk
diantaranya penyediaan data batas-batas bidang tanah seluruh Indonesia yang
mengacu pada satu sistem koordinat nasional dan terintegrasi dengan referensi global.
Terkait fungsi BPN dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, BPN memiliki
target untuk dapat memetakan seluruh bidang tanah di Indonesia dalam waktu 18
tahun [Kompas, 2007]. Jumlah bidang tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia
saat ini adalah kurang lebih 80 juta bidang, dan yang sudah terpetakan dan terdaftar
adalah sekitar 30 juta bidang [Sunarto, 2007]. Hal ini berarti masih ada 50 juta bidang
tanah yang belum didaftarkan dan menjadi tugas BPN.
Dalam melakukan pengukuran bidang tanah banyak masalah dan kendala
yang dihadapi oleh BPN. Salah satunya adalah tingginya permintaan pembuatan
sertipikat oleh para pemilik bidang tanah yang tidak diimbangi dengan ketersediaan
fasilitas dan sumber daya pengukuran dan pemetaan bidang tanah, salah satunya
keberadaan titik dasar yang masih sangat kurang di Indonesia. Saat ini pilar orde 4
yang sudah dibangun di Indonesia sebanyak ± 20.000 titik dari ratusan ribu titik yang
seharusnya dibangun di seluruh wilayah Indonesia [Soemarto, 2008, komunikasi
personal]. Kurangnya sebaran ini menyebabkan pengukuran dan pemetaan bidang
tanah sulit dilakukan di daerah-daerah yang belum tersedia pilar titik dasar disana,
terutama daerah-daerah pelosok. Padahal informasi jumlah dan batas bidang tanah di
daerah ini sangat penting dalam menunjang program dan target BPN yang ingin
memetakan bidang-bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia.
Indonesia merupakan wilayah yang dinamis dan banyak mengalami
pergerakan geodinamika di dalam bumi yang data mempengaruhi kestabilan posisi
titik-titik di muka bumi, salah satunya pilar titik-titik dasar. Sebagai konsekuensi dari
pergerakan geodinamika di Indonesia, saat ini banyak pilar titik dasar teknik yang
mengalami perubahan posisi baik secara vertikal maupun horisontal dalam lingkup
temporal dan spasial, namun nilai koordinat dan posisinya tidak pernah diperbaharui.
Banyak titik yang letaknya sudah bergeser beberapa centimeter atau bahkan dalam
orde meter, tetapi koordinatnya masih dianggap sama dengan waktu pertama kali
pengukuran dan pemasangan yang dilakukan sebelum titik tersebut bergeser. Padahal
dengan adanya perubahan fisik dari pilar-pilar titik dasar ini maka nilai koordinat pun
harus berubah untuk menjaga konsistensi posisi sebenarnya di lapangan. Tidak
sedikit pula titik yang fisiknya sudah rusak atau dipindahkan tanpa pemberitahuan
kepada kantor pertanahan setempat, namun masih kerap digunakan dalam kegiatan
survei dan pemetaan sebagai titik acuan, terutama titik-titik yang dibangun di daerah
yang sekarang menjadi wilayah pemukiman.
2.4 Sistem Referensi Spasial
Selain masalah-masalah di atas, ada masalah lain yang terkait dengan
keberadaan dan kestabilan titik-titik dasar teknik di Indonesia. Indonesia merupakan
wilayah yang dinamis sehingga termasuk daerah rawan bencana, diantaranya yang
paling mengguncang adalah kasus gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26
Desember 2004. Salah satu dampak dari bencana ini yaitu terjadi ketidakjelasan
subjek dan objek bidang tanah yang ditandai dengan hilangnya penanda batas dari
puluhan ribu persil tanah di lapangan serta tenggelamnya sejumlah persil tanah akibat
rendaman air laut, dan hilangnya pemilik sah bidang tanah yang meninggal dunia
akibat bencana tersebut. Menurut [Kompas, 2005], sekitar 12.000 lembar sertipikat
tanah yang merupakan dokumen legal yang berisikan informasi tentang lokasi posisi
persil tanah juga turut hilang. Bahkan dilaporkan juga bahwa sedikitnya 40.000
lembar sertipikat tanah yang tersimpan di Kanwil BPN Provinsi NAD dapat
diselamatkan meski kondisinya tidak seluruhnya utuh [Abidin et al, 2005].
Mengingat kejelasan status, kepemilikan, dan lokasi persil tanah sangat
dibutuhkan untuk menggerakkan roda kehidupan masyarakat, maka dilakukan proses
rekonstruksi batas persil di wilayah Aceh yang melibatkan berbagai instansi. Namun,
berkaitan dengan usaha rekonstruksi tersebut, timbul beberapa permasalahan yang
terkait dengan kerangka referensi dan acuan yang digunakan dalam pengukuran dan
pemetaan batas bidang tanah di Indonesia selama ini, diantaranya sebagian besar
(atau bahkan semua) persil-persil tanah yang terkena dampak gempa dan tsunami
titik-titik batasnya tidak mempunyai koordinat dalam sistem global WGS 1984.
Selain itu, banyak tugu-tugu survei (orde 2, 3 dan 4) yang rusak dan hilang akibat
bencana gempa dan tsunami ini, sehingga menyulitkan proses rekonstruksi titik-titik
batas bidang tanah yang koordinatnya diketahui dalam sistem koordinat lokal dan
terikat secara langsung ataupun tidak langsung dengan koordinat tugu-tugu survei
tersebut.
Sulitnya rekonstruksi bidang tanah di Aceh pasca tsunami menimbulkan suatu
pemikiran bahwa dalam pelaksanaan pengukuran bidang tanah diperlukan suatu
acuan yang stabil, cepat, konsisten dalam hal akurasi, murah, dan terintegrasi dalam
sistem referensi global. Hal ini berlaku tidak hanya untuk kejadian gempa dan
tsunami saja, tetapi untuk keadaan seluruh wilayah Indonesia. Untuk mengatasi
permasalahan ini diperlukan adanya suatu sistem referensi yang dapat dijadikan
sebagai acuan dalam pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah, yang dianggap
stabil dan mampu mengatasi masalah geodinamika ini.
Spatial Reference System (SRS) adalah suatu sistem berbasis koordinat, baik
lokal, regional maupun global yang digunakan untuk menentukan lokasi atau posisi
suatu objek di muka bumi. Sistem ini dikembangkan dalam rangka mencegah adanya
referensi ganda untuk satu posisi di seluruh dunia, dan menjamin adanya konsistensi
dalam menyatakan koordinat.
Menurut NOAA1, suatu sistem referensi harus memenuhi beberapa
persyaratan untuk menjadi suatu sistem referensi spasial, diantaranya :
• Akurat akurasi mencapai cm dengan cakupan global
• Multiguna dapat digunakan dalam segala aplikasi disiplin
ilmu, baik bidang geodesi, geofisik, surveying,
pemetaan, navigasi, dan aktivitas GIS
• Aktif datanya dapat diakses via internet
• Terpadu terintegrasi dengan layanan sistem referensi
global, seperti International Earth Rotation,
Reference System Service, International GPS
Service, dll.
1http://www.ngs.noaa.gov/CORS/CorsPP/WA-SlideShow
2.5 Global Navigation Satellite System (GNSS)
GNSS (Global Navigation Satellite System) adalah suatu sistem satelit
navigasi dan penentuan posisi geo-spasial dengan cakupan dan referensi global yang
menyediakan informasi posisi dengan ketelitian bervariasi, yang diperoleh dari waktu
tempuh sinyal radio yang dipancarkan dari satelit dan ditangkap oleh receiver.
Beberapa satelit navigasi yang merupakan bagian dari GNSS diantaranya adalah GPS
milik Amerika Serikat, GLONASS milik Rusia, Galileo milik Eropa, dan Compass
yang dimiliki dan dikelola oleh China. Gambar 2.2 menunjukkan prinsip penentuan
posisi yang dilakukan dengan metode dengan satelit, baik menggunakan satelit-satelit
GPS, Glonass, Galileo, maupun Compass.
Gambar 2.3 Prinsip Penentuan Posisi dengan Satelit [Abidin, 2000]
2.6 Continuously Operating Reference Station (CORS)
IGS (International GNSS Service) adalah suatu organisasi internasional yang
merupakan kumpulan dari agensi di seluruh dunia yang mengumpulkan sumber dan
data permanen dari stasion GNSS dan memelihara sistem GNSS. IGS menyediakan
data dan produk berkualitas tinggi yang digunakan untuk kepentingan penelitian
ilmiah, aplikasi multidisiplin, pendidikan, yang merupakan salah satu komponen
kunci penghubung ke ITRF sebagai kerangka realisasi sistem koordinat referensi
global. Setiap negara berkontribusi dalam IGS dengan membangun stasiun-stasiun
IGS di seluruh dunia dan saat ini IGS menangani dua stasiun GNSS, yaitu GPS dan
GLONASS.
CORS (Continuously Operating Reference Stations) adalah suatu teknologi
berbasis GNSS yang berwujud sebagai suatu jaring kerangka geodetik yang pada
setiap titiknya dilengkapi dengan receiver yang mampu menangkap sinyal dari satelit-
satelit GNSS yang beroperasi secara kontinyu 24 jam per hari, 7 hari per minggu
dengan mengumpulkan, merekam, mengirim data, dan memungkinkan para pengguna
memanfaatkan data untuk penentuan posisi, baik secara post-processing maupun
real-time.
CORS pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat sejak Oktober 2001
oleh The National Geodetic Survey (NGS) yang merupakan bagian dari NOAA
(National Oceanic and Atmospheric Administration) dan mulai dioperasikan secara
kontinyu sejak November 2005. Kini CORS mulai merambah dan banyak digunakan
oleh negara-negara maju di Eropa, Australia, Korea, bahkan Irak, untuk berbagai
aplikasi dan keperluan tak hanya dalam bidang geodesi, tetapi juga dalam bidang
geofisik, survey dan pemetaan, GIS, navigasi, militer, meteorologi, dan lain-lain.
Sejak tahun 2006 di Indonesia telah dibangun stasiun-stasiun CGPS
(Continuous GPS) oleh Bakosurtanal yang ditempatkan di beberapa daerah di
Indonesia, diantaranya di Kantor Pusat Bakosurtanal di Cibinong Bogor, Bali,
kawasan industri di Selat Sunda, dan di Bandung tepatnya di Pusat Peneropongan
Bintang Bosccha, Lembang. Sampai saat ini jaringan CGPS di Indonesia sudah
mencakup Jawa Barat sebanyak 15 stasiun dan Bali sebanyak 7 stasiun. Diharapkan
dalam beberapa tahun mendatang stasiun-stasiun CGPS ini dapat dikembangkan
menjadi sistem yang aktif dan multiguna.
CORS menyediakan data pengamatan kode (C/A, P1, dan P2) dan data fase
(L1 dan L2), GPS ephemerides, dan koreksi untuk DGPS, model ionosfir, troposfer,
dan lain-lain. Data yang diamati dapat diatur dan disesuaikan dengan keperluan. Data
dapat disimpan per jam atau per hari, dengan selang waktu pengamatan per 1 detik, 5
detik, 10 detik, 15 detik, dan 30 detik, kemudian dikirim melalui jaring
telekomunikasi berkecepatan tinggi ke pusat pengendali jaringan untuk selanjutnya
disimpan, didistibusikan, atau diolah untuk kepentingan lainnya. Selain menyediakan
data-data tersebut, CORS juga menyediakan layanan untuk pengolahan data GPS
secara online, transformasi datum, sistem proyeksi, dan penentuan tinggi ortometrik,
yang semuanya dapat diakses dalam waktu 15 menit sejak pengguna mengirimkan
data yang ingin diolah sampai data selesai diolah dan dikirimkan langsung melalui
email kepada pengguna.
Stasiun CORS dibangun permanen dan ditentukan koordinatnya yang diukur
setiap hari, kemudian ditempatkan receiver diatasnya. Jaringan stasiun CORS
dikontrol jarak jauh dan diawasi dengan menggunakan sistem jaminan kualitas yang
diotomatisasi, serta dilakukan pemeliharaan secara ilmiah. Selain itu sistem CORS
terintegrasi dengan International Earth Rotation and Reference System Service,
sehingga memberikan posisi yang bereferensi global dan datanya dapat diakses lewat
internet oleh pengguna.
Tujuan utama dibangun CORS adalah sebagai titik ikat yang memiliki radius
cukup dekat dengan titik pengukuran untuk memperoleh kualitas data yang baik.
Dalam hal titik ikat yang mengacu pada satu referensi global dengan cakupan luas
dan jarak baseline panjang, tidak hanya kerangka CORS yang dapat dijadikan sebagai
referensi dalam pengukuran bidang tanah di Indonesia. Keberadaan stasiun-stasiun
IGS sebenarnya dapat juga dijadikan sebagai referensi dalam pengukuran batas
bidang tanah di Indonesia. Cakupan IGS sangat luas dan bervariasi jika dibandingkan
dengan cakupan dari kerangka CORS bisa mencapai beberapa ratus kilometer.
Namun ada banyak kendala jika kita menggunakan IGS sebagai titik ikat langsung
pengukuran bidang tanah. Selain akan mempengaruhi nilai ketelitian yang dihasilkan
dikarenakan jarak yang jauh, pengolahan data dari pengukuran yang terikat pada IGS
juga membutuhkan kemampuan perangkat lunak yang memadai dan tidak mudah
dalam pengolahannya. Untuk itu diperlukan SDM (Sumber Daya Manusia) yang
memadai dan berkualitas agar strategi pengolahan data yang diterapkan dapat
menghasilkan data yang berkualitas.
Karena CORS digunakan sebagai titik acuan yang digunakan untuk berbagai
aplikasi yang menuntut ketelitian tinggi, posisi CORS sendiri harus memiliki kualitas
yang baik. Posisinya terus dipantau dan terus diperbaharui terutama jika terjadi
pergerakan di bawah tanah tempat stasiun CORS berada, CORS mampu
mengakomodir adanya pergerakan lempeng dalam skala lokal maupun global, dan
ditentukan dengan mengolah data dari stasiun-stasiun CORS lain yang merupakan
bagian dari jaringan CORS global yang sudah ada, dengan metode double-difference
untuk mengeliminir kesalahan jam atom pada satelit GPS.
2.6.1 Pengukuran Bidang Tanah Yang Mengacu Pada Kerangka CORS
Menurut survey yang dilakukan NOAA, secara umum aplikasi CORS dalam
survey dan pemetaan kadaster mencapai 39.6% dari pasar dan aplikasi CORS di
dunia2. Dalam pengukuran bidang tanah dengan kerangka CORS, CORS berfungsi
sebagai titik ikat atau acuan dalam pelaksanaan pengukuran bidang tanah. Posisi titik
batas bidang tanah ditentukan secara relatif terhadap titik CORS tersebut dengan
metode penentuan posisi secara diferensial.
Prinsip pelaksanaannya yaitu CORS sebagai titik acuan yang telah diketahui
koordinatnya (stasion), dan receiver GPS di lapangan sebagai rover, bergerak dari
satu titik batas bidang tanah ke titik batas bidang tanah lainnya. Receiver yang
dibawa ke lapangan cukup satu buah saja sebagai rover. Penentuan posisi ditentukan
secara diferensial dengan data fase. Lama pengamatan disesuaikan dengan ketelitian
posisi yang diinginkan, metode yang dipilih, jarak antara persil tanah dengan titik
dasar teknik yang digunakan, serta jenis data pengamatan yang digunakan untuk
perhitungan posisi.Sedangkan pengamatan di titik acuan dilakukan selama selang
pengukuran seluruh titik batas berlangsung termasuk selama selang waktu pergerakan
receiver antar titik-titik batas.
Posisi yang dihasilkan dari pengukuran dengan CORS adalah posisi tiga
dimensi (φ, λ, h) yang mengacu pada sistem referensi global, ITRF dengan akurasi
yang diperoleh dapat mencapai level cm.
2http://www.ngs.noaa.gov/CORS/CorsPP/WA-SlideShow
Data koordinat yang diperoleh kemudian disimpan sebagai basis data yang dapat
terus diperbaharui dan dijadikan suatu sistem informasi pertanahan yang terstruktur.
Agar pengukuran dapat dilakukan dengan baik dan menghasilkan posisi yang minim
kesalahan, syarat-syarat pengukuran harus dipenuhi diantaranya lokasi pengukuran
mempunyai ruang pandang yang terbuka ke langit untuk memudahkan sinyal GPS
mencapai antena receiver, jauh dari objek / benda yang mudah memantulkan sinyal
GPS, untuk meminimalkan atau mencegah terjadinya multipath.
Pengukuran batas bidang tanah dengan CORS sebagai titik acuan dapat
dilakukan di daerah yang cukup jauh dari cakupan titik dasar orde 3 atau bahkan tidak
ada titik dasar di daerah tersebut asalkan masih dalam cakupan 50-100 km. Selama
syarat teknis pengukuran masih dapat dipenuhi, CORS dapat memberikan akurasi
yang baik sampai level cm. Namun, pengukuran batas bidang tanah dengan metode
satelit dengan CORS sebagai acuan mempunyai beberapa kekurangan, diantaranya
tidak dapat digunakan pada daerah yang banyak memiliki hambatan pandangan ke
langit (obstruksi) seperti daerah perkotaan, bawah tanah, dan kondisi daerah yang
tidak memungkinkan lainnya. Selain itu proses pengolahan data dari metode ini tidak
termasuk hal yang mudah, apalagi jika menginginkan ketelitian yang tinggi.
Prinsip pengukuran bidang tanah yang mengacu pada kerangka CORS
ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Prinsip Pengukuran Bidang Tanah dengan CORS
2.6.2 Kombinasi Pengukuran GPS, ETS, dan CORS
Pengukuran batas bidang tanah dapat dilakukan dengan metode kombinasi
antara ETS, GPS, dan CORS. Dalam hal ini digunakan alat ETS dan GPS untuk
mengukur batas-batas bidang tanah di daerah yang belum memiliki titik acuan
permanen, dengan CORS sebagai titik acuan.
Pelaksanaannya yaitu dibangun dua buah titik bantu sementara berupa patok
yang dipasangi alat GPS di sekitar titik batas persil. Dengan diikatkan kepada CORS,
dapat diketahui nilai koordinat titik bantu sementara ini. Dari dua titik yang diketahui
koordinatnya ini dapat ditentukan nilai azimuth awal yang menjadi acuan untuk
pengukuran dengan ETS. Selanjutnya pengukuran titik batas bidang tanah dilakukan
dengan ETS yang mengukur sudut dan jarak dari tiap titik batas bidang tanah. Nilai
koordinat yang diperoleh dari ukuran sudut dan jarak ETS akan mengacu pada sistem
koordinat GPS.
Metode ini digunakan seandainya bidang tanah yang akan diukur terletak di
daerah yang banyak obstruksinya, misalnya pemukiman padat, dan gedung-gedung
bertingkat. Dengan metode kombinasi pengukuran bidang tanah masih dapat
dilakukan dengan tingkat ketelitian yang relatif baik dan waktu yang cukup cepat.
Ilustrasi metode kombinasi ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.5 Pengukuran batas bidang tanah metode kombinasi ETS dan GPS