BAB II (Cedere Kepele)
-
Upload
chaerani-triyuliana-rusli -
Category
Documents
-
view
130 -
download
1
Transcript of BAB II (Cedere Kepele)
BAB II
TNJAUAN TEORITIS
A. KONSEP DASAR
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
a. Lapisan Tulang Tengkorak
Otak dan medulla spinalis merupakan organ-organ yang penting
dan sangat vital dalam tubuh manusia, tubuh telah melindungi kedua
organ ini dengan dua buah lapisan pelindung. Lapisan terluar
merupakan tulang-tulang, tulang tengkorak yang melindungi otak serta
tulang-tulang vertebra yang melindungi medulla spinalis. Lapisan
bagian dalam terdiri atas membrane yang biasa disebut meningen.
(http://www.irwanashari.com)
Di bawah ini terdapat gambar mengenai lapisan tulang tengkorak
6
Gambar II.1
Lapisan tulang tengkorak
Terdapat tiga lapisan berbeda yang menyusun meningen
1) Dura mater,
Merupakan suatu jaringan liat, tidak elastic dan mirip kulit sapi
yang terdiri dari dua lapisan, bagian luar dinamakan dura endosteal
dan bagian dalam dinamakan dura meningeal.
2) Membran Arachnoid
Merupakan sebuah membrane fibrosa yang tipis, halus dan
avaskular. Araknoid meliputi otak dan medulla spinalis, tetapi tak
mengikuti kontur luar seperti pia mater.
3) Pia mater
Merupakan lapisan yang langsung berhubungan dengan otak
dan jaringan spinal, dan mengikuti kontur struktur eksternal.
Dura mater terbuat dari jaringan fibrosa putih yang kuat,
berfungsi sebagai lapisan terluar dari meningen dan juga sebagai
periosteum terdalam dari tulang tengkorak. Membran arachnoid,
lapisan yang lembut, seperti jaring laba-laba, terletak antara dura
7
mater dan pia mater atau merupakan lapisan dalam dari meningen.
Selanjutnya, lapisan transparan pia mater yang menjadi bagian
terluar yang melapisi otak dan medulla spinalis yang juga berisi
pembuluh darah.
Dura mater memiliki tiga buah lapisan tambahan kedalam:
1) Falx cerebri
Falx cerebri ini, menonjol kebawah, menyusuri fissure
longitudinalis untuk membentuk semacam dinding pemisah
ataupun sekat antara kedua hemisfer otak.
2) Falx cerebelli
Tambahan berbentuk sabit yang memisahkan kedua halves atau
hemisfer pada serebelum.
3) Tentorium cerebelli.
Tentorium cerebelli memisahkan serebelum dan serebrum.
Ada beberapa ruang di antara maupun di sekitar meninges,
diantaranya:
1) Ruang Epidural
Ruang epidural terletak persis di bagian luar dura mater,
tetapi masih di dalam tulang yang melapisi otak dan medulla
spinalis. Ruang ini terdiri atas bantalan lemak dan jaringan
konektif lainnya.
2) Ruang Subdural
Ruang subdural terletak antara dura mater dan membrane
arachnoid. Ruang ini berisi sejumlah kecil cairan serosa
pelumas.
3) Ruang Subarachnoid
Seperti namanya, ruang ini terletak tepat dibawah
membran arachnoid dan diluar dari piamater. Ruang ini berisi
sejumlah cairan serebrospinal.
8
b. Lobus frontalis
Lobus frontal adalah bagian depan belahan otak besar. Daerah
anterior pada lobus frontal berhubungan dengan kemampuan berfikir
dan konsentrasi. Lobus frontal juga membantu mengendalikan
pergerakan otot terlatih, mood, perecanaan masa depan, penentun
target dan prioritas.
Dibawah ini terdapat gambar tentang letak lobus frontal
Gambar II.2
Area Lobus Frontal
Fungsi lobus frontal
1) Presental gyrus merupakan area motor kontralateraldari
wajah, lengan, tungkai, batang
2) Area broca’s merupakan pusat bicara motorik pada lobus
dominant
9
3) Suplementari motor area untuk gerakan kotralateral kepala
dan lirikan mata
4) Area prefrontal merupakan pusat control inhibisi untuk miksi
dan defekasi
2. KONSEP DASAR PENYAKIT
a. Cedera kepala
1) Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi
otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Tarwoto
Ns, S.Kep et all. 2007:125).
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan
dan perlambatan (accelerasi–descelarasi) yang merupakan
perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada
percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera Kepala adalah setiap trauma pada kepala yang
menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak maupun
otak.
z
2) Etiologi
a) Kecelakaan lalu lintas
b) Jatuh
c) Pukulan
d) Kejatuhan benda
e) Kecelakaan kerja/industri
f) Cedera lahir
10
g) Luka tembak
Sumber : Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat (2009:49)
3) Patofisiologi
Terjadinya kekerasan pada kepala dapat menimbulkan cedera
pada jaringan kulit, tulang maupun struktur dalam ronggga
tengkorak. Kerusakan tergantung pada besarnya trasnfer energi
yang mengenai kepala. Bila suatu benda bergerak memukul kepala
atau kepala bergerak mengenai benda, maka pada waktu kontak
antara keduanya akan terbentuk energi yang besarnya bergantung
pada massa, densitas, bentuk, dan kecepatan benda yang memuku.
Sebagian energi akan diserap dan menyebabkan terjadinya
deformitas berupa lekukan ke dalam (inbending) tulang pada lokasi
benturan (impak). Pada keadaan energi yang terserap meewati
suatu ambang tertentu akan terjadi fraktur tengkorak (Cholik &
Saiful, 2009:49).
4) Klasifikasi cedera kepala
Menurut Mansjoer Arif et. All ( 2000 : 3), cedera kepala
dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan
morfologi cedera.
a) Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater
(1) Trauma tumpul
kecepatan tinggi (tabrakan), kecepatan rendah (terjatuh,
dipukul)
(2) Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus
lainnya)
b) Keparahan cedera
(1) Ringan : Glasgow coma scale ( GCS ) 14-15
(2) Sedang : GCS 9-13.
11
(3) Berat : GCS 3-8.
c) Morfologi
(1) Fraktur tengkorak
(a) kranium; linear/ stelatum; depresi/non depresi;
terbuka/tertutup
(b) Basis; dengan/tanpa kebocoran cairan
serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus
VII
(2) Lesi intracranial
(a) Fokal ; epidural, subdural, intra serebral.
(b) Difus; konkusi ringan, konkusi klasik,cedera
eksonal difus.
Menurut Tarwoto Ns, S.Kep et. all. (2007:127), cedera kepala
dapat di klasifikasikan berdasarkan :
1) Berdasarkan kerusakan jaringan otak
a) Komosio serebri (gegar otak) : gangguan fungsi
neurologic ringan tanpa tanpa adanya kerusakan
struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari
10 menit atau tanpa disertai amnesia retrograde, mual,
muntah, nyeri kepala.
b) Kontusio serebri (memar) : gangguan fungsi neurologic
disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak
masih utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.
c) Laserasio serebri : gangguan fungsi neurologic disertai
kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak
terbuka. Massa otak terkelupas keluar dari rongga intra
cranial.
12
2) Berdasarkan berat ringannya cedera kepala
a) Cedera kepala ringan: jika GCS antara 13-15, dapat
terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak
terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom.
b) Cedera kepala sedang: jika nilai GCS antara 9-12,
hilang kesadaran antara 30 menit sampai dengan 24
jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi
ringan.
c) Cedera kepala berat: jika GCS berada antara 3-8, hilang
kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio,
laserasi atau adanya hematom, edema serebral.
b. Tekanan Intrakranial
1) Definisi
Peningkatan tekanan intracranial (intracranial pressure, ICP)
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis.
Biasanya ruang intracranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan
cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu
yang menghasilkan suatu tekanan intracranial normal sebesar 50
sampai 200 mm H2O atau 4 sampai 15 mmHg (Sylvia A Price &
Lorraine M Wilson, 2006:1167).
2) Manifestasi klinis
Menurut Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat (2009:16)
manifestasi klinis yang muncul pada peningkatan tekanan
intrakranial adalah:
a) Pemburukan derajat kesadaran
penurunan derajat kesadaran dikarenakan:
(1) Sebagian besar otak terbentuk dari sel-sel tubuh yang
sangat khusus, tetapi sensitif terhadap perubahan kadar
oksigen.
13
(2) Fluktuasi tekanan intrakranial akibat perubahan fisik
pembuluh darah terminal
b) Disfungsi pupil
akibat peninggian tekanan intrakranial supratentorial atau
edema otak, perubahan ukuran pupil terjadi. Perlambatan reaksi
cahaya dan atau perubahan melonjong, merupakan gejala awal
dari penekanan pada saraf okulomotor.
c) Abnormalitas visual
Ketajaman penglihatan dan penglihatan kabur adalah keluhan
yang sering terjadi, karena diperkirakan akibat penekanan saraf
nervus optikus (N.II) melintasi hemisfer serebri.
d) Pemburukan fungsi motorik
Pada tahap awal, monoparesis atau hemiparesis terjadi akibat
penekanan traktus piramidalis kontralateral pada massa. Pada
tahap selanjutnya hemiplegia, dekortikasi dan deserebrasi dapat
terjadi unilateral atau bilateral. Pada tahap akhir penderita
menjadi flasid bilateral.
e) Nyeri kepala
Nyeri kepala terjadi akibat peregangan struktur
intrakranialyang peka nyeri (duramater, pembuluh darah besar
basis cranii, sinus nervus dan bridging veins). Nyeri terjadi
akibat penekanan langsung akibat pelebaran pembuluh darah
saat kompensasi.
f) Muntah
Muntah disebabkan adanya kelainan di infratentorialatau akibat
penekanan langsung pada pusat muntah
g) Perubahan tekanan darah dan denyut nadi
Penekanan ke batang otak menyebabkan suasanan iskemik di
pusat vasomotorik di batang otak. Seiring dengan
meningkatnya tekanan intrakranial, refleks respon chusing
14
teraktifasi agar tetap menjaga tekanan di dalam pembuluh
darah serebral tetap lebih tinggi dari pada tekanan intrakranial.
Dengan meningginya tekanan darah, curah jantung pun
bertambah dengan meningkatnya kegiatan pompa jantung akan
terjadi penurunan tekanan darah. Dengan semakin
meningkatnya tekanan intrakranial, denyut nadi akan semakin
menurun ke arah 60 kali permenit sebagai usaha kompensasi.
h) Perubahan pola pernafasan
Perubahan pola pernapasan merupakan pencerminan sampai
tingkat mana tekanan intrakranial.
i) Perubahan suhu badan
Biasanya berhubungan dengan disfungsi hipotalamus. Pada
fase kompensasi mungkin masih dalam batas normal. Pada fase
dekompensasi akan terjadi peningkatan suhu badan sangat
cepat dan sangat tinggi.peningkatan suhu badan juga dapat
terjadi akibatinfeksi sekunder.
j) Hilangnya refleks-refleks batang otak
Pada tahap lanjut peningkatan tekanan intrakranial terjadi
penekana ke batang otak yang berakibat hilangnya atau
disfungsi refleks-refleks batang otak
c. Fraktur
1) Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya (smeltzer S.C & Bare B.G,2001).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh
(reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001).
Fraktur tulang tengkorak dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis
15
1. Complete fracture (fraktur lengkap), patah pada seluruh garis
tengah tulang,luas dan melintang. Biasanya disertai dengan
perpindahan posisi tulang.
2. Closed fracture (fraktur simple), tidak menyebabkan robeknya
kulit, integritas kulit masih utuh.
3. Open fracture (fraktur terbuka / komplikata/ kompleks),
merupakan fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak
dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau
membran mukosa sampai ke patahan tulang.
2) Klasifikasi Fraktur Tulang Tengkorak
Klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan :
a) Gambaran fraktur, dibedakan atas :
(1) Fraktur Linear
Fraktur linear, adalah fraktur yang paling tersering
ditemukan, terjadi retakan pada fraktur linear tetapi tidak
terjadi displacement, dan umumnya tidak terlalu
memerlukan perawatan.
Fraktur tengkorak linier pada umumnya dihasilkan
dari energi yang tidak kuat seperti halnya trauma tumpul
pada permukaan yang luas dari tulang tengkorak. Dalam
tidaknya fraktur mempengaruhi bagian dari tengkorak.
Secara umum fraktur ini tidak terlalu memberikan arti
klinis yang berarti, kecuali mengenai jaringan vaskuler,
sinus pembuluh darah. Epidural hematom bisa
memperberat. Fraktur linier yang terjadi pada tulang
16
tengkorak tanpa adanya fraktur depresi tidaklah begitu
berat kecuali terdapat robekan pembuluh darah yang dapat
membuat hematom ekstra dural, sehingga diperlukan
depresi tulang secepatnya. Apabila ujung tulang mengenai
otak dapat merusak otak tersebut, sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran, kejang, koma hingga kematian.
(2) Fraktur Diastase
Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi
pemisahan sutura kranial. Fraktur ini biasa terjadi pada
anak usia di bawah 3 tahun.
(3) Fraktur Comminuted
Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur.
(4) Fraktur Tengkorak Depresi
Fraktur depresi apabila fragmen tulang tertekan,
dengan atau tanpa robekan pada kulit kepala. Fraktur
Depresi bisa saja memerlukan perawatan pembedahan
untuk mengoreksi kelainannya. Fraktur Basilar adalah yang
paling parah dan terjadi retakan pada dasar tulang
tengkorak.
Fraktur depressed diartikan sebagai fraktur dengan
tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak
dibawah level anatomic normal dari tabula interna tulang
tengkorak sekitarnya yang masih utuh ( intac).
Pukulan yang kuat pada tulang tengkorak dapat
mengakibatkan patah tulang depresi. Misalnya benturan
17
oleh martil, kayu, batu, pipa besi, dll. Fraktur ini biasanya
comuniti, dengan fragmen tulang yang mulai dari fragmen
maksimum tumbukan dan tersebar ke daerah perifer.
Sebagian besar fraktur depresi meliputi regio frontoparietal,
karena tulang pada daerah ini relatif tipis dan karena bagian
pada kepala ini cenderung mengalami serangan assailant’s.
Fraktur dengan klinik yang signifikan memerlukan elevasi
dimana fragmen tulang menekan lebih dalam dan
berbatasan dengan inner table. Fraktur depresi dapat
tertutup atau terbuka. Fraktur terbuka mungkin dapat
terpapar jika berhubungan dengan laserasi kulit atau jika
fraktur meluas ke daerah sinus paranasal dan struktur
telinga tengah.
Menurut (Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare,
vol. 3, 1996:2358) fraktur deresi adalah fraktur dengan
fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada
tulang tengkorak dan wajah).
(5) Fraktur Basilar Tulang Tengkorak
Fraktur basilar adalah fraktur linear meliputi dasar
pertengahan pada tulang tengkorak. Fraktur ini biasanya
berhubungan dengan dural. Sebagian besar fraktur basilar
berlangsung pada 2 lokasi spesifik seperti regio temporal
dan regio kondilar oksipital.
b) Lokasi anatomis, dibedakan atas :
(1) Konveksitas (kubah tengkorak)
(2) Basis cranii (dasar tengkorak)
c) Keadaaan luka, dibedakan atas :
(1) Terbuka
18
(2) Tertutup
3) Proses Penyembuhan Luka
Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya kontuitas jarinagan.
Tahap-Tahap Penyembuhan Luka
a) Fase Inflamasi
Berlangsung sampai hari ke-5. Pada luka terdapat
perdarahan, trombosit dan sel-sel radang ikut keluar.
Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan
kimia tertentu dan asam amino tertentu yang
mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding
pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit. Pada
fase ini terjadi vasokontriksi dan proses penghentian
perdarahan. Sel radang keluar dari pembuluh darah secara
diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel
mast mengeluarka serotonin dan histamine yang
meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan
edema. Dengan demikian timbul tanda-tanda peradangan.
Leukosit, limfosit dan monosit menghancurkan dan
memakan kotoran dan kuman.
b) Fase proliferasi
Berlangsung dari hari ke-6 sampai dengan 3 minggu.
Terjadi proses proliferasi dan pembekuan fibroblast yang
berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblast menghasilkan
mukopolisakarida dan serat kolagen yang terdsiri dari
asam-asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin.
Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolagen
yang akan mempertautkan tepi luka. Serat-serat baru di
bentuk, diatur, mengkerut, yang tidak diperlukan
dihancurkan, dengan demikian luka mengkerut atau
mengecil. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang,
19
fibroblast serta serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru
membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata
di sebut jaringan granulasi. Epitel basal di tepi luka lepas
dari dasarnya dan pindah menutupi dasar luka, tempatnya
diisi hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya
berjalan ke permukaan yang rata atau lebih rendah, tak
dapat naik. Pembentukan arignan granulasi berhenti setelah
seluruh permukaan luka tertutup epitel dan mulailah proses
pendewasaan penyembuhan luka, pengaturan kembali
penyerapan yang berlebihan.
c) Fase remodeling
Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila
tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna
pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal (Kapita
selekta, 2000:397).
4) Penyembuhan Tulang
Ketika tulang mengalami cedera, fragmen tulang tidak
hanya ditambal dengan jaringan parut. Namun tulang mengalami
regenerasi sendiri. Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan
tulang yaitu
a) Inflamasi
Bila terdapat cedera terjadi perdarahan dalam jaringan
yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada
tempat cedera. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat
cedera kemudian akan diinvasi oleh makhrofag, yang akan
membersihkan darah tersebut. Terjadi inflamasi, bengkak
20
dan nyeri. Tahap ini berlangsung beberapa hari dan hilang
dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b) Proliferasi Sel
Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami
organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan
darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi
fibroblast dan osteoblas. Fibroblast dan osteoblas
(berkembang dari osteosit set endostel dan sel periosteum)
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan
ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum,
tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan
tersebut dirangsang oleh gerakan mikrominimal pada
tempat cedera. Tetapi, gerakan yang berlebihan akan
merusak struktur kalus.
c) Pembentukan Kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang
rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah
terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan
dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat
imatur. Kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan
dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu
waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang
tegabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara
klinis, fragmen tulang tak bisa digerakakan.
d) Penulangan Kalus (Osifikasi)
21
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan
dalam dua sampai tiga minggu patah tulang mealalui proses
penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun
sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras.
Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif.
e) Remodeling Menjadi Tulang Dewasa
Pada tahap ini terjadi pengambilan jaringan mati dan
reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun
tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan
(Brunner & Suddart, 2002:2268).
3. PROSEDUR DIAGNOSTIK
Menurut Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat (2009:112)
pemeriksaan diagnostik pada pasien cedera kepala adalah:
a. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
d. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
f. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET (Positron Emission Tomography): Mendeteksi perubahan
aktivitas metabolisme otak
22
i. CSF, Lumbal Pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
j. EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
4. PENATALAKSANAAN
Menurut Elizabeth J. Corwin (2001:177) penatalaksanaan pada
pasien dengan cedera kepala adalah:
a. Konkusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi
dan tirah baring
b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi
hematom secara bedah
c. Mungkin diperlukan pembersihan / debridement (pengeluaran
benda asing dan sel-sel yang mati) secara bedah, terutama pada
cedera kepala terbuka contoh:
1) Kraniotomi
Mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan
untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial.
Prosedur ini dilakukan untuk menghilangkan tumor,
mengurangi tekanan tinggi intrakranial, mengevakuasi
bekuan darah, dan mengontrol hemoragi. Flap tulang dubuat
ke dalam tengkorak dan dipasang kembali setelah
pembedahan, ditempatkan dengan jahitan periosteal atau
kawat.
Secara umum, ada dua pendekatan melalui tengkorak
yang digunakan:
a) Di atas tentorium (kraniotomi supratentorial) kedalam
kompartemen supratentorial. Insisi dibuat di atas area
yang akan di operasi, biasanya berada di belakang garis
rambut
23
b) Di bawah tentorium ke dalam kompartemen
infratentorial (fossa posterior). Insisi dibuat pada
tengkuk leher, sekitar lobus oksipital.
2) Craniektomy
Menurut Barbara & Margaret (1983:753), Craniektomy
di definisikian sebagai sayatan pada tulang tengkorak dan
membersihkan tulang dengan memperluas satu atau lebih
lubang. Dengan pertimbangan bahwa Pembedahan
craniektomy dilakukan untuk mengangkat tumor, hematom,
luka, atau mencegah infeksi pada daerah tulang tengkorak.
Craniektomy juga diindikasikan untuk mengobati
craniosynostosis pada infant dan megurangi tekanan pada
otak akibat tekanan tulang atau perdarahan internal akibat
trauma.
3) Cranioplasty
Menurut Barbara & Margaret (1983:753), Cranioplasty
didefinisikan sebagai Perbaikan tengkorak cacat akibat
trauma, kelainan, atau prosedur bedah. cacat Ajal ditutupi
oleh otot daerah tidak perlu diperbaiki. Dengan
Pertimbangan, Tujuan cranioplasty adalah untuk sakit kepala
lega, vertigo, takut injuri, atau kelembutan lokal atau
berdenyut; untuk mencegah cedera otak sekunder untuk
mendasari; dan untuk efek kosmetik.
d. Mungkin dibutuhkan ventilasi mekanis
e. Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotik
f. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intrakranium termasuk
pemberian diuretik dan obat anti-inflamasi
Dan menurut Hudak & Gallo (1996:200) penatalaksanaan pada
Peningkatan Tekanan Intrakranial adalah:
24
a. Dekompresi dengan pembedahan: lesi massa intrakranial harus
segera dikeluarkan, biasanya dengan pembedahan flap tulang.
b. Ventilasi: oksigenasi dan hipokapnea. Kerusakan dan kematian
neuron dapat terjadi dalam waktu 5 menit awitan hipoksemia.
Pemberian oksigen 100%, suction tidak boleh lebih dari 15 detik.
Intubasi endotrakeal dengan trakeostomi untuk menjaga ventilasi.
Ventilator untuk menjaga keadekuatan oksigenasi.
c. Posisi tubuh, kepala ditinggikan 15o sampai 30o , kecuali ada kontra
indikasi, posisi deserebrasi dan dekortikasi dapat meningkatkan
tekanan intrakranial. Rotasi kepala mutlak dihindari karena dapat
meningkatkan tekanan intrakranial paling besar.
d. Hipotermia, dapat menurunkan laju metabolisme
e. Pengontrolan tekanan darah, hati-hati pengelolaan tekanan darah
sebab kerusakan autoregulasi berakibat adanya fluktuasi tekanan
darah tidak mampu dikompensasi oleh otak
f. Drainase cairan serebrospinal (CSS), melalui kateter
intraventrikuler. Hati-hati kewaspadaan infeksi
g. Steroid, telah terbukti efektif untuk menurunkan tekanan
intrakranial: deksametason, betametason, metilprenisolon adalah
obat-obat yang sering digunakan
h. Osmoterapi, agen-agen osmotik seperti: manitol, urea, gliserol, dan
isosorbid dapat digunakan untuk membantu menurunkan TIK
dengan mekanisme menurunkan CSS dan peningkatan TPS,sering
diuretik digunakan namun keseimbangan cairan dan elektrolit
harus menjadi perhatian
i. Antagonis kalsium (Bloker), Agen akalizing, koma barbiturate.
25
5. DAMPAK DARI KERUSAKAN LOBUS FRONTAL
Korteks frontalis merupakan area motorik primer, yaitu area 4
Broadmann, yang bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntar.
Area motorik primer ini terletak di sepanjang girus prasentralis (di depan
sulkus sentralis) dan tersusun secara somatotopik. Suatu lesi di area 4
mengakibatkan hemiplegia kontralateral. Korteks pramotorik, area 6,
bertanggung jawab atas gerakan terlatih seperti menulis, mengemudi
atau mengetik. Lesi area 6 pada sisi dominan dapat mengakibatkan
hilangnya kemampuan untuk menulis, keadaan ini disebut agrafia.
Area 8 Brodmann dinamakan lapangan pandang frontal, dan
bersama area 6, bertanggung jawab atas gerakan-gerakan menyidik
voluntar dan deviasi konjugat dari mata dan kepala. Gerakan mata
voluntar mendapat input dari area 4, 6, 8, 9,dan 46.
Area 44 dan 45 Brodmann dikenal sebagai area bicara motorik
Broca; area ini bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik berbicara.
Apabila lesi terjadi pada hemisfer yang dominan, maka kerusakan pada
area ini akan menyebabkan kesulitan dalam artikulasi (afasia motorik
atau afasia ekspresif). Hemisfer dominan yang mengatur bicara terletak
pada hemisfer kiri pada kebanyakan orang dewasa tanpa memandang
apakah mereka kidal ataupun tidak.
Korteks prafrontalis (area 9 samapai 12), merupakan area-area
yang berkaitan dengan kepribadian seseorang. Fungsi utama korteks
prafrontalis adalah melakukan kegiatan intelektual kompleks, beberapa
fungsi ingatan, rasa tanggung jawab untuk melakukan tindakan dan sifat
yang dapat diterima oleh masyarakat, ide-ide, pikiran yang kreatif,
penilaian, dan pandangan ke masa depan (Sylvia A Price & Lorraine M
Wilson, 2006: 1028).
26
B. PENDEKATAN ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian pescaoperasi
Frekuensi pemantauan pasca operasi didasarkan pada status klinis
pasien. Menkaji fungsi pernafasan adalah esensial karena hipoksia
ringan dapat meningkatkan iskemia serebral. Frekwensi dan pola
pernafasan dipantau, dan nilai gas darah arteri ditinjau ulang. Fluktuasi
tanda vital pasien dipantau dengan cermat dan didokumentasikan
karena ini mengindikasikan peningkatan TIK. Suhu rectal pasien
diukur pada interval untuk mengkaji adanya hipertemia sekunder
akibat kerusakan hipotalamus.
Pemeriksaan neurologic dilakukan dengan sering untuk mendeteksi
peningkatan TIK yang diakibatkan oleh edema serebral atau
perdarahan. Perubahan pada tingkat kesadaran pasien atau respons
rangsang mungkin menjadi tanda pertama peningkatan TIK.
Pengkajian status neurologic berfokus pada tingkat kesadaran
pasien, tanda-tanda mata, respons motorik, dan tanda vital. Pasien
diobservasi untuk tanda-tanda tak nyata dari deficit neurologic, seperti
penurunan respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan dalam
menelan, kelemahan atau paralisis ekstrimitas, perubahan visual
(diplopia, penglihatan kabur), parestesia, atau kejang. Gelisah dapat
terjadi saat pasien lebih responsive atau mungkin karena nyeri,
konfusi, hipoksia, atau rangsang lain.
Balutan bedah pasien diinspeksi untuk adanya perdarahan dan
drainase CSS. Pada pasien yang menjalani bedah transfenoidal,
tampon nasal yang dipasang selama pembedahan diperiksa untuk
adanya darah atau drainase CSS. Perawat harus waspada pada
terjadinya komplikasi, dan semua pengkajian dilakukan dengan
masalah ini tetap diingat.
27
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Dignosa keperawatan pasien setelah bedah intra kranial meliputi:
1) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
2) Potensial terhadap ketidakefektifan termoregulasi b.d
kerusakan hipotalamus, dehidrasi dan infeksi
3) Potensial terhadap kerusakan pertukaran gas b.d hipoventilasi,
aspirasi dan imobilisasi
4) Perubahan sensori persepsi (visual, auditoris, bicara) b.d cedera
periorbital, balutan kepala, selang endotrakheal dan efek TIK
5) Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan atau
ketidakmampuan fisik
b. Perencanaan
1) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
Tujuan:
a) Mempertahankan tingkat kesadaran/ perbaikan kognisi dan
fungsi motorik/sensorik
b) Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-
tanda peningkatan TIK
Intervensi:
Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan
tertentu (penyebab koma/penurunan fungsi jaringan otak dan
potensial peningkatan TIK), pantau/catat status neurologis
secara teratur, pantau tekanan darah, evaluasi keadaan pupil
(ukuran, kesimetrisan, reflek cahaya), kaji perubahan pada
penglihatan, kaji letak/gerakan mata, pertahankan kepala/leher
pada posisi netral pantau suhu tubuh, perhatikan adanya
gelisah, tinggikan kepala pasien 15-45o sesuai indikasi, berikan
oksigen tambahan, berikan obat sesuai indikasi
28
2) Potensial terhadap ketidakefektifan termoregulasi b.d
kerusakan hipotalamus, dehidrasi dan infeksi
Tujuan:
Hipo/hipertermi tidak terjadi dengan kriteria: Suhu tubuh
dalam batas normal
Intervensi:
Pantau suhu tubuh, jika terjadi hipertermi lakukan tindakan
untuk menurunkan suhu tubuh; lepaskan selimut, gunakan
kantong es di aksila dan area lipat paha, gunakan selimut
hipotermia dan berikan obat-obat yang dipertimbangkan untuk
menurunkan demam. Jika hipotermi terjadi, lakukan
pengukuran suhu rektal sesering mungkin, cegah menggigil
dengan menghangatkan tubuh.
3) Potensial terhadap kerusakan pertukaran gas b.d hipoventilasi,
aspirasi dan imobilisasi
Tujuan:
a) Tanda-tanda vital dalam batas normal
b) Tidak ada sianosis
Intervensi:
Obsrevasi terhadap tanda-tanda infeksi pernafasan;
peningkatan suhu, peningkatan frekuensi nadi dan perubahan
respiratori. Auskultasi suara nafas, ubah posisi tiap 2 jam untuk
memobilisasi sekret, lakuklan suctioning untuk mengeluarkan
sekret, observasi kemampuan menguap, nafas panjang, nafas
dalam menggunakan spirometri, kolaborasi untuk fisioterapi
dada (bila tidak ada kontraindikasi)
4) Perubahan sensori persepsi (visual, auditoris, bicara) b.d cedera
periorbital, balutan kepala, selang endotrakheal dan efek TIK
Tujuan:
29
Mampu mendemonstrasikan respon yang meningkat/sesuai
dengan stimulasi.
Intervensi:
Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal
tersebut mempengaruhi individu yang termasuk didalamnya
adalah penurunan penglihatan/pendengaran, anjurkan untuk
memakai kaca mata atau alat bantu pendengaran sesuai
keperluan, berikan lingkungan yang tenang dan tidak kacau,
gunakan permainan sensori untuk menstimulasi realita seperti:
mencium permen (Vick’s), pertahankan hubungan orientasi
realita dan lingkungan
5) Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan atau
ketidakmampuan fisik
Intervensi:
Dorong untuk mengungkapkan perasaan dan frustasi tentang
adanya perubahan penampilan, beritahukan informasi faktual
bila pasien salah konsep tentang wajah yang membengkak,
memar periorbital dan kehilangan rambut, dorong untuk
penggunaan pakaina pribadi dan penutupan kepala dengan
kerudung.
30
Bagan Patofisiologi Head Injury
Bagan II.1
Bagan Patofisiologi Head Injury
Adanya benturan Lesi di daerah benturan kerusakan pada stimulasi otak resiko dekubitus
Energi /kekuatan diteruskan ke otak cedera kepala Edema otak penekanan pada kulit
Terjadi daya aselerasi & Deselerasi kerusakan dinding pemb.darah peningkatan TIK imobilisasi Di otak
Terjadi kerusakan pada jaringan otak mendesak ruang otak penurunan kesadaran Dan gangguan sepanjang jalan Terjadi robekan / ruptur arteri yang terjadi Yang melewatinya di ruang epidural terjadi gangguan untuk menekan medulla oblongata
mempertahankan mekanisme Indikasi pembedahan darah berkumpul di dalam lapisan meningeal pertahanan adanya tek.herniasi unkus kraniotomi di ruang epidural pada sirkulasi arteri
penurunan kemampuan otot-otot Terputusnya kontinuitas jaringan Epidural Hematoma (EDH) trakcheobronkhial menekan batang otak Luka post op penumpukan sekret pemasukan makanan Terbuka pintu masuk mikroorganisme pemasangan alat invasif suplai O2 ke jaringan Resiko masuknya mikroorganisme Patogen Hipoksia Suara nafas ronchi peristaltik usus
konstipasi
pergerakan sendi
kontraktur
31
32