BAB II

14
InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api BAB II PEMBAHASAN 2.1 Radar Istilah radar berasal dari “radio detection and ranging”. Radar menggunakan microwave dari spektrum elektromagnetik, dengan rentang frekuensi 1 hingga 1,000 GHz dan panjang gelombang 30 cm hingga 0.3 mm (Tabel 1). Radar dengan panjang gelombang yang pendek lebih sensitif terhadap perubahan yang kecil (resolusi tinggi) tetapi tidak bisa menembus awan maupun vegetasi seperti halnya sinyal dengan panjang gelombang tinggi (resolusi lebih rendah). Semua sistem radar menggunakan radio transmitter yang mengirimkan sinyal microwave. Radar diklasifikasikan menjadi tracking radar dan imaging radar (Dzurisin,2007). 1. Tracking radar. Jarak ke obyek ditentukan berdasarkan waktu tempuh radar berkecepatan cahaya dari transmitter ke obyek dan kembali ke receiver. Obyek yang bergerak terhadap transmitter, kecepatannya ditentukan dari frekuensi sinyal balik yang berbeda dari sinyal yang dipancarkan karena adanya efek Doppler. Jika receiver diatur untuk menolak sinyal balik yang sama frekuensinya dengan yang dipancarkan dan memperbesar hanya sinyal yang berbeda Larasati Sri Cendani 23-2012-082 3

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Radar

Istilah radar berasal dari “radio detection and ranging”. Radar

menggunakan microwave dari spektrum elektromagnetik, dengan rentang

frekuensi 1 hingga 1,000 GHz dan panjang gelombang 30 cm hingga 0.3 mm

(Tabel 1). Radar dengan panjang gelombang yang pendek lebih sensitif

terhadap perubahan yang kecil (resolusi tinggi) tetapi tidak bisa menembus

awan maupun vegetasi seperti halnya sinyal dengan panjang gelombang tinggi

(resolusi lebih rendah). Semua sistem radar menggunakan radio transmitter

yang mengirimkan sinyal microwave. Radar diklasifikasikan menjadi tracking

radar dan imaging radar (Dzurisin,2007).

1. Tracking radar.

Jarak ke obyek ditentukan berdasarkan waktu tempuh radar

berkecepatan cahaya dari transmitter ke obyek dan kembali ke

receiver. Obyek yang bergerak terhadap transmitter, kecepatannya

ditentukan dari frekuensi sinyal balik yang berbeda dari sinyal yang

dipancarkan karena adanya efek Doppler. Jika receiver diatur untuk

menolak sinyal balik yang sama frekuensinya dengan yang

dipancarkan dan memperbesar hanya sinyal yang berbeda frekuensi,

maka obyek yang bergerak dapat terdeteksi. Radar pengontrol

lalulintas udara dan detektor kecepatan yang digunakan oleh polisi

menggunakan teknologi ini.

2. Imaging radar.

Pada radar untuk keperluan imaging, saat sinyal microwave

mencapai target, sebagian dari energi dipantulkan kembali ke

sumbernya yang kemudian diterima, diperbesar, dan diproses. Jarak

antara obyek dan transmitter dan sifat dari obyek ditentukan oleh

waktu tempuh dan karakter dari sinyal yang diterima. Tidak semua

target memantulkan microwave secara sama. Daya pantul benda

tergantung pada ukuran, bentuk, kekasaran permukaan, arah, dan

Larasati Sri Cendani 23-2012-082 3

Page 2: BAB II

InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api

sifat dielectric (sangat dipengaruhi oleh kandungan uap air). Obyek

berbahan metal adalah reflektor terbaik, sementara kain dan plastik

menghasilkan pantulan lemah. Air laut yang bergerak dan danau es

adalah reflector yang baik, sementara jalan dan jalan tol sebaliknya.

Permukaan yang kasar biasanya lebih terang pada image radar

dibandingkan dengan permukaan yang halus, karena bagian dari

elemen yang kasar berarah tegak lurus terhadap datangnya sinyal dan

memantulkan energi kembali ke sumbernya. Dengan permukaan

yang halus, hampir semua energi terbelokkan menjauh dari sumber

yang menyebabkan obyek tampak gelap di image radar. Contohnya

adalah pada saat tenang, tubuh air akan berwarna gelap dan pada

cuaca berangin akan tampak terang.

Dua karakteristik radar yang menjadikannya penting dalam pemantauan

gunungapi adalah :

1.) radar adalah sensor aktif yang menyediakan sinyal sendiri sehingga efektif

pada siang maupun malam hari, pada cuaca baik maupun buruk (tidak

tergantung cuaca) dan (2) dengan panjang gelombangnya yang lebih

panjang sehingga mampu untuk menembus awan dan vegetasi. Untuk

imaging radar rentang frekuensi dari 1 hingga 12 GHz, terbagi atas X-band

(λ ~ 3 cm), C-band (λ ~ 5 cm), dan L-band (λ ~ 20 cm). Hal ini

memberikan keuntungan dalam pemantauan gunungapi terutama pada saat

terjadi erupsi atau pada peningkatan aktivitas vulkanik.

2.2 SYNTHETIC-APERTURE RADAR (SAR)

Berbeda dengan foto udara yang diambil secara vertikal terhadap obyek,

pengambilan data radar dilakukan dari arah samping dengan tujuan untuk

memudahkan dalam membedakan target-target yang berlokasi pada jarak yang

Larasati Sri Cendani 23-2012-082 4

Page 3: BAB II

InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api

berbeda dari radar. Informasi yang diperoleh adalah berupa ketinggian

permukaan (misalnya topografi) dan faktor lain yang mempengaruhi

reflektivitas radar, termasuk kekasaran permukaan benda dan kandungan uap

air. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan

karakteristik SAR, diantaranya adalah:

1.) Keterlambatan (delay) perambatan sinyal di ionosfer dan troposfer

juga berpengaruh terhadap waktu tempuh sinyal. Ketidakseragaman

kerapatan elektron di ionosfer atau konsentrasi kandungan air di

troposfer menghasilkan variasi delay dalam dimensi ruang yang

kemudian menghasilkan fringe pada interferogram.

2.) Foreshortening, layover, dan shadowing. Kondisi yang dikenal

sebagai foreshortening dan layover sangat umum dijumpai pada

radar image. Efek dari sinyal radar yang bervariasi sudut dan arahnya

saat dipancarkan, dapat secara signifikan merubah tampilan dan

informasi pada radar image. Arah pancaran sinyal balik sangat

berkaitan dengan sinyal yang dipancarkan dan posisi obyek terhadap

satelit sangat menentukan dimensi atau kenampakan citra yang

dihasilkan. Secara umum, lebar dari suatu permukaan baik horizontal

maupun miring akan meningkat seiring meningkatnya jarak

perjalanan sinyal.

Pada radar citra dimana topografinya berbukit-bukit dengan lereng

bergelombang, muncul karakteristik geometrik yang tidak biasa.

Istilah layover dan foreshortening diaplikasikan pada fenomena

tersebut. Keduanya menggambarkan kompresi atau kontraksi

(thinning) pada lereng yang menghadap dan memanjang pada sisi

yang terkena bayangan. Pada banyak kejadian, layover dan

foreshortening menghasilkan kenampakan akhir yang sama.

Perubahan kenampakan tersebut lebih terlihat di jarak yang dekat ke

satelit dibandingkan yang jauh. Sementara shadowing terjadi jika

sinyal radar tidak dapat menjangkau suatu area karena tertutupi oleh

banyangan obyek yang tinggi di antara area tersebut dengan satelit

Larasati Sri Cendani 23-2012-082 5

Page 4: BAB II

InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api

sehingga tidak ada sinyal yang dipantulkan kembali dan pada citra

akan terlihat gelap.

Gambar 1. Ilustrasi terjadinya foreshortening, layover, dan shadowing.

Pada tampakan topografi A, sinyal radar mencapai puncak dari lereng

yang menghadap arah datang sinyal sebelum mencapai lereng bagian

bawah. Sinyal balik bagian atas akan diterima lebih dulu oleh antenna

penerima daripada bagian bawah dan menghasilkan efek layover. Hal ini

terjadi pada area yang berjarak lebih dekat dan menurun seiring dengan

meningkatnya jarak obyek ke satelit; layover mulai menghilang di

tampakan topografi B. Foreshortening dimulai saat muka gelombang

mencapai bagian dasar sebelum bagian atas. Pada tampakan topografi D,

foreshortening terjadi pada lereng yang terjal dan pada area dibelakang

bukit akan terjadi shadowing. Panjang dan tingkat gelapnya bayangan

Larasati Sri Cendani 23-2012-082 6

Page 5: BAB II

InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api

meningkat dari tampakan A ke D.

(http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect8/Sect8_4.html).

2.3 INTERFEROMETRIC SAR

Pertama yang harus disiapkan untuk menghasilkan data digital elevation

model (DEM) dan deformasi pada skala sentimeter adalah radar image yang

berpasangan dan overlap. Radar yang overlap bisa diperoleh dengan 2 cara,

yaitu:

a.) Satelit dilengkapi dengan antenna yang terpisah, satu antenna berfungsi

sebagai transmitter dan receiver sementara antenna lain berfungsi sebagai

receiver kedua. Image yang dihasilkan oleh kedua antenna mirip tetapi

dengan sudut pandang yang berbeda. NASA menggunakan satelit jenis ini

untuk Shuttle Radar Topography Mission (SRTM).

b.) Membuat citra yang overlap dengan cara mengambil data citra setidaknya

dua kali dengan titik/sudut yang berdekatan pada waktu yang berbeda.

Prinsip ini sama dengan pengambilan data deformasi menggunakan

metode lapangan secara episodik. Kedua, co-registration dan membuat

interferogram untuk mendapatkan beda phase antara dua radar image.

Hasil yang baik ditentukan oleh nilai koherensi kedua image. Nilai

koherensi dipengaruhi terutama oleh baseline/jarak satelit pada waktu

pengambilan data yang berbeda. Pada baseline yang panjang, perbedaan

yang disebabkan oleh topografi dan sudut datang sinyal akan menyulitkan

tercapainya koherensi yang baik. Interferogram dihasilkan dari geometri

sudut pandang kedua image (orbital fringe), topografi (topographic

fringe), delay karena perbedaan kondisi atmosfer, gangguan, dan

perubahan range yang disebabkan oleh deformasi permukaan bumi

(deformation fringe) selama rentang dua waktu pengambilan data. Untuk

menghasilkan informasi deformasi permukaan, efek dari geometri dan

topografi harus dihilangkan. Pada pengambilan data radar, sinyal yang

kembali dan ditangkap oleh receiver sangat bervariasi dan random

termasuk perubahan fase yang disebabkan oleh sinyal radar yang

Larasati Sri Cendani 23-2012-082 7

Page 6: BAB II

InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api

berinteraksi dengan permukaan suatu benda. Pembuatan interferogram

dimaksudkan untuk menghilangkan variasi dan data yang acak tersebut

dengan cara meregistrasi dua citra yang diambil pada waktu yang berbeda

namun dari titik dan sudut yang hampir sama, menghilangkan efek

geometri dan topografi, dan pada akhirnya hanya menghasilkan

perubahan/deformasi di permukaan.

2.4 InSAR UNTUK PEMANTAUAN GUNUNGAPI

Banyak contoh keberhasilan penggunaan InSAR untuk mengukur

adanya deformasi di gunungapi. Meskipun metode ini tidak selalu berhasil di

semua gunungapi terutama di daerah tropis dan subtropis dimana koherensi

yang baik antar image sulit untuk didapatkan karena pengaruh vegetasi dan

perbedaan cuaca serta iklim yang berimbas pada perbedaan kandungan uap air

di atmosfer serta kenampakan bentang alamnya yang berubah dari waktu ke

waktu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut ditempuh beberapa cara, yaitu

diantaranya:

a) Menggunakan data satelit dengan panjang gelombang yang lebih

tinggi, dalam hal menghilangkan pengaruh vegetasi akan lebih baik

digunakan L-band radar dibandingkan dengan C-band atau X-band.

b) Hanya menggunakan pasangan image yang diambil pada musim

yang sama untuk menghindari kesalahan yang disebabkan oleh

perubahan permukaan bumi karena cuaca misalnya karena tertutup

salju, dan reduksi efek atmosfer yang berbeda. Karena meskipun

temporal decorrelation tidak menjadi masalah, anomali yang

disebabkan oleh delay karena efek atmosfer dapat menyulitkan

interpretasi. Delay karena efek atmosfer terjadi di ionosfer atau

troposfer dan disebabkan oleh ketidak homogenan kandungan air,

suhu, tekanan, atau kerapatan elektron. Akan lebih baik lagi jika

pengambilan data dilakukan pada malam hari pada saat kondisi

atmosfer stabil.

Larasati Sri Cendani 23-2012-082 8

Page 7: BAB II

InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api

Data InSAR bisa diinterpretasikan sebagai deformasi di tubuh

gunungapi. Ilustrasi pada Gambar 2a memperlihatkan bagaimana

interferogram menginformasikan adanya inflasi. Suatu tubuh gunungapi yang

menggembung menghasilkan pola fringe konsentrik pada interferogram yang

efek geometri dan topografinya sudah dihilangkan (Massonnet, 1997 dalam

Dzurisin, 2007). Pada gambar tersebut, jika tinggi gunungapi berubah dari

garis tegas ke garis putus-putus pada radar yang diambil pada waktu t1 dan t2,

range R(t) dari SAR ke permukaan akan menurun setengah panjang

gelombangnya (δR=λ/2) di beberapa area, δR= λ di area lain, dan δR = 3λ/2 di

area berikutnya, dan seterusnya. Untuk setiap setengah panjang gelombang

perubahan, akan terbentuk fringe yang diperlihatkan dengan perubahan warna

dari merah ke biru pada interferogram.Deformasi berupa inflasi dengan

sumber titik (point-source) akan diperlihatkan oleh pola fringe yang

konsentrik di sekitar gunungapi dengan interval kontur λ/2. Penurunan

(subsidence) akan ditunjukkan dengan perubahan warna ke arah sebaliknya

(Gambar 2b). Pola fringe yang berhubungan dengan sumber tidak simetrik

seperti misalnya pada model pipa terbuka maupun tertutup tidak berbentuk

melingkar karena radar melihatnya dari samping dan peka terhadap perubahan

vertikal maupun horizontal.

(a)

Larasati Sri Cendani 23-2012-082 9

Page 8: BAB II

InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api

(b)

Gambar 2. (a) Ilustrasi deformasi di tubuh gunungapi dan perubahan

range dan (b) interferogram yang menginformasikan adanya inflasi dan

deflasi di gunungapi (Dzurisin, 2007).

Berikut ini adalah contoh penggunaan metode InSAR memakai data

ALOS untuk pemantauan/pengukuran deformasi di gunungapi Indonesia:

1.) Gunung Sinabung, Sumatera Utara Gunung Sinabung

memperlihatkan adanya inflasi sebesar 4 cm selama periode

Februari 2007 – 2009 dengan kecepatan deformasi 2.2 cm/tahun

(Chaussard, 2010). Pada bulan September 2010 Gunung Sinabung

meletus setelah lebih dari 300 tahun istirahat. Deformasi teramati di

puncak Gunung Sinabung merupakan gejala awal letusan tersebut.

Data lain (komunikasi pribadi) menunjukkan bahwa terjadi inflasi

sebesar 2 cm pada rentang waktu Februari – Juli 2010 (Gambar 3).

Larasati Sri Cendani 23-2012-082 10

Page 9: BAB II

InSAR Untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api

Gambar 3. Hasil InSAR G. Sinabung Februari – Juli 2010

(Agustan, dkk, 2010).

2.) Gunung Slamet, Jawa Tengah Setelah tidak ada letusan selama 7

tahun, Gunung Slamet kembali meletus pada April 2009. Data

satelit menunjukkan adanya inflasi sebesar 12 cm selama periode

Mei 2007 hingga Mei 2009 dengan kecepatan inflasi sebesar 7.7

cm/tahun (Chaussard, 2010).

3.) Gunung Merapi Dari data InSAR terdeteksi inflasi yang cukup

besar di Gunung Merapi hingga September 2010 di lereng barat

kawah. Inflasi terukur sebesar 5 cm, bersesuaian dengan hasil

pengukuran lapangan sebesar 11 mm/hari pada 16 September 2010.

Inflasi juga masih terdeteksi hingga 1 November 2010 selama

letusan berlangsung (Agustan, 2011).

Larasati Sri Cendani 23-2012-082 11