BAB I TB ANAK
-
Upload
adelinpartii -
Category
Documents
-
view
19 -
download
0
description
Transcript of BAB I TB ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda
dengan TB pada orang dewasa. Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat
pesat. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB
setiap tahun. Di Indonesia proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB yang
ternotifikasi dalam program TB berada dalam batas normal yaitu 8-11 %, tetapi
apabila dilihat pada tingkat provinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan
menunjukkan variasi proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8 – 15,9%.1
Untuk menangani permasalahan TB anak diperlukan suatu manajemen
dalam diagnosis, pengobatan dan pencegahan penyakit TB secara global. TB pada
anak saat ini merupakan salah satu komponen penting dalam pengendalian TB,
dengan pendekatan pada kelompok risiko tinggi, salah satunya adalah mengingat TB
merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak dan bayi di negara
endemis TB.1
Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan dengan dosis yang tepat maka
akan meningkatkan kualitas hidup anak dan tumbuh kembang anak yang optimal
sesuai dengan potensi genetiknya.2
BAB II
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis(M. Tuberculosis) yang mana penyebaran penyakit ini
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru sebagai lokasi infeksi primer.3 Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah
penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.1
2.2 Epidemiologi
Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat. Diperkirakan
sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.
Terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Diperkirakan 95%
kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara
berkembang.2 Di Indonesia proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB yang
teridentifikasi dalam program TB berada dalam batas normal yaitu 8-11 %, tetapi
apabila dilihat pada tingkat provinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan
menunjukkan variasi proporsi yang cukup besar yaitu 1,8 – 15,9%.1
Berdasarkan data Program TB Kementerian Kesehatan TB Anak di antara
semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun
2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak
masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus BTA positif pada TB anak tahun
2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi
6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.1
2.3 Faktor Risiko
Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang
yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB
(infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh karena
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 2
itu faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB.
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).3
A. Faktor Risiko Infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif ), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat
penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak
terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting
adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif.
Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi
terinfeksi TB. 3
Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan
bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius. 3
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih
tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat,
serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang
tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di
dalam sekret endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat menjelaskanhal
tersebut. Pertama, jumlah kuman pada TB anak pada umumnya sedikit
(paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit
tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang
kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim
yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak
ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah
parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak. 3
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 3
Kontak dengan pasien TB merupakan faktor risiko utama, dan makin erat
kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di rumah (household contact)
dengan anggota keluarga yang sakit TB sangat berperan untuk terjadinya infeksi TB
di keluarga, terutama keluarga terdekat. Faktor lain adalah jumlah orang serumah
(kepadatan hunian), lamanya tinggal serumah dengan pasien, pernah sakit TB, dan
satu kamar dengan penderita TB di malam hari, terutama bila satu tempat tidur.3
Gambar 1. Faktor risiko tuberkulosis3
B. Faktor Risiko Sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi
sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun mempunyai
risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas
selularnya belum berkembang sempurna (imatur).3
Risiko sakit TB akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan
usia. Pada bayi yang terinfeksi TB, 43% diantaranya akan menjadi sakit TB, pada usia
1-5 tahun menjadi sakit 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%. Anak berusia <5
tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan
meningitis TB), dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko tertinggi
terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB selama satu tahun pertama
setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 4
terjadi infeksi dan timbul sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul gejala
akut. 3
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir. Faktor
risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi
HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes
melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi
TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan
hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan
masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko,
sedangkan di Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang
mempunyai risiko terjadinya penyakit TB adalah virulensi dari M. tuberkulosis dan
dosis infeksi, namun secara klinis hal tersebut sulit untuk dibuktikan.3
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah status
imunokompromais diantaranya infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency
Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan malnutrisi (gizi buruk). HIV
merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi
HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis,
maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.4
2.4 Klasifikasi dan Definisi Kasus TB Anak4
Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:
Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB
Anak
Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis: adalah pasien TB
anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi oleh
Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 5
Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang
tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan
kelainan radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan
BTA tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal
berikut:
1. Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak
selalu menderita TB Ekstra Paru.
Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan
sebagai TB paru
2. Riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil
pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru
atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1
bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di
atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan
sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien
yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 6
3. Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten
obat, TB HIV.
4. Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah
endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV,
TB pada anak diklasifikasikan sebagai:
a) HIV positif
b) HIV negatif
c) HIV tidak diketahui
d) HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV
diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila
hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada anak usia < 18 bulan,
maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan.
5. Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis
terhadap OAT terdiri dari:
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama.
b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari
satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama
lainnya.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 7
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi
menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional
atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap
resistansi terhadap rifampisin dalam bentuk Monoresistance, Polydrug
Resistance, MDR dan XDR.2
2.5 Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan
akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.3,4
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).3
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 8
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.5
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan
tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).3
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.4
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang
berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). 5
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 9
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve
mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi. 4
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. 3
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian
hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. 2
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 10
kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di
bawah dua tahun. 3
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler
pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini
tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. 3
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 11
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread).
Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang
baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi dikemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional
(3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 12
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau
reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB tipe
dewasa (adult type TB).2
2.6 Diagnosis
A. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada:
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering
bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien
TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada
pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci
dalam pembahasan pada bab profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum
atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak
khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain
TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 13
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure
to thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah
sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak
nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala
akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan
di daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin
bridge).
5. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 14
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai
bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas
dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular
yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman
Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang
terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau
biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada
anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi.
Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO
untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes
telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan
mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen.
Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung
selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang
dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan
gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.5
Perkembangan Terkini Diagnosis TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan
metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan
NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 15
masih terbatas digunakan di semua negara karena membutuhkan biaya mahal dan
persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah
mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF.
Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF
dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak, dan dapat digunakan
untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi tertentu yaitu tersedianya
teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu
menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi
sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis,
selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak
sakit TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1. Dahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan
dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang
tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3
hari berturut-turut pada pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila
menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan,
tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan
metode ini.
Secara lebih lengkap metode ini dijelaskan pada lampiran.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan
sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 16
akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas
dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk menegakkan
diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam sputum. Namun
upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan
sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya
pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat
dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien
TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya
sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh
kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan
adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan.
Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke
dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin
positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan
tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh
anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan
ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak
lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita
TB serta menunjukkan gejala spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala
akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala
klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB
pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji
tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD
RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji
tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 17
Cara melakukan uji tuberkulin
1. Cara mengambil Tuberkulin PPD dari vial:
A. Tusukkan jarum secara vertikal ke dalam vial
B. Ambil tuberkulin PPD sebanyak 0,1 ml dengan cara membalik vial kemudian cabut
jarum dari vial.
C. Ganti jarum dengan yang baru (ukuran No 26/ 27 G). Jarum yang sudah digunakan
untuk mengambil PPD dari vial tidak boleh digunakan untuk menyuntikkan PPD
tersebut.
2. Pemilihan lokasi penyuntikan , a dan antisepsis
A. Lokasi pada volar lengan bawah 5-10 cm di bawah lipatan siku atau daerah 1/3
tengah dari lengan bawah
B. Pilih area yang bersih dari luka, lesi kulit atau jaringan parut
C. Lakukan asepsis dan antisepsis dengan kapas alcohol
3. Penyuntikan secara intra kutan / intra dermal
A. Masukkan jarum secara perlahan, lubang ujung jarum menghadap ke atas,
membentuk sudut 5–15° dengan permukaan lengan.
B. Lubang ujung jarum harus masuk tepat di dalam permukaan kulit (sampai sebatas
lubang ujung jarum).
4. Pengecekan suntikan
A. Setelah dilakukan injeksi yang benar, akan terlihat intradermal wheal (penonjolan di
tempat penyuntikkan berwarna pucat dengan gambaran pori-pori seperti kulit jeruk)
dengan diameter 5–6mm.
B. Setelah jarum suntik dicabut, daerah penyuntikkan jangan diusap atau ditekan dengan
kapas atau alat lain.
C. Jika tidak berhasil (tidak terlihat intradermal wheal), lakukan ulangan pada lokasi
paling sedikit berjarak 5 cm dari tempat suntikan sebelumnya.
D. Jangan dilingkari dengan pulpen/spidol, karena dapat menghalangi pembacaan hasil.
Data-data dicatat di dalam catatan medis.
5. Pencatatan data
A. Catat data yang diperlukan pada catatan medis, yaitu berupa tanggal dan jam
dilakukannya penyuntikan, lokasi penyuntikan dan nomer lot PPD.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 18
Pembacaan Uji Tuberkulin
Hasil uji tuberkulin harus dibaca 72 jam setelah penyuntikan. Indurasi yang baik dan dapat
dinilai adalah indurasi yang bulat, permukaan rata dan berwarna merah. Jika permukaan
indurasi tidak rata atau terdapat tonjolan di tengahnya, maka indurasi tidak dapat dibaca
karena merupakan tanda adanya infeksi di lokasi penyuntikkan dan dinilai ulang 2 hari lagi.
Bila indurasi berwarna biru atau kehitaman berarti menunjukkan ada hematom sehingga tidak
dapat dinilai dan harus dilakukan uji tuberkulin ulang setelah 2 minggu. Pengukuran indurasi
dilakukan secara transversal dari indurasi.
1. Inspeksi lokasi penyuntikan
2. Palpasi Indurasi
3. Tandai Indurasi
4. Ukur Diameter
5. Catat Diameter
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto
toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai
pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum,
gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya
selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 19
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma4,5
C. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh
para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai
salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di
fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan
agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang
sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai
berikut:
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai
nilai tertinggi yaitu 3.
Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis
TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT
(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara
cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik,
maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 20
maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Sistem Skoring Diagnosis TB Anak
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 21
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 22
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak napas
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis
hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01
atau dari hasil laboratorium.
Penentuan status gizi:
o Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment
opname).
o Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk
anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak
usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000 (lihat lampiran).
o Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1
bulan.
Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis,
konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas
pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang
terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 23
menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman
Nasional.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan
hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi
atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut. Foto toraks bukan
merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan,
maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain,
pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis,
diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan
terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan
sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah
terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji
tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem
skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari
total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain
misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR
maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak
memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis
adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat
diagnosis.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 24
D. Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus
Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal
dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun menimbulkan
kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang berat seperti TB
meningitis, TB milier, dll.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 25
Tingkat layanan primer dengan fasilitas terbatas, mungkin tidak mampu
melakukan diagnosis dan tatalaksana pasien TB dengan gejala klinis yang berat.
Dokter dan petugas layanan primer harus mampu mengenali gejala awal TB dengan
gejala klinis yang berat dan mengetahui waktu yang tepat untuk merujuk.
Sehubungan dengan itu, akan diuraikan secara ringkas, hal- hal yang penting untuk
pengenalan dan tatalaksana awal kasus TB dengan gejala klinis yang berat pada anak.
Pelayanan kesehatan sekunder wajib mencatat kasus TB dengan gejala klinis yang
berat ini sesuai dengan Program Nasional Pengendalian TB6
1. TB dengan konfirmasi bakteriologis
Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena sulitnya
mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat paucibacillary (kuman
sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan dahak tidak
menyingkirkan diagnosis TB anak. TB dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari
hasil positif baik dengan pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.
TB anak yang sudah mengalami perjalanan penyakit post primer, dapat
ditemukan hasil BTA positif pada pemeriksaan dahak, sama dengan pada dewasa. Hal
ini biasa terjadi pada anak usia remaja awal. Anak dengan BTA positif ini memiliki
potensi untuk menularkan kuman M tuberculosis kepada orang lain di sekitarnya.
Oleh karena itu pada anak terutama dengan gejala utama batuk dan dapat
mengeluarkan dahak sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan dahak
mikroskopis. Selain itu apabila memungkinkan, spesimen untuk pemeriksaan
laboratorium dapat diperoleh melalui aspirasi dahak, bilasan lambung atau induksi
sputum,
Berdasarkan data Program TB Kementerian Kesehatan pada tahun 2011,
prosentase kasus TB BTA positif pada anak 0-14 tahun adalah 6,3 % dari seluruh
kasus TB anak, angka ini meningkat dari tahun 2010 yaitu sebesar 5,3%.
2. Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada Sistem
Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB dengan gejala
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 26
klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau meninggalkan gejala sisa pada
anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala,
diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika terdapat bukti
bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif. Apabila
ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis dengan sistem skoring tidak
direkomendasikan.
Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan dilengkapi dengan uji tuberkulin, laboratorium darah serta pengambilan
cairan serebrospinal untuk dianalisis. Apabila didapatkan tanda peningkatan
tekanan intrakranial seperti muntah-muntah dan edema papil, perlu dilakukan
pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI, untuk mencari kemungkinan komplikasi
seperti hidrosefalus. Apabila keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati
masa kritis, maka pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
3. TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis
berat dan merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang
tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi oleh karena adanya
penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa ke seluruh organ, tetapi
gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat mata pada foto torak. Terjadinya
TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu
a. kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
b. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi HIV,
malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan,
dan penggunaan kortikosteroid jangka lama
c. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang padat,
polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosioekonomi).
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 27
Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai
sesak nafas, ronki dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga terjadi hipoksia,
pneumotoraks, dan atau pneumomediastinum, sampai gangguan fungsi organ,
serta syok.
Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2-3 minggu
setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu
berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata di seluruh lapangan paru,
dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3 mm).
Jika dokter dan petugas di fasilitas pelayannan kesehatan primer
menemukan kasus dengan klinis diduga TB milier, maka wajib dirujuk ke RS
rujukan. Diagnosis ditegakkan melalui riwayat kontak dengan pasien TB BTA
positif, gejala klinis dan radiologis yang khas. Selain itu perlu dilakukan
pemeriksaan pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang atau penurunan
kesadaran.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan
lambat. Respon keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam
setelah 2-3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas
hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada foto toraks
berangsur-angsur menghilang dalam 5-10 minggu, tetapi mungkin juga belum ada
perbaikan sampai beberapa bulan. Pasien yang sudah dipulangkan dari RS dapat
melanjutkan pengobatan di fasyankes primer.
4. Tuberkulosis Tulang/ Sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi berkisar 1-
7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah: tulang belakang
(spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi lutut (gonitis).
Gejala dan tanda spesifik spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri
pada pergerakan dan sering ditemukan setelah trauma. Bisa ditemukan gibbus
yaitu benjolan pada tulang belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak
menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan sama dengan sekitarnya,
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 28
tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. Kelainan neurologis terjadi
pada keadaan spondilitis yang lanjut, membutuhkan operasi bedah sebagai
tatalaksananya
Kelainan pada sendi panggul dapat dicurigai jika pasien berjalan pincang dan
kesulitan berdiri. Pada pemeriksaan terdapat pembengkakan di daerah lutut, anak
sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan
betis.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto radiologi, CT scan
dan MRI. Prognosis TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat
kerusakan sendi atau tulangnya. Pada kelainan minimal umumnya dapat kembali
normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat menimbulkan sekuele
(cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.
5. Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula,
merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, dan
terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus timbul 6—9 bulan setelah
infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun
kemudian. Lokasi pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal
anterior, submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau
daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal
penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete, dan
tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan di bawah atau
di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral, tetapi infeksi bilateral
dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan leher-bawah saling
bersilangan. Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran foto
toraks terlihat normal.
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan
bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi, yang dapat dilakukan di fasilitas
rujukan.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 29
6. Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura.
Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di
Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu (1)
cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak dijumpai ; (2) empiema TB, yang
merupakan efusi pleura TB primer yang gagal mengalami resolusi dan berlanjut
ke proses supuratif kronik.
Gejala dan tanda awal meliputi demam akut yang disertai batuk juga
sering datang dalam keadaan sesak nafas yang hebat. Pemeriksaan foto toraks
dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang
sama dengan kelainan parenkim parunya. Untuk diagnosis definitif dan terapi,
pasien ini harus segera dirujuk.
Penunjang diagnostik yang dilakukan di fasilitas rujukan adalah analisis
cairan pleura, jaringan pleura dan biakan TB dari cairan pleura. Drainase cairan
pleura dapat dilakukan jika cairan sangat banyak. Penebalan pleura sebagai sisa
penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.
7. Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas dan
paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran
perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB. Manifestasi klinis
skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak. Skrofuloderma biasanya
ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang mempunyai kelompok kelenjar
limfe, misalnya di daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan daerah
lateral leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus
tubuh, yang disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan
dalam yang keras (firm), berwarna merah kebiruan, dan tidak menimbulkan
keluhan (asimtomatik). Infiltrat kemudian meluas/ membesar dan menjadi padat
kenyal (matted and doughy). Selanjutnya mengalami pencairan, fluktuatif, lalu
pecah (terbuka ke permukaan kulit), membentuk ulkus berbentuk linear atau
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 30
serpiginosa, dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi bergaung
(inverted), berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang
sedikit lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut/sikatriks berupa
pita/benang fibrosa padat, yang membentuk jembatan di antara ulkus-ulkus atau
daerah kulit yang normal. Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi,
yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa
yang fluktuatif.
Diagnosis definitif adalah biopsi aspirasi jarum halus/ BAJAH/ fine needle
aspiration biopsy=FNAB,) ataupun secara biopsi terbuka (open biopsy). Pada
pemeriksaan tersebut dicari adanya M. tuberculosis dengan cara biakan dan
pemeriksaan histopatologis jaringan. Hasil PA dapat berupa granuloma dengan
nekrotik di bagian tengahnya, terdapat sel datia Langhans, sel epiteloid, limfosit,
serta BTA.
Tatalaksana pasien dengan TB kulit adalah dengan OAT dan tatalaksana
lokal/topikal dengan kompres atau higiene yang baik.
8. Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun penjalaran
langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai, yaitu
sekitar 1-5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa dengan
perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).
Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat
membentuk satu kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya, omentum
dapat menggumpal di daerah epigastrium dan melekat pada organ-organ
abdomen, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan obstruksi usus. Di lain
pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar, menyebabkan penekanan
pada vena porta dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites.
Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis
umum TB anak. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya massa
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 31
intraabdomen dan adanya asites. Kadang-kadang ditemukan fenomena papan
catur, yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa yang diselingi
perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi usus dan asites.
Tuberkulosis hati jarang ditemukan, hasil penyebaran hematogen melalui
vena porta atau jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe porta hepatik yang
membawa M. tuberculosis ke hati. Lesi TB di hati dapat berupa granuloma milier
kecil (tuberkel). Granuloma dimulai dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang
membentuk nodul kecil sebagai reaksi terhadap adanya M. tuberculosis dalam
sinusoid hati. Makrofag dan basil membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel
epiteloid, sel datia Langhans (makrofag yang bersatu), dan limfosit T.
Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan. Beberapa
pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan adalah foto polos abdomen, analisis
cairan asites dan biopsi peritoneum. Pada keadaan obstruksi usus karena
perlengketan perlu dilakukan tindakan operasi.
9. Tuberkulosis Mata
Tuberkulosis pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan kornea,
sehingga sering disebut sebagai keratokonjungtivitis fliktenularis (KF).
Keratokonjungtivitis fliktenularis adalah penyakit pada konjungtiva dan kornea
yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul inflamasi yang disebut
flikten pada daerah limbus, disertai hiperemis di sekitarnya. Umumnya ditemukan
pada anak usia 3—15 tahun dengan faktor risiko berupa kemiskinan, kepadatan
penduduk, sanitasi buruk, dan malnutrisi.
Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan
dapat mengeluarkan sekret mata, disertai gejala umum TB. Untuk menyingkirkan
penyebab stafilokokus, perlu dilakukan usap konjungtiva.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari
penyebabnya seperti uji tuberkulin, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan
feses. Komplikasi yang mungkin timbul adalah ulkus fasikuler, parut kornea, dan
perforasi kornea. Penggunaan kortikosteroid topikal mempunyai efek yang baik
tetapi dapat menyebabkan glaukoma dan katarak.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 32
10. Tuberkulosis Ginjal
Tuberkulosis ginjal pada anak jarang karena masa inkubasinya bertahun-
tahun. TB ginjal merupakan hasil penyebaran hematogen. Fokus perkijuan kecil
berkembang di parenkim ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus. Massa
yang besar akan terbentuk dekat dengan korteks ginjal, yang mengeluarkan kuman
melalui fistula ke dalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke
ureter, prostat, atau epididimis.
Tuberkulosis ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal, hanya
ditandai piuria yang steril dan hematuria mikroskopis. Disuria, nyeri pinggang atau
nyeri abdomen dan hematuria makroskopis dapat terjadi sesuai dengan
berkembangnya penyakit.
Superinfeksi dengan kuman lain, yang sering kali menyebabkan gejala yang
lebih akut, dapat memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya.
Hidronefrosis atau striktur ureter dapat memperberat penyakitnya. BTA dalam urine
dapat ditemukan. Pielografi intravena (PIV) sering menunjukkan massa lesi, dilatasi
ureter-proksimal, filling defect kecil yang multipel, dan hidronefrosis jika ada striktur
ureter. Sebagian besar penyakit terjadi unilateral. Pemeriksaan pencitraan lain yang
dapat digunakan adalah USG dan CT scan.
Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga
dilakukan penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Apabila diperlukan
tindakan bedah, dapat dilakukan setelah pemberian OAT selama 4-6 minggu.
11. Tuberkulosis Jantung
Tuberkulosis yang lebih umum terjadi pada jantung adalah perikarditis TB,
tetapi hanya 0,5-4% dari TB anak. Perikarditis TB biasanya terjadi akibat invasi
kuman secara langsung atau drainase limfatik dari kelenjar limfe subkarinal.
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun. Nyeri dada
jarang timbul pada anak. Dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah
dengan pulsus paradoksus. Terdapat cairan perikardium yang khas, yaitu
serofibrinosa atau hemoragik. Basil Tahan Asam jarang ditemukan pada cairan
perikardium, tetapi kultur dapat positif pada 30-70% kasus. Hasil kultur positif dari
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 33
biopsi perikardium yang tinggi dan adanya granuloma sering menyokong diagnosis
TB jantung. Selain OAT diberikan juga kortikosteroid. Perikardiotomi parsial atau
komplit dapat diperlukan jika terjadi penyempitan perikard.7
2.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak
yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
Pemberian gizi yang adekuat.
Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
A. Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TB anak: 3,4
OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan
ekstraseluler
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 34
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid
adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka
waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 35
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 36
2.8 Pencegahan
A. Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG
pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 37
vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes.
Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat
seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini
vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan. 8
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu : 4
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun
hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama
masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi
tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan
diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian
apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG.
Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis
supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama
beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten
dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan
imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.
B. Skrining dan Manajemen Kontak
Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan
secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu (1) anak yang mengalami
paparan dari pasien TB BTA positif, dan (2) orang dewasa yang menjadi sumber
penularan bagi anak yang didiagnosis TB.
Latar belakang perlunya Investigasi Kontak: 7
1. Konsep infeksi dan sakit pada TB.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 38
2. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat berisiko
infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24.4– 69.2%.
3. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk
berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi, bahkan
pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam beberapa minggu.
4. Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi
kemungkinan berkembangnya sakit TB.
Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :
1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temuan kasus
sakit TB.
2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB, yang
berisiko untuk berkembang jadi sakit TB
3. Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak usia
< 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB
dengan BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak
ini dilaksanakan secara sentripetal dan sentrifugal.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 39
Langkah Pelaksanaan Skrining Kontak
Jika Kasus Indeks adalah dewasa BTA positif
Tentukan berapa jumlah anak yang kontak dengan kasus indeks, sesuai dengan
definisi di atas
Setiap anak yang sudah diidentifikasi, harus dilakukan evaluasi tentang ada atau
tidaknya infeksi dan gejala TB (lihat bab diagnosis)
Jika terdapat gejala sugestif TB, harus dievaluasi untuk kemungkinan sakit TB
(lihat bab diagnosis)
Catat semua anak yang teridentifikasi sebagai kontak TB pada register TB 01
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 40
o Kontak dengan gejala sugestif TB harus dievaluasi menggunakan sistem
skoring.
o Jika tidak ada gejala sugestif TB, maka anak dapat dipertimbangkan untuk
mendapatkan pengobatan preventif dengan Isoniazid selama 6 bulan apabila
anak berumur < 5 tahun.
Jika kasus indeks adalah anak dengan sakit TB
o Tentukan sumber kasus dengan melakukan identifikasi terhadap orang dewasa
yang pernah kontak erat dan atau kontak serumah (sesuai definisi di atas)
dalam 3 bulan terakhir.
o Jika dapat diidentifikasi, evaluasi apakah tersangka sumber kasus TB dewasa
tersebut sudah didiagnosis atau telah mendapat terapi TB.
o Jika belum, pastikan sumber kasus mendapat manajemen yang layak sesuai
pedoman kasus TB dewasa
o Identifikasi juga anak lain yang mungkin sudah terpapar dari tersangka
sumber kasus tersebut dan evaluasi sesuai langkah-langkah di atas.
C. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut
akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB
berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 41
Keterangan
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB (7-15
mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap
adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau
ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB,
pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6
bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG
setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 42
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartasasmita, CB. Epidemiologi Tuberkulosis. Bagian Ilmu Penyakit Anak FK Universitas Padjajaran. Sari Pediatri 2009
2. Behrman, Richard E. Kliegman, Robert M. Jenson, Hal B. Nelson’s Textbook of Pediatrics. Ed-17. Pennsylvania: Saunders; 2004.
3. Rahajoe N, Supriyanto B, dkk. Buku Ajar Respiratologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010.
4. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Diunduh dari: www.spiritia.or.id/dok/juknisTBAnak2013.pdf [Diakses tanggal 24 Oktober 2015].
5. Werdhani, RA. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.
6. Kelompok Kerja TB Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan Tatalaksana TB Anak. Departemen Kesehatan RI: 2009.
7. Rahajoe N, Darfioes B, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi Kedua. Jakarta: UUK Respirologi PP IDAI. 2011.
8. Ikatan Dokter Indonesia. Pedoman diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDI. 2009.
KKS Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangkinang 43