BAB I Skripsi Jurusan Komunikasi
-
Upload
dimas-aris-shera -
Category
Documents
-
view
2.716 -
download
5
description
Transcript of BAB I Skripsi Jurusan Komunikasi
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
ANALISIS WACANA PEMBERITAAN MEDIA MASSA TENTANG ISU PRO
KONTRA RENCANA PENGESAHAN RUU ANTI PORNOGRAFI DAN
PORNOAKSI (RUU APP) TAHUN 2006
(Kasus Di Majalah Berita Mingguan TEMPO)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Syariat Islam Di Jalur Lambat” demikian judul pada majalah Tempo edisi 8-14
Mei 2006 rubrik Nasional Syariat Islam Di Daerah. Dari pembahasannya memang Tempo
secara detail mengungkapkan bagaimana pelaksanaan ‘Perda Syariat’ di kabupaten dan
kota. Namun yang menarik adalah tampilan gambar ukuran setengah halaman pada majalah
Tempo adalah gambar wanita yang melakukan demonstrasi seraya membawa foster
betuliskan “Pornografi & Pornoaksi Membuat Rakyat Bejat”. Caption yang diberikan oleh
Tempo bahwa demonstrasi tersebut dilakukan oleh mereka yang mendukung pengeahan
RUU APP menjadi UU. Memang, dari gambar bendera yang terdapat pada foster itu dapat
diketahui bahwa demonstran itu berasal dari Hizbut Tahrir organisasi Islam yang ingin
menegakan khilafah Islamiyah/ideologi islam.
Berita di atas juga dilengkapi dengan pengungkapan hasil temuan yang dilakukan
oleh Koalisi Perempuan Indonesia Dan Riset yang menunjukan bahwa 22 kota dan
kabupaten memberlakukan peraturan daerah yang bernuansa syariat Islam.
Bagaimana Tempo melihat peraturan daerah yang bernuansa syariat ini, dapat
dilihat pada judul lain. Berita dengan judul “Jika Malam Selalu Mencemaskan” Tempo
mengungkapkan bagaimana pelaksanaan perda syariat yang dimaksud diterapkan dalam
masyarakat. Dari lead beritanya Tempo mengungkapkan “melaksanakan peraturan
antipelacuran, petugas ketertiban di kota Tenggerang sering salah tangkap. Karyawan
perempuan jadi cemas pulang malam”. Pada berita ini Tempo menceritakan bagaimana Lia,
1
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
karyawan pabrik permen yang ditangkap oleh aparat kepolisian setelah pulang kerja karena
dianggap pelacur. Berita Tempo ini terkesan tendensius, karena setalah membaca berita itu
akan terbangun kesan bahwa pelaksanaan perarturan daerah yang bernuansa syariat itu
tidak menciptakan keamanan sebagaimana tujuan pembuatan hukum itu tapi malah justru
menimbulkan keresahan masyarakat khususnya wanita yang menjadi objek.
Lantas apa kaitannya penampilan gambar demonstran wanita yang mendukung
pengesahan RUU APP menjadi UU itu dengan isu perda bernuansa syariat Islam. Secara
sederhana dapat diambil kesimpulan bahwa Tempo melihat adanya hubungan antara
rencana pengesahan RUU itu dengan syariat islam yang menurutnya “di jalur lambat” itu.
Lalu bagaimana sikap Tempo terhadap rencana pengesahan RUU APP itu sendiri?
Tempo dalam hal ini tak bisa lepas dari pembahasan RUU APP yang tengah
menghangat ini khususnya setelah Balkan Kaplale selaku ketua pansus RUU dari Partai
Demokrat tersebut tancap gas untuk mengesahkannya. Namun, hingga kini RUU tersebut
belum disahkan. Lambannya pengesahan RUU ini dari waktu yang ditergetkan (akhir Juli
2006) karena RUU itu menimbulkan perdebatan alot. RUU tersebut menimbulkan
bipolarisasi dalam masyarakat, antara yang menolak pengesahannya dan yang mendukung.
Mereka yang menolak RUU APP antara lain terdiri dari Kelompok Masyarakat
Arus Pelangi, Islam Liberal, Jiwa Merdeka, Srikandi Demokrasi Indonesia, Solaris, Aliansi
Mawar Putih, JP Online, Pokja Perempuan Mahardhika, Yayasan Jurnal Perempuan,
Senjata Kartini, Seknas Koalisi Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, Kalyanamitra,
dan Kepak Perempuan1
Alasan mereka menolak RUU itu adalah karena bangsa Indonesia adalah negara
multi-etnis dan multi-kepercayaan yang tentu saja memiliki banyak perbedaan di sana sini
dalam mempersepsikan suatu hal. Mereka juga beralasan bahwa penyusunan RUU itu
menggunakan paradigma berpikir yang "machoistik", bahwa lelaki selalu benar dan bahwa
perempuanlah yang berkewajiban menjaga birahi dan moralitas laki-laki. RUU APP –kata
mereka- bersifat misoginis, yaitu sikap membenci, menaklukkan, dan merepresi keberadaan
budaya dan spiritualitas perempuan.
2
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
Logika pembuatan RUU itu-menurut mereka-adalah logika patriarkis, yaitu logika
yang menganggap nilai-nilai yang melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan.
Menurut logika patriarkis atau phalus di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab
pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan; bahwa dengan
membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur,
kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam; dan seksualitas dan tubuh
perempuan didikotomikan sebagai kotor (perempuan) dan suci (Tuhan). Selain itu ada juga
yang khawatir RUU ini menjadi sebentuk penerapan Hukum Islam.
Adapun mereka yang mendukung Undang-Undang Antipornogarfi Dan Pornoaksi
antara lain Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama, Front Pembela Islam (FPI),
Pengurus Besar Nahdlotul Ulama (PBNU), Muhammadiyyah, Hizbut Tahrir (HT), Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Hidayatullah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Swaramuslim.net,
Gema Nusa, KAMMI, Gerakan Angkatan Muda Muhammadiyah Antipornografi dan
Pornoaksi (Geram APP).
Bagi mereka yang mendukung beralasan bahwa RUU APP itu justru berusaha
melindungi dari berbagai macam exploitasi. wanita menjadi objek pornografi dan
pornoaksi. Bahkan di dunia periklanan sendiri lebih banyak mengekploitasi wanita.
Eksploitasi tubuh wanita seakan sudah menjadi prasyarat agar produk iklan itu sendiri
digemari masyarakat. Di sini kaum wanita dipandang menarik, eksotis dan mengandung
unsur seni. Semua kenyataan ini bukan mengangkat derajat wanita itu sendiri tapi justru
wanita dijadikan tools untuk mendongkrak kepentingan mencari untung (profit).
Mereka berpandangan bahwa pornografi bukan urusan agama saja tapi negara. Hal
ini pernah diungkapkan oleh Ade Armando Ketua Jurusan Komunikasi Universitas
Indonesia. Dalam wawancara dengan Ulil Abshor Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL)
tanggal 15 Mei 2003. Dia mengatakan bahwa pornografi itu bukan urusan agama saja.
Bahkan, di negara-negara yang sangat sekuler pun, ada pengaturan masalah pornografi.
Sebagai contoh, majalah Playboy dan Penthouse tidak akan ditemukan di Singapura karena
3
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
ada regulasi yang melarangnya. Begitu pula di negara-negara bagian di Amerika seperti
Utah, Calipornia dan lain-lain. Yang penting (pengaturan) pornografi itu tidak merugikan
masyarakat. Karena itu, harus ada kesepakatan tentang gradasi pornografi. Harus ada
pornografi yang jelas disepakati oleh siapa pun sebagai sesuatu yang tidak boleh sama
sekali. Intinya harus ada regulasi, dan regulasi itu yang mengeluarkan adalah pemerintah.2
Meraka para pendukung RUU APP menyatakan bahwa sanksi sosial selama ini
tidak memadai sehingga perlu adanya RUU khusus yang mengatur masalah pornografi dan
pornoaksi yang disertai sanksi tegas bagi pelanggarnya. Mereka merisaukan dampak
negatif pornografi dan pornoaksi yang tak dapat dinafikan lagi. Hal ini pernah dilontarkan
oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam sikap resminya tentang Rancangan
Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Ormas Islam terbesar di
Indonesia ini mendukung penuh agar RUU itu segera disahkan menjadi undang-undang.
Sikap mendukung itu ditegaskan oleh Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dalam
pernyataan pers yang ditandatanganinya bersama Sekjen PBNU Endang Turmudzi, Rois
Aam PBNU KH Sahal Mahfudz, dan Katib (Sekretaris) PBNU Nasaruddin Umar. Menurut
Hasyim, “DPR tidak perlu ragu mengambil keputusan berdasar kepentingan bangsa yang
mayoritas mutlak dengan penuh ketegaran dan kearifan, demi keselamatan moral
masyarakat dan generasi muda”. Dalam pandangan PBNU, tambah Hasyim dalam
pernyataan tertulis yang dikirimkan ke berbagai media massa itu, tidak ada satu agama pun
yang menoleransi pornografi3.
Mereka berharap RUU APP itu menjadi dasar etika bangsa yang berakhlak dan
beradab. Untuk menyelematkan generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan moral.
Pornografi dan pornoaksi --kata mereka—merupakan penyimpangan dalam
mempertunjukkan sisi-sisi keindahan tubuh manusia sebagai karunia Tuhan dengan
melanggar norma agama sebagai aturan Tuhan, dan mengikis budaya santun, serta malu
yang merupakan watak budaya ketimuran. Penyimpangan seperti itu tidak selayaknya
dibiarkan karena sikap itu sama saja dengan menjerumuskan masyarakat ke dalam
kubangan kebebasan yang kebablasan dan membiarkannya terjerumus lebih dalam lagi
4
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
kepada pola hidup serba boleh. Penyakit pornografi dan pornoaksi yang ada di masyarakat
telah mencapai stadium yang mengerikan.
Pengesahan RUU APP diyakini sebagai solusi atas berbagai masalah moral bangsa
yang semakin merosot, meluasnya free sex, semakin maraknya aksi pornografi dan
pornoaksi, kekerasan sekaligus pelecehan seksual kepada perempuan.
Bagi mereka yang mendukung RUU APP itu beralasan bahwa bahwa KUHP, RUU
Perlindungan Anak, dan UU No. 40 tentang pers tahun 1999 jelas tidak memadai sebab jika
UU itu memadai tentunya praktek pornografi dan pornoaksi tidak terjadi di Indonesia.
Justru yang terjadi adalah semakin meluasnya dampak negatif pornografi seperti perilaku
seksual bebas, pelecehan seksual, perilaku seks menyimpang, penyebaran HIV/AIDS, seks
permisif di kalangan generasi muda, dan aborsi, sudah banyak dirasakan masyarakat.
Intinya peraturan yang sudah ada tak cukup mampu menangani kasus pornografi dan
pornoaksi dan karena itu pula perlu adanya regulasi khusus yang mengaturnya.
Demikianlah polemik tentang rencana pengesahan RUU itu yang sampai saat ini masih
terjadi. Lalu bagaimana politik pemberitaan yang dilakukan oleh majalah Tempo sebagai
pengejawantahan dari sikapnya terhadap masalah RUU yang kontroversial itu.
Hal ini dapat dilihatat dari keseluruhan pemberitaan majalah Tempo tentang RUU
APP. Sepanjang tahun 2006 majalah Tempo memberitakan masalah RUU APP antara bulan
Januari samapai Mei. Format berita yang diturunkannnya lebih banyak berbentuk kolom
yang ditulis oleh Jim Supangat (kurator seni rupa di Jakarta) Mudji Sutrisno ( budayawan,
pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara), Radhar Panca Dahana (sastrawan), Jaya
Suprana (budayawan, Ketua Pusat Studi Kelirumologi), Ayu Utami (penulis), Mohammad
Guntur Romli (aktivis JIL), wawancara dengan Balkan Kaplale dan berita mendalam
(Indepth News) tentang syariat Islam di daerah.
Bila dicermati politik pemberitaan Tempo, diketahui bahwa Tempo lebih banyak
memuat wacana yang mendukung RUU APP dengan memuat pendapat-pendapat mereka
yang menolak pengesahan RUU APP. Tidak satupun kolom yang berasal dari mereka yang
mendukung RUU APP.
5
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
Mengapa pemberitaan Tempo seperti itu? Menjawab pertanyaan ini patut diungkap
disini pendapat Antonio Gramsci (m.1891-1937). Menurutnya media menjadi arena
pertarungan bagi kedua pihak yang bersebrangan. Gramsci melihat media sebagai ruang
tempat berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti di satu sisi media bisa menjadi
sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik.
Namun, di sisi lain media bisa juga menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa
menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi yang dominan, sekaligus bisa juga
menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi
tandingan. Media massa bukan sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki keterkaitan
dengan realitas sosial, lebih jelasnya ada kepentingan yang bermain dalam media massa.
Di samping kepentingan ideologi antara masyarakat dengan negara, dalam diri
media massa juga terselubung kepentingan yang lain, misalnya kepentingan kapitalisme,
pemilik modal, kepentingan keberlangsungan (sustainable) lapangan kerja bagi karyawan.
Dalam kondisi dan profesi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis, di tengah-
tengah. Dia akan bergerak dinamis di antara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang
bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias di media massa sulit dihindari4.
Dedi N. Hidayat mengatakan bahwa media memiliki fungsi ideologis dan
melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologisnya. Ini akan mencakup masalah
siapa, kepentingan apa, dan perspektif mana yang akan memeperoleh akses ke media.5
Majalah Tempo adalah salah satu dari sekian banyak media yang tak bisa lepas dari
segala atribut kepentingannya. Tempo menjadi medium penyebaran ideologi dan kontrol
atas wacana yang berkembang. Ketika menghadapi realitas media massa seperti ini,
masyarakat pun harus mengimbanginya dengan cara menyikapinya secara kritis, tidak asal
menerima berita yang disajikan tanpa reserve.
B. Perumusan Masalah
Ketika menghadapi realitas pemberitaan Tempo seperti digambarkan di latar belakang,
konsekuensinya masyarakat pun harus mengimbanginya dengan cara menyikapinya secara
kritis, tidak asal menerima berita yang disajikan tanpa reseve. Oleh karena itu, menguak
6
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
kepntingan/ideologi suatu media bukan hanya penting tapi juga perlu. Sebab, berangkat dan
atas dasar inilah pemberitaan media massa mana pun dilakukan. Dengan begitu, social
criticism yang emansipatoris dapat dilakukan.
Majalah Tempo adalah majalah berita yang terbesar di Indonesia dan juga majalah
tertua. Selain itu Tempo juga tersebar ke beberapa negara Eropa dan Asia. Hal ini dapat
dlihat dan dibuktikan dari pembuatan majalah Tempo dalam versi bahasa Jepang, Mandarin
dan Inggris. Dengan begitu proses penyebaran wacana yang didasari oleh ideologi atau
vested intersest itu dapat berjalan secara luas pula. Tentu menjadi kepentingan bersama
untuk mengetahui ideologi atau kepentingan apa di balik semua wacana dalam pemberitaan
majalah Tempo seputar RUU APP, wacana apa yang mendominasi dan dipinggirkan di
majalah Tempo seputar rencana pengesahan RUU dan strategi apa yang digunakan olehnya
untuk tujuan itu.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui wacana dominan dan wacana yang
dimarginalkan dalam pemberitaan majalah Tempo terkait rencana pengesahan RUU APP
tahun 2006.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaaat Paraktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam
memahami secara kritis wacana yang ada di media massa. Selain itu penelitian ini
juga membantu menjelaskan wacana yang dikembangkan oleh Tempo terkait
dengan isu pro kontra pengesahan Rancangan Undang-Undang Antipornogarfi dan
Pornoaksi (RUU APP) tahun 2006.
a. Manfaat Teoretis
Secara teoritis penelitian ini bermaksud mengkaji penerapan analisis wacana
sebagai salah satu teori analisis teks media dalam konteks penelitian media massa di
Indonesia.
7
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
E. Kerangka Teori
Idologi Dalam Pandangan Markisme
Ideologi -Dalam konsepsi Marx6- adalah sebentuk kesadaran palsu (Fals
Consciousness)7. Kesadaran seseorang, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya
dengan masyarakat dibentuk diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah.
Keasadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi
individu. Mark dan Engel -seperti dikutip oleh Douglas Kellner–mengarakterkan ideologi
sebagai ide kelas penguasa (The Ruling Class) yang memperoleh dominasi (dominance)
pada era tertentu.8
Seorang Marxis struktruralis, Louis Althusser berpandangan bahwa kehidupan
manusia sebagai subjek identik dengan subjek bagi struktur, di mana struktur tadi bukan
ciptaannya melainkan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan untuk
dan identik dengan kepentingan kelompok penciptanya, individu-individu di sini dikatakan
sebagai subjek bagi struktur tidak lain adalah pelayanan kepentingan dari kelas tertentu
yang menciptakan struktur tersebut.
Ideologi dalam pandangan Althusser bukan hanya membutuhkan subjek tetapi juga
menciptakan subjek. Bagaimana caranya? Individu hanya eksis sebagai subjek dalam
ideologi, menempatkan seseorang pada suatu identitas atau posisi imajiner tertentu. Dalam
konsepsi Althusser, ideologi menempatkan seseorang bukan hanya posisi tertentu dalam
suatu relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan relasi sosial tersebut. Dan relasi
tersebut bersifat imajiner karena ia bekerja melalui pengenalan/pengakuan dan identifikasi
untuk menempatkan atau menyapa seseorang dalam posisi tertentu. Ideologi
1 . http://ruuappri.blogsome.com/ diakses Sabtu 5 Agustus 2006. Pukul 14:30 WIB2 . http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=323, diakses selasa 5 September 2006
pukul 00: 2 WIB3 . www.republika.com diakses Sabtu 5 Agustus 2006. Pukul 14:33 WIB4 . Alex Sobur. 2003. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotika, Dan Analisis Framing. PT Remaja Rosda Karya: Bandung, hal 305 . ibid, hal X
8
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
menginterpelasi individu sebagai subjek dan menempatkan seseorang dalam posisi tertentu.
Interpelasi sebagaimana yang dikatakan oleh Althusser tadi bukan hanya terjadi
pada pembicaraan interpersonal saja, tapi juga di media massa. Bahkan menurut Tolson
seperti yang dikutip Eriyanto, teks media selalu menyapa seseorang dan menempatkan
seseorang ketika harus membaca atau melihat suatu teks. Kenapa? Karena teks media pada
dasarnya ditujukan bukan untuk dirinya sendiri, pesan media pada dasarnya ditujukan untuk
berkomunikasi dengan khalayak9.
Kalau dipahami teori interpelasi yang diajukan oleh Althusser (m.1918-1990), ia
menekankan bagaimana kekuatan kelompok dominan mengontrol kelompok lain. Maka
timbul pertanyaan, bagaimana penyebaran ideologi itu dilakukan? Menjawab pertanyaan
ini, patut dikemukakan teori hegemoni yang dikemukakan oleh Anthonio Gramsci. Secara
singkat, hegemoni melibatkan memenangkan dan memenangkan kembali secara terus
menerus kesepakatan di kalangan mayoritas terhadap sistem yang menempatkan mereka
sebagai subordinat.10. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa teori Gramsci menekankan
bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik.
Hegemoni diperlukan, dan harus bekerja begitu keras, karena pengalaman
kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras, umur atau pun faktor lain) terus
menerus memberikan gambaran yang bertentangan dengan lukisan ideologi yang dominan
yang di buat untuk mereka oleh mereka dan relasi sosialnya. Dengan kata lain ideologi
dominan, terus menerus berhadapan dengan resistensi yang harus diatasinya dalam rangka
memenangkan kesepakatan rakyat atas tatanan sosial yang dipromosikan.
Oleh karena itu, perlu usaha untuk untuk menyebarkan ideologi dan kebenarannya
tersebut agar diterima tanpa perlawanan. Salah satu strategi kunci adalah mengkonstruksi
“anggapan umum” (common sense). Jika ide atau gagasan dari kelompok
dominan/berkuasa diterima sebagai anggapan umum (jadi tidak didasarkan pada kelas
sosial), maka tujuan ideologisnya tercapai dan kerja ideologisnya pun tersembunyi.11. Hal
senada dikemukakan oleh sejarawan asal Amerika, Todd Gitlin (1980) dengan mengacu
pada hasil penelitiannya tentang berita di media massa. Gitlin mengemukakan bahwa,
9
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
“Hegemony is secured when those who control the dominant institutions
impress their definitions upon the ruled. The dominant class controls
ideological space and limits what is thinkable in society. Dominated
classes participate in their domination, as hegemony enters into everything
people do and think of as natural, or the product of common sense-
including what is news, as well as playing, working, believing, and
knowing. Hegemonic ideology permeates the common sense that people use
to understand the world and tries to become that common sense”12
Proses hegemoni ini terjadi dengan banyak cara dan terjadi di mana-mana. Intinya,
ia terjadi manakala peristiwa atau teks ditafsirkan dengan cara yang mampu mengangkat
kepentingan suatu terhadap yang lainnya. Ini dapat dibilang sebuah proses yang cerdik
dengan menjadikan kepentingan kelompok subordinat menjadi pendukung kepentingan
kelompok dominan.13
Walaupun istilah ideologi berbeda-beda, namun ia dapat diklasifikasikan menjadi
dua kategori, positif dan negatif. Secara positif ideologi dipersepsikan sebagai suatu
pandangan dunia14 yang menyatakan nilai-nilai suatu kelompok tertentu untuk membela dan
memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat
sebagai kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara
memutarbalikan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Demikianlah menurut Jorge
Larrain (1996) ketika berbicara mengenai konsep ideologi15
Media: Representasi Kelompok Dominan
Jamess Lull mengatakan Ideologi adalah ungkapan yang paling tepat untuk
mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari bangsa, kelompok agama, kandidat dan
pergerakan politik, organisasi bisnis sekolah, serikat buruh, bahkan regu olah raga
profesional dan orkes rock.16 Termasuk juga media massa17.
Media massa setidak-tidaknya memiliki dua kepentingan utama di balik media,
yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power
10
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
interest), yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna
yang ditawarkannya. Di antara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan lebih
dasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan
sebagai ‘ruang publik’ (public sphere), disebabkan oleh kepentingan-kepentingan di atas,
justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri.
Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik inilah yang sesungguhnya
menjadikan media tidak dapat netral, jujur, adil, obyektif dan terbuka. Akibatnya, informasi
yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan ‘obyektivitas pengetahuan’ yang
serius pada media itu sendiri. Kepentingan-kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik
akan menentukan apakah informasi yang disampaikan oleh sebuah media mengandung
kebenaran (Truth) atau kebenaran palsu (Pseudo-Truth); menyampaikan obyektivitas atau
subyektivitas; bersifat netral atau berpihak; merepresentasikan fakta atau memelintir fakta;
menggambarkan realitas (Reality) atau mensimulasi realitas (simulacrum).
Karena peran yang penting dimainkan oleh media tersebut, menurut Stuart Hall,
bahwa media massa adalah kunci utama dari sebuah pertarungan kekuasaan. Karena media
massa adalah alat bagi kelompok The haves untuk mendapat dukungan dari kelompok the
have-nots untuk memapankan status quo18. Stuart Hall yakin bahwa media berfungsi untuk
melanggengkan dominansi mereka yang berada pada kekuasaan19. Dalam proses
pembentukan realitas, Stuart Hall menekankan pada dua titik, yaitu bahasa dan penandaan
politik. Penandaan politik disini diartikan sebagai bagaimana praktik sosial dalam
membentuk makna, mengontrol, dan menentukan makna. Menurut Hall, media berperan
dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu, dan menunjukkan
bagaimana kekuasaan ideologi di sini berperan – karena ideologi menjadi bidang di mana
pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat20.
Dalam sebuah tulisannya, “The Rediscovery Of Ideology”: Return Of The Repressed
In Media Studies.” Stuart Hall menyatakan, makna tidak tergantung pada struktur makna itu
sendiri, tetapi lebih kepada praktek pemaknaan. Menurut Hall, makna adalah produksi
sosial, suatu praktek konstruksi. Media massa menurut Hall, pada dasarnya tidak
11
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
mereproduksi, melainkan menentukan (to define) realitas melalui pemakaian kata-kata
terpilih. Makna tidak secara sederhana bisa dianggap suatu produksi dalam bahasa, tetapi
sebuah pertentangan sosial (social struggle), sebuah pertentangan dalam memenangkan
wacana. Maka itu, pemaknaan yang berbeda-beda merupakan arena pertarungan tempat
memasukan bahasa di dalamnya (Hall, 1982:67)21. Karena pengaruh media yang besar tadi,
wajar kalau ada yang menyebut media sebagai Fourth Estate (kekuatan ke-empat) dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Karl Deutsch menyebut media sebagai “urat nadi
pemerintah” (The Nerves Of Government).
Apa yang dikatakan Stuart Hall pararel dengan apa yang dikemukakan oleh
Raymond William dalam Marxisme And Literature (1977: 109) seperti dikutip oleh Pamela
Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam buku Mediating The Message: Theories Of
Influences On Mass Media Content. Raymond William mengklasifikasikan penggunaan
ideologi tersebut dalam tiga ranah salah satunya adalah ranah produksi makna dan ide22.
Ideologi di sisni adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan proses produksi makna 23.
Dalam produksi makna ini, tentu ideologi tak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang
bahasa.
Bahasa: Konstruktor Realitas
Persoalan ideologis pada bahasa muncul ketika apa yang disampaikan (dunia
representasi) dikaitkan dengan kenyataan sosial (dunia nyata). Pertanyaannya adalah,
apakah bahasa merupakan cermin atau refleksi, sari realitas; atau, sebaliknya, ia
menceritakan separuh realitas dan menyembunyikan separuh lainnya?
Menurut Peter L. Berger & Thomas Luckman, di dalam The Social Construction of
Reality, berbicara mengenai sebuah konsep sosiologi tentang realitas. Apa yang diterima
sebagai realitas, sebagai pengetahuan, semuanya dikonstruksi secara sosial-artinya,
dibentuk oleh masyarakat di mana realitas itu mengambil tempat. Manusia hidup di sebuah
dunia, di mana pengetahuan direpresentasikan lewat tanda-tanda (sign), yang mempunyai
makna (meaning) tertentu bagi manusia. Tanda-tanda tersebut disediakan oleh elite-elite
(produser media) bagi anggota masyarakat untuk dipahami kode-kode (social code) dan
12
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
maknanya, dan makna-makna tersebut akan 'mencetak' diri individu secara sosial24
Dari pernyataan Peter L. Berger & Thomas Luckman ini, dapat ditarik kesimpulan
bahwa bahasa tidak terlepas dari berbagai tekanan ideologi sehingga ketimbang menjadi
cermin realitas bahasa lebih tepat disebut sebagai perumus realitas. Bagaimana mekanisme
perumusan realitas? Tonny Bennet mengutarakan ada lima mekanisme perumusan realitas
dalam bahasa.25, yaitu:
Pertama, mekanisme oposisi biner, yaitu mekanisme penyusun kategori-kategori
simbolik berdasarkan sistem kategori pasangan, dimana kelompok sosial tertentu
mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok simbolik kelas pertama (baik, benar, unggul),
dan kelompok lawan pada kategori kedua (buruk, salah, jahat). Mekanisme oposisi biner
biasanya digunakan oleh sebuah sistem kekuasaan dalam rangka mempertahankan
kekuasaan, seperti pada sistem oposisi biner.
Kedua, mekanisme sentralisasi bahasa. Sistem politik yang sentralistis dan otoriter
seperti Orde Baru, menghasilkan sistem bahasa yang cenderung dikomandokan dari atas,
sehingga berbagai potensi bahasa yang plural tidak mendapatkan ruang untuk berkembang
dan mengaktualisasikan dirinya di dalam berbagai bentuk ekspresi bahasa. Pengendalian
bahasa dari atas cenderung menciptakan konflik-konflik kultural yang tersembunyi atau
laten di antara berbagai kelompok-kelompok bahasa yang ada.
Ketiga, monologisme bahasa. Kekerasan simbolik menyebabkan sebuah sistem
kekuasaan memusatkan diri pada egonya sendiri. Penguasa berbicara, tetapi tidak mau
mendengarkan; ia mengucapkan kata-kata, tetapi tidak mau memahami. la menggunakan
bahasa; sebagai alat perintah (petunjuk bapak, instruksi bapak), bukan sebagai alat dialog
yang di dalamnya terjadi hubungan komunikasi dua arah. Padahal sikap dialogis tersebut
diperlukan untuk menjaga hubungan yang seimbang atau hubungan simetris dalam interaksi
antarbahasa.
Keempat, penyeragaman bahasa. Pengaturan kebudayaan dari atas telah
memunculkan pula penyeragaman bahasa di dalam berbagai aspek kebudayaan. Proses
pelembagaan keseragaman bahasa (bahasa istana, bahasa P4) menjadi sebuah faktor
13
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
penghambat utama dari berkembangnya kemampuan berpikir kritis (critical thinking), yang
kemudian menyebabkan tidak berkembangnya kemampuan kreativitas masyarakat
pengguna bahasa.
Kelima, tafsiran monosemi. Dalam tirani penyeragaman dan sentralisasi tersebut di
atas, masyarakat kita kehilangan sikap komunikatif di antara sesama subbudaya.
Masyarakat dipaksa untuk menerima tafsiran-tafsiran tunggal yang dibuat oleh penguasa
dan tidak diberikan peluang untuk menafsirkan berbagai aspek budaya dengan sudut
pandang yang beraneka ragam. Tafsiran tunggal tersebut telah menyumbat saluran
komunikasi, baik antara penguasa dan rakyat maupun antara sesama kelompok masyarakat.
Mendukung apa yang dikatakan oleh Tonny Bennet, Teun Van Dijk
mengemukakan bahwa media massa melakukan apa yang dikenal dengan delegitimasi
simbolik. Tujuan Delegitimasi simbolik menurut -Teun Van Dijk dalam Ideology;
Multidisciplinary Study adalah tidak hanya menghasilkan establishment suatu kekuasaan,
tetapi juga dapat merefleksikan praktek dominasi dan penyalahgunaan kekuasaan.26
Delegitimasi simbolik menurut Teun A. Van Dijk dilakukan melalui tiga cara: pertama
dengan memanfaatkan konteks produk, akses dan kegunaan wacana untuk menggugat
konsistensi media yang menjadi musuhnya; kedua, dengan penekanan-penekanan,
symptom-symptom negatif/destruktif pada wacana yang menjadi musuhnya; ketiga,
memanfaatkan tokoh-tokoh otoritatif yang legitimate untuk membuat klasifikasi evaluasi
moral & dakwaan-dakwaan terhadap kelompok lain27.
Dari pebjelasan Tony Bennet dan Teun A Van Dijk ini, dapat dipahami bahwa
bahasa dipahami bukanlah sesuatu yang netral, tetapi bahasa dipahami sebagai representasi
yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun
strategi-strategi wacana di dalamnya. Di mata fenomenolog, bahasa bukan hanya diterima
apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai perantara bagi pengungkapan-pengungkapan maksud-
maksud dan makna-makna tertentu. Bagi mereka wacana adalah suatu upaya pengungkapan
maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan.28
Bahasa yang beroperasi pada teks media massa menjadi aparatus hegemoni dari
14
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang hidup
bagi bahasa-bahasa lain (yang plural) karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, ketika ia
digunakan untuk meniyampaikan informasi (atau versi informasi) yang sesuai dengan
kepentingan kekuasaan. Bahasa di sini semata menjadi perpanjangan tangan dari sebuah
sistem kekuasaan hegemonis, sebuah corong untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan
ideologi dominan.
Bila istilah hegemoni digunakan dalam pengertiannya yang lebih luas, maka
sesungguhnya bahasa merupakan bagian dan sebuah sistem medan perang simbolik. Di
dalam medan tersebut terjadi perebutan dominasi bahasa di antara berbagai kepentingan
lewat berbagai cara dan strategi. Di antara strategi yang kerap kali digunakan di dalam
perebutan hegemoni adalah strategi kekerasan, khususnya apa yang disebut kekerasan
simbol
Bila istilah hegemoni digunakan dalam pengertiannya yang lebih luas, maka
sesungguhnya bahasa merupakan bagian dan sebuah sistem medan perang simbolik. Di
dalam medan tersebut terjadi perebutan dominasi bahasa di antara berbagai kepentingan
lewat berbagai cara dan strategi. Di antara strategi yang kerap kali digunakan di dalam
perebutan hegemoni adalah strategi kekerasan, khususnya apa yang disebut kekerasan
simbol dan kekerasan semiotika.29
Bahasa secara total (bersama bahasa tandingan) membentuk sebuah ruang tempat
berlangsungnya sebuah perang bahasa atau perang simbol, dalam rangka memperebutkan
penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan.
Untuk menjelaskan bahasa (dan media) sebagai alat kekuasaan, Bourdieu
menggunakan istilah kompetensi, yang bermakna bahwa orang yang mempunyai kecakapan
dan otoritas untuk berbicara, menafsirkan, menilai, atau melegitimasi bahasa. Kompetensi
ini biasanya dikaitkan dengan kepemilikan apa yang disebut Bourdieu sebagai modal
simbolik. Artinya, semakin besar seseorang (kelompok orang, negara) menguasai modal
simbolik, semakin besar otoritasnya dalam menentukan arah pasar simbol. Seperti sebuah
pasar pada umumnya, pasar simbol (baca: pasar bahasa) adalah sebuah ruang dimana posisi
15
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
seseorang (kelompok orang, negara dan kesalingberkaitan di antaranya sangat ditentukan
oleh distribusi kepemilikan modal simbolik Yang mereka miliki. 30
Beroperasinya ideologi di balik bahasa di media, tidak bisa dipisahkan dari
mekanisme ketersembunyian dan ketidaksadaran yang merupakan kondisi dari keberhasilan
sebuah ideologi. Artinya ideologi itu menyusup dan menanamkan pengaruhnya lewat
media secara tersembunyi (tidak terlihat dan halus), dan ia mengubah pandangan seseorang
secara tidak sadar. Ada beberapa mekanisme beberapa mekanisme beroperasinya ideologi
di dalam media, yaitu sebagai berikut.
Pertama, mekanisme oposisi biner (binnary opposition), yaitu penciptaaan
distribusi makna simbolik berdasarkan sistem kategori pasangan yang bersifat polaristik
dan kaku. Setiap hal digeneralisasi dan direduksi sedemikian rupa, sehingga ia hanya
berada dalam satu kutub (makna simbolik) yang extrem, kalau tidak kutub extrem di
seberangnya. Tidak ada pilihan-pilihan tanda, kode, makna dan bahasa yang beraneka
ragam (polysemy). Yang ada hanya pilihan hitam putih. Mesin-mesin biner itu, menurut
Deleuze & Parnet di dalam dialogue, biasanya digunakan oleh sistem kekuasaan yang
represif dan totaliter dalam menciptakan segmentasi kultural. Secara kaku(dan keras)
dengan berbagai cara. Mesin biner ini hanya memproduksi berbagai oposisi biner di dalam
masyarakat31.
Kedua, akibat logis yang bisa ditimbulkan oleh mesin-mesin oposisi biner adalah
berupa mekanisme paralogisme dan kekerasan simbolik di dalam media. Dalam hal ini,
disebabkan otoritas kekuasaan yang dimilikinya, kelas dominan selalu mengidentifikasi diri
mereka selalu mulia, baik, benar; sementara orang yang dikuasai /dimusuhi sebagai buruk,
jahat, bersalah, subversif, kriminal. Kecendrungan pembenaran pada diri sendiri semacam
ini pada penguasa ketika diartikulasikan di dalam media, menciptakan sebuah media yang
didalamnya beroperasi apa yang di dalam teori politik informasi disebut Pierre Bourdieu
sebagai kekerasan simbolik, yaitu sebuah kekerasan yang halus dan tak tampak yang
menyembunyikan didalamnya pemaksaan dominasi.32
Ketiga, adalah apa yang disebut oleh Paul L. Jalbert di dalam language, image,
16
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
media sebagai mekanisme de re/ de ricto. De re berarti tentang sesuatu hal, sedangkan de
dicto berarti tentang apa yang dikatakan (tentang sesuatu hal). De re mengandung
transparansi dan kejelasan fakta dan referensi, sedangkan de dicto mengandung kekaburan
dan ambiguitas fakta dan referensi.
Dari paparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa memiliki kekuatan
menyampaikan makna dan perhatian terhadap budaya populer. Untuk menganalisis
besarnya peran media massa tadi yang dikuasai oleh ideologi tertentu sehingga dengan
sendirinya suka atau tidak suka diorientasikan kepentingan kelompok dominan tertentu Di
sinilah Teori Kritis sebagai studi media sangat tepat untuk melihat hubungan yang berkuasa
(the powerfull) dengan yang tak berkuasa (the powerless)33.
a. Metode Penelitian
6. Jenis Dan Tipe Penelitian
Penelitian ini merupkan penelitian kualitatif, tidak bertumpu pada pengukuran,
sebab penjelasan mengenai suatu gejala diperoleh pelaku (peneliti) sendiri yang
menafsirkan mengenai wacana di media massa (Tempo). Adapun tipe penelitian ini
bersifat deskriptif, yaitu berusaha menggambarkan kondisi faktual yang terjadi pada
pemberitaan majalah Tempo mengenai kasus rencana pengesahan draft/rencana
Undang-Undang Anti Pornogarfi Dan Pornoaksi.
7. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini adalah teks berita di majalah Tempo yang
menyampaikan wacana tentang isu pornografi dan pornoksi pra pengesahan
Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi tahun 2006.
8. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang akan digunakan oleh penulis yaitu teknik dokumentasi data dari
majalah berita mingguan Tempo pada bulan Januari sampai Juli 2006 yang
memberitakan tentang isu rencana pengesahan Undang-Undang Anti Pornogarfi
Dan Pornoaksi.
17
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
9. Teknik Analisis Data
Analisis data untuk kepentingan penelitian ini menggunakan model analisis Teun
A. Van Dijk. Ia mengelaborasi elemen-elemen analisisi wacana sehingga bisa
digunakan dan dipakai secara praktis. Wacana oleh Van Dijk dikelompokan
menjadi tiga dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Inti analisis
wacana Van Dijk adalah menggabungkan ketiga aspek tersebut ke dalam kesatuan
analisis. Tiga tingkatan wacana tersebut adalah:
41. Struuktur makro. Ini merupakan makna global atau umum dari suatu teks
yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini
bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.
42. Supra stuktur adalah kerangka suatu teks; bagaimana struktur dan elemen-
wacana disusun dalam teks secara utuh
43. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan
menganalisis kata, proposisi, anak kalimat, paraprase yang dipakai.
Bila digambarkan maka model analisis wacana Van Dijk sebagai berikut:
18
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
ELEMEN WACANA VAN DIJK 34
Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen
Struktur MakroTematik
(apa yang dikatakan)Topik
superstruktur
Skematik
(bagaimana pendapat disusun dan
dirangkai)
skema
Struktur mikro
Semantik
(makna yang ditekankan dalam teks
berita)
Latar, detail, maksud,
praanggapan,
nominalisasi
Struktur mikroSintaksis
(bagaimana pendapat disampaikan)
Bentuk kalimat,
koherensi, kata ganti
Struktur mikroStilistik
(pilihan kata apa yang dipakai)leksikon
Struktur mikro
Retoris
(bagaimana dan dengan cara apa
penekanan dilakukan)
Grafis, metafora,
ekspresi
Analisis Van Dijk di sini menghubungkan analisis tekstual –yang memusatkan
melulu pada tekstual—ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks berita itu
diproduksi baik dalam hubungannya dengan individu wartawan maupun dengan
masyarakat.
Penelitian ini akan difokuskan pada analisis wacana dari dimensi teks. Menurutnya
meskipun terdapat berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu
kesatuan, saling berhubungan dan saling mendukung satu sama lainnya.
Berikut diuraikan satu persatu elemen wacana Van Dijk35.
1 Tematik
Elemen tematik menunjukan pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga
19
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
disebut gagasan inti, ringkasan atau yang utama dari suatu teks. Topik
menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam
pemberitaannnya. Topik menunjukan konsep dominan, sentral dan paling
penting dari isi suatu berita. Oleh karena itu, ia sering juga disebut tema atau
topik. Topik menggambarkan tema umum dari suatu teks berita. Topik ini akan
didukung oleh subtopik-subtopik yang saling mendukung terbentuknya topik
umum. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan
yang menunjuk dan menggambarkan subtopik, sehingga dengan subbagian
yang saling mendukung antara satu bagian dengan bagian yang lain, teks secara
keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh.36
2 Skematik
Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan
sampai akhir. Alur tersebut menunjukan bagaimana bagian-bagian dari teks
disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti meskipun
mempunyai bentuk dan skema yang beragam, berita umumnya secara hipotetik
mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary yang umumnya
ditandai dengan adanya dua elemen yakni judul dan lead. Elemen skema ini
merupakan elemen yang dipandang elemen paling penting. Judul dan lead
umumnya menunjukan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam
pemberitaannnya. Lead ini umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang
ingin dikatakan sebelum masuk lengkap. Kedua story, yakni isi berita secara
keseluruhan. Isi berita ini secara hipotetik juga mempunyai subkategori. Yang
pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya peristiwa, sedang yang kedua
komentar yang ditampilkan dalam teks. Menurut Van Dijk, arti penting dari
skema adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin
disampaikan dengan menyususn bagian–bagian dengan urutan tertentu. Skema
memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang kemudian
sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. Upaya
20
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
penyembunyian dilakukan dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan
kurang menonjol.37
3 Semantik
Semantik dalam skema Van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal (local
meaning), yaitu makna yang muncul dari hubungan antar kalimat, hubungan
amtarposisi, yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks.
Analisisi wacana banyak memusatkan perhatian pada dimensi teks seperrti
makna yang explisit ataupun implisit dan bagaimana orang lain berbicara
tentang hal itu. Semua strategi semantik selalu dimaksudkan untuk
menggambarkan diri sendiri atau kelompok sendiri secara positif dan
sebaliknya akan menggambarkan kelompok orang lain secara negatif.38 Elemen-
elemen yang ada dalam strategi semantik ini adalah:
3.1. Latar
Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik
(arti) yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis
berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang
ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan
hendak dibawa. latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang
diajukan dalam suatu teks. Oleh karena itu, latar merupakan elemen
yang berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin
disampaikan oleh wartawan. Kadang, maksud atau isi utama tidak
dibeberkan dalam teks, tetapi dengan melihat apa yang ditampilkan
dan bagaimana latar tersebut disajikan, kita bisa menganalisis apa
maksud tersembunyi yang ingin dikemukakan oleh wartawan
seseungguhnya. Latar peristiwa itu dipakai untuk menyediakan
dasar hendak ke mana teks dibawa. Ini merupakan cerminan
ideologis, di mana wartawan dapat menyajikan latar belakang dapat
juga tidak, tergantung pada kepentingan mereka.39
21
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
3.2. Detil
Elemen wacana detil berhubungan dengan kontrol informasi yang
ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara
berlebihan informasi yang menguntiungkan dirinya atau citra yang
baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah
yang sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) kalau hal itu
merugikan kedudukannya. Informasi yang menguntungkan
6 . Karl Marx (m.1818-1883), lahir di Treves (daerah Rhin) ayahnya Yahudi yang kemudian memeluk agama Protestant dan menjadi pengacara liberal. Tahun m.1843 ia menikah dengan Jenny Von Westphallent yang memberinya tiga orang anak perempuan. Buku yang pernah ia tulis adalah: La Quetion Juive, Critique De La Philosophi Du Droit De Hegel, La Sainte Famille, L’ideologie Allemande, Travail Sallarie Et Capital, Manifesto Du Parti Communiste, Capial I. Kemudian Engel (m.1820-1895)lah yang menulis Capital II dan Capital III. Ia meninggal tanggal 14 Maret 1883 M. Ia adalah tokoh sosialis revolusioner yang banyak menulis naskah filsafat di bidang kehidupan masyarakat. Dalam dunia akademis Marx sering disebut Marx Muda dengan tulisan-tulisannya yang sarat dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, dan sebagai Marx Tua dengan tulisan-tulisan terapannya dalam bidang sosial ekonomi. Marx lewat tulisan-tulisannya tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan sosialisme modern dan komunisme sebagai ideologi dunia yang menguasai lebih dari sepertiga penduduk bumi. Dikutip dari Poespowardojo, Soerjanto. Juli 1993. Strategi Kebudayaan, Pendekatan Praktis. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta hal 161. Ideologi itu sendiri untuk kali pertama ditulis Marx dan Engel dalam buku The German Ideologi.
7 . Suatu bentuk kesadaran-yaitu seperangkat kepercayaan, sikap-sikap, disposisi-disposisi batin, motivasi-motivasi, preferensi-preferensi, dst. Disebut palsu bila secara epistemis mengklaim dirinya satu-satunya yang paling benar yang secara fungsional melanggengkan, menstabilkan atau melegitimasikan dominasi dan secara genetis berasal dari kepentingan-kepentingan penguasaan tertentu. Dikutip dari “Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan”, Francisco Budi Hardiman, Kanisius: Yogyakarta, hal 191
8 . Doglas Kellner.1995. Media Culture Culture, Identity And Politics Between The Modern And The Posmodern. Routledge: London. Hal 57.
9 . Eriyanto. 2003. Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media. Lkis: Yogyakarta, hal 10110 . John Fiske. Alih bahasa: Yosal Iriantara dan Idi Subandri Ibrahim. 2004. Introduction To
Communication Study, 2nd. Jalasutra: Yogyakarta, hal 243. Juga dijelaskan oleh Eriyanto (2003) dalam buku Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media. Lkis: Yogyakarta hal 107
11 . ibid., hal 243.12 . Paul Grosswoler, Jorge Reina Schement (eds). 2001. Cultural Study dalam Encyclopedia Of
Communication And Information, 1st volume. Macmillan Library reference: USA. Hal 201.
13 . Stephen W. Littlejohn.1996. Theories Of Human Communication, 5th Edition. Wadsworth
22
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
komunikator, bukan hanya ditampilkan secara berlebihan tetapi juga
dengan detil yang lengkap kalau perlu dengan data-data. Detil yang
lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilkaukan
secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak.
Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan
mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap atau
wacana yang dikembangkan oleh wartawan kadangkala tidak perlu
Publishing Company: California, USA., Hal 229. Bunyinya; “The process of hegemony can occur in many ways and in many settings. In essence, it happens when events or texts are interpretated in a way that promotes the interests of one group over those of another. This can be a subtle process of co-opting the interests of a subordinate group into supporting those of dominant one”.
14 . Bahasa Inggrisnya worldview; Bahasa Jermannya Weltanschauung/weltansicht15 . Dalam buku “Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak” Semarang. Diterbitkan
atas kerjasama penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya ikapi serta Ford Foundation. Tahun 2001 Hal 31
16 . Agus Sudibyo. 2001. Politik Media Dan Pertarungan Wacana Lkis Yogyakarta, hal 6517 . Hal senada juga dinyatakan oleh Everett M. Roger dalam bukunya yang berjudul A history
of Communication Study: A Biografical Approach seperti dikutip oleh Eriyanto, mengemukakan bahwa “media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan”. Eriyanto (2003) dalam buku Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media. Lkis: Yogyakarta hal 48
18 . Dalam Emory Griffin. 1991. A First look At Communication Theory. McGrow-Hill: USA, Stuart Hall menulis: “Critical theorists view the mass media as a means by which the haves of society gain the willing support of the have-nots to maintain the status quo”. Hal 310
19 . op. cit. hal 31120 . Dalam bukunya Introduction Of Communication Studies, John Fisk seperti yang dikutip
Eriyanto dalam buku Analisis Wacan, Pengantar Analisis Teks Media. Lkis: Yogyakarta hal 87 mengatakan, “makna tidak intrinsik ada pada teks itu sendiri. Seorang yang membaca suatu teks berita tidak menemukan makna dalam teks, sebab yang dia temukan dan yang hadapi secara langsung adalah pesan dalam teks. Makna itu diproduksi lewat proses yang aktif dan dinamis, baik dari sisi pembuat maupun khalayak pembaca”.
21 . ibid hal 4822 . Kedua ranah tempat beroperasinya ideologi yang adalah 1) Sebuah sistem kepercayaan
yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Menurutnya Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi dibentuk oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja, dan sebagainya. 2) Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat—ide palsu atau kesadaran palsu—yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam hal pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Kelompok dominan mengeontrol kelompok lain dengan perangkat
23
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
disampaikan secara terbuka, tetapi dari detil bagian mana yang
dikembangkan dan mana yang diberitakan dengan detil yang besar,
akan menggambarkan bagaimana wacana yang dikembangkan oleh
media.40
3.3. Maksud
ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat yang akan membuat membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural dan diterima sebagai kebenaran. Eriyanto, Hal 88, 92
23 . Kedua ranah tempat beroperasinya ideologi yang adalah 1) Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Menurutnya Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi dibentuk oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja, dan sebagainya. 2) Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat—ide palsu atau kesadaran palsu—yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam hal pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Kelompok dominan mengeontrol kelompok lain dengan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat yang akan membuat membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural dan diterima sebagai kebenaran. Eriyanto, Hal 88, 92
24 . Peter L. Berger & Thomas Luckman. 1981. The Social Construction of Reality. Penguin Books. Hal 49-61
25 . Tonny Bennet (1982) Media Reality Signification. dalam Mitchel Gurevitch (ed) Culture Society & Media Methuen hal 289
26 . Agus Sudibyo. 2001.Politik Media Dan Pertarungan Wacana. Lkis: Yogyakarta, hal 18327 . ibid, hal 182-183.28 . Hikam, dalam latif dan Ibrahim, Ed., 1996:81 hal 2229 . Yasraf A Piliang. 2005. Transpolitika Dinamika Politik Di Era Virtualitas.
Jalasutra:Yogyakarta Hal 9830 . Pierre Bordieu. 1992. Language And Symbolic Power. Polity Press, hal 1431 . Yasraf A Piliang. 2005. Transpolitika Dinamika Politik Di Era Virtualita. Jalasutra:
Yogyakarta hal 22032 . ibid, hal 22133 . Hanno Hardth. 2004. Crtical Communication Studies: Sebuah Pengantar Comprehensif
Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa Dan Tradisi Pragmatis Amerika. Jalasutra:Yogyakarta. Hal xvi-xvii
34 . Alex Sobur, 2003. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika Dan Analisis Framing. PT Remaja Rosda Karya: Bandung, Hal 78
35 . Uraian mengenai struktur wacana ini didasarkan pada tulisan Van Dijk seperti dikutip Eriyanto. 2003. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media Lkis: Yogyakarta
24
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan
komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya
informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit
dan tersembunyi. Tujuannya adalah publik hanya disajikan
informasi yang menguntungkan komunikator. Informasi yang
menguntungkan disajikan secara jelas, dengan kata-kata yang tegas
dan menunjuk langsung ke fakta. Sebaliknya informasi yang
merugikan disajikan dengan kata tersamar, eufemistik, dan berbelit-
belit. Dengan semantik tertentu, seorang komunikator dapat
menyampaikan secara implisit informasi atai fakta yang merugikan
dirinya, sebaliknya secara explisit akan menguraikan informasi yang
menguntungkan dirinya. Dalam konteks media, elemen maksud
menunjukan bagaimana secara implisit dan tersembunyi wartawan
menggunakan praktek bahasa tertentu untuk menonjolkan basis
kebenarannya dan secara implisit pula menyingkirkan versi
kebenaran lain. 41
36 . ibid, hal 23037 . ibid,hal 233-23438 . op. cit. Hal 7839 . op. cit. hal 235-23640 . ibid, hal 23841 . ibid , hal 240
25
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
3.4. Praanggapan
Elemen wacana praanggapan (presupposition) merupakan
pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks.
Kalau latar berarti upaya mendukung pendapat dengan jalan
memberi latar belakang, maka praanggapan adalah upaya untuk
mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya
kebenarannya. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang
dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan. Teks pada
umumnya mengandung banyak sekali praanggapan. Praanggapan ini
merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya, tetapi
dijadikan dasar untuk mendukung gagasan tertentu42
3.5. Nominalisasi, nominalisasi merupakan strategi yang dapat
memberikan sugesti kepada khalayak adanya generalisasi. Elemen
yang hampir sama dengan nominalisasi adalah abstraksi –
berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang
objek sebagai sesuatu yang tunggal berdiri sendiri ataukah sebagai
suatu kelompok komunitas.
4 Sintaksis43
4.1. Koherensi Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau
kalimat dalam teks. Dua kalimat yang menggambarkan fakta yang
berbeda dapat dihubungkan sehingga nampak koheren, sehingga fakta
yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika
seseorang menghubungkannya. Koherensi ini secara mudah dapat diamati
diantaranya dari kata hubung (konjungsi) yang dipakai untuk
menghubungkan fakta. Apakah dua kalimat dipandang sebagian
hubungan kausal (sebab-akibat), hubungan keadaan, waktu, kondisi dan
42 . ibid, hal 25643 . ibid, hal 242-247
26
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
sebagainya. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan
bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh
wartawan. Koherensi dibagi menjadi dua jenis. Pertama, Koherensi
Kondisional. Ini ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai
penjelas. Di sini ada dua kalimat, di mana kalimat kedua menjadi penjelas
atau keterangan dari proposisi pertama, yang dihubungkan dengan kata
hubung (konjungsi) seperti “yang” atau “dimana”. Kalimat kedua
fungsinya dalam kalimat semata hanya penjelas (anak kalimat), sehingga
ada atau tidak ada anak kalimat tidak mempengaruhi arti kalimat. Anak
kalimat itu menjadi kepentingan komunikator karena ia dapat
memberikan keterangan yang baik/ buruk terhadap suatu pernyataan.
Koherensi ini dalam banyak hal seringkali menggambarkan kepada kita
bagaimana sikap wartawan atas peristiwa, kelompok atau seseorang yang
ditulis. Bagaimana sikap tersebut dilekatkan dan tanpa disadari
menggiring pembaca pada pemahaman atau pemaknaan tertentu. Kedua,
Koherensi Pembeda ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua
peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat
dibuat seolah-olah saling bertentangan bersebrangan (contrast) dengan
koherensi ini. Efek koherensi pembeda ini bermacam-macam. Akan tetapi
yang terlihat nyata adalah bagaimana pemaknaan yang diterima oleh
khalayak berbeda. Karena satu fakta atau realitas dibandingkan dengan
realitas yang lain. Di sini yang harus dikritisi adalah bagaimana realitas
yang perbandingkan dan dengan cara apa perbandingan itu dilakukan.
Apa efek dari perbandingan tersebut, apakah membuat satu fakta menjadi
lebih baik atau bertambah buruk.
4.2. Bentuk kalimat Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang
berhubungan dengan cara berfikir logis, yaitu prinsip kasualitas. Di mana
ia menanyakan apakah A yang menjelaskan B ataukah B yang
27
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
menjelaskan A. Logika kasualitas ini kalau diterjemahkan ke dalam
bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) atau objek (yang
diterangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya teknis kebenaran tata
bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat.
Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari
pernyatannnya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek
dari pernyataannya. Bentuk lain adalah dengan urutan pemakaian kata-
kata yang mempunyai dua fungsi sekaligus. Pertama, menekankan atau
menghilangkan dengan penempatan dan pemakaian kata atau frase yang
mencolok dengan menggunakan permainan semantik. Yang juga penting
dalam sintaksis selain bentuk kalimat adalah proposisi dalam kalimat.
Bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam rangkaian kalimat. Proposisi
mana yang yang ditempatkan diawal kalimat, dan mana yang diakhir
kalimat. Penempatan itu dapat mempengaruh makna yang timbul karena
akan menunjukan bagian mana yang lebih ditonjolkan kepada khalayak.
4.3. Kata ganti Elemen kata ganti merupakan elemen yang
memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif.
Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk
menunjukan di mana posisi seseorang dalam wacana. Dalam
mengungkapkan sikapnya, seeorang dapat menggunakan kata ganti
“saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut
merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Akan tetapi ketika
memakai kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi
sikap bersama dalam komunitas tertentu. Batas antara komunikator dan
khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukan apa yang
menjadi sikap komunikator juga menunjukan sikap komunitas secara
keseluruhan. Pemakaina kata jamak seperti kata “kami” atai “kita”
mempunyai imlikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik,
28
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
serta mengurangi kritik dan oposisi (hanya) kepada diri sendiri
4.4. Pengingkaran Elemen wacana pengingkaran adalah bentuk praktek
wacana yang menggambarkan bagaimana wartawan menyembunyikan
apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Dalam arti yang umum,
pengingkaran menunjukan seolah wartawan menyetujui sesuatu, padahal
ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang
menyangkal persetujuannya tersebut. Dengan kata lain, pengingkaran
merupakan bentuk strategi wacana di mana wartawan tidak secara tegas
dan eksplisit menyampaikan pendapat dan gagasannya kepada
khalayak.pengingkaran adalah sebuah elemen di mana kita bisa
membongkar sikap atau ekspresi wartawan yang disampaikan secara
tersembunyi itu dilakukan oleh wartawan seolah ia menyetujui pendapat,
padahal yang ia inginkan adalah sebaliknya. Oleh karena itu, perlu
dikritisi apa maksud yang sesungguhnya dari penulis atau wartawan dan
bagaimana pengingkaran itu dilakukan. Umumnya pengingkaran itu
dilakukan di bagian akhir, di mana wartawan wartawan sebelumnya
menampilkan pendapat umum terlebih dahulu, pendapat pribadi disajikan
sesudahnya. .
5 Stlistik
Elemen wacana yang masuk dalam kategori Stlistik yaitu Leksikon Pada
dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata
atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. pemilihan kata bukan terjadi secara
kebetulan tetapi juga secara ideologis menunjukan bagaimana pemaknaan
seseorang terhadap fakta atau realitas.44
6 Retoris45
61. Grafis Elemen ini merupakan bagian untuk
44 . op. cit. Hal 25345 . op. cit. Hal 258
29
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
memeriksa apa yang ditekankan atau yang
ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh
seseorang yang diamati dari teks. Dalam wacana
berita, grafis ini biasanya muncul lewat tulisan atau
bagian yang ditulis lain dibandingkan dengan lain.
Pemakaian hurup tebal, hurup miring, pemakaian
garis bawah, hurup yang dibuat dengan ukuran hurup
yang lebih besar.Termasuk didalamnya pemakaian
caption, raster, grafik, gambar, atau tabel yang
memandang arti penting sesuatu pesan. Bagian-
bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada
khalayak pentingnya bagian tersebut. Bagian yang
dicetak berbeda adalah bagian yang dipandang
penting oleh komunikator, di mana ia menginginkan
khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian
tersebut. Elemen grafis juga muncul dalam bentuk
foto, gambar atau tabel yang mendukung gagasan
atau bentuk lain yang tidak diinginkan. Pemakaina
angka-angka dalam berita diantaranya digunakan
untuk mensugestikan kebenaran, ketelitian, dan posisi
dari suatu laporan.
62. Metafora Dalam suatu wacana, seorang wartawan
tidak hanya menyampaikan pesan pokok mlewat teks,
tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora, juga sebagai
ornamen atau bumbu dari suatu berita. Akan tetapi
pemakaian metafora tertentu bisa jadi menjadi
petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.
Metafora tertentu dipakai oleh wartawan secara
30
Di Upload oleh Dimas Aris Sera a.k.a dhennys_assilahkan hubungi saya jika ingin mendapatkan full versionnya sampai bab terakhir.
strategis sebagai landasan berfikir, alasan pembenar
atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik.
Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat,
ungkapan, sehari-hari, peribahasa, petuah leluhur,
kata-kata kuno, atau bahkan dari ayat-ayat suci—
yang semuanya dipakai untuk memperkuat pesan
utama.
31