BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tourism is...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tourism is...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Tourism is everything and everything is tourism”
Kutipan di atas merupakan ungkapan mengenai pariwisata yang
dikemukakan oleh Ian Munt (dalam Mandia,2008), yang menunjukkan pariwisata
merupakan sebuah aktivitas yang sangat penting pada saat ini. Istilah tersebut
muncul karena industri pariwisata saat ini tidak mempunyai suatu batasan yang
jelas karena menjadi salah satu industri besar di dunia. Industri pariwisata
merupakan salah satu jenis industri yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi
secara cepat dalam menyediakan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar
hidup, serta menstimulasi sektor-sektor produktivitas lainnya (Pendit, 1999:35).
Pariwisata saat ini dapat dikatakan sebagai gaya hidup (life style) dan menjadi
aktivitas yang wajib bagi masyarakat modern untuk menghilangkan penat serta
stress dari rutinitas mereka sehari-hari.
Istilah pariwisata di Indonesia sendiri muncul pada awal tahun 1960-an
untuk menggantikan kata Tourism atau Travel. Pariwisata adalah aktivitas
perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari tempat tinggal semula ke
daerah tujuan. Maksud dari pariwisata tersebut bukan untuk menetap atau mencari
nafkah, melainkan untuk bersenang-senang, memenuhi rasa ingin tahu,
menghabiskan waktu senggang atau waktu libur serta tujuan-tujuan lainnya.
Menurut Bull (dalam Sukarsa, 1999), pariwisata adalah aktivitas manusia yang
mencakup tingkah laku manusia, penggunaan sumber daya dan berinteraksi
dengan masyarakat, ekonomi dan lingkungan. Aktivitas yang dimaksud dapat
berupa menikmati sinar matahari di pantai (berjemur), indahnya panorama
pegunungan, laut, sungai, danau, memancing, snorkeling, diving, hiking, berburu,
melihat keunikan budaya lokal dan sebagainya. Dalam UU No.10/2009 tentang
kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam
kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Orang
yang melakukan kegiatan wisata disebut dengan wisatawan.
Menurut tujuannya, kegiatan wisata dibedakan menjadi lima.
Kelimabentuk wisata tersebut adalah wisata budaya, wisata religi, wisata
kesehatan, MICE (meeting, insentive, conference, and exibihition), wisata kuliner,
dan ekowisata. Wisata budaya adalah wisata yang menggunakan budaya sebagai
obyeknya. Wisata budaya dapat dikemas menjadi suatu paket wisata, yang mana
kita sering mendengar istilah desa wisata akhir-akhir ini. Desa wisata menjadi
salah satu contoh dari wisata budaya. Wisata religi adalah jenis pariwisata yang
bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan batin atau rohani guna memperkuat iman
manusia,seperti berziarah ke tempat keramat, sakral, umroh dan lainnya. Wisata
kesehatan adalah kegiatan wisata yang bertujuan untuk menyembuhkan suatu
penyakit atau membuat tubuh menjadi rileks atau santai, Spa dapat dikatakan
menjadi wisata kesehatan akhir-akhir ini. Ekowisata adalah kegiatan wisata yang
bertujuan untuk konservasi. Sedangkan wisata MICE adalah usaha jasakonvensi,
perjalanan insentif, dan pameranmerupakan usaha dengan kegiatan memberi jasa
pelayanan bagi suatu pertemuan sekelompok orang (negarawan, usahawan,
cendikiawan, dan sebagainya) untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan
dengan kepentingan bersama.
Berbeda dengan jenis-jenis wisata tersebut, perkembangan ekowisata
semakin populer dewasa ini. Seiring dengan trend go green ataupun adanya
climate change, ekowisata diharapkan menjadi wisata yang ramah lingkungan.
Ekowisata adalah konsep yang mengkombinasikan kepentingan industri
kepariwisataan dengan para pecinta lingkungan. Menurut The International
Ecotourism Society, ekowisata merupakan pariwisata bertanggung jawab yang
dilakukan pada tempat-tempat alami, serta memberikan kontribusi terhadap
kelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (Page dan
Dowling, 2002). Ekowisata memanfaatkan sumber-sumber alam atau daerah yang
relatif belum berkembang dengan mempromosikan konservasi alam dan
memberikan dampak sesedikit mungkin terhadap lingkungan serta manfaat
ekonomi bagi masyarakat setempat (Ceballos-Lascurain,1996 dalam Ernawati
2006). Ekowisata berpijak pada sistem biologi yang berfungsi secara sempurna
meliputi flora dan fauna yang secara nyata menjadi daya tarik dari wisatawan.
Ekowisata saat ini terus mengalami perkembangan di Indonesia. Banyak
daerah di Indonesia mulai mengembangkan ekowisata. Berbagai alasan muncul
terkait pengembangan ekowisata, salah satunya adalah mencegah kerusakan alam
yang diakibatkan oleh eksploitasi berlebihan dengan adanya pariwisata terutama
pariwisata massal. “Carrying capacity” atau kemampuan suatu tempat untuk
menerima kunjungan pada suatu waktu, merupakan dampak buruk dari sebuah
industri pariwisata terhadap alam. Jumlah pengunjung yang sangat banyak pada
satu sisi mendatangkan keuntungan dalam segi ekonomis, namun di satu sisi lain
juga menyebabkan kerugian dan permasalahan.
Lereng Gunung Lawu merupakan salah satu contohnya. Lereng Gunung
Lawu dulunya merupakan hamparan padang bunga Edelweiss. Saat ini telah
mengalami kerusakan yang serius, sehingga ekosistem di sekitarnya ikut
terganggu (Ernawati, 2006). Contoh lain adalah Pulau Sempu atau pantai Segara
Anakan yang berada di daerah Malang Selatan. Pulau Sempu merupakan salah
satu primadona wisata di Kota Malang dikarenakan keindahan alamnya yang unik.
Sayangnya, saat ini mengalami kerusakan lingkungan dengan adanya peningkatan
wisatawan yang datang untuk berkunjung. Kerusakan-kerusakan lingkungan yang
terjadi seperti karang lunak yang terinjak oleh pengunjung saat mengeksplorasi,
tumpukan sampah-sampah serta kotoran yang sengaja ditinggalkan oleh
wisatawan, kurangnya kesadaran akan kebersihan, dan lainnya. Pencemaran-
pencemaran terhadap air, udara, dan tanah pun tidak dapat dihindari.
Ekowisata di Indonesia mulai serius dikembangkan pada tahun 1990-an
dengan dibangunnya daerah wisata yang berlandaskan alam. Pada tahun 2002,
pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Tahun Ekowisata Indonesia
(Hakim, 2004:58). Salah satu contoh pengembangan ekowisata di Indonesia
adalah Pulau Bali. Bali sampai saat ini merupakan ikon pariwisata Indonesia yang
masih menjadi daya tarik para wisatawan untuk datang berkunjung. Bali adalah
pulau yang dianugerahi sebuah kekayaan sumber daya alam, buatan, maupun
sumber daya manusiawi. Nusa Lembongan merupakan salah satu bagian dari
propinsi Bali yang letaknya terpisah dari daratan Pulau Bali dan berada di sebelah
tenggara Pulau Bali. Nusa Lembongan yang secara administratif terletak di
Kabupaten Klungkung terdiri dari dua desa, yaitu Desa Lembongan dan Desa
Jungutbatu. Keunikan dan kekayaan alam yang berada di Nusa Lembongan telah
menjadikannya sebagai salah satu tujuan wisata di Bali.
Nusa Lembongan terkenal sebagai pulau penghasil rumput laut di Bali,
dan menjadi komoditas ekspor hingga saat ini. Mayoritas masyarakatnya,
termasuk masyarakat Desa Jungutbatu bekerja sebagai petani rumput laut dan
sebagian lainnya merantau mengadu nasib ke daerah lain terutama ke Pulau Bali.
Namun sejak berkembangnya pariwisata di Desa Jungutbatu, sebagian masyarakat
lokal telah beralih dengan bekerja di sektor pariwisata. Pariwisata (ekowisata
khususnya) di Jungutbatu saat ini telah menjadi bagian dari hidup masyarakat desa
dan juga menjadi salah satu sumber ekonomi. Menurut Damanik (2005),
pariwisata memberi sumbangan secara signifikan pada perkembangan
perekonomian suatu daerah atau negara. Melalui kegiatan wisata yang menjual
keindahan objek serta kenyamanan pelayanannya, kelestarian objek wisata dan
lingkungannya diharapkan dapat terus dipertahankan. Oleh karena itu, untuk
menjadi sebuah sustainable tourism (pariwisata yang berkelanjutan) yang
memberi dampak positif untuk masyarakat lokal, diperlukan peran serta dan juga
usaha dari masyarakat lokal untuk melestarikan lingkungan alam Desa Jungutbatu
sebagai nilai jual ekowisata.
B. Tinjauan Pustaka
Indonesia merupakan Negara yang berada di daerah tropis memiliki
kurang lebih 17 ribu pulau. Kekayaan alam Indonesia sangat berpotensi untuk
kegiatan pariwisata khususnya ekowisata. Pemanfaatan pulau-pulau kecil di
Indonesia untuk kegiatan ekowisata perlu dilakukan sebab di pulau-pulau kecil
tersebut tersebut terdapat beragam ekosistem yang saling berkaitan erat, seperti
padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove. Pembangunan pariwisata
dewasa ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan dari
masyarakat lokal daerah wisata tersebut.
Ekowisata yang merupakan salah satu dari bentuk pariwisata, dewasa ini
mengalami perkembangan yang pesat. Hasil penelitian atau kajian-kajian
mengenai ekowisata sebagai wisata alternatif dan masyarakat lokal sebagai
penjaga kelestariannya banyak ditemukan, dikarenakan berkembangnya industri
pariwisata dewasa ini. Penelitian yang dilakukan oleh Hendrikus pada tahun 2010
di Pulau Komodo menemukan bahwa diperlukan kerja sama antara semua pihak
termasuk masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian Komodo yang merupakan
nilai jual dari pulau tersebut. Pulau Komodo merupakan pulau yang memilki
kekayaan flora maupun fauna. Dalam skala internasional, Taman Nasional (TN)
Komodo ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Internasional dan Pusaka Warisan
Dunia. Sesuai dengan namanya, TN Komodo menjadi daerah konservasi hewan
endemik Indonesia yaitu Komodo. Untuk menjaga kelestariannya, terdapat aturan-
aturan yang ditetapkan. Salah satunya adalah larangan untuk berburu Rusa atau
Kerbau. Komodo berada di puncak piramida makanan dan merupakan predator
utama di TN Komodo. Ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup Komodo
adalah para pemburu liar. Jika makanan utama mereka (rusa dan kerbau) habis
diburu, maka dikhawatirkan komodo pun akan ikut musnah. Untuk itu usaha yang
dilakukan saat ini adalah mengatasi pemburu liar.
Seiiring dengan meningkatnya popularitas pulau Komodo, jumlah
wisatawan yang datang berkunjung mengalami peningkatan pula. Hal tersebut
menimbulkan persoalan, antara lain kerusakan sumber daya alam, rusaknya
beberapa fasilitas pelayanan wisata dan permasalahan sampah yang terjadi
dimana-mana. Untuk itu diperlukan control dan monitoring agar kelestarian
sumber daya alam tetap terjaga dan pengalaman pengunjung juga tetap
terpelihara. Untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama berkunjung, sejumlah
sarana dan prasarana telah dibangun. Beberapa fasilitas yang telah ada antara lain
Front office yang digunakan untuk melakukan registrasi, melayani pembelian tiket
serta pusat informasi awal mengenai paket-paket wisata, aturan main, sumber
daya alam yang akan dinikmati, pilihan jalur wisata yang diinginkan, dan
informasi naturalist guide yang akan mendampingi wisatawan.
Ekowisata juga tumbuh di berbagai negara, termasuk Thailand.
Pengembangan ekowisata di Thailand merupakan jalan keluar atau solusi bagi
pemerintah Thailand terhadap efek negatif mass tourism. Walaupun penelitian
yang dilakukan oleh Puspitaayu (2011) menuliskan mengenai keberhasilan
ekoturisme di Thailand, namun menurutnya peran serta masyarakat dalam
ekowisata sangat sedikit. Terdapat beberapa masyarakat lokal di Thailand yang
menolak daerahnya untuk dijadikan lokasi ekowisata. Penolakan tersebut
dikarenakan masyarakat lokal tidak ingin hutan mereka diganggu. Menurut
mereka, ekowisata dapat mengakibatkan berkurangnya nilai kesakralan. Hal
tersebut tentu menjadi kontradiksi, karena keberhasilan ekowisata juga ditentukan
oleh peran serta masyarakat lokal dalam ekowisata.
Peran serta masyarakat dalam ekowisata di Taman Nasional (TN) Gunung
Leuser adalah menjadi Guide atau penunjuk jalan bagi para wisatawan yang ingin
menjelajahi hutan. Penduduk lokal terutama dari kelompok dewasa tampil sebagai
pemandu wisata dengan tarif $50/hari/orang. Keterlibatan masyarakat dalam
kegiatan ekowisata dengan tetap terpeliharanya kawasan Taman Nasional menjadi
bukti bahwa masyarakat mengambil manfaat dari kawasan konservasi
(Siburian,2008). Menurut Siburian, Balai Taman Nasional Gunung Leuser yang
seharusnya sebagai penyedia jasa pemandu memberikan kesempatan bagi
penduduk lokal untuk ikut berpartisipasi dengan syarat tidak merusak ekosistem
kawasan. Salah satu aturannya adalah cara memotong anakan pohon yang
menghalangi jalur trekking. Agar dapat terus tumbuh, anakan pohon tersebut
dipotong tidak sampai putus. Masyarakat lokal berperan sebagai barisan depan
dalam menjaga pelestarian TN Gunung Leuser dari upaya perusakan. Kerusakan
yang terjadi dapat berakibat berkurangnya wisatawan yang berarti hilangnya
sumber pendapatan ekonomi masyarakat lokal.
Heny (2013) melakukan penelitian mengenai partisipasi masyarakat lokal
pada tiga desa wisata yang berada di Tabanan, Bali. ketiga desa wisata tersebut
antara lain Desa Candikuning, Desa Kukuh dan Desa Jatiluwih. Hasil
penelitiannya menunjukkan jika masyarakat lokal hanya sebagai objek saja, dan
bukan sebagai subjek dari pengembangan desa wisata di wilayahnya. Tingkat
paritisipasi masyarakat lokal pada ketiga desa tersebut tergolong sedang. Antara
masyarakat yang terkait langsung dengan kegiatan pariwisata dan yang tidak,
tampak tidak berbeda secara signifikan. Lebih lanjut, Heny menyebutkan jika
partisipasi yang terjadi adalah partisipasi semu. Dikatakan semu karena masyarkat
berpartisipasi pada tahap pelaksanaannya saja, berupa pemanfaatan peluang kerja
dan memperoleh pendidikan serta latihan. Keterlibatan masyarakat dalam
pengambilan keputusan, pengawasan, dan kewenangan adalah rendah. Akses dan
hak masyarakat dalam menyampaikan usulan, dan tuntutan juga rendah.
Potensi ekowisata hutan mangrove di Nusa Lembongan telah diteliti oleh
Yuanike1. Penelitian tersebut dilakukannya pada tahun 2003 di Desa Lembongan
dan Desa Jungutbatu. Aktivitas kepariwisataan di Nusa Lembongan mulai
berkembang dengan ditetapkannya Nusa Lembongan sebagai salah satu dari 21
tujuan wisata di Bali. Penetapan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Nomor 528 Tahun 1993, dengan obyek wisata yang memanfaatkan keindahan
alam laut dan bawah air (Suharnoto, 2000 dalam Yuanike, 2003).
Hutan mangrove yang berada di Nusa Lembongan memiliki arti yang
sangat penting. Mengingat fungsi ekologisnya sebagai pendukung produktivitas
perairan di sekitar kawasan Nusa Lembongan, dan juga mendukung kehidupan
satwa liar serta masyarakat di sekitar kawasan (Yuanike, 2003). Oleh karena itu
diperlukan suatu perencanaan pengembangan wisata alam yang dipadukan dengan
1Yuanike, Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove dan Partisipasi Masyarakat di Kawasan Nusa Lembongan Bali , Tesis, Bogor:Institut Pertanian Bogor, 2003.
upaya pelestarian hutan mangrove dan pengembangan pembangunan di bidang
pariwisata.
Alasan wisatawan datang berkunjung ke Nusa Lembongan dikarenakan
keindahan alam yang masih alami, penduduk lokal yang ramah, dan bersahabat.
Sebagian dari wisatawan menyatakan bahwa pulau ini unik karena kawasan ini
tetap mempertahankan budayanya dan belum terkena imbas pariwisata. Mayoritas
masyarakat Nusa lembongan menyatakan setuju dengan adanya ekowisata
Mangrove karena terciptanya lapangan kerja yang baru dan tentunya menambah
pendapatan mereka serta meningkatkan taraf hidup mereka. Mereka menyambut
positif adanya pengembangan ekowisata di pulau mereka.
Namun, penelitian yang dilakukan oleh Yuanike tidak menyentuh aspek
nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh masyarakat desa serta mengenai perilaku
masyarakat sehari-hari terhadap lingkungan desa mereka. Mayoritas masyarakat
Desa Jungutbatu beragama Hindu seperti kebanyakan masyarakat Bali lainnya,
yang mempunyai nilai tersendiri dalam kehidupan sosial mereka. Selain itu tidak
dijelaskan pula mengenai bentuk-bentuk peraturan desa, serta hukuman bagi yang
melanggar peraturantersebut.
C. Rumusan Masalah
Lingkungan dalam kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan. Dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak mungkin lepas dari lingkungan
dimana dia tinggal. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berusaha untuk
mengolah, serta mengeksploitasi sumber daya alam lingkungannya. Menurut
Awang (2002), terdapat dua cara pemanfaatan lingkungan yaitu sumber daya yang
dikelola dan dimanfaatkan dengan cenderung merusak ekosistem, dan sumber
daya alam yang dimanfaatkan serta dikelola secara arif dengan menjaga serta
melestarikannya. Pemanfaatan lingkungan secara arif tentu akan menghasilkan
lingkungan yang tetap terjaga ekosistemnya. Antara manusia dengan alam
memiliki sebuah titik temu dalam usaha memanfaatkan lingkungan secara bijak.
Manusia mengambil manfaat dari sumber daya alam, namun juga memeliharanya.
Sehingga antara keduanya terjadi simbiosis mutualisme atau hubungan yang
saling menguntungkan.
Ekowisata merupakan salah satu bentuk pariwista yang tidak bisa lepas
dari lingkungan alam. Berdasarkan klasifikasi pariwisata dalam latar belakang
masalah di atas, ekowisata merupakan salah satu bentuk dari pariwisata
berkelanjutan (sustainable tourism). Pelaksanaan ekowisata memerlukan
perencanaan dan persiapan matang agar tidak mendatangkan kerugian. Hal itu
mengingat karena pada dasarnya ekowisata membuka peluang bagi para
wisatawan untuk memasuki kawasan yang dilindungi, yang selama ini jarang
dijamah oleh tangan-tangan manusia.
Ekowisata juga menjadi aktivitas ekonomi penting yang memberikan
kesempatan kepada wisatawan untuk mendapatkan pengalaman mengenai alam
dan budaya. Bertujuan untuk dipelajari dan memahami betapa pentingnya
konservasi keanekaragaman hayati serta budaya lokal. Pada saat yang sama
ekowisata dapat memberikan pemasukanuntuk kegiatan konservasi dan
keuntungan ekonomi pada masyarakat lokal yang tinggal di sekitar lokasi
ekowisata.
Kehidupan masyarakat Desa Jungutbatu tidak dapat dipisahkan dari
pariwisata. Pembangunan sarana dan prasarana untuk mendukung pariwisata
masih terus dilakukan. Dari data tersebut dapat terlihat jika masyarakat sangat
menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. Secara tidak langsung,
pariwisata memberikan makna bagi masyarakat Desa Jungutbatu. Untuk
kelangsungan kegiatan pariwisata di Desa Jungutbatu agar terus bertahan dalam
jangka waktu yang lama, diperlukan sebuah langkah-langkah dan dukungan dari
masyarakat lokal untuk menjaga alam agar tetap lestari. Berdasarkan hal-hal
tersebut, maka muncul pertanyaan penelitian
1. Nilai-nilai apa yang dianut masyarakat lokalterhadap lingkungannya?
2. Bagaimana nilai tersebut tampak pada perilaku sehari-hari masyarakat
terhadap lingkungannya?
3. Bagaimana partisipasi masyarakat lokal Desa Jungutbatu dalam
menjaga kelestarian alam yang merupakan bagian dari ekowisata yang
ada di wilayahnya?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melihat partisipasi
masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan di tengah industri
pariwisata (ekowisata khususnya) yang berkembang di desanya sesuai dengan
perspektif dari masyarakat lokal. Dimana terdapat nilai-nilai lokal yang hidup di
tengah masyarakat yang digunakan sebagai pedoman hidup mereka dalam
berperilaku sehari-hari. Selain itu juga, diharapkan hasil penelitian ini mampu
menambah kajian secara akademis dalam bidang antropologi budaya.
Lebih lanjut, dalam bidang akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah referensi, informasi, dan wawasan bagi para pembaca. Minimal dapat
menjadi titik awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
E. Landasan Teori
Ekowisata mulai banyak dilakukan sejak dimulainya pertemuan di Rio De
Janeiro bulan Juni tahun 1992. Ekowisata muncul disebabkan adanya keprihatinan
terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan wisata. Seperti
yang telah diungkapkan sebelumnya, ekowisata adalah pariwisata bertanggung
jawab yang dilakukan pada tempat-tempat alami, serta memberikan kontribusi
terhadap kelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat
(dalam Page dan Dowling, 2002).Lebih lanjut, tujuan utama dari ekowisata adalah
mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam (lanskap) serta
kekayaan hayati yang ada di dalamnya, seperti hewan, tumbuhan, budaya lokal
yang ada di sekitar kawasan. (Honey, 1999 dalam Hakim, 2004).
Ekowisata berbeda dengan wisata alam (nature tourism). Walaupun wisata
alam mempunyai sisi strategis sebagai entry point untuk memahami ekowisata
karena keduanya berhubungan dengan alam. Nature tourism diartikan sebagai
kegiatan wisata ke tempat-tempat alamiah yang umumnya diikuti juga dengan
kegiatan fisik dari wisatawan tanpa memperhatikan kelestarian atau konservasi
alam tersebut. Wearing dan Neil (1999) menyatakan bahwa ide-ide ekowisata
berkaitan dengan wisata yang diharapkan dapat mendukung konservasi
lingkungan hidup (Hakim, 2004). Oleh karena itu, ekowisata berbeda dengan
wisata lainnya. Perbedaan tersebut terlihat dari sifat ekowisata yang dikondisikan
untuk mendukung kegiatan konservasi. Definisi ekowisata pun selalu
memfokuskan pada pariwisata yang bertanggung jawab.
Perubahan tren pariwisata dari mass tourism menjadi alternative tourism
disebabkan karena dalam beberapa segi memunculkan dampak-dampak negatif.
Menurut Putra (2007), indikasi-indikasi negatif yang disebabkan dalam
pengembangan mass tourism antara lain, yaitu (1) Eksploitasi yang berlebihan
terhadap daerah wisata sehingga dikhawatirkan tidak akan bertahan lama (over
exploitation of tourism resources), (2) kepadatan yang berlebihan (over crowded),
(3) pengembangan yang terlalu berlebihan (over development), (4) pengembangan
pariwisata yang berorientasi pada manfaat ekonomi jangka pendek dan menengah
saja. Selanjutnya menurut Choy dan Heillbronn (dalam Ahimsa-Putra, 2007)
terdapat lima prinsip utama ekowisata, ialah (a) Lingkungan: ekoturisme
bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang relatif belum terganggu atau
tercemar, (b) masyarakat: ekoturisme harus dapat memberi manfaat ekologi,
sosial, dan ekonomi secara langsung pada masyarakat, (c) pendidikan dan
pengalaman: ekoturisme harus dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan
lingkungan alam dan budaya, (d) berkelanjutan: ekoturisme dapat memberikan
sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi lingkungan jangka pendek maupun
jangka panjang, (e) manajemen: ekoturisme harus dikelola dengan baik dan
menjamin sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan sekarang maupun untuk generasi yang akan datang.
Alam atau lingkungan merupakan sebuah ekosistem yang di dalamnya
terdapat berbagai bagian atau unsur-unsur pembentuk yang saling berkaitan dan
saling tergantung sehingga terdapat hubungan timbal balik antar bagian dan
keseluruhan (Daeng, 2008). Manusia merupakan makhluk yang berbudaya,
sehingga memiliki pemikiran untuk dapat mempertahankan hidupnya di tengah
lingkungannya.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan etnoekologi, yang nantinya
diharapkan dapat mempelajari tingkah laku manusia dalam berbagai aktivitas
mereka yang berhubungan dengan lingkungan. Menurut Ahimsa-Putra (1994),
bahwa kelompok-kelompok masyarakat atau komunitas masyarakat dengan
budaya yang berbeda akan melihat dan memahami dunia mereka secara berbeda
sebagai akibat dari berbagai aspek sosial, budaya, sejarah, kondisi lingkungan dan
pengalaman. Tujuan dari metode etnoekologi adalah untuk menggambarkan
lingkungan menurut sudut pandang dari masyarakat lokal (emik). Asumsi dasar
dari etnoekologi adalah bahwa lingkungan atau lingkungan efektif bersifat
kultural yang disebabkan oleh obyek yang sama dapat dipahami secara berbeda
oleh orang yang memiliki latar-belakang budaya yang berlainan (Ahimsa, 1994).
Lebih lanjut, dalam pendekatan etnoekologi, lingkungan dikatakan efektif
apabila lingkungan tersebut memiliki pengaruh bagi pembentukan perilaku
manusia, serta memiliki sifat kultural. Lingkungan mengalami penafsiran melalui
sistem pengetahuan dan nilai tertentu. Dalam memahami lingkungan, peneliti
harus mengungkapkan taksonomi-taksonomi, klasifikasi-klasifikasi dalam bahasa
atau istilah lokal. Hal tersebut dikarenakan dalam bahasa atau istilah lokal
terkandung ide-ide atau pernyataan masyarakat yang diteliti mengenai
lingkungannya. Klasifikasi ini penting untuk mendapatkan etnoekologi
masyarakat yang diteliti yang kemudian dibentuk aturan-aturan perilaku terhadap
lingkungan yang dianggap tepat. Melalui pendekatan etnoekologi, diharapkan
mampu melihat perilaku masyarakat Desa Jungut Batu dalam aktivitas mereka
yang berkaitan dengan lingkungan.
Untuk mengetahui bagaimana persepsi, perilaku serta partisipasi
masyarakat lokal Desa Jungutbatu dalam hal menjaga lingkungan terkait dengan
adanya ekowisata di desanya, maka peneliti menggunakan teori yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut.
1. Nilai dan Perilaku
Mayoritas masyarakat Desa Jungutbatu beragama Hindu (Yuanike,2003).
Nilai-nilai Hindu yang ada pada masyarakat Desa Jungutbatu merupakan
pedoman hidup masyarakat sehari-hari. Nilai adalah semua pandangan mengenai
soal-soal yang paling berharga dan bernilai dalam hidup (Daeng, 2008:46).
Menurut Koentjaraningrat (1990) sistem nilai budaya merupakan konsepsi abstrak
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai apa yang
dianggap tidak berharga atau remeh. Nilai akan mengacu pada persepsi atau
pandangan masyarakat. Sistem nilai menjiwai semua pedoman tingkah laku
pendukung kebudayaan tersebut. Pedoman tingkah laku itu adalah sistem
normanya, adat istiadat, aturan etika, aturan moral, adat istiadat, aturan sopan
santun, pandangan hidup serta ideologi pribadi.
Dalam ajaran agama Hindu, dikenal sebuah konsep yang disebut dengan
Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan konsep bagaimana manusia harus
bersikap pada tiga hal agar hidupnya sejahtera (Agastia, 2007). Ketiga hal tersebut
adalah hubungan manusia dengan manusia (pawongan), manusia dengan alam
sekelilingnya (palemahan), dan manusia dengan ketuhanan (parahyangan). Yang
diantara ketiganya saling terkait, harmonis, dan seimbang antara satu dengan
lainnya. Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan alam dan
sosial budaya bersifat fungsional (Supartha, 2007).
Unsur Parahyangan adalah berkaitan dengan pemujaan terhadap Tuhan
YME. Berkenaan dengan unsur parahyangan tersebut disimbolkan dengan adanya
tempat suci atau pura sebagai tempat pemujaan, serta upacara-upacara adat. Unsur
Pawongan merupakan hubungan antara manusia dengan manusia. Sifat yang
menonjol dalam pawongan tercermin dari solidaritas yang tinggi, gotong royong,
dan rasa kebersamaan yang dilandasi oleh Tat Twam Asi. Tat Twam Asi dalam
ajaran agama Hindu mengajarkan kesusilaan tanpa batas (Parisada Hindu Dharma,
dalam Suwena,1998). Nilai-nilai tersebut baik secara langsung maupun tidak
langsung mempertebal rasa memiliki, keintiman, kebersamaan dan kepedulian.
Unsur Palemahan berarti alam lingkungan di sekitar masyarakat.
Masyarakat Bali percaya jika lingkungan alam harus diperlakukan dengan hormat.
Seperti halnya warga subak yang memandang alam pertanian mereka sebagai
Bhuana Agung atau alam semesta yang menjadi sumber kehidupan bagi petani
(Suwena, 1998). Sehingga untuk mengolahnya, diadakan upacara-upacara terlebih
dahulu. Pelaksanaan upacara-upacara baik individual maupun kolektif di area
subak menimbulkan kesakralan pada area tersebut. Hubungan-hubungan tersebut
bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam, dan manusia guna
mencapai kesejahteraan berkelanjutan secara harmonis.
Tri Hita Karana mengidentifikasikan norma, nilai, aturan yang harus
diataati. Dalam alam semesta semua sederajat, yang berarti manusia harus
menghormati alam dan semua unsur di dalamnya. Ketiga hal tersebut berkaitan
satu dengan lainnya sehingga membentuk sebuah sistem dan dijadikan pedoman
hidup masyarakat Bali khususnya termasuk dalam kegiatan pariwisata. Dalam
perspektif Tri Hita Karana, pariwisata seharusnya memperkuat budaya Bali. Hal
tersebut dikarenakan azas dasar dari pariwisata adalah keunikan serta kekhasan
budaya maupun alamnya. Kebudayaan dan alam adalah dua mata sisi dari uang
(Agastia, 2007). Konsep tersebut tegambar secara jelas pada Tri Hita Karana,
oleh karena itu diperlukan sebuah pengembangan pariwisata jangka panjang.
Nilai budaya merupakan bagian atau berada dalam sistem ide, gagasan.
Nilai budaya merupakan salah satu dari tiga wujud kebudayaan. Ketiga wujud
kebudayaan antara lain : (1) wujud kebudayaan sebagai suatu sistem gagasan atau
ide, (2) wujud kebudayaan sebagai perilaku yang berpola, dan (3) wujud
kebudayaan sebagai sekumpulan benda atau artifacts (Daeng, 2008:46). Tingkah
laku atau pola kelakuan juga merupakan bagian dari salah satu wujud kebudayaan.
Pola kelakuan atau disebut dengan sistem sosial atau social system, merupakan
tindakan berpola dari manusia. Sistem sosial ini berisi berbagai kegiatan manusia,
berhubungan, berinteraksi ataupun bergaul antara satu dengan lainnya.
Interaksi pada manusia diatur dan ditata oleh suatu sistem budaya, selain
itu juga interaksi tersebut dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai
tersebut (Koentjaraningrat, 1990:222). Budaya diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Dalam sebuah masyarakat, anggotanya menggunakan sistem
makna yang kompleks untuk mengatur tingkah laku mereka, memahami tingkah
laku mereka dan orang lain serta memahami dunia dimana mereka hidup
(Spradley,1997). Menurut Ruth Benedict, kebudayaan adalah pola-pola pemikiran
serta tindakan tertentu yang terungkap dalam aktivitas (Daeng,2008). Lebih lanjut
Awang (2002) mengungkapkan nilai yang menjadi pedoman atau mempengaruhi
perilaku masyarakat dalam memanfaatkan serta mengelola alamnya mengandung
sebuah kearifan lokal terhadap kelestarian lingkungan atau ekosistem.
2. Partisipasi
Partipasi merupakan suatu bentuk interaksi sosial dalam kehidupan
masyarakat. Menurut Webster (1966, dalam Yuanike,2003), partisipasi adalah
kegiatan atau pernyataan untuk ikut mengambil bagian dalam suatu kegiatan dan
kerjasama dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Pengertian dari
beberapa ahli lainnya mengaitkan dengan pembangunan, maka partisipasi adalah
upaya peran serta masyarakat dalam pembangunan tersebut. Sumarto (2009)
menyebutkan, Partisipasi masyarakat dalam governance adalah keterlibatan warga
dalam pembuatan keputusan mengenai penggunaan sumber daya publik dan
pemecahan masalah publik untuk pembangunann daerahnya.
Partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi keberhasilan sebuah
pembangunan. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, pembangunan kurang atau
bahkan tidak akan berhasil. Menurut Wardojo (1992), partisipasi adalah
keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk kegiatan maupun pernyataan.
Keikutsertaan tersebut trerbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antar
individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan.
Terdapat dua jenis partisipasi yang ada di masyarakat menurut Soetrisno
(1995, dalam Yuanike,2003). Pertama adalah partisipasi masyarakat dalam
pembangunan diartikan sebagai dukungan masyarakat terhadap proyek
pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pihak perencana.
Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat diukur oleh kemauan masyarakat untuk
ikut menanggung biaya pembangunan, baik uang ataupun tenaga. Kedua adalah
partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerja sama yang erat
antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melestarikan, dan
mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya tingkat
partisipasi masyarakat tidak diukur dengan kemauan masyarakat untuk
menangung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak masyarakat
untuk menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di daerah mereka.
Ukuran lain yang dipakai adalah ada tidaknya kemauan masyarakat untuk
secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek. Tujuan dasar dari
partisipasi masyarakat adalah mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan pembangunan negara serta membantu pemerintah untuk
dapat mengambil kebijaksanaan dan keputusan yang lebih baik.
Partisipasi menuntut adanya keikutsertaan seseorang atau kelompok dalam
suatu kegiatan. Keikutsertaan tersebut dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung. Keterlibatan secara langsung misalnya ikut terjun langsung
melaksanakan suatu kegiatan (fisik terlihat), sedangkan keterlibatan secara tidak
langsung dapat berarti secara fisik tidak terlihat, namun memberikan bantuan
seperti material atau sumbangan pikiran dalam kegiatan tersebut. Menurut
Tjokroamidjojo (1990), partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat
dibedakan menjadi tiga tahapan antara lain:
1. Keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi, dan kebijakan dalam perencanaan.
2. Keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan
3. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan.
Menurut Ying (2005, dalam Madiun, 2010), partisipasi masyarakat dalam
pariwisata dapat dilihat dalam dua perspektif, yaitu dalam hal proses pengambilan
keputusan, serta dalam hal pembagian keuntungan pariwisata. Partisipasi
masyarakat lokal dalam pariwisata dipahami atau dimaksudkan sebagai cara untuk
meningkatkan pendapatan, kesempatan kerja, dan pendidikan untuk masyarakat
lokal.
Tosun (2004, dalam Madiun, 2010), mengembangkan tipologi partisipasi
masyarakat menjadi tiga bagian utama. Ketiga bagian utama itu antara lain
partisipasi masyarakat secara spontan (spontaneous participation), partisipasi
masyarakat karena adanya kekerasan atau paksaan (coercive participation), dan
partisipasi masyarakat karena terdorong untuk melakukannya (induced
participation).
Partisipasi spontan (Spontaneous Participation) merupakan partisipasi
masyarakat lokal secara langsung dalam proses perencanan, pengambilan
keputusan, pelaksaan, dan pengawasan terhadap sebuah pembangunan di daerah
mereka. Partisipasi masyarakat karena adanya kekerasan atau paksaan (coercive
participation) merupakan bentuk partisipasi yang dimanipulasi dan diakali
sebagai pengganti partisipasi yang lama. Tujuan dari partisipasi ini adalah untuk
memungkinkan pemegang kekuasaan mendidik atau mencerdaskan masyarakat
lokal sehingga dapat membalikkan ancaman-ancaman potensial dan nyata menjadi
masa depan pembangunan. Beberapa keputusan mungkin diambil untuk
memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal dengan berkonsultasi terlebih
dahulu dengan sesepuh atau pemuka adat. Hal tersebut dimaksudkan agar
terhindar dari resiko yang bersifat sosio-politik. Partisipasi karena masyarakat
terdorong untuk melakukannya (induced participation) dimana masyarakat lokal
diberi kesempatan untuk mendengar dan didengar suaranya. Mereka memiliki hak
dan suara dalam proses pembangunan pariwisata. Namun terkadang suara mereka
akan kalah dengan para empunya kepentingan dan kekuasan besar, seperti
pemerintah, perusahaan besar, International Tour Operator, dan lainnya.
Masyarakat lokal hanya mendukung keputusan yang dibuat untuk mereka, namun
tidak oleh mereka. Masyarakat lokal berpartisipasi dalam implementasi kebijakan,
tetapi tidak dalam proses kebijakan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi anggota masyarakat untuk ikut
berpartisipasi adalah adanya kesempatan, kemampuan masyarakat, dan kemauan
masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Dengan adanya kesempatan masyarakat
untuk berpartisipasi, maka masyarakat menjadi memiliki perhatian lebih terhadap
masalah yang dihadapi di lingkungannya dan mempunyai rasa percaya diri bahwa
mereka dapat berkontribusi untuk ikut mengatasinya. Sedangkan untuk faktor-
faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah pembangunan pada sebuah
masyarakat adat antara lain norma sosial, kelompok sosial, lapisan masyarakat,
lembaga-lembaga kemasyarakatan, proses sosial, perubahan sosial dan
kebudayaan serta perwujudannya (Partadinata,2004).
F. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Nusa Lembongan, tepatnya di Desa Jungutbatu,
kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Letak Nusa Lembongan
terpisah dengan Pulau Bali daratan, Keadaan masyarakat di Nusa Lembongan
secara umum sangatlah jauh berbeda dengan masyarakat di wilayah Bali daratan.
Penduduk Nusa Lembongan rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan dan
pendidikan rata-rata relatif rendah (Kurnianingsih, 2008). Namun, dengan
berkembangnya patiwisata di Nusa Lembongan kehidupan masyarakat lokal desa
menjadi lebih baik.
Terdapat dua desa di Nusa Lembongan, yaitu Desa Lembongan (Pulau
Ceningan secara administratif termasuk dalam Desa Lembongan) dan Desa
Jungutbatu. Peneliti melakukan penelitian di Desa Jungutbatu karena desa tersebut
merupakan lokasi pengembangan ekowisata. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, Desa Jungutbatu memiliki potensi ekowisata yang cukup banyak
berupa obyek pengamatan mangrove, terumbu karang, budidaya rumput laut.
kehidupan desa dan atraksi budaya (Yuanike,2003).
Hutan mangrove yang menjadi salah tujuan wisata di Nusa Lembongan
hanya ada di Desa Jungutbatu saja. Hutan mangrove yang berada di Desa
Lembongan luasnya lebih kecil dibanding yang berada di Desa Jungutbatu, dan
tidak dijadikan tempat wisata (tur hutan bakau). Dalam sebuah artikel di situs
TripAdvisor melalui Traveller’s choice 2013, menyebutkan jika Nusa Lembongan
menempati urutan kedua dari 10 pulau favorit Asia yang menjadi tujuan wisata
para turis2. Hal tersebut bukan saja merupakan prestasi yang sangat dibanggakan
untuk Nusa Lembongan dan masyarakatnya, tetapi juga menjadi sebuah batu
cambukan bagi masyarakat lokal untuk menjaga serta pengembangan pariwisata
yang ada di daerahnya.
2. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
kualitatif. Metode ini diharapkan mampu mengungkapkan permasalahan yang
berhubungan dengan penelitian. Dalam pendekatan kualitatif, cara-cara hidup,
2 Diakses dari http://travel.detik.com/read/2013/03/26/164827/2204290/1382/10-pulau-terfavorit-di-asia-indonesia-peringkat-2-4 pada tanggal 27 Juni 2013
ungkapan emosi, cara pandang dari masyarakat yang diteliti mengenai suatu
gejala dalam kehidupan mereka, digunakan sebagai data (Moleong,2006).
Pencarian data dalam penelitian ini adalah dengan observasi atau pengamatan
terhadap objek-objek yang berhubungan dengan masalah penelitian, observasi
partisipan, wawancara, dan dokumentasi.
Kunjungan awal lokasi penelitian, peneliti lakukan pada bulan November
2012, dan bulan Februari 2013 untuk mengurus perijinan di Desa Jungutbatu.
Penelitian ini mulai dilakukan pada tanggal 15 Maret 2103 sampai dengan tanggal
2 Juni 2013. Selama melakukan penelitian, peneliti tinggal di rumah salah satu
penduduk yang bernama Wayan. Rumah tersebut juga digunakan sebagai
homestay yang dikelola oleh orang tua Wayan. Antara tamu dan tuan rumah akan
berada dalam satu lingkungan rumah. Sebagai homestay, rumah tersebut
menyewakan kamar dengan harga yang lebih miring untuk para turis. Kebanyakan
yang menyewa kamar adalah turis dengan anggaran kecil (low budget). Fasilitas
yang tersedia di homestay ini tentu saja seadaanya, namun dirasakan sangat
cukup. Para turis atau tamu akan mendapatkan suasana yang lebih terasa seperti
berada di rumah sendiri dengan menginap di homestay, dibandingkan jika mereka
menginap di hotel.
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat
fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam
fenomena tersebut (Poerwandari,2005:116). Pengamatan atau observasi dilakukan
di sekitar tempat ekowisata di Desa Jungutbatu untuk melihat bagaimana
kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Jungutbatu dalam menjaga
lingkungannya, serta pariwisata (ekowisata) yang ada di desa tersebut. Peneliti
membangun raport atau hubungan baik dengan masyarakat desa setempat agar
memudahkan peneliti untuk memasuki kehidupan desa serta mendapatkan data
yang dibutuhkan sesuai dengan tema penelitian.
Peneliti melakukan observasi partisipasi dengan mengikuti berbagai
kegiatan maupun upacara adat yang diadakan selama masa penelitian, seperti
Upacara Ngaben, Upacara Odalan di tiap-tiap Pura, Upacara Galungan, Upacara
Kuningan, Upacara Kajeng Kliwon, Upacara Purnama serta Upacara Tilem Bulan,
petunjukan tari Barong, memanen rumput laut, kerja bakti membersihkan pantai
bersama organisasi pemuda setempat, kerja bakti di SDN Jungutbatu 3, les tari
Bali, sangkepan (rapat desa), dan juga kegiatan-kegiatan ekowisata yang ada
seperti Snorkeling, Mangrove Tour¸ dan Surfing. Dengan mengikuti kegiatan-
kegiatan yang diadakan oleh Desa Jungutbatu, masyarakat lokal desa menjadi
mengenal dan lebih terbuka dengan kehadiran peneliti di tengah mereka. Selama
masa penelitian, peneliti merasakan penerimaan yang sangat baik dari masyarakat
desa setempat. Hal tersebut memudahkan peneliti untuk melakukan pengambilan
data.
b. Wawancara
Menurut Patton (1980:197, dalam Moleong,2005:187), wawancara dibagi
menjadi tiga yaitu (1) wawancara dengan pembicaraan informal, (2) wawancara
dengan menggunakan pedoman atau petunjuk wawancara, (3) wawancara dengan
menggunakan pertanyaan baku.
Berdasarkan pembagian tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan
menggunakan pedoman atau petunjuk wawancara. Dalam hal ini peneliti
membuat suatu petunjuk atau garis besar wawancara, hal tersebut dimaksudkan
agar peneliti tidak keluar dari jalur atau fokus penelitiannya. Pedoman atau
petunjuk tersebut tidak ditanyakan secara berurutan sehingga peneliti dapat secara
bebas dan santai dalam melakukan wawancara dengan informan. Informasi yang
diberikan oleh informan haruslah yang berkaitan dengan topik yang diangkat
sehingga dapat melengkapi data yang ditemukan di lapangan. Dalam penelitian
ini, informan yang dipilih adalah yang sesuai dengan kriteria masalah penelitian
yang peneliti ambil. Informan dalampenelitian ini antara lain:
1. Aparat Desa Dinas Jungutbatu
2. Tokoh adat (desa adat) atau prajuru adat
3. Masyarakat lokal Desa Jungutbatu
Aparat desa dinas dipilih karena mengetahui keadaan Desa Jungutbatu
secara keseluruhan. Aparat desa yang terdiri dari kepala desa berserta staf-stafnya
merupakan penyelenggara pemerintah di bawah kecamatan. Informan yang dipilih
dari aparat Desa Dinas berjumlah tiga orang. Aparat Desa Dinas mempunyai
wewenang penuh untuk menjalankan tugasnya dalam melayani masyarakat,
termasuk juga dalam membentuk sebuah peraturan desa (Perdes). Peraturan desa
(Perdes) digunakan sebagai pedoman hidup masyarakat sehari-hari selain hukum
adat (awig-awig) termasuk dalam hal melestarikan atau menjaga lingkungan.
Tokoh adat dipilih karena merupakan pemimpin masyarakat secara adat di
Desa Jungutbatu. Ketua adat atau Bandesa Adat merupakan orang yang disegani
di masyarakat, dan mempunyai peranan penting dalam sebuah pengambilan
keputusan. Baik itu keputusan dalam permasalahan yang berhubungan dengan
adat maupun keputusan untuk membentuk suatu hukum adat atau awig-awig desa.
Mereka dianggap sebagai pemimpin dan penjaga masyarakat secara adat maupun
religi. Selain wawancara dengan Bendesa Adat, peneliti juga melakukan
wawancara dengan masing-masing ketua Bago (Parahyangan, Palemahan, dan
Pawongan).
Masyarakat lokal Desa Jungubatu sebagai informan terbagi menjadi dua
bagian, yaitu (1) masyarakat yang aktif dalam kegiatan pariwisata (pelaku wisata),
(2) masyarakat yang tidak terlibat sama sekali dalam kegiatan pariwisata. Adanya
pembagian dalam masyarakat lokal tersebut dikarenakan pola pikir atau pemikiran
mereka akan berbeda dalam memaknai lingkungan, yang nantinya akan
berpengaruh pada pola perilaku sehari-hari. Masyarakat yang terlibat penuh dalam
hal ini adalah orang-orang yang hidupnya bergantung pada sektor pariwisata,
seperti guide, pengelola penyewaan peralatan snorkeling, penyelenggara tur
mangrove, pengelola hotel, restoran dan lainnya. Sedangkan masyarakat yang
tidak ikut terlibat sama sekali dengan kegiatan pariwisata atau bekerja selain di
sektor pariwisata, seperti ibu rumah tangga, petani rumput laut, pemangku adat,
guru sekolah dasar. Pembagian tersebut akan memperlihatkan bagaimana
partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan ekowisata yaitu dalam hal
menjaga lingkungan.
Selain melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman atau
petunjuk wawancara, peneliti juga melakukan wawancara informal dengan para
informan. Dalam kegiatan ini, diharapkan wawancara dapat berlangsung santai
dan informan dapat dengan luwes menjawab pertanyaan, sehingga informan tidak
merasakan jika mereka sedang diwawancarai. Wawancara ini lebih efektif untuk
mendapatkan data karena informan lebih terbuka dan santai dalam menjawab
pertanyaan peneliti. Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan di berbagai
tempat, baik di rumah masing-masing informan, tempat kerja informan, di café,
maupun ketika peneliti sedang bersantai dengan mengamati aktifitas masyarakat
lokal di pinggir pantai.
c. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini adalah memperoleh data dengan
menggunakan peralatan bantu, yaitu kamera, peralatan tulis (buku, kertas, dan
bolpoin), serta alat perekam suara. Dengan menggunakan kamera foto diharapkan
dapat menangkap serta memberikan gambaran mengenai aktifitas-aktifitas yang
terjadi, kedaan alam, serta masyarakat desa selama penelitian. Alat tulis (buku dan
bolpoin) digunakan untuk mencatat bagian-bagian penting selama melakukan
wanwacara, dan juga pada saat melakukan observasi. Alat perekam suara
digunakan pada saat melakukan wawancara (baik secara terbuka maupun tertutup
tergantung kondisi), sehingga data yang didapat melalui wawancara dapat
tersimpan dengan baik. Sebagaipelengkap data digunakan juga data tertulis antara
lain berupa data kecamatan, data kelurahan, buku-buku, media massa, artikel dan
websiteyang terkait dengan fokus penelitian.
3. Analisis Data dan Sistematika Penyajian
Menurut Seiddel (dalam Moleong, 2005:248), proses menganalis data
kualitatif adalah pertama mengumpulkan data lapangan, kedua mengumpulkan
serta mengklasifikasikan data yang telah didapat, dan ketiga data yang telah
diklasifikasikan tersebut dianalisis dengan tema, topik serta teori yang telah
ditentukan pada kerangka teori.
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam enam bab, dengan sistematika
sebagai berikut. Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini menjelaskan mengenai
latar belakang yang mendasari pemilihan topik penelitian, pertanyaan penelitian
yang dibahas, tujuan dan manfaat dari penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,
serta metode pemilihan. Dalam metode penelitian, dijelaskan mengenai pemilihan
lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan sistematika
penyajian hasil penelitian.
Bab II merupakan deskripsi dari lokasi penelitian. Pada bagian awal bab II
akan dijelaskan mengenai Nusa Lembongan secara umum. Selanjutnya, akan
menjelaskan mengenai deskripsi dari Desa Jungutbatu secara khusus yang
merupakan lokasi penelitian. Antara lain; sejarah terbentuknya Desa Jungutbatu,
data-data demografi desa yang berisi jumlah penduduk, tingkat pendidikan,
kesehatan, mata pencaharian sehari-hari, organisasi sosial yang ada di lingkungan
desa, serta agama dan kepercayaan masyarakat lokal .
Bab III adalah temuan data yang didapat di lokasi penelitian. Dalam bab
ini akan dijelaskan mengenai pengembangan ekowisata di Desa Jungutbatu, antara
lain sejarah munculnya ekowisata, aktifitas-aktifitas ekowisata yang ada,
Wisatawan dan turis yang datang berkunjung, fasilitas-fasilitas yang tersedia
untuk menunjang kegiatan ekowisata, serta faktor pendorong dan penghambat dari
kegiatan ekowisata.
Bab IV menjelaskan mengenai persepsi masyarakat lokal Desa Jungutbatu
terhadap lingkungannya. Antara lingkungan dengan ekowisata tidak dapat
dipisahkan. Dalam hal ini lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan
domestik (rumah) dan publik (umum). Selain mengenai persepsi masyarakat
terhadap lingkungannya juga membahas mengenai perilaku sehari-hari
masyarakat lokal.
Bab V membahas mengenai partisipasi masyarakat lokal mejaga
lingkungannya terkait adanya aktivitas ekowisata di desanya. Dalam bab ini akan
mengulas mengenai partisipasi masyarakat lokal dalam membuat sebuah
kebijakan (awig-awig), dan bentuk partisipasi masyarakat lokal Desa Jungutbatu
dalam menjaga kelestarian alamnya,terkait adanya Ekowisata di desanya.
Bab VI merupakan bab terakhir yaitu penutup yang berisi kesimpulan dari
hasil penelitian. Bab ini merupakan rangkuman dan kesimpulan dari data dan hasil
analisis yang telah dijelasakn dalam bab-bab sebelumnya.