BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pekerja/buruh merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja yang telah
melakukan kerja, baik bekerja untuk diri sendiri maupun bekerja dalam hubungan kerja atau
di bawah perintah pemberi kerja (bisa perseorang, pengusaha, badan hukum atau badan
lainnya) dan atas jasanya dalam bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Dengan kata lain tenaga kerja disebut pekerja/buruh bila ia melakukan
pekerjaan dalam hubungan kerja dan di bawah perintah orang lain dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja/buruh juga adalah manusia yang juga mempunyai
kebutuhan sosial, sehingga perlu sandang, kesehatan, perumahan, ketentraman, dan
sebagainya untuk masa depan dan keluarganya. Mengingat pekerja/buruh sebagai pihak yang
lemah dari pengusaha yang kedudukannya lebih kuat, maka perlu mendapatkan perlindungan
atas hak-haknya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan,
bahwa “tiap-tiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan yang layak bagi
kemanusiaan“.
Pemasalahan perlindungan tenaga kerja perempuan adalah salah satu masalah yang
sering di hadapi jika kita berbicara tentang masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam
kehidupan sehari-hari banyak perempuan yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Seperti yang terjadi pada hiburan malam di kafe-kafe sari rejo. Perempuan yang
bekerja di kafe-kafe sari rejo justru bekerja di malam hari. Perhatian yang benar bagi
pemerintah dan masyarakat terhadap pekerja/buruh perempuan terlihat pada beberapa
peraturan-peraturan yang memberikan kelonggaran-kelonggaran maupun larangan-larangan
yang menyangkut seseorang perempuan secara umum seperti cuti hamil, kerja pada malam
hari dan sebagainya.
Pekerja perempuan malam atau biasa disebut Pemandu Karaoke (PK) adalah orang
yang bekerja di kafe dengan menawarkan jasa yaitu pemandu karaoke atau menemani
karaoke tamu yang datang ke kafe. Pada umumnya mendapatkan bayaran berdasarkan jumlah
jam yang dia dapatkan dari menemani tamu yang datang karaoke. Pengelola kafe atau
pemilik kafe adalah seorang pengusaha yang mempunyai tempat usaha karaoke. Sedangkan
kafe adalah tempat dimana Pekerja perempuan malam atau biasa disebut Pemandu Karaoke
(PK) bekerja. PK bisa dikatakan sebagai pekerja karena mendapat upah dari pengelola kafe
atau pemilik kafe, walaupun di bayar berdasarkan jumlah jam yang PK dapatkan dari
menemani tamu yang datang untuk karaoke.
Perlindungan kerja bertujuan untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja
tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Untuk itu
pengusaha wajib melaksanakan ketentuan perlindungan tersebut sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Lingkup perlindungan terhadap pekerja/buruh menurut Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003, meliputi:
a. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha.
b. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat.
d. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja.
Menurut Zaeni Asyhadie bahwa jenis perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu1:
1 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 78
1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan
yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja diluar kehendaknya.
2. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan
kerja, kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan
keselamatan kerja.
Hubungan antara pekerja/buruh dan perusahaan merupakan hubungan timbal-balik maka
ketika salah satu pihak mengerjakan kewajiban mereka maka hak pihak lainnya akan
terpenuhi, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu jika kewajiban-kewajiban itu dilaksanakan
maka hak masing- masing akan terpenuhi.
Secara yuridis Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja berhak dan mempunyai kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan
jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan
tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang
cacat. Sedangkan Pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan
kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit,
dan aliran politik2.
Perlindungan upah merupakan aspek perlindungan yang paling penting bagi tenaga kerja.
Bentuk perlindungan pengupahan merupakan tujuan dari pekerja/buruh dalam melakukan
pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupannya
bersama dengan keluarganya, yaitu penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selama
pekerja/buruh melakukan pekerjaannya, ia berhak atas pengupahan yang menjamin
2 Abdul Khakim, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal 60.
kehidupannya bersama dengan keluarganya. Selama itu memang majikan wajib membayar
upah itu.3
Pekerja perempuan di kafe sari rejo dalam hal perlindungan upah ini sangat lemah.
Seorang Pemandu Karaoke akan mendapat upah kalau mereka dipakai pelanggan untuk
menemani karaoke dengan hitungan jam. Kalau Pemandu Kraoke ini tidak menemani tamu
atau istilah lainnya tidak dipakai untuk menemani tamu, maka Pemandu Karaoke ini tidak
mendapat upah apapun dari pemberi kerja, dalam hal ini pengelola kafe.
Berkaitan dengan perempuan yang bekerja ini Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan
yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Ketentuan Pasal 5 ini membuka
peluang kepada perempuan untuk memasuki semua sektor pekerjaan, dengan catatan bahwa
perempuan itu mau dan mampu melakukan pekerjaan tersebut. Selanjutnya di dalam Pasal 6
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ditentukan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Ketentuan Pasal 6
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini semakin memperjelas ketentuan Pasal 5 Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam dunia kerja. Adapun dasar hukum dari pembuatan perjanjian kerja adalah Undang-
undang Ketenagakerjaan. Undang-undang Ketenagakerjaan yang terdahulu adalah Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1948 jo. UU No.1 Tahun 1951. Dalam kedua undang-undnag ini
disebutkan bahwa buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua
waktu haid, karena umumnya pada hari aid pertama dan kedua kondisi pisik wanita sedikit
terganggu. Buruh wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia
menurut perhitungan akan melahirkan dan satu setengah bulan setelah melahirkan anak atau
gugur kandungan, perlindungan ini sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Di dalam Undang-
3 Iman Soepomo, 1987, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta. Hal 12.
undang No. 13 Tahun 2003 ketentuan ini juga masih sama. Oleh sebab itu lembaga
pemerintah yang menangani masalah ketenagakerjaan mampu memberikan suatu kepastian
hukum kepada bukan hanya tenaga kerja perempuan tapi juga seluruh gender.
Pengupahan merupakan aspek penting dari perlindungan pekerja/buruh sebagaimana
ditegaskan pada Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahub 2003 bahwa setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Dengan melihat ketentuan tentang memperkerjakan pekerja/buruh perempuan (pasal 76
UUK) diketahui bahwa sifat perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan adalah
bersifat imperatif. Perlindungan pekerja dapat dilakukan `dengan jalan memberikan tuntunan,
maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik
dan teknis, serta sosial ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja.
Selain masalah pengupahan, ada hal yang penting tetapi tidak dilaksanakan oleh
pengelola café ataupun paguyupan, Yaitu berkaitan dengan kontrak. Pekerja malam atau
pemandu karaoke di sari rejo tidak ada yang di ikat dengan kontrak, ini menunjukkan bahwa
perlindungan terhadap pekerja malam atau pemandu karaoke sangatlah lemah.
Dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, Pengelola hiburan malam
Sari Rejo mengatur perlindungan tenaga kerjanya dalam peraturan dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara mengkhusus dalam peraturan hiburan
malam Sari Rejo maupun dalam perjanjian kerja waktu tertentu tidak diatur mengenai
perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari. Akan tetapi
pengelola tetap diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan pasal 76 UUK.
Pekerjaan yang layak yang sesuai bakat, kecakapan, dan kemampuan, dan tentunya
tidak merugikan pekerja/buruh, juga dilindungi oleh Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (UU
11/2005), yang mengatakan: “Hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan
menguntungkan.” Maka, ingatlah akan adagium, “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua
ergo prius fuit justitia quam jus.”4 Sehingga, tindakan yang dilakukan oleh pengusaha pada
perusahaan tersebut di atas, adalah tindakan melanggar kesusilaan yang baik, serta kepatutan
yang terdapat dalam masyarakat.5
Benar menurut Jeferson Kameo,6 seorang individu benar memang secara substansiil
tampak seolah-olah memiliki pilihan untuk memilih. Tetapi, pilihan itu sebatas dalam
pengertian hanya akan memilih untuk tidak atau memilih untuk mengikuti begitu saja
ketentuan apapun yang akan diberikan oleh pihak lain dalam hubungan hukum itu.7 Pilihan
individu itu ada, tetapi sepanjang hanya untuk mengikuti persyaratan dan ketentuan yang
diberikan kepada mereka. Pilihan harus sejalan dengan pembatasan-pembatasan dan berbagai
pengecualian yang menjadi kepedulian pihak yang dominan saja.8 Semua hal itu dirumuskan
dalam dokumen, yaitu perjanjian yang berlaku bagi individu itu dengan pihak lain yang
dominan, yang melakukan hubungan hukum dengannya.9 Artinya, telah terjadi
ketidakseimbangan posisi tawar antara individu satu dengan individu lainnya dalam suatu
masyarakat yang berkebebasan berkontrak seturut dengan teoritisi klasikal di atas.10
4 Artinya: “Akan tetapi hukum berasal adari keadilan, seperti lahir dari kandungan ibunya; Oleh karena itu,
keadilan telah ada sebelum adanya hukum.” 5 Arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari tahun 1919 dan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 31
Desember tahun 1951 Nomor 92/1950. Dan, Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6 UU HAM. 6 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, hlm., 16.
7 Ibid.
8 Ibid.
9 Atiyah, The Rise Fall of Freedom of Contract, 1979. Saya kutip dari buku Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai
Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, hlm., 16. 10
Jeferson Kameo, Loc. Cit.
Satu aspek penting dari perjanjian kerja, ialah tidak diwajibkan untuk dituangkan
dalam wujud tertulis.11
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa
perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis, maupun lisan. Meskipun demikian, ketentuan
Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, setidak-tidaknya harus mencakup:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. Jabatan/jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.12
Ketentuan pasal di atas, sebenarnya masih belum lengkap. Terdapat beberapa hal
penting yang belum dimasukkan. Yang pertama adalah soal tanda tangan para saksi. Lalu
yang kedua, soal kesepakatan mengenai jam kerja.
Pula, ketentuan tentang syarat-syarat di atas, tidak diperlengkapi secara memadai
dengan sanksi yang memaksakan pentaatan. Sekalipun begitu, ketentuan perundang-
undangan di atas setidak-tidaknya mengindikasikan apa yang diharapkan termuat dalam
perjanjian kerja yang dibuat tertulis.
Fakta bahwa tidak disyaratkan perjanjian kerja dibuat tertulis, dilandaskan pemikiran
praktikal. Karena dalam banyak kasus, para pihak tidak menuliskan kesepakatan yang dibuat
11
Agusmidah dkk., Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Edisi 1, Denpasar: Pustaka Larasan,
Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, Editor: Guus Heerma van Voss dan
Surya Tjandra, 2012, hlm., 16. 12
Dengan penjelasan: “Pada prinsipnya, perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi
masyarakat yang beragam, dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan.”
antara mereka. Jika perjanjian lisan demikian dinyatakan cacat hukum, maka artinya
pekerja/buruh tidak akan dapat mendapat perlindungan yang layak. Dalam penulisan ini,
penulis mempermasalahkan dengan kontrak yang dibuat dengan lisan saja, menurut penulis
hal yang demikian sangat sulit untuk mendapatkan hak-hak pekerja, karena buruh dalam hal
ini adalah pemandu karaoke sulit untuk menuntut hak-haknya sebagai pekerja. Misalkan
dalan hal upah maupun jam kerja.
Konsekuensi yuridis dari perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan secara lisan, kita
mengalami kesulitan untuk pembuktian bahwa kita melakukan kontrak untuk upah dan jam
kerja itu yang seperti apa. Kesepakan secara lisan yang dilakukan oleh pengelola café dengan
Pemandu Karaoke terkait dengan upah juga dilakukan secara lisan. Adapun umumnya
Pemandu Karaoke itu di bayar per jam. Upah per jam Pemandu Karaoke adalah Rp. 50.000,-
(lima puluh ribu), tetapi tamu yang datang membayar ke pengelola kafe sebesar Rp. 60.000,-
(enam puluh ribu), karena nilai Rp. 10.000,- (sepuluh ribu) digunakan untuk kesejahteraan
Pemandu Karaoke, misalnya untuk memberikan jatah makan pemandu Karaoke setiap
harinya. Namun, apalagi terjadi permasalahan atau konflik kerja hanya diselesaikan secara
kekeluargaan dan kesadaran masing- masing pihak. Perlindungan terhadap kesehatan dan
kecelakaan kerja juga sangat tergantung dengan pengelola kafe.13
Harusnya, pengelola kafe mengacu pada pengesahan International Labour
Organization (ILO) Convention No. 81.14
Pertimbangan yang diambil atas pengesahan
tersebut, bahwa konvensi ini merupakan salah satu upaya untuk menciptakan hubungan
industrial yang harmonis dan berkeadilan, serta untuk menjamin penegakan hukum dan
perlindungan tenaga kerja, serta dapat lebih menjamin pelaksanaan pengawasan
13 Hasil wawancara dengan ketua paguyuban café sarirejo, Slamet Subandrio dan ketua RW Sari Rejo, Slamet
Santoso alias Andi, pada jam 18.30, tanggal 30 November 2016. 14
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81, Concerning Labour
Inspection in Industryland Commerce.
ketenagakerjaan di Indonesia, sesuai dengan standar internasional.15
Dan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan (Perpres
21/2010), yang merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 178 UU Ketenagakerjaan.16
Namun hal tersebut juga akan sulit untuk dilakukan karena keterbatasan pengetahuan
pengelola kafe.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan
menuliskannya dalam skripsi ber judul : PERLINDUNGAN HUKUM
KETENAGAKERJAAN TERHADAP PEKERJA PEREMPUAN MALAM (Pemandu
Karaoke) DI HIBURAN MALAM SARI REJO.
B. Rumusan Masalah
Btitik tolak pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum ketenagakerjaan terhadap pekerja/buruh
perempuan (Pemandu Karaoke) di hiburan malam Sari Rejo?
2. Termasuk jenis apakah kesepakatan antara Pemandu Karaoke dengan pemilik
hiburan malam di Sari Rejo?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari proposal ini ialah, untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap
pekerja/buruh perempuan (Pemandu Karaoke) di hiburan malam Sari Rejo dan untuk
15
Yaitu Disnakertrans sebagai (yang menjadi) institusi pertama dalam proses penyelesaian perselisihan
perburuhan pasca otonomi daerah (otda) melalui mekanisme mediasi dan penegakan hukum perburuhan, melalui
mekanisme pengawasan di daerah, yang bertugas menegakkan hukum, dan memberikan penyelesaian
perselisihan perburuhan yang adil bagi buruh. Baca di Ward Berenschot, dkk., 2011, Akses Terhadap Keadilan,
HuMA-Jakarta, Van Vollenhoven Institute, Leiden University, KITLV Jakarta, Epistema Institute, hlm., 102. 16
Susilo Andi Darma, Pengawasan Ketenagakerjaan; dan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota
Yogyakarta, 2011, Laporan Pengawasan Ketenagakerjaan Bulan Januari s/d Maret 2011, Disnakertrans,
Yogyakarta.
mengetahui kesepakatan antara Pemandu Karaoke dengan pemilik hiburan malam di Sari
Rejo.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik dari segi teoritis, maupun
praktis.
a. Segi Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum.
b. Segi Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif sebagai
bahan masukan kepada Pengelola Cafe, agar senantiasa mematuhi kaedah dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian kerja, agar tercipta kepastian hukum
dalam melindungi para pekerja/buruh, dan senantiasa menciptakan iklim kondusif dalam
hubungannya antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
E. Metode Penelitian
a. Penelitian ini adalah penelitian hukum.17
Tipe penelitian hukum yang dilakukan
adalah yuridis normative18
dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisi
17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm., 10-11.
Objek ilmu hukum adalah hukum. Hukum merupakan salah satu norma sosial, yang di dalamnya sarat akan
nilai. Oleh karena itulah, ilmu hukum tidak dapat digolongkan ke dalam ilmu sosial, karena ilmu sosial hanya
berkaitan dengan kebenaran empirik semata-mata. Studi-studi sosial tentang hukum, menempatkan hukum
sebagai instrumen yang digunakan masyarakat dalam mencapai suatu tujuan tertentu, dan hal tersebut dapat
diverifikasi dan diobservasi secara empirik. Pendekatan demikian telah mereduksi esensi hukum di dalam
masyarakat. Memang, hukum diadakan untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi, tujuan tersebut tidak selalu
dapat diamati dan diukur. Tidak salah kalau dikatakan bahwa hukum diciptakan untuk menjaga ketertiban
sosial, menghindari kekacauan dalam hidup bermasyarakat, dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan
yang bertentangan di dalam masyarakat. Namun demikian, lebih dari itu, hukum juga diperlukan dalam
mempertahankan keadilan dan kelayakan. Lagipula, dalam mempertahankan ketertiban sosial dan
menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat, nilai-nilai perlu dijadikan acuan, dan
nilai-nilai baru harus diakomodasikan sedemikian rupa, sehingga tidak merusak nilai-nilai yang sudah ada. Hal-
hal yang berkaitan dengan nilai demikian, bukan urusan studi sosial. H. J. Van Eikema Hommes menyatakan
terhadap peraturan perundang-undangan yang membuka peluang terjadinya praktik
tidak melindungi perkerja dalam hal ini pemandu karaoke.
b. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan tipe pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual.
c. Bahan hukum
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari atauran hukum :
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 102/MEN/VI/2004, Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, , Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, , Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,
jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
hukum, ensiklopedia dan lain-lain.
F. Sistematika Penulisan
a. Bab Pendahuluan
Merupakan pendahuluan, yang berisikan hal-hal yang melatarbelakangi permasalahan,
hingga perumusan permasalahan secara tegas. Disamping itu, diuraikan juga mengenai tujuan
penelitian dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
bahwa, setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri (H. J. Van Eikema Hommes, De elementaire
begrippen der Rechtswetenschap, Kluwer, Deventer, 1972, hlm., 1). Apa yang dikemukakan oleh van Eikema
Hommes ini, mengindikasikan bahwa tidak dimungkinkannya penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu.
Ilmu hukum merupakan bagian ilmu sosial. Oleh karena itu, Metode Riset atau Metode Penelitian Sosial tidak
tepat untuk digunakan di dalam ilmu hukum (Peter Mahmud, Op. Cit.). 18 Johny Ibrahim, teori dan metodologi penelitian hukum normative, Banyumedia Publishing, Surabaya, 2005,
hal 390.
b. Bab Tinjauan Pustaka
Merupakan uraian mengenai soal hakekat kontrak kerja, yang akan diteliti lebih jauh
lagi soal bagaimana pengaturan tentang kontrak kerja di hukum positif Indonesia, dan
bagaimana manifestasi pengaturan upah dalam peraturan di perusahaan. Juga, akan diuraikan
pula mengenai apa itu hakekat hubungan kerja, yang di dalamnya terdapat pengertian
pekerja/buruh, hakekat pemberi kerja atau majikan, apa itu surat perjanjian kerja, serta jenis-
jenis pekerjaan yang diatur.
c. Bab hasil penelitian dan analisis
Dalam bab ini akan di uraikan tentang hasil penelitian dan sekaligus pembahasan
(analisis) yang mengacu pada rumusan masalah.
d. Bab Penutup
Dan bab akhir atau penutup, yang berisi kesimpulan hasil pembahasan pada bab
pembahasan di muka, serta saran Penulis.