BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya....
Transcript of BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya....
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan
(machtstaat). Hal ini terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-ndang Dasar Negara
Repubik Indonesia tahun 1945. Jaminan dan perlindungan hukum juga telah di
atur di dalamnya, masalah ini terdapat dalam ketentuan Pasal 28 D angka 1 yang
menerangkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum“.
Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem, aturan-aturan
(rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada
satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki satu
kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.1 Seperangkat aturan yang
membentuk suatu sistem yang bekerja secara satu kesatuan sehingga mendukung
kekuasaan Negara dalam melaksanakan fungsi dan tujuannya.
Kekuasaan yang dimiliki oleh Negara tidak bersifat mutlak dan kekuasaan
tersebut harus didasarkan pada hukum serta digunakan untuk melaksanakan fungsi
dan tujuanya untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini mempunyai makna bahwa
1Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2012.Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress,
Jakarta, h. 13.
xviii
negara tidak dapat semena- mena dalam melakukan suatu tindakan kepada
warganya walaupun dengan tujuan yang baik, akan tetapi semua tindakan haruslah
berdasarkan hukum termasuk dalam penindakan terhadap para koruptor.2
Ada tiga ciri dasar sebuah negara hukum yaitu supremasi hukum,
penegakan hukum serta pembelaan yang tidak melanggar hukum itu sendiri.
Menurut pendapat A. Hamid S. Attamimi dengan mengutip Burkens, mengatakan
bahwa “Negara Hukum (rechsstaat) secara sederhana adalah negara yang
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan
kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan
hukum.3 Dengan demikian diharapkan hukum akan benar-benar menjadi
panglima, hukum yang ditempatkan pada derajat yang paling tinggi sehingga
diharapkan tiada seorangpun yang kebal terhadap hukum walaupun dalam
prakteknya masih sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Praktek demikian ini sering terjadi dalam kasus-kasus korupsi yang sudah ada
Lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana
korupsi. Padahal tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam
masyarakat. Perkembanganya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari
jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi
2 Mosgan Situmorang, 2014, Harmonisasi Hukum Nasional Di Bidang Korupsi Dengan
United Nationas Convention Against Corruption, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.
3Hamid S. Attamimi A dalam Morya Emmanuel Patiro Yopi, 2012. Diskresi pejabat
public dan tindak pidana korupsi,Keni Media, Bandung, h. 11
xix
kuwalitas tindak pidana yang dilakukan semakin sitematis serta lingkupnya yang
memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.4
Korupsi menjadi masalah yang sangat penting bahkan menjadi perhatian
utama dunia sejak lama, hal ini terbukti dengan diadakanya berbagai kongres
Internasional yang secara khusus membahas masalah korupsi secara spesifik,
Konggres Internasional mengenai The prevention of Crime and The Treatment of
Offenders yang di prakarsai oleh PBB membahas masalah korupsi dan upaya
penanggulanganya. Kongres PBB ke- 6 Tahun 1980 di Caracas Venezuela yang
menyatakan bahwa tindak pidana korupsi diklasifikasikan kedalam tipe kejahatan
yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the law).5
Sementara itu, Konferensi Internasional anti korupsi yang ke-7 tahun 1995
di Beijing mencatat bahwa tindak pidana korupsi sebagai bentuk kejahatan yang
sulit pembuktianya. Pada tanggal 16 Desember 1996, pada sidang umum PBB
mengeluarkan resolusi tentang pemberantasan korupsi yaitu United Nation
Declaration Agains Coruption And Bribery In International Commercial
Transaction. Visi masyarakat Internasional untuk saling bekerjasama dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi semakin terlihat jelas dan menguat dengan
ditanda tanganinya Declaration Of 8th
International Conference Against
Corruption Tahun 1997 di Lima Peru. Puncak deklarasi adalah United Nation
4 Evi Hartati, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 69.
5 Elwi Danil, 2012, Korupsi, Konsep tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 61-64.
xx
Convention Against Corruption (UNCAC) yang disahkan dalam konferensi
deplomatik di Merida Mexiko pada bulan Desember Tahun 2003.6
Tidak hanya meratifikasi UNCAC, Indonesia juga telah meratifikasi
United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC
2000) menjadi UU RI No. 5 Tahun 2009. Arti penting konvensi bagi Indonesia
adalah:
1. Untuk meningkatkan kerja sama Internsional, khususnya dalam melacak,
membekukan, menyita dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana
korupsi yang ditempatkan di luar negeri.
2. Meningkatkan kerja sama Internasional dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik.
3. Meningkatkan kerja sama Internasional dalam pelaksanaan perjanjian
ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana,
pengalihan proses pidana dan kerja sama penegakan hukum.
4. Mendorong terjalinnya kerja sama tehnik dan pertukaran informasi dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung
kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup
bilateral, regional dan multilateral.
5. Harmonisani peraturan Perundang undangan nasional dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.7
Masalah korupsi yang terjadi di Indonesia sudah semakin pada titik nadir.
Korupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya.
Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,
Legislatif maupun Yudikatif, serta telah menjalar di dunia usaha.8 Ibarat sebuah
penyakit, korupsi di Indonesia sudah sangat kronis dan susah untuk disembuhkan.
Korupsi di Indonesia sudah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat
dan sudah menyebar di semua lini.
6 Ibid.
7 I Gede Artha, 2014, Program Doktor Ilmu Hukum,Universitas Udayana, Denpasar, h. 2.
8 Muhammad Yusuf, 2013, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di
Indonesia, PT. Kompas Media Indonesia, Jakarta, h.1
xxi
Stigma korupsi di Indonesia sudah tergolong kejahatan extra ordinary
crimes karena dengan adanya korupsi yang sudah masif dan sistematis, juga telah
merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak saja merugikan
keuangan negara dan potensi kerugian ekonomi negara, tetapi juga telah meluluh
lantakkan pilar-pilar sosial budaya, moral, politik, tatanan hukum dan keamanan
nasional. Oleh karena itu, pola pemberantasanya tidak bisa hanya dengan instansi
tertentu dan tidak juga hanya dengan pendekatan parsial, akan tetapi harus
dilaksanankan secara komperhensif dan bersama-sama, oleh lembaga penegak
hukum, lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat.9
Fenomena korupsi yang semakin meningkat serta meluas hampir di
seluruh sektor kehidupan membuktikan bahwa modus tindak pidana korupsi di
Indonesia semakin kian sulit untuk di ungkap. Apabila hal ini tidak diatasi
secepatnya, maka dikhawatirkan akan menimbulkan ketidak percayaan publik
terhadap hukum dan sistem peradilan pidana dan dapat mengakibatkan
disfungsionalisasi hukum pidana. Atas dasar itu sudah sepatutnya dilakukan revisi
dan reorientasi kebijakan pemberantasan dalam kontek pembaharuan hukum
pidana.10
Dengan demikian pemberantasan korupsi diharapkan bisa berjalan
secara optimal. Masalah ini bisa terwujud apabila political will dari pemerintah
yang sedang berkuasa maupun oleh aparatur penegak hukum saling mendukung
serta saling bersinergi, selain itu bisa pula dilakukan dengan pembaharuan hukum
pidana.
9
Ermansjah Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 11-12.
10 Elwi Danil, 2013, Korupsi, konsep tindak pidana dan pemberantasannya, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, h. 5
xxii
Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi harus
dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance, legal structure,
dan legal culture.11
Pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan secara
menyeluruh, yang meliputi pembaharuan hukum pidana materiil, hukum pidana
formil dan hukum pelaksanaan pidana. Kesemuanya perlu dilakukan untuk
pentingnya penanggulangan korupsi di Indonesia.
Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian dari hukum pidana khusus,
sehingga mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana
umum. Hal tersebut terlihat dengan adanya penyimpangan hukum acara pidana
atau hukum pidana formil. Sebenarnya keberadaan tindak pidana korupsi dalam
hukum positif kita sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya KUHP (wetboek
van strafrecht) 1 Januari 1918, sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlakunya
bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan di
undangkan dalam staatblad 1915 No. 752, tanggal 15 oktober 1915.
Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17
Agustus tahun 1945, keberadaan hukum tindak pidana korupsi juga diatur dalam
KUHP, ini terlihat pada Peraturan Pengusa Militer No: Prt/PM-06/1957, tanggal 9
April 1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat:
Prt/Peperpu/013/1958, tanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan Penuntutan dan
Pemeriksaan perbuatan Pidana dan Pemilikan Harta Benda (BN. No. 401958),
Perpu No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan
Tindak Pidana korupsi (LN No:72 tahun 1960), UU. No. 73 tahun 1971 tentang
11
Ibid, h. 21.
xxiii
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU
No. 28 tahun 1999 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, UU. No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam rangka menindaklanjuti amanah konstitusi tersebut, maka
pemeritah bersama Dewan Perwakilan Rakyat memberlakukan UU.No.30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan Undang undang
tersebut, maka KPK diberi kewenangan yang begitu besar, bahkan kewenangan
itu tidak dimiliki oleh aparat penegak hukum yang lain dengan harapan dapat
menjawab serta mengatasi masalah masalah yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi. Stigma tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional termasuk jenis
kejahatan ekstra ordinary crimes, untuk itulah sudah sepantasnya kejahatan
tersebut harus diberantas dengan cara ekstra ordinary measure.
Dukungan untuk upaya tersebut, disamping berpedoman pada KUHAP,
juga berpedoman pada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana Korupsi, UU No. 30. Tahun 2002 Tentang KPK, UU
No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakimam serta UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU,
penggabungan antara UU tentang KPK dan UU tentang TPPU di harapakan
sebagai fungsi ganda sekaligus sebagai sarana represif dan fungsi preventif. Tapi
dalam kenyataanya justru korupsi semakin berkembang. Korupsi semakin
xxiv
merajalela bahkan sudah masuk ke dalam lembaga lembaga negara. Korupsi di
Indonesia telah masuk ke dalam lembaga eksekutif, legislatif serta yudikatif,
bahkan yang lebih memprihatinkan lagi ada indikasi antara KPK dengan penegak
hukum yang lain justru terjadi gesekan yang sempat menyita perhatian presiden.
Hal ini terbukti dengan adanya istilah cucak lawan buaya jilid satu dan jilid dua.
Salah satu contoh bahwa korupsi telah masuk ke lembaga yudikatif adalah
dengan terungkapnya kasus tindak pidana korupsi sekaligus TPPU yang dilakukan
oleh terdakwa Akil Muhtar yang telah di putus oleh Pengadilan Tipikor dengan
hukuman seumur hidup. Hal ini didasari oleh Pasal 6 huruf a Undang-Undang No.
46 Tahun 2009 tentang pengadilan tindak pidana korupsi yang menyatakan
bahwa“ Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara TPPU yang tindak pidana asalnya adalah korupsi”
KPK atau yang lebih di kenal dengan istilah lembaga anti rasuah
sebelumnya juga sempat menjerat para pejabat negara yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi serta TPPU di antaranya terhadap mantan Kakorlantas Joko
Susilo. Tidak hanya di tuntut dengan tindak pidana korupsinya saja, tetapi juga di
tuntut dengan TPPU. Fenomena tersebut di atas hanyalah sebagian kecil para
koruptor yang di tuntut di di Pengadilan Tipikor oleh KPK.
UU. No.8 Tahun 2010 tentang TPPU dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa
Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan diantaranya yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi. Dengan adanya penggabungan antara UU. No.8 Tahun 2010
tentang TPPU serta UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
xxv
komisi pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut, maka secara otomatis
diharapkan KPK lebih mudah dan efisien dalam menjerat para koruptor.
Penggabungan instrumen UU tersebut juga sejalan dengan Undang-undang
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 4 ayat (2) dinyatakan
bahwa “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan”.
Pasal 68 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU dinyatakan dengan tegas
bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta
pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini.”
Pasal 69 menyatakan bahwa “Untuk dapat dilakukan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya” atau predicate crime. Pasal 74
dinyatakan dengan tegas bahwa “Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang
dilakukan olah penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara
dan ketentuan peraturan perundang undangan kecuali ditentukan lain menurut
Undang-undang ini.
Pengaturan tersebut juga terdapat di dalam Pasal 75 yang menyatakan
dengan tegas bahwa “Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang
cukup terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan
xxvi
penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan TPPU dan memberitahukanya
dengan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan”.
Namun di sisi yang lain UU No.8 Tahun 2010 tentang TPPU tersebut tidak
ada pasal yang secara eksplisit serta tegas yang menyatakan bahwa KPK
berwenang menuntut perkara TPPU. Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang
KPK pada Pasal 6 menyatakan bahwa” KPK mempunyai tugas koordinasi,
supervisi, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi serta monitoring.
UU No.8 Tahun 2010 tentang TPPU juga tidak mengatur secara khusus
mengenai penuntut umum yang menuntut perkara TPPU. Pasal 1 angka 6 KUHAP
menyatakaan bahwa “Jaksa adalah pejabat yang di beri wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum.” Ketentuan serupa juga terdapat
pada Pasal 13 yang menyatakan bahwa “ Penuntut Umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntututan dan
melaksanakan penetapan hakim. Dengan demikian berdasarkan norma-norma
tersebut antara KUHAP, UU KPK, serta UU TPPU terdapat Disharmoni Norma
antara UU yang satu dengan UU yang lain, yang menurut pandangan penulis
adalah berupa norma kosong.
Pasal 51 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan, (1) Penuntut
adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Penuntut Umum
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 melaksanakan fungsi penuntutan tindak
xxvii
pidana korupsi. (3) Penuntut sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 adalah
Jaksa Penuntut Umum.”
Polemik apakah KPK memiliki kewenangan dalam menuntut perkara
TPPU semakin tampak jelas serta menjadi perhatian publik pada bulan Juli tahun
2013, dalam sidang tersebut dua hakim Tipikor yaitu I Made Hendra Kusuma dan
Joko Subagyo dalam sidang kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan
terdakwa LHI. Dua dari lima hakim Tipikor tersebut terjadi perbedaan pendapat
(Discenting Opinion) terkait apakah KPK memiliki kewenangan dalam menuntut
perkara TPPU.
Dalam pandangan dua hakim tersebut berimplikasi hukum antara ada atau
tidak adanya kewenangan penuntutan adalah bisa diterima atau tidaknya surat
dakwaan JPU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAP.
Adapun penjelasan hakim Made Hendra yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 6
huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga ini bertugas melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal
51 ayat 1 juga mengatur bahwa “Penuntut umum pada KPK di angkat dan
diberhentikan oleh KPK.”
Polemik kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU juga mendapat
tanggapan dari mantan ketua PPATK Yunus Husein, yang menyatakan bahwa
mesti tidak diatur secara spesifik dalam UU. No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU,
KPK berwenang melakukan penuntutan perkara TPPU sepanjang tindak pidana
asalnya adalah korupsi. Kewenangan KPK dalam menuntut TPPU berkaitan
dengan kewenangan Pengadilan Tipikor dalam mengadili perkara TPPU. Pasal 6
xxviii
huruf b UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor yang menyatakan
bahwa “Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa, mengadili dan memutus
perkara TPPU yang tindak pidana asalnya adalah korupsi”.12
Selain itu Yunus Husein juga menambahkan, bahwa kewenangan KPK
dalam menuntut perkara TPPU lebih baik di atur secara spesifik dalam UU No. 8
Tahun 2010 tentang TPPU sehingga tidak mengundang perdebatan di kemudian
hari, namun pada dasarnya KPK berwenang melakukan penuntutan perkara TPPU
yang tindak pidana asalnya adalah korupsi.13
Pendapat dari Yunus Husein diatas yang menyatakan, ”Idealnya
wewenang KPK dalam menuntut perkara TPPU diatur secara eksplisit dalam UU
seperti UU KPK atau UU TPPU”, mendapat tanggapan dari Guru Besar Emeritus
Universitas Padjajaran dan juga Ahli Hukum Pidana Romli Atmasasmita.
Menurut Romli pernyataan ini membuktikan pengakuannya bahwa KPK tidak
memiliki wewenang menuntut perkara TPPU per-UU KPK atau UU TPPU.
Kalimat, idealnya di muka kalimat berikutnya mencerminkan bahwa dalam
penyusunan UU RI Nomor 8 Tahun 2010 terselip kelalaian tim penyusun dan
dalam pembahasan RUU-nya dengan Komisi III DPR RI. Kelalaian ini tentu
berdampak sebagaimana telah diungkapkan kepada publik bahwa KPK tidak
memiliki wewenang menuntut TPPU atau tidak ada alas hukum yang kuat bagi
KPK untuk menuntut terdakwa korupsi dengan UU TPPU.14
12
Yunus Husein, 2013, www.google.com
13 Ibid.
14
Romli Atmasasmita, 2014, Koran Sindo. www.google.com.
xxix
Ahli TPPU Yenti Ganarsih menilai, penerapan TPPU oleh KPK efektif
menimbulkan efek jera sekaligus memiskinkan pelaku tindak pidana korupsi.
Menurut Yenti, dengan menerapkan TPPU dua target utama KPK tercapai, yakni
perampasan aset yang berujung pada pemiskinan, serta pemberatan hukuman
pidana yang berujung terciptanya efek jera. Selain itu penerapan TPPU oleh KPK
tidak akan optimal jika tidak dilakukan perubahan terhadap Undang –undangnya.
Yenti menilai masih ada celah dalam UU TPPU yang memungkinkan penafsiran
hukum bahwa jaksa KPK tidak berwenang menuntut TPPU.15
Hingga saat ini, beberapa perkara korupsi dan TPPU yang dituntut KPK
diterima oleh Pengadilan Tipikor dan masalah ini seakan-akan sudah menjadi
Yurisprudensi. Misalnya, perkara Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Luthfi Hasan
Ishaq, Ahmad Fathanah, Rudi Rubiandini serta Tubagus Khaeri Wardhana, yang
diputus bersalah setelah hakim memeriksa dan mengadili tuntutan yang diajukan
Jaksa KPK. Meski Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent
yang ketat seperti negara-negara dengan sistem Common Law, putusan terdahulu
seringkali menjadi rujukan untuk menentukan permasalahan hukum serupa.
UU. No 31 Tahun 1999 jo UU. No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, UU. No.30 tahun 2002 tentang KPK serta UU No. 8
Tahun 2010 tentang TPPU, tidak ada norma yang secara eksplisit menyatakan
dengan tegas bahwa KPK memiliki kewenangan dalam menuntut perkara TPPU.
Akan tetapi faktanya disamping menuntut perkara tindak pidana korupsi, KPK
juga menuntut perkara TPPU yang tindak pidana asalnya adalah korupsi.
15
Yenti Ganarsih, 2015, CNN Indonesia. www.google.com.
xxx
Berdasarkan uraian beberapa Undang-undang tersebut diatas serta
pendapat dari beberapa Ahli, maka peneliti menganggap bahwa normanya kosong
sehingga peneliti ingin meneliti tentang “KEWENANGAN KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MENUNTUT PERKARA TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG”
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan dalam
menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang?
2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan penuntutan dalam perkara
Tindak Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan tindak pidana korupsi?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah di
batasi pada kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU. Apakah KPK
memiliki kewenangan dalam menuntut TPPU. Ruang lingkup selanjutnya adalah
mengenai Bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan masalah penuntutan
dalam TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi (Ius Constituandum)
Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian serta untuk
membatasi area penelitian. Berkaitan dengan pembatasan terhadap masalah untuk
memperjelas batas kajian.16
Kajian masalah dalam penelitian ini dibatasi pada
kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU.
16 Amiruddin, dan Zainal Asikin, 2012. Pengantar MetodePenelitian Hukum. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 41.
xxxi
Kajian didahului dengan pembahasan mengenai TPPU dan kewenangan
KPK, Selanjutnya akan dibahas mengenai kajian bahan hukum dalam TPPU,
ditunjang dengan teori kewenangan dan teori fungsi. Dalam hal ini khusus
membahas kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU
.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
1. Penelitian ini bertujuan dalam upaya pengembangan ilmu Hukum pada
umumnya khususnya di bidang hukum pidana formil serta hukum pidana
materiil serta hukum pidana yang bersifat khusus dalam substansi
kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU.
2. Sebagai masukan untuk dijadikan referensi serta bahan pemikiran
mengenai kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU dan juga
mengenai pengaturan ke depan masalah penuntutan dalam perkara TPPU
yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengkaji, memahami dan menemukan hal-hal yang berkaitan dari
aspek normatif serta menganalisa tentang kewenangan KPK dalam
menuntut perkara TPPU
2. Untuk mengetahui, mengkaji serta memberi solusi hukumnya tentang
bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan penuntutan dalam perkara
TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
1.5 Manfaat Penelitian
xxxii
1.5.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini secara keilmuan dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya, sehingga secara substansial lebih
terfokus pada bidang studi hukum yang bersifat khusus mengenai kewenangan
KPK dalam menuntut perkara TPPU, serta pengaturan ke depan penuntutan
dalam TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan khususnya
bagi masyarakat dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara
guna mengetahui kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU.
2. Bagi para penegak hukum agar dapat menjalankan peran seta fungsi sistem
peradilan pidana dengan benar dan berkeadilan khususnya kewenangan
KPK dalam menuntut perkara TPPU.
1.6 Orisinilitas Penelitian
Permasalahan mengenai TPPU sering dibahas dalam berbagai penelitian
lain, baik dalam bentuk makalah, skripsi, tesis maupun disertasi, Namun dalam
penelusuran kepustakaan belum ditemukan penelitian dalam bentuk tesis yang
secara spesifik meneliti tentang Kewenangan KPK dalam menuntut perkara
TPPU. Dalam mencermati beberapa penelitian terkait, dapat ditarik kesimpulan
bahwa belum ada penelitian yang membahas secara khusus dalam hal
Kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU. Selain itu, objek, ruang
xxxiii
lingkup dan rumusan masalahnya juga berbeda, karena itu penelitian ini dapat
kiranya dinyatakan sebagai penelitian yang orisinal.
Beberapa Tesis yang penulis temukan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Tesis dengan judul Peranan JPU KPK Dalam Penuntutan Perkara Tindak
Pidana Pencucian Uang, yang ditulis oleh Agus Joko Prasetyo tahun 2015
mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung, yang
menjelaskan tentang peranan JPU KPK dalam penuntutan TPPU serta
Implikasi Hukum Peranan JPU KPK Dalam Penuntutan perkara TPPU
terhadap upaya pemberantasan Korupsi.
2. Penerapan Ketentuan TPPU Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia, yang ditulis oleh Ignatius Wahyu Prabowo Tahun 2014, mahasiswa
Program Magister Ilmu Hukum UNS Solo Jawa Tengah yang mengkaji
tentang Ketentuan-Ketentuan Dalam Perundang Undangan Pencucian Uang
Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan hasil penelusuran serta pengkajian penulis terhadap judul,
rumusan masalah isi serta kesimpulan dari masing-masing penelitian diatas, dapat
diketahui bahwa penelitian dengan judul serta rumusan masalah seperti yang akan
diteliti oleh penulis belum dibahas dalam penelitian tersebut. Oleh karena itu
penulis berpendapat bahwa penelitian ini telah memenuhi syarat dari segi
orisinalitas.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir
1.7.1. Landasan Teoritis
xxxiv
Landasan teori adalah merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis
mengenai suatu permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teori
yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.17
Melalui landasan teori maka
ditentukan arah penelitian dan dalam memilih konsep yang tepat guna
pembentukan analisis dan hasil penelitian yang dilakukan.18
Dalam Landasan
teoritis selain terdapat teori-teori yang digunakan untuk mengupas permasalahan
juga terdapat asas, konsep, dan doktrin19
yang memiliki korelasi yang erat dengan
permasalahan yang di bahas yaitu kewenangan KPK dalam menuntut perkara
TPPU.
Adapun asas-asas hukum yang menurut peneliti cukup relevan adalah asas
Legalitas, asas Lex Spesialis derogat Legi Generali, asas Perkara Cepat dan Biaya
Ringan serta asas Manfaat. Asas Legalitas dalam sistem hukum Negara kita
sampai saat ini masih menjadi asas yang Fundamental. Istilah “Nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak
ada pidana, tanpa ketentuan Undang-undang terlebih dahulu.20
Maksud dari
kalimat tersebut adalah seseorang tidak bisa dijatuhi pidana apabila belum di atur
di dalam Undang-undang itu sendiri.
Asas Perkara Cepat dan Biaya Ringan merupakan asas-asas yang ada
dalam UU. No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Apabila di
hubungkan dengan kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU merupakan
17 Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama,
Bandung, h. 8 18
Muhammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13
19 Hans Kelsen 2012, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 23
20 Schaffmeister dkk, 2007, Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 5.
xxxv
satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, karena apabila kewenangan KPK
sebatas dalam hal penyidikan, sementara penuntutan diberikan oleh JPU dan
bukan Jaksa dari KPK, maka hal ini menjadi sangat tidak efektif serta butuh
waktu yang cukup lama. Padahal penanganan perkara korupsi dalam tugas pokok
KPK harus mendapat skala prioritas.
Asas manfaat maksudnya dalam penanganan perkara korupsi serta TPPU
maka kemanfaatan adalah merupakan tujuan utama hukum. Kemanfaatan adalah
kebahagiaan, sehingga dengan adanya kewenangan KPK dalam menuntut perkara
TPPU, maka manfaat akan dirasakan oleh masyarakat, karena korupsi tidak hanya
merugikan perekonomian Negara serta keuangan Negara, tetapi juga merusak
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adapun konsep-konsep hukum yang membangun dan melandasi judul
yang disajikan meliputi pengertian, makna dan kewenangan KPK dalam menuntut
perkara TPPU serta bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan penuntutan
dalam perkara TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
Yurisprudensi yang dimaksud adalah sehubungan dengan penelitian yang
akan dilakukan adalah berupa putusan-putusan pengadilan yang menyangkut
kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU. Putusan-putusan yang
dimaksud adalah sebagai penunjang serta untuk memperkuat bahasan serta kajian
dari permasalahan yang dibahas.
Hasil penelitian terdahulu yang dimaksudkan adalah sebagai bahan
penunjang yang berguna sebagai keakurasian bahan kajian yang dilakukuan dalam
mengkaji serta menganalisis suatu permasalahan dalam penelitian tesis ini.
xxxvi
Teori-teori yang relevan dan berkorelasi serta yang cocok untuk digunakan
dalam membahas serta mengkaji permasalahan yang disajikan menurut perspektif
penulis adalah :
1. Teori Kewenangan
2. Teori Fungsi
3. Teori Manfaat (Utilitirianisme
4. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Berkenaan dengan konsep-konsep hukum yang berkaitan serta releven
dengan permasalahan yang di bahas adalah Konsep Negara Hukum serta
Penegakan Hukum. Adapun Konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte,
dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechsstaat”. Sedangkan
dalam tradisi Anglo Saxon, Konsep Negara Hukum dikembangkan oleh
kepeloporan A.V Dicey dengan sebutan “ Rule of Law”. Menurut Julius Stahl
konsep Negara hukum yang disebut rechstaat mencakup empat elemen penting:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang.
4. Peradilan Tata Usaha Negara21
Negara hukum merupakan terjemahan dari dari itilah rechsstaat dan rule
of law. Rule of law itu sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan yuridis
dari gagasan kostitusionalisme. Dalam arti sederhana rule of law diartikan sebagai
21
M. Hata Ali dan Amran Suadi, 2014, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Indonesia,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 57-58.
xxxvii
tiada satu pun yang berada di atas hukum dan hukumlah yang berkuasa. Oleh
karena itu, konstitusi dan Negara Hukum merupakan dua lembaga yang tidak
terpisahkan. Secara sederhana yang dimaksud Negara hukum adalah Negara yang
penyengaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum.
a. Konsep Rechtsstaat
Konsep Rechtsstaat lahir dari sebuah upaya perjuangan menentang
absolutism kekuasaan raja sebagaimana pernah dipraktekkan di Perancis
sehingga konsep ini sifatnya revolusioner adanya. Dengan meletusnya Revolusi
Perancis (1897) yang melahirkan adanya tiga tuntutan dasar, yakni Egalite
(kesamaan), Fraternite (kemanusiaan), dan Liberte (kebebasan) mrmberikan
penegasan bahwa kesewenang-wenangan yang diperlakukan oleh raja dalam
penyelenggarakan pemerintahan sudah tidak dapat ditahan atau ditoleransi lagi
oleh rakyat dikarenakan telah menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang
sangat dalam bagi rakyat.22
Unsur-unsur utama dari pengembangan konsep rechtsstat banyak
terpengaruh dari pemikiran seorang John Locke tentang hak-hak manusia secara
alamiah, yakni hak untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak milik. Tujuan utama
konsep rechtsstat ialah bagaimana kekuasaan itu agak tidak terjadi kesewenang-
wenangan. Hal itu di sebabkan berdasar latar belakang dari kekuasaan raja yang
sering kali melampaui batas kekuasaanya sehingga menimbulkan trauma yang
mendalam pada sejarah berbangsa dan bernegara.
22 Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Prenada media Group, Jakarta, h.
52.
xxxviii
b. Konsep Rule of Law
Dalam membahas pengertian apa yang dimaksudkan dengan konsep rule of
Law, tentunya harus merujuk kepada konsep yang dikembangkan di Negara-
negara yang bersistem hukum Common Law system. Sejarah dari konsep ini lahir
dari suatu proses evolusi yang artinya berkembang tahap demi tahap, sampai
memperoleh kematanganya.
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
sebuah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya”atau das sollen,
dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan
norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang-
undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi
individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama individu maupun dalam hubunganya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.23
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran yuridis-dogmatig yang
didasarkan pada aliran pemikiran positivistis, yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri karena bagi penganut aliran ini tujuan
hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum24
Muhamamad Tahir Ashary menyebutkan, secara konsepsional terdapat 5 konsep
utama Negara hukum yaitu “Rechtstaat, Rule of Law, Socialist Legaly, Nomokraci
Islam dan Negara Hukum Pancasila.25
23
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, h. 158.
24 Akhmad Ali, 2002, Menguak Takbir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis),
Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta, h. 82. 25
Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini), Bulan Bintang, Jakarta, h. 73-74
xxxix
Secara konseptual, teori Negara Hukum menjunjung tinggi sistem hukum
yang menjamin adanya kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia (human rights). Pada dasarnya suatu negara berdasar
atas hukum harus menjamin adanya persamaan di depan hukum (Equality before
the Law) termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan haknya.
Korelasi dengan aspek tersebut di atas termuat dalam pembukaan UUD
tahun 1945 yang menentukan bahwa tujuan hukum diformulasikan mencakup
berbagai dimensi melalui konsepsi yang bersifat futuristik, yaitu hukum ditujukan
untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia……………26
Konsep Negara hukum seperti yang dimaksud diatas difungsikan oleh
KPK dalam upaya penuntutan perkara korupsi serta TPPU oleh para koruptor
yang pada umumnya sudah berubah bentuk itu bisa dijadikan sarana untuk
memaksa, sehingga dengan demikian maka hasil kejahatan tersebut bisa kembali
serta disita oleh KPK untuk dikembalikan pada Negara.
1. Teori Kewenangan
Menurut Kamus Praktis bahasa Indonesia yang di susun oleh A.A waskito,
kata kewenangan memiliki arti hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk
melakukan sesuatu. Istilah kewenangan tidak bisa disamakan dengan istilah
urusan, karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk
menjalankan satu atau beberapa fungsi managemen (pengaturan, perencanaan,
26 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT> Alumni, Bandung, h. 143
xl
pengorganisasian, pengurusan dan pengawasan) atas suatu obyek tertentu yang
ditangani oleh pemerintahan.27
Guna menjustifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang atau oleh
kelembagaan karena jabatanya maka dilakukan melalui tindakan yang namanya
wewenang. Secara keilmuwan hukum, wewenang merupakan konsep inti dalam
ranah hukum Tata Negara dan hukum Administrasi Negara. Wewenang yang
dalam konsep keilmuan hukum telah pula diakui menjadi sebuah teori yang
lazimnya di sebut dengan teori Kewenangan.28
Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan variasi
imbuhan yang menjadi wewenang, kewenangan, berwenang, dan sebagainya.
Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan berarti hak
dan kekuasaan yang mempunyai atau mendapat hak dan kekuasaan untuk
melakukan sesuatu.29
Kalangan Doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan makna wewenang
tersebut, para ilmuan hukum di bidangnya seperti:
1. H.D. South, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan
dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek
hukum publik dalam hubungan hukum publik.
2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap
sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan
27 Agus Salim, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, h.
95 28
Sunaryati Ni Wayan, 2015, Fungsi Jaksa Dalam Menuntut Terdakwa Korupsi Untuk Pengembalian Keuangan Negara Prespektif sistem Peradilan Pidana Indonesia, Program pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 34.
29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, h.1128.
xli
begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan
warga Negara.30
3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum yang sah.31
4. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.32
Beberapa pendapat dan rumusan pengertian dari wewenang tersebut apabila
dicermati, maka mengandung unsur-unsur seperti:
1. Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik
2. Dilakukan oleh subyek hukum publik.
3. Adanya kemampuan bertindak.
4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik
5. Diberikan oleh Undang-undang.
6. Mengandung hak dan kewajiban.
7. Menumbuhkan akibat hukum yang sah.
Wewenang dengan unsur-unsur di atas, tidak secara otomatis diperoleh
atau melekat setiap pejabat pemerintahan. Secara teori terdapat tiga cara untuk
memperoleh wewenang pemerintah seperti yang dikemukakan oleh HD Van
Wijk/Willem Konijnembelt melalui cara atributif, delegasi dan mandat, yang
masing-masing dimaknai sebagai berikut:
30
Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negera di Indonesia, Program Pasca
Unibraw, Malang, h. 52.
31 Indiharto, 2004, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 94
32 Bagir Manan, 2007, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara,
Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, h. 51.
xlii
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
Undang-undang kepada organ pemerintahan, Delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan lainnya, mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan
mengijinkan wewenangnya dijalankan oleh organ lain atas namanya.33
Kewenangan yaitu bersumber dari Perundang-undangan (atribusi) secara
jelas dinyatakan serta diberikan kepada organ pemerintahan. Sehingga jelaslah
bahwa lembaga KPK sebagai pelengkap aparat penegak hukum dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi telah memiliki kewenangan dalam menuntut
perkara tindak pindak pidana korupsi sebagaimana amanah dari Undang-undang
No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Menurut ketentuan Pasal 6 UU No. 30 tahun
2002 tentang KPK menyebutkan bahwa terdapat lima tugas KPK yang harus
dilaksanakan yaitu, koordinasi dengan instansi yang berwenang, melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi, melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-
tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan Negara.34
Diantara perundang-undangan yang menjadi landasan hukum terkait
keberadaan lembaga KPK yaitu Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK
yang secara substansial mengatur kewenangan, tugas dan fungsi KPK dalam
memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Aparatur Negara yang
33
Sadjojono, 2008, Memahami beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laks Bang
Pressindo, Yogyakarta, h. 58.
34 Mahrus Ali, 2011, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 170.
xliii
bertanggung jawab melaksanakan kewenangan, fungsi hukum administrasi
Negara merupakan landasan bagi aparatur Negara guna melakukan tindakan-
tindakan hukum yang memiliki legitimasi dalam melakukan pelayanan publik.
Menurut Joseph Raz, dalam hal mengapresiasi hukum positif justru lebih
berorentasi pada otoritas atau kewenangan;
“ A much more promising approach to the normativity of law is a found in
Joseph Raz’s theory of authorithy with also shows how such a theory of
normativity of law and tell important conclution with respect to the condition
of legal validity. The basic insight of Raz’s argument is that the law is an
authoritative social institution. The law, Razs claims, is a the facto authority.
How ever, it is also essential to law that it mush be held to claim legitimate
authority. Any particular legal system mayfail, of course, in its ful-fillment of
this claim. But the law is the cain of institutions with necessarily claim to be
a legitimate authority35
.
Terjemahan bebas: Suatu pendekatan yang lebih menjajikan terhadap
kenormatifan hukum dikemukakan dalam teori Joseph Raz tentang otoritas
(kewenangan), yang juga dihubungkan dengan teori kenormatifan hukum,
sehingga menghasilkan kesimpulan penting yang berkaitan dengan kondisi
validitas hukum. Pokok pemikiran yang mendasar dari pemikiran Joseph Raz
adalah bahwa hukum merupakan sebuah lembaga sosial otoritatif. Razs
beranggapan bahwa, hukum adalah kewenangan de facto. Maka dari itu,
keberadaan hukum yang diciptakan atau Undang-undang sebagai produk hukum
harus dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas atau kewenangan yang sah.
Pelaksanaan kewenangan yang dimiliki aparatur negara, harus dilakukan
secara konsekwen sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tak terkecuai termasuk
35
Syaiful Ahmad Dinar, 2012, KPK dan Korupsi dalam Studi Kasus, Cintya Press,
Jakarta, h. 69.
xliv
pelaksanaan yang dilakukan oleh KPK berdasarkan legalitas hukum berdasarkan
UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK.
2. Teori Fungsional/Teori Fungsi
Pencetus teori fungsional atau teori fungsi ini adalah ahli hukum di
Rotterdam Belanda bernama J.Ter Heide. Esensi ajaran dari teori fungsi ini terkait
dengan hukum bahwa “berfungsinya hukum dapat dipahami sebagai
pengartikulasian (produksi/hasil) suatu hubungan yang ajeg diantara sejumlah
variable.36
Ter Heide, merumuskan hubungan yang ajeg itu dengan rumus: B: FPE
artinya prilaku yuris, hakim dan pembentuk undang-undang (B) berada dalam
suatu hubungan yang ajeg (F) terhadap suatu pihak berbagai kaidah hukum (P)
dalam pihak di lingkungan konkret (E), maka inti teori fungsi ini terkait dengan
hukum, dilihat dari aspek fungsi hukum atau kegunaan hukum tersebut maka para
yuris, hakim, pembentuk undang-undang dalam menjalankan fungsi atau perannya
masing-masing harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. 37
Dalam Sistem Peradilan Pidana salah satu sub unsur struktur (structure)
termasuk sebagai penegak hukum sekaligus berlatar belakang pendidikan tinggi
hukum atau juris adalah jaksa selaku penuntut umum. Fungsi jaksa salah satunya
adalah melakukan penuntutan yang diberikan kewenangan secara atributif oleh
Undang-undang, hal ini sama juga dengan KPK yang juga diberikan kewenangan
untuk melakukan penuntunan pada perkara tindak pidana korupsi, kewenangan
36
Ni Wayan Sinaryati, Op Cit, h. 36-37.
37 Ibid.
xlv
secara atributif itu di amanahkan oleh Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang
KPK.
3. Teori Manfaat (Utilitarianisme)
Teori manfaat merupakan aliran utilitarianisme yang meletakan
kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai
kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya hukum, bergantung
dari apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.38
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan individu.Tetapi jika tidak
mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), di upayakan agar kebahagian itu
dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (The greatest
happiness for the greates number of people).39
Utilitarianisme secara etimologi berasal dari bahasa latin dari kata Utilitas,
yang berarti useful, berguna, berfaedah dan menguntungkan. Jadi faham ini
menilai baik atau tidaknya, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi
kegunaan atau faedah yang didatangkannya. Sedangkan secara terminologi,
utilitarianisme merupakan suatu faham etis yang berpendapat bahwa yang baik
adalah yang berguna, berfaedah dan menguntungkan. Sebaiknya yang jahat atau
buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan, karena itu baik
38
Dardji darmodiharjo dan Shidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum- Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.117.
39 Sukarno Aburaera, dkk, 2013, Filsafat Hukum-Teori dan Praktik, kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h.111.
xlvi
buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah dan
menguntungkan atau tidak.40
Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy Bentham,
Jhon Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Bentham berpendapat bahwa alam
memberikan kebahagian dan kesusahan.manusia selalu berusaha memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya.
Kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah kesusahan. Ada
keterkaitan yang erat antara kebahagiaan dan kesusahan. Tugas hukum adalah
memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan.Tegasnya memelihara kegunaan.41
2. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Istilah kebijakan di ambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek”
(Belanda). Dengan demikian maka istilah Kebijakan Hukum Pidana dapat pula
disebut Politik Hukum Pidana. Dalam kepustakaan asing politik hukum pidana
sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain penal policy, criminal law policy
atau strafrechts politiek Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat
dilihat dari politik hukum maupun dari politik criminal.
Menurut Sudarto, politik hukum adalah
a. Usaha untuk mewujutkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
40
Zaenal Asikin, 2013, Mengenal Filsafat Hukum, Pusaka Reka Cipta, Bandung, h.116-
117.
41 Dardji Darmodiharjo dan Shidartha, Op Cit, h. 118.
xlvii
b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang di kehendaki yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung di dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang
dicita-citakan.42
Masih dalam pandangan Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana
berarti memenuhi mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-
undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Menurut Marc Ancel, modern Criminal science itu terdiri dari tiga komponen di
antaranya adalah Criminology, Criminal Law dan Penal Policy.
Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis yang memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat undang-undang, tetapi kepada pengadilan yang menerapkan undang-
undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.43
Masih menurut Barda Nawawi Arief, bahwa makna dan hakekat
pembaharuan hukum pidana apabila dilihat dari sudut pendekatan kebijakan
adalah :
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah
sosial
42 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media
Group, Jakarta, h. 26. 43
Op Cit, h. 23
xlviii
b. Sebagai bagian dari kebijakan criminal, pembaharuan hukum pidana
pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat.
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.
Ditegaskan pula bahwa pada hakekatnya masalah kebijakan hukum pidana
bukan semata mata pekerjaan tehnik perundang undangan yang dapat dilakukan
secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Di samping pendekatan yuridis
normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis factual
yang berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan
pula pendekatan dari berbagai disiplin sosial lainya dan pendekatan integral
dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasioanal pada umunya.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini
maka peran penegak hukum khususnya para hakim tipikor tidak hanya
menerapkan norma-norma hukum belaka, akan tetapi diharapkan melalui
kebijakan hukum pidana mampu mewujudkan peraturan perundang-undangan
khususnya dalam menjatuhkan putusan yang adil bagi para koruptor untuk
merampas asset-asset dari hasil kejahatan sehingga bisa dikembalikan untuk
menutupi kerugian keuangan Negara. Khusus dalam perkara TPPU yang berasal
dari korupsi menurut hemat penulis putusan-putusan para hakim tipikor selama ini
juga sudah tepat, artinya dengan menggabungkan antara korupsi dan TPPU, maka
xlix
upaya memiskinkan para koruptor bisa terlaksana dengan demikian keadilan dapat
dirasakan oleh masyarakat luas.
Mengingat bahwa perkara TPPU yang tindak pidana asal dari korupsi,
maka dimensi penegakan hukum ini sangat dibutuhkan serta dikedepankan,
karena dalam suatu Negara hukum diharapkan setiap orang yang melanggar
hukum kiranya harus dapat dapat di adili sesuai dengan kesalahanya serta sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku dengan tetap mengutamakan pada aspek
dimensi keadilan.
Selain itu perkara TPPU ini merupakan tindak pidana yang khas jika
dibandingkan dengan tindak pidana yang lain. Dikatakan khas karena TPPU ini
tidak berdiri sendiri, terutama kajahatan lanjutan khususnya hasil tindak pidana
dari korupsi. Apabila ditelaah dari uraian tersebut di atas, maka penanggulangan
tindak pidana korupsi dan TPPU melalui sarana Kebijakan Hukum Pidana (penal
policy) adalah merupakan suatu keniscayaan.
l
1.7.2 Kerangka Berfikir
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam
Menuntut Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang
UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana
korupsi, serta UU No.30 tahun 2002 tentang KPK tidak ada norma yang secara eksplisit
menyatakan bahwa KPK memiliki kewenangan dalam menuntut perkara TPPU, Tetapi
faktanya disamping menuntut perkara korupsi, KPK juga menuntut perkaraTPPU.
Bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan penuntutan dalam perkara TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi?
Asas : Legalitas, Lex Specialis Derogat legi generali, Perkara
cepat dan biaya ringan
Konsep : Negara Hukum
Doktrin : Korupsi,Kewenangan KPK dalam menuntut TPPU
Apakah KPK memiliki kewenangan
dalam menuntut perkara Tindak Pidana
Pencucian Uang ?
Di kaji melalui teori kewenangan dan
teori Fungsi
Di kaji melalui teori Manfaat dan
teori Kebijakan Hukum Pidana
li
1.8. Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan, karena penelitian hukum ini dilakukan dengan
cara meneliti bahan kepustakaan (library research).
Menurut William H. Putman, “Legal research is a part of the legal analys
process. It is that part of the legal analysis process that involves finding the law
that applies to the legal question raised by the facts of client’s case”.44
Terjemahan bebas: Penelitian hukum adalah bagian dari proses analisis hukum
termasuk mencakup dalam hal menemukan hukum yang dapat diaplikasikan
dalam pernyataan hukum yang diajukan berdasarkan fakta-fakta dari kasus-kasus.
Menurut Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif
atau penelitian hukum kepustakaan tersebut meliputi
44 William H. Putman,2009, Legal Research: Second Edition, Delmar, United State of
America, h. 372.
Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Sekunder
Penutup
Simpulan Saran
lii
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
2. Penelitian terhadap sistematika hukum.
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal.
4. Perbandingan hukum.
5. Sejarah hukum45
Sehubungan dengan klasifikasi tersebut diatas, maka penelitian hukum
normatif ini menyangkut penelitian taraf sinkronisasi vertical atas disharmoni
norma yang ada antara UU. KPK dengan UU. No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU
serta Undang-undang yang lainya.
1.8.2 Metode Pendekatan
Sesuai dengan karakteristik dan sifat penelitian hukum normatif
(penelitian hukum kepustakaan), maka dalam penelitian ini akan memakai
beberapa metode pendekatan yaitu pendekatan Perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach) serta pendekatan
konseptual (conceptual approach).46
1. The statute approach pendekatan perundang undangan, yakni penelusuran
terhadap beberapa peraturan perundang undangan seperti KUHAP, UU
No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No. 8
Tahun 2010 tentang TPPU, UU. 46 Tahun 2009 tentang Peradilan Tipikor
serta UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
45
Artha I Gede, Kebijakan Formulatif Upaya Hukum Terhadap Putusan Bebas Bagi
Penuntut Umum Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Disertasi Unversitas
Brawijaya Malang, h. 14 46
Peter Mahmud Marjuki, 2014, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, h. 133
liii
2. The case approach atau pendekatan kasus. Dalam menggunakan
pendekatan kasus dilakukan dengan cara telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan masalah kewenangan KPK dalam penuntutan korupsi
dan TPPU serta yang telah diputus oleh Hakim Tipikor.
3. Historical approach atau pendekatan sejarah. Pendekatan ini mempelajari
tentang sejarah perkembangan korupsi dan TPPU
4. Comparative approach atau pendekatan komparatif, yaitu dengan cara
melihat beberapa perundang-undangan tentang penuntutan TPPU di
beberapa Negara lain.
5. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) yaitu dengan cara melihat
serta mempelajari masalah doktrin-doktrin, asas-asas hukum serta konsep
hukum.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini adalah
terdiri dari bahan hukum Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta
bahan hukum tersier.47
a. Bahan hukum primer (primery resource atau authoritative record) adalah
bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat yaitu berupa UUD 1945,
Ketetapan MPR, UU serta KUHP, peraturan perundang-undangan beserta
pelaksanaanya khususnya mengenai kewenangan KPK dalam menuntut
perkara TPPU. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
47 Sutrisno Hadi, 2010, Methodologi Research 1, Gadjah Mada University, Semarang, h.
26
liv
bersifat mengikat dan terdiri dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku.48
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang
memeperkuat bahan hukum primer baik berupa pendapat para pakar atau
doktrin tertentu.49
Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not
authoritative records) yaitu berupa bahan-bahan hukum yang memberikan
kejelasan terhadap bahan hukum primer seperti literatur, hasil-hasil penelitian,
putusan pengadilan, makalah- makalah dalam seminar seminar, artikel-artikel
yang berkaitan dengan kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier (tertiary resource) dalah bahan-bahan hukum yang
memberikan informasi atau kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder seperti yang berasal dari kamus, ensiklopedia dan
sebagainya terutama yang berkaitan dengan kewenangan KPK dalam menuntut
perkara TPPU.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Adapaun teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui studi
kepustakaan yang merupakan bahan hukum utama dalam penelitian ini
48
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 141.
49 Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 58.
lv
dikumpulkan dengan menggunakan metode sistematis, yaitu dengan di catat serta
dikumpulkan guna untuk lebih mempermudah dalam menganalisa suatu
permasalahan.
Bahan-bahan tersebut meliputi permasalahan, asas-asas, argumentasi,
implementasi yang di tempuh serta alternatif pemecahanya. Kemudian berkaitan
dengan bahan kepustakaan yang lebih dominan dipergunakan adalah kepustakaan
dalam hukum pidana yang bersifat khusus serta beberapa hukum pidana asing
yang berkaitan dengan penanganan perkara korupsi serta TPPU.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Berkaitan dengan penulisan tesis ini, untuk menganalisis bahan hukum
yang telah diperoleh di berbagai sumber, peneliti menggunakan beberapa tehnik
analisis seperti:
1. Teknik Interprestasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran gramatika, historis, sistimatis, teologis,
kontektual, dan lain-lain.
2. Teknik Evaluasi, adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau
tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti terhadap
suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik
yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum
sekunder.
3. Tehnik Agrumentasi adalah tidak bisa dilepaskan dari tehnik-tehnik
bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum
makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran
hukum.
4. Tehnik Sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu
konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-
undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.