BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan ...
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan
Transcript of BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan
vi
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Permasalahan
Membicarakan tentang Negara Hukum Indonesia, tak lepas dari
memperbincangkan manusia, masyarakat atau bangsa. Negara bangsa
dibangun melalui sekumpulan manusia-manusia yang sepakat menyatukan
visi dan keinginan untuk hidup dalam sebuah sistem bersama secara politik.
Sedangkan di sisi lain, mereka pun bersepakat untuk mengikis hak-hak
individual mereka agar tidak berbenturan dengan hak-hak individu
lainnya. Oleh sebab itulah manusia sebagai individu selalu dapat secara
luwes menempatkan dirinya dalam kelompok. Manusia sendiri disebut
sebagai makhluk social (homo homini lupus) atau bahkan sebagai insan
politik (zoon politicon). Akan tetapi, problematika kemudian muncul
manakala kelompok masyarakat tersebut berjalan mewujudkan visi dan
tujuannya.
Dalam proses perjalanannya secara organisasional maupun
politik, seringkali terjadi perbedaan, baik itu dikarenakan perbedaan
pandangan maupun ketidaksetujuan dikarenakan adanya pengikisan hak-
hak individual yang terjadi secara tidak adil. Hal yang wajar memang, karena
bukankah komunitas masyarakat berisi banyak individu? Bukan satu atau dua
orang saja. Komunitas bangsa juga demikian, terdiri dari beberapa kelompok
dan elemen yang saling menunjang dan melebur ke dalam satu panutan
vii
system yang secara politik akan dijalankan bersama-sama, disepakati
bersama dalam rangka mencapai tujuan baik itu kesejahteraan, ekonomi
maupun budaya. Oleh sebab itu, menuangkan satu kesepakatan bersama
ke dalam suatu ikatan perjanjian__baik itu tertulis maupun tidak tertulis
(yang diakui telah menjadi satu kebiasaan atau konvensi)__merupakan
hal yang niscaya untuk dilakukan. Kesepakatan inilah yang kemudian
dinamakan “Konstitusi”. Konstitusi dan Negara memiliki hubungan yang
sangat erat, Konstitusi adalah penunjang berdirinya sebuah Negara,
bahkan identitas sebuah Negara. Dengan demikian, pastilah Konstitusi
akan memiliki corak warna yang khas sesuai dengan nilai luhur bangsa yang
dianut.
Konstitusi Negara telah berkembang demikian pesat seiring dengan
dinamisasi kebutuhan manusia. Negara yang pada awal kemunculannya
hanya berupa Negara kota (polis) telah berkembang dari masa-ke masa
hingga sampai pada konsep Negara kesejahteraan (welfare state) saat
ini. Pengembanan konsep Negara telah dimulai bahkan sejak masa
kerajaan kuno babylonia, sampai pada masa Yunani, Romawi yang
kemudian meluas ke daratan eropa hingga saat ini. Hanya saja, konsep
Negara pada masa lampau, yang lebih dikenal dalam konsep kerajaan,
kekaisaran (dinasti) meletakkan garis kekuasaan pada absolutisme raja.
Hal ini pernah juga berlaku di beberapa wilayah eropa. 1
1 Disarikan dari pemikiran I gede Panca astawa, Suprin na’a, dalam “memahami ilmu negara dan
teori negara, Jakarta: refika aditama, halaman 60
viii
Meskipun pada perjalanan kenegaraan selanjutnya, absolutisme
raja secara perlahan-lahan mulai terkikis melalui pembatasan-pembatasan
kekuasaan dalam Negara, hal ini tidak secara langsung menghilangkan
figur seorang “raja” (personifikasi individu absolut) dalam sebuah Negara.
Pada kenyataannya, masih ada Negara di dunia yang menggunakan figur
seorang pemimpin selayaknya “raja” dalam negaranya, meskipun konsep
maupun penamaannya telah dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai
dengan perkembangan kebutuhan Negara modern dewasa ini.
Demikian halnya dengan Konstitusi yang juga mengalami
perkembangan pesat dari masa ke masa. Konsep hukum pada masa lampau
yang diawali dari kebiasaan masyarakat, pada tahap selanjutnya menuntut
adanya kewajiban_(kepastian atas penegakan)_ menciptakan ketaatan atas
kebiasaan-kebiasaan tersebut. Untuk itu diperlukan figur pemimpin yang
memiliki kekuasaan (kewenangan) menjalankan hukum. Konstitusi
menjadi suatu dokumen yang amat penting dalam rangka memenuhi
kebutuhan tersebut, karena disamping mengatur aturan dasar, di dalamnya
juga diatur bagaimana cara menjalankannya. Pada dasarnya, menurut
pemikiran penulis, cikal bakal sebuah konstitusi telah ada sejak
masyarakat memiliki keinginan untuk membentuk satu komunitas dalam
lingkup satu wilayah politis yang memiliki aturan hukum mengikat
(dalam bentuk negara, kerajaan, atau komunitas bangsa lainnya yang belum
menamakan dirinya negara, tetapi memiliki seorang pemimpin atau figur
yang dianggap sebagai penguasa). Hanya saja, kondisi pada masa itu
ix
masih menggunakan konsep konstitusi secara sederhana dan yang
terpenting mengatur bagaimana kekuasaan akan dijalankan.2
Indonesia sendiri, melalui ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang -
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi
Indonesia) dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, yang
kemudian dipertegas pada Pasal 28 I ayat (5) Undang - Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (menjelaskan tentang perwujudan
Konsep Negara Hukum Demokratis Indonesia) adalah Untuk menegakkan
dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan”.3
Konsep Negara Hukum Indonesia merupakan perpaduan kedua
konsep rechtstaat dan the rule of law. Sebelumnya, konsep negara Hukum
di Indonesia lebih mengarah kepada Rechtstaat yang bercirikan Civil Law,
selanjutnya dengan pemberian nama Negara Hukum Pancasila, yaitu
tepatnya pada masa orde baru dan sebelum amandemen UUD NRI Tahun
1945, dan menjadi Negara hukum demokratis pada masa reformasi hingga
saat ini. Dengan demikian, maka jelaslah sudah bahwa Konstitusi memiliki
kedudukan yang amat penting bagi sebuah negara. Konstitusi pula yang
akan menjadi dasar aturan bagaimana negara akan dijalankan. Melalui
Konstitusi, dapat dilihat gambaran mengenai sistem hukum apa yang
2 . dirangkum melalui pandangan I gede Panca Astawa, memahami ilmu negara dan teori Negara, Bandung;
refika aditama, halaman 2, dan Jimliy Asshiddiqie, pengantar ilmu hukum Tata Negara jilid 1 jakarta; Konstitusi Press, 2006 halaman 11 3. Disadur Penjelasan modul teori perundang-undangan, sudardi, UNDIP, 2012, disampaikan pada
perkuliahan umum universitas pekalongan.
x
dianut, perkembangan demokrasi, sampai kpada konsep penyelenggaraan
pemerintahan, pemenuhan aspek keadilan maupun pembagian kekuasaan
dalam negara.
Konstitusi Indonesia sendiri dilihat dari sejarah awal mula
perumusannya, nampak terjadi perdebatan pada saat rapat BPUPK yang amat
kental antara kaum agamis yang dipelopori oleh Yamin, dan kaum nasionalis
yang dimotori oleh Soekarno. Perdebatan antara keduanya meskipun telah
terselesaikan pada saat rapat perumusan, nyatanya terus berlanjut hingga saat
ini.4 Ada beberapa pihak yang kemudian ingin mengangkat kembali isu
agama tunggal untuk masuk secara formal dalam pegembanan negara. Tentu
upaya tersebut dapat memunculkan sentimen terhadap suatu konsep agama
tertentu yang pada akhirnya dapat mengancam prinsip kebhinnekaan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disertasi ini disusun untuk melihat kembali masa pada saat
perumusan Konstitusi sejak awal kemerdekaan (orde lama),
konstitusionalisme pada masa orde baru, sampai amandemen yang terjadi
dimasa reformasi. Tentu saja yang akan dilihat mengenai seberapa besar
terjadi perdebatan hingga memunculkan mufakat untuk kemudian melahirkan
konsep negara hukum Indonesia dewasa ini. Sehubungan hal tersebut, penulis
menjadikan gagasan konsep negara hukum berdasarkan nilai ketuhanan-
religius (religious welfarestate) dalam penyusunan undang-undang yang akan
dibuktikan keabsahannya melalui penelitian disertasi ini. Pemilihan judul
4 Risalah sidang BPUPKI sidang pertama BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), 1998, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indinesia, hal. 36-37
xi
tersebut bukanlah tanpa alasan, mengingat bangunan arsitektur yuridis
kenegaraan bangsa yang dibangun dengan tetap mempertahankan (atau
memilih) Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama sekaligus sebagai
puncak hierarki bagi keempat sila lainnya dalam Pancasila. Dan dari sinilah
desain konsep negara hukum dan pembentukan Undang-Undang secara
teoretik akan dibangun .
I.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dalam
penelitian diajukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pertentangan ideologis dan gagasan ketuhanan dalam
penyusunan Konstitusi negara hukum Indonesia?
2. Bagaimanakah perwujudan konsep Negara hukum sekaligus dalam
konstitusionalisme Indonesia terutama berkaitan dengan Hak Asasi
Manusia?
3. Bagaimanakah re-desain Undang-Undang yang berdasarkan nilai
Ketuhanan?
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini berdasarkan dari rumusan
permasalahan tersebut di atas :
xii
1. Untuk mengungkapkan dan menganalisis pertentangan ideologis dan
gagasan ketuhanan berkaitan dengan agama dan Hak asasi Manusia dalam
penyusunan Konstitusi negara hukum Indonesia.
2. Untuk mengungkapkan dan menganalisis serta memperkuat perwujudan
konsep Ketuhanan, Nilai HAM serta konsep Negara hukum dalam
konstitusionalisme Indonesia.
3. Untuk mengungkapkan dan menganalisis serta memperkuat perwujudan
konsep Ketuhanan di Indonesia melalui prosedur pembentukan Undang-
Undang
I.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan baik secara teoritis
maupun praktis diantaranya sebagai berikut :
1. Manfaat secara Teoritis
a. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat memberikan
gambaran mengenai ideologi yang bermunculan dan menjadi
perdebatan dalam proses penyusunan Konstitusi Negara
Hukum Indonesia;
b. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat mendukung teori
baru negara hukum ketuhanan yang ideal dalam pengembanan
kenegaraan, terutama berkaitan dengan HAM;
c. Diharapkan hasil penelitian dapat berguna sebagai salah satu
bahan acuan dan pertimbangan untuk menjadi pisau analisa
xiii
dalam menguji konsep welfarestate, untuk kemudian mereduksi
dan merancang ulang agar berkesesuaian dengan cita negara
hukum, terutama yang berkaitan dengan demokrasi, ketuhanan
dalam bingkai konstitusionalisme (religius welfarestate).
d. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat dijadikan bahan
rujukan dalam rangka pengkajian ilmiah yang berkaitan dengan
desain teori negara Hukum Indonesia, serta dapat menjadi
bahan rujukan dalam proses sinkronisasi yuridis dalam bingkai
konstitusionalisme.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat memberikan
masukan bagi masyarakat, maupun pemerintah untuk upaya
pencegahan masuknya ideologi diluar pancasila melalui kajian
sejarah yang telah dideskripsikan;
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan-
masukan pemikiran bagi masyarakat luas serta penentu
kebijakan dalam mewujudkan negara hukum religius;
c. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat dijadikan sumber
rujukan bagi evaluasi ulang konsep negara hukum welfarestate
yang telah diterapkan di indonesia dewasa ini, untuk menuju
pada konsep negara hukum religius dimasa yang akan datang;
xiv
d. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat dijadikan pedoman
dalam proses elaborasi peraturan perundang-undangan
sehingga mencerminkan perpaduan antara sistem demokrasi,
nilai Ketuhanan dan Keadilan.
I.5. Kerangka Teoretik
Istilah mengenai Re Desain pada awalnya mengacu kepada kata
desain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya kerangka
bentuk: rancangan, motif; pola; corak. Sedangkan penambahan kata re di
depan kata desain berarti menyusun kembal, malkukan penyusunan ulang
pada kerangka maupun bentuk. Adapun istilah re desain dapat juga
ditemukan dalam American Heritage Dictionary; redesign means to make
a revisions in the appearance or function of, yang dapat dimaknai berupa
membuat perubahan baik pada sisi penampilan maupun pada fungsinya.
Apabila kata “Re Desain” digunakan dalam penambahan kata “Negara
Hukum”, maka dapat bermakna merancang ulang, mendesain ulang
konsep maupun fungsi negara hukum. Dalam pada itu, Konsep Negara
Hukum yang akan dirancang ulang baik bentuk maupun fungsi, tentu
sangat erat hubungannya dengan konstitusi sebagai hukum dasar sebuah
negara bangsa. Dengan demikian, maka suatu keniscayaan untuk
mengikutsertakan kajian mengenai Konstitusi ketika membahas Negara
Hukum.
xv
Pemikiran dan ide awal tentang Gagasan negara hukum dalam
Konstitusi pada dasarnya telah muncul sejak masa lampau, yaitu masa
dimana mulai berkembangnya proses unifikasi masyarakat menjadi
sebuah komunitas rakyat dalam satu bentuk pengakuan kedaulatan di
bawah satu system pemerintahan. Pada masa ini, secara sederhana
konsitusi melalui pengertian maknanya muncul dalam satu lingkup sistem
pemerintahan yang sangat sederhana pula. Adalah Yunani kuno, sebuah
wilayah yang melahirkan ide gagasan tentang konstitusi yang didahului
dengan munculnya bentuk Negara kota (polis) yang kemudian
memunculkan pula ide-ide tentang konsep dan sistematika pemerintahan
kala itu. Ide-ide yang berkaitan dengan politik, pemerintahan, negara dan
sosial.
Gagasan mengenai konstitusi secara maknawi diperkenalkan oleh
Plato melalui tulisan-tulisan dalam “Nomoi”, demikian halnya dengan
Socrates yang menelurkan konsep kekuasaan (power), rakyat dan
pemerintahan melalui karyanya “Panatheenaicus” maupun
“aeropagiticus”. Pada masa klasik ini, perkembangan konstitusionalisme
masih pada taraf yang amat primitif dan diberlakukan pada negara kota
(polis) yunani kuno. Selaras dengan itu, Aristoteles yang mewarisi
pemikiran Plato dan hidup dalam rentang waktu selanjutnya, melalui
“Politics” membahas lebih lengkap mengenai Konstitusi termasuk di
dalamnya konsep kedaulatan (sovereignity), kekuasaan Negara (power),
dan pemerintahan. Meskipun kondisi Negara pada waktu itu masih
xvi
berbentuk polis (Negara kota) kecil, akan tetapi pemikiran filsuf yunani
saat itu telah sampai pada cita Negara dan pemerintahan yang diidealkan.
Secara tidak langsung, makna tentang Konstitusi secara sedikit demi
sedikit telah muncul dan berkembang dalam rangkaian pemikiran yunani
kuno.
Selanjutnya, gagasan tentang Konstitusi mulai berkembang pesat
pada masa Romawi dimana gagasan tersebut telah sampai pada tahap
pengertiannya sebagai “superiority law” atau hukum tertinggi. Pada
tahapan masa ini, Konstitusi dimaknai sebagai suatu aturan hukum yang
terpisah dari Negara dan kedudukannya pun jauh lebih tinggi. Senada
dengan itu, Cicero mengartikan suatu Negara sebagai a bond of law
(vinculum yuris)5. Dengan demikian, maka Konstitusi pun mulai dipahami
sebagai aturan tertinggi yang menentukan bagaimana bangunan
kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law6.
Hal ini lantas berimplikasi pada diperkenalkannya hierarki peraturan
(hukum) di bawah konstitusi dan penyelenggaraan pemerintahan dengan
berpegang pada konstitusionalisme.
1) Gagasan Konstitusi Negara Hukum dalam Islam
Al Quran tidak pernah menyebutkan secara eksplisit baik itu
definisi mengenai Konstitusi maupun Negara Hukum. Tidak adanya
definisi khusus mengenai hal tersebut menyebabkan polarisasi dan
5 . Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal.13
6 . Ibid, hal. 14
xvii
fleksibilitas dalam penafsiran melalui Al-Quran. Akan tetapi
disebutkannya perintah untuk berlaku adil bagi pemimipin serta
dianjurkannya penghormatan terhadap Hak-Hak kemanusiaan dalam
sebuah kepemimpinan justru memberikan nilai lebih dan batasan positif
dalam penafsirannya. Hal ini kemudian menjadi dasar pemikiran
pembentukan berbagai bentuk negara hukum dan pemerintahan oleh
masyarakat Islam. Lebih lanjut disebutkan:
“Bahwasanya Allah menyuruh bersifat adil dan berbuat baik” (Q.S, 16:
90)..7
“Apabila kamu ingin hendak memberi hukum diantara manusia maka
haruslah kamu memberi hukum dengan adil” (Q.S, 4: 5).8
“Dan ajaklah mereka itu bermusyawarah tentang perkara mereka” (Q.S,
3: 159).9
“dan adapun urusan mereka rakyat hendaklah dimusyawaratkan antara
mereka sendiri” (Q.S, 26: 38).10
Adapun Sejarah Konstitusionalisme pada era Muhammad
mengalami masa keemasan pada saat dilakukannya hijrah dari Makkah
menuju Madinah. Pada saat itulah dimulai penggabungan masyarakat dan
kemajuan heterogenitas masyarakat. Islam terwujud sebagai agama yang
mampu mempersatukan perbedaan kepentingan dan kesukuan masyarakat
madinah.
7 . Al-Quran, surat An-Nahl, ayat 90.
8 . ibid, An-Nisaa, ayat 5.
9 . ibid, Ali Imron, ayat 159.
10 . ibid, As Syura, ayat 38.
xviii
Piagam konstitusi pada masa ini, yang disebut juga dengan
istilah kesepakatan dan dikenal dengan sebutan shahifah11
tersebut
menjadi dasar kehidupan politis dan sosial kemasyarakatan dalam sebuah
Negara Madinah yang Majemuk. Hal ini menjadi demikian fenomenal
dalam catatan sejarah mengingat kota Madinah adalah satu wilayah yang
menjadi tempat hijrah Rasul yang bersamaan dengan itu pula menerima
kehadirannya sebagai pemimpin umat sekaligus pembawa agama baru
(islam).
Secara tekstual, Piagam Madinah ini secara lengkap
diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213 H),12
Meskipun kharakteristik yang terkandung didalamnya masih kuno, tetapi
kebenaran dan keotentikan piagam tersebut dapat dipertanggungjawabkan
mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam
Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang
dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat
piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu13
.
Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery
Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara
umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada
11
. Shahifah adalah nama yang disebut dalam naskah asli Piagam Madinah. Menurut
Ahmad Sukardja, kata shahifat lebih tepat dikarenakan menunjuk pada makna piagam atau
charter, karena lebih menunjuk kepada surat resmi yang bersifat pernyataan tentang suatu hal,
dalam Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, hal.2. 12
. Disadur dari artikel dalam sejarah Hak Asasi Manusia/Piagam Madinah, diunduh pada
24 September 2010, hal.2-3 13
. ibid,.
xix
masa Umayyah dan Abbassiyah yang dalam kandungannya memasukkan
orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.14
Sebagai sebuah Konstitusi Negara Hukum, Piagam Madinah
memuat secara explisit mengenai persatuan ummat dan dasar penerapan
pembentukan kenegaraan. Kharakteristik tersebut diantaranya;15
1. Masyarakat pendukung Piagam Madinah merupakan masyarakat yang
majemuk terdiri dari beberapa ikatan kesukuan dan agama. Unsur
kesukuan memegang peranan penting bagi pembentukan awal sebuah
kelompok dalam komunitas, dengan demikian maka menjadi awal
cikal bakal pembentukan negara. Pada saat itu, Muhammad
menghilangkan primordialisme kesukuan dan menggantinya dengan
nasionalisme (dilihat dari unsur kegotongroyongan serta musyawarah
dalam kabilah yang dimaksudkan untuk membangun satu persatuan
Negara Madinah dengan tanpa menghilangkan ciri-khas masing-
masing kabilah, tetapi menggabungkannya dalam sebuah aturan
Piagam yang kemudian disepakati bersama menjadi sebuah dokumen
pengikat kehidupan majemuk secara politik).
2. Persamaan kedudukan dalam masyarakat yang ditandai dengan
kewajiban untuk saling menghormati, bekerjasama serta memberikan
perlakuan yang adil dan wajar sesuai dengan kemanusiaan. Termasuk
14
. ibid,. 15
. Sebagaimana diantaranya dirangkum dan disadur dari Irfan Idris, Islam dan
Konstitusionalisme, kontribusi Islam dalam penyusunan Undang-undang Dasar indonesia
modern, Yogyakarta, anthonylib, cetakan pertama tahun 2009 hal 33-35.
xx
pula di dalamnya perlindungan politik dan hukum terhadap kaum
minoritas.
3. Pengakuan terhadap agama dan kebebasan menjalankan ibadah bagi
Muslim dan Yahudi serta bagi umat lainnya, persamaan kedudukan
di hadapan hukum bagi seluruh warga negara, pengakuan atas
perjanjian perdata warga negara, Hak dan kewajiban pembelaan
negara terkait penyerangan dan pertahanan, serta pengakuan atas
perdamaian.
4. Adanya sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan yang ditandai
dengan Yatsrib sebagai pusat pemerintahan serta pembagian
wewenang terhadap penyelesaian permasalahan dalam suku/kabilah
yang diserahkan urusannya kepada masing-masing suku tersebut, dan
menyerahkan urusan kepada Muhammad (pemimpin pusat) apabila
menyangkut permasalahan antar suku di Madinah. Pada masa ini
telah diperkenalkan asas pembagian kekuasaan (distribution of
power) secara dini dan jauh lebih awal sebelum para pemikir dan
negarawan barat mengkonsepsikannya ke dalam negara modern.
Konstitusionalisme yang dianut oleh Negara Madinah, telah
merangkum semua sifat yang dibutuhkan oleh organisasi kenegaraan, baik
sifat proklamasi (proclamation of independence), deklarasi (declaration of
of birth of state), perjanjian atau pernyataan-pernyataan yang lain (seperti
halnya konsep declaration of Human Rights maupun le droit de l'home et
du citoyen) termuat pula konsepnya dalam Piagam ini. Oleh karena
xxi
kualitasnya yang serba mencakup ini, maka Piagam Madinah diakui
sebagai “Konstitusi tertulis yang pertama di dunia”.16 Bahkan, Konstitusi
Madinah diakui pula sebagai Konstitusi termodern pada zamannya.17
Modernitas ini dapat dilihat melalui adanya komitmen yang tinggi,
partisipasi masyarakat dalam pembuatan piagam dan dalam pemerintahan,
serta keterbukaan posisi kepemimpinan berdasarkan tingkat kecakapan.18
2) Gagasan Ketuhanan dalam perkembangan kebangsaan Indonesia
Masuknya Islam di bumi Nusantara telah mempengaruhi kondisi
sosio kultural masyarakat. Pada saat itu, konstelasi masyarakat yang
masih memegang teguh kebudayaan dan agama Hindu-Budha dan
bahkan sebagian masih animisme dan dinamisme, secara sedikit demi
sedikit berbaur dan berubah dengan masuknya ajaran Islam. Perubahan
ini dapat dilihat melalui adanya asimilasi kultural antara kebudayaan
Islam dan budaya masyarakat Nusantara, termasuk di dalamnya
peninggalan Hindu-Budha yang masih lestari. Munculnya kerajaan-
kerajaan Islam menandai awal mula kemajuan peradaban dan
pemerintahan Islam di wilayah Nusantara.
Islam masuk secara damai salah satunya melalui jalur
perdagangan dan berkembang pengajarannya melalui jalan dakwah.
Islam saat itu datang sebagai agama Tauhid yang kemudian melakukan
16 . Djazim Hamidi, Malik, 2009, “Hukum Perbandingan Konstitusi”, Prestasi Pustaka Publisher,
Jakarta, hal.45. 17 . Robert N. Bellah, 1976, Beyond Belief, Harper & Row, New York, hal. 150-151. 18 . ibid,.
xxii
pembaharuan di bidang keyakinan masyarakat terkait persamaan
kedudukan manusia serta dihapusnya pola feodalisme yang memisahkan
derajat antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Islam
bahkan menghapuskan kasta yang pada saat itu masih menjadi rujukan
dalam konteks pergaulan sosial masyarakat. Melalui kekuatan sosiologis
dan budaya yang telah menyatu, Islam kemudian tampil sebagai salah
satu agama yang cukup dominan di wilayah Nusantara terutama dalam
konsep Kemanusiaan (HAM), pendidikan, pemerintahan, keagamaan
serta konsep perekonomiam perdagangan.
Sebagai agama yang hidup berdampingan dengan heterogenitas
keyakinan masyarakat, Islam tampil dengan sangat toleran. Budaya
sebagai hasil pemikiran manusia tidak serta merta dihapuskan, tetapi
secara perlahan dimasukkan nilai tauhid ke dalamnya sehingga sesuai
dengan nilai dasar Islam. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa Islam
pada saat itu melakukan kompromi budaya dalam hal pemasukan dan
penerapan ajaran-ajarannya.
Konteks persatuan masyarakat yang terwujud melalui konsep
Jama'ah menjadi dasar dalam kekuatan perjuangan Islam baik itu dalam
rangka penegakan syari'ah maupun dalam pergerakan dan perlawanan
terhadap penjajahan. Agama ini memberikan andil besar dalam
memberikan kekuatan dan semangat tersendiri dalam upaya perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
xxiii
Islam hadir sebagai sebuah agama yang menjadi pelengkap
(komplementer) dalam kehidupan sosio kultural dan politik di Indonesia.
Meskipun demikian, dalam rangkaian sejarah perumusan hukum pasca
diperolehnya kemerdekaan bangsa Indonesia tidaklah serta merta
menjadikan Islam sebagai acuan dan dasar dalam pembentukan negara
indonesia saat itu. Sebagai salah satu komponen penting dalam struktur
sosial Indonesia, ide pemikiran Islam ternyata tidak mendominasi
pembentukan kenegaraan Indonesia sebagaimana terjadi dalam
perdebatan penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar yang
diselenggarakan BPUPKI pada awal masa kemerdekaan Indonesia. Tidak
berhasilnya ide akan negara Islam pada saat itu telah memberikan
pelajaran besar bagi masyarakat Islam akan pentingnya pengakuan atas
persamaan heterogenitas sosial, masyarakat dan agama dalam sebuah
negara. Tidak masuknya ide Islam ini bukan pula merupakan sebuah
pengingkaran atau penafian terhadap peran Islam itu sendiri.
3) Pembahasan Ketuhanan menurut Islam dalam UUD 1945
UUD 1945 disahkan dan mulai berlaku sebagai konstitusi
Indonesia melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebelumnya, naskah UUD 1945
ini telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh “Dokuritzu Zyunbi
Tyoosakai” atau “Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
xxiv
Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI).19
Badan ini dibentuk dan dilantik
oleh Pemerintah Bala Tentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam
rangka memenuhi janji pemerintah Jepang untuk memberi
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.20
Pada awal pembahasan Undang-Undang Dasar dalam rapat
BPUPKI, para penyusun telah memperdebatkan bentuk negara
termasuk di dalamnya perdebatan atas pemasukan unsur Islam. Dalam
kesempatan itu, isu tentang Pembentukan Negara Islam menncuat
melalui pandangan yang dilontarkan oleh KI Bagoes Hadikoesoemo.
Dalam uraiannya, beliau menawarkan ide akan keistimewaan dan
relevansi asas Islam dalam pembentukan Negara Indonesia. Ki Bagoes
mengatakan relevansi empat ajaran pokok dalam Islam berupa; Ajaran
iman atau kepercayaan kepada Allah SWT; Ajaran beribadah,
berhikmat dan berbakti kepada Allah; Ajaran beramal salih; Ajaran
berjihad di jalan Allah.21 Ia kemudian mengaitkan empat ajaran
filosofis Islam tersebut ke dalam ide dasar pembentukan negara
Indonesia. Selanjutnya ia mengatakan:
“ Tuan -tuan dalam sidang yang terhormat! Dalam Negara kita,
niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya suatu pemerintahan
yang adil dan bijaksana, berdasasrkan budipekerti yang luhur
19
. Jimliy Asshiddiqie, 2006, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”.Jakarta; Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm 38 20
. Ibid, hlm 39 21
. Pandangan Ki Bagoes Hadikoesoemo, dalam sidang pertama BPUPKI tanggal 31 Mei 1945,
dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 1998, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indinesia,
hal. 36-37.
xxv
bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas
berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar
demikian, maka dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam
karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat
itu.”22
Berseberangan dengan itu, Soepomo dan Hatta menolak ide
pembentukan Negara berdasarkan asas Islam. Keduanya
menghawatirkan adanya isu kecemburuan minoritas serta dalam
kemajemukan budaya. Selain itu, adanya Fakta bahwa negara-negara
penganut Islam mengalami kesulitan dalam perkembangan dan
pencarian jati diri hukum serta ambiguitas pemisahan negara dan
agama membuat kedua tokoh ini sepakat untuk menolak ide tersebut.
Mengenai hal ini Soepomo mengatakan:
“Dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada
pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk
hukum negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern,
yang meminta perhatian dari negara-negara yang turut
berhubungan dengan dunia internasional itu. Jadi, seandainya
kita disini mendirikan negara Islam, pertentangan pendirian itu
akan akan timbul juga di masyarakat kita dan barangkali Badan
Penyelidik ini pun akan susah memperbincangkan soal itu.
Akan tetapi, tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara
22 . Ibid, hal. 41.
xxvi
Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan negara negara
persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti
mendirikan negara yang yang akan mempersatukan diri dengan
gologan yang terbesar, yaitu golongan Islam. Jikalau di
Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul soal-
soal “minderheden”, soal agama yang kecil-kecil, golongan
agama kristen dan lain-lain. Meskipun negara Islam akan
menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan-
golongan lain itu, akan tetapi golongan agama kecil itu tidak
bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena itu,
cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara
persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan
juga yang telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.
Oleh karena itu, saya menganjurkan dan saya mufakat
dengan pendirian yang hendak mendirikan negara nasional
yang bersatu dalam arti totaliter seperti yang saya uraikan
tadi...”23
Penolakan terhadap isu negara Islam juga turut dikemukakan
oleh Soekarno pada rapat lanjutan 1 Juni 1945. dalam kesempatan itu
ia mengatakan:
“...Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: apakah kita
hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang,
23
. Soepomo, dalam Risalah Sidang BPUPKI, ibid, hal. 59-60.
xxvii
untuk sesuatu golongan? Mendirikan Negara Indonesia
Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi
sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk
memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-
saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun
saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah
mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya
tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat
semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya
kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya
punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918,
25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar
buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.”
Lebih dari itu, Soekarno melalui pidatonya memberikan ide
kebebasan terhadap penerapan pola agama tetapi di bawah satu
kesatuan kebangsaan. Soekarno tidak sekalipun menolak Islam sebagai
agama dalam sebuah negara, melainkan menolak ide pemasukan
tunggal agama ke dalam sebuah bentuk formal negara. Meskipun
demikian bukan berarti Soekarno menafikan peran Islam dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. Melalui pemikirannya, ia menganjurkan
untuk memperhatikan kesetaraan dalam kemajemukan dan diakuinya
xxviii
hak-hak agama bagi masing-masing pemeluk agama di bawah satu ide
negara kebangsaan.
Penolakan terhadap dimasukkannya ide-ide negara Islam ke
dalam sebuah Konstitusi pada dasarnya membuktikan bahwa Islam
tidak selayaknya menempatkan diri dalam posisi yang bersaing vis-a-
vis dengan komponen lainnya dalam hal penerapan konsep Negara
berdasarkan ideologi Islam dalam Konstitusi negara-bangsa Indonesia.
Akan tetapi, Islam harus ditampilkan sebagai unsur komplementer
dalam fondasi tatanan sosial, kultural, dan politik negeri ini. Upaya
menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif atau pemberi warna
tunggal hanya akan membawa perpecahan dalam masyarakat secara
secara keseluruhan mengingat corak sosial masyarakat Indonesia yang
beragam.24
24
. Disarikan dari pemikiran Abdurrahman Wahid, dalam Zubaidi, 2007, Islam dan Benturan
Peradaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban,dan Dialog Agama), Ar-Ruz Media,
Yogyakarta, hal.181.
xxix
I.6. Kerangka pemikiran
KERANGKA PEMIKIRAN DISERTASI
Tabel
Kerangka Pemikiran Disertasi
Teori utama: Teori Negara Hukum, Teori konstitusi ( bab III dan IV)
Teori pendukung: Teori hukum Profetik, Teori hukum Progressif,
Hukum Prismatik ( bab V)
Wisdom Local : Nilai Ketuhanan dalam konsep negara hukum
Wisdom Internasional : Studi Perbandingan demokrasi, HAM, konsep negara hukum
Redesain Konsep negara Hukum dan Hak asasi Manusia dalam penyusunan
Undang-Undang berdasarkan nilai nilai ketuhanan dalam Konstitusi
Indonesia
Permasalahan yang muncul dalam kerangka konsep negara hukum
Memperbandingkan kajian konsep ketuhanan di negara ASEAN
keadilan
Pertentangan ideologi dalam penyusunan konstitusi indonesia
dalam mewujudkan cita negara hukum
ketuhanan Konstitusi Demokrasi
xxx
I.7 Metode Penelitian
1). Paradigma Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara methodologis,
sistimatis dan konsisten. Methodologis berarti sesuai dengan methode atau
cara tertentu, sistimatis adalah berdasarkan suau sistim, sedangkan
konsisten adalah tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.25
1. Paradigma Penelitian menurut Harmon, paradigma adalah cara
mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang
berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas.
Bogdan & Biklen, menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan
longgar dari sejumlah asumsi, konsep, atau proposisi yang berhubungan
secara logis, yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.26
Dari dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma
merupakan seperangkat konsep, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau
aturan yang membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.
Dalam penelitian disertasi ini, digunakan paradigma postpositivisme
untuk menjawab aspek berkaitan dengan ontologi berupa apakah negara
hukum indonesia sebagaimana termaktub dalam konstitusi, adalah
25. Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum,UI Press,Jakarta,2012,halaman,42.
26 . disadur melalui tulisan dalam http://www.parlindunganpardede.wordpres.com/paradigma.diakses
minggu,3 november 15
xxxi
benar-benar berkesesuaian dengan kaidah yang hidup dalam masyarakat
indonesia. Dalam pada itu, Postpotivisme dipilih untuk menjawab
adanya realitas pertentangan ideologi, pemikiran tentang ketuhanan
yang telah mengakar budaya masyarakat indonesia dan sudah barang
tentu memberikan pengaruh terhadap proses penyusunan konstitusi.
Penelitian nantinya melihat secara rinci keterkaitan antara peneliti dan
kedalaman obyek yang diteliti dengan penggunaan bermacam-macam
metode, sumber data, peneliti dan teori.
NO ASUMSI POST-POSITIVISME
1 Ontology Realis kritis, artinya realitas itu memang ada,
tetapi tidak akan pernah dapat dipahami
sepenuhnya.
2 Epistemologi Objektivis modifikasi, artinya objektivitas
tetap merupakan pengaturan (regulator) yang
ideal, namun objektivitas hanya dapat
diperkirakan dengan penekanan khusus pada
penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas
yang kritis.
3 Metodologi Bersifat eksperimental / manipulatif yang
dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat
ganda yang kritis. Memperbaiki
ketidakseimbangan dengan melakukan
xxxii
penelitian dalam latar yang alamiah, yang
lebih banyak menggunakan metode-metode
kualitatif, lebih tergantung pada teori
grounded (grounded theory) dan
memperlihatkan upaya (reintroducing)
penemuan dalam proses penelitian.
2). Jenis Penelitian
Pada penelitian disertasi dipilih jenis penelitian eksplanatoris guna
menerangkan, memperkuat dan kemudian memunculkan teori atau
hipotesa terhadap hasil penelitian yang ada, dalam hal ini memperkuat
gagasan redesai konsep negara hukum dan HAM dalam konstitusi yang
menitikberatkan kepada nilai ketuhanan dan keadilan.
Dari sisi penerapan, penelitian ini masuk ke dalam kategori penelitian
murni (pure research) yang tujuannya berupa pengembangan keilmuan
hukum konstitusisekaligus memunculkan teori dan hipotesa baru dalam
bidang kajian ketatanegaraan.
3). Metode Pendekatan
Pendekatan penelitian yang akan dipakai adalah penelitian hukum
doktrinal. Penulis menggunakan pendekatan berupa pendekatan historis
(historical Approach) ini untuk melihat konsep teori negara hukum
xxxiii
indonesia, apakah telah berkesesuaian dengan konteks Demokrasi,
ketuhanan dan Keadilan ataukah sebaliknya memunculkan gagasan baru
mengenai konsep negara hukum dan HAM berdasarkan ketuhanan dan
bercirikan Pancasila yang mendasari penyusunan Undang-Undang.
Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normative (peraturan
perundangan) pada saat penelitian termasuk pula mengkaji sistem norma
yang ada dalam aturan perundang-perundangan. Disamping, dilakukan
pula pendekatan kesejarahan dalam mengungkap sistem hukum maupun
perbandingan sistem hukum serta studi perbandingan di negara ASEAN.
4). Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif dan teknis, sehingga pendalaman teori
sangat diperlukan. Dengan pendalaman ini hasil penelitian bisa
memberikan gambaran yang komprehensip. Penelitian dimulai dari kajian
mengenai teori negara hukum, teori Konstitusi, sejarah konstitusi
indonesia, perdebatan ideologi ketuhanan dan agama, sampai
padapenyusunan produk perundang-undangan yang terkait kemudian
dilanjutkan dengan penelitian untuk mendapatkan fakta-fakta yang
siginifikan. Dalam proses penelitian, juga dipertimbangkan adanya Expert
Judgement yang dapat dijadikan acuan untuk menjawab permasalahan
yang diteliti.
5). Sumber Data Penelitian
Dalam penelitian sumber data menggunakan data sekunder yang diperoleh
dari studi pustaka dan studi dokumenter, guna mendapatkan bahan hukum
xxxiv
primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier sesuai kajian.
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder.
a. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian, terutama
melalui expert judgement.
b. Data sekunder merupakan data yang dapat diperoleh dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, dalam hal
bahan-bahan peraturan perundang-undangan diantaranya;
1. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hokum
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Sedangkan Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan suatu
penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian dan
karya tulis para ahli hukum dalam bentuk buku, kajian, makalah dan jurnal
ilmiah tentang konstitusi.
Sedangkan bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan sebagai penunjang
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan
hukum primer dan sekunder antara lain Kamus, Ensiklopedia, Majalah,
Surat Kabar.
xxxv
6). Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data untuk memperoleh data primer digunakan
teknik Studi Kepustakaan (literatur) dan Studi Dokumen, dengan metode
ini dilakukan pengumpulan dan membuat sistematis semua bahan hukum,
catatan dan laporan lainnya. Akan tetapi, sebagai pelengkap,
dimungkinkan untuk dilakukan Wawancara terbatas mengenai doktrin,
dilakukan langsung kepada para ahli hukum. Sebelum wawancara
dilakukan, promovendus terlebih dulu mempersiapkan pokok pertanyaan
yang ada relevansinya dengan penelitian. Wawancana dengan tatap muka
dilakukan terhadap beberapa pakar dalam bidang Konstitusi, diantaranya
Hakim Konstitusi, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
7). Analisa Data
Analisa data ini merupakan penjelasan dari hasil yang diperoleh selama
mengadakan penelitian. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa
silogisme dan interpretasi. Analisa silogisme yang dimaksud adalah
dengan cara melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif tak
langsung yang ditarik dari hasil yang diteliti yang diteliti secara bersamaan
(dalam hal ini melihat sejarah perumusan konstitusi) . Sedangkan
interpretasi maksudnya adalah dalam menganalisis data menggunakan
hipotesis yang harus dilakukan validasi (keabsahan) dengan menggunakan
acuan teori negara hukum, demokrasi, keadilan dan pancasila. Semua data
tersebut kemudian dikumpulkan dan disusun secara sistematis sehingga
xxxvi
dapat memunculkan kejelasan sekaligus gambaran jawaban terhadap
permasalahan yang akan diteliti.
Disamping itu, menurut Anselm Strauss dan Juliet Corbin dalam bukunya
Basics Of Qualitative Research, Tehniquues and Procedures for
Developing Grounded Theory menyebutkan ada tiga komponen utama
dalam penelitian kualitatif, yaitu : data yang berasal dari berbagai sumber
seperti wawancara, observasi, dokumen, catatan dan film. Kedua, prosedur
yang dapat digunakan untuk penelitian dengan menafsirkan dan mengatur
data. Hal ini tediri dari konseptualisasi, menguraikan kategori yang
berhubungan melalui serangkaian pernyataan preposisi. Konseptualisasi,
menguraikan dan sering disebut sebagai coding. Prosedur lain adalah
bagian dari proses analitik. Ini mencakup pengambilan sampel non
statistik. Penulisan memo dan diagram, laporan tertulis dan lisan
merupakan komponen ketiga. Ini dapat disajikan sebagai artikel dalam
jurnal ilmiah.27
Termasuk pula di dalamnya analisa silogisme dan
interpretasi.
1.8. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan literatur yang ada, di beberapa perpustakaan sampai dengan
proposal disertasi ini ditulis, penulis menemukan beberapa hasil penelitian
27 Anselm Strauss dan Juliet Corbon,1998, Basics of Qualitative Research, Techniques and
Procedurs for Developing Grounded Theory, Sage Publications, London, h.11-12
xxxvii
yang telah dilakukan dan dapat digunakan sebagai pembanding diantaranya
dikelompokkan ke dalam tabel di bawah ini.
Nama
Peneliti
Judul Tahun terbit Pokok Bahasan/Batasan
Penelitian
Soetanto
Soepiadhy
Meredesain
konstitusi
2004,
KEPEL
PRESS
Penelitian yang
dilakukan membahas
mengenai prosedur
perubahan konstitusi,
latar belakang, prosedur
perubahan serta proses
politik dan ideologi yang
mendasari perubahan
konstitusi.
Penelitian ini tidak
membahas gagasan
ketuhanan dalam
Penyusunan Konstitusi,
dan tidak melahirkan
konsep desain konstitusi
negara hukum religius
Jimliy
Asshiddiqie
Gagasan
Kedaulatan rakyat
1991
Universitas
Penelitian membahas
mengenai gagasan
xxxviii
dalam Konstitusi
dan
Pelaksanaannya di
Indonesia:
Pergeseran
keseimbangan
antara
individualisme dan
kolektivisme dalam
kebijakan
Demokrasi Politik
dan Demokrasi
Ekonomi selama
Tiga Masa
demokrasi, 1945-
1980an.
Indonesia kedaultan rakat dalam
konstitusi selama masa
transisi, sekaligus
konstitusionalisme pada
kurun waktu 1945-
1980an.
Konstitusi dilihat tidak
hanya sebagai dasar
negara hukum, tetapi
juga sebagai dasar
konstitusi sosial,
menitikbratkan kepada
peran kedaulatan rakyat,
serta perbandingan
gagasan negara hukum
yang mendasarkan
konsep individualisme
maupun kolektivisme.
Penelitian ini
menitikberatkan pada
konstitusionalisme, dan
belum membahas secara
xxxix
rinci mengenai gagasan
negara hukum
berketuhanan (religius
welfarestate).
Irfan Idris
Islam dan
konstitusionalisme:
Kontribusi islam
dalam penyusunan
Undang-Undang
Dasar indonesia
Modern
2009,
antonylib
jogjakarta
Penelitian membahas
mengenai peran islam
dalam penyuunan
Konstitusi, prosedur dan
perbandingan antar
Undang-undang dasar
dengan piagam Madinah
Penelitian
menitikberatkan pada
argumen penyamaan dan
perbandingan antara
konstitusi indonesia
dengan Konstitusi
Madinah. Termasuk pula
didalamnya melakukan
kajian perbandingan
masyarakat islami