BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan di dunia
kesehatan sangatlah pesat. Hal tersebut dikarenakan semakin rumitnya
penyakit-penyakit yang ada sekarang ini. Salah satunya adalah dengan
semakin berkembangnya formulasi pembuatan obat. Dilakukannya
formulasi pembuatan obat ini agar dapat ditemukan formulasi yang paling
optimal untuk sediaan yang akan digunakan sebagai terapi. Salah satu obat
yang sering digunakan untuk terapi adalah nifedipin. Nifedipin termasuk
obat kardiovaskuler golongan antagonis kalsium yang digunakan untuk
pencegahan dan pengobatan angina pektoris dan pengobatan hipertensi
(Sweetman, 2009). Untuk menghasilkan efek terapi yang baik biasanya
dibutuhkan 3-4 tablet sehari. Dengan banyaknya mengkonsumsi obat
dalam sehari, pasien terkadang merasa bosan dan jenuh karena terlalu
sering mengkonsumsi obat dan akhirnya bisa mengurangi tingkat
kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat. Akibatnya apabila pasien
tidak patuh maka tidak akan mencapai efek terapi yang optimal dan
kesembuhan akan tertunda. Namun, apabila terlalu sering mengkonsumsi
juga dapat berakibat terjadinya akumulasi kadar obat dalam plasma
sehingga meningkatkan efek samping dan meningkatkan toksisitas. Oleh
2
karena itu, nifedipin dapat diformulasikan dalam sediaan tablet lepas
lambat.
Sediaan lepas lambat merupakan sediaan yang dirancang agar
pemakaian satu unit dosis tunggal dapat melepaskan sejumlah obat segera
setelah pemakaian, menghasilkan efek terapetik yang diinginkan, serta
terus menerus dapat melepaskan sejumlah obat untuk memelihara tingkat
pengaruhnya selama periode waktu yang diperpanjang (Ansel, 1989).
Sediaan tablet lepas lambat ini memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan tablet konvensional, namun juga memiliki keterbatasan
untuk obat-obat yang diabsorbsi sempurna dalam lambung karena waktu
tinggal obat yang singkat dalam lambung. Gastroretentive Drug Delivery
System (GDDS) dapat dikembangkan untuk mengatasi permasalahan ini
(Garg & Gupta, 2008). Absorbsi nifedipin cepat dan hampir sempurna
(90%) dalam lambung (Hardjono, 2000), sehingga cocok untuk
dikembangkan menjadi bentuk sediaan bentuk gastroretentive.
Gastroretentive Drug Delivery System (GDDS) merupakan suatu sistem
penghantaran obat yang dapat dipertahankan di dalam lambung. Bentuk
sediaan ini dapat mengatasi keterbatasan terutama untuk obat: (1) dengan
jendela terapetik sempit, (2) absorbsi utamanya di lambung dan usus
bagian atas, (3) beraksi lokal di lambung, dan (4) terdegradasi di dalam
usus (Garg & Gupta, 2008).
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk GDDS adalah
Floating Drug Delivery System (FDDS). Sistem floating merupakan suatu
3
sistem sediaan yang memiliki kerapatan yang lebih rendah dibandingkan
kerapatan cairan lambung sehingga tetap mengapung di lambung selama
periode waktu lama, tanpa dipengaruhi oleh laju pengosongan lambung.
Sediaan ini membentuk gel penghalang yang berfungsi sebagai reservoir
dan melepaskan obatnya dalam periode waktu yang diinginkan. Teknik ini
dapat meningkatkan waktu tinggal obat dalam lambung dan mengurangi
fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma (Mahale & Derle, 2012). Bentuk
sediaan ini banyak diformulasikan menggunakan matriks hidrofilik.
Matriks yang direkomendasikan terutama adalah turunan selulosa. Polimer
berperan penting dalam formulasi sediaan floating. Polimer tidak hanya
mengikat bahan-bahan dalam formula tetapi juga juga berfungsi sebagai
bahan yang membuat sistem mengapung dan mengontrol pelepasan obat
(Shaikh dkk., 2011).
Penelitian tablet floating nifedipin telah banyak dilakukan. Ghosh
dkk. (2010) membuat formulasi nifedipin hidroklorida dalam bentuk
sediaan lepas lambat menggunakan kitosan dan alginat sebagai polimer
penyusun matriks. Sreekanth dkk. (2010) memformulasikan nifedipin
dengan sistem floating menggunakan HPMC K100M sebagai matriks dan
natrium bikarbonat sebagai penghasil gas CO2. Shaikh dkk. (2011)
membuat formulasi nifedipin dengan sistem penghantaran obat
gastroretentive menggunakan HPMC K4M dan carbopol 934P sebagai
polimer, natrium bikarbonat sebagai bahan penghasil gas. Pujiastuti (2012)
memformulasikan tablet nifedipin gastroretentive mukoadhesif
4
menggunakan polimer natrium CMC, HPMC K100M, dan etil selulosa.
Siti (2013) membuat formulasi tablet floating nifedipin menggunakan
HPMC K15M, PVP K-30 dan avicel PH 102 dengan metode simplex
lattice design. Nurniswati (2014) memformulasikan tablet floating
nifedipin menggunakan matriks HPMC K100M dan xanthan gum dengan
metode effervescent. Berdasarkan telaah pustaka disimpulkan belum
pernah dilakukan penelitian tablet floating nifedipin menggunakan matriks
natrium CMC dan natrium alginat .
Dosis nifedipin yang digunakan pada penelitian ini adalah 40 mg.
Kombinasi matriks yang digunakan yaitu natrium CMC dan natrium
alginat. Dipilih terlebih dahulu formula yang paling optimal menggunakan
metode simplex lattice design. Setelah ditemukan formula yang optimal,
lalu dibuat tablet. Pembuatan tablet ini menggunakan metode kempa
langsung. Metode ini dilakukan dengan cara bahan aktif (nifedipin)
dicampur dengan PVP K-30 untuk meningkatkan kelarutannya. Asam
sitrat dicampur dengan natrium CMC untuk mencegah terjadinya reaksi
antar komponen effervescent. Sedangkan natrium bikarbonat dicampur
dengan natrium alginat. Kemudian avicel PH 102 dihomogenkan dengan
ketiga campuran tersebut. Setelah itu aerosil dan magnesium stearat
ditambahkan. Campuran tersebut kemudian di kempa menjadi tablet
dengan bobot tiap tablet 300 mg.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan
permasalahan:
1. Bagaimana pengaruh matriks natrium CMC dan natrium alginat
terhadap sifat fisik tablet?
2. Berapa proporsi natrium CMC dan natrium alginat agar
menghasilkan tablet floating nifedipin yang optimal?
C. Tujuan Penelitiaan
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh matriks natrium CMC dan
natrium alginat terhadap sifat fisik tablet.
2. Untuk mengetahui proporsi banyaknya natrium CMC dan natrium
alginat agar menghasilkan tablet floating nifedipin yang optimal.
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk Peneliti
Dapat mengetahui formula mana yang paling optimal untuk
pembuatan tablet floating nifedipin.
2. Untuk Masyarakat
Tablet floating nifedipin dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi
maupun angina pektoris oleh masyarakat dengan frekuensi pemakaian
6
minimal sehingga meningkatkan kepatuhan untuk mengkonsumsi
obat.
3. Untuk Industri Farmasi
Dapat dijadikan formula baru untuk pembuatan sediaan farmasi tablet
floating nifedipin dengan kombinasi matriks natrium CMC dan
natrium alginat.
4. Untuk Mahasiswa
Dapat mengetahui bahwa nifedipin dapat dibuat tablet floating dengan
matriks natrium CMC dan natrium alginat dan diharapkan dapat
mengembangkannya.
.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sediaan Tablet Lepas Lambat
Tablet lepas lambat adalah tablet yang dibuat sedemikian
rupa sehingga zat aktif akan tersedia dalam jangka waktu tertentu
setelah obat diberikan. Istilah lepas lambat digunakan untuk tujuan
farmakope dan persyaratan pelepasan obat dijelaskan dalam
masing-masing monografi (Anonim, 1995).
Bentuk modifikasi pelepasan obat dapat dikategorikan
dalam tiga tipe, yaitu (Shargel dkk., 2004):
a. Bentuk sediaan extended release, sediaan yang dapat
menurunkan frekuensi penggunaan waktu obat karena dapat
7
mempertahankan konsentrasi obat dalam waktu tertentu.
Contoh bentuk sediaan yang termasuk dalam kategori ini
adalah: controlled release, sustained release, dan long action.
b. Bentuk sediaan delayed release, sediaan yang akan melepaskan
obat dengan segera pada waktu tertentu. Contohnya adalah
bentuk sediaan salut enteric.
c. Bentuk sediaan targeted release, obat akan dilepaskan pda
tempat tertentu dalam saluran pencernaan, pelepasan obat dapat
diformulasikan terlepas segera maupun lepas terkontrol.
Sistem gastroretentive merupakan salah satu contoh dari
bentuk sediaan lepas lambat yang jika dilihat dari tiga kategori
diatas termasuk bentuk sediaan extended release.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam formulasi
sediaan lepas lambat adalah (Shargel dkk., 2004):
a. Faktor fisikokimia, yang mempengaruhi formulasi bentuk
sediaan lepas lambat per oral adalah: dosis, ionisasi, pKa, dan
kelarutan, koefisien partisi, stabilitas.
b. Faktor-faktor biologi, yang mempengaruhi formulasi bentuk
sediaan lepas lambat per oral adalah: waktu paroh (t1/2),
absorbsi, distribusi, metabolisme, jendela terapetik.
c. Faktor biofarmasetik, profil pelepasan obat pada sediaan lepas
lambat diharapkan sesuai dengan kinetika orde nol baik secara
in vitro maupun in vivo, namun sebagian besar tidak
8
menunjukkan hal yang sama antara in vitro dan in vivo. Hal ini
disebabkan karena beberapa proses alami yang tidak dapat
diperkirakan dalam saluran cerna yaitu pada lambung, usus,
dan kolon.
Keuntungan bentuk sediaan lepas lambat dibandingkan
bentuk sediaan konvensional adalah sebagai berikut (Ansel dkk.,
2005):
a. Mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah.
b. Mengurangi frekuensi pemberian.
c. Meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pasien.
d. Mengurangi efek samping yang merugikan.
e. Mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan.
Obat yang dapat dibuat menjadi sediaan lepas lambat adalah obat
yang memiliki dosis tidak terlalu besar, obat yang memiliki laju
absorbsi dan ekskresi cukup tinggi, dan obat yang terabsorbsi
melalui saluran cerna tak merata (Ansel, 1989).
Penyerapan obat yang rendah pada saluran gastrointestinal
(GI) mengharuskan bentuk sediaan controlled release untuk dosis
pemeliharaan pada saluran GI atas, terutama di lambung dan usus
kecil bagian atas. Gastroretentive drug delivery systems (GDDS)
dapat diterapkan pada obat-obat yang bereaksi di lambung atau
bagian atas usus kecil, misalnya pada penyakit tukak lambung
9
(Deghan & Khan, 2009). Peningkatan bioavailibilitas diharapkan
dapat terjadi pada obat yang dilepaskan di lambung (Rocca dkk.,
2003).
Sistem gastroretentive dapat dicapai dengan mekanisme
mukoadhesive, floating (mengapung), sedimentasi, ekspansi,
perubahan ukuran atau pemberian secara simultan yang
memperpanjang waktu pengosongan lambung (Singh & Kim,
2000). Berdasarkan mekanisme tersebut, maka sistem
gastroretentive dapat dibedakan menjadi (Garg & Sharma, 2003):
a. Floating drug delivery systems
b. Bioadhesive systems
c. High-density systems
d. Large single-unit dosage forms
e. Co-administration of gastric-emptying delaying drugs
2. Formulasi Sediaan Tablet Floating
Floating drug delivery systems (FDDS) merupakan GDDS
yang lebih banyak digunakan dalam pengembangan sediaan
farmasi. Mekanisme kerja terjadinya floating secara umum yaitu
sediaan akan dapat mengapung karena memiliki kerapatan lebih
rendah dibandingkan dengan kerapatan cairan lambung yaitu 1,4
g/mL (Paradkar & Bakliwal, 2008), sehingga sediaan akan tetap
10
mengapung untuk jangka waktu yang lama tanpa dipengaruhi oleh
kecepatan pengosongan lambung. Bentuk sediaan dengan sistem
mengapung banyak diformulasi dengan matriks-matriks hidrofilik.
Matriks hidrofilik yang biasa digunakan untuk membuat sediaan
bentuk floating antara lain CMC dan HPMC, matriks tersebut
dapat terhidrasi dengan cepat jika kontak dengan air menghasilkan
lapisan barier di sekitar tablet (Rahman dkk., 2009).
FDDS dapat diformulasikan melalui dua sistem yaitu
sistem effervescent dan sistem non-effervescent (Arora dkk., 2005).
a. Sistem effervescent
Sistem mengapung menggunakan matriks yang
diformulasikan dengan polimer yang dapat mengembang
seperti HPMC, bahan effervescent seperti natrium bikarbonat,
asam sitrat, dan asam tartat atau menggunakan ruang berisi
cairan yang berubah menjadi gas pada suhu tubuh
(Baumgertner dkk., 2000). Bagian asam yang lebih sering
digunakan adalah asam sitrat anhidrat. Perbandingan bagian
asam (asam sitrat anhidrat) dan bagian basa (natrium
bikarbonat) yang optimal berdasarkan perhitungan stokiometri
untuk menghasilkan gas dalam formulasi sediaan floating
adalah 0,76 : 1 (Shah dkk., 2009). Matriks ketika kontak
dengan cairan lambung akan membentuk gel. Gas yang
dihasilkan dari sistem effervescent akan terperangkap dalam
11
gellified hydrocolloid, akibatnya tablet akan mengapung dan
meningkatkan pergerakan sediaan sehingga akan
mempertahankan daya mengapungnya (Singh dkk., 2011).
b. Sistem non-effervescent
Sistem non-effervescent dibuat dengan menggunakan suatu
bahan pembentuk gel atau selulosa yang mengembang dengan
tipe hidroklorida, polisakarida dan polimer matriks seperti
polikarbonat, poliakrilat, polimetakrilat, dan polistirena.
Penggunaan sediaan oral dengan sistem tersebut diharapkan
akan mengembang dalam cairan lambung dengan bobot jenis
yang lebih kecil daripada cairan lambung (Kavitha dkk., 2010).
3. Matriks Sediaan Lepas Lambat
Matriks adalah zat pembawa padat yang di dalamnya obat
tercampur secara merata (Shargel dkk., 2004). Suatu matriks dapat
dibentuk secara sederhana dengan mengempa atau menyatukan
obat dan bahan matriks bersama-sama. Umumnya, obat ada dalam
persen yang lebih kecil agar matriks memberikan perlindungan
yang lebih besar terhadap air dan obat berdifusi keluar secara
lambat.
Terdapat 3 golongan bahan yang dapat digunakan untuk
formulasi tablet dengan matriks (Lachman dkk., 1994):
a. Matriks tidak larut, inert
12
Polimer inert yang tidak larut seperti polietilen, polivinil
klorida, etil selulosa dan kopolimer akrilat telah banyak
digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan tablet lepas
lambat. Tablet yang dibuat dari bahan ini dirancang untuk tetap
utuh dan tidak pecah dalam saluran cerna.
b. Matriks tidak larut tetapi dapat terkikis
Matriks jenis ini mengontrol pelepasan obat melalui difusi
pori dan erosi. Bahan-bahan yang termasuk dalam golongan ini
adalah asam stearat, stearil alkohol, malam carnauba, dan
polietilen glikol.
c. Matriks hidrofilik
Polimer hidrofilik selulosa biasanya digunakan sebagai
bahan pengisi berdasarkan sistem matriks yang ditablet.
Efektivitas dari sistem matriks hidrofilik ini didasarkan pada
proses hidrasi dari polimer selulosa; pembentukan gel pada
permukaan polimer; erosi tablet; dan pelepasan obat yang
berkesinambungan.
Keuntungan sistem matriks hidrofilik adalah sebagai berikut:
sederhana, relatif murah dan aman, mampu memuat dosis dalam
jumlah yang besar (Collett & Moreton, 2002).
13
4. Simplex Lattice Design
Optimasi adalah suatu metode atau desain eksperimental
untuk memudahkan dalam penyusunan dan interpretesi data secara
matematis. Simplex Lattice Design (SLD) merupakan salah satu
teknik optimasi formula untuk mendapatkan daerah yang optimum.
Teknik ini terutama sesuai untuk prosedur optimasi formula yang
mana jumlah total dari bahan yang berbeda adalah konstan.
Pemilihan metode SLD didasarkan pada optimasi campuran bahan
dan variasi konsentrasi yang berbeda dan berat totalnya adalah
konstan (Bolton & Bon, 2004). Optimasi formula diperlukan untuk
mengetahui proporsi campuran natrium CMC dan natrium alginat
yang optimum sehingga mendapatkan sediaan floating nifedipin
yang optimum. Software yang digunakan untuk perhitungan SLD
ini adalah Design-Expert® 9.0.4. Design-Expert® adalah sebuah
software yang dibuat untuk melakukan design of experiments
(DOE). Pada Design-Expert® tersedia comparative tests,
screening, karakterisasi, optimasi, robust parameter design,
mixture designs, dan combined designs serta menyediakan matriks
tes untuk skrining hingga 50 faktor. Signifikansi statistik dari
faktor-faktor ini dapat ditetapkan dengan analisis ANOVA.
Berdasarkan model prediksi yang divalidasi, urutan optimasi
membantu pengguna menentukan nilai yang ideal untuk masing-
masing parameter dalam percobaan. Fitur optimasi dapat
14
digunakan untuk menghitung parameter operasi yang optimal
(Anonim, 2015)
5. Metode Pembuatan Kempa Langsung
Metode kempa langsung yaitu pembuatan tablet dengan
mengempa langsung campuran zat aktif dan eksipien kering tanpa
melalui perlakuan awal terlebih dahulu. Metode ini merupakan
metode yang paling mudah, praktis dan cepat pengerjaannya,
namun hanya dapat digunakan pada kondisi zat aktif yang kecil
dosisnya dan zat aktif yang tidak tahan terhadap panas dan lembab
(Chaerunissa dkk., 2009).
Untuk menghasilkan tablet yang memiliki mutu bagus,
maka bahan yang akan dikempa harus memiliki sifat (Sheth dkk.,
1980):
a. Mudah mengalir
Artinya, jumlah bahan yang mengalir dari hopper ke dalam
ruang cetak selalu sama untuk setiap saat sehingga bobot
tablet tidak memiliki variasi yang besar. Mudah tidaknya
mengalir akan berpengaruh pasa keseragaman bobot,
kekerasan, dan ketebalan tablet.
b. Kompaktibilitas
15
Artinya, bahan menjadi kompak bila dikempa sehingga
dihasilkan tablet yang cukup keras dan stabil dalam
penyimpanan.
c. Mudah lepas dari cetakan
Artinya, tablet yang dihasilkan mudah lepas, tidak ada
bagian yang melekat pada cetakan sehingga permukaannya
halus dan licin. Salah satu cara yang biasa dilakukan dengan
penambahan bahan pelicin, terutama yang berfungsi sebagai
lubrikan dan antiadheran.
6. Tinjauan Tentang Bahan
a. Nifedipin
Gambar 1. Struktur Nifedipin (Moffat dkk., 2011)
Nifedipin adalah senyawa sintetik dengan nama kimia
dimethyl 1,4-dihydro-2,6-dimethyl-4-(2-nitrophenyl) pyridine-
3,5-dicarboxylate (Sweetman, 2009) dengan struktur molekul
yang dapat dilihat pada Gambar 1. Nifedipin merupakan serbuk
kristal kuning, kurang berasa dan kurang berwarna (pucat),
16
terurai oleh cahaya langsung. Praktis tidak larut dalam air, agak
sukar larut dalam alkohol, larut dalam aseton an kloroform.
Titik lebur nifedipin 172˚-174˚C (Moffat dkk., 2011).
Nifedipin merupakan senyawa yang sensitif terhadap
cahaya sehingga akan segera berubah menjadi turunan
nitrosofenil piridin jika terpapar sinar matahari dan cahaya
artifisial pada panjang gelombang diatas 420 nm. Upaya untuk
mencegah degradasi nifedipin maka serbuk nifedipin dikemas
dan disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terlindung dari
cahaya (Anonim, 1995).
Nifedipin termasuk obat kardiovaskuler golongan
antagonis kalsium yang digunakan untuk pencegahan dan
pengobatan angina pektoris dan pengobatan hipertensi, kerja
utamanya adalah menghambat masuknya ion kalsium dari luar
sel melalui saluran membran ke dalam sel, karena ion kalsium
mempunyai peran penting dalam memelihara fungsi jantung
dan jaringan otot polos vaskuler. Pengurangan kadar kalsium
dalam sel jantung dan otot polos vaskuler koroner akan
menyebabkan vasodilatasi jaringan tersebut. Akibatnya terjadi
penurunan kecepatan denyut jantung, penurunan kontraksi
miokardial dan melambatnya konduksi atrioventrikular
(Sweetman, 2009).
17
Nifedipin memiliki jendela terapetik 20-80 ng/mL
(Rhodes, 1992) dan dapat diserap dengan cepat dan hampir
sempurna (90%) pada lambung (Hardjono, 2000). Nifedipin
memiliki pKa 6,0 (Ritschel & Kearns, 2004) dan dapat
ditentukan konsentrasinya pada spektrum UV pada larutan
asam dengan panjang gelombang 238 nm (𝐴1𝑐𝑚 1% 595b), 338 nm
(𝐴1𝑐𝑚 1% 165b) dan tidak terjadi pergeseran pada larutan basa
(Moffat dkk., 2011).
b. Polyvinylpyrrolidone K-30 (PVP K-30)
Gambar 2. Struktur PVP K-30 (Rowe dkk., 2009)
Polyvinylpyrrolidone K-30 (PVP K-30) dengan nama
dagang povidon merupakan polimer sintetik yang termasuk
dalam gugus 1-vinyl-2-pyrrolidone berupa serbuk halus, putih
sampai berwarna putih krem, tidak berbau, dan bersifat
higroskopis. Povidon larut dalam asam, kloroform, etanol,
keton, metanol, dan air, praktis tidak larut dalam eter,
hidrokarbon, dan minyak mineral. Penggunaan PVP K-30
sangat luas untuk sediaan farmasi yaitu sebagai pensuspensi
18
dan pengikat tablet baik dalam kering atau larutan. Povidon
juga dapat digunakan sebagai penambah kelarutan obat-obat
yang sukar larut (Rowe dkk., 2009). Penelitian tentang
kelarutan nifedipin dengan PVP menyebutkan bahwa PVP
yang digunakan adalah 10-90% dari berat nifedipin (Rhodes,
1992). Penelitian tentang drug delivery system menyebutkan
bahwa rasio perbandingan antara zat aktif dengan PVP
bervariasi antara 1:0,5 sampai 1:3 dapat meningkatkan
kelarutan nifedipin. Peningkatan kelarutan campuran nifedipin
dengan PVP pada perbandingan 1:2 b/b dalam cairan lambung
buatan telah dilakukan oleh Nurjayanti (2008).
c. Sodium Carboxymethyl Cellulose (Natrium CMC)
Gambar 3. Struktur Natrium CMC (Vaghefi & Savitzky, 2003)
Natrium karboksi metil selulosa atau Natrium CMC
adalah garam natrium polikarboksimetil eter selulosa.
Mengandung tidak kurang dari 6,5% dan tidak lebih dari
9,5% Na, dihitung terhadap zat yang dikeringkan. Natrium
CMC merupakan serbuk atau butiran yang berwarna putih
atau putih kuning gading, tidak berbau, dan bersifat
19
higroskopik. Natrium CMC mudah mendispersi dalam air,
membentuk suspensi koloidal, tidak larut dalam etanol
95%, dalam eter, dan dalam pelarut organik lain (Anonim,
1979).
d. Natrium Alginat
Gambar 4. Struktur natrium alginat (Anonim, 2011)
Natrium alginat merupakan suatu polisakarida yang
diekstrasi dari ganggang coklat Sargassum sp. dan
Turbinaria sp. dengan menggunakan larutan basa encer.
Natrium alginat memiliki gugus karboksilat yang dapat
terion menjadi muatan negatif (Yunizal, 2004). Secara fisik
natrium alginat berupa serbuk berwarna putih kekuningan
hingga coklat, tidak berbau dan tidak berasa. Natrium
alginat merupakan garam natrium dari asam alginat,
polimer glukuronan linier yang terdiri dari asam β-(1→4)-
D-manosiluronat dan residu asam α-(1→4)-L-gulosiluronat
(Yunizal, 2004).
20
Natrium alginat larut dalam air membentuk koloidal
kental dan tidak larut dalam medium dengan pH kurang
dari 3, etanol, dan pelarut organik lainnya. Larutan natrium
alginat stabil pada pH 4 sampai 10. Viskositasnya dapat
bervariasi, tergantung pada konsentrasi, pH, temperatur,
atau adanya ion logam. Viskositas larutan akan menurun
pada pH larutan diatas 10 (Kibbe, 2010).
e. Asam Sitrat
Gambar 5. Struktur asam sitrat (Rowe dkk., 2009)
Asam sitrat memiliki betuk anhidrat atau mengandung
satu molekul air hidrat. Asam sitrat merupakan hablur bening
tidak berwarna atau serbuk hablur granul sampai halus, putih,
tidak berbau atau praktis tidak berbau, rasa sangat asam. Sangat
mudah larut dalam air dan etanol. Asam sitrat merupakan asam
yang sering digunakan sebagai pembentuk gas CO2 jika
direaksikan dengan basa dalam sistem effervescent (Rowe dkk.,
2009).
21
f. Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat merupakan serbuk atau kristal
berwarna putih, tidak berbau dan agak terasa basa. Natrium
bikarbonat memiliki rumus empiris Na2CO3 dengan berat
molekul 84,01. Natrium bikarbonat memiliki fungsi sebagai
alkalizing agent. Natrium bikarbonat umumnya digunakan
pada formula farmasetika sebagai sumber karbon dioksida
dalam tablet effervescent dan granul. Konsentrasi natrium
bikarbonat digunakan sebagai effervescent tablet sebesar 25-
50%. Natrium bikarbonat memiliki titik lebur 270°C. Jika
dibawah 80% humiditas relatif, moisture content dari natrium
bikarbonat kurang dari 1% w/w dan di atas 85% humiditas
relatif, natrium bikarbonat cepat mengabsobsi jumlah air
berlebih dan mungkin terdekomposisi ditandai dengan
kehilangan karbon dioksida (Rowe dkk., 2009). Ketika
dipanaskan diatas suhu 50°C, natrium bikarbonat akan
terdisosiasi menjadi karbon dioksida, natrium karbonat, dan air.
Dengan pemanasan antara 250-300°C natrium bikarbonat akan
diubah secara sempurna menjadi natrium bikarbonat anhidrat.
Natrium bikarbonat stabil pada humiditas relatif dibawah 76%
pada suhu 25°C dan di bawah 48% pada suhu 40°C (Rowe
dkk., 2009).
22
g. Aerosil
Aerosil atau colloidal silicon dioxide merupakan
submicroscopic fumed silica dengan ukuran partikel sekitar 15
nm. Aerosil berwarna putih kebiruan, tidak berbau, tidak
berasa, amorf, dan memiliki rumus empiris SiO2 dengan berat
molekul 60,08. Biasanya digunakan pada produksi obat-obatan,
kosmetik, dan makanan karena memiliki ukuran partikel yang
kecil dan luas area permukaan yang besar sehingga akan
memberikan karakteristik aliran yang diinginkan yang akan
memperbaiki sifat alir granul kering pada proses pencetakan
tablet atau pengisian kapsul (Rowe dkk., 2009).
h. Magnesium Stearat
Magnesium stearat merupakan serbuk, putih, licin,
mudah melekat pada kulit, bau yang khas dari asam stearat dan
rasa yang khas. Berat molekul magnesium stearat adalah
591,34, rumus empiris C36H70MgO4 (Rowe dkk., 2009).
Magnesium stearat tidak larut dalam air, alkohol, eter, dan
aseton, serta sedikit larut dalam alkohol dan benzen panas.
Mempunyai titik lebur 88,5˚C, kemampuan untuk mengalir
rendah dan merupakan serbuk kohesif (Rowe dkk., 2009).
Magnesium stearat digunakan sebagai lubrikan, glidan
dan antiadheran pada tablet dan kapsul dengan kadar 0,25 – 2,0
% (Rowe dkk., 2009).
23
i. Microcrystalline Cellulose (Avicel)
Gambar 6. Struktur Avicel (Rowe dkk., 2009)
Microcrystalline Cellulose atau biasa disebut avicel
merupakan bubuk kristal yang terdiri dari sebagian depolarisasi
selulosa, praktis tidak larut dalam air, cairan asam dan
kebanyakan pelarut organik. Avicel secara luas digunakan di
farmasi sebagai pengisi dalam formulasi tablet dan kapsul
digunakan sebagai pengikat atau pengisi dalam granulasi basah
dan cetak langsung pada pembuatan tablet. Avicel juga dapat
berfungsi mencegah menempelnya granul pada stempel dan
penghancur tablet. Fungsi avicel dalam farmasi antara lain
adsorben (20-90%), antiadheran (5-20%), pengisi atau pengikat
kapsul atau tablet (20-90%) dan tablet disintegran (5-15%)
(Rowe dkk., 2009).
24
F. Landasan Teori
Sediaan tablet lepas lambat merupakan bentuk sediaan yang
dirancang sedemikian rupa sehingga zat aktif akan tersedia dalam jangka
waktu tertentu setelah obat diberikan (Anonim, 1995). Obat yang dapat
dibuat menjadi sediaan lepas lambat adalah obat yang memiliki dosis tidak
terlalu besar, memiliki laju absorbsi dan ekskresi cukup tinggi, dan
terabsorbsi melalui saluran cerna tak merata (Ansel, 1989). Nifedipin
praktis tidak larut dalam air sehingga berpengaruh pada bioavailibilitasnya
yang rendah 45-75% (Moffat dkk., 2011).
Sistem gastroretentive merupakan salah satu bentuk sediaan lepas
lambat untuk dapat mempertahankan konsentrasi terapetik dalam plasma
hingga waktu tertentu dan dapat meningkatkan bioavailibilitas obat
(Deghan & Khan, 2009) karena nifedipin diabsorbsi hampir sempurna
90% di dalam lambung (Hardjono, 2000). Mekanisme sistem
gastroretentive yang terbukti efektif adalah metode effervescent yaitu
dengan menambahkan asam dan basa dalam formula untuk menghasilkan
gas CO2 setelah kontak dengan cairan lambung dimana gas CO2 yang
terbentuk diperangkap dengan polimer sehingga akan mengapung di atas
permukaan cairan lambung dan melepaskan obat secara perlahan (Shah
dkk., 2009). Bentuk sediaan dengan sistem mengapung banyak
diformulasi dengan matriks-matriks hidrofilik. Matriks hidrofilik yang
biasa digunakan untuk membuat sediaan bentuk floating yaitu CMC dan
25
HPMC, matriks tersebut dapat terhidrasi dengan cepat jika kontak dengan
air menghasilkan lapisan barier di sekitar tablet (Rahman dkk., 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Nafsiah (2009) diperoleh hasil
bahwa natrium CMC dapat berpengaruh terhadap pelepasan obat teofilin
dimana makin banyak jumlah natrium CMC yang ditambahkan akan
mengurangi kecepatan disolusinya. natrium CMC dapat meningkatkan
kekerasan tablet dan menurunkan kerapuhan tablet jika konsentrasinya
tinggi, pelepasan obat metoprolol dapat diperlambat dengan adanya
natrium CMC (Syed dkk., 2011).
Artami (2011) menggunakan natrium CMC sebagai matriks lepas
lambat kaptopril. Konsentrasi natrium CMC tertinggi dapat menurunkan
kecepatan alir, memperbesar pengetapan, meningkatkan keseragaman
bobot, dan meningkatkan kekerasan tablet serta menurunkan kerapuhan
tablet. Kekerasan tablet semakin tinggi akan menyebabkan waktu hancur
tablet yang lebih lama sehingga pelepasan obatnya lebih lambat. Purnama
(2012) menggunakan natrium CMC dan HPMC sebagai matriks tablet
floating lepas lambat kaptopril. Semakin banyak natrium CMC yang
digunakan akan memperlambat waktu alir, menurunkan kerapuhan tablet,
dan memperbesar floating lag time.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Liew dkk. (2005) tentang
evaluasi natrium alginat sebagai matriks lepas lambat klorfeniramin maleat
yaitu dengan menggunakan natrium alginat pada konsentrasi 10%, 30%,
26
dan 50% (b/b) dari bobot tablet. Pelepasan obat terkecil dijumpai pada
formula yang mengandung natrium alginat dengan konsentrasi tertinggi.
Pada konsentrasi natrium alginat 50% (b/b), didapatkan pelepasan obat
yang paling lama dimana seluruh obat dilepaskan setelah 8 jam. Holte dkk.
(2003) menggunakan natrium alginat pada konsentrasi 12,5%, 25%, dan
30% (b/b) dari bobot tablet sebagai matriks lepas lambat asam
asetilsalisilat. Pada konsentrasi 25% (b/b), obat terlepas sempurna dalam
waktu 15 jam, sedangkan pada konsentrasi 30% (b/b), obat terlepas
seluruhnya dalam waktu 18 jam.
Novianti (2009) menggunakan natrium alginat berbagai
konsentrasi sebagai matriks lepas lambat teofilin. Konsentrasi natrium
alginat yang digunakan adalah 0%, 10%, 20%, dan 30% (b/b) dari bobot
tablet. Natrium alginat pada konsentrasi 30% (b/b) memiliki pelepasan
obat yang paling lama dibandingkan yang lain. Prastiyo (2013)
menggunakan matriks HPMC dan natrium alginat untuk formula tablet
kaptopril lepas lambat sistem floating dan didapatkan hasil bahwa semakin
banyak jumlah natrium alginat dapat meningkatkan sudut diam, kekerasan
tablet, dan meningkatkan floating lag time.
Kombinasi optimum tablet floating nifedipin dapat diperoleh
dengan metode simplex lattice design menggunakan software Design-
Expert® 9.0.4.
27
G. Hipotesis
1. Natrium CMC dapat meningkatkan kekerasan tablet, menurunkan
kerapuhan tablet, memperlambat floating lag time, dan memperlambat
pelepasan obat. Natrium alginat dapat memperlambat floating lag time dan
memperlambat pelepasan obat.
2. Pada konsentrasi matriks 10-30% natrium CMC dan 10-30% natrium
alginat akan didapatkan formula tablet floating nifedipin yang optimum.