BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum, tauhid diartikan sebagai satu keyakinan dan kesaksian
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Tauhid secara etimologis,
berasal dari bahasa Arab wahdah atau wahid yang berarti satu.
Hakeem Hameed mengartikan tauhid sebagai sebuah kepercayaan
ritualistik dan perilaku seremonial yang mengajak manusia menyembah realitas
hakiki (Allah); dan menerima segala pesan-Nya yang disampaikan lewat kitab-
kitab suci dan para Nabi untuk diwujudkan dalam sikap yang adil, kasih sayang,
serta menjaga diri dari perbuatan maksiat dan sewenang-wenang demi
mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.1
Tauhid menurut Abu al-A’la al-Maududi adalah kalimat deklarasi seorang
muslim, kalimat pembeda seorang muslim dengan orang kafir, ateis dan
musyrik. Sebuah perbedaan yang lebih terletak pada peresapan makna tauhid dan
meyakininya dengan sungguh-sungguh kebenaran-Nya; dengan mewujudkannya
dalam perbuatan agar tidak menyimpang dari ketetapan Ilahi. 2
Lain halnya Muhammad Taqi, tauhid berarti meyakini keesaan Allah.
Keyakinan ini berarti meyakini bahwa Allah adalah satu dalam hal wujud,
penciptaan, pengatur, pemerintah, penyembahan, meminta pertolongan, merasa
takut, berharap, dan tempat pelabuhan cinta. Intinya tauhid menghendaki agar
seorang muslim menyerahkan segala urusan dan hatinya hanya kepada Allah.3
Maka nampak bahwa secara umum, tauhid lebih sering diartikan dengan
teoantroposentris; yang mana pembahasannya masih berkutat pada pemusatan
pada Allah dan bahwa manusia mesti mengabdi pada-Nya. Belum ada
pembahasan secara rinci tentang tauhid sebagai prinsip kehidupan, prinsip pokok
yang menjadi prinsip atas aspek-aspek kehidupan. Aspek keluarga, negara,
1Hakeem Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, terj. Ruslan Shiddieq, (Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. 1, hlm. 36. 2Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islam, terj. Abdullah Suhaili, (Bandung: al-Ma’arif,
1975), hlm. 68. 3Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, terj. M. Habin Wicaksana, (Bandung: Mizan,
2003), Cet. 1, hlm. 61-64.
2
ekonomi, sosial, politik, sosial, pengetahuan dan sebagainya selengkap yang
dilakukan oleh Ismail Raji al-Faruqi.4
Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari
berbagai prinsip dalam kehidupan; mulai dari prinsip keluarga, pengetahuan,
etika, metafisika, sejarah, tatanegara (tata politik, sosial, dan ekonomi), ummah,
dan estetika.5
Tauhid sebagai prinsip keluarga artinya keluarga merupakan suatu sarana
mewujudkan ketentuan moral dari Tuhan (penghambaan). Keluarga melahirkan
suatu pola hubungan kompleks yang menjadi dasar pendidikan bagi anak.
Tauhid sebagai prinsip pengetahuan artinya tauhid sebagai asas
epistemologi dan metodologi pengetahuan. Epistemologi memunculkan rasa
sadar nilai sebagai pengantar manusia mencapai kebenaran nilai. Metodologi
berfungsi sebagai pendorong manusia untuk mencari dan menguji kebenaran
suatu pengetahuan.6
Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang bersumber dari Allah. Allah
sebagai sumber nilai yang kehendak-Nya merupakan norma-norma yang mesti
diikuti dan menempatkannya sebagai tujuan akhir dan motif bagi setiap tindakan
moral manusia. Inilah substansi yang terkandung dalam tauhid prinsip etika.
Dengan landasan inilah tauhid sebagai prinsip sejarah menghendaki agar
manusia terlibat langsung dalam kehidupan untuk mencipta perubahan sejarah
menurut pola Ilahi. Perubahan ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial.
Secara politis, tauhid menghendaki agar khilafah (negara) melaksanakan
syariat untuk mewujudkan keadilan. Khilafah bertanggung jawab atas
ketentraman dan kesejahteraan umat. Secara sosial ekonomi, tauhid
mensyaratkan kedermawanan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Tauhid sebagai prinsip estetika artinya, yang disebut keindahan adalah
sesuatu yang dapat membawa kesadaran penanggap seni kepada ide transendensi
4Untuk selanjutnya penulis menyebut al-Faruqi untuk menunjuk Ismail Raji al-Faruqi. 5Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), Cet. 1,
seluruh isi buku. 6Islamisasi Pengetahuan adalah salah satu wujud konkretnya yang merupakan tindak lanjut dari
gagasannya tentang tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Muhyidin, (Bandung: Pustaka, 1984), Cet. 1.
3
sehingga penanggap seni tersebut akan berusaha memenuhi kehendak-Nya
sebagai bukti atas eksistensinya sebagai manusia. Dan pada akhirnya kesadaran
inilah yang akan meneguhkan kesadaran terhadap adanya Wujud Transenden.7
Adapun penelitian dalam skripsi ini akan difokuskan pada pemikiran al-
Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. Sebagai prinsip keluarga, tauhid
(menurut al-Faruqi) memandang keluarga sebagai suatu sarana untuk memenuhi
tujuan Ilahi (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu hubungan yang luas dan
kompleks karena di dalamnya tercipta suatu pendidikan dasar. Seperti mencintai,
menolong, mendukung (supporting), dan sebagainya.8
Keluarga merupakan unit pembentuk-pembangun masyarakat.
Pembangunan ini tentu saja mensyaratkan adanya interaksi edukatif di dalamnya.
Maka rasanya tepat sekali ketika Khalid Syantuh menyebut keluarga sebagai satu
lembaga pendidikan yang paling esensial. Peranannya dalam perkembangan anak
lebih besar daripada peranan sekolah. Sebab anak lebih banyak menghabiskan
waktu dalam keluarga daripada tempat-tempat lainnya. 9
Bahkan menurut Ngalim Purwanto, pendidikan keluarga adalah dasar
pendidikan bagi anak berikutnya. Nilai pendidikan dalam keluarga menentukan
pendidikan anak itu selanjutnya baik di sekolah maupun dalam masyarakat.10
Hal ini terutama karena keluarga adalah satu wadah pertama bagi
pertumbuhan dan pengembangan anak.11 Keluarga bertanggung jawab
mengembangkan anak baik dalam hal jasmani, akal dan rohani.12
Perkembangan ini tentu saja mesti dilandasi dengan norma tauhid agar
tidak terjadi sebuah perkembangan yang menyeleweng dari fitrah. Untuk itu, ada
dua hal pokok yang harus ada dalam pendidikan keluarga yaitu tauhid dan
7Untuk lebih jelasnya lihat buku Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, terj. Hartono Hadikusumo,
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999). Cet. 1. 8Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 139. 9Khalid Ahmad asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga, terj. Kathur Suhardi,
(Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1994), Cet. 3, hlm.12. 10Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), Cet. 12, hlm.79. 11Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995),
Cet. 2, hlm. 47. 12Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), Cet. 4, hlm. 155.
4
akhlak. Pokok-pokok tauhid mutlak diperlukan karena tauhid mengajarkan akan
sifat dan kekuasaan Allah sehingga melalui pendidikan tauhid akan tumbuh
generasi yang sadar akan sifat-sifat Ilahiah. Begitu pula halnya dengan akhlak
yang mengatur pola hubungan dengan masyarakat sehingga melalui pendidikan
akhlak akan tumbuh generasi yang berakhlak mulia yakni generasi yang
tindakannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.13
Kedua aspek tersebut (tauhid dan akhlak), menjadi bahan wajib bagi
pendidikan dalam keluarga. Karena keluarga menurut Drijarkara sebagaimana
dikutip Djudju Sudjana, mengemban tanggung jawab vertikal dan horizontal.
Tanggung jawab vertikal ini diwujudkan melalui komunikasi dan dialog dengan
Tuhan sedangkan tanggung jawab horizontal dilakukan melalui komunikasi
dengan manusia termasuk dengan dirinya sendiri, masyarakat dan lebih luas lagi
dengan umat manusia secara keseluruhan.14
Bahkan tanggung jawab pendidikan ini telah dijelaskan dalam al-Quran.
Sebagaimana firman Allah:
)6: التحرمي(..يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارةHai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….(QS. At Tahrim: 6)15
Ayat ini turun sesaat setelah Allah memerintahkan kepada sebagian dari
istri Nabi Muhammad SAW agar bertaubat dari kesalahan yang terlanjur
dilakukan, dan menjelaskan kepada mereka bahwa Allah akan menjaga dan
menolong Rasul-Nya, Allah juga memperingatkan mereka agar tidak
berkepanjangan dalam menentangnya karena khawatir akan di-talak dan
dijatuhkan kedudukannya yang mulia sebagai ibunya kaum mukmin karena
tergantikan oleh istri-istri lain dari orang-orang yang shaleh.16
13Ibnu Musthafa, Keluarga Muslim Menyongsong Abad 21, (Bandung: al-Bayan, 1993), Cet. 1,
hlm. 92. 14Djudju Sudjana, “Peranan Keluarga di Lingkungan Masyarakat”, dalam Jalaluddin Rakhmat
dan Muhtar Gandaatmaja (eds.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. 2, hlm. 22.
15Soenarjo, Al-quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), ed. Baru, hlm. 951. 16Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Juz. 28. terj. Heri Noer Ali, et.al.,
(Semarang: Toha Putra, 1989), cet. 1, hlm. 272.
5
Ayat ini oleh al-Maraghi ditafsiri sebagai seruan bagi orang-orang yang
percaya kepada Allah dan Rasul-Nya agar dapat menjaga diri dari api neraka
dengan taat pada Allah serta mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan
yang dapat menjauhkan diri dari api neraka melalui nasehat dan pengajaran.17
Begitu halnya menurut Ibn Katsier, ayat ini adalah seruan bagi orang-
orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka melalui
pengajaran kepada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya
mengenai segala sesuatu yang diwajibkan dan dilarang oleh Allah. Pendidikan ini
menyangkut pula pimpinan kepada mereka melalui dorongan agar direalisasikan
dalam setiap perbuatan serta pemeliharaan diri dari perbuatan maksiat.18
Maka tanggung jawab tersebut diwujudkan dengan pemberian perhatian
dan bimbingan atas perkembangan anak secara utuh. Baik dalam aspek jasmani,
maupun rohani. Tanggung jawab jasmani diwujudkan dengan pemenuhan
kebutuhan kesehatan, pangan, dan ketrampilan. Sedangkan tanggung jawab
rohani meliputi pemenuhan kebutuhan jasmani dan akal dengan menaruh
perhatian serius pada setiap perkembangannya. Dan kunci dari seluruh upaya
tersebut adalah dengan terjalinnya komunikasi intensif antara orang tua dan anak.
Komunikasi inilah yang terkadang terabaikan oleh orang tua. Karena
kesibukan mereka dengan masalah keduniaan demi pemenuhan kebutuhan
jasmani dan akal saja. Belum lagi fenomena workaholic (gila kerja) di kalangan
orang tua yang tidak hanya melanda kaum ayah saja bahkan ibu rumah tangga.
Dengan alasan persamaan jender ataupun hak berkarir di luar rumah berakibat
terabainya tugas dan kewajiban orang tua sebagai pendidik bagi anaknya.
Dengan rutinitas kerja yang cukup menguras tenaga dan pikiran dapat
membuat mereka jauh dari anak. Kondisi ini menyebabkan anak akan mencari
perhatian kepada pihak lain secara sembarangan. Hal ini mengakibatkan pada
mudahnya anak menerima pengaruh apa saja dari lingkungan pergaulannya.
Inilah yang menjadi penyebab awal rusaknya tingkah laku anak.
Penelitian yang dilakukan oleh majalah At tarbiyatul Qathriyah edisi 79-81
17Ibid. 18Muhammad Nashib ar-Rifai, Ringkasan Tafsir Ibn Katsier, Jilid 4, terj. Syihabuddin, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), Cet. 1, hlm. 751.
6
(bulan Muharram-Rajab), tahun 1407 H (1986 M) sebagaimana dikutip oleh
Khalid Syantuh dinyatakan bahwa para ahli telah menyimpulkan bahwa
penyebab rusaknya tingkah laku anak adalah karena tidak adanya perhatian dan
sikap orang tua yang meremehkan tanggung jawab. Hal ini kemudian berpangkal
pada kenyataan anak yang sering bergantung pada para pembantu yang telah
menggantikan posisi orang tua karena kesibukan kerja mereka. Ketergantungan
anak kepada para pembantu mendominasi 80% dari perkembangannya pada tiga
tahun pertama dan 50% setelah anak berumur empat tahun. Sehingga
pengaruhnya akan menyatu pada kehidupan anak hingga jangka waktu lama.19
Hal ini menjadi satu hal yang mesti menjadi perhatian serius dari berbagai
pihak atas pentingnya pendidikan akhlak. Ketika akhlak tidak lagi menempati
posisi terdepan dalam setiap aktivitas, maka yang terjadi adalah lunturnya
perikemanusiaan. Maka pendidikan akhlak menjadi mutlak diperlukan karena
akhlak adalah suatu keniscayaan bagi setiap muslim sebab akhlak akan
mempertinggi kualitas iman seorang muslim itu sendiri serta masyarakatnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mencoba
menelaah tema tauhid yang dikemukakan oleh seorang pemikir Islam; al-Faruqi.
Tauhid sebagai inti ajaran Islam merupakan prinsip dasar hidup; termasuk
diantaranya adalah prinsip keluarga. Tauhid sebagai prinsip keluarga berarti
tauhid sebagai dasar setiap aktifitas dan interaksi dalam keluarga. Dari tema
tersebut, penulis mencoba mengimplementasikannya dalam pendidikan akhlak.
Maka penelitian ini diberi judul, “Implementasi Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
dalam Pendidikan Akhlak (Studi Pemikiran Terhadap Ismail Raji al-Faruqi).”
B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari salah persepsi tentang arah judul yang dimaksud,
maka penulis merasa perlu menjelaskan istilah-istilah dari judul yang penulis
maksud, yaitu:
1. Implementasi
Secara harfiah, kata implementasi berasal dari bahasa Latin, Implere yang
berarti something used or needed in a given activity especially an instrument,
19Khalid Ahmad asy-Syantuh, op.cit., hlm. 87.
7
tool, utensil, vessel or the like20 (sesuatu yang digunakan atau diperlukan
pada suatu aktivitas terutama peralatan, atau sesuatu yang serupa dengan
peralatan). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi
berarti pelaksanaan, penerapan.21 Jadi implementasi berarti pelaksanaan.
2. Tauhid sebagai prinsip keluarga
Pengertian tauhid sebagai prinsip keluarga di sini hanya terbatas pada
pengertian yang diajukan oleh al-Faruqi saja. Tauhid sebagai prinsip keluarga
ini dimaksudkan dengan tauhid yang berkedudukan sebagai pondasi
hubungan dalam suatu keluarga.22 Bahwa keluarga merupakan suatu sarana
untuk memenuhi tujuan Ilahi.23
3. Pendidikan akhlak
Pendidikan akhlak menurut Suwito adalah inti dari semua jenis pendidikan
karena ia mengarahkan pada terciptanya perilaku lahir dan batin manusia
sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya
maupun luar dirinya.24 Maka pendidikan akhlak ini diartikan dengan upaya
pendidikan untuk mengarahkan perilaku yang baik.
4. Studi pemikiran
Secara harfiah kata studi berasal dari bahasa Inggris study yang berarti to
apply the mind to attentively, (mengerahkan pikiran untuk menaruh perhatian
pada), to examine or investigate carefully25 (menguji atau menyelidiki dengan
teliti). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata studi diartikan
penelitian ilmiah, kajian, telaahan.26 Selanjutnya kata pemikiran berarti
proses, perbuatan cara memikir;27berasal dari kata pikir, memikir yang berarti
berpikir tentang sesuatu; kemudian kata pikir tersebut mendapat awalan pen-
dan akhiran -an sehingga membentuk kata benda abstrak yakni pemikiran.
20Jean L. Mckechnie, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, Second Edition (Amerika, William Collins Publisher Inc., 1980), hlm. 914.
21Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. 3, hlm. 374.
22Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 137. 23Ibid, hlm.139. 24Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak, (Yogyakarta: Belukar, 2004), Cet. 1, hlm. 38. 25Jean L. Mckechnie, op.cit., hlm. 1808. 26Tim Penyusun Kamus Pusat, op.cit., hlm. 965 27Ibid., hlm. 768.
8
Maka studi pemikiran ini berarti kajian atas pemikiran al-Faruqi. Kajian ini
mencakup pembacaan dan penganalisaan atas pemikiran al-Faruqi tersebut.
5. Ismail Raji al-Faruqi
Al-Faruqi adalah seorang intelektual Islam yang lahir di Jaffa, Palestina pada
tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal pada tanggal 27 Mei 1986. Pekerjaan
terakhirnya sebagai seorang pendidik (guru besar penuh/full profesor) di
Fakultas Agama Universitas Temple (Amerika).28
Maka judul yang penulis maksud adalah penelitian atas:
1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga.
Bahwa tema tauhid dalam skripsi ini adalah tauhid sebagai prinsip keluarga
bukan pengertian dari tauhid.
2. Pelaksanaan pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga
dalam pendidikan akhlak. Adapun pendidikan akhlak yang penulis maksud
adalah pendidikan akhlak dalam keluarga. Hal ini sebagai efek (tindak lanjut)
dari tema pokok tauhid sebagai prinsip keluarga seperti tersebut di atas.
Untuk selanjutnya istilah pendidikan akhlak atau pendidikan akhlak dalam
keluarga akan dipersamakan dalam skripsi ini. Sehingga penulis kadang-
kadang menggunakan istilah pendidikan akhlak dalam keluarga untuk
menyebut pendidikan akhlak begitupun sebaliknya.
C. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis kemukakan dapat penulis angkat
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip
keluarga?
2. Bagaimana implementasi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid
sebagai prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Bertolak dari pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan
dan mempunyai manfaat sebagai berikut:
28M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), cet. 1, hlm. 43.
9
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai
prinsip keluarga.
b. Untuk mengetahui implementasi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang
tauhid sebagai prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teorititis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk
pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pemikiran
pendidikan Islam pada umumnya serta lebih spesifik lagi untuk
mengembangkan gagasan seorang tokoh muslim sebagai sumbangsih bagi
dunia keilmuan.
b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai
informasi dan pengetahuan bagi para pendidik (orang tua) dalam
membimbing, dan mengarahkan perkembangan akhlak anak-anaknya agar
tercapai sosok individu yang berakhlak mulia.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk memudahkan mendapatkan data yang valid dan untuk
menghindari adanya duplikasi, penulis melakukan tinjauan pustaka terhadap
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu:
1. Tesis Komaruddin yang berjudul “Tauhid Sebagai Prinsip Etika dalam Islam,
Sebuah Kajian Atas Kesadaran Tauhid Bagi Moralitas Islam Menurut Ismail
Raji al-Faruqi”.29 Dalam penelitiannya, penulis mengeksplorasi pemikiran al-
Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip etika untuk dijadikan sebagai pijakan
dalam berperilaku agar sesuai dengan nilai-nilai Islam dan berpegang teguh
pada esensi yang tauhid (Allah).
2. Skripsi Didik Widayat yang berjudul “Konsepsi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Relevansinya dengan Perkembangan
29Komaruddin,“Tauhid Sebagai Prinsip Etika dalam Islam, Sebuah Kajian Atas Kesadaran
Tauhid Bagi Moralitas Islam Menurut Ismail Raji al-Faruqi” ,Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 1999), t.d.
10
Pemikiran Pendidikan Islam30 Skripsi ini menggali pandangan al-Faruqi
tentang Islamisasi ilmu; kemudian merelevansikannya dengan kurikulum
pendidikan Islam; bahwa Islamisasi ini menghilangkan dikhotomi ilmu
agama dan ilmu umum; maka tercipta sebuah gagasan kurikulum yang Islami.
3. Skripsi Abdur Rauf yang berjudul “Konsepsi Harun Nasution Tentang
Pendidikan Moral di Lingkungan Keluarga (Studi Analisis)”.31 Skripsi ini
menjelaskan bahwa keluarga berperan penting dalam pendidikan moral anak.
Pendidikan ini harus diberikan pada anak saat masih kecil. Bahkan jauh
sebelumnya, pendidikan ini telah dimulai pada saat pemilihan jodoh. Bahwa
orang tua sebagai pendidik harus bisa mendidik, membimbing serta
memberikan contoh (teladan) pada anak-anaknya dengan mengajarkan
perihal ibadah sebab ibadah mengandung nilai-nilai moral.
4. Skripsi Nurul Ustadziroh yang berjudul “Pemikiran Ibn Miskawaih Tentang
Pendidikan Akhlak Anak dan Relevansinya terhadap Pembentukan Akhlak
Anak.”32 Skripsi ini menjelaskan bahwa akhlak merupakan watak manusia
yang bisa berubah menjadi baik maupun buruk. Maka untuk mengarahkan
perkembangan watak perlu adanya upaya pembentukan akhlak melalui
pendidikan dan harus berlandaskan pada al-Quran dan Hadits agar tercapai
suatu kebahagiaan dunia akhirat.
Penelitian yang penulis lakukan di sini berbeda dengan penelitian-
penelitian seperti tersebut di atas. Dalam skripsi ini penulis hanya akan meneliti
pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dengan berpijak pada
buku “Tauhid” karya Ismail Raji al-Faruqi.33 Buku ini menjelaskan secara rinci
makna tauhid sebagai prinsip kehidupan. Dan prinsip keluarga adalah salah satu
diantaranya. Dalam bab ini al-Faruqi menjelaskan pandangan tauhid tentang
30Didik Widayat, “Konsepsi Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Relevansinya Dengan Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003), t.d.
31Abdur Rauf, “Konsepsi Harun Nasution Tentang Pendidikan Moral di Lingkungan Keluarga (Studi Analisis)”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005), t.d.
32Nurul Ustadziroh, “Pemikiran Ibn Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Anak dan Relevansinya terhadap Pembentukan Akhlak Anak,” Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003), t.d.
33Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit.
11
pokok-pokok dalam keluarga seperti perihal pembentukan keluarga, keluarga
besar, dan ibu rumah tangga. Namun tidak disebutkan di dalamnya perihal
pendidikan akhlak dalam keluarga.
Begitu pula buku yang membahas tentang pendidikan dalam keluarga
yang sepengetahuan penulis masih memberikan wacana umum tentang
pendidikan keluarga. Misalnya saja buku “Anak Shaleh Dambaan Keluarga”
karya M. Nipan Abdul Azis34. Buku ini menjelaskan tentang cara-cara
membentuk anak shaleh dalam keluarga. Dalam bukunya, penulis menjelaskan
cara-cara tersebut pada setiap tahap usia anak mulai dari tahap usia bayi,
mumayiz, usia remaja, sampai usia nikah. Adapun upaya pendidikannya meliputi
pendidikan akidah, ibadah, akhlak, ekonomi, dan kesehatan.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Achmad Suja’i yang berjudul
”Tauhid Sebagai Sumber Dasar Pendidikan Islam” dalam jurnal Media terbitan
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.35 Dalam jurnal tersebut, penulis
mengetengahkan tauhid sebagai dasar bagi kehidupan dan pendidikan karena
tauhid mengajarkan norma-norma pokok yang transenden (keilahian).
Buku lainnya yang mengulas sosok al-Faruqi yang dilakukan oleh
mahasiswa sekaligus kawan al-Faruqi, “Mendidik Generasi Baru Muslim” yang
ditulis oleh M. Shafiq36 mengulas biografi al-Faruqi mulai dari setting sosial,
politik dan budaya diseputar kehidupan al-Faruqi, karya-karya nya serta ulasan
luas mengenai Islamisasi pengetahuan. Dengan demikian, penelitian skripsi ini
berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
F. Metodologi Penelitian Skripsi
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni penelitian yang datanya
berupa data nonstatistik dengan fokus pada studi tokoh (biografi). Penelitian
biografis menurut M. Nazir dikategorikan sebagai salah satu penelitian
34M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000),
Cet. 1. 35Achmad Suja’i,“Tauhid Sebagai Sumber Pendidikan Islam”, Media, II, 12 Agustus, 1992. 36M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), Cet. 1.
12
sejarah. Penelitian biografis berarti penelitian tentang kehidupan seseorang
dan hubungannya dengan masyarakat. Dalam penelitian ini diteliti sifat-sifat,
watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan
ide dari subjek penelitian dalam masa hidupnya, serta pembentukan watak
figur yang diterima selama hayatnya.37
2. Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan Socio Intellectual History
Pendekatan socio-intellectual history penulis gunakan untuk mengkaji
aktivitas ilmiah tokoh.38 Pendekatan ini penulis gunakan untuk
mengetahui biografi al-Faruqi.
b. Pendekatan Hermeneutik
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti menafsirkan. Hermeneutik sebagai suatu
metode diartikan sebagai cara menafsirkan simbol yang berupa teks atau
benda kongkret untuk dicari arti dan maknanya. Menurut Friedrich Ast.
dalam Sudarto, tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna
internal dari suatu teks beserta isi situasinya menurut zamannya.39
Pendekatan ini tidak hanya sekedar penafsiran akan tetapi juga
penelusuran yang penulis gunakan untuk mengungkap pemikiran Ismail
Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berusaha mengumpulkan data-data yang
diperlukan dengan teknik studi kepustakaan (library research) yaitu
serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan
data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.40
37Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), Cet. 3, hlm. 62. 38Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta:
LKiS, 2004), Cet. 1, hlm. 16. 39Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 3, hlm.
84-85. 40Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), Cet.
1, hlm. 3.
13
Teori-teori tersebut penulis jadikan sebagai sumber data dengan klasifikasi
sebagai berikut:
a. Sumber data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian.41
Data primer diperoleh dari buku-buku yang ditulis oleh Ismail Raji al-
Faruqi seperti Tawhid Its Implications for Thought and Life yang
diterbitkan oleh Poligraphic Sdn. Bhd. Kuala Lumpur dan The Cultural
Atlas of Islam yang diterbitkan oleh Macmillan Publishing Company,
New York, USA, yang telah mengalami alih bahasa.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder adalah data yang erat hubungannya dengan data primer
dan dapat dipergunakan untuk membantu menganalisis dan memahami
data primer.42 Data sekunder diperoleh dari tulisan karya penulis umum
tentang tema yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Seperti buku
Mendidik Generasi Baru Muslim yang ditulis oleh M. Shafiq, dan buku-
buku lainnya.
4. Metode Analisis Data
Data-data penelitian yang telah ditemukan akan dianalisis dengan
menggunakan metode:
a. Analisis isi (content analysis)
Analisis isi adalah metode analisis tentang isi pesan suatu komunikasi. 43
Yang dimaksud dengan isi pesan suatu komunikasi di sini adalah isi atau
pesan dari sumber-sumber data yang telah diperoleh oleh peneliti melalui
buku-buku karya al-Faruqi. Dari data yang telah diperoleh tersebut,
penulis berusaha mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan tujuan
penelitian. Dengan langkah-langkah, yaitu; pertama, mengklasifikasi
tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, kedua, menggunakan
41Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, hlm. 91. 42Ronny Hanityo Sumitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), Cet. 3, hlm. 53. 43Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), Cet. 7,
hlm. 49.
14
kriteria sebagai dasar klasifikasi, ketiga, menggunakan teknik analisis
tertentu sebagai pembuat prediksi.44 Secara operasional, analisis ini
dilakukan dengan pembacaan, penelaahan kemudian dilakukan
kategorisasi (pemilahan) atas pemikiran al-Faruqi berdasarkan tema-tema
tertentu.
b. Interpretasi
Interpretasi yaitu dengan cara menyelami karya tokoh untuk menangkap
arti dan nuansa yang dimaksudkan tokoh secara khas.45 Dengan analisis
ini peneliti berusaha untuk menyelami alam pikiran al-Faruqi kemudian
mengungkapkan apa adanya dalam bentuk tulisan sesuai dengan sumber
yang ada, baik dengan bahasa sendiri maupun meminjam istilah yang
dipakai al-Faruqi.
c. Komparasi
Komparasi ini dimaksudkan untuk memperbandingkan pendapat tokoh
(al-Faruqi) dengan tokoh-tokoh lain baik yang dekat dengannya
(sependapat) atau justru yang sangat berbeda (pemikirannya).46 Hal ini
dimaksudkan agar diperoleh pemahaman yang komprehensip.
A. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi ke dalam lima bab sebagai
berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan gambaran
umum pembahasan skripsi yang meliputi latar belakang masalah, penegasan
istilah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian skripsi serta sistematika penulisan.
Bab kedua akan mengkaji pendidikan akhlak dalam keluarga. Dalam bab
ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian pendidikan akhlak dalam
keluarga, pendidikan akhlak pada masa pra kelahiran dalam keluarga, dan
pendidikan akhlak pada masa pasca kelahiran dalam keluarga.
44Ibid. 45Anton Bekker dan Ahmad Kharis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Kanisius,
1990), Cet. 1, hlm. 63. 46Ibid, hlm. 65.
15
Bab ketiga lebih terfokus pada pembahasan tentang pemikiran al-Faruqi
tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. Dan penulis akan menjelaskan biografi,
aktivitas ilmiah serta karya-karya al-Faruqi, serta pemikiran al-Faruqi tentang
tauhid yang pembahasannya meliputi tauhid prinsip Islam dan dilanjutkan
dengan tauhid sebagai prinsip keluarga.
Bab keempat merupakan analisis terhadap pemikiran al-Faruqi tentang
tauhid sebagai prinsip keluarga dan implementasinya dalam pendidikan akhlak
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang kaitan antara pemikiran al-
Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dengan pendidikan akhlak; serta
implementasi dari pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga
dalam pendidikan akhlak.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan yang
ditarik dari bab-bab sebelumnya. Dan kesimpulan ini merupakan jawaban dari
permasalahan yang ada pada skripsi ini. Selain itu penulis menyertakan pula
saran-saran. Sebagai pelengkap pada bab lima ini penulis melengkapi dengan
daftar pustaka.
16
BAB II
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KELUARGA
Pengertian Pendidikan Akhlak dalam Keluarga
Pengertian Keluarga
Kata keluarga secara bahasa menurut Ki Hadjar Dewantara
merupakan rangkaian dari kata kawula dan warga.
Kawula berarti abdi, hamba; sedangkan warga berarti anggota. Jadi keluarga memposisikan anggotanya sebagai abdi yang harus menyerahkan segala kepentingannya, mengorbankan dan mengikhlaskan hidup dirinya kepada keluarganya sekaligus juga memposisikan anggotanya sebagai tuan yang berhak sepenuhnya untuk ikut mengurus segala kepentingan di dalam keluarganya tadi.47
Secara sederhana, Hasan Langgulung mengartikan keluarga sebagai
perkumpulan yang halal antara seorang pria dan wanita yang bersifat terus
menerus sesuai ketentuan agama dan masyarakat.48 Keluarga menurutnya
terdiri dari suami, istri dan anak serta kerabat yang lain seperti saudara-
saudara, kakek dan nenek, paman dan bibi, sepupu dan lain-lain.49
Ada dua kategori umum bentuk keluarga. Hasan Shadily membagi
nya kepada dua kategori yakni keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti
adalah keluarga kecil yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang terjalin oleh
hubungan kekeluargaan. Sedangkan keluarga besar tersusun dari keluarga inti
ditambah dengan saudara-saudara dari ibu dan atau bapak dan seterusnya
(tiga sampai empat keturunan) yang tinggal serumah.50
Secara sosiologis, keluarga merupakan bentuk masyarakat kecil yang
terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan yakni suatu
kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.51
47Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan,
(Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1962), Cet. 1, hlm. 391. 48Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1995), Cet. 3, hlm.
346. 49Ibid, hlm. 348. 50Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1982), hlm.
1729. 51Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), Cet. 2,
hlm. 176.
17
Kesatuan tersebut tidak hanya berarti sebagai kesatuan yang mengikat
saja namun lebih dari itu, keluarga menurut sudut pandang pedagogis adalah
persekutuan hidup yang terjalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis
manusia yang dikukuhkan dalam pernikahan untuk menyempurnakan diri.52
Inilah tujuan dibentuknya keluarga yakni untuk menyempurnakan
diri; baik kesempurnaan diri pribadi maupun kesempurnaan bagi anggota
keluarga lainnya. Karena keluarga tidak hanya berfungsi sebagai media
pemenuhan kebutuhan biologis.
Keluarga juga mengemban fungsi-fungsi lain. Seperti fungsi edukatif
(media pembelajaran), fungsi religius (media tumbuh-kembang norma-norma
agama), fungsi sosialisasi anak (media penghubung anak dengan
masyarakat), fungsi protektif (media perlindungan anak), fungsi rekreatif
(media untuk memperoleh ketenangan), fungsi ekonomis (penunjang
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan) dan fungsi-fungsi lainnya.53
Jadi yang dimaksud dengan keluarga adalah sekumpulan orang tua
(bapak, ibu, kakek, nenek, paman, bibi) yang terikat oleh ikatan perkawinan
yang sah dan anak(-anak)nya yang tinggal satu atap demi mencapai
kesempurnaan diri.
Pengertian Pendidikan
Untuk mencapai tujuan kesempurnaan diri tersebut, maka fungsi
edukatif merupakan satu hal yang penting terlebih lagi Allah telah
memerintahkan umatnya untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka
yang mana hal ini dapat terwujud melalui upaya pendidikan akhlak.
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. at-Tahrim: ayat 6. Bahwa tugas
pendidikan ini menjadi tanggung jawab orang tua terhadap anak karena anak
di bawah tanggung jawab orang tua.
Kata pendidikan berasal dari kata didik, mendidik yang berarti
memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan
52M. I. Soelaeman, Pendidikan dalam Keluarga, (Bandung: Alfabeta, 1994), ed. 1, hlm. 12. 53Djudju Sudjana, “Peranan Keluarga di Lingkungan Masyarakat”, dalam Jalaluddin Rakhmat
dan Muhtar Gandaatmaja (eds.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. 2, hlm. 20-22.
18
kecerdasan pikiran; kemudian kata didik tersebut mendapat awalan pen- dan
akhiran -an sehingga membentuk kata benda abstrak yakni pendidikan yang
berarti perbuatan (hal, cara) mendidik.54
Kata pendidikan menurut Abdurrahman Shalih Abdullah, dimaknai
sebagai sebuah proses bertujuan yang dilaksanakan untuk menghasilkan
peserta didik agar memiliki pola-pola perilaku tertentu.55
Pengertian pendidikan ini masih sangat umum. Pengertian pendidikan
secara rinci dideskripsikan oleh Ki Hadjar Dewantara yang memaknai
pendidikan sebagai:
Usaha kebudayaan yang berazas keadaban untuk memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan dengan memelihara hidup-tumbuh ke arah kemajuan56…. melalui upaya menuntun segala kodrat yang ada pada anak serta menumbuhkembangkan budi pekerti (kelakuan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak57…. agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.58
Sedangkan pendidikan menurut Musthafa Ghalayini adalah:
G. األخالق الفاضلة في نفوس الناشئين وسقيها بماء اإلرشاد والنصيحة التربية هي غرس 59 حتى تصبح ملكة من ملكات النفس ثم تكون ثمراتها الفضيلة والخير وحب العمل لنفع الوطن
Pendidikan adalah penanaman akhlak yang mulia dalam jiwa anak-anak dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat hingga (didikan yang mereka terima) menjadi malakah (hal-hal yang meresap) dalam jiwa kemudian malakah itu membuahkan kemuliaan, kebaikan serta cinta beramal untuk kepentingan negara.
Dari sini nampak bahwa aspek akhlak menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam pendidikan. Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
berarti upaya menumbuhkembangkan potensi-potensi anak agar terbentuk
sikap dan perilaku baik, untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan.
Pengertian Akhlak
54WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), Cet.
1, hlm. 250. 55Abdurrahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Quran serta
Implementasinya, terj. Mutammam, (Bandung: Diponegoro, 1991), Cet. 1, hlm. 243. 56Ki Hadjar Dewantara, op. cit, hlm. 166. 57Ibid, hlm. 14 58Ibid, hlm. 20. 59Musthafa Ghalayini, ‘Izhatun Nasyi’in, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashiriyah Lithaba’ah wa an-
Nasyr, 1958), hlm. 185.
19
Akhlak secara etimologi berasal dari kata akhlaq yang merupakan
bentuk jamak (plural) dari kata khuluqun yang berarti tabiat, budi pekerti.60
Secara istilah, akhlak menurut Muslim Nurdin adalah sistem nilai
yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai
yang dimaksud adalah sumber ajaran Islam yakni al-Quran dan Sunnah.61
Sedangkan menurut Muhammad Amin, akhlak adalah kehendak yang
dibiasakan. Artinya apabila kehendak itu membiasakan sesuatu maka
kebiasaan itu disebut akhlak.62
Akhlak menurut Mahmud merupakan implementasi dari iman dalam
segala bentuk perilakunya. Pendidikan akhlak dalam keluarga dilaksanakan
dengan contoh dan teladan dari orang tua melalui perilaku dalam keseharian
(pergaulan) antara ibu dengan bapak, orang tua dengan anak-anaknya, orang
tua dengan orang lain di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.63
Akhlak menurut Burhanuddin Salam merupakan suatu pola hubungan
antara hak dan kewajiban. Akhlak merupakan faktor yang menentukan dalam
proses mencapai kebahagiaan, ketenangan dalam rumah tangga bahkan
merupakan penghubung yang paling utuh antara Khalik dengan makhluk.64
Akhlak meliputi dua hal yaitu akhlak terhadap Khalik dan akhlak
terhadap makhluk. Akhlak terhadap makhluk mencakup akhlak terhadap
manusia dan bukan manusia (alam). Akhlak terhadap manusia mencakup
akhlak terhadap diri sendiri dan orang lain.
Akhlak terhadap orang lain meliputi akhlak terhadap Rasulullah,
akhlak terhadap keluarga (yang mencakup akhlak istri dengan suami, dan
60Ahmad Warso Munawwir, Al-munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), Cet. 25, hlm. 364. 61Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 1993), ed. 1, hlm. 205. 62Ahmad Amin, Etika, Ilmu Akhlak, terj. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. 7,
hlm. 62. 63Mahmud, “Pola Asuh Anak pada Keluarga Islam”, dalam A. Tafsir et. al., Cakrawala
Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), Cet. 1, hlm. 117. 64Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. 1, hlm. 196.
20
sebaliknya suami terhadap istri; anak dengan orang tua, dan sebaliknya; serta
akhlak terhadap karib kerabat); akhlak terhadap tetangga dan masyarakat. 65
Akhlak kepada Allah diantaranya seperti dengan tidak menyekutukan-
Nya, bertakwa kepada-Nya, mencintai-Nya, ridha dan ikhlas terhadap segala
keputusan-Nya, bertobat serta mensyukuri nikmat-Nya, selalu berdoa kepada-
Nya, meniru sifat-sifat-Nya, dan selalu berusaha mencari keridhaan-Nya.66
Akhlak terhadap diri sendiri dengan cara menjaga kesucian diri dari
sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian dalam
menyampaikan yang hak serta bijaksana dalam memberantas kebodohan, dan
kezaliman, bersabar ketika mendapat musibah, rendah hati, pemaaf, jujur,
serta bersyukur dan merasa cukup atas pemberian Allah.67 Akhlak terhadap
Rasulullah seperti mencintainya secara tulus, serta menjadikannya sebagai
panutan untuk ditiru sifar dan siakpnya.68
Akhlak terhadap keluarga mencakup akhlak antara suami istri seperti
menjaga nama baik pasangan serta bergaul dengan baik dan sopan,
mencukupi nafkah lahir dan batin; akhlak terhadap orang tua seperti
mencintainya, mendoakannya, patuh, baik dalam bertutur dan berperilaku
terhadap kedua orang tua.69 Akhlak terhadap karib kerabat diwujudkan
dengan mendoakan mereka, menjaga nama baik, mencintai, menghormati,
dan menjaga tali silaturahim.70
Akhlak terhadap tetangga seperti saling mengunjungi, saling
membantu, saling memberi dan saling menghormati demi menghindari
pertengkaran dan permusuhan.71
Akhlak terhadap masyarakat baik dalam kedudukannya sebagai warga
maupun pemimpin. Dalam konteks kepemimpinan, diwujudkan dengan cara
65Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet. 3, hlm. 352. 66Ibid, hlm. 356. 67Muslim Nurdin, op. cit, hlm. 206. 68Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 357. 69Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1, hlm.
75-76. 70Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 358.. 71Ibid.
21
menegakkan keadilan, berlaku baik, menjunjung tinggi musyawarah,
memandang kesederajatan manusia serta membela orang-orang yang lemah.
Sementara sebagai warga, diwujudkan dengan menjaga hubungan baik
dengan sesama, mematuhi peraturan yang ada, menjaga tali ukhuwah, serta
saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan dan menghindari kejahatan.72
Akhlak terhadap alam ditujukan sebagai pemenuhan manusia atas
tugasnya sebagai khalifah dengan sikap sadar untuk memelihara kelestarian
alam, sayang pada sesama makhluk (baik binatang maupun tumbuh-
tumbuhan) untuk dijaga ataupun dimanfaatkan demi kemakmuran bersama.73
Jadi yang dimaksud dengan akhlak adalah sifat-sifat baik dalam diri
pribadi dan terwujud dalam perbuatan menurut aturan hak dan kewajiban
sebagaimana aturan dalam al-Quran dan Sunnah.
Akhlak merupakan aspek penting dalam kehidupan. Sebegitu
pentingnya bahkan Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak. Dalam
sabdanya:
مالك أنه قد بلغه أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال بعثت ألمتم عنحدثين 74 )رواه مالك بن انس(حسن األخالق
Telah diceritakan kepadaku dari Malik sesungguhnya telah disampaikan kepadaku, bahwa Rasulullah saw bersabda: aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (HR. Malik bin Anas).
اخللق احلسن جامع ملعان كثرية منها حسن املعاشرة يف اإلخوان واجلريان واألهل 75 ومنها اجلود ومنها العفو عمن ظلم
Akhlak yang baik mengandung banyak arti diantaranya pergaulan yang baik dalam berteman, bertetangga dan berkeluarga, dermawan, dan memaafkan terhadap orang yang berbuat zalim.
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga
berarti upaya orang tua menanamkan dan memupuk nilai-nilai akhlak agar
72Muslim Nurdin, op. cit, hlm. 209. 73Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo apersad, 2000), Cet. 3, hlm. 150. 74Malik bin Anas, Al-Muwatha, (Beirut: Dar Ihyaul Ulum: 1990), hlm. 693. 75Imam wali ad-Dahlawi, al-Maswa Syarhu al-Muwatha, juz. 2, (Beirut: Dar Kutub al-
‘Ilmiyah: 1983), hlm. 459.
22
terbentuk suatu kebiasaan baik sehingga menjadi suatu perilaku baik pada diri
anak baik dalam hubungannya terhadap Khalik maupun terhadap makhluk.
Adapun bentuk pendidikan akhlak dalam keluarga ini tidaklah
terstruktur sebagaimana pendidikan formal (di sekolah) yang memiliki
bagian-bagian seperti tujuan, materi, metode, evaluasi bahkan kurikulum;
akan tetapi pendidikan keluarga ini sifatnya alamiah. Artinya setiap interaksi,
suasana yang tengah terjadi dalam setiap interaksi dan aktivitas dalam
keluarga itulah sebuah media bahkan proses dari pendidikan itu sendiri.
Maka pendidikan akhlak yang penulis maksud di sini adalah upaya
orang tua mendidik akhlak anak-anaknya. Adapun materi-materinya tidaklah
penulis jabarkan secara mendetail karena pada dasarnya materi pendidikan
akhlak ini akan lebih diarahkan kepada sasaran akhlak yang mencakup
akhlak terhadap Khalik dan makhluk. Artinya pendidikan akhlak dalam
keluarga yang penulis maksud di sini adalah upaya orang tua menerjemahkan
sasaran akhlak tersebut ke dalam pendidikan akhlak.
Selanjutnya tugas pendidikan dalam keluarga ini penulis
klasifikasikan ke dalam dua tahap sebagaimana Mahmud, mengklasifikasikan
pola pengasuhan anak dalam keluarga ke dalam dua tahap yakni pertama
tahap pra kelahiran anak, kedua tahap pasca kelahiran anak.76
Pendidikan Akhlak pada Masa Pra-kelahiran dalam Keluarga
Pembentukan Keluarga
Masih menurut Mahmud, pendidikan pada tahap pra kelahiran anak
dimulai semenjak pemilihan jodoh, kemudian pada saat melangsungkan akad
nikah yang diiringi dengan khutbah nikah (nasehat pernikahan). Hal ini
dilakukan dalam rangka mempersiapkan kedua pengantin membina rumah
tangga yang sakinah, mawadah warahmah; sekaligus mempersiapkan
lingkungan yang baik untuk perkembangan anak.
Sebelum prosesi upacara pernikahan dilakukan, terlebih dahulu
dilakukan khitbah (peminangan) yang ditujukan untuk memberikan gambaran
76Mahmud, op.cit., hlm. 94.
23
yang jelas tentang calon pendamping hidup.77 Hal ini dapat dimaksudkan
untuk mengenal lebih dekat pendamping hidupnya agar dapat
mempertemukan atau bahkan menyatukan persepsi perihal kehidupan rumah
tangganya sekaligus pendidikan anaknya kelak.
Selanjutnya upacara akad nikah yang didahului dengan khutbah nikah.
Khutbah nikah menurut Mahmud mengandung makna untuk meningkatkan
iman, amal shaleh dan anjuran membina rumah tangga yang rukun serta
sebagai motivasi dan dinamisasi pendidikan yang dilakukan terhadap
pengantin yang diharapkan akan bermuara pada pendidikan dirinya sekaligus
akan signifikan bagi pendidikan anak di masa mendatang.78
Langkah berikutnya adalah berdoa pada waktu akan melakukan
hubungan badan agar anak yang akan terkonsepsi (calon janin) pada saat
berhubungan badan terhindar dari gangguan setan. Kemudian setelah istri
diketahui mengandung, pola pendidikan anak dilaksanakan dengan cara
meningkatkan kasih sayang dan ibadah misalnya shalat berjamaah; karena
anak yang sedang dikandung sangat responsif terhadap segala rangsangan
dari luar termasuk kegembiraan dan kesedihan.79
Keseluruh hal-hal tersebut penting sebab langkah pertama yang harus
dilakukan dalam rangka membangun rumah tangga adalah bertopang pada
pondasi yang benar. Manakala pondasi bangunan suatu rumah tangga kuat
lagi kokoh, maka bangunan yang terbentuk akan sempurna.
Terlebih lagi keluarga adalah media pertama yang mempengaruhi
anak. Pastolozzi dalam Ibrahim Nashir mengatakan:
H. ا الطفل ن أ 80االسرة هي مصدر كل تربية صحيحة يتأثر
Keluarga adalah dasar dari setiap pendidikan yang baik yang mempengaruhi anak.
77Ibid, hlm. 137. 78Ibid. 79Ibid hlm. 94. 80Ibrahim Nashir, Muqoddimah fi at-Tarbiyah,(Aman: al-Ardan,1983), hlm. 182.
24
Pengaruh itu akan dapat terealisir dalam kehidupan keluarga yang
penuh kasih sayang, serta jauh dari ketegangan dan kekerasan yang mana
semua faktor tersebut akan mempengaruhi kondisi psikis anak.
Pendidikan Bagi Janin
Pentingnya Pendidikan Bagi Janin
Pendidikan anak dalam kandungan merupakan hasil dari proses
sistematis yang merupakan rangkaian langkah, metode dan materi yang
dipakai oleh orang tuanya dalam melakukan pendidikan (stimulasi-
edukatif) dan orientasi serta tujuan arahan dan didikan.81
Pendidikan pra kelahiran ini merupakan investasi (dasar) bagi
pendidikan anak selanjutnya. Untuk itu, seorang ibu harus memperhatikan
kondisi diri sekaligus janin yang dikandungnya.
Penelitian yang dilakukan oleh F. Rene Van de Carr di Thailand
membuktikan bahwa bayi yang diberi stimulasi pra lahir cepat mahir
bicara, menirukan suara, tersenyum secara spontan, mampu menoleh ke
arah suara orang tuanya, lebih tanggap terhadap musik serta mampu
mengembangkan pola sosial yang lebih baik saat ia dewasa.82
Hal ini didukung pula bahwa kondisi (fisik dan psikis) ibu yang
akan selalu berpengaruh pada janin. Bahkan Mansur menyatakan seorang
wanita yang sabar, setia dan takwa serta ikhlas menerima kehadiran anak
akan melahirkan manusia yang baik; disamping itu, faktor genetik juga
menentukan baik buruknya perkembangan janin karena genetik akan
menurunkan sifat-sifat pembawaan.83
Beberapa penelitian membuktikan bahwa kondisi fisik dan psikis
ibu yang terlalu lemah akan menghambat pertumbuhan janin. FJ. Monks
menyatakan bahwa kegoncangan psikis selama dua bulan pertama dapat
menyebabkan gangguan sentral pada bayi yang disebut down syndrome.84
81Ubes Nur Islam, Mendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet.
1, hlm. 59. 82Ubes Nur Islam, op.cit., ,hlm. 3. 83Mansur, Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), Cet. 1,
hlm. 40. 84Ibid, hlm. 19.
25
Dengan demikian nampak bahwa kondisi orang tua terutama ibu
dan lingkungan di sekitar kehidupan janin berpengaruh terhadap
perkembangan janin bahkan secara tidak langsung membentuk karakter
anak.
Faktor–faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Janin
Suharsono mengklasifikasikan aspek-aspek dasar yang sangat
mempengaruhi perkembangan janin serta setelah anak lahir kelak.
Pertama, aspek fisik dan material yakni segala sesuatu yang berkenaan
dengan menjaga kesehatan fisik, makanan dan gizi, pengadaan finansial
serta sarana material lainnya.
Kedua, aspek moral yakni moralitas orang tua terutama ibu yang
sangat menentukan bagi upaya pembentukan moralitas bayi. Ketiga,
aspek intelektual ibu (sense of intellectuality) seperti meningkatkan minat
dan semangat mencari ilmu. Keempat aspek spiritual yakni dimensi
spiritual seperti ibadah shalat yang dilakukan ibu.85
Sedangkan menurut Mansur, faktor yang dapat mempengaruhi
pendidikan anak dalam kandungan adalah faktor pendidikan dan
keagamaan kedua orang tua terutama ibu serta faktor lingkungan.86
Baihaqi menyebut beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai
materi pendidikan bagi anak pra lahir. Diantaranya shalat, membaca al-
Quran, akidah tauhid, akhlak, ilmu pengetahuan dan doa-doa.87
Maka dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan janin mencakup faktor internal (kualitas orang tua) dan
eksternal (lingkungan). Adapun faktor internal ini diwujudkan dengan
penjagaan diri (kondisi fisik dan psikis ibu) dengan semakin memegang
teguh dan melaksanakan ajaran agama. Sedangkan faktor eksternal
diwujudkan dengan penjagaan lingkungan yang kondusif yang dapat
85Suharsono, Akselerasi Inteligensi, (Jakarta: Inisisasi Press, 2004), Cet. 1, hlm. 66. 86Mansur, op.cit., hlm. 197. 87Baihaqi, Mendidik Anak dalam Kandungan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. 1,
hlm. 127-137.
26
membantu pertumbuhan dan perkembangan kesehatan (fisik dan psikis)
janin seperti penciptaan suasana yang religius dan tenang.
Metode Pendidikan Bagi Janin
Sebuah kandungan (kehamilan) merupakan lembaga pendidikan
pertama manusia. Oleh karena itu, ibu sebagai lembaga pendidikan
pertama harus menjaga kemurnian tauhid dengan melaksanakan nilai-
nilainya dalam kehidupannya, hal ini sebagai cerminan bagi anak
integritas eksekutif muslim yang bertauhid tinggi; yang dapat membentuk
figur anak yang religius.88 Adapun bentuk paling dini pendidikan janin
dapat dilakukan melalui komunikasi ibu dengan janin.89
Pembentukan janin ini akan dipengaruhi oleh situasi emosional
ibu. Pembentukan fisik dan akhlak seorang anak yang baru dilahirkan
akan dipengaruhi oleh faktor-faktor negatif dan positif lingkungannya.90
Maka metode pendidikan akhlak bagi janin mencakup metode
langsung dan tak langsung. Metode langsung ini diwujudkan dengan
komunikasi orang tua (ibu) terhadap janin. Sedangkan metode tak
langsung diwujudkan dengan penciptaan suasana religius dalam keluarga.
Pendidikan Akhlak pada Masa Pasca-kelahiran dalam Keluarga
Pendidikan pada tahap pasca kelahiran diwujudkan dengan cara segera
dibacakan kalimat adzan dan iqamat di telinga bayi pada saat lahirnya dilanjutkan
dengan pemberian nama yang baik pada hari ke tujuh kelahirannya.91
Pendidikan awal
Mengadzani Bayi yang Baru Lahir
Adzan merupakan kalimat pertama yang harus didengar oleh bayi
ketika ia menghirup udara untuk pertama kalinya. Dalam hadits
disebutkan:
88Mansur, op.cit., hlm. 158. 89Ibid, hlm. 124. 90Muhammad Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, terj. Bahrun Abu Bakar
Ihsan, (Bandung; Diponegoro, 1993), Cet. 2, hlm. 28. 91Mahmud, op.cit., hlm. 95.
27
: الرمحن بن مهدي قا ال حد ثنا حممد بن بشار حد ثنا حيىي بن سعيد وعبد: عن عبيد اهللا بن أيب رافع عن أبيه قال أخربنا سفيان عن عاصم بن عبيد اهللا
ن احلسن بن علي حني رأيت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم أذن يف أذ 92 )رواه الترمذي(ولدته فاطمة بالصالة
Muhammad bin Basyar bercerita kepada kami, Yahya bin Sa’id bercerita kepada kami, Abdurrahman bin Mahdi berkata: Sofyan mengabarkan kepada kami ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya berkata: Aku melihat Rasulullah SAW beradzan di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya, dan bershalawat. (HR. At-Tirmidzi)
Adzan yang mengandung kalimat tauhid mesti menjadi kalimat
pertama yang harus masuk atau diperdengarkan dan diajarkan kepada
anak sebagai penanaman dasar keimanan. Kalimat tauhid merupakan
pengikat kuat sekaligus fundamen kehidupan manusia untuk mengemban
fungsi kekhalifahan dalam kehidupan beragama, dan berbangsa demi
memperoleh kedamaian, ketentraman, dan keberkahan hidup.93
Ketika Adzan berikut kalimat yang dikandungnya (kalimat takbir
dan kalimat tauhid) menyentuh pendengaran bayi (meski waktu itu bayi
masih belum mampu merasakan) namun kesadarannya dapat merekam
nada dan bunyi kalimat adzan yang diperdengarkan kepadanya. Kalimat
tersebut dapat mencegah jiwanya dari kecenderungan kemusyrikan serta
dapat memelihara dirinya dari kemusyrikan itu. 94
Khairiyah Hasan dalam Mahmud menambahkan bahwa
memperdengarkan adzan dan iqomat ke telinga anak mengandung hikmah
terusirnya setan serta untuk mematri suatu pengaruh yang menunjuki hati
anak; meski ia belum menyadari hal itu tapi itu adalah benih menerima
92At-Tirmidzi, Al-Jami’u ash-Shahih, Juz 4, (Beirut: Darul Fikr, tth), hlm. 82. 93Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qurani dalam Sistem Pendidikan Islam,
(Jakarta; Ciputat Press, 2005), Cet. 2, hlm. 13. 94Muhammad Quthb, op.cit., hlm. 48.
28
agama Islam sebagai suatu kesiapan fitriah untuk selanjutnya memenuhi
panggilan, petunjuk dan dakwah Islam.95
Makna yang terkandung dalam adzan adalah membesarkan nama
Allah SWT, mentauhidkan dan memahasucikan-Nya, serta menyatakan
kesaksian terhadap kerasulan dan kenabian Muhammad SAW,
mendirikan shalat dan demikian pula kaitannya dengan Sunnah-sunnah
lainnya. 96
Maka ketika anak lahir ia tidak akan diberi kesempatan meskipun
sejenak untuk lebih dahulu mendengar apapun kecuali suara tauhidullah
yang menjadi pertanda masuknya anak itu ke dalam agamanya melalui
adzan dan iqomat.
Pemberian Nama
Selanjutnya kewajiban orang tua lainnya adalah memberikan
nama yang baik; bahkan Rasul bersabda:
بن مسلم عن مسهر عن إمساعل حد ثنا علي بن حجر أخربنا علي بنرسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم الغالم مرن : قال: احلسن عن مسرة قال
97 ) رواه الترمذي(يذبح عنه يوم السابع ويسمى وحيلق رأسه بعقيقتهAli bin Hujrin bercerita kepada kami, Ali bin Mushirin bercerita kepada kami dari Ismail bin Muslim dari Hasan dari Samuroh berkata Rasulullah bersabda: seorang anak digadaikan dengan aqiqah yang disembelih untuknya pada hari ke tujuh dan diberi nama dan dicukur rambut kepalanya. (HR. At-Tirmidzi)
Adapun pemberian nama yang baik dan mulia oleh Sayyid
Muhammad dikategorikan sebagai akhlak orang tua kepada anaknya.
Nama yang mulia dan julukan yang baik merupakan kehormatan bagi
pemiliknya. Adapun nama yang paling mulia adalah nama-nama yang
sama dengan para Nabi. Ada banyak kebaikan dalam nama-nama itu serta
95Mahmud, op.cit., hlm. 147. 96Muhammad Quthb, hlm. 51. 97At-Tirmidzi, op.cit., hlm. 85.
29
kemuliaan dalam julukan Islam itu bahkan kehormatan dan kehidupan
umat serta keridhaan Allah pun terkandung.98
Sedangkan menurut Muhammad Suwaid pemberian nama
merupakan suatu penghormatan terhadap anak.99 Menyitir perkataan
Zubair, Muhammad Suwaid menjelaskan pula bahwa pemberian nama
sebaiknya dengan meniru nama-nama sahabat dengan harapan agar anak-
anaknya kelak mengikuti langkah para syuhada’ itu, sehingga meraih
syahadah (kesyahidan) di jalan Allah.100 Bahkan pemberian nama baik
kepada anak berarti juga sebagai upaya menyiarkan tauhid.101
Hal ini oleh karena secara psikologis, anak terpengaruh dengan
nama dan panggilan yang diberikan kepadanya. Ibnu Qayyim dalam
Adnan Hasan menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara nama
dengan yang dinamai. Bahwa pemberian nama yang baik akan
mendorong yang punya nama untuk berbuat sesuai dengan makna yang
terdapat dalam namanya. Hal ini dapat terjadi karena anak akan merasa
malu apabila ia berbuat yang tidak sesuai dengan makna namanya .102
Maka pemberian nama ini dimaksudkan sebagai akhlak orang tua
terhadap anaknya. Disamping itu, pemberian nama merupakan upaya
pengenalan awal label Islam sebagai bekal bagi anak; karena hal yang
paling sering didengar oleh anak adalah namanya. Maka dengan nama
yang baik akan melatih anak terhadap hal baik.
Pemberian Suasana dalam Keluarga
Pada dasarnya pendidikan dalam keluarga terjadi melalui pengalaman
yang dilalui anak. Baik melalui ucapan yang didengarnya, tindakan,
perbuatan dan sikap yang dilihatnya maupun perlakuan yang dirasakannya.
98Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Surga Bernama Keluarga, terj. Nawang Sri
Wahyuningsih (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), Cet. 1, hlm. 6. 99Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo:
Pustaka Arafah, 2004), Cet. 2, hlm. 79. 100Ibid, hlm. 82. 101Ibid, hlm. 87. 102Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, terj.
Shihabuddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. 1, hlm. 49.
30
Adapun keluarga merupakan satu lembaga yang mampu
menyuguhkan pola-pola tersebut dalam setiap interaksi dan aktivitas nya
yang terjadi secara alamiah. Hal ini diungkapkan oleh Zakiah Daradjat bahwa
pendidikan dalam keluarga terjadi secara alamiah tanpa disadari oleh orang
tua, namun memiliki pengaruh dan akibat yang sangat besar.103
Crow dan Crow dalam Arifin menyatakan bahwa pendidikan pertama
anak diterima dalam lingkungan rumah. Keadaan ekonomi serta tingkat
kehidupan di rumah, kestabilan emosi orang tua dan keluarga serta cita-cita
dan ambisi yang tampak dari tingkah laku anggota-anggota keluarga yang
lebih tua umurnya, kesemuanya itu mempengaruhi tingkah laku serta sikap
anak secara langsung maupun tidak langsung. 104
Karena pada dasarnya seluruh interaksi dalam keluarga bernilai
edukatif. Bahwa pengaruh yang paling kuat dan paling kekal pada diri anak
adalah pengaruh yang terjadi pada masa kecil mereka di lingkungan keluarga
di mana mereka tumbuh dan dibesarkan.105
Maka seluruh interaksi dalam keluarga akan memberikan pengaruh
pada anak. Muhammad ‘Athiyah al-Abrasy menyatakan:
106أثر باملثل الذى يراه وبالبيئة الىت يعيش فيها وباللغة الىت يسمعها يت الطفل نإSesungguhnya anak dipengaruhi oleh contoh yang ia lihat, lingkungan tempat ia tinggal dan bahasa yang ia dengar.
Nilai pendidikan dalam keluarga ini diperoleh dari orang tua, saudara
dan diri sendiri. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa:
Alam keluarga buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan , di dalamnya pertama kali bersifat pendidikan dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru (penuntun), pengajar, dan pemimpin pekerjaan (pemberi contoh). Kedua, di dalam keluarga itu anak-anak saling mendidik. Inilah nampak seterang-terangnya di
103Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995),
Cet. 2, hlm. 74. 104Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. 4,
hlm. 93. 105Ma’ruf Zurayk, Pedoman Mendidik Anak, terj. Imron Hasani, (Yogyakarta: Bintang
Cemerlang, 2001), Cet. 2, hlm. 16. 106Muhammad ‘Athiyah al-Abrasy, Ruhut Tarbiyah wa Ta’lim, (Arab: Darul Ihya al-Kutb,
1950), hlm. 117.
31
dalam keluarga apalagi di dalam keluarga yang besar…ketiga, di dalam alam keluarga anak-anak berkesempatan mendidik diri sendiri. Karena di dalam keluarga itu mereka tidak berbeda kedudukannya seperti orang hidup di dalam masyarakat yang seringkali terpaksa mengalami macam-macam kejadian hingga dengan sendirinya menimbulkan pendidikan diri sendiri.107
Pada dasarnya faktor identifikasi dan meniru pada anak amat lah
besar. Mereka terbina, terdidik dan belajar dari pengalaman langsung bahkan
lebih besar pengaruhnya daripada informasi atau pengajaran lewat instruksi
(kata-kata). Karena itu maka suasana keluarga, ketaatan ibu-bapak dalam
beribadah dan perilaku serta sikap dan cara hidup yang sesuai dengan ajaran
Islam akan menjadikan anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga baik,
akan beriman dan berakhlak terpuji.108
Anak yang lahir dalam keluarga yang selalu membiasakan berbuat
baik biasanya menghasilkan pribadi anak yang baik pula. Dan sebaliknya
anak yang lahir dalam keluarga yang membiasakan perbuatan yang tercela
akan menghasilkan pribadi anak yang tercela pula.109
Keshalehan orang tua merupakan teladan yang baik bagi anak,
mengandung pengaruh yang besar terhadap kejiwaan anak. Apabila orang tua
mempunyai kedisiplinan untuk bertakwa kepada Allah dan mengikuti jalan
Allah dan juga terus ada kerjasama antara kedua orang tua untuk menunaikan
hal tersebut maka akan tumbuh pula pada diri anak ketaatan dan kepatuhan
kepada Allah karena mencontoh kedua orang tuanya.
Pada kenyataannya, suasana kehidupan keluarga sehari-hari tidaklah
monoton bahkan selalu berubah-ubah masing-masing dengan muatan iklim
yang bervariasi. Ada kalanya suasana keluarga itu santai, bahkan riang
gembira, penuh canda dan kelakar yang mengundang gelak tawa, bahkan
tidak jarang terjadi saling melempar ejekan yang ajaibnya tidak mengundang
marah atau terhina, akan tetapi malahan lebih menghangatkan suasana.
107Ki Hadjar Dewantara, op.cit., hlm. 375. 108Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 75. 109Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, op.cit., hlm. 179.
32
Semuanya itu mencerminkan suasana keakraban dan keterbukaan antara
sesama anggota keluarga. 110
Interaksi antara anggota keluarga itu bisa menimbulkan pertentangan,
masalah dan tekanan-tekanan dan di saat yang sama interaksi mereka bisa
menghasilkan kebahagiaan, kepuasan dan kesenangan bagi setiap anggota
keluarga.111
Suasana inilah yang mendukung pendidikan akhlak dalam keluarga.
Komunikasi interaktif akan selalu bernilai edukatif. Keluarga yang memiliki
budaya komunikasi dengan anak secara baik akan mampu menciptakan pra
kondisi bagi tumbuhnya kecerdasan anak-anak. Oleh karena itu orang tua di
rumah harus bersedia berinteraksi secara positif dengan cara merespon
perilaku anak-anak secara kultural.112 Sehingga tampak bahwa interaksi
verbal merupakan bentuk yang sangat penting dan bermanfaat terutama
dalam mendorong anak bertanya.113
Sebab kualitas hubungan anak dan orang tuanya akan mempengaruhi
keyakinan beragamanya di kemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan
diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama
dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika yang terjadi
sebaliknya, maka ia akan menjauhi apa yang diharapkan orang tuanya,
mungkin ia tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya.114
Oleh karena setiap interaksi dalam keluarga bersifat edukatif, maka
orang tua harus menghiasi diri dengan akhlak dan perilaku yang baik. Hal ini
perlu karena orang tua berperan sebagai pendidik. Sedangkan pendidik yang
sukses menurut Muhammad Maulawy adalah pendidik yang paham terhadap
ilmu-ilmu yang hendak diajarkannya.115
110M.I. Soelaeman, op.cit., hlm. 54. 111Promod Batra et. al., Merakit dan Membina Keluarga Bahagia, terj. Dedy Ahimsa,
(Bandung: Cendekia, 2002), Cet. 1, hlm. 13. 112Sintha Ratnawati, Keluarga Kunci Sukses Anak, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2000), Cet. 2,
hlm. 14. 113Ibid, hlm. 11. 114Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 66. 115Muhammad Said Maulawy, Mendidik Generasi Islami, terj. Ghazali Mukri, (Yogyakarta:
Izzan Pustaka, 2002), Cet. 1, hlm.30.
33
Masih menurut Muhammad Maulawy, di samping memiliki
pemahaman atas ilmu, pendidik juga harus selalu menghiasi diri dengan
kesabaran, welas asih, ramah, penyayang, berpandangan ke depan serta
bersikap tegas menurut kondisinya. Hal ini penting karena di antara akhlak-
akhlak itu ada yang bersifat positif, efektif, dan langsung serta ada pula yang
mempunyai pengaruh negatif dalam interaksi antara orang tua dan anak.116
Hal ini dikuatkan oleh Zakiah Daradjat yang menyatakan bahwa
apabila anak dididik dengan penuh kasih sayang, lemah lembut, adil dan
bijaksana maka akan tumbuh dalam diri anak sikap sosial yang
menyenangkan. Anak akan terlihat ramah, gembira, dan mudah akrab dengan
orang lain. Sebaliknya ketika orang tua bersikap keras, kurang perhatian, dan
sering bertengkar maka anak tersebut akan berkembang menjadi anak yang
kurang pandai bergaul, mengisolasi diri dan bersikap antipati terhadap
lingkungannya.117
Maka nampak sekali bahwa kualitas orang tua sangat berpengaruh
terhadap kualitas anaknya. Sebab dari merekalah pertama-tama anak belajar
mengenal lingkungan masyarakatnya. Kualitas pribadi yang baik tentu akan
memunculkan sebuah keharmonisan. Keharmonisan dan keserasian antara
Ibu dan Bapak memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkah laku dan
intelektualitas anak.118
Keharmonisan komunikasi ini terjadi dalam setiap interaksi diantara
mereka dan akan bersifat edukatif. Artinya dalam setiap aktivitas nya akan
selalu meninggalkan kesan bagi anak. Untuk itu, orang tua menjadi sosok
teladan bagi anak; maka mereka harus menghiasi diri dengan akhlak yang
mulia. Sebab, kualitas ini, mempengaruhi kualitas anak berikutnya.
Bentuk Pendidikan Akhlak dalam Keluarga
Adapun pemberian suasana ini mesti disesuaikan dengan taraf
perkembangan anak. Perkembangan ini berhubungan dengan tahap-tahap
116Ibid, hlm. 31. 117Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 67. 118Khalid Ahmad asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga Muslim, terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), Cet. 2, hlm. 44.
34
umur tertentu. Hal ini perlu diketahui oleh orang tua agar mereka mampu dan
mendidik anak-anak secara benar, serta dapat menghindari kemungkinan
kesalahan yang membawa akibat tidak baik bagi perkembangan anak. Secara
umum, pola perkembangan anak adalah sebagai berikut119:
a. Masa vital (anak usia 0-2 tahun)
Masa ini merupakan masa penting bagi kelanjutan hidup jasmani
dan rohani. Dalam tahun pertama ini, anak masih sangat tergantung
dengan lingkungannya. Seorang bayi masih memerlukan perawatan yang
telaten karena kemampuannya masih terbatas pada gerak-gerak
pernyataan seperti menangis dan meraban (menggumam) tanpa makna .120
Pada masa ini anak sangat tergantung pada ibu. Bisikan-bisikan
kalbu seorang ibu akan memberikan efek psikologis pada anak. Bahkan
pemberian ASI pun memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk
aspek jasmaniah, emosional dan sosial kehidupan anak.
Secara psikologis dan sosial, pemberian ASI ini dapat
menimbulkan rasa kehangatan, kasih sayang dan ketentraman pada anak
ketika sedang berada di pangkuan ibunya. Inilah moment pertama dari
interaksi sosial. Suatu perasaan tentram, hangat dan kasih sayang yang
dialami oleh anak.121
Pada masa ini anak telah dapat meniru hal-hal kecil yang
dilihatnya. Suatu percobaan yang telah dilakukan oleh Peugeut (dalam
Mahmud) membuktikan bahwa anak pada umur 9 dan 11 bulan ketika
dicoba agar meniru gerak mata dibuka dan ditutup ternyata anak
menirunya dengan menutup dan membukanya.122
Hal ini oleh karena pada masa ini anak dapat (meskipun masih
sangat terbatas) merasakan sikap, tindakan dan perasaan orang tua. Maka
anak akan mulai mengenal Tuhan dan agama melalui orang-orang dalam
119Periodisasi ini mengikuti periodisasi menurut Kohnstam dalam Mustaqim, Psikologi
Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 2, hlm. 16. 120Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Shaleh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 4,
hlm. 117 121Mahmud, op.cit., hlm. 148. 122Ibid, 148.
35
lingkungan sekitarnya. Kata Allah yang mulanya mungkin tidak menjadi
perhatiannya lama kelamaan akan menjadi perhatiannya dan anak akan
ikut mengucapkannya setelah ia mendengar kata Allah itu berulang kali
dalam berbagai keadaan, tempat dan situasi. Apalagi ketika ia melihat
raut muka ibunya yang penuh kesungguhan ketika berucap kata Allah
dengan begitu, perhatian anak akan bertambah.123
Dengan demikian nampak bahwa pada masa ini, anak dapat
dididik dengan nasehat dan pembiasaan. Adapun materinya masih berupa
pengenalan-pengenalan baik terhadap Allah maupun terhadap orang-
orang di sekitarnya (sosialisasi). Hal ini merupakan bekal bagi anak.
b. Masa estetis (anak usia 2-7 tahun)
Masa ini disebut masa estetis karena pada masa ini anak sangat
menghajatkan (membutuhkan, suka akan) keindahan, suasana yang
menggembirakan dirinya. Suasana ini penting dalam kehidupan agama
anak. Karena kesan yang indah, menggembirakan dan tenang dalam jiwa
anak akan membawa perasaan cinta mereka kepada agama pada masa
dewasanya kelak.124
Pada masa ini anak sudah mulai senang terhadap fantasi
(imajinasi). Mereka menyenangi kreasi yang bersifat fantasi baik dalam
mendengar cerita ataupun menciptakan sesuatu secara sederhana.125 Maka
penting bagi orang tua menyuguhkan cerita-cerita teladan bagi anaknya
untuk mendorong anak agar meniru perilaku tokoh kisah itu.
Selain itu, yang terpenting bagi orang tua agar anak diperkenalkan
dan dibiasakan dengan suasana kehidupan religius di rumah. Kedua orang
tua mengaji al-Quran atau berdzikir pada saat anak masih tidur; suara ini
akan direkam dalam dunia anak. Atau bisa juga dengan menunjukkan
perhatian kepada suara adzan (misalnya dengan menjawab adzan),
mengajar mengaji kepada kakak si bayi atau di dekat tempat tidur bayi
123Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. 17, hlm. 127. 124Arifin, op.cit., hlnm. 51. 125Jalaluddin, op.cit., hlm. 118.
36
merupakan suatu metode yang cukup efektif dalam memperkaya rekaman
sang bayi, bahkan meningkatkan intensitas kedekatan kepada Allah.126
Berbagai nazham yang biasa diucapkan kedua orang tua berulang
kali dan diperdengarkan langsung bahkan melalui kaset atau suara orang
lain, merupakan hal yang baik bagi anak. Suara dan isi nazham tersebut
akan direkam pula dalam khazanah nurani anak. Dekorasi kamar dan
berbagai ruangan dalam rumah dengan berbagai lafadz ayat al-Quran
akan menjadi katalisator terciptanya suasana religius dalam rumah.127
Pada masa ini kemampuan komunikasi anak semakin baik. Hal ini
mendorong mereka untuk semakin intensif melontarkan pertanyaan-
pertanyaan yang mengusik alam pikiran mereka. Karena menyukai fantasi
dan hal-hal yang estetis dan menggembirakan, penting bagi orang tua
untuk mendidik mereka dengan cara belajar sambil bermain. Hal ini dapat
diwujudkan melalui kebiasaan mencuci tangan yang dipimpin oleh ayah
dengan perkataan yang halus. Hal ini penting sebab, anak pada masa ini
bersifat sugestibel (mudah dipengaruhi) terutama jika dengan cara yang
baik dan ramah. 128
Jadi pendidikan akhlak dalam masa ini dapat diwujudkan melalui
contoh, teladan, tingkah laku yang baik bahkan juga dapat diwujudkan
dalam bentuk cerita-cerita teladan dan permainan.. Adapun materinya
adalah lanjutan dari masa vital. Artinya masih seputar sosialisasi
lingkungan dan agama akan tetapi taraf sosialisasinya (hal-hal yang
disosialisasikan) lebih berkembang (banyak).
c. Masa intelektual (anak usia 7-13 tahun)
Pada masa ini anak mulai mengembangkan intelektual dan rasa
sosialnya. Maka dari itu perlu bagi anak suatu bimbingan untuk
kecerdasan serta sikap sosial sebaik-baiknya. Pada masa ini pula anak
126Djawad Dahlan,”Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 0-5 Tahun dalam
Keluarga” dalam Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. 3, hlm. 90.
127Ibid, hlm. 91. 128Jalaluddin, op.cit., hlm. 119.
37
sudah memiliki kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan. Selain itu
mereka sudah memiliki keserasian untuk bergaul dengan anak-anak lain
dan menganggap mereka sebagai teman yang memiliki hak yang sama;
bahkan, anak sudah mempunyai kecenderungan terhadap kebutuhan akan
pengetahuan untuk memperluas lingkungan hidupnya.129
Maka, pendidikannya dapat berupa pemberian perhatian atas
keseharian anak; pergaulannya dan aktivitasnya. Hal ini dapat diwujudkan
dengan pengarahan dan bimbingan terhadap perilaku anak agar dapat
menghormati orang lain (menjaga akhlak terhadap sesama). Sehingga
akan terbentuk sosok anak yang mampu bergaul dengan baik.
Disamping itu, pendidikan pada masa ini lebih dititikberatkan
pada pembentukan disiplin. Anak dibiasakan untuk mentaati peraturan
dan penyelesaian tugas-tugas atas dasar tanggung jawab.130
Adapun bentuknya bisa berupa pendidikan shalat untuk menjaga
akhlak terhadap Allah sekaligus akhlak terhadap diri sendiri dan sesama.
Akhlak terhadap Allah ini artinya melalui shalat, anak diajak untuk
belajar tentang kewajibannya sebagai seorang muslim yang mesti
menyembah kepada Pencipta; akhlak terhadap diri ini, artinya anak diajak
untuk belajar tentang hak dan kewajibannya sebagai seorang muslim yang
mesti menyembah Tuhannya, disamping itu, shalat juga sebagai ajang
bagi diri untuk melatih kedisiplinan dengan menjaga waktu dan
kebersihan; kemudian akhlak terhadap sesama ini, artinya apabila shalat
dilakukan secara berjamaah maka anak akan dilatih untuk bersosialisasi
terhadap masyarakat dan orang-orang di sekitarnya.
Maka bentuk pendidikannya diwujudkan melalui pemberian
perhatian dan pengawasan serta praktek. Artinya nilai pendidikan yang
tengah diajarkan langsung dipraktekkan dengan pengawasan dan
perhatian orang tua secara langsung.
129Ibid., hlm. 127. 130Ibid, hlm. 129.
38
d. Masa sosial (anak usia 13-21 tahun)
Masa ini merupakan masa peralihan dari suatu kondisi kanak-
kanak ke kondisi remaja bahkan dewasa yang independen (mandiri).
Masa ini ditengarai dengan kuatnya dorongan untuk hidup bermasyarakat
dan adanya tanda-tanda perubahan pada anggota tubuh.131
Masa ini merupakan masa dimana emosi anak mengalami
ketidakstabilan. Hal ini dapat mendorong mereka untuk berbuat kekerasan
bahkan pengrusakan atau bisa jadi justru mendorong mereka untuk
berbuat yang lebih baik lagi; sebuah tindakan susila. Pada masa ini pula
mereka mulai tertarik pada masalah kemanusiaan dan keagamaan.132
Namun hal ini justru dapat membuat mereka semakin goyah atas
ketidaksamaan antara ide dan realita. Starbuck dalam Jalaluddin
menyatakan bahwa anak pada masa ini mengalami pertumbuhan pikiran,
mental dan sosial serta timbul pula minat terhadap masalah-masalah yang
berhubungan dengan moral serta ibadah.133
Hal ini dipandang sebagai sebuah peluang bagi upaya pendidikan
akhlak agar dapat membantu mereka menghadapi gejolak batin mereka.
Adapun upaya pendidikan ini dilakukan dengan dialog dan diskusi serta
memposisikan mereka sejajar (tidak menganggap mereka sebagai anak-
anak lagi).134
Maka bentuk pendidikan akhlak pada masa ini diwujudkan
melalui dialog dan diskusi mengenai banyak hal yang lebih real (sesuai
dengan kenyataan yang tengah terjadi) dengan tetap berpegang pada
norma-norma agama; agar terbentuk sosok yang idealis sekaligus realis.
Sehingga menjadi figur muslim yang mampu menempatkan posisinya
sebagai muslim yang bertakwa yakni muslim yang tidak sekedar
menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah akan tetapi takwa di
131Abdul Aziz Abdul Malik, Mendidik Anak Lewat Cerita, terj. Syarif Hade Masyah, dan
Mahfud Lukman Hakim, (Jakarta: Mustaqim, 2005), Cet. 6, hlm. 27. 132Jalaluddin, op.cit., hlm. 136. 133Ibid. 134Ibid, hlm. 134.
39
sini sebagaimana Toto Tasmara mengartikan bahwa manusia yang
bertakwa adalah manusia yang bertanggung jawab yang senantiasa
menunjukkan amal prestatif yang dilakukan dengan penuh rasa cinta di
bawah semangat pengharapan ridha Allah.135
Maka bentuk pendidikannya dilakukan dengan diskusi dan dialog
dengan materi seputar masalah-masalah yang tengah terjadi. Dengan
menggunakan landasan agama sebagai paradigma dalam melihat dan
membahas materi-materi tersebut.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan akhlak
dalam keluarga merupakan upaya orang tua menanamkan serta
menumbuhkembangkan potensi baik (akhlak) pada diri anak agar tumbuh
dalam diri anak sifat-sifat akhlak yang baik dan menjadikannya sebagai
sebuah kebiasaan baik; dalam hubungannya terhadap Khalik maupun
terhadap makhluk. Pendidikan ini dapat dilaksanakan melalui dua tahap
yakni tahap pra kelahiran anak dan tahap pasca kelahiran anak. Adapun
bentuk-bentuk pendidikannya disesuaikan dengan taraf perkembangan
anak.
135Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet. 1, hlm. 2.
40
BAB III
I. PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI TENTANG
TAUHID SEBAGAI PRINSIP KELUARGA
A. Biografi Ismail Raji al-Faruqi
1. Sejarah Hidup dan Riwayat Pendidikan Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi adalah orang Jaffa, Palestina; yang dilahirkan
pada 1 Januari 1921.136 Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya (Abd
al-Huda al-Faruqi), seorang hakim dan tokoh agama terkemuka di kalangan
sarjana Islam dan juga dari masjid setempat. Pada tahun 1926 al-Faruqi mulai
bersekolah di The Frence Dominical College des Freres (sebuah sekolah biara
yang menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa pengantarnya) dan lulus
pada tahun 1936, kemudian melanjutkan studinya di sekolah ilmu seni dan
pengetahuan pada The American University di Beirut dan mendapat gelar
sarjana muda (BA) di bidang filsafat pada 1941.
Tahun 1948 Palestina diduduki oleh penjajah Yahudi. Kondisi ini
mengharuskan al-Faruqi dan keluarganya hengkang dari tanah airnya dan
terpaksa mengungsi ke Amerika Serikat. Di sana, al-Faruqi mendaftarkan diri
di Indiana University’s Graduate School of Arts and Sciences dan
memperoleh gelar MA di bidang filsafat. Tahun 1951, al-Faruqi menerima
anugerah gelar MA di bidang filsafat dari Department of Philosophy Harvard
University. Tahun 1951, al-Faruqi mengajukan tesisnya yang berjudul
Justifying the Good Metaphysics and Epistemology of Value (Justifikasi
Kebenaran: Metafisika dan Epistemologi Nilai) pada Indiana University di
Blomingtoon dan berhasil menerima gelar Ph.D pada 1952. Awal tahun 1953,
al-Faruqi dan istrinya tinggal di Syria kemudian ke Mesir (1954-1958) untuk
mempelajari ilmu-ilmu keislaman pada Universitas al-Azhar, Kairo dan
berhasil memperoleh gelar Ph.D.137
Kini Ismail Raji al-Faruqi telah tiada. Tanggal 27 Mei 1986 al-Faruqi
tewas mengenaskan karena dibunuh bersama istrinya (Lois Lamya al-Faruqi)
136M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. 1, hlm. 13.
137Ibid, hlm. 14-16.
41
di kediamannya di Wyncote, Pennsylvania, Amerika Serikat. Kematiannya
diduga akibat suara-suara pedasnya yang mengundang kemarahan masyarakat
Afro-Amerika dan para imigran muslim serta kritiknya pada zionisme-
Israel.138
2. Aktivitas Ilmiah Ismail Raji al-Faruqi
Segera setelah lulus (1941-1945), al-Faruqi menempuh karir
pemerintahan di negerinya dan menjadi seorang Register of Cooperative
Societies di bawah mandat pemerintahan Inggris di Jerusalem. Selanjutnya al-
Faruqi menjabat sebagai gubernur wilayah Galilee pemerintahan Palestina.
Tahun 1958, al-Faruqi diundang sebagai dosen tamu bidang studi
Islam di Mc Gill University’s Institute of Islamic Studies sekaligus menjadi
mahasiswa tingkat doktoral sebagai penerima Rockefeller Foundation
Fellowship (1959-1960) pada Fakultas Teologi dengan spesialisasi Kristen-
Yahudi. Dari Mc Gill inilah al-Faruqi bergabung dengan the School of
Divinity sebagai peneliti di bidang Christianity and Judaism dan
menghasilkan karya Christian Ethics. Lewat karyanya ini al-Faruqi
menjelaskan perlunya dialog antara Kristen-Islam agar tidak terjadi
ketegangan diantara mereka serta terciptanya perilaku etis dalam kehidupan
demi terpenuhinya tugas-tugas dan tanggung jawab sebagai manusia dalam
spektrum dunia.139
Karir profesionalnya sebagai guru besar dimulai pada Institut Pusat
Riset Islam di Karachi sebagai guru besar studi Islam bersama dengan Fazlur
Rahman (1961-1963). Kemudian tahun 1964 sebagai guru besar tamu dalam
bidang sejarah agama di Fakultas Teologi Universitas Chicago dan pada
tahun itu pula al-Faruqi memperoleh posisi permanen pertamanya sebagai
guru besar luar biasa di Jurusan Agama Universitas Syracuse.140 Dan mulai
1968 al-Faruqi mengabdi di Fakultas Agama Universitas Temple sebagai staf
pengajar penuh.
138M. Shafiq, op.cit., hlm. 1. 139Ibid, hlm. 23-26. 140John L Esposito dan John O Voll, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj
Sugeng Hariyanto, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, hlm. 264.
42
Tahun 1965 al-Faruqi mulai mengenal dan bergabung dengan MSA
(The Moslem Students Association). Di sini, al-Faruqi semakin intens untuk
mendalami ilmu-ilmu keislaman dan memperkuat keinginannya untuk
mengembangkan Islam di Amerika. Dengan spirit inilah al-Faruqi bersama
dengan tokoh-tokoh MSA yang lain membentuk AMSS (The Association of
Moslem Social Scientist) pada 1972 yang memfokuskan diri pada masalah-
masalah Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial. Dan sebagai tindak lanjutnya, AMSS
membentuk IIIT (The International Institute of Islamic Thought) pada 1977;
sebuah institusi non-profit yang bergerak di bidang pendidikan.
Tidak hanya itu, al-Faruqi juga mengupayakan Gerakan Dakwah di
Amerika Utara bagi penduduk asli muslim melalui training pendidikan dan
keislaman pada malam hari di Sister Clara Muhammad School. Tahun 1982,
al-Faruqi juga terlibat dalam pendirian The American Islamic and College di
Chicago yang mengetengahkan studi sastra dan pendidikan Islam sebagai
program studinya; disamping keterlibatannya yang lain dalam pendirian
Universitas Islam Internasional di Islamabad dan di Kuala Lumpur.141
Disamping itu al-Faruqi juga seorang konsultan dan penguji tamu di
University of Libya, The Jami’a Milliyah Islamiyyah (India), The University
of Durban-Westville (Afrika Selatan), The National University of Malaysia,
Imam Muhammad Ibn Sa’ud University (Arab Saudi), The University of
Jordan, The University of Qatar, The University of Alexandria (Mesir), The
University of Qum (Iran), Mindanau State University (Filipina), Umm
Durman Islamic University (Sudan), Yarmuk University (Yordania), The
University of Karachi (Pakistan), Sultan Zainul Abidin Religious College
(Malaysia), dan lain-lain. Al-Faruqi juga seorang ketua The International
Scholar Committee yang bertugas menasehati pemerintah federal Malaysia.142
3. Karya-karya Ismail Raji al-Faruqi
Selain sebagai seorang pengajar, al-Faruqi adalah seorang pemikir,
cendikiawan dan filosof. Aktivitas ilmiahnya yang tinggi telah melahirkan
141M. Shafiq, op.cit., hlm. 49-61 142Ibid, hlm. 61.
43
sejumlah karya tulis. Menurut catatan Muhammad Shafiq, ada sekitar 129
karya tulis al-Faruqi yang terbagi atas 22 dalam bentuk buku, 3 karya persnya
serta 104 karya artikelnya.143 Beberapa diantaranya telah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia dan masih banyak lagi yang belum.
Karya-karyanya diantaranya On Arabism Urubah and Religion
diterbitkan di Amsterdam tahun 1962, Christian Ethics diterbitkan di
Amsterdam 1968, Historical Atlas of the Religion of the World diterbitkan di
New York 1975, Trialogue of the Abrahamic Faiths diterbitkan di Virginia
1982, Tawhid its Implications for Thought and Life diterbitkan di Kuala
Lumpur 1982, dan The Cultural Atlas of Islam diterbitkan di New York 1986.
Dari latar belakang biografi tersebut nampak figur al-Faruqi yang
tangguh karena terbentuk oleh latar belakang kehidupan yang menyertainya.
Bermula dari pendidikan dasarnya yang diperolehnya dari seorang ayah yang
mumpuni dalam masalah keislaman dilanjutkan pendidikan formalnya di
biara semakin mengasah nilai keislamannya yang inklusif. Meski pernah
merasa tersakiti oleh kaum Yahudi yang menggulirkan Zionisme, namun hal
itu justru mendorongnya untuk mempelajari Christianity and Judaism.
Di samping itu, kehidupannya di Amerika Serikat semakin
mendorongnya untuk senantiasa memegang erat norma dasar agama Islam
(tauhid). Ditambah pergulatannya dengan komunitas yang kompleks
(mahasiswa muslim imigran dari berbagai belahan dunia dengan karakter dan
budaya masing-masing) membuatnya merasa perlu mengajak mereka agar
bersungguh-sungguh dalam belajar di dunia akademis sekaligus memegang
erat norma dasar Islam (tauhid).
B. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid
Gagasan tauhid ini muncul atas kegelisahannya terhadap kondisi umat
Islam yang masih tergantung pada Barat baik dalam hal produksi maupun
pertahanan diri dari intervensi pihak luar serta ketidakkompakan negara Islam.144
143Daftar judul buku lengkap lihat Muhammad Shafiq, op.cit., hlm. 209-222. 144Lihat kata pengantar dalam Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung:
Pustaka, 1988), Cet. 1, hlm. vii.
44
1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Pokok Tauhid
Prihatin atas fenomena tersebut, al-Faruqi mengajak umat Islam untuk
kembali kepada asas Islam (tauhid). Secara tradisional dan dalam ungkapan
yang sederhana, tauhid menurutnya adalah:
The conviction and witnessing that there is no God but God.145 The name of God, Allah which simply means The God, occupies the central position in every muslim place, every muslim action and every muslim thought.146
Keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Nama Tuhan adalah Allah dan menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim.
Maka tauhid menurut al-Faruqi bukanlah tauhid pasif yang hanya
sekedar pernyataan atas satu Tuhan akan tetapi tauhid menurutnya adalah
tauhid aktif yang senantiasa melandasi setiap aktivitas muslim. Jadi tauhid
berarti dzikrullah (senantiasa ingat kepada Allah). Dengan menyatakan dan
mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah maka seorang muslim
meniadakan, menolak tuhan-tuhan lain dan hanya mengakui bahwa Allah
adalah Tuhan yang paling hak. Maka seluruh manusia adalah sama yakni
sama-sama makhluk Allah. Jadi tidak ada superioritas satu orang atas orang
lain. Maka nampak bahwa tauhid berarti pula deklarasi persamaan manusia.
2. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Filosofis Tauhid
Secara detail al-Faruqi mengungkapkan tiga makna yang terkandung
dalam tauhid. Pertama, manusia sebagai makhluk hanyalah materi (ciptaan)
yang mesti menghamba kepada Sang Pencipta, mengikuti segala kehendak
dan perintah-Nya sesuai rumusan tujuan penciptaan (penghambaan)147
melalui tindakan moral (tindakan moral yang dimaksud adalah
kemerdekaan)148; yakni kemerdekaan yang memungkinkan untuk bisa
dipenuhi sekaligus di langgar.149 Artinya kemerdekaan ini menyangkut pula
145Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid its Implications for Thought and Life, (Kula Lumpur: IIIT,
1982), hlm. 11. 146Ibid, hlm. 32. 147Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 17. 148Ibid, hlm. 5. 149Ibid, hlm. 11.
45
kemerdekaan berkehendak (free will) sekaligus kemerdekaan memilih (free
choice).150 Jadi tindakan moral ini bersifat bebas, sadar dan sukarela.151
Kedua, pemenuhan kehendak Ilahi tersebut ditujukan untuk meraih
kebahagiaan bukan keselamatan sebab Allah telah menjanjikan balasan baik
di dunia maupun di akhirat kelak. Adapun upaya pemenuhan tersebut harus
dilakukan sendiri oleh pribadi (diri sendiri, bukan diwakilkan orang lain)
dalam mengarungi lika-liku hidup dengan segala konsekuensi dan resikonya.
Karena setiap balasan akan diberikan langsung dari Allah kepada individu
tanpa perantara (juru selamat).
Ketiga, Allah adalah satu-satunya Tuhan seluruh alam. Titah-Nya
bersifat universal, maka manusia harus tunduk pada perintah-Nya.
Ketundukan ini sebagai suatu pemenuhan kewajiban dari makhluk kepada
Khalik.152
3. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Tauhid Sebagai
Prinsip Islam
Dari penjabaran atas makna tauhid tersebut al-Faruqi meyakini bahwa
tauhid adalah esensi Islam yang mesti melandasi setiap gerak aktivitas umat
agar tercipta suatu tatanan peradaban Islam. Sebuah peradaban yang dimulai
dari diri sendiri, keluarga, sampai ummah.
Pembentukan peradaban ini harus dimulai dari diri sendiri melalui
pengakuan atas eksistensi diri (dengan menyadari bahwa ia mengemban
beban moral) sehingga mampu melestarikan dan mengembangkan
kepribadiannya untuk tunduk pada kehendak Tuhan153 (yang terwujud dalam
hukum alam).154 Selanjutnya sifat pribadi tersebut dikembangkan dalam
lembaga keluarga sehingga akhirnya terwujud suatu ummah yang satu.
Ummah yang al-Faruqi maksud tidak hanya sekedar sekumpulan
orang-orang sebangsa, sebahasa ataupun sesama ras dan suku, akan tetapi
150Ibid, hlm. 14. 151Ibid, hlm. 11. 152Ibid, hlm. 31. 153Ibid, hlm. 138. 154Ibid, hlm. 5.
46
ummah menurutnya adalah ummah universal yang terbangun atas dasar
agama, ideologi dan merupakan suatu masyarakat universal yang
keanggotaannya mencakup ragam etnisitas sehingga terbentuk komunitas luas
yakni komunitas berdasarkan komitmen atas Islam.155
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tauhid sebagai inti ajaran
Islam tidak sekedar dimaknai sebagai pernyataan dan pengakuan atas satu
Tuhan dan berhenti sampai di situ saja. Akan tetapi dari inti tauhid tersebut,
al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan) tauhid ke dalam
seluruh aspek kehidupan (pribadi dan sosial) agar kehidupan dapat berjalan
sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan kepada Allah semata.
Sebuah penghambaan yang diwujudkan oleh manusia dengan
kemerdekaannya mengolah, menata dan memanfaatkan alam (kehidupan) ini
demi Ridha Ilahi.
C. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai Prinsip
Keluarga
1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Tauhid sebagai
prinsip keluarga
Secara umum, konsep tauhid sebagai prinsip keluarga menurut al-
Faruqi adalah keluarga merupakan media untuk memenuhi tujuan Ilahi
(penghambaan).156 Dan pemenuhan tujuan ini mensyaratkan agar manusia
menikah, melahirkan keturunan dan juga hidup bersama.157
2. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pembentukan Keluarga
Menikah adalah wajib. Dengan menikah, maka pemenuhan kebutuhan
sex terwadahi. Namun, menikah yang hanya dilandasi sex semata adalah
tidak sempurna. Islam sangat menghargai kebutuhan umatnya dengan
menyediakan keluarga.
Keluarga (Islam) menurut al-Faruqi adalah mereka yang terikat oleh
ikatan darah yang hidup bersama yang suasananya diliputi dengan rasa cinta,
155Ibid, hlm. 107. 156Ibid, hlm. 139. 157Ibid, hlm. 138.
47
percaya dan peduli,158 yang terbentuk melalui suatu ikatan pernikahan antara
pria dan wanita menurut persetujuan dan tanggung jawab masing-masing
(mempelai) sesuai dengan konstitusi.159 Persetujuan atau kesepakatan tersebut
bisa berupa kesepakatan sepihak (perjodohan) ataupun kedua belah pihak.
Apabila dengan perjodohan tersebut tidak diperoleh kesepakatan bersama
maka pernikahan dapat dibatalkan; sebab kesepakatan (bersama) adalah
sebuah prasyarat penting pembentukan keluarga.160
Kesepakatan tersebut harus dinyatakan dalam akad disamping
pernyataan (ketentuan) tentang mahar yang dibayarkan (berupa perhiasan dan
atau uang kontan untuk membeli pakaian pengantin wanita atau perabot
rumah) dan juga mahar yang ditunda (berupa uang kontan atau apapun yang
dapat dibayarkan oleh pihak pria ketika bercerai); hal ini sebagai pencegah
dan penjamin keputusan seenaknya pria yang mengakhiri perkawinan.161
Dari pernyataannya tersebut nampak bahwa al-Faruqi menjunjung
tinggi nilai suci sebuah keluarga. Keluarga yang merupakan perkumpulan
antara pria dan wanita mesti dilandasi dengan nilai tauhid (dzikrullah dan
persamaan manusia) karena keluarga tidak hanya sekedar perkumpulan
namun juga kehidupan antara pria dan wanita yang berbeda (sifat) nan rawan
terjadi ketidakcocokan serta perbedaan lain yang dapat memicu perpisahan;
sehingga dengan landasan tauhid tersebut diharapkan terjadi harmonisasi
hubungan.
3. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Keluarga besar
(Extended Family)
Keluarga (Islam) menurut al-Faruqi tidak seperti keluarga-keluarga di
negara komunis yang merampas ikatan batin sebuah keluarga karena
pengambilalihan anak dari pemerintah yang memperlakukan mereka sebagai
anak negara. Keluarga (Islam) bukan pula seperti keluarga-keluarga di negara
158Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan,
(Bandung: Mizan, 1998), Cet. 1, hlm. 163. 159Ibid, hlm. 373. 160Ibid, hlm. 184. 161Ibid.
48
Barat yang anak-anaknya terabaikan oleh orang tuanya karena budaya
workaholic (gila kerja).
Keluarga (Islam) adalah keluarga patriarkal (pimpinan keluarga ada di
tangan pria) bukan keluarga matriarkal (pimpinan keluarga ada di tangan
wanita) ataupun poliandri (seorang istri bersuamikan banyak).162
a. Arti Keluarga besar
Bentuk keluarga (Islam) adalah keluarga besar (extended family)
yang keanggotaannya mencakup tiga generasi yang meliputi ayah, ibu,
kakek, nenek, paman, bibi, cucu, serta anak-anak keturunan mereka,163
yang hidup dalam satu kompleks tempat tinggal dengan satu dapur dan
balai keluarga tempat bercengkerama sekaligus sebagai ruang tamu164;
yang berkembang menurut hukum tanggungan dan warisan.
Hukum tanggungan memandang semua wanita dalam keluarga
menjadi tanggungan kaum pria tanpa memandang status keuangan
mereka sedangkan hukum warisan memandang semua anggota keluarga
sebagai ahli waris yang beragam derajatnya; yaitu seorang pria mendapat
dua kali bagian dari wanita (2:1). Dalam hal ini, wanita adalah pihak yang
diuntungkan sebab satu bagian yang ia peroleh dapat disimpannya karena
ia telah menjadi tanggungan kaum pria; sedangkan dua bagian milik pria
mesti dibagi pada kaum wanita demi memenuhi tanggungannya
tersebut165
Selain itu, pria juga harus mencukupi seluruh kebutuhan ekonomi
para anggota keluarga karena semua kerabat (betapapun jauhnya
hubungan kekerabatannya) asal mereka dalam keadaan kekurangan dan
tidak didapati pria dewasa yang mencari nafkah menjadi tanggungan
kaum pria. Adapun kerabat yang menjadi prioritas adalah kakek, nenek,
162Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op. cit., hlm. 137. 163Ibid, hlm. 142. 164Ibid, hlm. 144. 165Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit.
49
paman, dan anak-anak mereka (di samping kaum wanita). Dan lebih
diutamakan kerabat yang berasal dari garis keturunan pria (patriarkal).166
b. Nilai Plus Keluarga besar
Keluarga besar dapat memberikan untuk setiap anggota keluarga
nya kemampuan mengatasi kesulitan hidup. Melalui keluarga besar ini
pula individualisme, egoisme dan kesendirian akan terhapus;167bahkan
mempermudah sosialisasi dan akulturasi sebagaimana pernyataanya:
The large membership prevented any gap from forming between the generations and facilitated the process of socialization of the members… in any household, a wild variety of talents and temperaments so that the members might complement one another and it disciplined them to adjust to one another’s needs.168
Banyaknya anggota keluarga mencegah terjadinya jurang antar generasi dan mempermudah proses sosialisasi serta akulturasi anggota keluarga… dalam rumah tangga terdapat beragam bakat dan temperamen, sehingga anggota keluarga dapat saling melengkapi dan mendisiplinkan mereka untuk saling memenuhi kebutuhan.
Keluarga besar tidak hanya menjadikan karir di dalam dan di luar
rumah tangga mungkin dilaksanakan, tetapi juga menjadikan segenap
anggota masyarakat lebih sehat dan sejahtera.
Karena dalam keluarga besar, akan selalu ada orang yang akan
memberikan perhatian kepada rumah tangga sehingga apabila sang ibu
melanjutkan karir maupun pendidikannya tidak akan merasa terbebani
dengan pengelolaan rumah tangga sebab telah ada orang di rumah.169
Bahkan akan selalu ada beberapa orang yang dapat dipilih oleh
anak untuk bermain, bercanda, berdiskusi, merenung dan berharap
bahkan mengatasi kesulitan hidup.170 Kebersamaan seperti ini penting
bagi kesehatan jiwa seseorang dan kesejahteraan masyarakat.
166Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 143. 167Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 168Ismail Raji al-Faruqi and Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York:
Macmillan, 1986), hlm. 128. 169Ismail Raji al-Faruqi, Islam Sebuah Pengantar, terj. Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka,
1992), hlm. 61. 170Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 144.
50
Selanjutnya al-Faruqi menambahkan bahwa pada dasarnya
manusia membutuhkan kasih sayang, bimbingan dan keprihatinan
menolong orang lain sebanyak mereka membutuhkan makanan dan
udara.171
Karena keluarga besar memungkinkan terjadinya pemenuhan
kebutuhan pada masing-masing anggota keluarga-nya. Sebagaimana
pernyataannya:
Unlike any other social system, the law of Islam articulated the relations of all members of the extended family in order to insure proper functioning of all of them.172 Tak seperti sistem sosial lainnya Islam membicarakan pula hubungan para anggota keluarga besar untuk memastikan pemenuhan fungsi diantara mereka. Jadi keluarga besar memungkinkan terciptanya pemenuhan fungsi
seseorang atas orang lain dalam keluarga itu. Artinya jika seorang anak
memerlukan figur ibu akan tetapi karena ketiadaannya di rumah oleh
karena tuntutan karir, maka anak akan bisa mendapatkan figur ibu dari
nenek atau bibinya misalnya.
4. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tugas Pendidikan
dalam Keluarga
a. Misi Sosial
Keluarga menurut al-Faruqi mengemban misi sosial yaitu sebagai
media sosialisasi anak.173 Keluarga bertugas mempersiapkan warga
negara yang baik yakni generasi yang menjunjung tinggi sistem sosial,
budaya, politik, dan ekonomi serta ikut serta menyejahterakan masyarakat
dan membela umat bila diperlukan.174
Dan melalui keluarga besar-lah misi itu dapat terwujud sebab
keluarga besar memungkinkan terciptanya pendidikan dasar melalui
kompleksitas interaksi (misalnya interaksi antara anak dengan ayah-
171Ibid,hlm. 62. 172Ismail Raji al-Faruqi, Ismail Raji al-Faruqi, Trialogue of the Abrahamic Faiths, (Beltsville:
Amana Publication, 1995), Cet. 4, hlm. 49. 173Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, op.cit., hlm. 183. 174Ibid, hlm. 185.
51
ibunya, anak dengan saudaranya, anak dengan kakek-neneknya dan
sebagainya) di dalamnya dimana hal ini akan mendidik anak nilai-nilai
kemasyarakatan walau dari level yang sangat kecil; karena keluarga
adalah masyarakat dalam bentuk mini.
b. Arti Pendidikan
Maka sekali lagi nampak bahwa al-Faruqi menegaskan bahwa
keluarga mengemban tugas pendidikan. Pendidikan itu sendiri oleh al-
Faruqi dimaknai sebagai:
Commanding of the good and forbidding of evil is education in highest sense. Virtue and righteousness are the ultimate end of all education in Islam.175
Memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk adalah pendidikan dalam pengertiannya yang paling tinggi. Kebajikan dan ketakwaan merupakan tujuan akhir semua pendidikan dalam Islam.
Selanjutnya pendidikan tersebut diwujudkan dalam wujud nyata
sebagaimana pernyataannya:
To assist the whole of mankind to perceive and having perceived, to actualize the values constitutive of the divine will. This is education in its noblest and greatest sense.176
Membantu seluruh umat manusia untuk memahami, dan setelah memahami mengaktualisasikan nilai-nilai yang merupakan pilar-pilar kehendak Ilahi. Inilah makna pendidikan yang paling tinggi.
c. Pendidikan Awal
Orang tua menurut al-Faruqi wajib memberikan pendidikan dasar
sejak anak menghirup udara pertama kalinya. Pendidikan itu berupa
pembacaan syahadat ke telinga anak yang baru lahir, nama (Islam) yang
bagus, rukun Islam, cara membaca al-Quran, serta khitan.177 Tegasnya
orang tua harus mendidik anaknya tentang ritual Islam serta hukum dan
etika Islam dan tentang menjadi bagian dari umat.178
175Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid its Implications for Thought and Life, op.cit., hlm. 202 176Ibid, hlm. 120. 177Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 178Ibid.
52
d. Pemberian Suasana
Interaksi-edukatif ini terwujud dalam bentuk mencintai,
mendukung, menghibur, menuntun, mendidik, menolong dan
menemani179 Interaksi (suasana edukatif) tersebut oleh al-Faruqi
ditujukan sebagai upaya akulturasi ke dalam Islam dan sosialisasi ke
dalam umat yang dimulai dengan nasehat dan pemberian contoh yang
baik serta sikap yang tegas dalam menghadapi anak yang berbuat
kesalahan.180
Interaksi itu penting untuk membentuk watak anak. Sebagaimana
pernyataannya:
Certainly family-living engenders in humans other characteristics which are acquired through association….Members born to one family may successfully be brought up as members of another but the innate characteristics remain unchanged.181
Memang kehidupan keluarga menyebabkan pada diri manusia karakter atau watak yang diperolehnya melalui pergaulan…. Seseorang yang terlahir dalam sebuah keluarga bisa jadi berhasil dididik menjadi orang lain tetapi tetap karakter bawaannya tak akan dapat diubah.
5. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tabyin
a. Arti Tabyin serta Materinya
Tugas pendidikan itu, oleh al-Faruqi; disebut dengan tabyin; yaitu
pendidikan mengenai akulturasi dan kebenaran Ilahi.182 Adapun upaya
tabyin dapat dilakukan melalui pengajaran atas ritus dan hukum Islam,
nilai-nilai dan etika Islam serta menjadikan nilai Islam tersebut sebagai
petunjuk hidup bahkan gaya hidup demi kesetiaan pada Allah dan
umat.183
Tabyin menurut al-Faruqi adalah kewajiban bagi setiap manusia
terlebih lagi bagi orang tua dan generasi muda. Gerakan tabyin ini
179Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 139. 180Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 181Ismail Raji al-Faruqi, Trialogue of the Abrahamic Faiths, loc.cit. 182Ismail Raji al-Faruqi, Hakikat Hijrah, terj. Badril Saleh, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. 3,
hlm. 59. 183Ibid, hlm. 60.
53
merupakan gerakan untuk membentuk generasi-generasi Islam; yakni
generasi yang tetap dengan kondisi jiwa kepemudaannya namun tetap
dalam jalur Islam. Adapun program-programnya mesti disusun secara
seksama untuk mempercerah dan mengembangkan rasa keislaman serta
menumbuhkan generasi muda sebagai manusia yang mantap.184
Adapun materinya dapat dimulai dengan sejarah budaya masa
lalu, negara dan lingkungan (Islami) berikut permasalahan dan
prospeknya. Program ini mesti dirancang untuk membebaskan kaum
muslim dari kesibukan kehidupan keseharian dan mengisinya dengan
semangat meraih cita-cita mulia untuk menyingkirkan budaya
kekerasan.185
b. Metode Tabyin
Program tabyin ini ditujukan untuk mendidik pikiran dan hati.
Pendidikan pikiran dilakukan melalui penjelasan tentang nilai-nilai Islam
dalam bentuk diskusi. Materi-materi seputar superioritas Islam menjadi
kajian utamanya. Melalui diskusi tersebut al-Faruqi menghendaki agar
nilai-nilai Islam dapat terealisir dalam kehidupan.186
Sedangkan pendidikan hati dilakukan melalui keteladanan bukan
dengan konsep (teori). Hati menurut al-Faruqi bersifat emosional maka
hati perlu dididik dengan lembut melalui penciptaan suasana ketundukan
(tawadhu’) sehingga perlahan akan meresap dalam hati dan memacu
imajinasi anak untuk mencipta suatu pola laku yang Ilahiah
(mengabdi).187
Untuk itu diperlukan pemimpin (imam) yang tangguh dalam
mewujudkan program tabyin tersebut. Imam dalam hal ini terbentuk
dalam sebuah keluarga besar yang melakukan pendidikan internal
keluarganya sekaligus melakukan komunikasi-interaktif dengan keluarga
lainnya.
184Ibid, hlm. 61 185Ibid, hlm. 62. 186Ibid, hlm. 63. 187Ibid, hlm. 65.
54
Upaya komunikasi-interaktif ini dapat diwujudkan melalui
kunjungan atau melalui pertemuan setiap seminggu sekali untuk
berdiskusi tentang sejarah dan adab, literatur ushul fiqh, serta hadits-
hadits pilihan. Keberhasilan pertemuan ini mensyaratkan adanya apresiasi
imam yang lebih tinggi (ilmunya) atas imam yang lain, profesionalitas
serta penghormatan atas yang lain.188
Selanjutnya agar program tabyin tersebut dapat berhasil maka
perlu diwujudkan dalam bentuk al-arkan untuk mengorganisir pertemuan
antar keluarga tersebut dan mengokohkan pemahaman atas nilai-nilai
Islam sehingga terwujud kehidupan yang etis berdasarkan hukum
Islam.189
6. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Ibu Rumah Tangga
Seorang istri menurut al-Faruqi diperbolehkan berkarir di luar rumah
dengan catatan agar tetap menjaga citra diri (menutup aurat) karena pada
dasarnya Islam tidak mengungkung kaum wanita di balik cadar dan dinding
rumah tinggalnya.190
Wanita yang memiliki kecenderungan, bakat dan kecerdasan dapat
bekerja di luar rumah tanpa mengancam jiwa anak-anak ataupun
keharmonisan dan keindahan rumah tangga.191
Bahwa setiap wanita seperti juga pria harus melaksanakan tugas
mengabdi kepada Allah dan memberi manfaat kepada ummah sesuai dengan
bakat dan kemampuannya. Tugas ini bertambah wajib dikarenakan
kemerosotan dan kemandegan ummah. Fenomena ini kemudian dicontohkan
oleh al-Faruqi dengan timpangnya persentase orang-orang buta huruf
dibanding yang melek huruf.192
Keadaan ini menuntut setiap wanita muslim untuk berkarir paling
tidak dalam sebagian dari masa hidupnya. Hal ini dapat dilakukan apabila ia
masih dalam masa studinya atau selama ia bertugas sebagai ibu rumah tangga
188Ibid, hlm. 68. 189Ibid, hlm. 69. 190Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 141. 191Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, op.cit., hlm. 184. 192Ibid, hlm. 159.
55
jika ia hidup dalam keluarga besar (karena akan selalu ada orang yang dengan
senang hati mengerjakan pekerjaan rumah tangga bahkan mengawasi dan
menjagakan anak-anak selagi mereka sibuk di luar rumah).193atau setelah
masa keibuannya.194
Masa setelah keibuannya ini maksudnya saat anak-anaknya sudah
dewasa (sekitar umur 20-30 tahun) sehingga tugas pengasuhan sudah
berkurang atau bahkan telah terpenuhi atau tuntas sehingga pada masa ini
seorang ibu lebih banyak memiliki waktu luang yang dapat dipergunakannya
untuk berkarir.195
Selanjutnya al-Faruqi menyebut ibu rumah tangga sebagai wanita
karir sejati. Tugas dalam rumah tangga adalah sebuah pekerjaan yang
menuntut ilmu pendidikan yang sama atau bahkan lebih tinggi dari karir
apapun di luar rumah. Pekerjaan ini bukan hanya sekedar memasak dan
mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja, namun karir ini menyangkut tugas
perawatan manusia tua dan muda, kecerdasan seni, kreatifitas, ketrampilan
dan pengalaman.196
Kompleks, memang pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid
sebagai prinsip keluarga. Mulai dari perjodohan, menikah, akad nikah,
warisan dan tanggungan, perceraian, sampai kepada kedudukan istri; seorang
ibu rumah tangga (yang oleh al-Faruqi sebut sebagai wanita karir sejati)
sebagai mitra sejajar suami dalam mendidik anak, maupun suami sebagai
pemegang tanggung jawab (finansial) tertinggi dalam keluarga. Serta gagasan
umumnya mengenai keluarga besar dan keluarga patriarkal dan juga tugas-
tugas pendidikan bagi anak yang diemban keluarga (orang tua).
Keseluruh gagasan tersebut semata-mata adalah penerjemahan atas
tauhid. Keluarga sebagai media pemenuhan tujuan pola Ilahi (pengabdian)
mensyaratkan tauhid sebagai dasar aktivitas dalam keluarga. Suasana
pendidikan (seperti mencintai, mendukung dan sebagainya) serta pendidikan
awal (seperti kumandang azan, nama Islami dan sebagainya) merupakan
193Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 143. 194Ibid, hlm. 145. 195Ibid. 196Ibid.
56
penjabaran awal makna pendidikan yang al-Faruqi ajukan. Sebuah tugas
pendidikan yang tidak hanya diemban oleh orang tua saja namun juga
anggota keluarga yang lain (yang merupakan bagian dari keluarga besar). Hal
ini sebagai konsekuensi (kewajiban) atas hak pemenuhan kebutuhan mereka
(hukum tanggungan dan warisan).
57
BAB IV
IMPLEMENTASI PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI
TENTANG TAUHID SEBAGAI PRINSIP KELUARGA
DALAM PENDIDIKAN AKHLAK
A. Kaitan Antara Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai
Prinsip Keluarga dengan Pendidikan Akhlak
Tauhid merupakan inti ajaran Islam yang menjadi prinsip hidup. Ini
berarti tauhid merupakan prinsip utama dalam seluruh dimensi kehidupan
manusia baik dalam aspek hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan
maupun hubungan horisontal antara manusia dengan manusia. Tauhid yang
seperti inilah yang dapat menyusun pergaulan manusia secara harmonis dengan
sesamanya dalam rangka menyelamatkan manusia dari perbudakan atas
ketundukan manusia terhadap makhluk serta untuk mencapai kehidupan yang
sejahtera dan bahagia dunia-akhirat. Baik pergaulan dalam masyarakat maupun
keluarga.
Sebab tauhid mengandung dua dimensi sekaligus yakni normativitas
akidah dan praktis sosial. Tauhid bukan hanya sekedar kepercayaan keagamaan
atau urusan seseorang dengan Tuhan sebagai sumber akhir dari pembebasan dan
perlindungan di dunia dan akhirat tetapi juga prinsip persamaan sosial seluruh
umat sebagai satu masyarakat yakni makhluk Allah.197
Bahkan lebih dari itu, tauhid merupakan sumber kehidupan jiwa dan
pendidikan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid memberi pendidikan pada jiwa
manusia untuk ikhlas. Dengan tauhid manusia yakin bahwa ia senantiasa diawasi
oleh Allah. Dan keikhlasan itu sendiri adalah tujuan hidup untuk mencapai ridha
Ilahi (pengabdian). Maka pada akhirnya pendidikan ini dapat membebaskan
manusia dari belenggu perbudakan oleh sesama, nafsu, harta dan kedudukan
sehingga akan tertutup oleh penghambaan semata.198
Makna inilah yang diungkapkan oleh al-Faruqi dalam menerjemahkan isi
tauhid. Tauhid sebagai pandangan hidup perlu diterjemahkan ke dalam
197Hakeem Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, terj. Ruslan Shiddieq, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. 1, hlm. 40.
198Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1984), Cet. 7, hlm. 42.
58
kehidupan agar hidup menjadi lebih bermakna. Esensi tauhid oleh al-Faruqi
diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip utama dalam setiap aspek kehidupan
seperti aspek ekonomi, etika, sejarah, keluarga dan sebagainya. Upaya
perealisasian tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata melalui media. Dan
keluarga adalah salah satu media untuk mensosialisasikan kandungan tauhid.
Pemahaman al-Faruqi atas tauhid ini lebih diarahkan kepada aspek fungsi
sosiologis. Artinya makna tauhid dijadikan prinsip spiritual bagi usaha manusia
membangun peradaban baru yang agung dan kemanusiaan yang mulia.199
1. Kaitan Antara Tauhid dan Keluarga
Keluarga menurut al-Faruqi merupakan media penerjemahan tauhid
artinya aktivitas dalam keluarga mesti dilandasi nilai-nilai tauhid (dzikrullah
dan persamaan). Bahwa keluarga adalah media untuk mensosialisasikan
kandungan tauhid. Atau dalam bahasa lain, Ramayulis sebut dengan tauhid
sebagai energi akhlak keluarga. Artinya tauhid sebagai pokok daya kerja yang
utama bagi manusia untuk berbuat segala kebaikan bagi dirinya, keluarga,
masyarakat dan negaranya. Islam mengajarkan bahwa akhlak tidak
didasarkan pada perasaan ataupun insting batin tetapi pada tauhid.200
Maka jelas apabila nilai-nilai tersebut (akhlak-tauhid) mesti menjadi
landasan dalam keluarga sebab keluarga mengemban tugas sebagai peletak
dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan .201 Keluarga
juga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti
kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tinggi.202
Jadi tauhid sebagai landasan dalam kehidupan keluarga untuk
mempersiapkan anak sebagai hamba yang mengabdi melalui pendidikan
akhlak. Sebuah pendidikan yang mengarahkan potensi anak untuk berbuat
199A. Tafsir, et. al. Moralitas al-Quran dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media,
2001), cet. 1, hlm. 184. 200Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta; Kalam Mulia, 2001), Cet. 4,
hlm. 10. 201Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
Cet. 1, hlm. 38. 202Ibid, hlm. 39.
59
baik dan senantiasa mengingat Allah dalam setiap langkahnya. Bahwa setiap
perbuatan diniati atas nama Allah sekaligus untuk mencapai keridhaan-Nya.
2. Kaitan Antara Tauhid dan Akhlak dalam Keluarga
Bentuk real tauhid adalah akhlak atau dalam bahasanya Burhanudin
Salam akhlak merupakan kristalisasi dari Tauhid; sedangkan akhlak
merupakan suatu pola hubungan yang mengandung relasi hak-kewajiban. 203
Burhanuddin Salam menyatakan bahwa prinsip-prinsip akhlak
merupakan prasyarat pembinaan keluarga sejahtera; akhlak ini diwujudkan
melalui pelaksanaan kewajiban-kewajiban moral dalam setiap relasi yang
tengah terjadi. Relasi ini meliputi relasi hak dan kewajiban antara suami
terhadap istri, orang tua terhadap anak dan sebaliknya.204
Dari uraian di atas nampak bahwa pemikiran al-Faruqi tentang tauhid
sebagai prinsip keluarga berkaitan dengan pendidikan akhlak. Keluarga
sebagai media edukasi-religi dengan akhlak sebagai materi utamanya
memerlukan tauhid sebagai landasannya. Dan landasan ini dapat berpijak
pada pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga.
B. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai
Prinsip Keluarga dalam Pendidikan Akhlak
1. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pembentukan
Keluarga
Mengawali gagasan tauhidnya sebagai prinsip keluarga, al-Faruqi
mengkategorikan pernikahan sebagai suatu hal yang wajib terlebih di dunia
yang kini cenderung bebas dalam pemenuhan kebutuhan sex (budaya sex
bebas). Menikah sebagai anjuran Islam dalam menanggapi kebutuhan
biologis umatnya.
Dari sini dapat diketahui bahwa kewajiban menikah merupakan suatu
bentuk pengakuan tauhid atas akhlak manusia terhadap diri sendiri yakni
akhlak yang mencakup penjagaan kesucian diri dan mengumbar nafsu.
203Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. 1, hlm. 196. 204Ibid, hlm. 192.
60
Melanjutkan gagasan mengenai anjuran menikah tersebut, al-Faruqi
menganjurkan perjodohan sebagai langkah awal pernikahan; meski
selanjutnya al-Faruqi mensyaratkan kesepakatan bersama sebagai syarat
mutlak pernikahan.
Perjodohan ini merupakan suatu bentuk awal pendidikan bagi
individu baru (anak). Dalam perjodohan biasanya dilakukan seleksi atas
seseorang untuk dijadikan sebagai pasangan hidup. Hal ini dimaksudkan
sebagai langkah awal pemilihan bibit, bebet, dan bobot sehingga diharapkan
benih dan buah yang baik pula.
Mahmud menyatakan bahwa, pemilihan pasangan yang didasarkan
pada agama dan akhlak yang baik; merupakan langkah awal dalam
mempersiapkan diri untuk pengasuhan anak agar masa depan nya menjadi
baik dan shaleh.205
Dengan demikian nampak bahwa al-Faruqi menganjurkan perjodohan
semata-mata hanya untuk menjaga kemurnian dan kesucian untuk
mendapatkan anak yang baik sesuai keturunan awalnya sehingga anak akan
benar-benar mendapatkan pendidikan dari orang yang terbaik sebab
permulaan yang baik diharapkan berbuah baik pula.
Selanjutnya al-Faruqi mensyaratkan kesepakatan sebagai syarat
mutlak pernikahan. Kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa pria dan
wanita sederajat. Sebuah kesepakatan menunjukkan bahwa setiap manusia
mengemban tanggung jawab masing-masing. Dengan menyatakan
kesepakatan tersebut, berarti ketika seorang memutuskan untuk menikah
maka secara otomatis akan teremban di pundaknya sebuah beban dan
tanggung jawab untuk hidup bersama, dan berkomitmen dengan segala
konsekuensinya.
Maka dengan kesepakatan tersebut nampak bahwa al-Faruqi
mengakui (menjaga) akhlak pribadi yang memiliki tanggung jawab
menentukan masa depannya dengan segala konsekuensinya. Konsekuensi
205Mahmud, “Pola Asuh Anak pada Keluarga Islam”, dalam A. Tafsir et. al., Cakrawala
Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), Cet. 1, hlm. 135.
61
untuk memadukan dua perbedaan karakter sekaligus melaksanakan tugas
pengabdian yang kemudian diwujudkan dalam pendidikan dalam keluarga.
Suatu pendidikan awal sebagai bekal anak kelak.
Dengan kesepakatan ini; maka diharapkan akan muncul rasa tentram
dan cinta kasih antara suami istri dalam rumah tangga. Suasana ini
merupakan langkah awal mempersiapkan lingkungan yang baik bagi
pendidikan anak; baik yang dikandung maupun yang sudah lahir. Karena
keluarga berfungsi sebagai lembaga pendidikan awal bagi anak.
Maka bentuk implementasi pembentukan keluarga menurut al-Faruqi
dalam pendidikan akhlak adalah gagasan pembentukan keluarga tersebut
diposisikan sebagai dasar dibentuknya sebuah keluarga. Artinya gagasan al-
Faruqi tersebut dipegang sebagai dasar membentuk sebuah sebuah keluarga.
2. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pendidikan
Awal
Al-Faruqi menyatakan bahwa pendidikan awal yang wajib diberikan orang
tua kepada anaknya adalah pembacaan syahadat setelah anak lahir, serta
nama (Islam) yang bagus.
Mencermati kandungan pendidikan awal tersebut, maka nampak
bahwa al-Faruqi memperhatikan betul nilai awal yang mesti masuk dalam
jiwa anak. Adzan oleh al-Faruqi dikategorikan sebagai kewajiban orang tua
bagi anaknya. Inilah sebuah perwujudan akhlak orang tua terhadap anak.
Dengan memperdengarkan suara adzan dan iqomat sebagai suara
yang paling awal diperdengarkan, maka diharapkan kandungan lafadz-lafadz
itulah yang akan mempengaruhi perkembangannya.
Hal ini sejalan dengan teori responsifnya Freud yang dikembangkan
oleh Lee Salk dan Rita Kramer yang menjelaskan bahwa setiap suara yang
didengar bayi pada saat awal ia terjun ke dunia akan sangat mempengaruhi
sikap jiwa, pertumbuhan intelektual dan tingkah lakunya. Demikian Mahmud
mengutip teorinya Freud.206
206Mahmud, op.cit., hlm. 145.
62
Maka nilai pendidikan dari pengucapan kalimat syahadat merupakan
materi sekaligus metode pendidikan akhlak terhadap Khalik dan Rasul atas
diri anak, sehingga diharapkan kalimat tersebut meresap dalam kalbu dan
akan mewarnai kehidupannya kelak. Bahwa setiap manusia mempunyai
Tuhan Sang Maha Tahu yang akan hadir dan mengawasi setiap gerak
manusia. Disamping itu, seorang muslim memiliki Rasul sosok teladan untuk
setiap aktivitas kesehariannya. Maka hal ini merupakan sebuah materi
pendidikan akhlak yang diberikan secara langsung dan bersifat dogmatis.
Adapun materi pendidikan ini lebih layak diberikan pada anak pada masa
vital (usia 0-2 tahun). Hal ini sebagai dasar penanaman pada anak tentang
Tuhan.
Aspek-aspek pendidikan awal tersebut adalah dasar dari pendidikan
akhlak. Artinya melalui adzan dan nama baik merupakan materi sekaligus
metode pendidikan akhlak dalam keluarga; kesemuanya adalah nilai-nilai
yang berujung kepada Allah dan akan bermuara pada manusia. Maka
pendidikan awal tersebut merupakan nilai pertama yang menjadi materi
utama bagi anak agar meresap dalam jiwanya nilai-nilai pokok Islam
sehingga mewarnai kehidupannya kelak.
Maka bentuk implementasi pendidikan awal menurut al-Faruqi dalam
pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai suatu
kewajiban orang tua terhadap anaknya. Sebuah kewajiban yang mesti
diberikan bagi bayi untuk melaksanakan syiar Islam. Sebuah syiar tentang
tauhid agar anak terdogma dengan ajaran tauhid; sebuah langkah awal
pengenalan terhadap Allah agar anak senantiasa dekat dan patuh pada
perintah-Nya. Inilah sebuah dasar pendidikan akhlak bagi anak. Pendidikan
akhlak terhadap Khalik.
3. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pemberian
Suasana
Suasana yang bernilai edukatif ini diantaranya seperti mencintai,
mendukung, menghibur, menuntun, mendidik, menolong dan menemani.
Suasana seperti mencintai dan menghormati ini pun termasuk nilai
pendidikan. Ibnu Musthafa menyatakan bahwa pelajaran pertama yang
63
diperoleh oleh seorang manusia adalah mencintai, menghormati, mengabdi,
menaruh kesetiaan dan taat beribadah serta melaksanakan nilai-nilai moral.
Kesemuanya itu merupakan bunga-bunga mekar dari sebuah keluarga yang
akan menciptakan keindahan dan keserasian dalam masyarakat dan yang
memungkinkan manusia berjalan seiring dengan manusia lainnya dalam jagat
raya ini. Jika pelajaran semacam itu tidak diperoleh dari sebuah keluarga
muncullah manusia kontradiktif yang saling mencurigai dan menjatuhkan.207
Sebab keluarga menurut Mahmud merupakan kelompok sosial
pertama dalam kehidupan sosial. Di dalam kelompok ini terbentuklah norma-
norma sosial berupa frame of reference dan sense of belonging. Di dalam
keluarga manusia pertama kali belajar memperhatikan keinginan-keinginan
orang lain. Pengalaman berinteraksi dalam keluarga akan menentukan
tingkah laku dalam kehidupan sosial di luar keluarga.208
Untuk itu, dalam upaya mendidik anak, orang tua mesti pandai-pandai
menciptakan lingkungan pergaulan yang mendidik, mulai dari lingkungan
pergaulan di dalam keluarga itu sendiri, teman sepermainan, sekolah sampai
masyarakat; sebab setiap interaksinya akan selalu bernilai edukatif bagi anak.
Adapun pemberian perhatian ini lebih efektif diberikan pada anak mulai masa
estetis (usia 2-7 tahun) karena pada masa ini anak mulai senang bergaul dan
bersosialisasi dengan orang banyak. Hal ini sebagai langkah awal
pembentukan karakter sosial anak (bagaimana berperilaku terhadap orang
lain). Karena pendidikan akhlak bukan sekedar pemberian nasehat teoritis
akan tetapi bersifat praktis langsung dirasakan oleh anak dalam
kesehariannya.
Maka bentuk implementasi pemberian suasana menurut al-Faruqi
dalam pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai
upaya orang tua melaksanakan pendidikan terhadap anaknya. Sebuah
pendidikan yang tidak mesti berupa doktrinasi suatu ajaran akan tetapi lebih
kepada penciptaan suasana edukatif. Karena dengan suasana inilah nilai-nilai
yang tengah diberikan atau bahkan diajarkan lebih mudah diserap oleh anak.
207Ibnu Musthafa, Keluarga Muslim Menyongsong Abad 21, (Bandung: al-Bayan, 1993), Cet.1, hlm. 95.
208Mahmud, hlm. op.cit.,hlm.107.
64
4. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Keluarga Besar
Pemberian suasana ini akan lebih efektif terjadi dalam keluarga besar. Ada
banyak nilai plus yang terkandung dalam keluarga besar. Lois Lamya
menjelaskan beberapa nilai plus tersebut sebagaimana pernyataannya:
The extended family is an institution which can provide tremendous benefits for both women and men. 1. It guards against the selfishness or eccentricity of any one party. 2. It provides for psychological and sosial diversity in
companionship for adults as well as children. 3. It allows for careers for women without detriment to themselves,
spouse, children or elders, since there are always other adults in the home to assist the working wife or mother.
4. It insures the adequate socialization of children. 5. It guards against the development of the generation gap. 6. It eliminates the problems of loneliness which plague the isolated
and anonymous dwellers in the urban centers of many contemporary societies.
7. It provides a more feasible and human sharing of the care of the elderly. 209
Keluarga besar adalah sebuah lembaga yang dapat menyediakan keuntungan besar baik bagi wanita maupun pria.
1. Keluarga besar menjaga dari (mencegah) kesendirian atau keanehan (keterasingan) seseorang dalam kelompok.
2. Keluarga besar menyediakan (menimbulkan) pertemanan (hubungan) bagi anak-anak maupun orang dewasa yang beda secara psikologis dan sosial.
3. Keluarga besar membolehkan (menguntungkan) bagi wanita karir tanpa merasa menderita (gelisah) atas kondisi pasangannya, anak-anaknya sebab akan selalu ada orang di rumah yang akan membantu (mengerjakan) pekerjaan rumah tangga.
4. Keluarga besar memastikan (memungkinkan) sosialisasi yang cukup bagi anak.
5. Keluarga besar mencegah berkembangnya jurang (perbedaan lintas) generasi.
6. Keluarga besar mengeliminir (mengurangi) masalah kesepian yang mengusik penghuni (orang) yang merasa terisolir di pusat kota dalam lingkungan masyarakat kontemporer.
7. Keluarga besar menyediakan lebih banyak kemungkinan berbagai perhatian dan keramahan (kenyamanan) dari orang yang lebih dewasa.
209Lois Lamya al-Faruqi, Women Muslim Society in Islam, (Indianapolis: American Trust
Publication, 1991), Cet. 1, hlm.41-43.
65
Melalui keluarga besar tersebut, anak akan menerima banyak hal yang
akan melekat dalam jiwanya. Keluarga besar mendidik anak nilai akhlaki
yang diperolehnya melalui keteladanan dari saudara dan orang tuanya yang
akan semakin mendidik anak dalam berperilaku.
Ahmad Amin menyatakan bahwa setengah dari yang dapat mendidik
akhlak adalah berkawan dengan orang yang terpilih, karena manusia itu suka
mencontoh orang sekelilingnya termasuk perilaku bahkan pakaian mereka.210
Maka penting bagi anak untuk hidup di lingkungan keluarga besar.
Sebab selama seorang anak tidak mengenal banyak orang, maka sulit baginya
untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Berbagai
pengaruh dan rangsangan luar ini mematangkan anak. Anak tidak akan
merasa cemas bila berada di antara orang banyak.211
Namun demikian menurut Shantut, keiuktsertaan kakek dan nenek
kurang begitu baik bagi perkembangan anak. Menurut Shantut; dalam
mendidik anak, orang tua harus konsisten; dan di antara konsistensi tersebut
adalah ayah tidak melarang hal-hal yang diperbolehkan oleh ibu dan ibu pun
tidak melarang hal-hal yang diperbolehkan oleh ayah. Dan konsistensi
lainnya adalah mereka perlu membatasi para kerabat (khususnya nenek)
untuk ikut campur dalam pendidikan anaknya. Karena sudah menjadi
kebiasaan seorang kakek dan nenek diliputi perasaan emosional. Mereka akan
membela anak berdasarkan emosinya. Hal ini dapat merusak rencana kedua
orang tua dalam pendidikan tersebut. 212
Akan tetapi tidaklah mungkin apabila seorang kakek dan nenek
memperlakukan cucunya dengan perilaku yang negatif yang tidak
mendukung pendidikan akhlak. Sebab dengan pengalaman hidup yang
mereka punyai akan dapat mengantarkan kebijaksanaan bagi anak. Dan
kalaupun begitu, keluarga besar tidak hanya terdiri kakek dan nenek saja
210Ahmad Amin, Etika; Ilmu Akhlak, terj Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. 7,
hlm. 65. 211Save M Dagun, Psikologi Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet. 1, hlm. 191. 212Khatib A. Shantut, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam Keluarga,
terj. Ibnu Burdah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998), Cet. 1, hlm. 93.
66
akan tetapi anggota yang lain seperti paman dan bibi serta sepupu; yang
tentunya jika kakek nenek memberikan pendidikan yang kurang positif akan
ada orang yang mengevaluasi pendidikan yang diberikannya.
Melalui keluarga besar banyak sekali yang dapat dipelajari dari kakek
dan neneknya yang berharga seperti perhatian, rasa berbagi, saling memberi;
yang tidak akan mereka (anak) temukan dalam buku. Terkadang kakek dan
nenek bisa menjadi guru terbaik dibanding orang tuanya. Mereka mempunyai
begitu banyak kebijaksanaan yang diambil dari pengalaman mereka sendiri.
Diusia tuanya, kakek dan nenek mempunyai banyak waktu luang untuk cucu-
cucu mereka.
Keluarga besar menurut al-Faruqi mengandung nilai lebih; selain
sebagai media sosialisasi anak, keluarga besar juga merupakan sebuah
jawaban dari pasangan yang sibuk baik dalam urusan karir maupun
pendidikan. Dengan keluarga besar maka pendidikan anak dapat diserahkan
pada anggota keluarga yang lain yang ada di rumah. Ini berarti tanggung
jawab pendidikan tidak mesti diemban ayah dan ibu saja akan tetapi diemban
pula anggota keluarga yang lainnya dengan catatan demi sebuah alasan yang
dapat diterima.
Ketiadaan orang tua di rumah karena ada halangan memperbolehkan
mereka mengalihkan pendidikan anak pada orang lain. Sebagaimana Nipan
Halim; jika pihak orang tua yang bersangkutan (ayah atau ibu kandungnya)
ada udzur seperti meninggal atau karena udzur lainnya maka pihak pendidik
berpindah tangan kepada pihak yang terdekat.213
Oleh karena itu, penting bagi anak (mulai masa vital; usia 0-2 tahun)
hidup dalam lingkungan keluarga besar untuk mendidik mereka mengenai
akhlak terhadap banyak orang. Sebab kompleksitas orang akan bernilai
positif bagi anak. Kompleksitas tersebut akan semakin membentuk karakter
dan pengetahuan bagi anak.
213M. Nipan A. Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000),
Cet. 1, hlm. 85.
67
Selain itu, keluarga besar memungkinkan adanya pendidikan sosial
dan disiplin tinggi. Bagaimana tidak, begitu banyak anggota dalam sebuah
keluarga tentunya memerlukan aturan untuk menjaga ketertiban. Selain itu,
banyaknya anggota semakin melatih kedewasaan anak akibat intensitas
mereka dalam berinteraksi dengan orang lain terlebih mereka yang lebih tua
dan mestinya lebih bijaksana dan berpengalaman.
Maka bentuk implementasi keluarga besar menurut al-Faruqi dalam
pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai wujud
real sebuah keluarga dalam rangka melaksanakan pendidikan akhlak terhadap
anaknya. Bahwa keluarga besar sebagai sebuah media pendidikan akhlak bagi
anak. Sebuah media pendidikan yang mendukung terciptanya suasana
edukatif bagi anak.
Akan tetapi gagasan ini nampak begitu sulit diterapkan di Indonesia
dimana kondisi kuantitas dan kapasitas tanah (rumah) yang semakin
menyusut karena telah tergantikan oleh tempat-tempat untuk keperluan
produksi ekonomi (perusahaan). Maka rasanya tidak mungkin memaksakan
para anggota keluarga besar untuk tinggal satu atap dengan kondisi minimnya
tempat tinggal yang justru dapat menghambat pelaksanaan pendidikan
akhlak. Meski keluarga besar merupakan jawaban dari fenomena wanita karir
namun sekali lagi mesti terbentur dengan kenyataan ketiadaan media. Maka
nampak bahwa gagasan ini sulit diwujudkan di sini.
5. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tabyin
Selanjutnya dari keluarga besar tersebut tercipta pendidikan (tabyin)
yang akan berpengaruh bagi pendidikan akhlak. Tabyin yang mempelajari
sejarah tentu berimplementasi pada pendidikan akhlak. Sebab banyak orang
yang terdorong mengerjakan perbuatan yang besar karena membaca
hikayatnya orang besar atau kejadian orang besar yang diceritakan.214
Karena pada dasarnya pandangan anak terhadap warisan budayanya
dipengaruhi oleh cara pandang keluarganya. Demikian pula pilihan dan
214Ahmad Amin, loc.cit.
68
penilaian anak, serta cita-cita dan kecenderungannya akan terpengaruhi pula.
Bahkan nilai-nilai tersebut merupakan penjelmaan ekspresi keluarga.215
Maka, pembinaan akhlak memerlukan kesungguhan dalam
menerjemahkan nilai luhur agama agar dapat dipahami oleh umat beragama
sehingga diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.216
Tabyin merupakan bentuk penjabaran atas tauhid sebagai prinsip
keluarga. Tabyin merupakan upaya membentuk manusia utuh atau dalam
bahasanya Amien Rais manusia-tauhid; yakni manusia yang memiliki atribut:
1. Berkomitmen pada Allah. 2. Menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah. 3. Memiliki tujuan hidup yang jelas. 4. Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap
kualitas kehidupannya, adat istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya.
5. Memiliki visi yang jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama-sama manusia lain; suatu kehidupan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya, lingkungannya, dan sesamanya serta dirinya sendiri.217
Jadi tabyin merupakan wujud pelaksanaan pendidikan akhlak dalam
keluarga. Materi-materinya yang kompleks memudahkan anak untuk semakin
menambah khazanah pengetahuan akhlaknya. Adapun tabyin ini lebih sesuai
apabila diberikan kepada anak pada masa sosial (usia 13-21 tahun) karena
tabyin ini lebih bersifat kompleks baik dalam hal materi maupun metode.
Maka bentuk implementasi tabyin menurut al-Faruqi dalam
pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai wujud
real pendidikan akhlak dalam keluarga. Bahwa tabyin sebagai bentuk
pendidikan akhlak terhadap sesama; karena mendidik akhlak anak tentang
tata cara bersikap terhadap banyak orang, sekaligus akhlak terhadap diri
sendiri karena mendidik pribadi untuk senantiasa meningkatkan kualitas
pribadi dengan cara melakukan kajian atas tema-tema yang tengah
215Hery Noer Ali dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000),
Cet. 1, hlm. 206. 216Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qurani dalam Sistem Pendidikan Islam,
(Jakarta; Ciputat Press, 2005), Cet. 2, hlm. 14. 217Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. 6, hlm. 20.
69
berkembang dengan menggunakan paradigma Islam sebagai dasar pembacaan
atas fenomena yang tengah terjadi.
Namun demikian, tabyin ini nampak cukup sulit untuk diwujudkan.
Karena pada kenyataannya keluarga kini tengah tenggelam dengan kesibukan
demi pemenuhan kebutuhan materi dan fisik dan sedikit mengesampingkan
kebutuhan spiritual. Belum lagi kondisi ekonomi yang semakin menghimpit
kehidupan keluarga semakin memudarkan tugas pendidikan yang mesti
diemban oleh keluarga.
6. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Ibu Rumah
Tangga
Al-Faruqi memposisikan wanita sebagai ibu rumah tangga bahkan al-
Faruqi menyebut ibu rumah tangga sebagai wanita karir sejati. Artinya al-
Faruqi berupaya agar kaum wanita lebih memfokuskan diri pada urusan
rumah tangga. Bahkan dengan menyebut bahwa pekerjaan kerumahtanggaan
ini dikategorikan sebagai sebuah karir sejati; maka al-Faruqi menjunjung
tinggi kaum wanita. Hal ini terutama karena orang pertama dan utama yang
dikenal anak adalah ibunya yang memiliki hubungan langsung dan terikat
semenjak anak dalam kandungan sampai lahir.
Margaret Raybel dalam ay-Syantuh menyatakan bahwa ada kebutuhan
instingtif bagi anak untuk menempel pada ibu yang sekaligus hal ini memberi
kesempatan baginya untuk membantu perkembangannya secara benar. 218
Adapun pembinaan kebudayaan pada anak oleh ibunya ini
berlangsung secara tidak sengaja dibawa bersama di dalam kehidupan dan
penampilan ibu di hadapannya setiap harinya;219hal ini oleh karena ibu lebih
banyak menyertai anak; anak merupakan bagian dari dirinya.
Dengan menyebut ibu rumah tangga sebagai wanita karir, nampak
bahwa al-Faruqi mengangkat posisi pentingnya figur ibu rumah tangga
sebagai sosok pendidik utama bagi anak. Bahwa ibu rumah tangga adalah
sosok yang biasanya paling dekat pada anak; maka ibu rumah tangga harus
218Khalid ay-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1994), Cet. 3, hlm. 48.
219Ibid, hlm. 76.
70
menyertai perkembangan anak baik pada masa vital sampai masa sosial (usia
0-21 tahun)
Maka bentuk implementasi ibu rumah tangga menurut al-Faruqi
dalam pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai
seruan bagi kaum wanita sebagai golongan ibu rumah tangga agar dapat
memfungsikan diri sebagai wanita karir sejati. Sebuah karir yang mulia
karena mencakup perawatan terhadap anak; sebuah karir yang tidak mudah
yang memerlukan kesabaran, dan ketrampilan dalam pelaksanaannya.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tauhid sebagai prinsip
keluarga menurut al-Faruqi berkaitan dengan pendidikan akhlak dalam
keluarga. Gagasan mengenai kewajiban menikah dan perjodohan ini
berkaitan pada penjagaan (persiapan) pendidikan akhlak anak. Pernikahan
yang dilandaskan atas keshalehan pemilihan jodoh dan kesungguhan
mewujudkan perintah Ilahi merupakan jalan menuju kehidupan yang berarti.
Selanjutnya mengenai ibu rumah tangga pun berkaitan dengan proses
pendidikan akhlak itu sendiri. Dengan memperhatikan aspek psikologis anak,
maka anak cenderung untuk lebih dekat dengan ibu. Maka nampak sinkron
antara gagasan ibu rumah tangga al-Faruqi dengan kondisi psikologis anak.
Bahwa seorang ibu adalah pilar utama dalam pendidikan akhlak dalam
keluarga. Dari keterkaitan tersebut maka aspek-aspek dalam tauhid sebagai
prinsip keluarga yang diajukan oleh al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai dasar
pelaksanaan pendidikan akhlak.
Pendidikan awal sebagai materi pendidikan akhlak dalam keluarga
merupakan pendidikan awal bagi anak; nilai dasar yang mesti diberikan orang
tua terhadap anak sebagai pemenuhan akhlaknya terhadap anak sekaligus
untuk membentuk pembiasaan dan keteladanan bagi anak. Sebuah pendidikan
yang wajib diberikan pada anak dalam masa vital (usia 0-2 tahun).
Adapun keluarga besar sebagai wujud konkrit dari tauhid sebagai
prinsip keluarga mendukung pelaksanaan pendidikan akhlak dalam keluarga.
Di dalamnya tercipta metode-metode pendukung pendidikan akhlak dalam
keluarga. Betapa tidak, di dalam keluarga besar anak akan senantiasa
71
disuguhi pemandangan miniatur masyarakat yang akan memberikan nuansa
keteladanan orang tua dalam bersikap terhadap anggota keluarga baik
terhadap yang lebih tua maupun kepada yang lebih muda merupakan suatu
pembiasaan bagi anak bagaimana menerapkan kebiasaan baik (akhlak) dalam
kesehariannya.
Selanjutnya upaya pendidikan lain yang mudah dilaksanakan dalam
keluarga besar yakni tabyin sebagai upaya pemenuhan tujuan pendidikan
akhlak yakni untuk membentuk insan yang bertakwa yang senantiasa
menyadari fungsi dan tugasnya sebagai khalifah sekaligus abdi yang
senantiasa meningkatkan kualitas pribadi sebagai insan bertakwa dengan
senantiasa menunjukkan amal prestatif membentuk diri dan orang-orang di
sekitarnya agar memegang teguh prinsip tauhid sebagai prinsip hidup demi
meraih Ridha Ilahi. Sebuah pendidikan yang sesuai apabila diberikan pada
anak dalam masa sosial (usia 13-21 tahun).
Maka dapat penulis simpulkan bahwa secara umum, tauhid sebagai
prinsip keluarga menurut Ismail Raji al-Faruqi nampak sangat ideal; demi
menjunjung tinggi norma-norma yang telah ditentukan. Akan tetapi secara
real terlebih lagi apabila dikontekskan dengan kondisi di sini (Indonesia)
cukup sulit diterapkan. Ada beberapa kendala yang tidak mendukung
gagasannya al-Faruqi.
Gagasannya tentang tauhid sebagai prinsip keluarga lebih banyak
berkutat pada pembicaraan seputar keluarga besar. Tema ini nampaknya
cukup sulit diterapkan karena mesti terbentur dengan kenyataan ketiadaan
media (tempat) untuk mewujudkan sebuah keluarga besar.
Disamping itu, tugas pokok keluarga besar adalah tabyin; pun cukup
sulit untuk diwujudkan. Hal ini oleh karena kondisi keluarga yang kini tengah
disibukkan dengan urusan pemenuhan kebutuhan keduniaan (materi).
Namun demikian yang terpenting sekarang adalah bagaimana sebuah
keluarga mampu menjalankan tugas pendidikannya dengan baik tanpa harus
mengorbankan haknya (orang tua) untuk berkarir dan mengembangkan diri.
Hal ini membutuhkan kreatifitas orang tua dalam mengelola kehidupannya
72
secara proporsional dan profesional. Misalnya saja dengan tetap berkarir pada
hari sibuk (Senin-Jumat) dan memanfaatkan weekend untuk keluarganya
secara penuh. atau bisa jadi berkarir di rumah demi menjaga kualitas
komunikasi dengan anak meski kuantitas pertemuan sangat minim. Karena
yang terpenting dalam sebuah kehidupan dan keberlangsungan keluarga
adalah kualitas komunikasi serta penjagaan sikap orang tua sebagai figur
teladan bagi anaknya.
Bahwa keluarga sebagai media pendidikan pertama mesti berpegang
pada nilai dasar yakni tauhid. Sebuah nilai pokok yang mendasari setiap
aktivitas dalam keluarga. Sehingga semua unsur yang tengah melingkupi
keluarga akan dilihat dari paradigma tauhid. Bahwa setiap aktivitasnya
diawali atas dasar tauhid dan akan ditujukan kepada Yang Maha Tauhid.
Adapun aktivitas ini secara real terwujud dalam pendidikan akhlak. Bahwa
pendidikan akhlak sebagai media menuju pemahaman dan kedekatan pada
Realitas Tauhid. Wallahu a’lam.
73
BAB V
KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP
B. Kesimpulan
Berawal dari beberapa permasalahan yang penulis angkat dan disertai
dengan landasan teori dan penelitian mengenai pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
tentang tauhid sebagai prinsip keluarga, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga
merupakan penerjemahan al-Faruqi atas makna tauhid. Tauhid sebagai inti
ajaran Islam mesti dijadikan prinsip hidup. Tauhid sebagai prinsip hidup
berarti esensi tauhid melandasi setiap aktivitas muslim. Makna tauhid itu
sendiri yang masih sangat basic (keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah) perlu untuk diterjemahkan dan disosialisasikan melalui
media. Dan keluarga sebagai salah satu media itu. Jadi tauhid sebagai prinsip
keluarga menurut al-Faruqi berarti keluarga sebagai sarana pemenuhan tujuan
Ilahi (penghambaan). Sebagai prinsip keluarga, tauhid menjadi landasan
untuk setiap aktivitas dalam keluarga.
2. Bentuk implementasi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai
prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak ini dapat dijelaskan bahwa gagasan
al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai pijakan pelaksanaan pendidikan akhlak
dalam keluarga. Artinya aspek-aspek yang ada pada tauhid sebagai prinsip
keluarga sebagaimana dijelaskan oleh al-Faruqi tersebut diposisikan sebagai
landasan membentuk dan membangun keluarga; yakni keluarga yang setiap
interaksinya akan selalu bernilai bahkan sebagai sebuah media pendidikan
akhlak. Bahwa keluarga sebagai media pendidikan pertama memerlukan
tauhid sebagai pijakan dalam setiap aktivitasnya terlebih untuk melandasi
pendidikan akhlaknya. Tauhid yang merupakan pokok transenden mutlak
diperlukan untuk membentuk akhlak agar tidak melenceng dari norma tauhid
terlebih di dalam keluarga yang merupakan media pendidikan pertama bagi
individu sebagai bekal hidupnya esok sehingga kelak hidupnya akan lebih
lurus sesuai tujuan penciptaan makhluk. Adapun bentuk real pendidikan
akhlak ini disesuaikan dengan tahap usia anak.
74
C. Saran-saran
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis mengemukakan hal-hal
yang dapat dijadikan pertimbangan, yaitu:
1. Keluarga merupakan alam pendidikan pertama dan utama bagi anak. Setiap
interaksinya akan selalu bernilai edukasi. Untuk itu, keluarga hendaknya
dilandasi dengan nilai dasar tauhid agar interaksi-edukasi nya lebih bermakna
transenden. Oleh karena itu, hendaknya institusi keluarga melalui anggota-
anggotanya terutama orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga agar benar-
benar menjunjung tinggi dan melandasi diri pada al-Quran dan Sunnah dan
mengejawantahkan kandungannya dalam setiap aktivitasnya.
2. Keluarga adalah sarana untuk menyempurnakan diri; yakni kesempurnaan
untuk meraih tujuan pengabdian kepada Ilahi. Untuk itu, hendaknya para
anggota keluarga senantiasa meningkatkan kualitas pribadi melalui
pendidikan akhlak. Pendidikan yang terbentuk melalui pembiasaan dan
peneladanan terhadap apa yang dirasa dan dilalui anak setiap saatnya. Oleh
karena itu, hendaknya para orang tua menjaga diri dengan melakukan
keteladanan dan pembiasaan akhlak pada anak agar teresap dan menjadi
kebiasaan baginya.
D. Penutup
Dengan segala kerendahan hati penulis senantiasa memanjatkan segala
puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Berkehendak dan Maha Kuasa.
Tidak lupa, shalawat serta salam semoga tetap tercurah dalam rengkuhan Nabi
Muhammad SAW sebagai the best model. Tidak lupa penulis haturkan sejuta
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dengan tulus baik berupa
material maupun spiritual, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena masih banyak kekurangan dan kesalahan. Hal ini tak lain adalah karena
keterbatasan penulis sendiri. Untuk itu, saran dan kritik konstruktif sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya semoga skripsi ini berguna
bagi keilmuan penulis secara pribadi dan para pembaca pada umumnya. Amien.