BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filemacam ungkapan pikiran, ... Subalidinata merangkum...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filemacam ungkapan pikiran, ... Subalidinata merangkum...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra tidak dapat dilepaskan dari peradaban masyarakat. Khususnya
pada masyarakat Jawa, karya sastra lama seperti kisah-kisah pewayangan banyak
dijumpai dan berkembang disana. Dunia pewayangan biasanya memiliki lakon-
lakon cerita, dan tidak akan lepas dari budaya masyarakatnya. Kisah pewayangan
yang diprosakan cepat merambat luas sebagai acuan dalam pertunjukannya,
bahkan ada yang menjadi pakem atau acuan utama pertunjukan pewayangan
misalnya Pustaka Raja Purwa.
Naskah merupakan semua dokumen tertulis yang menyimpan segala
macam ungkapan pikiran, dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau yang
ditulis dengan tangan. Naskah menyimpan informasi dari berbagai segi kehidupan,
isinya mencakup banyak hal, meskipun banyak warisan budaya lainnya, naskah
merupakan gambaran pikiran serta perasaan yang pernah hidup di masa lalu.
Salah satu contoh warisan budaya bangsa yang berbentuk naskah yaitu naskah
cerita pewayangan.(Estuningsih, 2010)
Wayang mempunyai lakon yang dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu
lakon rabi (pernikahan), lakon lair (kelahiran), lakon wahyu (anugerah Tuhan),
lakon kraman (pemberontakan), dan lakon ruwatan. Lakon rabi adalah lakon yang
menceritakan tentang pernikahan seorang tokoh dalam dunia pewayangan
(Estuningsih, 2010). Cerita yang tertulis dalam teks Serat Kresna Kembang
Waosan Pakem koleksi Perpustakaan ReksaPustaka, Pura Mangkunegaran,
2
Surakarta dengan nomor katalog D_20 termasuk dalam contoh lakon rabi, secara
garis besar mengisahkan tentang pernikahan Kresna (Raden Narayana) dengan
putri Prabu Bismaka raja negara Kumbina bernama Dewi Rukmini. Keinginannya
menikahi Dewi Rukmini sangat kuat. Hal ini menyebabkan Kresna berusaha
menculik dan menyelamatkan Dewi Rukmini dari rencana perjodohan dengan
Pandhita Drona.
Teks Kresna Kembang dalam bendel naskah Serat Kresna Kembang
Waosan Pakem, Satyaboma, Sayembara Satyaki, Sayembara Gandadewa, dengan
nomor katalog D_20. Teks Serat Kresna Kembang dengan nomor katalog D_20
ditulis dengan huruf Jawa Carik dan tidak ditemukan adanya catatan tentang
pengarang serta tidak ada keterangan tentang asal naskah dari naskah tersebut.
Transkripsi dari naskah Serat Kresna Kembang Waosan Pakem adalah data yang
akan diteliti. Transkripsi Serat Kresna Kembang Waosan Pakem memiliki tebal
57 halaman dengan ukuran p=32, 5 cm dan l= 21,5 cm. Bentuk teks dari naskah
tersebut adalah puisi atau tembang macapat yang terdiri dari 10 pupuh, yaitu: 1.
Dhandhanggula (30 bait), 2. Pangkur (37 bait), 3. Mijil (61 bait), 4. Pocung (29
bait), 5. Sinom (32 bait), 6. Pangkur (54 bait), 7. Durma (58 bait), 8. Asmaradana
(76 bait), 9. Kinanthi (35 bait), dan 10. Pangkur (46 bait).
Subalidinata merangkum tiga pendapat tentang tembang Macapat yaitu (1)
kata macapat berasal dari ma dan capat. Cara membacanya cepat, tidak pelan,
lagunya tidak kebanyakan cengkok. (2) macapat, cara membacanya empat-empat.
Maksudnya, jika dilagukan, pamedhoting gatra „pemutus baris‟ pertama berakhir
dengan suku kata berjumlah empat. (3) berdasarkan lagu gendhing dan dijarwani,
macapat wancahan „gabungan‟ dari mat dan pat. Maksudnya tembang itu jika
3
dilagukan dengan iringan gamelan „musik Jawa‟ menimbulkan irama (mat)
empat-empat (pat), jelasnya setiap satu irama berisi empat suku kata (Subalidinata,
1954: 31-32, dalam Estuningsih, 2010).
Nama Jayasuwignya sebagai pengarang pengarang dari naskah wayang
Serat Kresna Kembang Waosan Pakem terdapat dalam teks naskah pada halaman
penutup dari naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan Pakem. Informasi
atau keterangan mengenai penyalin / penulis naskah D_20, didukung
d e n g a n katalog Nancy K. Florida (2000: 47) yang menyebut nama
Jayasuwignya sebagai author dan subscribed yang berarti penulis dan penyalin.
Keterangan lebih lanjut tentang Jayasuwignya sebagai penulis/penyalin
kurang diketahui, dari pihak Perpustakaan Reksapustaka juga tidak banyak
mengetahui informasi detail tentang Jayasuwignya, sedangkan transkripsi
naskah Serat Kresna Kembang Waosan Pakem dari data yang diperoleh
dilakukan oleh Martodarmono dan telah disunting oleh Siti Estuningsih dalam
sripsinya yang berjudul Serat Kresna Kembang Waosan Pakem (Suatu Tinjauan
Filologis) pada tahun 2010.
Naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan Pakem menarik untuk
diteliti karena berbagi informasi budaya di dalamnya ,mulai dari pemaparan latar
suasana serta pengambaran iring-iringan musiknya yang khas Jawa, dan juga gaya
bahasa dalam penggambaran dan pemaparan keadaan di dalamnya, pemakaian-
pemakaian bahasa pedalangannya khususnya unsur metafora, serta jalan cerita
yang juga menyuguhkan berbagai suasana dari suasana tentram, suasana kacau,
juga kejadian-kejadian humornya. Sebagai bahan bacaan tentu berasa
mendapatkan berbagai genre suasana komplit di dalamnya.
4
Cerita-cerita pewayangan baik dalam bacaan maupun pertunjukkannya
sangat menarik karena kisahnya yang penuh falsafah hidup, ajaran-ajaran moral
yang luhur selalu terselip dengan jelas dalam kisahnya misal dalam naskah
wayang Serat Kresna Kembang Waosan Pakem terdapat penjelasan mengenai
sejatining lanang lan sejatining wadon (sejatinya lelaki dan sejatinya perempuan),
selain sebagi warisan budaya khas yang wajib dilestarikan. Sejatining lanang
sejatining wadon yang dimaksud disini adalah penjelasan tentang bagaimana pria
dan wanita seharusnya bersikap. Berikut kutipan dari teks yang menjelaskan
tentang sejatining lanang:
Kutipan :
/ sajatining priya ing yêktiné / iya priya kang among ing èstri / kang
bisa ngayomi / karya sukèng kalbu (pupuh mijil, bait ke-11)
Terjemahan :
Sejatinya pria sebenarnya adalah pria yang membimbing istri, yang bias
mengayomi, menyenangkan hati. (pupuh mijil, bait ke-11)
Naskah Serat Kresna Kembang Waosan Pakem ini dapat dijadikan salah
satu bentuk simbol sebuah nilai bahwa takdir jodoh seseorang itu sudah diatur
Tuhan bagaimanpun manusia mengakalinya ia akan tetap bertemu dengan jodoh
yang semestinya. Kisah Serat Kresna Kembang Waosan Pakem juga
mencerminkan beberapa aspek berupa rasa kekeluargaan, , hubungan kenegaraan
baik dalam bentuk diplomasi, bentuk kerjasama atau persekutuan. Narayana
(Kresna) sebagai salah satu remaja yang bersifat kritis, tanggap situasi, memiliki
5
pemikiran-pemikiran politik yang jeli, dan berusaha mempertahankan apa yang
disayangi, dapat menjadi salah satu potret remaja yang maju dan cerdas.
Pengkajian Serat Kresna Kembang Waosan Pakem dalam penelitian ini
dikaji prespektif sastra dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra dengan
proses kerja penelitian resepsi sastra secara sinkronis yang melibatkan mahasiswa
sastra daerah angkatan 2012 dan 2013 sebanyak 10 orang sebagai objek penelitian.
Teks Serat Kresna Kembang Waosan Pakem yang digunakan sebagai resepsi
adalah Serat Kresna Kembang Waosan Pakem yang sudah ditranskripsi oleh
Martodarmono serta sudah disunting dan ditererjemahan oleh Siti Estuningsih.
Pengambilan sasaran dalam penelitian ini didasarkan berdasarkan
pertimbangan peneliti memilih Serat Kresna Kembang Waosan Pakem yang
sudah ditrankripsi dan ditransliterasi untuk memudahkan penelitian karena
penelitian naskah yang belum ditransilerasi bukan ruang lingkup kajian sastra,
peneliti memilih karya sastra lama berupa naskah wayang karena memiliki banyak
nilai moral maupun nilai kehidupan seperti hubungan kekeluargaan, perjuangan,
dan sebagainya yang ditunjukkan kepada para pembaca, Serat Kresna Kembang
Waosan Pakem menyimpan ajaran sejatining lanang sejatining wadon dimana
yang menegaskan bagaimana seorang laki-laki dan perempuan yang baik dan
benar diharapkan melalui mahasiswa sastra daerah angkatan 2012 dan 2013
mampu memahami, menangkap dan merefleksikan ajaran tersebut, dan yang
terakhir peneliti tertarik untuk mengetahui tanggapan pembaca tentang teks
sejatining lanang sejatining wadon yang ada dalam Serat Kresna Kembang
Waosan Pakem.
6
Sepengetahuan penulis karya sebelumnya yang menggunakan studi resepsi
sastra antara lain:
1. Ajaran Kepemimpinan Asthabrata dalam Serat Rama karya
R.Ng.Yasadipuro (Kajian Estetika Resepsi Berdasarkan Horizon
Harapan Robert Jauss) oleh Emmy Nur Issae (2015). Penelitian ini
berupa skripsi untuk memenuhi syarat kelulusan Strata 1 di Jurusan
Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Penelitian memberikan pengetahuan kajian resepsi sastra
dalam Ajaran Asthabrata Serat Rama.
2. Serat Suluk Gatholoco Sebuah Sinergi Kultural Antara Islam Dan
Jawa (Suatu Kajian Resepsi Sastra) oleh Choirur Roziqin (2007).
Penelitian ini berupa skripsi untuk memenuhi syarat kelulusan Strata 1
di Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini memberikan pengetahuan
tantang kajian resepsi sastra dalan Serat Suluk Gatholoco sebagai
sebuah sinergi kultural antara islam dan jawa.
3. Dampak Sosial Budaya Cerita Rakyat Ki Ageng Syeh Jaka Di Desa
Kaligawe Kabupaten Klaten (Sebuah Kajian Resepsi Sastra) oleh Riza
Yoga Asmara (2015). Penelitian ini berupa skripsi untuk memenuhi
syarat kelulusan Strata 1 di Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Melihat penelitian-penelitian yang sudah ada, sebagai pandangan dalam
mengkaji objek dengan kajian resepsi sastra, memperoleh banyak keuntungan
dengan melibatkan pembaca untuk menilai karya sastra. Adanya tanggapan yang
7
diberikan oleh pembaca, membuka pikiran sehingga penelitian terhadap karya
sastra bisa bersifat objektif. Mahasiswa Sastra Daerah sebagai responden
dianggap sebagai pembaca ideal karena memiliki fokus mempelajari dan
mendalami kasusastraan Jawa dibandingkan golongan masyarakat lainnya, akan
tetapi mahasiswa yang dipilih sebagai responden adalah mahasiswa yang telah
lulus dalam mata kuliah telaah Jawa kuna dan tengahan. Peneliti berharap
mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap karya sastra naskah Jawa mengenai isi
yang terkandung di dalam naskah dengan pendekatan resepsi sastra.
Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak
kepada pembaca dengan memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam
meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna
lain yang akan memperkaya karya sastra itu. Penelitian resepsi sastra pada
dasarnya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks sastra,
(Endraswara, 2003:119). Proses kerja penelitian resepsi sastra yang akan
dilakukan adalah resepsi sastra secara sinkronis berdasarkan teori Endraswara.
Sejalan dengan pendapat Ingarden (dalam Taum, 1997:57), bahwa setiap karya
sastra prinsipnya belum lengkap karena hanya menghadirkan bentuk skematik dan
sejumlah “tempat tanpa batas” yang perlu dilengkapi secara individual menurut
pengalamannya akan karya-karya sastra lain. Manfaat penelitian ini secara teoretis
untuk memperkaya kajian resepsi sastra, sedangkan secara praktis penelitian ini
diharapkan mampu menggambaran mengenai resepsi terhadap karya sastra Jawa
klasik.
8
Judul yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah Ajaran Sejatinging
Lanang lan Sejatining Wadon dalam Naskah Wayang Serat Kresna Kembang
Waosan Pakem karya Jayasuwignya (Suatu Tinjauan Resepsi Sastra).
Demikian dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang telah
dikemukakan maka naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan Pakem ini
akan diteliti dengan kajian Resepsi Sastra secara sinkronis berdasarkan teori
resepsi sastra Suwardi Endraswara.
B. Batasan Masalah
Suatu penelitian pastinya memiliki tujuan, untuk mencapai tujuan tersebut
peneliti harus konsisten. Agar penelitian tidak terlalu meluas dan sesuai tujuan
maka diperlukan pembatasan masalah. Pertama, batas kajian objek yaitu teks
naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan Pakem. Kedua, penelitian lebih
focus pada resepsi mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2012 dan 2013 terhadap
teks ajaran sejatining lanang sejatining wadon dalam naskah wayang Serat
Kresna Kembang Waosan. Data resepsi yang telah terkumpul selanjutnya akan
dianalisis intensitas penghayatan mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2012 dan
2013 sebagai responden terhadap ajaran sejatining lanang sejatining wadon dalam
naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan.
C. Rumusan Masalah
Penelitian ini akan mengkaji ajaran sejatining lanang sejatining wadon
dalam naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan Pakem. Permasalahan ini
9
dikaji dengan alasan data berupa naskah wayang berbahasa Jawa yang nilai moral
di dalamnya. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah struktur naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan
Pakem karya Jayasuwignya berdasarkan teori Roman Ingarden yang terdiri
atas lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia, dan lapis metafisis?
2. Bagaimanakah resepsi pembaca terhadap ajaran sejatining lanang
sejatining wadon dalam naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan
Pakem karya Jayasuwignya?
3. Bagaimanah intensitas penghayatan responden tehadap naskah wayang
Kresna Kembang Waosan Pakem karya Jayasuwignya?
D. Tujuan Pembahasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah , penelitian ini
akan mengkaji resepsi sastra naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan
Pakem karya Jayasuwignya. Penelitian ini secara umum bertujuan
mendeskripsikan segi-segi resepsi sastra dalam naskah wayang Serat Kresna
Kembang Waosan Pakem. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan struktur naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan
Pakem karya Jayasuwignya berdasarkan teori Roman Ingarden yang
meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia, dan lapis metafisis.
2. Mengungkapkan resepsi pembaca terhadap ajaran sejatining lanang
sejatining wadon dalam naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan
Pakem karya Jayasuwignya.
10
3. Mendeskripsikan intensitas penghayatan responden tehadap naskah
wayang Kresna Kembang Waosan Pakem karya Jayasuwignya.
E. Landasan Teori
1. Naskah Wayang
Naskah merupakan semua dokumen tertulis sebagai tempat menyimpan
segala macam ungkapan pikiran, perasaan sebagai hasil budaya masa lampau
yang ditulis dengan tangan. Naskah menyimpan informasi berbagai dari segi
kehidupan, isinya mencakup banyak hal, meskipun banyak warisan budaya
bangsa lainnya, naskah merupakan gambaran pikiran dan perasaan yang pernah
hidup di masa lalu. Salah satu contoh yang merupakan warisan budaya bangsa
yang berbentuk naskah yaitu naskah cerita wayang. Kesenian tersebut sudah sejak
lama tumbuh dan berkembang di pulau Jawa hingga berabad-abad lamanya. Hal
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sedyawati (1980: 2)
bahwasannya wayang merupakan warisan leluhur yang telah mampu bertahan
selama berabad-abad lamanya dan mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan hingga mencapai bentuknya saat ini.
Wayang sebagai penggambaran alam pikiran Orang Jawa yang dualistik.
Ada dua hal, pihak atau kelompok yang saling bertentangan, baik dan buruk, lahir
dan batin, serta halus dan kasar. Keduanya bersatu dalam diri manusia untuk
mendapat keseimbangan. Wayang juga menjadi sarana pengendalian sosial,
misalnya dengan kritik sosial yang disampaikan lewat humor. Fungsi lain adalah
sebagai sarana pengukuhan status sosial, karena yang bisa menanggap wayang
adalah orang terpandang, dan mampu menyediakan biaya besar. Wayang juga
11
menanamkansolidaritas sosial, sarana hiburan, dan pendidikan (Sumaryoto, 1990).
Kata wayang sendiri merupakan asal kata dari kata wewayangan yang berarti
„bayangan‟ yang kemudian berkembang menjadi bayangan hasil kerja pikir
manusia yang dituangkan dalam bentuk gambar atau tiruan (Bratasiswara, 2000:
869). Karya-karya kesenian wayang seperti wayang kulit ataupun wayang purwa
tersebut diwujudkan dalam bentuk fisik yang berupa gambar tiruan orang ataupun
boneka dari kulit. Hal tersebut juga ditunjang dengan adanya pengetahuan umum
tentang cerita-cerita wayang yang banyak terdapat pada manuskrip atau naskah-
naskah kuna yang bersumber dari kitab Mahabarata dan Ramayana.
2. Serat Kresna Kembang Waosan Pakem
Naskah Serat Kresna Kembang Waosan Pakem ini dapat dijadikan salah
satu bentuk simbol sebuah nilai bahwa takdir jodoh seseorang itu sudah diatur
Tuhan bagaimanpun manusia mengakalinya ia akan tetap bertemu dengan jodoh
yang semestinya, selain itu kisah ini juga hampir mirip dengan kisah Siti Nurbaya,
dimana Rukmini dipaksa menikah dengan Pandhita Dorna yang sudah tua renta
sampai pada akhirnya dia mengajukan syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh
Pandhita Dorna. Hal itu Pandhita Dorna yang merasa malu memaksa tetap
menikahi Rukmini yang kemudian ditolong oleh raksasa jelmaan Raden Narayana.
Kisah Serat Kresna Kembang juga mencerminkan beberapa aspek berupa
rasa kekeluargaan, , hubungan kenegaraan baik dalam bentuk diplomasi, bentuk
kerjasama atau persekutuan. Naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan
Pakem terdapat ajaran sejatining lanang lan sejatining wadon (sejatinya lelaki
dan sejatinya perempuan), selain sebagi warisan budaya khas yang wajib
dilestarikan.
12
3. Tembang Macapat
Macapat pada dasarnya adalah puisi yang terikat pada pola persajakan dan
mengandung unsur titi laras. Baik pola persajakan maupun pola titi laras
tergantung pada jenis pola persajakan yang digunakan. Dengan demikian jenis
pola persajakan sangat menentukan guru gatra, guru wilangan dan guru lagu
macapat. Setiap jenis pola persajakan memiliki sifat-sifat tertentu, sehingga
penggunaan suatu jenis pola persajakan tergantung suasana dan rasa cakepan
wacana (Saputro, 1988: 51).
Pola persajakan macapat ditandai dengan seperangkat kaidah khas yang
mengatur (1) jumlah larik pada setiap bait (guru gatra), (2) jumlah suku kata pada
setiap larik (guru wilangan) dan (3) kualitas vocal (a, e, i, o, u, tapi tak pernah ĕ)
suku kata akhir setiap larik (guru lagu). Maka jenis pola persajakan
Dhandhanggula misalnya mempunyai 10 baris. Pola setiap bait yang disusun
menurut pola sebagai berikut: 10 i, 10 a, 8 e, 7 u, 9 i, 7 a, 5 u, 8 a,12 i, 7 a.
Adanya ketentuan guru lagu dan guru wilangan, mempengaruhi
penggunaan kata. Beberapa teknik untuk menjatuhkan vocal pada akhir larik agar
sesuai dengan guru lagu adalah (1) menggunakan ragam bahasa karma, (2)
mengubah vocal akhir tanpa mengubah maknanya, (3) memilih kata yang searti,
(4) menggunakan kaidah baliswara (Karsono H. Saputro, 1988: 19).
Puisi macapat atau yang lebih dikenal dengan sebutan tembang macapat
(sekar macapat) dan tembang cilik terikat oleh suatu ketentuan yang harus
dipenuhi oleh setiap penulis puisi tembang macapat. Ketentuan-ketentuan yang
terdapat pada tembang macapat antara lain :
Guru Gatra : Ketentuan jumlah larik pada setiap bait.
13
Padha :Bait yang terdapat dalam tembang.
Guru Lagu : Dong-ding atau ketentuan tentang vokal pada suku
kata terakhir dan setiap larik atau terhentinya suara.
Guru Wilangan : Ketentuan jumlah suku kata setiap larik atau baris.
Sasmita Tembang : Isyarat yang dapat menunjuk jenis dari suatu
tembang apa yang dipakai.
Sandi Asma : Nama dari penulis tembang yang disisipkan secara
tersamar pada tembang tersebut.
Pupuh : Sekelompok bait yang sama kaidah iramanya
(Padmosoekotjo, 1971 : 18).
Di samping mengetahui kaidah macapat juga perluuntuk mengetahui
watak dari masing-masing tembang macapat. Setiap tembang macapat mempunyai
waktu tertentu. Oleh karena itu, penggunaan tiap-tiap tembang tidak boleh
sembarangan, tetapi harus mempertimbangkan kesesuaian antara watak tembang
yang bersangkutan dengan sifat dan suasana pokok persoalan atau cerita yang
diungkapkan dalam suatu karangan. Kenyataannya ada pengarang yang
menyimpang dari ketentuan itu, dalam arti apa yang dilukiskan dalam suatu
tembang (pupuh) bertentangan dengan watak tembangnya itu sendiri sehingga
karya pengarang itu kurang senang. Adapun watak dari tembang itu sebagai
berikut :
1. Dhandhanggula, mempunyai watak luwes, halus dan indah. Ini sesuai
untuk dipakai mengungkapkan segala macam cerita atau ajaran apapun,
sebab memiliki watak yang luwes. Penempatan tembang (pupuh)
14
dhandhanggula dalam suatu karangan dapat dipermulaan, ditengah
maupun dibelakang sebuah cerita sebagai penutup.
2. Sinom, mempunyai watak ramah. Tembang sinom tepat untuk
mewadahi uraian yang mengandung ajaran, nasehat ataupun amanat.
3. Asmaradana, mempunyai watak pemikat hati, sedih kesedihan karena
asmara. Tembang sinom sesuai untuk melukiskan cerita atau adegan
percintaan.
4. Megatruh, mempunyai watak sedih. Tembang megatruh digunakan
untuk mewadahi dan menerangkan rasa kasihan, kecewa dan prihatin,
juga berisi ajaran dan nasehat.
5. Kinanthi, mempunyai watak senang, penuh kasih, cinta. Tembang ini
cocok untuk mengungkapkan penjabaran atau ulasan yang berisi ajaran,
nasehat dan juga tepat untuk melukiskan perasaan cinta kasih.
6. Pangkur, mempunyai watak penuh semangat (greget), keras dan
mengandung sedikit rasa marah. Tembang pangkur sangat cocok
untuk mengungkapkan cerita peperangan atau nasehat yang bersifat
mengingatkan atau juga dapat dipakai untuk melukiskan cerita
percintaan yang menggebu-gebu.
7. Durma, mempunyai watak keras, bengis, marah. Tembang ini cocok
untuk menerangkan ungkapan perasaan marah dan adegan peperangan.
8. Mijil, mempunyai watak melahirkan perasaan. Tembang mijil cocok
untuk mengungkapkan cerita yang berisi nasihat tetapi juga dapat
untuk melukiskan cerita percintaan.
15
9. Gambuh, mempunyai watak keakraban karena sudah terbiasa, biasanya
digunakan untuk memberikan nasehat kepada orang yang benar-benar
akrab.
10. Maskumambang, mempunyai watak sedih, merana (nelangsa).
Tembang maskumambang tepat untuk mengungkapkan perasaan sedih.
11. Pocung, mempunyai watak kendur, tanpa semangat, pantas sebagai
tempat mencurahkan ungkapan cerita yang tidak mengandung
keseriusan. (Padmosoekotjo, 1971 : 34).
4. Tentang Pengarang
Nama Jayasuwignya sebagai pengarang pengarang darinaskah wayang
Serat Kresna Kembang Waosan Pakem terdapat dalam teks naskah pada halaman
penutup dari naskah wayang Serat Kresna Kembang Waosan Pakem. Informasi
atau keterangan mengenai penyalin / penulis naskah D_20, didukung oleh
katalog Nancy K. Florida (2000: 47) yang menyebut nama Jayasuwignya sebagai
author dan subscribed yang berarti penulis dan penyalin.
5. Teori Resepsi Sastra
Resepsi berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang
diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas yaitu,
pengolahan teks dan cara-cara pemberian makna terhadap karya sastra, sehingga
memberikan respon terhadapnya. Aliran sastra ini meneliti teks saFstra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan pada
karya sastra. Endaswara (2003:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti
menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca.
16
Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak
kepada pembaca dengan memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu.
Meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki
makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu. Penelitian resepsi sastra
merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks sastra (Endraswara,
2003:119). Sejalan dengan pendapat Ingarden (dalam Taum, 1997:57), bahwa
setiap karya sastra prinsipnya belum lengkap karena hanya menghadirkan bentuk
skematik dan sejumlah “tempat tanpa batas” yang perlu dilengkapi secara
individual menurut pengalamannya akan karya-karya sastra lain.
Menurut Endraswara (2008:126) proses kerja penelitian resepsi sastra
secara sinkronis atau penelitian secara eksperimental, minimal menempuh dua
langkah sebagai berikut:
1. Setiap pembaca perorangan maupun kelompok yang telah ditentukan,
disajikan sebuah karya sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan
baik lisan maupun tertulis. Jawaban yang diperoleh dari pembaca
tersebut kemudian dianalisis menurut bentuk pertanyaan yang
diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara tertulis
dapat dibulasikan, sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan
metode wawancara, dapat dianalisis secara kualitatif.
2. Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca
tersebut diminta untuk menginterpretasikan karya sastra yang
dibacanya. Hasil interpretasi pembaca ini dianalisis menggunakan
metode kualitatif.
17
Penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah resepsi, digunakan
strategi dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil kupasan nantinya akan
dikaji oleh peneliti.
Teori sastra Jauss bergerak diantara teori sastra Marxisme dan Formalisme
Rusia. Teori sastra Marxisme dipandang terlalu banyak menekankan sisi fungsi
sosial dan kurang memperhatikan sisi estetik karya tersebut, di sisi lain,
Formalisme Rusia dianggap terlalu menekankan nilai estetik karya sastra sehingga
mengabaikan fungsi sosial sastra. Jauss berusaha untuk menjembatani kedua teori
sastra tersebut, yaitu menggabungkan antara sejarah dan nilai estetik sastra.
Dengan kata lain, karya sastra dianggap sebagai objek estetik yang memiliki
implikasi estetik dan implikasi histories. Implikasi estetik timbul apabila teks
dinilai dalam perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan
implikasi historis muncul karena perbandingan historis dengan rangkaian
penerimaan atau resepsi sebelumnya.
Konsep ini kemudian diturunkan sebuah hubungan segitiga antara
pengarang, karya, dan pembaca. Apabila teori Marxisme dan Formalisme
menganggap pembaca sebagai obyek pasif, maka sebaliknya, pembaca dipandang
sebagai obyek aktif yang dapat menginterpretasi karya (Jauss, 1982; 19 dalam
Essay, 2015).
6. Teori Struktural Roman Ingarden
Roman Ingarden (dalam Wellek, 1968: 151) menyebutkan norma-norma
itu adalah: lapis suara/bunyi, lapis arti, lapis objek yang dikemukakan, lapis dunia,
dan lapis metafisis.
1. Lapis Bunyi
18
Puisi berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan
berangkai merupakan seluruh bunyi/suara sajak: suara frasa dan suara
kalimat. Analisis lapis bunyi dalam puisi ditujukan pada bunyi-bunyi
atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang
dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni.
2. Lapis Arti
Satuan terkecil arti adalah fonem. Satuan fonem berupa suku kata
dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait,
bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
3. Lapis Objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-
objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Pelaku
atau tokoh: si aku. Latar waktu: malam terang bulan. Latar tempat: laut
yang terang (tidak berkabut), berangin kencang (angin buritan). Dunia
pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan
oleh pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-
objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur cerita (alur);
seperti berikut.
4. Lapis Dunia
Lapis dunia yang tak usah dinyatakan atau dikemukakan, tetapi
sudah implisit dalam cerita ataupun karya sastra yang disampaikan.
19
5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi/merenung dengan apa yang disampaikan dalam karya
sastra.
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur
yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu. Metodologi juga merupakan
analisis teoritis tentang suatu cara atau metode. Hakekat penelitian dapat
memahami dengan mempelajari berbagai aspek yang mendorong peneliti untuk
melakukan kegiatan penelitian. Setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda,
diantaranya dipengaruhi oleh tujuan dan profesi masing-masing. Keinginan untuk
memperoleh dan mengembangkan pengetahuan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang umumnya menjadi motivasi.(Issae, 2015)
Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam
melaksanakan penelitian. Metode menurut Kridalaksana (2001: 136) adalah cara
mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena. Subroto
(1992: 3132), metode mencakup kesatuan dari serangkaian proses: penentuan
kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan populasi, penentuan sample,
data, teknik pemerolehan data, dan analisis data. Metode penelitian dimaksudkan
sebagai cara atau langkah kerja dalam perumusan masalah. Metode dapat
ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan rancangan tertentu, dengan demikian
rancangan berkaitan dengan metode, karena rancangan merupakan kerangka
berpikir untuk menentukan metode.
20
Metode penelitian ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal, antara lain
adalah: (1) bentuk dan jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) teknik
pengumpulan data, (4) metode dan teknik analisis data,dan (5) metode penyajian
hasil analisis data.
1. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif artinya data
yang terkumpul berbentuk kata atau gambar bukan angka-angka. Penelitian
deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan
pada factor-faktor yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada
penuturnya (Padmaningsih, 2008: 1 dalam Untari, 2012). Penelitian kualitatif
adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan investigasi karena
biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka dengan
orang-orang di tempat penelitian (McMillan & Schumaker, 2003 dalam Untari
2012).
Penelitian kualitatif juga bias dimaksudkan sebagai jenis penelitian
yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk
hitungan lainnya (Strauss & Corbin, 2003 dalam Untari, 2012). Sekalipun
demikian, data yang dikumpulkan dari penelitian kualitatif memungkinkan
untuk dianalisis melalui suatu perhitungan. Jadi, yang dimaksud dengan
penelitian kualitaif adalah penelitian dengan mendeskripsikan data-data denga
teliti dan cermat yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, gambar/foto.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian sastra. Penelitian sastra
yaitu penelitian, kajian, ataupun telaah studi dalam bidang sastra. Penelitian
dalam ilmu sastra adalah kegiatan mengumpulkan , menganalisa, dan
21
menyajikan hasil penelitian. Penelitian sastra dilakukan dengan sengaja dan
sistematis dengan menggunakan teori sastra. (Endraswara, 2008)
2. Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian, bahan yang dimaksud yaitu bahan jadi
dan di dalam bahan itulah terdapat objek penelitian (Sudaryanto, 1988: 910).
Data merupakan fenomena lingual khusus yang mengandung dan terkait
langsung dengan masalah yang dimaksud. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data tulis yaitu berupa teks transkripsi naskah wayang
Serat Kresna Kembang Waosan Pakem.
Sumber data adalah segala sesuatu yang mampu menghasilkan atau
memberikan data, atau menunjuk pada tempat. Sumber data yang dipilih
berdasarkan jenis informasi yang diperlukan berdasarkan arahan beragam hal
yang terdapat dalam rumusan masalah (Sutupo, 2002 dalam Dewi, 2012).
Sumber data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan
pertama), sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari
sumber yang ada. Data primer contohnya adalah data yang diperoleh dari
sumber yang sudah ada, dalam penelitian ini berupa tembang dan unsur-unsur
struktur didalamnya serta aspek-aspek resepsi sastranya. Data sekunder
misalnya catatan atau dokumentasi laporan pemerintah, data yang diperoleh
dari majalah, dan sebagainya.
Sumber data tulis dalam penelitian ini yaitu transkripsi fotocopy Serat
Kresna Kembang Waosan Pakem yang diambil dari Perpustakaan
Reksopustaka Pura Mangkunegran Surakarta diambil pada Jumat, 26 Februari
22
2015, untuk naskah asli berupa huruf jawa juga tersimpan di Perpustakaan
Reksapustaka Pura Mangkunegaraan Surakarta dengan nomor katalog D-20.
Sumber data lainnya adalah hasil wawancara dengan informan. Data yang
akan diteliti berupa fotocopy transkripsi tersebut merupakan data primer.
Naskah Serat Kresna Kembang Waosan Pakem memiliki ukuran
p=34,3 cm; l= 21,3 cm dengan ukuran teks p= 31 cm; l=16,7 cm; margin atas
= 1,7 cm; margin bawah= 1,6 cm; margin kiri = 2,7 cm. Tebal naskah Serat
Kresna Kembang Waosan Pakem adalah 168 halaman ditulis secara recto
verso (bolak-balik). Bahan naskah dari kertas HVS bergaris (kertas lokal),
terdapat garis bantu dari pensil untuk batas margin kanan dan margin kiri.
Naskah Serat Kresna Kembang Waosan Pakem ditulis pada tahun 1931
sehingga saat ini (tahun 2016) usia naskah adalah 85 tahun. Transkripsi Serat
Kresna Kembang Waosan Pakem memiliki tebal 57 halaman dengan ukuran
p=32, 5 cm dan l= 21,5 cm. Transkripsi naskah Serat Kresna Kembang
Waosan Pakem ditulis oleh Martodarmono pada tahun 1994 dan diterima oleh
Perpustkaan Rekapustaka Pura Mangkunegaran pada tanggal 1 Mei 1996.
3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang digunakan
untuk mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan kerja organisasi
pemerintah, swasta, kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan, olah raga, seni
dan budaya, dan lain-lain sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan untuk
dilaksanakan demi kesejahteraan bersama. Menurut Sugiyono, (2008: 205),
masalah dalam penelitian kualitatif bersifat sementara, tentative dan akan
berkembang atau berganti setelah peneliti berada dilapangan.
23
Menurut Sutopo (2006: 9), metode pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif secara umum dikelompokkan ke dalam dua jenis cara, yaitu teknik
yang bersifat interaktif dan non-interaktif. Metode interaktif meliputi
interview dan observasi berperanserta, sedangkan metode noninteraktif
meliputi observasi tak berperanserta, tehnik kuesioner, mencatat dokumen,
dan partisipasi tidak berperan.
Pengumpulan data yakni dengan cara mengunjungi Perpustakaan
Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta pada 26 Februari 2015,
kemudian mengcopy transkripsi naskah wayang Serat Kresna Kembang
Waosan Pakem. Data yang telah ada kemudian dibaca dan dipilah-pilah untuk
mendapatkan unsur-unsur struktural dari Serat Kresna Kembang Waosan
Pakem. Langkah selanjutnya yaitu menentukan tema atau topic yang akan
diangkat untuk diresepsi sampai pada akhirnya ditemukan ajaran sejatining
lanang lan sejatining wadon. Berikutnya untuk mendapatkan data resepsi
pembaca, peneliti menentukan responden yakni mahasiswa Sastra Daerah
angkatan 2012 dan 2013 sebanyak 10 orang, kemudian mereka diberikan copy
dari transkripsi Serat Kresna Kembang Waosan Pakem untuk dibaca dan
dipelajari. Langkah selanjutnya adalah melakukan wawancara dengan
responden berdasarkan pertanyaan tentang resepsi pembaca dan intensitas
penghayatan pembaca yang telah ditentukan. Data resepsi sastra juga berasal
dari resepsi oleh peneliti.
4. Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.
24
Penentuan identitas itu didasarkan atas pengujian berdasarkan segi-segi
tertentu dari satuan lingual yang kita teliti (Subroto, 1992: 55)
Analisis data yang dilakukan terdapat tiga komponen utama yang
harus benar-benar dipahami oleh setiap peneliti. Tiga komponen tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Reduksi data yaitu proses seleksi data, pemfokusan, penyederhanaan
dan abstraksi data kasar dalam rangka penarikan kesimpulan. Proses
reduksi data yang dilakukan peneliti berupa pembacaan karya sastra
yang kemudian dipilah untuk mendapatkan unsur-unsur yang
diperlukan dalam penelitian berupa struktur karya sastra dan topik
yang akan diunggah dalamresepsi sastra yaitu ajaran sejatining lanang
lan sejatining wadon dalam Serat Kresna Kembang Waosan Pakem.
2. Sajian data yaitu suatu rakitan organisasi informasi yang
memungkinkan kesimpulan penelitian dilakukan. Sajian data yang
pertama berupa hasil-hasil analisa struktur karya sastra berdasarkan
teori Roman Ingarden yang terdiri atas lapis bunyi, lapis arti, lapis
objek, lapis dunia, dan lapis metafisis. Sajian data berikutnya adalah
hasil resepsi sastra pembaca (responden dan peneliti) terhadap ajaran
sejatining lanang lan sejatining wadon yang ada dalam Serat Kresna
Kembang Waosan Pakem. Berikutnya dalam sajian data adalah data
intensitas penghayatan responden dan peneliti terhadap Serat Kresna
Kembang Waosan Pakem dengan kriteria penghayatan yang telah
ditentukan.
25
3. Verifikasi yaitu suatu kesimpulan dari data yang ada. Verifikasi
dilakukan setelah data penelitian yang terkumpul dirasa cukup dan
memenuhi keinginan peneliti dimana data tersebut telah menjawab
semua rumusan yang ditentukan oleh peneliti. (HB Sutopo, 2002: 91)
Tiga komponen tersebut dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
interaksi antar komponen dan dengan proses pengumpulan data sebagai proses
siklus. Bentuk ini membuat peneliti tetap bergerak di antara tiga komponen
analisa dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data
berlangsung. Proses analisis yang digunakan dalam penelitian ini disebut
model analisis interaktif yaitu analisis data dengan menggunakan langkah-
langkah: pengumpulan data atau klasifikasi data, reduksi data, sajian data dan
penarikan kesimpulan (H.B. Sutopo, 2002: 91-93).
Proses atau siklus dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut :
Gb. Skema Analisis Interaktif (HB.Sutopo, 2002)
Penarikan
Kesimpulan
Penyajian
Data
Reduksi Data
Pengumpulan
Data
26
5. Metode dan Teknik Penyajian Analisis Data
Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif.
Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga
memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian
data kualitatif berupa teks naratif (berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik,
jaringan dan bagan) (Sutopo dan Arief, 2010).
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan tata urutan penulisan yang akan
disampaikan peneliti. Berikut sistematika penulisan penelitian Naskah Wayang
Serat Kresna Kembang Waosan Pakem.:
1. Bagian Awal
Bagian ini mencakup 13 hal, yaitu : (a) sampul luar, (b) sampul dalam, (c)
persetujuan pembimbing, (d) pengesahan penguji, (e) halaman pernyataan,
(f) halaman motto, (g) halaman khusus/halaman persembahan, (h) kata
pengantar, (i) daftar isi, (j) daftar singkatan dan lambang, (k) daftar
lampiran, (l) daftar gambar, dan (m) abstrak.
2. Bagian Isi
Bagian isi mencakup 3 hal, yaitu:
a. Bagian pendahuluan meliputi : (1) latar belakang masalah, (2)
batasan masalah, (3) perumusan masalah, (4) tujuan pembahasan
masalah, (5) landasan teori, (6) metodologi penelitian, dan (7)
sistematika penulisan.
27
b. Bagian isi merupakan inti karya ilmiah yang memaparkan uraian
pokok masalah yang dibahas. Bagian isi terdiri dari : (1) sajian data,
(2) pembahsan masalah yang dirumuskan (3) resepsi sastra penulis
c. Bagian penutup berisi kesimpulan dan saran.
3. Bagian Akhir
Bagian akhir berisi daftar pustaka dan lampiran.