BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - abstrak.uns.ac.id · kata sebagai satuan dasar dalam suatu...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - abstrak.uns.ac.id · kata sebagai satuan dasar dalam suatu...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tata bahasa atau gramatika mempunyai beberapa komponen yaitu struktur
gramatikal, sistem gramatikal, kategori gramatikal, fungsi gramatikal, dan peran
gramatikal. Struktur gramatikal itu memperlihatkan tentang bangun gramatika
suatu bahasa sehingga dapat dilihat konstruksi dan konstituensi dari unsur-unsur
gramatikal, di samping hubungan sintagmatis dan paradigmatis di antaranya
(Kridalaksana, 2005: 5). Sistem gramatika pada umumnya dibagi atas subsistem
morfologi dan subsistem sintaksis. Subsistem sintaksis membicarakan penataan
dan pengaturan kata-kata itu ke dalam satuan-satuan yang lebih besar, yang
disebut satuan-satuan sintaksis, yakni kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana
(Chaer, 2009: 3).
Pada studi tentang kelas kata, konsep kata perlu dijelaskan. Kata dalam
hierarki gramatikal harus dilihat sebagai satuan sintaksis, bukan sebagai satuan
leksikal atau satuan semantis. Sebagai satuan sintaksis, kata hanyalah salah satu
tataran dalam hierarki gramatikal. Menurut Harimurti Kridalaksana (2009: 110),
kata sebagai satuan dasar dalam suatu kalimat yang dapat berdiri-sendiri, terdiri
dari morfem tunggal atau gabungan morfem. Berdasarkan kategorinya, kata
terbagi menjadi beberapa macam. Kategori sintaksis adalah jenis atau tipe kata
atau frase yang menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis. Kategori sintaksis
berkenaan dengan istilah nomina (N), verba (V), ajektiva (A), adverbia (Adv),
numeralia (Num), preposisi (Prep), konjungsi , dan pronomina (Pron). Dalam hal
2
ini N, V, dan A merupakan kategori utama; sedangkan yang lain merupakan
kategori tambahan. Pengisi fungsi sintaksis dapat berupa kata dapat pula berupa
frase, sehingga di samping ada kata nomina ada pula frase nominal (FN), ada juga
frase verbal (FV), frase ajektival (FA), frase adverbial (F Adv), frase numeral (F
Num), dan frase preposisional (F Prop) (Chaer, 2009: 27-28).
Secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori
verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar. Jadi, sebuah kata dapat
dikatakan berkategori verba hanya dari perilakunya dalam frase (Kridalaksana,
2005: 50-52). Hal serupa juga dikemukakan oleh Chaer (2007: 219) bahwa dalam
tataran morfologi, kata merupakan satuan terbesar (satuan terkecilnya adalah
morfem). Pada tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil yang secara
hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu
frase. Kata dibicarakan sebagai satuan terkecil dalam sintaksis yaitu dalam
hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar,
yaitu frase, klausa, dan kalimat. Kata berperan sebagai pengisi fungsi sintaksis,
sebagai penanda kategori sintaksis, dan sebagai perangkai dalam penyatuan
satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.
Verba dilihat dari banyaknya nomina yang mendampinginya, dapat
dibedakan menjadi verba transitif dan verba intransitif. Transitif berarti verba
yang bisa mempunyai atau harus mendampingi objek. Berdasarkan banyaknya
objek, terdapat verba monotransitif, bitransitif, dan ditransitif. Verba
monotransitif yaitu verba yang mempunyai satu objek; verba bitransitif yaitu
verba yang mempunyai dua objek; dan verba ditransitif yaitu verba transitif yang
objeknya tidak muncul (Kridalaksana, 2005: 51-52). Penelitian ini berhubungan
3
dengan verba transitif karena verba valensi mengacu pada jumlah unsur-unsur
yang di sekitarnya baik berupa objek maupun subjek.
Istilah valensi verba dalam bahasa Arab disepadankan dengan التكافؤ (at-
taka>fu’) (Baalbaki, 1990: 523). Valensi verba ini berhubungan dengan verba
transitif yang menjadikan verba sebagai pusat dan penguasaan verba atas
argumen-argumen yang berada di sekitarnya (Kridalaksana, 2009: 253).
Pengertian argumen (argument) adalah nomina atau frase nominal yang bersama-
sama predikator membentuk proposisi (Kridalaksana, 2009: 19). Argumen pada
verba bervalensi berbeda-beda, ada yang bervalensi satu, bervalensi dua, dan
bervalensi tiga. Peran-peran yang ditimbulkan oleh masing-masing verba valensi
tersebut juga berbeda-beda.
Valensi verba dalam bahasa Arab merupakan beberapa unsur bahasa yang
dibutuhkan oleh verba untuk kesempurnaan suatu kalimat. Suatu verba akan
mempunyai valensi di sekitarnya, seperti pelaku atau subjek (fa>’il), objek
langsung (maf’u>l bih al-muba>syir), objek tidak langsung (maf’u>l bih ghairul-
muba>syir) (Baalbaki, 1990: 523). Hubungan verba bervalensi di atas terdapat
dalam klausa verbal, yakni klausa dengan predikat berupa verba. Valensi verba
itu terkait dengan ketransitifan verba. Klausa verbal dengan verba transitif
(muta’addi >) mengharuskan adanya objek (maf’u>l bih). Verba transitif ada yang
memiliki satu objek, dua objek, dan tiga objek. Adapun klausa verbal dengan
verba intransitif (la>zim), tidak mengharuskan adanya objek (Ghulayainiy, 2007:
34,46). Verba zhanna wa akhwa>tuha> termasuk dalam verba bervalensi tiga. Selain
verba zhanna wa akhwa>tuha, terdapat juga verba yang mempunyai tiga valensi
seperti, أعطى /a’tha>/ ‘memberikan’; لو ان /na>wala/ ‘memberikan’; أىدى /ahda>/
‘menghadiahi‟. Sebagai contoh dalam kalimat bahasa Arab الدرىم اأعطيت علي
4
/a’thaitu ‘Aliyyan ad-dirhama/ ‘saya memberikan Ali uang’. Verba أعطى /a’tha>/
‘memberikan’ termasuk verba bervalensi tiga karena memiliki tiga argumen di
sekitar verbanya. Tiga argumen itu yakni, argumen pertama untuk menjawab
pertanyaan (siapa yang memberi uang?) dhamir /tu/ „saya‟ sebagai subjek;
argumen kedua untuk menjawab pertanyaan (siapa yang diberi uang?) اعلي /„Aliyyan/ „Ali‟ sebagai objek pertama; argumen ketiga untuk menjawab
pertanyaan (apa yang saya berikan kepada Ali?) الدرىم /ad-dirhama/ „uang‟ dan
sebagai objek kedua.
Guna mengetahui verba /a’tha >/ mempunyai tiga argumen dapat diuji
dengan melesapkan salah satu satuan lingual pada kalimat di atas. Jika kata
/Aliyyan/ „ali‟ dilesapkan, kalimat menjadi /a‟thaitu ad-dirhama/ „saya
memberikan uang‟. Hal ini menyebabkan kalimat menjadi kurang gramatikal dan
menimbulkan pertanyaan (siapa yang diberi uang?). Berarti kata yang dilesapkan
tersebut mempunyai kadar keintian yang mutlak diperlukan. Begitu juga jika kata
/ad-dirhama/ ‘uang’ dilesapkan, kalimat menjadi /a‟thaitu „Aliyyan/ „saya
memberikan Ali‟. Kalimat ini juga menimbulkan pertanyaan (apa yang diberikan
kepada Ali?). Berarti kata yang dilesapkan tersebut mempunyai kadar keintian
yang mutlak diperlukan.
Penelitian ini akan membahas tentang verba bervalensi tiga zhanna wa
akhwa>tuha> (zhanna dan saudara-saudaranya). Verba zhanna wa akhwa>tuha> terdiri
dari verba zhanna dan beberapa verba dalam bahasa Arab yang serupa dengan
zhanna. Verba zhanna wa akhwa>tuha> ini mempunyai tiga argumen yang mana
peran dari dua argumen objektif berasal dari subjek (mubtada’) dan predikat
(khabar) dalam klausa nominal (jumlah ismiyah). Verba zhanna wa akhwa>tuha>
dapat mengubah kedudukan fungsi yang semula sebagai subjek (mubtada’) dan
5
predikat (khabar) dalam klausa nominal menjadi objek (maf’u >l bih) dalam klausa
verbal (jumlah fi’liyah).
Verba zhanna wa akhwa>tuha> dapat mempunyai tiga valensi bukan hanya
verba yang menunjukkan kala lampau (fi’l ma>dhi>), tetapi beberapa turunan
(tashri>f) dari verba tersebut, misal: verba yang menunjukkan kala sekarang dan
akan datang atau verba imperfek (fi’l mudha>ri’), subjek (ism fa>’il), objek (ism
maf’u>l bih), dan kata kerja yang dibendakan (mashdar) (Ibnu ‘Aqil, 1980: 44).
Adapun anggota verba zhanna wa akhwa>tuha> itu adalah ‘alima, ra’a>,
wajada, dara>, ja’ala, ta’allam, zhanna, kha>la, chasiba, za’ama, ‘adda, chaja>, ja’ala,
hab, shayyara, ittakhadza, takhidza, taraka, radda, dan wahaba. Semua verba
tersebut mempunyai fungsi yang sama dengan zhanna, yaitu menjadikan
mubtada’ dan khabar objek (ism maf’u>l) (Ibnu ‘Aqil, 2010: 270).
Penelitian ini akan mendeskripsikan mengenai verba bervalensi tiga
zhanna wa akhwa>tuha> (kajian morfosintaksis). Penulis mengkaji tentang objek ini
dikarenakan zhanna apabila berada dalam suatu kalimat akan merubah seluruh
kedudukan dan fungsi dari kalimat tersebut. Kata yang pada mulanya menduduki
fungsi mubtada’ dan khabar akan berubah kedudukannya setelah zhanna berada
dalam suatu kalimat. Kata yang menduduki fungsi mubtada’ dan khabar tadi akan
berubah menjadi objek kalimat (ism maf’u>l bi>h). Ketika verba zhanna berada
dalam suatu kalimat, maka dapat berpengaruh pada valensi yang ada di sekitar
verba tersebut. Zhanna mempunyai tiga valensi dalam suatu kalimat. Hal ini
menarik untuk dikaji lebih lanjut terkait dengan bentuk, peran, dan kategori dari
verba zhanna.
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu
mengembangkan teori linguistik khususnya bidang morfologi dan sintaksis,
6
sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut, serta memberikan pengetahuan
tentang verba valensi zhanna wa akhwa>tuha>.
Berkaitan dengan penelitian verba valensi, terdapat beberapa penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian yang dijadikan
tinjauan pustaka antara lain:
(1) Skripsi tahun 2009 oleh Ratih Parananingsih dari Fakultas Sastra dan
Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berjudul “Verba Bervalensi
Dua dalam Kalimat Bahasa Jawa (Kajian Struktur dan Makna)”. Tulisan dalam
skripsi ini menjabarkan tentang bentuk, fungsi, dan peran verba bervalensi dua.
Verba bervalensi dua merupakan jenis verba aktif transitif. Secara morfologi
hanya terdapat satu bentuk verba bervalensi dua, yakni bentuk polimorfemis.
Bentuk polimorfemis terdiri lebih dari satu morfem. Bentuk verba bervalensi dua
polimorfemis yang ditemukan dalam penelitian ini yakni: bentuk N-D, bentuk N-
D-ake, bentuk N-D-ke, dan bentuk N-D-i. Adapun makna verba bervalensi dua
dalam kalimat Bahasa Jawa yaitu bermakna pasientif-benefaktif, pasientif-
benefaktif/ duratif, pasientif-benefaktif/ kontinuatif, pasientif-benefaktif/
pluralitas, pasientif-benefaktif/ intensif.
(2) Skripsi tahun 2007 oleh Ari Edi Handayani dari Fakultas Bahasa dan
Seni Universitas Negeri Surabaya yang berjudul “Valensi Verba dalam Ame No
Hi Bunko 1”. Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukkan bahwa dalam
kumpulan cerita Ame no Hi Bunko 1 ditemukan ketiga jenis valensi verba dalam
bahasa Jepang, yaitu: 1. Ikkou yang menyertai verba jidoushi dan berperan sebagai
subjek kalimat. 2. Nikou yang menyertai verba tadoushi dan berperan sebagai
subjek dan objek kalimat. 3. Sankou yang menyertai verba tadoushi dan berperan
sebagai subjek, objek langsung, dan objek tak langsung dalam kalimat. Dari
7
ketiga jenis valensi verba tersebut, valensi verba yang paling banyak digunakan
adalah Nikou.
(3) Tesis tahun 2009 oleh Indah Kurnia Dewi dari Prodi Linguistik
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berjudul “Verba
N-D-ake Bervalensi Tiga dalam Bahasa Jawa”. Tesis ini membahas masalah
argumen-argumen yang hadir di belakang verba N-D-ake, konstruksi/urutan
argumen-argumen di belakang verba N-D-ake, dan mengidentifikasi peran-peran
semantik argumen-argumen pada verba N-D-ake. Peran semantik yang ditemukan
dalam tesis tersebut ada empat peran semantik, yakni peran-peran semantik
argumen-argumen di belakang verba N-D-ake bitransitif yang berarti pasientif-
benefaktif, contoh: Amir nagihake utang aku „Amir menagihkan hutang (untuk)
saya‟, peran-peran semantik argumen-argumen di belakang verba N-D-ake
bitransitif benefaktif-pasientif, contoh: Amir njawilake Budi bocah kuwi „Amir
menyentuhkan Budi akan anak itu‟, peran-peran semantik argumen-argumen
verba N-D-ake bitransitif yang berarti pasientif-benefaktif/ direktif, contoh: Amir
nggelarake klasa simbah ‟Amir menggelarkan nenek tikar‟, peran-peran semantik
argumen-argumen di belakang verba N-D-ake bitransitif yang berarti pasientif-
direktif, contoh: Amir ngantemake tangane ing Ali ‟Amir memukulkan tangannya
pada Ali‟.
(4) Skripsi tahun 2007 oleh Dina Permatasari dari Program Studi Sastra
Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Belanda yang berjudul
“Perubahan valensi sintaksis verba bahasa Belanda”. Penelitian ini bertujuan
untuk mencari tabu jenis verba Belanda apa saja yang dapat mengalami perubahan
valensi, gejala beserta proses perubahannya, dan peran semantis verba tersebut
Hasil dari penelitian ini yaitu perubahan valensi banyak terjadi pada verba
intransitif, transitif, ditransitif, kopula dan mandiri. Dari analisis tersebut
8
didapatkan sepuluh gejala penyebab perubahan valensi verba, yang
dikelompokkan ke dalam gejala penyebab pengurangan valensi dan perluasan
valensi.
Bedasarkan uraian di atas, sejauh pengamatan penulis belum ada
penelitian tentang verba bervalensi dalam bahasa Arab. Penelitian mengenai verba
bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha> (kajian morfosintaksis) dipandang perlu
untuk dilakukan. Penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian di atas.
Kebaruan terletak pada penelitian terhadap jumlah valensi yang dimiliki oleh
zhanna wa akhwa>tuha> dan hubungan verba dengan valensi yang menyertainya
dan peran-peran pada verba zhanna wa akhwa>tuha>. Hal lain yang menarik dikaji
dalam penelitian ini, yakni kekhasan verba zhanna wa akhwa>tuha> yang
mempunyai pembagian khusus terkait dengan peran dalam valensinya yaitu
af’a>lul-qulu>b dan af’a>lu’t-tahwi>l. Verba zhanna wa akhwa>tuha> merupakan verba
transitif yang mewajibkan tiga nomina setelah verba tersebut. Jumlah argumen
yang ada dalam verba zhanna wa akhwa>tuha> ada tiga, yakni dua argumen yang
berasal dari mubtada’ dan khabar dan satu argument lainnya. Hal ini akan diteliti
lebih lanjut guna mengetahui valensi verba tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk verba bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha> ?
2. Bagaimana fungsi verba bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha> dan
argumen-argumennya?
3. Bagaimana peran verba bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha> dan
argumen-argumennya?
9
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan bentuk verba bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha>
2. Mendeskripsikan fungsi verba bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha> dan
argumen-argumennya
3. Mendeskripsikan peran verba bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha> dan
argumen-argumennya
D. PEMBATASAN MASALAH
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan mengingat bahan dan data
seluruhnya diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan objek
yang diteliti. Sehubungan dengan luasnya permasalahan mengenai verba
bervalensi, berdasar latar belakang di atas lingkup penelitian hanya terbatas pada
bentuk, fungsi, dan peran verba bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha> yang
terdapat dalam suatu klausa atau kalimat. Kajian morfosintaksis yang diteliti
terbatas pada lingkup perubahan bentuk kata zhanna wa akhwa>tuha> dan kajian
struktur.
E. LANDASAN TEORI
Linguistik merupakan suatu kajian dengan objek bahasa. Guna
memudahkan analisis, para ahli bahasa membuat tataran-tataran bahasa. Tataran-
tataran ini menjadi subdisiplin tersendiri. Tataran tersebut yakni fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi yaitu ilmu yang mempelajari bunyi
bahasa yang berfungsi dalam ujaran; morfologi yaitu ilmu yang mempelajari
bentuk kata dan perubahan bentuk kata; sintaksis yaitu ilmu yang mempelajari
tata kalimat; semantik yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna (Pateda, 1988:
54).
10
1. Morfologi
Menurut Kridalaksana (2009: 159), morfologi adalah bidang linguistik
yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya. Morfologi menjadi
bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagiannya.
Sementara itu, Ramlan (1996: 16) menyebutkan bahwa morfologi adalah
bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk kata serta pengaruh
perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata atau
mempelajari seluk-beluk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata
itu, fungsi gramatik maupun fungsi semantik. Berdasarkan dua pendapat di
atas, penulis menyimpulkan bahwa morfologi merupakan salah satu dari
cabang ilmu linguistik yang mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk
serta klasifikasi kata.
Istilah morfologi dalam bahasa Arab disepadankan dengan علم الصرف (‘ilmu
a’sh-sharf) yaitu cabang ilmu kaidah yang membahas tentang struktur kata dari
penambahan, penggabungan, penyisipan, dan pemendekan (Al-Khuli, 1982:
175). Secara etimologi, kata sharf berasal dari bahasa Arab رفاص -يصرف- فصر
/sharafa-yashrifu-sharafan/ yang berarti perubahan (Munawir, 1997: 775).
Adapun secara terminologi, pada kamus Al-Wasi>th (Dhaif, 2004: 513)
disebutkan arti sharf sebagai berikut:
الصرف علم تعرف بو أبنية الكالم و اشتقاقو /A’sh-sharfu ‘ilmun tu’rafu bihi abniyatul-kala>mi wa isytiqa>quhu/
“Sharf dalam ilmu bahasa merupakan sebuah ilmu untuk mengetahui
struktur kalam dan pembentukannya”.
Menurut al-Ghulayani (2007: 13), sharf berarti:
ليتت بععرا و ا بنا.. تعرف هبا صيغ الكلمات العربية و أحواهلا اليت الصرف: علم بأصول"فهو علم يبحث عن الكلم من حيث ما يعرض لو من تصريف و إعالل و إدغام و إبدال، وبو
"نعرف ما جيب أن تكون عليو بنية الكلمة قبل إنتظامها ىف اجلملة
11
/A’sh-sharfu: ‘ilmun bi ushu>lin tu’rafu biha> shiyaghul-kalima>ti al-
‘arabiyyati wa achwa>luha> allati> laisat bi i’ra>bin wa la> bina>in. Fa huwa
‘ilmun yabchatsu ‘anil-kalimi min chaitsu ma> yu’radhu lahu min
tashri>fin wa i’la>lin wa idgha>min wa ibda>lin, wa bihi na’rifu ma
yujabu an taku>na ‘alaihi bunyatul-kalimati qabla intizha>miha> fil-
jumlati/ “Sharf adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah pembentukan
kata-kata Arab dalam hal-hal yang berkaitan dengan huruf dan
merupakan i’rab dan bina’. Sharf merupakan ilmu yang membahas
tentang bentuk kata dari sisi perubahan yang terjadi di dalamnya,
seperti mengenai bentuk turunannya, i’lal, idgham, dan ibdal. Dengan
demikian, sharf memberikan aturan pemakaian dan pembentukan
kata-kata sebelum digabung atau dirangkai dalam suatu kalimat”.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa morfologi
menyelidiki struktur intern kata, membahas tentang dasar-dasar pembentukan
kata, termasuk di dalamnya imbuhan. Sharf memberikan aturan pemakaian
masing-masing kata dari segi bentuknya.
1.1. Pembentukan Kata Bahasa Arab
Morfem (morpheme) adalah satuan bahasa terkecil yang maknanya
secara relatif stabil yang tidak dapat lagi dibagi atas bagian makna yang
lebih kecil (Kridalaksana, 2009: 158). Proses Morfologis (morphological
process) adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata. Dalam hal
ini, leksem adalah input dan kata merupakan output.
Melalui proses pembentukan kata diperoleh bentukan-bentukan yang
mungkin hanya berubah bentuk dasar atau asalnya. Perubahan dapat terjadi
pada identitas leksikalnya tanpa perubahan status kategorialnya atau
berubah kedua-duanya baik identitas leksikal maupun status kategorialnya.
Menurut Verhaar (2004: 143), perubahan morfemis dengan
mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan disebut
12
dengan infleksi. Sedangkan perubahan morfemis yang menghasilkan kata
dengan identitas morfemis lain disebut proses derivasi.
Bentuk adalah penampakan atau rupa satuan gramatikal atau leksikal
dipandang secara fonis atau grafemis. satuan bahasa atau rupa atau wujud
dari satuan gramatikal. Bentuk dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
bentuk akrab, bentuk alego, bentuk antara, bentuk asal, bentuk asing,
bentuk asterisk, bentuk bebas, bentuk dasar, bentuk kata, dan bentuk
terikat (Kridalaksana, 2009: 32-33). Pada penelitian ini akan dibahas
mengenai bentuk terikat dan bentuk bebas yang secara morfologis
digolongkan pada bentuk polimorfemis dan monomorfemis.
Monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari satu morfem, sedangkan
polimorfemis (polymorfemic) terjadi pada suatu kata yang terdiri lebih dari
satu morfem (Kridalaksana, 2009: 157).
a. Infleksi (التصريف) Infleksi atau inflection adalah perubahan bentuk kata yang
menunjukkan pelbagai hubungan gramatikal yang mencakup deklinasi
nomina, pronominal, ajektiva, dan konjungsi verba; unsur yang
ditambahkan pada sebuah kata untuk menunjukkan suatu hubungan
gramatikal. Misal : s dalam boys menunjukkan infleksi plural; s dalam
reads menunjukkan infleksi verba orang ketiga (Kridalaksana, 2009:
93).
Infleksi disepadankan dengan تصريف /tashri>f/ yang maknanya تغيري /taghyi>r/ yaitu “perubahan” (Baalbaki 1990: 246, Al-Khuli 1982:
131). Menurut Al-Khuli (1982: 131), infleksi adalah:
"التصريف: إضافة زوائد الكلمة لتدل على وظيفتها يف اجلملة وعالقتها بتواىا"/A’t-tashrīfu idhāfatu zawāidi al-kalimati litadulla alā
wazhifatihā fī -ljumlati wa ‘alāqatiha> bisiwāhā/
13
“Infleksi adalah afiksasi pada suatu kata untuk menunjukkan fungsi
gramatikal dalam suatu kalimat dan relasinya”.
Di bawah ini merupakan tabel yang menunjukkan perubahan kata
(infleksi) pada fi’l (verba):
Tabel 1
Perubahan Kata (Infleksi) pada Fi’l (Verba)
ريضم عل ماضيف فعل مضارع فعل أمر
و ى ر ص ن ر ص ن ي
ان ر ص ن ي اه ار ص ن
م ى او ر ص ن ن و ر ص ن ي
ى ى ت ر ص ن ر ص ن ت
اه ات ر ص ن ان ر ص ن ت
ن ى ن ر ص ن ن ر ص ن ي
ت ن أ ت ر ص ن ر ص ن ت ر ص ن ا
ام ت ن أ ادت ر ص ن ان ر ص ن ت ار ص ن ا
م ت ن أ ت ر ص ن ن و ر ص ن ت او ر ص ن ا
ت ن أ ت ر ص ن ن ي ر ص ن ت ي ر ص ن ا
ام ت ن أ ادت ر ص ن ان ر ص ن ت ار ص ن ا
ت ن أ ن ت ر ص ن ن ر ص ن ت ن ر ص ن ا
ان ا ت ر ص ن ر ص ن أ
ن ن ان ر ص ن ر ص ن ن
14
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan contoh nomina (ism):
Tabel 2
Contoh Nomina (ism)
b. Derivasi (اشتقاق)
Derivasi atau derivation adalah pengimbuhan afiks non-inflektif
pada dasar untuk membentuk kata (Kridalaksana, 2009: 47). Istilah
derivasi dalam bahasa Arab disepadankan dengan اشتقاق /isytiqa>q/
Baalbaki (1990: 142). Berikut definisi derivasi menurut Baalbaki:
وزن هر ائضم جمع مذكر سالم جمع مؤنث سالم
ل اع ف انا ىو أنت مفرد مذكر ماد صائن
ان اد م صائنان ن ال اع ف نن ، أنتما، ها مذكرتثنية
ن و اد م ائن ون ص ن و ل اع ف نن ، أنتم ، ىم مذكر مجع
اد ص و ان ال ع ف نن ، أنتم ، ىم مجع تكثري م د
ل ع ف نن ، أنتم ، ىم مجع تكثري م د د ص و ن
ة ل ع ف نن ، أنتم ، ىم مجع تكثري مددة صونة
ة ل اع ف انا ، أنت ، ىى مفرد مؤنث ماد ة صائنة
ان ت ل اع ف نن ، أنتما ، ها مؤنث تثنية ماد تان صائنتان
ت ال اع ف نن ، أنت ،ىن مؤنث مجع ماد ت صائنات
صيغة منتهى مواد صوائن اجلموع
ل اع و ف نن ،أنت ، ىن
15
Derivation (gramm) = اشتقاق من tension تولد كلمة من أخرى )مثال: "ناجح" من "نح", أو : اشتقاق"
tenseحتويل صيغة الكلمة إىل صيغة أخرى ( , و ىو مامييزه عن التصريف, و ىوواهتا از العربية و أخت(. و دتeatمن eats)مثال : ناجحون من "ناجح" , أو
لمات جبذرىا كالتاميات بكثري تولدىا للكلمات هبذه الطريقة و باحتفاظ تلك ال "املشرتك
/Tawalludu kalimatin min ukhra> (matsalan: ‚ناجح‛ min ‚ نح‛
au tension min tense), wa huwa ma> yumayyizuhu ‘an a’t-
tashri>fi, wa huwa tahcwi>lu shi>ghati al-kalimati ila shi>ghatin
ukhra> (matsalan: ناجحون min ‚ناجح‛, au eats min eat). Wa
tamta>>zu al-‘arabiyyatu au akhawatuhaa a’s-sa>mmiyya>h bi
katsi>ri tawalludiha> al-kalima>ti bi ha>dzhi a’th-thari>qati wa bi
ichtifa>dzi tilka al-kalima>ti bijidzriha> al-musytarok/
“Derivasi adalah menghasilkan kata yang lain (misal: ناجح /na>jichun/ „orang yang sukses‟ dari kata نح /najacha/ „sukses‟
atau kata tension berasal dari kata tense). Hal ini berbeda
dengan infleksi, yang berarti merubah bentuk suatu kata
menjadi bentuk kata yang lain (misal: ناجحون /na>jichu>na/
„orang-orang yang sukses‟ berasal dari kata ناجح /na>jichun/
„orang yang sukses‟ atau kata eats berasal dari kata eat). Kata
dalam bahasa Arab dan bahasa yang serumpun (Semit)
dicirikan dengan banyaknya pembentukan kata dengan cara
derivasi ini yang menjaga kosakata itu dengan akar yang
berasal dari kosakata yang sama.
Al-Khuli (1982: 70) mendefinisikan derivasi sebagai berikut :
من املشتقة )كاتب( مثل، اجلذر يف معها تتحد أخرى مةلكلا تكوين :اإلشتقاق"واحدة زائدة بعضافة عادة األشتقاق ويكون write. املشتقة من writer( و)كتب
"التاق أو اجلذر إىل أكثر أو
/al-isytiqāqu: takwīnul-kalimati ukhrā tattachida ma`ahā fī al-
juzri, mitslu (kātibun) al-musytaqqatu min (kataba) wa writer
al-musytaqqatu min write. Wa yukawwinu al-isytiqāqu
`ādatan bi idhāfati zāidatin wāhidatin au aktsara ilā al-juzri au
a‟s-sāqi/.
“Derivasi adalah pembentukan satu kata baru yang serupa
dengan kata sebelumnya ditinjau dari akar kata
pembentukannya, seperti kata (ka>tibun) dibentuk dari kata
(kataba), sama halnya seperti kata writer yang dibentuk dari
16
kata write. Biasanya pembentukan kata derivasi yaitu dengan
menambahkan satu huruf tambahan atau lebih kepada akar
kata aslinya”.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa derivasi
adalah pembentukan kata satu kata baru yang serupa dengan akar kata
pembentukannya. Kosakata bahasa Arab akan menghasilkan banyak
kata-kata baru dengan akar pembentukan yang sama.
Derivasi menurut al-Ghulayaini (2007: 154) disepadankan tashri>f.
Berikut definisi tashri>f :
ومبا ألحرفها من أصالة وزيادة ، ىو العلم بأحكام بنية الكلمة اصطالحا التصريف" "شبو ذلكوصحة وإعالل و إبدال و
/A’th-Tashri>f isthila>chan huwa al-‘ilmu bi achka >mi bunyatil-
kalimati, wa bi ma> li achrufiha> min asha>latin wa ziya>datin
wa i’la>lin wa ibda>lin wa syibhu dza>lika/
“Tashri>f adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum
suatu bentuk kata dan huruf-hurufnya, baik yang asli,
tambahan, shahih, i’lal, ibdal (perubahan) dan yang serupa
denganya”.
Dari definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa derivasi
merupakan sebuah proses pembentukan kata yang dapat menghasilkan
beberapa kata. Kata yang dihasilkan tersebut memiliki makna yang
serupa dengan makna kata dasarnya. Sebagai contoh: dari akar kata
/dharaba/ dapat dibentuk kata-kata berikut: ضار /dha>ribun/ „pemukul‟;
midhrabun/ „alat untuk/ مضر ;‟madhru>bun/ „yang dipukul/ مضرو
memukul‟; تضر ا /la> tadhrib/ „jangan pukul‟; dan seterusnya.
Meskipun bentuk kata di atas berbeda, namun antara satu kata dengan
kata yang lain memiliki hubungan makna dan berasal dari akar kata
yang sama yaitu ضر /dharaba/ „pukul‟.
17
Terdapat dua pendapat ulama mengenai isytiqa>q ini, yaitu ulama
dari madzhab Bashrah menyebutkan bahwa sumber isytiqa>q adalah
mashdar. Sedangkan ulama dari madzhab Kufah menyebutkan bahwa
sumber isytiqa>q adalah fi’l (kata kerja). Penulis lebih condong ke
madzhab Kufah. Penulis menggunakan akar kata bahasa Arab dari fi’l
ma>dhi (kata kerja). Hal ini sesuai dengan penggunaan dasar suatu kata
di kamus-kamus yaitu fi’l ma>dhi >.
Menurut al-Ghulayaini (2007: 155), isytiqa>q dibagi menjadi tiga
macam yaitu isytiqa>qul-kabi>r, isytiqa>qul-akbar, dan isytiqa>qu’sh-
shagi>r. Pembahasan tentang derivasi pada penelitian ini termasuk dalam
cakupan isytiqa>qu a’sh-shaghi>r, yaitu proses pembentukan beberapa
kata dari sebuah kata dasar dengan tetap memperhatikan kesamaan
urutan morfem tetap seperti yang terdapat pada kata dasarnya. Seperti
morfem كتب /kataba/ „menulis‟, urutan morfem tetapnya yaitu: ك /kaf/
adalah urutan pertama, ت /ta‟/ adalah urutan kedua, dan /ba‟/ adalah
urutan ketiga.
Dengan demikian, isytiqa>qu a’sh-shaghi>r, mencakup bentuk kata
sebagai berikut:
مشتق منو المشتقات وزن مثال
ح ت ف فعل ماضى ل ع ف
ح ت ف ي ل ع ف ي فعل مضارع
ح ت اف فعل أمر ل ع اف
اح ت ف مصدر ال ع ف
اح ت ف م مصدر ميم ال ع ف م
18
Tabel 3
Cakupan Bentuk Kata Isytiqa>qu A’sh-Shaghi>r
1.2. Pembagian Verba dalam Bahasa Arab
a. Verba Berdasarkan Zaman atau Kala
Pembagian verba dalam bahasa Arab dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa macam. Menurut Al-Ghulayaini (2007: 29-30), verba
berdasarkan zaman atau kala dibagi menjadi tiga, yaitu: fi’l ma >dhi>, fi’l
mudha>ri’, dan fi’l amr.
a) Fi’l ma>dhi> yaitu verba yang menunjukkan makna secara mandiri dan
menunjukkan kala lampau. Contoh: .جا /ja>a/: اجتهد /ijtahada/; تعلم /ta’allama/
b) Fi’l mudha>ri’ yaitu verba yang menunjukkan makna secara mandiri
dan menunjukkan kala sekarang dan yang akan datang. Contoh: ي. جي /yaji>u/; تهد جي /yajtahidu/; تعلم ي /yata‟allamu/
c) Fi’l amr yaitu verba yang menunjukkan perintah (imperatif) dengan
tanpa menggunakan lam amr. Contoh: جي. /ji>a/; اجتهد /ijtahada/; ت عل م /ta‟allam/
b. Verba Berdasarkan Bunyi Asal atau Akar Kata
Menurut al-Ghulayaini (2007: 159, 161), verba berdasarkan bunyi
asal atau akar kata dibagi menjadi dua, yaitu: fi’l mujarrad dan fi’l
mazi>d.
ح ت اف اسم فاعل ل اع ف
اسم مفعول ل و ع ف م ح و ت ف م
مكان/ اسم زمن مفعل / ل ع ف م مفتح / ح ت ف م
19
a) Fi’l mujarrad yaitu verba yang masih asli dan belum mendapatkan
imbuhan. Contoh: كتب /kataba/; جلس /jalasa/; فتح /fatacha/;
b) Fi’l mazi>d yaitu verba yang sudah mendapatkan imbuhan. Contoh: أكرم /akrama/ kata berasal dari kata كرم /karama/ kemudian mendapat
imbuhan huruf أ /alif/ di awal kata; فرح /farracha/ kata ini berasal dari
kata فرح /faracha/ kemudian mendapatkan imbuhan huruf ر /ra’/ di
tengah kata; سابق /sa>baqa/ berasal dari kata سبق /sabaqa/ kemudian
mendapat imbuhan huruf ا /alif/ setelah huruf /sin/.
c. Verba Berdasarkan Huruf ‘Illat
Verba (kata kerja) dalam bahasa Arab menurut huruf ‘illat (alif,
waw, dan ya‟) dibagi menjadi dua, yaitu shachi>h dan mu’ta >l (Al-
Ghulayaini 2007: 43).
a) Fi’l shachi>h
Fi’l shachi>h yaitu kata kerja yang huruf-hurufnya bukan berupa
huruf illat. Fi’l shachi>h terbagi menjadi tiga macam yaitu : 1) sa>lim 2)
mahmu>z dan 3) mudha>’af. Berikut keterangannya: 1. Sa>lim adalah kata kerja yang salah satu hurufnya bukan berupa huruf
illat, hamzah ataupun mudha>’af. Contoh: كتب kataba/; ذىب \ /dzahaba/; /alima’/علم
2. Mahmu>z adalah kata kerja yang salah satu hurufnya berupa huruf
hamzah. Kata kerja jenis ini terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu a)
mahmu>z fa’ (hamzah berada di awal), contoh: أخذ /akhadza/ b)
mahmu>z ‘ain (hamzah berada di tengah), contoh: سأل /sa’ala/ c)
mahmu>z lam (hamzah berada di akhir), contoh: قرأ /qara’a/
3. Mudha>’af adalah kata kerja penyusun huruf aslinya berupa dua huruf
yang sejenis, tapi bukan sebagai tambahan. Kata kerja jenis ini terbagi
20
menjadi dua macam, yaitu: a) mudha>’af tsula >tsi>, contoh: مد /madda/; زلزل :marra/ dan b) mudha>’af ruba>’i>, contoh/ مر /zalzala/; دمدم /damdama/.
b) Fi’l Mu’ta>l
Fi’il mu’ta>l yaitu kata kerja yang salah satu huruf aslinya berupa
huruf „illat. Contoh وعد /wa’ada/; قال /qa>la/; رمى /rama>/. Fi’l mu’ta>l ini
terbagi menjadi empat macam yaitu 1) mitsa>l, 2) ajwaf, 3) na>qish, dan
4) lafi>f. Berikut definisinya :
1. Mitsa>l adalah kata keja yang fa’ fi’l-nya berupa huruf „illat.
Contoh: وعد /wa'ada/, يتر /yasara/ 2. Ajwa>f adalah kata kerja yang ‘ain fi’l-nya berupa huruf „illat.
Contoh: قال /qa>la/, باع /ba>’a/ 3. Na>qish adalah kata kerja yang lam f’il-nya berupa huruf „illat.
Contoh: رضي /radhiya/; رمى /rama>/ 4. Lafi>f adalah kata kerja yang dua huruf penyusunnya berupa
hururf „illat asli. Kata kerja jenis ini terbagi menjadi dua jenis,
yaitu :
4.1. Lafi>f maqrun adalah kata kerja yang dua huruf „illat
penyusunnya terkumpul menjadi satu. Contoh: طوى /thawa>/;
/<nawa/ ن وى
4.2. Lafi>f mafruq adalah kata kerja yang dua huruf „illat
penyusunnya dipisah. Contoh: وىف /wafa>/; وقى /waqa>/ 1.3. Pola Verba Bahasa Arab [Mawa>zinul-Af’a>l عال( )موازن األف ]
Secara dominan verba dalam bahasa Arab terdiri dari tiga huruf, فعل fi’lun tsula>tsiyyun/ (trilateral verb). Al-Ghulayaini (2007: 158)/ ث الثي
menyebutkan bahwa pola kata dasar dalam penyusunannya dirumuskan
21
dengan huruf ف /fa’/ (awal), ع /‘ain/ (tengah), dan ل /lam/ (akhir) menjadi
مةفا. الكل fa’/ dalam wazan disebut/ ف fa’ala/. Disebutkan/ فعل /fa’ al-
kalimah/ ع /‘ain/ disebut مةالكل عي /‘ain al-kalimah/ dan ل /lam/ disebut
ك .‟kataba/ ‘menulis/ كتب :la>m al-kalimah/ Seperti pada contoh/ مةم الكل ا
/kaf/ disebut مةفا. الكل مةالكل عي ta’/ disebut/ ت ; ; /ba’/ disebut مةكل ال ام
(Al-Ghulayaini, 2007: 159, 163).
Pola kata kerja trilateral (tsula>tsi mujarrad) memiliki enam pola
sebagai berikut:
Tabel 4
Pola Kata Kerja Trilateral (Tsula>tsi Mujarrad)
Pola kata kerja tsula>tsi mazi>d bicharfin memiliki pola sebagai berikut:
رقم فعل ماضى فعل مضارع فعل أمر مثال
1 عل ف ع ل ف ي ل ع ف ا ا نص ر –ي نص ر –نصر
عل ف ي ل ع ف ا اضر –يضر –ضر 2 عل ف
3 عل ف عل ف ي ل ع ف ا اف تح –ي فتح –ف تح
4 عل ف عل ف ي ل ع ف ا اعلم –ي علم –علم
ل ع اف ا حت ن –يت ن –حت ن 5 ع ل ف ع ل ف ي
عل اف احتب –يتب –حتب 6 عل ف عل ف ي
رقم فعل ماضى فعل مضارع فعل أمر مثال
1 فع ل فعلي ف عل ف رح –ي فرح –ف ر ح
علايف عل اف تل قا – ي قاتل – قاتل 2 عل اف
22
Tabel 5
Pola Kata Kerja Tsula>tsi Mazi>d Bicharfin
Pola kata kerja tsula>tsi mazi>d bicharfaini memiliki pola sebagai
berikut:
Tabel 6
Pola Kata Kerja Tsula>tsi Mazi>d Bicharfaini
Pola kata kerja tsula>tsi mazi>d bi tsala>tsati achrufin memiliki pola
sebagai berikut:
Tabel 7
Pola Kata Kerja Tsula>tsi Mazi>d bi Tsala>tsati Achrufin
3 أفعل ي فعل افعل اكرم –ي كرم –أكرم
مرق فعل ماضى فعل مضارع فعل أمر مثال
1 ت فاعل ي ت فاعل ت فاعل ت باعد –ي تباعد –ت باعد
2 ت فع ل ي ت فع ل ت فع ل تكت ر –ي تكت ر – تكت ر
3 عل ت فا ي فتعل اف تعل اجتمع – جيتمع – اجتمع
فعل ان فعل ر انكت –ي نكتر –انكتر 4 ان فعل ي ن
5 اف عل ي فعل اف عل احر – مر ي –احر
رقم فعل ماضى فعل مضارع فعل أمر مثال
ت فعل س ا استخرج –يتتخرج –استخرج 1 ت فعل س ا ت فعل ت ي
2 اف عوعل ي فعوعل اف عوعل احلول – لوىل ي –احلوىل
3 ال ع اف فعال ي اف عال احار –يمار – احار
4 ل و اف ع ي فعول اف عول علوط ا – علوط ي – علو ط ا
23
Selain bentuk fi’l yang terdiri dari tiga huruf (tsula>tsi>), terdapat fi’l
yang terdiri dari empat huruf yang disebut dengan fi’l ru>ba>’i>. Fi’l ru>ba>’i> ini
dibagi menjadi dua yaitu quadrilateral (ru>ba>’i> mujarrad) dan fi’l ru>ba>’i>
mazi>d. Berikut pola kata kerja quadrilateral (ru>ba>’i> mujarrad) :
Tabel 8
Pola Kata Kerja Quadrilateral (Ru>ba>’i> Mujarrad)
Pola kata kerja ru>ba>’i> mazi>d :
Tabel 9
Pola Kata Kerja Ru>ba>’i> Mazi>d
رقم فعل ماضى ضارعفعل م فعل أمر مثال
1 ف علل ي فعلل ف علل دحرج -ي دحرج –دحرج
2 ف وعل ي فوعل ف وعل حوقل -ي وقل –حوقل
عل ي فيعل ف يعل ب يطر -ي ب يطر –ب يطر 3 ف ي
ل ف عو جهور -جي هور –جهور 4 ف عول ي فعول
5 ل عي ف ي فعيل ف عيل شريف –ي شريف –شريف
6 ىل ف ع ىل ع ف ي ف عل سلق -ي تلقى –سلقى
7 ف عنل ي فعنل ف عنل ق لنس -ي قلنس –ق لنس
رقم فعل ماضى فعل مضارع فعل أمر مثال
1 ت فعلل ي ت فعلل ت فعلل تدحرج -ي تدحرج –تدحرج
م -احرنم م ا -يرن نلل ي فع اف عنلل حرن لل 2 اف عن
3 اف علل ي فعلل اف علل اق عنتس -ي قعنتس –اق عنتس
24
2. Sintaksis
Sintaksis berasal dari kata Yunani (sun = „dengan‟ + tattein „menempatkan‟.
Jadi, kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-
kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Menurut Ramlan (1996: 21), sintaksis
ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk
wacana, kalimat, klausa, dan frase, berbeda dengan morfologi yang membicarakan
seluk-beluk kata dan morfem. Sedangkan Chaer (2008: 3) berpendapat bahwa
subsistem sintaksis membicarakan penataan dan pengaturan kata-kata ke dalam
satuan-satuan yang lebih besar, yang disebut satuan-satuan sintaksis, yakni kata,
frase, klausa, kalimat, dan wacana.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sintaksis
merupakan cabang dari sistem gramatika yang membahas tentang hubungan antar
kata dalam suatu tuturan, yakni kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.
Sintaksis dalam bahasa Arab disepadankan dengan a’n-nachwu (Al-Khuli,
1982: 278). Menurut Ni‟mah (1988: 17) nahwu adalah kaidah untuk mengetahui
fungsi setiap kata dalam kalimat, mengetahui akhiran kata, dan mengetahui
metode i’rab-nya. Sedangkan Al-Ghulayaini (2007: 13) menyebutkan bahwa ilmu
nahwu merupakan ilmu yang membahas tentang susunan kata, perubahan fungsi
akhir suatu kata dalam bahasa Arab dari segi (nominatif) rafa’, (akusatif) nashab,
(genitif) jar, (imperatif) jazm, dan tetapnya bunyi akhir kata.
Penulis menyimpulkan bahwa nahwu merupakan bagian dari ilmu tata
bahasa yang membahas tentang kata yang sudah masuk dalam tataran kalimat
dengan memperhatikan perubahan akhir kata.
25
Pada pembahasaan sintaksis ini, akan dijabarkan tentang kategori, fungsi,
dan peran dalam bahasa Arab. Selanjutnya, akan dibahas mengenai teori valensi,
dan zhanna wa akhwa>tuha>.
2.1. Kategori dalam Bahasa Arab
Menurut Veerhar (2006: 170) kategori sintaksis adalah apa yang sering
disebut “kelas kata”, seperti nomina, verba, ajektiva, adverbia, adposisi
(artinya, preposisi atau posposisi). Ada banyak perbedaan di antara bahasa-
bahasa di dunia dalam hal jenis dan jumlah kelas kata atau kategori itu.
Kategori sintaksis atau kelas kata dalam bahasa Arab disepadankan
dengan الكلمات نوع /nau’ul-kalima>t/ kelas kata (word of class) terbagi menjadi
empat macam yaitu kelas kata ke-1 (word of class I) berupa /al-asma>u/
(noun), kelas kata ke-2 (word of class II) berupa /al-af’a>l/ (verb), kelas kata
ke-3 (word of class III) berupa /a’n-nu’u>tu/ (adjective), kelas kata ke-4 (word
of class IV) berupa /a’zh-zhuru>f (adverb) (Al-Khuli,1982: 311).
Kata dalam bahasa Arab adalah lafazh yang menunjukkan suatu makna.
Kata dibagi menjadi tiga bagian yaitu ism, fi’l, dan charf (Al-Ghulayaini,
2007: 14). Di bawah ini akan dijelaskan lebih detil tentang nomina (ism),
verba (fi’l), dan partikel (charf).
a. Nomina (Ism)
Secara etimologi, ism berarti nama (Munawwir, 2007: 664).
Sedangkan secara terminologi, ism adalah kata yang menunjukkan makna
yang bebas yang dapat dipahami dan tanpa disertai dengan masa atau
zaman, contoh: انتان /insa>nun/; خنل /nakhlun/; ذىب /dzahabun/ (Nashif,
1988: 3). Al-Ghulayaini (2007: 14) mendefinisikan ism sebagai berikut:
26
"قرتن بزمانم ا اسم : ما دل على معىن ىف نفتو غري"
/Al-ismu ma> dalla ‘ala> ma’nan fi> nafsihi > ghairi muqtaronin bi
zama>nin/
“Ism adalah kata yang menunjukkan makna nomina tanpa disertai
dengan kala”.
Contoh: خالد /kha>lidun/; فرس /farasun/; عصفور /‘ushfu>run/; دار /da>run/; حنطة /chinthatun/; .ما /ma> un/
b. Verba (Fi’l)
Secara bahasa, fi’l adalah kata kerja (Munawwir, 2007: 1064).
Secara istilah, Al-Ghulayaini (2007: 16) mendefinisikan fi’l sebagai
berikut:
"بزمان مقرتن الفعل ما دل على معىن ىف نفتو"/Al-fi‟lu ma> dalla ‘ala> ma’nan fi> nafsihi muqtarinin
bizama>nin/.
“Fi’l adalah kata yang menunjukkan makna verba dengan disertai
oleh kala”.
Contoh: .جا /ja> a/; جييئ /yaji>´u/; .جي /ji>´a/
Ciri morfologis verba dilihat dari kondisi kata itu sendiri.
Beberapa ciri morfologis yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
sebuah verba yaitu dapat bergabung dengan ta’ ta’ni>ts a’s-sa>kinah dan
ta’ al-mutacharrikah pada verba lampau (fi’l ma>dhi>). Ta’ tani>ts a’s-
sa>kinah menunjukkan orang ketiga tunggal untuk muanats, seperti:
ف تحت ;/nasharat/ نصرت /fatachat/. Adapun ta’ al-mutacharrikah adalah
ta‟ yang berharakat dan menunjukkan kata ganti subjek, contoh: ت نصر /nashartu/; ت نصر /nasharta/ ت نصر /nasharti/.
27
Menurut Al-Ghulayaini (2007: 30, 39), verba dilihat dari segi
ada dan tidak adanya objek, dibagi menjadi dua yaitu verba transitif
(fi’l muta’adi>) dan verba intransitif (fi’l la>zim).
1) Verba transitif (fi’l muta’adi>) yaitu verba yang tidak hanya cukup
memiliki pelaku (ism fa>’il), tetapi harus dilengkapi dengan objek
(ism maf’u>l bih). Contoh: -fatacha a’th-tha>riqu al/ فتح الطارق األندلس
Andalasa/ „Thariq telah menaklukan Andalusia‟. فتح /fatacha/
‘menaklukan‟ sebagai predikat; الطارق /a’th-tha>riqu/ „Thariq‟
sebagai subjek; dan .al-andalasa/ „Andalusia‟ sebagai objek/ األندلس
2) Verba intransitif (fi’l la>zim) adalah verba yang hanya memiliki
pelaku (ism fa>’il), tetapi tidak memiliki objek (ism maf’u>l bih).
Contoh: ذىب سعيد /dzahaba sa’i>dun/ ‘Sa’id pergi’. Kalimat ini
tidak memerlukan objek. ذىب /dzahaba/ ‘pergi’ sebagai
predikat; سعيد /sa’i>dun/ ‘Sa’i>d’ sebagai subjek.
c. Partikel (Charf)
Secara bahasa, charf adalah huruf (Munawwir, 2007: 255). Secara
istilah, Al-Ghulayaini (2007: 16-17) berpendapat sebagai berikut:
"احلرف ما دل على معىن ىف غريه"
/Al-Charfu ma> dalla ‘ala> ma’nan fi> ghairihi>/
“Charf adalah kata yang menunjukkan makna kata yang lain”.
Contoh: ،و مل، و على، و إن، و منىل، و ىف، و مل
Charf terdiri atas tiga bagian: (1) charf yang khusus berpasangan
dengan ism, seperti charf jar, contoh: /min/, /ila>/, /‘an/, /‘ala>/, /fi>/,
/rubba/, /bi/, /ka/, /li/, /mudz/, /mundzu/; (2) charf yang berfungsi
menempatkan ism atau mubtada’ pada kondisi akusatif (nashab) dan
28
menempatkan khabar pada kondisi nominatif (rafa’), seperti: inna wa
akhwa>tuha> [/inna/, /anna/, /ka´anna/, /lakinna/, /la’alla/, /laita/]; (3)
charf yang berpasangan dengan ism dan fi’l, seperti charf „athf
[/wawu/, /fa’/, /tsumma/, /au/, /am/, /la>/, /la>kin/, /bal/, /illa>/] dan charf
istifha>m [/hal/, /ma>/, /hamzah/, /hal/, /man/, /mata>/, /ayya>na/, /kaifa/,
/aina/, /kam/, dan /ayyu/].
2.2. Fungsi Sintaksis Bahasa Arab
Fungsi sintaksis adalah konstituen yang “formal” belaka – tidak
terikat pada unsur semantis tertentu (asalkan menjadi salah satu peserta
pada verba), tidak terikat juga pada unsur kategorial tertentu (asalkan
nominal, bermarkah dengan preposisi atau bentuk kasus, atau tanpa
pemarkahan tersebut) (Verhaar, 2004: 167). Secara umum fungsi itu
dapat dibagankan sebagai berikut, meskipun dalam praktik berbahasa
urutannya bisa tidak sama.
Dari bagan tersebut tampak bahwa secara formal fungsi S dan P
harus selalu ada dalam setiap klausa karena keduanya saling
“berkaitan”.
Guna mengetahui fungsi sintaksis dalam bahasa Arab, terlebih
dahulu akan dijelaskan tentang kalimat sempurna yang di dalamnya
terdapat kalimat nominal dan kalimat verbal dalam bahasa Arab.
Menurut Ni‟mah (1988: 19) kalimat sempurna (al-jumlah al-
mufi>dah) adalah kalimat yang tersusun atas dua kata atau lebih dan
S P (O/ Komp) (ket)
29
menghasilkan makna yang lengkap. Kalimat sempurna (al-jumlah al-
mufi>dah) dibagi menjadi dua:
a. Kalimat nominal (jumlah ismiyah) yaitu kalimat yang diawali
dengan nomina (ism) atau kata ganti (dhami>r), contoh: العلم نور /al-
‘ilmu nu>run>/; نن جماىدون /nachnu muja>hidu>n/
Kalimat
nominal al-‘ilmu nu>run
Arti „ilmu itu‟ „cahaya‟
Fungsi S P
„Ilmu itu cahaya‟
Kalimat
nominal nachnu muja>hidu>n
Arti „kami adalah‟ „orang-orang yang bersungguh-
sungguh‟
Fungsi S P
„kami adalah orang-orang yang bersungguh-
sungguh‟
Tabel 10
Contoh Jumlah Ismiyah
Kalimat nominal (jumlah ismiyah) terdiri atas subjek
(mubtada’) dan predikat (khabar). Subjek (mubtada’) adalah setiap
nomina yang ada di permulaan kalimat, contoh: العلم نور [subjek
(mubtada’) kalimat ini adalah العلم], sedangkan khabar (predikat)
adalah kata yang menyusun makna mubtada’ yakni نور) (Ni‟mah,
1988: 27, 28).
b. Kalimat verbal (jumlah fi’liyah) yaitu kalimat yang diawali dengan
verba (fi’l), contoh: ر العلم ي ني /yuni>ru al-‘ilmu/; طلب العلم د اى ن /nuja>hidu thalabal-‘ilmi/
30
Kalimat
verbal yuni>ru al-‘ilmu
Arti „bercahaya‟ „ilmu itu‟
Fungsi S P
„bercahaya ilmu itu‟
Kalimat
verbal nuja>hidu thalabal-‘ilmi
Arti „kami bersungguh-sungguh‟ „menuntut ilmu‟
Fungsi P + S O
„kami bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu‟
Tabel 11
Contoh Jumlah Fi’liyah
Kalimat verbal (jumlah fi’liyah) di atas terdiri dari predikat
(fi’l), subjek (ism fa>’il) dan objek (ism maf’u>l bih). Predikat (fi’l)
adalah semua kata yang menunjukkan peristiwa pada waktu tertentu,
contoh: م ل ع ال ي ني ر [Predikat (fi’l) kalimat ini adalah ي ني ر] (Ni‟mah, 1988:
18). Subjek (ism fa>’il) adalah nomina yang dibaca nominatif (rafa’)
yang terletak setelah kata kerja yang membutuhkan objek (fi’l mabni>
ma’lu>m) dan menunjukkan pekerjaan atau yang menyifati pekerjaan
tersebut, contoh: م ل ع ال subjek (ism fa>’il) kalimat ini adalah] م ل ع ال ي ني ر ]
(Ni‟mah, 1988: 43). Objek (ism maf’u>l bih) adalah sebuah nomina
yang menunjukkan sasaran atau yang dikenai pekerjaan oleh subjek
dan tidak berubah bentuk verbanya (Ni‟mah, 1988: 66), contoh: د اى ن .[طلب العلم objek (ism maf’u>l bih) kalimat ini adalah] طلب العلم
2.3. Peran Sintaksis Bahasa Arab
Peran sintaksis adalah segi semantis dari peserta-peserta verba
(Verhaar, 2004: 167). Chafe dalam (Chaer, 2008: 29) dan para pakar
semantik generatif berpendapat bahwa verba atau kata kerja yang
mengisi fungsi P merupakan pusat semantik dari sebuah klausa (istilah
yang mereka gunakan proposisi). Oleh karena itu, verba ini
31
menentukan hadir tidaknya fungsi-fungsi lain serta tipe atau jenis dari
kategori yang mengisi fungsi-fungsi lain itu. Misalnya verba membaca
akan menghadirkan fungsi S berkategori N atau FN yang berciri (+
manusia), dan sebuah fungsi O berkategori N atau FN yang berciri (+
bacaan). Sedangkan verba membacakan selain menghadirkan fungsi S
berkategori N atau FN berciri (+ bacaan), yang kini berubah menjadi
fungsi komp, juga menghadirkan sebuah fungsi O berkategori N atau
FN dan berciri (+ manusia).
Peran menagacu pada makna pengisi unsur-unsur fungsional
kalimat. Dalam pembentukan suatu konstruksi kalimat, tiap unsur
memiliki andil dalam membentuk makna secara gramatikal masing-
masing. Jenis peran ini ada banyak bentuk. Beberapa di antaranya
antara lain pelaku (agentif), tujuan (objektif), penerima (benefaktif),
penyebab (kausatif), alat (instrumental), waktu (temporal), tempat
(lokatif), tindakan (aktif), sandangan (pasif), dan pemilikan (posesif)
(Achmad H.P., 2012: 82).
Menurut Chaer, (2009: 30-32) peran-peran yang dimiliki oleh
pengisi fungsi P dalam bahasa Indonesia, selain peran „tindakan‟, juga
ada peran sebagai berikut:
a. Proses, seperti P dalam klausa “Padi menguning di sawah”.
b. Kejadian, seperti P dalam klausa “Bukit itu longsor”.
c. Keadaan, seperti P dalam klausa “Jalan raya itu rusak berat”.
d. Pemilikan, seperti P dalam klausa “Bang Ali punya uang 100 juta”.
e. Identitas, seperti P dalam klausa “Suaminya sopir angkot”.
f. Kuantitas, seperti P dalam klausa “Hartanya melimpah”.
Peran-peran yang ada pada S atau O, antara lain:
32
a. Pelaku, yakni yang bertindak seperti terdapat pada klausa “Ali
memegang senapan”.
Pelaku menurut (Alwi, 2003: 334) yaitu peserta yang melakukan
perbuatan yang dinyatakan oleh verba predikat. Peserta umumnya
manusia atau binatang. Akan tetapi, benda yang potensial juga
dapat berfungsi sebagai pelaku. Peran pelaku ini merupakan peran
semantis utama subjek kalimat aktif dan pelengkap kalimat pasif.
b. Sasaran, yakni yang dikenai tindakan, seperti terdapat pada klausa
“Adi menunggu Tuti”.
Sasaran menurut (Alwi, 2003: 334) yaitu peserta yang dikenai
perbuatan yang dinyatakan oleh verba predikat. Peran sasaran ini
merupakan peran utama objek atau pelengkap.
c. Hasil, yakni benda yang dihasilkan akibat tindakan, seperti terdapat
pada klausa “Ibu menanak nasi”.
d. Penganggap, yakni yang mengalami atau menginginkan, seperti
terdapat pada klausa “Anak itu pandai sekali”.
Penganggap dalam (Alwi, 2003: 335) disebut sebagai pengalam
yakni peserta yang mengalami keadaan atau peristiwa yang
dinyatakan predikat. Peran pengalam merupakan peran unsur
subjek yang predikatnya adjektiva atau verba taktransitif yang lebih
menyatakan keadaan.
e. Pengguna, yakni yang mendapat keuntungan dari P, seperti terdapat
pada klausa “Kakak membukakan ayah pintu”.
Peran pengguna dalam (Alwi, 2003: 335) disebut sebagai
peruntung yakni peserta yang beruntung dan yang memperoleh
manfaat dari keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang dinyatakan
33
oleh predikat. Partisipan peruntung biasanya berfungsi sebagai
objek atau pelengkap, atau sebagai subjek verba jenis menerima
atau mempunyai.
f. Penyerta, yakni yang mengikuti pelaku, seperti pada klausa “Dia
pergi dengan teman-temannya”.
g. Sumber, yakni yang menyertakan pemilik semula, seperti terdapat
pada klausa “Tante Ita memberi kita bunga”.
h. Jangkauan, yakni yang menyatakan ruang lingkup, seperti terdapat
pada klausa “Jabodetabek meliputi Jakarta, Bogor, Tangerang, dan
Bekasi”.
i. Ukuran, yakni yang menyatakan banyaknya atau ukuran benda lain,
seperti terdapat pada klausa “Tiang bendera itu tingginya 10
meter”.
Peran-peran yang ada pada fungsi keterangan, antara lain:
a. Alat, yakni yang dipakai oleh pelaku untuk menyelesaikan
perbuatan, seperti terdapat pada klausa “Ibu memotong kue dengan
pisau”.
b. Tempat, yakni yang menyatakan di mana, ke mana, atau dari mana,
seperti terdapat pada klausa “Kapal itu bertolak ke Medan”.
c. Waktu, yakni yang menyatakan kapan terjadinya P, seperti terdapat
pada klausa “Minggu lalu dia datang”.
d. Asal, bahan terjadinya S, seperti terdapat pada klausa “Cincin ini
terbuat dari perak”.
e. Kemungkinan atau keharusan, yakni yang menyatakan mungkin,
harus, atau kepastian, seperti terdapat pada klausa “Barangkali hari
akan hujan”.
34
Pelaku, penderita, penerima, dan pengalami merupakan peran.
Dalam bahasa Arab, belum diperoleh padanan yang tepat untuk istilah
peran ini (Asrori, 2004: 98). Baalbaki (1990: 83) dalam Dictionary of
Linguistic Terms menyepadankan peran sintaksis dalam bahasa Arab
dengan نو احلا ات /nachwul-cha>la>t/ (case grammar). Baalbaki
menyatakan :
Case grammar (gramm.) احلا ات نو
C. Filmoreكي ري األممل اللغة اع هلدراسة النحوية أنشأنو إعرايب ، منهج ىف ا)أى ن ، وقوامو قتمة اجلملة ىف تركيبيها العميق من ىذا القر ت ناىف أواخر الت
ىل إالتطحية ، و من ىنا اسم املنهج( حا اهتا" "ل"حا اهتا" العميقة ، خالفا ية ، و حتليلها على أساس من العالقة بي مكوناهتا مع غة و القضيقتمي : الص
الرتكيىز على دور الفعل خاصة /nachwul-cha>la>t/
/nachwu i’rabiy, manhaju fi’d-dira>satin-nachwiyah
ansya’ahu ‘a>limul-lughah al-Ami>riki> C. Filmore fi>
awa>khiri’s-sana>t min ha>dzal-Qarni, wa qawa>muhu
qismatul-jumlati fi> tarki>biha> al-‘ami>qi (ai ‚cha>la>tiha>‛ al-
‘ami>qah, khila>fan ‚cha>la>tiha>‛ a’s-sathchiyah, wa min
huna> ismul-manhaj) ila> qismaini: a’sh-shi>ghah wal-
qadhiyah, wa tachli>luha> ‘ala> asa>si minal-‘ala>qah baina
mukawwina>tiha> ma’a’t-tarki>zi ‘ala> dauril-fi’li kha>shatan/
„Peran Sintaksis‟
„Tata bahasa i’ra>b merupakan metode dalam pembelajaran
nahwu yang dicetuskan oleh seorang linguis Amerika C.
Filmore pada akhir abad 20 ini. Prinsipnya, pembagian
klausa menjadi dua bagian (pada strukturnya yang „dalam‟
atau kasusnya yang „dalam‟, bukan pada struktur
permukaan atau luar. Dari istilah ini berasal nama metode
tersebut). Dua bagian itu disebut /a’sh-shi>ghat/ „bentuk‟
dan /al-qadhiyah/ „preposisi‟. Analisis klausa dalam
metode ini di antara masing-masing konstituennya
didasarkan dengan fokus kepada peran verba secara
khusus.
35
Sebagai contoh, Baalbaki menyepadankan peran tujuan atau
hasil (objektif) dengan املفعولية حالة (objective case) (Baalbaki, 1990:
344). Baalbaki menyatakan :
إلسم الذي ميكن وصف عالقتو باحلدث بأهنا األكثر ل حالة: املفعولية حالة حيادا
/cha>latul-maf’u>liyah: cha>latun lil-ismi yumkinu washfun
‘ala>qatuhu bil-chadatsi bi annaha> al-aktsaru chiya>dan/ „Peran objektif adalah suatu peran pada ism yang sifatnya
mungkin berhubungan dengan suatu kejadian atau
peristiwa karena banyak kenetralan‟.
Baalbaki mencontohkan kalimat he opened the door with a
stolen key „Dia membuka pintu dengan sebuah kunci yang dicuri‟.
The door „pintu‟ berperan objektif karena berhubungan dengan
kejadian opened „membuka‟. Selain itu, terdapat unsur-unsur lain
yang berhubungan dengan kejadian tersebut yaitu he „dia‟ berperan
sebagai pelaku dan a stolen key „sebuah kunci yang dicuri‟ berperan
instrumental atau alat.
Pada contoh di atas, Baalbaki tidak menyebutkan secara rinci
terkait peran objektif tersebut merupakan sesuatu yang dikenai
tindakan atau suatu benda yang dihasilkan akibat tindakan. Baalbaki
hanya menyebutkan bahwa peran objektif berhubungan dengan
kejadian atau peristiwa, sehingga peran objektif yang dinyatakan oleh
Baalbaki belum sepenuhnya menggambarkan peran objektif seperti
yang digambarkan peran objektif dalam bahasa Indonesia yang detil.
Peran objektif yang disebutkan dalam Baalbaki belum merujuk secara
khusus tentang tujuan atau hasil (merupakan benda yang dihasilkan
36
akibat tindakan). Keterangan peran objektif baru sebatas gambaran
umum dan tidak disebutkan tentang hasil ataupun tujuan. Hal ini jika
dipaksakan akan menimbulkan kerancuan karena informasi yang
disebutkan bisa merujuk kepada tujuan atau hasil (objektif) atau
sasaran (benefaktif).
Berdasarkan keterangan di atas, penulis lebih memilih
menggunakan peran bahasa Indonesia dan belum menggunakan
padanannya dalam bahasa Arab. Hal ini masih diperlukan penelitian
lebih lanjut tentang peran dalam bahasa Arab. Adapun analisis peran
yang digunakan, merujuk pada teori yang disampaikan oleh Chaer.
Penulis mencantumkan beberapa teori tentang peran dari Alwi dan
Ahmad H.P. Hal ini bertujuan untuk memperkuat penjelasan dan
menambah keterangan yang dibutuhkan.
2.4. Teori Valensi
Tata bahasa kasus (case grammar) lahir di dalam konteks Tata
Bahasa Transformasional. Oleh karena itu, kaidah-kaidah yang
digunakan untuk menurunkan struktur lahir dari struktur batin juga
mirip dengan yang dipercaturkan oleh tatabahasawan transformasional
(Purwo, 1989: 2).
Kelahiran karya Fiilmore di dalam konteks yang lebih luas,
berlangsung di dalam teori valensi yang lebih dulu berkembang di luar
Amerika Serikat. Pada karya awalnya, Fillmore mengutip karya
Tesniere (1959), yang mendahuluinya mengecimpungi teori valensi,
di Prancis. Teori valensi di Jerman, dikembangkan oleh Erben (1968)
37
dan Helbig (1971), dan di Rusia oleh Kholodovich (1960). Meskipun
ada perbedaan di antara para perancang teori valensi itu, terdapat
kesamaan pandangan atau gambaran, yaitu bahwa tata bahasa
dibangun di sekitar verba sebagai pusatnya. Verba memiliki valensi
atau seperangkat relasi yang menggantung; relasi yang menggantung
itu bersumber dari verba. Relasi-relasi itu terungkapkan dalam wujud
peran (Purwo, 1989: 3).
Tata bahasa kasus, yang lebih melimpahkan perhatian pada
bidang semantis, penting untuk dipadukan dengan teori valensi, yang
lebih berpijak pada bidang sintaksis (Fink 1978 dalam PELLBA).
Dalam membahas konsep kasus, Fillmore (1968: 24) dalam Ba‟dulu
(2010: 78) menyatakan bahwa konsep kasus itu terdiri atas
seperangkat konsep yang universal, mungkin dibawa sejak lahir yang
mengidentifikasikan jenis-jenis pertimbangan yang dapat dibuat oleh
manusia tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya,
pertimbangan-pertimbangan tentang hal-hal seperti siapa yang
melakukannya, kepada siapa hal tersebut terjadi, dan siapa yang
berubah. Fillmore menyarankan daftar minimal dari enam kasus.
Setiap kasus diusulkan sebagai suatu kesemestaan linguistik, yang
ditemukam dalam bentuk tertentu dalam semua bahasa alamiah.
Kasus-kasus tersebut adalah agentif, instrumental, datif, faktitif,
lokatif, objektif.
Valensi (valency) adalah hubungan sintaksis antara verba dan
unsur-unsur di sekitarnya, mencakup ketransitifan dan penguasaan
38
verba atas argumen-argumen di sekitarnya (Kridalaksana, 2009: 253).
Sedangkan yang dimaksud argumen (argument) adalah nomina atau
frase nominal yang bersama-sama predikator membentuk proposisi;
misal proposisi yaitu predikator, argumen 1, argumen n (Kridalaksana,
2009: 19).
Istilah valensi verba dalam bahasa Arab disepadankan dengan
dalam (التكافؤ) a’t-taka>fu’/ (Baalbaki, 1990: 523). Valensi verba/ التكافؤ
bahasa Arab merupakan beberapa unsur bahasa yang dibutuhkan oleh
verba untuk kesempurnaan suatu kalimat. Suatu verba akan
mempunyai valensi di sekitarnya. Sebagai contoh hubungan verba
dengan pelaku atau subjek (ism fa>’il), objek langsung (ism maf’u>l bih
al-muba>syir), objek tidak langsung (maf’u>l bih ghairul-muba>syir).
2.5. Zhanna wa akhwa>tuha>
Zhanna wa akhwa>tuha> merupakan verba yang membutuhkan
objek (fi’l muta’adi>) yang mempunyai dua objek (ism maf’u>l).
Zhanna wa akhwa>tuha> ini me-nashab-kan dua objek (ism maf’u>l)
yang berasal dari subjek (mubtada’) dan predikat (khabar) (al-
Ghulayaini, 2007: 31).
Pada Kitab Alfiyah Syarah Ibnu Aqil (2010: 270), zhanna wa
akhwa>tuha> terbagi menjadi dua bagian. Pertama af’a>lul-qulub
„pekerjaan hati‟, kedua af’a>lu’t-tachwi>l „menunjukkan makna
perpindahan‟. Adapun af’a>lul-qulu>b „pekerjaan hati‟ terbagi lagi
menjadi dua bagian :
a. Kata yang menunjukkan makna yakin, diantaranya :
ى، تعلمى، علم، وجد، در أر
39
b. Kata yang menunjukkan makna dugaan atau pertimbangan ىب، جعل، حجا، عد ، زعم، حتب، ظن، خال
Tabel 12
Pembagian Verba Af’a>lul-qulu>b „Pekerjaan Hati‟
Adapun af’a>lul qulu>b terbagi menjadi dua bagian, yaitu fi’l yang
mutasharrif (fi’l yang bisa di-tashri>f) dan fi’l yang tidak mutasharrif
(fi’l yang tidak bisa di-tashri>f). Fi’l yang mutasharrif yaitu selain kata
ta‟allam/. Fi’l yang mutasharrif ma>dhi>-nya dapat/ تعلم hab/ dan/ ىب
dipakai, Contoh :
)أفعال القلوب( أفعال الظن
معنى اليقين معنى الرجحان
Menduga /za’ama/ زعم Yakin /raa>/ راى
Mengira /chasiba/ حتب Yakin /’alima/ علم
Menduga /zhanna/ ظن Yakin /wajada/ وجد
Menduga /kha>la/ خال Yakin /dara>/ درى
Menganggap /hab/ ىب Yakin /ta’allam/ تعلم
makna اعتقد (mengira)
/ja’ala/ جعل
Menduga /chaja>/ حجا
Menganggap /’adda/ عد
40
(i) قائما ظننت زيدا /zhanantu zaidan qa>iman/ „saya telah menduga
Zaid berdiri‟
(ii) قائما ظن زيدا /zhunna zaidan qa>iman/ „dugalah (bahwa) Zaid
berdiri‟ (Ibnu ‘Aqil, 2010: 277)
Af’a>lu’t-tachwi>l merupakan jenis fi’l muta’adi > (verba yang
membutuhkan objek) kepada dua maf’u>l (objek) yang asalnya juga
berasal dari mubtada’ (subjek) dan khabar (predikat). Af’a>lu’t-tachwi>l
terdapat tujuh kata, sebagai berikut:
Tabel 13
Verba yang Tercakup dalam Af’a>lu’t-tachwi>l
Verba yang dapat dibuat turunan (di-tashri>f) selain/hab/ dan
/ta’allam/ dapat mempunyai fungsi yang sama dengan fi’l ma>dhi >-nya.
Contoh: fi’l ma>dhi> /zhanantu zaidan qa>iman/; fi’l mudha>ri’ /azhunnu
zaidan qa>iman/; fi’l amr /zhunna zaidan qa>iman/; ism fa>’il /ana>
)أفعال التحويل( أفعال الظن
Menjadikan /shayyara/ صري
Menjadikan /ja’ala/ لجع
Menjadikan /wahaba/ وىب
Mengambil /takhidza/ ختذ
Mengambil /ittakhadza/ ا ختذ
Membiarkan /taraka/ ترك
mengubah /radda/ رد
41
zha>nnun zaidan qa>iman/; ism maf’u>l /zaidun mazhnu>nun abu>hu
qa>iman/; dan mashdar /‘ajibtu min zhannika zaidan qa>iman/ (Ibnu
‘Aqil, 1980: 44). Verba yang tidak bisa dibuat turunan atau di-tashri>f
(ghairu mutasharrif) ada dua yaitu /hab/ dan /ta’allam/ yang
bermakna /i’lam/. Kedua verba ini tidak dapat dipakai kecuali dalam
bentuk kata kerja yang menunjukkan perintah (amr) (Ibnu ‘Aqil,
2010: 278).
3. Teori Kebahasaan Struktural
Pembahasan tentang teori kebahasaan struktural akan berpusat pada dua
tokoh pelopor linguistik strukturalis di Prancis dan Amerika Serikat. Teori
kebahasaan struktural mempunyai asumsi dan hipotesis tentang bahasa
berdasarkan pada hasil pemakaian yang otonom tentang bahasa. Asumsi dan
hipotesis tentang bahasa diuji atau diverifikasi dengan data bahasa baik yang
lisan maupun tertulis. Di samping itu, fakta dan data bahasa yang bersifat lisan
yang menjadikan dan memberikan kemungkinan penciptaan teori-teori bahasa
yang bersifat universal dan spesifik. Dengan kata lain, teori kebahasaan
struktural lebih mendasarkan diri pada data-data bahasa yang empiris. Hal ini
berarti mulai ada perekaman bahasa yang diujarkan (Parera, 1991: 10).
Berdasarkan karakteristik dari masing-masing bahasa, secara tipologi
struktural, perlu diperhatikan pula tipologi struktural dengan kasus. Oleh sebab
itu, dibedakan menjadi dua macam kasus, yakni (1) kasus morfologis-sintaksis
dan (2) kasus sintaksis-semantis.
Tipologi struktural dengan verbum sebagai sentral dan hubungan nomen
dengan verbum berkasus semantik. Relasi semantik antara nomen dan verbum
42
dibedakan atas: agentif, benefaktif, instrument, obyektif, pengalami, lokatif,
sumber, hasil/resultatif, dan komitatif (Parera, 1991: 10).
F. DATA DAN SUMBER DATA
Data utama dalam penelitian ini adalah berupa data tulis. Data tulis
memperlihatkan ciri yang lebih efisien daripada data lisan, baik dalam
penggunaan struktur kalimat maupun pemilihan kata. Selanjutnya, tingkat
interferensi dari bahasa Indonesia dan bahasa asing. Data tulis jauh lebih rendah
daripada data lisan. Kemudian, dalam bahasa ragam lebih mendekati tingkat
kebakuan daripada bahasa ragam lisan (Alwi, 2003: 25). Guna mendapatkan data
tulis yang diperlukan dalam penelitian ini, dapat diwakili dengan mengambil data
dari referensi bahasa Arab buku-buku yang berhubungan dengan ilmu nahwu serta
kamus-kamus bahasa Arab. Data tersebut diharapkan sudah dapat mewakili objek
dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan jarang digunakannya data zhanna wa
akhwa>tuha> dalam referensi berbahasa Arab.
Sumber data penelitian ini adalah kitab A’n-Nachwul-Wa>fi> karya Abbas
Hasan, kitab A’n-Nachwul-‘Arabi> karya Ibrahim Ibrahim Barakat, dan kitab
Syarah Ibnu ‘Aqi>l karya Bahauddin Abdullah bin „Aqil Al-„Aqli Al-Mishri Al-
Hamdani.
Penulis menggunakan kitab A’n-Nahwul-Wa>fi> dikarenakan kitab yang
berisi tentang gramatika Arab ini menawarkan komprehensifitas di samping
sistematika yang diklaim lebih mudah dan logis. Kitab nahwu ini termasuk kitab
kontemporer yang mengambil pendekatan baru, sehingga memudahkan siapa pun,
terutama masyarakat awam yang hendak mengkaji gramatika dan morfologi Arab.
43
Selain itu kitab-kitab ini juga banyak mengandung contoh-contoh dan latihan
yang dapat mengasah kemampuan pembelajar.
Penulis juga menggunakan kitab Syarah Ibnu ‘Aqi>l yang berisi penjelasan-
penjelasan mengenai ilmu nahwu, karena penguasaan terhadap ilmu ini
merupakan kunci dan syarat mutlak untuk dapat mengkaji ajaran Islam secara luas
dan mendalam. Dalam literatur pesantren di Indonesia, sudah tak asing lagi
bahkan hampir seluruh pesantren menyertakan kitab Alfiyyah sebagai salah satu
pelajaran wajib dan menjadi tolak ukur sejauh mana kepandaian seorang santri
dalam ilmu gramatikal arab. Pembahasan kitab ini lebih menitikberatkan pada
kajian kebahasaan. Gaya bahasanya mudah dipahami dan sarat dengan materi
yang dapat menjabarkan pengertian yang luas. Syarah ini juga sangat sederhana
dan mudah dicerna oleh pemula yang ingin belajar gramatika bahasa Arab.
Pengarang kitab ini mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis.
Penulis menggunakan kitab A’n-Nachwul-‘Arabi > dikarenakan kitab ini
berisi banyak contoh-contoh yang dapat memudahkan pembaca dalam
mempelajari ilmu nahwu. Kitab ini terdiri dari lima jilid yang membahas secara
detil tentang ilmu gramatika Arab. Data-data yang berkaitan dengan Zhanna wa
akhwa>tuha> terdapat pada kitab A’n-Nachwul-‘Arabi> jilid dua.
Jumlah data yang terdapat pada ketiga kitab nahwu ini berjumlah 142 data.
41 data dari kitab A’n-Nachwul-Wa>fi> karya Abbas Hasan; 76 data dari kitab A’n-
Nachwul-‘Arabi> karya Ibrahim Ibrahim barakat; dan 25 data dari kitab kitab
Syarah Ibnu ‘Aqi>l karya Bahauddin Abdullah bin „Aqil Al-„Aqli Al-Mishri Al-
Hamdani.
44
Data penelitian ini berupa kalimat atau klausa yang di dalamnya terdapat
zhanna wa akhwa>tuha>. Apabila suatu kalimat dalam bahasa Arab dimasuki oleh
zhanna wa akhwa>tuha>, maka kedudukan fungsi dan peran dari kalimat tersebut
akan berubah. Hal inilah yang akan diteliti penulis dalam kaitannya dengan verba
bervalensi tiga.
G. METODE PENELITIAN
Pada bagian metode penelitian dijelaskan cara penelitian yang akan
dilakukan. Menurut Sudaryanto (1993: 5-7), dalam kegiatan penelitian bahasa,
tahap pemecahan masalah dibagi menjadi tiga tahap yang saling berurutan, yaitu
penyediaan data, analisis data yang telah disediakan, dan penyajian hasil analisis
data.
Menurut Tammam (2009: 45), metodologi penelitian bahasa Arab tidak
dapat dipisahkan dari empat metode penelitian linguistik, yaitu metode deskriptif
(manhaj washfi>), metode historis (manhaj ta>ri>khi>), metode komparatif (manhaj
muqa>ran), dan metode kontrastif (manhaj taqa>buli). Adapun jenis penelitian
dalam kajian “Verba Bervalensi Tiga Zhanna Wa Akhwa>tuha>‛ adalah deskriptif
kualitatif yaitu sebuah penelitian yang kerjanya menyajikan data berdasarkan
objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang ada (Sudaryanto,
1992: 5).
Penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Peneliti mencatat dengan teliti dan
cermat. Data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar,
memorandum, video-tipe (Subroto, 1992: 7).Penelitian deskriptif menuturkan dan
menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variabel, dan fenomena
yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikannya apa adanya (Subana,
45
2011: 89). Data yang terkumpul berupa kata-kata dalam bentuk kalimat dan bukan
angka. Penelitian ini berupaya mencari kebenaran ilmiah mengenai fenomena
kebahasaan berupa verba bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha> secara mendalam.
Sasaran penelitian akan mencakup bentuk, fungsi, peran, dan makna verba
bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha>.
Data merupakan fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan
langsung dengan masalah yang dimaksud. Dengan demikian itu, substansinya
dipandang berkualifikasi valid atau shahih dan reliable atau terandal (Sudaryanto,
1993: 5).
1. Penyediaan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak. Metode simak atau
penyimakan yang dilakukan dengan menyimak pengguna bahasa (Sudaryanto,
1988: 2). Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap, kemudian teknik
lanjutan yang digunakan yaitu teknik catat.
Teknik sadap digunakan sebagai teknik dasar dalam pengumpulan data tulis.
Menurut Sudaryanto, penerapan teknik sadap pada data tulis diwujudkan dengan
cara menyimak (Sudaryanto, 1998: 2). Teknik catat adalah pencatatan data yang
menggunakan alat tulis tertentu dan dapat dipandang sebagai teknik lanjutan
(Sudaryanto, 1988: 5). Penerapan teknik catat yaitu data dicatat pada kartu dan
dengan memberi tanda lengkap dengan nama sumber datanya sesuai kebutuhan
dan masalah yang akan diteliti sehingga mempermudah dalam pengklasifikasian
dan analisis.
Data penelitian verba bervalensi tiga zhanna wa akhwa>tuha> ini dikumpulkan
melalui studi teks dengan membaca literatur atau sumber data yang telah
46
ditentukan. Penulis membaca dan mencari klausa atau kalimat yang mengandung
zhanna wa akhwa>tuha> kemudian mencatat dan mengklasifikasikannya.
2. Analisis Data
Metode yang digunakan dalam tahap analisis data adalah metode
distribusional (agih). Metode distribusional adalah metode analisis data yang alat
penentu unsurnya dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:
15). Metode ini digunakan untuk menganalisis bentuk dan fungsi verba bervalensi
tiga zhanna wa akhwa>tuha>.
Teknik dasar metode agih disebut teknik bagi unsur langsung (BUL). Cara
yang digunakan pada awal kerja analisis ialah membagi satuan lingual datanya
menjadi beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang bersangkutan
dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang
dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Penerapan teknik ini yaitu dengan membagi
satuan-satuan kata dalam kalimat disesuaikan dengan kedudukan dan fungsi kata
tersebut, misal subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan.
Teknik lanjutan menggunakan teknik lesap. Teknik lesap adalah teknik
analisis yang berupa penghilangan atau pelesapan unsur satuan lingual data.
Kegunaan teknik ini adalah untuk mengetahui kadar keintian unsur yang
dilesapkan. Jika hasil dari pelesapan itu tidak gramatikal, maka unsur yang
bersangkutan memiliki kadar keintian yang tinggi atau bersifat inti (Sudaryanto,
1993: 41-42). Penerapan teknik ini dalam analisis yaitu kata yang sudah terbagi
sesuai dengan kedudukan dan fungsinya akan dilesapkan salah satu secara
berurutan. Misal, subjek dilesapkan maka akan diketahui kalimat tersebut
berterima atau tidak, begitu seterusnya.
47
3. Penyajian Hasil Laporan
Penyajian hasil laporan dalam penelitian ini menggunakan metode
penyajian informal, yaitu perumusan dengan kata-kata biasa walaupun dengan
terminologi yang teknik sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145).
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I :Pendahuluan, dalam hal ini penulis menguraikan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan
masalah, landasan teori, data dan sumber data, metode
penelitian, dan sistematika penulisan
BAB II : Hasil penelitian dan pembahasan, yaitu bab yang menguraikan
tentang hasil penelitian dan pembahasan dari data yang telah
diperoleh. Bentuk, fungsi, dan peran verba bervalensi tiga zhanna
wa akhwa>tuha>
BAB III : Kesimpulan dan saran, yaitu bab yang berisi simpulan hasil
penelitian dan saran
Bagian terakhir dari laporan penelitian ini adalah daftar pustaka dan
lampiran.