BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · Bahasa Indonesia (2012), hegemoni merupakan pengaruh...
-
Upload
duongkhuong -
Category
Documents
-
view
219 -
download
1
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · Bahasa Indonesia (2012), hegemoni merupakan pengaruh...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 1979:1). Faruk (2010:40) menyatakan
bahwa karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang. Karya sastra
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara nyata atau hanya
berupa pikiran atau ide dari pengarang. Atar Semi (1993:8-13) berpendapat bahwa
sastra adalah suatu bentuk hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Karya-karya ini sering menceritakan sebuah kisah, baik dalam orang
pertama atau orang ketiga, dengan plot dan melalui penggunaan berbagai
perangkat sastra yang terkait dengan waktu mereka (Semi, 1993:8-13). Karya
sastra dibagi menjadi dua yang terdiri dari karya satra lisan dan karya sastra tulis.
Karya sastra lisan yaitu cerita rakyat, legenda, mite, dan lain-lain; sedangkan
karya sastra tulis, misalnya cerkak, cerbung, novel, naskah drama, dan
sebagainya.
Terdapat sebuah simpul yang sangat erat antara sastra daerah terutama
sastra lisan dengan folklor. Hal ini dikarenakan sastra daerah merupakan bagian
dari folklor. Menurut Danandjaja (Didipu, 2010:30) folklor adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam
bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat.
1
2
Karya sastra dapat mempunyai persepsi berbeda. Persepsi atau perspektif
merupakan 1) Cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar
sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan
tinggi); 2) Sudut pandang atau pandangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012).
Simpulan dari arti perspektif di atas yaitu suatu pandangan tentang sesuatu hal.
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini mempunyai sisi lain yang dapat dilihat
yaitu adanya hegemoni kekuasaan. Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani
kuno yaitu „eugemonia’. Sebagaimana yang sudah dikemukakan encylclopedia
Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi
posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara
individual misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap
negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2012), hegemoni merupakan pengaruh kepemimpinan,
dominasi, kekuasaan, dan sebagainya dari suatu negara atas negara lain (negara
bagian).
Pencetus teori hegemoni bernama Antonio Gramsci, dia lahir pada tahun
1981. Gramsci dapat mencetuskan teori ini karena ia terkesan dengan gerakan
kaum buruh di kota Turin, suatu minat yang kemudian mendorongnya untuk
bergabung dengan Partai Sosialis Italia (PSI) tahun 1913. Penjelasan Gramsci
tentang hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai
kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya
berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana
kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang
didominasi tidak merasa ditindas oleh penguasa.
Hegemoni ini tak dapat luput dari sebuah kekuasaan, dan kepemimpinan.
Kekuasaan sendiri menurut Max Weber (Thoha, 2005) merupakan suatu
kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada
dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang
menghilangkan halangan. Kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau
kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan
yang diberikan, kewengangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang
diperoleh. Hegemoni kekuasaan ini merupakan dominasi atas nilai-nilai
kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya
berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana
kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya dengan tidak
melebihi kewenangan yang sudah diperoleh oleh suatu kelompok yang
mendominasi. Hegemoni kekuasaan ini dapat dikaitkan dengan cerita rakyat
seperti pada cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono,
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Menurut James Danandjaja (1984:4), cerita rakyat merupakan suatu karya
sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan
dalam bentuk relatif tetap, atau dalam bentuk baku disebarkan diantara kolektif
tertentu dalam waktu yang lama. Salah satu contoh cerita rakyat ini adalah cerita
rakyat Kyai Ageng Pengging. Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging dapat
digolongkan sebagai jenis folklor yang merupakan cerita prosa rakyat atau lebih
dikenal cerita rakyat. Folklor merupakan istilah serapan dari bahasa Inggris yaitu
folk dan lore. Folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik,
sosial dan kebudayaan; sedangkan lore yaitu sebagian kebudayaan yang
3
4
diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak
isyarat. Folklor dapat diartikan sebagai suatu kebudayaan yang diwariskan dan
disebarluaskan secara turun temurun secara tradisional baik lisan maupun melaui
contoh dan perilaku.
Cerita rakyat “Kyai Ageng Pengging” ini sangatlah menarik untuk diteliti
karena cerita rakyat ini banyak mengandung nilai-nilai budaya dan nilai magis
yang masih kental. Cerita rakyat ini masih eksis dan banyak orang yang
mengunjungi makam Kyai Ageng Pengging. Alasan lain yang melatarbelakangi
peneliti mengambil objek penelitian ini karena tertarik dengan adat dan tradisi
yang dilakukan masyarakat sekitar makam Kyai Ageng Pengging dalam merawat
serta melestarikan makam ini dan tetap dijaga kebersihannya pula. Makam Kyai
Ageng Pengging ini juga dapat menarik perhatian baik masyarakat sekitar maupun
peziarah yang datang dari luar kota untuk sekedar berdoa meminta berkah di
tempat itu. Mereka berdoa menurut agama dan kepercayaan mereka masing-
masing, tidak ada aturan atau alat-alat khusus yang harus dibawa pada saat berdoa
atau berziarah.
Beranjak dari beberapa latar belakang tersebut, tiga alasan utama yang
menjadi pendorong dilaksanakannya penelitian ini, antara lain:
1. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bentuk dan struktur
cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono,
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Bagian ini penting untuk diketahui
sebagai cara untuk mengetahui cerita rakyat yang baik.
2. Penelitian ini diupayakan untuk menggali bentuk hegemoni kekuasaan
dalam isi cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan
Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
3. Penelitian ini didasari adanya persepsi masyarakat terhadap bentuk
hegemoni dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging bagi masyarakat
Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa
Tengah.
Berdasarkan dari penelitian lain yang sejenis yang terdapat di jurnal antara
lain:
1. Skripsi oleh Monica Arti Wijaya dari Fakultas Ilmu Budaya UNS tahun
2015, yang mengkaji tentang cerita rakyat Onggoloco dengan judul
”Aspek Kultural dan Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat
Onggoloco di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten
Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (sebuah tinjauan
folklor)”. Hasil penelitian ini adalah, profil masyarakat dusun Duren,
Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, sebagai
masyarakat pemilik cerita rakyat Onggoloco; bentuk cerita cerita rakyat
ini dapat dikategorikan sebagai cerita prosa rakyat dengan golongan
Mite; aspek-aspek kultural yang ada di dalam cerita yaitu mengenai
peranan Onggoloco di dalam pertanian dan perhutanan, serta kreatifitas
masyarakat dusun Duren untuk menciptakan kesenian tradisional untuk
mengenang tokoh Onggoloco ini; dan unsur mitos yang tersebar di
dalam masyarakat berupa gugon tuhon seperti, apabila merusak hutan
Wonosadi maka akan mendapatkan ganjaran seperti mengalami sakit
5
6
yang berkepanjangan, kerasukan, sampai kematian, selain itu upacara
sadranan harus dilakukan setiap tahun sekali guna memperingati tokoh
Onggoloco sebagai orang yang pernah berpengaruh di desa tersebut,
apabila tidak dilakukan sadranan akan mengalami paceklik
berkepanjangan;
2. Cerita Rakyat dan Upacara Adat Tradisional Dhugderan di Kota
Semarang (Tinjauan Folklor) yang diteliti serta ditulis oleh Betha
Ericka Ayu dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS pada tahun 2011.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu asal mula munculnya Cerita rakyat
Dhugdheran berawal dari ketika Islam masuk ke tanah Jawa, keramaian
rakyat tak dapat lepas dari peran Walisanga yaitu Sunan Kalijaga dalam
menyadarkan Ki Ageng Pandanaran II hingga membunyikan bedhug di
Semarang; cerita Rakyat Dhugdheran masuk ke dalam golongan folklor
sebagian lisan. Upacara Adat Tradisional Dhugdheran dilaksanakan
sebagai penentu awal jatuhnya bulan Ramadan; di dalam Cerita Rakyat
dan pelaksanaan Upacara Adat Tradisional Dhugdheran terdapat
beberapa perlengkapan yang digunakan sebagai perlambang untuk
menggambarkan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, serta
bermakna sebagai pengungkapan rasa syukur karena; nilai guna dari
adanya Cerita Rakyat Dhugdheran mampu memberikan hal-hal yang
bermanfaat bagi masyarakat, yaitu sebagai sistem proyeksi, alat
pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan anak,
serta sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat
akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya; dan pelestarian sebuah
kebudayaan tradisi Dhugdheran sangat penting untuk dilakukan.;
3. Penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian yang akan
dilaksanakan ialah jurnal yang berjudul Gramsei Good Sense and
Critical Folklore Studies yang ditulis oleh Stephen Olbrys Gencarella
(2010). Penelitian ini membahas kekosongan ilmiah kontribusi Antonio
Gramsci untuk studi cerita rakyat di dunia yang berbahasa Inggris.
Menurutnya kritik Gramsci, cerita rakyat telah sering disalahpahami
karena belum dibaca bersama-sama dan diberi komentar pada bahasa
yang menggunakan akal sehat dan agama, dan juga belum ada konteks
diskusi perbedaan diantara cerita rakyat, filasafat, dan ilmu
pengetahuan. Penelitian ini juga menarik perbandingan singkat dengan
karya Hans George Gadamer dalam rangka untuk mengatasi ide-ide
untuk penelitian kontemporer dan merebut kembali legimitasi politik
cerita rakyat kritis yang terang-terangan akan menjadi dilema politik
dan penderitaan manusia.
4. Skripsi Shanti Dyah Puspa Ratri Fakultas Sastra dan Seni Rupa tahun
2010 dengan judul “Cerita Rakyat dan Upacara Tradisional Perang
Obor di Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara
Propinsi Jawa Tengah (Tinjauan Folklor)”. Kesimpulan dari penelitian
ini yaitu, kondisi geografis Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan
Kabupaten Jepara jawa Tengah ini termasuk wilayah bagian utara;
cerita rakyat Perang Obor ini merupakan mite karena ditokohi oleh dua
orang manusia yaitu Kiai Babadan dan Ki Gemblong; akibat adanya
7
8
peristiwa perang obor, muncul kepercayaan / mitos yang dijadikan
landasan warga setempat untuk tidak melanggar larangan-larangan
dalam pelaksanaan Upacara Tradisional Perang Obor; dalam
pelaksanaan Upacara Tradisional Perang Obor menggunakan sesaji
yang kemudian diletakkan di tempat-tempat yang diyakini sebagai
tempat persinggahan arwah leluhur mereka. Tiap-tiap sesaji memiliki
makna simbolik yang mengandung tentang pesan kebaikan sebagai
pedoman dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa; dan nilai
guna yang terkandung dalam Cerita Rakyat Perang Obor yaitu sebagai
cermin atau proyeksi angan-angan pemiliknya, alat pengesah pranata
dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan, dan lain-lain.
5. Rhian Ardila Maretin Lanua (2014), Sastra Daerah Fakultas Ilmu
Budaya dengan judul “Hegemoni Kekuasaan Dalam Naskah Ketoprak
Lurah Ganjur Karya Trisno Santosa (Sebuah Tinjauan Strukturalisme)”.
Penelitian ini mempunyai simpulan yaitu (1) Struktur drama dalam
naskah ketoprak Lurah Ganjur karya Trisno Santosa merupakan
perpaduan antar unsur struktur satu dengan yang lain dan saling
berhubungan. (2) Bentuk serta proses hegemoni yang terdapat dalam
naskah ketoprak adalah hegemoni persuasif dan represif. (3) Pengarang
memandang bahwa hegemoni yang terdapat dalam naskah ketoprak
sangat relevan dengan dunia nyata.
Menurut peneliti, cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini mampu
memberikan tauladan yang dapat diambil dari ceritanya yang sangat
menginspiratif sehingga cerita rakyat tidak akan hilang ditelan oleh waktu karena
keberadaannya yang lama-kelamaan terkikis oleh jaman. Penelitian terhadap
makam Kyai Ageng Pengging dengan kajian folklor belum pernah dilakukan.
Berdasarkan dari penelitian terdahulu yang sudah diteliti, maka peneliti meneliti
cerita rakyat dengan judul “Hegemoni Kekuasaan dalam Cerita Rakyat Kyai
Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah
(Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra)”.
Penelitian ini menceritakan tokoh Kyai Ageng Pengging yang merupakan
tokoh penguasa di daerah Pengging (sekarang pusatnya berada di desa
Jembungan, Kecamatan Banyudono, Boyolali) yang dihukum mati oleh kerajaan
Demak pada masa pemerintahan Raden Patah karena dia dituduh memberontak.
Dia seorang pemimpin yang memimpin padepokan yang ia bangun sendiri. Nama
aslinya adalah Raden Kebo Kenongo. Kematian Kyai Ageng Pengging
disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan Demak karena tidak mau
membayar pajak yang kemudian dianggap memberontak kerajaan Demak. Ia adalah
murid terbaik Syekh Siti Jenar, yaitu seorang wali yang mengajarkan
kesederajatan manusia dan menolak basa-basi duniawi.
Cerita rakyat ini cukup populer di kalangan masyarakat sekitarnya, tidak
dipungkiri juga banyak sekali peziarah yang datang untuk berziarah dengan
maksud dan tujuan tertentu. Peziarah yang datang bukan hanya peziarah dari
sekitar makam saja melainkan dari berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke
negeri sebelah yaitu Malaysia, sempat ada peziarah asal sana datang untuk
berziarah ke makam ini. Menurut penjelasan sebelumnya, penulis merasa tertarik
untuk menjadikan cerita rakyat ini sebagai sebuah karya ilmiah. Bukan tidak
9
10
mungkin dengan dilakukan penelitian ini, cerita rakyat Kyai Ageng Pengging bisa
lebih bertahan lebih lama lagi.
Tinjauan yang digunakan dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini
adalah menggunakan suatu tinjauan folklor. Terlepas dari permasalahan tersebut,
dengan pertimbangan bahwa dalam cerita ini terdapat unsur hegemoni kekuasaan,
yaitu Kyai Ageng Pengging berani mempertahankan keyakinannya untuk tidak
tunduk pada pemerintahan Demak. Skripsi ini berjudul “HEGEMONI
KEKUASAAN DALAM CERITA RAKYAT KYAI AGENG PENGGING DI
KECAMATAN BANYUDONO, KABUPATEN BOYOLALI, JAWA TENGAH
(Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra)”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah ini berasal dari Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging
dengan melihat hegemoni kekuasaannya. Masalah-masalah yang ada dirumuskan
sebagai masalah yang akan dibahas secara detail. Perumusan masalah ini
bertujuan agar penelitian yang dilakukan terfokus pada masalah yang akan diteliti
dan tidak meluas pada masalah-masalah di luar penelitian. Perumusan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk dan struktur cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di
Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah?
2. Bagaimanakah bentuk hegemoni kekuasaan dalam isi cerita Kyai Ageng
Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah?
3. Bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap bentuk hegemoni dalam
cerita Kyai Ageng Pengging bagi masyarakat Desa Pengging, Kecamatan
Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging dapat
diperoleh dari perumusan masalah yang ditulis di atas, maka tujuan penelitiannya
adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan bagaimanakah bentuk dan struktur cerita rakyat Kyai
Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa
Tengah.
2. Mendeskripsikan bentuk hegemoni kekuasaan dalam isi cerita Kyai Ageng
Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
3. Menemukan persepsi masyarakat terhadap bentuk hegemoni dalam cerita
Kyai Ageng Pengging bagi masyarakat Desa Pengging, Kecamatan
Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
D. Batasan Masalah
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka
permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada usaha mendeskripsikan bentuk
dan struktur cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono,
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Bentuk hegemoni kekuasaan dalam Cerita
Rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali,
Jawa Tengah dengan analisis sosiologi sastra; serta persepsi masyarakat terhadap
11
12
bentuk hegemoni dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan
Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dengan analisis sosiologi sastra.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dihasilkan dari analisis masalah sosiologi yang
dilakukan dengan mendeskripsikan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging dengan
analisis sosiologi sastra. Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari manfaat teoretis
dan manfaat praktis.
1. Manfaat teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan membawa manfaat untuk menambah
wawasan tentang teori sastra dan tentang folklor, khususnya cerita rakyat
Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali,
Propinsi Jawa Tengah. Penelitian diharapkan dapat mengungkapkan nilai-
nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di
Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah sastra melalui
penelitian sosiologi sastra ini.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
keberadaan makam Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono,
Kabupaten Boyolali dan dapat menambah wawasan tentang fungsi bagi
masyarakat. Penelitian ini dapat merupakan suatu data yang dapat dijadikan
bahan untuk penelitian sejenis selanjutnya. Data ini diharapkan dapat menjadi
tambahan dokumen perpustakaan
F. Landasan Teori
Karya sastra adalah fenomena yang kompleks dan dalam (Endraswara,
2011:8). Karya sastra semakin digali semakin banyak makna dan problem yang
terkandung di dalamnya. Maka dari itu sebagai parameternya sebuah karya sastra
membutuhkan suatu teori. Teori yang mampu menganalisis dan mengungkapkan
masalah yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging membutuhkan teori yang digunakan terkait dengan masalah yang akan
dibahas. Teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Pengertian Folklor
Karya sastra lisan berupa folklor, yaitu suatu adat-istiadat tradisional
dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak
dibukukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Folklor telah
berkembang sejak zaman dahulu kala sebelum nenek moyang kita mengenal
tulisan. mereka menurunkannya secaraturun temurun dari mulut ke mulut
kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Penyampaian tersebut berupa
kebiasaan, perilaku, larangan, cerita pengalaman, pepatah dan tahayul. Dalam
penyampaiannya folklor diibaratkan seperti orang yang di amanatkan untuk
menyampaikan pesan atau berita secara lisan kepada orang lain, pasti saja
ada kata atau kalimat yang kurang atau lebih ketika disampaikan kepada
orang yang bersangkutan, sehingga tidak sepenuhnya kalimat yang
disampaikan oleh orang yang diberi amanat tersebut sama dengan apa yang
diucapkan oleh si pemberi amanat (Danandjaja, 1986:1)
Secara etimologis, folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga
memiliki
13
14
pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran
kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Sementara untuk lore adalah tradisi
dari folk, yaitu sebagai kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-
temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja,
1986:1).
Menurut Brunvard (1968:5) dalam Danandjaja (1986:2), folklor
adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam
versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra lisan merupakan begian dari folklor
itu sendiri. Pendapat mengenai folklor ini juga dikemukakan oleh Albert B.
Lord, dia berpendapat bahwa setiap folklor memiliki formula tertentu,
misalnya struktur kepala, badan, dan kaki. Struktur kepala biasanya
berhubungan dengan pembukaan. Struktur badan berhubungan dengan inti
cerita dan struktur kaki biasanya berupa penutup.
Masyarakat modern sekarang ini banyak mengabaikan budaya-
budaya Indonesia bahkan dapat dikatakan hampir punah, sebagai salah satu
contohnya adalah folklor. Zaman sekarang sangat berbeda dengan zaman
dahulu, semuanya serba teknologi canggih. Contohnya seperti masa kecil
anak zaman sekarang, dulu anak-anak senang bermain permainan tradisional
seperti kelereng dan petak umpet, namun sekarang anak-anak lebih senang
bermain playstation maupun bermain gadget daripada permainan tradisional
tersebut. Berawal dari hal yang kecil tersebut secara perlahan-lahan budaya
yang terdahulu akan terkikis dan lenyap. Peneliti mengambil judul ini karena
mengingat masalah di atas yang perlu dilestarikan supaya kebudayaan-
kebudayaan tersebut tidak punah.
2. Bentuk Folklor
Menurut Jan Harold Brunvard (1968:2-3), seorang ahli folklor dari
Amerika Serikat (AS), folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok
besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan dan bukan lisan.
a. Folklor Lisan (verbal folklore)
Folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuknya
(genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain:
1) Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat
tradisional dan titel kebangsawanan;
2) Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pameo;
3) Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki;
4) Puisi rakyat, seperti pantun, gurindam dan syair;
5) Cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda dan dongeng; dan
6) Nyanyian rakyat.
b. Folklor Sebagian Lisan (partly verbal folklore)
Folklor yang sebagian bentuknya merupakan campuran unsur lisan
dan bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk kelompok besar
selain kepercayaan rakyat adalah permainan rakyat, tarian rakyat, adat
istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
15
16
c. Folklor Bukan Lisan (non verbal folklore)
Folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya
disampaikan secara lisan. Kelompok ini dibagi menjadi yang material
dan yang bukan material. Bentuk yang material antara lain: arsitektur
rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya);
kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat; makanan dan
minuman; serta obat-obatan tradisional. Termasuk bukan material adalah
gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat
(kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim
berita seperti yang dilakukan masyarakat Afrika) dan musik rakyat
(Danandjaja, 1984:21-22).
3. Ciri-Ciri Folklor
Cerita lisan dapat dikategorikan dalam ragam sastra lisan. Sastra lisan
adalah karya sastra yang diwariskan turun-temurun secara lisan, salah
satunya adalah cerita rakyat atau folklore. Folklor merupakan suatu karya
sastra prosa lisan yang berasal dari warisan leluhur dan harus dilestarikan.
Folklor dan kebudayaan lainnya dapat dibedakan dengan cara mengetahui
ciri-ciri utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Bersifat anonim;
b) Berkembang secara lisan dari generasi ke generasi;
c) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum;
d) Menjadi milik bersama pada masyarakat setempat;
e) Pada umumnya lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya terlalu
kasar atau terlalu sopan (sentra-edukasi, 2012);
f) Berkembang dalam versi yang berbeda beda namun pada dasarnya sama
saja.
4. Tahap-Tahap Penelitian Folklor
Macam pengumpulan dengan tujuan pengarsipan atau
pendokumentasian ini bersifat penelitian ditempat (field work). Ada tiga
tahapan yang harus dilalui oleh seorang peneliti ditempat :
a. Tahap Pra-penelitian di tempat
Rencana penelitian harus mengandung beberapa pokok seperti:
bentuk folklor apa yang hendak kita kumpulkan, bagaimana kita
memperoleh pengetahuan itu. Selain itu di dalam rencana penelitian
sudah harus pula ditentukan dengan teliti daerah kediaman kolektif yang
bentuk folklornya hendak diteliti dan berapa lama penelitian itu akan
berlangsung.
b. Tahap penelitian di tempat yang sesungguhnya
Penelitian secepat mungkin harus mengusahakan hubungan
rapport, hubungan harmoni saling mempercayai kolektif yang hendak
diteliti atau paling sedikit dengan para informan. Memperoleh hubungan
akrab itu kita harus bersifat jujur, rendah hati, tidak sok tahu
pada informan. Tujuan kita kesana untuk belajar bukan untuk mengajar.
Cara untuk memperoleh bahan folklor di tempat adalah wawancara
dengan informan dan pengamatan.
17
18
1) Wawancara dalam penelitian folklor dua macam saja yakni
wawancara yang terarah (directed) dan yang tidak terarah (non
directed). Wawancara tidak terarah adalah wawancara yang bersifat
bebas, santai, dan memberi kesempatan yang besar-besaran untuk
memberi pertanyaan yang ditanyakan. Wawancara yang terarah
adalah pertanyaan yang akan kita ajukan sudah tersusun dalam suatu
bentuk daftar tertulis. Jawaban yang diharapkan dibatasi yang
relevan saja dan diusahakan informan tidak melantur kemana-mana.
2) Pengujian pengajaran data wawancara, caranya ada banyak antara
lain mengecek kepada informan lain dengan daftar pertanyaan yang
sama. Cara lain adalah dengan melihat kenyataan berdasarkan
pengamatan kita sendiri dalam menguji kebenaran keterangan itu
harus bersifat taktis dan berhati-hati melakukannya, jangan
sampaimemberi kesan kepada informan pertama bahwa kita tidak
percaya kepada keterangan yang telah ia berikan sebelumnya.
3) Pengamatan adalah cara melihat suatu kejadian dari luar sampai
kedalam dan melukis secara tepat seperti apa yang kita liat. Khusus
untuk peneliti tarian rakyat digunakan cara pengamatan yang disebut
pengamatan terlihat (participant observation) yaitu mengamati suatu
pertunjukan folklor sebagai lisan seperti tarian rakyat, bukan sebagai
tarian luar, melainkan dari dalam dan terlibat dalam proses
pertunjukan.
Hal-hal yang harus kita amati dalam penelitian antara lain:
1. Lingkungan fisik suatu bentuk folklor yan dipertunjukkan
2. Lingkungan sosial suatu bentuk folklor
3. Interaksi para peserta suatu pertunjukan bentuk folklor
4. Pertunjukan bentuk folklor itu sendiri
5. Masa pertunjukkan
c. Cara Pembuatan Naskah Folklor Bagi Kearsipan
Sebelum membahas naskah bagi kearsipan maka harus dipastikan bahwa
folklor tersebut diakui dan dipercaya oleh masyarakat. Cerita rakyat Kyai
Ageng Pengging ini diakui keberadaannya dan dipercaya oleh masyarakat
sekitar. Folklor adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun
temurun dan jika folklor itu belum diakui atau dipercaya oleh masyarakat,
maka bukan termasuk cerita rakyat.
Masyarakat Desa Pengging sebagai pemilik cerita tersebut masih
melaksanakan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang timbul
karena adanya cerita tersebut. Menurut Danandjaja (1984), setiap naskah
koleksi folklor harus mengandung tiga bahan teks bentuk folklor yang
dikumpulkan, konteks teks yang bersangkutan, pendekatan dan penilaian
informasi serta pengumpulan folklor.
5. Hegemoni Antonio Gramci
Hegemoni berasal dari kata Hegisthai (Yunani), berarti memimpin,
kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain (Ratna,
2010:175). Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad
XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Menurut
19
20
Gramci, bahwa supremasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam
dua cara, yaitu sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan moral intelektual.
Suatu kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok antagonistik yang
cenderung ia hancurkan, atau bahkan taklukkan dengan kekerasan (Faruk,
1999:69). Titik awal konsep Gramci tentang hegemoni, bahwa suatu kelas dan
anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan
dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi.
Cara kekerasan (represif/dominasi) yang dilakukan kelas atas terhadap
kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, dengan maksud untuk
menguasai guna melanggengkan dominasi. Perantara tindak dominasi ini
dilakukan oleh para aparatur negara seperti polisi, tentara, dan hakim. Menurut
Gramsci, faktor terpenting sebagai pendoron terjadinya hegemoni adalah faktor
ideologi dan politik yang diciptakan penguasa dalam mempengaruhi,
mengarahkan, dan membentuk pola pikir masyarakat. Faktor lainnya adalah
pertama paksaan yang dialami masyarakat, sanksi yang diterapkan penguasa,
hukuman yang menakutkan, kedua kebiasaan masyarakat dalam mengikuti
suatu hal yang baru dan ketiga kesadaran dan persetujuan dengan unsur-unsur
dalam masyarakat (Gramsci dalam Patria, 2009:133).
Analisis Gramsci di atas berusaha memberikan pennjelasan bahwa
sebenarnya semua kelas sosial di masyarakat memiliki kecenderungan untuk
menghegemoni, ketika memiliki kemampuan untuk mendominasi. Dominasi
adalah kunci awal dalam proses hegemoni. Antara sekian potensi dominasi,
negara adalah institusi yang paling subur dalam hal dominasi, sehingga wajar
apabila negara memiliki kecenderungan tinggi untuk menghegemoni
masyarakatnya (Gramsci dalam Hendarto, 1993:82-83). Pemikiran Gramsci
tidak boleh dilepaskan dari manusia. Manusia merupakan pusat revolusi. Inilah
sumbangan penting Gramsci atas pemikiran Marxis (Hendarto, 1993:71).
Bukan basis ekonomi menentukan superstruktur, tetapi basis ekonomi memberi
batasan bagi bentuk-bentuk kesadaran yang mungkin atas manusia.
Konsep-konsep yang harus diketahui, yaitu hegemoni ideologi,
intelektual organik, dan intelektual tradisional (Salamini, 1981:60-65).
Aktivitas superstruktur dan proses promosi blog historis yang baru, konsep
hegemoni ideologi amatlah penting. Erosi ideologi dari kelas yang berkuasa
harus diikuti oleh penciptaan suatu ideologi baru, suatu sistem gagasan baru,
sistem kepercayaan dan nilai-nilai baru. Intelektual berfungsi mengelaorasi
kelompok ideologi dominan, memberikan kesadaran akan ideologi ini dan
mentransformasikannya menjadi suatu konsep ideologi yang kemudian harus
disebarkan kepada seluruh masyarakat. Intelektual model itu disebut intelektual
organik, karena mereka membentuk suatu hubungan organik antara suatu kelas
sosial dengan superstruktur. Intelektual organik beroposisi dengan intelektual
tradisional. Setiap kelompok yang mencoba meraih kekuasaan harus menyerap
intelektual-intelektual tradisional untuk menyerang intelektual organik (Patria
dalam Arif, 2003:15).
6. Pendekatan Sosiologi Sastra
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra
ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being,
makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik
21
22
masyarakatnya. Sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam
jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Kesadaran muncul pemahaman
bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan
masyarakatnya, dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra
dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh
Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah „mimesis‟, yang menyinggung
hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai „cermin‟. Pengertian mimesis
(Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-
teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-
322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan
sastra di Eropa (Luxemburg, 1986:15).
Timbulnya sosiologi, semua ilmu pengetahuan yang dikenal pada
dewasa ini pernah menjadi bagian dari filsafat yang dianggap sebagian induk
dari segala ilmu pengetahuan (Mater scientiarum). Filsafat mencakup segala
usaha pemikiran mengenai masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman
dan peradaban manusia, pelbagai ilmu yang semula tergabung dalam filsafat
memisahkan diri. Baru pada abad ke-19 ilmu tentang sosiologi (ilmu yang
mempelajari masyarakat) dikenal oleh masyarakat (Soerjono, 2010:3).
Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah
memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan (Soerjono, 2010:13).
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah
kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi
pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu
mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2003:77). Kehadiran sosiologi
sastra, meskipun masih tergolong baru namun sudah menghasilkan banyak
penelitian. Bahkan, sosiologi sastra telah berdiri sebagai mata kuliah. Tentu
saja dengan lingkup kajian yang lebih beragam. Itulah sebabnya memang
beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan
hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk
maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan
sosial suatu periode tertentu. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul
penuh kedalam karya sastra (Endraswara, 2003:78)
Cerita Rakyat Ki Ageng Pengging yang diwariskan turun temurun
oleh masyarakat secara lisan. Dengan demikian cerita rakyat memilki
hubungan erat dengan masyarakat, sebagai suatu kelompok sosial pemilik
warisan adat-istiadat tersebut. Sapardi Djoko Damono (1984:42) berpendapat
bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.
Pendekatan sosiologi sastra menekankan pada tiga komponen. Tiga
komponen itu adalah : sosiologi pengarang yang mencerminkan keadaan sosial
pengarang yang mencakup aspek-aspek antara lain status sosial, pendidikan
sosial budaya, ekonomi, politik serta aspek religius sebagai komponen pertama.
Kedua, sosiologi karya yang menekankan kajian isi maupun tujuan karya sastra
itu sendiri, yang mencakup pembicaraan tentang proses kelahiran dan pengaruh
23
24
sosial budaya yang yang melingkupinya.dalam arti apa yang tertuang atau
dijelaskan dalam suatu karya merupakan proyeksi diri kondisi masyarakat yang
melatarbelakanginya. Ketiga, sosiologi pembaca yang menekankan
pembahasan terhadap suatu karya sastra. Hal ini menyangkut sejauh mana
karya sastra berpengaruh dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat didalam memberikan penilaian dan tanggapan terhadap suatu karya
sastra juga dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda dengan penghayatan
masyarakat pada umumnya.
Sosiologi sastra adalah hubungan serta pengaruh timbal balik antara
karya sastra dengan masyarakatnya. Dalam sosiologi sastra terdapat tiga
komponen yaitu, karya sastra, pengarang dan masyarakat penikmat. Dalam
penelitian ini akan menelaah dua komponen sosiologi sastra yaitu komponen
karya sastra itu dan masyarakat penikmatnya. Karena ini bersifat anonim maka
aspek sosiologi pengarang tidak tampilkan dan tidak diteliti. Dengan demikian
sosiologi sastra dapat mengungkap komponen sosiologi sastra dari kepercayaan
masyarakat pada Cerita Rakyat Ki Ageng Pengging yaitu komponen karya
sastra itu dan komponen penikmat. Tetapi menurut Sangidu (2004:26)
sosiologi sastra menentukan jenis masyarakat yang melahirkan sastra sehingga
dapat diketahui sifat-sifat masyarakat yang melahirkan sastra tersebut. Dalam
penelitian sosiologi sastra ini juga terdapat dua corak (Junus, 1986:2) dalam
Sangidu (2004: 27) yaitu corak yang pertama disebut pendekatan sociology of
literature (sosiologi sastra). Pendekatan ini bergerak dan melihat faktor sosial
yang menghasilkan karya sastra pada masa tertentu, dan corak yang kedua
adalah disebut dengan literary sociology (sosiologi sastra) pendekatan ini
bergerak dari faktor-faktor sosial yang terdapat di dalam karya sastra dan
selanjutnya digunakan untuk memahami fenomena sosial yang ada diluar teks
sastra.
Sapardi (1978) mengemukakan beberapa pendekatan mengenai aneka
ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti dikemukakan Wolff di atas.
Dari Wellek dan Warren ia menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang
berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang yang
mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang
menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra itu sendiri, dan sosiologi
sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra (Faruk,
1999: 4).
7. Pengertian Cerita Rakyat
Cerita rakyat adalah bentuk karya sastra lisan yang lahir dan
berkembang dalam masyarakat tradisional, dan disebarkan dalam bentuk relatif
tetap atau dalam bentuk standar disebarkan diantara kolektif tertentu dalam
waktu yang cukup lama (Danandjaja, 1984:50). Cerita rakyat adalah salah satu
bentuk tradisi lisan yang memakai media bahasa. Pengertian ini akan kabur bila
mana diperhadapkan dengan bentuk sastra lisan yang juga memakai media
bahasa seperti teka-teki dan ungkapan (Gaffar, 1990:3).
Djamaris (1993:15), juga mengungkapkan pengertian cerita rakyat
yaitu sebagai golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat biasanya
merupakan fragmen kisah yang menceritakan perjalanan kehidupan seorang
25
26
yang dianggap mengesankan atau paling tidak mempunyai peran vital dan
dipuja oleh si empunya cerita. Masyarakat tradisional merupakan masyarakat
yang awam dan mereka merasa bahwa cerita rakyat yang ada merupakan
warisan yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya (Damono 1984:42).
Cerita rakyat itu juga dapat memberikan sumbangannya. Demikian pula
dialektologi, lebih-lebih mengingat kemungkinan cerita rakyat mengandung
bahan yang khas di suatu daerah, dan mengandung bahan peninggalan masa
lalu. Cerita rakyat di dalamnya akan kita dapatkan nama bagian tubuh sejak
dalam kandungan, nama musim, pembagian waktu, nama bilangan, frase yang
menyangkut masalah fonetik, morfologi, sintaksis, kata seru, kehidupan desa
dan masyarakatnya, penguburan, kepercayaan, nama bagian-bagian bangunan,
nama makanan, nama tumbuhan, nama benda langit, alat tenun, kehidupan
seksual, magis, pergeserean makna, permainan, pernyataan penghormatan,
logam, penyakit, alat pertanian, alat pertukangan, pakaian dan lain-lain yaitu
hal yang biasa ditanyakan pada waktu pengumpulan data.
Perhatian studi sastra terhadap cerita rakyat tampak dari perhatian apa
yang disebut comparative literature yang melakukan penelitian tentang tema,
penyebaran, dan kapan cerita rakyat meningkat menjadi sastra yang “lebih
tinggi”, dan sastra “artistik”. Dari segi studi sastra terdapat pandangan bahwa
studi cerita rakyat adalah bagian yang integral dari penyelidikan sastra, karena
cerita rakyat itu tak dapat diceraikan dari studi tentang sastra tulis, dan terjadi
saling pengaruh antara keduanya. Studi tentang cerita rakyat itu adalah suatu
hal yang penting bagi para ahli sastra yang ingin memahami proses
perkembangan sastra, asal mula dan timbulnya genre sastra, serta
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi (Wellek dan Warren, 1956:46).
8. Ciri-ciri Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan genre dari folklor yang hidup tersebar dalam
bentuk lisan dan kisahnya bersifat anonim yang tidak terikat pada ruang dan
waktu serta nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Oleh karena itu,
cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor menurut Danandjaya
(2007:3), memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni
tutur kata yang disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau
dengan suatu contoh yang disertai gerakan isyarat dan alat pembantu
pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, kini
penyebaran folklor dapat kita temukan dengan bantuan mesin cetak
dan elektronik.
b. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau
dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam
waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
c. Ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda,
karena cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya
bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri
manusia atau proses interpolasi (interpolation) muncul varian-varian
tersebut.
d. Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
27
28
e. Biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola.
f. Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu
kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat
pendidikan, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan
terpendam.
g. Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi floklor
lisan dan sebagian lisan.
h. Menjadi milik lisan bersama (collective) dari kolektif tertentu.
i. Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatanya
kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat
bahwa banyak folklor merupakan proyeksi manusia yang paling jujur
manifestasinya.
Berdasarkan ciri-ciri folklor tersebut, ada sebagian orang yang
berpandangan bahwa cerita rakyat atau dongeng tidak berarti apa-apa, atau
dongeng hanyalah sebuah sarana untuk menidurkan anak saja. Hal ini
menurut penulis tidak dapat dibenarkan begitu saja sekaligus juga tidak
dapat disalahkan begitu saja. Jika mencermati ciri folklor yang ke tujuh
yang disampaikan Dananjaja di atas, yaitu bahwa ciri folklor lisan dan
sebagian lisan adalah bersifat pralogis maka anggapan masyarakat tersebut
dapat dibenarkan. Namun demikian jika melihat ciri yang ke enam yaitu
folklor juga berguna atau memiliki fungsi maka anggapan ini tidak dapat
dikatakan benar.
9. Fungsi Cerita Rakyat
Secara umum fungsi sastra termasuk cerita rakyat, hampir sama
dengan karya sastra lainnya. Kosasih (2003:222) menyatakan bahwa fungsi
sastra dapat digolongkan dalam lima kelompok besar, yaitu: (1) fungsi
rekreatif, yaitu memberikan rasa senang, gembira, serta menghibur, (2) fungsi
didaktif, yaitu mendidik para pembaca karena nilai-nilai kebenaran dan
kebaikan yang ada di dalamnya, (3) fungsi estetis, yaitu memberikan nilai-
nilai keindahan, (4) fungsi moralitas, yaitu mengandung nilai moral yang
tinggi sehingga para pembaca dapat mengetahui moral yang baik dan buruk,
(5) fungsi religiuditas, yaitu mengandung ajaran yang dapat dijadikan teladan
bagi para pembacanya.
Selain fungsi secara umum yang hampir sama dengan fungsi karya
sastra di atas, Bascom, menyampaikan fungsi cerita rakyat yang lebih
spesifik. Menurut Bascom (Danandjaya, 2007:19), folklor termasuk juga di
dalamnya cerita rakyat memiliki empat fungsi, yakni: (1) sebagai sistem
proyeksi, yaitu sebagai alat pencermin angan-angan kolektif, (2) sebagai alat
pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai
alat pendidik anak, (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma
masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
10. Bentuk Cerita Rakyat
Cerita prosa rakyat dapat dilihat dari bentuknya, dibagi menjadi beberapa
menurut William R. Bascom (dalam Danandjaja, 1997:50), yaitu:
29
30
a) Mite (myth)
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar
terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita, mengandung
tokoh-tokoh dewa atau setengah dewa. Tempat terjadinya di tempat
lain dan masa terjadinya jauh di masa purba. Mite pada umumnya
mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, dan
terjadinya maut. Mitos yaitu cerita-cerita suci yang mendukung sistem
kepercayaan atau agama (religi).
Pengertian mitos dalam kamus Bahasa Indonesia dibedakan dari
mite. Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan
jaman dulu, yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta
alam, manusia dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti
mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Mite adalah cerita
yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercaya oleh masyarakat
sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak
mengandung hal-hal ajaib, umumnya ditokohi oleh dewa. Sudjiman
(Lantini,1996:224) mengartikan kata mitos dalam dua pengertian,
yaitu (1) cerita rakyat legendaris atau tradisional, biasanya bertokoh
makhluk yang luar biasa dan mengisahkan peristiwa-peristiwa yang
tidak dijelaskan secara rasional, seperti terjadinya sesuatu; (2)
kepercayaan atau keyakinan yang tidak terbukti tetapi diterima
mentah-mentah.
Sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa
dongeng mite adalah cerita tradisional yang pelakunya makhluk
supranatural dengan latar suci dan waktu masa purba. Mitos
merupakan salah satu genre cerita rakyat yang dianggap suci dan
diyakini betul-betul terjadi oleh masyarakat pendukungnya, bersifat
religius karena memberi rasio pada kepercayaan. Selain itu, mitos
berfungsi untuk menyatakan, memperteguh dan mengkondifikasi
kepercayaan, melindungi dan melaksanakan moralitas, dan sebagai
alat pemaksa berlakunya norma-norma serta pengendali masyarakat.
Mite menceritakan tentang cerita- cerita yang berbau supranatural dan
ditokohi oleh makhluk-makhluk dunia lain.
b) Legenda (legend)
Ciri-ciri legenda yaitu dianggap benar–benar terjadi , tidak
dianggap suci oleh empunya cerita, tokoh manusia kadang dengan
sifat luar biasa, setting di dunia, dan waktu belum terlalu
lama.Legenda sendiri berarti cerita–cerita yang oleh masyarakat yang
mempunyai cerita tersebut dianggap sebagai peristiwa–peristiwa
sejarah. Ciri-ciri dari legenda ini hampir sama dengan mite, namun
legenda bersifat sekuler. Terjadi pada masa yang belum begitu
lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal. Tokoh dalam
legenda tidak disakralkan oleh pendukungnya. Tokoh merupakan
manusia biasa yang mempunyai kekuatan-kekuatan gaib, tempat
terjadinya di dunia kita.
Legenda merupakan salah satu genre cerita rakyat yang
mencangkup hal-hal luar biasa dan terjadi dalam dunia nyata. Legenda
dipandang sebagai sejarah masyarakat sehingga diyakini
31
32
kebenarannya. Legenda berfungsi mendidik dan membekali manusia
agar terhindar dari ancaman marabahaya.
Legenda tidak setua mite. Legenda menceritakan terjadinya
tempat, seperti: pulau, gunung, daerah/desa, danau/sungai, dan
sebagainya. Itulah sebabnya ada orang yang mengatakan bahwa
legenda adalah sejarah rakyat. Salah satu contoh legenda adalah cerita
rakyat Kyai Ageng Pengging yang terletak di Kecamatan Banyudono,
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
c) Dongeng (folktale)
Dongeng yaitu cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi
dan tidak terkait oleh ketentuan tentang pelaku, waktu serta tempat.
Dongeng hanyalah sebuah cerita khayalan belaka.
Bagi orang awam, dongeng seringkali dianggap meliputi seluruh
cerita rakyat yang disebutkan di atas (legenda dan mite). Tetapi,
menurut beberapa ahli, dongeng adalah cerita yang khusus yaitu
mengenai manusia atau binatang. Penulis menganggap bahwa
pembedaan-pembedaan antara konsep-konsep cerita rakyat, mitos,
legenda dan dongeng tidak terlalu penting untuk diperhatikan dalam
penelitian ini, dan untuk selanjutnya istilah mitos, legenda dan
dongeng dapat dipakai secara bergantian.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, penulis mengambil
kesimpulan bahwa baik mite, legenda maupun dongeng pada intinya
merupakan hasil dari imajinasi-imajinasi manusia berdasarkan apa
yang mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari yang
kemudian tertuang dalam sebuah karya sastra lisan.
11. Struktur Cerita Rakyat
Secara etimologis struktur berasal dari kata structure, bahasa Latin
yang berarti bentuk atau bangunan. Nurgiyantoro (2005:37-38) menyatakan
struktur cerita diartikan susunan, penegasan, dan gambaran dari semua bahan
dan bagian yang menjadikan komponennya secara bersama membentuk suatu
kebulatan. Struktur cerita karya sastra juga mengacu pada pengertian
hubungan antar unsur intrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan,
saling mempengaruhi dan secara bersama-sama membentuk kesatuan yang
utuh. Karya sastra besar merupakan produk strukturilisasi dari subjek
kolektif. Oleh karena itu karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan
padat.
Cerita rakyat sebagai sebuah karya sastra bisa disebut bernilai apabila
masing-masing unsur pembentuknya tercermin dalam strukturnya, seperti
tema, karakter, plot, setting dan bahasa yang merupakan satu kesatuan utuh
(Fananie, 2001:76).
Dalam suatu struktur terdapat satuan-satuan unsur pembentuk dan
aturan susunannya. Struktur dapat diterangkan sebagai hubungan antara
unsur-unsur pembentuk itu dalam suatu susunan keseluruhan. Hubungan itu
misalnya hubungan waktu, logika, dan dramatik (Rusyana, 1975:52).
33
34
a. Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang
melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Sastra merupakan refleksi
kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya
sastra bisa sangat beragam. Tema dapat berupa persoalan moral,
etika, agama, sosial budaya, perjuangan, teknologi, tradisi yang
berkaitan erat dengan masalah kehidupan (Fananie, 2001:84).
Senada dengan pernyataan di atas, Nurgiyantoro (2005:70)
menyatakan tema merupakan ide, gagasan, pandangan hidup yang
melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan
refeleksi kehidupan masyarakat, tema yang diungkapkan dalam
karya sastra sangat beragam. Tema dapat berupa persoalan moral,
etika, sosial budaya, agama, teknologi, dan tradisi yang terkait erat
dengan masalah kehidupan. Tema dapat juga berupa pandangan
pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul. Tema dapat
dipandang sebagai dasar cerita dan gagasan dasar umum tersebut
digunakan untuk mengembangkan cerita. Tema menjadi dasar
pengembangan seluruh cerita dan menjiwai seluruh bagian cerita
tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan
bahwa tema merupakan gagasan, pandangan hidup, pengalaman
pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra dan
merefleksikan kehidupan masyarakat.
b. Plot/Alur Cerita
Cerita rakyat terdapat alur yang terdiri dari bagian-bagian
yang berhubungan secara sebab akibat dan hubungan pelaku. Tiap
bagian terdiri dari term dan fungsi, yaitu pelaku dan peranannya
(Rusyana,1975:52).
Suatu cerita rakyat terdapat alur yang terdiri dari bagian-
bagian yang berhubungan secara sebab akibat dan hubungan
pelaku. Tahapan plot atau alur cerita meliputi: (1) paparan awal
cerita (expotition) yaitu tahap pelukisan dan pengenalan situasi
latar serta tokoh-tokoh cerita yang. berfungsi sebagai landasan
cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya; (2) masuk problem
(inciting moment) yaitu tahap memunculkan masalah-masalah dan
peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik dan akan
dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya; (3)
penanjakan konflik (rising action) yaitu tahap pemunculan konflik
yang semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
Konflik-konflik yang terjadi mulai mengarah ke klimaks dan
semakin tak terhindarkan; (4) tahap penyampaian konflik atau
puncak ketegangan yang terjadi pada diri atau antartokoh cerita
mencapai titik intensitas puncak; (5) menurunnya konflik (falling
action) yaitu tahap klimaks mulai menurun atau sudah mulai
kendor. Konflik sudah hampir berakhir dan sudah mulai ada titik
temu; (6) penyelesaian (denouement) yaitu tahap pemberian solusi
35
36
atau jalan keluar yang kemudian cerita diakhiri (Waluyo,
2002:147).
Lebih lanjut Stanton (2012:26) menyatakan alur merupakan
rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa alur
merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam cerita yang
kejadiannya dihubungkan dengan sebab akibat, peristiwa yang satu
disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
c. Pelaku dan Peranannya
Yus Rusyana menjelaskan pelaku (terem) cerita terdiri dari
manusia, manusia dan binatang dan tumbuhan, manusia dengan
jadi-jadian, manusia dengan siluman, manusia dengan kekuatan
alam, manusia dengan benda.
Pelaku manusia diberi ciri dengan jenis kelamin, umur,
kedudukan, kesaktian dan sifat-sifatnya Pelaku binatang terdiri dari
dua macam yaitu binatang biasa dan yang kedua adalah binatang
jadi-jadian. Dedemit atau siluman yang menjadi pelaku dalam cerita
dilukiskan keadaannya yang mengerikan (Rusyana,1975:53).
Tokoh mengacu kepada orang atau pelaku cerita, misal
pelaku utama, atau tokoh pemeran protagonis, antagonis, dan
sebagainya. Karakter merupakan watak atau perwatakan
menunjukkan sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh
pembaca atau lebih pada kualitas pribadi seorang tokoh
(Nurgiyantoro, 2005:165).
d. Latar/Setting
Latar cerita terlihat dengan disebutkan nama-nama tempat
yang secara nyata memang terdapat cerita-cerita itu
membayangkan pula suasana zaman yang dilukiskannya
(Rusyana,1975:55-56).
Latar/ setting adalah keseluruhan lingkungan cerita meliputi
adat istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup tokohnya yang
berkaitan dengan waktu, tempat penceritaan, tempat kejadiannya
cerita, misalnya siang, malam atau pagi, hari, bulan, atau tahun, di
desa, kota atau wilayah tertentu, di pantai, gunung, danau, sungai
atau lingkungan masyarakat tertentu, dan sebagainya (Hudson
dalam Waluyo, 2002:198).
e. Amanat
Berasal dari alur cerita, dapat diketahui amanat cerita.
Misalnya dalam alur yang bagian akhirnya merupakan kemenangan
fungsi yang sebaliknya dari fungsi pada bagian awal, memberikan
amanat bahwa agar sesuatu fungsi menang maka fungsi tersebut
harus lebih kuat dari fungsi yang dikalahkan (Rusyana,1975:56).
Menurut Nurgiyantoro (2005:322), amanat merupakan pesan
atau sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
37
38
Folklor tersebut dapat diambil suatu pesan atau kesan yang disebut
amanat, dalam amanat dapat dilihat pandangan pengarang
mengenai kehidupan yang terdapat dalam karya sastranya.
Simpulan dari berbagai definisi mengenai amanat yaitu
bahwa amanat merupakan pesan yang disampaikan oleh pengarang
kepada pembaca sebagai bentuk perenungan dan refleksi atas apa
yang terjadi dalam sebuah cerita.
Cerita rakyat memiliki struktur yang membangunnya menjadi
sebuah cerita yang kompleks. Struktur dalam sebuah cerita rakyat
terdiri dari alur, pelaku dan peranannya, latar serta amanat.
G. Sumber Data dan Data
1. Sumber data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, diperoleh
melalui informasi lisan dari para narasumber selanjutnya ditranskripkan ke
dalam cerita secara tertulis. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis
datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis dan foto.
Sumber data terdiri atas dua jenis, yaitu sumber data primer dan sumber data
sekunder.
a) Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan yaitu juru
kunci, tokoh-tokoh masyarakat, maupun masyarakat yang mengetahui
tentang Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging. Penelitian ini dilakukan
dengan mengamati secara langsung tradisi yang dilakukan masyarakat
sekitar maupun peziarah dalam mencari berkah serta melakukan
wawancara di tempat. Hasil dari pengamatan dan wawancara tersebut
berupa catatan dan rekaman.
b) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data penunjang penelitian yang
dalam hal ini adalah alat perekam, kamera, data monografi, peta wilayah,
serta referensi yang relevan dengan penelitian ini berupa contoh skripsi
dari Monica Arti Wijaya; Betha Ericka Ayu; Stephen Olbrys Gencarella;
Shanti Dyah Puspa Ratri; dan Rhian Ardila Maretin Lanua yang semuanya
berasal dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.
2. Data Penelitian
Data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah Cerita Rakyat Kyai Ageng
Pengging hasil wawancara dengan informan, berupa struktur cerita rakyat,
bentuk hegemoni kekuasaan dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging. Data
sekunder berupa keterangan atau data yang terambil dari catatan artikel tentang
Kyai Ageng Pengging. Narasumber disini adalah juru kunci dan warga sekitar
yang mengetahui cerita rakyat ini.
3. Validitas Data
Penelitian terhadap karya sastra yang telah dilakukan,data-data yang telah
dikumpulkan diusahakan kemantapannya, dalam arti harus diupayakan
peningkatan validitas data yang diperoleh. Data penelitian ini digunakan
39
40
triangulasi data. Menurut Moleong (2007:178), triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data
yaitu untuk keperluan pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data itu.
Teknik validasi data penelitian yang digunakan yaitu (1) triangulasi data
atau sumber data sejenis dari berbagai sumber data yang berbeda. Jelasnya
triangulasi data/sumber dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau
data yang diperoleh dari informan yang satu dengan informan yag lain, (2)
triangulasi metode yakni menggali data yang sama dengan menggunakan
metode berbeda, (3) review informan yaitu data yang sudah diperoleh mulai
disusun, kemudian dikomunikasikan dengan informan khususnya informan
pokok.
Penetapan keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan teknik pemeriksaan melalui prinsip cross check. Penggunaan
prinsip cross check ini dilakukan melalui beberapa teknik, yaitu teknik
triangulasi; pengecekan sejawat; kecukupan referensi; kajian kasus negatif; dan
pengecekan anggota.
H. Metode dan Teknik Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Penelitian menggunakan sebuah metode dikarenakan agar penelitian
dapat menemukan suatu cara, langkah kerja dan rumusan yang benar dalam
memberikan langkah setiap permasalahan, sehingga dapat menghasilkan suatu
penelitian yang diinginkan dari awal hingga tujuan dan sasarannya.
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
penelitian yang berguna untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-
lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah (Moleong, 2007:6).
Menurut Moleong (2007:11), penelitian deskriptif kualitatif adalah
pengumpulan data berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Data
yang dimaksud memberikan gambaran penyajian laporan, data berasal dari
naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video, tape, catatan atau memo,
buku-buku penunjang dan dokumen resmi lainnya. Tujuan dari penelitian
deskriptif kualitatif yaitu memperoleh gambaran atau deskripsi mengenai
kualitas dari objek kajian yang berbentuk cerita rakyat atau folklor.
Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan tujuan memperoleh gambaran
atau deskripsi dari objek yang dikaji. Karena dalam wawancara nantinya akan
terdapat rekaman-rekaman, foto-foto lokasi, dan lain-lain. Selain itu, dengan
penelitian deskriptif kualitatif ini akan memperoleh berbagai informasi
kualitatif dengan deskripsi yang penuh nuansa yang lebih berharga dari sekedar
angka atau jumlah dalam bentuk angka (Sutopo, 1988:9).
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono,
Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah. Alasan peneliti mengambil lokasi
Desa Jembungan dengan pertimbangan bahwa Desa Jembungan ini merupakan
41
42
sumber informasi tempat makam Kyai Ageng Pengging. Selain di Desa
Jembungan, penelitian ini juga dilakukan di Desa Bendan dan Desa Dukuh.
Penelitian dilakukan di dua desa tersebut karena disana terdapat makam dan
cerita yang masih berkesinambungan dengan cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging. Akan tetapi, fokus penelitian ini tetap berada di Desa Jembungan
dimana letak makam Kyai Ageng Pengging berada. Data yang akan diteliti
berupa hegemoni kekuasaan yang terjadi di dalam cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging di Desa Jembungan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan langsung terhadap aktivitas seseorang
di lapangan yang berhubungan dengan penelitian. Penelitian diketahui
oleh informan dan sebaliknya para informan dengan sukarela
memberikan kesempatan kepada pengamat untuk mengamati peristiwa
yang terjadi. Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian kualitatif,
pengamatan dimanfaatkan sebesar-besarnya seperti yang dikemukan oleh
Guba dan Lincoln (1981:191-193) adalah (a) Teknik pengamatan ini
didasarkan atas pengalaman secara langsung, (b) Teknik pengamatan
juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat
perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan
sebenarnya, (c) Pemanfaatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa
dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun
pengetahuan yang diperoleh dari data, (d) Sering terjadi ada keraguan
pada peneliti, jangan-jangan pada data yang dijaringnya ada yang keliru
atau bias, (e) Teknik pengamatan memungkinkan peneliti mampu
memahami situasi-situasi yang rumit, (f) Dalam kasus-kasus tertentu di
mana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan dapat
menjadi alat yang sangat bermanfaat.
Penggunaan teknik observasi dalam penelitian ini untuk
mendapatkan keterangan yang lebih kompleks dan mendalam tentang
Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging. Peneliti melakukan observasi atau
melakukan pengamatan secara langsung di Desa Jembungan, Kecamatan
Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kegiatan penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi dan mengenal lebih dalam
tentang cerita rakyat Kyai Ageng Pengging. Mengamati semua keadaan
dan kegiatan, mendengarkan apa yang kita dikatakan partisipan dan
berinteraksi dengan partisipan sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik
observasi (pengamatan) digunakan untuk mengetahui data yang
berhubungan dengan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging, sikap
masyarakat dan perilaku interaksi sosial antar anggota masyarakat. Selain
teknik observasi, digunakan teknik pencatatan. Teknik pencatatan
digunakan untuk menyusun data dan informasi yang diperoleh dari hasil
pengamatan mengenai cerita rakyat Kyai Ageng Pengging.
43
44
b. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data untuk
mendapatkan data primer yang dilakukan dengan narasumber seperti juru
kunci dan responden (masyarakat) dengan menggunakan panduan atau
kerangka dan garis-garis besar pokok-pokok yang akan ditanyakan dalam
wawancara berupa percakapan.
Tujuan dari wawancara ini adalah membiarkan orang–orang yang
diteliti berbicara tentang interest mereka dengan menggunakan bahasa
dan istilah mereka sendiri. Demikian akan diperoleh pemahaman tentang
bagaimana mereka menginterpretasikan suatu situasi atau gejala.
Informan yang dipilih adalah yang dianggap menguasai dan dapat
dipercaya untuk menjadi sumber data yang jelas. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Adapun informan yang di
anggap menguasai dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data antara
lain juru kunci, modin (pemuka agama), perangkat desa, pemuda-
pemudi, warga (umur 30-80 tahun), peziarah atau pengunjung (yang
sudah sukses maupun yang belum sukses), dan pedagang di sekitar
makam Kyai Ageng Pengging yaitu dimana letak cerita rakyat tersebut
berasal.
Menggunakan metode ini diharapkan mendapatkan informasi yang
mendalam dan menyentuh pada persoalan penelitian. Peneliti akan
mewawancarai juru kunci, penduduk sekitar, tokoh masyarakat,
pengunjung, peziarah, dan pedagang. Langkah-langkah yang digunakan
dalam teknik wawancara antara lain:
1. Menentukan lokasi;
2. Menentukan informasi yang akan dijadikan sebagai sumber
informasi;
3. Menentukan waktu wawancara;
4. Membuat daftar pertanyaan wawancara. Memilih informan yang
dianggap menguasai dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber
data yang jelas. Informan yang dipilih adalah juru kunci, modin,
sesepuh desa, warga yang berumur sekitar 30-80 tahun karena
secara umum mereka yang mengetahui secara pasti tentang folklor
cerita rakyat Kyai Ageng Pengging.
c. Teknik cuplikan (sampling)
Teknik cuplikan (sampling) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik pengambilan sampel penelitian secara purposive (purposive
sampling). Informan yang dipilih adalah orang yang diyakini mengetahui
informasi dan permasalahan secara mendalam sehingga dapat dipercaya
menjadi sumber data yang mantap. Masalah yang dikaji dalam penelitian
ini adalah cerita rakyat Kabupaten Blora, maka informan yang ditetapkan
adalah juru kunci di tiap-tiap tempat penelitian. Kefleksibelan dalam
penelitian diartikan bahwa dalam pengumpulan data, pilihan informan
dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantaban paneliti
dalam memperoleh data.
45
46
d. Dokumentasi
Dokumentasi adalah setiap bahan baik tertulis maupun dalam bentuk
gambar lainnya yang dapat digunakan untuk memperkuat data yang ada.
Alat-alat yang digunakan untuk memperoleh dokumen dalam penelitian
ini adalah kamera, tape recorder dan buku catatan. Alat-alat dokumentasi
diharapkan mampu mempertajam pengamatan dan pencatatan peneliti.
Foto merupakan hasil dokumentasi yang dapat melukiskan fragmentasi
fenomena yang terjadi di lapangan.
e. Analisis Isi (Content Analysis)
Teknik analisis isi (content analysis) merupakan metodologi
penelitian yang memanfaatkan prosedur untuk menarik kesimpulan yang
sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 2010:163). Melalui
analisis isi (content analysis) data yang diperoleh secara cermat untuk
dapat diambil kesimpulan mengenai data yang dapat digunakan data
penelitian ini serta hal-hal penting yang menjadi pokok persoalan
penelitian. Pengumpulan data perlu mencantumkan data hasil wawancara
berupa struktur cerita rakyat dan hegemoni kekuasaan yang terdapat
dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging terhadap narasumber karena
untuk mendapatkan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam hasil
wawancara untuk diambil data yang paling akurat.
4. Teknik Analisis Data
Moleong (2010:280) berpendapat bahwa, teknik analisis data bertujuan
untuk mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar
sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti
yang disarankan oleh data. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan
dan bahan–bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa
data secara kualitatif dengan menggunakan model analisa data interaktif,
menurut H.B Sutopo (2002:91-93) teknik tersebut meliputi :
a. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data merupakan proses seleksi, membuat fokus,
menyederhanakan dan membuang hal-hal yang tidak penting dan
mengatur data sedemikian rupa. Proses ini berlangsung terus sepanjang
pelaksanaan riset, yang dimulai dari sebelum pengumpulan data
dilakukan. Hasil observasi bersifat kasar. Analisis data dimulai setelah
mengumpulkan data-data dari Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging yang
menggunakan teori Moleong (2007:6), yang meliputi perspektif
masyarakat terhadap hegemoni kekuasaan.
b. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data merupakan kegiatan merakit data yang sudah
direduksi, maka dapat diketahui segala sesuatu yang terjadi sehingga
47
48
berguna dalam analisa nanti, kemudian dilanjutkan dengan mereduksi
hasil penyajian data.
c. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Data)
Berawal dari pengumpulan data peneliti harus sudah mulai
mengerti apa arti hal-hal yang ditemui. Dari data yang diperoleh di
lapangan maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai hasil akhir dari
proses penelitian tersebut.
Tahap terakhir dalam analisis data adalah penarikan kesimpulan
yang sesuai dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal,
dari berbagai hal yang akan ditemui dalam pengumpulan data mengenai
cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono,
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Peneliti kemudian akan melakukan
pencatatan pola–pola, pernyataan-pernyataan, alur sebab akibat dan
berbagai proposisi. Hal ini kemudian diverifikasi dengan temuan-temuan
data selanjutnya dan akhirnya sampai pada penarikan kesimpulan akhir,
kesimpulan diverifikasi oleh penulis selama penelitian berlangsung.
Verifikasi dan kesimpulan adalah mengecek kembali pada catatan yang
telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya membuat kesimpulan
sementara (Sangidu, 2004:178). Kesimpulan diperoleh secara siklus,
adapun bentuknya:
(Milles Huberman dalam H. B. Sutopo 2002:96)
I. Sistematika Penulisan
Agar diperoleh suatu pembahasan yang jelas, maka di bawah ini
disampaikan sistematika penulisan yang akan dilakukan, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Batasan Masalah
E. Manfaat Penelitian
F. Landasan Teori
G. Sumber Data
H. Metode dan Teknik
I. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Bentuk dan struktur cerita Kyai Ageng Pengging
Penyajian data Pengumpulan data
Kesimpulan Reduksi data
49
50
B. Bentuk Hegemoni Kekuasaan dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng
Pengging
C. Persepsi Masyarakat terhadap bentuk hegemoni dalam cerita Kyai
Ageng Pengging
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN