BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26411/2/jiptummpp-gdl-rokhmahtri-38711... ·...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/26411/2/jiptummpp-gdl-rokhmahtri-38711... ·...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahun 2014 merupakan tahunnya pesta demokrasi Indonesia, karena
tahun ini akan diadakan event lima tahunan pemilu. Tahun dimana partai-
partai berlomba-lomba tebar pesona mencari dukungan rakyat demi
mewujudkan keinginannya untuk “menguasai” Indonesia dan tahun dimana
rakyat bebas memilih dan dipilih untuk dijadikan pemimpin negaranya
(menurut Minarti dikutip dari http://politik.kompasiana.com/2014/06/02/
merayakan-pesta-demokrasi-indonesia-menaruh-harapan-662257.html).
Dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif ataupun pemilu presiden,
pemenang ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, dan setiap
calon memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan kursi jabatan
tersebut (Mardiyansyah, 2014 : v).
Dengan demikian, setiap partai politik (parpol) yang pada tahun ini
berjumlah 15 partai (12 partai umum dan 3 partai lokal NAD) serta calon
anggota legislatif (caleg) dan eksekutif akan berlomba-lomba menyakinkan
masyarakat pemilih dan mengkampanyekan agar dirinya terpilih. Persaingan
pun tidak hanya antar partai politik, tetapi juga antar caleg dalam satu partai
politik.
Untuk memenangi pertarungan, setiap parpol dan caleg mencari
dukungan rakyat Indonesia dengan menghalalkan segala cara. Mulai dari
kampanye menggunakan hard power sampai dengan soft power. Hard
power adalah kampanye dengan menggunakan kekuasaan, uang, benda
2
berharga, dan hal-hal yang bersifat material lainnya untuk mendapatkan
dukungan publik. Sementara itu, soft power adalah kampanye yang
mengandalkan pendekatan persuasif, kandidat turun langsung ke daerah
pemilihan, menggali permasalahan, menemukan akar masalah, bersama-
sama mencari solusi, menyampaikan visi misi, serta menyakinkan pemilih
bahwa program itu adalah solusinya (Mardiyansyah, 2014 : v).
Tetapi politik jaman sekarang lebih cenderung menggunakan
kampanye hard power, karena lebih praktis dan instan tanpa perlu melalui
karya, pemikiran, tindakan dan prestasi politik. Politik kini menjelma
menjadi politik pencitraan, yang merayakan citra ketimbang kompetensi
politik (Tinarbuko, 2009 : vii).
Dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh , yang
dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik (terlepas dari
kecakapan, kepemimpinan dan prestasi politik yang dimilikinya) seakan
menjadi mantra yang menentukan pilihan politik. Melalui, mantra itu, maka
persepsi, pandangan dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan
dimanipulasi.
Berdasarkan penggabungan data yang di lansir dari liputan6.com dari
berbagai partai, hasil laporan dana kampanye yang dilaporkan ke KPU,
sebagian dana kampanye digunakan untuk alat peraga kampanye. Alat
peraga yang sering digunakan parpol untuk menarik simpati publik adalah
pemasangan atribut bergambar parpol dan foto dari caleg ataupun capres dan
cawapres. Mulai dari bendera, spanduk, stiker, baliho, banner, kaos dan lain
sebagainya.
3
Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor
15 Tahun 2013 Pasal 17 ayat 1b tentang pemasangan alat peraga kampanye,
peserta pemilu dapat memasang alat peraga kampanye luar ruang hanya
diperbolehkan memasang satu spanduk/baliho per desa/kelurahan
(Mardiyansyah, 2014 : 8-9).
Tetapi demi menarik simpati publik melalui tim suksesnya, mereka
tidak menghiraukan peraturan tersebut. Demi dapat dikenal masyarakat
pemilih, mereka memasang atribut-atribut tersebut di berbagai tempat yang
dianggap strategis. Hebatnya lagi, antar parpol dan antar caleg juga terlibat
perang visual dengan memasang atribut secara besar-besaran. Artinya, besar
dalam hal ukuran, penempatan dan pemasangannya (Tinarbuko, 2009 : 39).
Pola pemasangan, cara menempatkan dan menempelkan atribut
kampanye benar-benar bertolak belakang dari esensi desain media luar
ruang yang dirancang sedemikian rupa agar tampil menarik, artistic,
informatif, dan komunikatif. Tetapi di tangan orang-orang yang bertugas
memasang dan menempatkan reklame luar ruang, karya desain yang bagus
itu berubah fungsi menjadi seonggok sampah visual yang mengotori
keindahan lingkungan sekitar (Tinarbuko, 2009 : 40).
Tetapi seolah partai-partai politik dan para caleg tidak menghiraukan
hal tersebut. Yang mereka tahu hanya bagaimana cara agar mereka menang.
Mereka hanya ingin mengkonstruksi citra diri dengan aneka trik bujuk rayu,
persuasi dan retorika komunikasi politik yang tujuannya meyakinkan setiap
orang, bahwa citra yang ditampilkan adalah kebenaran. Padahal citra-citra
4
itu tak lebih dari wajah penuh make up, gincu, kosmetik, dan topeng-topeng
politik, yang menutupi wajah sebenarnya (Tinarbuko, 2009 : ix).
Dengan melakukan analisis semiotika pada iklan banner calon
legislatif DPR RI Dapil Jatim V Malang Raya peneliti ingin mengetahui
makna apa yang sesungguhnya ingin dibangun calon anggota legislatif pada
iklan politiknya. Terkait dengan pemaknaan, studi yang biasa digunakan
adalah studi semiotika yang menghubungkan antara tanda, objek dan makna.
Maka, penelitian ini akan menggunakan kajian semiotika untuk
menganalisis “makna narsisime dibalik iklan banner calon legislatif pada
pemilu tahun 2014”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa makna narsisme dibalik iklan banner calon legislatif pada pemilu
tahun 2014?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui makna narsisme dibalik iklan banner calon legislatif pada
pemilu tahun 2014.
5
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
D.1. Manfaat Akademis
1. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi sumber pengetahuan
mengenai makna narsisme pada iklan politik, khususnya iklan
banner.
2. Sebagai referensi dan informasi bagi peneliti selanjutnya yang akan
meneliti masalah serupa.
D.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat sebagai
referensi untuk mengetahui calon legislatif mana yang layak untuk
dipilih.
6
E. TINJAUAN PUSTAKA
E.1. Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah bidang dalam ilmu komunikasi yang
berkenaan dengan politik. Dalam hal ini, aktivitas komunikasi mempengaruhi
kegiatan politik begitupun pula sebaliknya. Sebagai turunan dari ilmu politik
dan ilmu komunikasi, bidang komunikasi politik berkaitan dengan
pembuatan, penyebarluasan, penerimaan, dan dampak-dampak informasi
berkonteks politik, baik melalui interaksi media maupun antar manusia
(Menurut Ahira dikutip dari http://www.anneahira.com/definisi-komunikasi-
politik.htm).
E.1.1. Definisi Komunikasi Politik
Berorientasi dari beberapa pandangan ilmuwan tentang
komunikasi politik dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan tidak
mudah untuk mendefinisikan komunikasi politik yang disebabkan
karena perbedaan sudut pandang, maka secara sederhana dapat
dikatakan bahwa komunikasi politik merupakan proses penyampaian
pesan politik.
Brian McNair memberikan gambaran singkat mengenai
definisi komunikasi politik. Menurut McNair, definisi komunikasi
politik adalah aktivitas komunikasi tentang politik yang sarat tujuan.
Aktivitas yang dimaksud tidak hanya komunikasi verbal dan tertulis,
tetapi juga melibatkan simbol nonverbal seperti pakaian, rias wajah,
gaya rambut, desain logo dan sebagainya.
7
Dengan kata lain, identitas atau citra politik turut berperan
dalam komunikasi politik. Studi komunikasi politik adalah
multidisipliner, karena menyinggung aspek-aspek dalam banyak ilmu
pengetahuan di antaranya ilmu sosial, jurnalisme dan psikologi
(Menurut Ahira dikutip dari http://www.anneahira.com/definisi-
komunikasi-politik.htm).
E.1.2. Unsur Komunikasi Politik
Sebagai suatu bentuk kajian yang berhubungan dengan
kegiatan berkomunikasi, beberapa ahli juga menjelaskan beberapa
unsur-unsur komunikasi politik melalui beberapa sudut pandang yang
berbeda-beda. Cangara dalam bukunya menyebutkan unsur
komunikasi politik meliputi (Cangara, 2009: 37):
1. Komunikator Politik
Semua pihak yang ikut terlibat dalam proses penyampaian pesan.
Pihak-pihak ini dapat berbentuk individu, kelompok, organisasi,
lembaga ataupun pemerintah.
2. Pesan Publik
Pesan politik merupakan pernyataan yang disampaikan baik itu
tertulis maupun tidak, dalam bentuk simbol atau verbal yang
mengandung unsur politik, misal : pidato politik, UU, dll.
3. Saluran atau Media Publik
Dalam perkembangan sekarang ini, media massa dianggap sebagai
saluran yang paling tepat untuk melakukan komunikasi politik.
4. Penerima Pesan Politik
8
Semua lapisan masyarakat yang diharapkan memberikan respon
terhadap pesan komunikasi politik. Misalnya dengan memberikan
suara dalam pemilihan umum.
5. Efek atau Pengaruh
Efek merupakan pengukur seberapa jauh pesan politik dapat
diterima dan dipahami.
E.2. Tanda dan Makna
E.2.1. Tanda
Dalam komunikasi sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari
gejala penandaan. Gudykunts dan Kim memberikan suatu asumsi
bahwa manusia dalam kehidupan komunikasinya dalam budaya
tertentu tidak bisa lepas dari simbol-simbol atau tanda-tanda (Seto,
2013: 144).
Hjemslev seorang ahli liguistik mendefinisikan tanda sebagai
sesuatu yang mewakili atau berdiri atas sesuatu yang lain dalam
benak seseorang, tanda terdiri dari ekspresi seperti kata-kata, suara
atau pun simbol dan isi dari tanda itu sendiri.
Jadi, tanda merupakan suatu media untuk mengemas maksud
atau pesan dalam setiap peristiwa komunikasi dimana manusia saling
melempar tanda-tanda tertentu dan dari tanda-tanda itu terstrukturlah
suatu makna tertentu yang berhubungan dengan eksistensi masing-
masing individu (Seto, 2013: 145).
9
E.2.2. Makna
Makna menurut Shrimp adalah tanggapan internal yang
dimiliki atau diacu seseorang terhadap rangsangan dari luar. Makna
hadir akibat adanya suatu rangsang dari luar diri manusia. Pesan
dalam komunikasi merupakan suatu rangsangan luar. Pesan-pesan
tersebut terdiri dari seperangkat tanda-tanda dan tanda-tanda ini
kemudian ditanggapi di dalam diri manusia dan menghasilkan suatu
pemaknaan (Seto, 2013: 145).
Wendell Johnsons memberikan suatu asumsi tentang
pemaknaan dalam komunikasi antar manusia (Seto, 2013: 146-147),
yaitu:
1. Makna ada dalam diri manusia
Makna tidak terletak pada kata-kata tetapi dalam diri manusia. Kita
menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita
komunikasikan. Makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan
kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin
dikomunikasikan.
2. Makna terus berubah
Banyak kata yang maknanya terus berubah tergantung segala
pengalaman dan kejadian yang bergilir seiring dengan waktu.
3. Makna butuh acuan
Komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan
dengan dunia atau lingkungan eksternal.
4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna
10
Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku
dalam dunia nyata.
5. Makna tidak terbatas jumlahnya
Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalm suatu bahasa terbatas,
tetapi maknanya tidak terbatas. Satu kata bisa memiliki ribuan
makna.
6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian
Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian bersifat multi aspek
dan sangat kompleks, hanya sebagian saja dari makna-makna
tersebut yang benar-benar dapat dijelaskan.
Asumsi tentang pemaknaan yang dikemukakan oleh Johnson
menitikberatkan bahwa makna pada dasarnya ada dalam diri
seseorang, berubah-ubah dan bermacam-macam dan sangat
bergantung pada kepentingan yang diacunya baik budaya, ekonomi,
politik dan lain-lain.
Ada beberapa macam corak makna. BrodBeck membagi
makna ke dalam tiga corak (Seto, 2013: 147), yaitu :
1. Makna inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah objek,
pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut.
2. Makna significance suatu istilah dihubungkan dengan konsep-
konsep lain. Atau merupakan arti dari istilah tersebut.
3. Makna intensional, yakni makna yang dimaksud oleh seorang
pemakai lambang. Makna yang menekankan maksud pembicara.
11
E.3. Narsisme
E.3.1. Definisi Narsisme
Narsisme (kata sifat: narsistis) dapat dimengerti sebagai "cinta
diri". Istilah ini dibentuk berdasarkan nama Narcisscus, tokoh mitologi
yunani, yang mati tenggelam karena terpukau pada pantulan wajahnya
sendiri dalam air (Bertens, 2006: 28).
Narsisme tidak hanya diartikan sebagai kecenderungan
pencarian kepuasaan seksual melalui tubuh sendiri (Freud), tetapi juga
segala bentuk penyanjugan diri (self admiration), pemuasan diri (self
satisfaction), atau pemujaan diri (self glorification) (Erich Fromm),
atau segala kecenderungan melihat dunia sebagai cermin atau proyeksi
dari ketakutan dan hasrat seseorang (Tinarbuko, 2009: viii).
E.3.2. Narsisme Politik
Narsisme politik adalah kecenderungan pemujaan diri
berlebihan para elit politik, yang membangun citra diri, meskipun itu
bukan realitas diri yang sebenarnya (Tinarbuko, 2009: viii).
Narsisme politik adalah cermin artifisialisme politik melalui
konstruksi citra diri yang sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna dan
seideal mungkin, tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap
realitas diri yang sebenarnya. Melalui politik pertandaan, berbagai
tanda palsu tentang tokoh, figur, dan partai diciptakan untuk
mengelabui persepsi dan pandangan publik.
Narsisme politik adalah bentuk keseketikaan politik yang
merayakan citra instan dan efek yang segera, tetapi tak menghargai
12
proses politik. Aneka citra politik: jujur, cerdas, bersih, atau nasionalis
adalah citra yang mestinya dibangun secara alamiah melalui akumulasi
karya, pemikiran, tindakan, dan prestasi politik. Akan tetapi,
mentalitas menerabas telah mendorong tokoh miskin prestasi untuk
mengambil jalan pintas dengan memanipulasi citra secara instan.
Narsisme politik adalah cermin politik seduksi, yaitu aneka trik
bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik, yang tujuannya
meyakinkan setiap orang, bahwa citra yang ditampilkan adalah
kebenaran. Padahal, citra-citra itu tak lebih dari wajah penuh make up,
gincu, kosmetik, dan topeng-topeng politik, yang menutupi wajah
sebenarnya (Tinarbuko, 2009: ix).
E.4. Pemilu 2014
Pemilu adalah pemilihan umum dimana rakyat memilih wakilnya di
parlemen serta presiden dan wakil presiden secara langsung (Setiyono, 2008:
66). Pemilu 2014 merupakan pemilihan langsung ketiga setelah pemilu tahun
2004 dan tahun 2009. Pemilu 2014 akan dilakanakan dua kali yaitu Pemilu
Legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang akan memilih para anggota dewan
legislatif dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 juli 2014 yang akan memilih
Presiden dan Wakil Presiden (Dikutip dalam website
http://www.pemilu.com/jadwal-pemilu-2014/). Pada pemilu tahun 2014,
partai politik yang ikut serta berjumlah 15 partai, 12 partai umum dan 3 partai
daerah NAD.
13
E.5. Calon Legislatif (DPR RI)
E.5.1. Definisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Gunawan, 2008: 72).
Anggota DPR adalah wakil rakyat yang telah bersumpah atau
berjanji sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dalam
melaksanakan tugasnya sungguh memperhatikan kepentingan rakyat.
Anggota DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan
umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum dengan masa
kenggotaan selama lima tahun dan berakhir bersama-sama pada saat
anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji (Gunawan, 2008 :
80).
E.5.2. Syarat Menjadi Calon Legislatif
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon legislatif
yaitu:
1. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu)
tahun atau lebih;
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
14
4. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
5. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang
sederajat;
6. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945;
7. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
8. Sehat jasmani dan rohani;
9. Terdaftar sebagai pemilih;
10. Bersedia bekerja penuh waktu;
11. Mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan
usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber
dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran
diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
12. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT),
dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
15
berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang
dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan;
13. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara
lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha
milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara;
14. Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
15. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
16. Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
E.5.3. Kewajiban Anggota DPR
1. Mengamalkan Pancasila.
2. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan.
3. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
4. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
6. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat.
7. Mendahulukan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi,
kelompok dan golongan.
16
8. Memberikan pertanggungjawaban secara moral yang politis kepada
pemilih dan daerah pemilihannya.
9. Mentaati kode etik dan peraturan tata tertib DPR.
10. Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga
yang terkait.
E.6. Iklan
E.6.1. Definisi Iklan
Iklan adalah seni menyampaikan apa yang ditawarkan atau
dijual untuk mendapat perhatian dan menempatkan produk secara unik
kedalam pikiran konsumen dengan alat bantu (Menurut Ahira dikutip
dari http://www.anneahira.com/politik-periklanan.htm).
Strategi pemasaran yang dibuat oleh para pemilik komoditas di
maksudkan agar para konsumen menerima produk mereka dan
kemudian mengkonsumsinya. Untuk itu iklan sebagai bentuk
komunikasi pemasaran harus bisa menyampaikan pada khalayaknya
tujuan-tujuan pemasaran tersebut dengan menonjolkan hal-hal baik
dan nilai guna yang dimiliki produk dan sebaliknya sebisa mungkin
iklan menutupi keburukan produk tersebut.
Pesan iklan yang dekat dengan konsumen tentu akan lebih
diterima oleh konsumen. Iklan dalam konstruksi pesannya berusaha
menghadirkan figur-figur tertentu yang dekat dengan konsumen. Lebih
tepatnya iklan berusaha menggambarkan konstruksi pasar yang dibidik
olehnya. Suharko mengatakan bahwa melalui iklan, citra mengenai
17
kelompok-kelompok masyarakat tersebut dibentuk, didiktekan, dan
dikonstruksikan ke dalam bangunan kesadaran yang bermuara pada
bujukan untuk mengkonsumsi suatu komoditas (Seto, 2013: 154).
E.6.2. Iklan Politik
Iklan politik adalah iklan yang menawarkan sesuatu berkaitan
dengan politik. Iklan politik merupakan salah satu alat komunikasi
politik untuk menyampaikan pesan tentang individu atau partai politik.
Keberadaannya disosialisasikan menggunakan media komunikasi
visual. Perwujudannya dikemas dengan menggunakan pendekatan
Desain Komunikasi Visual (DKV). Untuk itu, media komunikasi
visual dan desain komuniasi visual dibutuhkan sebagai alat komunikasi
antara kandidat dengan calon pemilih. Kepentingannya, agar para
kandidat dapat melakukan sosialisasi terkait visi, misi, ide, program
kerja dan pandangan ideologis partai maupun individunya untuk
menarik minat calon pemilih.
Iklan politik dengan penyampaian pesan yang kreatif dan
persuasif menjadi pilihan yang sangat efektif untuk membangun
perhatian dan minat serta membentuk sikap target audiens secara
masal melalui media. Selain itu, iklan politik dibutuhkan untuk
meningkatkan awareness pemilih kepada calon legislatif yang berlaga
dalam perhelatan Pemilu 2014 (Tinarbuko, 2009: 58).
Secara umum, peran Desain Komunikasi Visual pada
kampanye Pemilu adalah bertugas menyampaikan pesan secara
informatif, persuasif, dan atraktif kepada simpatisan dan calon pemilih.
18
Bentuk penyampaian pesan verbal dan pesan visual yang dikemas
secara komunikatif dan persuasif, dalam ranah kampanye pemilu,
dikenal dengan sebutan iklan politik (Tinarbuko, 2009: 58-59).
Tujuan dari iklan adalah untuk memotivasi dan memengaruhi
calon konsumen agar berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginan
si pemasang iklan. Selain itu, iklan juga banyak digunakan untuk
membangun citra jangka pendek maupun jangka panjang sebagai
produk.
Dari penjabaran definisi dan tujuan itu, kita bisa menarik
kesimpulan bahwa iklan politik bisa jadi salah satu jenis iklan yang
sedang “menawarkan” produk berupa kemampuan individu yang
sedang diiklankan. Misal, ketika kampanye, banyak sekali iklan politik
yang ditemukan. Semuanya menawarkan kemampuan sosok yang
diiklankan, dalam hal ini adalah calon pejabat (Menurut Ahira dikutip
dari http://www.anneahira.com/politik-periklanan.htm).
E.7. Analisis Semiotik
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani
semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu
yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap
mewakili sesuatu yang lain. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-
peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. (Eco, 1979). Sedangkan
menurut Van Zoest mengatakan semiotik adalah ilmu tanda (sign) dan segala
19
yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungan dengan kata lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya
(Sobur, 2002: 95).
Batasan lebih jelas mengenai definisi semiotik dikemukakan oleh
Preminger (2001:89), yang mengatakan :
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi
yang memungkinkan tanda-tanda itu mempunyai arti. (Sobur, 2002 : 96) .
E.7.1. Semiotik Model Charles Sanders Pierce
Teori dari Pierce menjadi grand theory dalam semiotik.
Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua
sistem penandaan. Pierce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari
tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur
tunggal (Sobur, 2002: 97).
Semiotika menurut Pierce adalah suatu hubungan antara tanda,
objek dan makna. Analisis semiotik yang digunakan pada penelitian ini
adalah semiotika yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce.
Permikiran Pierce ini bisa dijelaskan melalui bagan segitiga makna
pada gambar berikut (Seto, 2013: 168-169):
20
Segitiga Elemen Makna Pierce Sign
Interpretan Object
Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, Second Edition, Methuen & co. LTD, London, 1990, hal 42, dikutip dari Seto, 2013: 169.
Menurut Pierce, tanda dibentuk oleh hubungan segitiga yaitu
representament yang oleh Pierce disebut juga tanda (sign)
berhubungan dengan object yang dirujuknya. Hubungan tersebut
membuahkan interpretan. Tanda atau representament adalah bagian
tanda yang merujuk pada sesuatu menurut cara atau berdasarkan
kapasitas tertentu. Pierce mengistilahkan representament sebagai
benda atau objek yang berfungsi sebagai tanda. Objek adalah sesuatu
yang dirujuk oleh tanda. Biasanya objek merupakan sesuatu yang lain
dari tanda itu sendiri atau objek dan tanda bisa jadi merupakan entitas
yang sama (Seto, 2013: 169).
Upaya klasifikasi yang dilakukan oleh Pierce terhadap tanda
memiliki kekhasan meski tidak bisa dibilang sederhana. Pierce
membedakan tipe tanda menjadi : Ikon (icon), Indeks (index), dan
Simbol (symbol) yang didasarkan atas relasi di antara representamen
dan objeknya (Seto 2013: 18).
1) Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan rupa sehingga tanda
itu mudah dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon hubungan
antara representamen dan objeknya terwujud sebagai kesamaan dalam
beberapa kualitas. Contohnya, sebagian besar rambu lalu lintas
21
merupakan tanda yang ikonik karena menggambarkan bentuk yang
memiliki kesamaan dengan objek yang sebenarnya.
2) Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau
eksistensial di antara representamen dan objeknya. Di dalam indeks,
hubungan antara tanda dan objeknya bersifat kongkret, aktual dan
biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal. Contoh jejak
telapak kaki di atas permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari
seseorang atau binatang yang telah lewat disana, ketukan pintu
merupakan indeks dari kehadiran seorang tamu dirumah kita.
3) Simbol, merupakan jenis tanda yang bersifat arbiter dan konvensional
sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.
Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah simbol-simbol.
Tabel 1.1 Jenis Tanda dan Cara Kerjanya
Jenis tanda Ditandai dengan Contoh Proses kerja
Ikon
- Persamaaan
(kesamaaan)
- Kemiripan
Gambar.foto,dan
patung - dilihat
Indeks - Hubungan sebab akibat
- Kerkaitan
- asap---api
- gejala---penyakit - diperkirakan
Simbol - Konvensi atau
- Kesepakatan sosial
- Kata-kata
- Isyarat - dipelajari
Sumber: Seto Wahyu Wibowo, Indiwan. 2013. Semiotika Komunikasi – Aplikasi Praktis
Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi, hal 19.
Tabel 1.1 Jenis Tanda dan Cara Kerjanya
E.7.2. Semiotik Model Ferdinand De Saussure
Selain Charles S Pierce, pendekatan semiotika terus
berkembang hingga saat ini amat berhutang budi pada peletak dasar
semiotika lainnya yakni Ferdinand de Saussure yang lebih berfokus
pada semiotika linguistik (Seto, 2013: 19).
22
Saussure memang terkenal dan banyak dibicarakan orang
karena teorinya tentang tanda. Meski tak pernah mencetak buah
pikirannya dalam sebuah buku, para muridnya mengumpulkan catatan-
catatannya menjadi sebuah outline.
Pandangannya tentang tanda sangat berbeda dengan pandangan
para ahli linguistik di jamannya. Saussure justru menyerang
pemahaman historis terhadap bahasa yang dikembangkan pada abad
ke-19. Saat itu, studi bahasa hanya berfokus kepada perilaku linguistik
yang nyata. Studi tersebut menelusuri perkembangan kata-kata dan
ekspresi sepanjang sejarah, mencari faktor-faktor yang berpengaruh
seperti geografi, perpindahan penduduk dan faktor lain yang
mempengaruhi perilaku linguistik manusia.
Saussure justru menggunakan pendekatan anti historis yang
melihat bahasa sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara
internal atau dalam istilah Saussure disebut langue. Dia mengusulkan
teori bahasa yang disebut sebagai strukturalisme untuk menggantikan
pendekatan historis dari para pendahulunya. Bahasa di mata Saussure
tak ubahnya sebuah karya musik (simfoni) dan bila kita ingin
memahaminya kita harus memperhatikan keutuhan karya musik secara
keseluruhan dan bukan kepada permainan individual dari setiap
pemain musik (Seto, 2013: 20).
Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang terkenal yaitu
soal:
1. Signifier (penanda) dan Signified (petanda)
23
2. Form (bentuk) dan Content (isi)
3. Langue (bahasa) dan Parole (tuturan/ujaran)
4. Synchronic (sinkronik) dan Diachronic
5. Syntagmatic dan Associative atau Paradigmatik
E.7.3. Semiotik Model Roland Barthes
Kancah penelitian semiotika tak begitu saja melepaskan nama
Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan
kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada
semiotika teks.
Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi
sebagai kunci dari analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh
lebih sederhana saat membahas model glossematic sign (tanda-tanda
glossematic). Mengabaikan dimensi bentuk dan substansi, Barthes
mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri
dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan
content (atau signified) (C) : ERC.
Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat
menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap
dan memiliki makna yang berbeda ketimbang semula. Barthes
menulis:
Such sign system can become an element of a more comprehensive
sign system. If the extension is one of content, the primary sign (E1 R1
C1) becomes the expression of a secondary sign system :
E2 = (E1 R1 C1) R2 C2
24
Dengan begitu, primary sign adalah denotative sedangkan
secondary sign adalah satu dari connotative semiotics. Konsep
connotative inilah yang menjadi kunci penting dari model Roland
Barthes.
Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap
pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified
(content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang
disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda
(sign).
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk
menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan
interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi
dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya (Seto, 2013: 21).
Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak
intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang
digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi
adalah bagaimana cara menggambarkannya.
Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga
kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna
konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis
semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka
berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca atau salah dalam
mengartikan makna suatu tanda.
25
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana
kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang
sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif misalnya mengenai
hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini
misalnya mengenai feminimitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan
kesuksesan (Seto, 2013: 22).
Langue
Myth
Sumber: Seto Wahyu Wibowo, Indiwan. 2013. Semiotika Komunikasi – Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi, hal 22.
E.7.4. Semiotik Model Umberto Eco
Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 di Alessandria, wilayah
Pedmont Italia. Awalnya ia belajar hukum, kemudian mempelajari
filsafat dan sastra sebelum akhirnya menjadi ahli semiotika.
Dia-sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam buku
“Hipersemiotika” Tafsir Cultural Studies Atas matinya Makna, (2003)
– menegaskan bahwa semiotika adalah teori dusta. Eco mengatakan
bahwa : pada prinsipnya (semiotika) adalah sebuah disiplin yang
mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta.
Definisi ini meskipun agak aneh secara eksplisit menjelaskan betapa
1 signifier 2 signified
3 sign
II SIGNIFIED
I SIGNIFIER
II SIGN
26
sentralnya konsep dusta di dalam wacana semotika, sehingga dusta
tampaknya menjadi prinsip utama semiotika (Seto, 2013: 24).
Menurut Eco, semiotikus terkenal Italia itu, tanda dapat
digunakan untuk menyatakan kebenaran sekaligus juga untuk
menyatakan suatu kebohongan.
Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat
dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat
diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk
menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu
harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu
waktu tertentu. Dengan demikian semiotika pada prinsipnya adalah
suatu disiplin yang mempelajari apa pun yang dapat digunakan untuk
menyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu itu tersebut tidak dapat
digunakan untuk mengatakan kebohongan, sebaliknya tidak bisa
digunakan untuk mengatakan kebenaran (Seto, 2013: 25).
E.8. Teori Persuasi/Informasi
Dalam teori informasi, komunikasi massa terdiri atas serangkaian
sistem yang menyampaikan informasi dengan cara bersambung dan berurutan
(1) dari sebuah sumber, (2) melalui penyandi yang menerjemahkan unsur-
unsur pesan ke dalam serangkaian tanda (kata, gambar, dsb.) ke dalam impuls
elektronik, (3) melalui sebuah saluran, (4) melalui penyandi balik, dan (5)
kepada penerima. Teori ini menetapkan informasi menurut kemampuannya
mengurangi ketakpastian atau keteraturan situasi pada ujung penerima
27
(Nimmo, 1989: 173). Teori informasi mengatakan bahwa orang mengikuti
komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu untuk bertukar informasi
dan mengurangi ketidakpastian (Nimmo, 1989: 174).
E.9. Fokus Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang, rumusan masalah, dan kemudian
tujuan dari penelitian. Fokus dari penelitian ini adalah iklan banner calon
legislative DPR RI Dapil Jatim V Malang Raya, dengan menggunakan
analisis semiotik model Charles Sanders Pierce peneliti bisa mendeskripsikan
makna narsisme dibalik iklan politik calon legislatif pada pemilu tahun 2014.
28
F. METODE PENELITIAN
F.1. Metode dan Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
interpretatif dengan pendekatan analisis semiotik. Secara metodologis
dalam teori-teori interpretatif menyebabkan cara berpikir mazhab kritis
(Frankfurt School) terbawa pula ke dalam kajian semiotik ini. Aliran
Frankfurt terkenal kritis dengan persoalan lambang atau simbol (Sobur,
2002 : 147). Alasannya menggunakan analisis semiotik karena penelitian
semiotik menginginkan suatu keseluruhan untuk memperoleh makna-
makna yang ada dalam suatu teks sebagai sebuah proses dalam satu
kesatuan (Seto, 2013 : 164).
Sesuai dengan paradigma kritis, analisis semiotik bersifat
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan
prosedur statistik atau dengan cara-cara kuantifikasi. Penelitian ini
menekankan pada quality atau hal terpenting suatu barang atau jasa. Hal
yang terpenting suatu barang atau jasa yang berupa kejadian, fenomena,
dan gejala sosial adalah makna dibalik kejadian tersebut yang dapat
dijadikan pelajaran berharga bagi pengembangan konsep teori (Djunaidi ,
2012 : 25). Jenis penelitian ini memberi peluang yang besar bagi dibuatnya
interpretasi-interpretasi alternative. Dalam penerapannya metode semiotik
ini menghendaki pengamatan secara menyeluruh dari semua isi berita
(teks), termasuk cara pemberitaan maupun istilah-istilah yang
digunakannya (Sobur, 2002 : 147-148).
29
F.2. Subjek Penelitian
Menurut Amirin (1986), subjek penelitian merupakan seseorang atau
sesuatu yang mengenainya ingin diperoleh keterangan, sedangkan Suharsimi
Arikunto (1989) memberi batasan subjek penelitian sebagai benda, hal atau
orang tempat data untuk variabel penelitian melekat, dan yang
dipermasalahkan. Dalam sebuah penelitian, subjek penelitian memiliki peran
yang sangat strategis karena pada subjek penelitian, itulah data tentang
variabel yang penelitian akan diamati. Dari kedua batasan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud subjek penelitian adalah individu,
benda, atau organisme yang dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan
dalam pengumpulan data penelitian (Idrus, 2009 : 91).
Adapun subjek penelitian ini adalah banner caleg Dapil Jatim V
Malang Raya dari beberapa partai pada pemilu 2014 yang tersebar di jalan-
jalan besar di Kota Malang, yang termasuk dalam zona lokasi pemasangan
alat peraga untuk pelaksanaan kampanye yang ditetapkan dalam PKPU
(Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 23 tahun 2014).
Adaupun karakteristik dari subjek penelitiannya adalah sebagai
berikut :
1. Waktu dokumentasi banner : 16 Maret – 5 April 2014
2. Kecenderungan narsisme diukur dengan Skala Kecenderungan
Narsisme yang disusun berdasarkan pedoman DSM-IV
(from Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
commonly referred to as DSM-IV, of the American Psychiatric
Association. European countries use the diagnostic criteria of the
30
World Health Organization) yang memiliki delapan ciri yang
dihubungkan dengan iklan banner caleg, yaitu:
(1) merasa diri paling hebat namun seringkali tidak sesuai dengan
potensi atau kompetensi yang dimiliki, percaya bahwa dirinya
adalah spesial dan unik. Misalnya seperti pesan-pesan verbal
yang dicantumkan pada iklan banner yang membanggakan
dirinya.
(2) dipenuhi dengan fantasi kesuksesan, kekuasaan, kepintaran,
kecantikan, atau cinta sejati. Misalnya seperti tampilan visual
caleg yang cantik, ganteng, agamis, dan cerdas.
(3) memiliki kebutuhan yang eksesif untuk dikagumi. Misalnya
seperti menampilkan foto dirinya dalam iklan banner,
menunjukkan eksistensi dirinya kepada publik.
(4) merasa layak untuk diperlakukan secara istimewa
(5) kurang empati
(6) mengeksploitasi hubungan interpersonal. Misalnya seperti
menghubung-hubungkan dirinya dengan tokoh terkenal,
menaruh foto tokoh terkenal dalam iklan bannernya.
(7) seringkali memiliki rasa iri pada orang lain iri kepadanya
(8) angkuh
3. Banner-banner calon legislative yang terpilih menjadi Anggota
DPR RI pada pemilu 2014. Menurut SK KPU Nomor
416/Kpts/KPU/TAHUN 2014 serta perolehan kursi partai politik
dan calon terpilih anggota DPR dalam Pemilu Tahun 2014.
31
Sumber: Dikutip melalui website http://www.kpu.go.id/koleksigambar/SK_KPU_416_Penetapan_Kursi_Calon_Terpilih_1452014.pdf.
Gambar 1.1 Rekapitulasi Model E-3 DPR
4. Lokasi :
Tabel 1.2 Lokasi Pemasangan Banner
No. Nama Caleg Gambar Banner Lokasi
I Kresna
Dewanata
Phrosakh
Jalan Muharto Timur,
daerah makam.
II Lathifhah
Shohib
Jalan Borobudur,
tepatnya di pertigaan
simpan Borobudur,
banner ini ditempel pada
pohon pinggir jalan
III Ahmad
Basharah
Perumahan Sawojajar,
tepatnya daerah masjid
dan SMA 10 Malang
32
IV Andreas Eddy
Susetyo
Pasar Bunul
(Jalan Hamid Rusdi),
diseberang jalan
Indomart cabang Hamid
Rusdi dan menghadap
jalan raya.
V Ridwan Hisjam
Pasar Induk Gadang
(Jalan Kolonel Sugiono),
dan ditempelkan di
pohon-pohon pinggir
jalan raya.
VI Moreno
Soeprapto
Jalan Trunojoyo,
tepatnya di seberang
jalan toko City of Arema
dan menghadap ke jalan
raya.
VII Nurhayati Ali
Assegaf
Kelurahan Kedung
Kandang, Kelurahan
Kedung Kandang
tepatnya di perempatan
jalan dan menghadap ke
jalan raya.
33
VIII Totok Daryanto
Perumahan Sawojajar,
tepatnya di jalan Danau
Limbutu.
F.3. Sumber Data
F.3.1. Data Primer
Data primer dari penelitian ini adalah dokumentasi banner-
banner caleg DPR RI Dapil Jatim V Malang Raya dari berbagai partai
pada pemilu 2014 yang tersebar di jalan-jalan besar di Kota Malang,
yang termasuk dalam zona lokasi pemasangan alat peraga untuk
pelaksanaan kampanye yang ditetapkan dalam PKPU (Peraturan
Komisi Pemilihan Umum No. 23 tahun 2014).
F.3.2. Data Sekunder
Data sekunder atau data pendukung dari penelitian ini adalah
buku-buku, referensi berupa skripsi/jurnal, dan internet untuk
mendukung data penelitian.
F.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
metode dokumentasi banner-banner caleg DPR RI Dapil Jatim V Malang
34
Raya dari berbagai partai pada pemilu 2014 yang tersebar di jalan-jalan besar
di Kota Malang.
Kemudian banner-banner tersebut difoto atau didokumentasikan
menggunakan kamera Handphone dan DSLR agar memudahkan dalam
melakukan pengamatan. Dari hasil dokumentasi, peneliti mencari informasi
mengenai zona lokasi pemasangan alat peraga untuk pelaksanaan kampanye
yang ditetapkan dalam PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 23
tahun 2014) ke kantor KPU Daerah Kota Malang yang beralamat di Jalan
Bantaran No. 6 Malang.
Selanjutnya banner yang sudah didokumentasikan tersebut di pilih,
banner mana yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian, kemudian di
analisis menggunakan analisis semiotik model Charles Sanders Pierce.
Dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder sebagai
penunjang penelitian ini. Yang dimaksud data sekunder adalah buku-buku,
refrensi berupa skripsi dan internet untuk mendukung data-data pada
penelitian dan pada bagian tinjauan pustaka.
F.5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data, maka data
tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan, bentuk teknik dalam
teknik analisa data adalah analisis semiotik.
Semiotika menurut Pierce adalah suatu hubungan antara tanda, objek
dan makna. Analisis semiotik yang digunakan pada penelitian ini adalah
semiotika yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce (Seto, 2013 : 168).
35
Teori dari Pierce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat
menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce ingin
mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali
semua komponen dalam struktur tunggal (Sobur, 2002 : 97).
Oleh karena itu, dengan menggunakan analisis semiotik model
Charles Sanders Pierce, peneliti bisa menganalisis makna narsisme dibalik
foto calon legislatif pada pemilu tahun 2014.
F.6. Instrumen Penelitian
Salah satu fungsi utama bagi seorang peneliti ketika melakukan suatu
penelitian kualitatif adalah berperan sebagai instrumen dalam penelitian yang
dilakukannya. Instrumen atau alat yang dimaksud adalah semenjak awal
hingga akhir penelitian, peneliti sendiri yang berfungsi penuh atau peneliti
sendiri yang terlibat aktif dalam penelitian yang dilakukan, bukan orang lain
atau asisten peneliti. Peneliti kualitatif menjadikan dirinya sebagai bagian
yang tidak dapat dipisahkan antara dirinya dengan penelitian yang
dilakukannya dari awal hingga akhir penelitian tersebut (Herdiansyah, 2012 :
21).
Dalam hal pengumpulan data, peneliti kualitatif berfungsi langsung
sebagai alat yang berfungsi aktif dalam mengumpulkan data. Ia sebagai orang
yang langsung menjalankan dan menggunakan alat pengumpulan data yang
telah dipilih (Herdiansyah, 2012 : 23).
Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi
terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, pengusaan wawasan
36
terhadap bidang yang diteliti. Yang melakukan validasi adalah peneliti
sendiri, melalui evalusi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode
kualitatif, penguasaan teori, dan wawasan terhadap bidang yang diteliti
(Sugiono, 2013 : 222).