BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Urban farming atau urban agriculture1
, merupakan aksi bertani,
mengolah, mendistribusikan bahan pangan di dalam wilayah batas kota. Aktivitas
ini melibatkan masyarakat dalam memanfaatkan lahan terbengkalai di perkotaan
untuk ditanami oleh tanaman-tanaman produktif (Lanarc, 2013). Berdasarkan
sejarah dunia, urban farming muncul sebagai respon terhadap buruknya situasi
dan kondisi ekonomi beberapa negara pada saat perang dunia. Sekitar 20 juta
victory garden dibuat selama perang dunia kedua2
. Victory garden
diimplementasikan dengan membangun taman di sela-sela ruang yang tersisa.
Hasil dari program tersebut membuat pemerintah Amerika Serikat mampu
menyediakan 40% kebutuhan pangan warganya pada waktu itu. Victory garden-
lah yang akhirnya menjadi awal mula kemunculan urban farming pada masa kini3.
Selama ini, tendensi gerakan urban farming yang muncul di berbagai
negara didasari atas masalah kerawanan pangan yang dialami negara tersebut.
1 Urban Agriculture sebenarnya tidak terbatas hanya pada aktivitas pertanian atau bercocok tanam
saja, didalamnya juga termasuk aktivitas berternak, serta proses terkait lainnya seperti produksi
dan distribusi, pemasaran dari hasil produknya yang masih dalam lingkup area perkotaan. Namun,
dalam penelitian ini isu utama yang diangkat adalah salah satu subsitem dari urban agriculture
yaitu urban farming. Untuk lebih lengkap lihat Rene Van Veenhuizen, Cities Farming for The
Future: Urban Agriculture for Green and Production Cities, 2006. 2 Urban Farming; Land Use tersedia di
http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/906081550?accountid=13771, diakses
pada 14 Maret 2014 3 Urban Farming Sebuah Gaya Hidup, Lihat http://beritalingkungan.com/2012/02/urban-farming-
sebuah-gaya-hidup.html, diakses pada 14 Maret 2014
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
Kerawanan pangan biasanya diakibatkan oleh beberapa hal, dalam konteks ini
contoh di beberapa wilayah menunjukan bahwa proses urbanisasi, kemiskinan
serta embargo dari negara lain menyebabkan semakin sulitnya akses terhadap
komoditas pangan. Havana, Kuba, merupakan salah satu kota yang dianggap
sukses dalam mengimplementasikan urban farming di wilayah mereka. Urban
farming yang diterapkan di Havana merupakan respon terhadap krisis makanan
akibat jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1990 serta embargo perdagangan terhadap
negara ini oleh Amerika Serikat4. Pada masa itu Kuba terpaksa harus menyusun
ulang sistem perdagangan, persediaan, dan sistem agrikultural mereka. Awalnya
masing-masing masyarakat mulai menanam kebutuhan pangan dasar mereka di
sudut-sudut kota, namun pada kelanjutannya implementasi urban farming tidak
hanya dilakukan oleh individu dan inisiasi dari komunitas masyarakat lokal tetapi
juga terintegrasi kedalam strategi pemerintah5.
Hampir serupa dengan Havana, implementasi urban farming di Detroit
Amerika merupakan salah satu respon terhadap permasalahan ekonomi yang
dihadapi oleh kota tersebut. Masyarakat Detroit bekerja sama melalui strategi
grass roots untuk meremajakan kembali kota mereka dengan urban farming.
Mereka membangun kebun sendiri di belakang rumah maupun kebun bersama di
lahan terbengkalai. Urban farming dianggap mampu memberikan semacam
harapan dan kebanggaan kepada masyarakat serta komunitas sekitar. Masyarakat
4 Organic Agriculture in Cuba, tersedia di
www.unep.org/greeneconomy/SuccesStories/OrganicAgricultureinCuba/tabid/29890/Default.aspx
diakses pada 15 Agustus 2014 5 Gonzalez Novo, Mario dan Catherine Murphy, Urban agriculture in the city of Havana dalam
Annotated Bibliography on Urban Agriculture prepared for Swedish International, 2000, Hlm. 61
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
kembali memiliki harapan untuk hidup lebih sehat serta akses yang lebih mudah
terhadap buah-buahan, dan sayuran segar 6.
Sementara itu, Widyawati (2013) menyebutkan bahwa urban farming di
Indonesia nampaknya belum menjadi prioritas utama bagi negara ini, sehingga
belum banyak pihak yang berkewajiban menangani perkembangannya. Setiawan
dan Rahmi (2004) mengemukakan bahwa sebagian besar pelaku urban farming
melihat kegiatan ini sebagai kegiatan sampingan, berdasarkan hasil dari penelitian
mereka hanya sekitar seperempat dari pelaku yang melakukannya sebagai
pekerjaan pokok. Adapun sebagian besar dari pelaku urban farming adalah
masyarakat miskin perkotaan, hanya sedikit pelaku yang berasal dari kelompok
penduduk yang berpenghasilan menengah ke atas7. Hal tersebut menunjukan
bahwa urban farming sebetulnya bukan merupakan sesuatu yang baru bagi
masyarakat perkotaan di Indonesia. Namun, aksi urban farming semakin massif
digalakkan dan mulai dikenal secara luas ketika diluncurkannya sebuah komunitas
yang fokus mengkampanyekan aksi ini yaitu Indonesia Berkebun. Pada
kelanjutannya, urban farming mulai menjelma menjadi suatu aksi kolektif
masyarakat beberapa kota di Indonesia.
Pencetus awal dari gerakan ini adalah Ridwan Kamil salah satu tokoh
kreatif asal Bandung yang kini juga menjabat sebagai walikota Bandung. Gerakan
6 Can Urban Farming Save the World? SBU Speaker to Share Progress He Sees in Detroit tersedia
di http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/1050633527?accountid=13771, diakses
14 Maret 2014
7 B. Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi, Ketahanan Pangan, Lapangan Kerja, dan Keberlanjutan
Kota: Studi Pertanian Kota di Enam Kota Indonesia, 2004, hlm.40
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
urban farming muncul pertama kali di Jakarta sekitar akhir tahun 20118. Jakarta
memang menjadi kota pertama yang meluncurkan komunitas Jakarta Berkebun
dengan kesiapannya melaksanakan tanam perdana di Spring Hill pada tanggal 20
Februari 2011. Beberapa bulan kemudian kemunculan komunitas-komunitas
berkebun di kota lain ikut menyusul, seperti Bandung, Semarang, Padang, Medan
dan Bogor. Akhirnya diputuskan untuk dibentuk payung besar bagi komunitas-
komunitas ini yaitu Indonesia Berkebun. Hingga saat ini, Indonesia Berkebun
telah menyebar di 33 kota dan 9 kampus di seluruh Indonesia.
Bandung merupkan salah kota pertama yang meluncurkan komunitas
berkebun sebelum terbentuknya Indonesia Berkebun. Hasil wawancara observasi
awal yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa awal perumusan konsep gerakan
ini pertama kali tumbuh di kota Bandung. Kota ini sebetulnya sudah mulai
merumuskan konsep dan membentuk Bandung Berkebun pada 15 Februari 2011,
bahkan tanggal tersebut hingga kini diperingati sebagai hari kelahiran komunitas
ini. Namun, karena satu dua lain hal mereka baru melaksanakan tanam
perdananya pada tanggal 21 Mei 2011 di kebun Sukamulya, Bandung9. Mereka
8 http://indonesiaberkebun.org/background/, diakses pada 14 Maret 2014 awalnya gerakan ini
bergerak sekitar bulan Oktober 2010 melalui akun media sosial Twitter Ridwan Kamil, dibantu
insiasinya oleh penggiat lain seperti Shafiq Pontoh, Sigit Kusumawijaya, dll. Gerakan ini ternyata
mampu menarik minat masyarakat lainnya. Sehingga, pada tanggal 20 Februari 2011
diselenggarakanlah penanaman perdana di Springhill, sekaligus penetapan tanggal lahir dari
Indonesia Berkebun. 9 Komunitas Bandung Berkebun Gelar Hari Tanam Perdana, tersedia di
http://www.tribunnews.com/regional/2011/05/19/komunitas-bandung-berkebun-gelar-hari-tanam-
perdana diakses pada 10 Maret 2014.
Apabila dilihat dari proses perumusan konsep dapat dikatakan Bandung Berkebun lebih dulu lahir
dibandingkan Jakarta Berkebun bahkan Indonesia Berkebun. Namun, ada beberapa faktor yang
menyebabkan komunitas ini baru mendeklarasikan diri ke khalayak publik melalui tanam perdana
pada bulan Mei 2011. Pertama, lebih ke arah faktor teknis yaitu belum tersedianya lahan yang
akan dijadikan lokasi untuk aksi tanam perdana. Jakarta pada saat itu dikatakan lebih siap secara
teknis untuk segera melakukan tanam perdana. Kedua, adalah faktor perumusan konsep itu
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
mendeklarasikan diri kepada masyarakat dengan nama Bandung Berkebun.
Sedikit berbeda dengan gerakan urban farming di negara lain yang berangkat dari
isu kerawanan pangan yang sangat mendesak, dalam konteks gerakan yang
dipelopori oleh Bandung Berkebun secara khusus dan Indonesia Berkebun secara
umum, gerakan ini diawali oleh keprihatinan para inisiatornya akan banyaknya
ruang atau lahan kosong terbengkalai di perkotaan yang tidak termanfaatkan
secara optimal.
Mengapa lahan terbengkalai menjadi permasalahan mendasar bagi gerakan
ini? Lingkungan perkotaan di Indonesia cenderung dicirikan dengan banyaknya
tanah-tanah terbuka. Hal tersebut dikarenakan proses perkembangan kota yang
tidak terencana sehingga banyak lahan-lahan kosong diantara kawasan
pemukiman. Selain itu, kondisi tersebut diperparah dengan proses spekulasi tanah
yang tidak terkontrol, sehingga memicu terjadinya lahan-lahan terlantar di
perkotaan di Indonesia (Setiawan dan Rahmi, 2004). Terlebih lagi, ruang telah
menjadi komoditas ekonomi pasar di Indonesia, harga dasar tanah menjadi terlalu
tinggi, hajat hidup untuk khalayak ini dilemparkan ke sistem pasar bebas, tidak
dikendalikan dengan suatu sistem yang adil (Kamil, 2015). Di sisi lain, saat ini
telah terjadi degradasi keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan Indonesia,
begitu pula di kota Bandung. Gerakan urban farming muncul sebagai respon
terhadap isu awal mendasar berupa carut marut tata ruang perkotaan di Indonesia.
sendiri,berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu informan diketahui bahwa komunitas
Bandung Berkebun ingin mengimplementasikan suatu kegiatan urban farming yang tidak sekedar
mengangkat aktivitas berkebun semata, mereka ingin memasukan unsur-unsur nilai masyarakat
urban seperti misalnya fun serta edukatif
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Serupa dengan komunitas berkebun di kota lainnya Bandung Berkebun
berupaya memanfaatkan lahan-lahan sisa dan terbengkalai di kota menjadi lahan
yang lebih produktif melalui aksi urban farming atau berkebun. Komunitas ini
menjadikan berkebun di perkotaan sebagai media untuk memperkenalkan gaya
hidup hijau kepada masyarakat melalui kegiatan yang mudah, fun, inovatif dan
edukatif. Bandung Berkebun mencoba menonjolkan inovasi dan kreativitas dalam
berkebun yang mereka sebut dengan Creatifarming10
. Selain itu dalam rangka
menyebar luaskan ide dan gagasan gerakan urban farming ke seluruh kota
Bandung, komunitas ini melakukan kolaborasi dengan banyak komunitas lain di
Bandung baik yang concern terhadap isu lingkungan maupun komunitas lainnya
yang memiliki visi serupa dengan Bandung Berkebun.
Usia pergerakan Bandung Berkebun saat ini baru menginjak tahun
keempat. Namun, komunitas ini telah mampu meraih pencapaian-pencapaian yang
tidak sedikit di usianya yang masih terbilang relatif singkat. Pada tahun 2011, di
usianya yang bahkan belum menginjak tahun pertama komunitas ini telah turut
serta menjadi bagian dalam event internasional Tunza International Children and
Youth Conference On the Environmental 2011 yang dihelat di kota Bandung.
Sebagai kelanjutan dari event Tunza, Bandung Berkebun menginisiasi dan
melaksanakan program Kampung Urban Farming di RW 4 Taman Sari dan RW 8
Babakan Siliwangi. Program ini merupakan aksi pengembangan masyarakat yang
mendorong warga sekitar untuk memanfaatkan lahan terbengkalai di sekitar
mereka melalui aksi urban farming khususnya menggunakan instalasi vertical
10
.BdgBerkebun FAQ (Frequently Ask Question) tersedia di
http://www.bdgberkebun.com/p/faq.html, diakses pada 14 Maret 2014
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
farming. Keberhasilan dari pelaksanaan program Kampung Urban Farming
bahkan menjadikan Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan mengadopsi program ini menjadi salah satu program
pemerintah di tahun 2014, dimana Bandung Berkebun juga diikutsertakan sebagai
partner Dispertapa dalam pelaksanaan program ini di 151 kecamatan di seluruh
kota Bandung. Komunitas ini juga berhasil melakukan kolaborasi dengan berbagai
pihak baik itu komunitas, kampus, sekolah serta masayarakat dalam menyebarkan
gagasan serta ide-ide kreatif mereka terkait urban farming11
. Bandung Berkebun
melalui berbagai programnya telah mendorong terbentuknya kebiasaan berkebun
di masyarakat serta terciptanya komunitas-komunitas berkebun di wilayah kota
Bandung.
Hal tersebut menjadikan peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam apa
yang membuat komunitas ini mampu meraih pencapaian-pencapaian seperti itu.
Padahal sama seperti komunitas berkebun di kota lainnya, mereka berangkat dari
isu dan konsep yang serupa. Oleh karena itu, proses mobilisasi sumber daya yang
dilakukan oleh Bandung Berkebun dalam meraih pencapaian berupa kemampuan
merangkul berbagai pihak baik itu masyarakat, komunitas, swasta, dan pemerintah
untuk berkolaborasi mewujudkan ide dan gagasan yang mereka perjuangkan
menarik perhatian peneliti untuk ditelaah secara lebih mendalam. Peneliti ingin
mengkaji bagaimana mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung
Berkebun sebagai sebuah komunitas lokal dalam memperjuangkan visi
11
Untuk keterangan lebih jelas mengenai pihak mana saja yang pernah melakukan kolaborasi dengan Bandung Berkebun telah dilampirkan dalam Informasi Umum
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
memanfaatkan lahan terbengkalai melalui aksi urban farming atau dalam kalimat
sederhananya adalah impian masyarakat se-Bandung ngebon12
.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun pertanyaan pokok dari penelitian ini adalah bagaimana Bandung
Berkebun mampu meraih pencapaian seperti saat ini berupa kemampuan
merangkul berbagai pihak baik itu masyarakat, komunitas, kampus, swasta, serta
pemerintah untuk berkolaborasi mewujudkan ide dan gagasan pemanfaatan lahan
terbengkalai melalui urban farming dalam usia yang relatif singkat? Sementara itu
rumusan masalah dari penelitian ini adalah.
1. Bagaimana Bandung Berkebun mengakses sumber daya yang ada di
sekitarnya sehingga mereka dapat meraih pencapaian merangkul berbagai
pihak untuk berkolaborasi mewujudkan ide dan gagasan pemanfaatan
lahan terbengkalai melalui urban farming dalam usia yang relatif singkat?
2. Bagaimana Bandung Berkebun memobilisasi seluruh sumber daya yang
telah berhasil diaksesnya sehingga memungkinkan mereka mampu meraih
pencapaian merangkul berbagai pihak untuk berkolaborasi mewujudkan
ide dan gagasan pemanfaatan lahan terbengkalai melalui urban farming
dalam usia yang relatif singkat?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk memahami bagaimana mekanisme akses terhadap sumber daya
yang dilakukan oleh Bandung Berkebun sehingga mereka dapat meraih
12
Berkebun, Ibid dan hasil wawancara
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
pencapaian merangkul berbagai pihak untuk berkolaborasi mewujudkan
ide dan gagasan pemanfaatan lahan terbengkalai melalui urban farming
dalam usia yang relatif singkat.
2. Untuk memahami bagaimana proses mobilisasi sumber daya yang
dilakukan oleh Bandung Berkebun sehingga mereka dapat meraih
pencapaian merangkul berbagai pihak untuk berkolaborasi mewujudkan
ide dan gagasan yang diperjuangkannya.
1.4 Review Terhadap Kajian Terdahulu
Awalnya peneliti mengalami kesulitan dalam mencari kajian dan
penelitian ataupun studi khusus yang serupa dengan penelitian ini guna
mendapatkan referensi gambaran serta perbandingan studi semacam ini. Namun,
seiring berjalannya waktu peneliti menemukan beberapa penelitian yang
mengangkat isu urban farming serta menjadikan Bandung Berkebun sebagai
subjek penelitian mereka. Pertama, penelitian yang membahas tentang isu urban
farming dan Bandung Berkebun adalah penelitian yang dilakukan oleh Fandi
Puriandi dan Petrus N. Indrajati (2012). Mereka ingin mengkaji kegiatan urban
farming yang dilakukan oleh Bandung Berkebun dari aspek proses perencanaan
kebunnya. Dengan mengeksplorasi kegiatan pertanian kota yang dilakukan oleh
Bandung Berkebun, diharapkan dapat diketahui bagaimana kegiatan pertanian
kota yang dilakukan oleh komunitas tersebut, serta persoalan yang dihadapi
selama pelaksanaan kegiatan pertanian kota tersebut. Penelitian ini dilakukan
dengan fokus pada bidang perencanaan wilayah dan kota. Berdasarkan hasil
penelitian di lapangan, mereka mengemukakan bahwa kegiatan urban farming
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
yang dilakukan oleh Bandung Berkebun belum sepenuhnya memenuhi kriteria
proses perencanaan kegiatan berkebun.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Mariana Iftisan (2013) tentang
program Kampung Urban Farming yang dilakukan oleh Bandung Berkebun di
salah satu wilayah rukun warga kota Bandung. Penelitian ini menjadikan
masyarakat yang dijadikan target pelaksanaan program sebagai subjek penelitian.
Mariana (2013) membahas tentang persepsi masyarakat serta partisipasi
masyarakat dalam program Kampung Urban Farming di Kelurahan Taman Sari
Bandung yang dilakukan oleh Komunitas Bandung Berkebun. Mariana (2013)
melakukan penelitian kuantitatif dalam melihat persepsi serta partisipasi
masyarakat disana. Penelitian ini mengkaji tentang partisipasi masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan, serta persepsi masyarakat dalam
pengetahuan, praktik dan sikap, serta keberlanjutan dari program urban farming
itu sendiri. Temuan penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat cukup
baik dalam program urban farming tersebut, namun partisipasi mereka belum
mencapai hasil yang maksimal karena tidak semua masyarakat di wilayah tersebut
ikut terlibat.
Penelitian selanjutnya tentang urban farming dan komunitas Bandung
Berkebun dilakukan oleh Cipta Vidyana (2014) yang berjudul “Community
Garden di Indonesia”. Vidyana meneliti tentang kegiatan urban agriculture dalam
skala kecil (komunitas) dilihat dari sudut pandang konsep community garden.
Penelitian yang dilakukannya mengambil komunitas Bandung Berkebun sebagai
kasus implementasi community garden di Indonesia.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
Terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh B. Setiawan dan Dwita
Hadi Rahmi (2004). Penelitian ini mengkaji implementasi urban farming di enam
kota di Indonesia yaitu Surabaya, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Pacitan, dan
Salatiga. Penelitian ini melihat urban farming atau pertanian kota secara
komprehensif yang meliputi jenis pertanian, perikanan dan peternakan. Hasil
penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa sebagian besar pertanian
kota masih menggunakan model-model pertanian konvensional dan belum banyak
yang mempraktekan model-model pertanian alternatif. Sebagian besar pertanian
kota masuk dalam kelompok pertanian yang meliputi tanaman pangan, sayuran,
buah, toga dan tanaman hias. Lokasi pertanian kota dilaksanakan baik di daerah
pusat, tengah dan pinggiran kota, lahan yang digunakan umumnya lahan-lahan
terlantar dan tanah-tanah pekarangan. Sebagian besar pelakunya adalah
masyarakat miskin kota dan sebagian besar masih melihatnya sebagai pekerjaan
sampingan. Pertanian kota cenderung mempunyai dampak positif dalam konteks
pemanfaatan lahan terlantar, namun juga memberikan potensi pencemaran
lingkungan terutama karena penggunaan pestisida. Pertanian kota mempunyai
kendala baik dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Pada saat penelitian ini
berlangsung belum ada dukungan yang memadai dari pihak pemerintah dan non
pemerintah yang membantu pengembangan pertanian kota di Indonesia. Secara
umum, penelitian ini menyimpulkan bahwa praktek pertanian kota di Indonesia
berlangsung secara luas, namun belum dikembangkan secara optimal.
Berbeda dari kajian-kajian sebelumnya, penelitian ini lebih menekankan
pada Bandung Berkebun dilihat sebagai suatu bentuk organisasi gerakan sosial
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
yang berupaya mengakses dan memobilisasi sumber daya di sekitarnya dalam
rangka pencapaian tujuannya. Komunitas ini melakukan gerakan mengajak
masyarakat Bandung untuk memanfaatkan lahan terbengkalai di sekitar mereka
melalui urban farming. Peneliti ingin melihat proses di balik pencapaian-
pencapaian komunitas ini di usia pergerakannya yang baru menginjak empat
tahun. Faktor apa yang memberikan perbedaan antara komunitas berkebun di
Bandung dengan komunitas berkebun di kota lainnya, padahal mereka berangkat
dari isu dan konsep gerakan yang serupa. Kuncinya adalah dengan melihatnya
melalui sudut pandang pendekatan mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh
komunitas Bandung Berkebun.
1.5 Kerangka Teoritik
1.5.1 Gerakan Sosial
Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian diatas, peneliti
menggunakan teori gerakan sosial sebagai alat untuk membuat analisis yang
sistematis mengenai proses mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung
Berkebun dalam mencapai visi mereka. Gerakan sosial pada hakikatnya
merupakan hasil perilaku kolektif. Serupa dengan Giddens (1993:642) dalam
Suharko (2015:15), gerakan sosial adalah upaya kolektif untuk mengejar suatu
kepentingan bersama, atau mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di
luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Keterkaitan antara aksi kolektif
dengan gerakan sosial bisa berlaku selama aksi kolektif tersebut merupakan
“suatu perlawanan terhadap perilaku atau legitimasi aktor politik maupun sosial
tertentu yang tidak ditujukan bagi masalah-masalah yang tidak disebabkan secara
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
langsung oleh manusia (non human cause)” (Triwibowo, 2006:6). Definisi
lainnya mengenai gerakan sosial datang dari Mc Carthy dan Zald (1977) dalam
Triwibowo (2006:13), mereka mengemukakan bahwa gerakan sosial adalah
“Seperangkat opini dan kepercayaan (opinion and beliefs) dalam satu
kelompok masyarakat yang mencerminkan preferensi bagi perubahan pada
sebagian elemen struktur sosial dan/ atau distribusi kemenfaatan (rewards)
dalam tatanan masyarakat yang lebih luas.”
Doug Mc Adam mengemukakan bahwa gerakan sosial memiliki suatu
siklus kehidupan, yaitu diciptakan, tumbuh, mencapai kesuksesan atau kegagalan,
terkadang bubar dan berhenti atau hilang eksistensinya. Para teoritisi gerakan
sosial dari berbagai perspektif memiliki semacam titik temu kesepahaman
mengenai faktor yang dapat menjelaskan siklus gerakan sosial tersebut. Pertama,
adanya kesempatan politik. Para teoritisi gerakan sosial menegaskan pentingnya
suatu sistem politik dalam menyediakan kesempatan bagi aksi-aksi kolektif.
Kedua, adanya struktur mobilisasi. Struktur ini dapat diartikan sebagai wahana-
wahana kolektif baik formal maupun nonformal yang digunakan oleh sekelompok
orang untuk memobilisasi dan melibatkan diri dalam aksi kolektif. Wahana-
wahana kolektif tersebut dapat berupa kelompok, organisasi serta jaringan
informal yang berada pada tingkat menengah. Ketiga, proses pembingkaian.
Proses ini menunjuk pada upaya strategis yang dilakukan secara sadar oleh
kelompok-kelompok orang untuk membentuk pemahaman bersama mengenai
dunia dan diri mereka sendiri yang melegalkan dan mendorong aksi kolektif
(Suharko dalam Putra dkk., 2006).
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
1.5.2 Pendekatan Mobilisasi Sumber Daya
Gerakan sosial yang dilakukan oleh Bandung Berkebun merupakan
gerakan yang berupaya untuk mendorong masyarakat Bandung memanfaatkan
lahan sisa, negatif, terbengkalai di sekitar mereka melalui urban farming.
Meskipun gagasan yang diusung adalah hal terkait konsep pertanian atau
cenderung berbau lingkungan, namun gerakan ini tidak didasari oleh suatu
permasalahan lingkungan yang krusial, bukan pula suatu gerakan yang
memperjuangkan perubahan struktur kesempatan bagi kelompok tertindas. Oleh
karena itu, peneliti menggunakan pendekatan teori mobilisasi sumber daya yang
dikemukakan oleh John D. Mc Carthy, Mayer N. Zald dan Bob Edwards dalam
upaya memahami lebih mendalam mengenai gerakan urban farming yang
diinisiasi oleh Bandung Berkebun sebagai sebuah gerakan sosial. Pendekatan ini
muncul di Amerika Serikat yang memiliki latar belakang sosial politik yang
berbeda dengan Eropa. Amerika Serikat tidak mempunyai tradisi yang kuat dalam
demokrasi sosial dan korporatisme serikat buruh, gerakan buruh pun bukan
merupakan kekuatan yang cukup signifikan disana (dibandingkan dengan di Eropa
Barat). Oleh karena itu, bagi intelekual Amerika, gerakan sosial kontemporer
tidak disebabkan oleh perubahan sosial yang mendasar, namun lebih karena
kemampuan dari kelompok-kelompok kepentingan untuk secara terus-menerus
memobilisasi sumber daya dan meraih representasi politik di dalam sistem.
Mereka tidak tertarik pada bagaimana mengungkap penyebab munculnya gerakan
sosial, karena mereka anggap sebagai sesuatu yang given/self evident, sehingga
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
fokus mereka lebih kepada mengungkapkan mengapa ada gerakan sosial yang
berhasil dan ada yang gagal.
Pendekatan mobilisasi sumber daya menekankan pada baik dukungan
masyarakat dan kendala dari fenomena gerakan sosial. Pendekatan ini mengkaji
berbagai sumber daya yang harus dimobilisasi, keterkaitan gerakan sosial kepada
kelompok lainnya, ketergantungan gerakan pada dukungan eksternal untuk
sukses, dan taktik yang digunakan oleh penguasa untuk mengontrol atau
menggabungkan gerakan (Mc Carthy dan Zald, 1977). Pendekatan ini dengan kata
lain lebih menekankan pada faktor teknis, ketimbang melihat penyebab
munculnya gerakan sosial. Teori mobilisasi sumber daya menjelaskan mengenai
betapa pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif dalam menunjang
gerakan sosial, karena gerakan sosial yang berhasil memerlukan organisasi dan
tatktik yang efektif. Sementara itu, individu-indvidu yang terkait dalam gerakan
sosial dalam sudut pandang mobilisasi sumber daya terdiri dari (Crossley,
2004:86-87); adherent yaitu pihak-pihak yang mendukung atau percaya akan
tujuan dari gerakan; nonadherent adalah pihak yang tidak percaya atau tidak
sejalan dengan tujuan gerakan; konstituen yaitu adherent yang sekaligus
berkontribusi sumber daya secara langsung bagi gerakan; serta conscience
konstituen yaitu konstituen yang mendukung gerakan walaupun hal tersebuut
tidak memberikan manfaat kepadanya, khusus untuk tipe terakhir biasanya
digunakan dalam konteks-konteks gerakan yang memperjuangkan kaum-kaum
tertindas atau kaum disabilitas.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Bandung Berkebun merupakan komunitas lokal yang melakukan aktivitas
gerakan dengan tujuan untuk mengajak dan meningkatkan kesadaran masyarakat
kota Bandung akan pentingnya kegiatan berkebun di perkotaan, kegiatan ini
awalnya muncul lebih dikarenakan kekhawatiran para inisiatornya terhadap
banyaknya ruang-ruang negatif atau lahan terbengkalai di perkotaan yang tidak
teroptimalkan dengan baik. Namun, pada kelanjutannya gerakan ini juga
diarahkan sebagai salah satu upaya solusi isu ketahanan dan kemanan pangan
tingkat lokal. Komunitas ini bisa diasumsikan sebagai sebuah wadah bagi
pergerakan para penggiat yang ada didalamnya. Seperti apa yang dikemukakan
oleh Canel (1997) dalam Triwibowo (2006:11), penggunaan pendekatan
mobilisasi sumber daya pada penelitian ini juga dilakukan dengan memusatkan
analisisnya pada seperangkat proses kontekstual (keputusan mengenai
pengelolaan sumber daya, dinamika organisasi serta perubahan politik) yang
memampukan Bandung Berkebun untuk mengoptimalkan potensi-potensi
struktural yang dimiliki guna mencapai tujuannya (visi).
1.5.2.1 Tipologi Sumber Daya Gerakan Sosial
Sumber daya yang penting bagi mobilisasi suatu gerakan sosial memiliki
banyak variasi. Dalam beberapa tahun terakhir, analis mobilisasi sumber daya
diuntungkan oleh perkembangan luas ilmu sosial. Mereka mendapatkan
keuntungan lebih dalam melakukan spesifikasi dan pembedaan diantara tipe-tipe
sumberdaya yang ada. Edwards dan Mc Charty dalam Snow (2004:125)
mengemukakan lima tipe sumber daya yang biasanya dimiliki oleh suatu
organisasi gerakan sosial.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
Sumber daya Moral (Moral Resources)
Sumber daya moral dapat berupa legitimasi, dukungan solidaritas,
dukungan simpati dan selebriti (Snow 1979; Cress and Snow 1996). Para
teoritikus neo-institusional organisasional membuat klaim yang kuat tentang
pentingnya legitimasi sebagai penghubung antara konteks makro kultural dan
proses organisasional meso dan level mikro. Oleh karena itu muncul klaim
bahwa aktor kolektif yang paling mampu mendekati kesesuaian (mimic)
dengan bentuk institusional yang terlegitimasi dalam melakukan jenis-jenis
usaha tertentu, maka mereka akan mendapatkan suatu keuntungan
dibandingkan dengan kelompok lain yang tidak mampu mencerminkan bentuk
tersebut.
Sumber daya moral cenderung berasal dari luar ruang lingkup gerakan
sosial atau organisasi gerakan sosial (OGS), dan secara umum dianugerahkan
(bestowed) oleh sumber-sumber eksternal yang memang dikenal memilikinya.
Kunci utama yang membedakannya disini adalah pihak luar (outsiders) yang
memiliki sumber daya ini akan mentransferkannya kepada suatu gerakan
sosial sekaligus juga mampu menarik kembali sumber daya tersebut. Oleh
karena itu, sumber daya moral yang dianugerahkan oleh pihak eksternal ini
bisa ditarik kembali, mereka juga cenderung sulit diakses dan hak kepemilikan
tinggi dibandingkan dengan sumber daya kultural yang ada di poin
selanjutnya.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Sumber Daya Kultural (Cultural Resources)
Sumber daya kultural adalah artefak dan produk kultural seperti misalnya
sarana konseptual (conceptual tools) dan pengetahuan khusus yang menjadi
dikenal secara luas, meskipun belum tentu secara universal. Sumber daya ini
termasuk didalamnya adalah pengetahuan bersama yang dipahami tanpa
terkatakan (tacit knowledge), misalnya tentang bagaimana menyelesaikan
tugas-tugas spesifik seperti mengadakan sebuah konferensi pers, menjalankan
pertemuan (meeting), membentuk organisasi, menginisia si festival, atau
berselancar di dunia maya. Tidak setiap anggota dari masyarakat atau
kelompok memiliki kompetensi spesifik atau pengetahuan yang bisa menjadi
nilai bagi gerakan sosial atau OGS.
Kunci yang membedakan antara sumber daya kultural dan moral adalah
sumber daya kultural memiliki ketersediaan yang lebih luas, hak kepemilikan
rendah (less proprietary), dan mudah diakses untuk digunakan, terlepas dari
penilaian yang menguntungkan dari pihak –pihak yang berada di luar suatu
gerakan sosial atau OGS. Sumber daya kultural juga bisa berupa penerbitan
produksi-produksi yang relevan seperti misalnya musik, literatur, majalah,
koran, dan film atau video. Produk kultural semacam itu akan memfasilitasi
proses rekrutmen dan sosialisasi dari adherent baru dan membantu gerakan
memelihara kesiapan dan kapasitas mereka untuk aksi kolektif.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
Sumber Daya Sosial Organisasional (Social Organizational Resources)
Kategori sumber daya ini memiliki tiga bentuk umum yaitu infrastruktur,
jejaring sosial (network), dan organisasi. Tiga bentuk tersebut bervariasi dalam
formalitas organisasi, tapi yang menjadi penekanan disini adalah sejauh mana
akses terhadap mereka dapat dikendalikan. Infrastruktur adalah sumber daya
yang setara dengan barang-barang publik seperti pelayanan pos, sanitasi, atau
infrastruktur sipil seperti jalan, trotoar, lampu jalan yang memfasilitasi
kelancaran dari fungsi-fungsi kehidupan sehari-hari. Infrastruktur adalah
sumber daya sosial non-kepemilikan. Secara kontras, akses terhadap jejaring
sosial terutama kelompok-kelompok dan organisasi formal dan karenanya
sumber daya yang melekat di dalamnya dapat dikendalikan. Untuk
penggunaan sumber daya ini dalam berbagai tingkatan dapat dilakukan dengan
cara penolakan untuk pihak luar dan ditimbun untuk pihak dalam.
Manfaat utama dari penggunaan setiap bentuk sumber daya sosial
organisasional adalah untuk menyediakan akses terhadap bentuk sumber daya
lainnya, sehingga isu yang sering diangkat adalah akses yang tidak merata
terhadap sumber daya sosial organisasional diantara kawasan-kawasan potensi
munculnya gerakan sosial. Akses yang berbeda seperti ini menciptakan
kesenjangan lebih lanjut dalam kapasitasnya untuk mengakses sumber daya
krusial dari jenis lainnya.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
Sumber Daya Manusia (Human Resources)
Tipe sumber daya ini lebih nyata dan mudah diapresiasi dibandingkan tiga
jenis sumber daya sebelumnya. Kategori ini mencakup sumber daya seperti
tenaga kerja, pengalaman, keterampilan dan keahlian. Selain itu, kategori ini
juga menyertakan kepemimpinan, karena melibatkan kombinasi sumber daya
manusia lainnya disertakan disini. Sumber daya manusia yang dimaksud
disini adalah pada per individu ketimbang dalam suatu struktur sosial
organisasional atau budaya secara lebih umum. Individu biasanya memiliki
kontrol kepemilikan atas penggunaan tenaga mereka serta sumber daya
manusianya, kecuali dalam kasus-kasus ekstrim seperti kerja paksa atau
pemerasan. Melalui partisipasi mereka, individu membuat tenaga mereka
menjadi mudah diakses dan digunakan untuk gerakan tertentu atau OGS. OGS
dapat mengumpulkan dan menyebarkan individu yang notabene lebih mudah
diangkut secara nyata (portable), contohnya dibandingkan sumber daya sosial
organisasional. Namun, kapasitas gerakan untuk menyebarkan personelnya
dibatasi oleh kerja sama dari individu yang terlibat. Dan partisipasi mereka
pada gilirannya dibentuk oleh faktor spasial, faktor ekonomi, serta oleh
hubungan sosial, kewajiban bersaing, kendala arah hidup, dan komitmen
moral. Isu kuncinya adalah apakah ketersediaan individu terampil akan
meningkatkan mobilisasi gerakan bergantung pada bagaimana keahlian
mereka sesuai dengan kebutuhan gerakan atau OGS.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
Sumber Daya Material (Material Resources)
Kategori sumber daya material mengkombinasikan apa yang dikatakan
oleh ekonom sebagai finasial, modal fisik, termasuk sumber daya moneter,
properti, ruang kantor, peralatan dan persediannya. Edwards dalam Ritzer
(2007:3905) mengemukakan pentingnya sumber daya moneter dalam gerakan
sosial tidak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimanapun juga, seberapa
banyak sumber daya bentuk lainnya yang dimobilisasi oleh suatu gerakan, hal
tersebut akan dikenakan biaya dan seseorang harus membayar tagihannya.
Sumber daya material menerima perhatian yang paling analitis, karena sumber
daya ini secara umum lebih nyata, hak kepemilikannya lebih tinggi, dan dalam
hal uang lebih dapat dipertukarkan (fungible). Dengan kata lain, uang dapat
dikonversi menjadi bentuk lain dari sumber daya, namun hal sebaliknya
kurang sering terjadi.
1.5.2.2 Mekanisme Akses Sumber Daya
Sebelum sumber daya yang hadir dalam konteks tertentu dapat
dimanfaatkan oleh aktor gerakan sosial, hal pertama yang paling penting adalah
bagaimana sumber daya tersebut dapat diakses terlebih dahulu. Berikut empat
mekanisme akses terhadap sumber daya yang dapat dilakukan oleh aktor gerakan
sosial (Mc Carthy dan Edwards dalam Snow 2004:131),
Produksi secara Mandiri (Self Production)
Jenis mekanisme ini mengacu pada cara-cara dimana OGS dan pemimpin
gerakan membuat atau menambah nilai sumber daya yang telah dikumpulkan,
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
terkooptasi atau telah disediakan oleh patron. Mekanisme paling dasar dimana
gerakan sosial mendapatkan akses pada sumber daya adalah dengan
menghasilkannya sendiri secara internal. Gerakan sosial menciptakan produk
kultural seperti bingkai aksi kolektif, taktik repertoar, musik, literatur, dan
template organisasi untuk membuat tipe tertentu dari kegiatan koletif atau isu
kampanye.
Gerakan membentuk OGS, membangun jejaring (networks), dan
membentuk koalisi. Gerakan juga menghasilkan sendiri sumber daya
manusianya melalui pelatihan aktivisnya untuk kepemimpinan, dan
mensosialisasikan anak-anak atau penerus mereka kepada nilai-nilai dan
praktek gerakan. Mereka juga memproduksi item-item tertentu untuk dijual,
seperti literatur, produk yang memiliki makna simbolis terkait gerakan seperti
T-Shirt, cangkir, poster, seni dll.
Agregasi
Agregasi mengacu pada mekanisme dimana sumber daya yang dimiliki
oleh individu tersebar dikonversi menjadi kolektif, untuk selanjutnya dapat
dialokasikan oleh aktor gerakan. Gerakan sosial mengagregasi sumber-sumber
yang dimiliki secara privat dari penerima manfaat (beneficiary) dan
conscience constituents dalam rangka untuk mencapai tujuan kolektif.
Kooptasi atau Apropriasi
Gerakan sosial seringkali memanfaatkan hubungan yang mereka miliki
dengan organisasi atau kelompok sosial yang sudah ada, dimana organisasi
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
tersebut tidak dibentuk untuk tujuan eksplisit dari gerakan yang bersangkutan.
Kooptasi dalam konteks ini mengacu pada transparansi, peminjaman berizin
dari sumber daya yang telah diagregasi oleh kelompok tersebut. Sementara itu
apropriasi (pengambilan untuk diri sendiri) mengacu pada pemanfaatan secara
rahasia atau ilegal (surreptitious) dari sumber daya yang telah dikumpulkan
sebelumnya oleh kelompok lain. Proses kooptasi, bersamanya, membawa
suatu transfer sejumlah kontrol kepemilikan atas sumber daya yang telah
terkooptasi tersebut. Besarnya kontrol kepemilikan sangat bervariasi
bergantung pada tipe sumber dayanya. Selain itu, kooptasi juga
mengimplikasikan beberapa bentuk hubungan timbal balik selanjutnya serta
pemahaman bahwa sumber daya akan digunakan untuk tujuan yang telah
disepakati bersama.
Patronase
Mekanisme terakhir ini mengacu pada penganugrahan (bestowed) sumber
daya pada sebuah OGS oleh seorang individu atau organisasi tertentu yang
seringkali menjadi patron. Dalam hubungan patronase moneter, patron
menjadi pihak eksternal dari gerakan atau OGS yang menyediakan sejumlah
besar dukungan finansial, namun biasanya mereka juga menjalankan sejumlah
kontrol kepemilikan atas bagaimana uang tersebut digunakan serta bahkan
mungkin berupaya untuk mengerahkan pengaruh mereka atas operasional
harian dan pembuatan keputusan kebijakan dalam gerakan atau OGS tersebut.
Hubungan patronase bisa juga melibatkan penyediaan sejumlah sumber daya
manusia, termasuk khususnya pinjaman personel untuk periode waktu
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
tertentu. Patronase semacam ini bisanya terjadi ketika ada koalisi beberapa
SMO dan event-event yang kompleks. Sementara itu, patronase dalam sumber
daya moral terjadi ketika individu atau organisasi yang dihormati secara luas
mengakui suatu OGS atas prestasi positifnya.
1.5.2.3 Proses Kunci Mobilisasi Sumber Daya
Mc Carthy dan Edwards dalam Snow (2004:136) mengemukakan bahwa
ketersediaan sumber daya bagi suatu gerakan maupun organisasi gerakan sosial
merupakan suatu keniscayaan. Pembentukan awal dari sebuah organisasi gerakan
sosial membutuhkan mobilisasi dan agregasi dari setidaknya sejumlah minimum
sumber daya, begitu pula pada saat proses pemeliharaannya. Saat organisasi
tersebut telah terbentuk, hampir serupa dengan jenis organisasi lainnya, organisasi
gerakan sosial dapat dipandang kurang lebih sebagai sekumpulan cara atau
mekanisme melakukan sesuatu yang dilaksanakan secara rutin. Pola umum dari
praktek-praktek yang telah terlembagakan tersebut juga tentang repertoar pilihan
dalam relasi pertukaran dan cara yang dipilih dalam mengakses sumber daya,
serta yang terpenting adalah menentukan tingkatan serta bentuk mobilisasi sumber
daya material dan aktivisme dalam setiap gerakan sosial. Praktek umum ini pada
kelanjutannya terbentuk oleh pola yang lebih luas dari lokasi dan stratifikasi sosial
sumber daya.
Membentuk organisasi dan membangun kapasitas organisasi
Pada tahap awal pembentukan organisasi gerakan sosial, dalam beberapa
contoh kasus, para arsiteknya membuat berbagai pilihan strategis tentang
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
tujuan, struktur, dan bentuk-bentuk aksi kolektif yang akan diwujudkan dalam
berbagai cara mereka melakukan sesuatu nantinya. Pada kelanjutannya ketika
organisasi gerakan sosial terus berproses dan beradaptasi, pilihan pola atau
bentuk yang telah diputuskan saat tahap pendirian awal seringkali akan sangat
sulit diubah begitu organisasi telah berdiri dan berjalan, karena hal tersebut
akan mempertaruhkan identitas publik yang telah mereka bangun, bahkan
dalam batas tertentu juga akan mempertaruhkan investasi uang, waktu dan
tenaga dari para konstituen dan adherent yang telah diberikan atas dasar
kesamaan pilihan dari pola yang telah dibangun sebelumnya.
Adopsi dari struktur organisasi gerakan sosial tertentu memiliki potensi dalam
menghambat penggunaan dan fasilitasi dari teknologi mobilisasi tertentu.
Sebagai contoh, organisasi profesional seperti Children’s Defense Fund
(Skocpol 1999 dalam Edwards dan Mc Carthy 2004) memilih untuk tidak
mendaftar individu anggotanya, menanggalkan sumber potensial berupa
dukungan keuangan yang stabil serta ikatan yang kuat pada konstituen, yang
berpotensi untuk dimobilisasi dalam aksi kolektif masa. Selain itu, contoh
lainnya adalah organisasi gerakan sosial lokal yang terasosiasi dengan
Industrial Areas Foundation (Warren 2001 dalam Edwards dan Mc Carthy
2004), mereka memilih untuk bergantung pada organisasi ketimbang pada
anggota individu, sehingga mereka berhasil dalam menstabilkan aliran
finansial yang cukup besar, yang dapat diarahkan pada upaya aksi kolektif
daripada ke arah pemeliharaan keanggotaan individu.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
Pilihan bentuk organisasi seperti itu dapat memberikan implikasi langsung
pada kemampuan dari kelangsungan organisasi gerakan sosial dalam
membangun kapasitas organisasi untuk beberapa tipe aksi kolektif. Pilihan
tentang bentuk organisasi seperti ini ditempuh untuk tujuan pembangunan
kapasitas organisasi, namun juga dapat membatasi jenis teknologi
mobilisasi13
yang lebih mudah diakses oleh para pememimpin organisasi
gerakan sosial.
Mobilisasi uang
Teknologi untuk memobilisasi uang dapat dibedakan menjadi pertama
narrowcast yaitu teknologi yang dirancang untuk menargetkan beberapa
(sejumlah kecil) sumber uang yang terkonsentrasi secara mendalam.
Kemudian kedua adalah broadcast, yaitu teknologi yang dirancang untuk
menargetkan banyak sumber keuangan yagn bersifat dangkal tapi lebih
tersebar luas. Pada kelanjutannya, teknologi yang dipilih oleh organisasi
gerakan sosial merupakan perpaduan dari keduanya. Ketergantungan pada
salah satu teknologi saja, secara umum dapat menyebabkan organisasi
gerakan sosial lebih rentan terhadap fluktuasi pendapatan jangka pendek.
Menciptakan sumber daya dan mobilisasi potensi melalui aksi kolektif
Dalam rangka mengeksplorasi peran sentral dari sumber daya manusia dan
material dalam menghasilkan aksi kolektif, perlu dibedakan antara teknologi
13
Oliver dan Marwell (1992 dalam Mc Carthy dan Edwards, 2004) mendefnisikan teknologi
mobilisasi adalah sekumpulan pengetahuan tentang bagaimana cara-cara mengakumulasi sumber
daya yang penting untuk teknologi produksi. Sementara itu teknologi produksi adalah sekumpulan
pengetahuan tentang cara-cara mencapai tujuan bersama.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
mobilisasi sumber daya dengan aksi kolektif dalam analisis statis. Namun,
tidak diragukan lagi, dalam situasi dinamis dari perkembangan gerakan sosial,
hal tersebut merupakan proses resiprokal. Ketika sumber daya manusia dan
sumber daya keuangan diagregasi untuk memfasilitasi aksi kolektif, pada
kelanjutannya aksi tersebut terkadang meningkatkan potensi berikutnya untuk
proses agregasi uang dan orang-orang, yang terkadang bahkan dapat terjadi
saat event aksi kolektif itu sendiri.
1.6 Metode Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, karena esensi
penelitian kualitatif yaitu untuk menyajikan suatu fakta berdasarkan sudut
pandang pelaku atau subjek. Bandung Berkebun merupakan komunitas yang
menjadi subjek dalam penelitian ini, dengan penggiat-penggiat aktif didalamnya
sebagai penyedia informasi yang dibutuhkan. Penelitian kualitatif mengenai
fenomena di kota Bandung ini adalah penelitian yang mencoba memahami
gerakan urban farming dalam setting dan konteks naturalnya, yaitu Bandung
Bekebun sebagai salah satu penggagas awal gerakan di kota Bandung ini (bukan
di dalam laboratorium). Peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena
yang diamati, segala fakta dan hasil penelitian ditulis berdasarkan sudut pandang
subjek.
Metode penelitian kualitatif yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah model studi kasus. Model ini dipilih karena fokus studi kasus adalah
mengembangkan analisis yang mendalam dari suatu kasus atau fenomena
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
(Herdiansyah, 2012). Gerakan urban farming di kota Bandung menjadi
fenomena sentral yang menarik untuk diteliti. Gerakan pemenfaatan lahan
terbengkalai melalui urban farming yang digagas Bandung Berkebun dianggap
sebagai kasus khusus yang menarikbagi peneliti untuk dikaji lebih dalam lagi.
Peneliti menggunakan studi kasus karena ingin mengetahui secara intrinsik
bagaiamana mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh Bandung Berkebun dan
berkembang menjadi sebuah gerakan sosial yang mendorong masyarakat Bandung
untuk melakukan aksi memanfaatkan lahan terbengkalai melalui urban farming.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan melihat kasus gerakan sosial yang
dilakukan oleh Bandung Berkebun. Komunitas ini dipilih karena proses
ditelurkannya ide dan gagasan tentang gerakan dan komunitas ini terjadi di
Bandung. Bandung Berkebun juga merupakan salah satu pioneer komunitas
berkebun yang telah dibentuk sebelum diluncurkannya Indonesia Berkebun.
Kemudian komunitas ini berada dalam situasi kota yang begitu kental akan unsur
kreatifitas serta kaya akan komunitas lokal. Hal tersebut menjadikan Bandung
Berkebun merangkul banyak elemen untuk berkolaborasi dalam memperjuangkan
gerakannya, dari mulai komunitas kreatif, masyarakat, pemerintah, universitas,
dan pihak swasta. Peneliti melihat latar belakang situasi tersebut sebagai hal
menarik sebagai setting untuk melihat mobilisasi sumber daya yang dilakukan
oleh Bandung Berkebun serta kolaborasi yang terjadi dengan komunitas kreatif di
sekitarnya.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
2. Pemilihan Informan
Informan dalam penelitian ini adalah beberapa konseptor dan penggiat
aktif dari gerakan Bandung Berkebun yang saat ini masih terlibat aktif maupun
pasif dalam berbagai aktivitas kegiatan komunitas Bandung Berkebun. Adapun
informan dari penelitian ini berjumlah 10 orang, dengan komposisi 3 orang
merupakan penggiat yang pernah memegang posisi koordinator, 2 orang pernah
menjadi wakil koordinator, 5 orang lainnya merupakan penggiat aktif Bandung
Berkebun saat ini. Lima orang pertama merupakan sosok yang pernah menjadi
koordinator dan wakil koordinator di Bandung Berkebun, dari kelima sosok ini
peneliti memperoleh mayoritas data dan informasi mengenai sumber daya kultural
dan moral terutama terkait dengan nilai-nilai yang dianut oleh komunitas Bandung
Berkebun, bagaimana awal mula pembentukan komunitas ini, serta urgensi dari
urban farming di kota Bandung. Sementara itu,dari lima orang selanjutnya peneliti
memperoleh data dan informasi terkait sumber daya manusia, material, sosial
organisasional, dan pelaksanaan teknis program serta kegiatan Bandung
Berkebun.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dalam rangka mengumpulkan informasi yang
dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan utama serta mencapai tujuan dari
penelitian mengenai gerakan urban farming ini. Dalam penelitian ini,
pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi ilmiah) proses gerakan
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
pemanfaatan lahan terbengkalai melalui urban farming yang dilakukan oleh
Bandung Berkebun di kota Bandung.
Berbagai macam sumber data diperoleh peneliti guna mendapatkan
informasi yang akurat mengenai kasus yang diteliti. Dengan banyaknya macam
sumber data, diharapkan peneliti memperoleh banyak informasi yang terkait
dengan topik penelitian yaitu mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh
Bandung Berkebun. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari: dokumen,
observasi langsung, dan wawancara.
a. Dokumen
Penggunaan dokumen dalam penelitian studi kasus digunakan sebagai
pendukung dan penambah bukti sumber-sumber data yang lainnya.
Dokumen-dokumen ini tentunya menyajikan informasi tentang suatu
keadaan, implementasi lapangan, program-program kegiatan, aksi kolektif
dan juga memberikan dukungan petunjuk tentang kondisi yang ada saat ini
terkait dengan keberadaan Bandung Berkebun serta gerakan urban farming
yang diperjuangkannya. Adapun beberapa dokumen yang peneliti gunakan
terkait dengan penelitian ini adalah dokumen pribadi milik Bandung
Berkebun, berikut:
Booklet Kampung Berkebun 2014
FAQ Bandung Berkebun
Informasi Umum Bandung Berkebun
Jurnal My School Goes Farming: “Petualangan di Negeri Sayur”
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
SMA Creatifarming The Journal
Naskah Bandung Berkebun untuk buku Urban Farming ala Indonesia
Berkebun
Urban Farming Bandung: “Demi Budaya Se-Bandung Ngebon
Kumpulan Chirpstory yang dibuat oleh Bandung Bandung Berkebun
mengenai laporan kegiatan dan program-program yang telah mereka
lakukan.
b. Observasi Langsung
Hasil amatan dari suatu observasi langsung dapat dijadikan sebagai
sumber data tambahan tentang topik yang sedang diteliti. Observasi yang
dilakukan dalam penelitian merupakan observasi pasrtisipan dengan
mengikuti segala kegiatan rutin dari mulai ngebon tiap hari minggu, rapat
mingguan, dan beberapa yang dilaksanakan Bandung Berkebun. Observasi
pada rapat mingguan Bandung Berkebun biasa dilakukan secara rutin pada
hari Kamis atau Rabu setiap minggunya. Sementara observasi yang
dilakukan peneliti pada kegiatan atau program yang pernah dilaksanakan
Bandung Berkebun hanya pada kegiatan Launching Udunan Ngebon ,
Program Bandung Kampung Urban Farming, dimana peneliti menjadi
relawan juga dalam program ini, serta pada salah satu event rangkaian
perayaan ulang tahun ke-4 Bandung Berkebun di Taman Bacaan Ujung
Berung.
c. Wawancara
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
Proses wawancara dalam penelitian ini dilakukan di sela-sela kegiatan
pertemuan rutin Bandung Berkebun. Selain itu, peneliti juga beberapa kali
melakukan pertemuan secara khusus dengan beberapa penggiat yang
menjadi informan dalam penelitian ini diluar waktu pertemuan rutin
mereka, tujuannya adalah guna mendapatkan informasi yang lebih jelas
terkait pertanyaan pokok penelitian ini. Berdasarkan penelitian di lapangan
didapat kecenderungan bahwa informasi mengenai konsep serta gagasan
awal terkait komunitas Bandung Berkebun didapatkan dari hasil
wawancara dengan penggiat awal yang merupakan orang yang terjun
langsung ketika proses perumusan awal komunitas ini. Sementara
dinamika organisasi serta teknis pelaksanaan segala kegiatan didapat dari
wawancara dengan penggiat aktif yang masih terjun di lapangan hingga
saat ini. Tahapan wawancara ini dilakukan dengan merujuk pada pedoman
wawancara yang telah disusun sedemikian rupa oleh peneliti sehingga
mampu menjawab masalah penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Penggunaan metode kualitatif dalam penelitian ini menggunakan teknik
analisis data yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman dalam Pawito
(2007) bahwa terdapat tiga komponen dalam teknik analisis data: reduksi
data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan serta
pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclucions). Berdasarkan
penjelasan di atas, peneliti akan melakukan penganalisisan data dengan
cara sebagai berikut:
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
a. Data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap
informan akan ditulis ke dalam bentuk transcript wawancara.
b. Data yang telah ditulis di dalam bentuk transcript, selanjutnya akan
diseleksi kemudian direduksi menjadi data mana yang sesuai dengan
rumusan masalah penelitian sehingga permasalahan dalam penelitian ini
dapat terjawab, karena tujuan akhir pada penelitian ini yakni menjawab
pertanyaan penelitian yang menjadi fokus penelitian. Data yang telah
dipilah-pilah dengan berpedoman pada rumusan masalah yang digunakan
memberikan gambaran yang jelas mengenai fenomena pada penelitian ini.
Data ditulis dalam bentuk teks narasi dan kemudian ditarik kesimpulan
dari data yang telah didapatkan dan dianalisis tersebut, dimana penarikan
kesimpulan yang dilakukan masih bersifat sementara. Kesimpulan
merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah ditetapkan sebagai
fokus penelitian.
Gerakan Urban Farming: Studi atas Mobilisasi Sumber Daya oleh Komunitas Bandung BerkebunINTAN ZAINAB BAUWUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/