BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10....

87
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem hidup berkeluarga terutama perceraian dan anulasi perkawinan atau pembatalan perkawinan, masih terus dialami oleh keluarga-keluarga, khususnya oleh suami-istri yang telah menikah secara resmi dalam Gereja Katolik. Hal ini dapat dibuktikan dengan melonjaknya angka kasus gugatan cerai yang dialami oleh pasangan yang telah menikah dan melonjaknya kasus pembatalan perkawinan yang ditangani langsung oleh Tribunal Keuskupan. Tentang perceraian misalnya, Pengadilan Agama Kupang sejak 7 November 2016 hingga 26 Februari 2019, menangani lebih kurang 340 kasus gugatan cerai. Kasus gugatan cerai ini disertai oleh berbagai macam alasan yang berbeda-beda mulai dari tekanan sosial, krisis ekonomi keluarga, penyakit yang dialami pasangan, perselingkuhan dan sebagainya. 1 Sedangkan menyangkut kasus anulasi perkawinan atau pembatalan perkawinan itu sendiri misalnya, Tribunal Keuskupan Maumere selama proses persidangan dari tahun 2008-2017 menangani lebih kurang 82 permohonan pembatalan perkawinan dengan alasan-alasan yang beranekaragam mulai dari pembatalan pernikahan karena paksaan, kekerasan, hingga impotensi, dan sebagainya. Dari 82 permohonan pembatalan perkawinan ini, hanya 46 kasus yang berhasil disidangkan hingga diumumkan secara resmi pembatalannya. 2 Berhadapan dengan kasus perceraian dan anulasi perkawinan yang masih saja terjadi lebih kurang dalam konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur ini, dapat dikatakan bahwa pemaknaan terhadap penghayatan hidup perkawinan sedang mengalami dekandesi moral yang serius. Dalam hubungan dengan perceraian misalnya, muncul anggapan yang berkembang dalam masyarakat 1 Pengadilan Negeri Kupang, “Sistem Informasi Penelusuran Perkara”, Sip.pn kupang.go.id/list_ perkara/page/1, diakses pada 27 Februari 2019. 2 Paskalis Lina, Pendampingan Keluarga(ms), Bahan Seminar (Keuskupan Maumere: Vikaris Yudisial, 2017), hlm. 6-7.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10....

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Dewasa ini problem-problem hidup berkeluarga terutama perceraian dan

anulasi perkawinan atau pembatalan perkawinan, masih terus dialami oleh

keluarga-keluarga, khususnya oleh suami-istri yang telah menikah secara resmi

dalam Gereja Katolik. Hal ini dapat dibuktikan dengan melonjaknya angka kasus

gugatan cerai yang dialami oleh pasangan yang telah menikah dan melonjaknya

kasus pembatalan perkawinan yang ditangani langsung oleh Tribunal Keuskupan.

Tentang perceraian misalnya, Pengadilan Agama Kupang sejak 7

November 2016 hingga 26 Februari 2019, menangani lebih kurang 340 kasus

gugatan cerai. Kasus gugatan cerai ini disertai oleh berbagai macam alasan yang

berbeda-beda mulai dari tekanan sosial, krisis ekonomi keluarga, penyakit yang

dialami pasangan, perselingkuhan dan sebagainya.1

Sedangkan menyangkut kasus anulasi perkawinan atau pembatalan

perkawinan itu sendiri misalnya, Tribunal Keuskupan Maumere selama proses

persidangan dari tahun 2008-2017 menangani lebih kurang 82 permohonan

pembatalan perkawinan dengan alasan-alasan yang beranekaragam mulai dari

pembatalan pernikahan karena paksaan, kekerasan, hingga impotensi, dan

sebagainya. Dari 82 permohonan pembatalan perkawinan ini, hanya 46 kasus

yang berhasil disidangkan hingga diumumkan secara resmi pembatalannya.2

Berhadapan dengan kasus perceraian dan anulasi perkawinan yang masih

saja terjadi lebih kurang dalam konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur ini,

dapat dikatakan bahwa pemaknaan terhadap penghayatan hidup perkawinan

sedang mengalami dekandesi moral yang serius. Dalam hubungan dengan

perceraian misalnya, muncul anggapan yang berkembang dalam masyarakat

1 Pengadilan Negeri Kupang, “Sistem Informasi Penelusuran Perkara”, Sip.pn kupang.go.id/list_

perkara/page/1, diakses pada 27 Februari 2019. 2 Paskalis Lina, “Pendampingan Keluarga” (ms), Bahan Seminar (Keuskupan Maumere: Vikaris

Yudisial, 2017), hlm. 6-7.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

2

bahwa perceraian merupakan alternatif terbaik atau solusi terbaik yang perlu

dilakukan apabila kehidupan perkawinan tidak lagi berjalan sebagaimana

mestinya akibat berbagai konflik yang melanda kehidupan keluarga. Padahal

nyatanya perceraian itu sendiri tidak menyelesaikan persoalan yang dialami tetapi

justru sebaliknya menjadi masalah baru yang melahirkan berbagai dampak yang

lebih buruk setelah terjadinya perceraian. Dampak-dampak itu tidak hanya

dialami oleh pasangan yang memilih untuk bercerai tetapi juga oleh anak-anak

dan keluarga besar yang terdampak oleh kasus perceraian yang terjadi.

Berbagai konflik yang terjadi dalam keluarga disebabkan karena, setiap

pasangan suami-istri tidak memikirkan dampak yang timbul akibat perceraian dan

lebih dari pada itu tidak memahami dan menghayati secara serius dan mendalam

hakikat perkawinan Kristiani itu sendiri. Akibatnya pasangan-pasangan Kristiani

yang bercerai akhirnya merasa sah-sah saja jika melakukan perceraian sipil dan

hidup berpisah dengan pasangannya padahal perceraian jelas melanggar aturan

Gereja dalam perkawinan Kristiani yang pada hakikatnya bersifat unitas dan

indisolubilitas, atau satu dan tak terceraikan.

Dengan hakikatnya, satu dan tak terceraikan ini, Gereja menghendaki agar

pasangan yang sudah sepakat untuk menikah tidak dengan semena-mena

memutuskan perkawinannya. Pasalnya ketika pasangan itu telah sepakat untuk

menikah secara resmi dalam Gereja Katolik maka pernikahan itu harus tetap

dipertahankan seumur hidup. Untuk memperjelas hakikat perkawinan itu, Kitab

Hukum Kanonik No. 1056 misalnya, menulis:

Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan

indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan), yang dalam perkawinan

Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. Ciri-ciri

hakiki yang menjadi ciri khas setiap perkawinan ini adalah: kesatuan

(unitas) dan tak terceraikan (indissolubilitas). Kesatuan menunjuk unsur

unitif dan monogami perkawinan. Unsur unitif yang dimaksudkan

sebagai unsur yang menyatukan suami istri secara lahir dan batin.

Sedangkan unsur monogami menyatakan bahwa perkawinan hanya sah

jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan tak terceraikan adalah bahwa

perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

3

hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak dapat diceraikan atau

diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kematian.3

Selain itu dalam Kitab Hukum Kanonik No. 1096 ditegaskan bahwa “agar

dapat ada kesepakatan nikah, perlu mempelai sedikit mengetahui bahwa

perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara pria dan wanita yang terarah

pada kelahiran anak, dengan sesuatu kerja sama seksual.”4 Hakikat perkawinan

Kristen yang ditekankan baik dalam kanon 1056 maupun dalam kanon 1096

menunjukan tidak hanya menyangkut sikap Gereja terhadap perkawinan tetapi

juga terhadap perceraian.

Menjadi soal adalah mengapa hakikat perkawinan Kristiani yang satu dan

tak terceraikan ini, tidak mampu membendung berbagai fakta perceraian yang

terjadi? Berhadapan dengan pertanyaan tersebut jelas ada berbagai alasan yang

melatari berbagai perceraian yang terjadi. Namun satu hal yang tidak dapat

ditampik adalah bahwa perceraian secara terang-benderang menunjukkan

kurangnya pemahaman akan arti dan makna perkawinan oleh pasangan suami-istri

yang telah menikah secara resmi.

Berbagai kasus gugatan cerai yang terjadi menunjukkan bahwa pasangan

suami-istri begitu mudah bercerai dan memandang perceraian sebagai

konsekuensi hidup perkawinan yang mestinya diterima secara sah oleh Gereja.

Konsekuensinya, jika perceraian dipandang seolah-olah telah diakui Gereja, maka

orang serentak menyamakan perceraian dengan anulasi perkawinan. Padahal

perceraian dan anulasi perkawinan pada hakikatnya berbeda. Dalam perkawinan

Kristen, Gereja tidak mengakui perceraian. Gereja hanya mengakui anulasi

perkawinan.

Tidak seperti perceraian, anulasi umumnya bersifat retroaktif, yang berarti

bahwa suatu perkawinan yang dianulasi dianggap tidak valid sejak awal dan

dilihat seolah-olah tidak pernah terjadi.5 Atau dengan kata lain, anulasi adalah

pembatalan sakramen perkawinan yang pernah diterima pasangan, sehingga

membuat perkawinan yang telah terjadi dengan sendirinya menjadi tidak sah

3 Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2011), hlm. 20-21. 4 Kitab Hukum Kanonik, penerj. V. Katrosiswoyo et.al. Cet. III (Jakarta: Obor, 1991), hlm. 313. 5 https://id.m.wikipedia.org/wiki/ pembatalan_perkawinan, diakses pada 20 April 2020.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

4

serentak tidak pernah terjadi. Bila perceraian tetap terjadi misalnya secara sipil,

maka hal itu tidak berarti Gereja dengan sendirinya menerima perceraian.

Ketika hukum sipil memutuskan bahwa pasangan telah secara resmi

bercerai maka perkawinan baru yang akan dilaksanakan pun hanya mengikuti

koridor yang ditetapkan oleh hukum sipil dan bukannya oleh hukum Gereja. Pada

titik ini, hukum sipil yang melegalkan perceraian memiliki kesamaan dengan

hukum perceraian yang ditemukan misalnya dalam hukum perkawinan Islam.

Dalam Hukum perkawinan Islam perceraian atau biasa disebut dengan

talak diperbolehkan. Memang pada hukum perkawinan Islam, pernikahan yang

telah dilangsungkan diharapkan dapat berlangsung seumur hidup. Namun

faktanya Islam pun masih mentolerir perceraian. 6 Dalam toleransi terhadap

perceraian ini, hukum Islam memberikan kewenangan yang besar kepada laki-laki

untuk memutuskan tali perkawinan yang telah diikat. Lebih dari itu, hanya laki-

laki yang mempunyai hak untuk menjatuhkan talak atau perceraian dan bukannya

perempuan.7

Dengan melihat kesamaan dan perbedaan antara hukum perkawinan

Kristiani dan hukum sipil yang identik dengan hukum Islam ini, dapat

disimpulkan bahwa sekalipun hukum sipil dan hukum Islam mengizinkan

terjadinya perceraian, Gereja Katolik sendiri dengan sangat tegas menolak

perceraian. Penolakan Gereja terhadap perceraian terjadi karena Gereja masih

menghormati sifat perkawinan yang monogami dan tak terceraikan. Penekanan

pada kedua sifat perkawinan ini sebenarnya mau menegaskan sikap Gereja yang

menghendaki agar suami-istri hidup dalam kesetiaan satu terhadap yang lain

seumur hidup dan tak terceraikan.8

Lebih dari itu, Gereja memahami perkawinan dalam dirinya sendiri

bersifat sakral, sehingga tidak dapat diputuskan oleh hukum-hukum duniawi

apapun bahkan ketika suami-istri menghadapi persoalan dan tantangan hidup tak

tertahankan dalam membangun keutuhan hidup berkeluarga. Pasalnya, bagi

Gereja, sakralitas perkawinan itu telah menerima dukungan rahmat ilahi. Dengan

6 C. Mass, Teologi Moral Perkawinan (Ende: Nusa Indah, 1997), hlm. 103. 7 Ibid. 8 Le Saint, Ancient Cristian Writers; The works of the Father in Translated (London: Longmas

Green and Co, 1951), hlm. 32.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

5

dukungan daya ilahi, Gereja yakin dan percaya bahwa perkawinan akan berjalan

baik sesuai kehendak Tuhan.9

Berdasarkan latar belakang persoalan yang telah diangkat ini, penulis

merasa tertarik untuk mengkaji perceraian dan anulasi perkawinan dalam terang

moral Kristiani secara lebih komprehensif dengan judul “Perceraian dan Anulasi

Perkawinan dalam Perspektif Moral Kristiani”.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai penulis melalui penulisan

skripsi ini yakni: pertama, skripsi ini merupakan salah satu persyaratan yang

harus dipenuhi penulis guna memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Sekolah

Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere.

Kedua, penulis ingin memberikan gambaran mengenai perkawinan agar

dapat membantu para pembaca untuk memahami konsep perkawinan dalam terang

Kristiani secara benar dan tepat. Dengan memiliki pemahaman yang luas, benar

dan tepat tentang perkawinan, setiap orang khususnya pasangan suami-istri yang

telah menikah secara resmi dalam Gereja Katolik dapat memaknai perkawinan

secara benar demi membangun kehidupan perkawinan yang lebih baik dari hari ke

hari.

Ketiga, penulis ingin menjelaskan fenomena perceraian yang menodai

sakralitas perkawinan Kristiani dan menjelaskan anulasi perkawinan dalam Gereja

Katolik yang tidak memiliki kandungan makna yang sama. Hal ini selain

dimaksudkan agar perceraian dan anulasi perkawinan dapat dibedakan secara

tegas juga hendak memperjelas posisi Gereja terhadap perceraian dan anulasi

perkawinan. Pada puncaknya akan ditemukan bahwa Gereja secara tegas menolak

perceraian dan hanya mengakui anulasi perkawinan.

1.3 Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah

metode studi kepustakaan. Dalam hal ini, penulis menggunakan buku-buku,

literatur-literatur dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan tema yang

diangkat sebagai sumber utama penulisan skripsi ini. Dengan menggunakan

9 John Willis, The Theacing of the Church Fathers (San Fransisco: Ignatius Press, 1966), hlm. 438.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

6

sumber-sumber yang membahas tema yang diangkat, penulis hendak

mendeskripsikan kembali hakikat perkawinan Kristen, perceraian, dan anulasi

dalam Gereja Katolik, berikutnya posisi Gereja terhadap perceraian dan anulasi

tersebut.

1.4 Sistematika Penulisan

Skripsi ini ditulis dalam empat bab dengan perincian sebagai berikut: Bab

I sebagai bab Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menguraikan secara sepintas

lalu persoalan mengenai perihal hidup berkeluarga teristimewa menyangkut

perceraian dan anulasi perkawinan yang masih saja terjadi dalam kehidupan

keluarga Kristen dan pentingnya memahami hakikat perkawinan. Pembahasan ini

sekaligus menjadi latar belakang bagi penulisan skripsi ini. Selain latar belakang

penulisan, bab ini juga berisi tentang tujuan penulisan, metode penulisan dan

sistematika penulisan.

Bab II, Hakikat Perkawinan Kristiani. Bab ini berisi uraian penulis

mengenai gagasan-gagasan tentang hakikat perkawinan Kristiani yang bersifat

monogami dan tak terceraikan berdasarkan isi teks Kitab Suci Perjanjian Lama

dan Perjanjian Baru, Dokumen Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 48

dan 49, Kitab Hukum Kanonik No. 1055 dan 1057, hingga Katekismus Gereja

Katolik No.1603 dan 1604. Hakikat perkawinan Kristiani dengan sifatnya yang

monogami dan tak terceraikan yang diangkat dari berbagai perspektif itu serentak

menjadi dasar bagi Gereja untuk menentang perceraian.

Bab III penulis menguraikan tentang problematika perceraian dan anulasi

perkawinan dalam perspektif moral Kristiani yang di dalamnya mengandung

uraian tentang pengertian perceraian, sebab-sebab perceraian dan dampak

perceraian, anulasi sebagai pembatalan perkawinan serta argumentasi penolakan

Gereja terhadap percerian hingga pengakuan dan penerimaan Gereja terhadap

anulasi.

Bab IV merupakan bab Penutup dari skripsi ini. Dalam bab ini, penulis

merangkum kembali pokok-pokok pikiran yang telah penulis uraikan pada bab-

bab sebelumnya serentak memberikan beberapa kesimpulan, usul, dan saran

penulis.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

7

BAB II

HAKIKAT PERKAWINAN KRISTIANI

Perkawinan merupakan persekutuan hidup bersama seorang pria dan

seorang wanita yang telah disatukan secara lahir-batin. Atas dasar persetujuan

bebas, seorang pria dan seorang wanita bersepakat untuk membentuk suatu

keluarga: mempunyai rumah bersama, memiliki harta dan uang bersama,

mempunyai nama keluarga yang sama, mempunyai anak bersama, saling pasrah

diri jiwa-raga atas dasar cinta kasih yang tulus.10

Lebih dari itu, keluarga merupakan sel pertama dan utama dari masyarakat

(the family is the first and vital cell of society).11 Dari keluargalah masyarakat

menerima pelayanan yang perlu bagi kelangsungan hidupnya. Misalnya dari

keluarga lahirlah generasi baru yang juga akan menjadi anggota masyarakat. Oleh

karena itu perkawinan menjadi perwujudan pertama dari pembentukan sebuah

keluarga di tengah hubungannya dengan masyarakat luas. Agar keluarga dapat

berjalan baik dan perceraian yang memecah belah kehidupan keluarga dan

masyarakat dapat dihindari maka pertama-pertama, hakikat perkawinan

dengannya setiap keluarga bersepakat untuk membangun hidup berkeluarga harus

dipahami secara baik.

Untuk itu, dalam bab ini, penulis akan menguraikan secara khusus

gagasan-gagasan mengenai hakikat perkawinan Kristiani yang bersifat monogami

dan tak terceraikan berdasarkan isi teks Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru, Dokumen Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 48 dan 49, Kitab

Hukum Kanonik No. 1055 dan 1057, hingga Katekismus Gereja Katolik No.1603

dan 1604. Penjelasan tentang hakikat perkawinan Kristiani dengan sifatnya yang

monogami dan tak terceraikan yang diangkat dari berbagai perspektif ini, selain

dimaksudkan untuk menegaskan kembali sakralitas perkawinan Kristiani dan

10 T. Gilarso (ed.), Membangun Keluarga Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 9. 11 Thomas Rausch, Katolisisme, Teologi Bagi Kaum Awam, terj. Agus M. Hardjana (Yogyakarta:

Kanisius, 2001), hlm. 258.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

8

pentingnya hidup berkeluarga juga bermaksud untuk menunjukkan sikap Gereja

terhadap perceraian.

2.1 Perkawinan Kristiani Menurut Kitab Suci

Kitab Suci merupakan tulisan-tulisan suci yang diilhami oleh Allah dan

mengungkapkan iman Kristiani secara normatif untuk segala zaman.12 Sebagai

sumber autentik iman Kristen, Kitab Suci juga berbicara tentang perkawinan

sebagai persekutuan hidup bersama pasangan suami-istri yang sudah menikah

yang pada dirinya sendiri bersifat sakral.

Selain berbicara tentang perkawinan yang bersifat sakral ini, Kitab Suci

juga mengulas tentang perceraian. Namun pembicaraan tentang perceraian ini

tidak berarti Kitab Suci dan tentunya otoritas Gereja menerima setiap perceraian.

Sebaliknya melalui Kitab Suci, Gereja sesungguhnya menolak perceraian dan

memperjelas posisinya berhadapan dengan persolan menyangkut perkawinan dan

perceraian dalam hidup bersama pasangan.

2.1.1 Kitab Suci Perjanjian Lama

Tulisan-tulisan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama memberikan beberapa

pandangan atau penjelasan tentang perkawinan sebagai persekutuan hidup yang

bersifat sakral. Kitab Kejadian secara khusus menegaskan bahwa sudah sejak awal

penciptaan, perkawinan merupakan persekutuan hidup bersama yang tidak dapat

diceraikan. Allah sendiri menciptakan pria dan wanita untuk saling melengkapi

dan hidup berdasarkan cinta kasih. Dengan cinta kasih, suami-istri dipersatukan

lebih erat satu sama lain,13 dan menjadi satu daging. “Sebab itu seorang laki-laki

akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga

keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24).

Panggilan untuk hidup bersama menjadi satu daging atau hidup bersama

memang menolak perceraian dan poligami. Namun dalam kenyataannya

perceraian terkadang diizinkan oleh hukum tertentu. Hukum Yahudi misalnya,

menerima perceraian sebagai sesuatu yang sah. Perceraian diizinkan jika pasangan

12 Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, terj. I. Surharyo. Pr (Yogyakarta:

Kanisius, 1996), hlm. 145. 13 Paul Klein, Pedoman Awal Keluarga Kristen-Seri Buku Pastoralia, No. 1X/1 (Ende: Nusa

Indah, 1883), hlm. 104.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

9

tertentu merasa tidak lagi memiliki alasan untuk tetap bersatu, misalnya, karena

istri tidak mampu memberikan keturunan atau karena perzinahan.

“Apabila seorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya,

dan kemudian jika ia tidak menyukainya lagi perempuan itu sebab

didapatinya yang tidak senonoh padanya lalu ia menulis surat cerai dan

menyerahkannya kepada perempuan itu, sesudah itu ia menyuruh

perempuan itu pergi dari rumahnya” (Ul 2: 11).14

Bunyi teks Kitab Ulangan di atas terutama menunjukkan bahwa perceraian

boleh terjadi bila terdapat alasan “yang tidak senonoh”. Kendati demikian, alasan

ini bukanlah alasan yang mudah dipahami, karena pada dirinya sendiri alasan itu

tidak diterangkan secara jelas. Ketidakjelasan alasan ini tentu menimbulkan

banyak diskusi yang melahirkan berbagai kontroversi pandangan.

Pada masa itu ada dua aliran yang memberikan penafsiran dengan

interpretasi yang berbeda-beda tentang alasan perceraian tersebut. Pertama, oleh

sekolah Rabi Syamai. Menurut sekolah ini, hanya pelanggaran besar seperti zinah

dianggap sebagai perbuatan yang tidak senonoh dan menjadi alasan bagi

perceraian. Kedua, sekolah Hillel yang menganggap persoalan kecil saja sudah

cukup menjadi alasan bagi suami untuk menceraikan istrinya.15

Dalam terang pemikiran tradisional, zinah dipandang bukan sebagai

percabulan, melainkan sebagai pelanggaran atas hak milik orang lain. Seorang

pria tidak dapat disebut berbuat zinah selain dengan istri orang lain. Pria

mempunyai hak atas badan istrinya untuk memberikan keturunan baginya. Jika

seorang wanita diketahui mandul maka terbuka kemungkinan untuk terjadinya

perceraian dan poligami.

Namun pandangan ini hanya menguntungkan pihak laki-laki sehingga

keberadaan dan hak-hak perempuan diabaikan. Berhadapan dengan realitas

perceraian ini, para nabi dihadapkan pada dilema. Pada satu sisi para nabi

menunjukkan sikap penerimaan terhadap perceraian. Sebaliknya pada sisi lain,

mereka menolak perceraian. Penolakan terhadap perceraian terutama karena para

nabi melihat bahwa perceraian bukanlah sifat yang ideal bagi perkawinan

sedangkan sifat tak terceraikan sebaliknya sebagai ideal dalam perkawinan. Sifat

14 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Deuterokanonika, cet. VIII (Jakarta: Lembaga Alkitab

Indonesia, 2000), hlm. 205. 15 Henry Peschke, Cristian Ethics, Vol. II (Manila: Theological Publications, 1978), hlm. 449.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

10

tak terceraikan dihubungkan dengan sifat setia Allah dalam relasi-Nya dengan

umat Israel.

Allah sendiri menghendaki agar suami-istri saling setia satu terhadap yang

lain dan tidak menghendaki terjadinya perceraian (bdk. Mal 2: 14-16). Dengan

demikian perceraian dilarang keras oleh Allah sendiri. Larangan ini lebih tegas

setelah pengungsian di Babilonia. Terhadap perceraian, terdapat kecaman yang

serius kepada orang Yahudi yang menceraikan istrinya dan kawin lagi dengan

putri-putri kafir untuk mendapatkan kedudukan.

Problema menyangkut perceraian ini mendorong penulis untuk mengambil

dua teks dari Kitab Kejadian sebagai dasar pijak untuk menerangkan realitas

perceraian serentak menunjukkan posisi penulis, yang sejatinya menolak

perceraian. Dua teks tersebut adalah Kejadian 1:27-28 dan 2:18, 20.

2.1.1.1 Kejadian 1:27-28

Bunyi teks Kejadian 1:27-28 adalah sebagai berikut:

27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut

gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-

Nya mereka. 28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:

‘beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah

itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan

atas segala binatang yang merayap di bumi.’16

Kejadian 1:27-28 menunjukkan secara jelas bahwa setelah Allah

menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan sesuai gambar dan rupa-Nya, Ia

sendiri pulalah yang memerintahkan agar laki-laki dan perempuan beranak cucu

dan bertambah banyak. Teks kitab suci ini menunjukkan bahwa sejak awal mula

penciptaan manusia, Allah telah memanggil perempuan dan laki-laki untuk hidup

bersama dan membangun keluarga. Oleh karena itu Allah menjadi dasar bagi

hidup bersama.

Lebih dari itu, sejak manusia pertama, Adam dan Hawa ini, Allah

sebenarnya tidak menciptakan manusia seorang diri, tetapi berpasangan. Selain itu

Allah pun tidak memanggil manusia untuk hidup sendirian tetapi lebih dari itu

untuk hidup bersama. Panggilan untuk hidup bersama ini sedemikian penting

16 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 1-2.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

11

karena hanya dalam hidup bersama, laki-laki dan perempuan dapat beranak cucu

dan bertambah banyak, memenuhi bumi dan berkuasa atas segala makhluk ciptaan

lainnya.

Dengan demikian, Allah, setelah menciptakan mereka menurut gambar

dan rupa-Nya, berkata kepada mereka, ‘beranakcuculah dan bertambah banyak;

penuhilah muka bumi dan taklukanlah dunia. Oleh karena berkat dan perintah

yang diberikan Allah inilah, umat manusia masih tetap ada, dan seiring keturunan

yang satu pergi, keturunan yang lain datang.

2.1.1.2 Kejadian 2:18, 20

Teks Kejadian 2:18, 20 berbunyi:

18 Tuhan Allah berfirman: “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.

Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.” 20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-

burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri

ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.17

Teks tersebut di atas secara tidak langsung mau mengungkapkan kodrat

manusia yang tidak dapat hidup sendirian. Penciptaan seorang penolong

menunjukkan secara jelas kodrat manusia yang hanya dapat hidup dalam

kebersamaan dengan manusia lain. Selain agar manusia dapat hidup secara

manusiawi, penciptaan seorang penolong yang sepadan dimaksudkan agar

kekurangan dalam hidup dapat diatasi.

Penciptaan seorang penolong ini pada hakikatnya memanggil manusia

untuk membangun persekutuan dalam hidupnya. Persekutuan hidup ini

dimaksudkan agar manusia dapat menikmati hidup sepenuhnya dan saling bekerja

sama, berbagi kasih, kepercayaan, dan pengabdian dalam lingkungan keluarga.

Oleh karena itu sudah sejak awal mula Sang Pencipta telah menyediakan seorang

teman yang akan memenuhi kerinduan hati seorang manusia.

Ketika Allah menciptakan pria dan wanita, Kitab Suci menyatakan bahwa

pria dan wanita itu bersifat sepadan. Allah menciptakan wanita itu untuk menjadi

“penolong yang sepadan” bagi pria. Pengertian kata “sepadan” bukanlah setara

17 Ibid., hlm. 2.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

12

atau sama melainkan mengandung pengertian yang saling melengkapi dan

menutup kekurangan satu sama lain.18

Kitab Suci memaparkan bahwa Tuhan sendiri melihat tidak baik jika

Adam hanya hidup seorang diri. Adam perlu membutuhkan seorang penolong

yang sepadan dengan dia (Kej. 2:18). Dalam kesepadanan ini, keduanya saling

mengerti, saling memahami, dan saling melengkapi.

Dalam Kejadian 2:18, kata “penolong” menarik untuk direnungkan. Istilah

Ibrani untuk kata “penolong” adalah kata “ezer”. Kata ini lebih kurang memenuhi

dua pengertian yakni: pertama, Tuhan memberi seorang penolong kepada laki-

laki sebab Allah melihat bahwa laki-laki itu belum lengkap tanpa satu penolong.

Kedua, kata “penolong” dapat diartikan sebagai penolong ilahi yang

menyelamatkan laki-laki dari kesepian.

Sangat jelas di sini bahwa Allah menciptakan pernikahan untuk kebaikan

manusia. Penyatuan dua pribadi yang berbeda dan setara ini hendak mengajarkan

kepada manusia bahwa laki-laki memberi hidup bagi wanita dan wanita memberi

hidup bagi laki-laki dan menjadi satu ibu bagi semua umat manusia. 19 Jadi

keduanya, baik laki-laki maupun perempuan saling membutuhkan dalam segala

hal.

2.1.1.3 Menurut Para Nabi

Kitab Nabi Hosea 1-3, secara tegas berkisah tentang perkawinan antara

Hosea dan istrinya yang secara konkret menjadi simbol perkawinan antara Yahwe

dan umat-Nya, Israel. Sebagaimana istri Hosea tidak setia kepada Hosea,

begitupula Israel, tidak setia kepada Yahwe. Kendati istri Hosea tidak setia

kepadanya, Hosea mendapat perintah dari Yahwe untuk tetap menerima istrinya

kembali kepadanya, sebagaimana Yahwe pun selalu bersedia menerima kembali

Israel, “Istri”-Nya yang tidak setia.

Kitab Hosea 1-3 dengan jelas menunjukkan kesetiaan sebagai ciri

perkawinan. Ketidaksetiaan istri tidak boleh mendorong suami untuk bersikap

yang sama. Dalam keadaan apapun, suami hendaknya tetap setia kepada istrinya

18 Sutjipto Subeno, Indahnya Pernikahan Kristen (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 33. 19 Marulak Pasaribu, Pernikahan dan Keluarga Kristen (Jawa Timur: Depertemen Literatur YPPII,

2001), hlm. 15-16.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

13

seperti Allah juga setia kepada Israel. Dalam perkawinan bersama istrinya, Hosea

selalu mau setia kepada istrinya. Hal itu tentu sangat menarik perhatian banyak

orang dan menantang semua orang yang menyetujui adanya praktik perceraian

yang terjadi karena perzinahan, atau alasan lainnya pada masa itu.20

Perkawinan nabi Hosea, sesungguhnya mewartakan pesan tertentu kepada

orang Israel, terutama tentang kesetiaan Yahwe terhadap Israel. Mengikuti

kesetiaan Yahwe itu, Hosea mau mengambil Gomer sebagai istrinya lagi, setelah

istrinya itu jatuh dalam pelukan laki-laki lain (Bdk. Hos 3: 1-5 dalam

hubungannya dengan Hos 2: 18-25). Tindakan Hosea ini layak dipuji, apalagi bila

hukum perceraian sebagaimana terumus dalam Kitab Ulangan 24: 1-5 masih

berlaku di dalam masyarakat Israel pada waktu Hosea berkarya.21

Ketidaksetiaan Gomer kepada Hosea mengingatkan orang Israel akan

ketidaksetiaannya kepada Yahwe. Israel mengkhianati ikatan perjanjian yang

dibuat bersama dengan “Suami”-nya yang sah yakni Yahwe dan berzinah dengan

Baal. Ketiadaksetiaan Israel kepada Yahwe membawa akibat yang serius. Yahwe

yang biasanya tinggal dan merawatnya, menjadi seolah-olah membiarkannya

terlantar dan menderita dengan dukacita yang mendalam.

Namun Yahwe tidak tega membiarkan Israel hidup menderita terlalu lama,

karena rasa belas kasih-Nya. Ia kembali bersatu dengan Israel dan membuat

mereka kembali menikmati kedamaian (Hos 2: 16-23). Perkawinan dengan

sendirinya “terjadi lagi” antara Yahwe dan Israel (Hos 2: 19-20). Pernikahan

tersebut membuahkan kebaikan, kasih sayang, belas kasih, dan pemeliharaan dari

Yahwe secara terus-menerus (Hos 2: 19-20). Karena itu, Hosea menunjukan

bahwa kesetiaan dalam perkawinan sangat penting untuk dijaga sampai akhir

hidup.

Selain Hosea, Kitab Maleaki 2: 10-16 menegaskan juga bahwa Allah tidak

berkenan atas praktik kawin campur agama. Kawin campur agama dinilai merusak

perjanjian antara Yahwe dan Israel. Perkawinan orang Israel mempunyai kaitan

20 Herbert Haag, Pada Awal Mula, terj. Ardi Handoko dan A. Widyamartaya BA (Yogyakarta:

Kanisius, 1978), hlm. 49. 21 Hukum sebagaimana terumus dalam Kitab Ulangan 24: 1-5 adalah hukum tentang perceraian

yang mengatakan bahwa wanita yang telah diceraikan secara resmi oleh suaminya, dan

kemudian menikah lagi dengan laki-laki lain ia tidak boleh menikah kembali dengan suaminya

yang pertama. Hal ini sesuai juga dengan hukum dalam Kitab Imamat 21: 7.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

14

dengan perjanjian antara Yahwe dan Israel. Maka perkawinan yang dilakukan

antara orang Israel dan orang kafir dipandang merusak hubungan antara Israel dan

Yahwe.

Selain itu, Allah tidak menghendaki adanya perceraian. Perceraian

dianggap merusak perjanjian suci antara pria dan wanita, yang telah melibatkan

Allah sebagai saksi. Perceraian yang dilakukan oleh pria Israel terhadap istrinya

dianggap tidak menghormati Allah sebagai saksi perkawinan mereka. Bagi pria

Israel yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan wanita kafir, nabi Maleaki

mengingatkan mereka tentang janji perkawinan mereka di hadapan Allah yang

menghendaki agar kesatuan suami-istri itu berlaku seumur hidup. Dengan kata

lain, para suami harus setia seumur hidup dengan istrinya dan tidak menghendaki

adanya perceraian sebab Allah telah menjadi saksi dari perkawinan mereka, sebab

hubungan perkawinan suami-istri adalah hubungan yang tak terceraikan di

hadapan Allah.

Dalam kitab Tobit bab 6-8 terdapat kisah yang berkaitan dengan

perkawinan yaitu kisah Tobiah yang didorong oleh malaikat untuk mengawini

Sarah putri Raguel (Tob 6: 12-13). Terhadap dorongan itu, Tobiah merasa

ketakutan untuk mengawini Sarah karena sudah ada tujuh suami sebelumnya yang

meninggal karena mengawini Sarah. Cobaan yang diterimanya silih berganti

berdatangan namun cinta mereka yang begitu kuat dituangkan melalui tindakan

dan bahasa serta secara khusus dalam doa, sehingga mengalahkan semua hal yang

menghalangi mereka.22

Dorongan yang terjadi pada Tobiah untuk menikahi Sarah adalah

dorongan Allah sendiri yang hendak menyatuhkan pria dan wanita melalui

perkawinan. Penulis Kitab Tobit, dengan mengutip kisah penciptaan dalam

Kejadian 2: 18, menegaskan bahwa istri bukanlah bawahan tetapi pendamping

yang sepadan. Tobiah mengambil Sarah, bukan karena nafsu, tetapi karena

“kesucian”. Maka dengan menikahi Sarah sebagai istrinya, Tobiah

memperlihatkan kebenaran, melaksanakan kewajiban untuk menikah dalam satu

suku sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu pesta perayaan upacara

22 Paskalis Lina, Sakramentalitas Perkawinan dan Penegasan atas Humanae Vitae (Maumere:

Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 63.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

15

pernikahan dilihat sebagai syarat penyempurnaan perkawinan mereka. Pesta

pernikahan juga mengungkapkan unsur kemenangan, yakni kemenangan Tobiah

dan Sarah atas setan sehingga mereka berdua menerima hak sebagai suami-istri

yang turut memberikan kegembiraan besar bagi keluarga Israel.

Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa ketiga bacaan ini, mau

menekankan keutuhan perkawinan dan kemenangan terhadap setan yang merusak

perkawinan dengan adanya perceraian. Nabi Hosea dan Maleaki sangat

menekankan persatuan yang disatukan oleh Allah dan Allah sendiri menjadi saksi

dalam perkawinan. Oleh karena itu menjaga keutuhan perkawinan sangat penting

dalam kehidupan bersama. Kitab Tobit sendiri menjelaskan tentang persatuan

yang mengalahkan setan karena itu teruslah menjaga kesatuan dalam perkawinan,

maka kemenangan akan setan pastinya terlaksana seperti yang terjadi pada Tobiah

dan Sarah yang menang dengan menjaga keutuhan berdasarkan kehendak Allah.

2.1.2 Kitab Suci Perjanjian Baru

Kitab Suci Perjanjian Baru juga berbicara tentang perkawinan yang

monogami dan tak terceraikan, secara khusus melalui sikap Yesus terhadap

perceraian. Yesus dalam diskusi-Nya dengan kaum Farisi dihadapkan dengan

pertanyaan; apakah diperbolehkan, orang menceraikan istrinya dengan alasan apa

saja? (Mat 19: 3).

Berhadapan dengan pertanyaan tersebut, Yesus dihadapkan pada

kontroversi antara dua aliran interpretasi. Terhadap kontroversi ini, Yesus secara

tegas menolak perceraian. Ia juga menolak izin yang diberikan Musa, yang pada

masanya, mengizinkan perceraian karena ketegaran hati umatnya. Sikap Yesus ini

bertentangan dengan Perjanjian Lama, baik terhadap praktek perkawinan orang

Yahudi maupun bukan Yahudi. Yesus pada prinsipnya menegaskan bahwa “apa

yang dipersatukan Allah tak dapat diceraikan oleh manusia” (Mat 19: 6).23

Dalam argumentasi melawan dispensasi Musa, Yesus mengutip teks

Perjanjian Lama untuk menekankan persamaan martabat antara pria dan wanita

karena manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1: 27)

sehingga mereka dapat menjadi satu daging (Kej 2: 24). Oleh karena itu, suami-

istri sungguh-sungguh bersatu sehingga perceraian tidak diperkenankan. 23 C. Maas, loc. cit., hlm. 106.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

16

Larangan perceraian berkaitan erat dengan bentuk hubungan suami-istri

sebagai hubungan partner dan bukannya hubungan subyek-obyek dengannya

wanita menjadi obyek kepuasan dan napsu laki-laki. Laki-laki dan perempuan,

dengan demikian, mempunyai martabat yang sama dan diciptakan sebagai teman

dalam hidup. Yesus dalam argumen-Nya mengenai perceraian menekankan

persamaan martabat pria dan wanita dalam perkawinan, yaitu bahwa pria dan

wanita mempunyai derajat yang sama, hak dan kewajiban yang sama meskipun

terdapat perbedaan fungsi di antara keduanya.24

Larangan ini juga berhubungan dengan kedudukan suami-istri sebagai

gambaran yang melambangkan hubungan kasih Kristus dengan Gereja-Nya.

Kristus sendiri telah mengasihi umat-Nya secara total dengan menyerahkan

nyawa-Nya, sehingga suami-istri hendaknya mengasihi satu sama lain secara utuh

(bdk. Yoh 15: 12-23).

Untuk menerangkan persoalan ini lebih jauh, penulis akan mengambil

referensi dari Injil Matius 19:5-6 dan beberapa Surat Rasul Paulus yang

memberikan penjelasan berkaitan dengan perkawinan yang dilihat sebagai sesuatu

yang kudus dan tak terceraikan, khususnya dalam 1 Korintus 6:19-20, 1 Korintus

7:7, 1 Korintus 11:3, Efesus 5:22-33 dan 1 Tesalonika 4:3-5. Berlandas pada teks-

teks ini penulis akan mengkaji pandangan Kitab Suci Perjanjian Baru yang juga

berbicara tentang dua sifat dasar perkawinan yaitu monogami dan tak terceraikan

yang menjadi dasar penolakan Gereja terhadap perceraian.

2.1.2.1 Matius 19:5-6

Teks Matius 19:5-6 berbunyi demikian:

5Dan firman-Nya: sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya

dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa

yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.25

Bunyi teks ini hendak menggambarkan panggilan hidup bersama dengan

titik tolak dari panggilan Tuhan terhadap manusia untuk terlebih dahulu

meninggalkan orang tua agar dapat bersatu dengan pasangan dalam sebuah

keluarga baru. Meninggalkan dan bersatu, dengan demikian, merupakan sebuah

24 Ibid., hlm. 101. 25 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 26.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

17

pesan Tuhan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan sebagai dasar

membangun sebuah keluarga. Oleh karena itu, maksud yang terkandung dalam

Injil Matius 19:5-6 merupakan rancangan Allah bagi manusia dalam membentuk

sebuah keluarga. Tujuan Allah akan keluarga baru terwujud ketika pria dan wanita

dapat menerapkan konsep meninggalkan dan bersatu demi membangun keluarga

baru.26

Kata “meninggalkan” merujuk pada suatu tindakan secara hukum dan

terbuka yang harus dilaksanakan agar suatu perkawinan menjadi sah.

Meninggalkan ayah dan ibu, menjadi suatu tuntutan menuju kebahagiaan. Harus

ada pemisahan yang jelas dan tegas. Sebagaimana satu bayi yang masih “merah”

takkan bisah tumbuh selama tali pusatnya belum dipotong, demikian pula suatu

perkawinan tidak bisa bertumbuh dan berkembang selama tidak ada perpisahan

dan pemisahan dari keluarga.27

Meninggalkan orang tua memiliki arti yang lebih dalam dari sekadar

berpisah secara fisik. Di sini, terkandung pula maksud perpisahan secara

emosional. Jika salah satu dari pihak pasangan suami atau istri tetap memiliki

ketergantungan yang besar terhadap keluarga asalnya, maka sulit baginya

membentuk keluarga yang mandiri. Ketika salah satu pihak membawa terlalu

banyak karakteristik dan sistem keluarga asalnya ke dalam keluarganya yang baru,

maka proses “bersatu” akan sulit terjalin. 28 Unsur meninggalkan, dengan

demikian, tidak hanya meminta kesediaan untuk melepaskan, melainkan juga

kesanggupan untuk meninggalkan, khususnya pada pihak anak laki-laki.29

Pada titik ini dapat ditegaskan bahwa hubungan dasar yang utama dalam

keluarga bukanlah hubungan orang tua dan anak, melainkan hubungan suami-istri.

Di dalam Matius 19:5-6, Allah menekankan bahwa seorang laki-laki harus

meninggalkan ayahnya dan ibunya. Hubungan ini harus disahkan secara tepat

(bukan sama sekali dihapuskan secara tepat) sehingga hubungan yang mula-mula,

ketika seorang anak masih tinggal di rumah orang tuanya, tidak akan berlanjut.

26 http://hikmat pembaharuan.wordpress.com/18 April 2012, Dasar-dasar dalam Pernikahan,

diakses pada 3 Oktober 2019. 27 Walter Trobisch, Jodohku, terj. D. Susilaradeya (Malang: Gandum Mas, 1973), hlm. 22. 28 Dave Jackson, Memulai dan Membangun Keluarga Bersama, terj. Lukas Tjanda (Malang:

Departemen Literatur SAAT, 2002), hlm. 14. 29 Volkhard dan Gerlinde Scheunemann, Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah, terj. Sri Supadmi

Murtiadji (Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 2001), hlm. 22.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

18

Pasalnya, dia akan menjadi kepala bagi keluarganya dan menjadi teladan bagi istri

dan anak-anaknya.30

Perintah ini sudah Tuhan tetapkan di dalam firman-Nya, sehingga setiap

pasangan yang mau menikah harus siap untuk meninggalkan orang tua mereka.

Meninggalkan orang tua itu berarti bahwa hubungan dengan orang tua harus

diubah dengan hubungan terhadap pasangan. Adapun hal yang harus diubah

tersebut antara lain, pertama, harus lebih memperhatikan pendapat, pandangan

serta kebiasaan-kebiasaan pasangan sendiri dari pada pendapat serta kebiasaan-

kebiasaan orang tua. Kedua, tidak terlalu mengantungkan diri kepada orang tua

dalam hal kasih sayang, persetujuan, bantuan dan nasihat.31 Dengan demikian,

pasangan suami-istri dapat hidup bersama-sama di dalam keluarga yang akan

mereka bangun.

Perhatian terhadap pasangan ini menunjukkan relasi ketertarikan di antara

laki-laki dan perempuan yang hendak membangun hidup bersama sebab keduanya

telah diciptakan untuk menjadi satu daging. Laki-laki akan meninggalkan ayah

dan ibunya dan hidup bersatu dengan perempuannya. Dalam persatuan ini,

keduanya akan menjadi satu dan tak terceraikan; “demikianlah mereka bukan lagi

dua, melaikan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh

diceraikan manusia” (Mat 19:6).

Pengertian menjadi satu mempunyai arti yang sangat mendasar tentang

maksud Tuhan dalam pernikahan. Telah disebutkan bahwa hakikat pernikahan

adalah penyatuan pribadi yang berbeda. Kedua pribadi yang berbeda ini disatukan

Allah sehingga keduanya menjadi satu daging, sehingga mereka bukan lagi dua

melainkan satu; dalam seluruh area kehidupan, dalam kesatuan hubungan seksual,

dan pernikahan yang menjadi sumber kehidupan.

Menjadi satu daging mempunyai pengertian lebih dalam dari sekadar

bersatu secara jasmani. Arti yang lebih dalam itu ialah bahwa dua orang saling

membagi segala yang mereka miliki, bukan hanya tubuhnya, bukan hanya harta

bendanya, tetapi juga segala pikiran dan perasaan, segala sukacita dan pahit

30 Jay E. Adams, Masalah dalam Rumah Tangga Kristen, terj. Richardus Eko Indrajit (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 71. 31 Wayne A. Mack, Kesatuan yang Kudus, terj. Yakob Tomatala (Surabaya: Yakin Ganteng Besar,

1977), hlm. 10.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

19

gentirnya kehidupan, segala harapan dan kekuatiran, keberhasilan dan

kegagalannya. Menjadi satu daging berarti bahwa dua orang melebur menjadi satu

tubuh, jiwa dan roh, tetapi masing-masing tetap memiliki kepribadiannya.32

2.1.2.2 1 Korintus 6:19-20

Teks 1 Korintus 6:19-20 berbunyi demikian:

19Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang

diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan

bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? 20Sebab kamu telah dibeli dengan harganya telah lunas dibayar: Karena

itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!33

Paulus mengajarkan bahwa tubuh manusia itu kudus, “Bait Roh Kudus”.

Sebagai bait Roh Kudus manusia bersatu dengan pribadi Tritunggal Mahakudus.

Dalam persatuan dengan Roh Kudus ini, pasangan suami-istri sepatutnya

menggunakan tubuh mereka demi tujuan sakral.

Paulus mendasarkan komentarnya pada martabat seksualitas dalam

kebangkitan dan dalam pengantarnya mengenai gambaran tubuh untuk

melukiskan persatuan Kristus dengan orang beriman. Ia mengidentikkan pribadi

atau diri manusia dengan tubuh. Tubuh dalam konteks ini dapat diartikan sebagai

tubuh yang bernilai sakral atau kudus.

Sebagai orang Kristen, tubuh adalah tempat tinggal Roh Kudus. Roh itu

tinggal di dalam diri sehingga orang Kristen menjadi milik Allah. Sebagai milik

Allah, tubuh sama sekali tidak boleh dicemarkan oleh kenajisan atau kejahatan

apapun, baik oleh pikiran, keinginan dan tindakan. Oleh karena itu manusia yang

bertubuhkan Roh Kudus, harus hidup sedemikian rupa sehingga menghormati dan

memuliakan Allah dengan tubuhnya.

Dalam persatuan hidup dengan Roh Kudus ini perkawinan berciri

sakramental. Atau dengan kata lain, Allah mengangkat perkawinan sebagai

sebuah sakramen. Dalam bentuknya sebagai sebuah sakramen ini perkawinan

menjadi pemenuhan janji manusia untuk hidup bersama Allah selamanya. Oleh

karena itu, perkawinan menjadi suatu komitmen yang berlangsung seumur hidup

32 Pasaribu, op. cit., hlm. 34. 33 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 218.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

20

di mana suami-istri saling memberi diri dan saling mencintai karena keduanya

telah dipersatukan Allah sendiri melalui sakramen.34

Dalam sakramen perkawinan, hanya seorang laki-laki dan perempuan yang

telah disatukan Allah dalam ikatan perkawinan saja yang boleh melakukan

hubungan seks karena mereka bukan lagi dua melainkan satu. Dalam pengertian

ini ikatan perkawinan bersifat eksklusif, dalam arti bahwa ikatan perkawinan ini

hanya terjadi atau terbangun antara seorang suami dan seorang istri yang telah

berjanji untuk hidup bersama. 35 Tubuh perempuan hanya diperuntukkan bagi

suaminya dan sebaliknya tubuh laki-laki hanya untuk istrinya.

Paulus menekankan bahwa tubuh adalah sesuatu yang kudus dan tidak

boleh digunakan hanya untuk memamerkan keindahan demi memperoleh

kepuasan semata. Tubuh yang adalah Bait Kudus, dengan demikian, harus

diperlakukan secara baik dan benar sesuai perintah Allah.

2.1.2.3 1 Korintus 7:2-5

Teks 1 Korintus 7:2-5 berbunyi demikian:

2Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki

mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya

sendiri. 3Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian

pula isteri terhadap suaminya. 4Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian

pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. 5Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama

untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk

berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama,

supaya iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.36

Rasul Paulus menjelaskan satu hal penting mengenai pernikahan.

Menurutnya, pernikahan merupakan media untuk memberi, menyerahkan, atau

menaklukkan diri kepada pasangan. Dengan demikian, menikah berarti membuat

komitmen untuk memberi yang seharusnya kepada pasangan, bukan sebaliknya

meminta yang seharusnya dari pasangan.37

34 Bernard Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman (Ende: Nusa Indah, 2003), hlm. 84. 35 Rubiyatmoko, op. cit., hlm. 147. 36 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 218-219. 37 Arliyanus Larosa, Kunci Sukses Karir Pernikahan (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2009),

hlm. 56.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

21

Lebih dari itu Rasul Paulus menekankan bahwa perkawinan, serta

penghiburan dan kepuasan darinya, ditetapkan oleh kebijaksanaan ilahi untuk

mencegah percabulan. Untuk mencegahnya “baiklah setiap laki-laki mempunyai

istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri”. Hal ini

berarti laki-laki dipanggil untuk menikah dan setia terhadap pasangan mereka

sendiri. Jika mereka sudah menikah, hendaklah mereka saling memenuhi

kewajibannya, memperhatikan perasaan dan kepentingan satu terhadap yang lain,

dan saling melaksanakan kewajiban sebagai suami-istri. Sebab seperti

dikemukakan oleh Rasul Paulus bahwa dalam perkawinan, orang tidak berkuasa

atas tubuhnya sendiri, tetapi sudah menyerahkannya kepada kuasa pasangannya;

tubuh istri diserahkan kepada kuasa suami, begitu juga sebaliknya tubuh suami

kepada kuasa istrinya.

Poligami atau kawin dengan lebih dari satu orang, seperti halnya

perzinaan, sudah pasti merupakan pelanggaran terhadap janji perkawinan dan hak-

hak pasangan. Oleh karena itu, pasangan tidak boleh berbuat curang satu terhadap

yang lain dalam menggunakan tubuh mereka, ataupun dalam kenikmatan-

kenikmatan lain ketika hidup sebagai suami-istri. Pasalnya Allah telah

menetapkan agar pasangan dapat memelihara hidup di dalam pengudusan dan

penghormatan dan mencegah segala nafsu cemar.

Hal tersebut di atas tentu berbeda kalau itu dilakukan atas dasar

“persetujuan bersama dan hanya untuk sementara waktu”, dengan maksud

menjalankan kewajiban-kewajiban agama yang khusus, atau memberi diri untuk

berpuasa dan berdoa. Akan datang masanya untuk merendahkan diri sedalam-

dalamnya, maka yang harus dilakukan adalah berpantang dari kesenangan-

kesenangan yang halal. Namun keterpisahan suami-istri semacam ini tidak boleh

terus berlanjut, supaya mereka jangan membuka diri pada godaan-godaan iblis,

karena mereka tidak mampu atau tidak sanggup menahan diri.

Orang membuka diri pada bahaya besar bila mencoba melakukan apa yang

melampaui kekuatan mereka, serentak pada saat yang sama tidak mengikat diri

pada hukum Allah. Sekalipun mereka berpantang dari kenikmatan-kenikmatan

yang halal, bisa jadi mereka malah terjerat oleh kenikmatan-kenikmatan yang

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

22

haram. Obat-obat penawar yang telah disediakan Allah untuk melawan

kecenderungan-kecenderungan dosa pastilah obat penawar yang terbaik.

2.1.2.4 Efesus 5:22-33

Adapun bunyi teks Efesus 5:22-33 adalah sebagai berikut:

22Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, 23karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala

jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. 24Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian

jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. 25Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi

jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya 26untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan

memandikannya dengan air dan firman, 27supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya

dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi

supaya jemaat kudus dan tidak bercela. 28Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya

sendiri: siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. 29Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi

mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, 30karena kita adalah anggota tubuh-Nya. 31Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu

dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 32Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus

dan jemaat. 33Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah

isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati

suaminya.38

Dalam teks Efesus 5: 22-33, Rasul Paulus berbicara tentang kewajiban

suami dan istri. Ia membicarakan hal ini sesuai dengan tata aturan kristen, dengan

menempatkan jemaat sebagai contoh ketaatan istri, dan Kristus sebagai teladan

kasih bagi suami. Ada tiga komponen peting yaitu: pertama, istri-istri, tunduklah

kepada suamimu, sama seperti kepada Tuhan karena suami dianggap sebagai

kepala rumah tangga seperti Kristus adalah kepala Gereja. Kedua, sebagaimana

Gereja tunduk kepada Kristus, maka istri juga harus tunduk kepada suaminya.

Ketiga, para suami, kasihilah istrimu, sama seperti Kristus mengasihi Gereja dan

memberikan diri-Nya bagi dia.39

38 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 253-254. 39 Paskalis Lina, loc. cit., hlm. 9.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

23

Ketiga komponen tersebut di atas, memiliki makna yang sebenarnya saling

berkaitan dan tidak dapat dilepaspisahkan satu dari yang lain. Penekanan dari

setiap komponen yang disampaikan oleh Paulus ini lebih tertuju pada sikap saling

menghargai di antara suami dan istri agar keutuhan perkawinan tetap terjaga.

Ketiga hal tersebut di atas juga mau menekankan bahwa istri harus mempercayai

suami sebagai kepala baginya dan menjadikan suaminya sebagai kekuatan

tumpuannya.

Hal ini selanjutnya bukan berarti memberikan kebebasan bagi para suami

untuk bertindak semena-mena terhadap istrinya, melainkan dimaksudkan agar

keduanya saling menghargai dan mengasihi sebagai suami dan istri. Kekuasaan

suami diidentikkan dengan Kristus dan ketaatan istri diidentikkan dengan Gereja.

Yesus begitu mengasihi Gereja-Nya, dan tidak pernah berdusta ataupun berpaling

dari Gereja yang Ia kasihi. Begitu juga dengan para suami harus mengasihi para

istrinya sebagaimana ditekankan oleh Rasul Paulus.

Keluarga Kristen juga harus dapat menghadirkan Kerajaan Allah di dalam

hidup berkeluarga. Jadi, pernikahan yang digambarkan dalam hubungan Kristus

dengan jemaat-Nya direfleksikan di dalam kehidupan berkeluarga sebab keluarga

yang dibentuk oleh Allah mencerminkan kasih Kristus kepada jemaat-Nya. Paulus

menggambarkan Gereja sebagai mempelai perempuan Kristus yang

mempersiapkan dirinya untuk tinggal dalam kerajaan yang kekal (Ef. 5: 23).

Gambaran ini mengarisbawahi kebenaran bahwa pernikahan harus menjadi

hubungan kasih dan kesetiaan yang abadi. Para suami harus mengasihi istri

mereka sebagaimana Kristus mengasihi mempelai yang telah ditebus-Nya,

demikian juga para istrinya tunduk kepada suami mereka, sebagaimana mereka

tunduk kepada Kristus.40

Teks Efesus 5: 25-27 mau menggambarkan bahwa Kristus mengasihi

Gereja, memberikan diri-Nya sendiri baginya, untuk menguduskan Gereja dengan

air dan sabda, untuk menghadirkan Gereja di hadapan-Nya dalam kebenaran,

kekudusan dan tak bercacat. Kasih Kristus memiliki daya pengudusan sesuai

dengan maksud-Nya. Pokok pengudusan itu adalah pembaptisan, yang mengalir

40 J.I. Packer, Ensiklopedi Fakta Alkitab Vol. 2, terj. Budi Hardiman dkk (Jawa Timur: Gandum

Mas, 2001), hlm. 892.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

24

dari pemberian diri Kristus sendiri dalam cinta yang menyelamatkan, sehingga

melalui cinta yang sama itu diperoleh sebuah karakter relasi perkawinan.41

Kristus mau menunjukkan kepada manusia bahwa perkawinan berlandas

pada cinta kasih, seperti telah Ia berikan kepada Gereja. Cinta kasih menjadi kunci

utama kebahagiaan dalam hidup berkeluarga. Paulus menekankan bahwa tanpa

cinta kasih akan terjadi keruntuhan dalam hidup perkawinan. Oleh karena itu,

suami dan istri harus terus memupuk cinta kasih dalam hubungan berkeluarga

karena landasan yang Tuhan berikan dalam hidup berkeluarga ialah cinta kasih.

Jika hidup berkeluarga tanpa didasari cinta kasih maka yang akan terjadi adalah

tindakan kekerasan, ketidaksukaan bahkan kehancuran dalam hidup berkeluarga.

Paulus menegaskan bahwa: “sebab itu laki-laki akan meninggalkan

ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu

daging.” Kemudian ia melanjutkan pesan itu dan berkata, rahasia ini benar, tetapi

yang sebenarnya dimaksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat (Ef. 5:31-32).42

Dengan demikian, setiap pernikahan Kristen dimaksudkan sebagai pantulan atau

gambaran hubungan antara Kristus dan Gereja-Nya sehingga apa yang sudah

dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Dengan kata lain,

pasangan suami-istri dituntut menerapkan hubungan keluarga mereka berdasarkan

semangat cinta Kristus terhadap jemaat-Nya.

Dalam Efesus 5: 32, Paulus menjelaskan bahwa dengan menikah, orang

Kristen dipanggil masuk ke dalam satu panggilan pelayanan khusus, yaitu

menyaksikan Kristus melalui wadah keluarga. Implikasinya adalah hubungan dan

komunikasi suami-istri menjadi wadah anak-anak belajar mengenal kasih Tuhan.

Di samping itu, keluarga juga menjadi tempat persiapan dan latihan anak-anak

agar kelak menjadi suami atau istri dan atau menjadi orangtua. Rasul Paulus

membandingkan pernikahan Kristen dengan persekutuan antara Kristus dengan

umat-Nya atau Gereja (Ef. 5: 22-33).

Kasih Kristus adalah teladan cinta yang harus dimiliki setiap pasangan

suami-istri, seperti kasih memberi diri, kasih yang tak bergantung pada bagaimana

pasangan suami-istri atau apa yang dilakukan pasangan suami-istri, kasih yang

41 Ibid., hlm. 13. 42 Jaliaman Sinaga, Tujuh Pilar Pernikahan (Jakarta: Divisi Pengajaran Unit Seminar, 2004), hlm.

88.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

25

betul-betul tanpa syarat, kasih yang tidak menuntut ganjaran apapun.43 Karena itu

pasangan suami-istri harus saling mengasihi, sehingga rumah tangga yang sudah

dibangun tetap kokoh dan langgeng sebab kasih Kristus yang akan selalu

mempersatukan pasangan suami-istri, sekalipun terdapat banyaknya masalah yang

terjadi dalam keluarga.

2.1.2.5 1 Tesalonika 4:3-5

Teks 1 Tesalonika 4:3-5 berbunyi demikian:

3Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu yaitu supaya kamu

menjauhi percabulan, 4supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi

isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan, 5bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-

orang yang tidak mengenal Allah.44

Dalam teks tersebut di atas, Rasul Paulus mengingatkan jemaat di

Tesalonika mengenai kenajisan, yang merupakan dosa yang bertentangan

langsung dengan pengudusan. Peringatan ini terkandung dalam ayat 3, yaitu

“supaya kamu menjauhi pencabulan”, yang harus diartikan sebagai semua rupa

kenajisan, baik dalam keadaan sudah menikah maupun tidak menikah. Memang

untuk tujuan inilah mereka mendapat pencerahan dan tidak melawan kehendak

Allah yang menginginkan mereka untuk tidak berbuat zinah.45

Perzinahan tentu termasuk di dalamnya, meskipun yang terutama

disebutkan di sini percabulan. Lebih dari itu, segala jenis kenajisan lainnya juga

dilarang. Semua itu bertentangan dengan kemurnian dalam hati, perkataan dan

perbuatan, dan bertentangan dengan perintah Allah sehingga Ia menghendaki agar

manusia selalu sadar dan kembali berbuat benar sesuai dengan kehendak-Nya.

Kesadaran menjadi titik penting dalam menjalankan sebuah hubungan.46 Dengan

adanya kesadaran ini manusia menyadari kelemahan-kelemahannya dan terus-

menerus memperbaiki diri untuk mencapai hidup yang diinginkan oleh Allah

sendiri.

43 Bill Ameiss dan Jane Grave, Cinta, Seks & Allah, terj. Julia Suleman Chandra (Yogyakarta:

Yayasan Andi, 1998), hlm. 109. 44 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 265. 45 Carl Gustav Jung, Diri yang Belum Ditemukan, terj. Agus Cremers SVD dan Martin Warus

(Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm. 74. 46 Ibid., hlm. 90.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

26

2.2 Perkawinan Kristiani dalam Perspektif Dokumen Konsili Vatikan II

Gaudium et Spes

Dalam Dokumen Konsili Vatikan II khususnya dalam Gaudium et Spes

No. 48 dan 49 penulis akan mengulas pandangan Gereja tentang perkawinan

Kristiani.

2.2.1 Gaudium et Spes No. 48

Ihwal perkawinan, Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 48

menulis:

Persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh

Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh

janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali.

Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri

dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah suatu lembaga

yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan

ketetapan ilahi. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-isteri dan anak

maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari manusiawi semata-mata.

Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan

tujuan.47

Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 48 menjelaskan bahwa

ikatan perjanjian yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan untuk bersatu

dalam sakramen perkawinan melibatkan satu hubungan interpersonal yang

bersifat total. Hal ini berarti bahwa pasangan dituntut untuk saling memberikan

seluruh dirinya supaya mengarah pada pembentukan satu komunitas seluruh

hidup.48

Perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak boleh diganggu gugat oleh

siapapun. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari penyerahan diri antara suami

dan istri. Seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerakan dirinya

serta memperhatikan kesejahteraan anak-anak mereka sebab Allah adalah

pencipta perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu, mereka yang telah menerima

sakramen perkawinan harus menyadari hal tersebut agar kehidupan perkawinan

mereka selalu berlandaskan kasih Allah.

47 Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, terj. R. Hardawirayana SJ,

cetakan VI (Jakarta: Obor, 2002), hlm. 583. 48 Philip Ola Daen, Manajemen Penyelidikan Pra Nikah (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama,

2010), hlm. 24.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

27

Kasih Allah itu merupakan landasan komitmen bagi setiap pasangan itu

untuk tetap membangun rumah tangga dengan penuh cinta. Pasalnya, komitmen-

komitmen permanen justru memberi motivasi kepada pasangan untuk

memperteguh kasih mereka di tengah kesukaran. 49 Dalam hidup berkeluarga

memang akan selalu terdapat tantangan dan rintangan selama pasangan berjuang

untuk mempertahankan komitmen mereka dalam menjaga keutuhan perkawinan.

Pada titik ini, keterbukaan antara suami-istri agar kekurangan yang dimiliki oleh

suami dapat dipenuhi oleh istri begitupun sebaliknya kekurangan istri bisa

dipenuhi oleh suami, sangat diperlukan. Keterbukaan menjadi kunci dalam

menjaga keutuhan dalam perkawinan.

2.2.2 Gaudium et Spes No. 49

Tentang perkawinan, Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 49

menulis:

Seringkali para mempelai dan suami-isteri diundang oleh Sabda Ilahi,

untuk memelihara dan memupuk janji setia mereka dengan cinta yang

murni dan perkawinan mereka dengan kasih yang tak terbagi. Cukup

banyak orang zaman sekarang amat menghargai pula cinta kasih sejati

antara suami dan isteri, yang diungkapkan menurut adat-istiadat para

bangsa dan kebiasaan zaman yang terhormat. Cinta kasih itu, karena

sifatnya sungguh sangat manusiawi, dan atas gairah kehendak dari

pribadi menuju kepada pribadi, mencakup kesejahteraan seluruh pribadi;

maka mampu juga memperkaya ungkapan-ungkapan jiwa maupun raga

dengan keluhuran yang khas, serta mempermuliakannya dengan unsur

dan tanda-tanda istimewa persahabatan suami-isteri.50

Hal yang ditekankan dalam Gaudium et Spes No. 49 adalah kasih. Kasih

menjadi prioritas utama dalam perkawinan. Kasih merupakan unsur hakiki dalam

sebuah ikatan perkawinan. Dapat juga dikatakan bahwa kasih merupakan

kekuatan yang harus dimiliki oleh suami dan istri, seperti yang bertumbuh dari

kasih akan diri sendiri, kasih terhadap Allah dan manusia, kasih terhadap

persekutuan manusia serta terhadap pribadi tertentu yang menjadi kekuatan dalam

kehidupan keluarga.51

49 Alfred Mcbride, Pendalaman Iman Katolik (Jakarta: Penerbit Obor, 2004), hlm. 50. 50 Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, op. cit., hlm. 585-586. 51 Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, terj. Alex

Armanjaya. Yosef M. Florisan dan G. Kirchberger (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm.

81.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

28

Hal ini menunjukkan bahwa kasih harus diberikan lebih kepada seseorang

pribadi tertentu, yaitu suami atau istri sehingga kasih suami harus lebih kepada

istri begitu juga sebaliknya kasih istri kepada suami. Ikatan perkawinan suami-

istri Kristiani merupakan ikatan sakramental, yaitu ikatan yang menjadi simbol

yang menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah sendiri kepada umat-Nya.

Perkawinan yang dilakukan tidak boleh diadakan tanpa persetujuan bebas dan

penuh dari kedua calon pengantin.52

Dalam persetujuan bebas tanpa paksaan, cinta lahir dengan tulus. Cinta

kasih itulah yang menyatukan setiap pribadi dalam hidup berkeluarga. Cinta kasih

tidak hanya menyatukan, tetapi mendasari keluarga dan menjiwai kehidupan

berkeluarga. Persekutuan pribadi berdasarkan kasih dalam keluarga, terungkap

nyata dalam hidup perkawinan suami-istri. Oleh karena itu, cinta kasih menjadi

dasar dalam hidup berkeluarga, dan menjadi pegangan dalam menjaga keutuhan

perkawinan itu sendiri.

2.3 Perkawinan Kristiani dalam Perspektif Kitab Hukum Kanonik

Berikut, penulis akan mengulas pandangan mengenai perkawinan Kristiani

yang dibahas dalam Kitab Hukum Kanonik No. 1055 dan 1057.

2.3.1 Kitab Hukum Kanonik No. 1055

Dalam Kitab Hukum Kanonik No. 1055 tertulis:

1. Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara

mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu

terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan

anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang

dibaptis diangkat ke martabat sakramen.

2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak

perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen.53

Kanon 1055 tersebut di atas merupakan kanon doktrinal yang mengartikan

perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup.54 Janji antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan inilah yang menjadi dasar bagi terwujudnya

52 Mukadimah, Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Tahun 1966, ed. Frans

Ceunfin (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), hlm. 49. 53 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 303-304. 54 Robertus Rubiyatmoko, op. cit., hlm 17-18.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

29

perkawinan. Tanpa janji maka perkawinan tidak ada. Janji kasih yang sudah

dibangun sejak masa-masa pacaran dan juga selama masa persiapan perkawinan,

perlahan-lahan mulai mewujudkan dirinya dalam perkawinan. Dalam kesempatan

perkawinan, kasih yang mereka hayati dinyatakan secara resmi.

Sebuah perkawinan yang berhasil dan mempunyai dasar pijak yang kuat,

selain dibangun di atas dasar saling mencintai, harus pula dibangun di atas

kesediaan kedua belah pihak untuk mengosongkan diri dan menyangkal dirinya,

meninggalkan egoismenya untuk menjadi satu dengan dia yang dicintainya.55 Hal

ini perlu menjadi penekanan bagi semua pasangan agar dalam perjalanan hidup

berumahtangga, perkawinan mereka dapat berjalan dengan baik.

Kanon 1055 juga menekankan perkawinan sebagai kesepakatan untuk

senasib dan sepenanggungan dalam seluruh aspek kehidupan. Gagasan ini

memang memiliki makna yang begitu luas dan tidak selalu mudah untuk

diwujudkan. Atau dengan perkataan lain, mengungkapkan perkataan senasib

sepenanggungan dalam segala aspek memang sangatlah mudah tetapi menjadi

tidak mudah ketika hendak diwujudkan dalam kehidupan perkawinan selanjutnya.

Hal tersebut hanya dapat tercapai jika ada semangat kerendahan hati, keterbukaan

dan saling berkorban antara laki-laki dan perempuan dalam memelihara keutuhan

perkawinan tersebut.

Perkawinan yang telah terbangun ini tentunya terarah juga pada kelahiran

dan pendidikan anak. Memiliki anak, karena itu, menjadi bagian penting dan

mendasar dari tujuan perkawinan. Ungkapan kasih dalam perkawinan menemukan

realisasinya melalui persetubuhan antara suami-istri menuju kelahiran hidup baru.

Namun perlu diingat juga bahwa kelahiran anak merupakan anugerah Tuhan, yang

tak boleh dimutlakkan atau menjadi satu-satunya hakikat perkawinan. Oleh karena

itu, apabila Tuhan tidak memberikan anak, hal itu sama sekali tidak berarti

perkawinan kehilangan artinya. Tanpa kelahiran anak pun perkawinan tetap tidak

kehilangan artinya. 56 Dengan demikian ketidakhadiran anak dalam sebuah

keluarga, tidak dapat dijadikan sebagai alasan bagi suami dan istri untuk bercerai

dan meninggalkan perkawinan sakramental yang telah dibangun.

55 A. Tefa Sau, Mencari Baju Kebahagiaan (Ende: Nusa Indah, 1998), hlm. 7. 56 T. Gilarso, loc. cit.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

30

2.3.2 Kitab Hukum Kanonik No. 1057

Dalam Kitab Hukum Kanonik No. 1057 tertulis:

1. Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan

yang dinyatakan secara legitim membuat perkawinan; kesepakatan itu

tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi mana pun.

2. Kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan

wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk

perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.57

Sebagaimana tertulis dalam kanon 1057 di atas, kesepakatan menjadi satu-

satunya unsur yang membentuk perkawinan. Kesepakatan itu harus muncul hanya

dari pasangan suami-istri dan bukan karena hasil desakan orang lain. Kanon 1057

bagian 1 dengan tegas mengatakan bahwa “kesepakatan itu tidak dapat diganti

oleh kuasa manusia manapun”. Secara yuridis penegasan ini berarti bahwa

kesepakatan nikah harus lahir di atas dasar kebebasan. Lebih dari itu kesepakatan

harus diungkapkan atau dinyatakan secara publik dan sah menurut norma-norma

hukum.58 Oleh karena itu, kesepakatan nikah tidak hanya merupakan tindakan

internal batiniah semata tetapi lebih dari itu merupakan sebuah tindakan yuridis

eksternal.

Kanon 1057 bagian 2, selain memberikan definisi tentang kesepakatan,

juga menegaskan objek kesepakatan itu sendiri. Objek kesepakatan tersebut

adalah hak eksklusif dan tetap terhadap tubuh pasangannya dengan tujuan utama

yaitu untuk mendapatkan keturunan. Namun, perlu diketahui bahwa hak atas

tubuh hanyalah salah satu aspek dari kesepakatan nikah. Objek kesepakatan nikah

justru lebih terarah pada kebersamaan seluruh hidup yang terarah kepada

kesejahteraan suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak. Di sini, perlu diingat

bahwa cinta kasih bukan merupakan objek kesepakatan karena cinta kasih

dibedakan dari “kehendak untuk membentuk perjanjian nikah”.59 Oleh karena itu,

cinta kasih tidak dapat dijadikan landasan untuk menentukan sah tidaknya

kesepakatan.

57 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 58 Robertus Rubiyatmoko, op. cit., hlm. 23. 59 Ibid., hlm. 26-27.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

31

2.4 Perkawinan Kristiani dalam Perspektif Katekismus Gereja

Berdasarkan Katekismus Gereja Katolik penulis akan mengulas

pandangan Katekismus Gereja Katolik N.o 1603 dan 1604 tentang perkawinan

Kristiani.

2.4.1 Katekismus Gereja Katolik No. 1603

Dalam Katekismus Gereja Katolik No. 1603 tertulis:

“Persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra….. Diadakan oleh

Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. … Allah

sendirilah pencipta perkawinan” (GS 48, 1). Panggilan untuk perkawinan

sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita, sebagaimana mereka muncul

dari tangan pencipta. Perkawinan bukan merupakan satu institusi

manusiawi semata-mata, walaupun dalam peredaran sejarah ia sudah

mengalami berbagai macam perubahan sesuai dengan kebudayaan,

struktur masyarakat, dan sikap mental yang berbeda-beda. Perbedaan-

perbedaan ini tidak boleh membuat kita melupakan ciri-ciri yang tetap

dan umum. Walaupun martabat institusi ini tidak tampil sama di mana-

mana, namun di semua kebudayaan ada satu pengertian tertentu tentang

keagungan persatuan perkawinan, karena “keselamatan pribadi maupun

masyarakat manusiawi dan Kristiani erat berhubungan dengan

kesejahteraan rukun perkawinan dan keluarga” (GS 47, 1).60

Salah satu janji perkawinan adalah mengikatkan diri pada Kristus. Dengan

perkataan lain, pasangan suami-istri bersekutu mesra dengan Allah ketika mereka

mengikatkan diri pada Kristus dan beriman kepada-Nya. Panggilan untuk

perkawinan yang sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita dengan sendirinya

merupakan panggilan dari Allah. Sebagai panggilan yang datang dari Allah,

suami-istri harus menjaga panggilan itu dengan baik dan berjanji untuk tetap setia

dalam hidup bersama dan membangun rumah tangga.

Kesetiaan sebagai komitmen perkawinan menggambarkan bahwa

kesediaan untuk tetap setia kepada pasangan dan tanggung jawab kepada

kehidupan anak adalah buah dari hubungan seksual itu sendiri.61 Keluarga sebagai

satu-satunya institusi yang mengesahkan hubungan seksual antara pria dan

wanita,62 karena itu tidak melegitimasi hubungan di luar pernikahan. Hubungan di

luar pernikahan jelas secara tegas dilarang oleh Gereja Katolik. Hubungan seksual

60 Kongregasi Ajaran Iman, Katekismus Gereja Katolik, terj. Herman Embuiru (Ende: Nusa Indah,

1995), hlm. 403. 61 Paskalis Lina, Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan Seksualitasnya (Maumere: Penerbit

Ledalero, 2017), hlm. 187. 62 Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 268.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

32

yang patut dikatakan sah hanyalah hubungan seksual di antara pasangan yang

sudah dikukuhkan dalam perkawinan. Pasalnya, dalam perkawinan Kristiani,

Allah adalah perkawinan itu sendiri sehingga bagi siapa yang merusak

perkawinan dengan sendirinya ia menyangkal Allah yang ada dalam hidupnya.

Oleh sebab itu, Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup

antara pria dan wanita yang telah dibaptis memiliki sifatnya yang khas dan hanya

terarah kepada kesejahteraan suami dan istri.

2.4.2 Katekismus Gereja Katolik No. 1604

Dalam Katekismus Gereja Katolik No. 1604 tertulis:

Tuhan yang telah menciptakan manusia karena cinta, juga memanggil dia

untuk mencintai, satu panggilan kodrati dan mendasar setiap manusia.

Manusia telah diciptakan menurut citra Allah, yang sendiri adalah cinta.

Oleh karena Allah telah menciptakannya sebagai pria dan wanita, maka

cinta di antara mereka menjadi gambaran dari cinta yang tak

tergoyangkan dan absolut, yang dengannya Allah mencintai manusia.

Cinta ini di mata pencipta adalah baik, malahan sangat baik. Cinta

perkawinan diberkati oleh Allah dan ditentukan supaya menjadi subur

dan terlaksana dalam karya bersama demi tanggung jawab untuk ciptaan:

“Allah memberkati mereka dan berkata kepada mereka: Beranakcuculah

dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasa

atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala

binatang yang merayap di bumi” (Kej. 1: 28).63

Bunyi katekismus ini menggambarkan secara jelas bahwa Allah adalah

cinta. Sebagai cinta, Allah karena itu menuntut manusia untuk hidup dalam cinta.

Tuntutan dalam menjawabi cinta Allah ini, karena itu, secara efektif akan

terpenuhi jika manusia saling mencintai.64 Di atas dasar Allah sebagai cinta ini,

perkawinan secara khusus, hanya dapat bertahan bila pasangan yang telah hidup

bersama pun saling mencintai. Suami harus mencintai istrinya dan begitupun

sebaliknya istri harus mencintai suaminya.

Relasi cinta antara suami-istri menunjukkan secara jelas cinta Allah

kepada Yesus Kristus dan menjadi dasar bagi persekutuan hidup bersama.

Perempuan adalah ladang yang menerima dan menumbuhkan benih, laki-laki

adalah penanam benih, laki-laki menyediakan bentuk, sedangkan perempuan

63 Kongregasi Ajaran Iman, op. cit., hlm. 403-404. 64 Servulus Isaak, Mencari Keadilan (Ende: Nusa Indah, 1985), hlm.38.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

33

memberikan substansi. 65 Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan saling

membutuhkan. Oleh karena itu, cinta harus tumbuh dalam kehidupan seksualitas

dan juga dalam kehidupan berkeluarga.

Selain itu, cinta juga menuntut adanya compassio. Compassio adalah

sebuah sikap untuk turut mengambil bagian dalam penderitaan orang lain atau

berpartisipasi dengan penderitaan yang dialami oleh orang lain. Kepekaan untuk

menerima penderitaan orang lain hanya bisa dilakukan dengan melepaskan diri

dari konsentrasi pada diri sendiri.66 Dalam semangat compassio ini, relasi cinta

antara suami-istri dimulai dengan adanya kesediaan untuk saling menerima

kekurangan dan pengalaman pahit yang dialami oleh pasangan. Dengan semangat

ini, segala kelemahan dan keterbatasan diterima secara total. Justru pada titik

inilah keutuhan perkawinan menemukan dirinya yang paling hakiki.

2.5 Perkawinan Kristiani Bersifat Monogami dan Tak Terceraikan

Perkawinan Kristiani memiliki dua sifat penting yakni monogami dan tak

terceraikan. Dua sifat perkawinan ini akan diuraikan penulis sesuai perspektif

Kitab Suci Perjanjian Lama, Kitab Suci perjanjian Perjanjian Baru, dan juga

menurut perspektif kitab hukum kanonik.

2.5.1 Pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama Tentang Monogami dan Tak

Terceraikan

Perkawinan Kristiani yang dilandasi cinta kasih timbal balik dan total serta

yang telah diangkat menjadi sakramen tidak dapat terjadi antara seorang pria

dengan beberapa wanita (poligami) atau sebaliknya seorang wanita dengan lebih

dari seorang pria (polandri). Kendati demikian, misalnya, struktur serta pola

patriarkat yang berlaku di tengah bangsa Israel serta adanya hukum yang

mengizinkan poligami walaupun tidak dianjurkan, poligami masih memasuki

lingkungan hidup orang beriman.

Kitab-kitab Perjanjian Lama menyajikan banyak kisah mengenai persoalan

seputar poligami yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Perjanjian Lama; misalnya

kisah Abraham yang dikenal sebagai Bapa Bangsa melakukan praktek poligami

65 Fredy Sebho, Estetika Tubuh (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 67. 66 Fredy Sebho, Moral Samaritan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 147.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

34

dengan mengawini Hagar hamba Sara (Kej 12: 5; 16: 1-2); kisah Daud yang

mempunyai beberapa istri (2 Sam 3: 2-5; 13 dan 15: 16); Salomo raja Israel yang

memiliki banyak istri (1 Raj 11: 1-8), dan sebagainya. Praktik poligami yang

dilakukan oleh tokoh-tokoh Perjanjian Lama ini tentu melawan hakikat

perkawinan Kristiani yang bersifat monogami sebagai “persatuan hidup kekal (life

long) antara seorang suami dan seorang istri”.67

Tokoh-tokoh Perjanjian Lama meskipun terjebak dalam gaya hidup

poligami, praktik poligami ini tidak pernah memberi legitimasi kepada umat

pilihan Allah untuk mempertahankan model perkawinan tersebut.68 Atau dengan

perkataan lain, walaupun pada kenyataannya poligami banyak dipraktekkan,

Perjanjian Lama tidak memandang model perkawinan tersebut sebagai gejala

yang normal dan wajar sesuai ukuran kesusilaan. Pasalnya, bila kitab-kitab ini

diteliti secara lebih jauh, akan ditemukan cita-cita perkawinan monogami, serta

kritik terhadap praktik hidup poligami.

Kritik dan kecaman terhadap praktek permaduan paling keras disuarakan

oleh para nabi. Para nabi seperti Nabi Natan, Nabi Elia, Nabi Amos, Nabi Hosea

dan Nabi Yeremia,69 dengan tegas dan tanpa kompromi membela hak kaum lemah

dan tertindas, golongan marginal termasuk wanita janda dan yatim piatu yang

hidup di bawah kungkungan budaya patriarki. Sehubungan dengan perkawinan,

kaum wanita dibela karena mereka terkungkung oleh sistem patriarki yang

berlaku dan suasana sosial-kultural yang membebankan.

Nabi Natan misalnya, menegur Daud karena ia membunuh bawahannya

Uria agar istri Uria dijadikan miliki kepunyaannya. Nabi Elia menentang raja

Ahab. Nabi Amos menentang dosa nasional yang berhubungan dengan

persundalan. Nabi Hosea yang hampir sezaman dengan Nabi Amos mencela dosa

rakyat karena persundalan dan pemerkosaan (Hos 4: 2; 4: 14). Dengan pedasnya

Nabi Yeremia mengancam zinah (Yer 5: 8).70

67 John Macquarrie, A dictionary of Cristian Ethics (London: SCM Press LTD, 1967), hlm. 217. 68 Piet Go dan Maramis, Kesetiaan Suami Istri dan Soal Penyelewengan (Malang: Analekta

Keuskupan Malang, 1990), hlm. 2. 69 G.N. Vollebrecht, Kitab Suci Tentang Perkawinan, terj. F. Hartono, Pr (Yogyakarta: Kanisius,

1966), hlm. 36-37. 70 Ibid.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

35

Berbagai kritik yang dilakukan oleh para nabi ini tentu dibangun di atas

cita-cita perkawinan yang bersifat monogami. Cita-cita para nabi akan perkawinan

di antara suami-istri ini dihubungkan dengan relasi Allah dan bangsa Israel

sendiri. Ketika Israel murtad dan menyembah dewa-dewi lain, mereka dinilai

berzinah. Namun ketidaksetiaan Israel ini tidak menghapus kesetiaan Allah

terhadap mereka. Relasi suami istri ini dengan demikian bagi para nabi

melambangkan relasi Yahwe dengan umat-Nya Israel. Hal ini digambarkan

dengan jelas misalnya, oleh Nabi Hosea.

Nabi Hosea memandang kesetiaan kepada Yahwe sebagai dasar yang

teguh bagi kesetiaan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam perkawinan

(Hos 2: 1, 6, 13). Di dalam perjanjian-Nya, Tuhan mengarahkan diri sepenuhnya

kepada Israel. Kesetiaan terhadap umat-Nya Israel ini tentu menuntut kesetiaan

serupa dari Israel sebagai balasan terhadap cinta Yahwe. Berhubungan dengan

kesetiaan timbal balik antara Yahwe dan Israel, Tuhan pun menghendaki agar

perjanjian nikah antara seorang wanita dan pria di dalam perkawinan tidak

terbagi.71

Kesadaran serta cita-cita Perjanjian Lama akan perkawinan tunggal tidak

meluluh ditemukan lewat kecaman-kecaman terhadap permaduan. Selain kritik

dan kecaman, terdapat pula panggilan positif ke arah monogami, 72 misalnya

melalui ungkapan-ungkapan puitis dan melalui syair-syair. Kidung Agung adalah

salah satu contoh pujian berbentuk syair untuk memuji-muji monogami. Kitab ini

menggarisbawahi sumber kesetiaan mereka yang berakar pada cinta kasih timbal

balik. Cinta kasih membuat masing-masing pasangan menemukan diri yang lain

sebagai diri yang unggul (Kid 2: 2-3). Selain kitab Kidung Agung, Kitab Amsal

(Ams 5: 15-18), kitab Pengkotbah (Pkh 4: 9), Sirakh (Sir 26: 1-4) berturut-turut

menyajikan gambaran perkawinan yang dicita-citakan mesti bersifat monogami.

Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa penulis-penulis kitab suci

Perjanjian Lama dengan jelas menolak perceraian sebagaimana penolakan

terhadap poligami. Pendirian mereka sangat nyata menjunjung tinggi perkawinan

tunggal dan tak terputuskan. Kitab Kejadian bab 1 dan 2 sebagai kitab yang

ditempatkan paling awal dalam deretan kitab Suci Perjanjian Lama telah lebih

71 J. Verkuyl, Etika Kristen Seksual, Soegiarto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1957), hlm. 60. 72 Ibid.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

36

dahulu mencita-citakan kesetiaan seumur hidup dalam perkawinan. Pasalnya,

perceraian maupun pengingkaran terhadap kesetiaan perkawinan berarti berdosa

terhadap Allah sendiri yang menghendaki persekutuan suami-istri (Kej 1: 26-28;

2: 24).

Persekutuan hidup suami istri ini misalnya ditunjukkan dalam teks-teks

Kitab Suci misalnya dalam Tobit, Maleaki, dan Hosea. Kerinduan kitab Tobit

akan perkawinan yang tak terceraikan ditunjukan lewat doa Tobias dan Sarah

istrinya. Dalam doa, Tobias dan Sarah memohon bantuan Tuhan bagi

kebersamaan dan kebahagiaan mereka seumur hidup (Tob 8: 5-7). Selain Tobit,

Kitab Maleaki pun menolak perceraian. Bagi penulis Kitab ini, setiap perceraian

mengabaikan penghormatan terhadap Allah yang telah menjadi saksi perkawinan

(Mal 2: 14-16). Pria Yahudi yang menikahi wanita kafir dan karena itu

menceraikan istrinya, menjadi sasaran kecaman penulis Kitab ini.73

Nabi Hosea sendiri, seorang tokoh penentang ketidakadilan bagi kaum

lemah, dalam hubungan dengan perkawinan mempunyai sikap serupa dengan nabi

lainnya seperti disebut sebelumnya. Kesetiaan yang ditunjukkannya di tengah

ketidaksetiaan istrinya dalam perkawinan mereka membenarkan cita-cita maupun

pendiriannya tentang perkawinan yang tak terceraikan. Kesetian Nabi Hosea

melambangkan juga kesetiaan tanpa batas dari Yahwe di tengah ketidaksetiaan

umat-Nya (Hos 1-3). 74 Dengan cara ini penulis Kitab Hosea hendak

menyampaikan kepada semua pasangan suami-istri bahwa ketidaksetiaan salah

satu pihak tidak menjadi alasan yang memungkinkan perceraian.

2.5.2 Pandangan Kitab Suci Perjanjian Baru Tentang Monogami dan Tak

Terceraikan

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, persoalan seputar poligami terutama

merujuk pada sikap Yesus terhadap pentingnya perkawinan yang bersifat

monogami. Yesus sendiri menolak bentuk perkawinan poligami, menentang

perceraian, dan menerima perkawinan yang bersifat monogami. Markus 10:11-12,

misalnya menampilkan ketegasan sikap Yesus berhubungan dengan perkawinan.

75 Al. Purwa Hardiwardoyo, Perkawinan Menurut Islam dan Katolik (Yoyagkarta: Kanisius,

1990), hlm. 36. 74 Ibid.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

37

Yesus mengatakan bahwa: “barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan

perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika istri

menceraikan suaminya lalu kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah” (Mrk

10: 11-12).

Tuduhan zinah terhadap suami-istri yang bercerai mengandaikan bahwa

Yesus menghendaki persatuan yang tetap dan tak terbagi antara pasangan suami-

istri. Kehendak Yesus terhadap hal ini, selain terdapat dalam Markus, juga

terdapat dalam injil lain, misalnya dalam Matius 5: 31-32; 19: 4-6; dan Lukas 16:

18. Semua nas ini pada intinya menegaskan bahwa ikatan perkawinan hanya

didasarkan pada Allah pencipta dan karena-Nya, manusia tidak dapat memutuskan

untuk bercerai dan kawin lagi agar mereka tidak dapat berbuat zinah. Oleh karena

itu, semua kitab ini menjunjung tinggi perkawinan yang bersifat monogami.75

Selain injil, Paulus juga menuliskan ajarannya tentang perkawinan Kristen

dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika. Dokumen ini merupakan yang

tertua, tersedia antara tahun 49 dan 50 sesudah masehi yang ditulis untuk jemaat

Kristen Tesalonika, sebuah kota pelabuhan yang besar dengan mayoritas

penduduknya orang Yunani. Heterogenitas penduduk di sana menyebabkan hidup

perkawinan menjadi sangat rapuh.76

Dalam situasi heterogenitas seperti itu Paulus menulis surat sebagai

sebuah paranese misalnya terdapat dalam 1 Tesalonika 4: 3-8. Dalam teks ini

Paulus menasehati jemaat agar menjauhkan diri dari percabulan serta hawa nafsu

tak teratur. Larangan terhadap libertinisme seksual yang lazim dipraktekkan

jemaat Tesalonika ini didasarkan pada alasan bahwa tubuh manusia merupakan

bait Roh Kudus, tempat tinggal yang tetap bagi daya Ilahi yang menghadirkan

Allah (1 Kor 3: 16-17; 2 Kor 16: 16). Oleh karena itu, setiap orang yang

melakukan percabulan terhadap tubuhnya sendiri dengan sendirinya akan

memotivasi orang lain untuk melakukan hubungan seksual secara bebas. Dengan

demikian larangan terhadap percabulan yang dilakukan secara privat serentak

merupakan larangan terhadap libertinisme seksual.77

75 Vollebrecht, op. cit., hlm. 69. 76 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Pastoral,

terj. J. Hardiwikarta (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 91. 77 Ibid., hlm. 92-95.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

38

Paulus menegaskan bahwa setiap perkawinan dilindungi oleh Allah. Allah

dalam Roh Kudus-Nya hadir dalam perkawinan orang beriman. Tubuh orang

beriman pun merupakan Bait Roh Kudus. Setiap bentuk percabulan merusak citra

diri manusia sebagai kenisah Allah. Dari tulisannya yang bersifat paranetis

tersebut, rupanya tampak cita-cita Paulus untuk menghormati serta menjaga

kesetiaan perkawinan. Orang beriman yang telah menyerahkan diri satu sama lain

dalam perkawinan telah melebur menjadi satu sehingga ketidaksetiaan satu

terhadap yang lain berlawanan dengan kehendak Allah. Penegasan tentang

perkawinan yang monogami dan larangan terhadap poligami, menghadirkan bagi

kita sikap Kitab Suci Perjanjian Baru yang membela ketakterceraikan perkawinan

sebagai satu sifat utama perkawinan Katolik.

Ucapan Yesus tentang boleh tidaknya perceraian yang ditemukan dalam

Markus 10: 1-12, ditempatkan Markus dalam rangka pertikaian Yesus dengan

orang Farisi. Pada permulaan pekerjaan-Nya di Yudea, kaum Farisi menanyai Dia

perihal talak, yaitu kemungkinan seorang suami menceraikan istrinya. Mereka

hendak mengetahui bagaimana pendapat Yesus dengan mengutip nas Perjanjian

Lama yaitu Kitab Ulangan 24: 1-4. Dalam kitab ini Musa mengizinkan perceraian

dengan menulis surat talak.

Pertanyaan kaum Farisi dijawab Yesus dengan mengatakan bahwa talak

yang diizinkan Musa merupakan ketegaran hati umat Israel. Kekerasan hati yang

dimaksudkan oleh Markus adalah ketertutupan hati akan Sabda Allah sehingga

tidak mampu memahami kehendak Allah yang sebenarnya. Karena itu Yesus

mengutip Firman Allah dalam Kejadian 1: 27 dan 2: 24. Dengan mengutip nas ini

Yesus hendak menunjukkan aspek kebaruan ajaran-Nya serta membatalkan izinan

Musa dan menegaskan kembali maksud Allah yang sebenarnya, seperti termaktub

dalam Kejadian 1 dan 2, dan yang terpenuhi di dalam diri-Nya, yakni perkawinan

tunggal dan tak terceraikan.78

Sama seperti Markus, Matius pun mengatakan sikap penolakan Yesus atas

perceraian. Sikap Yesus terhadap perceraian ini dapat ditemukan dalam Matius 5:

31-32. Ungkapan tetang perceraian digabungkan dengan ucapan tentang berzinah

serta ditulis dalam rangkaian melawan hukum lama yang dimengerti orang-orang

78 Vollebrecht, op. cit., hlm. 70-71.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

39

Yahudi dengan petunjuk Yesus sendiri. Petunjuk Yesus menonjolkan ajaran-Nya

yang melampaui sekaligus menyempurnakan yang lama (Mat 5: 17-18). Yesus

mendasari ucapan-Nya pada hukum serta adat Yahudi yang mentolerir perceraian

tetapi dengannya orang berzinah (Ul 24:1). Dengan latar belakang ini, Yesus

menegaskan bahwa suami yang menjatuhkan talak untuk istrinya dan menikahi

istri yang ditalaki oleh suaminya yang lama, dia berbuat zinah. Dengan demikian

kitab Ulangan 24: 1 dibatalkan.

Bagi Yesus perceraian sama sekali tidak diperbolehkan. Penekanan pada

aspek baru ajaran Yesus maupun pembatalan hukum lama tentang perceraian

ditemukan juga dalam Matius 19: 1-12. Sebagaimana tulisan Markus, izinan

perceraian yang diberikan Musa merupakan suatu tindakan yang dibuat secara

terpaksa karena ketegaran hati orang-orang Israel. Namun sebenarnya setiap

perceraian sebenarnya berlawanan dengan kehendak Allah, sebab Allah sendirilah

yang menghendaki persatuan mereka (Kej 1:27; 2: 24).79

Pendirian Lukas tentang larangan mengenai perceraian misalnya dapat

ditemukan dalam Lukas 16: 18. Dalam teks ini, terlihat adanya kesamaan antara

Lukas dengan penginjil terdahulu perihal pendirian Yesus terhadap hukum taurat.

Bila suami menceraikan istrinya dan menikah lagi dengan perempuan lain, ia

berbuat zinah. Talak tidak memutuskan perceraian. Perceraian yang disusul

dengan perkawinan baru tidak mungkin terjadi dalam pandangan Yesus.80

Paulus juga menulis bahwa perkawinan Kristen tidak boleh diceraikan.

Seandainya mereka terpaksa berpisah oleh sebab halangan-halangan serius,

mereka tidak bebas untuk menikah lagi (1 Kor 7: 10-11). Bagi Paulus perceraian

untuk orang kristen secara mutlak dilarang. Hanya kematian yang dapat

memisahkan mereka. 81 Lebih dari itu, Paulus melihat perkawinan sebagai

hubungan agung yang disejajarkan dengan hubungan antara Kristus dengan

Gereja-Nya. Oleh karena itu, kasih antara Kristus terhadap Gereja menjadi model

persatuan suami-istri.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan kini bahawa Perjanjian

Baru secara tegas menolak perceraian. Semua penulis injil dalam nas-nas tentang

79 Ibid., hlm. 72-73. 80 Groenen, op. cit., hlm. 116. 81 Lembaga Biblika Indonesia, Surat-Surat Paulus II (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 43.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

40

perkawinan menegaskan bahwa Kristus sebagai pemenuhan segala hukum

termasuk hukum taurat, menampilkan aspek baru dalam segala ajaran-Nya serta

menyempurnakan Perjanjian Lama termasuk pandangan tentang perkawinan.

Martabat perkawinan Kristen yang disejajarkan dengan hubungan antara Kristus

dan Gereja dan diangkatnya perkawinan pada tingkatnya sebagai sakramen

memperkuat sifat tak terceraikannya perkawinan Kristen itu.

2.5.3 Pandangan Kitab Hukum Kanonik Tentang Monogami dan Tak

Terceraikan

Kitab Hukum Kanonik menegaskan monogami sebagai sifat hakiki

perkawinan yang melahirkan eksklusivitas perkawinan sebagai kebersamaan

senasib seluruh hidup. Kanon 1056 menyatakan sifat-sifat hakiki perkawinan

sebagai kesatuan serta ikatan yang tak terputuskan antara suami-istri. Perkawinan

yang diangkat menjadi sakramen harus memiliki sifat-sifat hakiki ini. Kedua sifat

hakiki ini menjadikan perkawinan bersifat eksklusif. Ini berarti di dalam

perkawinan terjadi penyerahan diri timbal balik antara keduanya (Kan. 1067, ay.

2).82

Hak atas perkawinan termasuk hubungan eksklusif tidak dapat diberikan

kepada orang ketiga. Hubungan intim dengan pihak ketiga sangat ditentang oleh

sifat eksklusif perkawinan. Gagasan-gagasan tersebut dapat dimengerti bila

dikaitkan dengan paham perkawinan sebagai kebersamaan, senasib seumur hidup

yang tidak hanya bersifat kuantitatif sebagai kebersamaan antara dua orang tetapi

lebih dari itu bersifat kualitatif; menyangkut manusia seutuhnya dengan segala

aspek kepribadian yang dimiliki.

Kanon 1056 juga menyatakan bahwa tak terceraikannya perkawinan

merupakan salah satu sifat hakiki perkawinan. Kanon tersebut berbunyi: “sifat-

sifat hakiki perkawinan ialah monogami dan tak terceraikan, yang dalam

perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen”.83 Pernyataan

ini dipertegas dalam kanon 1134 yang menyatakan bahwa berdasarkan

perkawinan yang sah antara suami-istri timbullah ikatan yang bersifat tetap serta

82 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 83 Ibid.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

41

eksklusif. Hubungan yang tetap dan eksklusif tersebut diperkuat oleh status

perkawinan sebagai sakramen.84

Pernyataan kedua kanon tersebut menunjukkan bahwa hukum Gereja

menjunjung tinggi kesetiaan perkawinan sepanjang hidup tanpa mengindahkan

perceraian. Kendati demikian dan walaupun dalam kanon yang sama dinyatakan

bahwa paham tak terceraikannya perkawinan sakramental tidak membuat

perceraian sebagai sesuatu yang tak mungkin, perkawinan yang ratum et non

consummatum masih dapat diceraikan. Maksud perkawinan ratum et

consummatum adalah perkawinan yang dilakukan secara sah antara pasangan

hidup yang dipermandikan dan disempurnakan lewat persetubuhan.85 Oleh karena

itu kesempurnaan ini dengan sendirinya tidak dapat membuat pasangan suami-

istri untuk mengambil keputusan untuk berpisah satu dengan yang lain.

Perkawinan Kristiani sudah menegaskan dengan sangat jelas bahwa dalam

perkawinan Kristiani sesungguhnya tidak adanya istilah perceraian. Penolakan ini

didasarkan pada alasan bahwa perceraian merupakan tindakan yang hanya

menodai kesakralan makna perkawinan yang sesungguhnya berlandas pada

ketentuan Allah. Oleh karena itu Gereja menolak dengan keras dan tegas adanya

perceraian antara suami dan istri yang telah dipersatukan oleh Allah sendiri.

2.5.4 Ajaran Sosial Gereja Tentang Monogami dan Tak Terceraikan

Kesatuan atau monogami dalam perkawinan menunjukkan suatu kebaruan

dalam hidup suami-istri karena hanya melalui perkawinan mereka telah menjadi

satu manusia baru. Suami hidup dalam istrinya dan istri hidup dalam suaminya.

Kesatuan ini bukan hanya kesatuan badan melainkan kesatuan seluruh jiwa dan

raga. Kesatuan ini merupakan kesatuan yang eksklusif. Disebut eksklusif karena

kesatuan itu menunjukan kesatuan cinta suami dan istri yang tak terbagikan

kepada orang lain.86

Gereja mengajarkan monogami sebagai satu-satunya bentuk perkawinan

yang halal bagi orang Katolik. Gereja mengakui serta mengajarkan bahwa

persatuan hidup suami-istri diciptakan Allah sendiri atas persetujuan bebas

84 Ibid., hlm. 465. 85 Ibid., hlm. 467. 86 Catur A. Raharso, Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma, 2006),

hlm. 86.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

42

keduanya. 87 Cinta kasih suami-istri dilengkapi serta diberkati Kristus dalam

pemberian diri-Nya yang total terhadap Gereja.

Paus Yohanes Paulus II dalam amanat Apostolik “Familiaris Consortio”

No. 19 menulis bahwa setiap pasangan suami-istri berkat bantuan Roh Kudus

akan senantiasa sanggup menunjukan kesetiaan satu terhadap yang lain. Dengan

kesaksian hidup mereka, mereka menyatakan kepada Gereja dan dunia tentang

persatuan cinta kasih yang baru, yang telah diberikan oleh rahmat Kristus.88

Penyerahan diri dalam cinta kasih yang total dan eksklusif ini dengan

sendirinya tidak membenarkan praktek poligami. Pasalnya, poligami secara

langsung menyangkal rencana Allah yang sejak awal mula menghendaki

persatuan utuh antara pria dan wanita dalam perkawinan. Setiap wanita dan pria

sejak mengucapkan janji perkawinan, mereka bukan lagi dua melainkan satu.

Paus Paulus VI dalam ensiklik Humanae Vitae juga menyatakan bahwa

cinta kasih suami-istri berciri setia dan eksklusif sampai akhir hidup. Ciri ini

hendaknya disadari oleh para mempelai pada saat mereka dengan bebas dan tulus

mengikatkan diri satu sama lain dalam perjanjian nikah.89

Selain bersifat monogami, Gereja juga mengajarkan bahwa perkawinan

Katolik bersifat tak terceraikan. Hal tak terceraikan ini menekankan pentingnya

nilai kesetiaan dalam kehidupan perkawinan. Dasar perkawinan Katolik adalah

cinta kasih yang total antara suami-istri yang bersumber pada cinta Tuhan sendiri.

Dari dasar ini lahirlah sifat hakiki perkawinan yaitu setia seumur hidup. Kesetiaan

seumur hidup menunjukkan bahwa perkawinan pada dasarnya bersifat tak

terceraikan. Oleh karena sifat tak terceraikan ini, semua orang Kristen yang

mewujudkan perkawinan diarahkan untuk sampai pada cita-cita ini.

Melalui Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Gereja menyatakan bahwa

persatuan suami-istri bukan hanya kesetiaan yang menuntut monogami melainkan

juga kesetiaan yang menyangkut seluruh hidup tanpa adanya perceraian. Sebagai

pemberian diri timbal balik yang total dan eksklusif, setiap pasangan suami-istri

87 Karl Rahner, Teological Investigasion, Vol. X, No. 1 (Turku: Argicola-Gesellschaft, 1955), hlm.

6. 88 Paus Yohanes Paulus II, Amanat Apostolk Familiaris Consortio 19, dalam A. Widyamartaya

(penerj), Keluarga Kristen Dalam Dunia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 43. 89 Paus Paulus VI, Ensiklik Humanae Vitae, No. 9 (edisi Indonesia-Inggris) (Yogyakarta: Kanisius,

1968), hlm. 13.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

43

wajib menjaga kesetiaan utuh serta menuntut kesatuan yang tidak terpisah.90 Hal

yang mendasari perjuangan bagi kesetiaan satu terhadap yang lain dalam seluruh

hidup adalah kesetiaan dan kasih Allah kepada manusia di dalam Kristus. Lewat

pemberian diri yang menyeluruh antara keduanya, sifat tak terceraikannya

perkawinan menemukan kebenaran tertinggi dalam rencana yang dinyatakan

Allah melalui pewahyuan diri-Nya. Lebih dari itu, melalui perkawinan, suami-istri

mengambil bagian dalam cinta Kristus yang tidak terhapuskan. Sebagaimana

Kristus menunjukkan kesetiaan kepada umat-Nya, demikian pula suami–istri

dipanggil untuk mengambil bagian dalam sifat tak terceraikannya ikatan Kristus

dengan Gereja.

2.6 Kesimpulan

Seperti telah dipaparkan di atas, perkawinan Kristiani bersifat monogami

dan tak terceraikan. Dengan kedua sifat ini, Gereja berkewajiban untuk

mengajarkan kepada anggota-anggotanya betapa luhurnya perkawinan dan betapa

indahnya hidup dalam kesetiaan sampai akhir hayat. Perkawinan yang dijaga

keutuhannya ini merupakan simbol kehadiran cinta Kristus terhadap Gereja-Nya.

Memang sering muncul kesan bahwa Gereja mengatur perkawinan

anggota-anggotanya. Namun mengajarkan tentang menjaga keutuhan perkawinan

bukan berarti Gereja mengatur dan mengendalikan perkawinan.91 Gereja hanya

menghendaki anggota-anggotanya menghayati luhurnya martabat hidup

perkawinan. Pada titik ini kebebasan pasangan tidak ditolak. Suami-istri bisa saja

secara bebas mengakhiri perziarahan sebagai suami-istri.

Namun Gereja pada dasarnya tidak menyetujui berakhirnya perziarahan

kehidupan perkawinan anggota-anggotanya. Melalui amanat Kristus seperti

tersebut dalam kitab-kitab suci, Gereja menekankan pentingnya perkawinan

dengan sifatnya yang tak terceraikan dan monogami tersebut dan menolak

berbagai perceraian dengan berbagai alasan yang mendasarinya.

Berdasarkan dua sifat ini maka Gereja menolak pereraian dan hanya

menerima anulasi. Tentang anulasi dalam hubungannya dengan perceraian ini

90 Kosili Vatikan II, Gaudium et Spes 49, op. cit., hlm. 530-531. 91 James Burtchaell, Dalam Untung dan Malang; Ikatan Janji Perjanjian, terj. H. J. Suhardiyanto

(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 23.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

44

akan dibahas pada bab selanjutnya. Pada bab selanjutnya itu, penulis akan

mengkaji problematika perceraian dan juga anulasi sebagai pembatalan

perkawinan serta membuat argumentasi tentang alasaan penolakan Gereja

terhadap perceraian dan hanya menerima anulasi dalam kehidupan perkawinan

Kristiani.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

45

BAB III

PROBLEMATIKA PERCERAIAN DAN ANULASI PERKAWINAN

DALAM PERSPEKTIF MORAL KRISTIANI

Pada bab ini, penulis akan mengkaji tentang problematika perceraian dan

anulasi serta argumentasi penulis tentang penolakan Gereja Katolik terhadap

perceraian dan menerima anulasi dalam hukum perkawinan Kristiani.

3.1 Pengertian Perceraian

Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan perceraian

sebagai perpisahan, perihal bercerai atau perbuatan menceraikan. 92 Perceraian

dilihat sebagai suatu problem dalam rumah tangga yang membuat suami dan istri

harus memutuskan hubungan mereka sebagai sumi-istri dan memilih untuk

berpisah. Perceraian terjadi karena salah satu pasangan baik suami maupun istri

atau kedua-duanya memutuskan hubungan perkawinan mereka.

Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir-batin

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan

tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang

Maha Esa. 93 Jadi perceraian menunjukkan putusnya ikatan lahir batin antara

suami dan istri yang pada akhirnya mengakibatkan berakhirnya hubungan

keluarga antara suami dan istri tersebut. Dengan demikian mereka tidak lagi

terikat satu terhadap yang lain.

3.1.1 Pengertian Perceraian Menurut Hukum dan Undang-Undang

Secara yuridis, pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, melukiskan bahwa

“perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan

92 Pusat Bahasa Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua (Jakarta:

Penerbit Balai Pustaka, 1991), hlm. 185. 93 Ibid., hlm. 18.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

46

pengadilan.” 94 Undang-undang ini merupakan aturan hukum positif yang

mengatur perceraian. Melalui undang-undang ini ditunjukkan bahwa terdapat

legitimasi hukum yang mengatur sengketa perceraian antara suami atau istri. Oleh

karena itu keputusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan berakibat pada

putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.95

Selanjutnya dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 termuat ketentuan

imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan, setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.96 Di

hadapan pengadilan, perceraian sebagai hal yang bersifat pribadi ini memerlukan

campur tangan pemerintah sebagai pihak ketiga. Hal ini bertujuan agar perceraian

tidak diputuskan secara sewenang-wenang tetapi harus melalui prosedural hukum

yang jelas. Oleh karena itu, perceraian harus diputuskan melalui saluran lembaga

peradilan.97

Lebih dari itu, perceraian sebagai putusnya perkawinan dan putusnya

ikatan lahir batin ini memuat alasan-alasan hukum seperti termuat dalam pasal 39

ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam pasal 19 PP No. 9

Tahun 1975 yakni:

1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah

atau karena hal lain di luar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;

6. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.98

Berdasarkan alasan-alasan ini maka pihak hukum akan mengambil

tindakan tegas dan pasti bahwa perkawinan yang sudah sah ini dapat diputuskan.

94 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian (Jakarta

Timur: Sinar Grafika, 2019), hlm. 15. 95 Ibid., hlm. 16. 96 Ibid., hlm. 19. 97 Wahyu Ernaningsih dan Putu Sumawati, Hukum Perkawinan Indonesia (Palembang: PT.

Rambang Palembang, 2006), hlm. 110-111. 98 Muhammad Syaifuddin, op. cit., hlm. 183.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

47

Hal ini berarti bahwa perkawinan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan

perceraian secara hukum pun terjadi sesuai dengan kehendak dari salah satu pihak

dalam keluarga yang mengajukan permohonan perceraian tersebut baik suami

maupun istri.

3.1.2 Pengertian Perceraian Menurut Doktrin Hukum Perkawinan

Perceraian menurut Subekti adalah “penghapusan perkawinan dengan

putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan”. 99 Jadi

pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan, baik

dengan putusan hakim atau tuntutan suami maupun istri. Dengan adanya

perceraian, maka perkawinan antara suami dan istri dengan sendirinya dihapus.

Namun Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai

penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau yang biasa disebut dengan

istilah “cerai mati”. Jadi pengertian perceraian menurut Subekti lebih sempit dari

pada pengertian perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana

telah diulas di atas.

Dalam hukum adat, perceraian merupakan peristiwa luar biasa, suatu

problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah. Karena itu

perceraian menurut hukum adat ialah perbuatan yang meskipun dibolehkan karena

faktor tertentu tetapi perlu dihindarkan, karena tiap-tiap keluarga, kerabat dan

persekutuan hukum adat menghendaki pranata dan lembaga perkawinan yang

sudah dilaksanakan dalam bentuk keluarga itu dipertahankan selama hidup.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan masyarakat, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan

pria tetapi juga orang tua kedua belah pihak, bahkan keluarga besar mereka

masing-masing. Hubungan suami dan istri setelah dilangsungkannya perkawinan

bukanlah suatu hubungan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi

merupakan paguyuban. 100 Oleh karena itu keputusan untuk menceraiakan istri

atau suami perlu dipertimbangkan secara baik dan matang sehingga tidak menjadi

suatu keputusan yang akhirnya juga merugikan banyak pihak termasuk diri sendiri

dan keluarga besar dalam paguyuban tersebut.

99 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: PT. Internusa, 1985), hlm. 42. 100 Muhammad Syaifuddin, op. cit., hlm. 25.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

48

Berhadapan dengan makna perkawinan menurut hukum adat tersebut,

dapat dipahami bahwa perceraian meskipun diperbolehkan, ia juga perlu dihindari

karena perceraian dapat memutus hubungan perkawinan yang seharusnya

dipertahankan oleh suami dan istri. Putusnya hubungan perkawinan karena

perceraian dalam hukum adat tidak hanya dipahami sebagai bentuk pemutusan

hubungan lahir batin antara suami dan istri, tetapi juga pemutusan hubungan lahir

dan batin dengan paguyuban dalam keluarga dan masyarakat yang di dalamnya

suami dan istri itu menjadi anggota keluarga dan warga masyarakatnya.101

3.1.3 Pengertian Perceraian Menurut Agama Islam

Putusnya perkawinan adalah berakhirnya hubungan dan ikatan antara

suami dan istri. Putusnya perkawinan dalam Islam secara umum disebabkan oleh

empat hal, yaitu:

1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah SWT melalui takdirnya, di

mana salah satu pasangan meninggal dunia.

2. Putusnya perkawinan karena kehendak suami dan adanya alasan-

alasan tertentu. Hal ini biasa disebut dengan talak.

3. Putusnya perkawinan karena kemauan dari seorang istri. Hal ini bisa

disebabkan oleh intervensi keluarga, keberatan sang istri dalam

menjalankan rumah tangga bersama suami atau alasan-alasan yang

dibenarkan oleh syarak. Cara ini biasa disebut dengan khulu.

4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim. Sebagai pihak ketiga

yang melihat permasalahan antara istri dan suami yang membuat

suatu perkawinan tidak dapat dilanjutkan. Hal ini biasa disebut

dengan fasakh.102

Berdasarkan pemahaman di atas, pada prinsipnya, perkawinan Islam

dibangun demi kebahagiaan pasangan suami dan istri. Apabila salah satu pihak

tidak dapat melaksanakan kewajibannya masing-masing dengan baik dan salah

satu pihak tidak dapat menerimanya, maka perceraian diperbolehkan.

Pada dasarnya hukum perkawinan Islam tidak melarang penganutnya

untuk melakukan perceraian jika terjadi problem seperti sudah dipaparkan di atas.

Hal ini mempertegas perbedaan dalam hukum perkawinan Islam dan Katolik.

Hukum perkawinan Islam mengizinkan perceraian sedangkan hukum perkawinan

Katolik tidak mengizinkan terjadinya perceraian.

101 Ibid., hlm. 26. 102 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2006), hlm. 197.

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

49

3.2 Macam-Macam Perceraian

Ada beberapa macam perceraian yaitu perceraian tak sakramental,

perceraian talak dan perceraian khulu’. Macam-macam perceraian ini yang sering

terjadi dalam perkawinan hidup pasangan suami-istri. Perceraian talak dan khulu’

merupakan perceraian Islam yang mengizinkan penganutnya untuk melakukan

perceraian dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh hukum agama

Islam.

3.2.1 Perceraian Tak Sakramental

Perceraian perkawinan tak sakramental ialah perceraian yang terjadi pada

pasangan yang belum menerima atau tidak menerima sakramen perkawinan.

Perceraian ini tidak berhubungan dengan aspek sakramental perkawinan.

Perceraian perkawinan ini, dapat ditemukan dalam perceraian suami-istri yang

terjadi dalam penganut agama lain.

Namun dalam tulisan ini, term perceraian tak sakramental ini lebih

ditujukan kepada pasangan suami-istri Katolik yang belum menerima sakramen

perkawinan kemudian memutuskan untuk bercerai. Gereja tidak bersikap terbuka

kepada mereka yang kawin dan membentuk kehidupan keluarga di luar

perkawinan yang sah. Dalam persoalan seperti ini, Gereja selalu mengandaikan

adanya dosa berat sehingga tradisi moral Gereja yakin bahwa hanya dalam

perkawinan yang sah, pertumbuhan dapat dipertanggungjawabkan.103 Perceraian

tak sakramental dengan demikian pada prinsipnya tidak dibenarkan sehingga

ditolak oleh Gereja. Pasalnya setiap perkawinan yang serius bukan untuk

sementara waktu, melainkan bersifat tetap dan tak terceraikan.104

3.2.2 Perceraian Talak

Talak berasal dari kata bahasa Arab “ithlaq” yang berarti melepaskan atau

meninggalkan. Dalam istilah Fikih, talak berarti pelepasan ikatan perkawinan atau

perceraian antara suami dan istri.105 Hal menjatuhkan talak dalam Islam berada di

tangan suami dengan pertimbangan bahwa pada umumnya suami lebih

103 Josef Konigsmann, Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik (Ende: Nusah Indah, 1987),

hlm. 113. 104 C. Maas, op. cit., hlm. 113. 105 Baqir Al Habsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 181.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

50

mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu dari pada istri yang

biasanya bertindak atas dasar emosi.106 Namun dalam menjatuhkan talak suami

tidak bersikap sewenang-wenang. Hal ini karena suami telah berjanji untuk hidup

bersama dengan istrinya sehingga tidak secara tiba-tiba meninggalkan dan

menceraikan istrinya tanpa alasan yang jelas. Alasan suami menjatuhkan talak

terdiri atas:

1. Akat nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari

pihak istri waktu dilaksanakan akad nikah.

2. Suami wajib membayar mahar kepada istrinya waktu akad nikah dan

dianjurkan membayar uang mut’ah (pemberian sukarela dari suami

kepada istri) setelah mentalak istrinya.

3. Suami wajib memberi nafkah istrinya pada masa perkawinannya dan

pada masa iddah apabila ia mentalaknya.

4. Perintah-perintah mentalak dalam Alquran dan Hadis banyak

ditujukan pada suami.107

Dalam talak, secara esensial, hak suami untuk menceraikan istrinya harus

memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan

oleh hukum Islam yang berakibat pada putusnya perkawinan antara suami dan

istri.

3.2.3 Perceraian Khulu’

Khulu’ terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang secara etimologis berarti

menanggalkan atau membuka pakaian. Kata khulu’ dihubungkan dengan

perkawinan, karena dalam Alquran Surah Al-Baqarah [2] ayat 187, disebutkan

suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri merupakan pakaian bagi

suaminya.108 Berkaitan dengan perceraian, khulu’ merujuk pada sikap istri (yang

diidentikan dengan pakaian itu sendiri) yang berusaha melepaskan pakaian dari

suaminya.

Perceraian khulu’ terjadi karena dikehendaki oleh istri. Istri dapat

memutuskan perkawinan dengan suaminya jika ia merasa tidak bisa menjalankan

hukum-hukum Allah, seperti tertera dalam QS. Al-Baqarah [2]: 229, yang artinya:

“jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan

hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang

106 Muhammad Syaifuddin, op. cit., hlm.188. 107 Ibid. 108 Ibid., hlm. 130.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

51

diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.109 Dengan demikian sang istri dapat

membebaskan perjanjian perkawinan dengan membayar kembali jumlah tebusan

yang pernah diterimanya dalam perkawinan sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa perceraian khulu’

adalah solusi yang diberikan oleh hukum Islam kepada istri yang hendak bercerai

dari suaminya. Hal ini bertujuan agar istri dapat menghindar dari kekerasan yang

terjadi dalam kehidupan rumah tangga.

3.3 Sebab-Sebab Perceraian

Lebih kurang terdapat dua sebab perceraian yakni sebab internal dan sebab

eksternal. Sebab-sebab ini dapat membawa dampak yang tidak baik dalam

kehidupam perkawinan dan merupakan racun penghancur yang dapat menghantar

suami dan istri memutuskan untuk tidak hidup bersama lagi sebagai satu keluarga

3.3.1 Sebab Internal

Sebab internal merupakan penyebab yang muncul dari dalam rumah

tangga. Penyebab yang muncul ini sangat mempengaruhi keutuhan perkawinan

dan menjadi alasan utama berakhirnya hubungan mereka.

3.3.1.1 Minimnya Komunikasi Antara Suami dan Istri

Sebagai makluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan orang lain.

Dalam kebersamaan ini, kemampuan untuk berkomunikasi secara baik menjadi

sangat penting. Kemampuan untuk berkomunikasi secara baik ini, karena itu,

membutuhkan bahasa yang baik dan benar sebagai medium untuk berkomunikasi

agar relasi yang hendak dibangun pun dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu

komunikasi tidak dapat dilepaspisahkan dari bahasa. Pasalnya, melalui bahasa,

manusia dapat saling mengenal dan dapat mengungkapkan apa yang dirasakan

pada sesamanya.110

Dalam konteks kehidupan keluarga pun komunikasi menjadi sangat

penting. Kehidupan keluarga akan berjalan dengan harmonis bila terdapat

komunikasi yang baik dan benar di antara para anggotanya. Sebaliknya bila

109 Ibid., hlm. 132. 110 Wahyu Nugroho, Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga, http/amp/s/communicateur.

Wordpress.com, di akses pada tanggal 13 Februari 2020.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

52

komunikasi tidak berjalan dengan baik maka para anggota yang terdapat di

dalamnya tidak saling memahami. Ketidaksalingpemahaman ini justru dapat

menyebabkan perpecahan. Oleh karena itu dalam komunitas kecil seperti keluarga

ini sikap komunikatif perlu dibangun. Sikap komunikatif berkaitan dengan

keterbukaan dari setiap orang untuk mampu menerima kelebihan dan kekurangan

masing-masing serentak mau membuka diri demi mengatasi berbagai persoalan

yang silih berganti berdatangan.

Dalam keluarga kerapkali komunikasi tidak berjalan dengan baik karena

kebutuhan dan keinginan setiap orang tidak diperhatikan, tidak didengarkan,

berikutnya masing-masing orang tertutup dan tidak membuka diri dalam

membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan keluarga. Bila hal

ini tidak diperhatikan maka tidak salah jika suami atau istri atau anak-anak mulai

mencari kenyamanan di luar rumah. Pada puncaknya bila kenyamanan di luar

rumah terjamin, berbagai bentuk kekerasan dalam rumah dapat dilegalkan. Suami

misalnya akan mencari alasan bahwa kehidupan dalam rumah tangga tidak lagi

berjalan dengan baik. Dengan alasan ini ia dapat membenarkan diri dan mencari

cara untuk tidak lagi hidup bersama istrinya karena telah menemukan suatu

kenyamanan yang lebih baik di luar lingkup keluarganya.111

Komunikasi yang tidak mampu dibangun dengan baik tentu dapat

melenyapkan setiap upaya untuk mempertahankan keutuhan sakramen

perkawinan yang telah dikukuhkan di hadapan Allah dan Gereja. Oleh karena itu,

komunikasi yang baik dalam kehidupan keluarga menjadi sangat penting karena

komunikasi yang baik dan benar akan menghadirkan suasana yang hangat dalam

keluarga. Melalui komunikasi yang baik suami-istri akan saling terbuka dan siap

menerima setiap kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dan berbagai beban

hidup keluarga yang dialami dapat diatasi secara bersama agar keutuhan rumah

tangga yang telah dibangun dapat tetap dipertahankan.

3.3.1.2 Keadaan Ekonomi

Tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan dasar

manusia yang sangat penting. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak manusia

111 Alex Sila, “Dialog Sebagai Perbuatan Orang Beriman”, Jurnal Ledalero, Volume 8, No. 2

(Ledalero: Desember 2009), hlm. 160.

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

53

sibuk berpikir dan berjuang demi memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya. Ada

berbagai profesi yang membuat setiap orang berjuang demi memenuhi kebutuhan

hidup. Profesi-profesi itu seperti ada yang sibuk di laut sebagai nelayan, di kebun

sebagai petani, dan sebagian lagi sibuk di kantor sebagai pegawai dan masih

banyak lagi profesi-profesi lainnya dengan kesibukannya masing-masing. Salah

satu tujuan penting yang hendak dicapai dari pekerjaan yang ada ialah memenuhi

kebutuhan pokok keluarga dalam bidang pangan, sandang, papan, kesehatan,

pendidikan serta fasilitas-fasilitas lain yang perlu untuk hidup dan berkembang.112

Perekonomian merupakan aspek penting di dalam keluarga. Sebagai

sesuatu yang penting dalam kehidupan keluarga, perekonomian keluarga harus

diperhatikan sebaik mungkin. Ada keluarga yang perekonomiannya sungguh

sangat memperihatinkan sehingga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok

keluarga sangat sulit. Persoalan ekonomi juga bukan hanya terjadi pada mereka

yang perekonomiannya lemah, tetapi terjadi juga pada mereka yang sudah mapan.

Hal ini terjadi karena faktor ketidaktahuan dalam mengatur keuangan dalam

keluarga.

Meskipun kebahagiaan hidup keluarga tidak selalu bergantung pada

tingkat perekonomian, bagaimanapun juga perekonomian keluarga tetaplah

menjadi salah satu aspek yang sangat penting. Jika perekonomian keluarga morat-

marit, maka kebahagiaan keluarga pun akan terancam. Aspek cinta yang pada

mulanya hangat dan mesra, dengan demikian, akan segera merana dan diganti

dengan perselisihan bila tidak ada uang yang cukup untuk membeli makanan,

pakaian, perabotan rumah dan pembiayaan pendidikan anak.113

Persoalan yang sering terjadi dalam keluarga berkaitan dengan urusan

ekonomi adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara pemasukan dan

pengeluaran. Hal ini tentu menjadi persoalan pada hampir setiap keluarga. Ketika

penghasilan kecil tidak sebanding dengan kebutuhan yang begitu banyak maka

keluarga tidak dapat bertahan dalam berbagai situasi. Selain membahayakan

keutuhan perkawinan, penghasilan yang tidak memadai membuat keluarga tidak

mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lebih dari itu bila penghasilan

112 Albertus Sujoko, Moral Keluarga (Pineleng: STF-SP, 2002), hlm. 88. 113 Paul Klein, op. cit., hlm. 82.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

54

mencukupi tidak didukung oleh pengatur ekonomi yang mumpuni, hal ini dapat

meruntuhkan ekonomi keluarga dan hubungan perkawinan itu sendiri.114

Persoalan ini walaupun sukar, perlu diatasi secepat mungkin agar tidak

menghancurkan kehidupan keluarga. Hal terpenting dan harus dilakukan adalah

keterbukaan antara suami dan istri dalam mengatur tatanan ekonomi keluarga

mereka. Mereka harus merancang secara bersama-sama pengeluaran untuk

kebutuhan hidup setiap hari sesuai penghasilan yang diperoleh. Oleh karena itu,

sangat perlu untuk mengatur dengan baik kebutuhan keluarga yang mesti

disesuaikan dengan pendapatan dalam keluarga agar tidak menjadi beban,

menimbulkan konflik, hingga menelurkan perceraian.

3.3.1.3 Perselingkuhan

Selingkuh merupakan persoalan yang kerapkali terjadi dalam perkawinan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, selingkuh, secara etimologis diartikan

sebagai perbuatan dan perilaku suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan

sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur dan curang.115 Terjadinya perselingkuhan

membuat hubungan antara suami dan istri menjadi rapuh. Ada berbagai macam

persoalan yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan itu, seperti tidak memiliki

keturunan, ketidakharmonisan dalam keluarga dan lain-lain. 116 Persoalan-

persoalan tersebut inilah yang juga menganggu kehidupan perkawinan setiap

pasangan Kristiani.

Perkawinan Kristiani pada dasarnya tidak menginginkan terjadinya

perselingkuhan dalam kehidupan perkawinan Kristiani bersifat monogami dan tak

terceraikan. Dengan kedua sifat ini, perkawinan menuntut suatu kesetiaan yang

utuh dan penyerahan diri yang total atas dasar cinta kasih yang hanya dicurahkan

kepada partnernya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yang berhak atas

tubuh suami hanyalah istrinya dan yang berhak atas tubuh istri hanyalah

suaminya.

Kesetiaan total ini baru menemukan arti yang sesungguhnya jika suami

hanya menyerakan diri kepada istri dan istri hanya menyerakan diri kepada

114 T. Gilarso, op. cit., hlm 137 115 Pusat Bahasa Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 900. 116 Anthony Christie, Langkah Tepat Ketika Menghadapi Kasus Perkawinan, terj. Rachel S.

Wahjudi (Yogyakarta: Charissa Publisher, 2013), hlm. 26.

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

55

suaminya. Di luar itu, kesetiaan suami-istri hanyalah kebohongan belaka. Namun

yang menjadi persoalan yang mesti dijawab adalah sampai kapankah kesetiaan

total ini dapat bertahan? Lebih dari itu apakah kesetiaan total ini tetap teguh dan

tak berubah sepanjang waktu?

Pada zaman yang serba canggih dan penuh dengan perubahan ini, ada

sebuah ungkapan yang berbunyi “tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”.

Selain itu ada juga ungkapan “tua di rumah, muda di jalan”. Ungkapan-ungkapan

ini sekadar mengambarkan keadaan beberapa suami-istri di masa kini. Ada trend

untuk mengulangi masa muda dan bertindak seolah-olah mereka belum hidup

berkeluarga.

Ada yang jatuh dalam sikap seperti ini lantaran situasi rumah yang tidak

aman dan kondusif. Mereka tidak mengalami kebahagiaan. Suasana rumah yang

ramah dan penuh kemesraan sama sekali jauh dari realitas hidup berkeluarga.

Kepuasan hubungan seksual pun tidak pernah dialami. Pada akhirnya yang bisa

dibuat hanyalah berlari dan menghindari diri dari kenyataan hidup yang tidak

menyenangkan ini.

Berhadapan dengan kenyataan perubahan ini, tidak dapat disangkal pula

bahwa ada orang yang kawin lagi dengan laki-laki atau perempuan lain, hanya

untuk melampiaskan hawa nafsu yang tak terkendalikan. Perbuatan ini tentu

memicu terjadinya kehancuran dalam rumah tangga. Seandainya perselingkuhan

yang dilakukan oleh suami maupun istri diketahui oleh pasangannya, maka

stabilitas rumah tangga pasti akan tergoncang. Cinta dan kesetiaan yang total

kepada partnernya pada akhirnya dapat runtuh.

Secara terminologis, perselingkuhan menurut Blow dan Hartnett adalah

kegiatan seksual atau emosional yang dilakukan oleh salah satu atau kedua

individu untuk hidup bersama tetapi dianggap melanggar kepercayaan atau

norma-norma yang berhubungan dengan eksklusivitas emosional atau seksual.117

Dalam pelanggaran terhadap norma-norma yang berhubungan dengan ekslusivitas

emosional dan seksual ini, biasanya keretakan keluarga akan semakin mudah

terjadi. Aspek kepercayaan antara kedua partner itu pun hilang. Kalau keadaan

117 Blow dan Hartnett, “Perselingkuhan sebagai Kenikmatan Menyesatkan”, dalam Anwar Bastian,

Jurnal Psikologi Perkembangan, Volume 8, No. 2 (Universitas Indonesia: Juni 2012), hlm. 19.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

56

semakin parah, maka tidak mustahil bila ikatan perkawinan terpaksa berakhir

dengan perceraian.

Hal lain juga yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan ialah karena

kebutuhan ekonomi rumah tangga yang tidak berkecukupan. Di tengah ekonomi

keluarga yang tidak berkecukupan ini, perselingkuhan akan mudah terjadi.

Perselingkuhan pada titik ini dilihat sebagai alasan bagi seseorang untuk

berselingkuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri meskipun membawa

dampak yang buruk bagi kehidupan perkawinannya. 118 Orang mengganggap

bahwa dengan melakukan perselingkuhan mereka akan menyelesaikan kebutuhan

ekonomi dalam keluarga. Namun nyatanya solusi ini hanyalah solusi yang semu

dan tidak tepat, sehingga dapat menimbulkan masalah baru yang berakibat pada

perpecahan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.119

3.3.1.4 Tidak Memperoleh Anak

Perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk memenuhi

tuntutan mempunyai anak.120 Setiap orang yang sudah berkeluarga mempunyai

kerinduan yang besar untuk memperoleh anak. Dalam lingkungan budaya

tertentu, kehadiran seorang anak terlebih anak laki-laki dipandang sebagai simbol

kehidupan yang berguna bagi masa depan keturunan tersebut. Hal ini menegaskan

pentingnya memiliki anak yang akan menjadi penerus dan pemegang harta

warisan orang tua.

Dalam konteks ini, kehadiran anak dilihat sebagai suatu simbol yang hidup

dan efektif dari persatuan masa lampau (para leluhur) dengan kesuburan dan

keharmonisan alam semesta serta dengan yang ilahi “Bapa” segala kesuburan.121

Oleh karena itu, bisa dibayangkan saja betapa kecewanya orang tua dan juga

keluarga besar dari kedua pihak terlebih keluarga laki-laki kalau tidak dikaruniai

anak.

Di samping itu, masih ada pihak yang terpengaruh dengan konsep

tradisional yang melihat anak sebagai sumber rezeki; semakin banyak anak, maka

118 http://Www.Batamnews.Co.Id/Berita-34192-Ini-Bedanya-Selingkuh-Pria-Dan-Wanita-Jangan

Salah-Paham.Html, diakses pada 13 Februari 2020. 119 Mohammad Surya, Bina Keluarga (Bandung: Graha Ilmu, 2019), hlm. 412. 120 T. Gilarso, op. cit., hlm. 11. 121 C. Maas, op. cit., hlm. 150.

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

57

semakin banyak pula rezeki yang diperoleh. Sebaliknya, tidak memiliki anak

berarti tidak memperoleh rezeki. Hal ini membuat keluarga-keluarga berlomba-

lomba memperoleh anak agar memperoleh rezeki sehingga kehadiran anak adalah

suatu kebahagiaan tersendiri bagi keluarga.

Anak atau keturunan menjadi salah satu tujuan pokok perkawinan. Dalam

semua proses peneguhan perkawinan menurut adat, terdapat upacara yang jelas

memperlihatkan harapan akan anak atau keturunan. Bahkan diperkirakan anak

atau keturunan menjadi tujuan perkawinan paling pokok. Hal ini tampak dari

kenyataan bahwa tiadanya anak atau keturunan, dapat dijadikan alasan untuk

bercerai dan mengambil istri atau suami baru.

Berdasarkan pemahaman ini, semua orang teristimewa pasangan suami-

istri Kristiani sungguh memiliki kerinduan akan kehadiran anak sebagai buah

cintanya sendiri. Kerinduan ini akan terasa amat besar lagi kalau selama bertahun-

tahun sesudah menikah, mereka belum juga memperoleh anak. Pada titik ini dapat

dipahami kalau ternyata banyak keluarga kemudian menjadi kecewa dan putus asa

kalau tidak memperoleh anak. Bahkan ada pasangan yang merasa sangat kesepian

dan merasa iri hati dengan keluarga lain yang sudah memiliki anak sehingga tanpa

anak, keluarga mulai hilang kebahagiaan.

Semua ini menunjukkan bahwa tidak memperoleh anak dapat berdampak

pada perceraian. Memang ada keluarga yang bisa mempertahankan

perkawinannya, kendati pun tidak memperoleh anak. Lebih dari itu tidak sedikit

pula pasangan suami-istri yang mengambil keputusan untuk bercerai karena faktor

ini. Namun perlu diingat, khususnya bagi pasangan suami-istri Kristiani, bahwa

anak itu anugerah Tuhan, yang tak boleh dimutlakkan. Maka bila Tuhan tidak

memberikan anak, perkawinan tidak kehilangan artinya. 122 Karena itu, tidak

memiliki anak bukan memjadi solusi untuk mengakhiri hubungan perkawinan

tersebut.

3.3.2 Sebab Eksternal

Penyebab eksternal merupakan penyebab yang terjadi dari luar kehidupan

rumah tangga. Faktor-faktor penyebab eksternal ini dapat berupa perbedaan

122 T. Gilarso, loc. cit.

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

58

keyakinan, paksaan dari keluarga, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan dua

penyebab eksternal yang dapat menyebabkan hancurnya hubungan perkawinan.

3.3.2.1 Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama atau perkawinan campur sering terjadi dalam

kehidupan ini. Hal ini mungkin disebabkan oleh perkembangan masyarakat yang

semakin terbuka, komunikasi yang semakin lancar dan juga perkembangan

teknologi komunikasi yang semakin canggih yang membuat siapa saja dapat

berinteraksi satu dengan yang lain.

Berbagai perkembangan ini tentu bisa berdampak pada terjadinya

perkawinan campur beda agama yang dapat menyebabkan keruntuhan hubungan

keluarga. Dalam perkawinan beda agama ini, kebebasan agama kedua belah pihak

dapat saja dilangar. Salah satu pasangan bisa saja mengubah keyakinannya karena

tekanan dari pasangannya.123

Terhadap persoalan perkawinan beda agama ini, Gereja biasanya

mengizinkan perkawinan hanya karena terdesak. Kebanyakan izinan diberikan

karena pasangan sudah agak jauh melangkah dalam ikatan cinta. Gereja

menyadari banyaknya kesulitan dan bahaya yang bakal dialami dalam hidup

perkawinan campur, terutama menyangkut perbedaan iman dan kebebasan

beragama. Hal ini akhirnya membuat Gereja melihat bahwa perkawinan campur

atau perkawinan beda agama dapat menjadi suatu halangan bagi pernikahan.

Perkawinan campur yang dapat menjadi halangan bagi pernikahan ini,

dengan demikian, menunjukkan sikap Gereja yang sangat menjunjung tinggi

penghargaannya terhadap perkawinan sebagai sakramen, yang ada dalam

perkawinan orang terbaptis. Iman dan penghayatan perkawinan diandaikan lebih

dapat diharapkan, bila ada dasar iman yang sama.124

Lebih dari itu, perbedaan agama ini dapat memicu munculnya kontroversi

dalam keluarga besar, karena perbedaan agama mengandaikan pula terdapat

perbedaan paham dan keyakinan. Pada puncaknya, perkawinan campur beda

agama dapat menyebabkan iman pasangan Katolik misalnya, mulai memudar dan

suami-istri mulai acuh tak acuh terhadap agama mereka masing-masing.

123 Al. P. Hardiwardoyo, Moral dan Masalahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 26. 124 P. Go, Kawin Campur-Beda Agama dan Beda-Gereja (Malang: Dioma, 1994), hlm. 78.

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

59

Akibatnya, sakramen permandian dan pendidikan anak diterlantarkan, dan pintu

menuju kehancuran cinta dalam perkawinan terbuka semakin lebar.

3.3.2.2 Penyakit Berat

Salah satu ciri perkawinan Kristiani adalah kesetiaan total antara suami-

istri. Kesetiaan total ini berarti bahwa suami dan istri harus selalu hidup bagi

partnernya dalam segala situasi baik suka maupun duka. Kesetiaan suami-istri

tidak boleh luntur, sekalipun terjadi perubahan dalam diri partnernya. Perubahan

itu misalnya bertambah umur atau semakin tua, sakit, menderita penyakit berat

maupun karena gangguan kejiwaan.125

Pada awal terbentuknya keluarga, biasanya yang tampak adalah hubungan

dan relasi yang indah dan menyenangkan saja. Termasuk kesehatan kedua belah

pihak. Tidak ada tanda lahiriah yang patut dicurigai bahwa pasangannya itu

menderita penyakit berat. Situasi awal selalu menarik dan indah. Menjadi soal

adalah kesehatan yang kekal adalah suatu kemustahilan. Kesehatan sukar

dipertahankan. Banyak suami-istri yang kemudian menderita penyakit berat dan

ada lagi yang mengalami gangguan kejiwaan.

Berhadapan dengan fakta penyakit yang dialami, kerapkali kehidupan

rumah tangga dapat menjadi taruhan. Syukur kalau penyakit ini bisa

disembuhkan. Seandainya tidak, perceraian menjadi lebih besar terjadi dalam

kehidupan mereka. Tidak mudah mempertahankan kesetiaan, bila patnernya

menderita penyakit berat atau gangguan kejiwaan yang tak bisa disembuhkan lagi.

Mungkin sekali mereka menjadi kecewa, putus asa dan bosan terhadap

partnernya. Sebab yang mereka saksikan pada awal pernikahan bukanlah

demikian. Karena itu, bukan mustahil kalau situasi seperti ini bisa mengantar

mereka menuju perceraian.

3.4 Akibat Perceraian

Patut dikatakan di sini bahwa perceraian bukanlah solusi yang baik bagi

kehidupan berumah tangga. Perceraian justru lebih banyak mendatangkan

masalah baru yang lebih riskan dari pada sebelumnya. Oleh karena itu dampak

yang ditimbulkannya penting untuk dijelaskan karena tanpa melihat dampak

125 Paul Klein, op. cit., hlm. 103.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

60

perceraian orang akan mengganggap perceraian menjadi solusi paling bijak ketika

perkawinan telah dilihat sebagai masalah. Beberapa dampak perceraian antara

lain:

3.4.1 Bagi Suami dan Istri

Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam menjalankan

kehidupan pernikahan dan harus berakhir dengan perceraian, akan merasakan

dampak psikologi yang tidak stabil. Ketidakstabilan psikologis ini ditandai dengan

kesedihan, kekecewaan, frustasi, perasaan tidak nyaman, tidak tenteram, tidak

bahagia, stres, depresi, takut, dan sebagainya. Akibatnya, orang akan memiliki

sifat benci, dendam, marah, mempersalahkan diri sendiri, atau mantan

pasangannya. Selain itu, seringkali individu yang telah bercerai tidak dapat tidur,

sulit konsentrasi dalam melakukan pekerjaan, tidak berdaya, dan putus asa. Kalau

kondisi psikis tersebut tidak diatasi dengan baik, hal ini akan mengakibatkan

gangguan psikosomatis, bunuh diri atau gangguan psikologi lainnya.126

Dampak dari perceraian ini tidak hanya dirasakan oleh istri, tetapi juga

dialami oleh suami. Dengan perceraian yang dialami, seorang suami dapat

terjerumus ke dalam lembah kesedihan, rasa duka yang mendalam, dan perasaan

traumatis yang berkepanjangan. Trauma bisa menghalangi atau minimal

mempersulit pasangan untuk mendapatkan pasangan yang serasi sebagai suami

atau istri dikemudian hari. Lebih dari itu, perceraian dapat mengorbankan

kehidupan anak-anak dan masa depan mereka. Anak-anak jelas menjadi korban

dari perbuatan suami-istri. Mereka pastinya akan kehilangan ayah atau ibu

kandung mereka.127

Perceraian, tidak hanya mengakibatkan kerugian material tetapi juga

berdampak pada gangguan mental dan emosional. Lebih dari itu, perceraian antara

suami-istri jika tidak dilenyapkan akan mendatangkan perseteruan yang tidak

hanya dalam keluarga inti tetapi juga dengan keluarga besar.

Tidak dapat ditampik fakta bahwa perceraian dapat melahirkan aneka

gangguan dan ketidakstabilan psikologis. Ketidakstabilan psikologis ditandai

dengan munculnya perasaan-perasan seperti tidak nyaman, tidak tenteram,

126 Agoes Darriyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 168. 127 Abu Umar Basyier, Mengapa Harus Bercerai (Surabaya: Shafa Publika, 2012), hlm. 307.

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

61

gelisah, resah, tidak bahagia, merasa gagal, mempersalahkan diri sendiri, kecewa,

sedih, takut, khawatir, marah, dan sebagainya. Berhadapan dengan ketidakstabilan

psikologis ini, pasangan yang bercerai ini juga pada akhirnya kerapkali tidak

dapat berkonsentrasi dalam bekerja. Pasalnya, terdapat korelasi antara

ketidakstabilan psikologis dan ketidaknyamanan dalam kehidupan kerja.128

Berhadapan dengan hal ini sebuah contoh dapat diangkat. Misalnya, jika

sebelum bercerai, suami merupakan pencari nafkah dalam keluarga maka setelah

bercerai istri tidak lagi memiliki pendapatan sama sekali dari hasil jeri payah

suaminya. Lebih parah jika mantan pasangan tidak memberikan tunjangan, atau

jika pemasukan berasal dari istri dan suami maka setelah bercerai, pemasukan

uang tentunya akan berkurang. Terlebih bagi mereka yang mendapatkan hak asuh

anak, berarti juga harus bertanggung jawab untuk menanggung biaya hidup anak.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa walaupun perceraian adalah

keputusan yang diambil bersama oleh pasangan yang bercerai, perceraian tetap

saja menimbulkan dampak psikologis bagi istri maupun suami. Mungkin hal ini

tidak dirasakan pada saat awal bercerai tetapi setelah keduanya merasa kehilangan

sesuatu yang dulu pernah mereka miliki pada saat sebelum terjadinya,

ketidakstabilan kehidupan akan muncul dikemudian hari.

3.4.2 Derita Pada Anak

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak-anak untuk

melihat dan mengenal dunia. Situasi keluarga, menjadi penentu utama bagi hidup

dan perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Kalau situasi keluarga baik,

damai, dan harmonis maka hidup dan perkembangan kepribadian anak berjalan

baik. Namun sebaliknya, jika suasana keluarga tidak harmonis maka kepribadian

anak akan menjadi tidak baik.

Ketidakharmonisan hubungan dalam keluarga dapat disebabkan oleh dua

faktor yakni kematian dan perceraian. Namun berbeda dari kematian, keluarga

yang pecah karena perceraian mempunyai dampak yang lebih besar. Sekurang-

kurangnya ada dua alasan yakni: pertama, periode penyesuaian anak lebih lama

128 Agoes Dariyo, op. cit., hlm. 168.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

62

dan sulit dari pada karena kematian dan kedua, perceraian cenderung membuat

anak dinilai berbeda oleh kelompok temannya.129

Dewasa ini, perceraian merupakan persoalan yang kerapkali terjadi. Di

hadapan perceraian ini, pasangan yang bercerai menyangka bahwa kesulitan-

kesulitan yang dialami dalam keluarga dapat diatasi sehingga mereka melihat

perceraian sebagai bagian dari solusi. Namun hal ini hanyalah suatu solusi

semu.130 Perceraian malah menambah kesulitan baru yang lebih besar dan rumit

dari pada kesulitan sebelumnya.

Pasalnya, hampir tidak ditemukan pengakuan bahwa perceraian

mendatangkan kebahagiaan bagi pasangan dan menjadi solusi bagi persoalan

hidup yang dialami selama membangun kehidupan rumah tangga. Malahan

sebaliknya, perceraian membawa derita dan kesulitan yang jauh lebih besar lagi,

teristimewa bagi hidup dan perkembangan anak-anak. Anak-anak tentu akan

mengalami luka batin yang amat dalam dan sulit diobati sehingga membawa

pengaruh yang amat buruk bagi perkembangan kepribadian mereka selanjutnya.

Lebih dari itu, anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua yang telah bercerai

akan hidup dalam berbagai macam kesulitan dalam hidup baik dalam bidang

pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, kehidupan rohani, dan sebagainya.

3.4.3 Kehancuran Suasana Keluarga

Salah satu aspek yang harus dibangun dalam kehidupan keluarga adalah

suasana keluarga yang harmonis dan komunikatif. Suasana yang demikian

sangatlah bermanfaat bagi tercapainya kehidupan keluarga yang bahagia. Namun

yang sering terjadi adalah banyak sekali muncul masalah rumah tangga hingga

berujung pada perceraian. Perceraian yang terjadi ini tentu karena alasan sifat

buruk yang masih dilakukan oleh pasangan,131 sehingga sangat menghancurkan

makna perkawinan itu sendiri.

129 Elizabeth B. Hurlock, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, terj. Suprajitno

(Jakarta: Elangga, 1990), hlm. 216. 130 St. Darmawijaya, Mengarungi Hidup Berkeluarga, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 89. 131 Banu Garawiyan, Memahami Gejolak Emosi Anak (Bogor: Cahaya, 2003), hlm. 8.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

63

3.4.4 Pelecehan Martabat Luhur Sakramen Perkawinan

Kanon 1055 poin 1 menegaskan bahwa:

Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka

kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah

pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh

Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis

diangkat ke martabat sakramen.132

Sekurang-kurangnya ada dua elemen penting yang disebut dalam kanon

ini: Pertama, menyangkut perjanjian perkawinan. Kedua, menyangkut martabat

perkawinan sebagai sakramen.133 Justru karena martabat sebagai sakramen inilah,

perkawinan Kristiani menjadi jauh lebih mulia dari pada perkawinan bukan

Kristen.134

Seperti sakramen lainnya, sakramen perkawinan bertindak sebagai tanda

yang menghadirkan Allah melalui Yesus Kristus. Di dalam sakramen perkawinan,

Allah datang melalui Yesus Kristus menemui manusia dan membawa manusia

menuju keselamatan. Allah datang lebih dekat lagi kepada suami-istri dan

memberikan kekuatan untuk menjalankan apa yang mereka ikrarkan bersama.135

Di dalam sakramen perkawinan, suami-istri memang memperoleh rahmat

yang memberi kekuatan. Namun penerimaan rahmat bukanlah menonaktifkan

segala daya upaya suami-istri untuk berjuang mempertahankan dan melestarikan

perkawinan mereka. Rahmat dalam sakramen perkawinan hanyalah bersifat

membantu serta menguatkan, bukannya mengerjakan segala-galanya tanpa

partisipasi dan perjuangan suami-istri. Keutuhan sakramen menuntut pula

partisipasi dan perjuangan suami-istri untuk memelihara dan melestarikan

perkawinan mereka.

Berhadapan dengan kenyataan penghargaan terhadap keluhuran martabat

sakramen perkawinan, perlu diakui bahwa tidak semua pasangan nikah memiliki

penghargaan yang sama terhadap martabat sakramen perkawinan. Juga tidak

semua pasangan nikah yang sungguh-sungguh berjuang memelihara dan

melestarikan perkawinan mereka. Peristiwa hidup yang pahit dan membosankan,

132 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 441. 133 Kletus Hekong, “Hukum Perkawinan” (ms), Bahan Kuliah (STFK Ledalero, 1997), hlm. 4. 134 Paul Klein, op. cit., hlm. 96. 135 Ibid., hlm. 99.

Page 64: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

64

kadang ditemukan munculnya sikap acuh tak acuh. Pasangan yang telah menikah

kadang membiarkan kesulitan terus bergulir, tanpa mencari alternatif pemecahan.

Apa bila kesulitan ini tidak diatasi maka relasi yang dibangun akan semakin

buruk. Dalam situasi seperti ini peluang untuk bercerai tentu akan meningkat.

Pada puncaknya perceraian yang terjadi, dengan sendirinya melecehkan sakramen

perkawinan.

3.5 Anulasi Sebagai Pembatalan Perkawinan

Kata anulasi diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan kata, annulment

yang berarti prosedur hukum yang menyatakan bahwa suatu perkawinan atau

pernikahan batal atau tidak perna terjadi. Tidak seperti perceraian, anulasi

umumnya bersifat retroaktif, yang berarti bahwa suatu perkawinan yang dianulasi

dianggap tidak valid sejak awal seolah-olah tidak pernah terjadi. 136 Anulasi

dengan demikian, merupakan proses pembatalan perkawinan, yang berarti bahwa

perkawinan itu tidak pernah terjadi.

Dalam kehidupan Kristiani, anulasi diatur dalam hukum Gereja khususnya

dalam Kitab Hukum Kanonik. Kitab Hukum Kanonik merupakan kitab yang

mengatur segala macam aturan hidup bagi semua kaum Katolik termasuk, di sini

aturan hukum tentang anulasi terutama dalam kaitannya dengan aturan kanonik

yang berhubungan dengan perkawinan Katolik. Lebih khusus lagi, aturan yang

memuat perkawinan Katolik terdapat dalam buku IV yang berjudul Gereja

menguduskan.137

Dalam buku IV ini, hal-hal yang dibahas adalah segala persoalan

perkawinan mulai dari persiapan memasuki perkawinan sampai pada pembatalan

perkawinan atau anulasi. Anulasi sendiri diatur dalam Kitab Hukum Kanonik,

khususnya pada kanon 1676-1691. Menurut kanon ini, lebih kurang terdapat tiga

alasan mendasar yang dapat menyebabkan terjadinya anulasi yakni: pertama,

karena halangan yang menggagalkan, kedua, karena cacat atau ketiadaan tata

peneguhan kanonik dan ketiga, karena cacat dalam kesepakatan perkawinan.

136 Wikipedia, loc. cit. 137 Philip Ola Daen, Pelayanan Tribunal Perkawinan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019), hlm.

11.

Page 65: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

65

Persoalan karena halangan yang menggagalkan ini bisa terjadi karena pada

kedua belah pihak terdapat cacat atau terdapat salah satu dari 12 halangan nikah

yang menggagalkan sebagaimana dicantumkan dalam kanon 1083-1094.

Sedangkan, Persoalan karena cacat atau ketiadaan tata peneguhan kanonik terjadi

karena perkawinan yang disangkakan telah terjadi antara pasangan suami-istri itu,

belum dikukuhkan atau belum memiliki kepastian hukum.

Sedangkan Persoalan karena cacat dalam kesepakatan perkawinan terjadi

karena perkawinan yang dilangsungkan itu didasarkan pada adanya keterpaksaan,

penipuan, atau pun karena ancaman. 138 Dalam situasi semacam ini, kedua

pasangan tidak dengan kemauan bebas memberikan diri satu dengan yang lain

untuk menikah. Sebaliknya mereka menikah karena adanya paksaan, ancaman

atau penipuan dari salah satu pasangan.

3.5.1 Anulasi atau Pembatalan Perkawinan Menurut Kitab Hukum Kanonik

Menurut Kitab Hukum Kanonik, pembatalan perkawinan dikenal dengan

tiga istilah yaitu: pertama, pernyataan tidak sahnya perkawinan (Proses Anulasi);

kedua, pemutusan ikatan perkawinan (Ratum non Consummatum); dan ketiga,

pemutusan ikatan perkawinan demi iman (in Favorem Fidei). Selain itu telah

diterbitkan juga instruksi dignitas Connubii (Martabat Mempelai) yang

dikeluarkan Paus sehubungan dengan anulasi perkawinan. Pernyataan tidak

sahnya perkawinan (proses anulasi) diatur oleh lembaga yang berhak yaitu

Tribunal.

Ada tiga tingkatan Tribunal dalam Gereja Katolik, yaitu Tribunal tingkat

pertama berkedudukan di Keuskupan (Tribunal Kolega, Tribunal Hakim Tunggal,

dan Personalia lainnya), Tribunal tingkat kedua berkedudukan di Tribunal Uskup

Metropolit dan Tribunal ini adalah Tribunal banding bagi Tribunal tingkat

pertama, dan Tribunal Takhta Apostolik berkedudukan di Roma, yaitu Rota

Romana dan Mahkamah Agung Signatura Apostolik. Jadi dapat disimpulkan

bahwa lembaga yang berwenang dalam menangani kasus-kasus anulasi

perkawinan adalah Uskup, Vikaris Yudisial, dan Paus sebagai pemimpin tertinggi.

138 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 311.

Page 66: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

66

Atau dengan kata lain, yang berhak membatalkan perkawinan atau mensahkan

anulasi perkawinan adalah Tribunal perkawinan gerejawi.139

Kitab Hukum Kanonik juga berbicara tentang beberapa halangan yang

menyebabkan terjadinya anulasi. Halangan-halangan itu adalah sebagai berikut:

3.5.1.1 Halangan Umur

Kanon 1083 berbicara tentang syarat umur yang menentukan sah tidaknya

sebuah perkawinan. Kanon itu berbunyi:

1. Pria sebelum berumur genap enambelas tahun, dan wanita sebelum

berumur genap empatbelas tahun, tidak dapat melangsungkan

perkawinan yang sah.

2. Konferensi Wali Gereja berwenang penuh untuk menetapkan usia

yang lebih tinggi untuk merayakan perkawinan secara licit.140

Berdasarkan kanon tersebut di atas, perkawinan yang dilangsungkan akan

dinyatakan invalid atau tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan

apabila pria masih berumur di bawah enambelas tahun atau wanita berumur di

bawah empatbelas tahun. Ketentuan-ketentuan pernikahan berdasarkan usia ini

bersifat eklesikal, sehingga berlaku bagi pasangan-pasangan calon nikah non

Katolik.

Namun dalam perkawinan seorang Katolik degan seorang bukan Katolik,

ketentuan batas umur tetap berlaku bagi keduanya. 141 Ordinaris wilayah

mempunyai otoritas untuk menetapkan ketentuan umur yang lebih tinggi dari

ketentuan kanonik dan jika ada problem yang terjadi maka mereka harus meminta

izinan dari Ordinaris wilayah seperti yang dinyatakan dalam kanon 1071 ayat 1.142

3.5.1.2 Halangan Impotensi

Kanon 1084 berbicara tentang halangan impotensi. Kanon ini berbunyi:

1. Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang ada sejak sebelum

nikah dan bersifat tetap, entah dari pihak pria atau pun dari pihak

wanita, entah bersifat mutlak ataupun relatif, menyebabkan

perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri.

139 F. X. Purwaharsato, “Pedoman Perangkat Pelayanan Kasus Perkawinan Gerejawi”,

Instrimentarum Tribunalis (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 23. 140 Konferensi Wali Gereja Indonesia, op. cit., hlm. 310. 141 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 12. 142 Catur A. Raharso, Halangan-halangan Nikah Menurut Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma,

2011), hlm. 93.

Page 67: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

67

2. Jika halangan impotensi itu diragukan, entah karena keraguan hukum

atau pun keraguan fakta, perkawinan tidak boleh dihalangi, dan

sementara dalam keraguan, perkawinan tidak boleh dinyatakan batal.

3. Kemandulan tidak melarang atau pun menggagalkan perkawinan,

dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1098.143

Ada dua jenis impotensi, yaitu impotentia coeundi dan impotentia

generandi. Impotentia coeundi adalah inkapabilitas untuk melakukan hubungan

seksual. Sementara itu, impotentia generandi adalah inkapabilitas untuk

memberikan keturunan atau sterilitas. Impotentia generandi ini dalam dirinya

sendiri tidak menginvalidasi konsensus perkawinan, kecuali jika salah satu dari

pasangan calon nikah menipu pasangannya tentang hal itu.

Selain dua impotensi itu, para kanonist juga masih membedakan lagi dua

jenis impotensi, yaitu impotensi organis dan fungsional. Impotensi organis adalah

impotensi yang terjadi sebagai akibat dari ketiadaan, kelainan atau

ketidaknormalan perkembangan organ-organ seks. Sedangkan impotensi

fungsional adalah impotensi yang diakibatkan oleh kondisi psikologis. Kondisi

seperti ini membuat orang tidak dapat melakukan hubungan seksual sekalipun

organ-organ genitalnya lengkap.

Anulasi dalam kaitan dengan impotensi dapat terjadi jika impotensi itu

bersifat perpetual dan antecedens. Impotensi seperti itu bisa bersifat absolut

maupun relatif. 144 Impotensi yang terjadi tersebut mencegah suami dan istri

mewujudkan kepenuhan persatuan heteroseksual sebab persatuan suami-istri dan

penyempurnaan hubungan hanya dapat terjadi melalui hubungan seksual yang

wajar. Bila dalam perjalanan waktu impotensi pada salah satu pihak diketahui

maka anulasi dapat dilakukan berdasarkan jalur hukum yang sudah ditetapkan

oleh Gereja.

3.5.1.3 Halangan Ligamen

Halangan ini dibicarakan dalam kanon 1085 yang menegaskan bahwa

tidak akan adanya perkawinan ulang bagi orang yang masih terikat dengan

perkawinannya. Dengan ketetapan ilahi, ikatan perkawinan yang tedahulu menjadi

halangan yang dapat menggagalkan. 145 Hukum ini diyakini berasal dari natural-

143 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 144 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 14-15. 145 Catur A. Raharso, op. cit., hlm. 102.

Page 68: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

68

ilahi, sehingga tidak dapat didispensasi. Pada prinsipnya, perkawinan itu dapat

berakhir jika salah satu pasangan meninggal dunia dan bukti dari kematian harus

ditetapkan berdasarkan dokumen-dokumen publik baik dokumen eklesial maupun

sipil, keterangan para saksi, dan presumsi kematian yang meyakinkan. Dalam

kasus ini, sebelum Ordinaris lokal menetapkan satu keputusan final sehubungan

dengan presumsi kematian, kepastian moral untuk kasus ini mau tidak mau harus

terpenuhi.146

3.5.1.4 Halangan Perkawinan Beda Agama

Kanon 1086 berbicara tentang halangan perkawinan beda agama yang

menegaskan bahwa perkawinan antara seorang Katolik dengan seorang yang tidak

dibaptis adalah invalid, kecuali sudah ada dispensasi yang diberikan oleh otoritas

yang berwenang. Halangan perkawinan beda agama terbuka terhadap dispensasi

dengan mempertimbangkan tidak hanya hak asasi orang untuk menikah tetapi

juga mempertimbangkan hak beragama. Selain itu, dispensasi yang diberikan

harus juga memenuhi syarat yang sudah ditentukan yaitu harus adanya justifikasi

tentang alasan doktrinal maupun pastoral dan yang hendaknya juga dipahami

dalam terang sirkumstansi-sirkumstansi. Lebih dari itu harus ada deklarasi dari

pihak Katolik akan obligasinya untuk melindungi dan menjaga imannya dan

berjanji untuk berusaha semampu mungkin supaya semua anak yang dilahirkan

dari persekutuan hidup mereka sebagai suami-istri harusnya dibaptis dan dididik

dalam iman Katolik dan pasangan yang tidak dibaptis harus secara terbuka

diinformasikan sebelum peneguhan perkawinan tentang janji-janji yang dibuat

oleh pasangan yang Katolik.147

3.5.1.5 Halangan Tahbisan Suci

Kanon 1087 berbicara tentang tidak sahnya perkawinan yang

dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tabisan suci. Kaum klerus tidak

dapat menikah, karena mereka sudah melepaskan penggunaan haknya untuk

menikah dengan penerimaan tabisan-tabisan suci. Kitab Hukum Kanonik secara

146 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 16. 147 Ibid., hlm. 18-19

Page 69: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

69

jelas menyatakan bahwa, “adalah tidak sah perkawinan yang coba dilangsungkan

oleh mereka yang telah menerima tabisan suci.”148

Halangan tabisan-tabisan suci ini secara umum dipahami berasal dari

hukum Gereja, sehingga dapat diberi dispensasi. Namun para uskup tidak dapat

memberi dispensasi dari tabisan-tabisan suci kepada kaum klerus dalam

sirkumstansi apa pun, juga tidak dalam situasi bahaya mati. Hanya takhta

Apostolik yang mempunyai hak untuk mendispensasi halangan ini sesuai norma-

norma untuk dispensasi yang dikeluarkan oleh Sacred Congregation for the

Doctrine of the faith pada tanggal 14 Oktober 1980.149

3.5.1.6 Halangan Kaul Kemurnian Publik dan Kekal

Kanon 1088 berbicara tentang halangan kaul kemurnian publik dan kekal.

Dinyatakan dalam kanon tersebut bahwa tidak sahlah perkawinan yang dicoba

dilangsungkan jika salah satu pasangan masih terikat oleh kaul kekal publik

kemunian dalam sebuah tarekat religius. 150 Halangan ini akan membatalkan

perkawinan yang ingin dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kemurnian

yang bersifat publik dan kekal dalam sebuah tarekat religius.

Halangan ini secara umum diterima dari hukum Gereja sehingga ia bisa

diberi dispensasi. Dalam situasi normal, dispensasi dari kaul kekal yang dibuat di

dalam institusi yang berada di bawah keuskupan didispensasi oleh Ordinaris lokal.

Tetapi dalam bahaya mati, Ordinaris lokal boleh memberikan dispensasi dari kaul

kekal yang dibuat baik di dalam institusi yang berada di bawah kuasa kepausan

maupun institusi yang berada di bawah kuasa keuskupan; juga pastor paroki,

pelayan tertahbis dan imam atau diakon yang didelegasi secara resmi yang

membantu meneguhkan perkawinan; dapat juga memberikan dispensasi dalam

keadaan bahaya mati jika Ordinarius lokal tidak dapat dihubungi.151

3.5.1.7 Halangan Penculikan dan Penahanan

Kanon 1089 berbicara tentang halangan penculikan dan juga penahanan

yang dilakukan oleh salah satu pihak dan memaksa pihak lainnya untuk menikah.

148 Ibid., hlm. 20. 149 Ibid., hlm. 21. 150 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 151 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 22.

Page 70: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

70

Paksaan seperti ini menyebabkan perkawinan dinyatakan tidak sah sehingga dapat

dianulasikan. Kanon 1089 berbunyi:

Antara laki-laki dan perempuan yang diculik atau sekurang-kurangnya

ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan,

kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya

serta berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauannya

sendiri memilih perkawinan itu.152

Kanon ini menegaskan bahwa tak ada perkawinan yang valid yang

dilangsungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dipaksakan

oleh laki-laki dengan maksud mau menikah. Apabila perempuan diculik atau

sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, maka pernikahan itu

tidak dibenarkan, kecuali perempuan tersebut dipisahkan dari penculiknya dan

berada di tempat yang nyaman dan damai, dan dengan kemauannya sendiri

memutuskan untuk menikah barulah pernikahan itu dinyatakan sah. Atau dalam

perkataan lain, akan dinyatakan tidak sah jika perempuan tersebut setuju untuk

menikah karena keadaannya sedang diculik atau ditahan.153

3.5.1.8 Halangan Kejahatan

Kanon 1090 berbicara tentang halangan kejahatan yang menyebabkan

terjadinya anulasi. Kanon 1090 berbunyi:

1. Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang

dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan

pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap pasangannya

sendiri.

2. Juga tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan antara

mereka yang dengan kerja sama fisik atau moril melakukan

pembunuhan terhadap salah satu dari pasangan itu.154

Kanon 1090 menekankan bahwa adalah kesalahan besar jika seseorang

yang ingin menikah, membunuh kekasih pasangannya agar ia dapat menikahinya.

Bila hal ini terjadi maka pernikahan itu dinyatakan tidak sah karena kejahatan

yang dilakukan demi memenuhi keinginan dengan membunuh seseorang

merupakan sebuah kejahatan yang amat bengis. Untuk itu, hukum menetapkan

tiga kategori atau jenis kejahatan, yaitu pembunuhan terhadap pasangannya

152 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 153 Catur A. Raharso, op. cit., hlm 192. 154 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit.

Page 71: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

71

sendiri dengan maksud untuk menikahi seseorang yang lain; pembunuhan

terhadap pasangan dari seseorang dengan maksud untuk menikahi pasangannya

kelak; dan pembunuhan terhadap satu pasangan melalui konspirasi moral atau

fisikal dari pasangan yang lain atau seseorang yang lain.155

Keputusan ini secara umum diterima oleh hukum Gereja, dan hal ini bisa

didispensasi, tetapi yang berhak memberikan dispensasi jika kasus ini terjadi

hanyalah Paus sendiri. Selain Paus, tidak ada otoritas lain yang memiliki hak

untuk memberikan dispensasi. Namun bila sedang dalam situasi bahaya mati

Ordinaris lokal memiliki hak untuk memberi dispensasi. Jika ordinaris lokal

berhalangan maka pastor paroki, imam atau diakon memiki hak untuk

memberikan dispensasi demi kepentingan salus animarum.156

3.5.1.9 Halangan Persaudaraan (Konsangunitas)

Kanon 1091 berbicara tentang halangan pernikahan karena hubungan

persaudaraan. Kanon ini berbunyi:

1. Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai

hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik

yang sah maupun yang natural.

2. Dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak sah sampai

dengan tingkat keempat.

3. Halangan hubungan darah tidak dilipatgandakan.

4. Perkawinan tidak pernah diizinkan, jika ada keraguan apakah pihak-

pihak yang bersangkutan masih berhubungan darah dalam salah satu

garis lurus atau dalam garis menyamping tingkat kedua.157

Alasan untuk halangan ini adalah bahwa perkawinan antara mereka yang

berhubungan darah, sangat bertentangan dengan hukum kodrati. Selain itu hukum

Gereja juga melarang perkawinan di tingkat lain dalam garis menyamping, sebab

melakukan perkawinan di antara mereka yang mempunyai hubungan darah itu

bertentangan dengan kebahagiaan sosial dan moral suami-istri itu sendiri dan

kesehatan fisik dan mental anak-anak mereka.158

Garis keturunan adalah hubungan-hubungan pribadi secara individual

yang dihubungkan satu sama lain melalui satu nenek moyang yang sama. Ada dua

155 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 25. 156 Ibid. 157 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 311-312. 158 Catur A. Raharso, loc. cit.

Page 72: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

72

garis keturunan yang dinyatakan dalam Kitab Hukum Kanonik yaitu garis lurus

dan juga garis menyamping. Garis lurus berarti anak-bapak, nenek-cucu

perempuan yang disebut dengan kandung. Sedangkan garis menyamping ikatan

dekat dari bapak dan juga mama yang biasa dikenal dengan sebutan sepupu.

Hubungan darah dalam tingkatan atau garis apapun tidak disetujui oleh hukum

Gereja sehingga Gereja akan menolak jika terjadi hal ini. Kasus seperti ini, jika

terjadi maka anulasi pun akan terjadi sesuai dengan hukum Gereja yang sudah

ditetapkan dalam kanon 1091.159

3.5.1.10 Halangan Hubungan Semenda (Afinitas)

Kanon 1092 berbicara tentang hubungan semenda yang dilarang oleh

hukum Gereja. Kanon ini berbunyi: hubungan semenda dalam garis lurus

menggagalkan perkawinan dalam tingkat mana pun. 160 Kesemendaan adalah

hubungan yang timbul akibat dari perkawinan sah entah hanya ratum atau ratum

consummatum. Kesemendaan yang timbul dari perkawinan sah antara orang yang

tidak terbaptis akan menjadi halangan bagi pihak yang mempunyai hubungan

kesemendaan setelah pembaptisan dari salah satu atau kedua orang itu.

Menurut hukum Gereja hubungan kesemendaan muncul hanya antara

suami dengan saudari-saudari dari istri dan antara istri dengan saudara-saudara

suami. Saudara-saudara suami tidak mempunyai kesemendaan dengan saudari-

saudari istri dan sebaliknya. Menurut kodeks baru 1983 hubungan kesemendaan

yang membuat perkawinan tidak sah hanya dalam garis lurus dalam semua

tingkatan.161 Sebagai contoh, seorang laki-laki tidak dapat menikahi secara valid

ibu mertua atau putri dari istrinya (sebagai buah dari perkawinan dengan

suaminya yang terdahulu) atau sebaliknya.

3.5.1.11 Halangan Kelayakan Publik

Kanon 1093 berbicara tentang halangan kelayakan publik yang pada

dasarnya ditolak oleh Gereja. Bila terdapat halangan karena kelayakan publik

maka akan terjadi anulasi perkawinan sesuai dengan ketetapan yang terdapat

dalam kanon 1093. Kanon ini:

159 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 28. 160 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 312. 161 Catur A.Raharso, op. cit., hlm. 201.

Page 73: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

73

Halangan kelayakan publik timbul dari perkawinan tidak-sah setelah

terjadi hidup bersama atau dari konkubinat yang diketahui umum atau

publik, dan menggagalkan perkawinan dalam garis lurus tingkat pertama

antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita,

dan sebaliknya.162

Halangan kelayakan publik ini timbul dari kenyataan bahwa satu pasangan

hidup bersama tanpa pernikahan antara seorang laki-laki dengan orang yang

berhubungan darah dengan pihak perempuan dan perempuan dengan orang yang

berhubungan darah dengan pihak laki-laki dalam garis lurus tingkat pertama. Itu

berarti bahwa halangan ini timbul dari satu perkawinan yang invalid sesudah

hidup bersama sudah dibangun. Pasalnya, ada asumsi bahwa kohabitasi sudah

berlangsung dan juga halangan itu timbul dari kokubinat publik, sebab secara

umum kurang lebih sudah ada kohabitasi yang tetap dari seorang laki-laki dan

perempuan atau setidak-tidaknya harus ada komitmen tertentu terhadap sesuatu

status hidup yang berketentuan jelas dan barangkali juga stabil.163

Konkubinat adalah seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama

tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk

melakukan persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah. 164

Halangan ini diterima oleh hukum Gereja sehingga konkubinat dapat diberikan

dispensasi oleh pihak yang berwenang.

3.5.1.12 Halangan Adopsi – Hubungan Legal

Kanon 1094 berbicara tentang halangan adopsi. Kanon itu berbunyi: “tidak

dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian

hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat

kedua.” 165 Halangan ini secara umum diterima berasal dari hukum Gereja,

sehingga halangan ini bisa diberi dispensasi oleh Ordinaris lokal dengan alasan

proporsional.

Premis dari kanon ini ditemukan dalam kanon 110 yang secara lugas

mengatakan bahwa “anak yang diangkat menurut norma hukum sipil, dianggap

162 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 163 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 31. 164 Catur A. Raharso, op. cit., hlm. 205. 165 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit.

Page 74: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

74

sebagai anak dari orang atau orang-orang yang mengangkatnya.”166 Di sini semua

tuntutan sipil hendaknya dilengkapi untuk menunjukan legalitas dari status anak

itu sendiri. Oleh karena itu, tak ada perkawinan yang valid yang dilangsungkan

antara yang mengadopsi dan yang diadopsi, yang diadopsi dengan orang yang

mempunyai hubungan darah dengan yang mengadopsi dalam garis lurus, dan

yang diadopsi dengan anak dari yang mengadopsi.167

Itulah beberapa halangan yang dapat membuat orang-orang beragama

Katolik melakukan proses pembatalan perkawinan atau mengajukan anulasi

perkawinan. Pengetahuan yang benar akan halangan ini bertujuan untuk

mengigatkan kaum Kristen bahwa ada jalan keluar yang sudah disetujui dan

disediakan oleh hukum Gereja tentang persoalan-persoalan dalam kehidupan

perkawinan Katolik.

3.6 Argumentasi Penolakan Gereja Terhadap Perceraian dan Pengakuan

Gereja Terhadap Anulasi.

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Pernikahan yang berakhir

ini terjadi saat kedua pasangan tidak menginginkan lagi untuk melanjutkan

kehidupan pernikahannya sehingga mereka bisa meminta pemerintah atau pihak

yang berwenang untuk memisahkan mereka. Selama perceraian, pasangan

tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh

selama pernikahan seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak, dan juga harus

menentukan siapa yang berhak atas anak dan memperhatikan segala kebutuhan

anak tersebut.

Perceraian juga dilihat sebagai pemisahan antara suami dan istri sebagai

akibat dari kegagalan mereka menjalankan perjanjian yang telah mereka lakukan

dan juga peran mereka masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai

akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan di mana pasangan suami-istri

kemudian hidup terpisah. Hal ini memang secara resmi diakui oleh hukum dan

semua orang tetapi dalam kehidupan sehari-hari suami dan istri yang bercerai

tetap mendapat gelar sebagai mantan istri dan juga mantan suami.

166 Ibid. 167 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 32.

Page 75: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

75

Namun dalam agama Katolik perceraian sebenarnya ditolak. Perceraian

atau perpisahan tetap atau selamanya dalam suatu ikatan pernikahan, memang

tidak diperbolehkan dalam ajaran Gereja Katolik berdasarkan Sabda Allah yang

tertera dalam Kitab Suci (Mat 19:9; Mrk 10:9). Karena Sabda Allah merupakan

dasar kehidupan umat Katolik, maka tidak ada alasan apapun bagi pasangan untuk

mengadakan perceraian.

Selain itu, Gereja juga menolak perceraian karena dalam perkawinan

Kristiani terdapat dua sifat hakiki yaitu monogami dan tak terceraikan seperti

yang sudah dibicarakan di bab sebelumnya. Lebih dari itu perceraian ditolak

karena perceraian dilihat Gereja melecehkan martabat sakramen perkawinan.

Berdasarkan alasan itu Gereja mengambil tindakan tegas menolak kehadiran

perceraian dalam kehidupan perkawinan Kristiani.

Berdasarkan argumen-argumen penolakan Gereja terhadap perceraian

membuat Gereja Katolik juga tidak menutup mata terhadap persoalan-persoalan

perkawinan yang dihadapi oleh umatnya, maka Gereja menyediakan jalan keluar

yang bagi Gereja lebih baik dan bisa diterima sesuai dengan ajaran Gereja tanpa

menodai makna perkawinan Kristiani yaitu anulasi. Anulasi merupakan prosedur

hukum yang menyatakan bahwa suatu perkawinan atau pernikahan batal atau

tidak perna terjadi. Tidak seperti perceraian, anulasi umumnya bersifat retroaktif,

yang berarti bahwa suatu perkawinan yang dianulasi dianggap tidak valid sejak

awal seolah-olah tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, pihak Gereja mengambil

anulasi sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan problem dalam perkawinan

yang diatur dalam hukum kanonik seperti sudah dijelaskan di atas.

Gereja menerima anulasi dan menolak perceraian karena pemahaman

Gereja tentang anulasi sebagai berikut:

1. Bahwa perkawinan antara kedua mempelai dianggap tidak pernah terjadi

karena perkawinan yang diciptakan antara mereka memiliki cacat secara

hukum sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu cacat pada tata peneguhan,

cacat kesepakatan, dan cacat karena halangan yang menggagalkan.

2. Bahwa anak-anak yang sudah dilahirkan dari perkawinan yang telah

dianulasikan harus tetap diperhatikan dan dihidupi oleh kedua belah pihak

karena anak adalah anugerah dari Tuhan dan tidak memiliki sangkut paut

Page 76: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

76

dengan persoalan yang dialami oleh pasangan suami-istri dan hal ini

ditegaskan dalam hukum kanon 1154 yang dengan jelas mengatur tentang hal

ini.

3. Bahwa pihak-pihak yang telah dianulasikan perkawinannya ini sudah bisa

melangsungkan perkawinan dengan orang lain dengan tetap mengikuti

ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Hukum Kanonik. Hal ini perlu

dimengerti bahwa anulasi pada prinsipnya menegaskan bahwa tidak pernah

terjadi perkawinan antara pasangan yang telah dianulasikan perkawinannya.

Jika terjadi perkawinan sesudah anulasi ini, maka perkawinan ini bukan

merupakan perkawinan kedua, melainkan tetap menjadi perkawinan yang

pertama.

4. Bahwa perkawinan yang dilakukan atau dikukuhkan oleh Gereja merupakan

persatuan yang dikehendaki oleh Allah karena itu, apa yang telah dipersatukan

Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Berdasarkan pemahaman ini,

maka Gereja melihat perceraian tak dapat diterima karena dalam perceraian

perkawinan sebelumnya tetap ada. Karena itu Gereja menerima anulasi

sebagai hukum perkawinannya atas dasar bahwa anulasi merupakan proses

pembatalan yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak pernah terjadi

dan tidak pernah ada sebelumnya, sehingga terpenuhilah nubuat Tuhan bahwa

apa yang telah dipersatukan Allah tak dapat diceraikan oleh manusia.

Berdasarkan pemahaman ini Gereja dengan tegas mengambil keputusan

bahwa dalam perkawinan Kristiani perceraian tidak diterima dalam hukum

perkawinan Gereja dan hanya anulasi yang diterima oleh hukum perkawinan

Gereja.

3.3 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dibuat penulis, dapat dikatakan

bahwa perceraian merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh dua orang yang

telah terikat oleh perkawinan tetapi kemudian memilih untuk memutuskan ikatan

perkawinan tersebut. Perceraian ini terjadi karena berbagai persoalan yang terjadi

dalam kehidupan rumah tangga membuat salah satu pasangan tidak lagi merasa

nyaman dengan kehidupan perkawinannya serentak memutuskan untuk bercerai.

Page 77: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

77

Agama lain seperti Islam memang mengizinkan penganutnya untuk

bercerai jika terjadi sebab-sebab seperti yang sudah dijelaskan. Namun agama

Katolik melalui berbagai aturan perkawinan Gereja, dengan tegas menolak

perceraian. Gereja hanya menerima anulasi sebagai solusi untuk mengurus

persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan perkawinan Kristiani.

Anulasi diterima Gereja karena perkawinan yang telah terjadi dipenuhi

oleh berbagai halangan-halangan yang diatur oleh Gereja sehingga perkawinan

tersebut tidak pernah terjadi. Berbeda dengan anulasi yang tidak melecehkan

martabat luhur sakramen, perceraian sendiri dilihat sebagai penodaan terhadap

martabat luhur sakramen. Berdasarkan pemahaman semacam ini, Gereja menolak

perceraian dan hanya menerima anulasi.

Page 78: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

78

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Perkawinan Kristiani merupakan persekutuan hidup umat beriman yang

luhur dan mulia. Sebagai persekutuan hidup yang luhur dan mulia, perkawinan

Kristiani tidak hanya merupakan suatu realitas sosio-antropologis tetapi juga

merupakan suatu realitas transenden. Sebagai suatu realitas transenden,

perkawinan Kristiani tak bisa dilepaspisahkan dari campur tangan Allah yang

adalah cinta.

Hal ini secara nyata ditegaskan dalam seluruh Kitab Suci baik Perjanjian

Lama maupun Perjanjian Baru yang menjadi dasar bagi dokumen dan ajaran

Gereja yang berbicara tentang arti dan makna perkawinan. Kitab Suci Perjanjian

Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru seperti telah dijelaskan pada bab

sebelumnya menegaskan bahwa perkawinan adalah persekutuan hidup umat

beriman yang dikehendaki oleh Allah sendiri. Allah yang dalam diri-Nya sendiri

adalah Cinta memanggil manusia pria dan wanita untuk bersatu dalam komunitas

cinta yang disebut sebagai perkawinan (Kej 2: 24; Mat 9:1-12).

Dalam konteks hubungan perkawinan ini, Allah yang telah menunjukkan

cinta dan kesetiaan-Nya tanpa batas melalui Kristus, mengharapkan agar pasangan

suami-istri juga mampu meneladani sikap Allah tersebut dalam cintanya terhadap

pasangannya. Dengan meneladani sikap Allah terhadap Kristus dan sikap Kristus

terhadap Gereja, perkawinan Kristen kini mendapat arti baru yang lebih istimewa

dan sempurna.

Kesempurnaan cinta suami-istri ini dipenuhi dalam ikatan perkawinan

yang telah diangkat Kristus pada martabatnya sebagai sakramen. Sebagai sebuah

sakramen, persekutuan hidup bersama pasangan suami-istri melambangkan

hubungan cinta yang paripurna antara Kristus dengan Gereja-Nya. Oleh karena

Page 79: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

79

itu, Kristus yang telah mencintai Gereja-Nya tak terbatas waktu, menuntut pula

dari pasangan suami-istri untuk saling mencintai seumur hidup. Dalam sakramen

perkawinan, Kristus sendiri menghadirkan rahmat-Nya kepada suami-istri untuk

terus menyempurnakan cinta mereka agar mereka sanggup menjalankan setiap

aktivitas hidup membangun keluarga menjadi keluarga yang bahagia, matang dan

harmonis dengan kelahiran anak, pendidikan anak, dan kesejahteraan hidup suami

istri menjadi tujuan ultima perkawinan Kristiani.

Sering kebanyakan orang keliru menginterpretasi tujuan perkawinan. Ada

yang berpikir, misalnya, bahwa perkawinan baru dikatakan berhasil kalau semua

tujuan perkawinan, dalam hal ini, kesejahteraan serta kelahiran dan pendidikan

anak terpenuhi. Jika salah satu tujuan perkawinan seperti kelahiran anak tidak

terpenuhi, maka perkawinan dinilai gagal. Anggapan semacam ini kerapkali

menjadi halangan bagi perkawinan. Akhirnya bila kelahiran anak tak terjadi,

pasangan lalu berpikir bahwa perkawinan mereka telah gagal. Pada puncaknya

dan di hadapan kegagalan ini lalu muncullah niat untuk mengakhiri hubungan

melalui perceraian.

Padahal kesuksesan dan kegagalan hidup perkawinan tak bisa dinilai

hanya sebatas pada kelahiran anak. Bila tujuan perkawinan hanyalah kelahiran

anak maka perkawinan dapat dikatakan gagal. Namun dalam perkawinan Kristen

kelahiran anak hanyalah salah satu tujuan perkawinan. Dengan demikian apabila

pasangan suami-istri tidak memperoleh anak hal itu hanya berarti pasangan

suami-istri telah gagal memperoleh anak, tapi bukan gagal dalam hidup

perkawinan. Atau dengan kata lain gagal memperoleh anak tidak identik dengan

gagalnya hidup perkawinan.

Perceraian yang dipilih oleh pasangan yang memutuskan untuk bercerai

pada dasarnya tidak diterima oleh Gereja Katolik karena perkawinan itu sendiri

melecehkan hakikat perkawinan yang bersifat monogami dan tak terceraikan.

Dalam sifatnya yang monogami dan tak terceraikan ini, tuntutan untuk

membangun kehidupan bersama seumur hidup menjadi keniscayaan yang tidak

dapat diganggu gugat.

Berbeda dengan perceraian, Gereja sendiri hanya menerima anulasi

perkawinan atau pembatalan perkawinan. Anulasi diterima dalam Gereja Katolik

Page 80: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

80

karena proses anulasi yang terjadi menyatakan bahwa kedua pasangan tersebut

tidak pernah melangsungkan perkawinan dan perkawinan yang pernah terjadi

dinyatakan tidak sah dan tidak pernah terjadi. Ketidaksahnya perkawinan ini

diukur dan ditetapkan berdasarkan halangan-halangan yang menyebabkan

martabat perkawinan dilecehkan sehingga tujuan perkawinan itu sendiri tidak

mampu diraih. Anulasi dengan demikian dimaksudkan untuk membatalkan

perkawinan yang telah terjadi agar hakikat perkawinan dan tujuan perkawinan itu

sendiri tidak disalahgunakan sebagai ajang untuk meraih kepuasan dan

kepentingan pribadi salah satu pasangan.

Berhadapan dengan persoalan perceraian dan anulasi tersebut, Gereja kini

mau tidak mau berkewajiban untuk mengajarkan anggota-anggotanya tentang

luhurnya perkawinan dan betapa indahnya hidup dalam kesetiaan sampai akhir

sebagai pasangan suami-istri. Dalam ikatan kebersamaan seperti ini, cinta Yesus

terhadap Gereja-Nya atas cara tertentu dihadirkan secara eksklusif. Ekslusivitas

cinta Yesus terhadap Gereja yang dimulai dalam keluarga menjadi jembatan bagi

keluarga untuk membagi cinta itu kepada orang lain, kepada keluarga lain dalam

kehidupan masyarakat yang lebih luas.

4.2 Usul-Saran

Berpijak pada keseluruhan pembahasan mengenai “Perceraian dan Anulasi

Perkawinan dalam Perspektif Moral Kristiani” tersebut penulis pada bagian ini

hendak mengusulkan beberapa saran yang perlu diperhatikan dan mungkin

berguna bagi karya pastoral Gereja berhadapan dengan dunia dewasa ini yang

dipenuhi oleh berbagai tantangan yang dapat menghancurkan sakralitas

perkawinan. Atau dengan perkataan lain, segala usul ini dimaksudkan agar Gereja

melalui gembala umat dan pasangan suami-istri yang telah menikah dan yang

hendak menikah agar memahami kembali hakikat perkawinan agar kehidupan

perkawinan umat Katolik tidak dilecehkan. Lebih dari itu, usulan ini dimaksudkan

agar keluarga-keluarga Kristen mampu membangun kehidupan keluarga mereka

menjadi lebih baik dari waktu ke waktu tanpa takut terhadap tantangan-tantangan

yang sekali waktu datang menghampiri.

Adapun beberap usulan penulis yakni: pertama, untuk para petugas

pastoral. Para petugas pastoral harus terlebih dahulu membekali diri dan

Page 81: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

81

memahami hakikat perkawinan Kristiani sebelum membuat pendampingan

terhadap pasangan yang akan menikah. Hal ini sangat penting agar pendampingan

terhadap keluarga Kristen dilakukan secara sungguh-sungguh. Dengan

pemahaman yang baik dan benar terhadap hakikat perkawinan Kristen dan

larangan terhadap perceraian serta keistimewaan anulasi, petugas pastoral dapat

mempersiapkan pasangan yang akan menikah dengan sebaik mungkin dan

mengarahkan mereka menuju pemahaman yang lebih baik dan mendalam

mengenai arti dan tujuan perkawinan itu sendiri.

Kedua, bagi pasangan suami-istri. Sebelum melangkah ke jenjang

perkawinan dan persatuan hidup bersama, pasangan suami-istri dituntut untuk

memikirkan berbagai alasan di balik panggilan untuk hidup bersama. Bila alasan

untuk hidup bersama sudah dipikirkan secara matang dan mendalam maka sudah

menjadi suatu keniscayaan bagi pasangan untuk saling mempelajari berbagai

kelebihan dan kekurangan masing-masing sebelum melangkah ke jenjang

perkawinan.

Proses mengenal pasangan dengan segala kekurangan dan kelebihan ini

merupakan tuntutan urgen dan sangat penting yang harus diketahui dan dipahami

secara baik. Pasalnya, kekurangan-kekurangan pribadi yang tidak dikenal dari

awal dapat menjadi hambatan terbesar bagi perkawinan. Oleh karena itu sebelum

pasangan suami-istri memutuskan untuk masuk ke tahap perkawinan dan menikah

secara resmi dalam Gereja Katolik, komunikasi interpersonal yang intensif mesti

dibangun.

Keterbukaan untuk mengakui kekurangan sangat penting di sini. Dengan

adanya pengetahuan yang memadai tentang kekurangan dan kelebihan masing-

masing, pasangan belajar untuk saling memahami satu sama lain dan belajar untuk

saling melengkapi. Lebih dari itu proses komunikasi ini pun tidak hanya

dilangsungkan sebelum perkawinan tetapi hendaknya terus berjalan seumur hidup

selama keduanya hidup bersama. Dengan adanya komunikasi yang intensif segala

kekurangan yang dialami dalam keluarga tidak hanya menjadi tanggungjawab

keluarga inti. Ketika pasangan mengalami tantangan dalam hidup berkeluarga,

keterbukaan untuk meminta masukan dari keluarga besar dan gembala umat

menjadi penting. Dengan keterbukaan membagi kekurangan dalam keluarga,

Page 82: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

82

segala beban dalam keluarga dapat diatasi secara bersama. Hal ini pun

dimaksudkan agar putusan untuk bercerai dapat dibendung.

Keempat, perlu disadari bahwa dewasa ini, panggilan untuk hidup

berkeluarga menjadi tidak mudah. Berbagai tantangan dari luar akibat globalisasi

senantiasi menghadang. Setiap individu yang ingin menikah dan hidup bersama

membentuk keluarga dengan demikian akan dipenuhi oleh berbagai tantangan

yang menghadang di depan mata. Oleh karena itu penting bagi masing-masing

orang yang ingin menikah untuk menyadari kembali tantangan yang ada sebagai

dasar refleksi bila memilih untuk berkeluarga. Dengan melihat tantangan-

tantangan ini, tuntutan untuk mempelajari berbagai hal menyangkut hakikat

perkawinan, perceraian, anulasi dan berbagai dampaknya menjadi suatu

keniscayaan agar kelak, hidup berkeluarga tidak lagi dianggap sebagai kutuk

melainkan sebagai berkat yang patut disyukuri.

Page 83: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

83

DAFTAR PUSTAKA

I. DOKUMEN GEREJA DAN KAMUS

Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatika II. Terj. Hardawirayana. Cetakan VI.

Jakarta: Obor, 2002.

Kitab Hukum Kanonik. Terj. V. Katrosiswoyo et.al. Cet. III. Jakarta: Obor, 1991.

Kongregasi Ajaran Iman. Katekismus Gereja Katolik. Terj. Herman Embuiru.

Ende: Nusa Indah, 1995.

Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Deuterokanonika. Cet. VIII Jakarta:

Lembaga Alkitab Indonesia, 2000.

Lembaga Biblika Indonesia. Surat-Surat Paulus II. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Macquarrie, John. A dictionary of Cristian Ethics. London: SCM Press LTD,

1967.

O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Terj. I. Surharyo.

Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Paus Yohanes Paulus II. Amanat Apostolik Familiaris Consortio. Terj.

Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Paus Paulus VI. Ensiklik Humanae Vitae. Edisi Indonesia-Inggris. Yogyakarta:

Kanisius, 1968.

Pusat Bahasa Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II.

Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1991.

Packer, J. I. Ensiklopedi Fakta Alkitab. Vol. 2, terj. Budi Hardiman. Jawa Timur:

Gandum Mas, 2001.

II. BUKU-BUKU

Ameis, Bill dan Jane Grave. Cinta, Seks & Allah. Terj. Julia Suleiman Chandra.

Yogyakarta: Yayasan Andi, 1998.

Page 84: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

84

Adams, Jay E. Masalah dalam Rumah Tangga Kristen. Terj. Richardus Eko

Indrajit. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Burtchaell, James. Dalam Untung dan Malang; Ikatan Janji Perkawinan. Terj. H.

J. Suhardiyanto. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Christie, Anthony. Langkah Tepat Ketika Menghadapi Kasus Perkawinan. Terj.

Rachel S. Wahjudi. Yogyakarta: Charissa Publisher, 2013.

Darriyo, Agoes. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo,

2003.

Darmawijaya, St. Mengarungi Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Ernaningsih, Wahyu dan Putu Sumawati, Hukum Perkawinan Indonesia

Palembang: PT. Rambang Palembang, 2006.

Go, Piet dan Maramis, Kesetiaan Suami Istri dan Soal Penyelewengan. Malang:

Analekta Keuskupan Malang, 1990.

Go, Piet. Kawin Campur Beda Agama dan Beda-Gereja. Malang: Dioma, 1994.

Gustav Jung, Carl. Diri yang Belum Ditemukan. Terj. Agus Cremes dan Martin

Warus. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.

Garawiyan, Banu. Memahami Gejolak Emosi Anak. Bogor: Cahaya, 2003.

Groenen, C. Perkawinan Sakramental, Antropologi dan Sejarah Teologi,

Sistematik, Pastoral. Terj. J. Hardiwikarta. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Gilarso, T, ed. Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Hardiwardoyo, Purwa Al. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

------------------------------. Perkawinan Menurut Islam dan Katolik. Yoyagkarta:

Kanisius, 1990.

Habsyi, Baqir Al. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan, 2002.

Hurlock, Elizabeth B. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terj.

Suprajitno. Jakarta: Elangga, 1990.

Haag, Herbert. Pada Awal Mula. Terj. Ardi Handoko dan A. Widyamartaya.

Yogyakarta: Kanisius, 1978.

Isaak, Servulus. Mencari Keadilan. Ende: Nusa Indah, 1985.

Page 85: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

85

Jackson, Dave. Memulai dan Membangun Keluarga Bersama. Terj. Lukas

Tjandra. Malang: Departemen Literatur SAAT, 2002.

Konigsmann, Josef. Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Ende: Nusah

Indah, 1987.

Lina, Paskalis. Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan Seksualitasnya. Maumere:

Penerbit Ledalero, 2017.

------------------. Sakramentalitas Perkawinan dan Penegasan atas Humanae

Vitae. Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.

Larosa, Arliyanus. Kunci Sukses Karir Pernikahan. Bandung: Yayasan Kalam

Hidup, 2009.

Mcbride, Alfred. Pendalaman Iman Katolik. Jakarta: Penerbit Obor, 2004.

Mack, Wayne A. Kesatuan yang Kudus. Terj. Yakob Tomatala. Surabaya: Yakin

Ganteng Besar, 1977.

Maas, C. Teologi Moral Perkawinan. Ende: Nusa Indah, 1997.

Ola Daen, Philip. Manajemen Penyelidikan Pra Nikah. Yogyakarta: Yayasan

Pustaka Nusatama, 2010.

--------------------. Pelayanan Tribunal Perkawinan. Maumere: Penerbit Ledalero,

2019.

Peschke, Karl Heinz. Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral dalam Hidup

Pribadi. Terj. Alex Armanjaya, Yosef M. Florison dan G. Kirchberger.

Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.

Peschke, Henry. Cristian Ethics. Vol. II. Manila: Theological Publications, 1978.

Pasaribu, Marulak. Pernikahan dan Keluarga Kristen. Jawa Timur: Departemen

Literatur YPPII, 2001.

Rausch, Thomas. Katolisisme, Teologi Bagi Kaum Awam. Terj. Agus M.

Hardjana. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Catur, Raharso. Alf. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik. Malang:

Dioma, 2006.

-------------------------. Halangan-halangan Nikah Menurut Hukum Gereja Katolik.

Malang: Dioma, 2011.

Raho, Bernard. Keluarga Berziarah Lintas Zaman. Ende: Nusa Indah, 2003.

Page 86: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

86

-----------------. Sosiologi. Maumere: Penerbit Ledalero, 2014.

Rubiyatmoko, Robertus. Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011.

Rahner, Karl. Teological Investigasion. Vol. X. No. 1. Turku: Argicola-

Gesellschaft, 1955.

Surya, Mohammad. Bina Keluarga. Bandung: Graha Ilmu, 2019.

Syaifuddin, Muhammad, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan. Hukum

Perceraian. Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2019.

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata Jakarta: PT. Internusa, 1985.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2006.

Sau, A. Tefa. Mencari Baju Kebahagiaan. Ende: Nusa Indah, 1998.

Sebho, Fredy. Estetika Tubuh. Maumere: Penerbit Ledalero, 2017.

---------------. Moral Samaritan. Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.

Sinaga, Jaliaman. Tujuh Pilar Pernikahan. Jakarta: Divisi Pengajaran Unit

Seminar, 2004.

Subeno, Sutjipto. Indahnya Pernikahan Kristen. Surabaya: Momentum, 2008.

Saint, Le. Ancient Cristian Writers; The works of the Father in Translated.

London: Longmas Green and Co, 1951.

Trobisch, Walter. Jodohku. Terj. D. Susilaradeya. Malang: Gandum Mas, 1973.

Umar Basyier, Abu. Mengapa Harus Bercerai. Surabaya: Shafa Publika, 2012.

Vollebrecht, G. N. Kitab Suci Tentang Perkawinan. Terj. F. Hartono. Yogyakarta:

Kanisius, 1966.

Verkuyl, J. Etika Kristen Seksual. Terj. Soegiarto. Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1957.

Volkhard dan Gerlinde Scheunemann. Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah. Terj.

Sri Supadmi Murtiadji. Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil

Indonesia, 2001.

Page 87: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan103.56.207.239/56/2/BAB I - BAB IV.pdf · 2020. 10. 12. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Dewasa ini problem-problem

87

Willis, John. The Theacing of the Church Fathers. San Fransisco: Ignatius Press,

1966.

III. MANUSKRIP DAN ARTIKEL

Blow dan Hartnett. “Perselingkuhan Sebagai Kenikmatan Menyesatkan”. Dalam

Anwar Bastian. Jurnal Psikologi Perkembangan, Vol 8, No. 2. Universitas

Indonesia, Juni 2012.

Hekong, Kletus. “Hukum Perkawinan” Bahan Kuliah. STFK Ledalero, 1997.

Lina, Paskalis. “Bahan Seminar Pendampingan Keluarga” Bahan Seminar.

Keuskupan Maumere: Vikaris Yudisial, 2017.

Klein, Paul. Pedoman Awal Keluarga Kristen-Seri Buku Pastoralia. No. IX/1.

Ende: Nusa Indah, 1883.

Mukadimah. Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Tahun

1966. Ed. Frans Ceunfin. Maumere: Penerbit Ledalero, 2007.

Purwaharsato, F. X. “Pedoman Perangkat Pelayanan Kasus Perkawinan

Gerejawi”. Instrimentarum Tribunalis. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Sila, Alex. “Dialog Sebagai Perbuatan Orang Beriman”. Jurnal Ledalero, Vol. 8,

No. 2, Desember 2009.

Sujoko, Albertus. Moral Keluarga. Pineleng: STF-SP, 2002.

VI. INTERNET

https://id.m.wikipedia.org/wiki, pembatalan_perkawinan.com.

http://hikmat pembaharuan. Wordpress. Com / 18 April 2012, Dasar-dasar dalam

Pernikahan.

http://www.batamnews.co.id/berita-34192-ini-bedanya-selingkuh-pria-dan-

wanita-jangan-salah-paham.html.

Pengadilan Negeri Kupang, “Sistem Informasi Penelusuran Perkara”, Sip.pn-

kupang.go.id/list_perkara/page/1.

Wahyu Nugroho, Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga,

http/amp/s/communicateur. wordpress.com