BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahdigilib.uinsgd.ac.id/470/4/4_bab1sd3.pdf · Pajak Air...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahdigilib.uinsgd.ac.id/470/4/4_bab1sd3.pdf · Pajak Air...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu unsur reformasi total adalah tuntutan pemberian otonomi luas
kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak
untuk dua sebab yakni: 1) intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa
lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah
daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di
daerah, 2) tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk
memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan
manusia di masa depan. Di era seperti ini dimana globalization cascade sudah
semakin meluas, pemerintah akan semakin hilang kendali pada banyak persoalan,
seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi
keuangan.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah1 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah2 merupakan titik awal
berjalannya otonomi daerah. Misi utama kedua undang-undang tersebut adalah
desentralisasi fiskal, yang diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata yaitu:
pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat
dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di
1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah
2
seluruh daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui
pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang lebih
rendah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di
Indonesia. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pengembangan otonomi
pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada
pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan
diikuti oleh pengaturan pembagian, pemanfaatan dan sumber daya nasional yang
berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Perkembangan administrasi negara dewasa ini baik di negara maju
maupun di negara berkembang mengarah pada peningkatan efisiensi dan
profesionalisme pelayanan publik. Semua yang bergerak dalam administrasi
publik harus tertata secara rasional, efisien serta dinamis dalam melayani
masyarakat. Apalagi di dalam era globalisasi sekarang ini harus dilihat dalam
konteks bagaimana mengoptimalkan fungsi-fungsi pemerintahan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat karena kehadiran pemerintah
merupakan keinginan masyarakat dan salah satu tugas umum pemerintah yang
utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu,
3
pemerintah harus mempersiapkan konsep pelayanan yang berkualitas dan dapat
dipertanggungjawabkan serta berusaha meminimalkan ketidakpuasan pelanggan
dengan memberikan pelayanan yang prima, baik di pusat maupun di daerah.
Salah satu upaya untuk meningkatkan penerimaan sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dilakukan antara lain dengan jalan
meningkatkan penerimaan sektor pajak daerah dan retribusi daerah, baik melalui
intensifikasi maupun ekstensifikasi pungutan. Hal ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah3.
Undang-undang ini menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan
pedoman kebijaksanaan dan arahan bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan
pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan peraturan untuk menjamin penerapan
prosedur umum perpajakan daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 2 tentang
Jenis Pajak Provinsi yaitu terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.4
Diantara sumber pendapatan asli daerah yang berasal dari sektor pajak
daerah yang cukup penting dan potensial adalah Pajak Kendaraan Bermotor
(PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) karena banyak
menunjang pembiayaan daerah.
3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 2 tentang Jenis Pajak Provinsi
4
Pengelolaan pemungutan dan pengurusan Pajak Kendaraan Bermotor
dilakukan pada satu kantor yang melibatkan beberapa unsur yang terkait didalam
pengelolaannya. Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor yang dilaksanakan pada
satu kantor ini dikenal dengan istilah SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal
Satu Atap). Pedoman tata laksana SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal
Satu Atap) diatur dalam Intruksi Bersama (INBERS) Menteri Pertahanan dan
Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor
INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 tentang
pelaksanaan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) dalam
penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Surat Tanda Coba
Kendaraan Bermotor (STCK), Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB),
Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB) dan pemungutan Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) serta
Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) tertuang
dalam Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani oleh Kepala POLRI,
Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah serta Direktur PT.
Jasa Raharja (Persero). Isi keputusan tersebut antara lain:
1. Bahwa dalam rangka usaha peningkatan, pengamanan dan penertiban
pelaksanaan pemungutan pajak-pajak daerah khususnya pemungutan
PKB dan BBN-KB maka perlu lebih ditingkatkan kerjasama antara
aparat Gubernur kepada daerah dan Aparat Komando daerah
Kepolisian diseluruh Indonesia.
2. Bahwa makin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, maka
peningkatan penerimaan disektor ini harus diimbangi dengan usaha-
usaha efisiensi baik dalam sistem, administrasi dan kebijaksanaan
pemungutan.
3. Bahwa pemungutan PKB dan BBN-KB serta Sumbangan Wajib Dana
Kecelakaan lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) adalah sangat erat
hubungannya dengan pengeluaran STNK, sehingga penelitian tentang
5
utang STNK setiap tahun akan berarti pula penelitian pelunasan Pajak-
pajak Kendaraan Bermotor dan pelunasan SWDKLLJ.
4. Bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan yang sebaik-baiknya
kepada pemilik kendaraan bermotor, perlu diadakan penyederhanaan
cara membayar pungutan-pungutannya yang kaitannya dengan
kendaraan bermotor, maka untuk itu perlu adanya suatu tempat (loket)
dimana pemilik kendaraan bermotor sekaligus dapat menyelesaikan
pembayaran biaya administrasi kendaraan bermotor, pajak dan
Sumbangan Wajib Dana kecelakaan lalu Lintas Jalan.5
Ketiga instansi pemerintah di atas masing-masing mendelegasikan kepada
dinas-dinas dibawahnya untuk menangani tugas-tugas yang bersifat operasional di
lapangan. Menteri Pertahanan dan Keamanan mendelegasikan kepada Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI), Menteri Keuangan mendelegasikan kepada PT. Jasa
Raharja (Persero) dan Menteri Dalam Negeri mendelegasikan kepada Dinas
Pendapatan Provinsi yang masing-masing membuka cabang pada masing-masing
Kabupaten dan Kota dengan tugas:
1. Dinas Pendapatan, bertugas untuk memungut Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-
KB).
2. Kepolisian, bertugas memberi pelayanan registrasi dan identifikasi
Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Surat Tanda Coba
Kendaraan Bermotor (STCK), Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
(TNKB), dan Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB).
3. PT. Jasa Raharja (Persero), bertugas memungut Sumbangan Wajib
Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ).6
Pajak Kendaraan Bermotor yang dipungut sebagai sumber pendapatan
daerah, kewenangannya berada ditangan Gubernur yang meliputi pendaftaran/
pendataan, penetapan, penyetoran, pembukuan dan pelaporan, keberatan dan
5 Inbers Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 tentang
pelaksanaan SAMSAT 6 Inbers Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 tentang
pelaksanaan SAMSAT
6
banding, penagihan, pembetulan, pembatalan, pengurangan, penghapusan atau
pengurangan sanksi administrasi dan pengambilan kelebihan pembayaran yang
kesemuanya dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Provinsi.
Dalam upaya peningkatan pengamanan dan penertiban pelaksanaan
pemungutan pajak-pajak daerah khususnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB),
perlu ditekankan kerjasama antara aparat Gubernur Kepala Daerah dengan aparat
Komando Daerah Kepolisian Republik Indonesia. Perlunya kerjasama tersebut
adalah karena pekerjaan yang dilakukan Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan
Daerah melalui seksi PKB dan BBN-KB berkaitan dengan pekerjaan polisi.
Hasil yang diperoleh dari pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
berada di bawah Koordinasi Dinas Pendapatan Daerah. Dinas Pendapatan Daerah
dalam melaksanakan tugasnya serta untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, membentuk cabang-cabang yang langsung bersentuhan dengan
masyarakat. Cabang-cabang pelaksana kebijakan dari Dinas Pendapatan Daerah
dikenal dengan nama Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan (CPDP) Daerah. Di
Daerah Provinsi Jawa Barat, Dinas Pendapatan Daerah Provinsi membentuk
Cabang-cabang Pelayanan Dinas Pendapatan (CPDP) yang tersebar di 34 unit di
seluruh Jawa Barat. Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah dibentuk
berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 39 Tahun 2010 tentang
Tugas Pokok dan Fungsi Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja Dinas Pendapatan
Daerah Provinsi Jawa Barat.7
7 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 39 Tahun 2010 tentang Tugas Pokok dan Fungsi
Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat
7
Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah memiliki tugas pokok
melaksanakan pelayanan, pengembangan, pelatihan konservasi dan pelestarian
dibidangnya sesuai dengan kebijaksanaan Gubernur. Khusus untuk daerah Kota
dan Kabupaten Bandung terdapat lima Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan
Daerah (CPDP) yaitu: CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung I Pajajaran,
CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, CPDP Daerah
Provinsi Wilayah Kota Bandung III Soekarno-Hatta, CPDP Daerah Provinsi
Wilayah Kabupaten Bandung I Rancaekek, dan CPDP Daerah Provinsi Wilayah
Kabupaten Bandung II Soreang yang berada dibawah Dinas Pendapatan Daerah
Provinsi tetapi berkoordinasi dengan instansi yang berkaitan dengan kelancaran
pemasukan Pajak Kendaraan Bermotor. Dalam hal ini instansi yang dimaksud
adalah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan PT. Jasa Raharja (Persero).
SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) dalam menjalankan
tugasnya melibatkan tiga instansi yang berbeda yaitu Dinas Pendapatan Daerah
Provinsi Jawa Barat, Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan PT.
Jasa Raharja (Persero), untuk itu maka diperlukanlah koordinasi untuk
menertibkan jalannya kegiatan operasional di lapangan. Pelaksanaan koordinasi
diantara Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat, POLRI dan PT. Jasa
Raharja (Persero) bukan sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan
informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok,
melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yakni praktek
pelaksanaan kekuasaan. Hal ini sama dengan pelaksanaan pengarahan yaitu
membimbing, membina, mengarahkan dan menggerakkan orang-orang agar mau
8
bekerjasama untuk mencapai tujuan. Struktur organisasi yang kompleks terdiri
dari tiga instansi yang berbeda, dimana tiap instansi membawa tugas pokok dan
fungsi masing-masing yang akan menimbulkan bertambahnya masalah
komunikasi yang sukar untuk memperoleh koordinasi yang baik. Kesulitan-
kesulitan dalam koordinasi itu akan timbul, baik yang bersifat horizontal maupun
yang bersifat vertikal.
Pelaksanaan koordinasi dan pengarahan merupakan integral yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain dan dapat mempengaruhi efektivitas individu,
efektivitas kelompok dan efektivitas organisasi. Integrasi kegiatan melalui
koordinasi tentunya akan membantu mewujudkan tujuan tiap instansi. Untuk
menunjang agar tujuan tersebut dapat tercapai, masing-masing instansi
mempunyai wewenang dan tugas yang dapat dipertanggungjawabkan kepada
atasannya masing-masing. Namun demikian, wewenang dan tanggungjawab
tersebut perlu dikoordinasikan secara bersama-sama sepanjang terkait dengan
pelaksanaan teknis SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap). Oleh
karena itu SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) dalam
melaksanakan kinerjanya dibina dan dibimbing secara terus menerus oleh Tim
Pembina SAMSAT yang telah ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Jawa Barat.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan8, SAMSAT mengadakan penyesuaian
sehubungan dengan Pasal 70 ayat (2) yang menyatakan bahwa Surat Tanda
8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
9
Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku
selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun.
Pengesahan dilakukan oleh POLRI, apabila Wajib Pajak telah membayar PKB
dan SWDKLLJ serta melaksanakan komputerisasi administrasi kendaraan
bermotor pada setiap SAMSAT secara nasional.
Pengaturan dan penataan yang dilaksanakan oleh SAMSAT bertujuan
untuk:
1. Memberikan kemudahan kepada masyarakat pemilik kendaraan bermotor
untuk memenuhi kewajiban membayar pajaknya, sehingga dapat memberikan
pelayanan yang berkualitas serta sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam pengurusan STNK dimana
prosedur pengurusan mudah serta cepat dan Wajib Pajak hanya datang ke satu
tempat.
2. Meningkatkan daya guna pelaksanaan pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor
(PKB) karena pungutan PKB/ BBN-KB dan SWDKLLJ sangat erat kaitannya
dengan pengeluaran STNK sehingga penelitian ulang setiap tahun akan berarti
pula pelunasan PKB dan SWDKLLJ.
3. Pengawasan dan penertiban pelaksanaan pungutan PKB/ BBN-KB dan
SWDKLLJ dengan penelitian ulang tiap tahun, maka dari segi penertiban
terhadap pemilik kendaraan bermotor oleh pihak kepolisian serta
terselenggaranya pengamanan terhadap pemilik dari tindakan melanggar
hukum serta dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak.
10
Adapun tugas koordinator berdasarkan Intruksi Bersama Menteri
Pertahanan dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor
INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 mengenai
pelaksanaan SAMSAT dalam penerbitan STNK, STCK, TNKB, TCKB dan
Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), BBN-KB serta SWDKLLJ
adalah:
1. Mengkoordinir kegiatan di luar teknis administrasi;
2. Melakukan pengaturan tata kerja dan tata ruang gedung Kantor Bersama
SAMSAT.9
Dengan melaksanakan pelayanan tersebut diperlukanlah koordinasi oleh
semua instansi yang terlibat agar dapat memperoleh suatu hasil yang efektif di
dalam suatu pelayanan, baik POLRI bertugas memberi pelayanan registrasi dan
identifikasi STNK, STCK, TNKB, TCKB, Dinas Pendapatan Daerah yang
bertugas memungut PKB dan BBN-KB dan PT. Jasa Raharja (Persero) bertugas
memungut Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tugas pokok Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi yakni bertanggungjawab dalam melaksanakan
koordinasi antar instansi dalam proses pelayanan SAMSAT, maka Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan berkoordinasi dengan instansi yang terkait agar
diperoleh kerjasama yang sinergi dalam melayani wajib pajak pada SAMSAT.
Adapun salah satu SAMSAT yang ada di kota Bandung yaitu SAMSAT Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II
9 Inbers Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999, Nomor 6/IMK.014/1999 tentang
pelaksanaan SAMSAT
11
Kawaluyaan melakukan koordinasi dengan instansi terkait yaitu POLRI dan PT.
Jasa Raharja (Persero) provinsi Jawa Barat.
Adapun komposisi wajib pajak yang melakukan registrasi dan identifikasi
kendaraan bermotor, pembayaran PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ pada SAMSAT
Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II
Kawaluyaan dapat dilihat pada total penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) pada tabel dibawah ini:
Tabel 1.1
Total Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
Pada SAMSAT CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II
Kawaluyaan
Terhitung dari Januari s/d Maret 2013
No Bulan SKPD Pajak Kendaraan Bermotor
1. Januari 18,355
2. Februari 16,245
3. Maret 16,909
JUMLAH 51,509
Sumber: Bagian Bendahara Penerimaan CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota
Bandung II Kawaluyaan.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa wajib pajak yang harus
mendapatkan pelayanan yang prima semakin banyak, hal ini menuntut para
penyedia pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) yaitu
Dispenda, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) untuk lebih meningkatkan
koordinasi diantara mereka agar efektivitas pelayanan tercapai, sehingga wajib
pajak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan sebagai tanggungjawab pihak
pemerintah dalam mewujudkan tujuannya.
12
Berdasarkan observasi awal yang penulis lakukan pada SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) unit Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan
(CPDP) Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, diketahui bahwa
efektivitas pelayanan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini
terlihat pada beberapa indikasi sebagai berikut:
1. Rasa empaty dalam pelayanan rendah, dibuktikan dengan adanya perlakuan
yang tidak adil oleh petugas dalam memberikan pelayanan kepada wajib
pajak. Contoh kasus yang terjadi dilapangan yaitu wajib pajak yang
mempunyai hubungan saudara atau hubungan teman dengan petugas,
pengurusan dalam pelayanannya sering kali didahulukan.
2. Kemudahan dan kesederhanaan persyaratan administrasi pengurusan STNK
masih kurang dikarenakan wajib pajak harus menyiapkan beberapa
persyaratan dalam pengurusan STNK. Contoh untuk proses mutasi, BBN-KB
dan STNK ulang lima tahun kendaraan harus dilakukan cek fisik terlebih
dahulu; memfotocopy beberapa berkas; dan untuk proses BBN-KB II
pengambilan berkas untuk tahun 2008 ke bawah masih dilakukan di SAMSAT
Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Bandung III
Soekarno Hatta.
Penulis beranggapan bahwa salah satu faktor tidak tercapainya efektivitas
pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan ini
disebabkan karena lemahnya koordinasi fungsional antara instansi terkait sebagai
pelaksana operasional.
13
Maka berdasarkan dari indikasi-indikasi permasalahan di atas, penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut dengan menuangkannya dalam
bentuk skripsi yang berjudul: “Pengaruh Koordinasi Antar Instansi terhadap
Efektivitas Pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap)
pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota
Bandung II Kawaluyaan.”
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis
merumuskan identifikasi masalah dengan indikasi-indikasi masalah sebagai
berikut:
1. Koordinator intern yaitu unsur kepolisian kurang memonitoring dan
menertibkan seluruh pelaksanaan kegiatan lapangan yang berkaitan dengan
mekanisme pembayaran PKB/ BBN-KB, pembayaran SWDKLLJ sampai
dengan penyerahan STNK kepada wajib pajak.
2. Tidak ada evaluasi kinerja antar instansi terhadap penanganan keluhan atau
masalah wajib pajak yang berkaitan dengan pengurusan surat-surat kendaraan
bermotor, seperti kesalahan dalam pengetikan nomor dan alamat wajib pajak.
Keluhan wajib pajak hanya ditangani oleh masing-masing instansi tanpa
adanya koordinasi diantara mereka. Hal ini menyebabkan wajib pajak sulit
untuk mengajukan pengaduan dan penanganan keluhan wajib pajak menjadi
terhambat. Monitoring hanya dilakukan oleh masing-masing Kepala Seksi dari
ketiga instansi tersebut yaitu Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan (CPDP)
Daerah, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero).
14
3. Kurangnya informasi yang mengalir kepada koordinator mengenai kondisi
yang sedang berlangsung dan kesulitan-kesulitan yang dialami dalam
penyelesaian tugas masing-masing anggota sehingga masalah dan kesulitan
tersebut tidak dapat dijadikan bahan pembahasan bersama dalam evaluasi
kerja.
4. Tidak ada forum komunikasi bersama guna memecahkan masalah yang
berkaitan dengan adanya pelayanan penyelesaian STNK. Kegiatan rapat
koordinasi masih belum berjalan efektif karena belum terjadwalkan secara
rutin mengenai rapat tersebut. Rapat hanya dilakukan pada keadaan yang
memang perlu untuk dilakukan. Sehingga penyelesaian masalah-masalah
mengenai pelayanan SAMSAT belum dapat terselesaikan.
1.3 Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada identifikasi masalah tersebut di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh kesatuan tindakan terhadap efektivitas pelayanan
SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II
Kawaluyaan.
2. Seberapa besar pengaruh komunikasi terhadap efektivitas pelayanan
SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II
Kawaluyaan.
15
3. Seberapa besar pengaruh pembagian kerja terhadap efektivitas pelayanan
SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II
Kawaluyaan.
4. Seberapa besar pengaruh disiplin terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT
(Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
5. Seberapa besar pengaruh kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan
disiplin secara simultan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
1.4 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memiliki dua tujuan yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
koordinasi antar instansi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) yang ada pada Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
16
2. Tujuan Khusus
Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa
besar:
a. Pengaruh kesatuan tindakan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT
(Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
b. Pengaruh komunikasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
c. Pengaruh pembagian kerja terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT
(Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
d. Pengaruh disiplin terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
e. Pengaruh kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan dispilin
secara simultan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
17
1.5 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini yang menjadi harapan penulis adalah:
1.5.1 Kegunaan Teoritis
1. Bagi Penulis
a. Untuk menerapkan ilmu atau teori-teori serta memberikan pemikiran bagi
penulis mengenai pengembangan ilmu Administrasi Negara.
b. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang organisasi dan manajemen
khususnya mengenai koordinasi antar instansi pemerintah.
2. Bagi Lembaga
a. Penelitian ini dapat berguna sebagai pengembangan ilmu Administrasi
Negara mengenai fungsi manajemen khususnya mengenai koordinasi dan
efektivitas pelayanan.
b. Sebagai bahan masukan untuk pertimbangan dan sumbangan pemikiran
yang bermanfaat bagi kalangan akademis.
3. Bagi Instansi
a. Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan pemahaman tentang
pentingnya koordinasi diantara instansi dalam mewujudkan efektivitas
pelayanan yang baik.
b. Dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu administrasi termasuk
pemecahan masalah administrasi khususnya mengenai koordinasi terhadap
efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu
Atap).
18
1.5.2 Kegunaan Praktis
1. Bagi Penulis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan,
kependidikan khususnya dalam membuka pola pikir penulis yang lebih
terarah.
b. Memenuhi salah satu syarat untuk menempuh Ujian Sidang Munaqasah
Strata Satu (S1) pada jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
2. Bagi Lembaga
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi mereka
(mahasiswa) lain yang akan menindaklanjuti penelitian ini dengan
mengambil penelitian yang sama dan dengan informan penelitian yang
lebih baik.
b. Dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu Administrasi Negara.
3. Bagi Instansi
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan yang konstruktif
bagi instansi yang terkait dalam pelayanan Sistem Administrasi
Manunggal Satu Atap (SAMSAT).
b. Memberikan masukan bagi instansi terkait untuk dijadikan sumbangan
pemikiran khususnya bagi pelayanan SAMSAT pada Cabang Pelayanan
Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
19
1.6 Kerangka Pemikiran
Dalam suatu studi penelitian perlu adanya kejelasan titik tolak atau
landasan berpikir untuk memecahkan dan membahas masalah. Untuk itu perlu
disusun suatu kerangka teori sebagai pedoman yang menggambarkan darimana
sudut masalah tersebut disorot.
Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan
penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel
atau pokok masalah yang ada dalam penelitian.10
Sebelum melakukan penelitian
yang lebih lanjut seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai
landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti
masalah yang dipilihnya.
Suatu organisasi dibentuk karena adanya tujuan yang akan dicapai. Agar
tujuan organisasi tersebut tercapai, diperlukan usaha-usaha yang dilakukan oleh
sekelompok orang melalui kerjasama. Kerjasama yang baik akan memungkinkan
tercipta jika diantara komponen-komponen di dalam organisasi tersebut terjalin
suatu koordinasi yang baik. Melalui koordinasi, keselarasan usaha dari bagian-
bagian tersebut kearah pencapaian tujuan bersama dapat dilakukan. Tanpa
koordinasi, individu-individu dan unit-unit dalam organisasi akan kehilangan
pegangan atas peranan mereka dalam organisasi. Mereka mulai mengejar
kepentingan sendiri yang sering merugikan tercapainya tujuan organisasi secara
keseluruhan.
10
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, hlm: 92
20
Adapun pengertian koordinasi menurut Harold Koontz, Cyril O’Donnell
dan Heinz Weihrich yang dikutip oleh Moekijat dalam bukunya “Koordinasi:
Suatu Tinjauan Teoritis”, mengemukakan bahwa koordinasi adalah pencapaian
keselarasan dari usaha individu dan kelompok ke arah pencapaian maksud dan
tujuan kelompok”.11
Handayaningrat dalam bukunya “Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan
Manajemen”, mendefinisikan koordinasi merupakan usaha yang mengarahkan dan
menyatukan kegiatan-kegiatan dalam satuan kerja organisasi, sehingga organisasi
bergerak sebagai satuan yang bulat guna melaksanakan seluruh tugas organisasi
yang diperlukan untuk mencapai tujuannya”.12
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Stoner dan Freeman yang
mendefinisikan koordinasi sebagai berikut.
Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan unit-unit kerja
(bagian atau bidang-bidang fungsional) yang terpisah untuk dapat
mencapai tujuan organisasi secara efektif tanpa koordinasi para individu
dan bagian-bagian akan kehilangan pemahaman akan peran mereka dalam
organisasi dan tergoda untuk mengejar kepentingan khususnya
kepentingan mereka sendiri, seringkali dengan mengorbankan tujuan
organisasi yang lebih besar.13
Kemudian Handoko menyatakan pula mengenai pengertian koordinasi
yang berbeda. Menurutnya koordinasi (coordination) adalah proses
pengintegrasian tujuan-tujuan dari kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang
11
Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tinjauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 3 12
Soewarno Handayaningrat. 1994. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen.
Jakarta: CV Haji Masagung, hlm: 88 13
Stoner dan Freeman. 1994. Hlm: 501
21
terpisah (departemen/ bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai
tujuan organisasi secara efisien.14
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
koordinasi merupakan proses penyatupaduan atau penyelerasan kegiatan dari unit-
unit organisasi yang terpisah untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga segala
usaha organisasi diarahkan kepada tujuan bersama yang telah ditetapkan dimana
diharapkan tidak terdapat kekacauan, overlapping dan kekosongan pekerjaan baik
orang maupun jabatan, seperti dikemukakan oleh Hasibuan berikut ini.
Koordinasi dapat diartikan menggerakan segala usaha organisasi untuk
melaksanakan usaha sebanyak mungkin atau koordinasi berarti usaha
untuk mencegah terjadinya kekacauan, percekcokan, kekembaran atau
kekosongan pekerjaan. Orang-orang dan pekerjaannya disalurkan dan
diarahkan pada pencapaian tujuan tertentu.15
Koordinasi yang baik dapat diciptakan apabila faktor-faktor koordinasi
dilaksanakan dengan baik, Hasibuan berpendapat pula bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi koordinasi adalah kesatuan tindakan, komunikasi, pembagian kerja
dan disiplin.16
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah apabila faktor-faktor koordinasi
dilaksanakan dengan baik, maka koordinasi akan dapat berjalan dengan efektif
dan selanjutnya diharapkan efektivitas pelayanan akan tercapai.
14
Y. Hani Handoko. 1995. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE. hlm:195 15
Malayu S.P. Hasibuan. 2006. Manajemen: Dasar, Pegertian dan Masalah. Jakarta: Bumi
Aksara. hlm:85 16
Malayu S.P. Hasibuan. 2006. Manajemen: Dasar, Pegertian dan Masalah. Jakarta: Bumi
Aksara, hlm:88
22
Mengenai pengertian efektivitas, penulis memilih pendapat H. Emerson
yang dikutip oleh Handayaningrat dalam bukunya Pengantar Studi Ilmu
Administrasi dan Manajemen yaitu bahwa:
Efektivitas ialah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran/ tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya. Jelaslah apabila sasaran atau tujuan yang
telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya adalah sesuai.
Jadi, kalau tujuan atau sasaran itu tidak sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan, pekerjaan tidak efektif.17
Menurut Stewart, konsep efektivitas pelayanan meliputi:
Efektivitas pelayanan sangat ditentukan dari mampuntidaknya unsur
aparatur negara mengakomodasi tuntutan kebutuhan masyarakat dengan
menempatkan pelanggan di “kursi pengemudi” dan mendengar keluhan
masyarakat lalu aparat mengakomodasikannya. Keinginan masyarakat
akan pelayanan merupakan acuan bagi aparat dalam melakukan kajian
akan konsep pelayanan yang cepat melalui pemberdayaan.18
Sedangkan Hutahuruk menyatakan efektivitas pelayanan:
Efektivitas pelayanan adalah sejauh mana kebutuhan masyarakat dapat
dilayani oleh aparat penyedia jasa pelayanan jalan, air minum dan
sebagainya, apakah pelayanan sipil meliputi hak warga negara
mendapatkan kelengkapan kewarganegaraan dimana warga negara
memiliki kewajiban untuk memenuhinya. Efektifitas pelayanan kepada
masyarakat juga menyangkut hak aktif maupun pasif, hak positif maupun
negatif. Segala yang berkaitan dengan hak dan kewajiban terpenuhinya
dan diterima sebagai kebutuhan masyarakat itulah yang disebut efektifitas
pelayanan kepada masyarakat.19
Kesimpulan mengenai alat ukur efektivitas pelayanan diutarakan oleh
Hutapea yang mengutip dari beberapa pendapat ahli, seperti Jablonski, 1991;
Osborn dan Gabler, 1992; De Vrye, 1994; Fitzsimmon and Fitzsimmon, 1994;
Stewart, 1994; Moenir, 1995; Balk, 1997; Gazspert, 1997; Tjiptono, 1997;
17
Soewarno Handayaningrat. 1994. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen.Jakarta:
CV Masagung, hlm: 16 18
Stewart. 1994. hlm:13 19
Hutahuruk. 1998. hlm: 216
23
Lukman, 1999 dan Tjokroamidjojo, 2001 yang menyatakan enam dimensi yang
dapat dijadikan alat ukur efektivitas pelayanan:
1. Kejelasan dan kepastian
2. Kemudahan dan kesederhanaan
3. Ketepatan dan kecepatan
4. Kearifan dan empati pelayanan
5. Keterbukaan
6. Kesadaran masyarakat sebagai warga negara.20
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas
menekankan pada tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dengan
mempertahankan mekanisme dalam pencapaian tujuan atau sasaran sesuai dengan
yang telah direncanakan sebelumnya dalam hal ini yaitu pencapaian pelayanan
SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) yang baik pada Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan (CPDP) Daerah Wilayah Kota Bandung II
Kawaluyaan.
Penerapan koordinasi diperlukan untuk mencapai hubungan kerja yang
terpadu dan terencana dengan dukungan aktif dari semua unsur organisasi dalam
upaya pencapaian tujuan secara efektif, sejalan dengan pendapat dari Indrawati,
yang mengemukakan bila suatu tujuan tertentu akan dicapai secara efektif oleh
suatu usaha bersama, maka adalah logis setiap usaha harus digabungkan
sedemikian rupa sehingga setiap waktu tadi akan memberikan hasil maksimal
untuk mencapai tujuan tertentu.21
20
Hutapea. Pelayanan Prima. 2002 21
Indrawati. 1989. hlm: 51
24
Keterkaitan antara koordinasi dengan efektivitas dikemukakan oleh Terry
yang dikutip oleh Hasibuan, koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron atau
teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat dan mengarahkan
pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada
sasaran yang telah ditentukan”.22
Hubungan koordinasi dan efektivitas dikemukakan juga oleh Sugandha,
agar di dalam suatu organisasi atau di dalam administrasi pemerintahan terdapat
hasil kerja yang efektif, maka setiap kegiatan manusianya harus terkoordinasi.23
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis mengemukakan anggapan
dasar sebagai berikut:
1. Koordinasi adalah suatu proses penyatupaduan segala kegiatan dan hubungan
dari berbagai bagian atau unit kerja yang berbeda sebagai upaya menuju
keselarasan dan kesatuan kerja dalam usaha pencapaian tujuan dan sasaran
yang telah ditentukan bersama.
2. Efektivitas pelayanan merupakan sesuatu yang menentukan kepuasan
pelanggan, berupa kejelasan dan kepastian, kesederhanaan dan keterbukaan
baik prosedur, persyaratan, rincian biaya dan waktu penyelesaian, guna
mempercepat proses penyelesaian pemberian pelayanan administrasi maupun
penyelesaian permasalahan yang timbul dalam memberikan pelayanan.
3. Faktor-faktor koordinasi yang dilaksanakan dengan baik akan mewujudkan
efektivitas pelayanan.
22
Malayu S.P. Hasibuan. 2011. Manajemen: Dasar, Pegertian dan Masalah. Jakarta: Bumi
Aksara, hlm: 80 23
Dann Sugandha. 1988. Koordiansi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia,
hlm: 41
25
Berdasarkan anggapan dasar di atas, maka penulis menuangkannya dalam
model kerangka pemikiran sebagai berikut.
Gambar 1.1
Gambar Kerangka Pemikiran
Selain menuangkan dalam bentuk kerangka pemikiran, penulis pun
menuangkan dalam bentuk paradigma penelitian.
(Hasibuan: 2006:88)
Gambar 1.2
Paradigma Penelitian
Intruksi Bersama Menhankam,
Mendagri dan Menkeu Nomor
INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun
1999, Nomor 6/IMK.014/1999 tentang
pelaksanaan SAMSAT
Efektivitas Pelayanan:
1. Kejelasan dan Kepastian
2. Kemudahan dan Kesederhanaan
3. Ketepatan dan Kecepatan
(Hutapea: 2002)
Koordinasi antar Instansi:
1. Kesatuan tindakan (X1)
2. Komunikasi (X2)
3. Pembagian Kerja (X3)
4. Disiplin (X4)
(Hasibuan: 2006:88)
Kesatuan tindakan (X1)
Komunikasi (X2)
Pembagian Kerja (X4)
Disiplin (X4)
KOORDINASI
(Variabel X)
Sub Variabel X:
EFEKTIVITAS PELAYANAN
(Variabel Y)
Sub Variabel Y:
1. Kejelasan dan Kepastian
2. Kemudahan dan
Kesederhanaan
3. Ketepatan dan Kecepatan
(Hutapea: 2002)
26
Keterangan:
: adanya pegaruh antara koordinasi dengan efektivitas pelayanan.
Berdasarkan pada gambar 1.1 di atas menunjukan bahwa terdapat
hubungan antara koordinasi antar instansi dengan efektivitas pelayanan pada
SAMSAT.
1.7 Hipotesis
Menurut Sugiyono “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan
baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta
empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data”.24
Bertitik tolak dari kerangka pemikiran tersebut di atas, maka penulis
merumuskan hipotesis umum sebagai berikut “Adanya pengaruh yang signifikan
dari koordinasi antar instansi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan
Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan”.
Selain merumuskan hipotesis secara umum, penulis juga merumuskannya
dalam hipotesis statistik sebagai berikut.
1. H1 = Terdapat pengaruh yang signifikan antara kesatuan
tindakan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah
Kota Bandung II Kawaluyaan.
24
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm:70
27
2. H2 = Terdapat pengaruh yang signifikan antara komunikasi
terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah
Kota Bandung II Kawaluyaan.
3. H3 = Terdapat pengaruh yang signifikan antara pembagian kerja
terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah
Kota Bandung II Kawaluyaan.
4. H4 = Terdapat pengaruh yang signifikan antara disiplin terhadap
efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi
Manunggal Satu Atap) pada Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II
Kawaluyaan.
5. H5 = Terdapat pengaruh yang signifikan antara kesatuan
tindakan, komunikasi, pembagian kerja dan disiplin secara
simultan terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) pada Cabang
Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah
Kota Bandung II Kawaluyaan.
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koordinasi
2.1.1 Pengertian Koordinasi
Pengertian koordinasi berasal dari bahasa Inggris coordination yang
berarti being co-ordinate, yaitu adanya koordinat yang bersamaan dari dua garis
dalam bidang datar, yang dapat diartikan bahwa dua garis yang berpotongan pada
koordinat tertentu. Di dalam administrasi, koordinasi bersangkutpaut dengan
penyerasian serta penyatuan tindakan dari sekelompok. Koordinasi merupakan
tindakan untuk mempersatukan suatu usaha agar mengarah pada sasaran yang
sama dalam upaya mencapai tujuan secara efektif. Koordinasi tersebut pada
hakikatnya merupakan perwujudan daripada kerjasama antar unit organisasi
maupun antara satu organisasi lainnya dalam melaksanakan kegiatan.
Sementara itu di pihak lain secara langsung atau tidak langsung. Moekijat
mengemukakan bahwa “secara etimologis, koordinasi berasal dari Bahasa Latin
yaitu cum dan ordinate. Cum mempunyai arti bersama-sama dan ordinate berarti
menyusun dan menempatkan sesuatu menurut seharusnya.25
Sedangkan menurut Siagian yang dimaksud dengan koordinasi adalah
“Suatu proses yang mengatur agar pembagian kerja dari berbagai orang atau
kelompok dapat tersusun menjadi suatu kebulatan yang terintegrasi dengan cara
yang seefisien mungkin”.26
25
Moekijat. 1994. Koordinasi (Suatu Tinjauan Teoritis). Bandung: Mandar Maju. Hlm: 2. 26
Soendang P. Siagian. 1996. Filsafat Administrasi. Jakarta: CV Haji Masagung, hlm:110
29
Pengertian koordinasi yang lain menurut Handoko adalah “Proses
pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang
terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi secara efisien”.27
Berdasarkan definisi di atas koordinasi merupakan suatu kegiatan yang
mengarah pada pengaturan tata kerja dari satu gabungan usaha bersama dalam
mencapai tujuan seefisien mungkin, dengan tidak melepaskan suatu pembagian
tugas yang tersusun sesuai dengan rencana maka tujuan bersama akan tercapai.
Koordinasi merupakan suatu proses untuk mengembangkan dan memelihara
hubungan yang baik diantara kegiatan-kegiatan non fisik. Koordinasi menjadi
penting dalam organisasi-organisasi yang komplek karena di dalam organisasi
tersebut terdapat banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan banyak orang yang
berada dalam bagian yang berbeda. Koordinasi juga diperlukan untuk
menyelaraskan kegiatan-kegiatan yang melibatkan lebih dari satu organisasi.
Kebutuhan akan koordinasi timbul apabila suatu organisasi memerlukan
suatu kesempurnaan dalam mencapai tujuan yang diinginkan dan apabila terdapat
keadaan yang saling ketergantungan diantara kegiatan-kegiatan suatu organisasi,
maka hasil yang efektif akan dapat tercapai manakala kegiatan-kegiatan tersebut
terkoordinasi dengan baik diantara unit-unit atau bagian-bagian dalam organisasi.
Begitupun bila melibatkan berbagai organisasi, koordinasi memainkan peranan
yang penting dalam merumuskan pembagian tugas, wewenang dan tanggung
27
Y. Hani Handoko. 1995. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE, hlm:195
30
jawab dalam setiap organisasi yang terkait, sekaligus melahirkan jaringan
hubungan kerja yang diperlukan oleh masing-masing organisasi.
Hal ini sejalan dengan pendapat George R. Terry yang dikutip oleh Sutarto
sebagai berikut:
“Coordinating is orderly synchronization of efforts to provide the proper
amount, timing, and directing of executing resulting in harmonious an unified
action to stated objective. (Koordinasi adalah penyerempakkan kerja sebaik-
baiknya untuk mengatur keseluruhan secara total dalam waktu yang telah
ditentukan dengan bimbingan pelaksanaan yang terarah, sehingga terdapat
tindakan yang serasi dan seragam untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan)”.28
Pengertian yang sama dikemukakan oleh Farland yang dikutip oleh
Handayaningrat bahwa yang dimaksud dengan koordinasi adalah: “suatu proses
dimana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur diantara
bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan didalam mencapai tujuan
bersama.”29
Dengan demikian dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli di
atas, memberikan gambaran bahwa suatu kegiatan manajemen dalam suatu
organisasi dapat mengarah pada kesatuan gerak dalam mencapai tujuan, maka
sangatlah penting menyelenggarakan fungsi koordinasi. Dengan koordinasi
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit dalam sebuah organisasi akan
berjalan dengan terpadu, sehingga dapat benar-benar mengarah pada pencapaian
tujuan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, pelaksanaan koordinasi
merupakan hal yang penting dalam organisasi, karena koordinasi diperlukan untuk
menghindari terjadinya penyimpangan atas rencana yang telah ditetapkan.
28
Sutarto. 1993. hlm:144 29
Soewarno Handayaningrat. 1985. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi
Aksara, hlm:89
31
Adapun menurut Handayaningrat, ciri-ciri koordinasi adalah sebagai
berikut:
1. Tanggung jawab koordinasi terletak pada pimpinan. Oleh karena itu
koordinasi adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab daripada
pimpinan. Dikatakan bahwa pimpinan yang berhasil, karena ia telah
melakukan koordinasi dengan baik.
2. Koordinasi adalah suatu usaha kerjasama. Hal ini disebabkan karena
kerjasama merupakan syarat mutlak terselenggaranya koordinasi
dengan sebaik-baiknya.
3. Koordinasi adalah proses yang terus menerus (continues process).
Artinya suatu proses yang bersifat kesinambungan dalam rangka
tercapainya tujuan organisasi.
4. Adanya pengaturan usaha kelompok secara teratur. Hal ini disebabkan
karena koordinasi adalah konsep yang diterapkan di dalam kelompok,
bukan terhadap usaha individu tetapi sejumlah individu yang
bekerjasama di dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
5. Konsep kesatuan tindakan. Kesatuan tindakan adalah inti daripada
koordinasi. Hal ini berarti bahwa pimpinan harus mengatur usaha-
usaha/ tindakan-tindakan daripada setiap tindakan individu sehingga
diperoleh adanya keserasian di dalam mencapai hasil bersama.
6. Tujuan koordinasi dalah tujuan bersama (common purpose). Kesatuan
usaha/ tindakan meminta kesadaran/ pengertian kepada semua
individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan bersama sebagai
kelompok dimana mereka bekerja.30
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koordinasi
Hasibuan berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi koordinasi
adalah sebagai berikut.31
1. Kesatuan Tindakan
Pada hakikatnya koordinasi memerlukan kesadaran setiap anggota
organisasi atau satuan-satuan untuk saling menyesuaikan diri atau tugasnya
dengan anggota atau satuan organisasi lainnya agar anggota atau satuan
organisasi tersebut tidak berjalan sendiri-sendiri.
30
Handayaningrat. 1991. Administrasi Pemerintah Dalam Pembangunan nasional. Jakarta: PT.
Gunung Agung, hlm :42 31
Malayu S.P. Hasibuan. 2006. Manajemen: Dasar, Pegertian dan Masalah. Jakarta: Bumi
Aksara, hlm:88
32
Oleh sebab itu, konsep kesatuan tindakan adalah inti dari pada koordinasi.
Kesatuan dari pada usaha, berarti bahwa pemimpin harus mengatur
sedemikian rupa usaha-usaha dari pada tiap kegiatan individu sehingga
terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil. Kesatuan tindakan ini
adalah merupakan suatu kewajiban dari pimpinan untuk memperoleh suatu
koordinasi yang baik dengan mengatur jadwal waktu dimaksudkan bahwa
kesatuan usaha itu dapat berjalan sesuai dengan waktu yang telah
direncanakan.
2. Komunikasi
Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari koordinasi, karena komunikasi,
sejumlah unit dalam organisasi akan dapat dikoordinasikan berdasarkan
rentang dimana sebagian besar ditentukan oleh adanya komunikasi.
Komunikasi merupakan salah satu dari sekian banyak kebutuhan manusia
dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Perkataan komunikasi berasal dari
perkataan “communicare”, yaitu yang dalam bahasa Latin mempunyai arti
berpartisipasi ataupun memberitahukan. Dalam organisasi, komunikasi sangat
penting karena dengan komunikasi, partisipasi anggota akan semakin tinggi
dan pimpinan memberitahukan tugas kepada bawahan harus dengan
komunikasi. Dengan demikian, komunikasi merupakan hubungan antara
komunikator dengan komunikan dimana keduanya mempunyai peranan dalam
menciptakan komunikasi.
Berdasarkan pengertian komunikasi sebagaimana disebut di atas terlihat
bahwa komunikasi itu mengandung arti komunikasi yang bertujuan merubah
33
tingkah laku manusia. Karena sesuai dengan pengertian dari ilmu komunikasi,
yaitu suatu upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas,
dan atas dasar azas-azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk
pendapat dan sikap. Maka komunikasi tersebut merupakan suatu hal
perubahan suatu sikap dan pendapat akibat informasi yang disampaikan oleh
seseorang kepada orang lain.
Sehingga dari uraian tersebut terlihat fungsi komunikasi sebagai berikut:
a. Mengumpulkan dan menyebarkan informasi mengenai kejadian dalam
suatu lingkungan.
b. Menginterpretasikan terhadap informasi mengenai lingkungan.
c. Kegiatan mengkomunikasikan informasi, nilai dan norma sosial dari
generasi yang satu ke generasi yang lain.
Maka dari itu komunikasi itu merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh
seseorang untuk merubah sikap dan perilaku orang lain dengan melalui
informasi atau pendapat atau pesan atau ide yang disampaikannya kepada
orang tersebut.
3. Pembagian Kerja
Secara teoritis tujuan dalam suatu organisasi adalah untuk mencapai tujuan
bersama dimana individu tidak dapat mencapainya sendiri. Kelompok dua
atau lebih orang yang bekerja bersama secara kooperatif dan dikoordinasikan
dapat mencapai hasil lebih daripada dilakukan perseorangan. Dalam suatu
organisasi, tiang dasarnya adalah prinsip pembagian kerja (Division of labor).
Prinsip pembagian kerja ini adalah maksudnya jika suatu organisasi
34
diharapkan untuk dapat berhasil dengan baik dalam usaha mencapai
tujuannya, maka hendaknya lakukan pembagian kerja. Dengan pembagian
kerja ini diharapkan dapat berfungsi dalam usaha mewujudkan tujuan suatu
organisasi. Pembagian kerja adalah perincian tugas dan pekerjaan agar setiap
individu dalam organisasi bertanggung jawab untuk melaksanakan
sekumpulan kegiatan yang terbatas.
Jadi pembagian kerja pekerjaan menyebabkan kenaikan efektivitas secara
dramatis, karena tidak seorangpun secara fisik mampu melaksanakan
keseluruhan aktifitas dalam tugas-tugas yang paling rumit dan tidak
seorangpun juga memiliki semua keterampilan yang diperlukan untuk
melaksanakan berbagai tugas. Oleh karena itu perlu diadakan pemilahan
bagian-bagian tugas dan membagi baginya kepada sejumlah orang. Pembagian
pekerjaan yang dispesialisasikan seperti itu memungkinkan orang mempelajari
keterampilan dan menjadi ahli pada fungsi pekerjaan tertentu.
4. Disiplin
Pada setiap organisasi yang kompleks, setiap bagian harus bekerja secara
terkoordinasi, agar masing-masing dapat menghasilkan hasil yang diharapkan.
Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda-beda agar
kegiatan dari pada bagian-bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masing-
masing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal agar
diperoleh hasil secara keseluruhan, untuk itu diperlukan disiplin.
Disiplin kerja adalah “suatu alat yang digunakan para manajer untuk
berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu
35
perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan
kesediaan seseorang mentaati semua peraturan organisasi dan norma-norma
sosial yang berlaku”. Jadi jelasnya bahwa disiplin menyangkut pada suatu
sikap dan tingkah laku, apakah itu perorangan atau kelompok yang untuk
tunduk dan patuh terhadap peraturan suatu organisasi.
Dalam suatu organisasi penerapan peraturan kepada seseorang atau
anggota organisasi dikelola oleh pimpinan. Pimpinan diharapkan mampu
menerapkan konsep disiplin positif yakni penerapan peraturan melalui
kesadaran bawahannya. Sebaliknya bila pimpinan tidak mampu menerapkan
konsep disiplin positif pada dirinya sendiri tentu dia juga tidak mungkin
mampu menerapkannya pada orang lain termasuk kepada bawahannya.
Dengan demikian disiplin itu sangat penting artinya dalam proses pencapaian
tujuan, ini merupakan suatu syarat yang sangat menentukan dalam pencapaian
tujuan yang dimaksud.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi koordinasi adalah kesatuan tindakan,
komunikasi, pembagian kerja dan disiplin yang jika dilakukan dengan baik maka
tujuan koordinasi akan tercapai.
2.1.3 Teknik, Prinsip dan Unsur Koordinasi
Untuk membantu pelaksanaan koordinasi agar terlaksana sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan guna mencapai kesatuan tindakan, maka diperlukan
beberapa teknik untuk membantu pelaksanaan koordinasi.
36
Griffin, sebagaimana yang dikutip oleh Moekijat mengenai koordinasi
sebagai berikut: “Prinsip-prinsip koordinasi adalah kebenaran-kebenaran yang
pokok atau apa yang diyakini menjadi kebenaran-kebenaran dalam bidang
koordinasi.”32
Selanjutnya Moekijat mengemukakan beberapa teknik yang perlu
diterapkan dalam melaksanakan koordinasi, teknik tersebut antara lain:
1. Hierarki manajerial, dipergunakan untuk mencapai koordinasi, maka
seorang manajer ditempatkan dan dibebani dengan bagian-bagian atau
unit-unit yang saling bergantung.
2. Peraturan dan prosedur, kegiatan-kegiatan rutin koordinasi sering
dapat ditangani melalui peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur
standar.
3. Peranan penghubung, individu dalam suatu peranan penghubung
mengkoordinasikan dua atau lebih unit yang saling bergantung dengan
tindak sebagai suatu tempat umum hubungan.
4. Satuan tugas, dapat bertindak apabila kebutuhan akan koordinasi
sangat penting.
5. Bagian integrasi, bagian integrasi hampir sama dengan satuan-satuan
tetapi bagian-bagian integrasi sifatnya lebih tetap/ permanen.33
Prinsip koordinasi menurut Hicks dan Gullett yang dikutip oleh Moekijat
yaitu “Menjelaskan bahwa hasil kerja organisasi yang efektif tercapai apabila
semua orang dan sumber daya diselaraskan, diseimbangkan dan diberikan
pengarahan.”34
Sedangkan menurut Pabudji yang dikutip pula oleh Moekijat menyebutkan
empat prinsip utama koordinasi, sebagai berikut:
1. Koordinasi harus dimulai dari permulaan sekali;
2. Koordinasi adalah tahap continue;
3. Sepanjang kemungkinan koordinasi harus merupakan pertemuan-
pertemuan bersama;
32
Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tijauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 36 33
Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tijauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 42 34
Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tijauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 37
37
4. Perbedaan-perbedaan dalam pandangan harus dikemukakan secara
terbuka dan diselidiki dalam hubungan situasi seluruhnya.35
Dalam administrasi pemerintah, koordinasi dimaksudkan untuk
menyelaraskan dan menyatukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah. Seperti pernyataan yang disampaikan oleh Dann Sugandha yang
mengemukakan:
“Pada dasarnya suatu organisasi merupakan suatu sistem yang bagian-
bagian adalah unit-unit yang ada dalam organisasi tersebut. Setiap unit
tidak dapat melepaskan diri dari unit lainnya. Demikian halnya karena (1)
Suatu unit tidak mungkin dapat berfungsi dengan baik tanpa dibantu oleh
unit yang lain, (2) Tiap unit berkewajiban mendukung pelaksanaan unit
lainnya bila seluruh organisasi ingin bergerak dengan lancer dan efektif
melaksanakan tugasnya mencapai tujuan. Disinilah pentingnya penerapan
prinsip-prinsip koordinasi tersebut.” 36
Berkaitan dengan prinsip-prinsip koordinasi, Sugandha menjelaskan
bahwa:
“Untuk menciptakan koordinasi yang baik dalam organisasi, maka
diperlukan suatu landasan pelaksanaan koordinasi yaitu prinsip-prinsip
fungsional dalam koordinasi. Prinsip-prinsip fungsionalisasi ini
merupakan titik tolak pemikiran untuk dapat memahami atau membuka
jalan dalam menciptakan suatu tata hubungan kerja atau kondisi yang
dikehendaki dalam proses koordinasi sehingga masalah-masalah yang
timbul dalam pelaksanaan tersebut dapat tercapai.”37
Lebih lanjut menurut Sugandha untuk menciptakan koordinasi yang baik
dalam organisasi, maka koordinasi yang dilakukan harus didasarkan pada prinsip-
prinsip koordinasi sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan dan kesatuan pengertian mengenai sasaran yang
harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama.
35
Moekijat. 1994. Koordinasi: Suatu Tijauan Teoritis. Bandung: Mandar Maju, hlm: 38-39 36
Dann Sugandha. 1988. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia,
hlm: 12 37
Dann Sugandha. 1988. Koordiansi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia,
hlm: 47
38
2. Adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus
dilakukan oleh masing-masing pihak, termasuk target dan jadwalnya.
3. Adanya ketaatan atau loyallitas dari setiap pihak terhadap bagian tugas
masing-masing serta jadwal yang telah diterapkan.
4. Adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerjasama
mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk
masalah-masalah yang dihadapi masing-masing.
5. Adanya koordinator yang dapat memimpin dan menggerakkan serta
memonitor kerjasama tersebut, serta memimpin pemecahan masalah
bersama.
6. Adanya informasi dari berbagai pihak yang mengalir kepada koordinator
sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerjasama dan
mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak.
7. Adanya saling menghormati terhadap wewenang fungsional masing-
masing pihak sehingga tercipta semangat untuk saling membantu.38
Namun, agar tujuan organisasi dapat tercapai dan dapat berjalan dengan
maksimal, maka unsur-unsur koordinasi pun haruslah terpenuhi semaksimal
mungkin. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur koordinasi merupakan bagian-
bagian yang membentuk koordinasi. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka akan
mengakibatkan koordinasi tidak berjalan maksimal dan tujuan koordinasi tidak
dapat tercapai. Sugandha pun menjelaskan mengenai unsur-unsur koordinasi
sebagai berikut:
1. Unit-unit atau organisasi-organisasi adalah kelompok-kelompok kerja
yang tentunya mempunyai fungsi yang berbeda.
2. Sumber-sumber atau potensi yang ada pada unit-unit organisasi atau
pada organisasi-organisasi yaitu tenaga kerja, keterampilan dan
pengetahuan
3. Gerak kegiatan yaitu segala daya upaya, segala tindakan yang
dikerjakan oleh pejabat-pejabat maupun kelompok kerja dalam
melakukan tugasnya.
4. Kesatupaduan yaitu terdapat pertautan atau hubungan diantara
sesamanya sehingga mewujudkan suatu integrasi atau kesatuan yang
kompak.
38
Dann Sugandha. 1988. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia,
hlm: 47
39
5. Keserasian yaitu adanya urutan-urutan pekerjaan sesuatu yang tersusun
secara logis atau dilakukan dalam waktu yang bersamaan akan tetapi
tidak menimbulkan duplikasi (pengulangan) atau pertentangan.
6. Arah yang sama yaitu adanya tujuan dan sasaran yang sama diantara
unit-unit atau organisasi-organisasi. 39
Keberhasilan seorang koordinator dalam melaksanakan koordinasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain oleh jenis permasalahan atau
persoalan yang dihadapi serta cara yang digunakan dalam melaksanakan
koordinasi itu sendiri. Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa langkah untuk
menciptakan koordinasi yang baik. Seperti yang dikemukakan oleh Manullang,
yaitu:
1. Mengadakan pertemuan resmi antara unsur-unsur, unit-unit atau
instansi-instansi yang akan dikoordinasikan
2. Mengangkat seseorang, suatu tim atau panitia koordinator yang khusus
bertugas melakukan kegiatan-kegiatan koordinasi
3. Membuat pedoman yang diberikan kepada setiap unit untuk dijadikan
pedoman atau acuan dalam melaksanakan tugas masing-masing
4. Mengadakan pertemuan-pertemuan informal antara pimpinan atau
atasan dengan bawahannya dalam rangka memberikan bimbingan,
konsultasi dan pengarahan, serta menyelesaikan masalah.40
2.1.4 Jenis-jenis Koordinasi
Handayaningrat mengemukakan tentang pengertian koordinasi yakni
“Usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda-beda agar kegiatan dari bagian-
bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan
sumbangan usahanya secara maksimal, agar diperoleh hasil secara keseluruhan.”41
39
Dann Sugandha. 1988. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia,
hlm: 13-14 40
Manullang. 1991. Pokok-pokok Manajemen. Bandung: Mandar Maju, hlm: 78-79 41
Soewarno Handayaningrat. 1994. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi
Aksara, hlm:88
40
Selanjutnya Handayaningrat membedakan koordinasi menjadi dua jenis
yaitu sebagai berikut:
1. Koordinasi internal, yaitu koordinasi yang dilakukan oleh atasannya
secara langsung. Dalam koordinasi ini Kepala/ Manajer wajib
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan anggotanya, apakah anggotanya
telah melakukan tugas pekerjaannya sesuai dengan kebijaksanan atau
tugas pokoknya. Untuk mengetahui kemampuan Kepala/ Manajer
dalam mengkoordinasikan anggotanya, tergantung dari berapa jumlah
anggota yang dapat dikoordinasikan secara efektif. Jika terdapat
adanya rentang/ jenjang pengendalian (span of control) yang luas
berarti jumlah anggotanya yang harus dikendalikan banyak.
Sebaliknya jika terdapat adanya rentang atau jenjang pengendalian
(span of control) yang sempit, maka jumlah anggota yang harus
dikendalikan sedikit.
2. Koordinasi fungsional, yaitu koordinasi yang dilakukan secara
horizontal. Hal ini disebabkan karena sebuah unit organisasi tidak
mungkin dapat melakukan sendiri tanpa bantuan unit oganisasi
lainnya. Dengan perkataan lain bahwa koordinasi fungsional wajib
dilakukan karena unit-unit/ organisasi lainnya mempunyai hubungan
secara fungsional dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Dalam
koordinasi fungsional ini dapat pula dibedakan antara koordinasi
fungsional yang bersifat internal dan eksternal.
a) Koordinasi fungsional yang berifat internal, yaitu bahwa unit-unit
dalam organisasi diperlukan koordinasi secara horizontal.
Koordinasi fungsional ini diperlukan karena antara unit satu
dengan unit lainnya mempunyai hubungan kerja secara fungsional.
b) Koordinasi fungsional yang bersifat eksternal, yaitu koordinasi
antara organisasi satu dengan organisasi lainnya. Hal ini bisa
menyangkut satu atau beberapa organisasi. Koordinasi fungsional
ini dilakukan karena sebuah organisasi tidak mungkin
menyelenggarakan tugasnya tanpa bantuan dari organisasi
lainnya.42
Jenis-jenis koordinasi juga dikemukakan oleh Ibnu Syamsi dalam bukunya
yang berjudul “Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen”, sebagai berikut:
1. Koordinasi Vertikal, yaitu koordinasi yang dilakukan atasan kepada
bawahannya. Dengan adanya koordinasi tersebut diharapkan kegiatan-
kegiatan dalam unit kerja yang bersangkutan dapat tercapai dengan
efisien.
42
Soewarno Handayaningrat. 1994. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi
Aksara, hlm:91
41
2. Koordinasi Horizontal, yaitu koordinasi yang dilakukan dalam unit-
unit yang sederajat antara instansi yang sederajat.
3. Koordinasi Diagonal, yaitu koordinasi yang dapat terjadi dalam
organisasi yang pengelolaannya atau fungsinya secara sentralisasi.”43
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia juga membedakan tipe
atau jenis koordinasi sebagai berikut:
1. Koordinasi Hirarkis (Vertikal), yaitu koordinasi harus dilakukan oleh
seorang pejabat pimpinan dalam suatu instansi pemerintah terhadap
pejabat (pegawai) atau instansi bawahannya.
2. Koordinasi Fungsional, yaitu koordinasi yang harus dilakukan oleh
seorang pejabat atau suatu instansi terhadap pejabat atau instansi yang
tugasnya sering berkaitan berdasarkan azas fungsionalnya. Koordinasi
ini dapat dibedakan atas:
a) Koordinasi Fungsional Horizontal, yaitu koordinasi yang dilakukan
oleh seorang pejabat atau suatu instansi terhadap pejabat atau
instansi lain yang setingkat, baik dalam satu instansi maupun
dengan instansi lain.
b) Koordinasi Fungsional Diagonal, yaitu koordinasi yang dilakukan
oleh seorang pejabat atau suatu instansi terhadap pejabat atau
instansi lain yang lebih rendah tingkatannya tetapi buan
bawahannya.
3. Koordinasi Instansional, yaitu koordinasi yang dilakukan oleh
beberapa instansi yang menangani satu urusan tertentu yang
bersangkutan.44
2.1.5 Metode dan Teknik Koordinasi
Menurut Handayaningrat, metode dan teknik yang dapat dipakai dalam
melakukan koordinasi sebagi berikut:
1. Koordinasi melalui kewenangan yaitu penggunaan wewenang
merupakan salah satu cara untuk menjamin terlaksananya koordinasi
dengan baik.
2. Koordinasi melalui konsensus yaitu melalui tiga diantaranya
konsensus melalui motivasi, artinya berupa kepentingan bersama nilai-
nilai yang dimiliki bersama yang dapat dipergunakan dalam menjamin
kelancaran koordinasi, konsensus melalui timbal balik artinya
diusahakan adanya keseimbangan antara tuntutan organisasi atau
tuntutan individual, baik yang bersifat material maupun yang bersifat
43
Ibnu Symasi. 1994. Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen. hlm: 115 44
Lembaga Administrasi Negara. 1990. Sistem Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: LAN
RI, hlm: 436
42
non material dan konsensus melalui ide artinya bahwa setiap orang
yang bekerja dalam organisasi berusaha mengidentifikasi dirinya
dalam keseluruhan tujuan yang hendak dicapai.
3. Koordinasi melalui pedoman kerja yaitu setiap kebijakan yang
digariskan pimpinan merupakan landasan atau petunjuk yang harus
disusun atas dasar manual, agar terdapat adanya kesatuan gerak dan
kesatuan tindak dalam rangka melaksanakan kebijakan yang telah
ditetapkan.
4. Koordinasi melalui suatu forum, yaitu dengan menggunakan wadah
tertentu sebagai cara mengadakan tukar informasi, mengadakan
konsultasi, mengadakan kerjasama dalam memecahkan masalah dan
pengambilan keputusan bersama dalam pelaksanaan tugas bersama.
5. Koordinasi melalui konferensi yaitu melalui rapat-rapat atau sidang-
sidang baik yang dilakukan pada tingkat pimpinan maupun
pelaksana.45
Berdasarkan uraian metode diatas maka dapat disimpulkan bahwa
koordinasi dapat dilakukan melalui metode dan teknik yang berbeda, tergantung
dari organisasi mana yang melakukan koordinasi dan tujuan apa yang dicapai dari
adanya koordinasi tersebut.
2.1.6 Mekanisme dan Proses Koordinasi
Mekanisme dan proses koordinasi sangat perlu dilakukan dalam
melaksanakan program-program dari suatu organisasi. Ditambah lagi dengan
adanya organisasi yang di dalam pelaksanaan operasionalnya dilakukan lebih dari
satu unit atau instansi. Oleh karena itu, mekanisme dan proses koordinasi perlu
dilakukan demi tercapainya tujuan yang diinginkan. Seperti yang dikemukakan
oleh Taliduhu Ndraha yang mengemukakan tentang mekanisme dan proses
koordinasi sebagai berikut:
1. Instansi menginformasikan bahan-bahan koordinasi kepada
Koordinator.
45
Soewarno Handayaningrat. 2006. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi
Aksara, hlm: 67
43
2. Koordinasi dengan menggunakan sarana atau wadah tertentu.
3. Oleh instansi yang bersangkutan, hasil koordinasi dilaporkan kepada
atasan masing-masing
4. Instansi yang bersangkutan menginformasikan hasil koordinasi itu
kepada instansi lain untuk diketahui dan diinstruksikan kepada
bawahannya.46
2.2 Efektivitas Pelayanan
2.2.1 Pengertian Efektivitas
Kata efektivitas berarti telah tercapainya sasaran atau tujuan sesuai dengan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Sesuai dengan pendapat Emerson yang dikutip
oleh Handayaningrat bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti
tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelasnya
apabila sasaran atau tujuan telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan
sebelumnya adalah efektif”.47
Pengertian lain mengenai efektivitas dikemukakan oleh Sondang P.
Siagian yang menyatakan bahwa:
“Efektif dapat diartikan pencapaian tujuan suatu usaha atau kegiatan
berencana, dapat diselesaikan tepat waktu dengan target yang telah
ditentukan. Sedangkan yang dimaksud dengan efektivitas mengandung
pengertian suatu kegiatan yang dilaksanakan selalu dapat terselesaikan
sesuai dengan target yang telah ditetapkan”.48
Berdasarkan uraian pendapat di atas dapat dikatakan bahwa efektivitas
merupakan keadaan yang menunjukkan keberhasilan dari suatu kegiatan dalam
mencapai sasaran atau tujuan yang telah disepakati bersama sesuai dengan waktu
yang telah ditetapkan sebelumnya. Efektivitas juga dapat diartikan sebagai
46
Taliduhu Ndraha. 2008, hlm: 66 47
Soewarno Handayaningrat. 2006. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi
Aksara, hlm: 16 48
Sondang P. Siagian. 1990. Filsafat Administrasi: Jakarta: CV Haji Masagung, hlm: 51
44
kemampuan berhasilnya suatu pekerjaan yang dilakukan pegawai sehingga dapat
berguna dan bermanfaat sesuai dengan yang diharapkan.
Selanjutnya Siagian dalam bukunya “Filsafat Administrasi”
mengindikasikan efektivitas kerja berdasarkan beberapa indikator: 1) Ketapatan
waktu dalam menyelesaikan pekerjaan. 2) Adanya inisiatif dalam menyelesaikan
pekerjaan. 3) Pelakanaan kerja sesuai dengan tugas pokok. 4) Bekerja dengan
cermat untuk menekan tingkat kesalahan.49
Sedangkan pengukuran efektivitas menurut Dharma adalah 1) Ketepatan
waktu, yaitu sesuai tidak dengan waktu yang direncanakan. 2. Kualitas, yaitu
mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). 3. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus
diselesaikan atau dicapai.50
Sedarmayanti pun mengungkapkan dengan pengukuran yang sama
mengenai efektivitas sebagai berikut:
1. Tepat waktu, yaitu penyelesaian tugas yang ditetapkan sesuai dengan
batas waktu yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga pekerjaan
yang dilaksanakan dapat berhasil secara efektif.
2. Tetap kualitas, yaitu pekerjaan yang ditangani oleh pegawai sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan oleh instansi, pekerjaan
dilakukan dengan penuh ketelitian dan kesungguhan sehingga terbebas
dari kesalahan dan hasil kerja dapat memberikan kepuasan kepada
masyarakat.
3. Tepat kuantitas, yaitu kemampuan pegawai untuk memenuhi target
atau jumlah yang ditetapkan dan dapat menyelesaikan pekerjaan lebih
banyak dengan tanggung jawab yang lebih besar.51
49
Sondang P. Siagian. 1990. Filsafat Administrasi: Jakarta: CV Haji Masagung, hlm: 151 50
Agus Dharma. 2001. Manajemen Prestasi Kerja. Jakarta: CV Rajawali, hlm: 154 51
Sedarmayanti. 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktifitas Kerja Cetakan Kedua. Jakarta:
CV Mandar Maju, hlm: 65
45
Sementara itu, efektivitas dilihat dari sudut pandang orang menurut
Magdalena Jamin yang dikutip dari pendapat Steers, efektivitas adalah sebagai
berikut:
Efektivitas organisasi mencakup tiga sudut pandang antara lain optimasi
tujuan yang akan dicapai, yaitu bila beberapa tujuan itu mendapat
perhatian dari lokasi sumber daya dan dari yang lebih besar, berkaitan
dengan interaksi antara organisasi dengan keadaan sekelilingnya dan
pemahaman prospek perilaku yang lebih memusatkan perhatian pada
pentingnya peranan perilaku manusia pada proses pencapaian tujuan
organisasi dan dalam efektivitas suatu organisasi.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan pengertian
efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan
(sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya.
2.2.2 Pengertian Pelayanan Publik/ Umum
Pelayanan publik (public service) oleh birokrasi publik merupakan salah
satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping
abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk
mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara sejahtera (walfare
state).
Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara diartikan sebagai
segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/ Daerah dalam bentuk
barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
46
Penyelenggaraan pelayanan umum menurut Lembaga Administrasi Negara
dapat dilakukan dengan berbagai macam pola antara lain :
1. Pola pelayanan fungsional, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan
oleh suatu instansi pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi dan
kewenangannya.
2. Pola pelayanan satu pintu, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan
secara tunggal oleh satu instansi pemerintah berdasarkan pelimpahan
wewenangan dari instansi pemerintah lainnya yang bersangkutan.
3. Pola pelayanan satu atap, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan
secara terpadu pada suatu tempat/ tinggal oleh beberapa instansi
pemerintah yang bersangkutan sesuai kewenangannya masing-masing.
4. Pola pelayanan secara terpusat, yaitu pola pelayanan umum yang
dilakukan oleh satu instansi pemerintah yang bertindak selaku
koordinator terhadap pelayanan instansi pemerintah lainnya yang terkait
dengan bidang pelayanan umum yang bersangkutan.52
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang
dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan
(aparatur pemerintah) yang efektif dalam pencapaian tujuan dan sasaran. Untuk
mencapai pelayanan publik yang profesional maka perlu memahami prinsip-
prinsip pelayanan publik yang baik yaitu, kesederhanaan, kejelasan, kepastian,
waktu, akurasi serta kenyamanan.
Prinsip pelayanan publik di atas harus disesuaikan dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat dalam mewujudkan pelayanan publik yang prima
sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pelayanan umum/ publik adalah pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
52
Lembaga Administrasi Negara. 1990. Sistem Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: LAN
RI, hlm: 437
47
perundang-undangan yang didalamnya harus terdapat akuntabilitas dan
responsibilitas serta mutu/ kualitas pelayanan.
2.2.3 Pengertian Efektivitas Pelayanan
Mengingat kembali hakikat dari efektivitas itu sendiri bahwa suatu
program/ kegiatan dikatakan efektif adalah jika kegiatan tersebut sasaran dan
tujuannya tercapai. Maka dari itu efektifitas pelayanan yang dilaksanakan oleh
pemerintah dapat dikatakan efektif jika pelayanan tersebut berhasil memuaskan
dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Menurut Emerson yang dikutip oleh Soewarno menyatakan bahwa
“Efektivitas pelayanan publik merupakan pengukuran dalam arti tercapainya
sasaran dan tujuan yang telah ditemukan sebelumnya”.53
Sedangkan Siagian mendefinisikan efektivitas pelayanan adalah sebagai
berikut: “Efektivitas pelayanan publik berarti penyelesaian pekerjaan tepat pada
waktu yang telah ditentukan, artinya pelaksanaan sesuatu tugas dinilai baik atau
tidak sangat tergantung pada penyelesaian tugas tersebut dengan waktu yang telah
ditetapkan”.54
Menurut Stewart konsep efektivitas pelayanan meliputi:
“Efektivitas pelayanan sangat ditentukan dari mampu tidaknya unsur
aparatur negara mengakomodasi tuntutan kebutuhan masyarakat dengan
menempatkan pelanggan di “kursi pengemudi” dan mendengar keluhan
masyarakat lalu aparat mengakomodasikannya. Keinginan masyarakat
akan pelayanan merupakan acuan bagi aparat dalam melakukan kajian
akan konsep pelayanan yang cepat melalui pemberdayaan”.
(Stewart, 1994: 13).
53
Soewarno Handayaningrat. 2006. Pengatar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi
Aksara, hlm: 16 54
Soendag P. Siagian. Filsafat Administrasi. Jakarta: CV Haji Masagung, hlm:151
48
Sedangkan Hutahuruk menyatakan efektifitas pelayanan:
“Efektivitas pelayanan adalah sejauh mana kebutuhan masyarakat dapat
dilayani oleh aparat penyedia jasa pelayanan jalan, air minum dan
sebagainya, apakah pelayanan sipil meliputi hak warga negara
mendapatkan kelengkapan kewarganegaraan dimana warga negara
memiliki kewajiban untuk memenuhinya. Efektifitas pelayanan kepada
masyarakat juga menyangkut hak aktif maupun pasif, hak positif maupun
negatif. Segala yang berkaitan dengan hak dan kewajiban terpenuhinya
dan diterima sebagai kebutuhan masyarakat itulah yang disebut efektifitas
pelayanan kepada masyarakat”.
(Hutahuruk,1998: 216)
Dari beberapa pengertian tentang efektivitas pelayanan menurut beberapa
ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan dikatakan efektif jika orang yang
dilayani (dalam hal ini disebut publik) merasa semua kebutuhannya terpenuhi oleh
penyedia layanan (dalam hal ini yaitu aparat negara).
2.3 Hubungan Koordinasi dengan Efektivitas Pelayanan
Dalam segala kegiatan yang mengikutsertakan beberapa unit, pejabat dan
orang ataupun beberapa instansi, koordinasi ini akan memegang peranan penting.
Koordinasi akan sungguh diperlukan bilamana setiap instansi pemerintah ataupun
swasta ingin mencapai produktifitas yang berhasilguna dan berdayaguna. Jadi,
agar suatu organisasi berjalan efektif dan efisien maka semua unit dan fungsi
dalam organisasi itu harus bersatu padu dalam setiap gerakanya.
Dann Sugandha menyatakan bahwa: “Agar di dalam suatu organisasi atau
di dalam administrasi pemerintahan terdapat hasil kerja yang efektif, maka setiap
kegiatan manusianya harus terkoordinasi”.55
55
Dann Sugandha. 1988. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia,
hlm: 41
49
Karena koordinasi dapat menyatupadukan setiap gerak dari seluruh potensi
dan unit-unit organisasi yang berbeda fungsi tetapi mengarah pada sasaran yang
sama guna memudahkan pencapaian tujuan secara efektif, maka dengan demikian
koordinasi sangat berhubungan erat dan sangat berpengaruh positif dan siginikan
dalam suatu instansi/ organisasi untuk mencapai efektivitas pelayanan yang
diberikan oleh instansi/ organisasi tersebut.
2.4 Penelitian Terdahulu
Melihat judul dari masalah penelitian yang akan diteliti, maka perlu
melakukan perbandingan serta mengungkapkan fenomena yang sama dalam sudut
pandang yang berbeda sehingga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan.
Adapun penelitian terdahulu, penulis menuangkannya dalam bentuk tabel sebagai
berikut:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Tahun
Penelitian
Variabel Alat Analisis Metode Hasil
1. 2012 X = Koordinasi Antar
Instansi
Y = Efektivitas
Penerbitan
Methode
Successive
Intervals (MSI)
dan Analisis
Koefisien
Kolerasi
Metode
Eksplanasi,
Pendekatan
kuantitatif
Terdapat
pengaruh yang
kuat antara
koordinasi antar
instansi terhadap
efektivitas
penerbitan Surat
Izin Pengambilan
Air Bawah Tanah
dengan nilai
korelasi sebesar
0,638 atau 40,70
%
50
2. 2009 X = Koordinasi Antar
Instansi
Y = Efektivitas
Penerbitan
Koefisien Korelasi
Rank Sparman dan
Koefisien
Determinasi
Metode
Eksplanasi
Terdapat
pengaruh
koordinasi antar
instansi terhadap
efektivitas
penerbitan surat
izin
penyelanggaraan
reklame dengan
nilai determinasi
sebesar 55,35%
3. 2010 X = Kordinasi
Y = Efektivitas
Pemungutan
Analisis Korelasi Metode
Eksplanasi
Terdapat
pengaruh yang
kuat antara
koordinasi
terhadap
efektivitas
pemungutan pajak
reklame dengan
hasil nilai r 0,70
dengan persentase
sebesar 49%.
4. 2009 X=koordinasi
Y= efektivitas
penerbitan
Koefisien korelasi
rank sparman dan
koefisien
determinasi
Metode
eksplanasi
Terdapat
pengaruh yang
kuat antara
koordinasi
terhadap
efektivitas
penerbitan dengan
hasil nilai r 0,788
dan nilai
kd = 62,09
5. 2010 X= koordinasi
Y= efektivitas
penerbitan
Uji korelasi rank
spearman dan
koefisien
detertminasi
Metode
eksplanasi
Terdapat
pengaruh yang
sangat kuat antara
koordinasi
terhadap
efektivitas
penerbitan dengan
nilai r 0,82
dengan persentase
67% .
51
6. 2010 X= koordinasi
Y= efektivitas
penerbitan
Korelasi rank
sparman
Metode
eksplanasi
Terdapat
pengaruh yang
kuat antara
koordinasi
terhadap
efektivitas
penerbitan dengan
nilai r 0,688dan
nilai
kd 4.62%
7. 2010 X= koordinasi
Y= efektifivitas
penerbitan
Korelasi rank
sparman
Metode
eksplanasi
Terdapat
pengaruh yang
kuat antara
koordinasi
terhadap
efektivitas
penerbitan dengan
nilai r 0,682 dan
nilai
kd 58,78%
1. Penelitian yang dilakukan oleh Vinny Agustina, Unpad 2012 dengan judul
skripsi Pengaruh Koordinasi antar instansi terhadap Efektivitas Penerbitan
Surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah (SIPA) di Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung. Terdapat kesamaan antara
penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan penulis lakukan, yakni sama-
sama memiliki dua variable yang akan diuji, yakni variable koordinasi dan
variable efektivitas. Metode yang penelitian terdahulu lakukan adalah metode
eksplanasi dengan menggunakan alat analisis korelasi.
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan koordinasi memiliki pengaruh yang kuat
terhadap efektivitas penerbitan surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah
(SIPA) di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung. Hal ini
terlihat dari hasil pengolahan data dengan nilai korelasi sebesar 0,638 atau
40,70 % berada pada kategori kuat.
52
2. Taufik, Unpad 2009 dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi Terhadap
Efektivitas Penerbitan Izin Penyeleggaraan Reklame dengan variabel X
prinsip-prinsip koordinasi dari Sughanda dan variabel Y efektivitas
penerbitan yaitu tercapainya tujuan dan waktu penyelesaian hasil kerja.
Diperoleh hasil determinasi 55,35% dan kemudian dapat disimpulkan bahwa
koordinasi berpengaruh kuat terhadap Efektivitas Penerbitan Izin
penyelenggaraan reklame.
3. Efriani Widia Ningsih, unpad 2010, dengan judul skripsi Pengaruh
Koordinasi antara Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
(DPPKD) dengan Dinas Tata Kota Terhadap Efektivitas Pemungutan Pajak
Reklame di Kota Cilegon dengan hasil nilai r 0,70 dengan persentase sebesar
49% yang membuktikan bahwa pengaruh koordinasi antara Dinas Pendapatan
dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) dengan Dinas Tata Kota
Terhadap Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame di Kota Cilegon berada
pada kategori kuat, sehingga hipotesis alternatif (Ha) diterima.
4. Devina Amelinda, unpad 2009 dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi
Antara Badan Penanaman Modal Dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BMPPT)
Kota Bandung Dengan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (DISTARCIP)
Kota Bandung Terhadap Efektivitas Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB). Dari hasil pengolahan data ditarik kesimpulan bahwa koordinasi
antara Badan Penanaman Modal Dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BMPPT)
Kota Bandung Dengan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (DISTARCIP)
53
Kota Bandung berpengaruh terhadap Efektivitas Penerbitan Izin IMB dengan
nilai r 0,788 dan nilai kd = 62,09 berada dalam kategori kuat.
5. Rena Juwita, Unpad 2010 dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi Antara
Dinas Pertamanan Dan Satuan Polisi Pamong Praja terhadap Efektivitas
Penerbitan Reklame Isidental di Kota Bandung. Dari hasil perhitungan
dengan menggunakan rank spearman dapat disimpulkan terdapat pengaruh
sebesar 0,82 atau dapat dikatakan hubungan korelasi berada dalam kategori
“sangat kuat” dengan persentase sebesar 67%. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa koordinasi sudah baik.
6. Reza Muttaqin, Unpad 2010 dengan judul skripsi Pengaruh Koordinasi
Antara Badan Penanaman Modal Dan Perizinan (BPMP) Kabupaten Bandung
Dengan Dinas Perumahan, Penataan Ruang Dan Kebersihan (Dispertasih)
Kabupaten Bandung Terhadap Efektivitas Penerbitan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Dari hasil analisis data diperoleh nilai r = 0,688 dan nilai
kd 454,62 berada pada kategori kuat dan sangat berpengaruh.
7. Deriana, Unpad 2010 dengan judul Pengaruh Koordinasi Terhadap
Efektivitas Penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan Di Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu Kota Cimahi.
Dari hasil analisis menggunakan rank spearman dengan metode eksplanasi
diperoleh hasil nilai r 0,682 dan nilai kd 58,78% berada pada kategori kuat
dan berpengaruh.
54
Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan
adalah perbedaan dalam pengggunaan teori dan metode penelitian diantaranya:
1. Peneliti menggunakan teori koordinasi menurut Hasibuan yaitu faktor-faktor
yang mempengaruhi koordinasi diantaranya kesatuan tindakan, komunikasi,
pembagian kerja dan disiplin. Sedangkan teori efektivitas pelayanan, penulis
menggunakan teori menurut Hutapea yaitu alat ukur efektvitas pelayanan yang
terdiri dari kejelasan dan kepastian, kemudahan dan kesederhanaan serta
ketepatan dan kecepatan.
2. Alat analisis yang penulis gunakan adalah korelasi product moment dan
koefisien determinasi terdpat kesamaan dengan salah satu penelitian
sebelumnya di atas.
3. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode asosiatif yaitu metode
yang digunakan untuk mengetahui pengaruh dua variabel atau lebih,
sedangkan pendekatannya menggunakan pendekatan kuantitatif, berbeda
dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan metode penelitian
eksplanasi.
55
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk
mendapatkan data dengan tujuan tertentu.56
Metode yang digunakan peneliti
adalah metode asosiatif, yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui
hubungan dan pengaruh antara variabel bebas dalam hal ini adalah variabel
kesatuan tindakan (X1), komunikasi (X2), pembagian kerja (X3), disiplin (X4) dan
variabel terikat dalam hal ini adalah efektivitas pelayanan SAMSAT (Y).
Selain menggunakan metode penelitian asosiatif, peneliti juga
menggunakan pendekatan kuantitatif. Dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif maka data yang diperoleh dapat akurat sesuai dengan perhitungan
statistik. Teori-teori, hipotesis dan pengumpulan data dapat diperoleh secara
objektif.
Berdasarkan beberapa uraian di atas penulis mengambil kesimpulan,
terlihat bahwa metode asosiatif adalah metode yang digunakan untuk menguji
hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih yang muncul sebagai suatu
permasalahan dalam hal ini adalah efektivitas pelayanan SAMSAT (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) yang diduga berpengaruh terhadap koordinasi
antar intansi pada SAMSAT yang belum terlaksana sesuai dengan harapan.
56
Sugiyono. 2011. Metode Penelitan Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm: 11
56
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya
akan diteliti. Arikunto menuturkan bahwa: “populasi adalah keseluruhan objek
penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam
wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi.”57
Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai atau petugas dari ketiga
instansi pelayanan SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) yang
dijadikan sebagai objek penelitian yakni Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan
Daerah provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, POLRI dan PT. Jasa
Raharja (Persero) dengan keseluruhan jumlah pegawai sebanyak 43 Orang.
Adapun rincian pegawai dari ketiga instansi tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Klasifikasi Jumlah Pegawai Pelayanan SAMSAT pada CPDP Daerah
Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan
Berdasarkan Instansi/ Jabatan
No. Instansi/ Jabatan Jumlah
CPDP Daerah Prov Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan
1. Kepala Cabang 1
2. Kepala Bagian Tata Usaha 1
3. Kepala Seksi Penerimaan dan Penetapan 1
4. Kepala Seksi Pendataan dan Penagihan 1
5. Pelaksana 20
Jumlah 24
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)
6. Kepala Seksi STNK 1
7. Pelaksana 15
Jumlah 16
57
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pedekatan Praktek: Jakarta: Rineka
Cipta, hlm: 130
57
PT. Jasa Raharja (Persero)
8. Kepala Bidang 1
9. Pelaksana 2
Jumlah 3
TOTAL 43
Sumber : Bagian Kepegawaian Kantor Bersama SAMSAT pada CPDP Daerah
Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut.58
Untuk dapat menentukan sampel yang digunakan dalam
penelitian perlu adanya teknik sampling. Dikarenakan jumlah populasi di dalam
penelitian ini bejumlah sedikit, maka di dalam melakukan pengumpulan data
penulis menggunakan teknik pengambilan sampel jenuh, yaitu teknik penentuan
sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel atau penelitian
yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain
sampel jenuh adalah sensus, dimana anggota populasi dijadikan sampel. Jadi
dapat diambil kesimpulan bahwa sampel dalam penelitian ini adalah seluruh
pegawai yang ada pada SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap)
Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II
Kawaluyaan yaitu sebanyak 43 orang. Kemudian setelah mendapatkan data-data
dengan menggunakan angket, penulis memasukannya ke dalam rumus dengan
menggunakan bantuan software SPSS (Statistical Program for Social Sciense) for
Windows.
58
Sugiyono. 2011. Metode Penelitan Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm: 91
58
3.3 Jenis Data
Untuk keperluan analisis data, maka peneliti memerlukan data pendukung
yang berasal dari dalam dan luar instansi. Karena itu, peneliti menggunakan dua
jenis sumber data yaitu data primer dan data sekunder.
Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan cara observasi
non partisipan atau pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara
dengan Kepala Bagian Tata Usaha dan Bendahara Penerimaan pada CPDP Daerah
Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, kepala bidang POLRI dan Jasa Raharja
serta angket yang diperoleh dari responden ketiga instansi.
Sementara sumber data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari
sumber yang sudah ada dan merupakan data pendukung dari data primer. Data ini
diperoleh melalui catatan yang dimiliki instansi berupa data pegawai, uraian tugas
pokok dan fungsi pegawai, rekap absen, media internet, buku-buku perundang-
undangan yang ada pada SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap)
CPDP Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan.
3.4 Variable Penelitian
Operasionalisasi variabel-variabel dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
memudahkan atau mengarahkan dalam menyusun alat ukur data yang diperlukan
berdasarkan kerangka konseptual penelitian yang telah dikemukakan batasan
operasional dari masing-masing penelitian.
59
Mengacu pada uraian dari hipotesis pada bab sebelumnya, maka penulis
membuat definsi konsep dari hipotesis sebelumnya sebagai berikut:
1. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah koordinasi
(X) antar instansi pada SAMSAT yang terdiri dari Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) berupa usaha kerja
sama yang didalamnya terdapat kesatuan tindakan (X1), komunikasi (X2),
pembagian kerja (X3) dan disiplin (X4) dari seluruh potensi dan unit-unit atau
oganisasi-organisasi yang berbeda fungsi secara benar-benar mengarah dalam
pelayanan SAMSAT, sehingga dapat saling mengisi, saling membantu dan
saling melengkapi dalam pencapaian tujuan. Untuk mengukur koordinasi
CPDP Daerah dengan POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero).
2. Variabel terikat (devendent variable) dalam penelitian ini adalah efektivitas
pelayanan SAMSAT pada Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan Daerah
Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan yang telah dicapai sesuai
dengan tujuan yang telah ditentukan oleh CPDP Daerah, POLRI dan PT. Jasa
Raharja (Persero). Untuk mengukur efektivitas pelayanan SAMSAT dapat
menggunakan alat ukur efektivitas pelayanan.
Untuk memperjelas arah pembahasan, penulis menjabarkan variabel-
variabel penelitian beserta dimensi-dimensinya kedalam rincian lebih lanjut
sebagai operasionalisasi variabel pada halaman berikutnya.
60
Tabel 3.2
Operasionalisasi Variabel
Variabel Dimensi Indikator Variabel Skala No.
Pernyataan
Variabel X
Variabel bebas:
Koordinasi antar
instansi pada
pelayanan
SAMSAT yaitu
terdiri dari
Dispenda,
POLRI
dan PT. Jasa
Raharja
(Persero)
Faktor-faktor
Koordinasi
(Hasibuan,
2006:88)
1. Kesatuan
Tindakan
1. Pelaksana SAMSAT yaitu
ketiga instansi mengetahui
kewajiban masing-masing
dalam memberikan
pelayanan yang berfokus
pada pencapaian tujuan
bersama
2. Kesadaran masing-masing
instansi dalam memahami
pentingnya koordinasi dalam
pelayanan SAMSAT.
3. Setiap instansi menyepakati
kegiatan masing-masing
yang harus dilakukan agar
duplikasi pekerjaan tidak
terjadi.
4. Kesadaran antar instansi
dalam bertanggungjawab
atas beban pekerjaan
masing-masing
Interval 1-4
2. Komunikasi 5. Mengumpulkan dan
menyebarkan informasi
kepada seluruh instansi
terkait masalah pelayanan
SAMSAT
6. Forum diskusi secara
berkala untuk membahas
kendala-kendala dalam
pelaksanaan tugas
7. Pelaksanaan kerjasama antar
anggota dalam hal tukar
menukar informasi
mengenai masalah-masalah
yang di hadapi masing-
masing
8. Kepala Bagian menjakankan
komunikasi yang baik
dengan bawahannya.
Interval 5-8
3. Pembagian
Kerja
9. Mengetahui rincian tugas
dan pekerjaan masing-
masing
10. Kesesuaian jadwal dengan
pekerjaan yang menjadi
beban tugas nya
11. Penyelesaian tugas sesuai
dengan pedoman yang jelas
12. Penyelesaian pekerjaan
sesuai tupoksi agar tidak
terjadi duplikasi
Interval 9-12
61
4. Disiplin 13. Kedisiplinan dalam
penyelesaian pekerjaan yang
berfokus pada pedoman
yang telah ada.
14. Kejelasan mengenai
pengaturan jadwal jam kerja
15. Pelaksanaan rapat
koordinasi secara berkala
16. Pekerjaan dikerjakan sesuai
tupoksi
Inteval 13-16
Variabel Y
Alat Ukur
Efektivitas
Pelayanan
(Hutapea:2002)
1. Kejelasan
dan
Kepastian
17. Kejelasan Prosedur dan
mekanisme pelayanan
18. Kepastian jumlah
Pembayaran
Interval 17-18
2. Kemudahan
dan
Kesederhana
an
19. Pelayanan tidak menyulitkan
wajib Pajak
20. Kesederhanaan prosedur
pelayanan
Interval 19-20
3. Ketepatan
dan
Kecepatan
21. Ketepatan dalam
memberikan pelayanan
22. Kecepatan penyelesaian
pelayanan pada SAMSAT
Interval 21-22
Sumber: hasil penelitian 2013
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yang relevan untuk
menunjang dan memperkuat analisis penelitian adalah:
1. Penelitian lapangan (filed research)
Penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan langsung ke
objek yang diteliti dalam hal ini ketiga instansi pelayanan SAMSAT yang
terdiri dari Dispenda, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero). Dengan
melakukan penelitian langsung pada objek penelitan dapat berguna untuk
mengetahui permasalahan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Penulis
memperoleh dan mengumpulkan data juga informan dengan cara Observasi
62
non partisipan, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan langsung objek penelitian yakni instansi pelayanan SAMSAT
yang terdiri dari tiga instansi yaitu Cabang Dispenda, POLRI dan PT. Jasa
Raharja (Persero). Dalam observasi ini penulis mengumpulkan data yang
berhubungan dengan objek yang diteliti dalam hal ini yaitu data primer.
2. Wawancara (interview)
Wawancara (interview) adalah proses atau upaya yang dilakukan untuk
mendapatkan data dan informasi yang diperlukan melalui tanya jawab
langsung dengan pihak yang bersangkutan dan berkompeten, dalam hal ini
Cabang Dispenda, POLRI dan PT. Jasa Raharja (Persero) sebagai responden
untuk memperoleh informasi yang berkaitan langsung dengan masalah yg
diteliti.
3. Angket
Angket adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengedarkan daftar
pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada sejumlah subjek. Angket yaitu
suatu penyelidikan mengenai suatu masalah yang umumnya banyak
menyangkut kepentingan umum (orang banyak) dilakukan dengan cara
mengedarkan suatu daftar pernyataan atau pertanyaan berupa formulir-
formulir yang diajukan secara tertulis kepada sejumlah subjek untuk
mendapatkan jawaban atau tanggapan tertulis seperlunya. Penulis dalam hal
ini menggunakan angket sebagai instrument penelitian karena dapat
menjangkau sampel yang luas dan tersebar. Seperti yang diketahui bahwa
sampel penelitian ini adalah tiga instansi sebagai objek penelitian yg terlibat
63
dalam kegiatan koordinasi dalam pelayanan SAMSAT pada Cabang
Pelayanan Dispenda Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, maka
untuk itu angket ini digunakan untuk pengambilan data tentang kesatuan
tindakan (X1), komunikasi (X2), pembagian kerja (X3), dan disiplin (X4).
Disamping itu dengan angket, responden bisa mengisinya sesuai dengan
waktu luang yang dimiliki responden sendiri, sehingga tidak mengganggu
pekerjaan pokok responden.
3.6 Teknik Pengolahan Data (Analisis Data)
Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau
sumber data lain terkumpul. Untuk keperluan pengolahan data, dalam penelitian
ini mengacu pada hasil dari penyebaran angket kepada responden. Angket tersebut
dibuat dalam bentuk pernyataan yang didasarkan kepada setiap indikator yang
diuraikan dalam operasionalisasi variabel dengan lima pilihan jawaban yang
memperlihatkan gradasi nilai dari sangat setuju sampai nilai sangat tidak setuju
dan pengukurannya dilakukan dengan menggunakan skala Likert. Pengolahan
data penelitian ini menggunakan skala Likert.
Menurut Sugiyono mengemukakan bahwa: “Skala likert digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang
fenomena sosial. Dalam penelitian, fenomena sosial ini telah ditetapkan secara
spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variable penelitian”.59
59
Sugiyono. 2011. Metode Penelitan Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm: 107
64
Skala likert yang digunakan masing-masing jawabannya mempunyai gradasi
nilai tertentu yang digunakan untuk menganalisis data dari jawaban-jawaban yang
diberikan oleh responden beserta nilai masing-masing jawaban sebagai berikut:
Tebel 3.3
Pembobotan Jawaban Kuesioner
Keterangan Skor Pernyataan Positif
Sangat setuju 5
Setuju 4
Ragu-ragu 3
Tidak setuju 2
Sangat tidak setuju 1
Sumber: Sugiyono (2011:107)60
Pembobotan jawaban kuesioner tersebut untuk mengukur variabel, dimensi
dan indikator, sehingga hasilnya akan dimasukan kedalaman kategori sangat
tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Panuji mengemukakan bahwa untuk menentukan katagori tersebut terlebih dahulu
menentukan indeks minimum, nilai indeks maksimum, interval, dan jarak
intervalnya.
1. Nilai indeks minimum adalah skor minimum dikali jumlah pertanyaan
dikali jumlah responden.
2. Nilai indeks maksimim adalah skor maksimum dikali jumlah
pertanyaan dikali jumlah responden.
3. Interval adalah indeks maksimum dengan nilai indeks minimum.
4. Jarak Interval adalah interval dibagi jumlah jenjang yang diinginkan.61
60
Sugiyono. 2011. Metode Penelitan Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm: 107 61
Rendi Panuji. 2002. Komunikasi Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm: 45
65
Dengan demikian jawaban responden disusun dan disajikan sebagai berikut:
1. Nilai indeks minimum = 1 x Jumlah pertanyaan x Responden
2. Nilai indeks maksimum = 5 x Jumlah pertanyaan x Responden
3. Interval = Nilai indeks maks _ Nilai indeks min
4. Jarak interval = Interval = Interval
Jumlah jenjang 5
Hasil ini secara kontinum dapat digambarkan sebagai berikut:
Sangat Rendah Sedang Sangat Tinggi
Rendah Tinggi
Gambar 3.1 Garis Kontinum
Penjelasan dari jenjang kriteria dalam garis kontinum dapat dilihat pada
uraian di bawah ini:
a. Kategori sangat tinggi artinya koordinasi antar instasi terhadap
efektivitas pelayanan SAMSAT terlaksana dengan sangat baik.
b. Kategori tinggi artinya koordinasi antar instasi terhadap efektivitas
pelayanan SAMSAT terlaksana dengan baik.
c. Kategori sedang artinya koordinasi antar instasi terhadap efektivitas
pelayanan SAMSAT terlaksana dengan cukup baik.
d. Kategori rendah artinya koordinasi antar instasi terhadap efektivitas
pelayanan SAMSAT belum terlaksana dengan baik.
e. Kategori sangat rendah artinya koordinasi antar instasi terhadap
efektivitas pelayanan SAMSAT belum pernah terlaksana.
66
Analisis data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
3.6.1 SPSS (Statistical Package For Social Science)
Untuk melakukan analisis ataupun pengolahan data agar menghasilkan
data yang akurat, penulis menggunakan metode perhitungan program SPSS
(Statistical Package For Social Science) versi 20.0. Program SPSS (Statistical
Package for Social Sciences) digunakan dalam metode penelitian kuantitatif mulai
dari penyusunan angket. Angket disusun untuk memperoleh informasi yang
relevan dengan tujuan kajian serta informasi yang valid dan reliabel. Isi
pertanyaan dalam angket berupa fakta, pendapat dan sikap, informasi atau
persepsi diri. Angket dapat dinyatakan dalam wawancara tatap muka, diisi sendiri
oleh kelompok, lewat telepon atau lewat pos.
Setiap kuesioner yang selesai disusun dilengkapi dengan buku kode. Isinya
ialah kode pertanyaan dan jawaban sesuai dengan kuesioner tersebut. Dalam SPSS
baik kuesioner maupun kodenya dapat tersaji dalam satu file. Isi buku kode
lazimnya berupa nomor pertanyaan, nomor variabel, nama variabel dan kode
jawaban.
Setelah seluruh data dimasukkan (dientri) ke dalam program SPSS,
selanjutnya data dapat dianalisis dalam bentuk tabel, gambar, atau uji statistika
langsung. Untuk disusun menjadi tabulasi silang lebih dari satu variabel, maka
interval tiap kelompok harus sama besarnya. Disamping angka absolute, perlu
dibuat pula presentasi tiap sel. Presentase selalu dihitung pada variabel pengaruh,
atau nilai totalnya (100%) terletak pada varibel terpengaruh. Analisis dilakukan
67
dengan melihat aliran hubungan presentasi antara variabel pengaruh (independen)
menuju variabel terpengaruh (dependen).
3.6.2 Pengujian Validitas
Sugiyono menyatakan, bahwa hasil penelitian valid bila terdapat kesamaan
antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek
yang diteliti.62
Teknik analisis yang digunakan adalah koefisien korelasi Product
Moment Pearson, yaitu dengan rumus sebagai berikut:
∑ ∑ ∑
√[( ∑ ) (∑ ) ][( ∑ ) (∑ ) ]
Keterangan :
R : koefisien korelasi pearson
X : variabel koordinasi antar instansi
Y : variabel efektivitas pelayanan
n∑X2 : Jumlah variabel X
Selain menggunakan perhitungan manual, peneliti juga dibantu dengan
menggunakan metode perhitungan program SPPSS versi 20.0 untuk menguji
validitas. Metode pengujian validitas item ditunjukan dengan adanya korelasi atau
dukungan terhadap item total (skor total). Untuk dilakukan uji signifikansi
koefisien korelasi dengan kriteria menggunakan r kritis pada taraf signifikansi
0,05 (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering digunakan
dalam penelitian).
62
Sugiyono. 2007 , Metode penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.hlm: 137
68
Adapun langkah-langkah dengan menggunakan program SPSS sebagai
berikut:
1. Masuk program SPSS
2. Klik variable view pada SPSS data editor
3. Pada kolom Name ketik item 1 sampai item 16, kemudian terakhir ketikkan
skortot (skor total didapat dari penjumlahan item 1 sampai item 16)
4. Pada kolom Decimals angka ganti menjadi 0 untuk seluruh item
5. Untuk kolom-kolom lainnya boleh dihiraukan (isian default)
6. Buka data view pada SPSS data editor
7. Ketikkan data sesuai dengan variabelnya, untuk skortot ketikkan total skornya.
8. Klik Analyze - Correlate – Bivariate
9. Klik semua variabel dan masukkan ke kotak variabel
10. Klik OK.
Uji validitas ini dilakukan pada angket dengan kriteria pengujian validitas
adalah harga dari thitung > ttabel pada taraf kepercayaan 95% (taraf signifikan 5%)
dan dk = n – 2, maka item soal tersebut dinyatakan valid. Sedangkan apabila thitung
< ttabel dengan taraf kepercayaan 95% (taraf signifikan 5%) maka item pertanyaan
angket tersebut dinyatakan tidak valid.
3.6.3 Uji Reliabilitas
Langkah selanjutnya untuk pengujian instrumen adalah uji reliabilitas. Uji
reliabilitas dilakukan untuk menunjukkan kestabilan dan konsistensi alat ukur
dalam mengukur konsep yang ingin diukur. SPSS memberikan fasilitas untuk
mengukur reliabilitas dengan uji statistik Cronbach Alpha (α).
69
Suatu variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai α > 0,70. Apabila
telah didapat nilai α maka dapat dibuat kesimpulan Jika α > 0,70, maka variabel
tersebut reliabel dan Jika α < 0,70, maka variabel tersebut tidak reliable. Mudjarad
Kuncoro menyatakan jika nilai koefisien reliabilitas lebih dari 0,7 maka dapat
dijadikan sebagai alat penelitian, sebaliknya jika kurang dari 0,7 maka variabel
atau alat ukur tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat ukur, karena tidak
handal.63
Dalam penelitian ini untuk menghitung data digunakan program SPSS versi
20.0, yang langkah-langkahnya dapat diuraikan dibawah ini:
1. Klik Analyze - Scale - Reliability Analysis
2. Klik item yang tidak gugur dan masukkan ke kotak items. Jika item-item
sudah berada dikotak items maka klik item yang gugur dan keluarkan dengan
klik simbol arah
3. Klik Statistics, pada Descriptives for klik scale if item deleted
4. Klik Continue
5. Klik OK.
3.6.4 Uji Asumsi Klasik
Persyaratan untuk bisa menggunakan persamaan regresi linier berganda
adalah terpenuhinya asumsi klasik. Untuk mendapatkan nilai pemeriksa yang
efisien dan tidak bias BLUE dari satu persamaan regresi berganda dengan metode
kuadrat terkecil, maka perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui model regresi
63
Kuncoro Mudjarad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga Hal: 266
70
yang dihasilkan memenuhi persyaratan asumsi klasik. Uji asumsi klasik sendiri
meliputi Uji Normalitas, Uji Multikolinieritas dan Uji Heteroskedastisitas.
3.6.4.1 Uji Normalitas
Uji normalitas adalah pengujian tentang kenormalan distribusi data.
Penggunaan uji normalitas karena pada analisis statistik parametik, asumsi yang
harus dimiliki oleh data adalah bahwa data tersebut harus terdistribusi secara
normal. Maksud data terdistribusi secara normal adalah bahwa data akan
mengikuti bentuk distribusi normal. Uji normalitas bisa dilakukan dengan
“Normal P-P Plot”.
3.6.4.2 Uji Multikolinieritas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan
adanya korelasi antar variabel bebas (independent). Model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independent. Jika variabel
independent saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal. Untuk
mendeteksi adanya multikolinieritas, dapat dilihat dari Value Inflation Factor
(VIF). Apabila nilai VIF > 10, terjadi multikolinieritas. Sebaliknya, jika VIF < 10,
tidak terjadi multikolinieritas.
3.6.4.3 Uji Heteroskedastisitas
Pengujian ini digunakan untuk melihat apakah variabel pengganggu
mempunyai varian yang sama atau tidak. Heteroskedastisitas mempunyai suatu
keadaan bahwa varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain
berbeda. Salah satu metode yang digunakan untuk menguji ada tidaknya
heteroskedastisitas akan mengakibatkan penaksiran koefisien-koefisien regresi
71
menjadi tidak efisien. Hasil penaksiran akan menjadi kurang dari semestinya.
Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi linier,
yaitu bahwa variasi residual sama untuk semua pengamatan atau disebut
homokedastisitas.
Untuk mengetahui hasil dari uji normalitas, uji multikolinieritas dan uji
heteroskedastisitas, maka digunakan langkah-langkah sebagai berikut
menggunakan SPSS Versi 20.0:
1. Masuk program SPSS
2. Kemudian pada variabel view, pada name masukkan nama variabelnya
pada name kolom 1 ketik Y, pada name kolom 2 ketik X1, pada name
kolom 3 ketik X2, pada name kolom 4 ketik X3 dan pada name kolom 5
ketik X4, pada decimals ubah menjadi 0 dan pada label kolom 1 ketik
Efektivitas Pelayanan, pada label kolom 2 ketik Kesatuan Tindakan, pada
label kolom 3 ketik Komunikasi, pada label kolom 4 ketik Pembagian
Kerja dan pada label kolom 5 ketik Disiplin. Sedangkan kolom-kolom
lainnya bias dihiraukan.
3. Setelah semua sudah diisi dan datanya pastikan sudah benar (untuk
kebenarannya klik lagi pada data view maka pada variabel akan berubah
namanya sesuai dengan data kita) hati-hati jangan sampai terbalik
memasukkan angka.
4. Klik analyze – regression – linier
5. Akan muncul jendela Linier Regression. Masukkan variabel sesuai dengan
data, klik variabel efektivitas pelayanan dan masukkan ke kotak
72
dependent, kemudian klik variabel (kesatuan tindakan, komunikasi,
pembagian kerja dan disiplin) kemudian masukkan ke kotak independent ,
klik tanda berbentuk seperti panah untuk memasukkannya ke dalam kolom
data.
6. Kemudian klik pada statistics (masih dalam jendela Linier Regression)
sehingga akan muncul jendela Linier Regression Statistics. Pada
regression coefficient centang pada estimates covariance matrik, model fit,
R squared change, collinearity diagnostics. Dan pada residuals klik
Durbin-watson. Setelah semua dicentang klik continue.
7. Akan muncul lagi jendela Linier Regression yang awal. Klik pada plots
sehingga muncul jendela regression plots. Masukkan *ZPRED pada Y dan
*SRESID pada X. Caranya dengan mengklik *ZPRED atau *SRESID
kemudian klik tanda yang mirip bentuk panah pada tempatnya masing-
masing, kemudian pada standardized residual plots centang pada
histogram dan normal probability plots, setelah selesai klik OK.
8. Kembali ke jendela Linier Regression klik OK untuk segera memproses
data dan akan muncul jendela baru. Data yang tertera disitulah yang akan
menjadi dasar analisis kita.
3.6.5 Analisis Regresi Linier Berganda
Analisis regresi linier berganda adalah hubungan secara linear antara dua
atau lebih variabel independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel dependen (Y).
Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen apakah masing-masing variabel independen berhubungan
73
positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila
nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Data yang
digunakan biasanya berskala interval atau rasio.
Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:
Y’ = a + b1X1+ b2X2+…..+ bnXn
Keterangan:
Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)
X1 dan X2 = Variabel independen
a = Konstanta (nilai Y’ apabila X1, X2…..Xn = 0)
b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)
Langkah-langkah dengan menggunakan program SPSS versi 20.00 dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Klik variabel view pada SPSS data editor
2. Pada kolom Name ketik Y, kolom Name pada baris kedua ketik X1,
kemudian untuk baris kedua ketik X2, pada baris ketiga klik X3 dan pada
baris keempat klik X4.
3. Pada kolom Label, untuk kolom pada baris pertama ketik efektivitas
pelayanan, pada baris kedua ketik kesatuan tindakan, pada baris ketiga
ketik komunikasi, pada baris keempat ketik pembagian kerja dan pada
baris terakhir ketik disiplin.
4. Untuk kolom-kolom lainnya boleh dihiraukan (isian default)
5. Buka data view pada SPSS data editor, maka didapat kolom variabel Y,
X1, X2, X3 dan X4.
6. Ketikkan data sesuai dengan variabelnya
7. Klik Analyze - Regression – Linear
74
8. Klik variabel efektivitas pelayanan (Y) dan masukkan ke kotak
Dependent, kemudian klik variabel kesatuan tindakan, komunikasi,
pembagian kerja dan disiplin (X) kemudian masukkan ke kotak
Independent.
9. Klik Statistics, klik Casewise diagnostics, klik All cases. Klik Continue
10. Klik OK.
3.6.6 Analisis Koefesien Determinasi
Pengujian koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa besar
tingkat pengaruh variabel X terhadap Variabel Y, atau untuk mengukur seberapa
persen pengaruh koordinasi antar instasi terhadap efektivitas pelayanan SAMSAT
(Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) Cabang Pelayanan Dinas Pendapatan
Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan, penulis menggunakan
koefisien determinasi yaitu suatu alat ukur yang digunakan untuk mengetahui
sejauh mana tingkat hubungan antar variabel X dan Y dengan rumus64
:
Keterangan:
KD = koefisien determinasi
rxy2
= koefisien korelasi Product moment
64
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung: Alfabeta,
hlm: 257
KD = rxy2 x 100%
75
Nilai determinasi setelah diketahui, maka sebagai panduan dalam
menganalisis seberapa besar pengaruh variabel X terhadap variabel Y, penulis
mengunakan pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien determinasi,
dikemukakan oleh Sugiyono adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4
Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Determinasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
Kurang dari 4% Rendah sekali, lemah sekali
5% - 16% Rendah tetapi pasti
17% - 49% Cukup berarti
50% - 81% Tinggi, kuat
Lebih dari 81% Sangat tinggi, kuat sekali
(Sumber: Sugiyono, 2007: 257)65
Dalam penelitian ini, seluruh pengolahan data dan analisis dilakukan
dengan menggunakan piranti lunak (software) SPSS (Statistical Product and
Service Solutions) versi 20.0.
3.6.7 Uji Hipotesis (Verivikatif)
Menurut Sugiyono, “hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian yang diajukan”.66
Dasar pengambilan keputusan
berdasarkan angka signifikan menurut Tingkat signifikansi dapat ditentukan
dengan melakukan pengujian terhadap dua pihak. Untuk menguji diterima atau
ditolaknya hipotesis, maka dilakukan dengan cara pengujian dua pihak dengan
tingkat signifikan = 5%.
65 Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung: Alfabeta,
hlm: 257 66
Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi. 2011, hal: 326
76
Taraf signifikansi diperlukan untuk mentoleransi kesalahan yang dibuat
karena pengambilan data untuk ilmu-ilmu sosial. Penetapan signifikansi 5%
sesuai pendapat Arikunto, mengatakan sebagai berikut :
“Apabila peneliti menolak hipotesis atas dasar taraf signifikansi 5% berarti
sama dengan menolak hipotesis atas dasar taraf kepercayaan 95%, artinya
apabila kesimpulan tersebut diterapkan pada populasi yang terdiri dari 100
orang, akan cocok 95 orang dan bagi 5 orang lainnya terjadi
penyimpangan”.67
Pengujian dalam mencari siginifikansi maka penulis mengunakan uji t,
dengan menggunakan rumus t-test sebagai berikut:
r √ n
t =
r 1 – r2
.68
Keterangan :
t = hasil uji tingkat signifikansi
r = koefisien korelasi
n = jumlah data
Membandingkan t hitung dengan t tabel, guna mencari harga (nilai) t dari
tabel dengan dk = n – , taraf signifikansi 0,95 ( ) artinya jika hipotesis
nol ditolak dengan taraf kepercayaan 95%, maka kemungkinan bahwa hasil dari
penarikan kesimpulan mempunyai kebenaran 95% dan hal ini menunjukan adanya
hubungan (korelasi) yang meyakinkan (signifikan) antara dua variabel tersebut.
67
Suharsimin Arikunto. 2002. Prosedur Peneli tian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V).
Jakarta: Rineka Cipta, hlm: 69 68
Sudjana. 2004. Statistika. Bandung. Tarsito, hlm:259
77
Daerah
Penerimaan
HaHHa
Daerah
Penerimaan
Ha
Hasil perhitungan koefisien korelasi dapat diketahui tingkat signifikan atau
tidak signifikan maka hasil perhitungan dari statistik uji t (t hitung) tersebut
selanjutnya dibandingkan dengan t tabel. Tingkat signifikannya yaitu 5 % (α =
0,05).
Untuk mengetahui ditolak atau tidaknya dinyatakan dengan kriteria sebagai
berikut:
1. Jika nilai thitung > ttabel, maka H0 ada didaerah penolakan, berarti Ha
diterima artinya antara variabel x dan variabel y ada hubungan yang
signifikan.
2. Jika nilai thitung < ttabel, maka H0 ada didaerah peneriman, berarti Ha
ditolak artinya antara variabel x dan variabel y tidak ada hubungan yang
signifikan.69
Menggambarkan daerah penerimaan dan penolakan terhadap sebuah
hipotesis dapat digambarkan dengan uji dua pihak daerah penerimaan dan
penolakan hipotesis adalah seperti gambar pada halaman berikutnya.
Daerah Penolakan
-t/F t/F
Gambar 3.2
Kurva Uji t Distribusi (Uji Dua Pihak)
69
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta, hlm:214-215
78
3.7 Jadwal Penelitian
3.7.1 Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian di Kantor Bersama SAMSAT Cabang Pelayanan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Wilayah Kota Bandung II Kawaluyaan. Jalan
Kawaluyaan Raya Telp. 022-7320868, Telp./Fax. 022-7320869 Bandung 40286.
Alasan peneliti melakukan penelitian di lokasi tersebut adalah:
a. Lokasi tempat penelitian yang mudah dijangkau serta bisa lebih
menghemat biaya dalam melakukan proses penelitian.
b. Ketertarikan penulis dalam melakukan penelitian merupakan upaya untuk
menggali potensi daerah sendiri.
c. Adanya kecenderungan pada masalah-masalah yang harus dicari
pemecahannya.
d. Sebagai bentuk kontribusi dalam mengembangkan keilmuan yang penulis
dapatkan sehingga bisa ikut serta dalam peran membangun daerah.
e. Adanya kecenderungan dari data yang mendukung pada penelitian.
3.7.2 Waktu Penelitian dan Rancangan Jadwal Penelitian
Waktu yang diperlukan penulis dalam penelitian ini adalah tujuh bulan
yang dimulai pada bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2013. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel halaman berikutnya.
79
Tabel 3.5
Jadwal Rancangan Penelitian
Sumber: Penelitian 2013
Tahapan
Penelitian
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
3
4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengajuan Judul Pembuatan
Proposal
penelitian Bimbingan
Proposal
Penelitian Seminar
Proposal
Penelitian Pengumpulan
dan Pengolahan
Data Bimbingan
Skripsi Penyelesaian
Skripsi
Sidang Skripsi