BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem...

24
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan alat pembayaran sangat cepat dan maju. Pada zaman dahulu dikenal suatu sistem pembayaran yang disebut sistem barter (pertukaran). Baik antara barang dengan barang maupun barang dengan jasa atau sebaliknya. Namun akhirnya cara bertransaksi dengan sistem ini mengalami jalan buntu karena tidak ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, dan untuk itu diperlukan kepastian nilai tukar dengan menciptakan satuan nilai tukar yang disebut uang. Untuk tahap berikutnya diciptakanlah cara transaksi lain dengan mempergunakan uang sebagai alat tukar yaitu kartu kredit. Saat ini, uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat khususnya transaksi dalam jumlah yang kecil. Namun penggunaan uang mempunyai kendala dalam efisiensi waktu pembayaran serta ketidakpraktisan mobilitas uang dalam jumlah yang besar. Selain itu mempergunakan uang untuk keperluan transaksi dalam jumlah besar, dalam segi keamanan berisiko tinggi untuk pembawa uang dari perbuatan orang-orang jahat, seperti pencurian, perampokan, dan pemalsuan uang. Mengingat semakin besar kualitas maupun kuantitas tindak kriminal pada zaman sekarang. Akibatnya, kegiatan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran mulai berkurang. Diperlukan alternatif penggunaan alat tukar yang praktis, efisien dan aman. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan alat pembayaran sangat cepat dan maju. Pada zaman dahulu

dikenal suatu sistem pembayaran yang disebut sistem barter (pertukaran). Baik

antara barang dengan barang maupun barang dengan jasa atau sebaliknya. Namun

akhirnya cara bertransaksi dengan sistem ini mengalami jalan buntu karena tidak

ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, dan untuk itu diperlukan

kepastian nilai tukar dengan menciptakan satuan nilai tukar yang disebut uang.

Untuk tahap berikutnya diciptakanlah cara transaksi lain dengan

mempergunakan uang sebagai alat tukar yaitu kartu kredit. Saat ini, uang masih

menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat khususnya

transaksi dalam jumlah yang kecil. Namun penggunaan uang mempunyai kendala

dalam efisiensi waktu pembayaran serta ketidakpraktisan mobilitas uang dalam

jumlah yang besar. Selain itu mempergunakan uang untuk keperluan transaksi

dalam jumlah besar, dalam segi keamanan berisiko tinggi untuk pembawa uang dari

perbuatan orang-orang jahat, seperti pencurian, perampokan, dan pemalsuan uang.

Mengingat semakin besar kualitas maupun kuantitas tindak kriminal pada zaman

sekarang. Akibatnya, kegiatan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran

mulai berkurang. Diperlukan alternatif penggunaan alat tukar yang praktis, efisien

dan aman.

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

2

terjadinya perubahan gaya hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Teknologi telah

mampu mengubah pola pikir masyarakat dan ditemukanlah cara baru untuk

mengadakan transaksi dengan banyak kelebihan yang dimilikinya. Menurut Dahlan

Siamat keuntungan-keuntungan yang didapat pemegang kartu kredit dari

penggunaan kartu kredit adalah, lebih aman dan praktis, karena tidak perlu

membawa uang tunai dalam jumlah besar; keluasan, karena kartu kredit telah

diterima sebagai alat pembayaran di seluruh kota di seluruh dunia; sistem

pembayaran yang fleksibel; pembayaran atas tagihan dapat diangsur (credit card)

atau beberapa waktu (charge card); program merchandising, yaitu kesempatan

membeli barang-barang dengan mengangsur tanpa bunga; bantuan-bantuan

perjalanan terutama ke luar negeri, misalnya referensi, dokter, rumah sakit, dan

bantuan hukum; purchase protection plan, yaitu asuransi perlindungan pembelian

barang yang diberikan secara otomatis.1 Dengan segala kelebihan tersebut cara-cara

transaksi pembayaran konvensional kini mulai ditinggalkan dan masyarakat

menggantikannya dengan cara-cara yang lebih praktis dan lebih efisien yaitu salah

satunya adalah kartu kredit. Yang mana kartu kredit saat ini adalah salah satu

kebutuhan masyarakat modern sebagai alat pembayaran tunai. Kartu kredit

merupakan sejenis kartu yang dibuat dari plastik dengan ukuran standar tertentu

dan berisikan data nomor kartu kredit yang terekam dalam magnetic stripe pada

bagian belakang kartu. Pada bagian depan kartu terdapat nama dan nomor

pemegang kartu kredit yang dicetak timbul, juga terdapat tanggal masa berlaku

1 Dahlan Siamat, 2001, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Ketiga, Fakultas Ekonomi Indonesia, Jakarta, h. 415

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

3

kartu kredit tersebut. Nomor pemegang kartu kredit biasanya terdiri dari 12-16 digit

dan unik untuk setiap bank dan pemegang kartu kredit. 2

Cikal bakal kartu kredit berawal dari Diners Club. Di tahun 1949 seorang

pengusaha bernama Frank McNamara secara tidak sengaja ketinggalan dompet

setelah acara makan malam di sebuah restoran terkenal. Saat tagihan datang, Frank

McNamara baru sadar bahwa dompetnya tertinggal. Akibat kejadian ini Frank

McNamara mulai mencari solusi pengganti uang tunai atau dompet yang sering

tertinggal. Tahun 1950, Frank McNamara dengan rekannya Ralph Schneider

kembali ke restoran tersebut dan menggunakan sebuah kartu pembayaran yang

unik. Yang mana ini adalah cikal bakal kartu kredit yang dikenal hingga saat ini.

Bermula dari Diners Club yang saat itu adalah jenis kartu "charge card". 3

Kartu "charge" adalah kartu kredit dalam arti konsumen bisa menunda

pembayaran pada saat bertransaksi atau berbelanja di toko. Pihak Bank yang akan

membayar terlebih dulu kepada toko. Jumlah pengeluaran tidak dibatasi dan di

bulan berikutnya bank yang menagih ke konsumen dan konsumen wajib membayar

penuh (full). Sejak saat itu (1951) penggunaan kartu Diners Club begitu terkenal di

Amerika dan pada tahun yang bersamaan ditemukanlah bahan pembuat kartu

dengan bahan dasar plastik yang membuatnya semakin terkenal. Sebab waktu dulu

kartu masih menggunakan bahan dasar kertas. Sedikit berbeda dengan kartu kredit

yang kita kenal sekarang. Dana yang bisa pemegang kartu kredit gunakan untuk

2 Johannes Ibrahim, 2004, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 11 3 Sigit Triandaru dan Totok Budisanto, 2006, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi 2, Jakarta, h. 256

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

4

menarik uang tunai maupun berbelanja terbatas pada limit kredit yang disetujui.

Kelebihan dari kartu kredit ini, pemegang kartu kredit tidak harus membayar penuh

(full) jumlah tagihan yang jatuh tempo. Pemegang kartu kredit boleh mengangsur

atau menyicil dengan jumlah minimal tertentu, sisanya termasuk bunga akan

ditagihkan kepada nasabah pada bulan berikutnya. Bentuk kemudahan seperti inilah

yang membuat kartu kredit sangat digemari oleh masyarakat. Pemakaian kartu

kredit semakin berkembang melalui perluasan yang dilakukan oleh Bank of

America dengan perjanjian lisensi kepada bank-bank lain di seluruh dunia. Kartu

ini kemudian menjadi Visa Card, dan tahun 1966 terbit pula Master Card.4

Kehadiran kartu kredit di Indonesia diawali oleh Citibank, bank asing

terlama yang beroperasi di Indonesia, yaitu sejak 1989. Bank Central Asia lalu

menyusul menerbitkan kartu kredit untuk penggunaan internal nasabah dan Bank

Duta menjadi bank lokal pertama yang bekerja sama dengan prinsipal internasional

menerbitkan kartu kredit.

Prinsipal kartu kredit yang masuk ke Indonesia adalah Visa, Master,

American Express (Amex), Dinners Club International, dan Japan Credit Bureau

(JCB). Melalui jaringan prinsipal itu, kartu kredit yang dikeluarkan bank bisa

dipakai sebagai alat pembayaran di hampir semua belahan dunia. Sekitar 90 persen

kartu kredit yang diterbitkan bank di Indonesia bekerja sama dengan Visa dan

Master Card. Saat ini pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran tunai sudah

semakin luas oleh masyarakat Indonesia karena masyarakat merasakan manfaat

kartu kredit yaitu kepraktisan, rasa nyaman dan aman yang ditimbulkan. Walaupun

4 Ibid

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

5

keberadaan kartu kredit tidak dimaksudkan untuk menghapus secara keseluruhan

sistem pembayaran yang menggunakan uang tunai ataupun cek, namun untuk

kegiatan pembayaran yang jumlah pembayaran tingkat menengah maka keberadaan

kartu kredit sesungguhnya dapat menggeser peranan uang tunai maupun cek.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 sebagaimana diubah

dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 Tentang Penyelenggaraan

Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dalam pasal 1 angka 4,

dijelaskan bahwa kartu kredit adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan

Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang

timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau

untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu

kredit dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu

kredit berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada

waktu yang disepakati baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara

angsuran.

Berbagai jenis kartu kredit dikeluarkan bank-bank di Indonesia, maka

keberadaan bank pada saat ini sangat mengambil peranan dalam menerbitkan kartu

kredit sebab ini adalah salah satu bentuk pelayanan dari bank itu sendiri untuk para

nasabahnya.

Penerbitan kartu diawali dengan adanya perjanjian penerbitan kartu kredit

antara bank penerbit dengan nasabah yang mana perjanjian penerbitan kartu kredit

ini adalah sebagai perjanjian baku (standar), menurut Mariam Darius Badruzaman

perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

6

bentuk formulir. 5 Pihak bank menyodorkan formulir kepada nasabahnya dan

persetujuan nasabah atas segala syarat dan akibat hukum yang dapat muncul

berkaitan dengan penggunaan kartu kredit. Berdasarkan permohonan calon

pemegang kartu kredit (cardholder) yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan,

nasabah akan menerima kartu untuk membayar iuran tahunan menurut ketentuan

bank sebagai penerbit (issuer). Nasabah kemudian dapat menggunakan kartunya

untuk transaksi pada pihak yang menerima pembayaran melalui kartu tersebut

(merchant). 6

Pengguna kartu kredit disebut nasabah bank. Pasal 1 angka 18 Undang-

undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa nasabah

adalah orang yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan bank

yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang

bersangkutan.

Bank dan nasabah saling terikat antara satu sama lainnya, yang ditegaskan

di dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Selain itu, para pihak juga harus saling mematuhi dan melaksanakan perjanjian

yang dibuat dengan baik sesuai dengan apa yang telah diperjuangkan sebelumnya.

Perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuat perjanjian tersebut, seperti apa yang dimuat didalam pasal 1338 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Namun perlu diingat

5 Mariam Darus Badrulzaman, 1990, Perjanjian Baku (Standar)

Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 22 6 Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Adtya Bakti, Bandung, h. 130

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

7

bahwa tidak setiap pelaksanaan perjanjian yang dibuat selalu seperti apa yang telah

diperjanjikan sebelumnya. Penyebabnya adalah adanya salah satu pihak yang

melakukan wanprestasi atau cidera janji. Maka hendaknya sebelum membuat

perjanjian harus mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat sahnya perjanjian. Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 1320 mengatur syarat-

syarat tersebut, yaitu: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan

untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang

tidak terlarang.

Syarat pertama adalah sepakat. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan

perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa

yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya,

kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. 7 Kesepakatan

dalam penerbitan kartu kredit dilakukan oleh pemohon dengan mengisi dan

menanda-tangani aplikasi atau permohonan penerbitan kartu kredit di bank yang

bersangkutan. Apabila pemohon dinilai layak maka bank akan menerbitkan kartu

kredit. Pemberitahuan pihak bank yang diterima oleh pemohon merupakan

kesepakatan yang terjadi di antara kedua belah pihak.

Syarat kedua adalah kecakapan. Unsur kecakapan dalam penerbitan kartu

kredit pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah

cakap menurut hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah

masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk dan

7 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2014, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta, h. 95

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

8

atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang-perorangan yang

cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan perbuatan

hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan

hukum tertentu.8 Berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek) Pasal 1330 ayat (1) menentukan bahwa seseorang baru

dikatakan dewasa jika ia: telah berumur 21 tahun; telah menikah, termasuk mereka

yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah.

Syarat ketiga adalah suatu hal tertentu. Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (Burgerlijk Wetboek) menjelaskan maksud hal tertuntu dengan memberikan

rumusan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334. Pasal 1332 berbunyi sebagai

berikut:

“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi

pokok suatu perjanjian”

Pada dasarnya menegaskan bahwa yang dapat menjadi objek dalam

perikatan adalah kebendaan yang termasuk dalam lapangan harta kekayaan.

Pasal 1333 yang berbunyi sebagai berikut:

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok pernjanjian berupa suatu

kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi

halangan bahwa jumlah barang tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian

dapat ditentukan atau dihitung”

Secara sepintas dengan rumusan “pokok-pokok perjanjian berupa barang

yang telah ditentukan jenisnya” tersebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

8 Ibid, h. 127

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

9

(Burgerlijk Wetboek) hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau

menyerahkan sesuatu. Namun demikian rumusan tersebut hendak memberikan

penegasan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu pasti melibatkan

keberadaan atua eksistensi dari suatu kebendaan tertentu.9

Pasal 1334 mengatur mengenai perjanjian yang melahirkan perikatan

bersyarat, yang berbunyi sebagai berikut:

“Kebendaan yang baru saja akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok

suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu

warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu

hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang

nantinya akan meninggalkan warisan yan gmenjadi pokok perjanjian itu;

dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178.”

Maka kesimpulan yang didapat dari ketiga Pasal tersebut adalah, suatu hal

tertentu merupakan objek perjanjian harus berupa suatu hal atau suatu barang atau

benda yang dapat ditentukan jenisnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

objek dari penerbitan kartu kredit tidak dikategorikan barang tetapi “suatu hal”,

berupa jasa yang mana dalam konteks penerbitan kartu kredit adalah fasilitas kredit

dari pengguna kartu kredit berupa fasilitas pinjaman yang diberikan kepada

pemegang kartu kredit. 10

Syarat keempat adalah suatu sebab yang halal, hal ini diatur dalam Pasal

9 Ibid, h. 155 10 Johannes Ibrahim, Op. cit., h. 47

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

10

1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek). Pasal 1335 yang berbunyi sebagai berikut:

“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab

palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”

Dijelaskan bahwa yang disebut sebab yang halal adalah:

− Bukan tanpa sebab;

− Bukan sebab yang palsu;

− Bukan sebab yang terlarang.

Pasal 1336 yang berbunyi:

“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal,

ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya

namun demikian adalah sah.”

Dari rumusan Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek) di atas dapat dilihat bahwa pada dasarnya Undang-Undang

tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya

suatu perjanjian tertentu, yang ada diantara para pihak. Mungkin saja perjanjian

dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang

mengadakan perjanjian tersebut.11 Dengan membarasi rumusan mengenai sebab

yang halal menjadi sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 menyatakan bahwa:

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau

apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.”

Dalam rumusan yang demikian pun sesungguhnya Undang-Undang tidak

11 Kartika Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit., h. 162

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

11

memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak dilarang. Dan Undang-

Undang juga tidak menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar

pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga benar bahwa

sebab itu adalah terlarang.12

Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang

berkembang, digolongkan ke dalam: dua unsur pokok yang menyangkut subjek

(pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan dua unsur pokok

lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak

yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan

unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek

yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati

untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak terlarang atau

diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat

unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut

diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat

pelanggaran terhadap unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak

terpenuhinya unsur obyektif dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari

pejanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.13

Terpenuhinya syarat-syarat sah perjanjian diatas maka pihak penerbit kartu

kredit dapat menerbitkan kartu kredit untuk calon pengguna kartu kredit.

12 Kartika Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit., h. 163 13 Kartika Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit., h. 94

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

12

Pemakaian kartu kredit menunjukkan jumlah transaksi yang meningkat dalam

kegiatan transaksi perdagangan atau transaksi pembelian barang dan jasa di

Indonesia. Hal ini dapat dimungkinkan terjadinya masalah-masalah pada

penggunaan kartu kredit di antara para pihak yang terlibat. Adapun yang menjadi

kewajiban pemegang kartu kredit adalah membayarkan uang pangkal, uang

tahunan, biaya administrasi, bunga, dan denda kepada bank penerbit; mematuhi

batas maksimum pembayaran dengan menggunakan kartu kredit; menandatangani

bukti transaksi yang disodorkan oleh penjual; membayar kembali harga pembelian

sesuai dengan tagihan bank penerbit. Terjadinya masalah keterlambatan

pembayaran tagihan kartu kredit yang selanjutnya menimbulkan kemacetan atau

yang biasa disebut juga tagihan kartu kredit macet. Kartu kredit yang macet akan

menimbulkan masalah bagi pemegang kartu kredit dan bagi pihak bank yang

menerbitkan kartu kredit tersebut. Permasalahan yang timbul pun semakin

kompleks, karena kartu kredit tidak sama dengan kredit perbankan lainnya yang

memiliki perjanjian yang lebih mengikat dengan adanya unsur agunan, sehingga

dalam memprosesnya kartu kredit membutuhkan perhatian yang lebih. Dalam

prakteknya transaksi pembayaran dengan menggunakan kartu kredit diberikan oleh

bank dengan sangat mudah bahkan tanpa melakukan studi lapangan atas kondisi

calon pengguna kartu kredit. Sehingga besar kemungkinannya melakukan

wanprestasi apabila tidak digunakan dengan bijak yang mana akan menimbulkan

masalah bagi pemegang kartu kredit. Kartu kredit yang mengalami masalah

disebabkan oleh tidak dipenuhinya kewajiban oleh pemegang kartu kredit, pihak

bank selaku penerbit kartu kredit akan melakukan langkah-langkah penyelesaian

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

13

dari masalah tersebut. Atas dasar hal diatas yang mendorong penulis untuk menulis

skripsi dengan judul “PENYELESAIAN TAGIHAN KARTU KREDIT AKIBAT

PEMEGANG KARTU KREDIT TIDAK MEMENUHI KEWAJIBAN PADA PT.

BANK MANDIRI (PERSERO) TBK CABANG SINGARAJA SEBAGAI BANK

PENERBIT”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah terurai sebelumnya, maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap tagihan yang timbul akibat

tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang

Singaraja?

2. Bagaimana upaya penyelesaian tagihan kartu kredit macet di PT. Bank

Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar lebih terarahnya tulisan ini, sekiranya perlu diadakan pembatasan

terhadap permasalahan tersebut. Hal ini untuk membatasi pembahasan agar tidak

ada penyimpangan dari permasalahan yang dikemukakan. Maka pokok

pembahasan disini adalah mengenai penyelesaian wanprestasi atau cidera janji

yang dilakukan nasabah sebagai pemegang kartu kredit dalam pembayaran tagihan

kartu kredit yang menyebabkan kemacetan atau yang biasa disebut juga tagihan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

14

kartu kredit macet.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Penelitian yang saya dapat temukan sejenis adalah yang berjudul “Upaya

Penyelesaian Terhadap Pelanggaran Perjanjian Kartu kredit” penelitian tersebut

dibuat pada tahun 2013 dan pada pembahasannya hanya sebatas penelitian hukum

normatif yang mana hanya mengkaji dan menganalisis peraturan-peraturan tertulis.

Sedangkan penelitian saya selain mengkaji dan menganalisis peraturan-peraturan

tertulis juga menganalisis gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata

dalam hal ini saya melalukan penelitian langsung pada PT. Bank Mandiri (Persero)

Tbk. Cabang Singaraja. Selain itu penelitian saya juga mengkaji dan menganalisis

faktor-faktor penyebab terjadinya tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri

(Persero) Tbk. Cabang Singaraja.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini secara umum adalah:

1) Untuk mengetahui dan mendalami ilmu hukum yang berkaitan dengan

masalah wanprestasi pemegang kartu kredit kepada bank penerbit.

2) Untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang hukum

perdata dalam bidang hukum perjanjian khususnya mengenai kartu

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

15

kredit secara teori dan praktek yang dilaksanakan oleh pihak yang

terkait didalamnya.

b. Tujuan Khusus

Tujuan penelitian ini secara khusus adalah :

1) Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tagihan kartu

kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja.

2) Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana upaya penyelesaian

tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang

Singaraja.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu :

a. Manfaat Teoritis

1) Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang jelas tentang

penyelesaian tagihan kartu kredit macet khususnya dalam bidang

hukum perbankan serta menambah wawasan pengetahuan Ilmu Hukum.

2) Dijadikan sumber informasi ilimiah guna melakukan pengkajian lebih

lanjut dan mendalam tentang penyelesaian tagihan kartu kredit macet,

terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mungkin timbul

di kemudian hari.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

16

b. Manfaat Praktis

1) Bagi kalangan praktisi dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dan berharga dalam

melaksanakan tugas-tugas.

2) Bagi masyarakat luas diharapkan dengan hasil penelitian ini akan

memberikan kesadaran bahwa perjanjian antara pihak bank dan

pemegang kartu kredit harus dipenuhi dengan tepat waktu agar tidak ada

timbulnya masalah antar kedua belah pihak.

1.7 Landasan Teoritis

Perjanjian merupakan dasar hubungan hukum antara nasabah pemegang

kartu kredit dengan pihak bank penerbit. Setiap perjanjian secara hukum harus

memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Indonesia menganut asas kebebasan

berkontrak yang ditegaskan di dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Maka setiap perjanjian yang dibuat asal tidak

bertentangan dengan hukum kebiasaan yang berlaku maka perjanjian yang

dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit akan berlaku

sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut, dengan demikian pula, tentunya

perikatan dalam buku ketiga berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang berkenaan

dengan kartu kredit, secara mutualis-mutadis.14

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab

14 ibid, h. 301

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

17

Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengatur secara jelas tentang penggunaan

kartu kredit, tetapi terdapat beberapa Undang-Undang yang memberikan landasan

bagi penerbitan dan pengoperasionalan kartu kredit yaitu Kepres No.61 Tahun 1988

tentang lembaga pembiayaan, Keputusan Mentri Keuangan

No.1251/KMK.013/1998 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga

pembiayaan, Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari

Undang-Undang No.7 Tahun 1992, dan berbagai peraturan-peraturan lainnya.

Dalam bisnis transaksi kartu kredit baik penggunaan maupun

pengoperasionalan kartu kredit, biasanya terdapat dua pihak utama atau pokok yang

saling berkaitan. Penerbit kartu kredit (issuer) yaitu pihak yang membuat,

mengeluarkan, dan mengelola produk kartu plastik sebagai alat pembayaran, yang

berkewajiban memelihara dan memonitor segala aktivitas nomor rekening nasabah

tersebut. Biasanya berupa bank atau lembaga keuangan bukan bank (financial

institution) dan pengelola penggunaan kartu kredit. Pemegang kartu kredit

(cardholder) adalah nasabah atau pihak yang telah memenuhi semua persyaratan

yang telah dikategorikan sehingga berhak memegang dan menggunakan kartu

kredit tersebut sebagai alat pembayaran.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dihubungkan dengan 3 (tiga)

teori hukum yaitu yang pertama adalah teori efektivitas hukum yaitu untuk

mengetahui apakah hukum itu benar benar diterapkan atau dipatuhi oleh

masyarakat maka harus dipenuhi beberapa faktor yaitu, faktor hukumnya sendiri,

faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum, faktor masyarakat itu sendri, faktor kebudayaan. Kelima faktor tersebut

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

18

saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum itu, juga

merupakan tolak ukur dari efektivitas hukum. Menurut Soerjono Soekanto, efektif

adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat

dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum

mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia

sehingga menjadi perilaku hukum.15

Teori yang kedua adalah kepastian hukum yang dapat dilihat dari dua sudut,

yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian

dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat

dirumuskan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian

tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda (multi-tafsir) yang akibatnya

akan membawa kepada ketidakpastian hukum dan logis dalam artian ia menjadi

suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak

patuh terhadap hukum. Sedangkan “kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa

karena hukum itu sendirilah adanya kepastian. Kepastian hukum itu diwujudkan

oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat

umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak

bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata

untuk kepastian.

Teori yang ketiga adalah teori penyelesaian sengketa yang dapat dibagi

15 Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV.

Ramadja Karya, Bandung, h. 80

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

19

menjadi dua yaitu penyelesaian melalui badan peradilan (litigasi) dan penyelesaian

di luar badan peradilan (non-litigasi). Penyelesaian sengketa secara litigasi

dilakukan melalui badan peradilan. Dapat dikatakan penyelesaian sengketa melalui

litigasi ini sebagai penyelesaian sengketa yang memaksa salah satu pihak untuk

menyelesaikan sengketa dengan perantara badan peradilan. Penyelesaian sengketa

melalui litigasi tentu harus mengikuti persyaratan-persyaratan dan prosedur-

prosedur formal di badan peradilan dan sebagai akibatnya jangka waktu untuk

menyelesaikan suatu sengketa menjadi lebih lama.16 Penyelesaian di luar badan

peradilan (non-litigasi) yang telah diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30

Tahun 1999 yang mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Oleh sebab itu penyelesaian sengketa di luar badan peradilan dibagi

menjadi dua yaitu arbritase dan alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase

merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar badan peradilan, dimana

para pihak yang bersengketa mengangkat pihak ketiga (arbiter) untuk

menyelesaikan sengketa mereka. Yang mana keberadaan arbriter harus melalui

persetujuan bersama dari para pihak yang bersengketa. Persetujuan bersama

menjadi penting bagi arbiter, karena keberadaannya berkait erat dengan peran

arbiter dalam memberikan keputusan akhir.17

Alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal di Indonesia pada saat ini

adalah negosiasi, mediasi, konsilisasi. Negosiasi adalah salah satu strategi

16 Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Visi Media, Jakarta, h. 9 17 Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, h. 15

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

20

penyelesaian sengketa yang paling sederhana dan murah, dimana para pihak

sepakat untuk menyelesaikan permasalahan mereka melalui proses musyawarah

atau perundingan. Proses ini tidak melibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau

wakilnya berinisiatif sendiri menyelesaikan sengketa mereka. Para pihak terlibat

secara langsung dalam dialog dan prosesnya.18 Tetapi kenyataannya, sering juga

pihak-pihak yang bersengketa mengalami kegagalan dalam bernegosiasi karena

tidak menguasai teknik bernegosiasi dengan baik. Mediasi adalah salah satu bentuk

dari alternatif penyelesaian sengketa di luar badan peradilan. Dijelaskan pada

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006, maka apabila terjadi sengketa

antara nasabah dengan bank, maka penyelesaian atas sengketa tersebut dapat

diselesaikan dengan melalui mediasi. Pasal 1 Angka (5) mendefinisikan mediasi

adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu

para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk

kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang

disengketakan. Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Konsiliasi pada

dasarnya memiliki karakteristik yang hampir sama dengan mediasi, hanya saja

peran konsiliator lebih aktif daripada mediator. Mediator berubah fungsi menjadi

konsiliator. Konsiliator berwenang menyusun dan merumuskan penyelesaian untuk

ditawarkan kepada para pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat

konsiliator menjadi resolusi. Kesepakatan ini juga bersifat final dan mengikat para

pihak.

Dalam hal perjanjian kartu kredit, pemegang kartu kredit sangat besar

18 Ibid, h. 9

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

21

kemungkinannya melakukan wanprestasi apabila tidak digunakan dengan bijak

yang mana akan menimbulkan masalah bagi pemegang kartu kredit. Oleh karena

itu dalam hal ini, wanprestasi sangat mungkin sehubungan dengan keterbatasan

dana pemegang kartu kredit. Yang mana masalah tersebut adalah keterlambatan

pembayaran tagihan kartu kredit yang selanjutnya menimbulkan kemacetan atau

yang biasa disebut juga tagihan kartu kredit macet.

1.8 Metode Penelitian

Penulisan suatu karya tulis dalam hal ini skripsi, salah satu komponen yang

menentukan bermutu tidaknya sebuah tulisan adalah metode dalam pencarian data-

data yang menjadi bahan dasar dan tulisan ilmiah itu.

Istilah “Metedologi” berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”.

Metode penelitian adalah suatu tulisan atau karangan mengenai penelitian disebut

ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok pikiran yang

dikemukakan disimpulkan melalui prosedur yang sistematis dengan menggunakan

pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu dilakukan dengan cara yang obyektif

dan telah melalui berbagai tes dan pengujian. 19 Namun demikian, menurut

kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan, yaitu:

1) Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.

2) Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.

3) Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.20

19 Winarno Surakhmad, 1990, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik, Tarsito, Bandung, h. 26

20 Soerjano Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III Penerbit Universitas Indonesia, h. 87

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

22

Dengan mengacu pada uraian diatas, metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, yang

maksudnya penelitian hukum dilakukan dengan pengamatan secara langsung di

lapangan, kemudian hasil pengamatan di lapangan tersebut dikonfirmasi/

dibandingkan dengan teori yang dianut untuk bidang yang diamati itu.21 Definisi

lain diberikan oleh Ronny Hanitijo yang menyatakan bahwa yuridis empiris

merupakan suatu pendekatan yang mengacu pada peraturan – peraturan tertulis

untuk kemudian dilihat bagaimana implementasinya di lapangan.22

Penelitian hukum dilakukan dengan memakai dasar-dasar teori hukum dan

mencocokkan dengan keadaan nyata di dalam praktek hukum yang lazim dilakukan

oleh para pelaku hukum. Penelitian yang didasarkan kepada teori-teori hukum,

peraturan perundang-undangan dan kemudian dihubungkan dengan penerapannya

dengan praktek penerapan hukum.

b. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

pendekatan Perundang–undangan (The Statue Approach), Pendekatan Fakta (The

Fact Approach), dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual

Approach). Permasalahan penelitian dikaji dengan uraian yang argumentatif

21 Winarno Surakhmad, 1970, Dasar-Dasar Teknik Research: Pengantar Penyelidikan Ilmiah, Transito, Bandung, h. 5

22 Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta, h. 116

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

23

berdasarkan perundang-undangan dan fakta yang ada di lapangan.

c. Data dan Sumber Data

Pada penelitian hukum yuridis empiris sumber data yang diperlukan bersifat

data sekunder dan data primer. Data primer bersumber dari penelitian lapangan

yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik dari

responden maupun informan. Sedangkan data sekunder bersumber dari penelitian

kepustakaa. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah:

1) Data Primer didapatkan melalui penelitian langsung yang dilakukan

pada obyek yang akan diteliti untuk memperoleh data yang diperlukan

diperoleh dari sumber pertama. Dalam penelitian ini data diperoleh dari

PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja.

2) Data sekunder diperoleh dari membaca buku literatur hukum, peraturan

perundang-undangan, surat kabar, majalah-majalah hukum, yang

memiliki kaitan erat dengan penelitian ini.

d. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian skripsi ini adalah:

1) Teknik Wawancara

Wawancara merupakan suatu metode pengumpulan data dengan jalan tanya

jawab yang bersifat sepihak, yang dilakukan secara sistematis didasarkan pada

tujuan research.23 Wawancara dilakukan terhadap sumber informasi yang telah

ditentukan sebelumnya dengan berdasarkan pada pedoman wawancara sehingga

23 ibid, h. 21

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, ... masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap

24

diharapkan dapat memberikan gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya tagihan

kartu kredit macet dan penyelesaian tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri

(Persero) Tbk. Cabang Singaraja.

2) Teknik Studi Dokumen

Membaca, memahami, mencatat, mengutip penjelasan data yang didasarkan

pada peraturan perundang – undangan, teori dan konsep dimana dengan metode ini

diharapkan akan memperoleh jawaban mengenai pokok permasalahan yaitu sejauh

mana faktor-faktor penyebab terjadinya tagihan kartu kredit macet dan

penyelesaian tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Cabang Singaraja.

e. Teknik Analisis

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data

dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema. Setelah data

dan informasi dapat dikumpulkan, kemudian diolah dan dianalisa. Pengolahan dan

analisa ini dilakukan secara kualitatif. Peraturan-peraturan dan literatur-literatur

mengenai penyelesaian tagihan kartu kredit macet dipadukan dengan data dari

informan di lapangan dianalisis secara kualitatif, dicari pemecahannya, dan

kemudian dapat ditarik kesimpulan.