BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tesis ini akan menganalisis mengenai collaborative governance dalam program
desa digital di Kabupaten Bantul. Dalam perkembangan tata kelola pemerintahan, konsep
collaborative governance menjadi trend dan fenomena baru yang menarik untuk diteliti
dan dikaji. Konsep collaborative governance telah dikembangkan selama dua dekade
terakhir. Pentingnya penerapan collaborative governance menjadi kajian menarik
diseluruh negara baik negara maju maupun negara berkembang, terutama di negara maju
konsep collaborative governance telah berkembang sangat pesat. Munculnya konsep
collaborative governance sebagai respon terhadap kegagalan pemerintah dalam
pelaksanaan dan pembiayaan program pembangunan yang cenderung rawan adanya
politisasi regulasi (Ansell dan Gash, 2007). Oleh karena itu konsep collaborative
governance menjadi trend sebagai produk perkembangan ilmu pengetahuan dan
kapasitas kelembagaan guna kepentingan perbaikan akuntabilitas dan manajerial
birokrasi. Selain itu collaborative governance menjadi suatu keharusan bagi pemerintah
akibat dari tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik, sedangkan di satu sisi
pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya. Collaborative governance merupakan
bentuk baru dari tata kelola pemerintahan serta menjadi penting untuk dilaksanakan
sebab pemerintah memiliki keterbatasan sumberdaya baik dari segi sumberdaya manusia
yang tidak memadai maupun sumberdaya finansial (Allen et al, 2005). Kondisi ini yang
memicu harus dilakukannya collaborative governance dengan berbagai pihak sebagai
suatu strategi dalam upaya perbaikan pelayanan publik (Culpepper dalam Sranko, 2011).
Konsep collaborative governance menjadi terobosan bagi pemerintah untuk dapat
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hal ini menjadi sebuah perwujudan dari upaya
2
pemerintah untuk merespon tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang lebih baik.
Praktik collaborative governance dianggap dapat berkontribusi dalam peningkatan
kualitas pelayanan publik dan menjadi solusi dalam pemecahan masalah publik (Welker
et al., 2012 dan de Vries, 2013). Munculnya konsep collaborative governance diberbagai
negara, terutama negara berkembang akibat kegagalan pemerintah dalam penyediaan
pelayanan publik karena berbagai keterbatasan baik keterbatasan SDM maupun sumber
dana (keuangan). Oleh karena itu diperlukan kerjasama dengan berbagai sektor dengan
berbagai bentuk, salah satunya konsep collaborative governance (Pollit dan Bouckaert,
2011 dan Eva dan Torfing, 2012). Dalam pelaksanaanya, collaborative governance harus
memiliki aturan main berupa perjanjian kerjasama agar proses kolaborasi dapat berjalan
dengan optimal sesuai dengan tujuan awal kerjasama yang telah diputuskan bersama
(Sranko, 2011). Faktor kepemimpinan sebagai fasilitator dan komitmen pemimpin
menjadi ujung tombak keberhasilan collaborative governance (Nasrulhaq, 2014).
Di Indonesia praktik collaborative governance telah diterapkan di berbagai sektor
dalam program pembangunan nasional seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan,
transportasi, layanan publik, lingkungan, infrastruktur dan lain sebagainya (Dermanto,
2015). Selain itu pratik collaborative governance juga dilakukan dalam pelaksanaan
berbagai kebijakan dan program, baik ditingkat pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menjamin pelaksanaan
berbagai kebijakan dan program dapat berjalan secara optimal dengan melakukan
kolaborasi dengan berbagai pihak. Meskipun praktik collaborative governance sering
didasari pada keterbatasan sumber daya pemerintah, terutama sumber dana atau
keuangan. Salah satunya collaborative governance dalam pelaksanaan kebijakan dan
program e-government.
3
Menurut Devine et al (2011) menjelaskan bahwa kolaborasi merupakan bagian
penting dari manajemen sektor publik. Lebih jauh mereka menjelaskan bahwa kolaborasi
antar organisasi menjadi semakin umum di sektor publik dan swasta. Sedangkan
pentingnya e-government dapat memutus mata rantai koordinasi dan komunikasi antar
lembaga yang panjang, dimana dalam pelaksanaannya melibatkan multisektor (Safeena
dan Abdullah, 2013). Pentingnya pelaksanaan e-government ditandai dengan bergesernya
pendefinisian konsep e-government yang semula hanya dimaknai sebagai penggunaan
perangkat teknologi informasi, kini berkembang hingga pemanfaatan teknologi dalam
berbagai aplikasi. Perubahan inilah yang menandai bahwa masyarakat Indonesia saat ini
sedang mengalami transformasi menuju era masyarakat informasi. Kemajuan teknologi
informasi yang demikian pesat serta potensi pemanfaatanya secara luas membuka
peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam skala besar
secara cepat dan akurat. Dengan demikian kaitan antara collaborative governance dan e-
government adalah untuk membangun dan mengembangkan e-government pada semua
level baik dalam pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diperlukan keterlibatan
semua stakeholders atau kolaborasi kelembagaan baik pemerintah, civil society, swasta,
masyarakat lokal dan pihak lain yang memiliki keterkaitan dengan e-government.
Selain tuntutan masyarakat akibat kemajuan teknologi yang semakin pesat,
pentingnya collaborative governance dalam pelaksanaan e-government juga dipengaruhi
oleh keterbatasan pemerintah. Dimana pemerintah memiliki keterbatasan sumberdaya
dan pengetahuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan e-government. Oleh
karenanya berbagai praktik collaborative governance lintas sektor dilakukan pemerintah
untuk dapat melaksanakan berbagai kebijakan e-government dengan optimal. Dalam
konsep e-government, collaborative governance dapat terjadi pada tahap pengembangan,
pelaksanaan dan keberlanjutannya. Artinya pelaksanaan e-government dapat memicu
4
adanya praktik collaborative governance diberbagai sektor yang melibatkan banyak
pihak (Safeena dan Abdullah, 2013 dan Al-Khouri, 2011).
Pelaksanaan e-government di Indonesia dimulai sejak tahun 2003 seiring dengan
keluaarnya INPRES Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan E-government. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pelaksanaan
e-government di Indonesia diharapkan mampu mengubah sistem manajemen pemerintah
yang awalnya bersifat komando sektoral yang mengerucut dan panjang menjadi lebih
modern, sehingga dapat memperpendek lini pengambilan keputusan. Selain itu juga
dijelaskan bahwa pemerintah harus melonggarkan dinding pemisah yang membatasi
interaksi dengan sektor swasta. Organisasi pemerintah harus lebih terbuka untuk
membentuk kemitraan dengan dunia usaha. Oleh karena itu apabila berpedoman pada
peraturan tersebut sangat jelas bahwa dalam pelaksanaan e-government di Indonesia
tidak menutup kemungkinan dilakukan dengan collaborative governance.
Kondisi pelaksanaan e-government di Indonesia masih sangat bervariasi,
meskipun dalam peraturan dijelaskan bahwa pelaksanaannya dapat dilakukan dengan
berbagai bentuk kerjasama. Hal ini terlihat dari perhatian pemerintah dalam
pengembangan e-government masih terpusat pada pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pendefinisian e-goverment oleh pemerintah masih sebatas pengembangan
website. Oleh karena itu pada awal pelaksanaan e-government masih cenderung
dimaknai sebagai penyediaan website, meskipun dewasa ini sudah berkembang dengan
berbagai aplikasi. Dalam implementasinya terlihat sangat baik pada tahap persiapan
(tahap pembuatan) yang artinya hampir setiap instansi pemerintah memiliki website dan
proses update informasinya juga berlangsung secara terus menerus (Sosiawan, 2008).
Tetapi berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa terdapat beberapa website
pemerintah, baik pusat maupun daerah yang belum dikekola dengan serius.
5
Ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola website dapat dilihat dari beberapa website
pemerintah yang tidak dapat diakses. Hal ini dapat dilihat dari tabel perkembangan
jumlah website pemerintah daerah di Indonesia dibawah ini.
Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Website Pemerintah Daerah di Indonesia
Tahun 2008 Tahun 2013 Jumlah Pemerintah Provinsi 33 33 Jumlah Website 33 33 Bisa dibuka Data tidak tersedia 31 Tidak bisa dibuka/offline /suspended
Data tidak tersedia 2
Jumlah Pemerintah Kabupaten / Kota
477 532
Jumlah Web Site 390 492 Bisa dibuka Data tidak tersedia 446 Tidak bisa dibuka/ offline / suspended
Data tidak tersedia 46
Sumber : Pusdantinkomtel Kemendagri update per Mei 2013
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah instansi pemerintah daerah baik
pemerintah provinsi maupun pemerintah kota/kabupaten yang memiliki dan
mengembangkan website mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan
terutama pada level pemerintah kota/kabupaten. Tetapi dari data di atas dapat diketahui
bahwa dari total jumlah pemerintah kota/kabupaten yang memiliki website hanya 90,1%
yang dapat dibuka, sedangkan 9,9% tidak dapat dibuka. Hal ini menunjukkan bahwa
banyaknya jumlah pemerintah kota/kabupaten yang memiliki dan mengembangkan e-
government belum diimbangi dengan kualitas website yang memadai. Meskipun
demikian terdapat beberapa pemerintah daerah yang serius dalam melakukan
pengembangan e-government.
Dewasa ini penerapan e-government bukan hanya sebatas penyediaan website
pemeirntah saja melainkan sudah berkembang menjadi berbagai aplikasi yang inovatif,
baik dikembangkan oleh pemerintah secara mandiri maupun dengan berbagai bentuk
kerjasama lintas sektor. Selain itu bukan hanya pada lingkungan pemerintah baik pusat
6
maupun daerah saja, melainkan sudah berkembang pada lingkup pemerintah
desa/kelurahan. Dimana e-government pada lingkup pemerintah desa/kelurahan dikenal
dengan Sistem Informasi Desa (SID) atau desa digital. Pengembangan desa digital di
Indonesia sesuai dengan berlakunya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor 5 Tahun 2015 tentang Strategi Pengembangan Desa Digital. Berdasarkan
peraturan tersebut pemerintah daerah mulai tertarik untuk melakukan pengembangan
terhadap desa digital. Meskipun terdapat beberapa pemerintah daerah yang melakukan
pengembangan jauh sebelum peraturan tersebut dikeluarkan. Terdapat 2.204 desa yang
sudah memiliki desa digital dengan domain desa.id hingga tahun 2015 (Kementerian
Komunikasi dan Informatika, 2016).
Dalam peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tersebut dijelaskan bahwa
pengembangan desa digital di Indonesia menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah
daerah yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Hal ini dikarenakan
dalam peraturan tersebut hanya merujuk pada Undang-undang Nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah baik pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota melakukan berbagai strategi dalam
pengembagan desa digital. Meskipun demikian terdapat beberapa kritikan terhadap
peraturan tersebut, dimana peraturan tersebut seharusnya merujuk pada Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Konsep desa digital dalam peraturan tersebut di
jelaskan sebagai Sistem Informasi Desa (SID). Dengan merujuk pada undang-undang
tentang desa tersebut, maka secara mandiri pemerintah desa dapat melakukan
pengembangan terhadap desa digital di wilayah kerjanya, sehingga desa digital yang
diterapkan dapat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.
Selain itu dalam peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tersebut juga
ditegaskan bahwa dalam melakukan strategi pengembangan desa digital, pemerintah
7
daerah dapat melakukan kemitraan dengan berbagai pihak (swasta). Oleh karena itu tidak
menutup kemungkinan terjadi praktik collaborative governance dalam pelaksanaan desa
digital diberbagai daerah. Hingga saat ini terdapat beberapa pemerintah daerah baik
pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota yang serius dalam melakukan
pengembangan desa digital. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah desa digital dengan
domain desa.id diberbagai daerah. Selain itu dalam praktiknya masih terdapat pemerintah
desa yang belum mengembangkan desa digital, sehingga kondisi penerapannya sangat
bervariasi. Salah satu pemerintah daerah yang serius dalam melakukan pembangunan
desa digital melalui mekanisme kemitraan dengan pihak swasta atau aktor non-state
yaitu Pemerintah Kabupaten Bantul. Dalam hal ini kemitraan yang dilakukan merupakan
collaborative governance sebab melibatkan pemangku kepentingan non-state dalam
proses pengambilan keputusan kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsensus, dan
konsultatif yang bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik
atau mengelola aset dan program publik (Ansell dan Gash, 2007).
Pada tahun 2015 seluruh desa di Kabupaten Bantul yang berjumlah 75 telah
memiliki Sistem Informasi Desa (SID) dengan berbagai domain (Kantor Pengelolaan
Data dan Telematika, 2016). Dari data tersebut hanya 15 desa atau 20% yang berdomain
desa.id, sedangkan 65 desa atau 80% lainnya menggunakan sub-domain bantulkab.go.id.
Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan desa digital di Kabupaten Bantul sebagian
besar masih berdomain bantulkab.go.id. Perbedaan domain tersebut berimplikasi
terhadap kecepatan akses website desa oleh pengguna dan kecepatan distribusi data.
Website desa.id lebih cepat diakses daripada website desa bantulkab.go.id sebab desa.id
merupakan domain utama yang langsung dikelola oleh masing-masing desa pemilik
domain sedangkan website desa bantulkab.go.id merupakan sub-domain dari domain
pemerintah kabupaten bantul.
8
Pengembangan desa digital di Kabupaten Bantul dilakukan sejak tahun 2013.
Dalam pengembangan desa digital Pemerintah Kabupaten Bantul telah berkomitmen
untuk mengimplementasikan desa digital diseluruh desa yang ada di Kabupaten Bantul.
Meskipun jauh sebelum itu, beberapa desa telah mengembangan desa digital secara
mandiri. Data jumlah desa digital di Kabupaten Bantul dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Tabel 1.2 Data Desa Digital di Kabupaten Bantul Desa URL Desa URL
Poncosari http://poncosari.bantulkab.go.id Girirejo http://girirejo.bantulkab.go.id Trimurti http://trimurti-bantul.desa.id Karangtalun http://karangtalun.bantulkab.go.id Gadingsari http://gadingsari.bantulkab.go.id Imogiri http://imogiri-bantul.desa.id Gadingharjo http://gadingharjo.bantulkab.go.id Mangunan http://mangunan-bantul.desa.id Srigading http://srigading.bantulkab.go.id Muntuk http://muntuk.bantulkab.go.id Murtigading http://murtigading.bantulkab.go.id Dlingo http://dlingo-bantul.desa.id Tirtomulyo http://tirtomulyo.bantulkab.go.id Temuwuh http://temuwuh.bantulkab.go.id Parangtritis http://parangtritis.bantulkab.go.id Terong http://terong.bantulkab.go.id Donotirto http://donotirto.bantulkab.go.id Jatimulyo http://jatimulyo.bantulkab.go.id Tirtosari http://tirtosari.bantulkab.go.id Baturetno http://baturetno.bantulkab.go.id Tirtohargo http://tirtohargo-bantul.desa.id Banguntapan http://banguntapan.bantulkab.go.id Seloharjo http://seloharjo.bantulkab.go.id Jagalan http://jagalan.bantulkab.go.id Panjangrejo http://panjangrejo-bantul.desa.id Singosaren http://singosaren.bantulkab.go.id Srihardono http://srihardono.bantulkab.go.id Jambidan http://jambidan.bantulkab.go.id Sidomulyo http://sidomulyo.bantulkab.go.id Potorono http://potorono-bantul.desa.id Mulyodadi http://mulyodadi.bantulkab.go.id Tamanan http://tamanan.bantulkab.go.id Sumbermulyo http://sumbermulyo.bantulkab.go.id Wirokerten http://wirokerten-bantul.desa.id Caturharjo http://caturharjo-bantul.desa.id Wonokromo http://wonokromo.bantulkab.go.id Triharjo http://triharjo.bantulkab.go.id Pleret http://pleret.bantulkab.go.id Gilangharjo http://gilangharjo-bantul.desa.id Segoroyoso http://segoroyoso.bantulkab.go.id Wijirejo http://wijirejo.bantulkab.go.id Bawuran http://bawuran.bantulkab.go.id Triwidadi http://triwidadi.bantulkab.go.id Wonolelo http://wonolelo.bantulkab.go.id Sendangsari http://sendangsari.bantulkab.go.id Sitimulyo http://sitimulyo.bantulkab.go.id Guwosari http://guwosari.bantulkab.go.id Srimulyo http://srimulyo.bantulkab.go.id Palbapang http://palbapang.bantulkab.go.id Srimartani http://srimartani.bantulkab.go.id Ringinharjo http://ringinharjo.bantulkab.go.id Pendowoharjo http://pendowoharjo.bantulkab.go.id Bantul http://bantul.bantulkab.go.id Timbulharjo http://timbulharjo-bantul.desa.id Trirenggo http://trirenggo.bantulkab.go.id Bangunharjo http://bangunharjo.bantulkab.go.id Sabdodadi http://sabdodadi.bantulkab.go.id Panggungharjo http://panggungharjo-bantul.desa.id Patalan http://patalan.bantulkab.go.id Bangunjiwo http://bangunjiwo.bantulkab.go.id Canden http://canden.bantulkab.go.id Tirtonirmolo http://tirtonirmolo-bantul.desa.id Sumberagung http://sumberagung.bantulkab.go.id Tamantirto http://tamantirto-bantul.desa.id
9
Trimulyo http://trimulyo.bantulkab.go.id Ngestiharjo http://ngestiharjo-bantul.desa.id Selopamioro http://selopamioro.bantulkab.go.id Argodadi http://argodadi.bantulkab.go.id Sriharjo http://sriharjo.bantulkab.go.id Argorejo http://argorejo.bantulkab.go.id Wukirsari http://wukirsari.bantulkab.go.id Argosari http://argosari.bantulkab.go.id Kebonagung http://kebonagung.bantulkab.go.id Argomulyo http://argomulyo.bantulkab.go.id Karangtengah http://karangtengah.bantulkab.go.id
Sumber : Kantor Pengelolaan Data dan Telematika, 2016
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pengembangan desa digital di Kabupaten
Bantul telah dilakukan di seluruh desa yang berjumlah 75 desa. Dalam
pengembangannya, pada tahun 2013 Pemerintah Kabupaten Bantul telah melakukan
kolaborasi dengan Combine Resource Institution (CRI). CRI merupakan sebuah
kelembagaan sumber daya yang memiliki strategi penguatan komunitas marjinal melalui
jaringan informasi. Melalui kolaborasi tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Bantul
melalui Kantor Pengolahan Data dan Telematika (KPDT) berkomitmen untuk melakukan
pengembangan desa digital di Kabupaten Bantul. Salah satu desa yang menjadi desa
percontohan di Kabupaten Bantul yaitu Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa
Murtigading Kecamatan Sanden. Kedua desa tersebut menjadi salah satu pilot project
yang menjadi desa percontohan untuk desa-desa yang lainnya bahkan untuk desa yang
berasal dari daerah lain. Hal ini karena kedua desa tersebut telah berhasil
mengembangkan dan menerapkan desa digital, sehingga pada tahun 2016 Desa Dlingo
Kecamatan Dlingo memperoleh penghargaan juara pertama dan Desa Murtigading
Kecamatan Sanden memperoleh penghargaan juara kedua dalam Pengelolaan Website
Sistem Informasi Desa (SID) Tingkat Kabupaten Bantul.
Terdapat beberapa perbedaan yang menarik dalam pengembangan desa digital di
kedua desa tersebut. Meskipun sama-sama dikembangkan melalui kolaborasi dengan
CRI, tetapi memiliki perbedaan yang signifikan. Pengembangan desa digital di Desa
Dlingo Kecamatan Dlingo dilakukan secara mandiri sejak tahun 2009, sedangkan
koloborasi Desa Murtigading Kecamatan Sanden dilakukan tahun 2013. Selain itu juga
10
terdapat perbedaan pada pihak yang terlibat. Pengembangan desa digital di Desa Dlingo
Kecamatan Dlingo dilakukan secara mandiri dengan CRI. Sedangkan pengembangan
desa digital di Desa Murtigading Kecamatan Sanden dilakukan melalui kolaborasi KPDT
Kabupaten Bantul dengan CRI. Meskipun memiliki beberapa perbedaan tetapi dalam
penerapannya kedua desa tersebut telah menjadi desa digital andalan di Pemerintah
Kabupaten Bantul. Berbagai pihak yang terlibat dalam praktik collaborative governance
program desa digital di Kabupaten Bantul saat ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 1.1 Stakeholder Collaborative governance dalam Program Desa Digital di Kabupaten Bantul
Sumber : Diolah dari Combine Resource Institution, 2016
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa pihak yang menjadi inisiasi desa
digital di Kabupaten Bantul yaitu CRI. CRI berdiri sejak tahun 2001 mulai bergerak
untuk mendukung pengembangan media komunitas dan pemanfataan TIK sebagai bagian
dari sistem dan jaringan pengembangan informasi dan komunikasi komunitas. CRI
berpusat di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta yang melakukan
pendampingan dalam pengembangan media komunitas melalui pemanfaatan TIK salah
satunya program desa digital diseluruh Indonesia. CRI menyediakan dan mengelola
sumber daya antara lain keahlian (meliputi konsultasi, pelatihan, penelitian dan
pengembangan) terutama dibidang sistem dan teknologi informasi. Sejak tahun 2006
CRI
Pemerintah Desa
Masyarakat
KPDT Bantul SID
11
CRI telah melakukan kolaborasi dengan Desa Dlingo Kecamatan Dlingo, sedangkan
kolaborasi yang dilakukan dengan Pemerintah Kabuapten Bantul melalui KPDT
dilakukan sejak tahun 2013. Selain itu juga CRI telah berhasil mengembangan desa
digital diseluruh desa dan/atau daerah di Indonesia.
Sejak tahun 2006 bersama dengan pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo,
CRI melakukan pengembangan dan pendampingan program desa digital. Selanjutnya
pada tahun 2009 program desa digital diterapkan di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo.
Desa Dlingo Kecamatan Dlingo merupakan desa yang pertama kali melakukan
pengembangan dan penerapan desa digital dengan mekanisme collaborative governance
di Kabupaten Bantul. Selain itu desa digital yang ada di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo
telah berdomain desa.id sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2015. Dalam perkembangannya, program
desa digital memiliki tuntutan yang tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan dan
penyesuaian dengan kondisi masyarakat setempat. Oleh karena itu sejak tahun 2013,
program desa digital dikelola oleh organisasi masyarakat atau organisasi pemuda desa
yang dibentuk oleh Pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo. Organisasi tersebut
diberi nama Sasana Anak Muda Dlingo Giriloji Cinta IT (Sandigita IT). Anggota
Sandigita IT ditentukan oleh Pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo yang bertugas
untuk membantu pemerintah desa dalam mengelola desa digital yang ada. Hal ini
dikarenakan rendahnya tingkat literasi perangkat Desa Dlingo Kecamatan Dlingo
terhadap teknologi informasi.
Berbeda dengan desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo, Desa
Murtigading Kecamatan Sanden menerapkan desa digital sejak tahun 2013. Sejak
dikembangkan dan diterapkan tahun 2013, Pemerintah Desa Murtigading Kecamatan
Sanden telah memberdayakan karang taruna dalam penerapan desa digital. Hal ini juga
12
dikarenakan rendahnya tingkat literasi perangkat Desa Murtigading Kecamatan Sanden
terhadap teknologi informasi. Rendahnya literasi perangkat desa dapat diketahui melalui
tingkat pendidikannya. Tingkat pendidikan perangkat Desa Dlingo Kecamatan Dlingo
dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 1.3 Tingkat Pendidikan Perangkat Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Pemerintah Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul
Desa Dlingo Kecamatan Dlingo Desa Murtigading Kecamatan Sanden
Tingkat Pendidikan Jumlah Tingkat Pendidikan Jumlah Lulusan SD 2 Lulusan SD 3 Lulusan SMP 6 Lulusan SMP 4 Lulusan SMA/Sederajat
10 Lulusan SMA/Sederajat
12
Lulusan DIII 1 Lulusan DIII 1 Lulusan S1 4 Lulusan S1 5 Lulusan S2 1 Total 23 Total 26
Sumber : diolah dari http://dlingo-bantul.desa.id dan http://murtigading.bantulkab.go.id, 2016
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan perangkat Desa
Dlingo Kecamatan Dlingo rata-rata berpendidikan terakhir SMA/Sederajat. Jumlah
perangkat desa terbanyak merupakan lulusan SMA yaitu 43,5%, kemudian jumlah
perangkat desa terbanyak kedua lulusan SMP yaitu 26,1%, kemudian jumlah perangkat
desa terbanyak ketiga lulusan S1 yaitu 17,4%, kemudian jumlah perangkat desa
terbanyak keempat lulusan SD yaitu 8,7% dan jumlah perangkat desa yang lulusan DIII
yaitu 4,3%. Tidak jauh berbeda, Desa Murtigading Kecamatan Sanden memiliki jumlah
perangkat desa sebanyak 26 orang. Jumlah perangkat desa terbanyak merupakan luluan
SMA yaitu 46,1%. kemudian jumlah perangkat desa terbanyak kedua lulusan S1 yaitu
19,2%, kemudian jumlah perangkat desa terbanyak ketiga lulusan SMP yaitu 15,4%,
kemudian jumlah perangkat desa terbanyak keempat lulusan SD yaitu 11,5% dan jumlah
perangkat desa yang lulusan DIII dan S2 yaitu masing-masing 3,8%.
13
Dari data tersebut di atas, maka Pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan
Desa Murtigading Kecamatan Sanden mayoritas merupakan lulusan SMA dan SMP,
sehingga menjadi keendala dalam melakukan pengembangan dan pengelolaan desa
digital. Sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, sehingga Pemerintah Desa
Dlingo Kecamatan Dlingo membentuk Sandigita IT pada tahun 2013 yang
beranggotakan para pemuda yang ada di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo. Sedangkan
Pemerintah Desa Murtigading sejak awal telah memberdayakan karang taruna dalam
penerapan dan pengembangan desa digital. Keterlibatan Sandigita IT dan karang taruna
bertujuan untuk membantu pemerintah desa dalam mengelola desa digital terutama pada
fitur media informasi.
Hal menarik lainnya dalam praktik collaborative governance program desa digital
di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten
Bantul yaitu tingginya jumlah kunjungan masyarakat dalam pemanfaatan desa digital.
Tingginya jumlah kunjungan masyarakat dalam pemanfaatan desa digital di Desa Dlingo
Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dapat
dilihat dari peningkatan jumlah kunjungan masyarakat terhadap aplikasi desa digital
setiap harinya. Hal ini dipengaruhi karena program desa digital yang dimiliki oleh Desa
Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul
merupakan aplikasi desa digital pertama di Kabupaten Bantul sehingga menjadi desa
digital percontohan. Dalam setiap harinya jumlah kunjungan masyarakat terhadap
aplikasi desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading
Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul mencapai kurang lebih 500 kali kunjungan.
Meskipun masyarakat yang mengakses bukan hanya masyarakat setempat, melainkan
juga masyarakat dari desa dan daerah lainnya. Data jumlah kunjungan masyarakat dalam
14
pemaanfaatan aplikasi desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa
Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik 1.1 Jumlah Kunjungan Masyarakat Terhadap Aplikasi Desa Digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten
Bantul
Sumber : diolah dari http://dlingo-bantul.desa.id dan http://murtigading.bantulkab.go.id
(Update terakhir tanggal 16 November 2016)
Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah kunjungan masyarakat terhadap
aplikasi desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading
Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul memiliki perbedaan yang signifikan. Jumlah
kunjungan terhadap desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo sebanyak 1.465.793
kali, sedangkan di Desa Murtigading Kecamatan Sanden sebanyak 66.428 kali.
Perbedaan yang signifikan dipengaruhi oleh perbedaan jangka waktu kalkulasi
kunjungan terhadap maisng-masing aplikasi desa digital. Dimana di Desa Dlingo
Kecamatan Dlingo memiliki kalkulasi jumlah kunjungan sejak tahun 2013, sedangkan di
Desa Murtigading Kecamatan Sanden baru memiliki kalkulasi jumlah kunjungan sejak
tahun 2015. Meskipun demikian jumlah kunjungan terhadap desa digital di kedua desa
tersebut mengalami peningkatan setiap harinya. Jumlah kunjungan terhadap desa digital
setiap harinya mencapai kurang lebih 500 kali kunjungan, meskipun jumlah kunjungan
dilakukan baik oleh masyarakat setempat maupun masyarakat dari desa dan daerah
1,465,793
66,428
Desa Dlingo Desa Murtigading
15
lainnya. Data jumlah kunjungan harian terhadap desa digital di Desa Dlingo Kecamatan
Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dapat dilihat dari
grafik dibawah ini.
Grafik 1.2 Jumlah Kunjungan Harian Desa Digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul
Sumber : diolah dari http://dlingo-bantul.desa.id dan http://murtigading.bantulkab.go.id
(Update terakhir tanggal 16 November 2016)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa masyarakat yang memanfaatkan program
desa digital di Kabupaten Bantul terbagi menjadi dua yaitu masyarakat setempat dan
masyarakat luar. Jumlah kunjungan masyarakat terhadap aplikasi desa digital pada
tanggal 16 November 2016 di Dlingo Kecamatan Dlingo sebanyak 893 kali kunjungan
dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden sebanyak 357 kali kunjungan. Masyarakat
yang mengakses desa digital, baik Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa
Murtigading Kecamatan Sanden didominasi oleh mayarakat luar yang berasal dari desa
dan daerah lain yaitu mencapai 75% dari jumlah kunjungan setiap harinya. Dimana
jumlah masyarakat dalam Desa Dlingo Kecamatan Dlingo pada tanggal 16 November
2016 yang mengunjungi aplikasi desa digital sebanyak 196 kali kunjungan atau 22% dan
masyarakat luar sebanyak 697 kali kunjungan atau 78%. Sedangkan jumlah masyarakat
dalam Desa Murtigading Kecamatan Sanden sebanyak 48 kali kunjungan atau 13% dan
masyarakat luar sebanyak 309 kali kunjungan atau 87%. Hal ini menunjukkan bahwa
22%
78%
13%
87%
Masyarakat Dalam Masyarakat Luar Masyarakat Dalam Masyarakat Luar
Desa Dlingo Desa Murtigading
16
desa digital di kedua desa tersebut telah dimanfaatkan baik oleh masyarakat setempat
maupun masyarakat luar dari desa dan daerah lainnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa program desa digital di Desa Dlingo
Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul
merupakan desa digital pertama dan menjadi desa digital percontohan di Kabupaten
Bantul. Selain itu program desa digital tersebut menjadi pilot project dan proyek
percontohan bagi pengembangan desa digital pada pemerintah desa lainnya yang ada di
Kabupaten Bantul maupun dari daerah lain, sehingga jumlah pengunjung aplikasi desa
digital didominasi oleh masyarakat luar yang ingin mengetahui kesuksesan aplikasi
tersebut. Dalam praktiknya program digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa
Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul sudah dilakukan dengan
collaborative governance, meskipun dalam waktu penerapan yang berbeda. Seiring
dengan perkembangannya terdapat beberapa perubahan stakeholders yang terlibat dalam
pelaksanaan proses collaborative governance dalam program desa digital. Hal terpenting
dalam keberhasilan proses collaborative governance dalam suatu program adalah
efektivitas kolaborasi. Efektifitas kolaborasi berkaitan dengan sejauh mana hasil
kolaborasi dapat bermanfaat dan digunakan secara maksimal oleh pemerintah desa dalam
memberikan layanan publik dan kapasitas organisasi. Selain itu, seringkali proses
kerjasama tidak berkelanjutan sehingga tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap stakeholder yang terlibat.
Berdasarkan deskripsi permasalahan di atas, maka penelitian ini meneliti secara
mendalam terkait dengan faktor pendorong, proses dan efektivitas collaborative
goernance dalam program desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa
Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Pemilihan topik ini didasarkan pada
pengalaman dan data awal yang ada dilapangan bahwa proses collaborative governance
17
sudah dilakukan sejak tahun 2009 dan telah diterapkan diseluruh desa di Kabupaten
Bantul pada tahun 2013, meskipun dalam perkembangannya terdapat perubahan
stakeholders yang terlibat dalam proses collaborative governance. Keberhasilan proses
collaborative governance yang dilakukan dapat memberikan efektivitas kolaborasi untuk
mewujudkan keberlanjutan program desa digital di desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan
Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana proses collaborative governance dalam program desa digital di desa
Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten
Bantul?
2. Sejauh mana collaborative governance dalam program desa digital efektif dapat
meningkatkan pelayanan publik dan pengembangan kapasitas pemerintah desa di
desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden
Kabupaten Bantul?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan, menganalisis dan membandingkan faktor yang mendorong
terjadinya proses collaborative governance dalam program desa digital di desa
Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten
Bantul.
18
2. Untuk mendeskripsikan, menganalisis dan membandingkan proses collaborative
governance dalam program desa digital di desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa
Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul.
3. Untuk mendeskripsikan, menganalisis dan membandingkan efektivitas collaborative
governance dalam program desa digital di desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa
Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan akademis
maupun praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang administrasi publik
terkait dengan studi collaborative governance. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan masukan yang memadai bagi
Pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden
Kabupaten Bantul untuk dapat mengembangkan, memperbaiki dan mengoptimalkan
collaborative governance dalam program desa digital di desa Dlingo Kecamatan Dlingo
dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Selanjutnya hasil analisis
dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah desa/kelurahan
lainnya untuk dapat mengembangkan desa digital diwiliyah kerjanya. Selain itu hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi untuk penelitian yang
lebih lanjut.
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh tim dosen Reforma Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013 dengan judul Dinamika Collaborative
governance di Sektor Publik : Transformasi PT KCJ. Dalam penelitian dijelaskan
mengenai dinamika kolbaroasi dari PT KCJ dengan stakeholder lainnya yaitu PT KAI
19
sebagai induk perusahaan, KRL Mania dan BUMN. Kerangka collaborative governance
yang digunakan terbagi menjadi tiga unsur yaitu a) unsur keberadaan sistem yang
manaungi kolaborasi berkaitan dengan keberadaan sumber daya, peraturan-peraturan dan
level keterkaitan jarinyan, b) unsur driver (penggerak) yang berkaitan dengan hal-hal
yang berpengaruh sebagai penggerak kolaborasi, dan c) unsur dinamika kolaborasi itu
sendiri yang berkaitan dengan jalannya proses kolaborasi dari stakeholder yang ada.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses kolaborasi PT KCJ sudah berjalan
dengan baik. Hal ini disertai dasar adanyanya unsur penggerak kolaborasi dimana
terdapat faktor kepemimpinan kuat dari dalam diri Ignasius Jonan yang mampu
menggerakkan stakeholders untuk ikut berkolaborasi dalam transformasi pelayanan PT
KCJ. Adanya unsur penggerak yang menarik perhatian berdampak dari adanya dinamika
proses kolaborasi mulai dari principled engagement (penekanan prinsip), shared
motivation (motivasi) dan capacity for join action (peningkatan kapasistas).
Penelitian yang dilakukan oleh Yohanes K. Kaha pada tahun 2015 yang berjudul
Collaborative governance dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Taman
Nasional Komodo Manggarai Barat – NTT. Penelitian ini menunjukkan bahwa
collaborative governance dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan di Taman
Nasional Komodo sudah ada yaitu dengan terbentuknya forum Komodo Collaborative
Management Initiative (KCMI). Namun hasil penelitian ini menjelaskan bahwa forum ini
tidak berjalan dengan maksimal karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan anatara
stakeholder dan adanya unsur kepentingan. Selain itu juga terdapat persoalan dalam
kemitraan antara BTNK dengan lembaga swasta (NGO) dan forum collaborative
governance antar stakeholder TNK melalui KCMI yaitu hegemoni kekuasaan, motif
ekonomi-politik, kapitalisme global, relasi informal, privatisasi dan NGO internasional
titipan.
20
Penelitian yang dilakukan oleg George R Sranko pada tahun 2011 dengan judul
Collaborative Governanceand a Strategic Approach to Faciliting Change : Lesson
Learned from Forest Agreements in South East Queensland and the Great Bear
Rainforest. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan dalam proses
kolaborasi dipengaruhi oleh legal faktor. Adanya kesepakatan stakeholders yang diatur
dalam suatu perjanjian kerja sama akan mengikat stakehoders dalam bekerjasama.
Dengan adanya perjanjian kerja sama menyebabkan adanya aturan main dalam proses
kolaborasi yang dilakukan. Selain itu sistem punishment dengan sanksi yang telah
disepakati menyebabkan stakeholders dapat melakukan tugas dan tanggung jawabnya
secara optimal. Kesimpulan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa setiap pelaksanaan
Collaborative governance harus ada kesepakatan dalam bentuk perjanjian kerjasama
agar proses kolaborasi dapat berjalan dengan optimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Nasrulhaq pada tahun 2014 dengan judul
Collaborative governance dalam Program Makassar Green and Clean (MGC) 2008 –
2013. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam program MGC, kolaborasi
didasarkan pada perjanjian kesepahaman. Masing-masing pihak memiliki tugas dan
kewajiban. Perkembangan isu-isu inti collaborative governance seperti membangun
kepercayaan, pemahaman bersama dan legitimasi internal berlangsung dengan baik.
Tetapi terdapat isu-isu yang belum memuaskan seperti kelembagaan, komitmen dan
kepemimpinan. Oleh karena itu hasil dari praktik collaborative governance terhadap
lingkungan dalam jangka pendek sangat baik, tetapi untuk jangka panjang belum
memberikan hasil yang signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
kapasitas fasilitator atau kader lingkungan dan komitmen Lurah, sehingga kesimpulan
dari penelitian ini menunjukkan bahwa praktik kolaborasi yang dilakukan sudah baik
tetapi masih pada tahap eksplorasi.
21
Penelitian yang dilakukan oleh Mildred Kulecho pada tahun 2012 dengan judul
Kenya Government E-initiatives : The Use of Digital Village to Promote E-health
Education and Information. Dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana desa digital dapat digunakan untuk melakukan promosi pengetahuan dan
informasi kesehatan dan tantangan menggunakan desa digital untuk melakukan promosi
pengentahuan dan informasi kesehatan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
di Kenya pemanfataan desa digital untuk promosi pengetahuan dan informasi kesehatan
belum dilakukan secara optimal. Hal ini dikarenakan keterbatasaan infrastruktur TIK
yang belum dapat diandalkan dalam melaksanakan program tersebut. Selain itu
permasalahan yang ada dalam pelaksanaan program ini yaitu tingkat literasi dan buta
huruf yang tinggi dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengakses e-government.
Oleh karena itu kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa desa digital belum
dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, oleh karena itu diperlukan peningkatan
program desa digital oleh seluruh pihak baik pemerintah maupun masyarakat untuk
menciptakan desa digital yang berkelanjutan.
Penelitian yang dilakukan oleh Loice V. Atieno dan Christopher A. Moturi pada
tahun 2014 dengan judul Implementation of Digital Village Projects in Developing
Countries – Case of Kenya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan proyek
atau program desa digital di Kenya memiliki kontribusi terhadap pelayanan publik
kepada masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh terputusnya mata rantai yang memiliki
prosedur yang panjang dan lama menjadi pelayanan yang lebh cepat, mudah dan murah.
Tetapi dalam pelaksanaan program desa digital di Kenya memiliki beberapa hambatan
antara lain rendahnya tingkat literasi masyarakat terhadap teknologi informasi,
rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan teknologi infomasi, dan belum
tersedianya bandwidth yang terjangkau. Oleh karena itu kesimpulan dalam penelitian ini
22
pemerintah Kenya harus mengupayakan agar program desa digital dapat dimanfaatkan
secara optimal bagi masyarakat dengan melakukan strategi peningkatan kesadaran dan
literasi masyarakat dan penyediaan fasilitas yang memadai.
Penelitian yang dilakukan oleh Carol Soon pada tahun 2015 dengan judul
Singapore as a Digital Village a Plausible Reality. Hasil dari penelitian ini menunjukan
bahwa desa digital dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Hal ini dikarenakan desa
digital merupakan inisiasi masyarakat melalui kecerdasan kolektif untuk memecahkan
masalah dan meningkatkan kualitas hidup. Kemunculan desa digital di Singapore
berawal dari kesenjangan lingkungan, sosial dan ekonomi yang menjadi ancaman bagi
masyarakat desa. Dalam praktik desa digital ini merubah adanya partisipasi masyarakat
melalui pengelolaan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Dalam
program desa digital ini juga menunjukkan adanya kerjasama seluruh pihak antara lain
pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat itu sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Endra Wijaya, Ricca Anggraeni dan Rifkiyati
Bachri pada tahun 2013 dengan judul Desa Digital : Peluang untuk Mengoptimalkan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hukum merupakan salah satu bentuk untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Setelah hukum dibentuk maka harus segera disebarluaskan
kepada masyarakat. Idealnya penyebarluasan perundang-undangan harus dilakukan
secara merata kepada seluruh masyarakat, yaitu dari tingkat pusat sampai dengan tingkat
daerah bahkan sampai ke pelosok desa. Oleh karena itu diperlukan media untuk
menyerbaluaskan perundang-undangan tersebut. Program desa digital yang terhubung
dengan akses internet menjadi sebuah peluang yang dapat diberdayakan untuk
mengoptimalkan penyebarluasan peraturan perundang-undangan hingga ke pelosok desa.
23
Seluruh penelitian yang terkait penerapan collaborative governance dilakukan
diberbagai karakteristik negara, baik negara maju maaupun negara berkembang termasuk
di Indonesia. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian ini dalam hal
fokus penelitian mengenai proses collaborative governance. Sedangkan perbedaan
dengan penelitian ini yaitu dalam subyek dan obyek penelitian, dimana penelitian ini
dilakukan pada Pemerintah Kabupaten Bantul dan bidang/sektor penelitian pada sektor
pelayanan publik pada pemerintah desa. Terdapat banyak penelitian tentang konsep
collaborative governance, tetapi kebanyakan melakukan penelitian penerapan
collaborative governance pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan
masih sedikit yang melakukan penelitian tentang collaborative governance pada
pemerintah desa. Karena pada penelitian ini obyek dan fokus penelitian pada proses
collaborative governance dalam program desa digital yang memiliki karakteristik dan
kebijakan yang berbeda, sehingga diharapkan penelitian ini akan dapat melengkapi hasil
penelitian sebelumnya.