BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...

23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tesis ini akan menganalisis mengenai collaborative governance dalam program desa digital di Kabupaten Bantul. Dalam perkembangan tata kelola pemerintahan, konsep collaborative governance menjadi trend dan fenomena baru yang menarik untuk diteliti dan dikaji. Konsep collaborative governance telah dikembangkan selama dua dekade terakhir. Pentingnya penerapan collaborative governance menjadi kajian menarik diseluruh negara baik negara maju maupun negara berkembang, terutama di negara maju konsep collaborative governance telah berkembang sangat pesat. Munculnya konsep collaborative governance sebagai respon terhadap kegagalan pemerintah dalam pelaksanaan dan pembiayaan program pembangunan yang cenderung rawan adanya politisasi regulasi (Ansell dan Gash, 2007). Oleh karena itu konsep collaborative governance menjadi trend sebagai produk perkembangan ilmu pengetahuan dan kapasitas kelembagaan guna kepentingan perbaikan akuntabilitas dan manajerial birokrasi. Selain itu collaborative governance menjadi suatu keharusan bagi pemerintah akibat dari tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik, sedangkan di satu sisi pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya. Collaborative governance merupakan bentuk baru dari tata kelola pemerintahan serta menjadi penting untuk dilaksanakan sebab pemerintah memiliki keterbatasan sumberdaya baik dari segi sumberdaya manusia yang tidak memadai maupun sumberdaya finansial (Allen et al, 2005). Kondisi ini yang memicu harus dilakukannya collaborative governance dengan berbagai pihak sebagai suatu strategi dalam upaya perbaikan pelayanan publik (Culpepper dalam Sranko, 2011). Konsep collaborative governance menjadi terobosan bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hal ini menjadi sebuah perwujudan dari upaya

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tesis ini akan menganalisis mengenai collaborative governance dalam program

desa digital di Kabupaten Bantul. Dalam perkembangan tata kelola pemerintahan, konsep

collaborative governance menjadi trend dan fenomena baru yang menarik untuk diteliti

dan dikaji. Konsep collaborative governance telah dikembangkan selama dua dekade

terakhir. Pentingnya penerapan collaborative governance menjadi kajian menarik

diseluruh negara baik negara maju maupun negara berkembang, terutama di negara maju

konsep collaborative governance telah berkembang sangat pesat. Munculnya konsep

collaborative governance sebagai respon terhadap kegagalan pemerintah dalam

pelaksanaan dan pembiayaan program pembangunan yang cenderung rawan adanya

politisasi regulasi (Ansell dan Gash, 2007). Oleh karena itu konsep collaborative

governance menjadi trend sebagai produk perkembangan ilmu pengetahuan dan

kapasitas kelembagaan guna kepentingan perbaikan akuntabilitas dan manajerial

birokrasi. Selain itu collaborative governance menjadi suatu keharusan bagi pemerintah

akibat dari tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik, sedangkan di satu sisi

pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya. Collaborative governance merupakan

bentuk baru dari tata kelola pemerintahan serta menjadi penting untuk dilaksanakan

sebab pemerintah memiliki keterbatasan sumberdaya baik dari segi sumberdaya manusia

yang tidak memadai maupun sumberdaya finansial (Allen et al, 2005). Kondisi ini yang

memicu harus dilakukannya collaborative governance dengan berbagai pihak sebagai

suatu strategi dalam upaya perbaikan pelayanan publik (Culpepper dalam Sranko, 2011).

Konsep collaborative governance menjadi terobosan bagi pemerintah untuk dapat

meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hal ini menjadi sebuah perwujudan dari upaya

2

pemerintah untuk merespon tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang lebih baik.

Praktik collaborative governance dianggap dapat berkontribusi dalam peningkatan

kualitas pelayanan publik dan menjadi solusi dalam pemecahan masalah publik (Welker

et al., 2012 dan de Vries, 2013). Munculnya konsep collaborative governance diberbagai

negara, terutama negara berkembang akibat kegagalan pemerintah dalam penyediaan

pelayanan publik karena berbagai keterbatasan baik keterbatasan SDM maupun sumber

dana (keuangan). Oleh karena itu diperlukan kerjasama dengan berbagai sektor dengan

berbagai bentuk, salah satunya konsep collaborative governance (Pollit dan Bouckaert,

2011 dan Eva dan Torfing, 2012). Dalam pelaksanaanya, collaborative governance harus

memiliki aturan main berupa perjanjian kerjasama agar proses kolaborasi dapat berjalan

dengan optimal sesuai dengan tujuan awal kerjasama yang telah diputuskan bersama

(Sranko, 2011). Faktor kepemimpinan sebagai fasilitator dan komitmen pemimpin

menjadi ujung tombak keberhasilan collaborative governance (Nasrulhaq, 2014).

Di Indonesia praktik collaborative governance telah diterapkan di berbagai sektor

dalam program pembangunan nasional seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan,

transportasi, layanan publik, lingkungan, infrastruktur dan lain sebagainya (Dermanto,

2015). Selain itu pratik collaborative governance juga dilakukan dalam pelaksanaan

berbagai kebijakan dan program, baik ditingkat pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menjamin pelaksanaan

berbagai kebijakan dan program dapat berjalan secara optimal dengan melakukan

kolaborasi dengan berbagai pihak. Meskipun praktik collaborative governance sering

didasari pada keterbatasan sumber daya pemerintah, terutama sumber dana atau

keuangan. Salah satunya collaborative governance dalam pelaksanaan kebijakan dan

program e-government.

3

Menurut Devine et al (2011) menjelaskan bahwa kolaborasi merupakan bagian

penting dari manajemen sektor publik. Lebih jauh mereka menjelaskan bahwa kolaborasi

antar organisasi menjadi semakin umum di sektor publik dan swasta. Sedangkan

pentingnya e-government dapat memutus mata rantai koordinasi dan komunikasi antar

lembaga yang panjang, dimana dalam pelaksanaannya melibatkan multisektor (Safeena

dan Abdullah, 2013). Pentingnya pelaksanaan e-government ditandai dengan bergesernya

pendefinisian konsep e-government yang semula hanya dimaknai sebagai penggunaan

perangkat teknologi informasi, kini berkembang hingga pemanfaatan teknologi dalam

berbagai aplikasi. Perubahan inilah yang menandai bahwa masyarakat Indonesia saat ini

sedang mengalami transformasi menuju era masyarakat informasi. Kemajuan teknologi

informasi yang demikian pesat serta potensi pemanfaatanya secara luas membuka

peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam skala besar

secara cepat dan akurat. Dengan demikian kaitan antara collaborative governance dan e-

government adalah untuk membangun dan mengembangkan e-government pada semua

level baik dalam pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diperlukan keterlibatan

semua stakeholders atau kolaborasi kelembagaan baik pemerintah, civil society, swasta,

masyarakat lokal dan pihak lain yang memiliki keterkaitan dengan e-government.

Selain tuntutan masyarakat akibat kemajuan teknologi yang semakin pesat,

pentingnya collaborative governance dalam pelaksanaan e-government juga dipengaruhi

oleh keterbatasan pemerintah. Dimana pemerintah memiliki keterbatasan sumberdaya

dan pengetahuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan e-government. Oleh

karenanya berbagai praktik collaborative governance lintas sektor dilakukan pemerintah

untuk dapat melaksanakan berbagai kebijakan e-government dengan optimal. Dalam

konsep e-government, collaborative governance dapat terjadi pada tahap pengembangan,

pelaksanaan dan keberlanjutannya. Artinya pelaksanaan e-government dapat memicu

4

adanya praktik collaborative governance diberbagai sektor yang melibatkan banyak

pihak (Safeena dan Abdullah, 2013 dan Al-Khouri, 2011).

Pelaksanaan e-government di Indonesia dimulai sejak tahun 2003 seiring dengan

keluaarnya INPRES Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional

Pengembangan E-government. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pelaksanaan

e-government di Indonesia diharapkan mampu mengubah sistem manajemen pemerintah

yang awalnya bersifat komando sektoral yang mengerucut dan panjang menjadi lebih

modern, sehingga dapat memperpendek lini pengambilan keputusan. Selain itu juga

dijelaskan bahwa pemerintah harus melonggarkan dinding pemisah yang membatasi

interaksi dengan sektor swasta. Organisasi pemerintah harus lebih terbuka untuk

membentuk kemitraan dengan dunia usaha. Oleh karena itu apabila berpedoman pada

peraturan tersebut sangat jelas bahwa dalam pelaksanaan e-government di Indonesia

tidak menutup kemungkinan dilakukan dengan collaborative governance.

Kondisi pelaksanaan e-government di Indonesia masih sangat bervariasi,

meskipun dalam peraturan dijelaskan bahwa pelaksanaannya dapat dilakukan dengan

berbagai bentuk kerjasama. Hal ini terlihat dari perhatian pemerintah dalam

pengembangan e-government masih terpusat pada pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Pendefinisian e-goverment oleh pemerintah masih sebatas pengembangan

website. Oleh karena itu pada awal pelaksanaan e-government masih cenderung

dimaknai sebagai penyediaan website, meskipun dewasa ini sudah berkembang dengan

berbagai aplikasi. Dalam implementasinya terlihat sangat baik pada tahap persiapan

(tahap pembuatan) yang artinya hampir setiap instansi pemerintah memiliki website dan

proses update informasinya juga berlangsung secara terus menerus (Sosiawan, 2008).

Tetapi berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa terdapat beberapa website

pemerintah, baik pusat maupun daerah yang belum dikekola dengan serius.

5

Ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola website dapat dilihat dari beberapa website

pemerintah yang tidak dapat diakses. Hal ini dapat dilihat dari tabel perkembangan

jumlah website pemerintah daerah di Indonesia dibawah ini.

Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Website Pemerintah Daerah di Indonesia

Tahun 2008 Tahun 2013 Jumlah Pemerintah Provinsi 33 33 Jumlah Website 33 33 Bisa dibuka Data tidak tersedia 31 Tidak bisa dibuka/offline /suspended

Data tidak tersedia 2

Jumlah Pemerintah Kabupaten / Kota

477 532

Jumlah Web Site 390 492 Bisa dibuka Data tidak tersedia 446 Tidak bisa dibuka/ offline / suspended

Data tidak tersedia 46

Sumber : Pusdantinkomtel Kemendagri update per Mei 2013

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah instansi pemerintah daerah baik

pemerintah provinsi maupun pemerintah kota/kabupaten yang memiliki dan

mengembangkan website mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan

terutama pada level pemerintah kota/kabupaten. Tetapi dari data di atas dapat diketahui

bahwa dari total jumlah pemerintah kota/kabupaten yang memiliki website hanya 90,1%

yang dapat dibuka, sedangkan 9,9% tidak dapat dibuka. Hal ini menunjukkan bahwa

banyaknya jumlah pemerintah kota/kabupaten yang memiliki dan mengembangkan e-

government belum diimbangi dengan kualitas website yang memadai. Meskipun

demikian terdapat beberapa pemerintah daerah yang serius dalam melakukan

pengembangan e-government.

Dewasa ini penerapan e-government bukan hanya sebatas penyediaan website

pemeirntah saja melainkan sudah berkembang menjadi berbagai aplikasi yang inovatif,

baik dikembangkan oleh pemerintah secara mandiri maupun dengan berbagai bentuk

kerjasama lintas sektor. Selain itu bukan hanya pada lingkungan pemerintah baik pusat

6

maupun daerah saja, melainkan sudah berkembang pada lingkup pemerintah

desa/kelurahan. Dimana e-government pada lingkup pemerintah desa/kelurahan dikenal

dengan Sistem Informasi Desa (SID) atau desa digital. Pengembangan desa digital di

Indonesia sesuai dengan berlakunya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

Nomor 5 Tahun 2015 tentang Strategi Pengembangan Desa Digital. Berdasarkan

peraturan tersebut pemerintah daerah mulai tertarik untuk melakukan pengembangan

terhadap desa digital. Meskipun terdapat beberapa pemerintah daerah yang melakukan

pengembangan jauh sebelum peraturan tersebut dikeluarkan. Terdapat 2.204 desa yang

sudah memiliki desa digital dengan domain desa.id hingga tahun 2015 (Kementerian

Komunikasi dan Informatika, 2016).

Dalam peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tersebut dijelaskan bahwa

pengembangan desa digital di Indonesia menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah

daerah yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Hal ini dikarenakan

dalam peraturan tersebut hanya merujuk pada Undang-undang Nomor 23 tahun 2014

tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah baik pemerintah

provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota melakukan berbagai strategi dalam

pengembagan desa digital. Meskipun demikian terdapat beberapa kritikan terhadap

peraturan tersebut, dimana peraturan tersebut seharusnya merujuk pada Undang-undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Konsep desa digital dalam peraturan tersebut di

jelaskan sebagai Sistem Informasi Desa (SID). Dengan merujuk pada undang-undang

tentang desa tersebut, maka secara mandiri pemerintah desa dapat melakukan

pengembangan terhadap desa digital di wilayah kerjanya, sehingga desa digital yang

diterapkan dapat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.

Selain itu dalam peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tersebut juga

ditegaskan bahwa dalam melakukan strategi pengembangan desa digital, pemerintah

7

daerah dapat melakukan kemitraan dengan berbagai pihak (swasta). Oleh karena itu tidak

menutup kemungkinan terjadi praktik collaborative governance dalam pelaksanaan desa

digital diberbagai daerah. Hingga saat ini terdapat beberapa pemerintah daerah baik

pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota yang serius dalam melakukan

pengembangan desa digital. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah desa digital dengan

domain desa.id diberbagai daerah. Selain itu dalam praktiknya masih terdapat pemerintah

desa yang belum mengembangkan desa digital, sehingga kondisi penerapannya sangat

bervariasi. Salah satu pemerintah daerah yang serius dalam melakukan pembangunan

desa digital melalui mekanisme kemitraan dengan pihak swasta atau aktor non-state

yaitu Pemerintah Kabupaten Bantul. Dalam hal ini kemitraan yang dilakukan merupakan

collaborative governance sebab melibatkan pemangku kepentingan non-state dalam

proses pengambilan keputusan kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsensus, dan

konsultatif yang bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik

atau mengelola aset dan program publik (Ansell dan Gash, 2007).

Pada tahun 2015 seluruh desa di Kabupaten Bantul yang berjumlah 75 telah

memiliki Sistem Informasi Desa (SID) dengan berbagai domain (Kantor Pengelolaan

Data dan Telematika, 2016). Dari data tersebut hanya 15 desa atau 20% yang berdomain

desa.id, sedangkan 65 desa atau 80% lainnya menggunakan sub-domain bantulkab.go.id.

Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan desa digital di Kabupaten Bantul sebagian

besar masih berdomain bantulkab.go.id. Perbedaan domain tersebut berimplikasi

terhadap kecepatan akses website desa oleh pengguna dan kecepatan distribusi data.

Website desa.id lebih cepat diakses daripada website desa bantulkab.go.id sebab desa.id

merupakan domain utama yang langsung dikelola oleh masing-masing desa pemilik

domain sedangkan website desa bantulkab.go.id merupakan sub-domain dari domain

pemerintah kabupaten bantul.

8

Pengembangan desa digital di Kabupaten Bantul dilakukan sejak tahun 2013.

Dalam pengembangan desa digital Pemerintah Kabupaten Bantul telah berkomitmen

untuk mengimplementasikan desa digital diseluruh desa yang ada di Kabupaten Bantul.

Meskipun jauh sebelum itu, beberapa desa telah mengembangan desa digital secara

mandiri. Data jumlah desa digital di Kabupaten Bantul dapat dilihat pada tabel dibawah

ini.

Tabel 1.2 Data Desa Digital di Kabupaten Bantul Desa URL Desa URL

Poncosari http://poncosari.bantulkab.go.id Girirejo http://girirejo.bantulkab.go.id Trimurti http://trimurti-bantul.desa.id Karangtalun http://karangtalun.bantulkab.go.id Gadingsari http://gadingsari.bantulkab.go.id Imogiri http://imogiri-bantul.desa.id Gadingharjo http://gadingharjo.bantulkab.go.id Mangunan http://mangunan-bantul.desa.id Srigading http://srigading.bantulkab.go.id Muntuk http://muntuk.bantulkab.go.id Murtigading http://murtigading.bantulkab.go.id Dlingo http://dlingo-bantul.desa.id Tirtomulyo http://tirtomulyo.bantulkab.go.id Temuwuh http://temuwuh.bantulkab.go.id Parangtritis http://parangtritis.bantulkab.go.id Terong http://terong.bantulkab.go.id Donotirto http://donotirto.bantulkab.go.id Jatimulyo http://jatimulyo.bantulkab.go.id Tirtosari http://tirtosari.bantulkab.go.id Baturetno http://baturetno.bantulkab.go.id Tirtohargo http://tirtohargo-bantul.desa.id Banguntapan http://banguntapan.bantulkab.go.id Seloharjo http://seloharjo.bantulkab.go.id Jagalan http://jagalan.bantulkab.go.id Panjangrejo http://panjangrejo-bantul.desa.id Singosaren http://singosaren.bantulkab.go.id Srihardono http://srihardono.bantulkab.go.id Jambidan http://jambidan.bantulkab.go.id Sidomulyo http://sidomulyo.bantulkab.go.id Potorono http://potorono-bantul.desa.id Mulyodadi http://mulyodadi.bantulkab.go.id Tamanan http://tamanan.bantulkab.go.id Sumbermulyo http://sumbermulyo.bantulkab.go.id Wirokerten http://wirokerten-bantul.desa.id Caturharjo http://caturharjo-bantul.desa.id Wonokromo http://wonokromo.bantulkab.go.id Triharjo http://triharjo.bantulkab.go.id Pleret http://pleret.bantulkab.go.id Gilangharjo http://gilangharjo-bantul.desa.id Segoroyoso http://segoroyoso.bantulkab.go.id Wijirejo http://wijirejo.bantulkab.go.id Bawuran http://bawuran.bantulkab.go.id Triwidadi http://triwidadi.bantulkab.go.id Wonolelo http://wonolelo.bantulkab.go.id Sendangsari http://sendangsari.bantulkab.go.id Sitimulyo http://sitimulyo.bantulkab.go.id Guwosari http://guwosari.bantulkab.go.id Srimulyo http://srimulyo.bantulkab.go.id Palbapang http://palbapang.bantulkab.go.id Srimartani http://srimartani.bantulkab.go.id Ringinharjo http://ringinharjo.bantulkab.go.id Pendowoharjo http://pendowoharjo.bantulkab.go.id Bantul http://bantul.bantulkab.go.id Timbulharjo http://timbulharjo-bantul.desa.id Trirenggo http://trirenggo.bantulkab.go.id Bangunharjo http://bangunharjo.bantulkab.go.id Sabdodadi http://sabdodadi.bantulkab.go.id Panggungharjo http://panggungharjo-bantul.desa.id Patalan http://patalan.bantulkab.go.id Bangunjiwo http://bangunjiwo.bantulkab.go.id Canden http://canden.bantulkab.go.id Tirtonirmolo http://tirtonirmolo-bantul.desa.id Sumberagung http://sumberagung.bantulkab.go.id Tamantirto http://tamantirto-bantul.desa.id

9

Trimulyo http://trimulyo.bantulkab.go.id Ngestiharjo http://ngestiharjo-bantul.desa.id Selopamioro http://selopamioro.bantulkab.go.id Argodadi http://argodadi.bantulkab.go.id Sriharjo http://sriharjo.bantulkab.go.id Argorejo http://argorejo.bantulkab.go.id Wukirsari http://wukirsari.bantulkab.go.id Argosari http://argosari.bantulkab.go.id Kebonagung http://kebonagung.bantulkab.go.id Argomulyo http://argomulyo.bantulkab.go.id Karangtengah http://karangtengah.bantulkab.go.id

Sumber : Kantor Pengelolaan Data dan Telematika, 2016

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pengembangan desa digital di Kabupaten

Bantul telah dilakukan di seluruh desa yang berjumlah 75 desa. Dalam

pengembangannya, pada tahun 2013 Pemerintah Kabupaten Bantul telah melakukan

kolaborasi dengan Combine Resource Institution (CRI). CRI merupakan sebuah

kelembagaan sumber daya yang memiliki strategi penguatan komunitas marjinal melalui

jaringan informasi. Melalui kolaborasi tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Bantul

melalui Kantor Pengolahan Data dan Telematika (KPDT) berkomitmen untuk melakukan

pengembangan desa digital di Kabupaten Bantul. Salah satu desa yang menjadi desa

percontohan di Kabupaten Bantul yaitu Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa

Murtigading Kecamatan Sanden. Kedua desa tersebut menjadi salah satu pilot project

yang menjadi desa percontohan untuk desa-desa yang lainnya bahkan untuk desa yang

berasal dari daerah lain. Hal ini karena kedua desa tersebut telah berhasil

mengembangkan dan menerapkan desa digital, sehingga pada tahun 2016 Desa Dlingo

Kecamatan Dlingo memperoleh penghargaan juara pertama dan Desa Murtigading

Kecamatan Sanden memperoleh penghargaan juara kedua dalam Pengelolaan Website

Sistem Informasi Desa (SID) Tingkat Kabupaten Bantul.

Terdapat beberapa perbedaan yang menarik dalam pengembangan desa digital di

kedua desa tersebut. Meskipun sama-sama dikembangkan melalui kolaborasi dengan

CRI, tetapi memiliki perbedaan yang signifikan. Pengembangan desa digital di Desa

Dlingo Kecamatan Dlingo dilakukan secara mandiri sejak tahun 2009, sedangkan

koloborasi Desa Murtigading Kecamatan Sanden dilakukan tahun 2013. Selain itu juga

10

terdapat perbedaan pada pihak yang terlibat. Pengembangan desa digital di Desa Dlingo

Kecamatan Dlingo dilakukan secara mandiri dengan CRI. Sedangkan pengembangan

desa digital di Desa Murtigading Kecamatan Sanden dilakukan melalui kolaborasi KPDT

Kabupaten Bantul dengan CRI. Meskipun memiliki beberapa perbedaan tetapi dalam

penerapannya kedua desa tersebut telah menjadi desa digital andalan di Pemerintah

Kabupaten Bantul. Berbagai pihak yang terlibat dalam praktik collaborative governance

program desa digital di Kabupaten Bantul saat ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1.1 Stakeholder Collaborative governance dalam Program Desa Digital di Kabupaten Bantul

Sumber : Diolah dari Combine Resource Institution, 2016

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa pihak yang menjadi inisiasi desa

digital di Kabupaten Bantul yaitu CRI. CRI berdiri sejak tahun 2001 mulai bergerak

untuk mendukung pengembangan media komunitas dan pemanfataan TIK sebagai bagian

dari sistem dan jaringan pengembangan informasi dan komunikasi komunitas. CRI

berpusat di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta yang melakukan

pendampingan dalam pengembangan media komunitas melalui pemanfaatan TIK salah

satunya program desa digital diseluruh Indonesia. CRI menyediakan dan mengelola

sumber daya antara lain keahlian (meliputi konsultasi, pelatihan, penelitian dan

pengembangan) terutama dibidang sistem dan teknologi informasi. Sejak tahun 2006

CRI

Pemerintah Desa

Masyarakat

KPDT Bantul SID

11

CRI telah melakukan kolaborasi dengan Desa Dlingo Kecamatan Dlingo, sedangkan

kolaborasi yang dilakukan dengan Pemerintah Kabuapten Bantul melalui KPDT

dilakukan sejak tahun 2013. Selain itu juga CRI telah berhasil mengembangan desa

digital diseluruh desa dan/atau daerah di Indonesia.

Sejak tahun 2006 bersama dengan pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo,

CRI melakukan pengembangan dan pendampingan program desa digital. Selanjutnya

pada tahun 2009 program desa digital diterapkan di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo.

Desa Dlingo Kecamatan Dlingo merupakan desa yang pertama kali melakukan

pengembangan dan penerapan desa digital dengan mekanisme collaborative governance

di Kabupaten Bantul. Selain itu desa digital yang ada di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo

telah berdomain desa.id sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri

Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2015. Dalam perkembangannya, program

desa digital memiliki tuntutan yang tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan dan

penyesuaian dengan kondisi masyarakat setempat. Oleh karena itu sejak tahun 2013,

program desa digital dikelola oleh organisasi masyarakat atau organisasi pemuda desa

yang dibentuk oleh Pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo. Organisasi tersebut

diberi nama Sasana Anak Muda Dlingo Giriloji Cinta IT (Sandigita IT). Anggota

Sandigita IT ditentukan oleh Pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo yang bertugas

untuk membantu pemerintah desa dalam mengelola desa digital yang ada. Hal ini

dikarenakan rendahnya tingkat literasi perangkat Desa Dlingo Kecamatan Dlingo

terhadap teknologi informasi.

Berbeda dengan desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo, Desa

Murtigading Kecamatan Sanden menerapkan desa digital sejak tahun 2013. Sejak

dikembangkan dan diterapkan tahun 2013, Pemerintah Desa Murtigading Kecamatan

Sanden telah memberdayakan karang taruna dalam penerapan desa digital. Hal ini juga

12

dikarenakan rendahnya tingkat literasi perangkat Desa Murtigading Kecamatan Sanden

terhadap teknologi informasi. Rendahnya literasi perangkat desa dapat diketahui melalui

tingkat pendidikannya. Tingkat pendidikan perangkat Desa Dlingo Kecamatan Dlingo

dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 1.3 Tingkat Pendidikan Perangkat Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Pemerintah Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul

Desa Dlingo Kecamatan Dlingo Desa Murtigading Kecamatan Sanden

Tingkat Pendidikan Jumlah Tingkat Pendidikan Jumlah Lulusan SD 2 Lulusan SD 3 Lulusan SMP 6 Lulusan SMP 4 Lulusan SMA/Sederajat

10 Lulusan SMA/Sederajat

12

Lulusan DIII 1 Lulusan DIII 1 Lulusan S1 4 Lulusan S1 5 Lulusan S2 1 Total 23 Total 26

Sumber : diolah dari http://dlingo-bantul.desa.id dan http://murtigading.bantulkab.go.id, 2016

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan perangkat Desa

Dlingo Kecamatan Dlingo rata-rata berpendidikan terakhir SMA/Sederajat. Jumlah

perangkat desa terbanyak merupakan lulusan SMA yaitu 43,5%, kemudian jumlah

perangkat desa terbanyak kedua lulusan SMP yaitu 26,1%, kemudian jumlah perangkat

desa terbanyak ketiga lulusan S1 yaitu 17,4%, kemudian jumlah perangkat desa

terbanyak keempat lulusan SD yaitu 8,7% dan jumlah perangkat desa yang lulusan DIII

yaitu 4,3%. Tidak jauh berbeda, Desa Murtigading Kecamatan Sanden memiliki jumlah

perangkat desa sebanyak 26 orang. Jumlah perangkat desa terbanyak merupakan luluan

SMA yaitu 46,1%. kemudian jumlah perangkat desa terbanyak kedua lulusan S1 yaitu

19,2%, kemudian jumlah perangkat desa terbanyak ketiga lulusan SMP yaitu 15,4%,

kemudian jumlah perangkat desa terbanyak keempat lulusan SD yaitu 11,5% dan jumlah

perangkat desa yang lulusan DIII dan S2 yaitu masing-masing 3,8%.

13

Dari data tersebut di atas, maka Pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan

Desa Murtigading Kecamatan Sanden mayoritas merupakan lulusan SMA dan SMP,

sehingga menjadi keendala dalam melakukan pengembangan dan pengelolaan desa

digital. Sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, sehingga Pemerintah Desa

Dlingo Kecamatan Dlingo membentuk Sandigita IT pada tahun 2013 yang

beranggotakan para pemuda yang ada di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo. Sedangkan

Pemerintah Desa Murtigading sejak awal telah memberdayakan karang taruna dalam

penerapan dan pengembangan desa digital. Keterlibatan Sandigita IT dan karang taruna

bertujuan untuk membantu pemerintah desa dalam mengelola desa digital terutama pada

fitur media informasi.

Hal menarik lainnya dalam praktik collaborative governance program desa digital

di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten

Bantul yaitu tingginya jumlah kunjungan masyarakat dalam pemanfaatan desa digital.

Tingginya jumlah kunjungan masyarakat dalam pemanfaatan desa digital di Desa Dlingo

Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dapat

dilihat dari peningkatan jumlah kunjungan masyarakat terhadap aplikasi desa digital

setiap harinya. Hal ini dipengaruhi karena program desa digital yang dimiliki oleh Desa

Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul

merupakan aplikasi desa digital pertama di Kabupaten Bantul sehingga menjadi desa

digital percontohan. Dalam setiap harinya jumlah kunjungan masyarakat terhadap

aplikasi desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading

Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul mencapai kurang lebih 500 kali kunjungan.

Meskipun masyarakat yang mengakses bukan hanya masyarakat setempat, melainkan

juga masyarakat dari desa dan daerah lainnya. Data jumlah kunjungan masyarakat dalam

14

pemaanfaatan aplikasi desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa

Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Grafik 1.1 Jumlah Kunjungan Masyarakat Terhadap Aplikasi Desa Digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten

Bantul

Sumber : diolah dari http://dlingo-bantul.desa.id dan http://murtigading.bantulkab.go.id

(Update terakhir tanggal 16 November 2016)

Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah kunjungan masyarakat terhadap

aplikasi desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading

Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul memiliki perbedaan yang signifikan. Jumlah

kunjungan terhadap desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo sebanyak 1.465.793

kali, sedangkan di Desa Murtigading Kecamatan Sanden sebanyak 66.428 kali.

Perbedaan yang signifikan dipengaruhi oleh perbedaan jangka waktu kalkulasi

kunjungan terhadap maisng-masing aplikasi desa digital. Dimana di Desa Dlingo

Kecamatan Dlingo memiliki kalkulasi jumlah kunjungan sejak tahun 2013, sedangkan di

Desa Murtigading Kecamatan Sanden baru memiliki kalkulasi jumlah kunjungan sejak

tahun 2015. Meskipun demikian jumlah kunjungan terhadap desa digital di kedua desa

tersebut mengalami peningkatan setiap harinya. Jumlah kunjungan terhadap desa digital

setiap harinya mencapai kurang lebih 500 kali kunjungan, meskipun jumlah kunjungan

dilakukan baik oleh masyarakat setempat maupun masyarakat dari desa dan daerah

1,465,793

66,428

Desa Dlingo Desa Murtigading

15

lainnya. Data jumlah kunjungan harian terhadap desa digital di Desa Dlingo Kecamatan

Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dapat dilihat dari

grafik dibawah ini.

Grafik 1.2 Jumlah Kunjungan Harian Desa Digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul

Sumber : diolah dari http://dlingo-bantul.desa.id dan http://murtigading.bantulkab.go.id

(Update terakhir tanggal 16 November 2016)

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa masyarakat yang memanfaatkan program

desa digital di Kabupaten Bantul terbagi menjadi dua yaitu masyarakat setempat dan

masyarakat luar. Jumlah kunjungan masyarakat terhadap aplikasi desa digital pada

tanggal 16 November 2016 di Dlingo Kecamatan Dlingo sebanyak 893 kali kunjungan

dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden sebanyak 357 kali kunjungan. Masyarakat

yang mengakses desa digital, baik Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa

Murtigading Kecamatan Sanden didominasi oleh mayarakat luar yang berasal dari desa

dan daerah lain yaitu mencapai 75% dari jumlah kunjungan setiap harinya. Dimana

jumlah masyarakat dalam Desa Dlingo Kecamatan Dlingo pada tanggal 16 November

2016 yang mengunjungi aplikasi desa digital sebanyak 196 kali kunjungan atau 22% dan

masyarakat luar sebanyak 697 kali kunjungan atau 78%. Sedangkan jumlah masyarakat

dalam Desa Murtigading Kecamatan Sanden sebanyak 48 kali kunjungan atau 13% dan

masyarakat luar sebanyak 309 kali kunjungan atau 87%. Hal ini menunjukkan bahwa

22%

78%

13%

87%

Masyarakat Dalam Masyarakat Luar Masyarakat Dalam Masyarakat Luar

Desa Dlingo Desa Murtigading

16

desa digital di kedua desa tersebut telah dimanfaatkan baik oleh masyarakat setempat

maupun masyarakat luar dari desa dan daerah lainnya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa program desa digital di Desa Dlingo

Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul

merupakan desa digital pertama dan menjadi desa digital percontohan di Kabupaten

Bantul. Selain itu program desa digital tersebut menjadi pilot project dan proyek

percontohan bagi pengembangan desa digital pada pemerintah desa lainnya yang ada di

Kabupaten Bantul maupun dari daerah lain, sehingga jumlah pengunjung aplikasi desa

digital didominasi oleh masyarakat luar yang ingin mengetahui kesuksesan aplikasi

tersebut. Dalam praktiknya program digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa

Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul sudah dilakukan dengan

collaborative governance, meskipun dalam waktu penerapan yang berbeda. Seiring

dengan perkembangannya terdapat beberapa perubahan stakeholders yang terlibat dalam

pelaksanaan proses collaborative governance dalam program desa digital. Hal terpenting

dalam keberhasilan proses collaborative governance dalam suatu program adalah

efektivitas kolaborasi. Efektifitas kolaborasi berkaitan dengan sejauh mana hasil

kolaborasi dapat bermanfaat dan digunakan secara maksimal oleh pemerintah desa dalam

memberikan layanan publik dan kapasitas organisasi. Selain itu, seringkali proses

kerjasama tidak berkelanjutan sehingga tidak memberikan dampak yang signifikan

terhadap stakeholder yang terlibat.

Berdasarkan deskripsi permasalahan di atas, maka penelitian ini meneliti secara

mendalam terkait dengan faktor pendorong, proses dan efektivitas collaborative

goernance dalam program desa digital di Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa

Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Pemilihan topik ini didasarkan pada

pengalaman dan data awal yang ada dilapangan bahwa proses collaborative governance

17

sudah dilakukan sejak tahun 2009 dan telah diterapkan diseluruh desa di Kabupaten

Bantul pada tahun 2013, meskipun dalam perkembangannya terdapat perubahan

stakeholders yang terlibat dalam proses collaborative governance. Keberhasilan proses

collaborative governance yang dilakukan dapat memberikan efektivitas kolaborasi untuk

mewujudkan keberlanjutan program desa digital di desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan

Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana proses collaborative governance dalam program desa digital di desa

Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten

Bantul?

2. Sejauh mana collaborative governance dalam program desa digital efektif dapat

meningkatkan pelayanan publik dan pengembangan kapasitas pemerintah desa di

desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden

Kabupaten Bantul?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dalam penelitian ini yaitu

sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan, menganalisis dan membandingkan faktor yang mendorong

terjadinya proses collaborative governance dalam program desa digital di desa

Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten

Bantul.

18

2. Untuk mendeskripsikan, menganalisis dan membandingkan proses collaborative

governance dalam program desa digital di desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa

Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul.

3. Untuk mendeskripsikan, menganalisis dan membandingkan efektivitas collaborative

governance dalam program desa digital di desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa

Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan akademis

maupun praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang administrasi publik

terkait dengan studi collaborative governance. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian

ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan masukan yang memadai bagi

Pemerintah Desa Dlingo Kecamatan Dlingo dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden

Kabupaten Bantul untuk dapat mengembangkan, memperbaiki dan mengoptimalkan

collaborative governance dalam program desa digital di desa Dlingo Kecamatan Dlingo

dan Desa Murtigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Selanjutnya hasil analisis

dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah desa/kelurahan

lainnya untuk dapat mengembangkan desa digital diwiliyah kerjanya. Selain itu hasil

penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi untuk penelitian yang

lebih lanjut.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh tim dosen Reforma Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013 dengan judul Dinamika Collaborative

governance di Sektor Publik : Transformasi PT KCJ. Dalam penelitian dijelaskan

mengenai dinamika kolbaroasi dari PT KCJ dengan stakeholder lainnya yaitu PT KAI

19

sebagai induk perusahaan, KRL Mania dan BUMN. Kerangka collaborative governance

yang digunakan terbagi menjadi tiga unsur yaitu a) unsur keberadaan sistem yang

manaungi kolaborasi berkaitan dengan keberadaan sumber daya, peraturan-peraturan dan

level keterkaitan jarinyan, b) unsur driver (penggerak) yang berkaitan dengan hal-hal

yang berpengaruh sebagai penggerak kolaborasi, dan c) unsur dinamika kolaborasi itu

sendiri yang berkaitan dengan jalannya proses kolaborasi dari stakeholder yang ada.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses kolaborasi PT KCJ sudah berjalan

dengan baik. Hal ini disertai dasar adanyanya unsur penggerak kolaborasi dimana

terdapat faktor kepemimpinan kuat dari dalam diri Ignasius Jonan yang mampu

menggerakkan stakeholders untuk ikut berkolaborasi dalam transformasi pelayanan PT

KCJ. Adanya unsur penggerak yang menarik perhatian berdampak dari adanya dinamika

proses kolaborasi mulai dari principled engagement (penekanan prinsip), shared

motivation (motivasi) dan capacity for join action (peningkatan kapasistas).

Penelitian yang dilakukan oleh Yohanes K. Kaha pada tahun 2015 yang berjudul

Collaborative governance dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Taman

Nasional Komodo Manggarai Barat – NTT. Penelitian ini menunjukkan bahwa

collaborative governance dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan di Taman

Nasional Komodo sudah ada yaitu dengan terbentuknya forum Komodo Collaborative

Management Initiative (KCMI). Namun hasil penelitian ini menjelaskan bahwa forum ini

tidak berjalan dengan maksimal karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan anatara

stakeholder dan adanya unsur kepentingan. Selain itu juga terdapat persoalan dalam

kemitraan antara BTNK dengan lembaga swasta (NGO) dan forum collaborative

governance antar stakeholder TNK melalui KCMI yaitu hegemoni kekuasaan, motif

ekonomi-politik, kapitalisme global, relasi informal, privatisasi dan NGO internasional

titipan.

20

Penelitian yang dilakukan oleg George R Sranko pada tahun 2011 dengan judul

Collaborative Governanceand a Strategic Approach to Faciliting Change : Lesson

Learned from Forest Agreements in South East Queensland and the Great Bear

Rainforest. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan dalam proses

kolaborasi dipengaruhi oleh legal faktor. Adanya kesepakatan stakeholders yang diatur

dalam suatu perjanjian kerja sama akan mengikat stakehoders dalam bekerjasama.

Dengan adanya perjanjian kerja sama menyebabkan adanya aturan main dalam proses

kolaborasi yang dilakukan. Selain itu sistem punishment dengan sanksi yang telah

disepakati menyebabkan stakeholders dapat melakukan tugas dan tanggung jawabnya

secara optimal. Kesimpulan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa setiap pelaksanaan

Collaborative governance harus ada kesepakatan dalam bentuk perjanjian kerjasama

agar proses kolaborasi dapat berjalan dengan optimal.

Penelitian yang dilakukan oleh Nasrulhaq pada tahun 2014 dengan judul

Collaborative governance dalam Program Makassar Green and Clean (MGC) 2008 –

2013. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam program MGC, kolaborasi

didasarkan pada perjanjian kesepahaman. Masing-masing pihak memiliki tugas dan

kewajiban. Perkembangan isu-isu inti collaborative governance seperti membangun

kepercayaan, pemahaman bersama dan legitimasi internal berlangsung dengan baik.

Tetapi terdapat isu-isu yang belum memuaskan seperti kelembagaan, komitmen dan

kepemimpinan. Oleh karena itu hasil dari praktik collaborative governance terhadap

lingkungan dalam jangka pendek sangat baik, tetapi untuk jangka panjang belum

memberikan hasil yang signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

kapasitas fasilitator atau kader lingkungan dan komitmen Lurah, sehingga kesimpulan

dari penelitian ini menunjukkan bahwa praktik kolaborasi yang dilakukan sudah baik

tetapi masih pada tahap eksplorasi.

21

Penelitian yang dilakukan oleh Mildred Kulecho pada tahun 2012 dengan judul

Kenya Government E-initiatives : The Use of Digital Village to Promote E-health

Education and Information. Dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan

bagaimana desa digital dapat digunakan untuk melakukan promosi pengetahuan dan

informasi kesehatan dan tantangan menggunakan desa digital untuk melakukan promosi

pengentahuan dan informasi kesehatan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

di Kenya pemanfataan desa digital untuk promosi pengetahuan dan informasi kesehatan

belum dilakukan secara optimal. Hal ini dikarenakan keterbatasaan infrastruktur TIK

yang belum dapat diandalkan dalam melaksanakan program tersebut. Selain itu

permasalahan yang ada dalam pelaksanaan program ini yaitu tingkat literasi dan buta

huruf yang tinggi dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengakses e-government.

Oleh karena itu kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa desa digital belum

dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, oleh karena itu diperlukan peningkatan

program desa digital oleh seluruh pihak baik pemerintah maupun masyarakat untuk

menciptakan desa digital yang berkelanjutan.

Penelitian yang dilakukan oleh Loice V. Atieno dan Christopher A. Moturi pada

tahun 2014 dengan judul Implementation of Digital Village Projects in Developing

Countries – Case of Kenya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan proyek

atau program desa digital di Kenya memiliki kontribusi terhadap pelayanan publik

kepada masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh terputusnya mata rantai yang memiliki

prosedur yang panjang dan lama menjadi pelayanan yang lebh cepat, mudah dan murah.

Tetapi dalam pelaksanaan program desa digital di Kenya memiliki beberapa hambatan

antara lain rendahnya tingkat literasi masyarakat terhadap teknologi informasi,

rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan teknologi infomasi, dan belum

tersedianya bandwidth yang terjangkau. Oleh karena itu kesimpulan dalam penelitian ini

22

pemerintah Kenya harus mengupayakan agar program desa digital dapat dimanfaatkan

secara optimal bagi masyarakat dengan melakukan strategi peningkatan kesadaran dan

literasi masyarakat dan penyediaan fasilitas yang memadai.

Penelitian yang dilakukan oleh Carol Soon pada tahun 2015 dengan judul

Singapore as a Digital Village a Plausible Reality. Hasil dari penelitian ini menunjukan

bahwa desa digital dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Hal ini dikarenakan desa

digital merupakan inisiasi masyarakat melalui kecerdasan kolektif untuk memecahkan

masalah dan meningkatkan kualitas hidup. Kemunculan desa digital di Singapore

berawal dari kesenjangan lingkungan, sosial dan ekonomi yang menjadi ancaman bagi

masyarakat desa. Dalam praktik desa digital ini merubah adanya partisipasi masyarakat

melalui pengelolaan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Dalam

program desa digital ini juga menunjukkan adanya kerjasama seluruh pihak antara lain

pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat itu sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Endra Wijaya, Ricca Anggraeni dan Rifkiyati

Bachri pada tahun 2013 dengan judul Desa Digital : Peluang untuk Mengoptimalkan

Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa hukum merupakan salah satu bentuk untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Setelah hukum dibentuk maka harus segera disebarluaskan

kepada masyarakat. Idealnya penyebarluasan perundang-undangan harus dilakukan

secara merata kepada seluruh masyarakat, yaitu dari tingkat pusat sampai dengan tingkat

daerah bahkan sampai ke pelosok desa. Oleh karena itu diperlukan media untuk

menyerbaluaskan perundang-undangan tersebut. Program desa digital yang terhubung

dengan akses internet menjadi sebuah peluang yang dapat diberdayakan untuk

mengoptimalkan penyebarluasan peraturan perundang-undangan hingga ke pelosok desa.

23

Seluruh penelitian yang terkait penerapan collaborative governance dilakukan

diberbagai karakteristik negara, baik negara maju maaupun negara berkembang termasuk

di Indonesia. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian ini dalam hal

fokus penelitian mengenai proses collaborative governance. Sedangkan perbedaan

dengan penelitian ini yaitu dalam subyek dan obyek penelitian, dimana penelitian ini

dilakukan pada Pemerintah Kabupaten Bantul dan bidang/sektor penelitian pada sektor

pelayanan publik pada pemerintah desa. Terdapat banyak penelitian tentang konsep

collaborative governance, tetapi kebanyakan melakukan penelitian penerapan

collaborative governance pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan

masih sedikit yang melakukan penelitian tentang collaborative governance pada

pemerintah desa. Karena pada penelitian ini obyek dan fokus penelitian pada proses

collaborative governance dalam program desa digital yang memiliki karakteristik dan

kebijakan yang berbeda, sehingga diharapkan penelitian ini akan dapat melengkapi hasil

penelitian sebelumnya.