BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tesis ini menganalisis implementasi kebijakan program penataan
permukiman di bantaran sungai Kali1 Pepe di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan
Banjarsari. Kebijakan ini bertujuan untuk menata permukiman kumuh yang
terdapat di sepanjang bantaran Kali Pepe. Kawasan bantaran sungai yang
seharusnya bersih dari permukiman, ternyata sudah menjadi kawasan permukiman
bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kondisi yang demikian menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan permukiman. Selain itu berimbas
juga kepada sungai Kali Pepe yang terkena dampak pencemaran lingkungan dan
penurunan kualitas air sungai. Kondisi yang demikian membuat Pemerintah Kota
Surakarta (Solo) harus mengeluarkan kebijakan penataan permukiman kumuh di
bantaran sungai Kali Pepe.
Menjadi menarik kemudian untuk menyusun kajian ilmiah untuk
menghasilkan analisis rinci bagaimanakah implementasi program penataan
permukiman kumuh di bantaran sungai Kali Pepe di Kelurahan Setabelan dan
Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta dan faktor-faktor apa
sajakah yang mempengaruhi dalam proses pelaksanaan implementasi kebijakan
tersebut. Penataan permukiman kumuh di bantaran Kali Pepe sangat
membutuhkan perhatian semua kalangan dan sinergitas antar aktor dalam rangka
1 Yang dimaksud dengan Kali secara prinsip mempunyai pengertian yang sama dengan sungai.
Istilah kali merupakan sebutan kearifan lokal peninggalan kerajaan, misalnya Kali Pepe, Kali
Jenes dan lain sebagainya.
2
mengawal implementasinya. Apalagi permasalahan tentang permukiman kumuh
sedang menjadi program prioritas penanganan mulai dari pemerintah pusat hingga
pemerintah daerah, kota maupun kabupaten. Pemerintah pusat pun menargetkan
kawasan permukiman kumuh menjadi 0 (nol) persen pada tahun 2019.
Perkembangan perumahan dan permukiman di Indonesia khususnya di
perkotaan tidak terlepas dari adanya pertumbuhan penduduk dan perkembangan
kegiatan di kota. Pertumbuhan penduduk diperkotaan dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor pertumbuhan alami dan urbanisasi. Pesatnya perkembangan penduduk
tersebut tidak selalu diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota, sehingga
berakibat pada munculnya perumahan dan pemukiman kumuh.
Hasil identifikasi di Indonesia oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum diketahui kawasan kumuh yang ada di Indonesia
sekitar 38.000 hektar yang tersebar di 2.883 kawasan dan di 415 kabupaten/kota
di seluruh Indonesia2. Dari 415 kabupaten/kota tersebut, sebanyak 129
kabupaten/kota telah menetapkan kawasan permukiman kumuh di wilayahnya
dengan surat keputusan walikota/bupati sebagai syarat mendapatkan program
pemerintah melalui APBN. Saat ini masih ada 12% kawasan kumuh, sedangkan
pada tahun 2015 lebih dari 33 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di
permukiman kumuh.
2 Andreas Suhono, Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, disampaikan Kamis 28 Mei
2015 dalam acara National Urban Forum di Jakarta.
(http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/05/28/np21j8-ada-38-ribu-hektare-kawasan-
kumuh-seindonesia, diakses tanggal 15 Juli 2015)
3
Seperti yang terjadi pada kota-kota besar pada umumnya, Kota Surakarta
sebagai kota besar dengan perkembangannya yang sangat pesat juga tidak terlepas
dari permasalahan perumahan dan permukiman kumuh. Kawasan kumuh di Kota
Surakarta mencapai 465 hektar. Kawasan permukiman kumuh itu tersebar di lima
kecamatan di Kota Surakarta yang memiliki luas wilayah 4.404 hektar. Hal itu
berarti di Kota Solo hampir 10% terdiri dari kawasan kumuh. Data kawasan itu
sesuai dengan SK Walikota Solo No.032/97.C/1/2014 tanggal 12 Desember 2014
tentang Kawasan Permukiman Kumuh Kota Solo. Kawasan kumuh ini dilihat dari
ketidakaturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas
bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Di lahan 465
hektar tersebut ada berbagai sarana yang tidak memenuhi kriteria, seperti jalan
lingkungan, drainase lingkungan, penyediaan air bersih dan lainnya. Anggaran
untuk mengatasi kawasan kumuh mengandalkan APBD karena Kota Solo baru
mempunyai SK Walikota tentang Penetapan Kawasan Kumuh, dan belum
memiliki Perda yang menetapkan dan mengatur tentang kawasan kumuh.
Seandainya sudah ada Perda tentang kawasan kumuh, mungkin bisa lebih mudah
dalam mencari dan mendapatkan bantuan dari pusat (APBN) dalam usaha
pengentasan kawasan kumuh tersebut.
Permukiman kumuh di Kota Surakarta biasanya dihuni oleh masyarakat
miskin yang tidak mampu mengakses perumahan yang layak. Ketidakmampuan
masyarakat miskin dalam mengakses permukiman yang layak tersebut, dan
ketidakmampuan negara/pemerintah daerah menyediakan permukiman yang
terjangkau dan layak huni menjadikan mereka memilih untuk bermukim pada
4
lingkungan permukiman yang kumuh dengan sarana dan prasarana dasar kurang
memadai, bahkan menempati lahan yang bukan menjadi haknya/ilegal. Angka
kemiskinan di Kota Solo menurut Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
atau TKPK Kota Solo masih tinggi, yakni mencapai 133.600 jiwa atau 24 persen
dari sekitar 563.659 penduduk di kota ini.
Tabel. 1.1
Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin
Kota Surakarta Tahun 2013
Kecamatan Laki-laki Perempuan L+P
n (jiwa) % n (jiwa) % n (jiwa) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Laweyan 49.787 17,87 51.537 18,08 101.324 17,98
Serengan 26.681 9,58 27.653 9,70 54.334 9,64
Pasarkliwon 42.651 15,31 42.958 15,07 85.609 15,19
Jebres 71.456 25,64 72.539 25,45 143.995 25,55
Banjarsari 88.069 31,61 90.328 31,69 178.397 31,65
Kota 278.644 100,00 285.015 100,00 563.659 100,00
Sumber :Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta,Tahun 2013,diolah
Tabel 1.2
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk
Kota Surakarta Tahun 2013
Kecamatan
Jumlah Penduduk
Luas Wilayah (Km2)
Kepadatan Penduduk
n (jiwa)
(1) (2) (3) (4)
Laweyan 101.324 8,64 11.727
Serengan 54.334 3,19 17.033
Pasar Kliwon 85.609 4,82 17.761
Jebres 143.995 12,58 11.446
Banjarsari 178.397 14,81 12.046
TOTAL 563.659 44,04 12.799
Sumber :Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta,Tahun 2013,diolah
5
Tabel 1.3
Angka Pertambahan Penduduk Kota Surakarta Tahun 2013
Kecamatan Pddk Tahun 2012 Pddk Tahun 2013 Angka
Pertambahan Penduduk
n (jiwa) % n (jiwa) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Laweyan 97.056 17,79 101.324 17,98 4,30
Serengan 52.998 9,71 54.334 9,64 2,49
Pasar Kliwon 83.353 15,28 85.609 15,19 2,67
Jebres 139.101 25,49 143.995 25,55 3,46
Banjarsari 173.145 31,73 178.397 31,65 2,99
Total 545.653 100 563.659 100,00 3,25
Sumber :Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, Tahun 2013, diolah
Angka pertumbuhan penduduk Kota Surakarta termasuk tinggi. Angka
pertumbuhan penduduk ini dihitung berdasarkan data hasil SIAK (Sistem
Informasi Administrasi dan Kependudukan). Apabila pertumbuhan penduduk
tidak terkendali, maka implikasi dari hal tersebut adalah munculnya berbagai
masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pertumbuhan daerah kumuh,
kriminalitas dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa pertambahan penduduk
Kota Surakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk
Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 yang hanya 0,37 persen per tahun dan secara
nasional yaitu sebesar 1,49 persen (BPS)3.
Jika dilihat menurut kecamatan, pertambahan penduduk tertinggi di
Kecamatan Laweyan yaitu 4,30 persen, diikuti Kecamatan Jebres yaitu 3,46
persen, Kecamatan Banjarsari 2,99 persen, dan Kecamatan Pasarkliwon 2,67
persen. Sedangkan Kecamatan Serengan angka pertambahan penduduknya
3 Sumber : http://dispendukcapil.surakarta.go.id/20XIV/index.php
6
paling kecil yaitu 2,49 persen. Pertumbuhan penduduk Kota Surakarta yang tinggi
itu diduga bukan disebabkan tingkat kelahiran yang cukup tinggi saja, tapi juga
disebabkan faktor migrasi masuk. Dengan adanya program e-KTP, penduduk
perbatasan yang tercatat tidak domisili memilih untuk mejadi penduduk Kota
Surakarta karena adanya fasilitas sosial dari Pemerintah Kota Surakarta seperti
jaminan kesehatan (Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta/PKMS) dan
bantuan pendidikan (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta/BPMKS).
Kota Surakarta dilewati oleh Sungai Bengawan Solo dan beberapa anak
sungai yang melintasi Kota Surakarta dapat menjadi potensi fungsi drainase utama
Kota Surakarta. Namun, dengan semakin berkembangnya kota telah menyebabkan
fungsi sungai telah mengalami perubahan yaitu munculnya permukiman kumuh
pada bantaran sungai. Kondisi ini lambat laun akan mengganggu fungsi sungai
sebagai area resapan. Salah satu anak sungai yang melintasi Kota Surakarta adalah
Kali Pepe. Aliran Kali Pepe sepanjang kurang lebih 5 kilometer, diantaranya
melewati Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari,
Surakarta. Kondisi Kali Pepe masih terkesan kumuh, lantaran banyak sampah
yang mengapung. Kendala lain, banyak warga Kelurahan Setabelan dan Keprabon
yang sudah menempati sempadan sungai sejak puluhan tahun lamanya. Tak
sedikit yang berjualan dan lainnya hingga mengakibatkan pendangkalan sungai,
sedimentasi, pencemaran limbah dari rumah tangga dan home industry. Kondisi
ini mencemari keindahan Kali Pepe yang dulunya asri, cantik bahkan pernah
menjadi jalur perdagangan vital di Pasar Gede, kini itu hanya menjadi cerita lama
yang indah, karena keindahan itu kini lambat laun berubah menjadi aliran sampah
7
yang menyeramkan. Melihat kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut akhir-
akhir ini semakin digalakkan tindakan nyata untuk mengembalikan Kali Pepe
seperti sediakala.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penataan
Ruang dalam Pasal 5 ayat 2 disebutkan penataan ruang berdasar fungsi utama
kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam hal
ini, bantaran sungai termasuk dalam kawasan lindung. Perencanaan tata ruang
kota pemukiman kumuh di bantaran Sungai Kali Pepe diatur dalam: 1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Ruang; 2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman; 3) Inpres Nomor 5 Tahun 1990
tentang Pedoman Pelaksanaan Peremajaan Pemukiman Kumuh di atas Tanah
Negara; 4) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang
Garis Sempadan Sungai; 5) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 35
Tahun 1995 tentang Program Kali Bersih; dan (6) Peraturan Daerah Kota
Surakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Surakarta Tahun 2011-2031.
Kemiskinan seringkali dianggap sebagai salah satu penyebab
kemerosotan lingkungan dan berdampak negatif pada pembangunan. Kelurahan
Keprabon mempunyai angka kemiskinan sebesar 19% dan Kelurahan Setabelan
sebesar 22% yang lebih besar dari angka kemiskinan rata-rata kecamatan yang
sebesar 16%4. Kemerosotan daya dukung lingkungan seringkali dipicu oleh
muncul dan berkembangnya permukiman kumuh yang tidak sehat. Permukiman
4 Sumber : http://solokotakita.org/kelurahan/
8
kawasan di bantaran sungai merupakan permukiman padat yang menempati lahan
di tepi sungai sehingga seringkali terjadi pengotoran sungai, yang pada akhirnya
dapat menimbulkan banjir. Disamping itu permukiman kawasan di bantaran
sungai menempati batas lahan yang semestinya tidak boleh didirikan bangunan.
Disisi lain, penghuni yang termasuk kategori miskin yang sering disebut
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) telah berpuluh tahun menempati lokasi
tersebut. Hal ini merupakan indikasi bahwa kegiatan hidup dari penghuni telah
berjalan dengan baik. Hanya lokasinya saja yang perlu dibenahi. Atas dasar
kondisi tersebut dicoba untuk menata ulang permukiman di bantaran sungai,
sehingga tidak lagi menyalahi aturan dan kondisi yang ada diharapkan tidak
menjadi kumuh lagi.
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam definisi UU. No 1
tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah adalah
masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat
dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Kalimat ini secara tersurat
menunjukkan bahwa rumah yang ditawarkan di pasar perumahan formal tidak
dapat dijangkau oleh mereka sehingga mereka harus memenuhi kebutuhan
rumahnya secara swadaya (self-help) atau melalui pasar perumahan informal.
Penataan permukiman kumuh di bantaran sungai Kali Pepe diperlukan
dalam upaya mewujudkan peningkatan tingkat kesehatan dan kesejahteraan serta
rumah yang layak huni. Permukiman kumuh di sepanjang bantaran sungai Kali
Pepe mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan pada kawasan daerah aliran
sungai dan kesemrawutan tata ruang. Kondisi demikian diperlukan kebijakan dan
9
program untuk mengatasi permasalahan permukiman kumuh di Kota Surakarta
tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, tidak bisa dilimpahkan hanya
kepada pemerintah daerah atau diurus oleh masyarakat yang tinggal di
permukiman kumuh itu sendiri. Diperlukan kerjasama/kolaborasi antar
stakeholder untuk mengatasi permasalahan yang sangat kompleks ini. Dikatakan
kompleks dikarenakan permasalahan permukiman kumuh ini memerlukan solusi
yang komprehensif, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan
penanganannya nanti setelah masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh
menempati tempat tinggal yang baru hasil dari penataan permukiman kumuh di
bantaran sungai/Kali Pepe.
Salah satu prinsip penting governance adalah membangun jejaring
kemitraan/kolaboratif (networking) yang sinergis antara pemerintah, pelaku usaha,
dan masyarakat. Pendekatan kolaboratif dalam penyediaan perumahan bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), khususnya yang tinggal di
permukiman bantaran sungai, memberi hasil yang lebih dapat menjamin atau
membuka akses bagi kaum marjinal kepada sumber-sumber daya kunci
pembangunan perumahan yang dibutuhkan. Salah satu faktor penting dari
penerapan pendekatan kolaboratif di dalam mendorong keberpihakan bagi kaum
marjinal adalah partisipasi publik untuk mengelola sumber daya kunci
pembangunan secara transparan dan akuntabel. Pendekatan kolaboratif lebih
sensitif pada keadaan masyarakat berpenghasilan rendah yang selama ini
termarjinalkan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tipologi rumah tinggal yang
10
dibangun sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat calon pengguna (end user)
pada waktu tertentu5.
Visi Pemkot Surakarta “Waras, Wasis, Wareg, Mapan, Papan” (Sehat
Jasmani dan Rohani, Pandai, Kenyang dalam Berbagai Hal, Mapan/Stabil
Berperilaku Baik, Hunian/Tempat Tinggal yang Layak) atau yang sering disingkat
dengan 3WMP diimplementasikan dengan cara yang sangat khas sesuai
kebiasaan, budaya dan tata susila masyarakat Kota Surakarta yang masih
memegang teguh adat serta kebudayaannya. Semua program dan kegiatan tersebut
selain didasarkan atas peraturan yang dibuat selaras, juga selalu mengajak
masyarakat untuk bersama-sama didalam perencanaan, pembangunan dan
pemeliharaan. Program penataan permukiman kumuh bantaran sungai Kali Pepe
pun dilakukan dengan proses yang mempersuasi berbagai pihak sehingga dicapai
kesepakatan yang melegakan. Kondisi tersebut tidak lepas dari figur pimpinan
baik pimpinan tertinggi, para birokrat, organisasi kemasyarakatan dan NGO/LSM,
serta tokoh masyarakat yang dekat dengan warga.
Tujuan penataan ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan
dan penghidupan, harkat, derajat, dan martabat masyarakat penghuni permukiman
kumuh terutama golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah melalui
fasilitasi penyediaan perumahan layak dan terjangkau dalam lingkungan
permukiman yang sehat dan teratur; serta mewujudkan kawasan permukiman
yang ditata secara lebih baik sesuai dengan peruntukan dan fungsi sebagaimana
ditetapkan dalam rencana tata ruang kota. Disamping itu melalui kebijakan ini
5 Asnawi Manaf. 2013. Pendekatan Kolaboratif Dalam Pembangunan Formal Bagi Masyarakat
Marjinal: Sebuah Renungan Bagi Program KPR-FLPP. Disampaikan dalam Seminar Nasional
Dalam Rangka Hari Habitat Dunia 2013. Oktober 2013. Jakarta.
11
diharapkan mampu mondorong penggunaan dan pemanfaatan lahan yang efisien
melalui penerapan tata lingkungan permukiman sehingga memudahkan upaya
penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang diperlukan serta
dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial antar kawasan permukiman di
daerah perkotaan.
Peran pemerintah dalam pembangunan harus mulai dikurangi.
Pemerintah berperan sebatas pada dimensi regulasi, fasilitasi, dan mediasi.
Sedangkan peran-peran lain sebaiknya lebih banyak dimainkan oleh pelaku usaha
(pasar, privat sector) dan masyarakat (civil society). Pelayanan publik, didalam
praktik penyelenggaraannya seyogyanya dilakukan oleh pemerintah, pelaku usaha
(pasar, privat sector) dan masyarakat (civil society) itu sendiri. Dalam konteks
inilah, regulasi dalam arti pembuatan aturan main (rule of the game) baik berupa
Perda maupun Perwali yang bersifat pro publik, pro poor, pro lingkungan dan
partisipatif perlu diwujudkan dalam pemerintahan. Untuk hal itu, perlu dibuka
seluas-luasnya ruang publik (public sphere) untuk membicarakan berbagai
rencana regulasi yang menyangkut kepentingan publik. Dan untuk
mewujudkannya diperlukan sinergitas (working together, atas dasar kecintaan
sepenuh hati dan pemahaman yang sama dan tepat terhadap visi yang ingin
diwujudkan) antara elit dan massa.
12
Tabel 1.4
Persebaran Permukiman Kota Surakarta Tahun 2011
No Kecamatan Jumlah Rumah
di Bantaran Sungai
1. Banjarsari 722
2. Jebres 513
3. Laweyan 124
4. Pasar Kliwon 397
5. Serengan -
JUMLAH 1.756
Sumber : Surakarta Dalam Angka 2011, BPS
Tabel 1.5
Persebaran Konstruksi Rumah Permukiman Kota Surakarta Tahun 2011
Kecamatan Konstruksi Rumah
Jumlah Permanen Bukan Permanen
Banjarsari 27.302 5.981 33.193
Jebres 24.638 2.182 26.820
Laweyan 24.851 191 25.042
Pasar Kliwon 17.679 1.783 19.462
Serengan 6.814 1.220 8.034
JUMLAH 101.284 11.357 112.551
Sumber : Surakarta Dalam Angka 2011, BPS (RTRW Kota Surakarta, 2011-2031)
Permasalahan permukiman Kota Surakarta 6:
a. Masih tingginya angka kemiskinan dan penduduk yang tinggal pada rumah
tidak layak huni. Berdasarkan data pada tahun 2012 terdapat sebanyak 14.217
rumah tidak layak huni di Kota Surakarta.
6 Disampaikan dalam Seminar Pembangunan dan Pengembangan Perumahan Kawasan
Permukiman Kota Surakarta oleh Bappeda Kota Surakarta, tanggal 16 Juli 2014.
13
Tabel 1.6
Jumlah Rumah dan RTLH Kota Surakarta Tahun 2012
KECAMATAN JUMLAH RUMAH
TAHUN 2012 (UNIT)
JUMLAH RTLH TAHUN
2012 (UNIT)
BANJARSARI 34.981 2.449
JEBRES 29.248 3.241
LAWEYAN 18.611 1.591
PASAR KLIWON 16.139 2.742
SERENGAN 9.862 4.194
TOTAL 108.841 14.217
Sumber : Solokotakita, 2013, hasil Workshop RP3KP 2013.
b. Kawasan permukiman dengan kepadatan penduduk tinggi, dengan
keterbatasan sarana prasarana pendukung.
c. Tumbuhnya kawasan permukiman ilegal (squatter) yang cenderung kumuh,
terutama di kawasan bantaran sungai maupun pada tanah milik negara.
d. Kepadatan bangunan yang tinggi menyebabkan kurangnya ruang terbuka
hijau.
Dalam Seminar Pembangunan dan Pengembangan Perumahan Kawasan
Permukiman Kota Surakarta oleh Bappeda Kota Surakarta, tanggal 16 Juli
2014 juga disampaikan tentang analisis kekurangan rumah (backlog) Kota
Surakarta sebanyak 22.398 unit dengan rincian : Kecamatan Banjarsari
sebanyak 5.241 unit, Kecamatan Jebres sebanyak 3.741 unit, Kecamatan
Laweyan sebanyak 5.015 unit, Kecamatan Pasar Kliwon sebanyak 3.898 unit
dan Kecamatan Serengan sebanyak 4.503 unit. Jumlah backlog ini akan
berdampak pada jumlah kebutuhan rumah dan luasan lahan yang dibutuhkan,
sementara ketersediaan lahan di Kota Surakarta sangat terbatas. Perlu
diperhatikan juga untuk menjaga ruang terbuka hijau tetap dipertahankan demi
kelestarian lingkungan permukiman Kota Surakarta.
14
Salah satu sasaran pengembangan perumahan dan penataan permukiman
kumuh di Kota Surakarta adalah permukiman kumuh di sepanjang bantaran
Kali Pepe. Berbagai permasalahan yang sudah disebutkan diatas menjadi
alasan pentingnya penataan permukiman kumuh di bantaran Kali Pepe
tersebut.
Implementasi kebijakan penataan permukiman kumuh yang
dilaksanakan oleh Pemkot Solo dinilai berhasil oleh pemerintah pusat,
sehingga Pemkot Solo berhak menerima penghargaan dalam Inovasi
Manajemen Perkotaan (IMP) tahun 2014. Pemkot Solo mendapatkan tiga
penghargaan sekaligus yakni juara I pemanfaatan ruang, juara II penataan
pasar tradisional, dan juara III penataan kawasan kumuh.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Alasan pemilihan Kampung Pringgading RT 3 RW 7 Kelurahan
Setabelan dan Kampung Kusumodiningratan RT 6 RW 5 Kelurahan Keprabon
menjadi lokasi studi kasus penataan permukiman kumuh di bantaran sungai Kali
Pepe tidak lepas dari perbedaan latar belakang yang mendasari pelaksanaan
penataan permukiman dan juga perbedaan dalam proses
pelaksanaan/implementasi program penataan permukiman kumuh di kedua lokasi
tersebut. Kedua daerah tersebut juga diharapkan menjadi pilot project bagi
penataan di sepanjang bantaran Kali Pepe selanjutnya yang melintasi beberapa
Kelurahan lainnya. Apabila implementasi penataan kawasan permukiman kumuh
di kedua Kelurahan ini berjalan dengan baik, diharapkan Kelurahan lain yang
15
akan menjadi sasaran penataan selanjutnya dapat berjalan lebih lancar dalam
implementasinya.
Penataan permukiman di bantaran Kali Pepe di Kampung Pringgading
RT 3 RW 7 Kelurahan Setabelan dilatarbelakangi oleh status tanah yang ditempati
oleh masyarakat yang semula adalah hak milik Mangkunegaran yang pada
perjalanannya akhirnya menjadi hak atas tanah bagi masyarakat yang telah
menghuni selama puluhan tahun yang ditindaklanjuti dengan penataan
permukiman kumuh menjadi permukiman yang layak huni dan lebih sehat.
Penataan permukiman di bantaran Kali Pepe di Kampung
Kusumodiningratan RT 6 RW 5 Kelurahan Keprabon dilakukan lebih dikarenakan
keinginan Pemkot Surakarta untuk menata dan menjadikan kawasan permukiman
yang ditempati oleh masyarakat penghuni permukiman kumuh di Kampung
Keprabon menjadi permukiman yang layak huni dan lebih sehat tanpa harus
merelokasi tempat tinggal mereka ke tempat yang baru dan memfasilitasi
pekerjaan mereka dengan membuatkan ruang untuk usaha yang juga dilengkapi
ruang pertemuan warga, ruang inventaris warga dan ruang terbuka hijau untuk
publik.
Dalam mengimplementasikan kebijakan penataan tersebut, sangat
diperlukan kehati-hatian dalam setiap tindakan dan tahapan proses yang dilakukan
oleh Pemkot Solo. Karakteristik masyarakat di bantaran sungai yang sangat
sensitif terhadap setiap kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan dan
kelangsungan kehidupan mereka, sangat menjadi perhatian Pemkot Solo dalam
melaksanakan setiap tahapan implementasi kebijakan tersebut. Bagaimana
16
implementasi kebijakan penataan permukiman kumuh dilaksanakan tanpa
mengakibatkan gejolak dan masalah serta perlawanan dari masyarakat sasaran
penerima dampak kebijakan dan seperti apakah proses dan tahapan implementasi
kebijakan penataan serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi
kebijakan tersebut sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah dan melalui analisis
yang lebih rinci.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan rumusan masalah pokok :
Bagaimana kinerja implementasi kebijakan penataan permukiman kumuh
di bantaran sungai Kali Pepe dalam rangka mengentaskan kawasan kumuh
di Kota Surakarta dilakukan tanpa ada gejolak? (Studi Kasus di Kelurahan
Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta).
Rumusan masalah pokok tersebut akan dijawab melalui pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi program penataan permukiman kumuh di bantaran
sungai Kali Pepe di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan
Banjarsari Kota Surakarta?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh dalam implementasi program
penataan permukiman kumuh di bantaran sungai Kali Pepe di Kelurahan
Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta?
17
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengidentifikasi implementasi program penataan permukiman kumuh di
bantaran sungai Kali Pepe di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon
Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam program penataan
permukiman kumuh di bantaran sungai Kali Pepe di Kelurahan Setabelan dan
Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.
3. Menjadikan lesson learned praktek implementasi kebijakan penataan
permukiman kumuh di bantaran sungai.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi berbagai pihak yang
terkait dan memiliki minat terhadap kajian tentang inovasi, partisipasi dan good
governance dalam sebuah kebijakan dan program pemerintahan dalam
pembangunan permukiman masyarakat di bantaran sungai dalam konteks
governance dan sinergi antar aktor pembangunan, lebih khususnya kepada :
1. Akademis, sebagai bahan masukan yang bermanfaat untuk mengembangkan
ilmu administrasi publik, terutama yang terkait dengan kajian mengenai
konsep governance dengan mensinergikan peran antara pemerintah, swasta
dan masyarakat dalam proses pencapaian kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan kepentingan publik.
18
2. Pemerintah, penelitian ini bisa menjadi dokumen ilmiah tertulis yang bisa
digunakan sebagai salah satu dokumentasi program pembangunan
permukiman di bantaran sungai dan memberikan masukan dalam
pelaksanaan kebijakan yang mensinergikan antar aktor dan juga sebagai
lesson learned praktek implementasi kebijakan penataan permukiman kumuh
di bantaran sungai;
3. Masyarakat, memberikan gambaran umum tentang sebuah kebijakan dan
program pembangunan yang lebih memberikan porsi kepada masyarakat
sebagai pelaku utama dalam pelaksanaannya, tidak lagi hanya sebagi objek
atau kelompok sasaran dari sebuah kebijakan dan program pembangunan;
4. Swasta, organisasi masyarakat/komunitas, lembaga swadaya masyarakat;
memberikan gambaran umum dan contoh tindakan serta kegiatan yang bisa
mereka lakukan dalam membantu pelaksanaan kebijakan pemerintah dan
menjadi bagian dalam sinergisitas antar aktor dalam pembangunan.
19
1.5. PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian terdahulu mengenai implementasi kebijakan permukiman
kumuh di Indonesia secara khusus antara lain sebagaimana tercantum dalam tabel
1.7 di bawah ini :
Tabel 1.7
Penelitian Terdahulu
Peneliti
(Tahun) Bentuk Judul Penelitian Hasil Penelitian
Suryadi
Lambali
(1997)
Tugas
Akhir
Implementasi Kebijakan
Permukiman Kumuh di
Kotamadya Dati II
Ujung Pandang
a. Implementasi kebijakan
dilaksanakan oleh masing-masing
instansi yang ada di Kotamadya
Dati II Ujung Pandang;
b. Pengaruh implementasi kebijakan
permukiman kumuh di Kotamadya
Dati II Ujung Pandang
dipengaruhi oleh faktor
komunikasi, sumber daya,
disposisi dan struktur birokrasi;
c. Faktor utama yang mempengaruhi
implementasi kebijakan
permukiman kumuh di Kotamadya
Dati II Ujung Pandang, yaitu :
Faktor yang muncul dan
dimiliki masyarakat itu sendiri
seperti faktor budaya, sosial
dan ekonomi dan faktor
pendidikan
Faktor yang datang dari
pemerintah dalam hal ini
adalah struktur birokrasi.
Zaini Musthofa
(2011)
Tugas
Akhir
Evaluasi Pelaksanaan
Program Relokasi
Permukiman Kumuh
(Studi Kasus : Program
Relokasi Permukiman di
Kelurahan Puacangsawit
Kecamatan Jebres Kota
Surakarta)
- Relokasi yang dilakukan di
Kelurahan Pucangsawit sudah sangat
berhasil dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan.
- Relokasi juga berhasil dalam
memberikan perubahan fisik
permukiman yang lebih baik.
- Pada aspek ekonomi, relokasi
menimbulkan dampak yang buruk
terhadap kondisi ekonomi
masyarakat dan tidak berhasil dalam
meningkatkan ekonomi masyarakat.
- Pada aspek sosial, relokasi dinilai
berhasil dalam mempertahankan
kondisi sosial dan cenderung
mengalami peningkatan.
20
Yudha P.
Heston dan
Ahmad Yusuf
(2013)
Jurnal Penguatan Kemampuan
Sosial pada Penataan
Kawasan Kumuh
Perkotaan (Studi Kasus
Kelurahan Cigugur
Tengah Cimahi)
Keberhasilan penguatan sosial pada
penataan daerah kumuh perkotaan
sangat bergantung pada peningkatan
kapasitas governansi pemerintah dan
komunitas masyarakat.
Natalia Riza
Putri Ayodiya
(2013)
Jurnal Model Kebijakan
Permukiman Kampung
Code Utara di Tepi
Sungai Code
- Keberadaan Kampung Code Utara
yang berada di tepi Sungai Code
sangat menguntungkan sekaligus
merugikan yaitu di satu sisi
masyarakat dapat memenuhi
kebutuhan air baku dan
mendapatkan lokasi permukiman
yang strategis, tapi di sisi lain
ekologis sungai terancam
kualitasnya terus memburuk dan
masyarakat beresiko terkena
bencana banjir yang dapat datang
sewaktu-waktu.
- Dengan mempertimbangkan kondisi
permukiman dan kelembagaan yang
ada, maka kebijakan permukiman
Kampung Code Utara yang perlu
diambil adalah dengan permukiman
kembali (relokasi) yang dilakukan
dengan penyediaan lahan dan
pembangunan rusun.
- Relokasi dapat dilakukan di wilayah
perkotaan sesuai preferensi
bermukim masyarakat Kampung
Code Utara. Masyarakat Kampung
Code Utara harus dibina secara
sosial, ekonomi dan budaya agar
masyarakat berdaya di lokasi
permukiman baru.
Imam Wahyudi
dan Asnawi
Manaf
(2013)
Jurnal Kemitraan Pemerintah
Daerah dengan
Masyarakat dalam
Kegiatan Penataan
Lingkungan
Permukiman Berbasis
Masyarakat di Jawa
Tengah
- Kemitraan antara Pemerintah Daerah
dengan masyarakat dapat dilihat
pada tahap perencanaan partisipatif,
dialog komunikasi yang dilakukan,
tinjauan perencanaan dan kebijakan
di skala kota, dan kegiatan
channeling pada tahap
pembangunan.
- Dalam pelaksanaannya,
keberpihakan Pemerintah Daerah
menjadi kunci sukses dari kegiatan
penataan lingkungan berbasis
masyarakat ini.
- Intervensi kegiatan telah mampu
menata lingkungan permukiman
yang kumuh menjadi lingkungan
yang tertata dan juga merubah
perilaku masyarakat untuk hidup
bersih. Intervensi kegiatan penataan
ini dapat terbentuk didasari oleh
21
adanya kemitraan yang terjalin
antara Pemerintah Daerah dan
masyarakat.
Aya Ismaya
(2014)
Thesis Implementasi Program
Penataan Bantaran
Sungai di Kawasan
Jalan Brigjen Katamso
Kabupaten Sintang
- Ada beberapa variabel yang
mempengaruhi proses implementasi
penataan bantaran sungai di kawasan
jalan Brigjen Katamso, diantaranya
adalah kondisi sumber daya yang
kurang berkualitas, karakteristik
agen pelaksana yang belum
menonjol, kurangnya
sikap/kecenderungan (disposition)
para pelaksana serta belum adanya
komunikasi antar organisasi dan
aktivitas pelaksana yang baik serta
kondisi lingkungan fisik, sosial dan
ekonomi kawasan bantaran sungai di
jalan Brigjen Katamso.
- Variabel lain yang mempengaruhi
proses implementasi seperti kondisi
tim kerja, koordinasi dan interaksi
para pelaksana, keterlibatan pihak
swasta, komitmen pemerintah dan
juga kesadaran masyarakat akan
pentingnya penataan ruang.
- Pemerintah Kabupaten Sintang
terutama Dinas Pekerjaan Umum
perlu meningkatkan sumber daya
terutama sumber daya manusia dan
harus mempunyai komitmen dalam
menyelesaikan masalah penataan
ruang.
Zaini Musthofa
(2011)
Tugas
Akhir
Evaluasi Pelaksanaan
Program Relokasi
Permukiman Kumuh
(Studi Kasus : Program
Relokasi Permukiman di
Kelurahan Puacangsawit
Kecamatan Jebres Kota
Surakarta)
- Relokasi yang dilakukan di
Kelurahan Pucangsawit sudah sangat
berhasil dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan.
- Relokasi juga berhasil dalam
memberikan perubahan fisik
permukiman yang lebih baik.
- Pada aspek ekonomi, relokasi
menimbulkan dampak yang buruk
terhadap kondisi ekonomi
masyarakat dan tidak berhasil dalam
meningkatkan ekonomi masyarakat.
- Pada aspek sosial, relokasi dinilai
berhasil dalam mempertahankan
kondisi sosial dan cenderung
mengalami peningkatan.