BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107503/potongan/S1-2017... · diperoleh dari...
Transcript of BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107503/potongan/S1-2017... · diperoleh dari...
18
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Perkembangan teknologi penentuan posisi dengan survei Global Navigation
Satellite System (GNSS) mengalami kemajuan yang sangat pesat. Teknologi GNSS
merupakan pengembangan teknologi dari GPS. Beberapa satelit yang mengorbit untuk
menentukan posisi tergabung menjadi satu kesatuan sistem (GPS, GLONASS,
GALLILEO, COMPASS, QZSS, dsb). Perkembangan teknologi GNSS sebanding
dengan kebutuhan dan ketersediaan data spasial yang tinggi. Oleh sebab itu, teknologi
GNSS mampu diaplikasikan dalam berbagai bidang pekerjaan, khususnya bidang
survei dan pemetaan.
Metode penentuan posisi dengan survei GNSS terdapat dua metode yaitu
diferensial dan absolut. Metode penentuan posisi dengan survei GNSS secara
diferensial dapat menggunakan metode Real Time Kinematik (RTK). Penentuan posisi
pada suatu titik (rover) ditentukan relatif terhadap titik lainnya. Titik tersebut yang
telah diketahui koordinatnya dan dilakukan pengurangan data yang diamati oleh dua
receiver GNSS pada waktu yang sama. Hal tersebut bertujuan untuk mereduksi dan
menghilangkan beberapa jenis kesalahan dan bias data GPS. Sedangkan metode
penentuan posisi dengan survei GPS secara absolut yaitu metode penentuan posisi
dengan hanya menggunakan satu buah receiver GPS/GNSS. Namun metode ini hanya
memberikan ketelitian dengan kisaran 3 s.d 10 m tanpa melalui post-processing.
Perkembangan teknologi terbaru survei GNSS saat ini di Indonesia yaitu
metode yang dikenal Precise Point Positioning (PPP). PPP merupakan sistem yang
mampu meningkatkan ketelitian GNSS dengan hanya menggunakan satu receiver
GNSS yang didasarkan pada metode penentuan posisi secara absolut. PPP kemudian
berkembang menjadi Real Time Precise Point Positioning (RT-PPP) dimana
penentuan posisi secara akurat dapat dengan praktis dilakukan secara real-time
diterima oleh pengguna di lapangan. Teknik pengoreksian RT-PPP yaitu cara
pengoreksian sinyal satelit navigasi yang masih mengandung kesalahan orbit, jam
satelit dan bias menggunakan pemodelan dan algoritma tertentu. Salah satu media
19
komunikasi yang digunakan untuk mengirim data koreksi secara real-time melalui
sinyal satelit L-Band.
Aplikasi survei GNSS dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang pekerjaan
antara lain yaitu survei pemetaan, navigasi, studi pengamatan ionosfer, militer dan
sebagainya. Salah satu aplikasi survei GNSS untuk survei pemetaan yaitu pekerjaan
pemetaan topografi. Metode RT-PPP merupakan metode alternatif untuk kegiatan
tersebut karena hanya membutuhkan satu receiver untuk mendapatkan koordinat
dengan presisi yang tinggi tanpa harus melakukan post-processing. Dengan demikian
kegiatan pemetaan situasi dapat dilakukan secara efisien, ekonomis dan memiliki
kualitas data yang relatif baik.
Pembangunan Edu wisata di Desa Sirnajaya dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek lokasi dan pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian dan
perkebunan. Berdasar lokasi perencanaan Edu wisata yang topografinya bervariasi,
pembuatan peta lokasi perencanaan menggunakan metode RT-PPP menjadi salah satu
solusi yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Metode RT-PPP dilakukan dengan
mempertimbangkan tingkat efisiensi tenaga, biaya serta kondisi di lapangan.
Pengukuran detil menghasilkan data yang menjadi masukan untuk pembuatan
peta situasi. Pengukuran detil dengan metode RT-PPP menghasilkan posisi dari setiap
detil yang ada di kawasan perencanaan pembangunan Edu wisata dalam bentuk point.
Penggambaran detil dan garis kontur di kawasan Edu wisata diperlukan agar hasil
pengukuran dalam bentuk point tersebut dapat merepresentasikan detil dan keadaan
topografinya. Penggambaran detil dan kontur di kawasan Edu wisata dilakukan dengan
software.
Kegiatan aplikatif ini menghasilkan informasi kemampuan metode RT-PPP
untuk akuisisi data detil di kawasan perencanaan pembangunan Edu wisata dan peta
situasi kawasan perencanaan pembangunan Edu wisata skala 1 : 1000. Peta situasi
tersebut menggambarkan keadaan terkini dari kawasan perencanaan pembangunan
Edu wisata disertai dengan posisi setiap detil dan kontur yang merepresentasikan
topografi kawasannya.
Kawasan tersebut memiliki area yang relatif luas topografinya sehingga
membutuhkan metode survei pemetaan alternatif untuk mendapatkan data spasial
(topografi) secara efisien dan efektif. Oleh sebab itu, kegiatan aplikatif ini diharapkan
20
dapat memenuhi kebutuhan data spasial tersebut yang dibutuhkan pada tahap
perencanaan pembangunan Edu wisata. Penggunaan metode yang efektif untuk
pekerjaan pemetaan dapat digunakan untuk menekan biaya anggaran peralatan yang
diajukan oleh konsultan pemetaan.
I.2. Lingkup Kegiatan
Agar tidak menyimpang dari permasalahan dan dapat mencapai sasaran yang
diharapkan, maka lingkup kegiatan pada skripsi ini sebagai berikut:
1. Lokasi kegiatan aplikatif ini berada di Desa Sirnajaya, Kecamatan
Sukamakmur, Bogor, Jawa Barat.
2. Lokasi kegiatan yang digunakan dalam kegiatan aplikatif adalah kawasan
kawasan pembangunan Edu Wisata seluas 16 Ha dari luas area seluruhnya
116,029 ha.
3. Sistem koordinat horizontal yang dipakai adalah Universal Transvers
Mercator (UTM) zona 48S dengan elipsoid referensi WGS 1984.
4. Sistem tinggi yang digunakan dalam pengukuran ini berdasarkan EGM2008.
5. Pengamatan dilakukan menggunakan receiver GNSS Navcom SF-3040
dengan layanan koreksi sinyal satelit Starfire.
6. Proses uji ketelitian horizontal peta dilakukan dengan membandingkan data
ukuran segmen jarak di lapangan menggunakan pita ukur dengan data segmen
jarak di peta yang sudah dikalikan dengan angka skala peta dan
membandingkan koordinat titik uji data hasil plot di peta dengan data
pengukuran di lapangan menggunakan Total Station.
7. Proses uji ketelitian vertikal peta dilakukan dengan membandingkan data
tinggi hasil ukuran di lapangan dengan data tinggi di peta. Data tinggi di peta
diperoleh dari proses interpolasi yang dibandingkan dengan hasil ukuran titik
tinggi di lapangan menggunakan Total Station dengan acuan sistem tinggi yang
sama.
8. Toleransi untuk uji ketelitian horizontal yang digunakan adalah 30 cm yang
diperoleh dari rumus 0,3 mm dikali angka skala peta. Toleransi untuk uji
ketelitian vertikal yang digunakan adalah 25 cm yang diperoleh dari 0,5 dikali
nilai interval kontur. Toleransi uji ketelitian horizontal dan vertikal didasarkan
21
pada ketentuan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 15 tahun
2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar.
9. Lokasi kegiatan aplikatif ini memiliki topografi yang bervariasi.
I.3. Tujuan
Kegiatan aplikatif ini bertujuan untuk menghasilkan peta situasi yang dapat
digunakan untuk perencanaan pembangunan Edu wisata di Desa Sirnajaya dengan
survei GNSS metode RT-PPP dengan skala 1:1000.
I.4. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari kegiatan aplikatif ini sebagai berikut:
1. Dapat menyelesaikan pemetaan situasi dengan survei GNSS metode RT-PPP
sebagai solusi alternatif untuk mendapatkan data detil situasi dan topografi.
2. Dapat menyajikan peta situasi skala 1:1000 di kawasan perencanaan pembangunan
Edu wisata Sirnajaya.
I.5. Landasan Teori
I.5.1. Pemetaan Situasi
Pemetaan situasi merupakan pemetaan dari suatu lokasi/daerah mencakup
penyajian dalam bentuk horizontal dan vertikal dalam suatu gambaran. Peta situasi
merupakan peta yang merepresentasikan kondisi permukaan bumi yang sebenarnya
dengan skala tertentu, termasuk bentukan-bentukan alamiah maupun buatan (Davis,
1981). Pengukuran dilakukan terhadap semua benda/titik-titik benda, baik yang berupa
unsur buatan manusia maupun unsur alam. Kondisi permukaan bumi pada peta situasi
direpresentasikan dengan menggunakan garis-garis kontur. Pengukuran horizontal dan
vertikal serta detil disebut juga pengukuran situasi. Jumlah detil unsur situasi yang
diukur harus betul-betul representatif, oleh sebab itu kerapatan letak detail harus selalu
dipertimbangkan terhadap bentuk unsur situasi serta skala dari peta yang dibuat.
22
Informasi yang diberikan pada peta situasi (Anonim, 2013) :
1. Kontur permukaan bumi,
2. Detil permukaan bumi,
3. Informasi peta (no. peta, judul peta, skala peta, koreksi peta, legenda,
proyeksi peta dan satuan kedalaman laut serta informasi kelengkapan peta
lainya),
4. Skala peta perbandingan satu satuan panjang di peta terhadap panjang
sebenarnya.
Tingkat kerapatan detil pada peta situasi bergantung pada skala dari peta yang
ditentukan. Penentuan skala peta didasarkan pada tujuan dari peta yang dibuat. Skala
peta adalah perbandingan antara jarak di peta dengan jarak sesungguhnya di lapangan
(Sariyono, 2010). Skala peta 1 : 1000, berarti 1 cm jarak di peta sebanding dengan
1000 cm atau 10 m di lapangan. Peta situasi dengan skala peta 1 : 1000, memiliki
spesifikasi peta sebagai berikut (Basuki, 2006):
1. Satu sentimeter jarak di peta sebanding dengan 10 m di lapangan atau 1 mm
jarak di peta sebanding dengan 1 m di lapangan.
2. Dimensi dari detil planimetrik yang diukur di lapangan lebih dari 1 m.
3. Interval kontur 50 cm.
4. Toleransi ketelitian horizontal peta 30 cm.
5. Toleransi ketelitian vertikal peta 25 cm.
Garis kontur adalah garis khayal di lapangan yang menghubungkan titik
dengan ketinggian yang sama garis kontur dapat diartikan juga sebagai garis kontinyu
di atas peta yang memperlihatkan titik-titik dengan ketinggian yang sama. Garis kontur
disajikan pada peta untuk memperlihatkan naik turunnya keadaan permukaan tanah.
Kegunaan yang lain dari garis kontur adalah untuk memberikan informasi slope
(kemiringan tanah), irisan profil memanjang atau melintang permukaan tanah, dan
perhitungan galian serta timbunan. Interval kontur adalah selisih tinggi atau jarak
vertikal antara dua buah garis kontur yang berurutan. Besarnya interval kontur secara
umum dinyatakan dengan rumus 1/2000 x angka penyebut skala (dalam meter).
Garis kontur mempunyai beberapa sifat yaitu (Basuki, 2006):
a. Tidak berpotongan,
b. Tidak bercabang,
23
c. Tidak bersilangan,
d. Semakin jarang menunjukkan daerah yang semakin datar,
e. Semakin rapat menunjukkan daerah yang semakin curam,
f. Tidak berhenti di dalam peta.
1.5.1.1 Jaring Kontrol Horizontal (JKH). Jaring kontrol horizontal adalah metode
penentuan jaring kontrol horizontal dengan teknologi GNSS merupakan penentuan
posisi titik-titik kontrol pemetaan dengan prinsip resection (pemotongan ke belakang).
Jaring kontrol horizontal merupakan sekumpulan titik kontrol horizontal yang satu
sama lainnya dikaitkan dengan data ukuran jarak dan/atau sudut, dan koordinatnya
ditentukan dengan metode pengukuran/pengamatan tertentu dalam suatu sistem
referensi koordinat horizontal tertentu. Jaring kontrol horizontal memiliki kelas
jaringan yaitu atribut yang mengkarakteristikan ketelitian internal (tingkat presisi) dari
jaringan, yang pada prinsipnya bergantung pada tiga faktor utama, yaitu kualitas data,
geometri jaringan, serta metode pengolahan data. Kelas tersebut dinilai melalui
analisis ketelitian hasil proses terkendala minimal. Untuk realisasi praktis dari sistem
referensi koordinat sehingga sistem tersebut dapat digunakan untuk pendeskripsian
secara kuantitatif posisi dan pergerakan titik-titik, baik di permukaan bumi (kerangka
terestris) maupun di luar bumi (kerangka selestial atau ekstra-terestris). Kerangka
referensi biasanya direalisasikan dengan melakukan pengamatan-pengamatan
geodetik, dan umumnya direpresentasikan dengan menggunakan suatu set koordinat
dari sekumpulan titik maupun objek (seperti bintang dan kuasar) (SNI, 2002).
Metode pengukuran kerangka dasar pemetaan horizontal dengan survei GPS
ada beberapa macam yaitu (SNI10-6742, 2002):
1. Metode statik adalah metode survei GPS dengan waktu pengamatan yang
relatif lama (beberapa jam) di setiap titiknya. Titik-titik yang diukur posisinya
diam (tidak bergerak).
2. Metode stop and go adalah proses pengamatan GPS dengan melakukan
inisialisasi di titik awal untuk penentuan ambiguitas fase, receiver GPS
bergerak dari titik ke titik lainnya dan melakukan pengamatan dalam waktu
yang relatif singkat (sekitar 1 menit) pada setiap titiknya. Metode penentuan
posisi ini kadang disebut juga sebagai metode semi-kinematik
24
3. Metode pseudo-kinematik adalah metode survei GPS yang pengamatannya di
dilakukan dua kali secara singkat (5 s.d 10 menit) pada satu titik dengan selang
waktu yang relatif cukup lama (1 s.d 2 jam) antara keduanya.
Untuk penentuan posisi di bumi dengan GPS dibagi menjadi dua (Sunantyo, 2000)
yaitu:
1. Metode absolut dikenal juga sebagai point positioning, menentukan posisi
hanya berdasarkan pada 1 receiver saja. Ketelitian posisi dalam beberapa meter
(tidak berketelitian tinggi) dan hanya diperuntukkan untuk keperluan navigasi.
2. Metode relatif atau sering disebut differential positioning, menetukan posisi
dengan menggunakan lebih dari satu receiver. Metode ini menghasilkan posisi
berketelitian tinggi umumnya kurang dari 1 m dan diaplikasikan untuk
keperluan survei geodesi atau pemetaan yang memerlukan ketelitian tinggi,
seperti metode kinematik differential, sistem DGPS dan RTK.
Pemilihan metode GNSS untuk pengukuran kerangka dasar pemetaan dikarenakan
ketelitian koordinat yang dihasilkan dari metode tersebut memiliki spesifikasi yang
tinggi yaitu mencapai fraksi milimeter.
I.5.1.2. Pengukuran detil. Detil adalah segala objek yang ada di lapangan, baik
yang bersifat alamiah seperti sungai, lembah, bukit, alur, dan rawa, maupun hasil
buatan manusia seperti jalan, jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dan batas-
batas pemilikan tanah yang dijadikan isi dari peta yang dibuat (Basuki, 2006).
Pemilihan detil, distribusi dan teknik pengukurannya dalam pemetaan sangat
tergantung dari skala dan tujuan peta itu dibuat. Misal untuk peta kadaster atau
pendaftaran hak atas tanah, yang diperlukan adalah unsur batas-batas pemilikan tanah,
sedang beda tinggi atau topografinya tidak diperlukan. Sedangkan untuk peta teknik,
yang diperlukan adalah unsur-unsur topografi, detil alamiah serta hasil budaya
manusia yang konkrit ada di lapangan.
I.5.1.3. Penggambaran peta secara digital. Tahapan penggambaran peta situasi
dilakukan setelah semua detil yang terletak pada area pemetaan selesai diukur. Setelah
tahapan pengukuran, dilanjutkan dengan proses download data ukuran metode Real
Time Precise Point Positioning (RT-PPP). Untuk mengetahui bentuk fitur-fitur yang
sudah diukur secara grafis, langkah selanjutnya adalah proses penggambaran peta
25
secara digital. Disebut penggambaran secara digital dikarenakan data yang menjadi
data masukan berupa data softcopy hasil download dari perangkat pengukuran.
Penggambaran peta secara digital dilakukan dengan mengolah data hasil
download pengukuran, kemudian diolah dengan software Microsoft Excel untuk data
yang diperoleh melalui pengukuran Total Station. Data hasil pengukuran GPS,
khususnya data dengan format rinex hasil pengukuran GPS metode RTK radio, proses
download data langsung dilakukan dari receiver GPS tanpa harus diolah dengan
Microsoft Excel. Data yang sudah di download kemudian di plotting dengan software
AutoCAD Land Desktop.
Penggambaran peta situasi secara digital menggunakan software AutoCAD
Land Desktop mencakup tahapan plotting, editing dan finishing dari data ukuran yang
meliputi :
1. Penggambaran detil planimetrik.
Detil planimetrik yang digambar berupa detil-detil yang telah diukur dan telah
dikelompokkan menurut layer nya. Fitur-fitur tersebut digambarkan agar peta
situasi yang dihasilkan merepresentasikan kondisi sebenarnya dari daerah yang
dipetakan. Proses penggambaran detil planimetrik dilakukan dengan cara
mendigitasi titik-titik detil sesuai layer masing-masing menggunakan tools dari
software CAD yaitu garis 3D polyline, kemudian dilanjutkan dengan mengatur
properties layer seperti ketebalan garis, warna, dan jenis hatch.
2. Penggambaran garis kontur.
Garis kontur perlu digambarkan dalam suatu peta situasi dengan tujuan untuk
mengetahui gambaran topografi dari daerah yang dipetakan. Seperti misalnya
pada kasus perbedaan topografi antara gunung dan lembah, agar perbedaan
yang mencolok tersebut dapat dilihat dengan jelas pada peta yang
menampilkan representasi permukaan bumi secara 3D diperlukan
penggambaran garis kontur yang disertai dengan informasi nilai ketinggiannya.
Garis kontur tersebut menggambarkan tren dari topografi di suatu daerah
pemetaan karena memuat informasi tinggi yang ditampilkan dalam bentuk nilai
dari interval kontur.
Penggambaran kontur dilakukan dengan seluruh data dari titik tinggi topografi
yang terkelompok dalam layer khusus yang disebut spot height (kode SH). Dalam
26
pelaksanaannya, pembuatan kontur juga dipadu dengan layer-layer detil planimetrik
yang telah dibuat sebelumnya. Layer-layer planimetrik seperti jalan, bangunan dan
sebaiknya difungsikan sebagai breaklines agar kontur yang dihasilkan memiliki trend
yang representatif atau sesuai dengan keadaan topografi di lapangan. Interpolasi
kontur dapat menggunakan metode kriging, yaitu metode geostatik yang digunakan
untuk memprediksi nilai sebuah titik dari nilai observasi di sekitarnya dengan bobot
sesuai kovarian spasialnya (Bohling, 2005). Interpolasi kriging dapat dihitung dengan
persamaan (I.2) (Forsberg dan Tscherning, 2008, dalam Triarahmadhana, 2014).
Ŝ = ∑ 𝑖
𝑥𝑖𝑟𝑖
2
∑ 𝑖 1
𝑟𝑖2
............................................................................................... (I.1)
Keterangan persamaan (I.2) sebagai berikut (Forsberg dan Tscherning, 2008):
Ŝ : nilai hasil interpolasi (satuan meter).
xi : nilai tinggi yang telah diketahui (satuan meter).
ri : jarak antara titik yang diketahui nilainya dan yang diinterpolasi (satuan meter).
3. Penyajian peta.
Proses editing yang dilakukan meliputi digitasi detil planimetrik dan
pembuatan garis kontur. Setelah proses ini selesai, kemudian dilanjutkan
dengan proses pembuatan peta situasi dengan software ArcGIS agar kaidah-
kaidah kartografi dalam penyajian suatu peta situasi dapat dipenuhi. Agar peta
situasi yang disajikan memenuhi kaidah kartografi, suatu peta harus memiliki
komponen peta yang meliputi isi peta, judul peta, skala peta dan simbol arah,
legenda, indeks peta, grid, nomor peta, sumber peta dan jenis proyeksi peta
yang digunakan (Saraswati, 1979).
I.5.2. SNI Peta Situasi
Spesifikasi ketelitian peta situasi terdapat dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
No. 19-6502.2-2000. SNI ini merupakan tindak lanjut dari Undang-undang No. 22
tahun 1999 tentang Otonomi Daerah pasal 7 ayat 2 yang menyatakan bahwa standar
teknis pemetaan situasi ini dirumuskan oleh Bakosurtanal dengan penanggung jawab
27
pusat data dan Informasi Geografi Nasional (Pusdignas). Datum kontrol horizontal
yang digunakan baik untuk darat maupun laut yang digunakan di dalam peta adalah
SRGI 2013, dengan parameter sferoid berikut:
1. a = 6.378.137,0 m
2. f = 1/ 298,257223563
dalam hal ini,
3. a : setengah sumbu panjang elips, dan
4. f : flattening (penggepengan) elips
proyeksi dan grid peta yang digunakan dalam peta desa adalah Universal Transverse
Mercator (UTM). Proyeksi dan pembagian zona grid mengacu pada sferoid yang telah
dispesifikasikan dalam SRGI 2013.
Jika seluruh wilayah desa tidak dapat disajikan dalam satu lembar peta desa
skala 1 : 1000, maka desa disajikan dalam peta desa skala 1 : 1000 indeks. Pemilihan
skala didasarkan pada ukuran desa yang akan dipetakan. Untuk format kertas A3
berukuran 38 cm x 29.3 cm, dipergunakan untuk bidang dengan skala 1:5.000, 1:2.500,
1:1.000, 1:500, 1:250 dan skala lain dapat menyesuaikan sesuai bidang luas bidang
tanahnya, yang dibatasi garis penuh dengan ketebalan 0.3 mm dan di dalamnya yaitu:
Muka peta ; Ukuran muka peta adalah 28 cm x 28 cm
1. Bidang gambar ; bagian yang melingkupi muka peta dengan titik pusat sama
dengan titik pusat muka peta dan dibatasi garis penuh dengan ukuran 28 cm
x 28 cm. Jadi muka peta dan bidang gambar adalah sama.
Kotak keterangan ; bagian yang berisi judul, arah utara dan skala, lokasi,
petunjuk lembar, keterangan, legenda, instansi pembuat serta bagian
pengesahan peta tematik dengan ukuran 8 cm x 28 cm.
2. Jarak antara bidang gambar dengan kotak keterangan adalah 2 cm, jarak antara
bidang gambar / kotak keterangan terhadap garis tepi (batas tepi) peta adalah 1
cm.
28
Adapun unsur-unsur yang berada di dalam kotak keterangan
Kotak judul dan skala;
1. Judul yaitu :
ditulis sesuai dengan temanya misal: peta penggunaan tanah atau peta
kemampuan tanah, dengan huruf Arial Bold 11 dan jarak dari garis tepi atas
ke bagian atas huruf adalah 1.5 cm.
2. Arah utara ; dengan ukuran symbol 74 berupa panah dengan panjang 2 cm,
bagian sayap 0.8 cm, dengan huruf U pada bagian atasnya serta ukuran Arial
font 7, jarak huruf dengan ujung panah 2 mm. Sayap bagian kiri di buat hitam.
3. Skala numeris; berupa tulisan (contoh) “ Skala 1 : 1000 “ (sesuai dengan
skala yang dibuat). Tulisan skala menggunakan ukuran huruf Arial Bold 6.
4. Skala grafis; Skala grafis dibuat berupa tiga garis horizontal paralel dengan
panjang 6.5 cm x 0.5 cm, jarak masing-masing garis 1 mm.
5. Jarak dari skala numeris ke bagian atas angka skala grafis adalah kurang lebih
1.3 cm, sedangkan jarak skala grafis dengan garis batas kotak adalah 1.5 cm.
(BIG, 2016)
1.5.3. Sistem Tinggi
Ketinggian titik yang diberikan oleh GPS adalah ketinggian titik di atas
permukaan ellipsoid, yaitu ellipsoid World Geodetic System (WGS) 84. Tinggi
ellipsoid (h) tersebut tidak sama dengan tinggi orthometric (H) yang umum digunakan
untuk keperluan praktis sehari-hari yang biasanya diperoleh dari pengukuran sipat
datar (levelling). Tinggi orthometric suatu titik adalah tinggi titik tersebut di atas geoid
diukur sepanjang garis gaya berat yang melalui titik tersebut, sedangkan tinggi
ellipsoid suatu titik adalah tinggi titik tersebut di atas ellipsoid dihitung sepanjang garis
normal ellipsoid yang melalui titik tersebut (Abidin, 2004).
Hubungan antara tinggi geometrik, tinggi orthometric dan undulasi dapat
dilihat pada Gambar I.1.
29
Gambar I.1. Hubungan antara tinggi ellipsoid, tinggi orthometric, dan undulasi
(Abidin, 2004)
Kasus seperti pada Gambar I.1, reduksi tinggi geometrik ke tinggi orthometric
dapat dihitung dengan persamaan I.1.
H= h – N .............................................................................................. (I.2)
Persamaan I.1 merupakan rumus pendekatan yang cukup teliti untuk keperluan
praktis, namun rumus tersebut tidak berlaku untuk pekerjaan geodesi yang teliti.
Persamaan tersebut tidak menyertakan komponen-komponen yang digunakan untuk
mendefinisikan geoid secara teliti. Pada persamaan I.1 tersebut, nilai undulasi geoid
yang digunakan untuk mereduksi tinggi geometrik ke tinggi orthometric merupakan
nilai N untuk keperluan praktis (Abidin, 2000).
1.5.4. Sistem Koordinat Universal Transvers Mercator (UTM)
Sistem UTM dengan sistem koordinat WGS 84 sering digunakan pada
pemetaan wilayah Indonesia. UTM menggunakan silinder yang membungkus ellipsoid
dengan kedudukan sumbu silindernya tegak lurus sumbu tegak ellipsoid (sumbu
perputaran bumi) sehingga garis singgung ellipsoid dan silinder merupakan garis yang
berhimpit dengan garis bujur pada ellipsoid. Pada sistem proyeksi UTM didefinisikan
posisi horizontal dua dimensi (x,y) menggunakan proyeksi silinder, transversal, dan
konform yang memotong bumi pada dua meridian standar. Seluruh permukaan bumi
dibagi atas 60 bagian yang disebut dengan UTM zone. Setiap zone dibatasi oleh dua
meridian sebesar 6° dan memiliki meridian tengah sendiri. Sebagai contoh, zone 1
N
30
dimulai dari 180° BB hingga 174° BB, zone 2 di mulai dari 174° BB hingga 168° BB,
terus ke arah timur hingga zone 60 yang dimulai dari 174° BT sampai 180° BT. Batas
lintang dalam sistem koordinat ini adalah 80° LS hingga 84° LU. Setiap bagian derajat
memiliki lebar 8 yang pembagiannya dimulai dari 80° LS ke arah utara. Bagian derajat
dari bawah (LS) dinotasikan dimulai dari C,D,E,F, hingga X (huruf I dan O tidak
digunakan). Jadi bagian derajat 80° LS hingga 72° LS diberi notasi C, 72° LS hingga
64° LS diberi notasi D, 64° LS hingga 56° LS diberi notasi E, dan seterusnya. (Aryono,
1989)
Dalam penggunaan sistem koordinat UTM ada beberapa ketentuan yang harus
diperhatikan sebagai berikut (Aryono, 1989):
1. Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah meridian yang disebut
meridian standar dengan faktor skala 1.
2. Lebar zone 6° dihitung dari 180° BB dengan nomor zone 1 hingga ke 180° BT
dengan nomor zone 60. Tiap zone mempunyai meridian tengah sendiri.
3. Perbesaran di meridian tengah = 0,9996.
4. Batas paralel tepi atas dan tepi bawah adalah 84° LU dan 80° LS.
Dalam penggunaannya sistem koordinat UTM memiliki beberapa karakteristik
sebagai berikut :
1. Proyeksi bekerja pada setiap bidang ellipsoid yang dibatasi cakupan garis
meridian dengan lebar yang disebut zone.
2. Proyeksi garis meridian pusat (MC) merupakan garis vertikal pada bidang
tengah poyeksi.
3. Proyeksi garis lingkar equator merupakan garis lurus horizontal di tengah
bidang proyeksi.
4. Grid merupakan perpotongan garis-garis yang sejajar dengan dua garis
proyeksi pada butir dua dan tiga dengan interval sama. Jadi garis
pembentukan grid bukan hasil dari garis bujur atau lintang ellipsoid (kecuali
garis meridian pusat dan equator).
5. Penyimpangan arah garis meridian terhadap garis utara grid di meridian pusat
sama, atau garis arah meridian yang melalui titik luar meridian pusat tidak
sama dengan garis arah utara grid peta yang disebut konvegerensi meridian.
31
Dalam luasan dan skala tertentu tampilan simpangan ini dapat diabaikan
karena kecil.
Setiap zone UTM memiliki sistem koordinat sendiri dengan titik nol sejati pada
perpotongan antara meridian sentralnya dengan ekuator. Dan, untuk menghindari
koordinat negatif, meridian tengah diberi nilai awal absis (x) 500.000 m. Untuk zone
yang terletak dibagian selatan ekuator (LS), juga untuk menghindari koordinat negatif
ekuator diberi nilai awal ordinat (y) 10.000.000 m. Sedangkan untuk zone yang
terletak dibagian utara ekuator, ekuator tetap memiliki nilai ordinat 0 m. Wilayah
Indonesia terbagi dalam 9 zone UTM, mulai dari meridian 90° BT hingga meridian
144° BT dengan batas paralel (lintang) 11° LS hingga 6°LU. Dengan demikian,
wilayah Indonesia dimulai dari zone 46 (meridian sentral 93° BT) hingga zone 54
(meridian sentral 141° BT) (Prihandito, 1989).
1.5.5. Earth Gravitational Model 2008 (EGM2008)
EGM2008 merupakan model geopotensial global yang dipublikasikan oleh
National Geospatial-Intellegence Agency (NGA). Model geopotensial global ini,
mengandung informasi mengenai data koefisien harmonik bola, yaitu orde (n), degree
(m), koefisien potensial normal penuh (C, S) dan standar deviasinya (sigma C, sigma
S) (Pavlis, dkk, 2008). Model geopotensial ini, lengkap dengan koefisien harmonik
degree dan orde 2159 dan memuat tambahan sampai degree 2190. EGM2008 sudah
memiliki anomali gayaberat dengan grid 5‟x5‟ yang telah ditingkatkan berdasarkan
pengukuran dari satelit GRACE (Pavlis, 2012, dalam Borge 2013).
Nilai undulasi dari EGM2008 di area pengukuran diperoleh secara otomatis dari
fitur yang terdapat pada receiver GNSS. Nilai undulasi tersebut digunakan untuk
proses reduksi tinggi di atas ellipsoid ke tinggi orthometric (Triarahmadhana, 2014).
I.5.6. Metode Penentuan Posisi dengan GNSS
Menurut Roberts (2004), dalam Kurniawan, 2014, mengatakan bahwa GNSS
merupakan suatu sistem navigasi dan penentuan posisi geospasial (bujur, lintang, dan
ketinggian) dan waktu dengan cakupan dan referensi global yang menyediakan
informasi posisi dengan ketelitian yang bervariasi, yang diperoleh dari waktu tempuh
sinyal radio yang dipancarkan dari satelit ke receiver. Beberapa satelit navigasi yang
merupakan bagian dari GNSS dimiliki dan dikelola oleh beberapa negara, seperti GPS
32
milik Amerika, GLONASS milik Rusia, GALILEO milik Uni Eropa, COMPASS
milik China, Indian Regional Navigation Satellite System (IRNSS) milik India, dan
Quasi-Zenith Satellite System (QZSS) milik Jepang (Rizos, 2009, dalam
Triarahmadhana 2014).
Metode penentuan posisi dengan GNSS dibagi atas dua macam, yaitu metode
penentuan posisi secara absolut dan penentuan posisi secara diferensial.
1.5.6.1. Penentuan posisi GNSS secara absolut. Metode penentuan posisi
secara absolut atau juga dikenal juga dengan point positioning merupakan penentuan
posisi suatu titik secara mandiri dimana posisi suatu titik direferensikan terhadap pusat
dari sistem koordinat. Prinsip dasar penentuan posisinya adalah pengikatan ke
belakang dengan mengukur jarak ke beberapa satelit sekaligus. Penentuan ini
diperlukan minimal empat satelit untuk dapat menentukan posisi suatu titik, sehingga
diperoleh empat parameter yang terdiri atas tiga koordinat (X, Y, Z) atau (f ,λ, h) dan
satu parameter waktu. Dalam hal ini posisi ditentukan dalam sistem WGS 84 terhadap
pusat massa bumi. Dalam metode ini, posisi yang ditentukan bisa dalam keadaan diam
maupun dalam keadaan bergerak. Titik yang ditentukan posisinya tidak tergantung
pada titik lain yang berarti juga tidak dilakukan pengamatan di titik lain, maka receiver
GPS yang digunakan hanya satu buah. Ketelitian posisi yang diperoleh dari metode ini
rendah karena ketelitian posisi titik tergantung pada ketelitian data serta geometri
satelit. Data posisi yang diperoleh masih terpengaruh oleh bias dan kesalahan. Oleh
karena itu metode penentuan posisi absolut tidak digunakan untuk menentukan posisi
yang membutuhkan ketelitian tinggi. Metode penentuan posisi secara absolut pada
prinsipnya adalah reseksi dengan jarak ke beberapa satelit secara simultan. Jarak hasil
hitungan oleh receiver GPS diperoleh dari data ukuran rambat sinyal dari satelit ke
receiver. Metode pendekatan yang dilakukan pada penentuan posisi dengan metode
absolut ini adalah metode pendekatan pseudorange.
I.5.6.2. Penentuan posisi GNSS secara diferensial. Penentuan posisi secara
diferensial adalah penentuan vektor jarak antara dua stasiun pengamatan, yang dikenal
dengan jarak basis atau baseline (Sunantyo, 2000). Penentuan posisi secara diferensial
yaitu menentukan posisi dua atau lebih titik di lapangan yang dilakukan secara
bersamaan dalam rentang waktu yang sama. Metode ini diperlukan minimal dua unit
receiver dan software GPS pengolah data. Pada penentuan posisi diferensial atau
33
sering disebut dengan metode relatif, posisi titik-titik yang diperoleh ditentukan
terhadap titik lain yang telah diketahui koordinatnya yang dianggap sebagai titik
acuan. Data ukuran pengamatan yang digunakan dalam penentuan posisi secara
diferensial dapat berupa pseudorange maupun carrier beat phase. Pada penentuan
posisi teliti cenderung digunakan carrier beat phase (Leick, 1995, dalam Kurniawan,
2014). Metode ini pengolahan datanya dilakukan secara post-processing. Kesalahan
dan bias yang dominan pada pengamatan dapat tereliminir dengan cara mengurangkan
data yang diamati oleh dua receiver GNSS pada waktu yang bersamaan, sehingga
ketelitian yang dicapai meningkat drastis dibanding dengan metode absolut.
Penentuan posisi diferensial pada dasarnya bertujuan untuk menentukan
koordinat sebuah titik yang belum diketahui dari sebuah titik yang sudah diketahui
koordinatnya. Dengan kata lain, penentuan posisi relatif diarahkan pada penentuan
vektor antara kedua titik yang seringkali disebut sebagai baseline. Macam-macam
metode penentuan GPS/GNSS dan RT-PPP dapat dijelaskan menggunakan diagram
alir pada Gambar I.2.
Gambar I.2. Macam-macam metode penentuan GPS/GNSS dan RT-PPP
(Abidin, 2000)
I.5.7. Teknologi GNSS dengan Metode RT-PPP
GNSS RT-PPP merupakan teknologi terbaru dalam dunia penentuan posisi
ekstraterestris dengan mendapatkan sinyal koreksi via L-band. Kelebihan dari
teknologi ini dibanding teknologi GPS/GNSS sebelumnya adalah secara real-time alat
GPS mampu mencapai ketelitian fraksi sentimeter dan tidak dibutuhkan adanya titik
34
ikat/base. Pengamatan secara real-time pada teknologi GPS sebelumnya
membutuhkan stasiun referensi yang merupakan titik-titik Bench Mark (BM) ataupun
stasiun Continuous Operating Reference Systems (CORS) yang tersebar. Keberadaan
teknologi GPS/GNSS RT-PPP, para pengguna tidak harus membuat kerangka dasar
untuk membuat stasiun referensi (BM) ataupun meminta otorisasi penggunaan data
CORS pada instansi yang bersangkutan. Teknologi GPS/GNSS RT-PPP dapat
mencapai ketelitian hingga 5 cm. Hal ini dikarenakan teknologi GNSS RT-PPP
memanfaatkan data real-time stasiun jaringan data global yang mengirimkan algoritma
untuk menghitung data orbit, jam satelit GNSS dan hitungan perataan lainnya kepada
receiver GPS/GNSS yang dikirim melalui satelit L-Band dan atau IP (NTRIP)
(Pusdiklat Migas, 2015). Segmen GNSS dengan koreksi L-Band Starfire ditampilkan
pada Gambar I.3.
Gambar I.3. Segmen GNSS dengan sinyal koreksi L-Band Starfire
(Sumber dari: www.navcomtech.com/navcom_en_US/docs)
1.5.8. Teknologi GNSS Navcom dengan Layanan Starfire
Navcom membangun teknologi penentuan posisi dengan sistem GNSS
menggunakan sinyal koreksi L-band yang dikirim melalui sinyal satelit yang telah
dilakukan pengamatan sejak 15 tahun dan terus berlangsung sampai sekarang. Aplikasi
koreksi starfire/L-Band diterapkan pada GNSS Navcom untuk mencapai ketelitian
fraksi sentimeter.
35
Starfire adalah sistem augmentasi GNSS berbasis satelit. Satelit yang
digunakan dalam hal ini adalah satelit komunikasi INMARSAT yang bergerak
mengikuti rotasi bumi atau disebut juga sebagai satelit geostasioner. Satelit inilah yang
mengirimkan koreksi selama 24 jam per hari untuk receiver yang memiliki kapabilitas
menerima sinyal L-Band. Sistem starfire beroperasi dengan delapan puluh lima stasiun
bumi yang melakukan pengamatan GNSS selama dua puluh empat jam per hari, data
tersebut terkoneksi dengan tujuh stasiun pengolahan algoritma yang mengirim data
koreksi ke stasiun pengunggah dan dikirim ke tujuh satelit INMARSAT yang
selanjutnya data koreksi tersebut diberikan kepada receiver/user di bumi.. Karena pada
dasarnya satelit INMARSAT adalah satelit komunikasi maka INMARSAT hanya
sebagai penghubung stasiun pengunggah dan receiver/user di bumi. Hasil pengamatan
satelit secara kontinyu tersebut dapat menghasilkan ketelitian dalam pengukuran
sebesar 5 cm untuk ketelitian horizontal dan 10 cm untuk ketelitian vertikal.
(Navcomtech, 2015).
1.5.9. Uji Peta
Uji peta dimaksudkan untuk mengetahui apakah peta tersebut sudah layak
dipakai atau tidak sesuai spesifikasi yang sudah ditentukan dalam kerangka acuan
pekerjaan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil peta tersebut sesuai
dengan keadaan sebenarnya di lapangan atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara
melakukan pengukuran secara acak dan menyeluruh pada detil-detil planimetris, arah
atau beda tinggi. Uji peta dilakukan dengan membandingkan dan menguji antara
objek-objek dari peta yang diuji dengan keadaan sebenarnya di lapangan dengan cara
pengamatan dan pengukuran objek-objek tersebut baik pada peta maupun di lapangan
(Basuki, 2006).
Uji ketelitan posisi ditentukan dengan titik uji yang memenuhi ketentuan objek
yang digunakan sebagai titik uji peta, yaitu (Peraturan Kepala Badan Informasi
Geospasial No. 15 tahun 2014) :
1. Dapat diidentifikasi dengan jelas di lapangan dan di peta yang diuji.
2. Merupakan objek yang relatif tetap tidak berubah bentuk dalam jangka
waktu yang singkat.
3. Memiliki sebaran yang merata di seluruh area yang diuji.
36
Uji ketelitian posisi yang dilakukan meliputi uji ketelitian horizontal dan uji ketelitian
vertikal. Hasil dari uji ketelitian horizontal dan ketelitian vertikal harus memenuhi
toleransi uji peta. Nilai toleransi untuk ketelitian tersebut berbeda-beda tergantung
pada skala peta yang dibuat. Toleransi uji ketelitian horizontal dan vertikal meliputi
(BIG, 2014) :
1. Uji ketelitian vertikal 90 % dari jumlah elevasi/koordinat tinggi yang diuji
kesalahannya harus lebih kecil dari 0,5 kali interval kontur.
2. Uji ketelitian horizontal 90 % dari jumlah jarak/koordinat planimetrik yang
diuji kesalahannya harus lebih kecil dari 0,3 mm pada skala peta.
1.5.10. Kartografi
Kartografi adalah suatu seni, ilmu dan teknik pembuatan peta yang melibatkan
pelajaran geodesi, fotogrametri, kompilasi dan reproduksi peta. Peta merupakan
penyajian grafis dari bentuk ruang dan hubungan antara berbagai perwujudan yang
diwakili. Dalam ilmu Geodesi peta merupakan gambaran dari permukaan bumi dalam
skala tertentu dan digambarkan di atas bidang datar melalui sistem proyeksi. Dalam
pembuatan peta agar informasi dapat disampaikan oleh orang yang membuat peta
harus memperhatikan konsep kartografi. Konsep kartografi bertujuan untuk membuat
penyajian peta menjadi mudah dibaca, mudah dimengerti, mudah ditafsirkan, mudah
dianalisis, sehingga memberi manfaat semaksimal mungkin sesuai maksud dan tujuan
(Aryono, 1989).
Menurut Aryono (1989) disebutkan beberapa ruang lingkup untuk pekerjaan
kartografi sebagai berikut:
1. Seleksi data untuk pemetaan,
2. Manipulasi dan generalisasi data,
3. Pekerjaan desain (simbol-simbol) dan kontruksi peta (proyeksi peta),
4. Teknik reproduksi,
5. Revisi peta.
Untuk memudahkan komunikasi peta yang efektif diperlukan simbol-simbol
yang dapat memudahkan penyampaian informasi peta. Ada tiga komponen yang harus
diperhatikan dari kartografi desain diantaranya warna, pola dan tipografi (seni cetak,
37
tata huruf). Berdasarkan tiga komponen untuk memudahkan pelaksanaan simbolisasi
dari banyak variasi data, maka diadakan klasifikasi simbol yaitu:
1. Simbol titik
Simbol titik digunakan untuk menyajikan tempat atau data posisional
seperti kota, titik triangulasi dan sebagainya. Simbol tersebut bisa berupa
dot, segitiga, segiempat, lingkaran dan sebagainya
2. Simbol garis
Simbol garis digunakan untuk menyajikan data geografis misalnya sungai,
batas wilayah, jalan dan sebagainya.
3. Simbol luasan
Simbol luasan digunakan bila mewakili suatu area tertentu dengan simbol
yang mencakup luasan tertentu misalnya daerah rawa, hutan, padang pasir
dan sebagainya.
I.5.11. Uji Signifikansi Beda Parameter
Uji signifikansi beda parameter digunakan untuk mengetahui apakah nilai
parameter eksis secara stastistik dan berbeda signifikan dengan nilai nol (Ghilani,
2010). Pengujian signifikansi parameter ini menggunakan distribusi student. Pada
kegiatan aplikatif ini, parameter yang diuji adalah selisih antara data ukuran di
lapangan dengan data ukuran di peta. Kriteria pengujian dilakukan dengan
membandingkan nilai parameter dan simpangan baku parameter sesuai dengan
persamaan I.3 (Ghilani, 2010).
|T| = 𝐷
𝑆𝐷 ................................................................................................. (I.3)
Penerimaan untuk hipotesis nol (H0) adalah sebesar T < t(df, α/2). Dalam hal ini,
|T| : nilai t-hitungan.
�̅� : rata-rata sampel dari selisih antara data ukuran di lapangan dengan
data ukuran di peta pada objek yang sama.
S𝐷 : simpangan baku sampel dari selisih antara data ukuran di lapangan
denga data ukuran di peta pada objek yang sama.
t(df, α/2) : nilai pada tabel t-Student dengan tingkat kepercayaan sebesar α dan
derajat kebebasan tertentu.
df : degree of freedom (sampel – 1).
38
Nilai �̅� dan S�̅� dapat dihitung dengan persamaan I.4. dan persamaan I.5.
�̅� =∑ (𝑥1−𝑥2)𝑛
𝑛−1
𝑛 .................................................................................... (I.4)
S𝐷=√∑(𝐷𝑖−𝐷 )2
𝑛−1 ..................................................................................... (I.5)
Dalam hal ini,
x1 : data ukuran jarak atau tinggi detil di lapangan.
x2 : data ukuran jarak atau tinggi detil di peta.
n : jumlah sampel.
Pengujian tersebut mengidentifikasikan bahwa rata-rata selisih sampel objek di peta
sama dengan di lapangan seperti pada persamaan I.6 dan I.7.
H0 : �̅� = 0, atau .................................................................................... (I.6)
H0 : �̅� ≠ 0 ............................................................................................. (I.7)
Daerah penerimaan untuk hipotesis nol (H0) adalah sebesar T < t(df, α/2). Nilai
kritis dari t dapat dilihat dari tabel-t yang terdapat pada Lampiran A. Nilai tersebut
ditentukan dengan melihat tingkat kepercayaan (α) dan nilai derajat kebebasan (df).
Apabila nilai t-hitungan lebih besar dari nilai t(df, α/2) menunjukan bahwa nilai
parameter berbeda secara statistik. Artinya, terdapat perbedaan yang signifikan antara
data ukuran di lapangan dengan data ukuran di peta sehingga H0 ditolak. Kondisi
sebaliknya apabila nilai t-hitungan lebih kecil dari nilai t(df, α/2) menunjukan bahwa nilai
parameter tidak berbeda secara statistik. Artinya, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara data ukuran di lapangan dengan data ukuran di peta sehingga H0
diterima.