Bab 3. Pembahasan..
-
Upload
flo-ardyansyah -
Category
Documents
-
view
165 -
download
14
description
Transcript of Bab 3. Pembahasan..
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Sengketa Medik
Sebelum penulis membahas tentang Tanggung Gugat dan Tanggung
Jawab Pihak Rumah Sakit yang diwakili oleh Direksi, dalam menghadapi suatu
sengketa medik, penting ditetapkan dahulu tentang apakah definisi Sengketa
Medik. Sengketa Medik adalah pertentangan antara dokter/rumah sakit (di satu
pihak) dengan pasien sebagai pihak lain yang telah berwujud dengan pengaduan
(pihak) pasien terhadap pihak dokter/ rumah sakit disertai malpraktek atau tidak
(Purwadianto).
Secara hukum, suatu sengketa medik dapat meliputi:
a. Sengketa pidana medik
Fokusnya adalah justru kausa/sebab dan bukan akibatnya. Tindakan
dikategorikan ke dalamnya jika memenuhi kriteria: melanggar norma hukum
pidana tertulis, bertentangan dengan hukum, dan berdasar suatu kelalaian atau
kesalahan besar.
b. Sengketa perdata medik
Sengketa perdata medik ini menganut prinsip “barang siapa merugikan
orang lain harus memberikan ganti rugi”. Menurut hukum perdata, hal ini dapat
terjadi karena 2 (dua) hal yaitu:
(1) Berdasar perjanjian (”ius contractu”)
(2) Berdasar hukum (”ius delicto”) (Soeparto dkk, 2001).
Hak pasien adalah sebagai pembawa peran pribadi penderita, konsumen
pelayanan kesehatan, pengadu, dan pencari ganti rugi atas ketidakpuasan yang
terjadi. Ketiga peran tersebut secara hukum terfokus pada motivasi pasien untuk
mengadukan atau menggugat dokter/rumah sakit untuk alasan sebagai berikut:
a. Ingin kompensasi (ganti rugi), melalui hukum perdata, administratif/profesi.
b. Ingin dokter/direksi rumah sakit yang salah dipidana melalui ranah hukum
pidana.
c. Ingin mengetahui status hukum kelembagaan pelayanan kesehatan, yakni:
8
(1) Badan publik adalah melalui ranah hukum tata usaha (administrasi)
negara.
(2) Badan usaha adalah melalui ranah hukum perdata.
Sedangkan kata malpraktik berasal dari kata ''mal'', berarti penyimpangan
dan ''praktik'' yang artinya pelaksanaan sesuai prosedur profesi. Pengertian hukum
malpraktik banyak diambil dari literatur luar negeri, antara lain World Medical
Association (WMA,1992): ''medical malpractice involves the physician's failure
to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack
of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of
an injury to the patient''.
Berdasarkan hal itu dirumuskan kata malpraktik medik (medical
negligence) yang untuk pembuktiannya harus memenuhi empat kriteria yaitu 4 D:
duty, deriliction of duty, damages, dan direct cause. Sehingga untuk menyatakan
seorang dokter melakukan malpraktik medis maka di pengadilan harus terbukti
keempat unsur tersebut dan tidak hanya berdasarkan somasi pengacara atau
laporan pengaduan pasien saja.
Persoalan malpraktik yang latah diucapkan sebenarnya adalah sengketa
medik. Ada pasien atau keluarganya yang tidak puas terhadap hasil pengobatan
yang dilakukan dokter atau rumah sakit tertentu dan mengajukan laporan atau
pengaduan seperti yang diberitakan surat kabar atau media televisi. Kontrak
terapeutik yang disepakati (atau terlebih lagi jika belum jelas disepakati) ternyata
menimbulkan ketidakpuasan. Masyarakat awam mestinya tahu bahwa tidak semua
kegagalan medis akibat malpraktik medik.
Peristiwa buruk yang tak teramalkan sebelumnya yang terjadi saat
tindakan medik sudah dilakukan dengan memenuhi standar, tetapi ternyata
menimbulkan cedera, bukan termasuk dalam pengertian malpraktik. WMA
menyatakan: ''An injury occuring in the course of medical treatment which could
not be foreseen and was not the result of the lack of the skill or knowledge on the
part of the treating physician is untoward result, for which the physician should
not bear any liability''. Gunting atau gulungan kasa tertinggal dalam rongga perut
pastilah malpraktik. Tepatnya disebut kelalaian medik. Akan tetapi hasil
9
sambungan tulang penyembuhannya kurang baik atau rahim terpaksa diangkat
setelah melahirkan karena perdarahan yang banyak, itu belum tentu malpraktik,
dan masih banyak hal yang masih bisa diperdebatkan.
Bagaimanapun juga, istilah malpraktek adalah istilah yang kurang tepat,
karena merupakan suatu praduga bersalah terhadap profesi kedokteran. Praduga
bersalah ini dapat disalah-gunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan
sesaat yang akan merusak semua tatanan dan sistem pelayanan kesehatan.
Celakanya, malpraktek medik yang merupakan suatu kesalahan dokter dalam
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dibandingkan dengan standard profesi,
tidak eksplisit dijumpai dalam UU No 29 Tahun 2004. Karenanya hal ini
merupakan pekerjaan rumah bagi Konsil Kedokteran Indonesia/KKI (dalam hal
legislasinya). Disusul oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia/MKDKI yang akan menentukan apakah telah terjadi suatu kesalahan
dokter, walaupun tanpa bakunya suatu perumusan perbuatan indisipliner tersebut.
Selayaknya masalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan oleh dokter atau rumah sakit yang pada umumnya merupakan masalah
miskomunikasi antara pasien – dokter, diganti dengan istilah “sengketa medik”.
Alasannya karena pada saat ini masih banyak dokter yang berpraktek untuk
kepentingan kemanusiaan dalam bentuk pertolongan kegawatan, kedaruratan,
sejak dari prevensi, perlindungan khusus, diagnosis dini yang cepat, terapi hingga
rehabilitasi maupun pertolongan kemanusiaan lainnya.
3.2 Pola Hubungan Terapeutik dan Pola Hubungan Kerja Tenaga Medik
di Rumah Sakit
Selanjutnya, penting penulis kemukakan terlebih dahulu tentang
bagaimanakah pola hubungan terapeutik dan pola hubungan kerja tenaga medis di
dalam lingkup rumah sakit karena nantinya akan sangat membantu dalam
menentukan seberapa besar dibebankan tanggung gugat dan tanggung jawab
untuk masing-masing pihak dalam suatu sengketa medik.
10
3.2.1 Pola Hubungan Terapeutik
Hukum perdata memandang hubungan terapetik sebagai hubungan
kontraktual yang menghasilkan perikatan (verbintenis), yang kemudian
memunculkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Health care
provider wajib memberikan prestasinya dalam bentuk upaya medik yang benar
berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji. Sedangkan health care receiver
wajib memberikan kontra-prestasinya dalam bentuk materi, kecuali health care
provider setuju membebaskannya.
Ada beberapa pola hubungan terapeutik yang terjadi di rumah sakit, yaitu:
a. Hubungan “pasien-rumah sakit”
b. Hubungan “penanggung pasien-rumah sakit”
c. Hubungan “pasien-dokter”
d. Hubungan “penanggung pasien-dokter”
Hubungan Hukum Antara Pasien Dan Rumah Sakit, antara lain sebagai
berikut:
a. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa pihak RS
menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang akan
melakukan tindakan perawatan
b. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa
tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan
pasien melalui tindakan medis (inspanningsverbintenis).
3.2.2 Pola Hubungan Kerja Tenaga Medik di Rumah Sakit
Jika diamati dengan seksama, maka ada beberapa macam pola yang
berkembang dalam kaitannya dengan hubungan kerja antara dokter dengan rumah
sakit, antara lain:
a. Dokter sebagai employee
b. Dokter sebagai attending physician (mitra)
c. Dokter sebagai independent contractor
11
3.3 Tanggung Gugat Pihak Rumah Sakit
Ada beberapa jenis tanggung gugat (liability) antara lain:
1. Contractual Liability
Tanggung gugat jenis ini muncul karena ingkar janji, yaitu tidak
dilaksanakannya sesuatu kewajiban atau tidak dipenuhinya sesuatu prestasi
sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Kaitannya dengan hubungan
terapeutik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care
provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Oleh karena itu,
health care provider hanya bertanggung gugat atas upaya medik yang tidak
memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikategorikan
sebagai civil malpractice.
2. Liability in Tort
Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak
didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan
hukum. Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang
berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum
orang lain saja, tetapi juga yang berlawanan dengan ketelitian yang patut
dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain
(Hogeraad dalam Dahlan, 2001).
Adanya tanggung gugat seperti itu, maka health care provider dapat
digugat membayar ganti rugi atas terjadinya kesalahan (criminal malpractice);
baik yang bersifat intensional, recklessness atau negligence. Contoh dari criminal
malpractice yang dapat menimbulkan tanggung gugat antara lain membocorkan
rahasia kedokteran, euthanasia, atau ceroboh dalam melakukan upaya medik
sehingga pasien meninggal dunia atau cacat.
3. Strict Liability
Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan
(liability without fault) karena seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak
melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness
ataupun negligence.
12
4. Vicarious Liability
Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh sub-
ordinate-nya. Kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai
employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga
kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee). Lain
halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending
physician) (Dahlan, 2001).
3.4 Tanggung Jawab Pihak Rumah Sakit
Kasus hukum kedokteran umumnya terjadi di rumah sakit di mana dokter
bekerja. Rumah sakit merupaan suatu usaha yang pada pokoknya dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Pelayanan medis dalam arti luas yang menyakut kegiatan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif.
b. Pendidikan dan latihan tenaga medis/paramedis
c. Penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran.
Personalia rumah sakit terdiri dari dokter(umum dan spesialis), perawat,
paramedis non perawat dan tenaga administratif dan teknis. Berdasarkan
pelayanan yang diberikan rumah sakit bisa merupakan rumah sakit umum maupun
rumah sakit khusus. Klasifikasi rumah sakit umum dibedakan atas Rumah Sakit
Umum Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta. RSU Pemerintah dibagi menjadi
tipe:
a. A, tersedia fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialis dan
subspesialis yang luas.
b. B, pelayanan spesialis luas dan subspesialis terbatas
c. C, pelayanan spesialis minimal untuk empat vak besar yaitu
penyakit dalam, kesehatan anak, bedah dan obstetri/ginekologi
d. D, minimal pelayanan medik dasar oleh dokter umum
RSU Swasa terdiri dari:
a. RSUS Pratama, pelayanan medik umum
b. RSUS Madya, pelayanan spesialis
c. RSUS Utama, pelayanan spesialis dan subspesialis
13
Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yng secara tegas
mengatur hubungan antara dokter dan rumah sakit swasta tempat ia bekerja.
Pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam hal ini badan hukum yang
memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa secara:
a. Langsung sebagai pihak, pada suatu peranjian bila ada wanprestasi, atau
b. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan
perundang-undangan melakukan perbuatan melanggar hukum.
Sebenarnya hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit
bisa dibedakan dalam dua jenis perjanjian yaitu:
a. Perjanjian perawatan, seperti kamar dengan perlengakapannya
b. Peranjian pelayanan medis, berupa tindakan medis yang dilakukan
oleh dokter yang dibantu oleh paramedis
Dokter yang praktek di rumah sakit bisa merupakan karyawan (dokter
purnawaktu) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor). Kadangkala pasien sulit
mengetahui status dokter yang merawatnya. Di samping itu pendapat yang
menyatakan bahwa rumah sakit sebagai suatu lembaga yang memberikan
pelayanan perawatan dan pengobatan, betanggung jawab atas segala peristiwa
yang terjadi di dalamnya. Atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liability, di
mana secara resmi terhadap pasien yang di rawat, rumah sakit bertanggung jawab
atas pengendalian mutu secara keseluruhan dari pelayanan yang diberikan. Jadi
yang pertama-tama bertanggung jawab adalah rumah sakitnya, tetapi bila ada
kesalahan yang dilakukan dokter rumah sakit bisa menggunakan hak regresnya
untuk minta ganti kembali. Doktin Vicarious Liability, Let The Master Answer,
Majikan-Karyawan) bisa diterapkan dalam hubungan rumah sakit dengan
karyawannya.
Sehubungan dengan doktrin Vicarious Liability ini ada yang disebut
doktrin Captain of the Ship yang berlaku bagi dokter bedah yang melakukan
operasi di rumah sakit. Dokter bedah tersebut dalam hal ini tidak bekerja dalam
kaitan langsung untuk dan atas nama rumah sakit, misalnya dokter tamu atau
dokter karyawan untuk pasien pribadinya. Dokter itu dianggap bertanggung jawab
14
atas kesalahan stafnya, termasuk perawat bedah. Dalam hal ini perawat tersebut
yang merupakan karyawan rumah sakit dianggap dipinjamkan, sehingga tanggung
jawab itu beralih kepada si pemakai, yaitu dokter bedah. Pasien yang menuntut
harus memastikan dulu apakah dokter bedah itu bertanggung jawab atas doktrin
Majikan-Karyawan dan apakah dokter itu mengawasi dan memberikan segala
instruksi kepada perawat pada saat peristiwa itu terjadi.
Belum adanya peraturan perundang-undangan yang tegas mengatur
penyelenggaraan rumah sakit di Indonesia, dapat menyulitkan konsumen apabila
timbul hal yang tidak diinginkan dalam pelayanan kesehatan yang diberikan.
Fungsi sosial rumah sakit, sesuai dengan hak atas pelayanan kesehatan atau
pelayanan medis yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat, haruslah dipenuhi
dengan tersedianya pelayanan yang bermutu, baik dari segi sarana maupun tenaga
kesehatan, juga terjangkau, baik dari segi geografi maupun finansial. Demikian
pula hubungan kerja dokter dengan rumah sakit, perlu diatur lebih lanjut dengan
tujuan agar pelayanan rumah sakit menjadi lebih bermutu dan memberi
perlindungan bagi pasien (Wiradharma, 1996)
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) menegaskan bahwa
tanggung jawab rumah sakit meliputi tanggung jawab umum dan tanggung jawab
khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, rumah sakit harus senantiasa
menyesuaikan kebijakan pelayanannya pada harapan dan kebutuhan masyarakat
setempat dan akan tercermin melaui strategic planning, baik jangka pendek,
menengah maupun panjang.
Yang merupakan tanggung jawab umum rumah sakit adalah kewajiban
pimpinan rumah sakit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai
permasalahan, peristiwa, kejadian dan keadaan di rumah sakit. Sedangkan
tanggung jawab khusus muncul jika ada anggapan bahwa rumah sakit telah
melanggar kaidah-kaidah, baik dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib atau
disiplin (Koeswadji, 2002).
Akan sangat dirasakan perkembangan paradigma fungsi dan status rumah
sakit ini khususnya pada Rumah Sakit Pemerintah karena rumah sakit harus
mengutamakan pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta
15
tidak mendahulukan urusan biaya. Penyelenggaraan pelayanan secara menyeluruh
yang dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kepentingan pasien pada
khususnya dan khalayak ramai pada umumnya, yang satu dengan yang lain terkait
sedemikian rupa, sehingga terlaksana pelayanan rumah sakit yang mengandung
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Setiap saat memberikan pelayanan.
b. Beranjak dari pendirian dan pandangan bahwa manusia adalah suatu kesatuan
psiko-sosio-somatik.
c. Memberi layanan kepada pasien selaku konsumen yang dewasa dan mengakui
serta menghormati sepenuhnya hak-haknya.
d. Menjamin diberikannya mutu pelayanan teknik medik yang menunjukkan
kemampuan dan keterampilan. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan
berbagai tindakan pengawasan dan pengamanannya.
e. Menjamin terselenggaranya mutu pelayanan yang manusiawi, berdedikasi
tinggi serta penuh kehati-hatian.
f. Diselenggarakannya sebagai sebuah lembaga sosial ekonomi untuk
kepentingan seluruh rakyat yang pada hakikatnya merupakan sumber
pembiayaan proses pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu tidak
diperkenankan mendahulukan hal ihwal yang menyangkut biaya dari layanan.
g. Harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (Koeswadji, 2002).
Berikut ini uraian tentang tanggung jawab hukum rumah sakit, baik
rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta:
a. Tanggung jawab Rumah Sakit Pemerintah
Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes/Depkes dapat dituntut. Menurut
pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah
menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat
dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam
menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.
b. Tanggung jawab Rumah Sakit Swasta
Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata
16
karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat
bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.
Rumah sakit, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, merupakan
organisasi yang sangat kompleks dan di tempat ini banyak berkumpul pekerja
profesional dengan berbagai macam latar belakang keahlian dan banyak pula
peralatan yang digunakannya. Semakin besar dan canggih suatu rumah sakit akan
semakin kompleks pula permasalahannya. Oleh sebab itu, tidaklah mudah
menentukan hospital liability. (Dahlan, 2001).
Jika diteliti dengan seksama, maka layanan yang diberikan oleh rumah
sakit antara lain, layanan medical treatment, nursing care dan layanan lainnya
seperti misalnya, penggunaan alat-alat medik dan non-medik. Pemberian layanan-
layanan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan yang dapat
menimbulkan kerugian pada pasien. Hanya saja, sejauh mana rumah sakit harus
bertanggung jawab, sangat tergantung dari pola hubungan terapeutik yang terjadi
dan pola hubungan kerja antara tenaga kesehatan dengan rumah sakit.
Kerugian yang disebabkan oleh peralatan medik maupun non-medik dapat
dibebankan kepada rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta.
Contohnya, bila pasien jatuh dari tempat tidur karena bed-nya patah sehingga
mengakibatkan patah tulang kaki, maka kerugian tersebut menjadi tanggung
jawab rumah sakit. Oleh sebab itu, rumah sakit harus selalu melakukan kontrol
yang ketat terhadap semua peralatan, utamanya peralatan medik (Dahlan, 2001).
Kerugian yang disebabkan oleh kesalahan medical treament, sangat tergantung
pada status dokter yang bersangkutan. Bila kedudukannya sebagai attending
physician, maka rumah sakit tidak bertanggung gugat atas kesalahan dokter.
Tetapi bila status dokter di rumah sakit sebagai employee, maka berdasarkan
doctrine of vicarious liability, tanggung gugatnya dapat dialihkan ke rumah sakit.
Berdasarkan uraian sebelumnya, tampak jelas bahwa rumah sakit
pemerintah yang semua tenaga medik maupun non-mediknya bekerja sebagai
employee, maka tanggung gugat sepenuhnya menjadi tanggung gugat rumah sakit,
dengan catatan, untuk rumah sakit pemerintah yang melaksanakan program
swadana masih diperlukan klarifikasi konsep, sehingga implikasi hukumnya
17
menjadi jelas. Persoalannya bukan saja ketidakadilan, tetapi juga ketidaklogisan
ketika harus membebankan tanggung gugat kesalahan medik seluruhnya kepada
pihak rumah sakit, sementara dokter selama ini juga menikmati hasil penjualan
jasa medik rumah sakit, berdasarkan persentase, dapat bebas dari tanggung gugat
atas kesalahannya sendiri.
Rumah sakit sebagai salah satu institusi health care provider diwakili oleh
Direksi yang merupakan fasilitator utama yang harus memberikan kebijakan-
kebijakan yang diharapkan dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di
rumah sakit, termasuk di dalamnya sengketa medik rumah sakit. Tanggung
jawabnya sangat besar, sebab jika kebijakannya tidak sesuai, maka yang akan
terjadi adalah kekacauan pada penyelesaian masalah pelayanan kesehatan. Direksi
dituntut harus memiliki strategi yang memadai dan harus mampu mengusahakan
bagaimana agar strategi tersebut dapat terlaksana sesuai dengan kemampuan dan
target yang akan dicapai.
Direktur utama sebagai penanggung jawab organisasi dan penentu
kebijakan organisasi. Apapun yang tejadi dalam organisasi merupakan tanggung
jawab direktur utama.
3.5 Penyelesaian Sengketa Medik Antara Rumah Sakit dengan Pasien
Ada dua jalur dalam penyelesaian sengketa medik rumah sakit dengan
pasien, yaitu:
1. Litigasi, penyelesaian sengketa di luar jalur peradilan.
2. Nonlitigasi, penyelesaian sengketa melalui peradilan.
Putusan Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan sanksi pidana berupa
pidana pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP jo.
Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Bila
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha itu mengakibatkan luka, sakit
berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan KUHP.
Sanksi pidana yang dimaksud dalam Pasal 62 tersebut dapat dijatuhi
hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 63 a sampai f. Hukuman tambahan
yang dimaksud dapat berupa:
18
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman putusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
f. Pencabutan izin usaha (Koeswadji, 2003).
Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Medik (Ditjen Yanmedik), Dr. Farid
W. Husain, dalam setiap tuntutan medis, rumah sakit memang selalu ikut masuk
dalam gugatan, meskipun bukan sebagai tergugat pertama. Masih banyak lubang
yang harus dibenahi dalam penciptaan pelayanan kesehatan yang baik. Salah satu
yang harus dibenahi adalah Sumber Daya Manusia (SDM)-nya, yakni dokter dan
semua pekerja di rumah sakit. Berdasarkan pengalaman dari beberapa kasus
dugaan malpraktik yang dilaporkan pasien, sebagian besar memang disebabkan
karena faktor manusia atau human error , meskipun kini sudah dibuat beberapa
kridor hukum untuk mencegah terjadinya kelalaian medis. Dengan kata lain,
payung-payung hukum yang berfungsi sebagai pelindung bagi dokter telah dibuka
lebar-lebar. Payung-payung itu antara lain berlabel UndangUndang Praktik
Kedokteran (UUPK) yang lantas melahirkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), dibuat tidak
hanya melindungi pasien namun juga dokter.
Seperti kita ketahui, masih banyak anggapan dari sebagian besar
masyarakat tentang pelayanan kesehatan di rumah sakit yang jauh dari harapan.
Oleh karena itu, pendidikan berkesinambungan tentang ilmu-ilmu medikolegal
untuk rumah sakit sangat diperlukan dalam rangka memperbaiki kualitas
pelayanan, selain sebagai upaya preventif dari kemungkinan tuntutan hukum.
Selain itu, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi), Dr. Adib
A. Yahya, MARS, menyampaikan, rumah sakit merupakan organisasi yang sangat
kompleks karena merupakan institusi yang ”padat” segalanya. Padat modal, padat
teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, padat mutu, hingga padat
keluhan atau masalah, risiko, dan juga error. Berdasarkan data yang dihimpun
19
sejak tahun 2004 hingga 2005 saja menunjukkan hampir 50 kasus malpraktik
yang terjadi di rumah sakit. Lantas bagaimana peran manajemen rumah sakit
dalam penanganan dugaan kelalaian medis?
Ada beberapa langkah menghadapi kejadian yang tidak diharapkan
berkaitan dengan dugaan kelalaian medis. Langkah-langkah tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Menerima keluhan,
b. Mengelola keluhan,
c. Investigasi kasus,
d. Analisis kasus,
e. Penanganan kasus atau penyelesaian kasus, dan
f. Dokumentasi kasus.
Keluhan pasien bisa datang dari mana saja. Entah itu melalui media massa,
kotak saran, langsung dari pasien, laporan staf rumah sakit, telepon pengaduan,
kuasa hukum, tokoh masyarakat maupun LSM. Pasien tidak puas atau merasa
dirugikan, pasien bisa mengadukannya kepada komite medis atau panitia etik,
yang menjadi tim pengawas di sebuah rumah sakit. Jadi, bukannya langsung lapor
polisi dan ditulis besar-besar di media massa. Selanjutnya, pihak menajemen
rumah sakit harus mengelola keluhan dengan cermat, yaitu mencatat semua
informasi berkenaan dengan keluhan. Misalnya identitas pasien, kondisi pasien,
peristiwa dan kejadian apa yang menyebabkan muncul keluhan, dan tuntutan
pasien. Pasien bisa diberikan penjelasan sementara sebelum melaporkan ke pihak
direksi. Jika ditemukan indikasi kesalahan dokter, segera akan dilaporkan ke
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang selama ini menangani
sengketa medis antara pasien dan dokter/rumah sakit. Jika UU Praktek
Kedokteran disahkan, tuduhan malapraktek menjadi wewenang Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Majelis ini terdiri dari tiga
dokter umum, tiga dokter gigi, dan tiga sarjana hukum. Administrasi majelis ini
berada di bawah Konsil Kedokteran Indonesia yang berada langsung di bawah
presiden. Tugasnya menerima pengaduan konflik, memeriksa, dan membuat
keputusan tentang sengketa medis, serta menjatuhkan sanksi kepada dokter yang
20
salah dan membebaskan yang tidak bersalah. Jadi, lembaga ini semacam hakim
untuk setiap kasus sengketa medis.
Investigasi kasus bisa dilakukan dengan mulai membahas kebenaran
informasi tentang identitas pasien, peristiwanya, dan rekam medis. Dalam tahap
investigasi juga perlu dilakukan penataan dokumen sebagai antisipasi kejadian
lebih lanjut. Antara lain dokumen informasi, berkas rekam medis, resume medis,
termasuk pendapat organisasi, juklak, juknis, dan Standar Operasional dan
Prosedur (SOP) pelayanan.
Analisis kasus adalah tahap yang didalamnya dilakukan pemilahan kasus,
apakah ini kasus etik, kasus administrasi, kasus hukum, atau gabungan. Pemilahan
kasus berguna untuk menentukan pihak mana yang akan menyelesaikan. Misalnya
kalau kasus etik maka dibawa ke Komite Medik dan Komite Etik Rumah Sakit
(KERS) atau ke organisasi profesi.
Penanganan kasus, pihak manajemen rumah sakit harus bisa memutuskan
pilihan penyelesaian kasus. Jika secara hukum posisi rumah sakit atau staf cukup
kuat, maka penyelesaian yang dipilih adalah litigasi. Namun, jika pendalaman
disimpulkan bahwa secara hukum posisi rumah sakit atau staf tidak cukup kuat,
maka penyelesaian yang dipilih adalah nonlitigasi yaitu negosiasi, mediasi atau
kondiliasi. Bila penyelesaian dilakukan dengan litigasi, maka pihak manajemen
harus menunjuk kuasa hukum dan membawa kasus ini ke persidangan (Perdata,
Pidana, atau TUN). Jika ada tuntutan ganti rugi yang lebih kecil dari prediksi
biaya penyelesaian maka dapat dipertimbangkan melalui jalur nonlitigasi.
Berikut ini adalah contoh alur hierarkhi penyelesaian suatu sengketa
medik yang diterapkan di RSUD Syaiful Anwar, Malang.
a. Pengaduan pelayanan publik diajukan kepada penyelenggara pelayanan
publik;
b. Pengaduan tertulis, telepon, SMS, Faxsimile, E- mail, kotak saran harus
disampaikan secara jelas dan bertanggungjawab dengan menyebutkan
identitas yang jelas;
c. Bagi setiap orang/kelompok/badan usaha yang menyampaikan pengaduan
langsung kepada pejabat/petugas penerima pengaduan, diberi surat/formulir
21
tanda bukti pengaduan dan dicatat dalam buku pengaduan yang disediakan
secara khusus;
d. Pada surat/formulir tanda bukti pengaduan disebutkan nama dan jabatan
pejabat/petugas yang berwenang untuk menyelesaikan masalah/pengaduan
tersebut;
e. Paling lama 5 (lima) hari setelah diterimanya pengaduan, penyelenggara
pelayanan publik harus menindaklanjuti pengaduan tersebut;
f. Apabila sampai pada batas waktu yang telah ditentukan belum ditanggapi oleh
penyelenggara pelayanan publik, pengaduan dapat dilanjutkan kepada Komisi
Pelayanan Publik;
g. Penyelenggara pelayanan publik wajib menyampaikan laporan pengaduan dan
atau tindak lanjut hasil penyelesaian pengaduan setiap tanggal 15 bulan
berikutnya kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah;
h. Penyelenggara pelayanan publik yang tidak menyampaikan laporan
pengaduan dan atau tindak lanjut hasil penyelesaian pengaduan diberikan
tegoran secara tertulis.
Penting pula diperhatikan beberapa saran-saran bagi penanggulangan
malpraktik medik
a. Adanya Komite Medik / Malpractice Review Committee yang independen
(tidak dibawah Direktur) pada setiap RS yang bertugas membahas keadaan RS
secara periodik tentang kesalahan tenaga kesehatan personil RS tersebut. Di
masa mendatang, audit medik hendaknya diatur dengan peraturan perundang-
undangan dan dapat dilakukan pula terhadap praktik dokter pribadi.
b. Pertanggungjawaban terpusat pada RS baik pemerintah maupun swasta
(central responsibility). Dengan demikian, bila pasien tidak puas atas sikap RS
maka dapat menuntut dan menggugat RS. Pimpinan RS yang akan
menetapkan siapa yang bersalah dan melakukan “hak Regres” (hak menuntut
orang yang bersalah dalam kenyataan). Untuk itu RS dapat mengasuransikan
diri dengan batas kerugian sebagai akibat gugatan pasien.
c. Terpenuhinya jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan, terutama
bagi pasien.
22
d. Informasi yang benar, jelas, dan jujur agar tidak terjadi, misalnya interpretasi
antara tenaga kesehatan dengan pasien / keluarganya.
Namun demikian, untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana tercantum
dalam saran tersebut masih ada kendala, terutama dalam hal pembuktian ada/
tidaknya perbuatan malapraktik. selama ini pembuktian benar/salahnya suatu
kasus dugaan malpraktik secara hukum sulit karena belum ada Peraturan
Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim cenderung berpatokan
pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang
profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal
biasa, misalnya : pencurian.
Menanggapi hal ini, diperlukan keseriusan pihak pemerintah, khususnya
Departemen Kesehatan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dari UU
No. 23 / 1992 tentang Kesehatan, terutama PP tentang Standar Profesi. Hal ini
mengingat hingga saat ini, dari 29 PP UU No. 23/1992 yang seharusnya ada, baru
6 (enam) PP yang telah dibuat. Sedangkan UU Praktik Kedokteran yang belum
lama ini disahkan cenderung hanya mengakomodisasi kepentingan dokter,
sehingga perlu diadakan judicial review.
3.6 Patient Safety
Patient Safety merupakan suatu bentuk upaya pencegahan timbulnya
kelalaian medik yang akhirnya dapat menekan munculnya konflik atau kasus
sengketa medik di rumah sakit. Patient Safety menjadi langkah paling strategis
mencegah terjadinya kelalaian medis, melalui pengembangan program
keselamatan pasien di rumah sakit. Patient Safety adalah suatu sistem di mana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Departemen Kesehatan sudah mengeluarkan panduan Kegiatan
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) yang berisi tujuh langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit dan standar keselamatan pasien rumah sakit. Ada
banyak sekali manfaat yang diperoleh rumah sakit yang menerapkan keselamatan
23
pasien (KP). Ibarat “green product”-istilah untuk produk yang aman, di bidang
industri lain, maka rumah sakit akan menjadi semakin laku atau laris, makin dicari
masyarakat. Selain pasien, rumah sakit yang menerapkan KP juga akan “dicari”
oleh “3rd Party Payer” yaitu perusahaan-perusahaan dan asuransi-asuransi yang
akan memakai rumah sakit tersebut sebagai provider kesehatan karyawan atau
klien mereka.
Adapun Tujuh Langkah menuju Kegiatan Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (KKP-RS) yang menjadi pedoman dan panduan bagi staf pengurus rumah
sakit, terutama jajaran Direksi tersebut antara lain:
1. Bangun kesadaran akan nilai Keselamatan Pasien (KP). Ciptakan
kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
2. Pimpin dan dukung staf Anda. Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan
jelas tentang Keselamatan Pasien (KP) di rumah sakit Anda.
3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko. Kembangkan sistem dan proses
pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial
bermasalah.
4. Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf Anda mampu melaporkan
kejadian/insiden, serta mampu mengatur pelaporan kepada KKP-RS.
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara-cara
komunikasi yang terbuka dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang KP. Dorong staf Anda untuk
melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa
kejadian itu timbul.
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem KP. Gunakan informasi yang ada
tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
Selain itu, Departeman Kesehatan juga menetapkan Standar Keselamatan
Pasien, meliputi pemenuhan hal-hal berikut:
a. Hak Pasien
b. Mendidik pasien dan keluarga
c. Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan
24
d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi
dan meningkatkan keselamatan pasien
e. Peran pemimpin dalam meningkatkan keselamatan pasien
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
(Andra dalam Majalah Farmacia Edisi Februari, 2007)
Bagaimanapun juga kata kuncinya adalah pihak-pihak yang terlibat harus
dapat rujuk kembali dan memahami hak dan kewajiban masing-masing. Dimulai
dari dokter, ia harus bertindak profesional sesuai standar keahliannya. Selalu
melakukan KIE dan konseling kepada pasien. Tidak melakukan sesuatu tanpa
dimengerti dan disetujui oleh pasien atau keluarganya. Pasien juga harus
melakukan kewajibannya sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh dokternya dan
mempergunakan haknya untuk mendapat keterangan dan penjelasan. Harus
bertanya apa yang akan dilakukan dokternya dan memberikan izin bila sudah
mengerti. Bila pasien tidak puas, pilih saja dokter lain yang lebih komunikatif dan
dapat memenuhi rasa puas. Sekarang memilih dokter sangat dimungkinkan karena
banyak pilihan.
3.7 Kasus Kelalaian Medik Rumah Sakit Menyangkut Direksi
Berikut ini beberapa yurisprudensi tentang kelalaian medik di rumah sakit:
a. Darling v. Charleston Community Memorial Hospital, 1960
Kronologisnya adalah sebagai berikut
5 November 1960
Seorang mahasiswa berumur 18 tahun mengalami patah kaki sewaktu
bermain sepak bola. Ia dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat dari Charleston
Community Memorial Hospital dan ditangani oleh Dr. Alexander yang pada hari
itu mendapat giliran jaga. Dokter tersebut dibantu oleh beberapa asisten dari
rumah sakit lalu melakukan traksi terhadap pasien dan memasangkan gips pada
kakinya. Setelah gips selesai dipasang, pasien mengalami kesakitan hebat dan jari
kakinya menjadi bengkak dan berwarna gelap. Tak lama kemudian jari tersebut
menjadi dingin dan tidak terasa.
25
6 November 1960
Dr. Alexander melakukan gips pada sekeliling jari.
7 November 1960
Sore harinya ia memotong gips itu 3 inci dari jari kaki.
8 November 1960
Dokter membelah gipsnya dengan gergaji Strycker. Pada saat pemotongan
gips, kaki pasien terluka pada kedua sisi. Para perawat melihat darah dan juga
terdapat jaringan kental lain yang berbau sangat busuk.
19 November 1960
Pasien baru dirujuk ke rumah sakit Barnes Hospital di St. Louis di bawah
pimpinan Dr. Reynold, kepala bagian bedah orthopedi. Dr. Reynold melihat
bahwa kaki yang patah itu mengandung banyak jaringan mati. Menurut
pendapatnya, hal ini disebabkan karena adanya gangguan sirkulasi darah pada
kaki dan perdarahan yang disebabkan oleh konstruksi pemasangan gips tersebut.
Ia berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan kaki tersebut, namun tidak
berhasil. Akhirnya kaki tersebut terpaksa harus diamputasi 8 inci di bawah lutut.
Ada juga tugas perawat untuk mengawasi jari kaki yang menonjol itu
terhadap perubahan warna, suhu, bila tidak bisa digerakkan. Pula ia harus
mengecek sirkulasi darah tiap 20 menit. Pemeriksaan ini oleh perawat tersebut
hanya dilakukan beberapa kali sehari.
Rumah sakit dianggap bertanggung jawab karena Dr. Alexander yang
ditugaskan menjaga Unit Gawat Darurat tidak merujuk pasien itu kepada dokter
yang lebih ahli dan tidak dilaksanankan prosedur sebagaimana mestinya di rumah
sakit.
Keputusan kasus Darling menganggap rumah sakit yang bertanggung
jawab akibat kelalaian dari seorang dokter. Sejak kasus ini mulai timbul
kecenderungan untuk mengikuti ajaran Corporate liability, sehingga jika timbul
suatu kasus maka pertama-tama yang diminta pertanggungjawaban adalah rumah
sakitnya terlebih dahulu.
b. Porter v. Petterson and Emory University, Georgia, 1962.
26
Seorang bayi yang baru lahir memerlukan pertukaran darah (blood
change-over operation). Oleh karena itu bayi tersebut dipasangi pengikat pada
inkubator oleh perawat. Karena suatu kelalaian, maka bayi tersebut menempel
pada lampu yang menyala yang digunakan untuk memanaskan inkubator.
Akibatnya bayi menderita luka bakar dan kehilangan sebagian besar dari telapak
kakinya. Rumah sakit dianggap bertanggung jawab untuk kelalaian dari perawat
yang bekerja di rumah sakit tersebut.
c. Duling v. Bluefield Sanitarium, Inc, 1965.
Seorang pasien berumur 13 tahun, menderita demam rematik. Ia batuk-
batuk terus. Kukunya tampak membiru, jantungnya berdetak keras selama enam
jam. Permintaan pertolongan dari ibunya kepada perawat bahkan mendapat
omelan dari perawatnya. Akhirnya sang ibu yang putus asa menangis di lorong
rumah sakit dan terlihat oleh kepala perawat. Kepala perawat menanyakan dan
sang ibu menceritakan persoalan yang dihadapinya. Kepala perawat bergegas
pergi melihat pasien tersebut dan segera memanggil seorang dokter jaga.
Walaupun perawatan intensif langsung diberikan, ditambah usaha keras dari
dokter dan perawat khusus lainnya, tapi jiwa anak tersebut tidak tertolong lagi.
Anak itu meninggal esok harinya. Hal ini disebabkan karena terlambat memberi
bantuan. Rumah sakit harus bertanggung jawab atas segala akibat yang
ditimbulkan sebagai akibat dari kekurangan perhatian dari perawat tersebut.
d. Garcia v. Memorial Hospital, Texas, 1977
Tersedianya sarana dan peralatan penting merupakan kelengkapan esensial
dalam rumah sakit. Sebuah rumah sakit dianggap bertanggung jawab atas
kematian seorang anak, karena rumah sakit itu tidak mempunyai endo-tracheal
tube pediatrik untuk memberikan bantuan pernapasan (Tjokronegoro dan Utama,
1994).
e. Kasus anafilaksis syok
Menurut WMA, tidak semua kejadian buruk/kegagalan medis seperti
anafilaktik syok adalah akibat malpraktek medis. Kejadian buruk (adverse event)
adalah “an injury that was caused by medical management (rather than
underlying disease) and that prolonged the hospitalization, produced a disability
27
at the time of discharged, or both”. Anafilaktik syok merupakan musibah medik
karena tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) pada pasien tersebut yang
cedera/mati saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar oleh dokter yang
berwenang. Musibah medik bukanlah malpraktek. “An injury occurring in the
course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of
the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward
result, for which the physician should not bear any liability”. Menurut UU New
Zealand termasuk “medical mishap” yang berarti “an adverse consequence of
treatment by a registered health professional, properly given, if (a) the likelihood
of the adverse consequence of the treatment occurring is rare; and (b) the adverse
consequence of the treatment is severe”. Karena langka dan nirlaik bayang,
disebut musibah medik, yang dokter/Rumah Sakit tak dapat dimintai
pertanggungjawaban hukumnya. Suatu pertanggungjawaban hukum (dokter/RS
membayar ganti rugi) baru dapat dikenakan pada kelalaian medik. Salah satu
pengertian “negligence” adalah “care that fall below the standard expected of
physicians in their community”. Musibah medik yang diklaim pasien adalah bila
tergolong “negligence adverse event” (yang jumlahnya kira-kira 1/ 7 dari total
kejadian buruk).
f. Pembeberan rekam medik
Dikutip dari TEMPO Interaktif, 5 April 2005 Purwokerto, Direktur Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD)Purwokerto, Margono Soekarjo Hartanto, dipanggil
Markas Kepolisian Resor (Polres) Banyumas, Selasa (5/4) sehubungan dengan
somasi dugaan malpraktik. Gara-gara salah seorang pasien RS tersebut meninggal
dunia. Margono juga dituduh telah melanggar aturan karena mempublikasikan
data rekam medis pasien yang seharusnya menjadi rahasia.
Permintaan keterangan itu berlangsung satu jam lebih di salah satu ruang
di Mapolres Banyumas. Margono mendapat 16 pertanyaan yang diajukan
Inspektur Satu (Iptu) Sudiro. Dalam pemeriksaan itu Margono didampingi
seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Polisi sempat
menolak kehadiran dosen itu dengan alasan tak punya izin praktek pengacara.
28
Padahal, untuk mendampingi seorang tersangka tak perlu izin praktek pengacara,
kecuali di pengadilan.
AKP Sudiro menyatakan, pertanyaan yang dia ajukan lebih berfokus pada
tindakan Margonoo selaku Direktur RSUD Margono yang membeberkan rekam
medis pasien bernama Warsinah, warga Kelurahan Sumampir, Kecamatan
Purwokerto Utara. Warsinah adalah pasien yang meninggal setelah tiga hari
dirawat di RSUD Margono akibat diabetes yang dideritanya. Namun dalam
perawatan itu Darno, suami Warsinah melayangkan somasi kepada RSUD
Margono melalui kuasa hukumnya yakni Dwi Prasetyo Sasongko SH dan Joko
Susanto SH, keduanya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan
dan Perumahsakitan.
Somasi yang dikirimkan kepada 19 instansi itu berisi dugaan malpraktik
yang dilakukan RSUD Margono yang mengakibatkan kematian Warsinah. Saat
dirawat di RS Margono 13-16 Februari 2004 lalu Warsinah meninggal karena
kadar gula yang terlalu tinggi. Hal itu diduga karena dipicu pemberian infus berisi
cairan mengandung gula sehingga memicu kenaikan kadar gula dalam tubuh
Warsinah.
Selain somasi, LBH Kesehatan dan Perumahsakitan juga meminta RSUS
Margono memberikan catatan rekam medis mengenai Warsinah. RS Margono
lantas mengirimkan permintaan LBH yakni mengirimkan hasil rekam medis.
Surat penjelasan rekam medis itu tidak hanya diberikan pada pengacara melainkan
juga ke-18 instansi yang lain, salah satunya ke kantor Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) Cabang Banyumas. Beberapa hari kemudian muncul
pemberitaan di harian Suara Merdeka Kamis, 31 Maret 2005.
Pemberitaan itu menyebutkan, Warsinah menderita Febris berdasar gejala
yang dialami sewaktu masuk Instalasi Gawat Darurat yakni panas enam hari,
mual, muntah dan lemas. Infus yang diberikan saat itu berupa cairan gula. Cairan
infus lantas diganti dengan jenis RL dan Warsinah diberi Actrapid begitu hasil
analisa dokter menunjukkan Warsinah mengidap diabetes. Beberapa saat
kemudian Warsinah mengalami koma dan meninggal dunia. Rekam medis itulah
yang dibeberkan dalam surat yang tembusan pada 19 instansi tersebut.
29
Joko Susanto menyatakan, rekam medis seharusnya tidak dibeberkan kepada
khalayak karena merupakan rahasia pasien. "Pihak RS telah melakukan
pelanggaran hukum yakni Pasal 322 KUHP yang berisi larangan membuka
rahasia yang seharusnya wajib disimpan karena jabatan atau pekerjaan seorang
dokter,"kata Joko. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pasal ini sembilan
bulan penjara.
Iptu Sudiro menyatakan, setelah Margono, polisi juga akan memanggil dr I
Gede Arinton, yang langsung menangani Warsinah dan wartawan harian yang
memuat hasil rekam medis. "Untuk sementara masih kami panggil mereka sebagai
saksi. Kelanjutan status akan ditentukan hasil pemeriksaan nanti. Kami masih
focus pada pembeberan rahasia rekam medis kepada publik," katanya.
30