BAB 3 LANDASAN TEORI - Perjalanan Hijrahku · PDF fileLANDASAN TEORI 3.1 Definisi Perencanaan...
Transcript of BAB 3 LANDASAN TEORI - Perjalanan Hijrahku · PDF fileLANDASAN TEORI 3.1 Definisi Perencanaan...
BAB 3
LANDASAN TEORI
3.1 Definisi Perencanaan dan Pengendalian Produksi
Menurut Teguh Baroto produksi adalah suatu proses pengubahan bahan baku
menjadi produk jadi. Sedangkan sistem produksi adalah sekumpulan aktivitas untuk
pembuatan suatu produk, dimana didalam pembuatan ini melibatkan tenaga kerja, bahan
baku, mesin, energi, informasi, modal, dan tindakan manajemen. Sistem produksi
bertujuan untuk merencanakan dan mengendalikan produksi agar lebih efektif,
produktif, dan optimal. Production Planning and Control merupakan aktivitas dalam
sistem produksi.
Perusahaan merupakan kumpulan dari subsistem-subsistem yang saling terkait
untuk mencapai suatu tujuan perusahaan. Proses produksi adalah aktivitas bagaimana
membuat produk jadi dari bahan baku yang melibatkan mesin, energi, pengetahuan
teknis, dan lain-lain. Perencanaan dan pengendalian produksi (PPC) adalah aktivitas
bagaimana mengelola proses produksi tersebut.
Aktivitas-aktivitas yang ditangani oleh departemen PPC atau PPIC secara
umum adalah sebagai berikut:
1. Mengelola pesanan dari pelanggan.
2. Meramalkan permintaan.
3. Mengelola persediaan.
4. Menyusun rencana agregat.
5. Membuat jadwal induk produksi.
22
6. Merencanakan kebutuhan.
7. Melakukan penjadwalan pada mesin atau fasilitas produksi.
8. Monitoring dan pelaporan pembebanan kerja dibanding kapasitas produksi.
9. Evaluasi skenario pembebanan dan kapasitas.
Metode perencanaan dan pengendalian produksi yang biasa digunakan pada
perusahaan-perusahaan adalah:
1. Sistem produksi proyek
2. Flexible Control system
3. Material Requirement Planning
4. Just in Time
5. Optimized Production Technology
6. Continuous Process Control Sistem
Berdasarkan cara pembuatan atau masa pengerjaan produksi dapat
diklasifikasikan menjadi tipe-tipe berikut :
1. Engineering to order (ETO), penyiapan fasilitas sampai pembuatan dalam
memenuhi pesanan dilakukan oleh perusahaan. Produk yang dipesan
biasanya berjumlah satu unit dan memiliki spesifikasi yang sangat berbeda
antara pesanan yang satu dengan yang lainnya. Aktivitas yang terlibat dalam
pembuatannya sangat banyak.
2. Made to order (MTO), pesanan yang diterima disesuaikan dengan fasilitas
produksi yang dimiliki perusahaan.
23
3. Assembly to order (ATO), untuk memenuhi permintaan, perakitan dilakukan
dengan fasilitas yang dimiliki perusahaan.
4. Made to stock (MTS) , perusahaan memproduksi dengan cara menstok hasil
produksi nya untuk memenuhi permintaan, dan tidak melayani pesanan.
Berdasar ukuran jumlah produk yang dihasilkan, produksi dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Produksi proyek, jumlah operasi dan sumber daya yang digunakan banyak,
sedangkan unit yang diproduksi hanya satu.
2. Produksi batch, produksi yang dihasilkan banyak jenisnya, namun dalam
jumlah produksi yang sedang.
3. Produksi massal, jenis produk yang diproduksi lebih sedikit dari batch,
namun jumlah unit yang diproduksi sangat besar.
Berdasar cara memproduksi (berhubungan dengan pengaturan fasilitas
produksi), produksi dikelompokkan menjadi:
1. Produksi flow shop
2. Produksi fleksibel.
3. Produksi job shop
4. Produksi kontinu
Jenis-jenis produksi diatas dapat menentukan sistem produksi yang digunakan.
24
3.2 Persediaan
3.2.1 Pengertian Persediaan
Persediaan merupakan salah satu aset yang paling mahal bagi perusahaan,
mencerminkan total 40% dari total modal yang diinvestasikan (Render dan Heizer, 2001,
p314).
Menurut Kusuma (2001, p131), persediaan didefinisikan sebagai barang yang
disimpan untuk digunakan atau dijual pada periode mendatang. Persediaan dapat
berbentuk bahan baku yang disimpan untuk diproses, komponen yang diproses, barang
dalam proses pada proses manufaktur, dan barang jadi yang disimpan untuk dijual.
Kebutuhan akan persediaan muncul karena adanya waktu ancang (lead time)
antar operasi yang berurutan, waktu ancang pembelian bahan, atau waktu ancang
pendistribusian barang dari titik produksi ke titik pemasaran. Jika waktu ancang
diketahui maka akan mempermudah manajemen pengendalian persediaan perusahaan.
Misalnya, jika waktu ancang pembelian adalah dua minggu maka pemesanan bisa
dilakukan dua minggu sebelum fungsi produksi berlangsung.
3.2.2 Tipe-tipe Persediaan
Persediaan dapat dibedakan atas beberapa tipe, yaitu:
1. Supplies (persediaan bahan pembantu), yaitu barang persediaan yang diperlukan
dalam proses produksi tetapi bukan merupakan bagian dari produk jadi.
2. Raw Materials (persediaan bahan mentah), yaitu barang persediaan yang dibeli atau
dipasok dari supplier yang akan dijadikan sebagai masukan dalam proses produksi.
25
3. In-process (persediaan barang dalam proses), yaitu persediaan barang yang
merupakan keluaran dari suatu bagian proses produksi, yang masih perlu diolah atau
diproses lebih lanjut lagi untuk menjadi produk jadi.
4. Finished goods (persediaan barang jadi), yaitu persediaan barang yang sudah
diproses dan siap untuk dikirim ke pelanggan.
3.2.3 Fungsi Persediaan
Persediaan memiliki beberapa fungsi penting yang menambah fleksibilitas dari
suatu perusahaan. Fungsi persediaan menurut Render dan Heizer (2001, p314), yaitu:
1. Untuk memberikan suatu stok barang-barang agar dapat memenuhi permintaan yang
diantisipasi akan timbul dari konsumen.
2. Untuk memasangkan produksi dengan distribusi. Misalnya bila permintaan hanya
tinggi pada musim panas, persediaan dapat diadakan selama musim dingin untuk
menghindari biaya kehabisan stok.
3. Untuk mengambil keuntungan dari potongan harga dalam jumlah besar.
4. Untuk melakukan hedging terhadap inflasi dan perubahan harga.
5. Untuk menghindari kekurangan stok akibat kejadian tidak terduga.
6. Untuk menjaga agar operasi dapat berlangsung dengan baik dengan menggunakan
barang-barang dalam proses dalam persediaannya.
3.2.4 Biaya-Biaya Persediaan
Biaya persediaan adalah keseluruhan biaya operasi atas sistem persediaan.
Menurut Handoko (2000, p333) berikut ini adalah jenis – jenis biaya persediaan,
yaitu :
26
1. Biaya penyimpanan
Biaya penyimpanan (holding costs atau carrying costs) adalah biaya yang
dikeluarkan atas investasi dalam persediaan dan pemeliharaan maupun investasi
saran, fisik untuk menyimpan persediaan yang besarnya bervariasi secara
langsung dengan kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per periode akan
semakin besar apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak, atau rata-
rata persediaan semakin tinggi.
Biaya-biaya ini adalah variabel bila bervariasi dengan tingkat persediaan.
Bila biaya fasilitas penyimpanan (gudang) tidak variabel, tetapi tetap, maka
tidak dimasukkan dalam biaya penyimpanan per unit.
2. Biaya pemesanan (pembelian)
Setiap kali suatu bahan dipesan, perusahaan menanggung biaya pemesanan
(order costs atau procurement costs). Biaya pemesanan adalah biaya yang
berasal dari pembelian pesanan dari supplier. Biaya pemesanan seperti biaya
membuat daftar permintaan, menganalisis supplier, membuat pesanan
pembelian, penerimaan bahan, inspeksi bahan, dan pelaksanaan proses
transaksi. Secara normal, biaya per pesanan (di luar biaya bahan dan potongan
kuantitas) tidak naik bila kuantitas pesanan bertambah besar.
3. Biaya penyiapan (manufacturing).
Bila perusahaan memproduksi sendiri bahan-bahan “dalam pabrik”,
perusahaan menghadapi biaya penyiapan (setup costs) untuk memproduksi
komponen tertentu. Biaya persiapan seperti biaya yang dikeluarkan akibat
perubahan proses produksi, pembuatan jadwal kerja, persiapan sebelum
produksi, dan pengecekan kualiatas. Karena konsep biaya ini analog dengan
27
biaya pemesanan, maka untuk selanjutnya akan digunakan istilah “biaya
pemesanan” yang dapat berarti keduanya.
4. Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (stock-out cost)
Dari semua biaya-biaya yang berhubungan dengan tingkat persediaan, biaya
kekurangan bahan adalah yang paling sulit diperkirakan. Biaya ini timbul
bilamana persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Kekurangan
bahan bisa dari luar maupun dari dalam perusahaan. Kekurangan dari luar
terjadi apabila pesanan konsumen tidak dapat dipenuhi. Sedangkan kekurangan
dari dalam terjadi apabila departemen tidak dapat memenuhi kebutuhan
departemen lain maupun penundaan pengiriman maupun idle kapasitas. Biaya
kekurangan dari pihak luar dapat berupa biaya back order, biaya kehilangan
kesempatan penjualan, dan biaya kehilangan kesempatan menerima keuntungan.
3.2.5 Penentuan Safety stock
Menurut James H.Greene safety stock didapatkan dari konsep pelayanan. Jika
konsumen selalu menerima pesanannya, maka service index adalah 100 persen.
Berapapun di bawah 100 persen akan menjadi stock-out. Total penjumlahan service
index dan stock-out index adalah 100 persen. Rumusnya menjadi:
Service index = 100% - Stock-out index.
Index stock-out rendah mengindikasikan tingginya service index, dan sebaliknya.
Service index memiliki beberapa makna bergantung dari kita melihatnya sebagai:
seringnya stock-out selama siklus order, atau selama setahun, atau kuantitas stock-out
selama siklus order. Berikut adalah perhitungan safety stock berdasarkan seringnya
stock-out selama siklus order.
28
Safety stock dapat dihitung dengan standar deviations ataupun dengan
menggunakan mean absolute deviation (MAD). Keduanya menghasilkan nilai yang
sama, hanya berbeda di cara penghitungannya. Berikut adalah rumus perhitungan MAD:
MAD = n
xxn
ii∑
=
−1
Langkah-langkah menghitung safety stock dengan mengunakan MAD (Mean
Absolute Deviation):
1) Menghitung nilai rata2
2) Menghitung deviasi dari nilai rata2 untuk tiap data historis
3) Menjumlahkan deviasi tanpa mempertimbangkan tandanya (menjumlahkan nilai
mutlak dari deviasi)
4) Mengambil nilai rata2 deviasi
5) Mengalikan nilai MAD yang didapatkan pada perhitungan sebelumnya dengan nilai
safety factor yang didapatkan dari tabel.
3.3 Perencanaan Proses
3.3.1 Pengertian Perencanaan Proses
Perencanaan Proses adalah suatu perencanaan awal terhadap proses pembuatan
produk, hal ini berisi bagaimana produk tersebut akan dibuat (hal ini menentukan
apakah suatu komponen akan dibuat atau dibeli dari supplier), memilih fokus proses,
menentukan mesin dan peralatan yang digunakan. Perencanaan proses berkenaan
dengan perancangan dan implementasi sistem kerja yang akan memproduksi produk
yang diinginkan dalam kuantitas yang diperlukan.
29
3.3.2 Alat bantu dalam perencanaan proses
Beberapa alat bantu yang digunakan dalam perencanaan proses yaitu:
1) Struktur Produk
Struktur Produk adalah suatu susunan hirarki dari komponen-komponen
pembentuk suatu produk akhir. Biasanya produk akhir ditempatkan di level 0 dan
komponen pembentuk berikutnya adalah ditempatkan di level 1, dan seterusnya. Pada
umumnya produk akhir disebut juga induk atau parent dan komponen pembentuknya
disebut juga anak atau child.
Manfaat Struktur Produk adalah :
1. Mengetahui berapa jumlah item penyusunan suatu produk akhir.
2. Memberikan rincian mengenai komponen apa saja yang dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu produk.
Dalam Struktur Produk ada dua teknik yang digunakan yaitu :
1. Explosion
Suatu teknik penguraian komponen struktur produk yang urutan dimulai dari induk
sampai komponen pada level paling bawah
2. Implosion
Suatu teknik penguraian komponen struktur produk yang urutan dimulai dari
komponen sampai induk atau level atas.
Berikut adalah contoh struktur produk dari pulpen:
30
Gambar 3.1 Struktur Produk Pulpen
Keterangan:
Nilai x menunjukkan no komponen, y menunjukkan kuantitas komponen yang
diperlukan untuk menyusun produk benda
2) Bill Of Material (BOM)
Bill of Material (BOM) merupakan rangkaian struktur semua komponen yang
digunakan untuk memproduksi barang jadi sesuai dengan Master Production
Scheduling. Bill Of Material (BOM) adalah daftar (list) dari bahan, material atau
komponen yang dibutuhkan untuk dirakit, dicampur atau mebuat produk akhir.
Menurut Render dan Heizer Bill Of Material dibagi menjadi:
1. Bill Of Material yang berupa modul (modular bills)
Bill Of Material dapat diatur di seputar modul produk. Modul bukan merupakan
produk akhir yang akan dijual, tapi merupakan komponen yang dapat diproduksi
dan dirakit menjadi satu unit produk. Modul-modul ini mungkin merupakan
31
komponen inti dari suatu produk akhir atau pilihan produk. Bill Of Material untuk
modul-modul tersebut disebut modular bill.
2. Bill untuk perencanaan dan Phantom Bills
Ada lagi jenis Bill Of Material yang lain. Yaitu meliputi bill untuk perencanaan
dan Phantom Bills. Bill untuk perencanaan diciptakan agar dapat menugaskan
induk buatan kepada Bill Of Materialnya. Bill untuk perencanaan mungkin juga
dikenal sebagai sebutan pseudo bill atau angka peralatan. Phantom Bill Of Material
adalah Bill Of Material untuk komponen, biasanya sub-sub perakitan yang hanya
ada sementara waktu. Bill ini langsung bergerak ke perakitan lainnya. Sehingga bill
ini diberi kode agar diperlakukan secara khusus; lead timenya nol dan ditangani
sebagai bahan integral dari bahan induknya. Phantom bill tidak pernah dimasukkan
kedalam persediaan.
Ada beberapa format dari Bill of Material (BOM) yaitu:
1. Single-Level BOM
BOM yang menggambarkan hubungan sebuah induk dengan satu level komponen-
komponen pembentuknya.
2. Multi-Level BOM
BOM yang menggambarkan struktur produk lengkap dari level 0 sampai level
paling bawah.
3. Indented BOM
BOM yang dilengkapi dengan informasi level setiap komponen.
4. Summarized BOM
BOM yang dilengkapi dengan jumlah total tiap komponen yang dibutuhkan.
32
3) Peta proses operasi
Menurut sutalaksana, peta proses operasi merupakan suatu diagram yang
menggambarkan langkah-langkah proses yang akan dialami oleh bahan baku
mengenai urutan-urutan operasi dan pemeriksaan. Sejak dari awal sampai menjadi
produk jadi utuh maupun sebagai komponen, dan juga memuat informasi-informasi
yang diperlukan untuk analisa lebih lanjut, seperti waktu yang dihabiskan, material
yang digunakan, dan tempat atau alat atau mesin yang dipakai.
Lambang yang digunakan:
Operasi
Suatu operasi terjadi apabila benda kerja mengalami perubahan sifat, baik fisik
maupun kimiawi, mengambil informasi maupun memberikan informasi pada
suatu keadaan juga termasuk operasi.
Pemeriksaan
Suatu kegiatan pemeriksaan terjadi apabila benda kerja atau peralatan
mengalami pemeriksaan baik untuk segi kualitas maupun kuantitas.
Penyimpanan
Proses penyimpanan terjadi apabila benda kerja disimpan untuk jangka waktu
yang cukup lama. Jika benda kerja tersebut akan diambil kembali, biasanya
memerlukan suatu prosedur perijinan tertentu.
Aktivitas gabungan.
Kegiatan ini terjadi apabila antara aktivitas operasi dan pemeriksaan dilakukan
bersamaan atau dilakukan pada suatu tempat kerja.
33
Berikut adalah contoh peta proses operasi (OPC) pajangan:
Gambar 3.2 Peta Proses Produksi Pajangan
3.4 Peramalan
3.4.1 Definisi Peramalan
Peramalan (forecasting) adalah seni dan ilmu memprediksi peristiwa-peristiwa
masa depan. Peramalan memerlukan pengambilan data historis dan memproyeksikan ke
masa depan dengan beberapa bentuk model matematis (Render dan Heizer, 2001, p46).
Secara lebih rinci peramalan menurut Makridakis (1999,p14) adalah suatu
kemampuan untuk memperkirakan / menduga keadaan permintaan produk di masa
datang yang tidak pasti.
34
3.4.2 Horizon Waktu
Peramalan biasanya dikelompokkan oleh horison waktu masa depan yang
mendasarinya. Tiga kategori yang bermanfaat bagi manajer operasi adalah:
1 Peramalan jangka pendek. Rentang waktunya mencapai satu tahun tetapi
umumnya kurang dari tiga bulan. Peramalan jangka pendek digunakan untuk
merencanakan pembelian, penjadwalan kerja, jumlah tenaga kerja, penugasan,
dan tingkat produksi.
2 Peramalan jangka menengah. Peramalan jangka menengah biasanya berjangka
tiga bulan hingga tiga tahun. Peramalan ini sangat bermanfaat dalam perencanaan
penjualan, perencanaan dan penganggaran produksi, penganggaran kas, dan
menganalisis berbagai rencana operasi.
3 Peramalan jangka panjang. Rentang waktunya biasanya tiga tahun atau lebih;
digunakan dalam merencanakan produk baru, pengeluaran modal, lokasi fasilitas,
atau ekspansi dan penelitian serta pengembangan.
Peramalan jangka menengah dan jangka panjang berhubungan isu yang lebih
kompetentif dan mendukung keputusan manajemen berkaitan dengan perencanaan dan
produk, pabrik dan proses. Peramalan jangka pendek cenderung lebih akurat daripada
peramalan jangka yang lebih panjang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan berubah setiap hari, sehingga
ketika horison waktu semakin panjang, keakuratan peramalan akan berkurang. Dengan
demikian ramalan penjualan perlu diperbarui secara teratur untuk mempertahankan
nilainya. Setelah periode penjualan berlalu, ramalan harus dikaji kembali dan diperbaiki.
35
3.4.3 Metode Peramalan
Banyak jenis metode peramalan yang tersedia untuk meramalkan permintaan
dalam produksi. Namun yang lebih penting adalah bagaimana memahami karateristik
suatu metode peramalan agar sesuai dengan situasi pengambilan keputusan. Situasi
peramalan sangat beragam dalam horison waktu peramalan, faktor yang menentukan
hasil yang sebenarnya, tipe pola data dan berbagai aspek lainnya. Untuk menghadapi
penggunaan yang luas seperti itu, beberapa teknik telah dikembangkan. Teknik tersebut
dibagi dalam dua kategori utama, (Makridakis, 1999, p19-24) yaitu :
1) Metode peramalan kuantitatif
Metode kuantitatif sangat beragam dan setiap teknik memiliki sifat, ketepatan
dan biaya tertentu yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode tertentu.
Metode kuantitatif formal didasarkan atas prinsip-prinsip statistik yang memiliki
ketepatan tinggi atau dapat meminimumkan kesalahan (error), lebih sistematis, dan
lebih populer dalam penggunaannya. Untuk menggunakan metode kuantitatif
terdapat tiga kondisi yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Tersedia informasi tentang masa lalu.
b. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik.
c. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut
di masa mendatang.
Metode kuantitatif dapat dibagi kedalam dua model, yaitu :
a. Model deret berkala (time series)
Pada model ini, pendugaan masa depan dilakukan berdasarkan nilai masa
lalu dari suatu variabel dan / atau kesalahan masa lalu. Model deret berkala
36
menggunakan riwayat permintaan masa lalu dalam membuat ramalan untuk
masa depan. Tujuan metode peramalan deret berkala ini adalah menemukan
pola dalam deret berkala historis dan mengekstrapolasikan pola tersebut ke
masa depan.
Langkah penting dalam memilih suatu metode deret berkala yang tepat
adalah dengan mempertimbangkan jenis pola data, sehingga metode yang
paling tepat dengan metode tersebut dapat diuji. Pola data dapat dibedakan
menjadi :
1. Pola Stasioner atau Horizontal (H) terjadi bilamana nilai data berfluktuasi
disekitar nilai rata-rata yang konstan (deret seperti itu adalah “stasioner”
terhadap nilai rata-ratanya). Suatu produk yang penjualannya tidak
meningkat atau menurun selama waktu tertentu termasuk jenis ini.
Demikian pula suatu pengendalian kualitas yang menyangkut
pengambilan contoh dari suatu proses produksi berkelanjutan yang secara
teoritis tidak mengalami perubahan juga termasuk jenis ini.
Waktu
Gambar 3.3 Pola Data Horisontal
2. Pola musiman (S) terjadi bilamana suatu deret dipengaruhi oleh faktor
musiman (misalnya kuartal tahun tertentu, bulanan, atau hari-hari pada
37
minggu tertentu). Penjualan dari produk minuman ringan, es krim, dan
bahan bakar pemanas ruangan, menunjukkan jenis pola ini.
Waktu
Gambar 3.4 Pola Data Musiman
3. Pola Siklis (C) terjadi bilamana datanya dipengaruhi oleh fluktuasi
ekonomi jangka panjang seperti yang berhubungan dengan siklus bisnis.
Penjualan produk seperti mobil, baja dan peralatan utama lainnya
menunjukkan jenis pola data ini.
Waktu
Gambar 3.5 Pola Data Siklis
4. Pola trend (T) terjadi bilamana terdapat kenaikan atau penurunan sekuler
jangka panjang dalam data. Penjualan banyak perusahaan, produk bruto
nasional (GNP) dan berbagai indikator bisnis atau ekonomi lainnya
mengikuti pola trend selama perubahannya sepanjang waktu.
38
Waktu
Gambar 3.6 Pola Data Trend
b. Model kausal
Model kausal mengasumsikan bahwa faktor yang diramalkan menunjukkan
suatu hubungan sebab-akibat dengan satu atau lebih variabel bebas. Maksud
dari model kausal adalah menemukan bentuk hubungan tersebut dan
menggunakannya untuk meramalkan nilai mendatang dari varibel tak bebas.
Setelah hubungan ini ditemukan, nilai-nilai masa mendatang dapat
diramalkan cukup dengan memasukkan nilai-nilai yang sesuai untuk varibel-
variabel independen. Metode peramalan kausal mengasumsikan bahwa
permintaan akan suatu produk bergantung pada satu atau beberapa faktor
independen (misalnya, harga, iklan, persaingan, dan lain-lain).
2) Metode peramalan kualitatif atau teknologis
Metode peramalan ini tidak memerlukan data yang serupa seperti metode
peramalan kuantitatif. Input yang dibutuhkan tergantung pada metode tertentu dan
biasanya merupakan hasil dari pemikiran intuitif, perkiraan dan pengetahuan yang
telah didapat. Pendekatan teknologis seringkali memerlukan input dari sejumlah
orang yang terlatih.
Metode kualitatif mengandalkan opini pakar atau manajer dalam membuat
prediksi tentang masa depan. Metode ini berguna untuk tugas peramalan jangka
panjang. Penggunaan pertimbangan dalam peramalan, tampaknya tidak ilmiah dan
39
bersifat sementara. Tetapi bila data masa lalu tidak ada atau tidak mencerminkan
masa mendatang, tidak banyak alternatif selain menggunakan opini dari orang-orang
yang berpengetahuan. Ramalan teknologis terutama digunakan untuk memberikan
petunjuk, untuk membantu perencana dan untuk melengkapi ramalan kuantitatif,
bukan untuk memberikan suatu ramalan numerik tertentu.
Metode kualitatif dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
a. Metode eksploratoris
Metode eksploratoris (seperti Delphi, kurva-S, analogi, dan penelitian
morfologis) dimulai dengan masa lalu dan masa kini sebagai titik awalnya dan
bergerak kearah masa depan secara heuristik, seringkali dengan melihat semua
kemungkinan yang ada.
b. Metode normatif.
Metode normatif (seperti matriks keputusan, pohon relevansi, dan analisis
sistem) dimulai dengan menetapkan sasaran dan tujuan yang akan datang,
kemudian bekerja mundur untuk melihat apakah hal ini dapat dicapai,
berdasarkan kendala, sumber daya, dan teknologi yang tersedia.
3.4.4 Pemilihan teknik peramalan
Pola atau karakteristik data mempengaruhi teknik peramalan yang dipilih.
Seringkali, pola data tersebut merupakan karakteristik inheren dari kegiatan yang sedang
diteliti. Hubungan data dengan jangka waktu semakin jelas jika kita mengamati bahwa
pola trend adalah merupakan kecenderungan jangka panjang, sedangkan variasi
musiman menunjukkan pola data yang berulang. Dalam mengevaluasi teknik-teknik
yang dikaitkan dengan pola data bisa saja diterapkan lebih dari satu teknik untuk data
40
yang sama. Misalnya, teknik-teknik tertentu mungkin lebih akurat dalam memprediksi
titik balik, sedangkan lainnya terbukti lebih andal dalam peramalan pola perubahan yang
stabil. Bisa juga terjadi beberapa model meramalkan terlalu tinggi (overestimate) atau
terlalu rendah (underestimate) dalam situasi tertentu. Selain itu, mungkin juga terjadi
bahwa prediksi jangka pendek dari suatu model lebih baik dari model lain yang memiliki
prediksi jangka panjang yang lebih akurat.
3.4.5 Teknik Peramalan untuk Data Stasioner atau Horizontal
Suatu data runtut waktu yang bersifat stasioner merupakan suatu serial data yang
nilai rata-ratanya tidak berubah sepanjang waktu. Keadaan tersebut terjadi jika pola
permintaan yang mempengaruhi data tersebut relatif stabil. Dalam bentuknya yang
paling sederhana, peramalan suatu data runtut waktu yang stasioner memerlukan data
historis dari runtut waktu tersebut untuk mengestimasi nilai rata-ratanya, yang kemudian
menjadi peramalan untuk nilai-nilai masa datang.
Beberapa teknik yang dapat dipertimbangkan ketika meramalkan data runtut
waktu yang stasioner adalah metode naif, metode rata-rata sederhana, rata-rata bergerak,
pemulusan eksponensial sederhana, model ARMA (metode Box-Jenkins) (Hanke, 2005,
p75), Single Eksponensial Smoothing dan Single Moving Average (Makridakis, 1999)
3.4.6 Teknik Peramalan untuk Data Trend
Suatu data runtut waktu yang bersifat trend didefinisikan sebagai suatu series
yang mengandung komponen jangka panjang yang menunjukkan pertumbuhan atau
penurunan dalam data tersebut sepanjang suatu periode waktu yang panjang. Dengan
kata lain, suatu data runtut waktu dikatakan mempunyai trend jika nilai harapannya
berubah sepanjang waktu sehingga data tersebut diharapkan menaik atau menurun
41
selama periode dimana peramalan diinginkan. Biasanya data runtut waktu ekonomi
mengandung suatu trend.
Teknik-teknik peramalan yang digunakan untuk peramalan data runtut waktu
yang mengandung trend adalah rata-rata bergerak, pemulusan eksponensial linier dari
Holt, regresi sederhana, model ARIMA (metode Box-Jenkins) (Hanke, 2005, p75-76).
3.4.7 Teknik Peramalan untuk Data Musiman
Suatu data runtut waktu yang bersifat musiman didefinisikan sebagai suatu data
runtut waktu yang mempunyai pola perubahan yang berulang secara tahunan.
Mengembangkan suatu teknik peramalan musiman biasanya memerlukan pemilihan
metode perkalian dan pertambahan dan kemudian mengestimasi indeks musiman dari
data tersebut. Indeks ini kemudian digunakan untuk memasukkan sifat musiman dalam
peramalan atau untuk menghilangkan pengaruh seperti itu dari nilai-nilai yang
diobsevasi.
Teknik-teknik yang dapat dipertimbangkan ketika kita meramalkan data runtut
waktu yang bersifat musiman meliputi metode dekomposisi klasik, Census X-12,
pemulusan eksponensial dari Winter, regresi berganda, model ARIMA (metode Box-
Jenkins) (Hanke, 2005, p76), Weight Moving Average (Teguh Baroto, 2002, p33).
3.4.8 Teknik Peramalan untuk Data Siklis
Pengaruh siklis didefinisikan sebagai fluktuasi seperti gelombang disekitar garis
trend. Pola siklis cenderung untuk berulang setiap dua, tiga tahun, atau lebih. Pola siklis
sulit untuk dibuat modelnya karena polanya tidak stabil. Turun-naiknya fluktuasi di
sekitar trend jarang sekali berulang pada interval waktu yang tetap, dan besarnya
42
fluktuasi juga selalu berubah. Metode dekomposisi bisa diperluas untuk menganalisis
data siklis.
Teknik-teknik yang dapat dipertimbangkan ketika kita meramalkan data runtut
waktu yang bersifat siklis adalah metode dekomposisi klasik, indikator ekonomi, model-
model ekonometrik, regresi berganda dan model ARIMA (metode Box-Jenkins) (Hanke,
2005, p76).
3.4.9 Metode peramalan Exponential Smoothing Tiga Parameter Winter
Pada umumnya, metode rata-rata bergerak dan pemulusan eksponensial dapat
digunakan untuk hampir segala jenis data stasioner atau non stasioner sepanjang data
tersebut tidak mengandung faktor musiman. Tetapi bilamana terdapat faktor musiman,
metode-metode tersebut akan menghasilkan peramalan yang buruk. Untuk data
stasioner, digunakan metode rata-rata begerak atau pemulusan eksponensial. Jika
datanya menunjukkan suatu trend linear, maka baik model linear dari Brown atau Holt
dapat diterapkan. Tetapi jika datanya musiman, metode tersebut tidak bisa mengatasinya
dengan baik. Walaupun demikian, metode Winter dapat menangani faktor musiman
secara langsung.
Metode Winter didasarkan atas tiga persamaan pemulusan, yaitu satu untuk
unsur stasioner, satu untuk trend dan satu untuk musiman. Hal ini serupa dengan metode
Holt, dengan satu pemulusan tambahan untuk mengatasi musiman. Perumusan dasar
untuk metode Winter (Makridakis, 1999, p121-127) adalah sebagai berikut :
Pemulusan Keseluruhan :
))(1( )1()1( −−−
+−+= ttLt
tt bS
IX
S αα
43
Pemulusan Trend :
)1()1( )1()( −− −+−= tttt bSSb γγ
Pemulusan Musiman :
)()1( Ltt
tt I
SX
I −−+= ββ
Peramalan :
)()( )*( mLtttmt ImbSF +−+ +=
Dimana : L = Panjang musiman
b = Komponen trend
I = Faktor penyesuaian musiman
Ft+m = Peramalan untuk m periode ke depan
Salah satu masalah dalam menggunakan metode Winter adalah menentukan
nilai-nilai untuk ,, βα dan γ tersebut yang akan berpengaruh dalam perhitungan nilai-
nilai error seperti MSE atau MAPE. Pendekatan untuk menentukan nilai ini biasanya
secara trial and error, walaupun mungkin juga digunakan algoritma optimasi non-linear
untuk mendapatkan nilai parameter optimal. Karena kedua pendekatan tersebut
memakan banyak waktu dan mahal, maka metode ini jarang digunakan. Metode ini baru
dipakai jika banyak himpunan data yang harus ditangani.
Untuk menginisialisasi metode peramalan Winter yang diterangkan di atas, kita
perlu menggunakan paling sedikit satu data musiman lengkap (yaitu L periode) untuk
menentukan estimasi awal dari indeks musiman, Lt-1, dan kita perlu menaksir faktor
44
trend dari satu periode ke periode selanjutnya. Adapun rumus yang digunakan untuk
inisialisasi awal yaitu :
XXI
SX
Lt
LL
=
= ++ 11
3.4.10 Metode peramalan Weight Moving Average
Menurut Render dan Heizer apabila ada pola atau trend yang dapat kita deteksi,
timbangan bisa digunakan untuk menempatkan lebih banyak tekanan pada nilai baru.
Ini membuat teknik itu lebih responsif terhadap perubahan karena setiap periode yang
lebih baru mungkin lebih besar timbangannya. Pilihan timbangan bersifat arbiter karena
tidak ada rumus untuk menentukannya. Jika bulan terakhir ditimbang terlalu berat,
ramalan bisa mencerminkan perubahan dalam permintaan yang tidak biasa atau pol
penjualan yang terlalu cepat.
Rumus =
( )( )∑
∑Timbangan
nperiodedalamtaanPernperiodeuntukTimbangan ___min___
3.4.11 Metode peramalan Single Eksponensial Smoothing
Menurut Render dan Heizer rumus untuk Single Eksponensial Smoothing 1
parameter adalah :
Inisialisasi : F1 = X1
Peramalan : ( )111 −−− −+= ttt FAFFt α
Dimana :
At-1 = data aktual permintaan pada periode t-1.
45
Ft = data peramalan pada periode t
Ft-1 = data peramalan pada periode t-1
α = konstanta pemulusan yang bernilai antara 0 sampai 1
3.4.12 Metode peramalan Single Moving Average
Rata-rata bergerak bermanfaat jika mengasumsikan bahwa permintaan pasar
tetap stabil sepanjang waktu. Menurut Render dan Heizer rumus untuk Single Moving
Average adalah:
Rata-rata bergerak = n
sebelumnyaperiodendatataanPer∑ ____min
3.5 Statistik Ketepatan Peramalan
3.5.1 Ukuran Statistik Standar
Jika Xt merupakan data aktual untuk periode t dan Ft merupakan ramalan (atau
nilai kecocokan / fitted value) untuk periode yang sama, maka kesalahan didefinisikan
sebagai :
ttt FXe −=
Jika terdapat nilai pengamatan dan ramalan untuk n periode waktu, maka akan
terdapat n buah galat dan ukuran statistik standar berikut dapat didefinisikan :
• Nilai Tengah Galat Absolut (Mean Absolute Error)
∑==
n
tet
nMAE
1
1
46
• Nilai Tengah Galat Kuadrat (Mean Squared Error)
21
1 etn
MSE n
t∑==
• Deviasi Standar Galat (Standard Deviation of Error)
211
1 etn
SDE n
t∑ =−=
Dua formulasi yang sering digunakan dalam menghitung kesalahan yaitu mean
absolute error (yang dalam beberapa buku disebut sebagai mean absolute deviation) dan
mean squared error (MSE). Perbedaan keduanya adalah terletak pada bobot kesalahan,
satu dalam bentuk angka kesalahan absolut dan yang lainnya dalam bentuk nilai kuadrat.
Tujuan optimalisasi statistik seringkali adalah untuk memilih suatu model agar
MSE minimal, tetapi ukuran ini mempunyai dua kelemahan. Pertama, ukuran ini
menunjukkan pencocokan (fitting) suatu model terhadap data hitoris. Pencocokan seperti
ini tidak perlu mengimplikasikan peramalan yang baik. Suatu model terlalu cocok (over
fitting) dengan deret data, yang berarti sama dengan memasukkan unsur random sebagai
bagian proses bangkitan, berarti tidak berhasil mengenali pola non-acak dalam data
dengan baik. Perbandingan nilai MSE yang terjadi selama fase pencocokan peramalan
adalah mungkin memberikan sedikit indikasi ketepatan model dalam peramalan. Kedua,
sebagai ukuran ketepatan model adalah berhubungan dengan kenyataan bahwa metode
yang berbeda akan menggunakan prosedur yang berbeda pula dalam fase pencocokan.
Dalam fase peramalan, penggunaan MSE sebagai suatu ukuran ketepatan juga
dapat menimbulkan masalah. Ukuran ini tidak memudahkan perbandingan deret berkala
yang berbeda dan untuk selang waktu yang berlainan, karena MSE merupakan ukuran
47
para absolut. Lagipula, interpretasinya tidak bersifat intuitif bahkan untuk para spesialis
sekalipun, karena ukuran ini menyangkut pengkuadratan sederetan nilai (Makridakis,
1999, p58-61).
3.5.2 Ukuran – ukuran Relatif
Karena adanya keterbatasan MSE sebagai suatu ukuran ketepatan peramalan,
maka muncul usulan alternatif – alternatif lain yang diantaranya menyangkut galat
persentase. Tiga ukuran yang sering digunakan (Makridakis, 1999, p61-62) adalah :
• Galat Persentase (Percentage Error)
100*⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −=
t
tt
XFX
PE
• Nilai Tengah Galat Persentase (Mean Percentage Error)
tn
tPE
nMPE ∑ =
=1
1
• Nilai Tengah Galat Persentase Absolut (Mean Absolute Percentage Error)
tn
tPE
nMAPE ∑ =
=1
1
PE dapat digunakan untuk menghitung kesalahan persentase setiap periode
waktu. Nilai-nilai ini kemudian dapat dirata-ratakan untuk memberikan nilai tengah
kesalahan persentase (MPE). Namun MPE mungkin mengecil karena PE positif dan
negatif cenderung saling meniadakan. Dari sana MAPE didefinisikan dengan
menggunakan nilai absolut dari PE.
48
3.6 Pengukuran Waktu
Menurut pendapat Sutalaksana (1979, p131) pengukuran waktu adalah pekerjaan
mengamati dan mencatat waktu kerja baik setiap elemen ataupun siklus dengan
menggunakan alat-alat yang telah disiapkan. Teknik pengukuran waktu terbagi atas dua
bagian yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung
adalah pengukuran yang dilakukan secara langsung yaitu ditempat dimana pekerjaan
yang bersangkutan dilaksanakan. Dua cara yang termasuk didalamnya adalah cara jam
henti dan sampling pekerjaan. Cara tidak langsung melakukan perhitungan waktu tanpa
harus berada ditempat pekerjaan yaitu dengan membaca tabel-tabel yang tersedia
asalkan mengetahui jalannya pekerjaan melalui elemen-elemen pekerjaan atau elemen-
elemen gerakan.
Pengukuran waktu ditujukan untuk mendapatkan waktu baku penyelesaian
pekerjaan yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja normal untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik (Sutalaksana,
1979, p117).
3.7 Pengukuran Waktu baku
Waktu baku merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang
memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Di sini
sudah meliputi kelonggaran waktu yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan
kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan tersebut. Dengan demikian, maka waktu baku
yang dihasilkan dalam aktivitas pengukuran kerja ini akan dapat digunakan sebagai alat
untuk membuat rencana penjadwalan kerja yang menyatakan berapa lama suatu kegiatan
49
itu harus berlangsung dan berapa output yang dihasilkan serta berapa jumlah tenaga
kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
3.7.1 Pengukuran Pendahuluan
Tujuan dilakukan pengukuran pendahuluan adalah untuk mengetahui berapa kali
pengukuran harus dilakukan untuk tingkat-tingkat ketelitian dan kepercayaan yang
diinginkan. Tahap-tahapnya adalah sebagai berikut (Sutalaksana, 1979, p132) :
1. Melakukan beberapa buah pengukuran yang banyaknya ditentukan oleh
pengukur.
2. Menguji keseragaman data, menghitung jumlah pengukuran yang diperlukan,
dan bila pengukuran belum mencukupi maka dilanjutkan dengan pengukuran
pendahuluan kedua.
3.7.2 Uji Keseragaman Data
Uji keseragaman data perlu untuk dilakukan terlebih dahulu sebelum
menggunakan data yang diperoleh guna menetapkan waktu baku. Uji keseragaman data
bisa dilaksanakan dengan cara visual dan/atau mengaplikasikan peta kontrol (control
chart). Peta kontrol (control chart) adalah suatu alat yang tepat guna dalam menguji
keseragaman data dan/atau keajegan data yang diperoleh dari hasil pengamatan.
Uji keseragaman data secara visual dilakukan secara sederhana mudah dan cepat.
Disini kita hanya sekedar melihat data yang terkumpul dan seterusnya
mengedentifikasikan data yang terlalu ekstrim. Yang dimaksud dengan data yang terlalu
“ekstrim” adalah data yang terlalu besar atau yang terlalu kecil dan jauh menyimpang
dari trend rata-ratanya. Data yang terlalu ekstrim ini sebaiknya dibuang jauh-jauh dan
tidak dimasukkan ke dalam perhitungan selanjutnya (Wignjosoebroto, 2000, p194-195).
50
Langkah – langkah yang dilakukan untuk menguji keseragaman data sebagai
berikut :
1. Hasil pengukuran dikelompokkan ke dalam subgrup-subgrup dan hitung rata-rata
dari tiap subgrup :
nXi
kX ∑=
dimana : n = ukuran subgrup, yaitu banyaknya data dalam satu subgrup
k = jumlah subgrup yang terbentuk
Xi = data pengamatan
2. Hitung rata-rata keseluruhan, yaitu rata-rata dari rata-rata subgrup :
kX
X k∑=
3. Hitung standar deviasi dari waktu penyelesaian :
1N
XXiσ
2
−
⎟⎠⎞⎜
⎝⎛ −
=∑
dimana: N = jumlah pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan
4. Hitung standar deviasi dari distribusi harga rata-rata subgrup :
nXσσ =
5. Tentukan Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB) :
BKA = x + ( ZX
σ )
BKB = x – ( ZX
σ )
51
Dimana : Z = koefisien pada distribusi normal sesuai dengan tingkat
kepercayaan, rumusnya :
6. Jika seluruh rata-rata data waktu subgrup berada di daerah antara BKA dan BKB,
maka data waktu dikatakan seragam.
3.7.3 Uji Kecukupan Data
Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan elemen kerja pada umumnya akan
sedikit berbeda dari siklus ke siklus kerja sekalipun operator bekerja pada kecepatan
normal dan uniform, tiap elemen dalam siklus yang berbeda tidak selalu akan bisa
diselesaikan dalam waktu yang persis sama. Aktivitas pengukuran kerja pada dasarnya
adalah merupakan proses sampling. Konsekuensi yang diperoleh adalah bahwa semakin
besar jumlah siklus kerja yang diamati atau diukur maka akan semakin mendekati
kebenaran akan data waktu yang diperoleh. Konsistensi dari hasil pengukuran dan
pembacaan waktu oleh stop-watch akan merupakan hal yang diinginkan dalam proses
pengukuran kerja. Semakin kecil variasi atau perbedaan data waktu yang ada, maka
jumlah pengukuran atau pengamatan yang harus dilakukan juga akan cukup kecil.
Sebaliknya, semakin besar variabilitas dari data waktu pengukuran, akan menyebabkan
jumlah siklus kerja yang diamati juga akan semakin besar agar bisa diperoleh ketelitian
yang dikehendaki (Wignjosoebroto, 2000, p183).
Perhitungan uji kecukupan data dapat dilakukan setelah semua harga rata-rata
subgrup berada dalam batas kendali. Rumus dari kecukupan data adalah:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ −
−=2
11 βZ
52
( )2
iX
2Xi2XiNsZ
N'⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
∑
∑ ∑−=
dimana:
N’ = jumlah pengukuran data minimum yang dibutuhkan
N = jumlah pengukuran pendahuluan yang telah dilakukan setelah
dikurangi data pengukuran di luar BKA atau BKB
Z = bilangan konversi pada distribusi normal sesuai dengan tingkat
kepercayaan
s = tingkat ketelitian
Jumlah pengukuran waktu dapat dikatakan cukup apabila jumlah pengukuran
data minimum yang dibutuhkan secara teoritis lebih kecil atau sama dengan jumlah
pengukuran pendahuluan yang sudah dilakukan (N’≤ N). Jika jumlah pengukuran masih
belum mencukupi, maka harus dilakukan pengukuran lagi sampai jumlah pengukuran
tersebut cukup.
3.7.3.1 Tingkat Ketelitian dan Tingkat Kepercayaan
Yang dicari dengan melakukan pengukuran-pengukuran ini adalah waktu yang
sebenarnya dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Karena waktu
penyelesaian ini tidak pernah diketahui sebelumnya maka harus diadakan pengukuran-
pengukuran. Yang ideal tentunya dilakukan pengukuran-pengukuran yang sangat banyak
(sampai tak terhingga kali) karena dengan demikian diperoleh jawaban yang pasti.
Tetapi hal ini jelas tidak mungkin karena keterbatasan waktu, tenaga dan tentunya biaya.
Namun sebaliknya jika tidak dilakukan beberapa kali pengukuran saja, dapat diduga
53
hasilnya sangat kasar. Sehingga yang diperlukan adalah jumlah pengukuran yang tidak
membebankan waktu, tenaga dan biaya yang besar tetapi hasilnya tidak dapat dipercaya.
Jadi,walaupun jumlah pengukuran tidak berjuta kali, tetapi jelas tidak hanya beberapa
kali saja.
Dengan tidak dilakukannya pengukuran yang banyak sekali ini, pengukur akan
kehilangan sebagian kepastian akan ketetapan/rata-rata waktu penyelesaian yang
sebenarnya. Hal ini harus disadari. Tingkat ketelitian dan tingkat kepercayaan adalah
pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak
akan melakukan pengukuran yang sangat banyak.
Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari
waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen. Sedangkan,
tingkat kepercayaan menunjukkan besarnya kepercayaan pengukur bahwa hasil yang
diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi. Inipun dinyatakan dalam persen (Sutalaksana,
1979, p135).
3.7.3.2 Penyesuaian
Penyesuaian adalah proses dimana analisa pengukuran waktu membandingkan
penampilan operator (kecepatan atau tempo) dalam pengamatan dengan konsep
pengukur sendiri tentang bekerja secara wajar. Setelah pengukuran berlangsung,
pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang ditunjukkan operator. Ketidakwajaran
dapat saja terjadi, misalnya bekerja tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu
waktu, atau karena menjumpai kesulitan-kesulitan, seperti karena kondisi ruangan yang
buruk. Sebab-sebab seperti ini mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu
singkat atau terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak diinginkan karena
54
waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang
baku yang diselesaikan secara wajar.
Andai kata ketidakwajaran ada, maka pengukur harus mengetahuinya dan
menilai seberapa jauh hal itu terjadi. Penilaian perlu diadakan karena berdasarkan inilah
penyesuaian dilakukan. Jadi jika pengukur mendapatkan harga rata-rata siklus/elemen
yang diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh operator, maka agar
harga rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus menormalkannya dengan
melakukan penyesuaian.
Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-rata atau
waktu elemen rata-rata dengan suatu harga p yang disebut faktor penyesuaian. Besarnya
harga p tentunya sedemikian rupa sehingga hasil perkalian yang diperoleh
mencerminkan waktu yang sewajarnya atau yang normal. Bila pengukur berpendapat
bahwa operator bekerja di atas normal (terlalu cepat), maka harga p-nya akan lebih
besar dari satu (p1); sebaliknya jika operator dipandang bekerja di bawah normal, maka
harga p akan lebih kecil dari satu (p). Seandainya pengukur berpendapat bahwa operator
bekerja dengan wajar, maka harga p-nya sama dengan satu (p=1) (Sutalaksana, 1979,
p138).
Terdapat beberapa metode dalam menentukan faktor penyesuaian (Sutalaksana,
1979, p139-149), yaitu :
a. Metode Persentase
Merupakan cara yang paling awal digunakan dalam melakukan penyesuaian.
Besarnya faktor penyesuaian sepenuhnya dilakukan oleh pengukur melalui
pengamatannya selama melakukan pengukuran. Cara ini adalah cara yang paling
55
mudah dan sederhana tetapi cara ini bersifat subyektif, kurang teliti karena
kasarnya penilaian.
b. Metode Shumard
Cara ini memberikan patokan-patokan penilaian melalui kelas-kelas performance
kerja dimana setiap setiap kelas tersebut mempunyai nilai sendiri-sendiri. Di sini
pengukur diberi patokan untuk menilai performansi kerja operator menurut
kelas-kelas Superfast +, Fast, Fast -, Excellent, dan seterusnya.
c. Metode Westinghouse
Cara ini mengarahkan penilaian pada empat faktor yang dianggap menentukan
kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja, yaitu : keterampilan, usaha,
kondisi kerja dan konsistensi. Setiap faktor terbagi dalam kelas-kelas dan
nilainya masing-masing.
d. Metode Objektif
Merupakan metode yang memperhatikan dua faktor, yaitu : kecepatan kerja dan
tingkat kesulitan pekerjaan. Kedua faktor inilah yang dipandang bersama-sama
untuk menentukan berapa harga penyesuaian untuk mendapatkan waktu normal.
e. Metode Bedaux dan Sintesa
Cara Bedaux tidak banyak berbeda dengan cara Shumard, hanya saja niali-nilai
pada cara Bedaux dinyatakan dalam “B”. Sedangkan cara sintesa waktu
penyelesaian setiap elemen gerakan dibandingkan dengan harga-harga yang
diperoleh dari tabel-tabel waktu gerakan untuk kemudain dihitung harga rata-
ratanya.
56
3.7.4 Kelonggaran
Kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi,
menghilangkan rasa fatique, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan.
Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja, dan yang
selama pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat ataupun dihitung. Karenanya sesuai
pengukuran dan setelah mendapatkan waktu normal, kelonggaran perlu ditambahkan
(Sutalaksana, 1979, p149-154).
1) Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi
Yang temasauk dalam kebutuhan pribadi disini adalah hal-hal seperti minum
sekadarnya untuk menghilangkan rasa haus, kekamar kecil, becakap-cakap
dengan teman sekerja untuk menghilangkan ketegangan dan kejemuhan kerja.
Kebutuhan-kebutuhan ini jelas terlihat sebagai sesuatu yang mutlak. Besarnya
kelonggaran yang diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya karena setiap pekerjaan memiliki
karakteristik sendiri-sendiri dengan tuntutan yang berbeda-beda.
2) Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique
Rasa fatique tercermin antara lain dari menurunnya hasil produksi baik jumlah
maupun kualitas. Salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran ini
adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan mencatat pada
saat-saat dimana hasil produksi menurun.
3) Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tak terhindarkan
Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak akan lepas dari berbagai
“hambatan“. Ada hambatan yang dapat dihindarkan seperti mengobrol yang
berlebihan dan menganggur dengan sengaja ada pula hambatan yang tidak dapat
57
dihindarkan karena berada diluar kekuasaan pekerja untuk mengendalikannya.
Beberapa contoh yang termasuk kedalam hambatan tak terhindarkan adalah :
a. Menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas
b. Melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin
c. Memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat seperti mengganti alat potong
yang patah, memasang kembali ban yang lepas dan sebagainya.
d. Mengasah peralatan potong.
e. Mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang.
3.7.5 Perhitungan Waktu Baku
Kegiatan pengukuran waktu dinyatakan selesai bila semua data yang diperoleh
telah seragam, dan jumlahnya telah memenuhi tingkat ketelitian dan keyakinan yang
diinginkan. Selanjutnya adalah mengolah data untuk menghitung waktu baku yang
diperoleh dengan langkah-langkah:
1. Menghitung waktu siklus
NXi
Wr ∑=
dimana : Xi = data yang termasuk dalam batas kendali
2. Menghitung waktu normal
pWrWn ×=
dimana : p adalah faktor penyesuaian
3. Menghitung waktu baku
a)(1WnWb +×=
58
dimana : a = kelonggaran yang diberikan pekerja untuk menyelesaikan
pekerjaannya disamping waktu normal.
3.8 Master Production Schedule (MPS)
3.8.1 Pengertian MPS
Menurut Gaspersz (1998, p141-144) pada dasarnya jadwal produksi induk
(Master Production Schedulling = MPS) merupakan suatu pernyataan tentang produk
akhir (termasuk parts pengganti dan suku cadang) dari suatu perusahaan industri
manufaktur yang merencanakan memproduksi output berkaitan dengan kuantitas dan
periode waktu. MPS mendisagregasikan dan mengimplementasikan rencana produksi.
Apabila rencana produksi yang merupakan hasil dari proses perencanaan produksi
dinyatakan dalam bentuk agregat, jadwal produksi induk yang merupakan hasil dari
proses penjadwalan produksi induk dinyatakan dalam konfigurasi spesifik dengan
nomor-nomor item yang ada dalam Item Master and BOM (Bill of Material) files.
Aktifitas penjadwalan produksi induk pada dasarnya berkaitan dengan
bagaimana menyusun dan memperbaharui jadwal produksi induk, memproses transaksi
MPS, memelihara catatan-catatan MPS, mengevaluasi efektifitas dari MPS, dan
memberikan laporan evaluasi dalam periode waktu yang teratur untuk keperluan umpan-
balik dan tinjauan ulang.
MPS sering didefinisikan sebagai anticipated build schedule untuk item-item
yang disusun oleh perencana jadwal produksi induk (master schedule). MPS membentuk
jalinan komunikasi antara bagian pemasaran dan bagian manufakturing, sehingga
seyogyanya bagian pemasaran juga mengetahui informasi yang ada dalam MPS
59
terutama berkaitan dengan ATP (Available To Promise) agar dapat memberikan janji
yang akurat kepada pelanggan.
Penjadwalan produksi induk pada dasarnya berkaitan dengan aktifitas melakukan
empat fungsi utama berikut :
1. Menyediakan atau memberikan input utama kepada sistem perencanaan
kebutuhan material dan kapasitas (material and capacity requirements planning
= M&CRP).
2. Menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian (production and
purchase orders) untuk item-item MPS.
3. Memberikan landasan untuk penentuan kebutuhan sumber daya dan kapasitas.
4. Memberikan basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk (delivery
promises) kepada pelanggan.
Gambar 3.7 Proses Penjadwalan Produksi
Sebagai suatu aktifitas proses, penjadwalan produksi induk (MPS) yang terlihat
pada gambar 3.7, MPS membutuhkan lima input utama yaitu antara lain :
60
• Data Permintaan Total merupakan salah satu sumber data bagi proses
penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan ramalan
penjualan (sales forecasts) dan pesanan-pesanan (orders).
• Status Inventori berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory, stok
yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock), pesanan-pesanan
produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released production and purchase
orders), dan firm planned orders. MPS harus mengetahui secara akurat berapa
banyak inventori yang tersedia dan menentukan berapa banyak yang harus
dipesan.
• Rencana Produksi memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS harus
menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, inventori, dan sumber-
sumber daya lain dalam rencana produksi itu.
• Data Perencanaan berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot-sizing yang harus
digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu tunggu
(lead time) dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file induk dari
item (Item Master File).
• Informasi dari RCCP berupa kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan
MPS menjadi salah satu input bagi MPS. RCCP menentukan kebutuhan
kapasitas untuk mengimplementasikan MPS, menguji kelayakan dari MPS, dan
memberikan umpan-balik kepada perencana atau penyusun jadwal produksi
induk (Master Scheduler) untuk mengambil tindakan perbaikan apabila
ditemukan adanya ketidaksesuaian antara penjadwalan produksi induk dan
kapasitas tersedia.
61
3.8.2 Teknik Penyusunan MPS
Tabel 3.1 Contoh Tabel MPS
Item No : Description :
Lead time : Safety stock :
On Hand : Demand Time Fences :
Planning Time Fences :
Period Past Due 1 2 3 4 5 6
Forecast
Actual Order (AO)
Project Available Balance (PAB)
Available to Promise (ATP)
Master Schedule (MS)
Penjelasan mengenai komponen-komponen yang terdapat dalam tabel 3.1 MPS
adalah sebagai berikut :
a) Item No menyatakan kode produk yang akan diproduksi.
b) Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau
memanufaktur suatu produk.
c) On hand menyatakan jumlah produk yang ada di gudang sebagai sisa periode
sebelumnya.
d) Description menyatakan deskripsi produk secara umum.
e) Safety stock merupakan stok pengaman yang harus ada di tangan sebagai
antisipasi terhadap kebutuhan di masa akan datang.
62
f) Demand Time Fences (DTF) adalah periode mendatang dari MPS di mana
dalam periode ini perubahan terhadap MPS tidak diijinkan atau tidak diterima
karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat ketidaksesuaian atau
kekacauan jadwal.
g) Planning Time Fences (PTF) merupakan batas waktu penyesuaian pesanan di
mana permintaan masih boleh berubah. Perubahan masih akan dilayani
sepanjang material dan kapasitas masih tersedia.
h) Forecast merupakan rencana penjualan atau peramalan penjualan untuk item
yang dijadwalkan itu.
i) Actual Order (AO) merupakan pesanan-pesanan yang diterima dan bersifat pasti.
j) Projected Available Balance (PAB) merupakan perkiraan jumlah sisa produk
pada akhir periode. PAB dihitung dengan menggunakan rumus:
PAB t < DTF = PABt-1 + MSt – AO
PAB DTF < t < PTF = PABt-1 + MSt – AO atau Ft (pilih yang besar)
k) Available to Promise memberikan informasi tentang berapa banyak item atau
produk tertentu yang dijadwalkan pada periode waktu itu tersedia untuk pesanan
pelanggan, sehingga berdasarkan informasi ini bagian pemasaran dapat membuat
janji yang tepat bagi pelanggan.
ATPt = ATPt-1 + MSt – AOt
l) Master Schedule merupakan jadwal produksi atau manufakturing yang
diantisipasi untuk produk atau item tertentu.
63
3.9 Material Requirement Planning (MRP)
3.9.1 Pengertian MRP
MRP merupakan suatu prosedur logis berupa aturan keputusan dan teknik
transaksi berbasis komputer yang dirancang untuk menerjemahkan jadwal induk
produksi menjadi “kebutuhan bersih” untuk semua item. Sistem MRP dikembangkan
untuk membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan akan item-item dependent
secara lebih baik dan efisien.
Menurut Schoeder (2000, p368) persediaan untuk independent demand
didefinisikan sebagai persediaan yang dipengaruhi atau tunduk pada kondisi-kondisi
pasar dan bebas dari operasi misalnya : persediaan barang jadi dan suku cadang pada
suatu perusahaan manufaktur yang digunakan untuk memenuhi permintaan konsumen
pada suatu perusahaan persediaan ini harus dikelola dengan metoda titik pemesanan.
Sebaliknya untuk dependent demand tidak dipengaruhi oleh kondisi-kondisi pasar dan
hanya tergantung pada permintaan suku cadang ditingkat atasnya. Beberapa ciri-ciri
dependent demand adalah :
- Ada hubungan matematis antara kebutuhan suatu item dengan item yang lain yang
berada pada level yang lebih tinggi
- Kebutuhan diturunkan dari pemakaian item dalam pembuatan item lain
- Misal kebutuhan akan bahan baku, komponen atau su assembly dalam pembuatan
suatu produk jadi
- Item perlu ada hanya pada saat dibutuhkan
- Diperlukan MRP untuk menjadwalkan seluruh komponen dependent yang
diperlukan dalam rencana MPS/JIP
64
3.9.2 Tujuan dan Manfaat Sistem MRP
Sistem MRP adalah suatu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan informasi
yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat (pembatalan pesanan, pesan ulang, dan
penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan dasar untuk membuat keputusan baru
mengenai pembelian atau produksi yang merupakan perbaikan atas keputusan yang telah
dibuat sebelumnya.
Ada empat tujuan yang menjadi ciri utama sistem MRP yaitu sebagai berikut :
1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat
Menentukan secara tepat kapan sutu pekerjaan harus selesai (atau meterial harus
tersedia) untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah
direncanakan dalam jadwal induk produksi (JIP).
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item
Dengan diketahuinya kebutuhan akhir, sistem MRP dapat menentukan secara
tepat sistem penjadwalan (prioritas) untuk memenuhi semua kebutuhan minimal
setiap item.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan
Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus
dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat pada pabrik
sendiri.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah
direncanakan
Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan
pada waktu yang diinginkan, maka sistem MRP dapat memberikan indikasi
untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan menentukan
65
prioritas pesanan yang realistik. Jika penjadwalan ulang ini masih tidak
memungkinkan untuk memenuhi pesanan, maka pembatalan atas suatu pesanan
harus dilakukan.
Beberapa manfaat dari MRP (Render dan Heizer, 1997, p362), adalah:
- Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen
- Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja
- Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik
- Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar
- Tingkat persediaan menurun tanpa mengurangi pelayanan kepada konsumen
3.9.3 Input MRP
Sebagai suatu sistem, MRP membutuhkan lima input utama (Gaspersz,
2001, p177) seperti pada gambar 3.8 berikut :
PerencanaanKapasitas(CapacityPlanning)
1. MPS2. Bill of Materials3. Item Master4. Pesanan-pesanan5. Kebutuhan
PerencanaanKebutuhan
Material (MRP)
- Primary (orders) Report - Action Report - Pegging Report
Umpan Balik
OUTPUT :PROSES :INPUT :
Gambar 3.8 Proses Kerja dari MRP
66
Kelima sumber input utama pada gambar 3.8 di atas adalah :
1. Master Production Schedule (MPS) yang suatu rencana terperinci tentang
tentang produk akhir apa yang direncanakan perusahaan untuk diproduksi,
berapa kuantitas yang dibutuhkan, pada waktu kapan dibutuhkan, dan kapan
produk itu akan diproduksi.
2. Bill of Material (BOM) merupakan daftar jumlah komponen, campuran bahan,
dan bahan baku yang diperlukan untuk membuat suatu produk. MRP
menggunakan BOM sebagai basis untuk perhitungan banyaknya setiap material
yang dibutuhkan untuk setiap periode waktu. Bagan bahan dalam komputer
harus selalu benar dan dapat menggambarkan bagaimana produk itu dibuat.
3. Item master merupakan suatu file yang berisi informasi tentang material, parts
subassemblies, dan produk-produk yang menunjukkan kuantitas on-hand,
kuantitas yang dialokasikan (allocated quantity), waktu tunggu yang
direncanakan (planned lead times), ukuran lot (lot size), stok pengaman, kriteria
lot sizing, toleransi untuk scrap atau hasil, dan berbagai informasi penting
lainnya yang berkaitan dengan suatu item.
4. Pesanan-pesanan (orders) berisi tentang banyaknya dari setiap item yang akan
diperoleh sehingga akan meningkatkan stock on-hand di masa mendatang. Pada
dasarnya terdapat dua jenis pesanan, yaitu: shop orders or work orders or
manufacturing orders berupa pesanan-pesanan yang akan dibuat atau diproduksi di
dalam pabrik, dan purchase orders yang merupakan pesanan-pesanan pembelian
suatu item dan pemasok eksternal.
5. Kebutuhan-kebutuhan (requirements) akan memberitahukan tentang banyaknya
masing-masing item itu dibutuhkan sehingga akan mengurangi stock on-hand di
67
masa mendatang. Pada dasarnya terdapat dua jenis kebutuhan, yaitu kebutuhan
internal dan eksternal. Kebutuhan internal digunakan dalam PABrik untuk membuat
produk lain, dan kebutuhan eksternal yang akan dikirim ke luar PABrik berupa:
pesanan pelanggan (customer orders), service parts, dan sales forecasts.
3.9.4 Mekanisme Dasar dari Proses MRP
Tabel 3.2 Contoh Tabel MRP
Part no : Description:
BOM UOM : On hand :
Lead time : Order policy :
Safety stock : Lot size :
period Past due 1 2 3 4 5 6 7 8
gross requirement
scheduled receipts
projected available balance 1
net requirement
planned order receipts
planned order release
projected available balance 2
Penjelasan mengenai tabel sebelumnya adalah sebagai berikut :
1. Part no menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit
2. BOM (Bill of Materials) UOM (Unit of Material) menyatakan satuan komponen
atau material yang akan dirakit
68
3. Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk merilis atau mengirim
suatu komponen.
4. Safety stock menyatakan cadangan material yang harus ada sebagai antisipasi
kebutuhan dimasa yang akan datang.
5. Description menyatakan deskripsi material secara umum.
6. On Hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode
sebelumnya.
7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan yang digunakan untuk menentukan
ukuran lot yang dibutuhkan saat memesan barang.
8. Lot Size menyatakan penentuan ukuran lot saat memesan barang.
9. Gross Requirement menyatakan jumlah yang akan diproduksi atau dipakai pada
setiap periode. Untuk item akhir (produk jadi), kuantitas gross requirement sama
dengan MPS (Master Production Schedule). Untuk komponen, kuantitas gross
requirement diturunkan dari Planned Order Release induknya.
10. Scheduled Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima pada
periode tertentu.
11. Projected Available Balance I ( PAB I ) menyatakan kuantitas material yang ada
di tangan sebagai persediaan pada awal periode. PAB I dapat dihitung dengan
menambahkan material on hand periode sebelumnya dengan Scheduled Receipts
pada periode itu dan menguranginya dengan Gross Requirement pada periode
yang sama. Atau jika dimasukkan pada rumus adalah sebagai berikut :
PAB I = (PAB II)t-1 - (Gross Requirement)t + (Scheduled Receipts)t
12. Net Requirements menyatakan jumlah bersih (netto) dari setiap komponen yang
harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya atau untuk memenuhi
69
Master Production Scheduled. Net Requirements sama dengan nol jika Projected
Available Balance I lebih besar dari nol dan sama dengan minus jika Projected
Available Balance I kurang sama dengan dari nol.
Net Requirement = -(PAB I)t + Safety stock
13. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pemesanan yang dibutuhkan pada
suatu periode. Planned Order Receipts muncul pada saat yang sama dengan Net
Requirements, akan tetapi ukuran pemesanannya (lot sizing) bergantung kepada
Order Policy-nya. Selain itu juga harus mempertimbangkan Safety stock juga.
14. Planned Order Release menyatakan kapan suatu pesanan sudah harus dilakukan
atau dimanufaktur sehingga komponen ini tersedia ketika dibutuhkan oleh induk
itemnya. Kapan suatu pesanan harus dilakukan ditetapkan dengan periode Lead
time sebelum dibutuhkan.
15. Projected Available Balance II ( PAB II ) menyatakan kuantitas material yang
ada di tanagn sebagai persediaan pada akhir periode. PAB II dapat dihitung
dengan cara mengurangkan Planned Order Receipts pada Net Requirements.
PAB II = (PAB II) t-1 + (Schedule receipt) t – (Gross Requirement) t +
(Planned Order Receipt) t
atau dapat disingkat :
PAB II = (PAB I)t + (Planned Order Receipt)t
3.9.5 Prosedur Sistem MRP
Sistem MRP memiliki empat langkah utama yang selanjutnya keempat langkah
ini harus diterapkan satu per satu pada periode perencanaan dan pada setiap item.
Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :
70
- Netting : Perhitungan kebutuhan bersih.
- Lotting : Penentuan ukuran lot.
- Offsetting : Penetapan besarnya lead time.
- Explosion : Perhitungan selanjutnya untuk item level di bawahnya.
3.9.5.1 Netting
Netting adalah proses perhitungan untuk menetapkan jumlah kebutuhan bersih,
yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaaan persediaan (
yang ada dalam persediaan dan yang sedang dipesan). Data yang diperlukan dalam
proses perhitungan kebutuhan bersih ini adalah :
1. Kebutuhan kotor untuk setiap periode.
2. Persediaan yang dipunyai pada awal perencanaan.
3. Rencana penerimaan untuk setiap periode perencanaan.
3.9.5.2 Lotting
Untuk menjamin bahwa semua kebutuhan-kebutuhan akan dipenuhi, pesanan
akan dijadwalkan untuk penyelesaian pada awal periode dimana ada kebutuhan bersih
yang positif. Ukuran dari pesanan dapat mungkin sama dengan kebutuhan bersih di
periode yang bersangkutan, atau mungkin saja lebih besar yang meliputi kebutuhan
bersih di periode mendatang untuk memanfaatkan skala ekonominya.
Lotting adalah suatu proses untuk menentukan besarnya jumlah pesanan
optimal untuk setiap item secara individual didasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan
bersih yang telah dilakukan. Ukuran lot menentukan besarnya jumlah komponen yang
diterima setiap kali pesan. Penentuan ukuran lot ini sangat tergantung pada besarnya
biaya-biaya persediaan, seperti biaya pesan, biaya simpan, biaya modal, dan harga
71
barang itu sendiri. Ada banyak alternatif metode untuk menentukan ukuran lot. Beberapa
teknik diarahkan untuk meminimalkan total ongkos set-up dan ongkos simpan. Teknik-
teknik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Fixed Order Quantity (FOQ)
Dalam metode FOQ ukuran lot ditentukan secara subjektif. Berapa besarnya dapat
ditentukan berdasarkan pengalaman produksi atau intuisi. Tidak ada teknik yang
dapat dikemukakan untuk menentukan berapa ukuran lot ini. Kapasitas produksi
selama lead time produksi dalam hal ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
menentukan besarnya lot. Sekali lot ditetapkan, maka lot ini akan digunakan untuk
seluruh periode selanjutnya dalam perencanaan. Berapa pun kebutuhan bersihnya,
rencana pesan akan tetap sebesar lot yang telah ditentukan tersebut.
Apabila teknik ini diterapkan dalam sistem MRP, maka besarnya jumlah pesanan
dapat menjadi sama atau lebih besar dari kebutuhan bersih, yang kadang-kadang
diperlukan bila ada lonjakan permintaan. Salah satu ciri dari metode FOQ ini
adalah ukuran lot-nya selalu tetap, tetapi periode pemesanannya yang selalu
berubah.
2. Economic Order Quantity (EOQ)
Dalam teknik ini besarnya ukuran lot adalah tetap. Penentuan lot berdasarkan biaya
pesan dan biaya simpan, dengan formula seperti berikut :
HADEOQ 2
=
dimana :
EOQ = jumlah pemesanan yang ekonomis
D = Demand rata-rata per horison
72
A = biaya pesan bahan baku
H = biaya simpan bahan baku dalam suatu periode
Metode EOQ ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama satu tahun
sebesar dua belas bulan. Metode EOQ baik digunakan bila semua data konstan dan
perbandingan biaya pesan dan simpan sangat besar.
3. Lot-For-Lot (LFL)
Teknik penetapan ukuran lot dilakukan atas dasar pesanan diskrit. Di samping itu,
teknik ini merupakan cara paling sederhana dari semua teknik ukuran lot yang ada.
Teknik ini selalu melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis) terutama
apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini bertujuan
untuk meminimumkan ongkos simpan, sehingga dengan teknik ini ongkos simpan
menjadi nol. Oleh karena itu sering digunakan untuk item-item yang mempunyai
biaya simpan per unit sangat mahal.
4. Silver Meal
Adalah metode pemesanan lot dinamis (Dynamic Lot sizing Method) yang
mempertimbangkan pemesanan untuk beberapa periode ke depan. Tujuan dari
teknik lotting ini yaitu untuk meminimumkan rata-rata biaya per periode selama m
periode perencanaan. Biaya yang termasuk di dalam teknik lotting ini yaitu biaya
pesan dan biaya simpan. Permintaan untuk beberapa periode n ke depan
dilambangkan dengan :
D1, D2, ..., Dn
K(m) adalah biaya variabel rata-rata per periode jika pesanan mencakup m periode.
Diasumsikan biaya simpan terjadi pada akhir periode dan kuantitas yang diperlukan
di setiap periode digunakan pada awal periode.
73
Untuk periode 1 : K(1) = A
Jika kita memsan D1+D2 pada periode 1 untuk memenuhi permintaan di periode 1
dan 2 , kita mendapatkan:
K(2) = )(21
2hDA+
Dimana h adalah biaya simpan satu unit untuk 1 periode.
Rumus:
K(m) = mhDmhDhDAm
)1(...2(132 −++++
Hitung K(m), m= 1, 2, ..., m dan berhenti jika: K(m+1) > K(m)
Qi = D1 + D2 + ... + Dm
Secara umum, Qi adalah kuantitas yang dipesan pada periode i dan mencakup m
periode ke depan. Jika tidak ada pemesanan pada periode i maka Qi adalah nol.
5. Part Period Balancing
Metode ini berusahan meminimalkan jumlah biaya variabel untuk semua lot. Untuk
mendapatkan biaya simpan barang, dikenalkan nama part period yaitu satu unit
barang yang disimpan pada satu periode. Jadi apabila ada 10 unit disimpan untuk 1
periode sama dengan 10 part period, dan sama juga dengan 5 unit disimpan untuk
2 periode.
PPm = part period for m periods
Jadi
PP1 = 0
PP2 = D2
PP2 = D2 + 2 D3
74
PPm = D2 + 2 D3 + … + (m-1)Dm
PPF = part period factor = A / h
Stopping Rule = PPm > PPF
Keterangan:
Dm = permintaan pada periode ke m
A = Biaya Pesan
H = Biaya Simpan
3.9.5.3 Offsetting
Langkah ini bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan
rencana pemesanan dalam rangka memenuhi tingkat kebutuhan bersih. Rencana
pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan saat awal tersedianya ukuran lot yang
diinginkan dengan besarnya lead time. Lead time adalah besarnya waktu saat barang
mulai dipesan atau diproduksi sampai barang tersebut selesai dan diterima siap untuk
dipakai.
3.9.5.4 Explosion
Proses explosion adalah proses penghitungan kebutuhan kotor untuk tingkat
item/komponen yang lebih bawah. Perhitungan kebutuhan kotor ini didasarkan pada
rencana pemesanan item-item produk pada level yang lebih atas. Untuk penghitungan
kebutuhan kotor ini, diperlukan struktur produk dan informasi mengenai berapa jumlah
kebutuhan tiap item untuk iem yang akan dihitung.
Dalam proses ini, data mengenai struktur produk harus tersedia secara akurat.
Ketidakakuratan data struktur produk akan mengakibatkan kesalahan pada perhitungan.
75
Atas dasar struktur produk inilah proses explosion dibuat.Dengan data struktur produk
dapat ditentukan kearah komponen mana harus dilakukan explosion. Struktur produk
juga harus langsung dimodifikasi bila ada perubahan pada cara produksi atau perakitan.
3.10 Gantt Chart
Tujuan dari grafik ini adalab untuk menampilkan status dari tiap sumber daya
(biasanya adalah mesin) pada semua waktu. Sumbu x merepresentasikan waktu dan
sumbu y merepresentasikan batang horisontal untuk setiap mesin. Ketika sebuah kerja
diproses pada sebuah mesin, sebuah kotak ditempatkan di batang horisontal, dimulai
dengan waktu mulainya pekerjaan dan diakhiri dengan waktu penyelesaian. Selain mesin
Gantt chart juga dapat menampilkan status pekerjaan pada sumbu y.
3.11 Pengertian Sistem
Berdasarkan pendapat McLeod (2004, p9) sistem adalah sekelompok elemen-
elemen yang terintegrasi dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Definisi
ini cocok untuk suatu organisasi seperti suatu perusahaan atau bidang fungsional
lainnya. Organisasi terdiri dari sejumlah sumber daya seperti manusia, material, uang,
mesin, dan informasi dimana sumber daya tersebut bekerja menuju tercapainya suatu
tujuan yang ditentukan oleh pemilik atau manajemen.
Model dasar dari sistem ialah sebagai berikut :
a. Input
Merupakan sekumpulan data baik dari luar organisasi maupun dari dalam
organisasi yang akan digunakan dalam proses sistem informasi.
76
b. Process
Merupakan kegiatan konversi, manipulasi, dan analisis dari data input menjadi
lebih berarti bagi manusia.
c. Output
Merupakan proses menditribusikan informasi kepada orang atau kegiatan yang
memerlukannya.
d. Feedback
Merupakan output yang dikembalikan kepada orang-orang dalam organisasi untuk
membantu mengevaluasi input.
e. Subsistem
Merupakan sebagian dari sistem yang mempunyai fungsi khusus. Masing-masing
subsistem itu sendiri memiliki komponen input, proses, output, dan feedback.
Organisasi juga merupakan suatu sistem yang berisi beberapa subsistem yang
menjalankan aktivitas utama dan beberapa subsistem yang menjalankan aktivitas
pendukung. Aktivitas utama mempengaruhi secara langsung keunggulan kompetitif
produk seperti biaya, kualitas, ketersediaan, dan pelayanan. Sedangkan aktivitas
pendukung tidak secara langsung menciptakan nilai suatu produk.
3.12 Pengertian Informasi
McLeod (2004, p12) berpendapat informasi adalah data yang telah diproses, atau
data yang memiliki arti. Sedangkan menurut O’Brien (2004, p13) informasi adalah data
yang telah dikonversikan menjadi konteks yang berarti dan berguna bagi pemakai
tertentu.
77
Terdapat empat dimensi informasi menurut pendapat McLeod (2001, p145), yaitu:
- Ketepatan Waktu
Informasi harus dapat tersedia untuk memecahkan masalah pada waktu yang tepat
sebelum situasi menjadi tidak terkendali atau kesempatan yang ada menghilang.
Manajer juga harus mampu memperoleh informasi yang menggambarkan keadaan
yang sedang terjadi sekarang, selain apa yang telah terjadi pada masa lalu.
- Kelengkapan
Perusahaan khususnya manajer harus dapat memperoleh informasi yang memberi
gambaran lengkap dari suatu permasalahan atau penyelesaian. Namun pemberian
informasi yang tidak berguna secara berlebihan harus dihindari.
- Akurasi
Secara ideal, semua informasi harus akurat untuk menunjang terbentuknya sistem
yang akurat pula. Akurasi ini terutama diperlukan dalam aplikasi-aplikasi tertentu
seperti aplikasi yang melibatkan keuangan, semakin teliti informasi yang diinginkan
maka biaya pun semakin bertambah.
- Relevansi
Informasi disebut relevan jika informasi tersebut berkaitan langsung dengan masalah
yang sedang dihadapi. Manajer harus mampu memilih informasi yang diperlukan.
3.13 Pengertian Sistem Informasi
Berdasarkan pendapat McLeod (2001, p4) sistem informasi adalah kombinasi
secara terorgansir antara orang, perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi,
sumber data yang menerima, mentransformasikan, dan menyebarkan informasi dalam
organisasi.
78
Berdasarkan pendapat Laudon (2001, p8) sistem informasi adalah sekumpulan
komponen yang saling berhubungan yang menerima, memproses, menyimpan, dan
menyebarkan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan dan pengendalian
dalam sebuah organisasi.
Dalam suatu organisasi, sistem informasi memiliki beberapa peranan dasar yaitu
sistem informasi berusaha memberikan informasi aktual tentang lingkungan dari
organisasi tersebut sehingga organisasi mendapat gambaran yang akurat tentang
lingkungannya. Selain itu dengan aliran informasinya, sistem informasi berusaha agar
elemen – elemen di dalam organisasi selalu kompak dan harmonis dimana tidak terjadi
duplikasi kerja dan lepas satu sama lain. Dengan demikian dapat dilihat bahwa manfaat
dari sistem informasi ialah :
a) Menjadikan organisasi lebih efisien dan lebih efektif
b) Lebih cepat tanggap dalam merespon perubahan
c) Mengelola kualitas output
d) Memudahkan melakukan fungsi kontrol
e) Memprediksi masa depan
f) Melancarkan operasi organisasi
g) Menstabilkan beroperasinya organisasi
h) Membantu pengambilan keputusan.
3.14 Unified Modelling Language (UML)
3.14.1 Sejarah UML
Unified Modeling Language (UML) dikembangkan dengan tujuan untuk
menyederhanakan dan mengkonsolidasikan sejumlah besar metode pengembangan
79
object oriented yang muncul. Metode pengembangan untuk bahasa pemrograman
tradisional muncul pada tahun 1970 an dan menjadi menyebar pada tahun 1980 an. Yang
paling terkenal diantaranya adalah structured analysis and structured design.
Pendekatan analisa dan rancangan dengan menggunakan metode Object
Oriented mulai diperkenalkan sekitar pertengahan 1970 hingga akhir 1980 dikarenakan
pada saat itu aplikasi software sudah meningkat dan mulai kompleks. Jumlah yang
menggunakan metode OO mulai diuji coba dan diaplikasikan antara 1989 hingga 1994 ,
seperti halnya oleh Grady Booch dari Rational Software Co., dikenal dengan OOSE
(Object-Oriented Software Engineering), serta James Rumbaugh dari General Electric,
dikenal dengan OMT (Object Modelling Technique).
Kelemahan saat itu mulai disadari oleh Booch maupun Rumbaugh, ketika
mereka bertemu rekan lainnya, Ivar Jacobson dari Objectory. Kelemahannya adalah
tidak adanya standar penggunaan model yang berbasis OO, sehingga mereka mulai
mendiskusikan untuk mengadopsi masing-masing pendekatan metoda OO untuk
membuat suatu model bahasa yang seragam, yaitu UML (Unified Modeling Language)
dan dapat digunakan oleh seluruh dunia.
80
3.14.2 Kegunaan UML
UML diperuntukan untuk pemakaian sistem software yang intensif. Ada banyak
tujuan dibelakang pengembangan dari UML, yang paling pertama dan penting adalah
agar dapat digunakan oleh semua pengembang atau modelers dan tujuan akhir dari UML
adalah untuk menjadi sesederhana mungkin selama masih memenuhi kebutuhan untuk
melakukan modeling pada sistem yang akan dibangun.
3.15 Analisis dan perancangan berorientasi objek
Menurut Mathiassen et al. (2000, p5), Analisis dan Perancangan Berorientasi
Objek mendeskripsikan dua permasalahan yang berbeda, yakni di dalam sistem dan di
luar sistem. Analisis objek mendeskripsikan fenomena di luar sistem, seperti orang dan
barang, yang dapat berdiri sendiri. Perancangan objek mendeskripsikan fenomena di
dalam sistem yang dapat diawasi. Kita dapat mendeskripsikan behavior mereka sebagai
operasi untuk komputer yang menyelesaikannya. Berikut adalah gambar yang
menerangkan tahapan analisis dan perancangan berorientasi objek.
Gambar 3.9 Main activitities in Object Oriented Design
Menurut Mathiassen et al. (2000, p15)
81
Menurut Mathiassen et al. (2000, p15), analisis dan perancangan berorientasi
objek mempunyai 4 tahapan atau aktivitas utama, yakni :
3.15.1 Problem Domain Analysis
Menurut Mathiassen et al. (2000, p45), Problem Domain Analysis merupakan
bagian dari sebuah konteks yang diadministrasi, dimonitor dan dikontrol oleh sebuah
sistem. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan memodelkan sebuah problem
domain.
Menurut Mathiassen et al. (2000, p46), Problem Domain Modelling mempunyai
3 aktivitas :
a. Classes
Object adalah suatu entitas dengan identity (identitas), state (pernyataan) dan
behavior (perilaku). Sedangkan Event adalah kejadian terus – menerus yang
melibatkan satu atau dua objek. (Mathiassen et al, 2000, p51).
Menurut Mathiassen et al. (2000, p53), Class adalah suatu deskripsi dari
sekumpulan objek yang mempunyai structure, behavioral pattern dan attributes.
Dapat dinyatakan bahwa sebuah objek dijelaskan di sebuah class, class
menjelaskannya dengan bentuk struktur dan kelakukan dari semua objeknya.
Sebuah objek yang diciptakan dari sebuah kelas disebut juga instansi dari class,
dengan kata lain class adalah deskripsi statik dan objek adalah instansi dinamis
dari class.
Menurut Mathiassen et al. (2000, p55) ada 3 sub aktivitas dalam memilih Class
dan Event, yaitu :
82
1. Menemukan kandidat untuk classes
Pemilihan class merupakan kunci utama dalam membuat problem domain.
Pada umumnya yang dilakukan adalah mencari semua kata benda sebanyak
mungkin yang terdapat pada system definition.
Menurut Mathiassen et al. (2000, p57), penggunaan nama class sebaiknya :
- Sederhana dan mudah dimengerti
- Sesuai dengan problem domain
- Menunjukkan satu kejadian
Gambar 3.10 Memilih Class dan Event
Menurut Mathiassen et al. (2000, p55)
2. Menemukan kandidat untuk event
Selain class, event juga merupakan bagian penting dalam problem domain.
Cara untuk mencarinya adalah dengan mencari kata kerja pada system
definition sebanyak mungkin.
3. Mengevaluasi dan memilih secara sistematik
Jika daftar class dan event telah lengkap, maka mereka dievaluasi secara
sistematik. Kriteria umum untuk mengevaluasi adalah :
83
- class dan event ada dalam system definition
- class dan event relevan untuk problem domain
b. Structure
Menurut Mathiassen et al. (2000, p69), tujuan structure adalah untuk
mendeskripsikan hubungan struktural antara classes dan objects dalam problem
domain.
Menurut Mathiassen et al. (2000, p72), konsep structure dibedakan atas :
1. Class structure
Menggambarkan hubungan konseptual yang statis antar class.
Terdiri atas :
- Generalization Structure :
Merupakan suatu hubungan antara satu atau lebih subclass dengan satu atau
lebih superclass.
- Cluster Structure
Merupakan kumpulan dari classes yang saling berhubungan.
2. Object structure
Menggambarkan hubungan yang dinamis antara objects yang ada dalam
problem domain. Terdiri atas :
♦ Agregation structure
Mendefinisilkan hubungan antara 2 buah objects atau lebih. Menurut
Mathiassen et al. (2000, p79), ada 3 tipe aplikasi dari aggregation
structure:
84
1. Whole part
Object superior adalah jumlah dari object inferior, jika menambah atau
mengurangi maka akan mengubah pokok object superior.
2. Container content
Object superior adalah container bagi object inferior, jika menambah
atau mengurangi object inferior maka tidak akan mengubah object
superior.
3. Union member
Object superior adalah object inferior yang terorganisasi. Tidak akan
terjadi perubahan pada object superior apabila melakukan penambahan
atau pengurangan pada object inferior namun tetap memiliki batasan –
batasan.
♦ Association structure
Merupakan relasi antara 2 atau lebih objek Digambarkan sebagai sebuah
garis sederhana antara class yang berhubungan. Association multiplicity
diuraikan dengan cara yang sama seperti menguraikan aggregation.
Perbedaan antara association structure dan aggregation structure adalah
hubungan antar class pada aggregation mempunyai pertalian yang kuat
sedangkan pada association tidak kuat. Dan dalam aggregation dilukiskan
hubungan yang definitive serta fundamental sedangkan dalam association
dilukiskan hubungan yang tidak tetap.
85
c. Behavior
Menurut Mathiassen et al. (2000, p89), tujuan behavior adalah untuk
memodelkan problem domain yang dinamis. Dan 3 konsep yang terkandung
dalam behavior adalah :
♦ Event Trace
Merupakan urutan dari events yang melibatkan objek secara spesifik.
♦ Behavioral Pattern
Suatu deskripsi dari kemungkinan events traces untuk semua object dalam
class.
♦ Attribute
Suatu deskripsi dari class atau event.
Gambar 3.11 Activities in Problem Domain
Menurut Mathiassen et al. (2000, p46)
86
3.15.2 Application Domain Analysis
Menurut Mathiassen et al. (2000, p115), Application Domain Analysis adalah
organisasi yang mengadministrasi, memonitor atau mengontrol sebuah problem domain.
Tujuannya adalah untuk menetapkan system usage requirements.
Aktivitas dari Application Domain Analysis adalah : Usage, Functions dan
Interfaces.
Gambar 3.12 Application Domain Analysis
Menurut Mathiassen et al. (2000, p117)
a. Usage
Menurut Mathiassen ( 2000, p119 ), usage untuk menetapkan bagaimana
actor berinteraksi dengan sistem. Konsepnya adalah :
- Actor : sebuah abstraksi dari user atau sistem lain yang berinteraksi dengan
target system.
Actor1
Gambar 3.13 Actor
87
- Use case : urutan kejadian – kejadian anatara system dan actor dalam
application domain.
create software record grades
Gambar 3.14 Use Case
b. Functions
Menurut Mathiassen et al. (2000, p137), functions merupakan fasilitas untuk
membuat sebuah model berguna bagi actor. Tujuannya adalah untuk menetapkan
kemampuan berproses sistem informasi. Tipe – tipe functions adalah :
- Update functions
Diaktifkan dengan problem domain event dan hasilnya didalam perubahan
model state.
- Signal functions
Diaktifkan dengan merubah model state dan hasilnya pada reaksi di konteks.
Reaksi ini mungkin menampilkan actor pada application domain atau
intervensi langsung di problem domain.
- Read functions
Diaktifkan oleh kebutuhan akan informasi di lembar kerja actor dan hasilnya
tampilan sistem yang relevan dari model.
- Compute functions
Diaktifkan oleh kebutuhan akan informasi di lembar kerja actor melibatkan
informasi yang disediakan actor atau model. Hasilnya adalah tampilan dari
kegiatan compute tersebut.
88
c. Interfaces
Menurut Mathiassen et al. (2000, p151), interfaces adalah fasilitas yang
membuat system model dan functions dapat digunakan oleh actor. Tujuannya
adalah untuk menetapkan system interfaces. Hasil dari interfaces adalah :
- User interfaces
Tipe dialog dan form presentasi, daftar lengkap dari elemen user interface,
window diagram dan navigation diagram.
- System interfaces
Class diagram untuk peralatan luar dan protokol - protokol untuk
berinteraksi dengan sistem lain.
3.15.3 Architectural Design
Menurut Mathiassen et al. (2000, p173), tujuan dari architectural design adalah
untuk menstruktur sistem yang terkomputerisasi.
Gambar 3.15 Activities in Architectural Design
Menurut Mathiassen et al. (2000, p176)
Menurut Mathiassen et al. (2000, p173), 3 aktivitas yang terdapat pada
Architectural Design :
89
a. Criteria
Menurut Mathiassen et al. (2000, p177), tujuan dari criteria adalah untuk
mengatur prioritas perancangan. Konsepnya adalah :
- Criterion : Properti dari architecture
- Conditions : kesempatan dan batas technical, organizational dan human yang
telibat dalam suatu tugas.
Menurut Mathiassen et al. (2000, p178) terdapat 12 jenis kriteria software :
1. Usable
Adalah kemampuan sistem untuk beradapatasi dengan situasi organisasi,
tugas dan hal – hal teknis.
2. Secure
Adalah kemampuan untuk melakukan pencegahan terhadap akses yang
tidak berwenang.
3. Efficient
Adalah penggunaan secara ekonomis terhadap fasilitas technical platform.
4. Correct
Adalah sesuai dengan kebutuhan.,
5. Reliable
Adalah ketepatan dalam melakukan suatu fungsi.
6. Maintainable
Adalah kemampuan untuk perbaikan sistem yang rusak.
7. Testable
Adalah penempatan biaya untuk memastikan sistem bekerja sesuai dengan
yang diinginkan.
90
8. Flexible
Adalah kemampuan untuk modifikasi sistem yang berjalan.
9. Comprehensible
Adalah usaha yang diperlukan untuk memperoleh pengertian akan suatu
sistem.
10. Reusable
Adalah potensi untuk menggunakan sistem pada bagian sistem lain yang
saling berhubungan.
11. Portable
Adalah kemampuan sistem untuk dapat dipindahkan ke technical platform
yang lain.
12. Interoperable
Adalah kemampuan untuk merangkai sistem ke dalam sistem yang lain.
Selain kriteria – kriteria diatas, menurut Mathiassen et al. (2000, p184),
terdapat pula kondisi – kondisi yang harus diperhitungkan :
- Technical
Adalah perangkat keras yang tersedia, perangkat lunak dasar dan sistem;
menggunakan kembali bahan – bahan dan komponen – komponen yang
telah ada; menggunakan komponen standar yang dapat dibeli.
- Organizational
Adalah perjanjian kontrak; rencana pengembangan dan pembagian kerja
antara pengembang.
91
- Human
Adalah kemampuan untuk mendesain; pengalaman dengan sistem yang
serupa; pengalaman dengan technical platform.
b. Component
Menurut Mathiassen et al. (2000, p189), tujuan dari components adalah
untuk menciptakan sistem yang comprehensible dan flexible. Component
architecture adalah sebuah struktur sistem dari components yang saling
berhubungan.
c. Process
Menurut Mathiassen et al. (2000, p209), tujuan process adalah untuk
mendefinisikan struktur program secara fisik.
3.15.4 Component Design
Menurut Mathiassen et al. (2000, p231), tujuan component design adalah untuk
menetapkan sebuah implementasi pada sebuah architectural framework.
Aktivitas pada component design adalah :
1. Model component
Menurut Mathiassen et al. (2000, p235), model component adalah bagian dari
sistem yang mengimplementasikan problem domain model.
2. Function component
Tujuan Function component menurut Mathiassen et al. (2000, p252) adalah
untuk menetapkan functions implementation. Function implementation adalah
bagian dari sistem yang mengimplementasikan persyaratan functions.
92
3. Connecting component
Tujuan dari connecting components menurut Mathiassen et al. (2000,
p271) adalah untuk menggabungkan system components.
Ada 2 konsep dalam connenting component yaitu :
a. Coupling
Merupakan suatu ukuran seberapa dekat 2 classes atau components
terhubungkan.
b. Cohesion
Merupakan ukuran seberapa dekat class atau component saling terkait satu
sama lain.
Gambar 3.16 Components Design
Menurut Mathiassen et al. (2000, p232)
Gambar 3.1 Struktur Produk Pulpen ................................................................................30 Gambar 3.2 Peta Proses Produksi Pajangan.....................................................................33 Gambar 3.3 Pola Data Horisontal ....................................................................................36 Gambar 3.4 Pola Data Musiman ......................................................................................37 Gambar 3.5 Pola Data Siklis ............................................................................................37 Gambar 3.6 Pola Data Trend............................................................................................38 Gambar 3.7 Proses Penjadwalan Produksi.......................................................................59 Gambar 3.8 Proses Kerja dari MRP ..............................................................................65 Gambar 3.9 Main activitities in Object Oriented Design ...............................................80 Gambar 3.10 Memilih Class dan Event ...........................................................................82 Gambar 3.11 Activities in Problem Domain....................................................................85
93
Gambar 3.12 Application Domain Analysis.....................................................................86 Gambar 3.13 Actor ...........................................................................................................86 Gambar 3.14 Use Case.....................................................................................................87 Gambar 3.15 Activities in Architectural Design ..............................................................88 Gambar 3.16 Components Design ...................................................................................92