BAB 3 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab3/2006-2-01008-TISI-bab 3.pdf ·...
Transcript of BAB 3 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab3/2006-2-01008-TISI-bab 3.pdf ·...
BAB 3
LANDASAN TEORI
3.1. Pengukuran Waktu
Secara garis besarnya, teknik pengukuran waktu dapat dibagi ke dalam dua
bagian (Sritomo, 2000, p170), yaitu :
1. Pengukuran waktu secara langsung.
Merupakan pengukuran yang dilaksanakan secara langsung, yaitu di tempat di
mana pekerjaan yang diukur dijalankan. Dua cara yang termasuk dalam pengukuran
secara langsung adalah pengukuran waktu dengan menggunakan jam henti dan
sampling pekerjaan.
2. Pengukuran waktu secara tidak langsung.
Cara tidak langsung ini melakukan perhitungan waktu tanpa harus berada ditempat
pekerjaan yaitu dengan membaca tabel-tabel yang tersedia asalkan mengetahui
jalannya pekerjaan melalui elemen-elemen pekerjaan atau elemen-elemen gerakan.
Yang termasuk kelompok ini adalah data waktu baku dan data waktu gerakan.
Pengukuran waktu akan berhubungan dengan usaha-usaha untuk menetapkan
waktu baku yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu baku ini
merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat
kemampuan rata-rata.
22
3.1.1. Pengukuran Waktu Jam Berhenti
Pengukuran waktu dengan jam henti (stopwatch time study) diperkenalkan
pertama kali oleh Fredrick W. Taylor sekitar abad 19 yang lalu. Metode ini terutama
sekali baik diaplikasikan untuk pekerjaan-pekerjaan yang berlangsung singkat dan
berulang-ulang.
Ada tiga metode yang umum digunakan untuk mengukur elemen-elemen kerja
dengan menggunakan jam henti yaitu :
1. Pengukuran waktu secara terus-menerus (continuous timing).
Pada pengukuran ini, pengamat kerja akan menekan tombol stopwatch pada saat
elemen kerja pertama dimulai dan membiarkan jarum penunjuk stopwatch berjalan
secara terus menerus sampai periode atau siklus kerja selesai berlangsung. Di sini
pengamat kerja akan mencatat pembacaan waktu yang ditunjukkan setiap akhir dari
elemen-elemen kerja pada lembar pengamatan. Waktu sebenarnya dari masing-
masing elemen diperoleh dari pengurangan pada saat pengukuran waktu selesai
dilaksanakan.
2. Pengukuran waktu secara berulang-ulang (repetitive timing atau snapback method).
Dalam pengukuran ini, jarum penunjuk stpowatch akan selalu dikembalikan
(snapback) lagi ke posisi nol pada setiap akhir dari elemen kerja yang diukur.
Setelah dilihat dan dicatat waktu kerja yang diukur kemudian tombol ditekan lagi
dan jarum penunjuk bergerak untuk mengukur elemen kerja berikutnya dan
demikian seterusnya.
23
3. Pengukuran waktu secara akumulatif (accumulative timing).
Pengukuran ini melibatkan dua atau lebih stopwatch yang akan bekerja secara
bergantian. Dua atau tiga stopwatch dalam hal ini akan didekatkan sekaligus pada
papan pengamatan dan dihubungkan dengan suatu tuas.
3.1.2. Langkah-Langkah Sebelum Melakukan Pengukuran
Untuk mendapatkan hasil yang baik (waktu yang pantas untuk pekerjaan yang
bersangkutan), maka harus diperhatikan kondisi kerja, cara pengukuran, jumlah
pengukuran, dan lain-lain. Di bawah ini terdapat langkah-langkah sebelum melakukan
pengukuran (Sutalaksana, 1979, p119) antara lain :
1. Penetapan Tujuan Pengukuran
Dalam pengukuran waktu, hal-hal penting yang harus diketahui dan ditetapkan
adalah untuk apa hasil pengukuran digunakan, berapa tingkat ketelitian dan tingkat
keyakinan yang diinginkan dari hasil pengukuran tersebut.
2. Melakukan Penelitian Pendahuluan
Dalam melakukan pengukuran waktu, yang dicari adalah waktu yang pantas
diberikan kepada pekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Dari suatu kondisi
yang ada dapat dicari waktu yang pantas untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai
dengan kondisi yang bersangkutan. Pengukuran waktu sebaiknya dilakukan bila
kondisi kerja dari pekerjaan yang diukur sudah baik. Jika belum maka kondisi yang
ada hendaknya diperbaiki terlebih dahulu. Di samping kondisi kerja, maka perlu
juga dilakukan perbaikan cara-cara kerja untuk mendapatkan waktu penyelesaian
yang singkat.
24
3. Memilih Operator
Operator yang akan melakukan pengukuran waktu harus memenuhi beberapa
persyaratan tertentu agar pengukuran dapat berjalan baik dan dapat diandalkan
hasilnya. Syarat-syarat tersebut adalah berkemampuan normal dan dapat diajak
bekerja sama.
4. Melatih Operator
Bila kondisi dan cara kerja yang dipakai tidak sama dengan yang biasa dijalankan
operator, maka diperlukan pelatihan bagi operator tersebut. Hal ini terjadi jika pada
saat penelitian pendahuluan kondisi kerja atau cara kerja sesudah mengalami
perubahan. Dalam keadaan ini operator harus dilatih terlebih dahulu karena
sebelum diukur operator harus terbiasa dengan kondisi dan cara kerja yang telah
ditetapkan (dan telah dibakukan) itu. Harus diingat bahwa yang dicari adalah waktu
penyelesaian pekerjaan yang didapat dari suatu penyelesaian wajar.
5. Mengurai Pekerjaan Atas Elemen Pekerjaan
Disini pekerjaan dipecah menjadi elemen pekerjaan, yang merupakan gerakan
bagian dari pekerjaan yang bersangkutan. Elemen-elemen inilah yang diukur
waktunya. Waktu siklusnya jumlah dari waktu setiap elemen ini. Waktu siklus
adalah waktu penyelesaian satu satuan produksi sejak bahan baku mulai diproses
ditempat kerja yang bersangkutan.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan pentingnya melakukan penguraian
pekerjaan atas elemen-elemennya, yaitu :
1. Untuk menjelaskan catatan tentang tata cara kerja yang dibakukan. Salah satu
cara membakukan cara kerja adalah dengan membakukan pekerjaan
berdasarkan eleman-elemennya.
25
2. Untuk memungkinkan melakukan penyesuaian bagi setiap elemen karena
keterampilan bekerjanya operator belum tentu sama untuk semua bagian dari
gerakan-gerakan kerjanya.
3. Untuk memudahkan mengamati terjadinya elemen yang tidak baku yang
mungkin saja dilakukan operator.
4. Untuk memungkinkan dikembangkannya data waktu standard di tempat kerja
yang bersangkutan.
Beberapa pedoman penguraian pekerjaan atas elemen-elemennya, yaitu :
a. Uraikan pekerjaan menjadi elemen-elemennya seterperinci mungkin sesuai
dengan ketelitian yang diinginkan, tetapi masih dapat diamati oleh indera
pengukur dan dapat direkam waktunya oleh jam henti yang digunakan.
b. Untuk memudahkan, elemen-elemen pekerjaan hendaknya berupa satu atau
beberapa elemen gerakan misalnya seperti yang dikembangkan oleh Gilberth.
c. Jangan sampai ada elemen yang tertinggal, jumlah dari semua elemen harus
tepat sama dengan satu pekerjaan yang bersangkutan.
d. Elemen yang satu hendaknya dipisahkan dari elemen yang lain secara jelas.
Batas-batas diantaranya harus dapat dengan mudah diamati agar tidak ada
keragu-raguan dalam menentukan bagaimana suatu elemen berakhir dan
bilamana elemen berikutnya bermula.
6. Menyiapkan Alat-alat Pengukuran
Merupakan langkah terakhir sebelum melakukan pengukuran, yaitu menyiapkan
alat-alat yang diperlukan. Alat-alat tersebut adalah : jam henti, lembaran-lembaran
pengamatan, pena atau pensil,dan papan pengamatan.
26
3.1.3. Melakukan Pengukuran Waktu
Pengukuran waktu adalah pekerjaan mengamati dan mencatat waktu-waktu
kerja baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan alat-alat yang telah
disiapkan. Hal pertama yang dilakukan adalah pengukuran pendahuluan. Tujuan
melakukan pengukuran pendahuluan adalah untuk mengetahui berapa kali pengukuran
harus dilakukan untuk tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan yang diinginkan
(Sutalaksana, 1979, pp131-132). Istilah pengukuran pendahuluan terus digunakan
selama jumlah pengukuran yang telah dilakukan belum mencukupi.
Pemrosesan hasil pengukuran dilakukan dengan langkah-langkah berikut
(Sutalaksana, 1979, pp132-133) :
1. Kelompokkan hasil pengukuran ke dalam subgrup-subgrup dan hitung harga rata-
ratanya dari tiap subgrup :
nXikX ∑=
dimana : n = ukuran subgrup, yaitu banyaknya data dalam satu subgrup
k = jumlah subgrup yang terbentuk
Xi = data pengamatan
2. Hitung rata-rata keseluruhan, yaitu rata-rata dari harga rata-rata subgrup :
kkX
X ∑=
3. Hitung standar deviasi sebenarnya dari waktu penyelesaian :
( )1NXXi
σ2
−
−= ∑
dimana : N = jumlah pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan
27
4. Hitung standar deviasi dari distribusi harga rata-rata subgrup :
nσ
xσ =
3.1.4. Pengujian Kenormalan Data
Pengujian kenormalan data dimaksudkan untuk mengetahui apakah dat-data
yang diukur telah berdistribusi normal atau tidak. Pengujian ini perlu dilakukan
mengingat bahwa perhitungan-perhitungan yang dilakukan pada pengujian keseragaman
data dan pengujian kecukupan data memakai pendekatan distribusi normal. Pengujian
yang dipakai adalah uji kebaikan suai (goodness of fit test) yang didasarkan pada
seberapa baik kesesuaian antara frekuensi yang diamati dalam data contoh dengan
frekuensi harapan yang didasarkan pada sebaran yang dihipotesiskan. Suatu uji
kenormalan didasarkan pada rumus (Walpole, 1995, p326) :
λ2 hitung = ∑ −
i
2ii
e)eo(
dimana : oi = frekuensi pengamatan
Langkah-langkah untuk melakukan pengujian kenormalan data adalah sebagai
berikut:
a. Hitung Panjang kelas
Nlog3,31k +=
dimana : k = panjang kelas
N = jumlah pengamatan
28
b. Hitung Lebar kelas
kRi =
dimana : mindatamaxdataR −=
i = lebar kelas
k = panjang kelas
c. Tentukan selang untuk setiap kelas.
d. Tentukan batas bawah dan batas atas untuk tiap kelas.
e. Hitung nilai Z normal pada setiap kelas.
σXataskelasbatasZi
−=
f. Tentukan luas daerah berdasarkan nilai Z dengan berpedoman pada tabel wilayah
luas di bawah kurva normal.
Luas = P(Z) = P(Z1 < Z < Z2)
= P(Z < Z2) – P(Z< Z1)
g. Tentukan frekuensi teramati untuk setiap selang kelas.
h. Hitung frekuensi harapan (ei)
ei = Luas x ∑ io
dimana : ∑ io = jumlah pengamatan
i. Hitung nilai λ 2 hitung.
λ2 hitung = ∑ −
i
2ii
e)eo(
dimana : oi = frekuensi pengamatan
29
j. Tentukan nilai λ 2 (α ,v) tabel.
dimana : =α tingkat ketelitian
v = derajat kebebasan = k - 3
Jika λ 2 hitung < λ 2 tabel maka data terdistribusi normal.
Jika λ 2 hitung > λ 2 tabel maka data tidak terdistribusi normal.
3.1.5. Pengujian Keseragaman Data
Pengujian keseragaman data perlu dilakukan terlebih dulu sebelum kita
menggunakan data yang diperoleh guna menetapkan waktu standard. Tujuan dari
pengujian keseragaman data adalah untuk mendapatkan data yang seragam. Batas-batas
kontrol yang dibentuk dari data merupakan batas seragam tidaknya data. Data yang
dikatakan seragam, yaitu data yang berasal dari sistem sebab yang sama, bila berada di
antara kedua batas kontrol. Yang diperhatikan dalam pengujian keseragaman adalah data
yang berada didalam batas-batas kontrol dimana semua data dimasukkan dalam
perhitungan-perhitungan selanjutnya sedangkan yang terletak diluar batas kontrol harus
dibuang dan tidak dimasukkan untuk perhitungan-perhitungan selanjutnya.
Rumus untuk menghitung batas-batas kendali adalah sebagai berikut:
xσ z. X BKA +=
xσ z. X BKB −=
dimana : BKA = Batas Kontrol Atas
BKB = Batas Kontrol Bawah
z = bilangan konversi dari tingkat kepercayaan yang diinginkan ke
distribusi normal
30
3.1.6. Pengujian Kecukupan Data Sesuai Tingkat Ketelitian dan Keyakinan
Pengukuran yang ideal adalah pengukuran dengan data yang sangat banyak
karena dengan demikian diperoleh jawaban yang pasti. Dengan tidak melakukan
pengukuran yang sangat banyak, maka pengukur akan kehilangan sebagian kepastian
akan ketetapan/rata–rata waktu penyelesaian yang sebenarnya. Tingkat ketelitian dan
tingkat keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan pengukur
setelah memutuskan tidak akan melakukan pengukuran yang sangat banyak. Tingkat
ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu
penyelesaian sebenarnya, biasanya dinyatakan dalam persen (dari waktu penyelesaian
sebenarnya yang harus dicari). Sedangkan tingkat keyakinan menunjukkan besarnya
keyakinan pengukur bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi. Inipun
dinyatakan dalam persen. Jadi tingkat ketelitian 10% dan tingkat keyakinan 95%
memberi arti bahwa pengukur membolehkan rata-rata hasil pengukurannya menyimpang
sejauh 10% dari rata-rata sebenarnya, dan kemungkinan berhasil mendapatkan hal ini
adalah 95% (Sutalaksana, 1979, p135).
Perhitungan uji kecukupan data dilakukan setelah semua harga rata-rata
subgrup berada dalam batas kontrol. Rumus dari kecukupan data adalah:
( )2
iX
2Xi2XiNsZ
N'⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
∑
∑ ∑−=
dimana:
N’ = jumlah pengukuran data minimum yang dibutuhkan
N = jumlah pengukuran pendahuluan yang telah dilakukan setelah dikurangi data
pengukuran di luar BKA atau BKB
31
Z = bilangan konversi pada distribusi normal sesuai dengan tingkat keyakinan
s = tingkat ketelitian
Jumlah pengukuran waktu dapat dikatakan cukup apabila jumlah pengukuran
data minimum yang dibutuhkan secara teoritis lebih kecil atau sama dengan jumlah
pengukuran pendahuluan yang sudah dilakukan (N’≤ N). Jika jumlah pengukuran masih
belum mencukupi, maka harus dilakukan pengukuran lagi sampai jumlah pengukuran
tersebut cukup.
3.1.7. Perhitungan Waktu Baku
Kegiatan pengukuran waktu dikatakan selesai bila semua data yang diperoleh
telah seragam dan jumlahnya telah memenuhi tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan
yang diinginkan. Langkah selanjutnya adalah mengolah data tersebut sehingga
memberikan waktu baku.
Cara untuk mendapatkan waktu baku adalah sebagai berikut (Sutalaksana, 1979,
p137) :
1. Menghitung waktu rata-rata
NXi
Wr ∑=
dimana : Xi = data yang termasuk dalam batas kontrol
2. Menghitung waktu normal
pWrWn ×=
dimana : p adalah faktor penyesuaian
32
3. Menghitung waktu baku
a)(1WnWb +×=
dimana : a adalah kelonggaran (allowance) yang diberikan kepada operator untuk
menyelesaikan pekerjaannya disamping waktu normal.
Manfaat dari penerapan waktu baku (Sritomo, 2000, p170) adalah:
a. Man power planning (perencanaan kebutuhan tenaga kerja).
b. Estimasi biaya-biaya untuk upah karyawan/pekerja.
c. Perencanaan sistem pemberian bonus dan insentif bagi karyawan/pekerja yang
berprestasi.
d. Indikasi keluaran (output) yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja.
3.1.8. Penyesuaian
Penyesuaian adalah proses dimana analisa pengukuran waktu membandingkan
penampilan operator (kecepatan atau tempo) dalam pengamatan dengan konsep
pengukur sendiri tentang bekerja secara wajar. Penyesuaian bertujuan untuk
menormalkan waktu proses operasi jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja
dengan kecepatan tidak wajar, agar waktu penyelesaian proses operasi tidak terlalu
singkat atau tidak terlalu panjang.
Terdapat tiga batasan untuk menentukan besarnya faktor penyesuaian
(Sutalaksana, 1979, p138) yaitu :
p > 1; jika pengukur menganggap bahwa operator bekerja di atas normal (terlalu
cepat)
p = 1; jika pengukur menganggap bahwa operator bekerja normal
33
p < 1; jika pengukur menganggap bahwa operator bekerja di bawah normal (terlalu
lambat)
Beberapa metode yang digunakan dalam menentukan faktor penyesuaian
(Sutalaksana,1979, pp139-149) adalah :
1. Metode Persentase
Metode ini merupakan cara yang paling awal digunakan dalam melakukan
penyesuaian dan juga cara yang paling mudah dan sederhana. Akan tetapi cara ini
kurang teliti dan bersifat subyektif karena faktor ini ditentukan sepenuhnya oleh
pengukur melalui pengamatannya selama melakukan pengukuran.
2. Metode Shumard
Cara ini memberikan patokan-patokan penilaian melalui kelas-kelas performance
kerja dimana setiap setiap kelas tersebut mempunyai nilai masing-masing. Di sini
pengukur diberi standarisasi untuk menilai performansi kerja operator menurut
kelas-kelas Superfast +, Fast, Fast -, Excellent, dan seterusnya.
3. Metode Westinghouse
Metode Westinghouse mengarahkan penilaian pada 4 faktor yang dianggap
menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja yaitu: ketrampilan,
usaha, kondisi dan konsistensi. Setiap faktor terbagi kedalam kelas-kelas dengan
nilainya masing-masing seperti Super, Exellent, Good, Average, Fair dan Poor.
Dalam kewajaran, faktor penyesuaian sama dengan 1 sedangkan terhadap
penyimpangan dari keadaan ini, harga penyesuaian ditambah dengan angka-angka
yang sesuai dengan keempat faktor di atas.
Tabel 3.1 di bawah ini merupakan tabel yang menunjukkan nilai-nilai faktor
penyesuaian berdasarkan metode Westinghouse.
34
Tabel 3.1 Penyesuaian menurut Westinghouse
Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Ketrampilan Superskill
Excellent
Good
Average
Fair
Poor
A1
A2
B1
B2
C1
C2
D
E1
E2
F1
F2
+0,15
+0,13
+0,11
+0,08
+0,06
+0,03
0,00
-0,05
-0,10
-0,16
-0,22
Usaha Excessive
Excellent
Good
Average
Fair
Poor
A1
A2
B1
B2
C1
C2
D
E1
E2
F1
F2
+0,13
+0,12
+0,10
+0,08
+0,05
+0,02
0,00
-0,04
-0,08
-0,12
-0,17
Kondisi Kerja Ideal
Excellently
Good
Average
Fair
Poor
A
B
C
D
E
F
+0,06
+0,04
+0,02
0,00
-0,03
-0,07
35
Konsistensi Perfect
Excellent
Good
Average
Fair
Poor
A
B
C
D
E
F
+0,04
+0,03
+0,01
0,00
-0,02
-0,04
3. Metode Obyektif
Metode yang memperhatikan 2 faktor yaitu kecepatan kerja dan tingkat kesulitan
pekerjaan. Kedua faktor inilah yang dipandang secara bersama-sama menentukan
berapa harga p untuk mendapatkan waktu normal.
3.1.9. Kelonggaran
Kelonggaran dapat diberikan untuk tiga hal (Sutalaksana, 1979, pp149-154)
yaitu :
a. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi
Yang termasuk dalam kebutuhan pribadi disini adalah hal-hal seperti minum untuk
menghilangkan dahaga, ke kamar kecil, bercakap-cakap untuk menghilangkan
ketegangan atau kejenuhan dalam bekerja. Kebutuhan ini jelas terlihat sebagai
sesuatu yang mutlak yang harus diberikan kepada pekerja karena merupakan
tuntutan fisiologis dan psikologis yang wajar.
b. Kelonggaran untuk rasa fatique
Rasa fatique tercermin dari menurunnya hasil produksi dari segi kualitas maupun
kuantitas. Salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran ini adalah
36
dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan mencatat pada saat-saat
dimana hasil produksi menurun.
c. Kelonggaran untuk hambatan yang tak terhindarkan
Dalam melaksanakan pekerjaan, operator tidak akan lepas dari hambatan. Ada
hambatan yang dapat dihindarkan seperti mengobrol yang berlebihan, dan
menganggur dengan sengaja serta ada juga hambatan yang tidak dapat dihindarkan
karena berada di luar kekuasaan operator untuk mengendalikannya. Beberapa
contoh yang termasuk kedalam hambatan tak terhindarkan adalah :
− menerima atau menerima petunjuk kepada pengawas.
− melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin.
− memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat seperti mengganti alat potong yang
patah, memasang kembali ban yang lepas dan sebagainya.
− mengasah peralatan potong.
− mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang.
37
Tabel 3.2 Kelonggaran berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh Faktor
A. Tenaga yang dikeluarkan Ekivalen beban Pria Wanita1. Dapat diabaikan Bekerja dimeja, duduk tanpa beban 0,0 - 6,0 0,0 - 6,02. Sangat ringan Bekerja dimeja, berdiri 0,00 - 2,25 kg 6,0 - 7,5 6,0 - 7,53. Ringan Menyekop, ringan 2,25 - 9,00 7,5 - 12,0 7,5 - 16,04. Sedang Mencangkul 9,00 - 18,00 12,0 - 19,0 16,0 - 30,05. Berat Mengayun palu yang berat 19,00 - 27,00 19,0 - 30,06. Sangat berat Memanggul beban 27,00 - 50,00 30,0 - 50,07. Luar biasa berat Memanggul karung berat diatas 50 kg
B. Sikap kerja1. Duduk2. Berdiri diatas dua kaki3. Berdiri diatas satu kaki4. Berbaring5. Membungkuk
C. Gerakan Kerja1. Normal2. Agak terbatas3. Sulit4. Pada anggota-anggota badan terbatas5. Seluruh anggota badan terbatas
D. Kelelahan mata *) Pencahayaan baik Buruk1. Pandangan yang terputus-putus 0,0 - 6,0 0,0 - 6,02. Pandangan yang hampir terus menerus 6,0 - 7,5 6,0 - 7,53. Pandangan terus menerus dengan fokus 7,5 - 12,0 7,5 - 16,0 berubah-ubah 12,0 - 19,0 16,0 - 30,04. Pandangan terus menerus dengan fokus 19,0 - 30,0 tetap 30,0 - 50,0
E. Keadaan temperatur tempat kerja **) Kelemahan normal Berlebihan1. Beku diatas 10 diatas 122. Rendah 10 - 0 12 - 53. Sedang 5 - 0 8 - 04. Normal 0 - 5 0 - 85. Tinggi 5 - 40 8 - 1006. Sangat tinggi diatas 40 diatas 100
F. Keadaan atmosfer ***)1. Baik
2. Cukup
3. Kurang baik4. Buruk
G. Keadaan lingkungan yang baik
Contoh Pekerjaan Kelonggaran (%)
0,0 - 1,01,0 - 2,5
Bekerja duduk, ringanBadan tegak, ditumpu dua kaki
2,5 - 4,02,5 - 4,04,0 - 10
00 - 50 - 5
5 - 10
10 - 15
0
0 - 5
5 - 1010 - 20
1. Bersih, sehat, cerah, dengan kebisingan rendah2. Siklus kerja berulang-ulang antara 5 -10 detik3. Siklus kerja berulang-ulang antara 0 -5 detik4. Sangat bising5. Jika faktor-faktor yang berpengaruh dapat menurunkan kualitas6. Terasa adanya getaran lantai7. Keadaan-keadaan yang luar biasa (bunyi, kebersihan, dll.)
*) Kontras antara warna hendaknya diperhatikan
0 - 55 - 105 - 15
**) Tergantung juga pada keadaan ventilasi***) Dipengaruhi juga oleh ketinggian tempat kerja dari permukaan laut dan keadaan iklimCatatan pelengkap : kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi : pria = 0 - 2,5 % wanita = 2 - 5,0 %
00 - 11 - 30 - 5
Satu kaki mengerjakan alat kontrolPada bagian sisi, belakang, atau depan badanBadan dibungkukkan bertumpu pada kedua kaki
Adanya debu beracun, atau tidak beracun tetapi banyak
udara segarRuang yang berventilasi baik,
Temperatur (°C)Dibawah 0
0 - 1313 - 22
Adanya bau-bauan berbahaya yang mengharuskanmenggunakan alat-alat pernapasan
(tidak berbahaya)Ventilasi kurang baik, ada bau-bauan
22 - 2828 -38
diatas 38
Membawa alat ukurPekerjaan-pekerjaan yang telitiMemeriksa cacat-cacat pada kain
Pemeriksaan yang sangat teliti
Ayunan bebas dari palu
Bekerja dilorong pertambangan yang sempit
Bekerja dengan tangan diatas kepala
Membawa beban berat dengan satu tanganAyunan terbatas dari palu
38
3.1.10. Peta Proses Operasi
Peta Proses Operasi merupakan suatu diagram yang menggambarkan langkah-
langkah proses yang akan dialami bahan (bahan-bahan) baku mengenai urutan-urutan
operasi dan pemeriksaan (Sutalaksana, 1979, p21).
Kegunaan Peta Proses Operasi adalah :
a. Agar dapat mengetahui kebutuhan akan mesin dan penganggarannya.
b. Dapat memperkirakan kebutuhan akan bahan baku.
c. Sebagai alat untuk menentukan tata letak pabrik.
d. Sebagai alat untuk melakukan perbaikan kerja yang sedang dipakai.
3.2. Lini Produksi
Yang dimaksud dengan lini produksi adalah pengaturan mesin, alat dan pekerja
dimana masing-masing pekerja memiliki keahlian tertentu dalam menghasilkan bagian
dari suatu produk dan kemudian sub produk tersebut akan dialirkan untuk diproses lebih
lanjut oleh pekerja-pekerja sampai produk tersebut mencapai proses terakhir.
Persyaratan yang harus diperhatikan untuk menunjang kelangsungan lini
produksi (Baroto, 2002, p193) antara lain sebagai berikut :
1. Pemerataan distribusi kerja yang seimbang di setiap stasiun kerja yang terdapat di
dalam suatu lini produksi fabrikasi atau suatu lini perakitan yang bersifat manual.
2. Pergerakan aliran benda kerja yang kontinu pada kecepatan yang seragam.
Alirannya tergantung pada waktu operasi.
3. Arah aliran material harus tetap sehingga memperkecil daerah penyebaran dan
mencegah timbulnya atau setidaknya mengurangi waktu menunggu karena
keterlambatan benda kerja.
39
4. Produksi yang kontinu guna menghindari adanya penumpukkan benda kerja di lain
tempat sehingga diperlukan aliran benda kerja pada lintasan produksi secara
kontinu.
3.2.1 Definisi Keseimbangan Lini
Aliran proses produksi dari suatu stasiun kerja ke stasiun kerja yang lainnya
membutuhkan waktu siklus dari produk yang dihasilkan tersebut. Apabila terjadi
hambatan atau ketidakefisiensian dalam suatu stasiun kerja akan mengakibatkan tidak
lancarnya aliran material ke stasiun kerja berikutnya, sehingga terjadi waktu
menggangur (idle time) dan penumpukkan material (material in process storage). Oleh
sebab itu diperlukan adanya upaya untuk menyeimbangkan lini produksi.
Istilah Keseimbangan Lini (Line Balancing) merupakan suatu metode
penugasan sejumlah pekerjaan ke dalam stasiun-stasiun kerja yang saling berkaitan
dalam lini produksi sehingga setiap stasiun memiliki waktu pengerjaan yang tidak
melebihi waktu siklus dari stasiun kerja tersebut serta mengurangi waktu mengganggur
di setiap stasiun kerja (Chase, et.al., 2004, p194).
Dalam suatu lini produksi, keterkaitan antara suatu pekerjaan dengan pekerjaan
yang lain harus dipertimbangkan dalam menentukan pembagian sejumlah pekerjaan ke
dalam masing-masing stasiun kerja. Hubungan atau saling keterkaitan tersebut
digambarkan dalam suatu diagram pendahuluan (precedence diagram).
40
3.2.2. Permasalahan Dalam Keseimbangan Lini
Perencaanaan produksi terutama dalam hal pengaturan operasi-operasi atau
penugasan kerja yang dilakukan mempunyai peranan yang penting dalam suatu
perusahaan bertipe massal yang melibatkan sejumlah besar komponen yang harus
dirakit. Dikatakan demikian karena apabila pengaturan dan perencanaanya tidak tepat,
maka setiap stasiun kerja di lintas perakitan mempunyai kecepatan produksi yang
berbeda. Hal ini akan mengakibatkan lini perakitan tersebut tidak efisien karena terjadi
penumpukkan material/produk setengah jadi di antara stasiun kerja yang tidak
berimbang kecepatan produksinya.
Pada umumnya, masalah utama yang dihadapi dalam suatu lintasan poduksi
adalah (Biegel, 1992, p226) :
1. Menyeimbangkan beban kerja pada beberapa stasiun kerja (work station) untuk:
Mecapai suatu efisiensi lini yang tinggi.
Memenuhi rencana atau target produksi yang telah ditetapkan.
2. Kendala sistem, yang berkaitan erat dengan perawatan (maintenace).
Beberapa gejala terjadinya ketidakseimbangan dalam lini produksi yaitu :
1. Adanya perbedaan yang menyolok antara stasiun kerja yang sibuk dan
mengganggur (idle).
2. Adanya work in process (produk setengah jadi) pada beberapa stasiun kerja.
Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dalam lini
produksi antara lain :
1. Rancangan lintasan yang salah.
2. Operator yang kurang terampil.
3. Metode kerja yang kurang baik.
41
4. Peralatan atau mesin yang sudah tua sehingga seringkali rusak (break down) dan
perlu di-setup ulang.
Dalam lini perakitan, apabila terjadi gangguan di suatu stasiun kerja maka akan
mempengaruhi aktivitas pada stasiun-stasiun kerja yang lainnya. Gangguan tersebut
dapat berupa kecepatan rata-rata dari stasiun kerja yang tidak seragam sehingga timbul
perbedaan waktu stasiun kerja yang cukup besar.
Adanya kombinasi penugasan kerja kepada operator atau grup operator yang
menempati tempat kerja tertentu merupakan awal terjadinya persoalan keseimbangan
lintasan perakitan. Penugasan elemen kerja (work element) yang berbeda akan
menyebabkan perbedaan dalam sejumlah waktu yang tidak produktif dan variasi jumlah
pekerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan output produksi tertentu di dalam suatu
lintas perakitan.
Hal inilah yang menjadi masalah penyeimbangan lini produksi, penyeimbangan
operasi atau stasiun kerja dengan tujuan untuk mendapatkan pekerjaan yang sama di
setiap stasiun kerja sesuai dengan kecepatan produksi yang diinginkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam
perancangan keseimbangan lintasan harus diperhatikan beberapa hal antara lain
(Kusuma, 2004, pp95-96) :
a. Kecepatan produksi (production rate).
b. Diagram pendahulu (precedence diagram) yang menggambarkan operasi-operasi
yang diperlukan dan urutan ketergantungan (sequence).
c. Data waktu baku yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap operasi.
42
3.2.3. Tujuan Keseimbangan Lini
Adapun beberapa tujuan dari perancangan keseimbangan lini adalah sebagai
berikut ( Elsayed, 1994, p344; Stevenson, William J., 1996, p272) :
a. Untuk menyeimbangkan beban kerja yang dialokasikan pada setiap stasiun kerja
agar pekerjaan dapat selesai dalam waktu yang seimbang untuk mencegah
terjadinya bottleneck.
b. Meminimumkan waktu menganggur (idle time) sehingga pemaanfaatan dari
operator maupun peralatan dapat digunakan semaksimal mungkin.
c. Menjaga lini produksi agar tetap berjalan lancar dan kontinu.
d. Mengurangi kecemburuan moral antara operator karena sumber daya yang ada
dapat digunakan seoptimal mungkin.
Pada umumnya, merencanakan suatu keseimbangan di dalam sebuah lintas
perakitan meliputi usaha yang bertujuan untuk mencapai suatu kapasitas yang optimal
dimana tidak terjadi penghambatan fasilitas. Tujuan tersebut dapat tercapai bila :
a. Lintas perakitan bersifat seimbang dimana setiap stasiun kerja mendapat tugas yang
sama diukur nilainya dengan waktu.
b. Jumlah stasiun kerja minimum.
c. Jumlah waktu menganggur di setiap stasiun kerja sepanjang lintas perakitan
minimum.
Pada dasarnya, proses keseimbangan lini merupakan satu hal yang tidak pernah
mencapai kesempurnaan. Di sini sedikit waktu lebih (extra time) yang lebih dikenal
dengan balance delay tetap harus ditambahkan pada hampir semua stasiun kerja. Hal ini
tentu saja akan menambah besarnya waktu baku yang telah dihitung atau ditetapkan.
Kondisi inilah yang merupakan satu hal yang merugikan disamping kerugian aspek-
43
aspek sosial psikologis. Meskipun demikian, aplikasi dari konsep keseimbangan lini
tetap saja dijalankan di lingkungan industri karena di sisi lain bisa dijumpai beberapa
keuntungan seperti pembagian tugas secara merata sehingga kondisi bottleneck dapat
dihindari, pengurangan aktivitas material handling, serta memacu operator untuk selalu
bekerja dengan target-target tertentu yang harus dicapai, dan lain-lain.
Berikut ini adalah beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai
keseimbangan lini (Sritomo, 1995, p302 ), yaitu :
a. Memperbaiki metode kerja khususnya pada stasiun-stasiun kerja yang kritis, yaitu
stasiun kerja yang cenderung untuk melanggar batas waktu siklus yang telah
ditetapkan.
b. Merubah kecepatan proses kerja, seperti kecepatan mesin, hand – tool speed, dan
lain – lain.
c. Menempatkan operator yang memiliki keterampilan terbaik pada stasiun kerja yang
kritis (stasiun kerja yang melanggar batas waktu siklus yang ditetapkan).
d. Hindari terjadinya in–process storage, terutama yang sering dijumpai pada stasiun
kerja yang kritis dengan cara melakukan overtime.
e. Gunakan stasiun kerja ganda (multiple stations), 2 atau lebih stasiun kerja akan
melaksanakan elemen – elemen aktivitas yang sama untuk meningkatkan siklus
waktu secara efektif.
44
3.2.4. Terminologi dalam Keseimbangan Lini
1. Produk rakitan (Assembled Product)
Produk yang melewati urutan stasiun kerja dimana tiap stasiun kerja
memberikan proses tertentu hingga selesai menjadi produk jadi pada
stasiun kerja terakhir.
2. Elemen kerja (Work element)
Bagian dari keseluruhan pekerjaan dalam proses perakitan. Umumnya
digunakan simbol N untuk mendefinisikan jumlah total dari elemen kerja
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu perakitan sedangkan i adalah
elemen kerja.
3. Waktu Siklus (Cycle Time)
Waktu keluarnya satu unit produk dari lintasan produksi. Nilai minimum
waktu siklus harus lebih besar atau sama dengan waktu stasiun terpanjang.
Apabila waktu produksi dan target produksi telah ditentukan, maka waktu
siklus dapat diketahui dari hasil bagi waktu produksi dan target produksi.
4. Stasiun kerja (Workstasion/WS)
Lokasi pada lini perakitan dalam pembuatan suatu produk dimana
pekerjaan diselesaikan baik secara manual maupun otomatis. Jumlah
minimum dari stasiun kerja adalah k, dimana 1 ≤ k ≤ N.
5. Waktu Proses Stasiun Kerja (Work Station Process Time)
Penjumlahan dari seluruh waktu pengerjaan setiap elemen kerja yang
berada di dalam stasiun kerja tersebut. Elemen pekerjaan yang dapat
diselesaikan dalam satu stasiun kerja (work station) dapat terdiri dari satu
elemen pekerjaan atau lebih.
45
6. Waktu Menganggur Stasiun (Delay time of station)
Selisih antara waktu siklus dengan waktu per stasiun kerja. Perbedaan
antara waktu per stasiun kerja dengan waktu siklus disebut juga idle time.
7. Tabel Larangan (Prohibit Table)
Tabel ini berisi elemen-elemen kerja apa saja yang harus ditugaskan
terlebih dahulu sebelum elemen kerja bersangkutan ditugaskan.
8. Diagram Pendahulu (Precedence Diagram)
Suatu gambaran secara grafis dari suatu urutan pekerjaan yang
memperlihatkan keseluruhan operasi pekerjaan dan ketergantungan
masing-masing elemen kerja tersebut dimana elemen kerja tertentu tidak
dapat dikerjakan sebelum elemen kerja yang mendahuluinya dikerjakan
terlebih dahulu.
Diagram pendahulu dapat dibuat dengan 2 alternatif, yaitu :
• Diagram AOA (Activity on Arrow)
Diagram dimana setiap aktivitas digambarkan sebagai anak panah
yang menghubungkan 2 node. Pada jaringan ini hanya ada satu node
pada awal dan akhir proyek sehingga aktivitas semu (dummy) hanya
terdapat pada jaringan AOA.
• Diagram AON (Activity on Node)
Diagram dimana setiap aktivitas digambarkan dalam bentuk lingkaran
(node), sedangkan tanda panah menunjukkan aliran aktivitas. Pada
jaringan ini tidak terdapat aktivitas semu (dummy).
46
3.2.5. Performansi dalam Keseimbangan Lini
Kriteria umum dari keseimbangan lini produksi adalah memaksimumkan
efisiensi lini (Line Efficiency), meminimumkan keseimbangan waktu menganggur
(Balance Delay) dan meminimumkan waktu menganggur baik untuk stasiun kerja
maupun lini produksi. Beberapa ukuran performansi dalam keseimbangan lini adalah
(Elsayed, 1994, pp345-346; Baroto, 2002, pp196-197) :
1. Efisiensi Lini (Line Efficiency)
Merupakan perbandingan dari total waktu per stasiun kerja terhadap waktu siklus
(waktu stasiun kerja terpanjang) dengan jumlah stasiun kerja, yang dinyatakan
dalam persentase.
Secara sistematis dapat dituliskan sebagai berikut :
( )( ) %100xCTkWb
LE i∑=
dimana : Wbi = Waktu baku per stasiun kerja
k = Jumlah total stasiun kerja
CT = Cycle Time (waktu siklus terpanjang)
2. Efisiensi Stasiun Kerja (Station Efficiency)
Rumus :
%100xCTWbSE i=
dimana : Wbi = Waktu baku setiap stasiun kerja
CT = Cycle Time (waktu siklus terpanjang)
47
3. Keseimbangan Waktu Menganggur (Balance Delay)
Merupakan perbandingan antara waktu menganggur dengan keterkaitan antara
waktu siklus dan jumlah stasiun kerja atau dengan kata lain jumlah antara balance
delay dan line efficiency sama dengan satu.
Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
%100xCT.k
WbCT.kBD i∑−=
dimana : BD = Keseimbangan waktu senggang (Balance Day)
k = Jumlah stasiun kerja
CT = Cycle Time (waktu siklus terpanjang)
Wbi = Waktu baku setiap stasiun kerja
4. Waktu menganggur (Delay Time of A Station)
Merupakan selisih antara waktu siklus dengan waktu per stasiun kerja.
Rumus :
Waktu Menganggur Stasiun = CT – Wbi
Total Waktu Menganggur = k.CT - ∑Wbi
5. Smoothness Index (SI)
Merupakan suatu index yang menunjukkan kelancaran relatif dari suatu
keseimbangan lini perakitan. Suatu smoothness index dikatakan sempurna jika
nilainya nol atau disebut juga perfect balance.
Secara sistematis dapat dituliskan dengan :
( )∑ −= 2iWbCTSI
48
dimana : CT = Cycle Time (waktu siklus terpanjang)
Wbi = Waktu baku setiap stasiun kerja
6. Kapasitas Produksi (Production Output)
Kapasitas Produksi menunjukkan kemampuan lini produksi dalam menghasilkan
produk dalam selang waktu tertentu.
Rumus :
Kapasitas Produksi = Siklus(CT)Waktu
hariper produksiWaktu
3.2.6. Langkah-Langkah dalam Keseimbangan Lini
Langkah-langkah untuk menyeimbangkan suatu lini produksi (Chase, et.al.,
2004, pp194-195) antara lain sebagai berikut :
1. Gambarkan diagram pendahulu (precedence diagram) untuk menunjukkan
hubungan antara urutan pekerjaan yang terlibat dalam suatu lini produksi.
2. Tentukan waktu sikus stasiun kerja yang diperbolehkan.
Rumus :
(unit) hariper Output hariper produksiWaktu CT =
dimana : CT = waktu siklus
3. Hitung jumlah minimum stasiun kerja yang dibutuhkan secara teoritis untuk
memenuhi pembatas waktu siklus.
Rumus untuk menghitung jumlah stasiun kerja adalah sebagai berikut :
CTΣWb
k i=
49
dimana : k = Jumlah stasiun kerja
Wbi = waktu baku
CT = waktu siklus
4. Memilih metode dalam mengelompokkan elemen-elemen pekerjaan ke dalam
stasiun kerja.
5. Hitung performansi dari keseimbangan lini berdasarkan metode yang dipilih antara
lain :
• Efisiensi Lini (Line Efficiency)
• Efisiensi Stasiun Kerja (Station Efficiency)
• Keseimbangan Waktu Menganggur (Balance Delay)
• Waktu menganggur (Delay Time of A Station)
• Smoothness Index (SI)
• Kapasitas Produksi (Production Output)
3.2.7. Metode Keseimbangan Lini
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyeimbangkan lini
produksi, salah satunya adalah metode Heuristik. Kata heuristik berasal dari bahasa
Yunani yang berarti memutuskan. Metode ini pertama kali digunakan oleh Simon dan
Newll untuk menggambarkan pendekatan tertentu dalam memecahkan masalah dan
membuat keputusan. Metode heuristik menghasilkan solusi mendekati optimal tetapi
tidak menjamin tercapainya solusi optimal. Meskipun demikian model ini dirancang
untuk menghasilkan strategi yang relatif lebih baik dengan mengacu pada pembatas-
pembatas tertentu. Metode Heuristik banyak digunakan untuk memecahkan masalah-
50
masalah keseimbangan lini. Keuntungan dari penggunaan metode Heuristic (Martinich,
1997, pp197-198) antara lain :
• Mudah untuk dimengerti dan sederhana karena biasanya didasarkan pada beberapa
ide yang sama dalam menyelesaikan masalah.
• Pemecahan masalah lebih cepat karena didasarkan pada aturan yang sederhana.
• Usaha yang dikeluarkan relatif lebih kecil.
• Lebih murah bila dibandingkan dengan metode lain.
3.2.7.1. Metode Helgesson-Birnie atau Ranked Positional Weight
Metode heuristik yang paling awal adalah metode Ranked Positional Weight
(Bobot Posisi). Metode ini dikembangkan oleh W.B. Helgeson dan D.P. Birnie. Dasar
untuk menetapkan tugas pada stasiun-stasiun kerja menurut metode ini adalah
menentukan bobot masing-masing tugas berdasarkan jumlah waktu untuk mengerjakan
tugas tersebut ditambah dengan waktu pengerjaan seluruh tugas yang mengikutinya
dalam precedence diagram (Buffa, 1999, p247). Dengan sendirinya elemen pekerjaan
yang memiliki bobot posisi yang lebih besar kemungkinan adalah operasi yang
mempunyai banyak successor (operasi yang mengikuti). Dengan demikian elemen
pekerjaan tersebut penting untuk dikerjakan terlebih dahulu agar pekerjaan yang lain
dapat dikerjakan.
Langkah-langkah dalam metode ini adalah sebagai berikut (Elsayed, 1994,
p360):
1. Buat diagram pendahulu (precedence diagram) untuk setiap elemen kerja.
51
2. Tentukan bobot posisi untuk masing-masing elemen kerja yang berkaitan dengan
waktu operasi untuk waktu penyelesaiaan yang terpanjang dari awal pekerjaan
hingga sisa pekerjaan sesudahnya.
Bobot Posisi = Waktu proses operasi tersebut + Waktu proses operasi- operasi
berikutnya.
3. Urutkan elemen pekerjaan berdasarkan bobot posisi yang telah didapat pada
langkah kedua diatas. Pengurutannya dimulai dari elemen pekerjaan yang memiliki
bobot posisi paling besar hingga bobot posisi yang paling kecil.
4. Lakukan penugasan elemen pekerjaan ke dalam stasiun kerja mulai dari operasi
dengan bobot posisi terbesar sampai dengan bobot posisi terkecil tanpa menyalahi
precedence diagram.
5. Jika penugasan suatu elemen kerja membuat waktu pada stasiun kerja melebihi
waktu siklus, maka ganti elemen kerja tersebut dan tempatkan pada stasiun kerja
berikutnya selama tidak melanggar precedence diagram dan tidak melebihi waktu
siklus.
6. Ulangi langkah ke 4 dan 5 sampai semua elemen kerja ditugaskan ke dalam stasiun-
stasiun kerja.
3.2.7.2. Metode J. Wagon
Yang diutamakan dalam metode ini adalah elemen kerja yang memiliki jumlah
elemen kerja terbanyak yang mengikutinya. Pada dasarnya, metode J.Wagon sangat
mirip dengan metode Ranked Positional Weight, hanya saja yang dipakai sebagai
bobotnya bukan waktu tetapi jumlah elemen kerja yang mengikuti suatu elemen
pekerjaan.
52
Langkah-langkah untuk melakukan keseimbangan lini dengan menggunakan
metode ini adalah sebagai berikut (Chase, et.al., 2004, p194) :
1. Buat precedence digaram.
2. Tentukan bobot untuk setiap elemen kerja, kriteria penentuan bobot ini berdasarkan
jumlah elemen kerja yang mengikuti suatu elemen kerja tersebut.
3. Urutkan bobot itu dari yang paling besar ke yang paling kecil. Apabila ada lebih
dari satu elemen kerja yang memiliki nilai bobot yang sama, maka prioritas
penugasan elemen kerja ke stasiun kerja akan diberikan kepada elemen kerja yang
memiliki waktu pengerjaan yang lebih besar.
4. Tugaskan elemen-elemen kerja itu ke dalam stasiun kerja dengan syarat jumlah
total waktu stasiun kerja tidak boleh melebihi waktu siklus dan juga elemen
pendahulunya telah dikerjakan.
5. Jika penugasan suatu elemen kerja membuat waktu stasiun kerja melebihi waktu
siklus, maka tempatkan elemen kerja tersebut pada stasiun kerja berikutnya selama
tidak menyalahi precedence diagram.
6. Ulangi langkah ke 3 dan 4 sampai semua elemen kerja sudah dikelompokkan ke
dalam stasiun kerja.
3.2.7.3. Metode Largest Candidate Rule
Metode ini mengelompokkan elemen-elemen kerja berdasarkan pengurutan dari
operasi yang mempunyai waktu proses terbesar. Sebelum melakukan pengelompokkan,
terlebih dahulu harus ditentukan berapa waktu siklus yang akan digunakan. Waktu
siklus ini akan menjadi pembatas dalam penggabungan operasi ke dalam satu stasiun
53
kerja. Prosedur pengelompokkan operasi menurut metode ini (Noori, 1995, p259)
adalah :
1. Buat diagram pendahulu (precedence diagram) untuk tiap elemen kerja.
2. Urutkan semua elemen kerja dari yang memiliki waktu penyelesaian paling besar
hingga yang paling kecil.
3. Pengelompokkan dimulai dari urutan yang pertama tetap dengan memperhatikan
syarat waktu siklus yang berlaku. Elemen kerja dipindahkan ke stasiun kerja
berikutnya apabila jumlah waktu stasiun kerja melebihi waktu siklus.
4. Ulangi langkah ke 3 diatas hingga semua elemen kerja telah berada dalam stasiun
kerja tanpa melanggar precedence diagram dan tidak melebihi waktu siklus.
3.2.7.4. Metode Region Approach
Pada prinsipnya metode ini berusaha untuk menjadwalkan terlebih dahulu
elemen kerja yang banyak diikuti oleh elemen kerja lainnya. Prosedur pengelompokkan
elemen kerja berdasarkan metode Region Approach adalah sebagai berikut (Bedworth,
1982, pp371-372) :
1. Buat diagram pendahulu (precedence diagram) untuk setiap elemen kerja.
2. Bagi diagram pendahulu tersebut ke dalam wilayah-wilayah dari kiri ke kanan.
3. Gambar ulang diagram pendahulu dan tempatkan semua elemen kerja pada wilayah
paling kanan. Hal ini untuk menjamin agar elemen kerja dengan sedikit
ketergantungan akan dipertimbangkan terakhir dalam penjadwalan.
4. Pada setiap wilayah, urutkan elemen kerja menurut waktu dari waktu operasi
terbesar sampai dengan waktu operasi terkecil. Hal ini dilakukan agar elemen kerja
54
dengan waktu operasi terbesar akan diprioritaskan terlebih dahulu dalam
penjadwalan.
5. Lakukan pengelompokkan elemen kerja dengan urutan sebagai berikut :
• Dimulai dari wilayah yang paling kiri terlebih dahulu.
• Dalam suatu wilayah, diprioritaskan elemen kerja yang memiliki waktu
operasi terbesar terlebih dahulu.
6. Kelompokkan elemen-elemen kerja ke dalam stasiun kerja tanpa melebihi waktu
siklus yang telah ditentukan sampai semua elemen-elemen tersebut masuk ke dalam
stasiun kerja.
7. Pada akhir pengelompokkan, tentukan apakah pengelompokkan tersebut telah
memenuhi syarat waktu siklus yang telah ditetapkan. Jika belum, lakukan lagi
pengelompokkan wilayah berdasarkan urutan di atas. Ulangi langkah 5 dan 6 di
atas.
3.3. Sistem Informasi
3.3.1. Sistem
Menurut McLeod (2004, p9), sistem adalah sekelompok elemen-elemen yang
terintegrasi dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan. Definisi ini cocok untuk suatu
organisasi seperti suatu perusahaan atau bidang fungsional lainnya. Organisasi terdiri
dari sejumlah sumber daya seperti manusia, material, uang, mesin, dan informasi dimana
sumber daya tersebut bekerja menuju tercapainya suatu tujuan yang ditentukan oleh
pemilik atau manajemen.
55
Sedangkan menurut O’Brien (2004, p8), sistem adalah sekumpulan elemen-
elemen yang saling berhubungan atau berinteraksi membentuk suatu kesatuan secara
keseluruhan. Sistem mempunyai tiga fungsi dasar berikut yang saling berinteraksi yaitu :
a. Input, mencakup elemen yang masuk ke dalam sistem untuk diproses lebih lanjut.
Contoh : data penjualan selama setahun.
b. Processing, mencakup proses transformasi yang mengubah input menjadi output.
Contoh : perhitungan matematis.
c. Output, mencakup elemen transfer yang dihasilkan dari proses transformasi untuk
tujuan utama. Contoh : hasil perhitungan rata-rata penjualan selama setahun.
3.3.2. Informasi
Berdasarkan pendapat McLeod (2004, p12), informasi adalah suatu data yang
telah diproses, atau data yang telah memiliki arti.
Sedangkan menurut O’Brien (2004, p13), informasi adalah data yang telah
dikonversikan menjadi konteks yang berarti dan berguna bagi pemakai tertentu.
Menurut McLeod (2001, p145) terdapat empat dimensi informasi, yaitu :
• Relevansi
Informasi disebut relevan jika informasi tersebut berkaitan langsung dengan masalah
yang sedang dihadapi. Manajer harus mampu memilih informasi yang diperlukan.
• Akurasi
Secara ideal, semua informasi harus akurat untuk menunjang terbentuknya sistem
yang akurat pula. Akurasi ini terutama diperlukan dalam aplikasi-aplikasi tertentu
seperti aplikasi yang melibatkan keuangan, semakin teliti informasi yang diinginkan
maka biaya pun semakin bertambah.
56
• Ketepatan Waktu
Informasi harus dapat tersedia untuk memecahkan masalah pada waktu yang tepat
sebelum situasi menjadi tidak terkendali atau kesempatan yang ada menghilang.
Manajer juga harus mampu memperoleh informasi yang menggambarkan keadaan
yang sedang terjadi sekarang, selain apa yang telah terjadi pada masa lalu.
• Kelengkapan
Perusahaan khususnya manajer harus dapat memperoleh informasi yang memberi
gambaran lengkap dari suatu permasalahan atau penyelesaian. Namun pemberian
informasi yang tidak berguna secara berlebihan harus dihindari.
3.3.3. Sistem Informasi
Menurut McLeod (2001, p4), sistem informasi adalah suatu kombinasi yang
terorganisasi dari manusia, perangkat lunak, perangkat keras, jaringan komunikasi, dan
sumber daya data yang mengumpulkan, mentransformasikan, serta menyebarkan
informasi dalam sebuah organisasi.
Sedangkan berdasarkan pendapat Laudon (2001, p8), sistem informasi adalah
sekumpulan komponen yang saling berhubungan yang menerima, memproses,
menyimpan, dan menyebarkan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan dan
pengendalian dalam sebuah organisasi.
3.3.4. Sistem Infomasi Manajemen
Tujuan dari sistem informasi manajemen adalah untuk memenuhi kebutuhan
informasi umum untuk manajer dalam perusahaan atau dalam subunit fungsional
perusahaan. Subunit dapat didasarkan pada area fungsional atau tingkatan manajemen.
57
Sistem informasi manajemen menyediakan informasi bagi pemakai dalam bentuk
laporan dan keluaran dari berbagai simulasi model matematika, dimana model laporan
ataupun keluaran dapat disajikan dalam bentuk tabel atau grafik (McLeod, 2001, p326).
Menurut McLeod (2004, p260), sistem informasi manajemen dapat didefinisikan
sebagai suatu sistem berbasis komputer yang menyediakan informasi bagi beberapa
pemakai dengan kebutuhan yang serupa. Para pemakai biasanya membentuk suatu
entitas organisasi formal (perusahaan atau sub unit dibawahnya). Informasi menjelaskan
perusahaan atau salah satu sistem utamanya mengenai apa yang telah terjadi di masa
lalu, apa yang sedang terjadi sekarang dan apa yang mungkin terjadi di masa depan.
Informasi tersebut tersedia dalam bentuk laporan periodik, laporan khusus, dan keluaran
dari simulasi matematika. Keluaran informasi tersebutlah yang akan digunakan oleh
manajer maupun non-manajer dalam perusahaan saat mereka membuat keputusan untuk
memecahkan masalah.
3.4. Analisis dan Desain Sistem Berorientasi Objek
3.4.1. Analisis dan Perancangan Sistem
Menurut McLeod (2001, p234), analisis sistem adalah penelitian atas sistem
yang telah ada dengan tujuan untuk merancang sistem yang baru atau diperbaiki. Jadi
dapat disimpulkan bahwa analisis sistem adalah penelitian sistem yang ada dengan
tujuan penyempurnaan sistem yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna sistem.
Perancangan sistem adalah proses penterjemahan kebutuhan pemakai ke dalam
alternatif rancangan sistem informasi yang diajukan kepada pemakai informasi untuk
dipertimbangkan. Dari definisi diatas, perancangan sistem dapat disimpulkan suatu
58
proses penyiapan spesifikasi dalam menterjemahkan kebutuhan pemakai dalam
pengembangan sistem baru.
3.4.2. Kaitan Analisis dan Desain dengan Orientasi Objek (Larman, 1998, p6)
Untuk merancang suatu aplikasi piranti lunak, pada tahap awal diperlukan
deskripsi dari permasalahan dan spesifikasi aplikasi yang dibutuhkan. Apa saja
persoalan yang ada dan apa yang harus dilakukan sistem.
Penekanan analisis adalah pada proses investigasi atas permasalahan yang
dihadapi tanpa memikirkan definisi solusi terlebih dahulu. Jadi dalam tahap analisa,
dikumpulkan informasi mengenai permasalahan, spesifikasi sistem berjalan, serta
spesifikasi sistem yang diinginkan. Sedangkan penekanan dalam desain adalah pada
logika solusi dan bagaimana memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan serta konstrain atau
batasan yang ada.
Inti dari analisis dan perancangan berorientasi objek adalah untuk menekankan
pertimbangan atas domain permasalahan beserta solusinya dari sudut pandang objek.
Tahap analisis berorientasi objek lebih ditekankan untuk mencari dan
mendefinisikan objek atau konsep yang ada dalam domain permasalahan. Contohnya
dalam membangun aplikasi perpustakaan, analisis bertujuan mendapatkan penjabaran
objek seperti buku, petugas perpustakaan, dan sebagainya.
Tahap perancangan berorientasi objek, penekanan terletak pada bagaimana
mendefinisikan objek-objek logik dalam aplikasi yang akan diimplementasikan ke dalam
bahasa pemrograman berorientasi objek seperti C++, Smalltalk, Java, atau Visual Basic.
59
3.4.3. Konsep Analisa dan Perancangan Berorientasi Objek
Konsep analisa dan perancangan berorientasi objek (Object Oriented)
merupakan suatu konsep pemodelan sistem dari sudut pandang objek beserta sifat-
sifatnya. Konsep ini memungkinkan kita untuk menciptakan serangkaian objek yang
bekerja bersama-sama dalam menghasilkan software yang lebih baik jika dibandingkan
dengan teknik yang tradisional. Sistem menjadi lebih mudah diadaptasi terhadap
perubahan permintaan, lebih mudah dikembangkan, lebih tahan dan meningkatkan
desain dan penggunaan kode dengan lebih baik. Orientasi terhadap Object Oriented ini
bukan berdasarkan bagaimana objek melakukan sesuatu tetapi lebih kepada apa yang
objek lakukan.
Suatu model yang dirancang dengan pendekatan berorientasi objek umumnya
memiliki karakteristik yang mudah dimengerti dan dapat secara langsung berhubungan
dengan dunia nyata. Beberapa karakteristik yang menjadi ciri-ciri dari pendekatan
berorientasi objek (Nugroho, 2002, pp11-12) adalah :
1. Pendekatan lebih pada data dan bukannya pada prosedur atau fungsi.
2. Program besar dibagi pada apa yang dinamakan objek-objek.
3. Struktur data dirancang dan menjadi karakteristik dari objek-objek.
4. Fungsi-fungsi yang mengoperasikan data tergabung dalam satu objek yang sama.
5. Data tersembunyi dan terlindung dari fungsi atau prosedur yang ada di luar.
6. Objek-objek dapat saling berkomunikasi dengan saling mengirim pesan satu sama
lain.
60
Menurut Nugroho (2002, p11), faktor utama ditemukannya pendekatan
berorientasi objek adalah karena adanya kekurangan-kekurangan pada pendekatan
terstruktur, yaitu :
1. Biaya pengembangan perangkat lunak berkembang sesuai dengan berkembangnya
keinginan atau kebutuhan pengguna.
2. Pemeliharaan yang sukar.
3. Lamanya penyelesaian suatu proyek.
4. Jangka waktu penyelesaian proyek selalu terlambat.
5. Biaya pengembangan perangkat lunak yang sangat tinggi, dan sebagainya.
3.4.3.1.Pengertian Objek
Menurut Mathiassen (2000, p4), objek adalah sebuah entitas yang memiliki
identitas, state dan operasi (behavior) dan dapat menawarkan sejumlah operasi
(behavior) untuk mengevaluasi maupun mempengaruhi keadaan entitas tersebut.
Karakteristik yang harus dimiliki oleh objek antara lain :
1. Tiap objek memiliki sifat atau informasi individual yang unik (attribute) di mana
tiap attribute mempunyai nilai. Contohnya, seorang mahasiswa memiliki attribute
NIM (Nomor Induk Mahaiswa), nama, nilai, dan sebagainya.
2. Objek dapat melakukan suatu operasi yang disebut dengan behavior. Operasi ini
dapat dipicu oleh stimulus dari luar maupun dalam objek.
3. Objek dapat dikomposisikan menjadi bagian-bagian terpartisi yang dinyatakan dalam
hubungan consist of atau aggregate.
61
3.4.3.2.Class dan Instance
Menurut Mathiassen (2000, p4), class adalah deskripsi dari kumpulan objek-
objek yang mempunyai kesamaan struktur, pola operasi (behaviour), dan atribut.
Objek dalam suatu class memiliki definisi yang sama pula baik untuk
operasinya maupun struktur informasinya. Contohnya, class kendaraan merupakan
sebuah model dengan karakteristik dijalankan oleh mesin dan digunakan untuk
transportasi. Dari class ini dapat diturunkan objek-objek seperti mobil, motor, pesawat,
truk, dan sebagainya karena semua itu memiliki karakteristik yang sama dalam class
kendaraan, yakni semuanya dijalankan oleh mesin dan untuk tujuan transportasi. Objek
mobil, motor, truk dan pesawat tersebut disebut sebagai instance. Sebuah instance
merupakan objek yang diciptakan dari class dengan struktur yang didefinisikan dari
class.
3.4.3.3. Konsep Encapsulation, Inheritance, Polymorphism
Di dalam analisis dan desain berorientasi objek, terdapat tiga buah konsep atau
teknik dasar (Sutisna, 2001, online) yaitu :
1. Encapsulation (Pemodulan)
Secara sederhana, encapsulation (pemodulan) dalam pemrograman berorientasi
objek berarti pengelompokan data dan fungsi (method). Definisi formalnya adalah
sebuah objek yang memiliki kemampuan untuk menyembunyikan informasi penting
(information hiding) dan tidak dapat diakses oleh objek lain yang tidak memiliki hak
akses dalam objek itu.
Ilustrasi dalam dunia nyata, seorang ibu rumah tangga menanak nasi dengan
menggunakan rice cooker, ibu tersebut menggunakannya hanya dengan menekan
62
tombol. Tanpa harus tahu bagaimana proses itu sebenarnya terjadi. Disini terdapat
penyembunyian informasi milik rice cooker, sehingga tidak perlu diketahui seorang
ibu. Dengan demikian menanak nasi oleh si ibu menjadi sesuatu yang menjadi dasar
bagi konsep information hiding.
2. Inheritance
Inheritance dalam bahasa pemrograman berorientasi objek secara sederhana
berarti menciptakan sebuah class baru yang memiliki sifat-sifat induknya, ditambah
karakteristik khas individualnya. Jika kelas A menurunkan ke kelas B, maka operasi
dan struktur informasi yang terdapat pada kelas A akan menjadi bagian dari kelas B.
Objek-objek memiliki banyak persamaan, namun ada sedikit perbedaan. Contoh
beberapa buah mobil yang mempunyai kegunaan yang berbeda-beda. Ada mobil bak
terbuka seperti truk, bak tertutup seperti sedan dan minibus. Walaupun demikian
objek-objek ini memiliki kesamaan yaitu teridentifikasi sebagai objek mobil, objek
ini dapat dikatakan sebagai objek induk (parent). Sedangkan sedan dikatakan
sebagai objek anak (child), hal ini juga berarti semua operasi yang berlaku pada
mobil berlaku juga pada sedan.
3. Polymorphism
Polymorphism adalah kemampuan dari tipe objek yang berbeda untuk menyadari
property dan operasi yang sama dalam hal yang berbeda. Sehingga dapat dikatakan
bahwa objek dari tipe yang berbeda dapat menggunakan atribut/property dan operasi
yang sama dalam hal yang berbeda.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pengirim stimulus atau bagian yang
memicu tidak perlu mengetahui bagaimana suatu metoda diimplementasikan.
63
Contohnya, pada objek mobil, walaupun minibus dan truk merupakan jenis objek
mobil yang sama, namun memiliki juga perbedaan. Misalnya suara truk lebih keras
dari pada minibus, hal ini juga berlaku pada objek anak (child) melakukan metoda
yang sama dengan algoritma berbeda dari objek induknya. Hal ini yang disebut
polymorphism. Teknik atau konsep dasar lainnya adalah ruang lingkup atau
pembatasan, artinya setiap objek mempunyai ruang lingkup kelas, atribut, dan
metoda yang dibatasi.
3.5. Unified Modeling Language (UML)
3.5.1. Sejarah Singkat UML
UML adalah suksesor dari gelombang metode OOAD yang berkembang di
awal 1990. Saat itu terdapat banyak pengguna metode OOAD menghadapi masalah
sebab belum tersedia sebuah modeling language yang dapat memenuhi kebutuhan
mereka, sehingga terdapat berbagai metode yang digunakan tanpa standar dan
keseragaman tertentu. UML sebagian besar menggabungkan metode-metode dari Booch
(yang mempunyai metode yang baik dalam fase perancangan dan konstruksi dari
pembuatan proyek), Rumbaugh (Object Modeling Technique/OMT, yang sangat berguna
dalam analisis dan sistem informasi dengan data intensif), dan Jacobson (Object
Oriented Software Engineering/OOSE, yang menyediakan dukungan use case untuk
mengetahui kebutuhan user, analisis, dan perancangan tingkat tinggi), serta metode-
metode lain seperti Fusion, Shlaer-Mellor, dan Coad-Yourdon. UML melalui sebuah
proses standarisasi dengan OMG (Object Management Group) dan sekarang adalah
sebuah standar OMG.
64
3.5.2. Konsep Bahasa UML
Berdasarkan OMG, UML (Unified Modeling Language) dapat didefinisikan
sebagai sebuah bahasa yang berdasarkan grafik atau gambar untuk memvisualisasi
(visualisizing), menspesifikasi (specifying), mengkonstruksi (constructing), dan
mendokumentasi (documenting) sebuah sistem perangkat lunak.
UML bukan hanya bahasa pemrograman visual saja, tetapi merupakan model
yang dapat secara langsung dihubungkan dengan bahasa pemrograman yang bervariasi.
Artinya hal ini mungkin untuk memetakan model dengan UML ke dalam bahasa
pemrograman seperti Java, C++, atau Visual Basic, atau bahkan dihubungkan secara
langsung dengan relational database atau object oriented database (Booch et. al., 1999,
p15-16). Pemikiran bahwa penggambaran dalam bentuk visual yang baik dapat
dilakukan dengan UML, sama seperti pemikiran bahwa penggambaran dalam bentuk
teks yang baik dapat dilakukan oleh bahasa pemrograman.
3.5.3. Kegunaan UML
UML diperuntukan untuk pemakaian sistem software yang intensif. UML
banyak digunakan terutama untuk (Booch et. al., 1999, p17) :
• Sistem informasi perusahaan
• Layanan perbankan dan financial
• Telekomunikasi
• Transportasi
• Pertahanaan / angkasa luar
• Perdagangan
65
• Alat-alat elektronik medis
3.5.4. UML Diagram
Berikut ini merupakan standarisasi diagram-diagram yang terdapat dalam UML,
yang digunakan untuk memodelkan sistem itu sendiri, yaitu :
3.5.4.1. Class Diagram
Class diagram menggambarkan kumpulan dari class, interface, collaboration,
dan hubungannya. Diagram ini merupakan diagram yang paling umum ditemukan dalam
memodelkan sistem berorientasi objek. Class diagram sangatlah penting tidak hanya
untuk visualisasi, menentukan, dan mendokumentasikan model struktural, tetapi juga
untuk mengkonstruksikan sistem yang executable.
Class menggambarkan keadaan (atribut/properti) suatu sistem, sekaligus
menawarkan layanan untuk memanipulasi keadaan tersebut (metode/fungsi), sehingga
class memiliki tiga area pokok yaitu nama, atribut, dan metode. ((Dharwiyanti, Wahono,
2003, online).
Beberapa hubungan antar class adalah sebagai berikut :
1. Asosiasi, yaitu hubungan statis antar class. Umumnya menggambarkan class yang
memiliki atribut berupa class lain, atau class yang harus mengetahui eksistensi class
lain.
2. Agregasi, yaitu hubungan yang menyatakan bagian (“terdiri atas”).
3. Pewarisan, yaitu hubungan hirarkis antar class. Class dapat diturunkan dari class lain
dan mewarisi semua atribut dan metode class asalnya dan menambahkan
fungsionalitas baru, sehingga ia disebut anak dari class yang diwarisinya. Kebalikan
dari pewarisan adalah generalisasi.
66
4. Hubungan dinamis, yaitu rangkaian pesan (message) yang di-passing dari satu class
kepada class lain. Hubungan dinamis dapat digambarkan dengan menggunakan
sequence diagram yang akan dijelaskan kemudian.
Sumber: www. smart draw.com
Diagram 3.1. Contoh Class Diagram
3.5.4.2. State Chart Diagram
Statechart diagram menggambarkan behaviour dari sebuah sistem dan
perubahan keadaan dari satu state ke state lainnya yang mungkin dilakukan oleh suatu
objek.
Pada umumnya statechart diagram menggambarkan class tertentu (satu class
dapat memiliki lebih dari satu statechart diagram). Diagram ini menekankan pada
metode (event) dari objek. Dalam UML, state digambarkan berbentuk segiempat dengan
sudut membulat dan memiliki nama sesuai kondisinya saat itu. Transisi antar state
umumnya memiliki kondisi guard yang merupakan syarat terjadinya transisi yang
bersangkutan, dituliskan dalam kurung siku. Action yang dilakukan sebagai akibat dari
event tertentu dituliskan dengan diawali garis miring. Titik awal dan akhir digambarkan
berbentuk lingkaran berwarna penuh dan berwarna setengah. (Dharwiyanti, Wahono,
67
2003, online). Notasi-notasi dalam statechart diagram dapat dilihat pada contoh
statechart untuk customer bank di bawah ini :
Open
[amount,date] / Amount deposited
[date,amount] / Amount withdrawn
[date] / Account opened [date] / Amount closed
Sumber: Mathiassen et al., 2000
Diagram 3.2 Contoh Statechart Diagram
3.5.4.3. Use Case Diagram
Use case adalah pola interaksi antara sistem dengan aktor di dalam application
domain. Aktor adalah abstraksi dari user atau sistem lain yang berinteraksi dengan
sistem. Use Case diagram menggambarkan fungsionalitas yang diharapkan dari sebuah
sistem. Yang ditekankan adalah “apa” yang diperbuat sistem, dan bukan “bagaimana”.
Use Case diagram digunakan untuk menyusun requirement dari sebuah sistem,
mengkomunikasikan rancangan dengan klien, dan merancang test case untuk semua
feature yang ada pada sistem.
68
Sumber: www.visual-paradigm.com
Diagram 3.3 Contoh Use Case Diagram
3.5.4.4. Sequence Diagram
Sequence diagram adalah sebuah interaction diagram yang menekankan pada
urutan waktu penyampaian dari suatu pesan. Sequence diagram menggambarkan
interaksi antar objek di dalam dan di sekitar sistem (termasuk pengguna, display, dan
sebagainya) berupa message yang digambarkan terhadap waktu. Sequence diagram
terdiri atar dimensi vertikal (waktu) dan dimensi horizontal (objek-objek yang terkait).
Sequence diagram biasa digunakan untuk menggambarkan skenario atau
rangkaian langkah-langkah yang dilakukan sebagai respons dari sebuah event untuk
menghasilkan output tertentu. Diawali dari apa yang men-trigger aktivitas tersebut,
proses dan perubahan apa saja yang terjadi secara internal dan output apa yang
dihasilkan. Masing-masing objek, termasuk aktor, memiliki lifeline vertikal. Message
digambarkan sebagai garis berpanah dari satu objek ke objek lainnya. Pada fase desain
69
berikutnya, message akan dipetakan menjadi operasi atau metoda dari class. Activation
bar menunjukkan lamanya eksekusi sebuah proses, biasanya diawali dengan diterimanya
sebuah message. (Dharwiyanti, Wahono, 2003, online).
Sumber: www. smart draw.com
Diagram 3.4 Contoh Sequence Diagram
3.5.4.5. Component Diagram
Component diagram menggambarkan struktur dan hubungan antar komponen
piranti lunak, termasuk ketergantungan (dependency) di antaranya. Komponen piranti
lunak adalah modul berisi code, baik berisi source code maupun binary code, baik
library maupun executable, baik yang muncul pada compile time, link time, maupun run
time. Umumnya komponen terbentuk dari beberapa class dan/atau package, tapi dapat
juga dari komponen-komponen yang lebih kecil. Komponen dapat juga berupa interface,
yaitu kumpulan layanan yang disediakan sebuah komponen untuk komponen lain.
(Dharwiyanti, Wahono, 2003, online).
70
Sumber: www. smart draw.com
Diagram 3.5 Contoh Component Diagram
3.5.4.6. Deployment Diagram
Deployment (physical) diagram menggambarkan secara jelas bagaimana
komponen di-deploy dalam infrastruktur sistem, di mana komponen akan diletakkan
(pada mesin, server atau piranti keras apa), bagaimana kemampuan jaringan pada lokasi
tersebut, spesifikasi server, dan hal-hal lain yang bersifat fisikal. Sebuah node adalah
server, workstation, atau piranti keras lain yang digunakan untuk men-deploy komponen
dalam lingkungan sebenarnya. Hubungan antar node (misalnya TCP/IP) dan
requirement dapat juga didefinisikan dalam diagram ini. (Dharwiyanti, Wahono, 2003,
online).
Sumber: www. smart draw.com
Diagram 3.6 Contoh Deployment Diagram
71
3.6. Tahapan Pengembangan Sistem Informasi Berorientasi Objek
Dalam siklus pengembangan sistem informasi ini, digunakan metode
Mathiassen untuk tahapan atau langkah-langkah dalam menganalisis sistem. Menurut
Mathiassen untuk menganalisis sistem informasi berbasiskan objek terdapat empat
kegiatan utama yang harus dilakukan. Namun sebelumnya, seorang analis harus mampu
menangkap apa yang ingin pengguna dapatkan dari sistem atau perangkat lunak itu.
Empat kegiatan utama yang harus dilakukan untuk menganalisis sistem informasi
berbasiskan objek (Mathiassen et al., 2000, pp14-15) dapat dilihat pada gambar dan
keterangan berikut ini :
Sumber : Mathiassen et al., 2000.
Gambar 3.1 Empat Kegiatan Utama Dalam Menganalisis Sistem
72
1. Problem domain analysis
Pada tahapan ini, sistem akan dirancang sesuai dengan spesifikasi kebutuhan dari
pengguna sistem. Tahapan ini menentukan hasil dari keseluruhan akivitas analisis dan
perancangan. Adapun tahapan atau langkah-langkah dari Problem Domain Analysis ini
adalah :
• Menentukan class yang ada dalam sistem dengan melakukan proses identifikasi dari
definisi sistem yang telah dikembangkan
• Menganalisa dan mengembangkan struktur hubungan dari class- class yang ada
• Menganalisa Behavior dari class-class tersebut.untuk menentukan state dari setiap
class yang termasuk dalam sistem ini.
Laporan yang dihasilkan pada tahap ini adalah :
• Class Diagram, yang menggambarkan hubungan antara class-class dalam sebuah
sistem.
• Statechart Diagram, yang menggambarkan bagaimana state dari daur hidup class
yang ada dalam sistem ini.
2. Application domain analysis
Pada tahapan ini lebih difokuskan pada aplikasi suatu sistem, yaitu bagaimana
suatu sistem akan digunakan oleh pengguna. Tahapan ini dan tahapan sebelumnya dapat
dimulai secara bergantian, tergantung pada kondisi pengguna menurut (Mathiassen et.al,
2000, p116). Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam Application Domain Analysis,
yaitu :
73
• Menentukan usage, yaitu menentukan aktor dan use case yang terlibat dan
interaksinya.
• Menentukan fungsi sistem untuk memproses informasi dan membuat daftar fungsi.
Fungsi sistem tidak harus dibuat, tergantung dari kebutuhan analis. Faktor-faktor
yang ditentukan dalam fungsi sitem bersifat subyektif karena tergantung dari
pandangan seorang analis.
• Menentukan antarmuka pengguna dan sistem, untuk interaksi sesungguhnya dari
pengguna dan sistem informasi yang dirancang.
Laporan yang diperoleh dari hasil Application Domain Analysis adalah :
• Use Case Diagram, yang menggambarkan interaksi antara pengguna sebagai aktor
dengan sistem informasi.
• Function List, yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh suatu sistem sebagai
kebutuhan dasar dari user.
• User Interface Navigation Diagram, merupakan diagram yang menggambarkan
tampilan layar yang akan dirancang untuk memenuhi kebutuhan user.
3. Architectural Design
Pada tahap ini, akan dirancang arsitektur hubungan antara client dan server yang
memadai untuk sistem agar dapat berjalan dengan baik. Laporan yang dihasilkan adalah
Deployment Diagram. Perancangan di sini akan menentukan bagaimana struktur sistem
fisik akan dibuat dan bagaimana distribusi sistem informasi pada rancangan fisik
tersebut.
74
4. Component Design
Component design merupakan sistem struktur yang menghubungkan antar
komponen. Laporan yang dihasilkan oleh component design adalah component diagram.
Component diagram merupakan diagram yang menggambarkan struktur dan hubungan
antar komponen piranti lunak, termasuk ketergantungan (dependency) di antaranya. Pada
tahap ini akan terlihat bagaimana sistem bekerja dan interaksi yang terjadi antara sistem
dengan pengguna.