BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Post Operasi adalah masa ... 2.pdf8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Post...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Post Operasi adalah masa ... 2.pdf8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Post...
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Post Operasi
2.1.1 Definisi Post Operasi
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai
saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya (Uliyah & Hidayat, 2008). Tahap pasca-operasi dimulai dari
memindahkan pasien dari ruangan bedah ke unit pasca-operasi dan berakhir saat
pasien pulang.
2.1.2. Jenis-jenis operasi
1. Menurut fungsinya (tujuannya), Potter dan Perry (2006) membagi menjadi:
1) Diagnostik: biopsi, laparotomi eksplorasi
2) Kuratif (ablatif): tumor, appendiktomi
3) Reparatif: memperbaiki luka multiple
4) Rekonstruktif: mamoplasti, perbaikan wajah.
5) Paliatif: menghilangkan nyeri,
6) Transplantasi: penanaman organ tubuh untuk menggantikan organ atau
struktur tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal, kornea).
2. Menurut Luas atau Tingkat Resiko:
1) Mayor
Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai tingkat
resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien.
9
2) Minor
Operasi pada sebagian kecil dari tubuh yang mempunyai resiko komplikasi
lebih kecil dibandingkan dengan operasi mayor.
2.1.3. Komplikasi Post operasi
Menurut Baradero (2008) komplikasi post operasi yang akan muncul
antara lain yaitu hipotensi dan hipertensi. Hipotensi didefinisikan sebagai
tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari
nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang
diakibatkan oleh perdarahan dan overdosis obat anestetika. Hipertensi
disebabkan oleh analgesik dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit
hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sedangkan menurut Majid, (2011) komplikasi post operasi adalah
perdarahan dengan manifestasi klinis yaitu gelisah, gundah, terus bergerak,
merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun, pernafasan
cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien melemah.
2.2 Konsep Nyeri
2.2.1 Definisi Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan,
bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal
skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat
menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Tetty, 2015).
Menurut Smeltzer & Bare (2002), definisi keperawatan tentang nyeri adalah
apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya,
10
yang ada kapanpun individu mengatakkannya. Nyeri sering sekali dijelaskan
dan istilah destruktif jaringan seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit,
seperti emosi, pada perasaan takut, mual dan mabuk. Terlebih, setiap perasaan
nyeri dengan intensitas sedang sampai kuat disertai oleh rasa cemas dan
keinginan kuat untuk melepaskan diri dari atau meniadakan perasaan itu. Rasa
nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, timbul bila ada jaringan rusak
dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan memindahkan stimulus
nyeri (Guyton & Hall, 1997).
2.2.2 Teori Rangsangan Nyeri
1. Teori pemisahan ( specificity theory )
Menurut teori ini rangsangan sakit masuk ke medula spinalis ( spinal cord )
melalui kornu dorsalis yang bersinapsis di daerah posterior. Kemudian naik ke
tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di
korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
2. Teori Pola ( pattern theory )
Rangsangan nyeri masuk mellaui akar ganglion dorsal ke medula spinalis dan
merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respon yang
merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks cerebri, serta konstraksi
menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri.
Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respon dari reaksi sel T.
3. Teori Pengendalian Gerbang ( gate control theory )
Menurut Melzack dan Wall (1965) yang dikutip oleh Qittum (2008),
mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme
11
pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa
impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat
saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut
merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Menurut Teori ini nyeri
bergantung dari kerja saraf besar dan kecil. Keduanya berada dalam akar
ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat besar akan meningkatkan aktivitas
substansia gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme
sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan
terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang ke korteks
cerebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medula spinalis melalui
serat eferen dan reaksinya mempengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada
serat kecil akan menghambat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka
pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan
mengahantarkan rangsangan nyeri. Sedangkan menurut Smelzer & Bare
(2002), Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak
pada fisiologi sistem saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf
perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada
saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan
substansi p, akan merangsang syaraf simpatis sehingga menyebabkan
vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan
berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah,
mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolism otot yang
12
menimbulkan pengiriman implus nyeri dari medulla spinalis ke otak dan
dipresepsikan sebagai nyeri.
4. Teori Transmisi dan Inhibisi.
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls saraf, sehingga
transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh neurotransmiter yang spesifik.
Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impulsimpuls pada
serabut-serabut besar yang memblok impuls-impuls pada serabut lamban dan
endogen opiate sistem supresif.
2.2.3 Fisiologi Nyeri
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri tersebar pada kulit dan mukosa dimana reseptor
nyeri memberikan respon jika adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi
tersebut dapat berupa zat kimia seperti histamine, bradikinin, prostaglandin dan
macam-macam asam yang terlepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan
akibat kekurangan oksigen. Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik, atau
mekanis (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri dapat dirasakan jika reseptor nyeri
tersebut menginduksi serabut saraf perifer aferen yaitu serabut A-delta dan
serabut C. Serabut A-delta memiliki myelin, mengimpulskan nyeri dengan
cepat, sensasi yang tajam, jelas melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi
intensitas nyeri. Serabut C tidak memiliki myelin, berukuran sangat kecil,
menyampaikan impuls yang terlokalisasi buruk, visceral dan terus-menerus
13
(Potter & Perry, 2005). Ketika serabut C dan A-delta menyampaikan rangsang
dari serabut saraf perifer maka akan melepaskan mediator biokimia yang aktif
terhadap respon nyeri, seperti : kalium dan prostaglandin yang keluar jika ada
jaringan yang rusak. Transmisi stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut
saraf aferen sampai berakhir di bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Didalam
kornu dorsalis, neurotransmitter seperti subtansi P dilepaskan sehingga
menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf 16 perifer ke saraf traktus
spinolatamus. Selanjutnya informasi di sampaikan dengan cepat ke pusat
thalamus (Potter & Perry, 2005).
2.2.4 Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan nyeri
kronis.
1. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang, tidak melebihi enam bulan, serta ditandai dengan adanya
peningkatan tegangan otot. Nyeri akut disebabkan oleh eksternal atau penyakit
dalam, dan daerah nyeri tidak diketahui dengan pasti (Hidayat,2011).
2. Menurut Long (1989) dalam Hidayat.A. (2011) Nyeri kronis merupakan nyeri
yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup
lama, yaitu lebih dari enam bulan. Nyeri kronis penyebabnya tidak diketahui
atau karena pengobatan yang terlalu lama, dan daerah nyeri sulit dibedakan
intensitasnya, sehingga sulit di evaluasi. Yang termasuk dalam kategori nyeri
kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis dan nyeri psikomatis.
14
2.2.5 Persepsi Nyeri
Tabel 2.1 Pengkajian Nyeri (BCGuidelines.ca, 2011)
Onset Kapan nyeri muncul?
Berapa lama nyeri?
Berapa sering nyeri muncul?
Proviking Apa yang menyebabkan nyeri?
Apa yang membuatnya berkurang?
Apa yang membuat nyeri bertambah
parah?
Quality Bagaimana rasa nyeri yang dirasakan?
Bisakan di gambarkan?
Region Dimanakah lokasinya?
Apakah menyebar?
Severity Berapa skala nyerinya? (dari 0-10)
Treatment Pengobatan atau terapi apa yang
digunakan?
Understanding Apa yang anda percayai tentang
penyebab nyeri ini?
Bagaimana nyeri ini mempengaruhi anda
atau keluarga anda?
Values Apa pencapaian anda untuk nyeri ini?
2.2.6 Skala Intesitas Nyeri
1. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif
15
Gambar 2.1 Skala intensitas nyeri Deskriptif
2. Skala intensitas nyeri numerik
Gambar 2.2 Skala intensitas nyeri numeric
3. Skala Analog Visual (VAS)
tidak nyeri nyeri sangat hebat
Gambar 2.3 Skala analog visual
2.2.7 Faktor-faktor Pengaruh Nyeri
1. Usia
Usia mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri. Sebagai contoh anak-
anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata mengalami kesulitan
dalam mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan rasa nyarinya,
sementara lansia mungkin tidak akan melaporkan nyerinya dengan alasan nyeri
merupakan sesuatu yang harus mereka terima (Potter & Perry, 2006).
16
2. Jenis kelamin
Secara umum jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam merespon nyeri. Beberapa kebudayaan mempengaruhi jenis kelamin
misalnya ada yang menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan
tidak boleh menangis sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis
dalam situasi yang sama (Rahadhanie dalam Andari, 2015).
3. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengruhi individu mengatasi nyeri.
Individu mempelajari apa yang ajarkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan
mereka (Rahadhanie dalam Andari, 2015).
4. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat. Sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep
yang perawat terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti
relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imaginary) dan mesase, dengan
memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain,
misalnya pengalihan pada distraksi (Fatmawati, 2011).
5. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri. Namun nyeri juga dapat
menimbulkan ansietas. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian system limbik
17
yang diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya ansietas (Wijarnoko,
2012).
6. Kelemahan
Kelemahan atau keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan
koping (Fatmawati, 2011).
7. Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Apabila individu sejak lama
sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka
ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya jika individu mengalami
jenis nyeri yang sama berulang-ulang tetapi nyeri tersebut dengan berhasil
dihilangkan akan lebih mudah individu tersebut menginterpretasikan sensasi
nyeri (Rahadhanie dalam Andari,2015).
8. Gaya koping
Gaya koping mempengaruhi individu dalam mengatasi nyeri. Sumber koping
individu diantaranya komunikasi dengan keluarga, atau melakukan latihan atau
menyanyi (Ekowati, 2012).
9. Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran dan sikap orang-orang terdekat sangat berpengaruh untuk dapat
memberikan dukungan, bantuan, perlindungan, dan meminimalkan ketakutan
akibat nyeri yang dirasakan, contohnya dukungan keluarga (suami) dapat
menurunkan nyeri kala I, hal ini dikarenakan ibu merasa tidak sendiri,
diperhatikan dan mempunyai semangat yang tinggi (Widjanarko, 2012).
18
10. Makna nyeri
Individu akan berbeda-beda dalam mempersepsikan nyeri apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan hukuman dan tantangan.
Misalnya seorang wanita yang bersalin akan mempersepsikan nyeri yang
berbeda dengan wanita yang mengalami nyeri cidera kepala akibat dipukul
pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan
dengan makna nyeri (Potter & Perry, 2006).
2.3 Konsep Kecemasan
2.3.1 Definisi Kecemasan
Cemas adalah rasa khawatir yang tidak diketahui sumbernya dan
semakin bertambah, sering dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan
ketidakberdayaan, serta tidak mempunyai tujuan atau obyek yang jelas.
Perasaan cemas ini bisa dirasakan oleh individu dan bisa disampaikan pada
orang lain. Cemas berbeda dengan rasa takut, yang bisa diartikan sebagai
penilaian seseorang terhadap adanya ancaman. Cemas merupakan respon
emosional terhadap penilaian tersebut (Stuart, 2007). Kecemasan merupakan
reaksi emosional terhadap penilaian individu yang subjektif, yang dipengaruhi
oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui secara khusus penyebabnya (Depkes,
2008).
Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau kelompok
mengalami perasaan gelisah dan aktivasi sistem saraf autonom dalam merespon
ancaman yang tidak jelas. Kecemasan akibat terpejan pada peristiwa traumatik
yang dialami individu yang mengalami, menyaksikan atau menghadapi satu
19
atau beberapa peristiwa yang melibatkan kematian aktual atau ancaman
kematian atau cidera serius atau ancaman fisik diri sendiri (Dongoes, 2006).
2.3.2 Tahapan Kecemasan
Kecemasan diindentifikasikan menjadi 4 tingkat yaitu, ringan, sedang,
berat dan panik. Semakin tinggi tingkat kecemasan individu maka akan
mempengaruhi kondisi fisik dan psikis. Kecemasan berbeda dengan rasa takut,
yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya. Kecemasan merupakan
masalah psikiatri yang paling sering terjadi, tahapan tingkat kecemasan akan
dijelaskan sebagai berikut (Stuart, 2007) :
1. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-
hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan persepsi.
2. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
cemas sedang ditandai dengan peningkatan denyut nadi, berkeringat dan gejala
somatik ringan (Flashcard machine, 2011).
3.Kecemasan berat sangat mengurangi persepsi seseorang yang cenderung
memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik, dan tidak dapat berpikir tentang
hal lain.
4. Tingkat panik (sangat berat) berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan
teror. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak
mempu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.
20
2.3.3 Tanda dan Gejala Kecemasan
Menurut (Hawari 2011), ada beberapa tanda dan gejala yang sering muncul
pada orang yang mengalami kecemasan, berikut adalah tanda dan gejala
tersebut :
1. Mudah marah, merasa takut dengan pikiran sendiri, cemas, khawatir, dan
mempunyai firasat yang tidak baik.
2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah dan mudah terkejut.
3. Takut sendirian, merasa takut keramaian dan dengan kerumunan orang.
4. Tidak bisa tidur dan mimpi buruk.
5. Sulit konsentrasi dan mudah lupa.
6. Keluhan somatik seperti sakit otot dan tulang, telinga berdengung (tinitus),
berdebar debar, sesak nafas, adanya keluhan pencernaan, adanya keluhan
perkemihan, sakit kepala dll.
2.3.4 Penatalaksanaan kecemasan
Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan kecemasan
umum adalah kemungkinan pengobatan yang mengkombinasi psikoterapi,
farmakoterapi dan pendekatan suportif ( Smeltzer dan Bare, 2000).
1. Psikoterapi
Teknik utama yang digunakan adalah pendekatan perilaku misalnya relaksasi
dan bio feedback (proses penyediaan suatu informasi pada keadaan satu atau
beberapa veriabel fisiologi seperti denyut nadi, tekanan darah dan temperatur
kulit).
21
2. Farmakoterapi
Dua obat utama yang dipertimbangkan dalam pengobatan kecemasan umum
adalah buspirone dan benzdiazepin. Obat lain yang mungkin berguna adalah
obat trisiklik sebagai contohnya imipraminde (tofranil) – antihistamin dan
antagonis adrenergik beta sebagai contohnya propanolol.
3. Pendekatan suportif
Dukungan emosi dari keluarga dan orang terdekat akan memberi kita cinta dan
perasaan bergai beban. Kemampuan berbicara kepada seseorang dan
mengespresikan perasaan secara terbuka dapat membantu dalam menguasai
keadaan.
2.3.5 Alat pengukur kecemasan
Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah
ringan, sedang, berat dan berat sekali. Menggunakan alat ukur (instrumen)
yang dikenal dengan nama Hamilton Ratting Scale for Anxiety (HRS-A)
(Hawari, 2013). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala meliputi gejala
perasaan cemas, gejala ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan
kecerdasan perasaan depresi, gejala somatik, gejala somatik fisik / somatik,
gejala kardiovaskuler dan pembuluh darah, gejala respiratori, gejala
gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom, sikap dan tingkah laku.
Masing-masing kelompok diberi penilaian angka (skor) antara 0-4, yang
artinya adalah skor 0 untuk tidak ada gejala, skor 1 untuk gejala sedang, skor 2
untuk gejala berat, skor 4 untuk gejala berat sekali. Masing-masing nilai angka
(skor) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan hasil penjumlahan
22
tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu : <14 tidak ada
kecemasan, 14-20 kecemasan ringan, 21-27 kecemasan sedang, 28-41
kecemasan berat, 42-56 kecemasan berat sekali panik (Hawari, 2013).
2.4 Konsep Teknik Distraksi ( Musik Klasik )
2.4.1 Definisi Musik
Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “musik”. Kata
“terapi” berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu
atau menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah
fisik atau mental. Dalam kehidupan sehari-hari, terapi terjadi dalam berbagai
bentuk. Misalnya, para psikolog akan mendengar dan berbicara dengan klien
melalui tahapan konseling yang kadang-kadang perlu disertai terapi, ahli nutrisi
akan mengajarkan tentang asupan nutrisi yang tepat, ahli fisioterapi akan
memberikan berbagai latihan fisik untuk mengembalikan fungsi otot tertentu
(Djohan, 2006). Kata “musik” dalam “terapi musik” digunakan untuk
menjelaskan media yang digunakan secara khusus dalam rangkaian terapi
(Djohan, 2006). Musik merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang
terorganisasi, yang terdiri atas melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya
(Aizid, 2011). Terapi music adalah terapi yang bersifat non verbal. Dengan
bantuan musik, pikiran-pikiran seseorang dibiarkan mengembara, baik untuk
mengenang hal-hal yang menyenangkan, mengangankan hal-hal yang diimpikan
dan dicita-citakan, atau langsung mencoba menguraikan permasalahan yang
sedang dihadapi (Djohan, 2006). Ketika musik diaplikasikan menjadi sebuah
23
terapi, maka ia dapat meningkatkan, memulihkan, serta memelihara kesehatan
fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual setiap individu (Aizid, 2011).
2.4.2 Cara Kerja Musik
Terapi musik dapat mengatasi stres pada bayi dan anak-anak setelah
diputarkan musik yang menenangkan dan lembut pada mereka, setidaknya
selama 20-30 menit, tetapi lebih lama lebih baik (Aizid, 2011). Beberapa cara
kerja musik sehingga dapat mempengaruhi kondisi tubuh, antara lain :
1. Menurunkan hormon-hormon yang berhubungan dengan stres;
2. Mengalihkan perhatian seseorang dari rasa takut, cemas, tegang dan masalah
sehari-hari lainnya;
3. Mengaktifkan hormon endorfin (semacam protein yang dihasilkan di dalam
otak dan berfungsi untuk menghilangkan rasa sakit);
4. Meningkatkan perasaan rileks;
5.Menyediakan “liburan mental mini” yang bahkan dapat membawa pikiran
seseorang menjauh dari rasa sakit fisik selama periode waktu tertentu;
6. Secara fisiologis memperbaiki sistem kimia tubuh, sehingga mampu
menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung,
denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak (Aizid, 2011). Menurut Turana
dalam Aizid (2011) semua jenis musik sebenarnya dapat digunakan sebagai
terapi, seperti lagu-lagu relaksasi, lagu populer, maupun music klasik. Akan
tetapi, yang paling dianjurkan menurutnya adalah musik atau lagu dengan
tempo sekitar 60 ketukan per menit yang bersifat rileks seperti music klasik.
Sebab, apabila temponya terlalu cepat, maka secara tidak sadar, stimulus yang
24
masuk akan membuat seseorang mengikuti irama tersebut, sehingga keadaan
istirahat yang optimal tidak tercapai. Di antara musik-musik klasik tersebut
yang sering kali menjadi acuan untuk terapi musik adalah musik klasik Mozart.
2.4.3 Musik Klasik Mozart
Musik klasik Mozart merupakan musik klasik hasil karya seorang
komponis Wolfgang Amadeus Mozart (bahasa Jerman) yang bernama asli
Johannes Chrysostomus Wolfgangus Gottlieb Mozart. Wolfgang Amadeus
Mozart dianggap sebagai salah satu dari komponis musik klasik Eropa yang
terpenting dan paling terkenal dalam sejarah (Latifah, 2006). Selain
menciptakan musik klasik yang sejalan dieranya, Mozart juga merupakan
komponis serba bisa dan menciptakan musik hampir di setiap genre yang ada
pada saat itu, termasuk simfoni, opera, konser solo, piano sonata, dan musik
paduan suara. Mozart turut mengembangkan dan mempopulerkan konser piano
yang saat itu masih tergolong baru. Mozart juga ikut menciptakan beberapa
musik religius, dansa, serenade, dan berbagai bentuk musik ringan yang
menghibur (Tanjung, 2014).
Ciri khas dari musik yang diciptakan Mozart dapat ditemukan pada
setiap karyanya. Kejernihan, keseimbangan, dan transparansi merupakan nuansa
yang selalu diangkat oleh Mozart, meskipun kadang hanya menggunakan nada-
nada yang sederhana. Saat mendengar lagu Mozart, pendengar bisa merasakan
kejeniusan bermusik lewat setiap nada yang dipilih. Mozart menyampaikan
emosi yang kuat dengan musik bernuansa kontras antara semangat dan
ketenangan (Tanjung, 2014). Banyak komponis yang begitu mengapresiasi
25
musik karya Mozart. Gioacinno Rossini, komponis musik klasik dari Italia,
menegaskan bahwa Mozart merupakan satu-satunya musisi yang memiliki
banyak ilmu lewat kejeniusannya. Musisi klasik lainnya seperti Ludwig van
Beethoven juga menyatakan kekagumannya kepada Mozart. Beethoven sering
menggunakan Mozart sebagai panutan dalam musiknya (Tanjung, 2014). Di era
musik klasik, tidak hanya Beethoven, seluruh musisi klasik yang terkenal
menaruh hormat atas karya yang diciptakan Mozart. Karya-karyanya (sekitar
700 lagu) secara luas diakui sebagai puncak karya musik simfoni, music kamar,
musik piano, musik opera, dan musik paduan suara. Banyak dari karya Mozart
dianggap sebagai standar konser klasik dan diakui sebagai mahakarya musik
zaman klasik (Rauscher, 2006).
2.4.4 Sejarah dan Perkembangan Terapi Musik
Kehadiran musik sebagai bagian dari kehidupan manusia bukanlah hal
yang baru. Setiap daerah dan budaya di dunia memiliki musik yang khusus
diperdengarkan atau dimainkan pada saat peristiwa-peristiwa bersejarah dalam
perjalanan hidup anggota masyarakatnya. Ada music yang dimainkan untuk
mengungkapkan rasa syukur atas kelahiran seorang anak, ada juga musik yang
khusus mengiringi upacara-upacara tertentu seperti pernikahan dan kematian.
Musik juga menjadi pendukung utama untuk melengkapi dan menyempurnakan
beragam bentuk kesenian dalam berbagai budaya (Djohan, 2006: 23). Musik
yang merupakan kombinasi dari ritme, harmonik dan melodi sejak dahulu
diyakini mempunyai pengaruh terhadap pengobatan. Terapi musik adalah
keahlian menggunakan musik dan elemen musik oleh seorang terapis untuk
26
meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehatan fisik, mental,
emosional dan spiritual. Terapi musik merupakan suatu proses multidisipliner
yang harus dikuasai oleh seorang terapis, namun elemen dasarnya adalah musik
itu sendiri. Seorang terapis harus menguasai teori, melakukan observasi,
mengetahui teknik evaluasi dan pengukuran, mengetahui metode riset dan
materi musik. Disamping itu seorang terapis diwajibkan menguasai setidaknya
satu alat musik pokok dan satu pilihan lainnya (Djohan, 2006: 25). Gagasan
untuk menggunakan musik sebagai alat penyembuhan dan perubahan perilaku
sudah dimulai sejak zaman Phytagoras dan Plato (Djohan, 2006: 28).
Phytagoras sudah memahami apa yang diketahui para ilmuwan saat ini bahwa
musik bisa mengubah perilaku. Phytagoras menganggap jagat raya sebagai
sebuah alat musik. Dia percaya adanya getaran kosmis yang bisa memasuki
manusia melalui pikiran. Orang yang selaras dengan getaran kosmis tersebut
adalah orang yang sehat (Merritt, 2003: 68). Sejak dahulu kala penggunaan
musik untuk menyembuhkan penyakit telah banyak dilakukan. Banyak contoh
dari berbagai macam kebudayaan yang berbeda telah didokumentasikan dengan
baik yang menyatakan bahwa musik merupakan kekuatan kuratif dan preventif.
Musik tradisi Shamanistik yang menggunakan alat pukul dan bunyi bunyian
perkusi, lagu dan himne untuk menghantar diri seseorang pada kondisi diluar
kesadaran (trance), sehingga dimungkinkan untuk mengakses kekuatan dan
spirit atau roh penyembuhan menjadi inspirasi bagi terapis musik dalam
menciptakan dan mengembangkan teknik terapi dan interaksi (Djohan, 2006:
33). Seiring dengan berubahnya zaman, ketertarikan akan penggunaan musik
27
dan pengaruhnya terhadap kesehatan mengalami perkembangan yang cukup
pesat. Terapi musik telah digunakan untuk menolong para veteran dan korban
Perang Dunia I dan II. Dengan penggunaan terapi musik ini, para veteran dan
korban dilaporkan lebih cepat dipulihkan dan sembuh.
2.4.5 Pengaruh Musik
Sebagian besar di antara kita menikmati mendengarkan music tanpa
sepenuhnya menyadari pengaruhnya. Berikut ini pengaruh music menurut
Campbell (2002: 79-84) sebagai media penyembuhan yang dapat menghasilkan
efek mental dan fisik, yakni: musik menutupi bunyi dan perasaan yang tidak
menyenangkan, musik dapat memperlambat dan menyeimbangkan gelombang
otak, musik mempengaruhi perasaan, music mempengaruhi denyut jantung,
denyut nadi dan tekanan darah, music mengurangi ketegangan otot dan
memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh, musik mempengaruhi suhu badan,
musik dapat meningkatkan tingkat endorphin, musik dapat mengatur hormon-
hormon yang berkaitan dengan stres, musik mengubah persepsi kita tentang
ruang, musik mengubah persepsi kita tentang waktu, musik dapat memperkuat
ingatan dan pelajaran, musik dapat meningkatkan produktivitas, musik
meningkatkan asmara dan seksualitas, musik merangsang pencernaan, music
meningkatkan daya tahan, musik meningkatkan penerimaan tak sadar terhadap
simbolisme, musik dapat menimbulkan rasa aman dan sejahtera. Secara umum
musik menimbulkan gelombang vibrasi, dan vibrasi itu menimbulkan stimulasi
pada gendang pendengaran. Stimulasi itu ditransmisikan pada susunan saraf
pusat (limbic system) di sentral otak yang merupakan ingatan lalu hypothalamus
28
atau kelenjar sentral pada susunan saraf pusat akan mengatur segala sesuatunya
untuk mengaitkan musik dengan respon tertentu. Campbell (dalam Raharja,
2009: 134) berpendapat bahwa music dapat menghilangkan stres sebelum ujian,
membantu pembentukan pola pikir, mempengaruhi perkembangan emosi,
spiritual, dan kebudayaan. Sedangkan Ortiz (dalam Raharja, 2009: 134)
menambahkan bahwa music juga dapat meningkatkan konsentrasi,
menenangkan pikiran, meningkatkan kewaspadaan, dan mengurangi suara-suara
eksternal yang bisa mengalihkan perhatian.
2.4.6 Mekanisme Kerja Musik
Bagaimana sebenarnya mekanisme kerja musik dapat mengurangi rasa
sakit, stres, kecemasan maupun menurunkan tekanan darah masih dalam kajian
dan kontroversi. Dalam mengurangi rasa sakit, muncul beberapa teori yang
menyatakan bahwa musik mempengaruhi sistem autonomik, merangsang
kelenjar hipofisis yang menyebabkan keluarnya endorfin (opiat alami), sehingga
terjadi penurunan rasa sakit dan akan menyebabkan berkurangnya penggunaan
analgetik (Hatem et al., dalam Saing, 2007). Dalam hal penurunan tekanan
darah dan stres diduga bahwa konsentrasi katekolamin plasma mempengaruhi
aktivasi simpatoadrenergik, dan juga menyebabkan terjadinya pelepasan
stressreleased hormones. Pemberian musik dengan irama lambat akan
mengurangi pelepasan katekolamin kedalam pembuluh darah, sehingga
konsentrasi katekolamin dalam plasma menjadi rendah (Yamamoto et al., dalam
Saing, 2007). Hal ini mengakibatkan tubuh mengalami relaksasi, denyut jantung
berkurang dan tekanan darah menjadi turun.
29
2.4.7 Karakteristik Musik Klasik Untuk Relaksasi
Utomo (dalam Yuhana, 2010) mengatakan bahwa karakteristik musik
klasik yang menimbulkan relaksasi adalah musik klasik yang tempo lambat atau
musik klasik yang mempunyai bunyi lebih panjang dan lambat karena akan
menyebabkan detak jantung pendengarannya menjadi lebih lambat sehingga
ketegangan fisik menjadi lebih rendah dan menciptakan ketegangan fisik.
Menurut Wigram, dkk (dalam Djohan, 2006) bila elemen music stabil dan dapat
diprediksi, maka subyek cenderung merasa rileks. Musik-musik sedatif atau
musik relaksasi, seperti halnya musik klasik akan menurunkan detak jantung
dan tekanan darah, menurunkan tingkat rangsang secara umum sehingga
membuat tenang pendengarnya. Wigram menyebutkan elemen musik yang
menyebabkan relaksasi yaitu sebagai berikut: tempo yang stabil; stabilitas atau
perubahan secara berangsurangsur pada volume, irama, timbre, pitch, dan
harmoni; tekstur yang konsisten; modulasi harmoni yang terprediksi; kadens
(konfigurasi melodi atau harmoni yang menimbulkan kesan ketenangan dan
resolusi) yang tepat; garis melodi yang terprediksi; pengulangan materi struktur
dan bentuk yang tetap; timbre yang mantap; sedikit aksen.
30
2.5 Keaslian Penelitian
Tabel 2.2 Keaslian Penelitian
No Judul Metode Hasil
1 Pengaruh Terapi
Murottal Al-
Qur’an Untuk
Penurunan Nyeri
Persalinan Dan
Kecemasan Pada
Ibu Bersalin
Kala I Fase Aktif
Desain penelitian : pre-
eksperimen
Sampel : 42 ibu
bersalin
Variabel :
-variabel independen :
pengaruh terapi
murrotal Al- Quran
-variabel dependen :
Nyeri Persalinan,
Kecemasan
Instrument : one group
pretest and posttest
design
Analisis/uji statistic :
-Analisis menggunakan
uji
Paired t test.
-Rancangan penelitian
yang digunakan adalah
two group comparrison
pretest-posttest design.
1. Analisis menggunakan uji
paired t test. Rata-rata intensitas
nyeri sebelum terapi murottal
adalah 6,57, rata-rata setelah
dilakukan terapi murottal adalah
4,93.
2. Uji Paired t test
menunjukkan bahwa ada
perbedaan rerata penurunan
intensitas nyeri persalinan kala I
fase aktif sebelum dan sesudah
dilakukan terapi murottal dengan
nilai p value<α (0,000<0,05).
3. Rata-rata kecemasan
sebelum terapi murottal adalah
26,67, rata-rata setelah dilakukan
terapi murottal adalah 20,52.
4. Uji Paired t test
menunjukkan bahwa ada
perbedaan rerata penurunan tingkat
kecemasan sebelum dan sesudah
dilakukan terapi murottal dengan
nilai p value<α (0,000<0,05).
2 Pengaruh
Distraksi
Desain penelitian :
kuantitatif
-Dari hasil penelitian ini dapat di
simpulkan bahwa ada pengaruh
31
Pendengaran
Terhadap
Intensitas Nyeri
Pada Klien
Fraktur
Sampel : 18 responden
dengan luka frakture
Variabel :
-variabel independen :
Pengaruh Distraksi
Pendengaran
-variabel dependen :
Intensitas nyeri, dan
Klien fraktur
Instrument : uji
Wilcoxon
Analisis/uji statistic :
-Penelitian ini dengan
menggunakan
rancangan quasi
eksperimen dengan
desain pre and post test
design
distraksi pendengaran terhadap
intensitas nyeri pada klien fraktur
di Rumah Sakit Nene Mallomo
Kabupaten Sidenreng Rappang
dengan uji Wilcoxon dengan nilai
P = 0,001.
3 Pengaruh Tehnik
Distraksi Dan
Relaksasi
Terhadap tingkat
Nyeri
Pada Pasien Postoperasi
Desain penelitian : pre-
eksperimen
Sampel : 140 responden
yang merupakan pasien
post operasi
Variabel : variabel
independen : Pengaruh
Tehnik Distraksi Dan
Relaksasi
-variabel dependen :
Tingkat Nyeri, Post
1). tingkat nyeri pasien post
operasi sebelum dilakukan
intervensi tehnik distraksi dan
relaksasi sebagian besar dengan
berada pada tingkat nyeri sedang
(NRS; 4-6) 62,9 % dari 140
responden,
2). Setelah di beri perlakuan yaitu
intervensi tehnik distraksi dan
relaksasi, tingkat nyeri
32
Operasi
Instrument : Numeric
Rating scale (NRS)
Analisis/uji statistic :
desain One-Group
Pretest-Post test
pasien post operasi di Rumah
sakit Immanuel Bandung
sebagian besar berada pada
tingkat nyeri ringan (NRS; 1-3),
yaitu 71,4% dari 140 responden
3). Ada perbedaan yang
signifikan rerata
penurunan tingkat nyeri
responden sebelum dan sesudah
diberikan tehnik relaksasi dan
distraksi pada
post operasi di Rumah Sakit
Immanuel Bandung, dengan nilai
signifikasi .000, sehingga Ho
ditolak Ha
diterima dengan demikian
terdapat pengaruh tehnik distraksi
dan relaksasi terhadap tingkat
nyeri.
4 Pengaruh Teknik
Relaksasi Nafas
Dalam dan
Masase
Terhadap
Penurunan Skala
Nyeri Pasien
Pasca
Apendiktomi di
Ruang Bedah
Penelitian ini
menggunakan desain
quasi eksperimen
dengan rancangan
pretest-posttest with
control group.
Teknik pengambilan
sampel adalah
purposive sampling
dengan sampel 20
Hasil penelitian inimenunjukkan perbedaan rata-rata
skala nyeri kelompok kontrol
pretest–posttest adalah 2,30 dan
perbedaan rata-rata skala nyeri
kelompok eksperimen sebelum
dan sesudah pemberian teknik
relaksasi nafas dalam dan masase
adalah 3.50.
33
RSUD Dr. M.
Zein Painan
orang.
Pengumpulan data di
lakukan dengan
menggunakan skala
deskripsi verbal (verbal
descriptor scale) untuk
skala nyeri.
5 Teknik Distraksi
Audio Visual
Menurunkan
Tingkat
Kecemasan
Anak Usia
Sekolah Yang
Menjalani
Sirkumsisi
Penelitian inimenggunakan quasyeksperimental non
randomized
pretestposttest
control group design.
Populasi dalam
penelitian ini adalah
anak usia sekolah yang
sedang menjalani
sirkumsisi.
Perbedaan perubahantingkat
kecemasan obyektif (denyut
nadipermenit) antara kelompok
kontrol dengan kelompok
perlakuan menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan
hasil uji statistik
Independent t-Test p=0,006 dan
nilai reratauntuk kelompok
perlakuan
menunjukkanpenurunan yang
signifikan dari 92,50menjadi
76,75. Pada kelompok kontrol
juga terdapat penurunan nilai
rerata namun tidak
signifikan dari 93,77 menjadi
92,15.