BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA -...
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kelor
2.1.1 Taksonomi dan Gambaran Umum
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Species : Moringa oleifera Lam.
(Hsu et al, 2006)
Gambar 2.1 Daun Kelor
Kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman asli Indonesia yang
dapat dipergunakan sebagai obat-obatan, dan antioksidan (Shahid dan
Bhanger, 2004; Ravindra et al, 2005). Daun kelor memiliki senyawa aktif
6
yang dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba, diantaranya adalah saponin,
tanin, flavanoid, alkaloid, dan terpenoid yang didapat dari proses ekstraksi
(Bukar, Uba, dan Oyeyi, 2010; Kasolo et al, 2010; Khodijah, 2010). Ketika
dilakukan uji antimikroba secara in vitro pada P. aeruginosa dari ekstrak
daunnya, didapatkan KHM 20 mg/ml dan KBM 40 mg/ml (Abalaka et al,
2012).
2.1.2 Morfologi
Moringaceae terdiri dari satu marga dengan beberapa jenis yaitu M.
oleifera, M. arabica, M. pterygosperma, M. peregrine. Pohon dengan daun
majemuk menyirip ganda 2-3 posisinya tersebar, tanpa daun penumpu, atau
daun penumpu telah mengalami metamorphosis sebagai kelenjar-kelenjar
pada pangkal tangkai daun. Bunga banci, zigomorf, tersusun dalam malai
yang terdapat dalam ketiak daun, dasar bangun mangkuk, kelopak terdiri
atas lima daun kelopak, mahkotapun terdiri atas lima daun mahkota, lima
benang sari. Bakal buah, bakal biji banyak, buahnya buah kendaga yang
mebuka dengan tiga katup dengan panjang sekitar dengan panjang sekitar
30 cm, biji besar, bersayap, tanpa endosperm, lembaga lurus. Dari segi
anatomi mempunyai sifat yang khas yaitu terdapat sel-sel mirosin dan
buluh-buluh gom dalam kulit batang dan cabang. Dalam musim-musim
tertentu dapat menggugurkan daunnya (meranggas). Daun sebesar ujung
jari berbentuk bulat telur, tersusun majemuk dan gugur di musim kemarau,
tinggi pohon mencapai 5-12 m, bagian ujung membentuk payung, batang
lurus (diameter 10-30 cm) menggarpu, berbunga sepanjang tahun berwarna
putih/krem, buah berwarna hijau muda, tipis dan lunak. Tumbuh subur
7
mulai dataran rendah sampai ketinggian 700 m diatas permukaan laut
(Roloff et al, 2009).
2.1.3 Daun Kelor dan Kandungannya
Daun kelor merupakan salah satu bagian dari tanaman kelor yang
telah banyak diteliti kandungan gizi dan kegunaannya. Daun kelor sangat
kaya akan nutrisi, diantaranya kalsium, besi, protein, vitamin A, vitamin B
dan vitamin C (Misra dan Misra, 2014; Oluduro, 2012). Daun kelor
mengandung zat besi lebih tinggi daripada sayuran lainnya yaitu sebesar
17,2 mg/100 g (Yameogo et al, 2011). Kandungan nilai gizi daun kelor
segar dan kering disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kandungan Nilai Gizi Daun Kelor Segar dan Kering
Komponen Gizi Daun Segar Daun Kering
Kadar Air (%) 94,01 4,09
Protein (%) 22,7 28,44
Lemak (%) 4,65 2,74
Kadar Abu – 7,95
Karbohidrat (%) 51,66 57,01
Serat (%) 7,92 12,63
Kalsium (mg) 350 – 550 1600 – 2200
Energi (kcal/100mg) – 307,30
Sumber : Melo et al, 2013; Shiriki et al, 2015; Nweze dan Nwafor, 2014;
Tekle et al, 2015.
Daun kelor juga mengandung berbagai macam asam amino, antara
lain asam amino yang berbentuk asam aspartat, asam glutamat, alanin,
valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin, arginin, venilalanin, triftopan, sistein
dan methionin (Simbolan et al, 2007). Kandungan asam amino daun kelor
disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kandungan Asam Amino 100 g Daun Kelor
Kandungan Asam
Amino Daun Segar Daun Kering
Arginine 406,6 mg 1.325 mg Histidine 149,8 mg 613 mg Isoleusine 299,6 mg 825 mg
8
Kandungan Asam
Amino Daun Segar Daun Kering
Leusine 492,2 mg 1.950 mg Lysine 342,4 mg 1.325 mg Methionine 117,7 mg 350 mg Phenylalanine 310,3 mg 1.388 mg Threonine 107 mg 1.188 mg Tryptophan 374,5 mg 425 mg Valine mg 1.063 mg
Sumber : Melo et al, 2013; Shiriki et al, 2015; Nweze dan Nwafeo, 2014;
Tekle et al, 2015.
Penelitian lain menyatakan bahwa menunjukkan bahwa daun kelor
mengandung vitamin C setara vitamin C dalam 7 jeruk, vitamin A setara
vitamin A pada 4 wortel, kalsium setara dengan kalsium dalam 4 gelas
susu, potassium setara dengan yang terkandung dalam 3 pisang, dan protein
setara dengan protein dalam 2 yoghurt (Mahmood, 2011). Daun kelor juga
telah diketahui mengandung antioksidan tinggi dan antimikrobia (Das et
al, 2012). Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan asam askorbat,
flavonoid, phenolic, dan karotenoid (Anwar et al, 2007; Moyo et al, 2012).
Sumber lain mengatakan bahwa hasil fitokimia daun kelor kaya akan
tannin, steroid, terpenoid, flavonoid, saponin, polifenol, antarquinon, dan
alkaloid di mana semuanya merupakan antioksidan (Kasolo et al, 2010).
Antioksidan di dalam daun kelor mempunyai aktivitas menetralkan radikal
bebas sehingga mencegah kerusakan oksidatif pada sebagian besar
biomolekul dan menghasilkan proteksi terhadap kerusakan oksidatif secara
signifikan (Sreelatha dan Padma, 2012). Senyawa bioaktif utama
fenoliknya merupakan quercetin, kaempferol, dan lain – lain. Quercetin
merupakan antioksidan kuat, dengan kekuatan 4 – 5 kali lebih tinggi
dibandingkan vitamin C dan vitamin E yang dikenal sebagai antioksidan
potensial (Sutrisno, 2011). Menurut Mboto et al (2009), saponin
9
merupakan zat yang dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga
terjadi hemolisis sel bakteri. Senyawa polifenol bekerja dengan
membentuk ikatan stabil dengan protein sehingga terjadi koagulasi
protoplasma bakteri (Kumar et al, 2012). Alkaloid merusak komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel
bakteri tidak utuh dan menyebabkan kematian bakteri (Esimone, 2006).
Demikian halnya yang dilakukan oleh flavonoid yang umumnya bersifat
antioksidan dan merupakan golongan terbesar fenol yang efektif
menghambat pertumbuhan virus, bakteri, dan jamur. Zat tersebut bekerja
dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler
yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri, mendenaturasi protein
sel bakteri dan merusak membran sel bakteri tanpa dapat diperbaiki lagi
(Bukar et al, 2010).
2.1.4 Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba Bahan Aktif Daun Kelor
Antioksidan adalah senyawa atau sistem yang menghambat
autooksidasi dengan menghinhibisi pembentukan radikal bebas atau
mengganggu penyebarannya dengan satu (atau lebih) dari beberapa
mekanisme : menurunkan spesies yang menginisiasi peroksidasi, kelator
ion logam sehingga tidak menjadi spesies reaktif atau mendekomposisi
peroksida lipid, memadamkan •O2− sehingga menghambat pembentukan
peroksida, merusak rantai reaksi autooksidatif, dan mereduksi konsentrasi
O2 (Wanatabe et al, 2010). Senyawa antioksidan berupa flavonoids, asam
fenolik, karotenoid, dan tochoferol mampu menginhibisi Fe3+/AA
terinduksi oksidasi, menurunkan radikal bebas, dan berperan sebagai
10
reduktor (Ozsoy et al, 2009). Potensi penurun radikal bebas dari senyawa
polifenol alami tampak pada pola (jumlah dan lokasi) dari grup bebas −OH
pada kerangka flavonoid (Lupea et al, 2008). Pola substitusi cincin-B
merupakan penurun radikal bebas yang utama dan terpenting dari
kemampuan flavonol dalam menjalankan fungsi tersebut. Studi mengenai
kemampuan 4 substituen flavonol pada perbedaan titik-B (galangin,
kaempferol, quercetin, dan myricetin) untuk memadamkan fluoresens
intrinsik dari serum albumin sapi, menunjukkan hasil myricetin > quercetin
> kaempferol > galangin (Xiao et al, 2008). Flavonoid juga bisa
mengurangi penambahan logam transisi dari reaksi oksidasi dengan
mendonorkan H+ terhadap spesies oksidatif reaktif yang menyebabkan sifat
proksidatifnya sangat berkurang (Brewer, 2011).
Senyawa fenolik dan polifenol merupakan salah satu grup metabolit
sekunder yang paling luas dalam menunjukkan aktivitas antimikroba.
Subkelas dalam grup senyawa ini yang terpenting adalah fenol, asam
fenolik, quinone, flavonoids, flavonol, tannin, dan alkaloid. Fenol
merupakan kelas senywa kimia yang mengandung gugus fungsi hidroksil
(-OH) yang berikatan dengan grup fenolik aromatik. Letak dan jumlah dari
gugus hidroksil yang menjadi agen toksisitas relatif terhadap
mikroorganisme, dengan bukti berupa meningkatkan reaksi hiroksilasi
(Stefanovic et al, 2010). Flavonoid juga merupakan zat fenolik
terhidroksilasi dengan termasuk unit C6-C3 yang berhubungan dengan
cincin aromatic. Aktivitasnya berupa kemampuannya untuk membentuk
kompleks dengan ekstraseluler, melarutkan protein, dan membentuk
11
kompleks dengan dinding sel bakteris. Flavonoid lipofilik juga merusak
membran sel bakteri. Tanin, suatu grup dari fenolik plimerik, juga
ditemukan pada setiap bagian tanaman : batang, daun, buah, dan akar.
Aktivitas antimikrobanya berhubungan dengan kemampuannya untuk
menginaktifasi adesi mikroba, enzim, transport protein membran sel.
Alkaloid, salah satu senyawa bioaktif yang ditemukan sejak dahulu dari
tanaman, merupakan senyawa nitrogen heterosiklik. Zat ini berasal dari
asam amino, dan atom nitrogen menjadikannya memiliki sifat alkali.
Mekanisme antimikrobanya berupa kemampuannya untuk masuk dan
merusak fungsi DNA, menginhibisi enzim (esterase, DNA-, RNA-
polymerase), menginhibisi respirasi sel, dan melarutkan protein membran
sel sehingga mikroba menjadi lisis dan mati (Kovacevic, 2010).
2.1.5 Bunga Kelor dan Kandungannya
Bunga muncul di ketiak daun (axillaris), bertangkai panjang,
kelopak berwarna putih agak krem, menebar aroma khas. Bunganya
berwarna putih kekuning-kuningan terkumpul dalam pucuk lembaga di
bagian ketiak dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Malai terkulai
10 – 15 cm, memiliki 5 kelopak yang mengelilingi 5 benang sari dan 5
staminodia. Bunga Kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau
semerbak. Bunga kelor memiliki nilai khasiat obat yang cukup tinggi
sebagai stimulan, afrodisiak, aborsi, cholagogue, digunakan untuk
menyembuhkan radang, penyakit otot, histeria, tumor, dan pembesaran
limpa, menurunkan kolesterol, fosfolipid serum, trigliserida, VLDL,
kolesterol LDL rasio fosfolipid dan indeks aterogenik; menurunkan profil
12
lipid hati, jantung dan aorta pada kelinci hiperkolesterol dan meningkatkan
ekskresi kolesterol dalam feses. Bunga mengandung sembilan asam amino,
sukrosa, D-glukosa, alkaloid, lilin, quercetin dan kaempferat; juga kaya
akan kalium dan kalsium. Bunga Kelor juga telah dilaporkan mengandung
beberapa flavonoid pigmen seperti alkaloid, kaempherol, rhamnetin,
isoquercitrin dan kaempferitrin (Siddhuraju dan Becker, 2003).
Ekstrak bunga Kelor banyak digunakan kaum perempuan di
Filipina sebagai tonik herbal untuk meningkatkan kesuburan. Cukup
dengan merebus sekitar lima sampai sepuluh bunga Kelor dan
mencampurnya dengan secangkir susu sapi segar. Bila suka, 1 sendok
madu bisa dicampurkan kedalamnya. Tonik Herbal Bunga Kelor ini dapat
menyembuhkan ketidaksuburan baik pria maupun perempuan (Krisnadi,
2015).
Bunga Kelor kaya akan kalium dan kalsium. Kebanyakan orang
tidak memiliki cukup asupan kalsium dalam makanannya yang
mengakibatkan insufisiensi kalsium. Sedangkan, kalium membantu
menetralisir keseimbangan cairan dan elektrolit dalam sel. Hal Ini
membantu mencegah tekanan darah tinggi, mempromosikan kontraksi
teratur, mengatur transfer nutrisi ke sel-sel yang berbeda dalam tubuh dan
menjaga keseimbangan air dalam jaringan tubuh dan sel. Semua itu sangat
berpengaruh terhadap tingkat kesuburan. Kelor mengandung kalium 15
kali lebih banyak dibanding pisang dan kalsium 17 kali lebih banyak
dibanding dibanding susu. Kelor mengandung hampir semua zat gizi
penting yang membantu meningkatkan kesuburan pria maupun wanita
13
(Krisnadi, 2015). Pada sumber lain disajikan kandungan bunga kelor dalam
tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kandungan Kimia Bunga Kelor
Komponen Nilai (/100g)
Kadar air (%) 93,02
Protein (%) 24,5
Lemak (%) 6,01
Serat (%) 5,07
Karbohidrat (%) 58,08
Mineral (%) 6,21
Sumber : Melo et al, 2013.
2.1.6 Buah dan Biji Kelor Beserta Kandungannya
. Buah kelor berbentuk panjang dan segitiga dengan panjang sekitar
20-60 cm, berwana hijau ketika masih muda dan berubah menjadi coklat
ketika tua (Tilong, 2012). Biji kelor berbentuk bulat, ketika muda berwarna
hijau terang dan berubah berwarna cokelat kehitaman ketika polong
matang dan kering dengan rata-rata berat biji berkisar 18 – 36 gram/100
biji. Buah kelor akan menghasilkan biji yang dapat dibuat tepung atau
minyak sebagai bahan baku pembuatan obat dan kosmetik bernilai tinggi.
Selain itu biji kelor dapat berfungsi sebagai koagulans dan penjernihan air
permukaan (air kolam, air sungai, air danau sampai ke air sungai).
Penelitian tentang ini sudah diawali sejak tahun 1980-an oleh Jurusan
Teknik Lingkungan ITB. Kemampuan memperbaiki kualitas air
disebabkan oleh kandungan protein yang cukup tinggi pada biji sehingga
mampu berperan sebagai koagulan terhadap partikel – partikel penyebab
kekeruhan air. Konsentrasi protein dari biji kelor (biji dalam kotiledon)
sebesar 147.280 ppm/gram (Khasanah dan Uswatun, 2008). Kandungan
kimia buah dan biji kelor disajikan pada Tabel 2.4.
14
Tabel 2.4 Kandungan Nutrisi Buah dan Biji Kelor per 100 g Bahan
Komponen Buah Biji
Kadar Air (%) 90,86 3,11
Protein (g) 12,36 32,19
Lemak (g) 0,98 32,40
Serat (g) 22,57 15,87
Mineral (g) 13,40 5,58
Kalori (kcal/100g) 50,73 15,96
Sumber : Melo et al, 2013.
Selain bagian daun, biji kelor dapat dimanfaatkan sebagai sayuran.
Selain dimanfaatkan sebagai bahan pangan, biji kelor juga dapat diekstrak
sebagai minyak nabati. Minyak dari biji kelor terdiri dari 82% asam lemak
tak jenuh, 70% asam oleat. Profil asam lemak ini sama dengan seperti
minyak zaitun kecuali untuk asam linoleate. Saat ini belum banyak
dimanfaatkan minyak hasil ekstraksi dari biji kelor baik dalam industri
pengolahan dan belum banyak diperjual belikan di kalangan industri
ekstraksi minyak nabati. Akan tetapi sangat berpotensi tidak hanya dalam
bahan pangan, tetapi juga untuk kosmetik kebutuhan industri lainnya
(Aminah, Ramdhan, dan Yanis, 2015).
2.2 Pseudomonas aeruginosa
2.2.1 Taksonomi
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Pseudomonadales
Subordo : Pseudomonadinae
Famili : Pseudomonadaceae
Genus : Pseudomonas
Species : Pseudomonas aeruginosa
15
(Tolan, 2008)
Gambar 2.2 Pseudomonas aeruginosa
2.2.2 Kultur dan Karakteristik Pertumbuhan
P. aeruginosa adalah bakteri obligat aerob yang tumbuh baik pada
berbagai media, kadang – kadang juga menghasilkan bau yang mirip anggur
manis atau jagung tauco. Beberapa strain dapat menghemolisis darah. P.
aeruginosa membentuk koloni bulat yang halus dengan warna hijau
fluoresens. Kelompok ini sering memproduksi pigmen pyosianin yang
berwarna biru nonfluoresens, yang menyebar dalam agar. Pseudomonas lain
tidak memproduksi pyosianin. Berbagai strain dari P. aeruginosa juga
menghasilkan pigmen pyoverdin fluoresens, yang memberi warna kehijauan
pada agar. Beberapa strain menghasilkan pigmen merah gelap pyorubin atau
pigmen gelap pyomelanin (Brooks et al, 2014).
P. aeruginosa tumbuh baik pada suhu 37 – 42°C, kemampuannya
utnuk tumbuh pada suhu 42°C membantu kita untuk membedakannya
dengan kelompok Pseudomonas fluoresens lain. Bakteri ini bersifat
oxidase-positive, tidak memfermentasi karbohidrat, namun beberapa strain
mengoksidasi glukosa. Identifikasi biasanya didasarkan atas morfologi
koloni, kepositivan oksidase, munculnya warna pigmen, dan pertumbuhan
pada suhu 42°C. Perbedaan P. aeruginosa dari pseudomonas lain
16
didasarkan dari aktivitas biokimia yang memerlukan tes dengan substrat
yang cukup banyak (Brooks et al, 2014).
2.2.3 Patogenesis
P. aeruginosa bersifat opportunistik, invasif dan toksigenik.
Beberapa kasus kejadian penyakit yang disebabkan oleh bakteri P.
aeruginosa antara lain adalah infeksi saluran kemih, infeksi saluran
pernapasan, peradangan pada kulit, infeksi saluran pencernaan dan beberapa
kasus kejadian luka bakar (Hauser dan Sriram, 2005). Ketika menginfeksi
luka atau luka bakar pada kulit, bakteri ini menjulurkan pilinya untuk
melekat pada sel epitel inang. Setelah itu bakteri ini mengeluarkan protein
leukosidin yang dapat menghancurkan leukosit dari beberapa spesies,
termasuk manusia. Hal inilah yang memperlambat proses penyembuhan
luka ketika terjadi inflamasi (Brooks et al, 2014).
2.2.4 Epidemiologi Infeksi Nosokomial Akibat P. aeruginosa
P. aeruginosa terutama merupakan patogen nosocomial, dan metode
pengendalian infeksi bakteri ini serupa dengan metode pengendalian infeksi
nosocomial lainnya. Karena Pseudomonas tumbuh subur di lingkungan
lembab, perhatian khusus harus ditujukan pada bak cuci, bak air, pancuran
air, bak mandi air panas (hot tub), dan tempat – tempat basah lainnya. Untuk
tujuan epidemiologis, tipe galur dapat ditentukan dengan menggunakan
teknik molekuler (Brooks et al, 2014).
Novelni (2011) telah melakukan penelitian identifikasi dan uji
resistensi bakteri penyebab infeksi nosokomial pasien rawat inap yang
dipasang kateter foley pada bangsal SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP Dr. M.
17
Djamil Padang. Hasil yang diperoleh dari sampel urin pasien terdapat 5
bakteri utama penyebab infeksi nosokomial, yaitu Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia, dan
Pseudomonas aeruginosa. Kemudian pada tahun 2016, penelitian di RSUP
Dr. M. Djamil Padang ini diulang dengan mengambil beberapa isolate
seluruh pasien rawat, bukan hanya pada bangsal SMF Ilmu Penyakit Saraf
saja. Penelitian tersebut juga melihat resistensi beberapa golongan antibiotik
untuk melihat apakah P. aeruginosa yang menginfeksi sudah berkembang
menjadi MDRPA (Multi Drug Resistance Pseudomonas aeruginosa).
Hasilnya didapatkan resistensi antibiotic golongan sefalosposrin,
fluoroquinolone, aminoglikosida dan karbapenem berkisar 34,17% (27
isolat) dengan persentase terbesar didapatkan dari pus yakni 52,63% (10 dari
19 isolat), urin 42,86% (3 dari 7 isolat), darah 33,33% (1 dari 3 isolat), swab
29,41% (5 dari 7 isolat), dan sputum 25,81% (8 dari 31 isolat) (Rustini,
Istiqamah, dan Armin, 2016).
Beberapa rumah sakit lain juga melakukan penelitian deskriptif
mengenai bakteri penyebab infeksi nosokomial. Pada agustus – oktober
2014 di Rumah Sakit Daerah Kota Jambi dilakukan penelitian deskriptif
infeksi nosokomial pada pasien pasca operasi. Hasil penelitian
menunjukkan 9 jenis bakteri yang terdapat pada sampel pus luka pasca
operasi pada 17 pasien. Bakteri – bakteri itu adalah Klebsiella pneumonia
(23,52%), Citrobacter freundii (17,64%), Pseudomonas aeruginosa
(11,76%), Proteus mirabilis (11,76%), Prividencia stuartii (11,76%),
Enterobacter gergoviae (5,88%), Enterobacter aerogenus (5,88%),
18
Staphylococcus sp. (5,88%), dan Streptococcus sp. (5,88%) (Sagita, Azizah,
dan Sari, 2015). Penelitian lain dilakukan di RSUP Dr. R. D. Kandou
Manado untuk melihat infeksi nosokomial pada ruang perawatan intensif
anak. Hasil yang didapatkan terdapat 2 bakteri utama penyebab infeksi
nosokomial, yaitu Staphylococcus sp. dan Pseudomonas sp. Pada bakteri
Pseudomonas sp. didapatkan 25% dari hasil identifikasi peralatan medis dan
3,33% dari hasil identifikasi dalam ruangan perawatan intensif anak
(Baharutan, Rares, dan Soeliongan, 2015). Di Surakarta juga dilakukan
penelitian mengenai angka dan pola kuman pada dinding, lantai, dan udara
ruang ICU (Intensive Care Unit) RSUD Dr. Moerwadi. Hasil yang
didapatkan berupa pertumbuhan kuman dinding sebesar 4,33%, lantai
15,18% dan udara 80,48%. Pola kuman yang ditemukan pada dinding dan
lantai adalah Acinetobacter baumanii, Staphylococcus sp. dan Bacillus sp.
Sedangkan pola kuman yang ditemukan pada sampel udara adalah
Morexella lacunata, Staphylococcus sp., Bacillus sp., Klebsiella
pneumonia, Pseudomonas aeruginosa dan Escherisia coli (Oktarini, 2013).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kuman P. aeruginosa
hingga saat ini masih termasuk dalam bakteri patogen penyebab infeksi
nosokomial yang penting karena hampir semua infeksi nosokomial
disebabkan oleh kuman ini.
2.2.5 Pengobatan P. aeruginosa
Kemampuan bakteri P. aeruginosa bertahan terhadap beberapa jenis
antibiotik melahirkan sebutannya sebagai MDRPA (Multi Drug Resistance
Pseudomonas aeruginosa). Hanya sedikit antibiotik yang efektif mengatasi
19
infeksi P. aeruginosa, diantaranya adalah fluoroquinolones, gentamicin,
sefalosporin, dan imipenem. Oleh karena itu, bakteri ini sampai sekarang
masih dianggap sebagai patogen yang sangat berbahaya dan mematikan
(Tolan, 2008).
2.2.6 Efek Samping Obat – Obat P. aeruginosa
Sefalosporin yang mengandung gugus metiltiotetrazol (misalnya
sefamandol, sefmetazol, sefotetan, sefoperazon) sering menyebabkan
hipoprotrombinemia dan kelainan perdarahan. Sedangkan pada imipenem,
efek samping yang sering muncul adalah mual, muntah, diare, ruam kulit,
dan reaksi pada tempat infus. Kadar imipenem yang berlebihan pada pasien
gagal ginjal dapat menimbulkan kejang (Chambers, 2010).
Obat – obat golongan aminoglikosida (misalnya gentamisin,
neomisin, amikasin, tobramisin) memiliki sifat nefrotoksik dan ototoksik.
Oleh karenanya sering dijumpai pasien yang menjadi tuli akibat sifat
ototoksiknya atau meninggal akibat sifat nefrotoksiknya. Beberapa obat
juga memiliki sifat vestibulotoksik yang bisa mengganggu keseimbangan
dari pasien. Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida data bersifat
mirip kurare dengan blockade neuromuscular yang menimbulkan paralisis
pernapasan (Chambers, 2010).
Obat – obatan golongan fluoroquinolon lebih ditoleransi dengan
baik. Efek yang paling sering muncul adalah mual, muntah, dan diare. Akan
tetapi, obat – obatan ini dikontraindikasikan pada anak di bawah 18 tahun
karena dapat melukai kartilago yang sedang tumbuh serta menyebabkan
artropati (Chambers, 2010).
20
2.3 Vehikulum Topikal Pada Farmakologi Dermatologi Serta Penggunaannya
2.3.1 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Kemenkes RI, 2014).
Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku
obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan cara
destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan utama obat sesedikit
mungkin terkena panas. Namun, teknik lain yang juga sering digunakan
adalah metode maserasi (Kemenkes RI, 2014). Ekstraksi dapat
menggunakan etanol 95% sehingga bahan – bahan aktif yang bersifat polar
maupun nonpolar dapat larut (Kurniawati, Murwani, dan Winarso, 2012).
2.3.2 Gel
Gel, kadang-kadang disebut jeli, merupakan sistem semipadat
terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau
molekul organic yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel
terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai
sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium Hidroksida). Dalam sistem dua
fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel
kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit).
Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat
jika dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan (Kemenkes RI, 2014).
21
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organic yang tersebar
serba sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya
ikatan antara molekul makro yang terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal
dapat dibuat dari makromolekul sintetik (misalnya Karbomer) atau dari
gom alam (misalnya Tragakan). Sediaan tragakan disebut juga musilago.
Walaupun gel-gel ini umumnya mengandung air, etanol dan minyak dapat
digunakan sebagai fase pembawa. Sebagai contoh, minyak mineral dapat
dikombinasi dengan resin polietilena untuk membentuk dasar salep
berminyak (Kemenkes RI, 2014).
Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal atau
dimasukkan ke dalam lubang tubuh (Kemenkes RI, 2014).
2.3.3 Krim (Cremores)
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau
lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.
Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat
yang mempunyai konsistensi relative cair diformulasi sebagai emulsi air
dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batas tersebut lebih
diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau
dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang
dalam air, yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk
penggunaan kosmetika dan estetika. Krim dapat digunakan untuk
pemberian obat melalui vaginal yang biasa disebut sebagai Krim Vaginal
(Kemenkes RI, 2014).
22
2.3.4 Salep (Ointments)
Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian
topikal pada kulit atau selaput lendir. Dasar salep yang digunakan sebagai
pembawa dibagi dalam 4 kelompok : dasar salep senyawa hidrokarbon,
dasar salep serap, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dasar salep larut
dalam air. Setiap salep obat menggunakan salah satu dasar salep tersebut.
Dasar salep hidrokarbon dikenal sebagai dasar salep berlemak
antara lain vaselin putih dan salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen
berair dapat dicampurkan ke dalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk
memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai
pembalut penutup. Dasar salep hidrokarbon digunakan terutama sebagai
emolien, dan sukar dicuci. Tidak mengering dan tidak tampak berubah
dalam waktu lama (Kemenkes RI, 2014).
Dasar salep serap dapat dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok
pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air
membentuk emulsi air dalam minyak (Parafin hidrofilik dan Lanolin
anhidrat), dan kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang
dapat bercampur dengan sejumlah larutan air tambahan (Lanoli). Dasar
salep serap juga bermanfaat sebagai emolien (Kemenkes RI, 2014).
Dasar salep yang dapat dicuci dengan air adalah emulsi minyak
dalam air antara lain salep hidrofilik dan lebih tepat disebut “Krim”. Dasar
ini dinyatakan juga sebagai “dapat dicuci dengan air” karena mudah dicuci
dari kulit atau dilap basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar
kosmetik. Beberapa bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan
23
dasar salep ini daripada dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari
dasar salep ini adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap
cairan yang terjadi pada kelainan dermatologik (Kemenkes RI, 2014).
Dasar salep larut dalam air disebut juga “dasar salep tak berlemak”
dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan
banyak keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan
tidak mengandung bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin
anhidrat atau malam. Dasar salep ini lebih tepat disebut “gel” (Kemenkes
RI, 2014).
Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor seperti
khasiat yang diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan
hayati, stabilitas dan ketahanan sediaan jadi. Dalam beberapa hal perlu
menggunakan dasar salep yang kurang ideal untuk mendapatkan stabilitas
yang diinginkan. Misalnya obat-obat yang cepat terhidrolisis, lebih stabil
dalam dasar salep hidrokarbon daripada dasar salep yang mengandung air,
meskipun obat tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang
mengandung air (Kemenkes RI, 2014).
2.3.5 Tingtur
Tingtur adalah larutan mengandung etanol atau hidroalkohol dibuat
dari bahan tumbuhan atau senyawa kimia. Jumlah obat dalam tingtur yang
berbeda tidak selalu seragam tetapi bervariasi, sesuai dengan masing –
masing standar yang telah ditetapkan. Secara tradisional tingtur tumbuhan
berkhasiat obat menunjukkan aktivitas dari 10 g obat dalam tiap 100 ml
tingtur, potensi ditetapkan setelah dilakukan penetapam kadar. Sebagian
24
besar tingtur tumbuhan lain mengandung 20 g bahan tumbuhan dalam 100
ml tingtur (Anief, 2010).
Tingtur harus disimpan dalam wadah tertututp rapat, tidak tembus
cahaya, jauhkan dari cahaya matahari langsung dan panas yang berlebihan
(Kemenkes RI, 2014).
2.3.6 Penggunaan Masing – Masing Vehikulum
Kemampuan masing – masing vehikulum untuk menghambat
penguapan dari permukaan kulit berbeda – beda. Kekuatan paling rendah
dimiliki oleh tingtur dan paling kuat adalah salep. Umumnya inflamasi akut
yang disertai keluarnya cairan, vesikulasi, dan pembentukan krusta paling
tepat diobati dengan sediaan pengering seperti tingtur. Inflamasi kronik
yang disertai xerosis, pembentukan skuama, dan likenifikasi paling tepat
diobati dengan sediaan yang bersifat membasahi, seperti krim dan salep.
Tingtur dan gel baik untuk digunakan pada kulit kepala dan area berambut.
Krim pembersih teremulsifikasi dapat digunakan untuk area intertriginosa
tanpa menimbulkan maserasi (Robertson dan Maibach, 2010). Pada
praktiknya, banyak apoteker di apotek yang kesulitan membuat dua sediaan
ini karena harus mencari emulgator yang sesuai serta dalam takaran yang
tepat dan proses pembuatannya lebih sulit dibandingkan gel (Yanhendri
dan Yenni, 2012).
2.4 Penggunaan Bioplacenton Gel
Bioplacenton Gel adalah merek dagang sebuah obat yang mengandung
neomisin sulfat 0,5% dan ekstrak plasenta 10%. Obat ini merupakan obat
topikal berbentuk gel yang dikemas dalam tube. Ekstrak plasenta pada bahan
25
ini menstimulasi terjadinya regenerasi sel, sedangkan neomisin sulfat dapat
berperan sebagai antimikroba bakteriosid. Indikasi digunakannya adalah luka
bakar, ulkus kronis, luka yang lama sembuh dan terdapat granulasi, ulkus
decubitus, eksim pyoderma, impetigo, furunkulosis, dan infeksi kulit lainnya
(Dewi, 2010).
2.5 Anatomi dan Fisiologi Kulit
2.5.1 Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar
tubuh, merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit
beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg
dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai
0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit
tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian
medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan,
telapak kaki, punggung, bahu dan bokong. Secara embriologis kulit berasal
dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan
lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal
dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan
jaringan ikat. (Eroschenko, 2008)
2.5.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri
dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit,
Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai
tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan
26
epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi
setiap 4-6 minggu. Epidermis terdiri atas lima lapisan (Perdanakusuma,
2007):
1. Stratum Korneum : Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan
berganti.
2. Stratum Lusidum : Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit
tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum : Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang
intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang
dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan
histidin. Terdapat sel Langerhans.
4. Stratum Spinosum : Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan
tonofibril, dianggap filamen – filamen tersebut memegang peranan
penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek
abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum
basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel
Langerhans.
5. Stratum Basale : Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung
jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis
diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung
letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung
melanosit.
27
2.5.1.2 Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering
dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong
epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya
bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis
memiliki 2 lapisan, yaitu (Eroschenko, 2008) :
1. Lapisan papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang.
2. Lapisan retikuler, tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang
dengan bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan
menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari
fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam
jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi
kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput.
(Perdanakusuma, 2007)
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga
mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya
derivat epidermis di dalam dermis. (Eroschenko, 2008)
2.5.1.3 Subkutis
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri
dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan
kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya
berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu.
28
Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.
(Eroschenko, 2008)
2.5.2 Fisiologi Kulit
Fisiologi kulit tergantung dari masing – masing lapisan pembentuk
kulit. Epidermis berfungsi sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis
vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi
(melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans). Dermis berfungsi
sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan
shearing forces dan respon inflamasi. Sedangkan subkutis berfungsi
melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk
tubuh dan mechanical shock absorber. (Perdanakusuma, 2007)
(Eroschenko, 2008)
Gambar 2.3 Anatomi dan Histologi Kulit
2.6 Konsep Tahapan Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk
memperbaiki kerusakan yang terjadi. Secara umum terdapat 3 tahapan atau
29
fase dalam proses penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan
fase remodeling (Perdanakusuma, 2007) :
2.6.1 Fase Inflamasi
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera
setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi
dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi EGF (Epidermal
Growth Factor), IGF (Insulin-like Growth Factor), PDGF (Platelet-
derived Growth Factor) dan TGF-β (Transforming Growth Factor beta)
yang berperan untuk terjadinya kemotaksis neutrofil, makrofag, mast sel,
sel endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi leukosit PMN (Polymorphonuclear). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi TGF-β1 (Transforming Growth Factor
beta 1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF-β1 akan
mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen (Perdanakusuma, 2007).
Selama proses inflamasi, banyak dihasilkan radikal bebas akibat reaksi
tersebut. Oleh karenanya peran sistem imun dalam mengendalikan jumlah
radikal bebas sangat penting. Gangguan sistem imun akan memperlama
fase ini sehingga luka menjadi sulit sembuh (Kumar, Abbas, dan Aster,
2013).
2.6.2 Fase Proliferasi
Fase ini disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah
proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi
30
sampai kira – kira akhir minggu ketiga. Broughton et al. (2006)
menyebutkan fase proliferasi dimulai segera setelah fase inflamasi yang
berlangsung 4 - 6 hari. Fase ini akan dimulai pada hari ke 3 bersamaan
dengan memudarnya fase inflamasi dan terus sampai pada hari ke 14,
didominasi dengan pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi (Reddy
et al, 2012). Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum
berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam amino glysine, dan
proline yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan
mempertautkan tepi luka (Hasibuan, Soedjana, dan Bisono, 2007).
Pada fase ini, serat kolagen dibentuk dan dihancurkan kembali
untuk menyesuaikan dengan tegangan pada luka yang cenderung
mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast,
menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini, kekuatan
regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses
remodeling, kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul
dan antarmolekul menguat (Hasibuan, Soedjana, dan Bisono, 2007).
Pada fase proliferasi ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblast,
dan kolagen, serta pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis),
membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol
hakus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel
basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka.
Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis.
Proses migrasi hanya terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar. Proses
ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh
31
permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses proliferasi
dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah
proses pematangan dalam fase remodeling (Hasibuan, Soedjana, dan
Bisono, 2007).
2.6.3 Fase Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas
penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan yang sesuai
dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru.
Fase ini dapat berlangsung berbulan – bulan dan dinyatakan berakhir kalau
semua tanda radang sudah lenyap (Perdanakusuma, 2007). Tubuh berusaha
menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses
penyembuhan. Edema dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang,
kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap
dan sisanya mengerut sesuai dengan besarnya regangan. Selama proses ini
berlangsung, dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, lentur, serta
mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka.
Pada fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira
80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3 – 6 bulan
setelah penyembuhan. Perupaan luka tulang (patah tulang) memerlukan
waktu 1 tahun atau lebih untuk membentuk jaringan yang normal secara
histologis (Hasibuan, Soedjana, dan Bisono, 2007).
Apabila dirangkum, maka ketiga proses di atas dapat dirangkum dalam
gambar 3 di bawah ini.
32
(Kumar, Abbas, dan Aster, 2013)
Gambar 2.4 Faal Penyembuhan Luka
Kemudian, berikut merupakan bentuk gambar grafik penyembuhan luka
berdasarkan hari, seperti pada gambar 4 di bawah ini.
(Kumar, Abbas, dan Aster, 2013)
Gambar 2.5 Grafik Faal Penyembuhan Luka
Namun demikian, penyembuhan luka dapat dihambat oleh berbagai
penyebab. Penyebab tersebut dapat berupa faktor yang berasal dari dalam tubuh
33
(endogen) maupun di luar tubuh (eksogen). Faktor endogen terutama
dipengaruhi oleh koagulopati dan gangguan sistem imun. Semua gangguan
pembekuan darah akan menghambat penyembuhan luka karena hemostasis
merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan sistem imun akan
menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan, dan
kontaminasi. Bila sistem daya tahan tubuh selular maupun humoral terganggu,
pembersihan kontaminan dan jaringan mati serta penahanan infeksi tidak
berjalan baik (Hasibuan, Soedjana, dan Bisono, 2007).
Penyebab eksogen meliputi radiasi sinar ionisasi yang akan
mengganggu proses mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatika (obat penekan reaksi imun) misalnya setelah transplantasi
organ, dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka.
Pengaruh setempat, seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati
seperti sequester dan nekrosis, sangat menghambat penyembuhan luka
(Hasibuan, Soedjana, dan Bisono, 2007).