BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Jambu Biji...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Jambu Biji...
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Jambu Biji (Psidium guajava L.)
Jambu biji berasal dari Amerika tropik, tumbuh pada tanah yang gembur maupun
liat, pada tempat terbuka dan mengandung air cukup banyak. Pohon ini banyak
ditanam sebagai pohon buah-buahan. Namun, sering tumbuh liar dan dapat
ditemukan pada ketinggian 1-1.200 m dpl. Jambu biji berbunga sepanjang tahun
(Hapsoh, 2011).
2.1.1 Sistematika Tumbuhan Jambu Biji
Secara botanis tanaman jambu biji diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava L.
Nama Lokal : Jambu Biji
2.1.2 Morfologi Tumbuhan Jambu Biji
Jambu biji perdu atau pohon kecil, tinggi 2-10 m, percabangan banyak. Batangnya
berkayu, keras, kulit batang licin, mengelupas, berwarna cokelat kehijauan. Daun
tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan, daun muda berambut halus,
permukaan atas daun tua licin. Helaian daun berbentuk bulat telur agak jorong,
Universitas Sumatera Utara
ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata agak melekuk ke atas, pertulangan
menyirip, panjang 6-14 cm, lebar 3-6 cm, berwarna hijau. Bunga tunggal,
bertangkai, keluar dari ketiak daun, berkumpul 1-3 bunga, berwarna putih.
Buahnya buah buni, berbentuk bulat sampai bulat telur, berwarna hijau sampai
hijau kekuningan. Daging buah tebal, buah yang masak bertekstur lunak,
berwarna putih kekuningan atau merah jambu. Biji buah banyak mengumpul di
tengah, kecil-kecil. Keras, berwarna kuning kecoklatan (Hapsoh, 2011).
2.1.3 Manfaat Tumbuhan Jambu Biji
Tanaman jambu biji atau Psidium guajava L. Termasuk familia Myrtaceae,
banyak tumbuh di daerah-daerah di tanah air kita. Penduduk terlalu
mementingkan buahnya, sedangkan daun-daunnya hanya sebagian kecil saja yang
memperhatikannya, padahal mempunyai nilai obat yang baik, terutama untuk
menyembuhkan sakit: diare dan astringensia (Kartasapoetra, 1992).
Jambu biji memiliki beberapa kelebihan, antara lain buahnya dapat
dimakan sebagai buah segar, dapat diolah menjadi berbagai bentuk makanan dan
minuman. Selain itu, buah jambu biji bermanfaat untuk pengobatan (terapi)
bermacam-macam penyakit, seperti memperlancar pencernaan, menurunkan
kolesterol, antioksidan, menghilangkan rasa lelah dan lesu, demam berdarah, dan
sariawan. Selain buahnya, bagian tanaman lainnya, seperti daun, kulit akar
maupun akarnya, dan buahnya yang masih muda juga berkhasiat obat untuk
menyembuhkan penyakit disentri, keputihan, sariawan, kurap, diare, pingsan,
radang lambung, gusi bengkak, dan peradangan mulut, serta kulit terbakar sinar
matahari (Cahyono B, 2010).
Ekstrak etanol daun jambu biji juga telah dilakukan penelitian terhadap uji
aktivitas anti oksidannya (Soebagio,et al. 2007) dan uji aktivitasnya sebagai anti
bakteri penyebab diare (Adyana, et al. 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Senyawa Organik Bahan Alam
Kimia organik mengalami kemajuan yang sejajar dengan kemajuan cara
pemisahan dan penelitian bahan alam. Karena sangat beranekaragam, molekul
yang berasal dari mahluk hidup mempunyai arti yang sangat penting bagi para
ahli kimia organi, yaitu untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan
tentang reaksi-reaksi organik, dan terutama dapat untuk menguji hipotesis-
hipotesis tertentu, misalnya hipotesis tentang mekanisme reaksi. Pada mulanya,
biogenesis dari produk alami berkaitan dengan kimia organik dan biokimia, tetapi
mempunyai tujuan yang berlainan (Manitto, 1992).
Pada hakekatnya kimia bahan alam nerupakan pengetahuan yang telah
dikenal sejak peradaban manusia tumbuh. Contoh yang dapat segera diketahui
adalah pembuatan bahan makanan, pewarnaan benda, obat-obatan atau stimulan,
dan sebagainya (Sastrohamidjojo, 1996).
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menemukan induk
obat baru dari alam, dan semuanya pernah digunakan oleh perusahaan farmasi
dalam upaya memanfaatkan potensi hayati bahan alam yaitu :
1. Pendekatan etnobotani
Pengetahuan tentang penggunaan tumbuhan tertentu oleh penduduk asli
dimanfaatkan untuk mengarahakan pencarian induk obat baru, biasanya dilakukan
oleh ahli botani dan kemudian menguji aktifitas biologisnya.
2. Pendekatan kemotaksonomik
Pengetahuan bahwa suatu kelompok tumbuhan khusus mengandung golongan
bahan alam tertentu yang dimanfaatkan untuk memperkirakan bahwa tumbuhan
sejenis secara taksonomi mungkin mengandung senyawa yang secara struktural
mirip. Pendekatan ini sangat bermanfaat jika aktifitas kimia dan biologi senyawa
diketahui dengan baik serta senyawa berstruktur kimia yang sama perlu diuji
biologis lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
3. Pendekatan acak
Tanaman dikumpulkan tanpa memperhatikan aktifitas kimia atau biologis yang
telah ada sebelumnya. Pendekatan ini tergatung pada ketersediaan tanaman yang
melimpah diwilayah tertentu. Pendekatan ini murni coba-coba karena seleksi
tanaman secara acak akan mengarah pada penemuan ekstrak yang memiliki
aktifitas biologis (bioaktivitas).
4. Pendekatan berbasis-informasi
Memanfaatkan kombinasi pendekatan etnobotani, kemotaksonomi dan acak
bersama dengan mengumpulkan data yang memiliki semua informasi yang
relevan mengenai spesies tumbuhan tertentu . kumpulan data ini digunakan untuk
memprioritaskan tanaman yang harus diekstrasi dan diskrining untuk mencari
bioaktivitasnya.
Sejumlah kelompok senyawa bahan alam dapat dibuat dari asam amino
fenillalanin, terutama fenilpropana, lignan, kumarin, dan flavonoida, semuanya
memiliki substruktur umum yang berbasis cincin 6-karbon aromatik (unit C6)
dengan rantai 3-karbon (unit 3) yang melekat pada cincin aromatik (Heinrich M,
2005).
Dengan meningkatnya jenis dan tipe senyawa yang ditemukan di dalam
berbagai bahan alam, berkembang juga sistem klasifikasi senyawa yang berasal
dari bahan alam, tetapi biasanya ada 4 jenis klasifikasi yang digunakan untuk
membahasnya (Nakanishi et al, 1974).
1. Klasifikasi Berdasarkan Struktur Kimia
Klasifikasi ini adalah klasifikasi formal berdasarkan kerangka struktur molekul,
yaitu:
a. Senyawa lemak rantai terbuka atau alifatik, seperti asam-asam lemak,
gula-gula, dan hampir semua asam amino
b. Senyawa sikloalifatik atau alisiklik, seperti terpenoid, steroid, dan
beberapa alkaloid
Universitas Sumatera Utara
c. Senyawa benzenoid atau aromatik, seperti fenol dan kuinon.
d. Senyawa heterosiklik, seperti alkaloid, flavonoid, dan basa-basa nukleat.
2. Klasifikasi Berdasarkan Aktivitas Fisiologi
Biasanya pengembangan bahan alam didahului dengan pengamatan dan
pengalaman empirik khasiat bahan alam tersebut untuk menyembuhkan penyakit
tertentu. Oleh karena itu, salah satu cara penyelidikan bahan obat dari tumbuhan
atau bahan alam lainnya adalah melalui ekstraksi dan penetapan khasiat
farmakologi ekstrak, diikuti dengan isolasi komponen murni.
Sebagai contoh, berbagai steroid dengan struktur yang berbeda, aktivitas
kardiotoniknya (kardenolida dan bufadienolida) ditunjukkan secara spesifik oleh
(a) ikatan cis cincin A/B, (b) adanya gugus gula pada C3, dan (c) gugus lakton
(dengan 5 atau 6 atom karbon) terkonjugasi pada C17.
O
Bufadienolida
OO
HRO
OHH
R= gugus gula
Kardenolida
3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi
Klasifikasi ini didasarkan pada pengkajian morfologi komparatif atau taksonomi
tumbuhan. Di dalam hewan dan sebagian mikroorganisme metabolit akhir
biasanya diekskresikan ke luar tubuh, sedangkan di dalam tumbuhan, metabolit
tersebut disimpan di dalam tubuh tumbuhan. Walaupun beberapa metabolit
selama ini diketahui spesifik pada tumbuhan tertentu, tetapi sekarang telah
diketahui tersebar di dalam berbagai tumbuhan, misalnya alkaloid dan isoprenoid
telah dapat diisolasi dari berbagai genus, spesies, suku, atau ordo. Bahkan di
dalam satu spesies terdapat sejumlah komponen yang memiliki struktur dasar
yang berkaitan. Sebagai contoh, opium dari Papaver somniferum mengandung
lebih dari 20 alkaloid seperti morfin, kodein, tebain dan narkotin yang semuanya
Universitas Sumatera Utara
merupakan hasil biosintesis dari prekursor 11-benzilisokuinolin dengan kopling
oksidatif.
Pengetahuan tentang kandungan komponen tumbuhan berkembang dengan
sangat pesat karena berkembangnya metode ekstraksi, isolasi dan
karakterisasinya. Hal ini mendorong berkembangnya suatu bidang baru yang
disebut kemotaksonomi (chemotaxonomy) atau sistematik kimia
(chemosystematic) yang mengarah ke pembagian kandungan tumbuhan
berdasarkan taksa tumbuhan. Dengan kata lain, isi kandungan tumbuhan dianggap
sebagai tanda bagi evolusi dan kalsifikasi tumbuhan.
N MeHO
HO
CH2
OHO Me
NMeH
OHO
Me
Morfin R=HKodein R=Me 11-Benzilisokuinolin
R-O
4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis
Biogenesis dan biosintesis memiliki arti yang sama dan sering kali digunakan
tanpa perbedaan. Namun, istilah biogenesis biasanya digunakan untuk reaksi
pembentukan yang masih dalam taraf hipotesis, sedangkan jika reaksi tersebut
telah dibuktikan secara eksperimen, digunakan istilah biosintesis.
Sebagian besar bahkan hampir semua, senyawa kandungan kimia bahan
alam adalah senyawa organik, dan sumber utama senyawa karbon atau senyawa
organik ini adalah glukosa yang dibentuk melalui fotosintesis di dalam tumbuhan
autotropik atau diperoleh dari organisme heterotrof.
Berbagai teori tentang pembentukan senyawa metabolit primer dan
metabolit sekunder telah dikemukakan di dalam berbagai publikasi. Diawali
dengan teori aturan isoprena pada tahun 1930, yang menyatakan bahwa semua
Universitas Sumatera Utara
terpenoid dibentuk dari unit isoprena 5-C, dilanjutkan dengan teori
poliketometilena untuk senyawa fenolik, yang merupakan sarana pertama bagi
biosintesis asetogenin (poliketida). Komponen pembangun utama untuk atom-
atom karbon dan nitrogen di dalam semua senyawa bahan alam berasal dari 5
kelompok prekursor, yaitu:
a. asetil ko-A → unit 2C (MeCO-) → poliketida (asetogenin)
malonil ko-A
b. asam sikimat → unit 6C-3C (6C-1C atau 6C-2C) → senyawa fenolik
c. asam mevalonat → unit prenil → isoprenoid
( CH2=C-CH2-CH2-)
Me
d. unit asam amino seperti fenilanalina, tirosina, ornitina, lisina, dan triptofan
→ alkaloid
e. 5-5’-deoksiadenilmetionina → unit 1C (Wiryowidagdo, 2008).
2.3 Metabolit Sekunder
Senyawa kimia bermolekul besar merupakan bagian utama dalam organ tanaman
kering. Senyawa bermolekul besar ini berfungsi sebagai pembentuk struktur
tanaman (selulosa, kitin, lignin), sebagai cadangan makanan (amilum, protein,
lipoprotein) atau untuk memenuhi fungsi metabolisme penting lainnya (protein
dan enzim). Senyawa kimia dari tanaman yang bebeda-beda dapat disaring
dengan pelarut umum (air, etanol, eter, benzen), berupa senyawa kimia tanaman
dengan molekul kecil, senyawa kimia bermolekul kecil ini memiliki penyebaran
yang terbatas, senyawa inilah yang disebut dengan metabolit sekunder.
2.3.1 Penggolongan Metabolit Sekuder
Pengelompokkan senyawa kimia tananam berdasarkan sifat khas yang dimiliknya
(antara lain warna, rasa, bau, pH, kelarutan), merupakan hal penting sehingga
sampai sekarang masih banyak dipakai. Berikut contoh pengelompokkan senyawa
kimia seperti tersebut diatas.
Universitas Sumatera Utara
1. Minyak Atsiri. Baunya khas dan dapat dipisahkan dari senyawa kimia tanaman
lainnya, karena sukar larut dalam air dan dapat menguap bersama uap air.
2. Alkaloid. Senyawa yang bersifat basa dapat dipisahkan dari yang netral dan
asam. Penyebab sifat basa sangat erat kaitannya dengan kerja farmakologi pada
tubuh binatang dan manusia.
3. Zat Pahit. Berpedoman pada rasa pahit adalah suatu metode yang mudah untuk
memisahkan senyawa kimia tanaman, perlu waktu yang cukup sehingga seluruh
zat pahit dalam sari menjadi zat yang dapat dikristalkan.
4. Zat warna. Jumlah zat warna dari tanaman diperkirakan ± 2000 jenis. Pigmen
tanaman mempunyai struktur kimia yang berlainan, begitu juga sifat fisika,
kelarutan, warna, fuoresensi, dan sebagainya (Sirait, 2007).
2.4 Senyawa Flavonoida
Senyawa flavonoida diturunkan dari unit C6-C3 (fenil propana) yang bersumber
dari asam sikimat (via fenilalanin) dan unit C6 yang diturunkan dari jalur
poliketida. Fragmen poliketida ini disusun dari tiga molekul malonil-KoA yang
bergabung dengan unit C6-C3 (sebagai KoA tioester) untuk membentuk unit awal
triketida. Oleh karena itu, flavonoid yang berasal dari biosintesis gabungan terdiri
atas unit-unit yang diturunkan dari asam sikimat dan jalur poliketida.
Sistem penomoran untuk turunan senyawa flavonoid diberikan di bawah :
OA
12
35
8
6
7 1'2' 3'
4'
5'6'
O4
CB
(Robinson, 1995)
Unit awal triketida mengalami siklisasi oleh enzim kalkon sintase untuk
membentuk gugus kalkon pada flavonoid. Kemudian terjadi siklus untuk
menghasilkan cincin piranon yang mengandung inti flavanon, yang dapat
memiliki ikatan C2-C3 teroksidasi (tidak jenuh) untuk menghasilkan gugus flavon,
Universitas Sumatera Utara
atau dihidroksilasi pada posisi C3 cincin piranon untuk menghasilkan gugus
flavanol pada flavonoid.
Flavanol ini selanjutnya dioksidasi untuk menghasilkan antosianin, yang
memberikan warna biru terang pada bunga dan warna anggur merah gelap.
Senyawa flavonoid juga berperan dalam memberikan banyak warna lain di alam,
terutama daun mahkota kuning dan jingga, bahkan flavonoid yang tidak berwarna
menyerap cahaya pada spektrum UV (karena banyak gugus kromofor) dan dapat
dilihat oleh banyak serangga. Senyawa ini diduga memiliki manfaat ekologi yang
besar di alam berkat warnanya sebagai penarik serangga dan burung untuk
membantu penyerbukan tanaman. Flavonoid tertentu juga mempengaruhi rasa
makanan secara signifikan, misalnya beberapa tanaman memiliki rasa pahit dan
kesat seperti glikosida flavanon naringin.
O
OH
OH
OGlc
O
Rha
Naringin Senyawa flavonoid diduga sangat bermanfaat dalam makanan karena,
berupa senyawa fenolik, senyawa ini yang bersifat antioksidan kuat. Banyak
kondisi penyakit yang diketahui bertambah parah oleh adanya radikal bebas
seperti superoksida dan hidroksil, dan flavonoid memiliki kemampuan untuk
menghilangkan dan secara efektif ‘menyapu’ spesies pengoksidasi yang merusak
itu. Oleh karena itu, makanan kaya flavonoid dianggap penting untuk mengobati
penyakit-penyakit, seperti kanker dan penyakit jantung (yang dapat memburuk
akibat oksidasi lipoprotein densitas-rendah) (Heinrich et al, 2009).
2.4.1 Biosintesis Flavonoida
Semua varian flavonoida saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama yang
melalui alur sikimat dan alur asetat-malonat. Flavonoida yang pertama kali terben-
tuk pada biosintesis adalah khalkon dan semua bentuk diturunkan darinya melalui
Universitas Sumatera Utara
berbagai alur. Modifikasi flavonoida lebih lanjut mungkin terjadi pada berbagai
tahap dan menghasilkan: penambahan (atau pengurangan) hidroksilasi, metilasi
gugus hidroksil atau inti flavonoida, metilenasi gugus orto-dihidroksil, dimerisasi
(pembentukan biflavonoida), dan glikosilasi gugus hidroksil (pembentukan flavo-
noida O-glikosida) atau inti flavonoida (pembentukan flavonoidaC-glikosida).
( Markham, 1988)
Gambar 2.1 Biosintesa hubungan antara jenis monomer flavonoida dari alur asetat-malonat dan alur sikimat. 2.4.2 Klasifikasi Senyawa Flavonoida
Universitas Sumatera Utara
Dalam tumbuhan, flavonoid terdapat dalam berbagai bentuk struktur. Keragaman
struktur flavonoid ini disebabkan karena perbedaan tahap modifikasi lanjutan dari
struktur dasar flavonoid, antara lain:
1. Flavonoid O-glikosida.
Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid O-glikosida, pada senyawa
tersebut satu gugus hidroksi flavonoid (atau lebih) terikat pada satu gula
(atau lebih) dengan ikatan hemiasetal yang tak tahan asam. Pengaruh
glikosilasi meyebabkan flavonoid menjadi kurang reaktif dan lebih mudah
larut dalam air (cairan). Glukosa merupakan gula yang paling umum
terlibat, walaupun galaktosa, ramnosa, xilosa, dan arabinosa sering juga
terdapat. Gula lain yang ditemukan adalah alosa, manosa, fruktosa, apiosa
dan asam glukuronat serta galakturonat.
2. Flavonoid C-glikosida.
Gula dapat juga terikat pada atom karbon flavonoid dan dalam hal ini gula
tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan karbon-
karbon. Glikosida yang demikian disebut C-glikosida. Sekarang gula yang
terikat pada atom C hanya ditemukan pada atom C nomor 6 dan 8 dalam
inti flavonoid. Jenis gula yang terlibat ternyata jauh lebih sedikit
ketimbang jenis gula pada O-glikosida. Jenis aglikon flavonoid yang
terlibat pun sangat terbatas. Jadi, walau pun isoflavon, flavanon, dan
flavonol kadang-kadang terdapat dalam bentuk C-glikosida, hanya flavon
C-glikosida yang paling lazim ditemukan.
3. Flavonoid Sulfat
Gabungan flavonoid lain yang mudah larut dalam air yang mungkin
ditemukan hanya flavonoid sulfat. Senyawa ini mengandung satu ion
sulfat atau lebih, yang terikat pada hidroksil fenol atau gula.
4. Biflavonoid
Universitas Sumatera Utara
Biflavonod adalah flavonoid dimer, walau pun prosianidin dimer (satuan
dasarnya katekin) biasanya tidak dimasukkan ke dalam golongan ini.
Flavonoid yang biasanya terlibat adalah flavon dan flavanon yang secara
biosintesis mempunyai pola oksigenasi yang sederhana 5,7,4’ (atau
kadang-kadang 5,7,3’,4’) dan ikatan antar-flavonoid berupa ikatan karbon-
karbon atau kadang-kadang ikatan eter. Biflavonoid jarang ditemukan
sebagai glikosida, dan penyebarannya terbatas, terdapat terutama pada
gimnospermae.
5. Aglikon flavonoid yang aktif-optik
Aglikon flavonoid mempunyai atom karbon asimetrik dan dengan
demikian menunjukkan keaktifan optik (yaitu memutar cahaya
terpolarisasi-datar). Yang termasuk dalam golongan flavonid ini ialah
flavanon, dihidroflavonol, katekin, pterokarpan, rotenoid, dan beberapa
biflavonoid (Markham, 1988).
Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan tahanan
oksidasi dan keragaman lain pada rantai C3 :
1. Flavon
Pada flavon, cincin C merupakan dasar dan membentuk garam kalium
dengan asam klorida. Flavon bersamaan dengan flavonol merupakan
senyawa yang paling tersebar luas dari semua pigmen tumbuhan kuning,
meskipun warna kuning tumbuhan jagung biasanya disebabkan oleh
karotenoid. Senyawa ini biasanya larut dalam air panas dan alkohol,
meskipun beberapa flavonoid yang termetilasi tidak larut dalam air.
Flavon berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak terdapat gugus
3-hidroksi. Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur kelompok
senyawa flavonoid.
Universitas Sumatera Utara
O
O
A C
B
2. Flavonol
Flavonol lazim sebagai konstituen tanaman yang tinggi, dan terdapat
dalam berbagai bentuk terhidroksilasi. Flavonol paling sering terdapat
sebagai glikosida, biasanya 3-glikosida. Larutan flavonol dalam suasana
basa (tetapi flavon tidak) dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu cepat
sehingga pengunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.
O
OOH
A C
B
3. Isoflavon
Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi
warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan
warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi amonia, tetapi
kebanyakan yang lain (misalnya genistein) tampak sebagai bercak
lembayung pudar yang dengan amonia berubah menjadi coklat pudar.
Isoflavon merupakan senyawa yang tidak begitu mencolok, tetapi senyawa
ini penting sebagai fitoaleksin (senyawa pelindung) dalam tumbuhan
untuk pertahanan terhadap penyakit. Pembeda struktur isoflavon dari
flavonoid lain terletak pada cincin C, dimana cincin B terikat langsung
pada cincin C pada atom C-3. O
O
A C
B
4. Flavanon
Senyawa ini terdapat hanya sedikit sekali jika dibandingkan dengan
flavonoid lain. Tidak berwarna atau hanya kuning sedikit. Flavanon
(dihidroflavon) sering terjadi sebagai aglikon, tetapi beberapa glikosidanya
Universitas Sumatera Utara
dikenal misalnya hesperidin dan naringan dari jaringan kulit buah jeruk.
Penentuan struktur flavanon cepat dilakukan berdasarkan metoda klasik.
Polihidroksiflavon mudah dikenal terbentuknya merah, lembayung, bila
flavon direduksi dengan magnesium dalam garam klorida dalam larutan
etanol. Pada srtukturnya, cincin C pada atom C-3 mengikat 2 proton
langsung karena tidak ada ikatan rangkap diantara C-2 dan C-3.
O
O
A C
B
5. Flavanonol
Flavanonol (atau dihidroflavonol) barangkali merupakan flavonoid yang
paling kurang dikenal, dan tidak dapat diketahui apakah senyawa ini
terdapat sebagai glikosida. Senyawa ini stabil dalam asam klorida panas
tetapi terurai oleh udara.
O
OOH
A C
B
6. Antosianin
Senyawa flavonoid alam yang paling menyolok adalah antosianin, yang
merupakan pembentuk dasa pigmen warna merah, ungu dan biru pada
tanaman, terutama sebagai bahan pewarna bunga dan buah-buahan.
Antosianin adalah pigmen daun bunga merah sampai biru yang biasa,
banyaknya sampai 30% bobot kering dalam beberapa bunga. Antosianin
terdapat juga dalam bagian lain tumbuhan tinggi kecuali fungus.
Antosianin selalu terdapat dalam bentuk glikosida.
O
OHA C
B
Universitas Sumatera Utara
7. Katekin
Katekin dan proantosianidin adalah dua golongan senyawa yang
mempunyai banyak kesamaan. Semuanya senyawa tanpa warna, terdapat
pada seluruh dunia tumbuhan tetapi terutama dalam tumbuhan berkayu.
O
OH
HO
OH
OHOH
A C
B
8. Leukoantosianidin
Merupakan monomer flavan 3,4-diol, leukoantosianidin jarang terdapat
sebagai glikosida, namun beberapa bentuk glikosida yang dikenal adalah
apiferol, dan peltoginol.
O
OHHO OH
OHOH
A C
BHO
9. Auron
Berupa pigmen kuning emas terdapat dalam bunga tertentu dan bryofita.
Dalam larutan senyawa ini menjadi merah ros. O
O
CHA B
10. Kalkon
Polihidroksi kalkon terdapat dalam sejumlah tanaman, namun
terdistribusinya di alam tidak lazim. Pada kenyataan, pengubahan kalkon
menjadi flavanon terjadi dengan mudah dalam larutan asam dan reaksi
kebalikannya dalam basa. Reaksi ini mudah diamati karena kalkon
warnanya jauh lebih kuat daripada warna flavanon, terutama dalam larutan
basa warnya merah jingga. Alasan pokok bahwa kalkon cepat mengalami
isomerasi menjadi flavanon dalam satuan keseimbangan. Oleh karena itu,
Universitas Sumatera Utara
hidrolisis glikosida kalkon dalam suasana asam menghasilkan aglikon
flavanon sebagai senyawa jadi, bukan kalkon.
A
O
B
(Robinson, 1995).
2.5 Skrining Fitokimia
Banyak reagen yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan dari
flavonoid, meskipun beberapa juga akan bereaksi positif dengan senyawa
polifenol. Reagen yang biasa digunakan adalah :
1. Shinoda Test, yaitu dengan menambahkan serbuk magnesium pada ekstrak
sampel dan beberapa tetes HCl pekat, warna orange, pink, merah sampai
ungu akan terjadi pada senyawa flavon, flavonol, turunan 2,3-dihidro dan
xanton. Penggunaan zinc sebagai pengganti magnesium dapat dilakukan,
dimana hanya flavanonol yang memberikan perubahan warna merah pekat
sampai magenta, flavanon dan flavonol akan memberi warna merah muda
yang lemah sampai magenta.
2. H2SO4(p), flavon dan flavonol akan memberikan perubahan larutan kuning
pekat. Kalkon dan auron menghasilkan larutan berwarna merah atau merah
kebiru-biruan. Flavanon memberikan warna orange sampai merah
(Cannell, 1998).
3. NaOH 10% , menghasilkan larutan biru violet
4. FeCl3 5% telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi senyawa
fenol, tetapi tidak dapat digunakan untuk membedakan macam-macam
golongan flavonoid. Pereaksi ini memberi warna kehijauan, warna biru,
dan warna hitam-biru (Robinson, 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Teknik Pemisahan
Teknik pemisahan memiliki tujuan untuk memisahkan komponen yang akan
ditentukan berada dalam keadaan murni, tidak tercampur dengan komponen-
komponen lainnya. Ada 2 jenis teknik pemisahan:
1. Pemisahan kimia adalah suatu teknik pemisahan yang berdasarkan adanya
perbedaan yang besar dari sifat-sifat fisika komponen dalam campuran
yang akan dipisahkan.
2. Pemisahan fisika adalah suatu teknik pemisahan yang didasarkan pada
perbedaan-perbedaan kecil dari sifat-sifat fisik antara senyawa-senyawa
yang termasuk dalam satu golongan.
Gambar 2.2 Diagram Teknik Pemisahan
Biomassa
(tanaman, mikroba, laut)
Ekstraksi
Skrining
Isolasi zat aktif berdasarkan uji hayati
Skrining silang
Elusidasi Struktur
(Muldja, 1995).
2.6.1 Ekstraksi
Sampel yang berasal dari tanaman setelah diidentifikasi, kemudian digolongkan
menjadi spesies dan famili, sampel kemudian dikumpulkan dari bagian arialnya
(daun, batang, kulit kayu pada batang, kulit batang, dan akar). Sampel ini
kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan untuk menghindari
Universitas Sumatera Utara
penguraian komponen oleh udara atau mikroba. Jika telah dikeringkan, biomassa
kemudian digiling menjadi partikel-partikel kecil menggunakan blender atau
penggilingan. Proses penggilingan ini penting karena ektraksi efektif pada partikel
kecil, dikarenakan memiliki luas permukaan yang lebih besar.
Pemilihan pelarut ekstraksi sangat penting. Jika tanaman diteliti dari sudut
pandang etnobotani, ektraksi harus mengikuti pemakaiannya secara tradisional.
Kegagalan mengekstraksi biomassa dapat menyebabkan kehilangan akses untuk
mendapatkan zat aktif.
Terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah
ekstraksi dingin (dalam labu besar berisi biomassa), dengan cara ini bahan kering
hasil gilingan diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan pelarut
yang kepolarannya makin tinggi. Keuntungan utama cara ini adalah merupakan
metode ekstraksi yang mudah karena ekstrak tidak dipanaskan sehingga
kemungkinan kecil bahan alam terurai. Penggunaan pelarut dengan peningkatan
kepolaran secara berurutan memungkinkan pemisahan bahan alam berdasarkan
kelarutannya (dan polaritasnya) dalam ektraksi. Hal ini sangat mempermudah
proses isolasi. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa terekstraksi,
meskipun beberapa senyawa memiliki kelarutan terbatas dalam pelarut ekstraksi
pada suhu kamar (Heinrich et al, 2009).
Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan terakhir memberikan reaksi negatif
terhadap senyawa yang diekstraksi. Untuk mendapatkan larutan ekstrak pekat,
biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotari evaporator
(Harborne, 1996).
2.6.2 Partisi
Metode pemisahan yang mungkin paling sederhana adalah partisi, yang banyak
digunakan sebagai tahap awal pemurnian ekstrak. Partisi menggunakan dua
pelarut tak bercampur yang ditambahkan kedalam ekstrak tersebut, hal ini dapat
Universitas Sumatera Utara
dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan dua pelarut yang tak
bercampur yang kepolarannya meningkat. Partisi biasanya dilakukan melalui dua
tahap:
1. Air/petroleum eter ringan (heksana) untuk menghasilkan fraksi nonpolar di
lapisan organik
2. Air/diklorometan atau air/kloroform atau air/etil asetat untuk membuat
fraksi agak polar di lapisan organik. Ini merupakan metode pemisahan
yang mudah dan mengandalkan kelarutan bahan alam dan bukan interaksi
fisik dengan medium lain (Heinrich et al, 2009).
2.6.3 Hidrolisis
Prosedur yang digunakan untuk hidrolisis asam dari flavonoid glikosida adalah,
sebanyak 2 mg sampel flavonoid glikosida dicampur dengan asam klorida 6%
sebanyak 5 ml dengan jumlah metanol yang sangat sedikit pada sampel untuk
membuat proses hidrolisis menjadi sempurna. Larutan dipanaskan selama 45
menit lalu didinginkan, kemudian ekstrak sepenuhnya dilarutkan dengan eter.
Penguapan dari larutan akan mengendapkan ramnosa dan glukosa. Lapisan eter,
setelah dikeringkan dengan menggunakan natrium sulfat akan didapatkan aglikon
flavonoid setelah diuapkan (Mabry et al, 1970).
2.6.4 Kromatografi
Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia Michael
Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam tanaman
dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang berisi
kalsium karbonat (CaCO3). Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan
yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase).
Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk memisahkan
dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang kompleks, baik komponen
organik maupun komponen anorganik.
Universitas Sumatera Utara
Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada
pengelompokkannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi
dibedakan menjadi: kromatografi adsorbsi, kromatografi partisi, kromatografi
pasangan ion, kromatografi penukar ion, kromatografi eksklusi ukuran.
Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas:
kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis (disebut juga kromatografi planar),
kromatografi cair kinerja tinggi, dan kromatogtrafi gas. Bentuk kromatografi yang
paling awal adalah kromatografi kolom yang digunakan untuk pemisahan sampel
dalam jumlah yang besar.
Pemisahan pada kromatografi planar pada umumnya dihentikan sebelum
semua fase gerak melewati seluruh permukaan fase diam. Solut pada kedua
kromatografi ini dikarakterisasi dengan jarak migrasi solut terhadap jarak ujung
fase geraknya. Nilai faktor retardasi solut (Rf) dapat dihitung dengan
menggunakan perbandingan dalam persamaan:
Rf= Jarak yang ditempuh solut
Jarak yang ditempuh fase gerak
Nilai maksimum Rf adalah 1 dan ini dicapai ketika solut mempunyai
perbandingan distribusi (D) dan faktor retensi sama dengan 0 yang berarti solut
bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf
adalah 0 dan ini teramati jika solut tertahan pada posisi titik awal di permukaan
fase diam.
Proses Sorpsi
Sorpsi merupakan proses pemindahan solut dari fase gerak ke fase diam,
sementara itu proses sebaliknya (pemindahan solut dari fase diam ke fase gerak)
disebut dengan desorpsi. Kedua proses ini (sorpsi dan desorpsi) terjadi secara
terus menerus selama pemisahan kromatografi karenanya sistem kromatografi
berada dalam keadaan kesetimbangan dinamis. Solut akan terdistribusi diantara
dua fase yang bersesuaian dengan perbandingan distribusinya (D) untuk menjaga
Universitas Sumatera Utara
keadaan kesetimbangan ini. Ada 4 jenis mekanisme sorpsi dasar dan umumnya 2
atau lebih mekanisme ini terlibat dalam satu jenis kromatografi. Keempat jenis
tersebut adalah adsorpsi, partisi, pertukaran ion, dan eksklusi ukuran.
Adsorben
Silika gel merupakan jenis adsorben (fase diam) yang penggunaannya paling luas.
Permukaan silika gel terdiri atas gugus Si-O-Si dan gugus silanol (Si-OH). Gugus
silanol bersifat sedikit asam dan polar karenanya gugus ini mampu membentuk
ikatan hidrogen dengan solut-solut yang agak polar sampai sangat polar.
Adanya air dari atmosfer yang diserap oleh permukaan silika gel mampu
mendeaktifkan permukaan silika gel karena air akan menutup sisi aktif silika gel.
Hal seperti ini dapat diatasi dengan memanaskan pada suhu 1050C, meskipun
demikian reprodusibilitasnya sulit dicapai kecuali jika suhu dan kelembapan
benar-benar dijaga secara hati-hati. Semakin polar solut maka akan semakin
tertahan kuat ke dalam adsorben silika gel ini (Gandjar dkk, 2007).
2.6.4.1 Kromatografi Lapis Tipis
Dalam kromatografi lapis tipis (KLT), adsorben diletakkan tepat pada satu sisi
plat atau kaca atau saluran plastik ataupun aluminium. Adsorben yang paling
sering digunakan adalah silika gel dan alumina. Beberapa mikroliter larutan
sampel yang akan dianalisa ditotolkan pada plat sebagai titik kecil yang tunggal
dengan menggunakan pipa mikrokapilaritas. Plat dikembangkan dengan
meletakkannya didalam botol ataupun chamber pengembang yang berisi sejumlah
kecil pelarut. Pelarut akan menaiki plat dengan adanya gaya kapilar, dan
membawa senyawa dari sampel dengan itu. Senyawa yang berbeda dipisahkan
dari dasarnya pada saat interaksi mereka dengan lapisan adsorben.
Plat KLT yang biasa digunakan adalah plat dengan ukuran pori silika 60 Å
dan ketebalan lapisan 25 µm dalam penyangga poliester atau aluminium, beberapa
Universitas Sumatera Utara
dengan menggunakan atau tanpa menggunakan indikator fluorosensi yang sesuai
untuk analisa cepat dari ekstrak kasar tanaman dan digunakan sebagai dasar dari
langkah preparatif. Plat biasa dapat digunting dengan menggunakan gunting atau
kertas cutter untuk mengambil ukuran yang diinginkan. Deteksi noda yang
dihasilkan dapat menggunakan lampu ultraviolet ataupun dengan menyemprot
dengan menggunakan reagen yang sesuai (Cseke et al, 2006).
2.6.4.2 Kromatografi Kolom
Kolom kromatografi atau tabung untuk pengaliran karena gaya tarik bumi
(gravitasi) atau sistem bertekanan rendah biasanya terbuat dari kaca yang
dilengkapi keran jenis tertentu pada bagian bawahnya untuk mengatur aliran
pelarut. Ukuran keseluruhan kolom sungguh beragam, tetapi biasanya panjangnya
sekurang-kurangnya 10 kali garis tengah dalamnya dan mungkin saja sampai 100
kalinya. Ukuran kolom dan banyaknya penjerap yang dipakai ditentukan oleh
bobot campuran sampel yang akan dipisahkan.
Untuk pemisahan normal, bobot sampel biasanya 30:1 ternyata memadai
jika pemisahan tidak terlalu sukar. Ukuran partikel penjerap pada kolom biasanya
lebih besar daripada untuk KLT. Walau pun banyak jenis penjerap telah dipakai
untuk kolom, alumina dan silika gel adalah penjerap yang paling berguna dan
mudah didapat.
Fraksi kolom yang mengandung senyawa yang sama (diperiksa dengan
KLT) atau tampaknya berasal dari satu puncak (memakai pendeteksian
sinambung) digabungkan, dan pelarutnya diuapkan, lebih baik dengan tekanan
rendah. Jika pelarut dan penjerap murni. Maka fraksi-fraksi pun murni (Gritter
dkk, 1991).
Universitas Sumatera Utara
2.6.4.3 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Sebagian besar pemakaian kromatografi lapis tipis preparatif hanya dalam jumlah
miligram. Kromatografi lapis tipis preparatif bersama-sama dengan kromatografi
kolom terbuka, dijumpai sebagian besar dalam isolasi bahan alam. Penjerap yang
paling umum digunakan adalah silika gel dan dipakai untuk pemisahan campuran
senyawa lipofil maupun campuran senyawa hidrofil. Ukuran partikel dan porinya
kurang lebih sama dengan ukuran tingkat KLT.
Kromatografi lapis tipis preparatif dilakukan dengan menggunakan lapisan
tebal (1 mm) sebagai pengganti lapisan penjerap yang tipis (0,10-0,25). Pelat
preparatif yang dibuat oleh paprik dapat dibeli. Cuplikan sebanyak 10-100 mg
dapat dipisahkan pada lapisan silika gel atau aluminium oksida 20 x 20 cm yang
tebalnya 1 mm. Pengembangan plat KLTP biasanya dilakukan dalam bejana kaca
yang dapat menampung beberapa plat.
Kebanyakan penjerap KLTP mengandung indikator fluorosensi yang
membantu mendeteksi kedudukan pita yang terpisah sepanjang senyawa yang
dipisahkan menyerap sinar UV. Pita yang kedudukannya telah diketahui dikerok
dari plat dengan spatula atau pengerok berbentuk tabung. Senyawa harus
diekstraksi dari penjerap dengan pelarut yang paling kurang polar yang mungkin
(sekitar 5 ml pelarut untuk 1 g penjerap). Harus diperhatikan bahwa semakin lama
senyawa berkontak dengan penjerap makin besar kemungkinan penguraian
(Hostettmann dkk, 1995).
2.7 Teknik Spektroskopi
Teknik analisis modern mencakup berbagai teknik analisis instrumen elektronika
yang dikembangkan untuk mengukur parameter fisika dan kimia alami yang khas
dan tetap dari atom atau molekul. Parameter khas yang bermakna untuk analisis
adalah absorpsi dan emisi energi radiasi elektromagnet oleh atom atau molekul.
Universitas Sumatera Utara
Teknik analisis spektroskopi berasaskan antaraksi radiasi elektromagnet
dengan komponen atom atau molekul yang menghasilkan fenomena bermakna
sebagai parameter analisis. Karena pada setiap teknik spektroskopi antaraksi
radiasi elektromagnet dengan komponen atom/ molekul khas dan tidak semuanya
sama, uraian teknik analisis didahului dengan mekanisme antaraksi tersebut, serta
fenomena yang dipakai sebagai parameter analisisnya (Satiadarma dkk, 1995).
2.7.1 Spektroskopi Ultraviolet (UV-Vis)
Senyawa polifenol memiliki dua karakteristik pita penyerapan Ultraviolet dengan
maksimal jarak 240 sampai 285 nm dan 300 sampai 550 nm. Berbagai macam
golongan flavonoid dapat dikenali dari spektrum UV mereka masing-masing,
karakteristik spektra UV dari masing-masing flavonoid yang mengandung jumlah
dari golongan hidroksil aglikon, pola substituen glikosida, dan golongan asil
aromatik bahan alam.
Saat ini penggunaan Spektroskopi UV-Visible paling sering digunakan
dalam aplikasi untuk analisa kuantitatif, dan nilai dari metode ini dapat
mengurangi perbandingan informasi yang banyak dari teknik spektroskopi yang
lainnya seperti NMR dan MS (Andersen, 2006).
Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonyungasi dan karena
itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan Spektrum
tampak seperti yang disajikan pada tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Rentangan Serapan Spektrum UV-Visible golongan Flavonoida
𝛌 Maksimum
utama (nm)
𝛌 Maksimum tambahan (nm)
(dengan intensitas nisbi)
Petunjuk
475-567 ±275 (55%) Atosianin
390-430 240-270 (32%) Auron
365-390 240-260 (30%) Khalkon
350-390
250-270
±300 (40%) Flavonol
330-350
300-350
Tidak ada Flavon dan Biflavonil
275-295
±225
310-330 (30%) Flavanon dan Flavanonol
255-295 310-330 (25%) Isoflavon
(Harborne, 1996)
2.7.2 Spektroskopi Inframerah (FT-IR)
Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi
getaran (vibrasi) yang berlainan. Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen
mengalami getaran (vibrasi) atau osilasi (oscillation) dengan cara serupa dengan
dua bola yang terikat oleh suatu pegas.
Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap
menyebabkan kenaikan dalam amplitudo getaran atom-atom yang terikat itu. Jadi
molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi , energi yang diserap ini akan
dibuang dalam bentuk panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar. Panjang
gelombang eksak dari absorpsi oleh suatu tipe ikatan, bergantung pada macam
getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan (C-H, C-
C, C=O, C=C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi inframerah pada panjang
gelombang yang berlainan. Dengan demikian spektrometri inframerah dapat
digunakan untuk mengidentifikasi adanya gugus fungsi dalam suatu molekul.
Banyaknya energi yang diserap juga beraneka ragam dari ikatan ke ikatan. Ini
Universitas Sumatera Utara
disebabkan sebagian oleh perubahan dalam momen dipol (µ≠0) pada saat energi
diserap. Ikatan nonpolar (seperti C-H atau C-C) menyebabkan absorpsi lemah,
sedangkan ikatan polar (seperti misalnya O-H, N-H, dan C=O) menunjukkan
absorpsi yang lebih kuat.
Suatu ikatan dalam sebuah molekul dapat mengalami berbagai vibrasi
molekul. Secara umum terdapat dua tipe vibrasi molekul:
1. Streching (vibrasi regang/ulur): vibrasi sepanjang ikatan sehingga terjadi
perpanjangan atau pemendekan ikatan.
2. Bending (vibrasi lentur/tekuk): vibrasi yang disebabkan oleh sudut ikatan
sehingga terjadi pembesaran atau pengecilan sudut ikatan.
Oleh karena itu suatu ikatan tertentu dapat menyerap energi lebih dari satu
panjang gelombang. Contohnya, ikatan O-H menyerap energi pada frekuensi 3330
cm-1, energi pada panjang gelombang ini menyebabkan kenaikan vibrasi regang
ikatan O-H itu. Suatu ikatan O-H itu juga menyerap pada kira-kira 1250 cm-1,
energi pada panjang gelombang ini menyebabkan kenaikan vibrasi lentur. Tipe
vibrasi yang berlain-lainan ini disebut cara vibrasi fundamental (Supratman,
2010).
2.7.3 Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
Setelah spektroskopi inframerah, spektroskopi resonansi magnetik inti (NMR)
adalah yang metode yang paling penting digunakan dalam kimia organik. Dalam
spektroskopi inframerah mengandung infromasi mengenai adanya gugus fungsi
pada molekul, sedangkan spektroskopi NMR memberikan informasi mengenai
jumlah dari masing-masing hidrogen.
Kemampuan terhebat resonansi inti magnetik timbul karena tidak semua
proton dalam molekul memiliki resonansi yang identik pada frekuensi yang sama.
Hal ini sesuai dengan fakta bahwa berbagai macam proton dalam molekul
dikelilingi oleh elektron dan memiliki sedikit perbedaan dalam lingkungan
Universitas Sumatera Utara
elektronik dari satu dan yang lainnya. Proton akan terlindungi oleh elektron yang
mengelilingi mereka. Dalam daerah magnetik, peredaran elektron valensi dari
daerah penghasil proton yang bertentangan dengan daerah magnetik yang berlaku.
Pergeseran kimia dalam unit δ ditunjukkan dalam jumlah resonansi proton yang
bergeser dari TMS dalam bagian per juta (ppm) dari frekuensi dasar spektroskopi
δ=pergeseran dalam Hz
frekuensi spektrometer dalam MHz
Unsur dasar dari spektrometer nmr adalah ilustrasi skematis. Sampel
dilarutkan dalam pelarut yang tidak memiliki proton (biasanya CCl4) dan dalam
jumlah yang kecil dari TMS yang ditambahkan sebagai pusat referensi internal.
Semua proton dalam molekul yang identik dalam lingkungan kimia akan
memiliki pergerseran kimia yang sama. Dengan demikian, semua proton dari
TMS atau semua proton dalam benzena, siklopentana, atau aseton memiliki nilai
resonansi yang berdekatan pada nilai δ. Masing-masing komponen akan memiliki
penyerapan yang tunggal dalam spektrum nmr. Proton ini dikatakan sama secara
kimia. Pada kenyataannya, spektrum tidak dapat hanya dibedakan dari berapa
banyak tipe proton yang berbeda pada molekul tersebut, tetapi dapat
memperlihatkan berapa banyak jenis perbedaan yang ada dalam molekul tersebut.
Dalam spektrum nmr, daerah dibawah masing-masing peak adalah proporsional
dengan jumlah dari hidrogen yang ada pada peak tersebut (Pavia, 1979).
Universitas Sumatera Utara