BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pemberdayaan
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pemberdayaan
9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pemberdayaan
2.1.1 Definisi
Gibson mendefinisikan Pemberdayaan sebagai proses sosial, mengenali,
mempromosikan dan meningkatkan kemampuan orang untuk
menemukan kebutuhan mereka sendiri, memecahkan masalah mereka
sendiri dan memobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk
mengendalikan hidup mereka (Graves, 2007). Pemberdayaan Keluarga
adalah intervensi keperawatan yang dirancang dengan tujuan untuk
mengoptimalkan kemampuan keluarga, sehingga anggota keluarga
memiliki kemampuan secara efektif merawat anggota keluarga dan
mempertahankan kehidupan mereka (Hulme P. A., 1999).
Pemberdayaan Keluarga adalah mekanisme yang memungkinkan
terjadinya perubahan kemampuan keluarga sebagai dampak positif dari
intervensi keperawatan yang berpusat pada keluarga dan tindakan
promosi kesehatan serta kesesuaian budaya yang mempengaruhi
tindakan pengobatan dan perkembangan keluarga (Graves, 2007).
Jadi dapat disimpulkan, pemberdayaan keluarga adalah peran perawat
atau tenaga kesehatan dalam melakukan intervensi keperawatan yang
berpusat pada keluarga dan tindakan promosi kesehatan yang bertujuan
dalam meningkatkan dan mengoptimalkan kemampuan keluarga
sehingga keluarga mampu memecahkan masalah sendiri, mampu
merawat anggota keluarga dan mempertahankan kehidupan mereka.
2.1.2 Komponen Pemberdayaan Keluarga
Konsep Pemberdayaan Keluarga memiliki tiga komponen utama.
Pertama, bahwa semua keluarga telah memiliki kekuatan dan mampu
membangun kekuatan itu. Kedua,kesulitan keluarga dalam memenuhi
10
kebutuhan mereka bukan karena ketidakmampuan untuk
melakukannya, melainkan sistem pendukung sosial keluarga tidak
memberikan peluang keluarga untuk mencapainya. Ketiga, dalam upaya
pemberdayaan keluarga, anggota keluarga berupaya menerapkan
keterampilan dan kompetensi dalam rangka terjadinya perubahan dalam
keluarga (Dunst et all., 1994 dalam Graves, 2007).
2.1.3 Cara Meningkatkan Pemberdayaan Keluarga
2.1.3.1. Cara meningkatkan pemberdayaan keluarga
Cara meningkatkan pemberdayaan keluarga dapat dilakukan
dengan Intervensi Pemberdayaan Keluarga menurut Dunst et
al’s 1988 yang diadaptasi oleh Nissim dan Sten (1991), dalam
Ardian (2014).
a. Membangun Kepercayaan dengan membentuk hubungan
dengan keluarga, membangun komunikasi empatik dan
mendengarkan serta menerima seluruh anggota keluarga.
b. Membangun hubungan langsung dengan anggota keluarga
yang menderita sakit (Penderita/klien)
c. Prioritaskan kebutuhan keluarga yang dirasakan oleh
keluarga untuk segera ditangani terlebih dahulu
d. Membantu keluarga menentukan praktek perawatan
keluarga dengan memperhatikan praktek perawatan yang
telah dilakukan keluarga dan kebutuhan akan pendidikan
kesehatan.
e. Menyediakan informasi yang akurat dan lengkap mengenai
kondisi klien atau penderita menyangkut gejala, kontrol,
dan masa depan implikasi kondisi kronis.
f. Membantu keluarga dalam menetapkan tujuan yang
realistik
11
g. Membimbing Keluarga dalam menilai dukungan internal
keluarga dan sumber daya dalam memobilisasi untuk
memenuhi kebutuhan pertolongan yang dirasakan keluarga.
h. Membimbing keluarga dalam menilai kekuatan keluarga
dan memobilisasinya untuk memecahkan masalah
i. Memperkuat kemampuan keluarga untuk mengidentifikasi
beberapa alternatif pilihan keperawatan.
j. Mendiskusikan dengan keluarga mendapatkan pelayanan
dan perawatan dari fasilitas-fasiltas kesehatan yang tersedia
k. Berikan penilaian yang tepat (reinforcemet positif) terhadap
kemampuan dan keterampilan merawat anggota keluarga
yang sakit.
l. Perawat dapat melakukan promosi perawatan diri pada
keluarga melalui pendidikan, negosiasi dan melakukan
evaluasi pemberdayaan keluarga. Tentu keluarga dalam
menetapkan tujuan yang realistik
2.1.3.2. Cara Meningkatkan Partispasi Keluarga
Cara meningkatkan pertisipasi keluarga dalam program
pemberdayaan adalah :
a. Disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan masyarakat
yang nyata
b. Dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang
sudah ada di tengah-tengah masyarakat
c. Memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang
bersangkutan.
d. Dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat.
e. Adanya control yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi
masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau
kurang berperanan dalam pengambilan keputusan (Fajar,
2016).
12
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberdayaan Keluarga
2.1.4.1 Faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan keluarga terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut
oleh keluarga (Notoadmodjo, 2007)
Pengetahuan dan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan ini terjadi melalui panca indera yaitu mata dan
telinga (Noor. A, 2008)
Pengetahuan atau kongnitif merupakan domain yang sangat
penting bagi terbentuknyatindakan seseorang. Apabila
penerimaan perilaku baru disadari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang akan positif maka perilaku tersebut
akan bersifat langgeng (long lasting) sebaliknya bila tidak
disadari dengan pengetahuan dan kesadaran tidak
berlangsung lama (Soekidjo Notodmodjo, 2007).
Pemberdayaan keluarga dapat berupa peran sosial internal,
seperti dukungan dari suami, istri atau peran dari saudara
kandung. Peran sosial keluarga membuat keluarga mampu
berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Pengetahuan
yang tercantum dalam domain kongnitif mempunyai 6 tingkat
yaitu sebagai berikut :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya yang dimaksud tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang merendah. Kata
kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan,
dan sebagainya. Misalnya kelurga dapat menyebutkan
cara untuk menangani dan merawat keluarganya yang
menderita Isolasi Sosial.
13
b. Memahami (comprohension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui
dan dapat menginterpensikan materi tersebut secara
benar. Misalnya keluarga dapat mendengarkan dengan
baik tentang penyuluhan kesehatan yang diberikan
perawat kepada keluarga pasien.
c. Applikasi (application)
Diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi yang tepat. Aplikasi disini
dapat diartikan sebagai gangguan hukum-hukum rumus
metode, prinsip dan sebagainy dalam konteks atau situasi
yang lain.
d. Analisis (analysis)
Adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau
objek kedalam suatu komponen-komponen tetapi masih
dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada
kaitannya dengan orang lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukn kepada suatu kemmpun untuk
menyusun formulasi bru dri formulasi-formulasi yang
ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan,
meringkas penyesuikan dan sebagainya terhadap suatu
teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi tau penelitian terhadap objek.
Penilaian ini berdasarkan sutu kriteria yang ditentukan
sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada.
14
2.1.4.2 Faktor pemungkin (Enabling factor)
Faktor-faktor ini mencakup sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehtan bagi masyarakat. Termasuk fasilitas
kesehatan yaitu : Puskesmas, Rumah Sakit, Rumah Sakit
Jiwa. Wujud adanya pemberdayaan keluarga pada klien
isolasi sosial bukan hanya karena sadar dan pentingnya
kesehatan jiwa tetapi juga karena adanya kemudahan dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa (Notoadmodjo,
2007).
2.1.4.3 Faktor penguat (reinforcing factor)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku petugas
kesehatan dalam melakukan asuhan keperawatan. Misalnya
petugas kesehatan membantu pasien dan keluarga
menyesuaikan diri dari lingkungan keluarga, dalam hal
sosialisasi, perawatan mandiri, dan kemampuan memecahkan
masalah (Notoadmodjo, 2007).
2.1.5 Cara Mengukur Pemberdayaan Keluarga
Koren, DeChillo, dan Friesen (1992) telah mengembangkan skala
penilaian yang mengukur pemberdayaan keluarga dalam konteksnya
layanan kesehatan mental untuk keluarga yang memiliki anak dengan
SED. Koren et al. mengembangkan skala penilaian mereka, Skala
Pemberdayaan Keluarga (Family Empowerment Scale - FES), dalam
konseptual dua dimensi kerangka kerja yang menentukan tiga tingkat
pemberdayaan (keluarga, sistem layanan,dan komunitas / politik) dan
tiga cara bagaimana pemberdayaan dinyatakan (Sikap, pengetahuan,
dan perilaku).
15
Dari dua dimensi yang di kemukakan koren et al (1992), Singh et al
(1995) mengembangngkan dua dimensi pemberdayaan menjadi empat
factor :
2.1.5.1. Faktor 1 (System Advocacy)
Item ini mewakili pemikiran, keyakinan, dan perilaku keluarga
dengan memperhatikan interaksi mereka dengan sistem
pelayanan kesehatan mental.
2.1.5.2. Faktor 2 (Knowledge)
Item ini mencerminkan pemahaman dan keterampilan keluarga
tentang bagaimana cara kerja dalam sistem pengiriman layanan
kesehatan mental untuk mendapatkan layanan yang
dibutuhkan.
2.1.5.3. Faktor 3 (Competence)
Item ini mewakili persepsi keluarga, kemampuan dan
kompetensi mereka sebagai keluarga.
2.1.5.4. Faktor 4 (Self-Efficacy)
Item ini mewakili persepsi keluarga tentang kemampuan
mereka dalam memanfaatkan sistem kesehatan mental itu akan
mempengaruhi mereka atau klien secara pribadi.
2.2 Konsep Peran Keluarga
2.2.1 Definisi peran
Peran adalah sesuatu yang diharapkan secara normatif dari seseorang
dalam situasi sosial tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan.
Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh
seseorang dalam konteks keluarga. Peran merujuk kepada beberapa set
perilaku yang kurang lebih bersifat homogen, yang didefinisikan dan
diharapkan secara normatif dari seseorang peran dalam situasi sosial
tertentu (Mubarak, dkk. 2009)
16
2.2.2 Teori Peran Keluarga
2.2.2.1 Pengertian Peran
peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku
interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan individu dalam
posisi dan situasi tertentu. Peran individu dalam keluarga di
dasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok,
dan masyarakat (hernilawati, 2013).
Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan
oleh seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peran keluarga
menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat,
kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan
situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh
harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan
masyarakat (Setiadi, 2008). Menurut Setiadi (2008) setiap
anggota keluarga mempunyai peran masing-masing. Peran
ayah yang sebagai pemimpin keluarga yang mempunyai peran
sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung atau pengayom,
pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan juga
sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu. Peran
ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik
anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai anggota
masyarakat kelompok sosial tertentu. Sedangkan peran anak
sebagai pelau psikososial sesuai dengan perkembangan fisik,
mental, sosial dan spiritual.
a. Menurut Mubarak, dkk (2009) terdapat dua peran yang
mempengaruhi keluarga yaitu peran formal dan peran
informal.
1). Peran Formal
Peran formal keluarga adalah peran-peran keluarga
terkait sejumlah perilaku yang kurang lebih bersifat
homogen. Keluarga membagi peran secara merata
17
kepada para anggotanya seperti cara masyarakat
membagi peran-perannya menurut pentingnya
pelaksanaan peran bagi berfungsinya suatu sistem. Peran
dasar yang membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah
dan istri-ibu antara lain sebagai provider atau penyedia,
pengatur rumah tangga perawat anak baik sehat maupun
sakit, sosialisasi anak, rekreasi, memelihara hubungan
keluarga paternal dan maternal, peran terapeutik
(memenuhi kebutuhan afektif dari pasangan), dan peran
sosial.
2). Peran Informal kelurga
Peran-peran informal bersifat implisit, biasanya tidak
tampak, hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
emosional individu atau untuk menjaga keseimbangan
dalam keluarga. Peran adaptif antara lain :
a) Pendorong memiliki arti bahwa dalam keluarga
terjadi kegiatan mendorong, memuji, dan menerima
kontribusi dari orang lain. Sehingga ia dapat
merangkul orang lain dan membuat mereka merasa
bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk
di dengarkan.
b) Pengharmonisan yaitu berperan menengahi
perbedaan yang terdapat diantara para anggota,
penghibur, dan menyatukan kembali perbedaan
pendapat.
c) Inisiator-kontributor yang mengemukakan dan
mengajukan ide-ide baru atau cara-cara mengingat
masalah-masalah atau tujuan-tujuan kelompok.
18
d) Pendamai berarti jika terjadi konflik dalam keluarga
maka konflik dapat diselesaikan dengan jalan
musyawarah atau damai.
e) Pencari nafkah yaitu peran yang dijalankan oleh
orang tua dalam memenuhi kebutuhan, baik material
maupun non material anggota keluarganya.
f) Perawaatan keluarga adalah peran yang dijalankan
terkait merawat anggota keluarga jika ada yang
sakit.
g) Penghubung keluarga adalah penghubung, biasanya
ibu mengirim dan memonitori komunikasi dalam
keluarga.
h) Poinir keluarga adalah membawa keluarga pindah
ke satu wilayah asing mendapat pengalaman baru.
i) Sahabat, penghibur, dan koordinator yang berarti
mengorganisasi dan merencanakan kegiatan-
kegiatan keluarga yang berfungsi mengangkat
keakraban dan memerangi kepedihan.
j) Pengikut dan sanksi, kecuali dalam beberapa hal,
sanksi lebih pasif. Sanksi hanya mengamati dan
tidak melibatkan dirinya.
b. Menurut Friedman, 1998, dalam kurniawan 2011.Peran
keluarga adalah sebagai berikut :
1) Motivator
Keluarga sebagai penggerak tingkah laku atau dukungan
ke arah suatu tujuan dengan didasari adanya suatu
kebutuhan anggota keluarga yang sakit sangat
membutuhkan dukungan dari keluarga.
2) Edukator
Dalam hal ini dapat diartikan sebagai upaya keluarga
dalam memberikan pendidikan kepada anggota keluarga
19
yang sakit. Untuk itu agar keluarga dapat menjadi
sumber yang efektif maka pengetahuan keluarga tentang
kesehatan khususnya bagaimana peran keluarga dalam
pelaksanaan diet DM.
3) Fasilitator
Sarana yang dibutuhkan keluarga yang sakit dalam
memenuhi kebutuhan untuk mencapai keberhasilan
pelaksanaan program tersebut. Oleh karena itu,
diharapkan keluarga selalu menyiapkan diri untuk
membawa anggota keluarga yang sakit untuk
memfasilitasi penyakit yang dihadapi penderita dengan
memberikan nutrisi yang disenangi penderita tetapi
sesuai dengan diet penderita. Keluarga mempunyai
sarana peran utama dalam pemeliharaan kesehatan
seluruh anggota keluarga dan bukan individu sendiri
mengusahakan tercapainya tingkat kesehatan yang
diinginkan
2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Peran Keluarga
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi peran keluarga sebagai
berikut :
2.2.3.1 Kelas sosial
Fungsi kehidupan dalam hubungan dengan peran keluarga sudah
tentu dipengaruhi oleh tuntutan dan kepentingan yang ada pada
keluarga.
2.2.3.2 Bentuk-bentuk keluarga
Tipe atau bentuk dalam keluarga sangatlah besar pengaruhnya
terhadap struktur peran keluarga karena dengan banyak anggota
keluarga atau sebaliknya, dapat menggambarkan hubungan
dengan pengaturan peran yang unik dan stres yang timbul dari
peran.
20
2.2.3.3 Latar belakang keluarga
Norma dan nilai sangatlah mempengaruhi bagaimana peran
dilaksanakan dalam sebuah keluarga tertentu, pengetahuan
tentang inti dari nilai kebiasaan dan tradisi sangat penting untuk
menginterpretasikan apakah peran keluarga dalam sebuah
keluarga cocok atau tidak.
2.2.3.4 Tahap siklus kehidupan keluarga
Dalam suatu keluarga secara substansial cara yang digunakan
oleh keluarga dalam melaksanakan bebeda-beda dari satu tahap
siklus kehidupan keluarga ke tahap yang lain.
2.2.3.5 Model-model peran
Kita dapat menemukan kehidupan awal keluarga ketika
seseorang individu mempelajari perannya dari teman atau rekan
serta pengalaman awal itu (Friedman, 1998 dalam kurniawan
2011).
2.2.4 Peran Keluarga dalam Merawat Klien Skizofrenia
Peran keluarga diharapkan dalam perawatan klien gangguan jiwa adalah
dalam pemberian obat, pengawasan minum obat dan meminimalkan
ekspressi keluarga. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau
perawatan yang diperlukan klien, keberhasilan perawat di rumah sakit
akan sia-sia jika kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali
di rumah sakit (Keliat, 2002, dalam augustiany, 2009).
2.3 Skizofrenia
2.3.1 Pengertian
Menurut faisal (2008), penyakit Skiozofrenia atau Schizophrenia
artinya kepribadian yang terpecah ; antara pikiran, perasaan, dan
perilaku. Dalam artian apa yang dilakukan tiodak sesuai dengan pikiran
dan perasaannya. Secara spesifik skizofrenia adalah orang yang
mengalami gangguan emosi, pikiran, dan perilaku.
21
Skizofrenia adalah suatu bentuk psikoosa fungsional dengan gangguan
utama pada proses fikir serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara
proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi
kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi : asosiasi terbagi-
bagi sehingga timbul inkoherensi (Direja, 2011).
Jadi dapat disimpulkan, skizofrenia adalah gangguan pada proses fikir,
asosiasi terbabagi sehingga timbul inkoherensi sehingga Apa yang
dilakukan tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dirasakannya.
2.3.2 Penyebab
Luana (2007) menjelaskan penyebab dari skizofrenia dalam model
diatesi-stres, bahwa Skizofrenia timbul akibat faktor psikososial dan
lingkungan. Di bawah ini pengelompokan penyebab skizofrenia, yakni:
a. Faktor Biologi
1) Komplikasi Kelahiran
Bayi laki-laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan
sering mengalami skizofrenia, hipoksia perinatal akan
meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.
2) Infeksi
Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi
virus pernah dilaporkan pada orang dengan skizofrenia.
Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada
trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang
menjadi skizofrenia.
3) Hipotesis Dopamin
Dopamin merupakan neurotransmiter pertama berkontibusi
terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik
baik tipikal maupun antipikal menyekat reseptor dopamin
D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem
dopaminergik maka gejala psikotik diredakan. Berdasarkan
22
pengamatan diatas dikemukakan bahwa gejala-gejala
skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem
dopaminergik.
4) Hipotesis Serotonin
Gaddum, Wooley, dan Show tahun 1954 mengobservasi efek
lysergic acid diethylamide (LSD) yaitu suatu zat yang
bersifat campuran agonis/antagonis reseptor 5-HT. Ternyata
zat ini menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang
normal. Kemungkinan serotonin berperan pada skizofrenia
kembali mengemuka karena penelitian obat antipsikotik
atipikal clozapine yang ternyata mempunyai afinitas terhadap
reseptor serotonin 5-HT lebih tinggi dibandingkan
reseptordopamin D2.
5) Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah
sistem limbik dan ganglia basalis. Otak pada penderita
skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal,
ventrikel terlihat melebar, penurunan aktifitas metabolik.
Pemeriksaan mikroskopis dan jaringan otak ditemukan
sedikit perubahan dalam distribusi sel otak yang timbul pada
masa prenatal karena tidak ditemukannya sel gila, biasa
timbul pada trauma otak setelah lahir.
b. Faktor Genetika
Prabowo (2014) sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia
diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat
yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang tua,
kakak laki-laki atapun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat
yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi,
kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan
populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang
menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak
23
dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40% satu orang
tua 12%.
Sebagai ringkasan hingga sekarang kita belum mengetahui dasar
penyebab Skizofrenia. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan
mempunyai pengaruh atau faktor yang mempercepat yang
menjadikan manifestasi atau faktor pencetus seperti penyakit
badaniah atau stres psikologis.
2.3.3 Tipe dan Klasifikasi Skizofrenia
Tipe dan klasifikasi skizofrenia menurut Prabowo (2014) antara
lain:
a. Skizofrenia Simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas, gejala utama
pada jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran
kemauan, gangguan proses berpikir sukar ditemukan, waham
dan halusinasi jarang sekali terdapat.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Permulannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul
pada masa remaja atau antara 12-25 tahun gejala yang
menyolok ialah gangguan proses berpikir, gangguan kemauan
dan adanya depersonalisasi atau double personality. Ganguan
psikomotor seperti mannerism atau perilaku kekanak-kanakan
sering terdapat pada hebefrenik, waham dan halusinasi banyak
sekali.
c. Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya
akut serta sering di dahului oleh stres emosional, mungkin
terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik
d. Stupor Katatonik
Pada stupor katatonik penderita tidak menunjukkan perhatian
sama sekali terhadap lingkungannya.
24
Emosinya sangat dangkal, gejala yang paling penting ialah
gejala psikomotor seperti:
1) Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
2) Muka tanpa mimik seperti topeng
3) Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu
yang lama, beberapa hari, bahkan kadang-kadang sampai
beberapa bulan.
4) Bila diganti posisinya, penderita menentang-negativisme
5) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga meleleh
dan keluar, air seni dan feces ditahan
6) Terdapat grimas dan katalepsi
e. Gaduh-gelisah Katatonik
Terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan
emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan
dari luar. Penderita terus berbicara atau bergerak saja,
menunjukkan stereotopi, menerisme, grimas, dan neologisme,
tidak dapat tidur, tidak makan dan minum sehingga mungkin
terjadi dehidrasi atau kolabs dan kadang-kadang kematian.
f. Jenis Paranoid
Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain
dalam jalanya penyakit, hebefrenik dan katatonik sering lama-
kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau
gejala-gejala hebefrenik dan katatonik percampuran tidak
demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya
agak konstan.
Gejala-gejala yang paling menyolok adalah:
Waham primer, disertai dengan pemeriksaan yang ternyata
adanya ganguan proses berfikir, ganguan efek, emosi dan
kemauan. Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30
tahun, permulannya mungkin sub akut, tetapi mungkin juga
akut, kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat
25
digolongkan skizoid. Mereka mudah tersinggung, suka
menyendiri agak congkak, dan kurang percaya diri pada orang
lain.
Episode skizofrenia akut, gejala skizofrenia timbul mendadak
sekali dan pasien seperti dalam keadaan mimpi. Kesadarannya
mungkin berkabut, dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-
akan mempunyai suatu arti yang khusus baginya (aneiroid).
Prognosanya baik, dalam waktu beberapa minggu atau
biasanya kurang dari 6 bulan penderita sesudah baik.
Skizofrenia residual ialah keadaan skizofrenia dengan gejala-
gejala primernya bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala
sekunder, keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan
skizofrenia.
g. Jenis Skizo-afektif (Skizofrenia Skizo Afektif)
Disamping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara
bersamaan juga gejala-gejala depresi (skizo-depresi) atau
gejala-gejala (skizo-manik). Jenis ini cenderung untuk menjadi
sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan.
2.3.4 Gejala
Menurut Prabowo (2014) gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu:
2.3.4.1. Gejala Primer
a. Ganguan proses pikiran (bentuk, langkah dan isi
pikiran)
Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada
proses pikiran yang terganggu terutama ialah asosiasi,
kadang-kadang satu idea belum selesai diutarakan,
sudah timbul idea lain. Seseorang dengan skizofrenia
juga mempunyai kecenderungan untuk menyamankan
hal-hal, kadang-kadang pikiran seakan-akan berhenti,
26
tidak timbul idea lagi. Keadaan ini dinamakan
“Blocking” biasanya berlangsung beberapa detik saja,
tetapi kadang-kadang sampai beberapa hari.
b. Ganguan efek dan emosi
Gangguan ini pada skizofrenia berupa:
1) Kedangkalan efek dan emosi (emotional blunting).
2) Parahimi: apa yang seharusnya menimbulkan ras
senang dan gembira, pada penderita timbul rasa
sedih atau marah.
3) Paramimi: penderita merasa senang dan gembira,
akan tetapi menangis. Kadang-kadang emosi dan
efek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan,
misalnya sesudah membunuh anaknya penderita
menangis berhari-hari tetapi mulutnya tertawa.
4) Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti
dibuat-buat seperti sedang bermain sandiwara.
Yang penting juga pada skizofrenia adalah
hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan
emosi yang baik (emotional rapport). Karena
terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang
berlawanan mungkin terdapat bersama-sama,
umpamanya mencintai dan membenci satu orang
yang sama atau menangis dan tertawa tentang satu
hal yang sama ini dinamakan ambivalensi pada efek.
c. Ganguan kemauan
Banyak penderita dengan skizfrenia mempunyai
kelemahan kemauan mereka tidak dapat mengambil
keputusan, tidak dapat bertindak mengambil keputusan,
tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan. Mereka
selalu memberikan alasan, meskipun alasan itu tidak
27
jelas atau tepat atau mereka menganggap hal itu biasa
saja dan tidak perlu diterangkan.
d. Ganguan psikomotorik
Gejala ini juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau
gangguan perbuatan kelompok gejala ini oleh Prabowo
(2014) dimasukkan kedalam kelompok gejala
skizofrenia yang sekunder sebab didapati juga pada
penyakit lain.
2.3.4.2. Gejala Sekunder
a. Waham
Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali
dan sangat bizar Mayer-gross membagi waham dalam 2
kelompok:
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali,
tanpa penyebab apa-apa dari luar. Waham sekunder
biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan
merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan
gejala-gejala skizofrenia lain.
b. Halusinasi
Pada skizofrenia, halusianasi timbul tanpa penurunan
kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang
hampir tidak dijumpai pada keadaan lain. Paling sering
pada skizofrenia adalah halusinasi pendengaran (aditif
atau akustik). Kadang-kadang terdapat halusinasi
penciuman (olfaktoris), halusinasi cita rasa (gustatorik)
atau halusinasi singungan (taktik). Halusinasi
penglihatan agak jarang pada skizofrenia, lebih sering
pada psikosa akut yang berhubungan dengan sindroma
otak organik.
28
2.3.5 Cara perawatan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga dan lingkungan
dalam merawat penderita gangguan jiwa dirumah :
2.3.5.1 Memberikan kegiatan/ kesibukan dengan membuatkan
jadwal sehari-hari.
2.3.5.2 Berikan tugas yang sesuai kemampuan penderita dan secara
bertahap tingkatkan sesuai perkembangan.
2.3.5.3 Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri dalam
melakukan kegiatan, misalnya; makan bersama, bekerja
bersama, rekreasi bersama, dll.
2.3.5.4 Minta keluarga atau teman menyapa ketika bertemu dengan
penderita, dan jangan mendiamkan penderita, atau jangan
membiarkan penderita berbicara sendiri.
2.3.5.6 Mengajak/ mengikutsertakan penderita dalam
kegiatan bermasyarakat, misalnya pengajian, kerja bakti
dsb.
2.3.5.7 Berikan pujian yang realistis terhadap keberhasilan
penderita, atau dukungan untuk keberhasilan sosial
penderita.
2.3.5.8 Hindarkan berbisik-bisik di depan penderita/ ada penderita
dalam suatu ruangan yang sama/ disaksikan oleh
penderita.
2.3.5.9 Mengontrol dan mengingatkan dengan cara yang baik dan
empati untuk selalu minum obat dengan prinsip benar
nama obat, benar nama pasien, benar dosis, benar waktu,
benar cara pemberian.
2.3.5.10 Mengenali adanya tanda - tanda ke kambuhan seperti; sulit
tidur, mimpi buruk, bicara sendiri, senyum sendiri, marah-
marah, sulit makan, menyendiri, murung, bicara kacau,
marah-marah, dll.
29
2.3.5.11 Kontrol suasana lingkungan yang dapat memancing
terjadinya marah. Segera kontrol jika terjadi perubahan
perilaku yang menyimpang, atau obat habis (anonim,
2010).
2.3.6 Pengobatan
Menurut Luana (2007) pengobatan skizofrenia terdiri dari dua
macam, yaitu:
2.3.6.1 Psikofarmaka
Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu antipsikotik
generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi ke dua
(APG II). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di
mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan
tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan
gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan
efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal,
penimgkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan
disfungsi seksual atau peningkatan berat badan dan
memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu
APG I menimbiulkan efek samping antikolinergik seperti
mulut kering pandangan kabur gangguan miksi, defekasi
dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi
tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan
10 mg diantaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine,
haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk
mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis,
menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi
rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah
Chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada
penderita dengan gajala dominan gaduh gelisah, hiperaktif
30
dan sulit tidur. APG II sering disebut dengan serotonin
dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal.
Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke
empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan
rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif
mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk
golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan
rispendon.
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
a. Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu
b. Onset efek sekunder (efek samping): 2-6 minggu
c. Waktu paruh: 12-24 jam (pemberiaqn 1-2 x/hr)
d. Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil,
malam besar) sehingga tidak mengganggu kualitas
hidup penderita
e. Obat antipsikosis long acting: fluphenazine decanoate
25 mg/cc atau haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM
untuk 2-4 miggu. Berguna untuk klien yang tidak atau
sulit minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan
Cara atau lama pemberian mulai dengan dosis awal sesuai
dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai
mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi
setiap 2 minggu bila perlu dinaikkan sampai dosis optimal
kemudian dipertahankan 8-12 minggu (stabilisasi).
Diturunkan setiap 2 minggu (dosis maintenance) lalu
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug
holiday 1-2/hari/minggu) setelah itu tapering off (dosis
diturunkan 2-4 minggu) lalu stop. Untuk klien dengan
serangan sindrom psikosis multiepisode, terapi
31
pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan
derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali).
2.3.6.2 Terapi Psikososial
Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain:
a. Psikoterapi individual
1) Terapi suportif
2) Sosial skill training
3) Terapi okupasi
4) Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
b. Psikoterapi kelompok
c. Psikoterapi keluarga.
Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan
mengubah pola interaksi keluarga sehingga bisa membenahi
masalah-masalah dalam keluarga. Sebuah cara baru untuk
mengetahui permasalahan seseorang, memahami perilaku,
perkembangan simtom, dan cara pemecahannya.
d. Cara Melakukan Terapi Keluarga
Dalam konseling ada beberapa proses yang harus dijalankan
sebagai pelaksanaan dari sebuah konseling. Ada empat
langkah dalam proses konseling, proses tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Mengikutsertakan Keluarga Mencakup seluruh
keluarga dalam sederetan interaksi yang berkelanjutan
dengan konselor-konselor yang multidisipliner.
Konselor memberikan konseling secara penuh selama
pertemuan tersebut pada satu keluarga dan pada waktu
itu mereka (keluarga) menceritakan problem mereka
masing-masing dan membantu sesama dalam
pemecahan persoalan.
32
2) Menilai masalah konselor berperan sebagai asessor atau
penilai masalah-masalah yang diceritakan oleh keluarga
tersebut lalu menjelaskan inti permasalahan.
3) Strategi-strategi khusus fungsi utama dari konselor
adalah direktif, mengarahkan, membimbing atau model
dari perilaku yang diinginkan. Konselor memberikan
teknik-teknik yang didasarkan pada penghapusan
respon yang telah dipelajari (perilaku) terhadap
stimulus, sehingga respon-respon yang baru dapat
terbentuk.
2.3.6.3. Strategi Komunikasi Perawat
Menurut Linda Carman (2007) perawat perlu memiliki
strategi komunikasi dalam menghadapi klien dengan
skizofrenia, antara lain:
a. Jangan menghakimi, membantah, atau menggunakan
logika untuk menunjukkan kekeliruan.
b. Bersikap netral ketika klien menolak kontrak.
c. Pada awalnya, gunakan metode nonverbal, seperti kontak
mata, senyum, atau menggunakan ekspresi positif. Setelah
hubungan terbina, perawat diperbolehkan menyentuh klien
dengan syarat klien siap menerima kehadiran perawat.
d. Bicara singkat, dngan kalimat sederhana selam interaksi
yang singkat dan sering.
e. Beri pertanyaan terbuka ketika memandu klien melalui
suatu pengalaman. Beri pertanyaan langsung jika
menginginkan informasi.
f. Catat dan beri komentar kepada klien tentang perubahan
yang halus akan ekspresi perasaan.
33
g. Berfokus pada apa yang sedang terjadi disini saat ini, dan
bicarakan tentang aktivitas yang didasarkan pada
kenyataan.
h. Minta klarifikasi jika klien berbicara secara umum tentang
“mereka”.
i. Jika perlu, sampaikan penerimaan terhadap klien
meskipun beberapa pikiran dan persepsi klien tidak
dipahami oleh orang lain.
2.4 Keterkaitan Konsep
2.4.1. Keterkaitan pemberdayaan keluarga dan peran keluarga merawat klien
skizofrenia
Dalam proses perawatan klien dengan skizofrenia selain tenaga
kesehatan, peran aktif keluarga tentu sangat diperlukan, karena
keluarga adalah orang yang terdekat dan paling sering berinteraksi
dengan klien.
Adapun kurangnya pemberdayaan keluarga, dapat menimbulkan
kurangnya pengetahuan dan kemampuan keluarga tentang pentingnya
peran keluarga dalam merawat klien sehingga peran keluarga kurang
berfungsi dengan baik dan akhirnya keluarga kurang optimal dalam
mengaplikasikan peran keluarga dalam proses perawatan anggota
keluarga dengan skizofrenia.
Penelitian Hulme (1999) dalam muhtar 2013 yang membuktikan
bahwa pemberdayaan merupakan intervensi keperawatan interaktif
yang dirancang untuk membantu keluarga mengoptimalkan sumber
daya keluarga, sehingga meningkatkan kemampuan anggota keluarga
untuk merawat dan mempertahankan kehidupan keluarganya secara
efektif.
34
Oleh karena itu pemberdayaan keluarga tentu sangat penting
dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga
tentang pentingnya peran keluarga agar fungsi peran keluarga
berfungsi dengan optimal, sehingga keluarga akan menjadi lebih
berdaya dan menjalankan perannya dengan baik dalam menghadapi
dan merawat anggota keluarganya dengan skizofrenia.
Jadi dapat disimpulkan, suatu keluarga dapat dikatakan berdaya jika
keluarga itu tahu dan paham tentang pentingnya peran keluarga dalam
merawat anggota keluarga yang sakit serta mampu mengaplikasikan
peran keluarga dengan baik dalam proses perawatan klien.
2.5 Kerangka Konsep
Variabel Independen (bebas) Variabel Dependen (terikat)
2.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan pemberdayaan
keluarga dengan peran keluarga dalam merawat klien dengan skizofrenia
Di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Provinsi Kalimantan Selatan Tahun
2018.
Pemberdayaan
Keluarga
Peran Keluarga dalam
Merawat klien dengan
Skizofrenia