Bab 2 rev 3 db
-
Upload
debby-astasya-annisa -
Category
Documents
-
view
258 -
download
5
description
Transcript of Bab 2 rev 3 db
BAB II
EFEKTIVITAS ILEAL POUCH ANAL ANASTOMOSIS
PADA PENDERITA CARCINOMA COLON
DITINJAU DARI KEDOKTERAN
2.1 Anatomi dan Fisiologi Colon
2.1.1 Anatomi
Sistem pencernaan di dalam tubuh manusia di mulai dari makanan dan minuman
masuk melalui rongga mulut dilanjutkan ke bagian pharynx, lalu menuju
esophagus yang merupakan saluran pencernaan yang berfungsi menyalurkan
makanan dari mulut ke lambung.
Lambung merupakan segmen saluran pencernaan yang fungsi utamanya adalah
menampung makanan yang telah dimakan. Setelah makanan dihaluskan dalam
lambung, dilanjutkan ke dalam usus halus yang terdiri atas 3 segmen; duodenum,
jejunum, dan ileum. Setelah dihaluskan dan melewati usus halus, selanjutnya
masuk ke dalam colon atau intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum,
appendix vermiformis, colon, rektum dan kanalis analis.
Caecum adalah bagian pertama intestinum crassum dan beralih menjadi colon
ascendens. Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak
pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinal.
Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing yang
berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal.
6
Colon ascendens panjangnya kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum
sampai ke permukaan visceral dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri
pada flexura coli dextra menjadi colon transversum.
Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling
dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk
omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm. Colon descendens panjangnya
kurang lebih 25 cm.
Colon descendens melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa iliaca
sinistra dan disini beralih menjadi colon sigmoideum.
Colon sigmoideum disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm
dan berbentuk lengkungan huruf S. Rectum adalah bagian akhir intestinum
crassum yang terfiksasi. Ke arah kaudal rectum beralih menjadi canalis analis.
(Moore, 2002 dan Widjaja, 2009)
Sistem Arteri
Pendarahan colon ascendens dan flexura coli dextra terjadi melalui arteri
ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteri mesenterica superior. Pendarahan
colon transversum terutama terjadi melalui arteria colica media, cabang arteria
mesenterica superior, tetapi memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra
dan arteri colica sinistra.
Sistem Vena
Vena ileocolica dan vena colica dextra, anak cabang mesenterika superior,
mengalirkan balik darah dari colon ascendens. Penyaluran balik darah dari colon
transversum terjadi melalui vena mesenterica superior. (Moore, 2002)
7
2.1.2 Fisiologi Colon
Fungsi utama colon adalah absorbsi air dan elektrolit untuk membentuk feses
yang padat dan penimbunan bahan feses sampai bisa dikeluarkan. Sebagian besar
penyerapan dalam colon terjadi pada pertengahan proksimal, sehingga bagian ini
dinamakan colon pengabsorpsi, sedangkan pada bagian distal berfungsi sebagai
tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk pengeluaran disebut
kolon penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat
secara normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan
sejumlah kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi
tambahan untuk tubuh.
Kelenjar mensekresi sejumlah besar lendir alkali yang melumasi isi usus dan
menetralkan asam yang dibentuk oleh bakteri dalam usus. Bakteri ini membantu
dalam dekomposisi makanan yang tidak tercerna, karbohidrat yang tidak terserap,
asam amino, puing-puing sel, dan bakteri mati melalui proses segmentasi dan
pembusukan. Asam lemak rantai pendek yang dibentuk oleh bakteri dari
karbohidrat kompleks menyediakan sumber energi bagi sel-sel usus besar bagian
kiri. Pemeliharaan keseimbangan kalium juga dilakukan oleh usus, dimana epitel
menyerap dan mengeluarkan kalium dan bikarbonat. (Guyton, 2008)
2.2 Carcinoma Colon
2.2.1 Definisi Carcinoma Colon
Carcinoma menurut The American Cancer Society (ACS) adalah sel-sel abnormal
yang membelah secara tidak terkontrol dan menginvasi jaringan normal
8
disekitarnya. Ketika sel kanker mampu masuk ke dalam pembuluh darah atau
pembuluh limfe, sel tersebut dapat menuju bagian tubuh lainnya dan dapat
berproliferasi serta mendesak sel-sel atau jaringan normal di tempat baru tersebut.
Kanker yang telah menyebar dengan cara ini disebut metastatik kanker (ACS,
2011). Kanker kolorektal adalah pertumbuhan abnormal sel yang terjadi pada
kolon dan atau rektum (Arjoso et al., 2008). Kanker kolorektal tumbuh secara
perlahan dan memerlukan waktu antara 15-20 tahun untuk berkembang. Penyakit
ini mulai timbul sejak dewasa muda sampai usia lanjut, namun sering pula
dijumpai pada usia sekitar 30-40 tahun dan 60-70 tahun. (Sjamsuhidajat & de
Jong, 2011)
2.2.2 Klasifikasi dan Stadium Carcinoma Colon
Klasifikasi karsinoma kolorektal menurut WHO, adalah sebagai berikut
1) Adenokarsinoma sebagian besar (98%) kanker di usus besar hampir selalu
timbul di polip adenomatosa yang secara umum dapat disembuhkan dengan
reseksi (Robbins, 2012).
2) Adenosquamous karsinoma yaitu suatu karsinoma yang terdiri dari komponen
glandular dan squamous. (Hamilton & Aaltonen, 2000).
3) Mucinous adenokarsinoma Istilah “mucinosa” berarti bahwa sesuatu yang
memiliki banyak lendir. Diklasifikasikan mucinous adenokarsinoma jika
lebih dari 50% lesi terdiri dari musin (Hamilton & Aaltonen, 2000).
4) Signet ring cell carcinoma
5) Squamous cell carcinoma
9
6) Undifferentiated carcinoma merupakan jenis yang paling ganas memiliki
berbagai gambaran histopatologis sehingga tidak dikenali lagi asal selnya
(Hamilton & Aaltonen, 2000).
7) Medullary carcinoma
Stadium Carcinoma Colon
Sistim Astler-Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian direvisi
tahun 1978, berdasarkan atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan kelenjar getah
bening, dan adanya metastasis jauh yaitu:
1) Stadium A: hanya terbatas pada lapisan mukosa
2) Stadium B: sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk
dalam lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang
berdekatan (B3)
3) Stadium C: bila sudah ada keterlibatan kelenjar (Cl sampai C3)
4) Stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau hematogen.
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)
Pada tahun 1987 American Joint Committee On Cancer dan International Union
Against Cancer memperkenalkan sistim klasifikasi TNM yaitu:
1) ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 sampai dengan T4
2) adanya keterlibatan kelenjar (N) dibagi atas: N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4
kelenjar, N3 bila terdapat kelenjar sepanjang pembuluh darah,
3) adanya metastasis jauh (M1).
10
Adapun sistim TNM dapat dijabarkan sebagai berikut,
Tumor Primer (T)
Tx : Tumor primer tak dapat ditentukan
T0 : Tidak ditemukan tumor primer
Tis : Carcinoma in situ: invasi intraepithelial ke lamina propria
T1 : Tumor menyebuk submucosa
T2 : Tumor menyebuk muscularis propria
T3 : Tumor menembus muskularis propria ke subserosa atau perikolika atau
jaringan perirektal
T4 : Tumor menginfiltrasi organ atau struktur atau ke peritoneum viseral
Kelenjar Limfe Regional (N)
Nx : KGB Regional tidak dapat ditentukan
N0 : Tak terdapat keterlibatan KGB regional
N1 : Metastasis ke 1-3 KGB regional
N2 : Metastasis ke 4 atau lebih KGB regional
Metastasis jauh (M)
Mx : Tidak dapat ditentukan adanya metastasis jauh
M0 : Tidak ditemukan metastasis jauh
M1 : Ditemukan metastasis jauh
11
Definisi Stadium
Stadium 0 : Tis, N0, M0
Stadium I : T1, N0, M0
T2, N0, M0
Stadium II : T3, N0, M0
T4, N0, M0
Stadium III : Semua T, N1, M0
Sernua T, N2, M0
Stadium IV : Semua T, Semua N, M1 (Sjamsuhidayat et al, 2006)
2.2.3 Etiologi Carcinoma Colon
Menurut Arjoso et al., (2008); ACS, (2011); dan Randi et al., (2010) penyebab
carcinoma colon belum diketahui secara pasti. Namun memiliki beberapa hal yang
mempengaruhi berupa faktor internal dan eksternal.
Faktor Internal
Faktor internal dapat berupa mutasi yang diturunkan/herediter secara genetik
seperti Familial Adenomatous Polyposis (FAP) serta Hereditary Non-polyposis
Colorectal Cancer (HNPCC), hormon, kondisi kekebalan tubuh, dan mutasi yang
terjadi selama proses metabolisme yang tidak terkait dengan sindrom kanker
herediter dan didefinisikan sebagai kanker kolorektal sporadis (sporadic
colorectal cancer). Faktor resiko lainnya adalah adanya riwayat anggota keluarga
yang menderita penyakit polip, colon/colorectal carsinoma, radang usus besar
kronik (kolitis ulseratif), dan akromegali.
12
Latar belakang etnis atau ras juga dapat meningkatkan faktor resiko terkena
penyakit ini. Beberapa ras atau etnis seperti orang Amerika keturunan Afrika dan
keturunan Bangsa Yahudi di Eropa Timur (Ashkenazi Jews) memiliki faktor
resiko yang lebih tinggi. Usia juga menjadi faktor penting karena kemungkinan
seseorang menderita kanker kolorektal meningkat setelah usia 50 tahun, dan 9 dari
10 orang dengan kanker kolorektal berusia lebih dari 50 tahun.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dapat berkontribusi antara lain adalah gaya hidup tidak
sehat, adanya paparan organisme patogen seperti bakteri dan virus, bahan kimia,
dan radiasi. Faktor resiko yang terkait dengan gaya hidup (life style) seperti
kebiasaan menelan makanan yang tidak dikunyah secara sempurna, tingginya
frekuensi konsumsi daging merah (100 gr/hari), makanan tinggi lemak, konsumsi
makanan yang diolah dengan pewarna sintetik dan pengawet, alkohol,
penggunaan hormon sebagai terapi, serta rendahnya asupan kalsium dan folat,
konsumsi sayuran dan buah yang mengandung antioksidan dan serat (Arjoso et
al., 2008; Beck et al., 2009).
Zat besi sebagai pengoksidasi (prooksidan), N-nitroso, heterosiklik amin, dan
Polyciclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) sebagai hasil metabolisme daging
merah juga dapat menjadi pencetus terjadinya kanker (karsinogen).
Kebiasaan merokok dan meminum alkohol, penderita diabetes tipe 2, kurangnya
olahraga, kelebihan berat badan (obesitas), dan kolesistektomi menjadi faktor
resiko yang dapat meyebabkan kanker. (Beck et al., 2009; The American Cancer
Society, 2011)
13
2.2.4 Epidemiologi Carcinoma Colon
Secara epidemiologidi Indonesia, penyakit ini menempati urutan kedua setelah
kanker paru-paru pada laki-laki dan kanker payudara pada perempuan. Pada
kedua gender, kanker ini menempati urutan ketiga setelah kanker payudara dan
paru-paru (IARC, 2008). Begitu juga laporan dari Rumah Sakit Dharmais Pusat
Kanker Nasional, Kanker kolon merupakan jenis kanker ketiga terbanyak di
Indonesia, dengan jumlah kasus 1,8/100.000 penduduk. (Depkes, 2006) Jumlah
ini diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan perubahan pola hidup
penduduk Indonesia. Insidensi puncaknya pada usia 60 dan 70 tahun. Laki-laki
terkena sekitar 20% lebih sering daripada perempuan. (Robbins, 2012).
Di Amerika, karsinoma kolorektal adalah penyebab kematian kedua terbanyak
dari seluruh pasien kanker dengan angka kematian mendekati 60.000 (Sudoyo,
2006). Umumnya rata-rata pasien karsinoma kolorektal adalah berusia 67 tahun
dan lebih dari 50% kematian terjadi pada mereka yang berumur di atas 55 tahun.
Menurut World Health Organization (WHO), kematian akibat kanker di dunia
terus meningkat dan mencapai jumlah 11 juta pada tahun 2030. (WHO, 2008)
2.2.5 Faktor Resiko Carcinoma Colon
Walaupun penyebab kanker usus besar masih belum diketahui, namun telah
dikenali beberapa faktor predisposisi. Beberapa faktor resiko tersebut adalah:
1. Inflammatory Bowel Disease (Ulseratif Kolitis, Penyakit Crohn’s)
2. Polip colon
3. Riwayat keluarga
14
4. Diabetes Tipe 2, Individu dengan diabetes tipe 2 memiliki risiko yang tinggi
dalam perkembangan karsinoma kolorektal dan menunjukkan beberapa faktor
resiko yang sama seperti kelebihan berat badan (Siegel & Jemal, 2013).
5. Pola makan (kebiasaan makan), kekurangan serat dan sayur-mayur hijau serta
kelebihan lemak hewani dalam diet merupakan faktor resiko karsinoma
kolorektal.
6. Kurang Aktivitas Fisik
7. Obesitas
8. Merokok penelitian terbaru menunjukkan perokok jangka lama (periode
induksi 30-40 tahun) mempunyai risiko relatif 1,5-3 kali
9. Konsumsi Alkohol.(Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)
2.2.6 Patogenesis Carcinoma Colon
Peningkatan laju mutasi tiap sel dapat meningkatkan probabilitas kanker.
Orang yang mengalami obesitas memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker
dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal. Hal ini kemungkinan
karena jumlah dan laju pembelahan sel meningkat oleh adanya faktor
pertumbuhan (growth factors) yang distimulasi secara berlebihan (Markowitz &
Bertagnolli, 2009; Sung & Bae, 2010; Wang & DuBois, 2012).
Pada jaringan dewasa yang normal, sel-selnya dapat berproliferasi secara terus-
menerus dan jumlahnya tetap karena jumlah sel yang mati sama dengan sel yang
dibentuk yang merupakan mekanisme homeostasis tubuh.
15
Mutasi gen P53 terjadi pada saat transisi dari adenoma menjadi kanker.
Sebagian besar mutasi terjadi di daerah yang highly conserved dari akson 5
sampai 8 dan mayoritas adalah mutasi misens (GC menjadi AT). Frekuensi mutasi
p53 lebih tinggi pada bagian distal dibanding dengan bagian proksimal pada
kanker kolon dan rektal (Pignatelli, Banu & Melegh, 2008). Pasien kanker dengan
mutasi p53 memiliki profil penyakit yang parah dan waktu kelangsungan hidup
yang lebih pendek dari pasien tanpa mutasi p53.
Secara makroskopis, terdapat tiga tipe karsinoma colon dan rektum.
1) Tipe polipoid atau vegetatif tumbuh menonjol ke dalam lumen usus,
berbentuk bunga kol dan ditemukan terutama di sekum dan colon asendens.
2) Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga stenosis dan gejala
obstruksi, terutama ditemukan di colon desendens, sigmoid dan rektum.
3) Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum.
Pada tahap lanjut, sebagian besar carsinoma colon mengalami ulserasi
menjadi tukak ganas atau maligna. (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)
Secara mikroskopis, semua karsinoma kolon serupa. Hampir semua adalah
adenokarsinoma yang berkisar dari berdiferensiasi baik hingga tidak
berdifferensiasi dan jelas anaplastik. Banyak tumor menghasilkan musin, yang
disekresikan ke dalam lumen kelenjar atau ke dalam intestisium dinding usus.
Sekresi ini menyebabkan dinding usus merekah (diseksi), kanker mudah meluas
dan memperburuk prognosis. Kanker di daerah anus umumnya berasal dari sel
skuamosa. (Robbins, 2012)
16
2.2.7 Gambaran klinis Carcinoma Colon
2.2.7.1 Gambaran Klinis
Gambaran klinis karsinoma kolon kiri berbeda dengan kanan. Tanda dan gejala
dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien
dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.
Umumnya, gejala pertama timbul karena penyulit, yaitu gangguan faal usus,
obstruksi, perdarahan, atau akibat penyebaran. (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)
1) Kanker kolon sisi kiri (sigmoid)
a. Gejala dini berupa obstruksi (sisi kiri memiliki lumen yang lebih sempit),
b. Tumor tersebut menimbulkan konstriksi seperti “cincin, serbet/napkin ring”
atau “bagian tengah apel/apple core” (pertumbuhan anular yang melingkar)
c. Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola
defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya
ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar
mengakibatkan obstruksi
d. Mengeluh adanya perubahan pada kebiasaan buang air besar. (Kendall &
Tao, 2013)
2) Kanker kolon sisi kanan
a. Tumor yang menyerupai kembang kol/cauliflower (penampakan polipoid
atau fungating),
b. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan
symptomatik anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat
17
badan). Feses dalam kolon sebelah kanan masih berupa cairan, oleh
karenanya gejala obstruksi jarang dijumpai.
3) Kanker kolon pada kedua sisi
a. Perubahan pada feses (melena, hematokezia, tinja yang diameternya kecil
seperti pensil),
b. Rasa tidak nyaman pada perut, dan
c. Gejala konstitusional seperti penurunan berat badan, keringat pada malam
hari dan demam. (Kendall & Tao, 2013)
2.2.7.2 Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan
kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan
penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah.
Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air
besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak
mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi
nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi
pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis.
Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat
menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
18
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat
disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari
kanker kolon. (Schwartz, 2005)
2.2.8 Pemeriksaan Fisik dan Carcinoma Colon
2.2.8.1 Pemerikasaan Fisik
Berikut ini beberapa gejala yang dapat disebabkan oleh kanker usus besar.
Kondisi lain dapat menyebabkan gejala yang sama. Seorang dokter harus
berkonsultasi jika ada masalah berikut terjadi,
1) Perubahan pola defekasi seperti diare, konstipasi
2) BAB ( Buang Air Besar ) yang tidak tuntas
3) Perdarahan pada feses
4) Kram atau nyeri perut
5) Lemah dan lemas
6) Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. (Sofiati, 2009)
Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul dengan
pemeriksaan rektosigmoidoskopi. (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)
2.2.8.2 Pemerikasaan Penunjang
Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif untuk
diagnosis karsinoma kolorektal, yaitu endoskopi, CT Scan, MRI, barium enema,
dan CEA (Carcinoembrionik Antigen).
19
1) Biopsi
Konfirmasi adanya keganasan dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.
Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya
biopsi maka sikat sitologi akan sangat berguna (Casciato, 2004)
Jenis histopatologi pada kanker kolorektal terdiri dari adenokarsinoma,
adenokarsinoma mucinous, radang non spesifik, signet sel karsinoma dan
lain-lain.
2) Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi
untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi
dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa
digunakan sebagai pendeteksi kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA
serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter.
Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium
lanjut dari penyakit, dan kehadiran metastase ke organ dalam. Namun nilai
CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan
setelah pembedahan. Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes
CEA, namun tes ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini.
Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah
tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA.
20
Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari
metatase karena sel tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya
nilai CEA. (Casciato, 2004)
3) Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior,
serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah.
Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana
sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel
neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin
dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat
dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik
untuk mendiagnosa kanker kolon yang tidak dapat diabaikan. (Schwartz,
2005)
4) Barium Enema dengan kontras
Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium
enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi.
Resiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu
sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras
21
larut air harus digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis
merupakan komplikasi sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai
infeksi dan peritoneal fibrosis. (Schwartz, 2005)
5) Kolonoskopi
Tindakan ini untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum.
Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan
polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan
kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67% (Depkes, 2006).
Kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol
perdarahan dan dilatasi dari striktur. Ini merupakan prosedur yang sangat
aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan
perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. (Schwartz, 2005)
6) CT scan
CT scan dapat mengevaluasi rongga abdominal dari pasien kanker kolon pre
operatif. CT scan mendeteksi metastasis ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium,
kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. Sangat berguna untuk mendeteksi
rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan
kanker kolon.
Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting
pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan stadium
dari lesi sebelum tindakan operatif. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi
22
invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi
pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.
Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat
mengidentifikasi metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal. (Casciato,
2004)
7) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering
digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan
CT scan. Sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI
dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar. (Schwartz,
2005)
2.2.9 Penatalaksanaan Carcinoma Colon
2.2.9.1 Penatalaksanaan Bedah
Pembedahan adalah pengobatan yang paling umum untuk semua tahap kanker
usus besar. Salah satu jenis operasi sebagai berikut
1. Eksisi lokal, jika kanker ditemukan pada stadium yang sangat awal, dokter
mungkin membuangnya tanpa memotong melalui dinding perut. Sebaliknya,
dokter dapat menempatkan sebuah tabung melalui rektum ke dalam usus
besar dan memotong bagian abnormalnya. Ini disebut eksisi lokal. Jika
kanker ditemukan dalam polip, operasi ini disebut polypectomy.
2. Reseksi, pada kanker yang lebih besar, dokter akan melakukan kolektomi
parsial (membuang kanker dan sejumlah kecil jaringan sehat di sekitarnya).
23
Dokter kemudian dapat melakukan anastomosis (menjahit bagian-bagian
yang sehat dari usus besar bersama-sama). Dokter juga akan biasanya
mengangkat kelenjar getah bening di dekat usus besar dan memeriksanya di
bawah mikroskop untuk melihat apakah jaringantersebut mengandung
kanker.
3. Reseksi dan kolostomi, jika tidak memungkinkan untuk menyambung
kembali 2 ujung usus besar, sebuah stoma atau lobang dibuat pada bagian
dinding abdomen sebagai saluran pembuangannya. Prosedur ini disebut
kolostomi. Sebuah kantong yang ditempatkan di sekitar stoma untuk
mengumpulkan kotoran atau tinja penderita. Kadang-kadang kolostomi
dibutuhkan hanya sampai usus sigmoid dan anusnya pulih dan kemudian
dapat dikembalikan fungsinya seperti semula. Jika dokter harus membuang
seluruh usus sigmoidnya, kolostomi ini bisa bersifat permanen bagi penderita.
Total proctocolectomy dengan kantong ileum-anal anastomosis atau Ileal
Pouch Anal Anastomosis (IPAA) telah menjadi prosedur bedah pilihan untuk
ulcerative colitis kronis dan familial polyposis adenomatous (FAP) sebagai
tindak awal pencegahan agar tidak berkembang lebih buruk menjadi
carcinoma colon. Teknik ini semakin meningkat penggunaannya dan menjadi
teknik operasi yang umumnya dilakukan. (Uyeda, 2013)
Pembedahan dengan teknik IPAA ini kebanyakan dilakukan pada penderita
ulserative colitis, namun operasi ini juga memberikan prognosis baik pada
penderita FAP dan carcinoma colon. Terdapat empat pilihan terapi, yaitu
proktokolektomi dan ileostomi, total kolektomi dan ileorektal anastomosis,
24
total proktokolektomi dan ileoanal anastomosis, atau proktokolektomi dengan
kantong ileoanal. (Kastomo, 2010)
4. Radiofrequency ablation, menggunakan teknik penyelidikan khusus dengan
elektroda kecil yang membunuh sel-sel kanker. Kadang-kadang elektroda
dimasukkan langsung melalui kulit dan hanya memerlukan anestesi lokal.
Dalam kasus lain, tindakan ini melalui sayatan di perut. Hal ini dilakukan di
rumah sakit dengan anestesi umum.
5. Cryosurgery, sebuah pengobatan yang menggunakan alat dan teknik untuk
membekukan dan menghancurkan jaringan abnormal, seperti karsinoma in
situ. Jenis pengobatan ini disebut cryotherapy.
Jika dokter mengangkat semua kanker yang terlihat pada saat operasi,
selanjutnya pasien dapat dilakukan kemoterapi atau terapi radiasi setelah
operasi untuk membunuh sel-sel kanker yang tersisa. Terapi ini diberikan
setelah operasi untuk meningkatkan prognosis baik pada penderita, disebut
terapi adjuvan. (Mayfield, 2015)
2.2.9.2 Penatalaksanaan Non Bedah
1. Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan karsinoma dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel karsinoma. Terdapat 2 cara pemberian
terapi radiasi, yaitu dengan radiasi eksternal dan radiasi internal. Radiasi
eksternal (external beam radiation therapy) merupakan penanganan dimana
radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel karsinoma.
25
2. Adjuvan Kemoterapi
Dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah banyak kemajuan yang dicapai pada
kemoterapi terhadap karsinoma kolorektal. Beberapa dekade ini hanya
menggunakan 5-fluorouracil (5-FU) disusul oleh kehadiran asam
folinat/leukovorin (folinic acid/FA/LV) sebagai kombinasi. (Sjamsuhidajat,
2004).
3. Targeted Therapy
Merupakan jenis pengobatan yang menggunakan obat-obatan atau bahan lain
untuk mengidentifikasi dan menyerang sel-sel kanker tertentu tanpa merusak
sel normal. Terapi antibodi monoklonal adalah jenis terapi yang ditargetkan
sedang dipelajari dalam pengobatan kanker rektum.
Terapi antibodi monoklonal menggunakan antibodi yang dibuat di
laboratorium dari satu jenis sel sistem kekebalan tubuh. Antibodi ini dapat
mengidentifikasi zat pada sel kanker atau zat normal yang dapat membantu
sel-sel kanker untuk tumbuh. Antibodi melekat pada zat dan membunuh sel-
sel kanker, menghambat pertumbuhan mereka, dan mencegah terjadinya
metastasis. Antibodi monoklonal diberikan melalui infus dan dapat digunakan
secara tunggal atau kombinasi dengan memasukkan obat-obatan, racun, atau
bahan radioaktif langsung ke sel-sel kanker. (Mayfield, 2015)
2.2.10 Pencegahan Carcinoma Colon
Deteksi dini (skrining) dan diagnosis pada pengelolaan kanker kolorektal
memiliki peranan penting di dalam memperoleh hasil yang optimal yaitu
26
meningkatnya survival dan menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas para
penderita kanker kolorektal. Deteksi dini adalah investigasi pada individu
asimtomatik yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini
sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.
Indikasi pada deteksi dini penyakit carcinoma colon ini secara umum dilakukan
pada dua kelompok yaitu populasi umum dan kelompok dengan risiko tinggi
terkena carcinoma colon.
Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia di atas 40
tahun.
Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko
tinggi menderita kanker kolorektal yaitu;
1) Penderita yang telah menderita kolitis ulseratif atau Crohn selama > 10 tahun,
2) Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal,
3) Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita kanker kolorektal
memiliki risiko menderita kanker kolorektal 5 kali lebih tinggi daripada
individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat penyakit tersebut.
Terdapat dua kelompok pada individu dengan keluarga penderita kanker
kolorektal, yaitu
a. Individu yang memiliki riwayat keluarga dengan hereditery non-
polyposiscolorectal cancer (HNPCC),
b. Individu yang telah didiagnosis secara klinis menderita familial
adenomatous polyposis (FAP). (Sjamsuhidayat et al, 2006)
27
Selain deteksi dini tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan yang digunakan sebagai
pencegahan carcinoma colon seperti,
1. Endoskopi
Sigmoidoskopi atau endoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip
dan menurunkan insiden kasus carsinoma.
2. Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang
mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai
efek proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National
Research Council telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982,
a. menurunkan lemak total dari 40% ke 30% dari total kalori,
b. meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat,
c. membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan,
d. membatasi makanan yang mengandung bahan pengawet,
e. mengurangi konsumsi alkohol (Schwartz, 2005)
3. Non Steroid Anti Inflammation Drug (NSAID)
Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID
sulindac dosis 150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan
diameter dari polip bila dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo.
Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat tiga bulan
setelah perlakuan dihentikan. (Casciato, 2004)
28
2.2.11 Prognosis
Prognosis dari karsinoma kolorektal tergantung dari stadium saat diagnosis
karsinoma kolorektal ditegakkan. Berikut merupakan pembagian prognosis dari
karsinoma kolorektal berdasarkan klasifikasi dari Duke’s
Kategori A, dalamnya infiltrasi terbatas di dinding usus dan prognosis hidup
setelah 5 tahun sebesar 97%.
Kategori B, dalamnya infiltrasi menembus lapisan muskularis mukosa dan
prognosis hidup setelah 5 tahun sebesar 80%.
Kategori C1, apabila sudah terdapat metastasis ke beberapa kelenjar limfe dekat
tumor primer dengan prognosis hidup setelah 5 tahun sebesar 65%
kategori C2, sudah menunjukkan metastasis dalam kelenjar limfe jauh dengan
prognosis hidup setelah 5 tahunnya sebesar 35%.
Kategori D, sudah terdapat metastasis jauh pada sel kankernya dan prognosis
hidup setelah 5 tahun sebesar kurang dari 5%. (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)
2.3 Ileal Pouch Anal Anastomosis (IPAA)
2.3.1 Definisi IPAA
Prosedur IPAA dikembangkan pada 1980-an yang menghilangkan kebutuhan
pemakaian stoma permanen. Pada operasi IPAA, usus besar pasien dibuang, dan
usus kecil yang akan terhubung ke anus. Beberapa inci terakhir dari usus kecil
digunakan untuk membuat kantong internal yang menggantikan dari fungsi
rektum. Anastomosis itu merupakan koneksi pembedahan dibuat antara struktur
tubular dalam tubuh, seperti usus.
29
Mempertahankan keadaan anus dan menciptakan tempat penyimpanan baru,
pasien dapat mempertahankan kontrol atas kebiasaan buang air besar dan bisa
terus membuang kotoran melalui anus. Ini mengembalikan kontinuitas dan kontrol
tinja bagi pasien yang usus besarnya telah diangkat. Hal ini disebut sebagai
kantong ileum karena terbuat dari sebagian usus kecil, atau ileum.
2.3.2 Prosedur Pembedahan IPAA
IPAA umumnya dilakukan dalam dua langkah dan membutuhkan ileostomi
sementara (stoma) untuk waktu antara dua operasi yang terpisah.
Untuk kedua langkah dari IPAA, pasien diberikan anestesi umum, ditempatkan
dalam posisi litotomi yang dimodifikasi. Posisi terlentang dan berubah selama
prosedur untuk memfasilitasi retraksi usus kecil dari bidang operasi. Lokasi yang
akan dilakukan ileostomi sebelumnya sudah diberi tanda. Diseksi jaringan lunak,
mesenterium kolorektal, persiapan serosal, dan pembagian vaskular dilakukan
dengan menggunakan pisau bedah harmonic scalpel (HS) dengan perangkat
(Ultracision shears harmonic scalpel LCS, Ethicon Endosurgery SA, Issy-les-
Moulineaux, France). Sebuah sayatan sebesar 5cm dilakukan pada fosa iliaka
kanan (pada lokasi yang tepat pada lubang trocar).Selama operasi pertama, kedua
usus besar dan rektum dibuang, dan kantong/pouch dibuat dengan melipat
kembali segmen akhir dari usus kecil. Kantong bisa berbentuk J, W, atau S, dan
berfungsi sebagai tempat untuk penampungan feses. Setelah usus besar dibuang,
dan arteri ileokolika diikat (ligasi). Kemudian, menyatukan kembali sigmoid (di
30
bagian atas persimpangan rektosigmoid) dan ileum (di bagian persimpangan
ileocaecum).
Setelah kantong dibuat, pasien akan melanjutkan operasinya selama kurang lebih
dua bulan, butuh waktu untuk proses penyembuhan pada usus dan kantong yang
baru dibentuk.
Pada operasi kedua, ileostomi dibalik sehingga tertutup. Kantong sekarang akan
bertindak sebagai tempat penyimpanan feses. Kontrol kesadaran dari otot-otot di
anus dipertahankan, sehingga sangat memungkinkan pasien untuk membuang
kotoran secara normal. Setelah prosedur IPAA selesai, pasien biasanya akan
buang air 4 sampai 6 perhari. Frekuensi ini lebih sering dari individu dengan
rektum dan usus besar yang sehat. Hal ini dapat dikelola dengan baik dan
umumnya tidak mengganggu kegiatan sehari-hari pasien. (Kuhnen, 2014)
Berbagai bentuk dari kantong telah digunakan termasuk bentuk S, W, dan J
konfigurasi, namun kantong J adalah jenis yang paling umum untuk kemudahan
konstruksi dan hasil yang lebih memuaskan.
Dalam kasus kanker kolorektal atau kasus yang dicurigai keganasan, IPAA
laparoskopi dilakukan dengan reseksi karsinogenik dari usus besar dan rektum
(dengan eksisi total mesorektal). Dua bulan setelah operasi terakhir, sebelum
penutupan ileostomi, dipastikan tidak adanya stenosis dan kebocoran pada hasil
anastomosis yang diperiksa oleh kontras enema. Pada penutupan stoma juga
digunakan anestesi umum. (Levefre, 2009)
Total proctocolectomy dengan ileum pouch anal anastomosis (IPAA) standar
prosedur bedah pilihan untuk Ulcerative Colitis Kronis dan FAP. Komplikasi
31
yang minimal dan pengawasan kontinensia tinja serta pemeliharaan sfingter anal,
menghilangkan kebutuhan penggunaan stoma permanen, dan meningkatkan
kualitas hidup pada pasien.
2.3.3 Komplikasi IPAA
Komplikasi setelah IPAA dapat dibedakan menjadi awal (dalam waktu 30 hari
dari operasi) dan akhir (setelah penutupan kantong). Komplikasi awal termasuk
sepsis pada panggul, kebocoran pada anastomosis, dan pembentukan abses, SBO,
trombosis vena portal, dan perdarahan usus kecil. Komplikasi akhir termasuk
pouchitis, pembentukan fistula, pembentukan striktur, displasia, dan keganasan.
(Uyeda et al, 2013)
32