Bab 2 rev 3 db

41
BAB II EFEKTIVITAS ILEAL POUCH ANAL ANASTOMOSIS PADA PENDERITA CARCINOMA COLON DITINJAU DARI KEDOKTERAN 2.1 Anatomi dan Fisiologi Colon 2.1.1 Anatomi Sistem pencernaan di dalam tubuh manusia di mulai dari makanan dan minuman masuk melalui rongga mulut dilanjutkan ke bagian pharynx, lalu menuju esophagus yang merupakan saluran pencernaan yang berfungsi menyalurkan makanan dari mulut ke lambung. Lambung merupakan segmen saluran pencernaan yang fungsi utamanya adalah menampung makanan yang telah dimakan. Setelah makanan dihaluskan dalam lambung, dilanjutkan ke dalam usus halus yang terdiri atas 3 segmen; duodenum, jejunum, dan ileum. Setelah dihaluskan dan melewati usus halus, selanjutnya masuk ke dalam colon atau intestinum crassum (usus besar) 6

description

ob

Transcript of Bab 2 rev 3 db

Page 1: Bab 2 rev 3 db

BAB II

EFEKTIVITAS ILEAL POUCH ANAL ANASTOMOSIS

PADA PENDERITA CARCINOMA COLON

DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Colon

2.1.1 Anatomi

Sistem pencernaan di dalam tubuh manusia di mulai dari makanan dan minuman

masuk melalui rongga mulut dilanjutkan ke bagian pharynx, lalu menuju

esophagus yang merupakan saluran pencernaan yang berfungsi menyalurkan

makanan dari mulut ke lambung.

Lambung merupakan segmen saluran pencernaan yang fungsi utamanya adalah

menampung makanan yang telah dimakan. Setelah makanan dihaluskan dalam

lambung, dilanjutkan ke dalam usus halus yang terdiri atas 3 segmen; duodenum,

jejunum, dan ileum. Setelah dihaluskan dan melewati usus halus, selanjutnya

masuk ke dalam colon atau intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum,

appendix vermiformis, colon, rektum dan kanalis analis.

Caecum adalah bagian pertama intestinum crassum dan beralih menjadi colon

ascendens. Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak

pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinal.

Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing yang

berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal.

6

Page 2: Bab 2 rev 3 db

Colon ascendens panjangnya kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum

sampai ke permukaan visceral dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri

pada flexura coli dextra menjadi colon transversum.

Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling

dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk

omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm. Colon descendens panjangnya

kurang lebih 25 cm.

Colon descendens melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa iliaca

sinistra dan disini beralih menjadi colon sigmoideum.

Colon sigmoideum disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm

dan berbentuk lengkungan huruf S. Rectum adalah bagian akhir intestinum

crassum yang terfiksasi. Ke arah kaudal rectum beralih menjadi canalis analis.

(Moore, 2002 dan Widjaja, 2009)

Sistem Arteri

Pendarahan colon ascendens dan flexura coli dextra terjadi melalui arteri

ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteri mesenterica superior. Pendarahan

colon transversum terutama terjadi melalui arteria colica media, cabang arteria

mesenterica superior, tetapi memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra

dan arteri colica sinistra.

Sistem Vena

Vena ileocolica dan vena colica dextra, anak cabang mesenterika superior,

mengalirkan balik darah dari colon ascendens. Penyaluran balik darah dari colon

transversum terjadi melalui vena mesenterica superior. (Moore, 2002)

7

Page 3: Bab 2 rev 3 db

2.1.2 Fisiologi Colon

Fungsi utama colon adalah absorbsi air dan elektrolit untuk membentuk feses

yang padat dan penimbunan bahan feses sampai bisa dikeluarkan. Sebagian besar

penyerapan dalam colon terjadi pada pertengahan proksimal, sehingga bagian ini

dinamakan colon pengabsorpsi, sedangkan pada bagian distal berfungsi sebagai

tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk pengeluaran disebut

kolon penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat

secara normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan

sejumlah kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi

tambahan untuk tubuh.

Kelenjar mensekresi sejumlah besar lendir alkali yang melumasi isi usus dan

menetralkan asam yang dibentuk oleh bakteri dalam usus. Bakteri ini membantu

dalam dekomposisi makanan yang tidak tercerna, karbohidrat yang tidak terserap,

asam amino, puing-puing sel, dan bakteri mati melalui proses segmentasi dan

pembusukan. Asam lemak rantai pendek yang dibentuk oleh bakteri dari

karbohidrat kompleks menyediakan sumber energi bagi sel-sel usus besar bagian

kiri. Pemeliharaan keseimbangan kalium juga dilakukan oleh usus, dimana epitel

menyerap dan mengeluarkan kalium dan bikarbonat. (Guyton, 2008)

2.2 Carcinoma Colon

2.2.1 Definisi Carcinoma Colon

Carcinoma menurut The American Cancer Society (ACS) adalah sel-sel abnormal

yang membelah secara tidak terkontrol dan menginvasi jaringan normal

8

Page 4: Bab 2 rev 3 db

disekitarnya. Ketika sel kanker mampu masuk ke dalam pembuluh darah atau

pembuluh limfe, sel tersebut dapat menuju bagian tubuh lainnya dan dapat

berproliferasi serta mendesak sel-sel atau jaringan normal di tempat baru tersebut.

Kanker yang telah menyebar dengan cara ini disebut metastatik kanker (ACS,

2011). Kanker kolorektal adalah pertumbuhan abnormal sel yang terjadi pada

kolon dan atau rektum (Arjoso et al., 2008). Kanker kolorektal tumbuh secara

perlahan dan memerlukan waktu antara 15-20 tahun untuk berkembang. Penyakit

ini mulai timbul sejak dewasa muda sampai usia lanjut, namun sering pula

dijumpai pada usia sekitar 30-40 tahun dan 60-70 tahun. (Sjamsuhidajat & de

Jong, 2011)

2.2.2 Klasifikasi dan Stadium Carcinoma Colon

Klasifikasi karsinoma kolorektal menurut WHO, adalah sebagai berikut

1) Adenokarsinoma sebagian besar (98%) kanker di usus besar hampir selalu

timbul di polip adenomatosa yang secara umum dapat disembuhkan dengan

reseksi (Robbins, 2012).

2) Adenosquamous karsinoma yaitu suatu karsinoma yang terdiri dari komponen

glandular dan squamous. (Hamilton & Aaltonen, 2000).

3) Mucinous adenokarsinoma Istilah “mucinosa” berarti bahwa sesuatu yang

memiliki banyak lendir. Diklasifikasikan mucinous adenokarsinoma jika

lebih dari 50% lesi terdiri dari musin (Hamilton & Aaltonen, 2000).

4) Signet ring cell carcinoma

5) Squamous cell carcinoma

9

Page 5: Bab 2 rev 3 db

6) Undifferentiated carcinoma merupakan jenis yang paling ganas memiliki

berbagai gambaran histopatologis sehingga tidak dikenali lagi asal selnya

(Hamilton & Aaltonen, 2000).

7) Medullary carcinoma

Stadium Carcinoma Colon

Sistim Astler-Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian direvisi

tahun 1978, berdasarkan atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan kelenjar getah

bening, dan adanya metastasis jauh yaitu:

1) Stadium A: hanya terbatas pada lapisan mukosa

2) Stadium B: sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk

dalam lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang

berdekatan (B3)

3) Stadium C: bila sudah ada keterlibatan kelenjar (Cl sampai C3)

4) Stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau hematogen.

(Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)

Pada tahun 1987 American Joint Committee On Cancer dan International Union

Against Cancer memperkenalkan sistim klasifikasi TNM yaitu:

1) ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 sampai dengan T4

2) adanya keterlibatan kelenjar (N) dibagi atas: N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4

kelenjar, N3 bila terdapat kelenjar sepanjang pembuluh darah,

3) adanya metastasis jauh (M1).

10

Page 6: Bab 2 rev 3 db

Adapun sistim TNM dapat dijabarkan sebagai berikut,

Tumor Primer (T)

Tx : Tumor primer tak dapat ditentukan

T0 : Tidak ditemukan tumor primer

Tis : Carcinoma in situ: invasi intraepithelial ke lamina propria

T1 : Tumor menyebuk submucosa

T2 : Tumor menyebuk muscularis propria

T3 : Tumor menembus muskularis propria ke subserosa atau perikolika atau

jaringan perirektal

T4 : Tumor menginfiltrasi organ atau struktur atau ke peritoneum viseral

Kelenjar Limfe Regional (N)

Nx : KGB Regional tidak dapat ditentukan

N0 : Tak terdapat keterlibatan KGB regional

N1 : Metastasis ke 1-3 KGB regional

N2 : Metastasis ke 4 atau lebih KGB regional

Metastasis jauh (M)

Mx : Tidak dapat ditentukan adanya metastasis jauh

M0 : Tidak ditemukan metastasis jauh

M1 : Ditemukan metastasis jauh

11

Page 7: Bab 2 rev 3 db

Definisi Stadium

Stadium 0 : Tis, N0, M0

Stadium I : T1, N0, M0

T2, N0, M0

Stadium II : T3, N0, M0

T4, N0, M0

Stadium III : Semua T, N1, M0

Sernua T, N2, M0

Stadium IV : Semua T, Semua N, M1 (Sjamsuhidayat et al, 2006)

2.2.3 Etiologi Carcinoma Colon

Menurut Arjoso et al., (2008); ACS, (2011); dan Randi et al., (2010) penyebab

carcinoma colon belum diketahui secara pasti. Namun memiliki beberapa hal yang

mempengaruhi berupa faktor internal dan eksternal.

Faktor Internal

Faktor internal dapat berupa mutasi yang diturunkan/herediter secara genetik

seperti Familial Adenomatous Polyposis (FAP) serta Hereditary Non-polyposis

Colorectal Cancer (HNPCC), hormon, kondisi kekebalan tubuh, dan mutasi yang

terjadi selama proses metabolisme yang tidak terkait dengan sindrom kanker

herediter dan didefinisikan sebagai kanker kolorektal sporadis (sporadic

colorectal cancer). Faktor resiko lainnya adalah adanya riwayat anggota keluarga

yang menderita penyakit polip, colon/colorectal carsinoma, radang usus besar

kronik (kolitis ulseratif), dan akromegali.

12

Page 8: Bab 2 rev 3 db

Latar belakang etnis atau ras juga dapat meningkatkan faktor resiko terkena

penyakit ini. Beberapa ras atau etnis seperti orang Amerika keturunan Afrika dan

keturunan Bangsa Yahudi di Eropa Timur (Ashkenazi Jews) memiliki faktor

resiko yang lebih tinggi. Usia juga menjadi faktor penting karena kemungkinan

seseorang menderita kanker kolorektal meningkat setelah usia 50 tahun, dan 9 dari

10 orang dengan kanker kolorektal berusia lebih dari 50 tahun.

Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang dapat berkontribusi antara lain adalah gaya hidup tidak

sehat, adanya paparan organisme patogen seperti bakteri dan virus, bahan kimia,

dan radiasi. Faktor resiko yang terkait dengan gaya hidup (life style) seperti

kebiasaan menelan makanan yang tidak dikunyah secara sempurna, tingginya

frekuensi konsumsi daging merah (100 gr/hari), makanan tinggi lemak, konsumsi

makanan yang diolah dengan pewarna sintetik dan pengawet, alkohol,

penggunaan hormon sebagai terapi, serta rendahnya asupan kalsium dan folat,

konsumsi sayuran dan buah yang mengandung antioksidan dan serat (Arjoso et

al., 2008; Beck et al., 2009).

Zat besi sebagai pengoksidasi (prooksidan), N-nitroso, heterosiklik amin, dan

Polyciclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) sebagai hasil metabolisme daging

merah juga dapat menjadi pencetus terjadinya kanker (karsinogen).

Kebiasaan merokok dan meminum alkohol, penderita diabetes tipe 2, kurangnya

olahraga, kelebihan berat badan (obesitas), dan kolesistektomi menjadi faktor

resiko yang dapat meyebabkan kanker. (Beck et al., 2009; The American Cancer

Society, 2011)

13

Page 9: Bab 2 rev 3 db

2.2.4 Epidemiologi Carcinoma Colon

Secara epidemiologidi Indonesia, penyakit ini menempati urutan kedua setelah

kanker paru-paru pada laki-laki dan kanker payudara pada perempuan. Pada

kedua gender, kanker ini menempati urutan ketiga setelah kanker payudara dan

paru-paru (IARC, 2008). Begitu juga laporan dari Rumah Sakit Dharmais Pusat

Kanker Nasional, Kanker kolon merupakan jenis kanker ketiga terbanyak di

Indonesia, dengan jumlah kasus 1,8/100.000 penduduk. (Depkes, 2006) Jumlah

ini diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan perubahan pola hidup

penduduk Indonesia. Insidensi puncaknya pada usia 60 dan 70 tahun. Laki-laki

terkena sekitar 20% lebih sering daripada perempuan. (Robbins, 2012).

Di Amerika, karsinoma kolorektal adalah penyebab kematian kedua terbanyak

dari seluruh pasien kanker dengan angka kematian mendekati 60.000 (Sudoyo,

2006). Umumnya rata-rata pasien karsinoma kolorektal adalah berusia 67 tahun

dan lebih dari 50% kematian terjadi pada mereka yang berumur di atas 55 tahun.

Menurut World Health Organization (WHO), kematian akibat kanker di dunia

terus meningkat dan mencapai jumlah 11 juta pada tahun 2030. (WHO, 2008)

2.2.5 Faktor Resiko Carcinoma Colon

Walaupun penyebab kanker usus besar masih belum diketahui, namun telah

dikenali beberapa faktor predisposisi. Beberapa faktor resiko tersebut adalah:

1. Inflammatory Bowel Disease (Ulseratif Kolitis, Penyakit Crohn’s)

2. Polip colon

3. Riwayat keluarga

14

Page 10: Bab 2 rev 3 db

4. Diabetes Tipe 2, Individu dengan diabetes tipe 2 memiliki risiko yang tinggi

dalam perkembangan karsinoma kolorektal dan menunjukkan beberapa faktor

resiko yang sama seperti kelebihan berat badan (Siegel & Jemal, 2013).

5. Pola makan (kebiasaan makan), kekurangan serat dan sayur-mayur hijau serta

kelebihan lemak hewani dalam diet merupakan faktor resiko karsinoma

kolorektal.

6. Kurang Aktivitas Fisik

7. Obesitas

8. Merokok penelitian terbaru menunjukkan perokok jangka lama (periode

induksi 30-40 tahun) mempunyai risiko relatif 1,5-3 kali

9. Konsumsi Alkohol.(Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)

2.2.6 Patogenesis Carcinoma Colon

Peningkatan laju mutasi tiap sel dapat meningkatkan probabilitas kanker.

Orang yang mengalami obesitas memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker

dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal. Hal ini kemungkinan

karena jumlah dan laju pembelahan sel meningkat oleh adanya faktor

pertumbuhan (growth factors) yang distimulasi secara berlebihan (Markowitz &

Bertagnolli, 2009; Sung & Bae, 2010; Wang & DuBois, 2012).

Pada jaringan dewasa yang normal, sel-selnya dapat berproliferasi secara terus-

menerus dan jumlahnya tetap karena jumlah sel yang mati sama dengan sel yang

dibentuk yang merupakan mekanisme homeostasis tubuh.

15

Page 11: Bab 2 rev 3 db

Mutasi gen P53 terjadi pada saat transisi dari adenoma menjadi kanker.

Sebagian besar mutasi terjadi di daerah yang highly conserved dari akson 5

sampai 8 dan mayoritas adalah mutasi misens (GC menjadi AT). Frekuensi mutasi

p53 lebih tinggi pada bagian distal dibanding dengan bagian proksimal pada

kanker kolon dan rektal (Pignatelli, Banu & Melegh, 2008). Pasien kanker dengan

mutasi p53 memiliki profil penyakit yang parah dan waktu kelangsungan hidup

yang lebih pendek dari pasien tanpa mutasi p53.

Secara makroskopis, terdapat tiga tipe karsinoma colon dan rektum.

1) Tipe polipoid atau vegetatif tumbuh menonjol ke dalam lumen usus,

berbentuk bunga kol dan ditemukan terutama di sekum dan colon asendens.

2) Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga stenosis dan gejala

obstruksi, terutama ditemukan di colon desendens, sigmoid dan rektum.

3) Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum.

Pada tahap lanjut, sebagian besar carsinoma colon mengalami ulserasi

menjadi tukak ganas atau maligna. (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)

Secara mikroskopis, semua karsinoma kolon serupa. Hampir semua adalah

adenokarsinoma yang berkisar dari berdiferensiasi baik hingga tidak

berdifferensiasi dan jelas anaplastik. Banyak tumor menghasilkan musin, yang

disekresikan ke dalam lumen kelenjar atau ke dalam intestisium dinding usus.

Sekresi ini menyebabkan dinding usus merekah (diseksi), kanker mudah meluas

dan memperburuk prognosis. Kanker di daerah anus umumnya berasal dari sel

skuamosa. (Robbins, 2012)

16

Page 12: Bab 2 rev 3 db

2.2.7 Gambaran klinis Carcinoma Colon

2.2.7.1 Gambaran Klinis

Gambaran klinis karsinoma kolon kiri berbeda dengan kanan. Tanda dan gejala

dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien

dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.

Umumnya, gejala pertama timbul karena penyulit, yaitu gangguan faal usus,

obstruksi, perdarahan, atau akibat penyebaran. (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)

1) Kanker kolon sisi kiri (sigmoid)

a. Gejala dini berupa obstruksi (sisi kiri memiliki lumen yang lebih sempit),

b. Tumor tersebut menimbulkan konstriksi seperti “cincin, serbet/napkin ring”

atau “bagian tengah apel/apple core” (pertumbuhan anular yang melingkar)

c. Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola

defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya

ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar

mengakibatkan obstruksi

d. Mengeluh adanya perubahan pada kebiasaan buang air besar. (Kendall &

Tao, 2013)

2) Kanker kolon sisi kanan

a. Tumor yang menyerupai kembang kol/cauliflower (penampakan polipoid

atau fungating),

b. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan

symptomatik anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat

17

Page 13: Bab 2 rev 3 db

badan). Feses dalam kolon sebelah kanan masih berupa cairan, oleh

karenanya gejala obstruksi jarang dijumpai.

3) Kanker kolon pada kedua sisi

a. Perubahan pada feses (melena, hematokezia, tinja yang diameternya kecil

seperti pensil),

b. Rasa tidak nyaman pada perut, dan

c. Gejala konstitusional seperti penurunan berat badan, keringat pada malam

hari dan demam. (Kendall & Tao, 2013)

2.2.7.2 Gejala akut

Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika

ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar

penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan

kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan

penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah.

Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air

besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak

mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi

nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi

pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis.

Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat

menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.

18

Page 14: Bab 2 rev 3 db

Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat

disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari

kanker kolon. (Schwartz, 2005)

2.2.8 Pemeriksaan Fisik dan Carcinoma Colon

2.2.8.1 Pemerikasaan Fisik

Berikut ini beberapa gejala yang dapat disebabkan oleh kanker usus besar.

Kondisi lain dapat menyebabkan gejala yang sama. Seorang dokter harus

berkonsultasi jika ada masalah berikut terjadi,

1) Perubahan pola defekasi seperti diare, konstipasi

2) BAB ( Buang Air Besar ) yang tidak tuntas 

3) Perdarahan pada feses

4) Kram atau nyeri perut

5) Lemah dan lemas

6) Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. (Sofiati, 2009)

Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul dengan

pemeriksaan rektosigmoidoskopi. (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)

2.2.8.2 Pemerikasaan Penunjang

Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif untuk

diagnosis karsinoma kolorektal, yaitu endoskopi, CT Scan, MRI, barium enema,

dan CEA (Carcinoembrionik Antigen).

19

Page 15: Bab 2 rev 3 db

1) Biopsi

Konfirmasi adanya keganasan dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.

Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya

biopsi maka sikat sitologi akan sangat berguna (Casciato, 2004)

Jenis histopatologi pada kanker kolorektal terdiri dari adenokarsinoma,

adenokarsinoma mucinous, radang non spesifik, signet sel karsinoma dan

lain-lain.

2) Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening

CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang

masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi

untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi

dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa

digunakan sebagai pendeteksi kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA

serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter.

Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium

lanjut dari penyakit, dan kehadiran metastase ke organ dalam. Namun nilai

CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan

setelah pembedahan. Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes

CEA, namun tes ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini.

Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah

tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA.

20

Page 16: Bab 2 rev 3 db

Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari

metatase karena sel tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya

nilai CEA. (Casciato, 2004)

3) Digital Rectal Examination

Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior,

serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah.

Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana

sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel

neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin

dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat

dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik

untuk mendiagnosa kanker kolon yang tidak dapat diabaikan. (Schwartz,

2005)

4) Barium Enema dengan kontras

Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium

enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang

berukuran >1cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel

sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti

kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau

digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai

riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi.

Resiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu

sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras

21

Page 17: Bab 2 rev 3 db

larut air harus digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis

merupakan komplikasi sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai

infeksi dan peritoneal fibrosis. (Schwartz, 2005)

5) Kolonoskopi

Tindakan ini untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum.

Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.

Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan

polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan

kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang

keakuratannya hanya sebesar 67% (Depkes, 2006).

Kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol

perdarahan dan dilatasi dari striktur. Ini merupakan prosedur yang sangat

aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan

perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. (Schwartz, 2005)

6) CT scan

CT scan dapat mengevaluasi rongga abdominal dari pasien kanker kolon pre

operatif. CT scan mendeteksi metastasis ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium,

kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. Sangat berguna untuk mendeteksi

rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan

kanker kolon.

Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting

pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan stadium

dari lesi sebelum tindakan operatif. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi

22

Page 18: Bab 2 rev 3 db

invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi

pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.

Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat

mengidentifikasi metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal. (Casciato,

2004)

7) MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering

digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan

CT scan. Sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI

dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar. (Schwartz,

2005)

2.2.9 Penatalaksanaan Carcinoma Colon

2.2.9.1 Penatalaksanaan Bedah

Pembedahan adalah pengobatan yang paling umum untuk semua tahap kanker

usus besar. Salah satu jenis operasi sebagai berikut

1. Eksisi lokal, jika kanker ditemukan pada stadium yang sangat awal, dokter

mungkin membuangnya tanpa memotong melalui dinding perut. Sebaliknya,

dokter dapat menempatkan sebuah tabung melalui rektum ke dalam usus

besar dan memotong bagian abnormalnya. Ini disebut eksisi lokal. Jika

kanker ditemukan dalam polip, operasi ini disebut polypectomy.

2. Reseksi, pada kanker yang lebih besar, dokter akan melakukan kolektomi

parsial (membuang kanker dan sejumlah kecil jaringan sehat di sekitarnya).

23

Page 19: Bab 2 rev 3 db

Dokter kemudian dapat melakukan anastomosis (menjahit bagian-bagian

yang sehat dari usus besar bersama-sama). Dokter juga akan biasanya

mengangkat kelenjar getah bening di dekat usus besar dan memeriksanya di

bawah mikroskop untuk melihat apakah jaringantersebut mengandung

kanker.

3. Reseksi dan kolostomi, jika tidak memungkinkan untuk menyambung

kembali 2 ujung usus besar, sebuah stoma atau lobang dibuat pada bagian

dinding abdomen sebagai saluran pembuangannya. Prosedur ini disebut

kolostomi. Sebuah kantong yang ditempatkan di sekitar stoma untuk

mengumpulkan kotoran atau tinja penderita. Kadang-kadang kolostomi

dibutuhkan hanya sampai usus sigmoid dan anusnya pulih dan kemudian

dapat dikembalikan fungsinya seperti semula. Jika dokter harus membuang

seluruh usus sigmoidnya, kolostomi ini bisa bersifat permanen bagi penderita.

Total proctocolectomy dengan kantong ileum-anal anastomosis atau Ileal

Pouch Anal Anastomosis (IPAA) telah menjadi prosedur bedah pilihan untuk

ulcerative colitis kronis dan familial polyposis adenomatous (FAP) sebagai

tindak awal pencegahan agar tidak berkembang lebih buruk menjadi

carcinoma colon. Teknik ini semakin meningkat penggunaannya dan menjadi

teknik operasi yang umumnya dilakukan. (Uyeda, 2013)

Pembedahan dengan teknik IPAA ini kebanyakan dilakukan pada penderita

ulserative colitis, namun operasi ini juga memberikan prognosis baik pada

penderita FAP dan carcinoma colon. Terdapat empat pilihan terapi, yaitu

proktokolektomi dan ileostomi, total kolektomi dan ileorektal anastomosis,

24

Page 20: Bab 2 rev 3 db

total proktokolektomi dan ileoanal anastomosis, atau proktokolektomi dengan

kantong ileoanal. (Kastomo, 2010)

4. Radiofrequency ablation, menggunakan teknik penyelidikan khusus dengan

elektroda kecil yang membunuh sel-sel kanker. Kadang-kadang elektroda

dimasukkan langsung melalui kulit dan hanya memerlukan anestesi lokal.

Dalam kasus lain, tindakan ini melalui sayatan di perut. Hal ini dilakukan di

rumah sakit dengan anestesi umum.  

5. Cryosurgery, sebuah pengobatan yang menggunakan alat dan teknik untuk

membekukan dan menghancurkan jaringan abnormal, seperti karsinoma in

situ. Jenis pengobatan ini disebut cryotherapy.

Jika dokter mengangkat semua kanker yang terlihat pada saat operasi,

selanjutnya pasien dapat dilakukan kemoterapi atau terapi radiasi setelah

operasi untuk membunuh sel-sel kanker yang tersisa. Terapi ini diberikan

setelah operasi untuk meningkatkan prognosis baik pada penderita, disebut

terapi adjuvan. (Mayfield, 2015)

2.2.9.2 Penatalaksanaan Non Bedah

1. Radiasi

Terapi radiasi merupakan penanganan karsinoma dengan menggunakan x-ray

berenergi tinggi untuk membunuh sel karsinoma. Terdapat 2 cara pemberian

terapi radiasi, yaitu dengan radiasi eksternal dan radiasi internal. Radiasi

eksternal (external beam radiation therapy) merupakan penanganan dimana

radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel karsinoma.

25

Page 21: Bab 2 rev 3 db

2. Adjuvan Kemoterapi

Dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah banyak kemajuan yang dicapai pada

kemoterapi terhadap karsinoma kolorektal. Beberapa dekade ini hanya

menggunakan 5-fluorouracil (5-FU) disusul oleh kehadiran asam

folinat/leukovorin (folinic acid/FA/LV) sebagai kombinasi. (Sjamsuhidajat,

2004).

3. Targeted Therapy

Merupakan jenis pengobatan yang menggunakan obat-obatan atau bahan lain

untuk mengidentifikasi dan menyerang sel-sel kanker tertentu tanpa merusak

sel normal. Terapi antibodi monoklonal adalah jenis terapi yang ditargetkan

sedang dipelajari dalam pengobatan kanker rektum.

Terapi antibodi monoklonal menggunakan antibodi yang dibuat di

laboratorium dari satu jenis sel sistem kekebalan tubuh. Antibodi ini dapat

mengidentifikasi zat pada sel kanker atau zat normal yang dapat membantu

sel-sel kanker untuk tumbuh. Antibodi melekat pada zat dan membunuh sel-

sel kanker, menghambat pertumbuhan mereka, dan mencegah terjadinya

metastasis. Antibodi monoklonal diberikan melalui infus dan dapat digunakan

secara tunggal atau kombinasi dengan memasukkan obat-obatan, racun, atau

bahan radioaktif langsung ke sel-sel kanker. (Mayfield, 2015)

2.2.10 Pencegahan Carcinoma Colon

Deteksi dini (skrining) dan diagnosis pada pengelolaan kanker kolorektal

memiliki peranan penting di dalam memperoleh hasil yang optimal yaitu

26

Page 22: Bab 2 rev 3 db

meningkatnya survival dan menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas para

penderita kanker kolorektal. Deteksi dini adalah investigasi pada individu

asimtomatik yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini

sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.

Indikasi pada deteksi dini penyakit carcinoma colon ini secara umum dilakukan

pada dua kelompok yaitu populasi umum dan kelompok dengan risiko tinggi

terkena carcinoma colon.

Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia di atas 40

tahun.

Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko

tinggi menderita kanker kolorektal yaitu;

1) Penderita yang telah menderita kolitis ulseratif atau Crohn selama > 10 tahun,

2) Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal,

3) Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita kanker kolorektal

memiliki risiko menderita kanker kolorektal 5 kali lebih tinggi daripada

individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat penyakit tersebut.

Terdapat dua kelompok pada individu dengan keluarga penderita kanker

kolorektal, yaitu

a. Individu yang memiliki riwayat keluarga dengan hereditery non-

polyposiscolorectal cancer (HNPCC),

b. Individu yang telah didiagnosis secara klinis menderita familial

adenomatous polyposis (FAP). (Sjamsuhidayat et al, 2006)

27

Page 23: Bab 2 rev 3 db

Selain deteksi dini tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan yang digunakan sebagai

pencegahan carcinoma colon seperti,

1. Endoskopi

Sigmoidoskopi atau endoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip

dan menurunkan insiden kasus carsinoma.

2. Diet

Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang

mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai

efek proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National

Research Council telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982,

a. menurunkan lemak total dari 40% ke 30% dari total kalori,

b. meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat,

c. membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan,

d. membatasi makanan yang mengandung bahan pengawet,

e. mengurangi konsumsi alkohol (Schwartz, 2005)

3. Non Steroid Anti Inflammation Drug (NSAID)

Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID

sulindac dosis 150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan

diameter dari polip bila dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo.

Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat tiga bulan

setelah perlakuan dihentikan. (Casciato, 2004)

28

Page 24: Bab 2 rev 3 db

2.2.11 Prognosis

Prognosis dari karsinoma kolorektal tergantung dari stadium saat diagnosis

karsinoma kolorektal ditegakkan. Berikut merupakan pembagian prognosis dari

karsinoma kolorektal berdasarkan klasifikasi dari Duke’s

Kategori A, dalamnya infiltrasi terbatas di dinding usus dan prognosis hidup

setelah 5 tahun sebesar 97%.

Kategori B, dalamnya infiltrasi menembus lapisan muskularis mukosa dan

prognosis hidup setelah 5 tahun sebesar 80%.

Kategori C1, apabila sudah terdapat metastasis ke beberapa kelenjar limfe dekat

tumor primer dengan prognosis hidup setelah 5 tahun sebesar 65%

kategori C2, sudah menunjukkan metastasis dalam kelenjar limfe jauh dengan

prognosis hidup setelah 5 tahunnya sebesar 35%.

Kategori D, sudah terdapat metastasis jauh pada sel kankernya dan prognosis

hidup setelah 5 tahun sebesar kurang dari 5%. (Sjamsuhidajat & de Jong, 2011)

2.3 Ileal Pouch Anal Anastomosis (IPAA)

2.3.1 Definisi IPAA

Prosedur IPAA dikembangkan pada 1980-an yang menghilangkan kebutuhan

pemakaian stoma permanen. Pada operasi IPAA, usus besar pasien dibuang, dan

usus kecil yang akan terhubung ke anus. Beberapa inci terakhir dari usus kecil

digunakan untuk membuat kantong internal yang menggantikan dari fungsi

rektum. Anastomosis itu merupakan koneksi pembedahan dibuat antara struktur

tubular dalam tubuh, seperti usus.

29

Page 25: Bab 2 rev 3 db

Mempertahankan keadaan anus dan menciptakan tempat penyimpanan baru,

pasien dapat mempertahankan kontrol atas kebiasaan buang air besar dan bisa

terus membuang kotoran melalui anus. Ini mengembalikan kontinuitas dan kontrol

tinja bagi pasien yang usus besarnya telah diangkat. Hal ini disebut sebagai

kantong ileum karena terbuat dari sebagian usus kecil, atau ileum.

2.3.2 Prosedur Pembedahan IPAA

IPAA umumnya dilakukan dalam dua langkah dan membutuhkan ileostomi

sementara (stoma) untuk waktu antara dua operasi yang terpisah.

Untuk kedua langkah dari IPAA, pasien diberikan anestesi umum, ditempatkan

dalam posisi litotomi yang dimodifikasi. Posisi terlentang dan berubah selama

prosedur untuk memfasilitasi retraksi usus kecil dari bidang operasi. Lokasi yang

akan dilakukan ileostomi sebelumnya sudah diberi tanda. Diseksi jaringan lunak,

mesenterium kolorektal, persiapan serosal, dan pembagian vaskular dilakukan

dengan menggunakan pisau bedah harmonic scalpel (HS) dengan perangkat

(Ultracision shears harmonic scalpel LCS, Ethicon Endosurgery SA, Issy-les-

Moulineaux, France). Sebuah sayatan sebesar 5cm dilakukan pada fosa iliaka

kanan (pada lokasi yang tepat pada lubang trocar).Selama operasi pertama, kedua

usus besar dan rektum dibuang, dan kantong/pouch dibuat dengan melipat

kembali segmen akhir dari usus kecil. Kantong bisa berbentuk J, W, atau S, dan

berfungsi sebagai tempat untuk penampungan feses. Setelah usus besar dibuang,

dan arteri ileokolika diikat (ligasi). Kemudian, menyatukan kembali sigmoid (di

30

Page 26: Bab 2 rev 3 db

bagian atas persimpangan rektosigmoid) dan ileum (di bagian persimpangan

ileocaecum).

Setelah kantong dibuat, pasien akan melanjutkan operasinya selama kurang lebih

dua bulan, butuh waktu untuk proses penyembuhan pada usus dan kantong yang

baru dibentuk.

Pada operasi kedua, ileostomi dibalik sehingga tertutup. Kantong sekarang akan

bertindak sebagai tempat penyimpanan feses. Kontrol kesadaran dari otot-otot di

anus dipertahankan, sehingga sangat memungkinkan pasien untuk membuang

kotoran secara normal. Setelah prosedur IPAA selesai, pasien biasanya akan

buang air 4 sampai 6 perhari. Frekuensi ini lebih sering dari individu dengan

rektum dan usus besar yang sehat. Hal ini dapat dikelola dengan baik dan

umumnya tidak mengganggu kegiatan sehari-hari pasien. (Kuhnen, 2014)

Berbagai bentuk dari kantong telah digunakan termasuk bentuk S, W, dan J

konfigurasi, namun kantong J adalah jenis yang paling umum untuk kemudahan

konstruksi dan hasil yang lebih memuaskan.

Dalam kasus kanker kolorektal atau kasus yang dicurigai keganasan, IPAA

laparoskopi dilakukan dengan reseksi karsinogenik dari usus besar dan rektum

(dengan eksisi total mesorektal). Dua bulan setelah operasi terakhir, sebelum

penutupan ileostomi, dipastikan tidak adanya stenosis dan kebocoran pada hasil

anastomosis yang diperiksa oleh kontras enema. Pada penutupan stoma juga

digunakan anestesi umum. (Levefre, 2009)

Total proctocolectomy dengan ileum pouch anal anastomosis (IPAA) standar

prosedur bedah pilihan untuk Ulcerative Colitis Kronis dan FAP. Komplikasi

31

Page 27: Bab 2 rev 3 db

yang minimal dan pengawasan kontinensia tinja serta pemeliharaan sfingter anal,

menghilangkan kebutuhan penggunaan stoma permanen, dan meningkatkan

kualitas hidup pada pasien.

2.3.3 Komplikasi IPAA

Komplikasi setelah IPAA dapat dibedakan menjadi awal (dalam waktu 30 hari

dari operasi) dan akhir (setelah penutupan kantong). Komplikasi awal termasuk

sepsis pada panggul, kebocoran pada anastomosis, dan pembentukan abses, SBO,

trombosis vena portal, dan perdarahan usus kecil. Komplikasi akhir termasuk

pouchitis, pembentukan fistula, pembentukan striktur, displasia, dan keganasan.

(Uyeda et al, 2013)

32