BAB 2 LANDASAN TEORI
description
Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi Jalan
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006)
Jalan raya adalah jalur-jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusi
dengan bentuk, ukuran-ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk
menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu
tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat. (Clarkson H. Oglesby.1999)
Ruas Jalan Gondang Manis Kota Kudus merupakan jalur yang berada di daerah industri
dan pariwisata Kabupaten Kudus sehingga frekuensi kendaraan cukup tinggi sehingga
perlu adanya pemeliharaan dan peningkatan jalan guna menghasilkan kualitas jalan yang
jauh lebih baik bagi pengguna jalan agar tercipta keamanan, kenyamanan dan kelancaran
dalam berlalu lintas.
6
2.1.2 Klasifikasi Jalan
2.1.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Jalan
a. Jalan Arteri
Jalan arteri adalah jalan umum yang melayani angkutan utama dengan ciri-
ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien.
b. Jalan Kolektor
Jalan kolektor adalah jalan umum yang melayani angkutan pengumpul/
pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata- rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi.
c. Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan
ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
d. Jalan Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan
ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
2.1.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Peranan Jalan
a. Sistem Jaringan Jalan Primer
Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan palayanan distribusi barang
dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan
menghubungkan semua simpul jasa yang berwujud pusat-pusat kegiatan (UU
No.38 Tahun 2004).
7
1) Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang
kesatu dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan atau ruas jalan
yang menghubungkan kota jenjang kedua yang berada di bawah
pengaruhnya.
2) Jalan kolektor primer adalah ruas jalan yang menghubungkan kota
jenjang kedua dengan kota jenjang kedua yang lainnya atau ruas jalan
yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang
berada di bawah pengaruhnya.
3) Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang
ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang kesatu dengan
persil, kota jenjang kedua dengan persil, serta ruas jalan yang
menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota yang berada di bawah
pengaruhnya sampai persil.
b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang
dan jasa untuk masyarakat di wilayah perkotaan (UU No.38 Tahun 2004).
1) Jalan arteri sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan
primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan
sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
2) Jalan kolektor sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan-
kawasan sekunder kedua yang satu dengan yang lainnya atau
menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder
ketiga.
3) Jalan lokal sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan-
kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua
dengan perumahan , atau menghubungkan kawasan sekunder kedua
dengan kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
2.1.2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima
beban lalu lintas dan dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.
8
Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi
menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi menurut kelas jalan
Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat (MST) Ton
Arteri
I > 10
II 10
IIIA 8
Kolektor IIIA
8 IIIB
Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/1997
2.1.2.4 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan
yang diukur tegak lurus garis kontur.
Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam tabel
2.2. berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi menurut medan jalan
No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1 Medan D <3
2 Perbukitan B 3 –25
3 Pegunungan G >25
Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/199
2.1.2.5 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan Jalan
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaan jalan sesuai PP No. 26/1985 adalah:
9
a. Jalan Nasional
Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan jalan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan
tol.
b. Jalan Propinsi
Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan
ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota,
dan jalan strategis provinsi.
c. Jalan Kabupaten/Kotamadya
Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer termasuk jalan yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota
kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan
lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah
kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
d. Jalan Desa
Merupakan jalan umum yang mempunyai fungsi hampir sama dengan jalan
lingkungan yaitu menghubungkan kawasan antar permukiman di dalam desa atau
dengan kata lain melayani perjalanan dalam jarak dekat.
e. Jalan Khusus
Merupakan jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan
hukum/perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing dari instansi tersebut
.
2.1.3 Ruang Bebas Jalan
Menurut Petunjuk Tertib Pemanfaatan Jalan No. 004/T/BNKT/1990 Direktorat Jenderal
Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota,Berdasarkan gambar 2.1 ruang bebas jalan
dibagi menjadi:
10
Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan
2.1.3.1 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA)
Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman ruang
bebas tertentu yang ditetapkan oleh Pembina Jalan dan diperuntukkan bagi median,
perkerasan jalan, pemisahan jalur, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang
pengaman timbunan dan galian gorong-gorong perlengkapan jalan dan bangunan
pelengkap lainnya (PP No. 19/2011).
Lebar Rumaja ditetapkan oleh Pembina Jalan sesuai dengan keperluannya. Tinggi
minimum 5 m dan kedalaman mimimum 1,5 m diukur dari permukaan perkerasan.
Tertib pemanfaatan Rumaja adalah sebagai berikut:
a. Jalur Lalu Lintas
Jalur lalu lintas pada dasarnya diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan.
Pemanfaatan jalur lalu lintas adalah sebagai berikut:
1) Beban sumbu maksimum yang diizinkan adalah:
Sumbu tunggal dengan ban tunggal 4.500 kg.
Sumbu tunggal dengan ban dobel 8.000 kg.
Sumbu tandem/ganda dengan ban dobel 15.000 kg.
Sumbu triple dengan ban dobel 20.000 kg.
2) Kecepatan Kendaraan maksimum yang diizinkan adalah:
Pada jalan bebas hambatan 60 - 120 km/jam.
11
Pada jalan arteri primer 60 - 80 km/jam.
Pada jalan arteri sekunder 40 - 60 km/jam.
Pada jalan kolektor sekunder 30 - 40 km/jam.
Pada jalan lokal primer 20 - 30 km/jam.
Pada jalan sekunder 10 - 20 km/jam.
3) Pengemudi yang ingin menghentikan kendaraan sementara waktu, harus
menempatkan kendaraannya sedemikian rupa tidak menghalangi arus lalu lintas
dan tidak pada tempat dimana terdapat tanda larangan berhenti. Sedangkan untuk
parkir kendaraan, harus dipilih bagian jalan yang sudah ditetapkan untuk parkir.
4) Pejalan kaki bila hendak menyeberang jalan harus memanfaatkan fasilitas
penyerangan (zebra cross, jembatan penyeberangan dan lain-lain).
5) Untuk pelayanan transportasi umum (bus kota, bus antar kota atau kendaraan
umum lainnya), menaikkan atau menurunkan penumpang harus di tempat-tempat
yang sudah disediakan (terminal, tempat pemberhentian sementara atau halte).
Sedangkan untuk memberhentikan kendaraan untuk sementara waktu harus
memilih lokasi yang disebutkan dalam point (3).
6) Pemanfaatan jalur lalu lintas oleh kendaraan dengan beban sumbu kendaraan
melebihi ketentuan yang disebutkan dalam point (1) tidak diperkenankan.
7) Mengendarai kendaraan dengan kecepatan kendaraan yang melebihi ketentuan
seperti yang disebutkan dalam point (2) tidak diperkenankan.
8) Kendaraan bermotor roda dua, roda tiga atau kendaraan tidak bermotor harus
menggunakan jalur yang sudah disediakan. Dalam hal tidak disediakan jalur
khusus, harus menggunakan bagian paling kiri dari jalur lalu lintas.
9) Hal-hal yang berkaitan dengan disiplin dan tata tertib kendaraan, harus mengikuti
ketentuan yang tercantum dalam UU Lalu Lintas Jalan No. 7 Tahun 1951 dan
UU Lalu Lintas Jalan No.27 Tahun 1965 tentang lalu lintas dan angkutan.
b. Bahu Jalan dan Trotoar
1) Bahu jalan diperuntukkan bagi pejalan kaki, berhenti untuk sementara akibat
kondisi tertentu apabila tidak terdapat rambu larangan berhenti dan untuk tempat
menghindar bagi kendaraan saat berpapasan. Trotoar diperuntukkan bagi pejalan
kaki.
12
2) Bahu jalan atau trotoar tidak diperkenankan untuk parkir kendaraan.
3) Penempatan bangunan utilitas pada bahu jalan atau trotoar dalam sistem primer
atau sistem sekunder di dalam wilayah perkotaan harus seizin Pembina Jalan dan
mengikuti petunjuk teknis pemasangan utilitas.
4) Bila terdapat jalan masuk ke bangunan-bangunan atau fasilitas lainnya yang
memotong bahu jalan/trotoar harus diupayakan sedemikian rupa sehingga fungsi
peruntukkannya tidak terhambat (sesuai buku standar trotoar).
c. Saluran Tepi Jalan
1) Saluran tepi jalan diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air, agar
badan jalan bebas dari pengaruh air.
2) Saluran tepi jalan tidak diperkenankan dimanfaatkan selain peruntukkan seperti
yang tersebut di atas termasuk pembuangan sampah atau benda lainnya yang dapat
mengurangi fungsi peruntukkannya.
3) Bila saluran tepi jalan akan dimanfaatkan sebagai saluran lingkungan, maka
harus mengikuti syarat yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum.
4) Jalan pelintasan di atas saluran tepi jalan, harus diupayakan tidak mengurangi
ukuran saluran.
d. Median dan Jalur Pemisah
Median adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan jalur lalu lintas
yang berlawanan arah, penempatan perlengkapan jalan, tanaman perdu yang berakar
tunggang, sebagai fungsi estetika dan meredam sinar lampu kendaraan dari arah
yang berlawanan.
Jalur pemisah adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan jalur
lalu lintas yang searah. Kalau memungkinkan peruntukkannya sama dengan median.
e. Ambang Pengaman
Ambang pengaman adalah sejalur lahan di sisi luar badan jalan dengan lebar
ditetapkan oleh Pembina Jalan diperuntukkan bagi pengaman konstruksi badan jalan.
13
2.1.3.2 Ruang Milik Jalan (RUMIJA)
Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang
dikuasai oleh Pembina Jalan guna peruntukkan daerah manfaat jalan dan perlebaran
jalan maupun menambahkan jalur lalu lintas dikemudian hari serta kebutuhan ruangan
untuk pengamanan jalan.
Lebar Rumija sekurang-kurangnya sama dengan lebar Rumaja. Tinggi atau kedalaman
diukur dari permukaan jalur lalu lintas, serta penentuannya didasarkan pada keamanan
pemakai jalan sehubungan dengan pemanfaatan Rumija dan Rumaja ditentukan oleh
Pembina Jalan (PP No. 19/2011).
Tertib pemanfaatan Rumija adalah sesuai dengan tingkat pengaruh yang dapat
ditimbulkan oleh bangunan terhadap Rumija maka pemanfaatan Rumija diluar
peruntukkannya harus mendapat izin dari Pembina Jalan.
2.1.3.3 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)
Merupakan ruang disepanjang jalan di luar Ruang Milik Jalan yang berada di bawah
pengawasan penguasa jalan yang ditujukan untuk penjagaan terhadap pandangan bebas
pengemudi dan untuk konstruksi jalan, dalam hal Rumija tidak mencukupi, yang
ditetapkan oleh Pembina jalan (PP No. 19/2011).
Daerah Pengawasan Jalan dibatasi oleh:
Lebar diukur dari As Jalan.
a. Untuk Jalan Arteri Primer tidak kurang dari 20 m.
b. Untuk Jalan Arteri Sekunder tidak kurang dari 20 m.
c. Untuk Jalan Kolektor Primer tidak kurang dari 15 m.
d. Untuk Jalan Kolektor Sekunder tidak kurang dari 7 m.
e. Untuk Jalan Lokal Primer tidak kurang dari 10 m.
f. Untuk Jalan Lokal Sekunder tidak kurang dari 4 m.
g. Untuk Jembatan tidak kurang dari 100 m ke arah hulu dan hilir.
14
Tinggi yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas dan penentuannya didasarkan pada
keamanan pemakai jalan baik di jalan lurus, maupun di tikungan dalam hal pandangan
bebas pengemudi, ditentukan oleh Pembina Jalan
Gambar 2.2 Penambang Melintang Jalan dengan Drainase Terbuka
Gambar 2.3 Penambang Melintang Jalan dengan Drainase Tertutup
2.2 Jenis Kerusakan
Menurut Manual Pemeliharaan Jalan No. 03/MN/B/1983 yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Bina Marga, kerusakan jalan dapat dibedakan menjadi:
Retak (cracks)
Distorsi (distortion)
Cacat permukaan (disintegration)
Pengausan (polished aggregat)
15
Kegemukan (bleeding of flushing)
Penurunan pada bekas penanaman utilitas (utility cut depression)
2.2.1 Retak (cracks)
Retak yang terjadi pada permukaan jalan dapat dibedakan menjadi:
2.2.1.1 Retak Rambut (Hair Cracks)
Retak rambut dapat terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan
jalan. Tampak retakan tidak beraturan dan terpisah. Lebar celah lebih kecil dari atau sama
dengan 3 mm. Penyebabnya adalah konstuksi perkerasan tidak kuat mendukung beban
lalu lintas yang ada, lapis permukaan terlalu tipis, kelelahan lapis permukaan akibat
beban lalu lintas dan umur jalan, bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau
bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil, dan stabilitas atau pemadatan
lapis permukaan tidak memadai. Retak rambut ini dapat meresapkan air ke dalam lapis
permukaan. Retak rambut yang tidak segera ditangani dapat berkembang menjadi retak
kulit buaya (alligator crack).
Usaha perbaikan untuk kerusakan retak rambut yaitu dengan melakukan penanganan P2
(Laburan Aspal Setempat)
Gambar 2.4 Retak Rambut (Hair Cracks)
16
2.2.1.2 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks)
Retak kulit buaya berkembang dari retak rambut yang telah mengalami kerusakan yang
parah akibat tidak segera dilakukannya perbaikan. Retak kulit buaya dapat terjadi pada
alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan jalan. Tampak retakan tidak
beraturan dan saling berpotongan. Lebar celah lebih besar dari atau sama dengan 3 mm.
Retak kulit buaya terlihat seperti retak yang saling merangkai dan membentuk kotak-
kotak yang menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang
kurang kurang baik, pelapukan perkerasan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah
lapis perkerasan kurang stabil atau lapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah baik).
Retak kulit buaya yang luas dan sudah parah dapat berkembang menjadi lubang atau
amblas. Usaha perbaikan untuk kerusakan retak buaya yaitu dengan melakukan
penanganan Patching.
Gambar 2.5 Retak kulit buaya (Alligator Cracks)
2.2.1.3 Retak Pinggir (Edge Cracks)
Retak pinggir adalah retak memanjang jalan dengan atau tanpa cabang yang mengarah
pada bahu jalan dan terletak di dekat bahu. Retak pinggir disebabkan oleh tidak baiknya
sokongan dari arah samping, drainase yang kurang baik, terjadinya penyusutan tanah,
atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi
perkerasan dapat pula menjadi penyebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak air
17
dapat meresap dan dapat merusak lapis perkerasan. Retak pinggir jika dibiarkan akan
berkembang menjadi lubang- lubang. Usaha perbaikan untuk kerusakan retak pinggir
yaitu dengan melakukan penanganan P5 (penambalan lubang) dan Memperbaiki bahu
jalan.
2.2.2 Distorsi (Distorsion)
Distorsi atau perubahan bentuk dapat terjadi karena lemahnya tanah dasar, pemadatan
yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi pemadatan tambahan akibat beban lalu
lintas. Sebelum dilakukan perbaikan terlebih dahulu perlu ditentukan jenis dan penyebab
distorsi dengan demikian dapat dilakukan penanganan yang tepat.
Distorsi dibedakan menjadi:
2.2.2.1 Alur (Ruts)
Ruts terjadi pada lintasan roda sejajar pada as jalan. Alur dapat merupakan penggenangan
air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan
akhirnya dapat timbul retak-retak. Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang
kurang padat, dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu
lintas pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah juga dapat
menimbulkan deformasi plastis. Alur juga dapat disebabkan oleh:
Pengaruh lalu lintas (jumlah kendaraan, beban gandar, dan kecepatan kendaraan).
Pengaruh cuaca. Material terlepas pada musim kering dan tercampur lumpur dan
lembek pada musim hujan.
Gradasi bahan tidak memenuhi persyaratan (terlalu banyak pasir atau terlalu banyak
lempung).
18
Gambar 2.6 Alur (Ruts)
Usaha perbaikan kerusakan alur :
1. Alur ringan, lakukan Penanganan P6 (Perataan).
2. Alur yang cukup parah, lakukan Penanganan P5 (Penambalan lubang).
2.2.2.2 Amblas (Grade Depressions)
Amblas biasanya terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat diketahui
dari adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan
perkerasan dan menyebabkan lubang. Penyebab amblas adalah adanya beban kendaraan
yang melebihi dari yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan
bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement.
Gambar 2.7 Amblas (Grade Depressions)
19
Usaha perbaikan kerusakan amblas :
1. Periksa dan perbaiki selokan atau gorong-gorong yang rusak, sehingga air cepat
mengalir.
2. Periksa dan perbaiki bahu jalan.
3. Penurunan dangkal (< 50 mm), lakukan Penanganan P6 (Perataan).
4. Penurunan dalam (> 50 mm), lakukan Penanganan P5 (Penambahan lubang).
2.2.2.3 Jembul (Upheaval)
Jembul biasanya terjadi setempat, dimana kendaraan sering berhenti, dengan atau tanpa
retak. Lapis permukaan tampak menyembul ke atas permukaan dibandingkan dengan
permukaan sekitarnya. Hal ini terjadi akibat adanya pengembangan tanah dasar pada
tanah dasar ekspansif dan juga dipengaruhi oleh beban kendaraan yang melebihi standar.
Gambar 2.8 Jembul (Upheaval)
Usaha perbaikan kerusakan jembul :
1. Jembul ringan, lakukan Penanganan P6 (Perataan).
2. Jembul parah, lakukan Penanganan P5 (Penambalan lubang).
2.2.3 Cacat Permukaan (Disintegration)
Cacat permukaan mengarah pada kerusakan secara kimiawi dan mekanis dari lapisan
perkerasan.
Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah:
20
2.2.3.1 Lubang (Pothole)
Lubang pada permukaan dapat berupa mangkuk dengan ukuran yang bervariasi, dari
kecil hingga besar. Lubang-lubang ini menampung air dan meresapkannya ke dalam lapis
permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.
Lubang dapat diakibatkan oleh:
a. Campuran material aspal yang jelek, seperti:
1) Kadar aspal rendah sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.
2) Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik.
3) Temperature campuran tidak memenuhi syarat.
b. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat
pengaruh cuaca.
c. Sistem drainase jelek sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul dalam
lapisan perkerasan.
d. Retak-retak yang tidak ditangani sehingga air meresap dan mengakibatkan
terjadinya lubang-lubang kecil.
Gambar 2.9 Lubang (Pothole)
Usaha perbaikan kerusakan lubang :
1. Untuk lubang yang tidak mencapai tanah dasar, lakukan Penanganan U2 Perataan
(Levelling) dan Perbaikan kemiringan (Regrading).
2. Untuk lubang yang mencapai tanah dasar, lakukan Penanganan U1 Penambalan
lubang (Patching). Bila perlu, ganti dahulu bahan tanah dasar dengan Material
pilihan kemudian dipadatkan.
21
2.2.3.2 Pelepasan Butir (Raveling)
Pelepasan butir adalah pelepasan partikel agregat dan permukaan perkerasan yang
apabila tidak diperbaiki dalam waktu yang lama, akan makin dalam. Pelepasan butir
dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek yang buruk serta ditimbulkan oleh hal
yang sama dengan lubang. Biasanya agregat halus (fine agregat) terlepas terlebih dahulu
dan akibat erosi yang terus menerus, maka partikel-partikel yang lebih besar akan ikut
terlepas dan menyebabkan permukaan menjadi kasar (rough). Usaha perbaikan yang
dilakukan untuk kerusakan pelepasan butir adalah dengan melakukan penanganan
perataan (leveling) dan perbaikan kemiringan (regarding).
Gambar 2.10 Pelepasan Butir (Raveling)
2.2.3.3 Pengelupasan Lapisan (Stripping)
Pengelupasan merupakan kerusakan perkerasan jalan yang terjadi pada daerah yang luas
menyebabkan permukaan jalan menjadi kasar. Pengelupasan dapat diakibatkan oleh
kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya atau terlalu tipisnya lapis
permukaan. Lepasnya material halus tisak diikuti dengan pemadatan kembali ssehingga
interlock antar agregat menjadi berkurang yang menyebabkan lepasnya agregat. Usaha
perbaikan yang dilakukan untuk kerusakan pelepasan lapisan adalah dengan melakukan
penanganan perataan (leveling) dan perbaikan kemiringan (regarding).
22
Gambar 2.11 Pengelupasan Lapisan (Stripping)
2.2.4 Pengausan (Polished Agregat)
Pengausan adalah kerusakan partikel agregat pada permukaan perkerasan yang licin atau
halus (smooth). Permukaan jalan menjadi licin sehingga membahayakan kendaraan.
Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus terhadap roda
kendaraan atau agregat yang digunakan berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk
cubical. Usaha perbaikan yang dilakukan untuk kerusakan pengausan adalah dengan
melakukan penanganan perataan (leveling) dan perbaikan kemiringan (regarding).
Gambar 2.12 Pengausan (Polished Agregat)
2.2.5 Kegemukan (Bleeding/Flussing)
Kegemukan adalah perpindahan ke atas dari aspal pada permukaan lapisan aspal
sehingga membentuk lapisan aspal di atas permukaan. Biasanya terjadinya luas dan
23
permukaan menjadi licin. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi
jejak roda, hal ini membahakan kendaraan. Kegemukan dapat disebabkan pemakaian
kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada
pakerjaan prime coat atau tack coat. Usaha perbaikan yang dilakukan untuk kerusakan
kegemukan adalah dengan melakukan penanganan P6 (perataan).
Gambar 2.13 Kegemukan (Bleeding of Flussing)
2.3 Konsep Pemeliharaan Jalan
Pemeliharaan jalan perlu dilakukan untuk menjaga jalan agar jalan mencapai umur/masa
layan jalan yang direncanakan atau memperpanjangnya. Secara fisik pemeliharaan jalan
bisa berarti suatu kesatuan kegiatan langsung untuk menjaga suatu struktur agar tetap
dalam kondisi mampu melayani (Haas, 1978).
Menurut NAASRA (1978), definisi pemeliharaan adalah semua jenis pekerjaan yang di
butuhkan untuk menjaga dan memperbaiki jalan agar tetap dalam keadaan baik atau
pekerjaan yang berkaitan dengan keduanya, sehingga mencegah kemunduran atau
penurunan kualitas dengan laju perubahan pesat yang terjadi segera setelah konstruksi
dilaksanakan. Aktifitas pemeliharaan jalan yang diklasifikasikan terhadap frekuensi dan
efeknya terhadap jalan terlihat pada Gambar 2.14. berikut :
24
Gambar 2.14 Hubungan antara kondisi, umur, dan penanganan jalan
2.3.1 Klasifikasi Pemeliharaan Jalan
Klasifikasi pemeliharaan yang dipakai dalam Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan
adalah sebagai berikut:
a. Pemeliharaan Rutin
Merupakan pekerjaan yang skalanya cukup kecil dan dikerjakan tersebar diseluruh
jaringan jalan secara rutin. Dengan pemeliharaan rutin, tingkat penurunan nilai
kondisi struktural perkerasan diharapkan akan sesuai dengan kurva kecenderungan
kondisi perkerasan yang diperkirakan pada tahap desain.
b. Pemeliharaan Berkala (Periodik)
Pemeliharaan berkala (periodik) dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun
dan diadakan menyeluruh untuk satu atau beberapa seksi jalan dan sifatnya
hanya fungsional dan tidak meningkatkan nilai struktural perkerasan. Pemeliharaan
periodik dimaksud untuk mempertahankan kondisi jalan sesuai dengan yang
direncanakan selama masa layanannya.
c. Rehabilitasi atau Peningkatan
Peningkatan jalan secara umum diperlukan untuk memperbaiki integritas struktur
perkerasan, yaitu meningkatkan nilai strukturalnya dengan pemberian lapis tambahan
struktural. Peningkatan jalan dilakukan, apakah karena masa layanannya habis, atau
25
karena kerusakan awal yang disebabkan oleh faktor- faktor luar seperti cuaca atau
karena kesalahan perencanaan atau pelaksanaan rekonstruksi.
d. Rekonstruksi
Dalam hal perkerasan lama sudah dalam kondisi yang sangat jelek, maka lapisan
tambahan tidak akan efektif dan kegiatan rekonstruksi biasanya diperlukan. Kegiatan
rekonstruksi ini juga dimaksud untuk penanganan jalan yang berakibat meningkatkan
kelasnya.
2.3.2 Klasifikasi Jalan dan Tingkat Pelayanan
Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat pelayanan, ditentukan sebagai berikut (Dinas Bina
Marga, 2003) adalah:
a. Jalan dengan Tingkat Pelayanan Mantap
Merupakan ruas-ruas jalan dengan umur rencana yang dapat diperhitungkan serta
mengikuti suatu standar perencanaan teknis. Termasuk kedalam tingkat pelayanan
mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi baik dan sedang.
b. Jalan Tidak Mantap
Merupakan ruas-ruas jalan yang dalam kenyataan sehari-hari masih berfungsi
melayani lalu lintas, tetapi tidak dapat diperhitungkan umur rencananya serta tidak
mengikuti standar perencanaan teknik. Termasuk kedalam tingkat pelayanan tidak
mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi rusak ringan
c. Jalan kritis
Merupakan ruas-ruas jalan sudah tidak dapat lagi berfungsi melayani lalu lintas atau
dalam keadaan putus. Termasuk kedalam tingkat pelayanan kritis adalah jalan-jalan
dengan kondisi rusak berat.
26
2.3.3 Klasifikasi Jalan dan Tingkat Kondisi Jalan
Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat kondisi jalan adalah sebagai berikut
(Dinas Bina Marga, 2003):
a. Jalan Dalam Kondisi Baik
Merupakan jalan dengan permukaan yang benar-benar rata, tidak ada gelombang dan
tidak ada kerusakan permukaan jalan.
b. Jalan Dalam Kondisi Sedang
Merupakan jalan dengan kerataan permukaan perkerasan sedang, tidak ada
gelombang dan tidak ada kerusakan.
c. Jalan Dalam Kondisi Rusak Ringan
Merupakan jalan dengan permukaan sudah mulai bergelombang, mulai ada
kerusakan permukaan dan penambalan.
d. Jalan Dalam Kondisi Rusak Berat
Merupakan jalan dengan permukaan perkerasan sudah banyak kerusakan seperti
bergelombang, retak-retak kulit buaya dan terkelupas yang cukup besar, disertai
kerusakan pondasi seperti amblas, dan sebagainya.
2.3.4 Drainase Jalan
Drainase adalah prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan air dan
atau ke bangunan resapan buatan. Drainase jalan sangat penting untuk memelihara
perkerasan jalan. Jalan yang baik maka harus dilengkapi dengan sistem drainase yang
baik. Sistem drainase yang baik akan memperpanjang masa layan jalan. Drainase jalan
dibedakan menjadi dua yaitu drainase permukaan dan drainase bawah permukaan.
Drainase permukaan berfungsi untuk mengalirkan air dari permukaan perkerasan ke arah
drainase yang dibuat di samping-samping perkerasan, sedangkan drainase bawah
perkerasan berfungasi untuk mencegah masuknya air ke dalam struktur jalan dam
mengeluarkan air dari struktur jalan. Jalan yang baik memiliki kualitas drainase yang
27
baik.
Tabel 2.3 Kualitas drainase
Kualitas Drainase Air Hilang Dalam Waktu
Baik sekali
Baik
Sedang
Jelek
Buruk
2 jam
1 hari
1 minggu
1 bulan
Tidak mengalir sama sekali
Sumber: Dinas Bina Marga, 2003
Kualitas drainase yang buruk akan menyebabkan pengurangan masa layan jalan
sehingga jalan yang seharusnya berumur panjang menjadi berumur pendek. Keberadaan
air sangat berpengaruh pada perkerasan, antara lain:
1. Air menyebabkan perbedaan peranan pada tanah yang bergelombang.
2. Air menurunkan kekuatan material butiran lepas dan tanah subgrade yang bila
ditambah dengan dengan volume lalu lintas truk berat yang membawa muatan
berlebih merupakan kombinasi yang fatal bagi perkerasan jalan.
3. Air menyebabkan penyedotan (pumping) pada perkerasan beton yang dapat
menyebabkan keretakan dan kerusakan pada bahu jalan.
4. Dengan adanya tekanan hidrodinamik yang tinggi akibat pergerakan
kendaraan menyebabkan penyedotan material halus pada lapisan dasar perkerasan
sehingga menyebabakan berkurangnya daya dukung.
2.4 Perencanaan Tebal Perkerasan
Dalam usaha melakukan pemeliharaan dan peningkatan pelayanan jalan,
diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah-daerah yang mengalami kerusakan atau
daerah-daerah yang sudah tidak memenuhi standar pelayanan jalan yang baik. Data-data
yang diperlukan dalam perencanaan lapisan tambahan ini hampir sama dengan data-data
yang diperlukan untuk merencanakan jalan baru. Namun, perlu dilakukan survey
terhadap lapisan permukaan yang telah ada sebelumnya seperti struktur perkerasan, tebal
28
perkerasan, lapis pondasi, lapis bawah pondasi, sehingga dapat mengetahui kekuatan
jalan yang telah ada.
Lapisan perkerasan jalan pada umumnya meliputi:
1. Lapis podasi bawah (Sub base course)
2. Lapis pondasi (Base course)
3. Lapis permukaan (Surface course)
Gambar 2.15 Susunan lapis perkersan jalan
Rumus untuk merencanakan tebal perkerasan adalah:
D1 = ∆𝑰𝑻𝑷
𝒂𝟏 … … … … … … … … … … … … … … … … … ( 2. 1 )
Dalam merencanaan tebal perkerasan metode yang digunakan adalah Metode Analisa
Komponen (Bina Marga). Parameter dalam perencanaan lapis tambahan adalah sebagai
berikut:
2.4.1 Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)
Daya dukung tanah dapat diperoleh dari korelasi antara nilai CBR tanah dasar dengan
nilai DDT itu sendiri. Nilai CBR dapat diperoleh dengan uji CBR tanah. Harga CBR
disini adalah harga CBR lapangan.
29
Sumber: SNI 03.1732.1989
Gambar 2.16 Grafik Korelasi DDT dan CBR
Catatan: Hubungan nilai CBR dengan garis mendatar ke sebelah kiri diperoleh nilai DDT.
Nilai CBR tanah dasar juga dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan:
DDT = 1,6649 + 4,3592log CBR.........................................................(2.2)
Dengan :
DDT = Nilai daya dukung tanah
CBR = nilai CBR tanah dasar
2.4.2 Menentukan umur rencana (UR)
Umur rencana jalan adalah waktu yang ditentukan dari jalan mulai dibuka (mulai
digunakan) sampai jalan perlu dilakukan perbaikan (overlay). Dalam perencanaan jalan
umumnya UR yang digunakan umumnya adalah 10 tahun.
30
2.4.3 Menentukan Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i %)
Fakor pertumbuhan lau lintas ditentukan untuk umur rencana jalan yang telah ditentukan.
Penentuan didasarkan pada tingkat pertumbuhan lalu lintas dalam waktu 1 tahun.
2.4.4 Menentukan Tingkat Lalu Lintas Harian Rara-Rata (LHR)
Penentuan tingkat lalu lintas harian rata-rata untuk setiap jenis kendaraan ditentukan pada
awal umur rencana, yaitu dengan menghitung jumlah kendaraan yang lewat, dihitung
untuk dua arah pada ruas jalan yang berbeda. LHR didefinisikan sebagai volume lalu
lintas yang menyatakan jumlah lalu lintas selam 24 jam yang dinyatakan dalam satuan
smp (satuan mobil penumpang).
2.4.5 Menentukan Angka Ekivalen masing-masing Kendaraan
Angka ekivalen kendaraan berhubungan dengan jumlah lintas yang dilakukan
kendaraan terhadap suatu perkerasan jalan yaitu jumlah repetasi beban yang ditanggung
suatu jalan pada saat tersibuk atau volume kendaraan tertinggi.
a. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)
Merupakan lintas ekivalen pada awal umur rencana atau pada saat jalan baru dibuka.
LEP adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16
ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada awal umur rencana.
LEP dihitung dengan rumus :
𝐿𝐸𝑃 = ∑ 𝐿𝐻𝑅 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑈𝑟 𝑥 𝐶𝑖 𝑥 𝐸𝑖𝑛
𝑗=1… … … … … … … … … … … . (2.3)
Dengan:
UR = Umur rencana
j = Jenis kendaraan
C = Koefisien distribusi kendaraan
E = Angka ekivalen
31
Tabel 2.4 Koefisien distribusi kendaraan (C)
Jumlah Lajur
Kendaraan Ringan
Kendaraan Berat
1 arah
2 arah
1 arah
2 arah
1 Lajur
2 Lajur
3 Lajur
4 Lajur
5 Jalur
6 Lajur
1,00
0,60
0,40
-
-
-
1,00
0,50
0,40
0,30
0,25
0,20
1,00
0,70
0,50
-
-
-
1,000
0,500
0,475
0,450
0,425
0,400
Sumber: SNI 03-1732-1989
b. Angka Ekivalen beban gandar pada sumbu kendaraan
Untuk menghitung angka Ekivalen kendaraan menggunakan rumus :
VDF
4
3,5
kendaraansumbubeban
… … … … (2.4)
VDF
4
16,8
kendaraansumbubeban … … … … (2.5)
VDF =(𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎 𝑟𝑜𝑑𝑎 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎
15)
4… … … … (2.6)
VDF =(𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑟𝑖𝑝𝑙𝑒 𝑟𝑜𝑑𝑎 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎
20)
4… … … … (2.7)
c. Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
Merupakan lintas ekivalen pada akhir umur rencana atau pada saat jalan tersebut
perlu diperbaiki.
LEA dihitung dengan rumus:
LEA = (LEP ( 1 + i ) UR ………………………………………….(2.8)
LEP = Lintas ekivalen permulaan
32
j = Jenis kendaraan
i = Perkembangan lalu lintas
d. Lintas Ekivalen Tengah (LET)
Merupakan jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16
ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur
rencana.
LET dihitung dengan rumus :
𝑳𝑬𝑻 = 𝑳𝑬𝑷 + 𝑳𝑬𝑨
𝟐… … … … … … … … … … … (𝟐. 𝟗)
e. Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Merupakan besarnya nilai lintas ekivalen yang akan terjadi atau yang direncanakan
pada awal umur rencana hingga akhir umur rencana jalan.
LER dihitung dengan rumus:
𝑳𝑬𝑹 = 𝑳𝑬𝑻 𝒙 𝑼𝑹
𝟏𝟎… … … … … … … … … … … … … … . (𝟐. 𝟏𝟎)
2.4.6 Menentukan Faktor Regional (FR)
Hal-hal yang mempengaruhi nilai FR antara lain adalah:
1. Permeabilitas tanah
2. Kelengkapan drainase
3. Bentuk alinyemen
4. Presentase kendaraan yang ada
5. Keadaan iklim yang mencakup curah hujan rata-rata pertahun.
33
Tabel 2.5 Fakor regional (FR)
Kelandaian I
(<6%)
Kelandaian II
(>6 – 10%)
Kelandaian III
(>10%)
% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30%
Iklim I
< 900 mm/th
0,5
1,0 – 1,5
1,0
1,5 – 2,0
1,5
2,0 – 2,5
Iklim II
> 900 mm/th
1,5
2,0 – 2,5
2,0
2,5 – 3,0
2,5
3,0 – 3,5
Sumber: SNI 03.1732.1989
2.4.7 Menentukan Indeks Permukaan (IP)
Nilai indeks permukaan dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo)
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo), perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada
awal umur rencana, menurut table di bawah ini:
34
Tabel 2.6 Indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo)
Jenis lapis perkerasan IPo Roughness (mm/km)
LASTON
LASBUTAG
HRA
BURDA
BURTU
LAPEN
LATASBUM
BURAS
LATASIR
JALAN TANAH
JALAN LERIKIL
≥ 4
3,9 – 3,5
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,4 – 3,0
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
≤ 2,4
≤ 2,4
≤ 1000
> 1000
≤ 2000
> 2000
≤ 2000
> 2000
≤ 2000
< 2000
≤ 3000
< 3000
Sumber: SNI 03.1732.1989
Indeks permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan/kehalusan serta
kekokohan permukaan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu
lintas yang lewat.
b. Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt)
Merupakan nilai indeks permukaan pada akhir umur rencana atau akhir masa layan
jalan. Ipt menunjukkan tingkat kerusakan yang diijinkan pada akhir umur rencana.
Dalam menentukan IPt perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional
jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER) menurut tabel di bawah ini. Beberapa
nilai IPt dan artinya adalah sebagai berikut:
35
IP = 1,0 : menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat
mengganggu lalu lintas kendaraan yang lewat.
IP = 1,5 : tingkat pelayanan yang rendah yang masih mungkin (jalan tidak
terputus).
IP = 2,0 : tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap.
IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil yang baik.
Tabel 2.7 Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt)
LER
Klasifikafikasi Jalan
lokal kolektor arter
i
Tol
< 10
10 – 100
100 – 1000
> 1000
1,0 – 1,5
1,5
1,5 – 2,0
-
1,5
1,5 – 2,0
2,0
2,0 – 2,5
1,5 – 2,0
2,0
2,0 – 2,5
2,5
-
-
-
2,5 Sumber: SNI 03.1732.1989
2.4.8 Mencari Nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
Indeks tebal perkerasan (ITP) adalah angka yang berhubungan dengan penentuan tebal
minimum tiap lapis di suatu jalan. Jalan yang memakai perkerasan lentur memiliki 3
lapisan utama yaitu lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah. Tiap
lapisan memiliki nilai minimum untuk indeks tebal perkerasan yang diambil dari
nomogram ITP berdasarkan hubungan DDT, LER, dan FR.
ITP = a1.D1 +a2.D2 + a3.D3 ................................................................ (2.11)
36
Dengan:
a1,a2,a3 = koefisien kekuatan relatif
D1,D2,D3 = tebal masing-masing perkerasan
Tabel 2.8 Penentuan nomogram ITP
IPt
IPo
ITP
1
1
1,5
1,5
1,5
2
2
2
2,5
2,5
2,4
2,5 – 2,9
2,5 – 2,9
3,5 – 3,9
2,5 – 3,9
3,5 – 3,9
3,5 – 3,9
4
3,5 – 3,9
4
9
8
7
6
5
4
4
3
2
1
Sumber: SNI 03.1732.1989
Sumber: SNI 03-1732-1989
Gambar 2.17 Contoh Grafik Nomogram 4
37
Tabel 2.9 Konfigurasi beban untuk MST 10 ton
GOLONGAN
KONFIGURASI
VDF
6B
(trailer 2 sumbu)
1.2H
3,898
7A
(trailer 3 sumbu)
1.2.2
3,679
7C1 (trailer 4
sumbu)
1.2 + 2.2
5,934
7C2 (trailer 5
sumbu)
1.2 + 2.2.2
6,222
7C3 (trailer 6
sumbu)
1.2.2 + 2.2.2
6,003
Sumber :Subdit Teknik Jalan, Dit Bin
38
2.5 Metode Pavement Conditons Index (PCI)
PCI adalah sistem penilaian kondisi perkerasan jalan berdasarkan jenis, tingkat
dan luas kerusakan yang terjadi, dan dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha
pemeliharaan.
Nilai PCI ini memiliki rentang 0–100 dengan kriteria baik (good), memuaskan
(sarisfactory), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor), serius (serious)
dan gagal (failed) (Shahin 1996).
Dalam survei ini, cara untuk mengukur kerusakan adalah dengan menandai daerah
yang rusak dengan cat atau kapur untuk menandai batas-batas pengukuran dengan
membuat garis segiempat ± 10 cm dari daerah kerusakan. Data-data dari survey
kerusakan jalan kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas kerusakan sebagai
berikut :
2.5.1 Deformasi
Deformasi adalah perubahan permukaan jalan dari profil aslinya sesudah
pembangunan). Deformasi merupakan kerusakan penting dari perkerasan penting
dari kondisi perkerasan karena berpengaruh dengan kualitas pelayanan kendaraan
dalam berlau lintas. Beberapa tipe deformasi dalam perkerasan lentur adalah:
2.5.1.1 Alur (Rutting)
Alur adalah defor masi permukaan perkerasan aspal dalam bentuk turunnya
perkerasan ke arah memanjang pada lintasan roda kendaraan. Alur dapat diketahui
setelah turunnya hujan yaitu dengan terisinya retakan oleh air. Alur disebabkan
oleh deformasi permanen di permukaan aspal, biasanya disebabkan oleh
konsolidasi atau pergerakan lateral akibat beban kendaraaan. Tingkat kerusakan
perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
39
Tabel 2.10 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan Alur
(Rutting)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Kedalaman alur rata-rata 6 – 13 mm (¼ - ½ in.)
M Kedalaman alur rata-rata 13 – 25 mm (½ - 1 in.)
H Kedalaman alur rata-rata 25 mm (1 in.)
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.1.2 Bergelombang (Corrugation)
Bergelombang atau keriting adalah kerusakan yang diakibatkan oleh terjadinya
deformasi plastis yang menghasilkan gelombang-gelombang melintang atau tegak
lurus arah perkerasan aspal. Bergelombang juga disebabkan oleh aktifitas
kendaraan dan juga lapis permukaan yang tidak stabil.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.11 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
bergelombang (Corrugation).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Bergelombang mengakibatkan sedikit
gangguan kenyamanan kendaraan.
M Bergelombang mengakibatkan cukup gangguan
kenyamanan kendaraan.
H Bergelombang mengakibatkan banyak
gangguan kenyamanan kendaraan.
Sumber: ASTM D 6433-07
40
2.5.1.3 Sungkur (Shoving)
Sungkur adalah perpindahan permanen secara lokal dan memanjang dari
permukaan perkerasan yang disebabkan oleh beban lalu lintas. Kerusakan ini
biasanya hanya terjadi pada campuran aspal yang tidak stabil (cutback atau
emulsion).
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.12 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
sungkur (Shoving).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Sungkur mengakibatkan sedikit gangguan
kenyamanan kendaraan.
M Sungkur mengakibatkan cukup gangguan
kenyamanan kendaraan.
H Sungkur mengakibatkan banyak gangguan
kenyamanan kendaraan.
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.1.4 Amblas (Depression)
Amblas adalah penurunan permukaan perkerasan yang terjadi pada area terbatas
yang mungkin dapat diikuti dengan retakan. Sekilas amblas tidak diketahui sampai
terjadi hujan dan air menggenang. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan
PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
41
Tabel 2.13 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
amblas (Depression).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Kedalaman amblas rata-rata 13 – 25 mm (½ - 1 in.)
M Kedalaman amblas rata-rata 25– 50 mm (1 – 2 in.)
H Kedalaman amblas rata-rata >50 mm (2 in.)
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.1.5 Mengembang (Swell)
Mengembang adalah gerakan ke atas dari lapisan perkerasan yang terjadi secara
lokal akibat pengembangan atau pembekuan air dari tengah atau dari bagian
struktur perkerasan. Mengembang bisa juga disertai dengan retakan.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.14 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
mengembang (Swell).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L
Pengembangan mengakibatkan sedikit gangguan
kenyamanan kendaraan. Kerusakan ini sulit
dilihat, tapi dapat dideteksi dengan kendaraan
cepat. Gerakan keatas akan terasa jika melewati
jalan yang mengembang.
M Pengembangan mengakibatkan cukup
gangguan kenyamanan kendaraan.
H Pengembangan mengakibatkan banyak
gangguan kenyamanan kendaraan.
Sumber: ASTM D 6433-07
42
2.5.1.6 Benjol dan Turun (Bump and Sags)
Benjol adalah pergerakan atau perpindahan ke atas yang bersifat lokal dan kecil
dari permukaan aspal.
Benjol berbeda dengan sungkur. Sungkur diakibatkan oleh perkerasan yang tidak
stabil, sedangkan benjol diakibatkan oleh bererapa faktor antara lain pembekuan
es yang mengumpul, infiltrasi dan keluarnya material pada retakan dengan
dipengaruhi oleh beban kendaraan. Turun (sags) pergerakan atau perpindahan ke
bawah yang bersifat lokal dan kecil dari permukaan aspal.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.15 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan benjol
dan turun (Bump and Slags).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Benjol dan melengkung mengakibatkan sedikit
gangguan kenyamanan kendaraan.
M Benjol dan melengkung mengakibatkan cukup
gangguan kenyamanan kendaraan.
H Benjol dan melengkung mengakibatkan banyak
gangguan kenyamanan kendaraan.
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.2 Retak (Crack)
Retak dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
faktor dan melibatkan mekanisme yang kompleks. Secara teoritis, retak dapat
terjadi bila tegangan tarik yang terjadi pada lapisan aspal melampaui tegangan
43
tarik maksimum yang dapat ditahan oleh perkerasan tarik tersebut. Beberapa tipe
retak perkerasan lentur adalah:
2.5.2.1 Retak Kulit Buaya (Alligator Crack)
Retak kulit buaya adalah retak yang berbentuk sebuah jaringan dari bidang yang
bersegi banyak (polygon) kecil-kecil menyerupai kulit buaya dengan lebar celah
lebih besar atau sama dengan 3 mm.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.16 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak
kulit buaya (Alligator Crack).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L
Halus, retak rambut/halus memanjang sejajar satu
dengan yang lain, dengan atau tanpa berhubungan satu
sama lain. Retakan tidak mengalami gompal.
M
Ringan retak kulit buaya ringan terus berkembang ke
dalam pola atau jaringan retakan yang diikuti gompal
ringan.
H
Jaringan atau pola retak telah berlanjut, sehingga
pecahan-pecahan dapat diketahui dengan mudah dan
terjadi gompal di pinggir. Beberapa pecahan
mengalami rocking akibat lalu lintas.
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.2.2 Retak Memanjang dan Melintang
Retak memanjang adalah retak yang terjadi secara memanjang pada perkerasan
jalan, dapat terjadi dalam bentuk tunggal atau berderet yang sejajar dan kadang-
kadang sedikit bercabang.
44
Retak melintang adalah retak tungal (tidak bersambungan satu sama lain) yang
melintang perkerasan.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.17 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak
memanjang dan melintang (longitudinal and tranversal crack).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak tak terisi, lebar 10 mm (3/8 in.)
2. Retak terisi, sembarang lebar (Pengisi kondisi
bagus).
M
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak tak terisi, lebar 10 - 75 mm (3/8 - 3 in.)
2. Retak terisi sembarang lebar sampai 75 mm (3
in) dikelilingi retak acak ringan.
3. Retak terisi sembarang lebar, dikelilingi retak
agak acak.
H
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi
oleh retak acak, kerusakan sedang sampai tinggi.
2. Retak tak terisi >75 mm (3 in.)
3. Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.)
dengan disekitar retakan mengalami pecah.
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.2.3 Retak Reflektif Sambungan (Joint Reflection Crack)
Retak reflektif sambungan berasal dari pelat beton sement portland, PCC,
perkerasan aspal yang telah dihamparkan pada permukaan perkerasan beton semen
portland.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
45
dalan tabel berikut:
Tabel 2.18 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak
refleksi sambungan (Joint Reflection Crack).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak tak terisi, lebar 10 mm (3/8 in.)
2. Retak terisi, sembarang lebar (Pengisi kondisi
bagus).
M
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak tak terisi, lebar 10 - 75 mm (3/8 - 3 in.)
2. Retak terisi sembarang lebar sampai 75 mm (3
in.) dikelilingi retak acak ringan.
3. Retak terisi sembarang lebar, dikelilingi retak
acak ringan
H
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi
oleh retak acak, kerusakan sedang atau tinggi.
2. Retak tak terisi >75 mm (3 in.)
Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.), dengan
beberapa inci disekitar retakan, pecah (retak berat
menjadi pecahan).
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
3. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi
oleh retak acak, kerusakan sedang atau tinggi.
4. Retak tak terisi >75 mm (3 in.)
5. Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.), dengan
beberapa inci disekitar retakan, pecah (retak berat
menjadi pecahan). Sumber: ASTM D 6433-07
46
2.5.2.4 Retak Blok (Block Crack)
Retak blok berbentuk blok-blok besar yang saling bersambungan dengan ukuran
sisi blok 0,30 m sampai dengan 3 m dan dapat membentuk sudut atau pojok yang
tajam.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.19 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak
blok (Block Crack).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan
rendah.
M Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan
sedang.
H Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan
tinggi.
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.2.5 Retak Slip (Slippage Crack)
Retak slip atau retak bulan sabit diakibatkan oleh gaya-gaya horizontal yang berasal
dari kendaraan. Kerusakan ini biasanya terjadi pada overlaping yaitu ketika lapisan
permukaan dan lapisan di bawahnya tidak merekat secara sempurna.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalam tabel berikut:
47
Tabel 2.20 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak
slip (Slippage Crack) /retak bulan sabit (Crescent Shape Crack).
Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan
L Retak rata-rata lebar < 10 mm (3/8 in.).
M
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak rata-rata 10 – 40 mm (3/8 – 1,5 in.).
2. Area disekitar retakan pecah ke dalam
pecahan- pecahan terikat.
H
Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
1. Retak rata-rata > 40 mm ( ½ in.)
2. Area disekitar retakan pecah ke dalam
pecahan- pecahan mudah terbongkar.
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.3 Kerusakan di Pinggir Perkerasan
Kerusakan di pinggir perkerasan adalah retak yang terjadi di sepanjang pertemuan
antara permukaan perkerasan aspal dan bahu jalan, apalagi bahu jalan tidak
ditutup (unsealed). Beberapa tipe kerusakan di pinggir perkerasan lentur adalah:
2.5.3.1 Retak Tepi (Edge Cracking)
Retak tepi perkerasan adalah retak yang terjadi sejajar dengan pinggir perkerasan
dan berjarak sekitar 30 – 50 cm dari pinggir perkerasan. Kerusakan ini
diakibatkan oleh beban lalu lintas dan lemahnya tanah dasar atau lapis pondasi
dekat ujung perkerasan.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
48
Tabel 2.21 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak
pinggir (Edge Cracking).
Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan
L
Retak sedikit sampai sedang dengan atau tanpa
pacahan atau butiran lepas. (m’)
M
Retak sedang dengan beberapa pecahan dan butiran
lepas. (m’)
H
Banyak pecahan atau butiran lepas di depanjang
tepi perkerasan. (m’)
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.3.2 Jalur/Bahu turun (Lane/Shoulder Drop-off)
Jalur/bahu jalan turun adalah beda elevasi antara pinggir perkerasan dan bahu
jalan. Kerusakan ini diakibatkan oleh erosi bahu jalan atau pergerakan bahu jalan.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.22 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
jalur/bahu turun (Lane/Shoulder Drop-off).
Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan
L Beda elevasi antara pinggir perkerasan dan bahu jalan
25– 50 mm (1–2 in).
M Beda elevasi > 50 – 10 mm (2 – 4 in).
H Beda elevasi > 10 mm (4 in).
Sumber: ASTM D 6433-07
49
2.5.4 Kerusakan Tektur Perkerasan
Kerusakan tekstur permukaan adalah kehilangan material perkerasan secara
berangsur-angsur dari lapisan perkerasan ke arah bawah. Beberapa tipe kerusakan
tekstur permukaan perkerasan lentur adalah:
2.5.4.1 Lubang (Pothole)
Lubang adalah lekukan permukaan perkerasan akibat hilangnya lapisan aus dan
material lapis pondasi (base). Kerusakan berbentuk lubang kecil biasanya
berdiameter kurang dari <750 mm (30 in.) dan berbentuk mangkuk yang dapat
berhubungan atau tidak berhubungan dengan permukaan lainnya. Lubang biasanya
terjadi akibat galian utilitas atau tambalan di area perkerasan yang telah ada atau
akibat retak kulit buaya yang parah. Untuk kerusakan ini tiap kerusakan dihitung 1
unit, bukan luasanya.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.23 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
lubang (Pothole).
Kedalaman maksimum
Diameter rata-rata lubang
100 -200 mm
(4 – 8 in)
200 – 450 mm
(8 – 18 in)
450 – 750 mm
(18 – 30 in)
13 – 25 mm (½ -1 in) L L M
25– 50 mm (1 – 2 in) L M H
>50 mm (2 in) M M H
Sumber: ASTM D 6433-07
50
2.5.4.2 Pelapukan dan Butiran Lepas (Weathering and Raveling)
Pelapukan dan pelepasan butir adalah disintegrasi permukaan perkerasan aspal
melalui perkerasan partikel agregat yang berkelanjutan, berawal dari permukaan
perkerasan menuju ke bawah atau dari pinggir ke dalam.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.24 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
pelapukan dan butiran lepas (Weathering and Raveling).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L
Agregat bahan pengikat mulai lepas. Di beberapa tempat,
permukaan mulai berlubang. Jika ada tumpahan oli,
genangan oli dapat terlihat tapi permukaanya keras dan
tidak dapat di tembus dengan mata uang logam.
M
Agregat atau pengikat telah lepas. Tekstur permukaan
agak kasar dan berlubang. Jika ada tumpahan oli,
permukaanya akan lunak dan dapat ditembus dengan mata
uang logam.
H
Agregat atau pengikat telah banyak lepas. Tekstur
permukaan sangat kasar dan mengakibatkan banyak
lubang. Diameter luasan lubang <10 mm (4 in) dan
kedalaman 13 mm (½ in). Luas lubang lebih besar dari
ukuran ini, dihitung sebagai kerusakan lubang (pothole).
Jika ada oli permukaannya lunak, pengikat aspal telah
hilang ikatannya sehingga agregat menjadi longgar.
Sumber: ASTM D 6433-07
51
2.5.5 Kegemukan (Bleeding/Flussing)
Kegemukan adalah hasil dari pemakaian aspal pengikat yang berlebihan dan
bermigrasi ke atas permukaan. Kelebihan kadar aspal atau terlalu rendahnya kadar
udara dalam campuran, dapat mengakibatkan kegemukan.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.25 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
kegemukan (Bleeding/Flussing).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L
Kegemukan terjadi hanya pada derajat rendah dan
nampak hanya beberapa hari dalam setahun. Aspal tidak
melekat pada sepatu atau roda kendaraan.
M
Kegemukan telah mengakibatkan aspal melekat pada
sepatu atau roda kendaraan, paling tidak dalam beberapa
minggu dalam setahun.
H
Kegemukan telah begitu nyata dan banyak aspal yang
melekat pada sepatu atau roda kendaraan, paling tidak
dalam beberapa minggu dalam setahun.
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.6 Agregat Licin (Polished Agregate)
Agregat licin adalah licinnya permukaan atau perkerasan akibat ausnya agregat di
permukaan akibat adanya kendaraan yang lewat secara berulang-ulang. Kerusakan
ini dapat diketahui dengan menghitung nilai skid resistant.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalam tabel berikut:
52
Tabel 2.26 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
agregat licin (Polished Agregate).
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
Tidak ada definisi derajat kerusakan. Tetapi derajat
kelicinan harus Nampak signifikan, sebelum
dilibatkan dalam survey kondisi dan dinilai sebagai
kerusakan.
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.7 Tambalan dan Tambalan Galian Utilitas (Patching and Utility Cut
Patching)
Tambalan (Patch) adalah penutupan bagian perkerasan yang mengalami perbaikan.
Tambalan tetap akan mempengaruhi pengendara, karena performa tambalan tidak
akan sama dengan kondisi jalan yang sebenarnya.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.27 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi Tambalan dan
Tambalan Galian Utilitas (Patching and Utility Cut Patching)
Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L
Tambalan dalam kondisi baik dan memuaskan.
Kenyamanan kendaraan dinilai terganggu sedikit atau
lebih baik.
M Tambalan sedikit rusak dan atau kenyamanan kendaraan
agak terganggu.
H Tambalan sangat rusak dan/atau kenyamanan kendaraan
sangat terganggu.
Sumber: ASTM D 6433-07
53
2.5.8 Persilangan Jalan Rel (Railroad Crossing)
Kerusakan pada persilangan jalan rel dapat berupa amblas atau benjola di sekitar
dan atau lintasan rel.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan
dalan tabel berikut:
Tabel 2.28 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
Persilangan Jalan Rel (Railroad Crossing)
.Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan
L
Persilangan jalan rel menyebabkan sedikit
gangguan kenyamanan kendaraan.
M
Persilangan jalan rel menyebabkan cukup gangguan
kenyamanan kendaraan.
H
Persilangan jalan rel menyebabkan gangguan besar
kenyamanan kendaraan.
Sumber: ASTM D 6433-07
2.5.9 Kadar Kerusakan (Density)
Density atau kadar kerusakan adalah persentasi luasan dari suatu jenis kerusakan
terhadap luasan suatu unit segmen yang diukur dalam meter persegi atau meter
panjang. Nilai density suatu jenis kerusakan juga dibedakan berdasarkan tingkat
kerusakan. Densitas di dapat dari luas kerusan dibagi dengan luas perkerasan
jalan (tiap segmen) kemudian dikalikan 100%. Rumus selengkapnya adalah
sebagai berikut:
𝑫𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 (%) = (𝑨𝒅
𝑨𝒔) 𝒙 𝟏𝟎𝟎 % … … … … … … … … … . (2.12)
54
Dengan:
Ad = Luas total jenis kerusakan untuk tiap tingkat kerusakan (m2)
As = Luas total unit segmen (m2)
2.5.10 Nilai Pengurangan Deduct Value (DV)
Deduct value adalah nilai pengurangan untuk tiap jenis kerusakan yang diperoleh
dari kurva hubungan antara density dan deduct value. Deduct value juga dibedakan
atas tingkat jenis kerusakan. Adapun untuk mencari DV adalah engan memasukkan
presentase densitas pada grafik masing-masing jenis kerusakan kemudian menarik
garis vertikal sampai memotong tingkat kerusakan (low, medium, high),
selanjutnya pada perpotongan tersebut ditarik garis horizontal dan akan didapat
DV.
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.18 Grafik Deduct Value untuk Alur
55
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.19 Grafik Deduct Value untuk Gelombang
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.20 Grafik Deduct Value untuk Sungkur
56
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.21 Gambar Deduct Value untuk Amblas
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.22 Grafik Deduct Value untuk Mengembang
57
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.23 Grafik Deduct Value untuk Benjol dan Turun
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.24 Grafik Deduct Value untuk Retak Buaya
58
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.25 Grafik Deduct Value untuk Retak Memanjang/Melintang
Sumber: ASTM D 6433-0
Gambar 2.26 Grafik Deduct Value untuk Retak Reflektif Sambungan
59
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.27 Grafik Deduct Value untuk Retak Blok
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.28 Grafik Deduct Value untuk Retak Slip
60
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.29 Grafik Deduct Value untuk Retak Tepi
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.30 Grafik Deduct Value untuk Jalur / Bahu Turun
61
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.31 Grafik Deduct Value untuk Lubang
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.32 Grafik Deduct Value untuk Pelapukan dan Butiran Lepas
62
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.33 Grafik Deduct Value untuk Aggregat Licin
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.34 Grafik Deduct Value untuk Kegemukan
63
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.35 Grafik Deduct Value untuk Tambalan dan Tambalan Galian
Sumber: ASTM D 6433-0
Gambar 2.36 Grafik Deduct Value untuk Persilangan Jalan Rel
64
2.5.11 Total Deduct Value (TDV)
Adalah nilai total deduct value untuk tiap jenis kerusakan dan tingkat kerusakan
pada suatu segmen yang ditinjau.
2.5.12 Corrected Deduct Value (CDV)
Corrected deduct value diperoleh dari kurva hubungan antara nilai TDV dengan
nilai CDV Diurutkan dari dnilai Deduct Values dari yang terbesar tiap segmen
dengan langkah sebagai berikut :
Menjumlahkan Nilai DV ( TDV )
Mencari Nilai Q ( Nilai DV yang lebih dari koef. Aspal ( 2 )
Mencari hubungan antara TDV dan Q dengan Grafik 2.37
Mengganti Nilai DV yang kebih dari 2 dengan koef. Aspal ( 2 ) & mencari
dengan Grafik 2.37 lagi sampai diperoleh Nilai Q = 1.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui Individu Kerusakan yang terjadi pada suatu
segmen.
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.37 Grafik Corrected Deduct Value (CDV)
65
2.5.3 Nilai Kondisi Perkerasan (PCI)
Jika nilai CDV diketahui, maka nilai PCI untuk tiap unit dapat diketahui dengan
rumus:
PCI = 100 – CDV Maks………………………………………………(2.12)
Dengan :
PCI(s) = Pavement Condition Index untuk tiap unit
CDV = Corrected Deduct Value untuk tiap unit
2.5.4 Klasifikasi Kualitas Kerusakan
Dari nilai PCI masing-masing unit penelitian dapat diketahui kualitas lapis
perkerasan untuk unit segmen berdasarkan kondisi tertentu yaitu baik (good),
memuaskan (sarisfactory), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor),
serius (serious) dan gagal (failed) (Shahin 1996).
Untuk mengetahui nilai kondisi perkerasan keseluruhan (pada ruas jalan yang
ditunjau) adalah dengan menjumlahkan semua nilai kondisi perkerasan pada tiap-
tiap segmen dan membaginya dengan total jumlah segmen. rumus yang
dipakai adalah sebagai berikut :
𝑃𝐶𝐼 =∑ PCI(s)
𝑛 … … … … … … … (2.13)
Dengan:
PCI = Nilai PCI perkerasan keseluruhan
PCI(s) = Pavement Condition Index untuk tiap unit
n = Jumlah unit
Rata-rata PCI yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam parameter seperti
nampak pada gambar di bawah ini :
66
Sumber: ASTM D 6433-07
Gambar 2.38 Nilai Kondisi Perkerasan (PCI) dan Tingkat Kerusakan
2.5 Jenis Pemeliharaan Berdasarkan Nilai PCI
Setelah diketahui nilai kondisi perkerasan berdasarkan hasil dari perhitungan nilai
PCI, maka selanjutnya dapat dilanjutkan dengan menentukan jenis pemeliharaan
atau perawatan terhadap perkerasan jalan tersebut. Dalam menentukan jenis
pemeliharaan nilai kondisi perkerasan ini disesuaikan dengan standar bina marga
sehingga didapatkan nilai kondisi jalan.
Tabel 2.29 Nilai Kondisi Jalan
Penilaian
Rating
Nilai
86– 100
71– 85
56– 70
41– 55
26– 40
11– 25
0-10
Good
Satisfactory
Fair
Poor
Very Poor
Serious
Failed
3
4
5
6
7
8
9
Sumber:ASTMD6433-0
67
2.6 Metode Perbaikan
Metode perbaikan standar Dirjen Bina Marga tahun 1995 :
2.6.1 Metode Perbaikan P1 (Penebaran Pasir)
a. Jenis kerusakan
1) Lokasi kegemukan aspal terutama pada tikungan dan tanjakan.
b. Langkah penanganan
1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.
2. Memberikan tanda pada jalan yang akan diperbaiki.
3. Membersihkan daerah dengan air compressor.
4. Menebarkan pasir kasar atau agregat halus dengan tebal > 10 mm di
atas permukaan yang rusak.
5. Melakukan pemadatan dengan pemadat ringan (berat 1 – 2 ton)
sampai diperoleh permukaan yang rata dan mempunyai kepadatan
optimal yaitu mencapai 95
6. Bersihkan tempat pekerjaan dari sisa bahan dan alat pengaman.
7. Demobilitas.
2.6.2 Metode Perbaikan P2 (Laburan Aspal Setempat)
a. Jenis kerusakan
1. Kerusakan tepi bahu jalan beraspal.
2. Retak kulit buaya dengan lebar <2 mm.
3. Retak melintang, retak diagonal, dan retak memanjang dengan lebar
retak < 2mm.
4. Terkelupa
68
b. Langkah penanganan
1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.
2. Memberikan tanda pasa jalan yang akan diperbaiki.
3. Membersihkan daerah dengan air compressor.
4. Menebarkan pasir kasar atau agregat halus dengan tebal 5 mm
di atas permukaan yang rusak hingga rata.
5. Melakukan pemadatan dengan mesin pneumatic sampai diperoleh
permukaan yang rata dan mempunyai kepadatan optimal yaitu
mencapai 95 %.
6. Bersihkan tempat pekerjaan dari sisa bahan dan alat pengaman.
7. Demobilitas.
2.6.3 Metode Perbaikan P3 (Melapisi Retak)
a. Jenis kerusakan
Lokasi-lokasi retak satu arah dengan lebar retakan < 3 mm.
b. Langkah penanganan
1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.
2. Memberikan tanda pasa jalan yang akan diperbaiki.
3. Membersihkan daerah dengan air compressor.
4. Buat campuran aspal emulsi dan pasir kasar dengan menggunakan
Concrete Mixer dengan komposisi sebagai berikut :
Pasir 20 Liter
aspal emulsi 6 Liter
5. Menyemprotkan tack coat dengan aspal emulsi jenis RC (0,2
lt/m2
) di daerah yang akan diperbaiki.
6. Menebarkan dan meratakan campuran aspak di atas permukaan
yang terkena kerusakan hingga rata.
7. Melakukan kepadatan ringan (1 – 2 ton) sampai diperoleh
permukaan yang rata dan mempunyai kepadatan optimal yaitu
mencapai 95 %.
69
8. Bersihkan tempat pekerjaan dari sisa bahan dan alat pengaman.
9. Demobilitas
2.6.4 Metode Perbaikan P4 (Pengisian Retak)
a. Jenis kerusakan
Lokasi-lokasi retak satu arah dengan lebar retak < 3 mm.
b. Langkah penanganan
1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.
2. Memberikan tanda pasa jalan yang akan diperbaiki.
3. Membersihkan daerah dengan air compressor.
4. Mengisi retakan dengan dengan aspal tack back (2 lt/m2)
5. menggunakan aspal spayer.
6. Menebarkan pasir kasar atau agregat halus dengan tebal > 10 mm
diatas permukaan yang rusak.
7. Melakukan pemadatan dengan baby roller minimal 3 lintasan.
8. Angkat kembali rambu pengaman dan beersihkan lokasi dari sisa
bahan
9. Demobilitas
2.6.5 Metode Perbaikan P5 (Penambalan Lubang)
a. Jenis kerusakan
1. Lubang dengan kedalaman > 50 mm.
2. Retak kulit buaya ukuran > 3 mm.
3. Bergelombang dengan kedalaman > 30 mm.
4. Alur dengan kedalaman > 30 mm.
5. Amblas dengan kedalaman > 50 mm.
6. Kerusakan tepi perkerasan jalan.
70
b. Langkah penanganan
1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.
2. Memberikan tanda pada jalan yang akan diperbaiki.
3. Menggali material sampai mencapai material di bawahnya
(biasanya kedalaman pekerjaan jalan 150 – 200 mm, harus
diperbaiki).
4. Membersihkan daerah yang diperbaiki dengan air compressor.
5. Pemeriksaan kadar air optimum material pekerjaan jalan yang
ada. Jika kering tambahkan air hingga keadaan optimum. Jika
basah gali material dan biarkan sampai kering.
6. Padatkan dasar galian dengan menggunakan pemadat tangan
7. Isi galian dengan bahan pondasi agregat yaitu kelas A atau kelas
B (tebal maksimum 15 cm), kemudian padatkan dalam keadaan
kadar optimum air sampai kepadatan maksimum.
8. Menyemprotkan lapis serap ikat (pengikat) prime coat jenis RS
dengan takaran 0,5 lt/m2. Untuk Cut Back jenis MC-30 atau 0,8 lt/
m2 untuk aspal emulsi.
9. Aduk agregat untuk campuran dingin dalam Concrete Mixer
dengan perbandingan agregat kasar dan halus 1,5 : 1.
10. Kapasitas maksimum aspalt mixer kira-kira 0,1 m3. Untuk
campuran dingin tambahkan semua agregat 0,1 m3 sebelum aspal.
11. Tambahkan aspal dan aduk selama 4 menit siapkan campuran aspal
dingin secukupnya untuk keseuruhan dari pekerjaan ini.
12. Tebarkan dan padatkan campuran aspal dingin dengan tebal
maksimum 40 mm sampai diperoleh permukaan yang rata dengan
menggunakan alat perata.
13. Padatkan dengan Baby Roller minimum 5 lintasan, tambahkan
material jika diperlukan.
14. Bersihkan lapangan dan periksa peralatan dengan permukaan yang
ada.
15. Angkat kenbali rambu pengaman dan bersihkan lokasi dari sisa
material.
71
16. Demobilitas.
2.6.6 Metode Perbaikan P6 (Perataan)
a. Jenis kerusakan
1. Lubang dengan kedalaman < 50 mm.
2. Bergelombang dengan kedalaman < 30 mm.
3. Lokasi penurunan dengan kedalaman < 50 mm.
4. Alur dengan kedalaman < 30 mm.
5. Jembul dengan kedalaman < 50 mm.
6. Kerusakan tepi perkerasan jalan.
b. Langkah penanganan
1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.
2. Memberikan tanda pada jalan yang akan diperbaiki.
3. Membersihkan daerah yang diperbaiki dengan air compressor.
4. Semprotkan tack coat dari jenis RS pada daerah kerusakan 0,5
lt/m2 untuk aspal emulsi atau 0,2 lt/m2 untuk cut back dengan aspalt
ketlle / kaleng berlubang.
5. Aduk agregat untuk campuran dingin dengan perbandingan 1,5
agregat kasar : 1,0 agregat halus.
6. Kapasitas maksimum mixer kira-kira 0,1 m3. Untuk campuran
dingin tambahkan agregat 0,1 m3 sebelum aspal.
7. Tambahkan material aspal dan aduk selama 4 menit. Siapkan
campuran aspal dingin kelas A, kelas C, kelas E, atau campuran aspal
beton secukupnya sampai pekerjaan selesai.
8. Hamparkan campuran aspal dingin pada permukaan yang telah
ditandai, sampai ketebalan diatas permukaan minimum 10 mm.
9. Padatkan dengan Baby Roller (minimum 5 lintasan) sampai
diperoleh dan kepadatan optimum.
10. Bersihkan lapangan dan angkat kembali rambu pengaman.
11. Demobilitas