BAB 2 LANDASAN TEORI

67
5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dasar Teori 2.1.1 Definisi Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006) Jalan raya adalah jalur-jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusi dengan bentuk, ukuran-ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat. (Clarkson H. Oglesby.1999) Ruas Jalan Gondang Manis Kota Kudus merupakan jalur yang berada di daerah industri dan pariwisata Kabupaten Kudus sehingga frekuensi kendaraan cukup tinggi sehingga perlu adanya pemeliharaan dan peningkatan jalan guna menghasilkan kualitas jalan yang jauh lebih baik bagi pengguna jalan agar tercipta keamanan, kenyamanan dan kelancaran dalam berlalu lintas.

description

Tugas Akhir PCI

Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI

Page 1: BAB 2 LANDASAN TEORI

5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Dasar Teori

2.1.1 Definisi Jalan

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk

bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang

berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah

dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan

kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006)

Jalan raya adalah jalur-jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusi

dengan bentuk, ukuran-ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk

menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu

tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat. (Clarkson H. Oglesby.1999)

Ruas Jalan Gondang Manis Kota Kudus merupakan jalur yang berada di daerah industri

dan pariwisata Kabupaten Kudus sehingga frekuensi kendaraan cukup tinggi sehingga

perlu adanya pemeliharaan dan peningkatan jalan guna menghasilkan kualitas jalan yang

jauh lebih baik bagi pengguna jalan agar tercipta keamanan, kenyamanan dan kelancaran

dalam berlalu lintas.

Page 2: BAB 2 LANDASAN TEORI

6

2.1.2 Klasifikasi Jalan

2.1.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Jalan

a. Jalan Arteri

Jalan arteri adalah jalan umum yang melayani angkutan utama dengan ciri-

ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk

dibatasi secara efisien.

b. Jalan Kolektor

Jalan kolektor adalah jalan umum yang melayani angkutan pengumpul/

pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata- rata sedang dan

jumlah jalan masuk dibatasi.

c. Jalan Lokal

Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan

ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk

tidak dibatasi.

d. Jalan Lingkungan

Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan

ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

2.1.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Peranan Jalan

a. Sistem Jaringan Jalan Primer

Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan palayanan distribusi barang

dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan

menghubungkan semua simpul jasa yang berwujud pusat-pusat kegiatan (UU

No.38 Tahun 2004).

Page 3: BAB 2 LANDASAN TEORI

7

1) Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang

kesatu dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan atau ruas jalan

yang menghubungkan kota jenjang kedua yang berada di bawah

pengaruhnya.

2) Jalan kolektor primer adalah ruas jalan yang menghubungkan kota

jenjang kedua dengan kota jenjang kedua yang lainnya atau ruas jalan

yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang

berada di bawah pengaruhnya.

3) Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang

ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang kesatu dengan

persil, kota jenjang kedua dengan persil, serta ruas jalan yang

menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota yang berada di bawah

pengaruhnya sampai persil.

b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang

dan jasa untuk masyarakat di wilayah perkotaan (UU No.38 Tahun 2004).

1) Jalan arteri sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan

primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan

sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

2) Jalan kolektor sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan-

kawasan sekunder kedua yang satu dengan yang lainnya atau

menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder

ketiga.

3) Jalan lokal sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan-

kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua

dengan perumahan , atau menghubungkan kawasan sekunder kedua

dengan kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

2.1.2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan

Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima

beban lalu lintas dan dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.

Page 4: BAB 2 LANDASAN TEORI

8

Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi

menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi menurut kelas jalan

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat (MST) Ton

Arteri

I > 10

II 10

IIIA 8

Kolektor IIIA

8 IIIB

Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/1997

2.1.2.4 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan

Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan

yang diukur tegak lurus garis kontur.

Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam tabel

2.2. berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi menurut medan jalan

No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)

1 Medan D <3

2 Perbukitan B 3 –25

3 Pegunungan G >25

Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/199

2.1.2.5 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan Jalan

Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaan jalan sesuai PP No. 26/1985 adalah:

Page 5: BAB 2 LANDASAN TEORI

9

a. Jalan Nasional

Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang

menghubungkan jalan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan

tol.

b. Jalan Propinsi

Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan

ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota,

dan jalan strategis provinsi.

c. Jalan Kabupaten/Kotamadya

Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer termasuk jalan yang

menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota

kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan

lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah

kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.

d. Jalan Desa

Merupakan jalan umum yang mempunyai fungsi hampir sama dengan jalan

lingkungan yaitu menghubungkan kawasan antar permukiman di dalam desa atau

dengan kata lain melayani perjalanan dalam jarak dekat.

e. Jalan Khusus

Merupakan jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan

hukum/perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing dari instansi tersebut

.

2.1.3 Ruang Bebas Jalan

Menurut Petunjuk Tertib Pemanfaatan Jalan No. 004/T/BNKT/1990 Direktorat Jenderal

Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota,Berdasarkan gambar 2.1 ruang bebas jalan

dibagi menjadi:

Page 6: BAB 2 LANDASAN TEORI

10

Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan

2.1.3.1 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA)

Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman ruang

bebas tertentu yang ditetapkan oleh Pembina Jalan dan diperuntukkan bagi median,

perkerasan jalan, pemisahan jalur, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang

pengaman timbunan dan galian gorong-gorong perlengkapan jalan dan bangunan

pelengkap lainnya (PP No. 19/2011).

Lebar Rumaja ditetapkan oleh Pembina Jalan sesuai dengan keperluannya. Tinggi

minimum 5 m dan kedalaman mimimum 1,5 m diukur dari permukaan perkerasan.

Tertib pemanfaatan Rumaja adalah sebagai berikut:

a. Jalur Lalu Lintas

Jalur lalu lintas pada dasarnya diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan.

Pemanfaatan jalur lalu lintas adalah sebagai berikut:

1) Beban sumbu maksimum yang diizinkan adalah:

Sumbu tunggal dengan ban tunggal 4.500 kg.

Sumbu tunggal dengan ban dobel 8.000 kg.

Sumbu tandem/ganda dengan ban dobel 15.000 kg.

Sumbu triple dengan ban dobel 20.000 kg.

2) Kecepatan Kendaraan maksimum yang diizinkan adalah:

Pada jalan bebas hambatan 60 - 120 km/jam.

Page 7: BAB 2 LANDASAN TEORI

11

Pada jalan arteri primer 60 - 80 km/jam.

Pada jalan arteri sekunder 40 - 60 km/jam.

Pada jalan kolektor sekunder 30 - 40 km/jam.

Pada jalan lokal primer 20 - 30 km/jam.

Pada jalan sekunder 10 - 20 km/jam.

3) Pengemudi yang ingin menghentikan kendaraan sementara waktu, harus

menempatkan kendaraannya sedemikian rupa tidak menghalangi arus lalu lintas

dan tidak pada tempat dimana terdapat tanda larangan berhenti. Sedangkan untuk

parkir kendaraan, harus dipilih bagian jalan yang sudah ditetapkan untuk parkir.

4) Pejalan kaki bila hendak menyeberang jalan harus memanfaatkan fasilitas

penyerangan (zebra cross, jembatan penyeberangan dan lain-lain).

5) Untuk pelayanan transportasi umum (bus kota, bus antar kota atau kendaraan

umum lainnya), menaikkan atau menurunkan penumpang harus di tempat-tempat

yang sudah disediakan (terminal, tempat pemberhentian sementara atau halte).

Sedangkan untuk memberhentikan kendaraan untuk sementara waktu harus

memilih lokasi yang disebutkan dalam point (3).

6) Pemanfaatan jalur lalu lintas oleh kendaraan dengan beban sumbu kendaraan

melebihi ketentuan yang disebutkan dalam point (1) tidak diperkenankan.

7) Mengendarai kendaraan dengan kecepatan kendaraan yang melebihi ketentuan

seperti yang disebutkan dalam point (2) tidak diperkenankan.

8) Kendaraan bermotor roda dua, roda tiga atau kendaraan tidak bermotor harus

menggunakan jalur yang sudah disediakan. Dalam hal tidak disediakan jalur

khusus, harus menggunakan bagian paling kiri dari jalur lalu lintas.

9) Hal-hal yang berkaitan dengan disiplin dan tata tertib kendaraan, harus mengikuti

ketentuan yang tercantum dalam UU Lalu Lintas Jalan No. 7 Tahun 1951 dan

UU Lalu Lintas Jalan No.27 Tahun 1965 tentang lalu lintas dan angkutan.

b. Bahu Jalan dan Trotoar

1) Bahu jalan diperuntukkan bagi pejalan kaki, berhenti untuk sementara akibat

kondisi tertentu apabila tidak terdapat rambu larangan berhenti dan untuk tempat

menghindar bagi kendaraan saat berpapasan. Trotoar diperuntukkan bagi pejalan

kaki.

Page 8: BAB 2 LANDASAN TEORI

12

2) Bahu jalan atau trotoar tidak diperkenankan untuk parkir kendaraan.

3) Penempatan bangunan utilitas pada bahu jalan atau trotoar dalam sistem primer

atau sistem sekunder di dalam wilayah perkotaan harus seizin Pembina Jalan dan

mengikuti petunjuk teknis pemasangan utilitas.

4) Bila terdapat jalan masuk ke bangunan-bangunan atau fasilitas lainnya yang

memotong bahu jalan/trotoar harus diupayakan sedemikian rupa sehingga fungsi

peruntukkannya tidak terhambat (sesuai buku standar trotoar).

c. Saluran Tepi Jalan

1) Saluran tepi jalan diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air, agar

badan jalan bebas dari pengaruh air.

2) Saluran tepi jalan tidak diperkenankan dimanfaatkan selain peruntukkan seperti

yang tersebut di atas termasuk pembuangan sampah atau benda lainnya yang dapat

mengurangi fungsi peruntukkannya.

3) Bila saluran tepi jalan akan dimanfaatkan sebagai saluran lingkungan, maka

harus mengikuti syarat yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum.

4) Jalan pelintasan di atas saluran tepi jalan, harus diupayakan tidak mengurangi

ukuran saluran.

d. Median dan Jalur Pemisah

Median adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan jalur lalu lintas

yang berlawanan arah, penempatan perlengkapan jalan, tanaman perdu yang berakar

tunggang, sebagai fungsi estetika dan meredam sinar lampu kendaraan dari arah

yang berlawanan.

Jalur pemisah adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan jalur

lalu lintas yang searah. Kalau memungkinkan peruntukkannya sama dengan median.

e. Ambang Pengaman

Ambang pengaman adalah sejalur lahan di sisi luar badan jalan dengan lebar

ditetapkan oleh Pembina Jalan diperuntukkan bagi pengaman konstruksi badan jalan.

Page 9: BAB 2 LANDASAN TEORI

13

2.1.3.2 Ruang Milik Jalan (RUMIJA)

Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang

dikuasai oleh Pembina Jalan guna peruntukkan daerah manfaat jalan dan perlebaran

jalan maupun menambahkan jalur lalu lintas dikemudian hari serta kebutuhan ruangan

untuk pengamanan jalan.

Lebar Rumija sekurang-kurangnya sama dengan lebar Rumaja. Tinggi atau kedalaman

diukur dari permukaan jalur lalu lintas, serta penentuannya didasarkan pada keamanan

pemakai jalan sehubungan dengan pemanfaatan Rumija dan Rumaja ditentukan oleh

Pembina Jalan (PP No. 19/2011).

Tertib pemanfaatan Rumija adalah sesuai dengan tingkat pengaruh yang dapat

ditimbulkan oleh bangunan terhadap Rumija maka pemanfaatan Rumija diluar

peruntukkannya harus mendapat izin dari Pembina Jalan.

2.1.3.3 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)

Merupakan ruang disepanjang jalan di luar Ruang Milik Jalan yang berada di bawah

pengawasan penguasa jalan yang ditujukan untuk penjagaan terhadap pandangan bebas

pengemudi dan untuk konstruksi jalan, dalam hal Rumija tidak mencukupi, yang

ditetapkan oleh Pembina jalan (PP No. 19/2011).

Daerah Pengawasan Jalan dibatasi oleh:

Lebar diukur dari As Jalan.

a. Untuk Jalan Arteri Primer tidak kurang dari 20 m.

b. Untuk Jalan Arteri Sekunder tidak kurang dari 20 m.

c. Untuk Jalan Kolektor Primer tidak kurang dari 15 m.

d. Untuk Jalan Kolektor Sekunder tidak kurang dari 7 m.

e. Untuk Jalan Lokal Primer tidak kurang dari 10 m.

f. Untuk Jalan Lokal Sekunder tidak kurang dari 4 m.

g. Untuk Jembatan tidak kurang dari 100 m ke arah hulu dan hilir.

Page 10: BAB 2 LANDASAN TEORI

14

Tinggi yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas dan penentuannya didasarkan pada

keamanan pemakai jalan baik di jalan lurus, maupun di tikungan dalam hal pandangan

bebas pengemudi, ditentukan oleh Pembina Jalan

Gambar 2.2 Penambang Melintang Jalan dengan Drainase Terbuka

Gambar 2.3 Penambang Melintang Jalan dengan Drainase Tertutup

2.2 Jenis Kerusakan

Menurut Manual Pemeliharaan Jalan No. 03/MN/B/1983 yang dikeluarkan oleh

Direktorat Jenderal Bina Marga, kerusakan jalan dapat dibedakan menjadi:

Retak (cracks)

Distorsi (distortion)

Cacat permukaan (disintegration)

Pengausan (polished aggregat)

Page 11: BAB 2 LANDASAN TEORI

15

Kegemukan (bleeding of flushing)

Penurunan pada bekas penanaman utilitas (utility cut depression)

2.2.1 Retak (cracks)

Retak yang terjadi pada permukaan jalan dapat dibedakan menjadi:

2.2.1.1 Retak Rambut (Hair Cracks)

Retak rambut dapat terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan

jalan. Tampak retakan tidak beraturan dan terpisah. Lebar celah lebih kecil dari atau sama

dengan 3 mm. Penyebabnya adalah konstuksi perkerasan tidak kuat mendukung beban

lalu lintas yang ada, lapis permukaan terlalu tipis, kelelahan lapis permukaan akibat

beban lalu lintas dan umur jalan, bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau

bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil, dan stabilitas atau pemadatan

lapis permukaan tidak memadai. Retak rambut ini dapat meresapkan air ke dalam lapis

permukaan. Retak rambut yang tidak segera ditangani dapat berkembang menjadi retak

kulit buaya (alligator crack).

Usaha perbaikan untuk kerusakan retak rambut yaitu dengan melakukan penanganan P2

(Laburan Aspal Setempat)

Gambar 2.4 Retak Rambut (Hair Cracks)

Page 12: BAB 2 LANDASAN TEORI

16

2.2.1.2 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks)

Retak kulit buaya berkembang dari retak rambut yang telah mengalami kerusakan yang

parah akibat tidak segera dilakukannya perbaikan. Retak kulit buaya dapat terjadi pada

alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan jalan. Tampak retakan tidak

beraturan dan saling berpotongan. Lebar celah lebih besar dari atau sama dengan 3 mm.

Retak kulit buaya terlihat seperti retak yang saling merangkai dan membentuk kotak-

kotak yang menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang

kurang kurang baik, pelapukan perkerasan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah

lapis perkerasan kurang stabil atau lapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah baik).

Retak kulit buaya yang luas dan sudah parah dapat berkembang menjadi lubang atau

amblas. Usaha perbaikan untuk kerusakan retak buaya yaitu dengan melakukan

penanganan Patching.

Gambar 2.5 Retak kulit buaya (Alligator Cracks)

2.2.1.3 Retak Pinggir (Edge Cracks)

Retak pinggir adalah retak memanjang jalan dengan atau tanpa cabang yang mengarah

pada bahu jalan dan terletak di dekat bahu. Retak pinggir disebabkan oleh tidak baiknya

sokongan dari arah samping, drainase yang kurang baik, terjadinya penyusutan tanah,

atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi

perkerasan dapat pula menjadi penyebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak air

Page 13: BAB 2 LANDASAN TEORI

17

dapat meresap dan dapat merusak lapis perkerasan. Retak pinggir jika dibiarkan akan

berkembang menjadi lubang- lubang. Usaha perbaikan untuk kerusakan retak pinggir

yaitu dengan melakukan penanganan P5 (penambalan lubang) dan Memperbaiki bahu

jalan.

2.2.2 Distorsi (Distorsion)

Distorsi atau perubahan bentuk dapat terjadi karena lemahnya tanah dasar, pemadatan

yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi pemadatan tambahan akibat beban lalu

lintas. Sebelum dilakukan perbaikan terlebih dahulu perlu ditentukan jenis dan penyebab

distorsi dengan demikian dapat dilakukan penanganan yang tepat.

Distorsi dibedakan menjadi:

2.2.2.1 Alur (Ruts)

Ruts terjadi pada lintasan roda sejajar pada as jalan. Alur dapat merupakan penggenangan

air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan

akhirnya dapat timbul retak-retak. Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang

kurang padat, dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu

lintas pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah juga dapat

menimbulkan deformasi plastis. Alur juga dapat disebabkan oleh:

Pengaruh lalu lintas (jumlah kendaraan, beban gandar, dan kecepatan kendaraan).

Pengaruh cuaca. Material terlepas pada musim kering dan tercampur lumpur dan

lembek pada musim hujan.

Gradasi bahan tidak memenuhi persyaratan (terlalu banyak pasir atau terlalu banyak

lempung).

Page 14: BAB 2 LANDASAN TEORI

18

Gambar 2.6 Alur (Ruts)

Usaha perbaikan kerusakan alur :

1. Alur ringan, lakukan Penanganan P6 (Perataan).

2. Alur yang cukup parah, lakukan Penanganan P5 (Penambalan lubang).

2.2.2.2 Amblas (Grade Depressions)

Amblas biasanya terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat diketahui

dari adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan

perkerasan dan menyebabkan lubang. Penyebab amblas adalah adanya beban kendaraan

yang melebihi dari yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan

bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement.

Gambar 2.7 Amblas (Grade Depressions)

Page 15: BAB 2 LANDASAN TEORI

19

Usaha perbaikan kerusakan amblas :

1. Periksa dan perbaiki selokan atau gorong-gorong yang rusak, sehingga air cepat

mengalir.

2. Periksa dan perbaiki bahu jalan.

3. Penurunan dangkal (< 50 mm), lakukan Penanganan P6 (Perataan).

4. Penurunan dalam (> 50 mm), lakukan Penanganan P5 (Penambahan lubang).

2.2.2.3 Jembul (Upheaval)

Jembul biasanya terjadi setempat, dimana kendaraan sering berhenti, dengan atau tanpa

retak. Lapis permukaan tampak menyembul ke atas permukaan dibandingkan dengan

permukaan sekitarnya. Hal ini terjadi akibat adanya pengembangan tanah dasar pada

tanah dasar ekspansif dan juga dipengaruhi oleh beban kendaraan yang melebihi standar.

Gambar 2.8 Jembul (Upheaval)

Usaha perbaikan kerusakan jembul :

1. Jembul ringan, lakukan Penanganan P6 (Perataan).

2. Jembul parah, lakukan Penanganan P5 (Penambalan lubang).

2.2.3 Cacat Permukaan (Disintegration)

Cacat permukaan mengarah pada kerusakan secara kimiawi dan mekanis dari lapisan

perkerasan.

Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah:

Page 16: BAB 2 LANDASAN TEORI

20

2.2.3.1 Lubang (Pothole)

Lubang pada permukaan dapat berupa mangkuk dengan ukuran yang bervariasi, dari

kecil hingga besar. Lubang-lubang ini menampung air dan meresapkannya ke dalam lapis

permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.

Lubang dapat diakibatkan oleh:

a. Campuran material aspal yang jelek, seperti:

1) Kadar aspal rendah sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.

2) Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik.

3) Temperature campuran tidak memenuhi syarat.

b. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat

pengaruh cuaca.

c. Sistem drainase jelek sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul dalam

lapisan perkerasan.

d. Retak-retak yang tidak ditangani sehingga air meresap dan mengakibatkan

terjadinya lubang-lubang kecil.

Gambar 2.9 Lubang (Pothole)

Usaha perbaikan kerusakan lubang :

1. Untuk lubang yang tidak mencapai tanah dasar, lakukan Penanganan U2 Perataan

(Levelling) dan Perbaikan kemiringan (Regrading).

2. Untuk lubang yang mencapai tanah dasar, lakukan Penanganan U1 Penambalan

lubang (Patching). Bila perlu, ganti dahulu bahan tanah dasar dengan Material

pilihan kemudian dipadatkan.

Page 17: BAB 2 LANDASAN TEORI

21

2.2.3.2 Pelepasan Butir (Raveling)

Pelepasan butir adalah pelepasan partikel agregat dan permukaan perkerasan yang

apabila tidak diperbaiki dalam waktu yang lama, akan makin dalam. Pelepasan butir

dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek yang buruk serta ditimbulkan oleh hal

yang sama dengan lubang. Biasanya agregat halus (fine agregat) terlepas terlebih dahulu

dan akibat erosi yang terus menerus, maka partikel-partikel yang lebih besar akan ikut

terlepas dan menyebabkan permukaan menjadi kasar (rough). Usaha perbaikan yang

dilakukan untuk kerusakan pelepasan butir adalah dengan melakukan penanganan

perataan (leveling) dan perbaikan kemiringan (regarding).

Gambar 2.10 Pelepasan Butir (Raveling)

2.2.3.3 Pengelupasan Lapisan (Stripping)

Pengelupasan merupakan kerusakan perkerasan jalan yang terjadi pada daerah yang luas

menyebabkan permukaan jalan menjadi kasar. Pengelupasan dapat diakibatkan oleh

kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya atau terlalu tipisnya lapis

permukaan. Lepasnya material halus tisak diikuti dengan pemadatan kembali ssehingga

interlock antar agregat menjadi berkurang yang menyebabkan lepasnya agregat. Usaha

perbaikan yang dilakukan untuk kerusakan pelepasan lapisan adalah dengan melakukan

penanganan perataan (leveling) dan perbaikan kemiringan (regarding).

Page 18: BAB 2 LANDASAN TEORI

22

Gambar 2.11 Pengelupasan Lapisan (Stripping)

2.2.4 Pengausan (Polished Agregat)

Pengausan adalah kerusakan partikel agregat pada permukaan perkerasan yang licin atau

halus (smooth). Permukaan jalan menjadi licin sehingga membahayakan kendaraan.

Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus terhadap roda

kendaraan atau agregat yang digunakan berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk

cubical. Usaha perbaikan yang dilakukan untuk kerusakan pengausan adalah dengan

melakukan penanganan perataan (leveling) dan perbaikan kemiringan (regarding).

Gambar 2.12 Pengausan (Polished Agregat)

2.2.5 Kegemukan (Bleeding/Flussing)

Kegemukan adalah perpindahan ke atas dari aspal pada permukaan lapisan aspal

sehingga membentuk lapisan aspal di atas permukaan. Biasanya terjadinya luas dan

Page 19: BAB 2 LANDASAN TEORI

23

permukaan menjadi licin. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi

jejak roda, hal ini membahakan kendaraan. Kegemukan dapat disebabkan pemakaian

kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada

pakerjaan prime coat atau tack coat. Usaha perbaikan yang dilakukan untuk kerusakan

kegemukan adalah dengan melakukan penanganan P6 (perataan).

Gambar 2.13 Kegemukan (Bleeding of Flussing)

2.3 Konsep Pemeliharaan Jalan

Pemeliharaan jalan perlu dilakukan untuk menjaga jalan agar jalan mencapai umur/masa

layan jalan yang direncanakan atau memperpanjangnya. Secara fisik pemeliharaan jalan

bisa berarti suatu kesatuan kegiatan langsung untuk menjaga suatu struktur agar tetap

dalam kondisi mampu melayani (Haas, 1978).

Menurut NAASRA (1978), definisi pemeliharaan adalah semua jenis pekerjaan yang di

butuhkan untuk menjaga dan memperbaiki jalan agar tetap dalam keadaan baik atau

pekerjaan yang berkaitan dengan keduanya, sehingga mencegah kemunduran atau

penurunan kualitas dengan laju perubahan pesat yang terjadi segera setelah konstruksi

dilaksanakan. Aktifitas pemeliharaan jalan yang diklasifikasikan terhadap frekuensi dan

efeknya terhadap jalan terlihat pada Gambar 2.14. berikut :

Page 20: BAB 2 LANDASAN TEORI

24

Gambar 2.14 Hubungan antara kondisi, umur, dan penanganan jalan

2.3.1 Klasifikasi Pemeliharaan Jalan

Klasifikasi pemeliharaan yang dipakai dalam Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan

adalah sebagai berikut:

a. Pemeliharaan Rutin

Merupakan pekerjaan yang skalanya cukup kecil dan dikerjakan tersebar diseluruh

jaringan jalan secara rutin. Dengan pemeliharaan rutin, tingkat penurunan nilai

kondisi struktural perkerasan diharapkan akan sesuai dengan kurva kecenderungan

kondisi perkerasan yang diperkirakan pada tahap desain.

b. Pemeliharaan Berkala (Periodik)

Pemeliharaan berkala (periodik) dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun

dan diadakan menyeluruh untuk satu atau beberapa seksi jalan dan sifatnya

hanya fungsional dan tidak meningkatkan nilai struktural perkerasan. Pemeliharaan

periodik dimaksud untuk mempertahankan kondisi jalan sesuai dengan yang

direncanakan selama masa layanannya.

c. Rehabilitasi atau Peningkatan

Peningkatan jalan secara umum diperlukan untuk memperbaiki integritas struktur

perkerasan, yaitu meningkatkan nilai strukturalnya dengan pemberian lapis tambahan

struktural. Peningkatan jalan dilakukan, apakah karena masa layanannya habis, atau

Page 21: BAB 2 LANDASAN TEORI

25

karena kerusakan awal yang disebabkan oleh faktor- faktor luar seperti cuaca atau

karena kesalahan perencanaan atau pelaksanaan rekonstruksi.

d. Rekonstruksi

Dalam hal perkerasan lama sudah dalam kondisi yang sangat jelek, maka lapisan

tambahan tidak akan efektif dan kegiatan rekonstruksi biasanya diperlukan. Kegiatan

rekonstruksi ini juga dimaksud untuk penanganan jalan yang berakibat meningkatkan

kelasnya.

2.3.2 Klasifikasi Jalan dan Tingkat Pelayanan

Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat pelayanan, ditentukan sebagai berikut (Dinas Bina

Marga, 2003) adalah:

a. Jalan dengan Tingkat Pelayanan Mantap

Merupakan ruas-ruas jalan dengan umur rencana yang dapat diperhitungkan serta

mengikuti suatu standar perencanaan teknis. Termasuk kedalam tingkat pelayanan

mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi baik dan sedang.

b. Jalan Tidak Mantap

Merupakan ruas-ruas jalan yang dalam kenyataan sehari-hari masih berfungsi

melayani lalu lintas, tetapi tidak dapat diperhitungkan umur rencananya serta tidak

mengikuti standar perencanaan teknik. Termasuk kedalam tingkat pelayanan tidak

mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi rusak ringan

c. Jalan kritis

Merupakan ruas-ruas jalan sudah tidak dapat lagi berfungsi melayani lalu lintas atau

dalam keadaan putus. Termasuk kedalam tingkat pelayanan kritis adalah jalan-jalan

dengan kondisi rusak berat.

Page 22: BAB 2 LANDASAN TEORI

26

2.3.3 Klasifikasi Jalan dan Tingkat Kondisi Jalan

Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat kondisi jalan adalah sebagai berikut

(Dinas Bina Marga, 2003):

a. Jalan Dalam Kondisi Baik

Merupakan jalan dengan permukaan yang benar-benar rata, tidak ada gelombang dan

tidak ada kerusakan permukaan jalan.

b. Jalan Dalam Kondisi Sedang

Merupakan jalan dengan kerataan permukaan perkerasan sedang, tidak ada

gelombang dan tidak ada kerusakan.

c. Jalan Dalam Kondisi Rusak Ringan

Merupakan jalan dengan permukaan sudah mulai bergelombang, mulai ada

kerusakan permukaan dan penambalan.

d. Jalan Dalam Kondisi Rusak Berat

Merupakan jalan dengan permukaan perkerasan sudah banyak kerusakan seperti

bergelombang, retak-retak kulit buaya dan terkelupas yang cukup besar, disertai

kerusakan pondasi seperti amblas, dan sebagainya.

2.3.4 Drainase Jalan

Drainase adalah prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan air dan

atau ke bangunan resapan buatan. Drainase jalan sangat penting untuk memelihara

perkerasan jalan. Jalan yang baik maka harus dilengkapi dengan sistem drainase yang

baik. Sistem drainase yang baik akan memperpanjang masa layan jalan. Drainase jalan

dibedakan menjadi dua yaitu drainase permukaan dan drainase bawah permukaan.

Drainase permukaan berfungsi untuk mengalirkan air dari permukaan perkerasan ke arah

drainase yang dibuat di samping-samping perkerasan, sedangkan drainase bawah

perkerasan berfungasi untuk mencegah masuknya air ke dalam struktur jalan dam

mengeluarkan air dari struktur jalan. Jalan yang baik memiliki kualitas drainase yang

Page 23: BAB 2 LANDASAN TEORI

27

baik.

Tabel 2.3 Kualitas drainase

Kualitas Drainase Air Hilang Dalam Waktu

Baik sekali

Baik

Sedang

Jelek

Buruk

2 jam

1 hari

1 minggu

1 bulan

Tidak mengalir sama sekali

Sumber: Dinas Bina Marga, 2003

Kualitas drainase yang buruk akan menyebabkan pengurangan masa layan jalan

sehingga jalan yang seharusnya berumur panjang menjadi berumur pendek. Keberadaan

air sangat berpengaruh pada perkerasan, antara lain:

1. Air menyebabkan perbedaan peranan pada tanah yang bergelombang.

2. Air menurunkan kekuatan material butiran lepas dan tanah subgrade yang bila

ditambah dengan dengan volume lalu lintas truk berat yang membawa muatan

berlebih merupakan kombinasi yang fatal bagi perkerasan jalan.

3. Air menyebabkan penyedotan (pumping) pada perkerasan beton yang dapat

menyebabkan keretakan dan kerusakan pada bahu jalan.

4. Dengan adanya tekanan hidrodinamik yang tinggi akibat pergerakan

kendaraan menyebabkan penyedotan material halus pada lapisan dasar perkerasan

sehingga menyebabakan berkurangnya daya dukung.

2.4 Perencanaan Tebal Perkerasan

Dalam usaha melakukan pemeliharaan dan peningkatan pelayanan jalan,

diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah-daerah yang mengalami kerusakan atau

daerah-daerah yang sudah tidak memenuhi standar pelayanan jalan yang baik. Data-data

yang diperlukan dalam perencanaan lapisan tambahan ini hampir sama dengan data-data

yang diperlukan untuk merencanakan jalan baru. Namun, perlu dilakukan survey

terhadap lapisan permukaan yang telah ada sebelumnya seperti struktur perkerasan, tebal

Page 24: BAB 2 LANDASAN TEORI

28

perkerasan, lapis pondasi, lapis bawah pondasi, sehingga dapat mengetahui kekuatan

jalan yang telah ada.

Lapisan perkerasan jalan pada umumnya meliputi:

1. Lapis podasi bawah (Sub base course)

2. Lapis pondasi (Base course)

3. Lapis permukaan (Surface course)

Gambar 2.15 Susunan lapis perkersan jalan

Rumus untuk merencanakan tebal perkerasan adalah:

D1 = ∆𝑰𝑻𝑷

𝒂𝟏 … … … … … … … … … … … … … … … … … ( 2. 1 )

Dalam merencanaan tebal perkerasan metode yang digunakan adalah Metode Analisa

Komponen (Bina Marga). Parameter dalam perencanaan lapis tambahan adalah sebagai

berikut:

2.4.1 Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)

Daya dukung tanah dapat diperoleh dari korelasi antara nilai CBR tanah dasar dengan

nilai DDT itu sendiri. Nilai CBR dapat diperoleh dengan uji CBR tanah. Harga CBR

disini adalah harga CBR lapangan.

Page 25: BAB 2 LANDASAN TEORI

29

Sumber: SNI 03.1732.1989

Gambar 2.16 Grafik Korelasi DDT dan CBR

Catatan: Hubungan nilai CBR dengan garis mendatar ke sebelah kiri diperoleh nilai DDT.

Nilai CBR tanah dasar juga dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan:

DDT = 1,6649 + 4,3592log CBR.........................................................(2.2)

Dengan :

DDT = Nilai daya dukung tanah

CBR = nilai CBR tanah dasar

2.4.2 Menentukan umur rencana (UR)

Umur rencana jalan adalah waktu yang ditentukan dari jalan mulai dibuka (mulai

digunakan) sampai jalan perlu dilakukan perbaikan (overlay). Dalam perencanaan jalan

umumnya UR yang digunakan umumnya adalah 10 tahun.

Page 26: BAB 2 LANDASAN TEORI

30

2.4.3 Menentukan Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i %)

Fakor pertumbuhan lau lintas ditentukan untuk umur rencana jalan yang telah ditentukan.

Penentuan didasarkan pada tingkat pertumbuhan lalu lintas dalam waktu 1 tahun.

2.4.4 Menentukan Tingkat Lalu Lintas Harian Rara-Rata (LHR)

Penentuan tingkat lalu lintas harian rata-rata untuk setiap jenis kendaraan ditentukan pada

awal umur rencana, yaitu dengan menghitung jumlah kendaraan yang lewat, dihitung

untuk dua arah pada ruas jalan yang berbeda. LHR didefinisikan sebagai volume lalu

lintas yang menyatakan jumlah lalu lintas selam 24 jam yang dinyatakan dalam satuan

smp (satuan mobil penumpang).

2.4.5 Menentukan Angka Ekivalen masing-masing Kendaraan

Angka ekivalen kendaraan berhubungan dengan jumlah lintas yang dilakukan

kendaraan terhadap suatu perkerasan jalan yaitu jumlah repetasi beban yang ditanggung

suatu jalan pada saat tersibuk atau volume kendaraan tertinggi.

a. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)

Merupakan lintas ekivalen pada awal umur rencana atau pada saat jalan baru dibuka.

LEP adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16

ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada awal umur rencana.

LEP dihitung dengan rumus :

𝐿𝐸𝑃 = ∑ 𝐿𝐻𝑅 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑈𝑟 𝑥 𝐶𝑖 𝑥 𝐸𝑖𝑛

𝑗=1… … … … … … … … … … … . (2.3)

Dengan:

UR = Umur rencana

j = Jenis kendaraan

C = Koefisien distribusi kendaraan

E = Angka ekivalen

Page 27: BAB 2 LANDASAN TEORI

31

Tabel 2.4 Koefisien distribusi kendaraan (C)

Jumlah Lajur

Kendaraan Ringan

Kendaraan Berat

1 arah

2 arah

1 arah

2 arah

1 Lajur

2 Lajur

3 Lajur

4 Lajur

5 Jalur

6 Lajur

1,00

0,60

0,40

-

-

-

1,00

0,50

0,40

0,30

0,25

0,20

1,00

0,70

0,50

-

-

-

1,000

0,500

0,475

0,450

0,425

0,400

Sumber: SNI 03-1732-1989

b. Angka Ekivalen beban gandar pada sumbu kendaraan

Untuk menghitung angka Ekivalen kendaraan menggunakan rumus :

VDF

4

3,5

kendaraansumbubeban

… … … … (2.4)

VDF

4

16,8

kendaraansumbubeban … … … … (2.5)

VDF =(𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎 𝑟𝑜𝑑𝑎 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎

15)

4… … … … (2.6)

VDF =(𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑟𝑖𝑝𝑙𝑒 𝑟𝑜𝑑𝑎 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎

20)

4… … … … (2.7)

c. Lintas Ekivalen Akhir (LEA)

Merupakan lintas ekivalen pada akhir umur rencana atau pada saat jalan tersebut

perlu diperbaiki.

LEA dihitung dengan rumus:

LEA = (LEP ( 1 + i ) UR ………………………………………….(2.8)

LEP = Lintas ekivalen permulaan

Page 28: BAB 2 LANDASAN TEORI

32

j = Jenis kendaraan

i = Perkembangan lalu lintas

d. Lintas Ekivalen Tengah (LET)

Merupakan jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16

ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur

rencana.

LET dihitung dengan rumus :

𝑳𝑬𝑻 = 𝑳𝑬𝑷 + 𝑳𝑬𝑨

𝟐… … … … … … … … … … … (𝟐. 𝟗)

e. Lintas Ekivalen Rencana (LER)

Merupakan besarnya nilai lintas ekivalen yang akan terjadi atau yang direncanakan

pada awal umur rencana hingga akhir umur rencana jalan.

LER dihitung dengan rumus:

𝑳𝑬𝑹 = 𝑳𝑬𝑻 𝒙 𝑼𝑹

𝟏𝟎… … … … … … … … … … … … … … . (𝟐. 𝟏𝟎)

2.4.6 Menentukan Faktor Regional (FR)

Hal-hal yang mempengaruhi nilai FR antara lain adalah:

1. Permeabilitas tanah

2. Kelengkapan drainase

3. Bentuk alinyemen

4. Presentase kendaraan yang ada

5. Keadaan iklim yang mencakup curah hujan rata-rata pertahun.

Page 29: BAB 2 LANDASAN TEORI

33

Tabel 2.5 Fakor regional (FR)

Kelandaian I

(<6%)

Kelandaian II

(>6 – 10%)

Kelandaian III

(>10%)

% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat

≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30%

Iklim I

< 900 mm/th

0,5

1,0 – 1,5

1,0

1,5 – 2,0

1,5

2,0 – 2,5

Iklim II

> 900 mm/th

1,5

2,0 – 2,5

2,0

2,5 – 3,0

2,5

3,0 – 3,5

Sumber: SNI 03.1732.1989

2.4.7 Menentukan Indeks Permukaan (IP)

Nilai indeks permukaan dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo)

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo), perlu

diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada

awal umur rencana, menurut table di bawah ini:

Page 30: BAB 2 LANDASAN TEORI

34

Tabel 2.6 Indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo)

Jenis lapis perkerasan IPo Roughness (mm/km)

LASTON

LASBUTAG

HRA

BURDA

BURTU

LAPEN

LATASBUM

BURAS

LATASIR

JALAN TANAH

JALAN LERIKIL

≥ 4

3,9 – 3,5

3,9 – 3,5

3,4 – 3,0

3,9 – 3,5

3,4 – 3,0

3,9 – 3,5

3,4 – 3,0

3,4 – 3,0

2,9 – 2,5

2,9 – 2,5

2,9 – 2,5

2,9 – 2,5

≤ 2,4

≤ 2,4

≤ 1000

> 1000

≤ 2000

> 2000

≤ 2000

> 2000

≤ 2000

< 2000

≤ 3000

< 3000

Sumber: SNI 03.1732.1989

Indeks permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan/kehalusan serta

kekokohan permukaan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu

lintas yang lewat.

b. Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt)

Merupakan nilai indeks permukaan pada akhir umur rencana atau akhir masa layan

jalan. Ipt menunjukkan tingkat kerusakan yang diijinkan pada akhir umur rencana.

Dalam menentukan IPt perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional

jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER) menurut tabel di bawah ini. Beberapa

nilai IPt dan artinya adalah sebagai berikut:

Page 31: BAB 2 LANDASAN TEORI

35

IP = 1,0 : menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat

mengganggu lalu lintas kendaraan yang lewat.

IP = 1,5 : tingkat pelayanan yang rendah yang masih mungkin (jalan tidak

terputus).

IP = 2,0 : tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap.

IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil yang baik.

Tabel 2.7 Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt)

LER

Klasifikafikasi Jalan

lokal kolektor arter

i

Tol

< 10

10 – 100

100 – 1000

> 1000

1,0 – 1,5

1,5

1,5 – 2,0

-

1,5

1,5 – 2,0

2,0

2,0 – 2,5

1,5 – 2,0

2,0

2,0 – 2,5

2,5

-

-

-

2,5 Sumber: SNI 03.1732.1989

2.4.8 Mencari Nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP)

Indeks tebal perkerasan (ITP) adalah angka yang berhubungan dengan penentuan tebal

minimum tiap lapis di suatu jalan. Jalan yang memakai perkerasan lentur memiliki 3

lapisan utama yaitu lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah. Tiap

lapisan memiliki nilai minimum untuk indeks tebal perkerasan yang diambil dari

nomogram ITP berdasarkan hubungan DDT, LER, dan FR.

ITP = a1.D1 +a2.D2 + a3.D3 ................................................................ (2.11)

Page 32: BAB 2 LANDASAN TEORI

36

Dengan:

a1,a2,a3 = koefisien kekuatan relatif

D1,D2,D3 = tebal masing-masing perkerasan

Tabel 2.8 Penentuan nomogram ITP

IPt

IPo

ITP

1

1

1,5

1,5

1,5

2

2

2

2,5

2,5

2,4

2,5 – 2,9

2,5 – 2,9

3,5 – 3,9

2,5 – 3,9

3,5 – 3,9

3,5 – 3,9

4

3,5 – 3,9

4

9

8

7

6

5

4

4

3

2

1

Sumber: SNI 03.1732.1989

Sumber: SNI 03-1732-1989

Gambar 2.17 Contoh Grafik Nomogram 4

Page 33: BAB 2 LANDASAN TEORI

37

Tabel 2.9 Konfigurasi beban untuk MST 10 ton

GOLONGAN

KONFIGURASI

VDF

6B

(trailer 2 sumbu)

1.2H

3,898

7A

(trailer 3 sumbu)

1.2.2

3,679

7C1 (trailer 4

sumbu)

1.2 + 2.2

5,934

7C2 (trailer 5

sumbu)

1.2 + 2.2.2

6,222

7C3 (trailer 6

sumbu)

1.2.2 + 2.2.2

6,003

Sumber :Subdit Teknik Jalan, Dit Bin

Page 34: BAB 2 LANDASAN TEORI

38

2.5 Metode Pavement Conditons Index (PCI)

PCI adalah sistem penilaian kondisi perkerasan jalan berdasarkan jenis, tingkat

dan luas kerusakan yang terjadi, dan dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha

pemeliharaan.

Nilai PCI ini memiliki rentang 0–100 dengan kriteria baik (good), memuaskan

(sarisfactory), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor), serius (serious)

dan gagal (failed) (Shahin 1996).

Dalam survei ini, cara untuk mengukur kerusakan adalah dengan menandai daerah

yang rusak dengan cat atau kapur untuk menandai batas-batas pengukuran dengan

membuat garis segiempat ± 10 cm dari daerah kerusakan. Data-data dari survey

kerusakan jalan kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas kerusakan sebagai

berikut :

2.5.1 Deformasi

Deformasi adalah perubahan permukaan jalan dari profil aslinya sesudah

pembangunan). Deformasi merupakan kerusakan penting dari perkerasan penting

dari kondisi perkerasan karena berpengaruh dengan kualitas pelayanan kendaraan

dalam berlau lintas. Beberapa tipe deformasi dalam perkerasan lentur adalah:

2.5.1.1 Alur (Rutting)

Alur adalah defor masi permukaan perkerasan aspal dalam bentuk turunnya

perkerasan ke arah memanjang pada lintasan roda kendaraan. Alur dapat diketahui

setelah turunnya hujan yaitu dengan terisinya retakan oleh air. Alur disebabkan

oleh deformasi permanen di permukaan aspal, biasanya disebabkan oleh

konsolidasi atau pergerakan lateral akibat beban kendaraaan. Tingkat kerusakan

perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:

Page 35: BAB 2 LANDASAN TEORI

39

Tabel 2.10 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan Alur

(Rutting)

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L Kedalaman alur rata-rata 6 – 13 mm (¼ - ½ in.)

M Kedalaman alur rata-rata 13 – 25 mm (½ - 1 in.)

H Kedalaman alur rata-rata 25 mm (1 in.)

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.1.2 Bergelombang (Corrugation)

Bergelombang atau keriting adalah kerusakan yang diakibatkan oleh terjadinya

deformasi plastis yang menghasilkan gelombang-gelombang melintang atau tegak

lurus arah perkerasan aspal. Bergelombang juga disebabkan oleh aktifitas

kendaraan dan juga lapis permukaan yang tidak stabil.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.11 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

bergelombang (Corrugation).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L Bergelombang mengakibatkan sedikit

gangguan kenyamanan kendaraan.

M Bergelombang mengakibatkan cukup gangguan

kenyamanan kendaraan.

H Bergelombang mengakibatkan banyak

gangguan kenyamanan kendaraan.

Sumber: ASTM D 6433-07

Page 36: BAB 2 LANDASAN TEORI

40

2.5.1.3 Sungkur (Shoving)

Sungkur adalah perpindahan permanen secara lokal dan memanjang dari

permukaan perkerasan yang disebabkan oleh beban lalu lintas. Kerusakan ini

biasanya hanya terjadi pada campuran aspal yang tidak stabil (cutback atau

emulsion).

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.12 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

sungkur (Shoving).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L Sungkur mengakibatkan sedikit gangguan

kenyamanan kendaraan.

M Sungkur mengakibatkan cukup gangguan

kenyamanan kendaraan.

H Sungkur mengakibatkan banyak gangguan

kenyamanan kendaraan.

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.1.4 Amblas (Depression)

Amblas adalah penurunan permukaan perkerasan yang terjadi pada area terbatas

yang mungkin dapat diikuti dengan retakan. Sekilas amblas tidak diketahui sampai

terjadi hujan dan air menggenang. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan

PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:

Page 37: BAB 2 LANDASAN TEORI

41

Tabel 2.13 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

amblas (Depression).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L Kedalaman amblas rata-rata 13 – 25 mm (½ - 1 in.)

M Kedalaman amblas rata-rata 25– 50 mm (1 – 2 in.)

H Kedalaman amblas rata-rata >50 mm (2 in.)

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.1.5 Mengembang (Swell)

Mengembang adalah gerakan ke atas dari lapisan perkerasan yang terjadi secara

lokal akibat pengembangan atau pembekuan air dari tengah atau dari bagian

struktur perkerasan. Mengembang bisa juga disertai dengan retakan.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.14 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

mengembang (Swell).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L

Pengembangan mengakibatkan sedikit gangguan

kenyamanan kendaraan. Kerusakan ini sulit

dilihat, tapi dapat dideteksi dengan kendaraan

cepat. Gerakan keatas akan terasa jika melewati

jalan yang mengembang.

M Pengembangan mengakibatkan cukup

gangguan kenyamanan kendaraan.

H Pengembangan mengakibatkan banyak

gangguan kenyamanan kendaraan.

Sumber: ASTM D 6433-07

Page 38: BAB 2 LANDASAN TEORI

42

2.5.1.6 Benjol dan Turun (Bump and Sags)

Benjol adalah pergerakan atau perpindahan ke atas yang bersifat lokal dan kecil

dari permukaan aspal.

Benjol berbeda dengan sungkur. Sungkur diakibatkan oleh perkerasan yang tidak

stabil, sedangkan benjol diakibatkan oleh bererapa faktor antara lain pembekuan

es yang mengumpul, infiltrasi dan keluarnya material pada retakan dengan

dipengaruhi oleh beban kendaraan. Turun (sags) pergerakan atau perpindahan ke

bawah yang bersifat lokal dan kecil dari permukaan aspal.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.15 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan benjol

dan turun (Bump and Slags).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L Benjol dan melengkung mengakibatkan sedikit

gangguan kenyamanan kendaraan.

M Benjol dan melengkung mengakibatkan cukup

gangguan kenyamanan kendaraan.

H Benjol dan melengkung mengakibatkan banyak

gangguan kenyamanan kendaraan.

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.2 Retak (Crack)

Retak dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai

faktor dan melibatkan mekanisme yang kompleks. Secara teoritis, retak dapat

terjadi bila tegangan tarik yang terjadi pada lapisan aspal melampaui tegangan

Page 39: BAB 2 LANDASAN TEORI

43

tarik maksimum yang dapat ditahan oleh perkerasan tarik tersebut. Beberapa tipe

retak perkerasan lentur adalah:

2.5.2.1 Retak Kulit Buaya (Alligator Crack)

Retak kulit buaya adalah retak yang berbentuk sebuah jaringan dari bidang yang

bersegi banyak (polygon) kecil-kecil menyerupai kulit buaya dengan lebar celah

lebih besar atau sama dengan 3 mm.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.16 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak

kulit buaya (Alligator Crack).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L

Halus, retak rambut/halus memanjang sejajar satu

dengan yang lain, dengan atau tanpa berhubungan satu

sama lain. Retakan tidak mengalami gompal.

M

Ringan retak kulit buaya ringan terus berkembang ke

dalam pola atau jaringan retakan yang diikuti gompal

ringan.

H

Jaringan atau pola retak telah berlanjut, sehingga

pecahan-pecahan dapat diketahui dengan mudah dan

terjadi gompal di pinggir. Beberapa pecahan

mengalami rocking akibat lalu lintas.

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.2.2 Retak Memanjang dan Melintang

Retak memanjang adalah retak yang terjadi secara memanjang pada perkerasan

jalan, dapat terjadi dalam bentuk tunggal atau berderet yang sejajar dan kadang-

kadang sedikit bercabang.

Page 40: BAB 2 LANDASAN TEORI

44

Retak melintang adalah retak tungal (tidak bersambungan satu sama lain) yang

melintang perkerasan.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.17 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak

memanjang dan melintang (longitudinal and tranversal crack).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L

Satu dari kondisi berikut yang terjadi:

1. Retak tak terisi, lebar 10 mm (3/8 in.)

2. Retak terisi, sembarang lebar (Pengisi kondisi

bagus).

M

Satu dari kondisi berikut yang terjadi:

1. Retak tak terisi, lebar 10 - 75 mm (3/8 - 3 in.)

2. Retak terisi sembarang lebar sampai 75 mm (3

in) dikelilingi retak acak ringan.

3. Retak terisi sembarang lebar, dikelilingi retak

agak acak.

H

Satu dari kondisi berikut yang terjadi:

1. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi

oleh retak acak, kerusakan sedang sampai tinggi.

2. Retak tak terisi >75 mm (3 in.)

3. Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.)

dengan disekitar retakan mengalami pecah.

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.2.3 Retak Reflektif Sambungan (Joint Reflection Crack)

Retak reflektif sambungan berasal dari pelat beton sement portland, PCC,

perkerasan aspal yang telah dihamparkan pada permukaan perkerasan beton semen

portland.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

Page 41: BAB 2 LANDASAN TEORI

45

dalan tabel berikut:

Tabel 2.18 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak

refleksi sambungan (Joint Reflection Crack).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L

Satu dari kondisi berikut yang terjadi:

1. Retak tak terisi, lebar 10 mm (3/8 in.)

2. Retak terisi, sembarang lebar (Pengisi kondisi

bagus).

M

Satu dari kondisi berikut yang terjadi:

1. Retak tak terisi, lebar 10 - 75 mm (3/8 - 3 in.)

2. Retak terisi sembarang lebar sampai 75 mm (3

in.) dikelilingi retak acak ringan.

3. Retak terisi sembarang lebar, dikelilingi retak

acak ringan

H

Satu dari kondisi berikut yang terjadi:

1. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi

oleh retak acak, kerusakan sedang atau tinggi.

2. Retak tak terisi >75 mm (3 in.)

Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.), dengan

beberapa inci disekitar retakan, pecah (retak berat

menjadi pecahan).

Satu dari kondisi berikut yang terjadi:

3. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi

oleh retak acak, kerusakan sedang atau tinggi.

4. Retak tak terisi >75 mm (3 in.)

5. Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.), dengan

beberapa inci disekitar retakan, pecah (retak berat

menjadi pecahan). Sumber: ASTM D 6433-07

Page 42: BAB 2 LANDASAN TEORI

46

2.5.2.4 Retak Blok (Block Crack)

Retak blok berbentuk blok-blok besar yang saling bersambungan dengan ukuran

sisi blok 0,30 m sampai dengan 3 m dan dapat membentuk sudut atau pojok yang

tajam.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.19 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak

blok (Block Crack).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan

rendah.

M Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan

sedang.

H Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan

tinggi.

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.2.5 Retak Slip (Slippage Crack)

Retak slip atau retak bulan sabit diakibatkan oleh gaya-gaya horizontal yang berasal

dari kendaraan. Kerusakan ini biasanya terjadi pada overlaping yaitu ketika lapisan

permukaan dan lapisan di bawahnya tidak merekat secara sempurna.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalam tabel berikut:

Page 43: BAB 2 LANDASAN TEORI

47

Tabel 2.20 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak

slip (Slippage Crack) /retak bulan sabit (Crescent Shape Crack).

Tingkat Kerusakan

Identifikasi Kerusakan

L Retak rata-rata lebar < 10 mm (3/8 in.).

M

Satu dari kondisi berikut yang terjadi:

1. Retak rata-rata 10 – 40 mm (3/8 – 1,5 in.).

2. Area disekitar retakan pecah ke dalam

pecahan- pecahan terikat.

H

Satu dari kondisi berikut yang terjadi:

1. Retak rata-rata > 40 mm ( ½ in.)

2. Area disekitar retakan pecah ke dalam

pecahan- pecahan mudah terbongkar.

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.3 Kerusakan di Pinggir Perkerasan

Kerusakan di pinggir perkerasan adalah retak yang terjadi di sepanjang pertemuan

antara permukaan perkerasan aspal dan bahu jalan, apalagi bahu jalan tidak

ditutup (unsealed). Beberapa tipe kerusakan di pinggir perkerasan lentur adalah:

2.5.3.1 Retak Tepi (Edge Cracking)

Retak tepi perkerasan adalah retak yang terjadi sejajar dengan pinggir perkerasan

dan berjarak sekitar 30 – 50 cm dari pinggir perkerasan. Kerusakan ini

diakibatkan oleh beban lalu lintas dan lemahnya tanah dasar atau lapis pondasi

dekat ujung perkerasan.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Page 44: BAB 2 LANDASAN TEORI

48

Tabel 2.21 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak

pinggir (Edge Cracking).

Tingkat Kerusakan

Identifikasi Kerusakan

L

Retak sedikit sampai sedang dengan atau tanpa

pacahan atau butiran lepas. (m’)

M

Retak sedang dengan beberapa pecahan dan butiran

lepas. (m’)

H

Banyak pecahan atau butiran lepas di depanjang

tepi perkerasan. (m’)

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.3.2 Jalur/Bahu turun (Lane/Shoulder Drop-off)

Jalur/bahu jalan turun adalah beda elevasi antara pinggir perkerasan dan bahu

jalan. Kerusakan ini diakibatkan oleh erosi bahu jalan atau pergerakan bahu jalan.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.22 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

jalur/bahu turun (Lane/Shoulder Drop-off).

Tingkat Kerusakan

Identifikasi Kerusakan

L Beda elevasi antara pinggir perkerasan dan bahu jalan

25– 50 mm (1–2 in).

M Beda elevasi > 50 – 10 mm (2 – 4 in).

H Beda elevasi > 10 mm (4 in).

Sumber: ASTM D 6433-07

Page 45: BAB 2 LANDASAN TEORI

49

2.5.4 Kerusakan Tektur Perkerasan

Kerusakan tekstur permukaan adalah kehilangan material perkerasan secara

berangsur-angsur dari lapisan perkerasan ke arah bawah. Beberapa tipe kerusakan

tekstur permukaan perkerasan lentur adalah:

2.5.4.1 Lubang (Pothole)

Lubang adalah lekukan permukaan perkerasan akibat hilangnya lapisan aus dan

material lapis pondasi (base). Kerusakan berbentuk lubang kecil biasanya

berdiameter kurang dari <750 mm (30 in.) dan berbentuk mangkuk yang dapat

berhubungan atau tidak berhubungan dengan permukaan lainnya. Lubang biasanya

terjadi akibat galian utilitas atau tambalan di area perkerasan yang telah ada atau

akibat retak kulit buaya yang parah. Untuk kerusakan ini tiap kerusakan dihitung 1

unit, bukan luasanya.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.23 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

lubang (Pothole).

Kedalaman maksimum

Diameter rata-rata lubang

100 -200 mm

(4 – 8 in)

200 – 450 mm

(8 – 18 in)

450 – 750 mm

(18 – 30 in)

13 – 25 mm (½ -1 in) L L M

25– 50 mm (1 – 2 in) L M H

>50 mm (2 in) M M H

Sumber: ASTM D 6433-07

Page 46: BAB 2 LANDASAN TEORI

50

2.5.4.2 Pelapukan dan Butiran Lepas (Weathering and Raveling)

Pelapukan dan pelepasan butir adalah disintegrasi permukaan perkerasan aspal

melalui perkerasan partikel agregat yang berkelanjutan, berawal dari permukaan

perkerasan menuju ke bawah atau dari pinggir ke dalam.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.24 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

pelapukan dan butiran lepas (Weathering and Raveling).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L

Agregat bahan pengikat mulai lepas. Di beberapa tempat,

permukaan mulai berlubang. Jika ada tumpahan oli,

genangan oli dapat terlihat tapi permukaanya keras dan

tidak dapat di tembus dengan mata uang logam.

M

Agregat atau pengikat telah lepas. Tekstur permukaan

agak kasar dan berlubang. Jika ada tumpahan oli,

permukaanya akan lunak dan dapat ditembus dengan mata

uang logam.

H

Agregat atau pengikat telah banyak lepas. Tekstur

permukaan sangat kasar dan mengakibatkan banyak

lubang. Diameter luasan lubang <10 mm (4 in) dan

kedalaman 13 mm (½ in). Luas lubang lebih besar dari

ukuran ini, dihitung sebagai kerusakan lubang (pothole).

Jika ada oli permukaannya lunak, pengikat aspal telah

hilang ikatannya sehingga agregat menjadi longgar.

Sumber: ASTM D 6433-07

Page 47: BAB 2 LANDASAN TEORI

51

2.5.5 Kegemukan (Bleeding/Flussing)

Kegemukan adalah hasil dari pemakaian aspal pengikat yang berlebihan dan

bermigrasi ke atas permukaan. Kelebihan kadar aspal atau terlalu rendahnya kadar

udara dalam campuran, dapat mengakibatkan kegemukan.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.25 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

kegemukan (Bleeding/Flussing).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L

Kegemukan terjadi hanya pada derajat rendah dan

nampak hanya beberapa hari dalam setahun. Aspal tidak

melekat pada sepatu atau roda kendaraan.

M

Kegemukan telah mengakibatkan aspal melekat pada

sepatu atau roda kendaraan, paling tidak dalam beberapa

minggu dalam setahun.

H

Kegemukan telah begitu nyata dan banyak aspal yang

melekat pada sepatu atau roda kendaraan, paling tidak

dalam beberapa minggu dalam setahun.

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.6 Agregat Licin (Polished Agregate)

Agregat licin adalah licinnya permukaan atau perkerasan akibat ausnya agregat di

permukaan akibat adanya kendaraan yang lewat secara berulang-ulang. Kerusakan

ini dapat diketahui dengan menghitung nilai skid resistant.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalam tabel berikut:

Page 48: BAB 2 LANDASAN TEORI

52

Tabel 2.26 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

agregat licin (Polished Agregate).

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

Tidak ada definisi derajat kerusakan. Tetapi derajat

kelicinan harus Nampak signifikan, sebelum

dilibatkan dalam survey kondisi dan dinilai sebagai

kerusakan.

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.7 Tambalan dan Tambalan Galian Utilitas (Patching and Utility Cut

Patching)

Tambalan (Patch) adalah penutupan bagian perkerasan yang mengalami perbaikan.

Tambalan tetap akan mempengaruhi pengendara, karena performa tambalan tidak

akan sama dengan kondisi jalan yang sebenarnya.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.27 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi Tambalan dan

Tambalan Galian Utilitas (Patching and Utility Cut Patching)

Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L

Tambalan dalam kondisi baik dan memuaskan.

Kenyamanan kendaraan dinilai terganggu sedikit atau

lebih baik.

M Tambalan sedikit rusak dan atau kenyamanan kendaraan

agak terganggu.

H Tambalan sangat rusak dan/atau kenyamanan kendaraan

sangat terganggu.

Sumber: ASTM D 6433-07

Page 49: BAB 2 LANDASAN TEORI

53

2.5.8 Persilangan Jalan Rel (Railroad Crossing)

Kerusakan pada persilangan jalan rel dapat berupa amblas atau benjola di sekitar

dan atau lintasan rel.

Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan

dalan tabel berikut:

Tabel 2.28 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan

Persilangan Jalan Rel (Railroad Crossing)

.Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan

L

Persilangan jalan rel menyebabkan sedikit

gangguan kenyamanan kendaraan.

M

Persilangan jalan rel menyebabkan cukup gangguan

kenyamanan kendaraan.

H

Persilangan jalan rel menyebabkan gangguan besar

kenyamanan kendaraan.

Sumber: ASTM D 6433-07

2.5.9 Kadar Kerusakan (Density)

Density atau kadar kerusakan adalah persentasi luasan dari suatu jenis kerusakan

terhadap luasan suatu unit segmen yang diukur dalam meter persegi atau meter

panjang. Nilai density suatu jenis kerusakan juga dibedakan berdasarkan tingkat

kerusakan. Densitas di dapat dari luas kerusan dibagi dengan luas perkerasan

jalan (tiap segmen) kemudian dikalikan 100%. Rumus selengkapnya adalah

sebagai berikut:

𝑫𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 (%) = (𝑨𝒅

𝑨𝒔) 𝒙 𝟏𝟎𝟎 % … … … … … … … … … . (2.12)

Page 50: BAB 2 LANDASAN TEORI

54

Dengan:

Ad = Luas total jenis kerusakan untuk tiap tingkat kerusakan (m2)

As = Luas total unit segmen (m2)

2.5.10 Nilai Pengurangan Deduct Value (DV)

Deduct value adalah nilai pengurangan untuk tiap jenis kerusakan yang diperoleh

dari kurva hubungan antara density dan deduct value. Deduct value juga dibedakan

atas tingkat jenis kerusakan. Adapun untuk mencari DV adalah engan memasukkan

presentase densitas pada grafik masing-masing jenis kerusakan kemudian menarik

garis vertikal sampai memotong tingkat kerusakan (low, medium, high),

selanjutnya pada perpotongan tersebut ditarik garis horizontal dan akan didapat

DV.

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.18 Grafik Deduct Value untuk Alur

Page 51: BAB 2 LANDASAN TEORI

55

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.19 Grafik Deduct Value untuk Gelombang

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.20 Grafik Deduct Value untuk Sungkur

Page 52: BAB 2 LANDASAN TEORI

56

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.21 Gambar Deduct Value untuk Amblas

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.22 Grafik Deduct Value untuk Mengembang

Page 53: BAB 2 LANDASAN TEORI

57

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.23 Grafik Deduct Value untuk Benjol dan Turun

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.24 Grafik Deduct Value untuk Retak Buaya

Page 54: BAB 2 LANDASAN TEORI

58

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.25 Grafik Deduct Value untuk Retak Memanjang/Melintang

Sumber: ASTM D 6433-0

Gambar 2.26 Grafik Deduct Value untuk Retak Reflektif Sambungan

Page 55: BAB 2 LANDASAN TEORI

59

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.27 Grafik Deduct Value untuk Retak Blok

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.28 Grafik Deduct Value untuk Retak Slip

Page 56: BAB 2 LANDASAN TEORI

60

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.29 Grafik Deduct Value untuk Retak Tepi

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.30 Grafik Deduct Value untuk Jalur / Bahu Turun

Page 57: BAB 2 LANDASAN TEORI

61

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.31 Grafik Deduct Value untuk Lubang

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.32 Grafik Deduct Value untuk Pelapukan dan Butiran Lepas

Page 58: BAB 2 LANDASAN TEORI

62

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.33 Grafik Deduct Value untuk Aggregat Licin

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.34 Grafik Deduct Value untuk Kegemukan

Page 59: BAB 2 LANDASAN TEORI

63

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.35 Grafik Deduct Value untuk Tambalan dan Tambalan Galian

Sumber: ASTM D 6433-0

Gambar 2.36 Grafik Deduct Value untuk Persilangan Jalan Rel

Page 60: BAB 2 LANDASAN TEORI

64

2.5.11 Total Deduct Value (TDV)

Adalah nilai total deduct value untuk tiap jenis kerusakan dan tingkat kerusakan

pada suatu segmen yang ditinjau.

2.5.12 Corrected Deduct Value (CDV)

Corrected deduct value diperoleh dari kurva hubungan antara nilai TDV dengan

nilai CDV Diurutkan dari dnilai Deduct Values dari yang terbesar tiap segmen

dengan langkah sebagai berikut :

Menjumlahkan Nilai DV ( TDV )

Mencari Nilai Q ( Nilai DV yang lebih dari koef. Aspal ( 2 )

Mencari hubungan antara TDV dan Q dengan Grafik 2.37

Mengganti Nilai DV yang kebih dari 2 dengan koef. Aspal ( 2 ) & mencari

dengan Grafik 2.37 lagi sampai diperoleh Nilai Q = 1.

Hal ini dilakukan untuk mengetahui Individu Kerusakan yang terjadi pada suatu

segmen.

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.37 Grafik Corrected Deduct Value (CDV)

Page 61: BAB 2 LANDASAN TEORI

65

2.5.3 Nilai Kondisi Perkerasan (PCI)

Jika nilai CDV diketahui, maka nilai PCI untuk tiap unit dapat diketahui dengan

rumus:

PCI = 100 – CDV Maks………………………………………………(2.12)

Dengan :

PCI(s) = Pavement Condition Index untuk tiap unit

CDV = Corrected Deduct Value untuk tiap unit

2.5.4 Klasifikasi Kualitas Kerusakan

Dari nilai PCI masing-masing unit penelitian dapat diketahui kualitas lapis

perkerasan untuk unit segmen berdasarkan kondisi tertentu yaitu baik (good),

memuaskan (sarisfactory), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor),

serius (serious) dan gagal (failed) (Shahin 1996).

Untuk mengetahui nilai kondisi perkerasan keseluruhan (pada ruas jalan yang

ditunjau) adalah dengan menjumlahkan semua nilai kondisi perkerasan pada tiap-

tiap segmen dan membaginya dengan total jumlah segmen. rumus yang

dipakai adalah sebagai berikut :

𝑃𝐶𝐼 =∑ PCI(s)

𝑛 … … … … … … … (2.13)

Dengan:

PCI = Nilai PCI perkerasan keseluruhan

PCI(s) = Pavement Condition Index untuk tiap unit

n = Jumlah unit

Rata-rata PCI yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam parameter seperti

nampak pada gambar di bawah ini :

Page 62: BAB 2 LANDASAN TEORI

66

Sumber: ASTM D 6433-07

Gambar 2.38 Nilai Kondisi Perkerasan (PCI) dan Tingkat Kerusakan

2.5 Jenis Pemeliharaan Berdasarkan Nilai PCI

Setelah diketahui nilai kondisi perkerasan berdasarkan hasil dari perhitungan nilai

PCI, maka selanjutnya dapat dilanjutkan dengan menentukan jenis pemeliharaan

atau perawatan terhadap perkerasan jalan tersebut. Dalam menentukan jenis

pemeliharaan nilai kondisi perkerasan ini disesuaikan dengan standar bina marga

sehingga didapatkan nilai kondisi jalan.

Tabel 2.29 Nilai Kondisi Jalan

Penilaian

Rating

Nilai

86– 100

71– 85

56– 70

41– 55

26– 40

11– 25

0-10

Good

Satisfactory

Fair

Poor

Very Poor

Serious

Failed

3

4

5

6

7

8

9

Sumber:ASTMD6433-0

Page 63: BAB 2 LANDASAN TEORI

67

2.6 Metode Perbaikan

Metode perbaikan standar Dirjen Bina Marga tahun 1995 :

2.6.1 Metode Perbaikan P1 (Penebaran Pasir)

a. Jenis kerusakan

1) Lokasi kegemukan aspal terutama pada tikungan dan tanjakan.

b. Langkah penanganan

1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.

2. Memberikan tanda pada jalan yang akan diperbaiki.

3. Membersihkan daerah dengan air compressor.

4. Menebarkan pasir kasar atau agregat halus dengan tebal > 10 mm di

atas permukaan yang rusak.

5. Melakukan pemadatan dengan pemadat ringan (berat 1 – 2 ton)

sampai diperoleh permukaan yang rata dan mempunyai kepadatan

optimal yaitu mencapai 95

6. Bersihkan tempat pekerjaan dari sisa bahan dan alat pengaman.

7. Demobilitas.

2.6.2 Metode Perbaikan P2 (Laburan Aspal Setempat)

a. Jenis kerusakan

1. Kerusakan tepi bahu jalan beraspal.

2. Retak kulit buaya dengan lebar <2 mm.

3. Retak melintang, retak diagonal, dan retak memanjang dengan lebar

retak < 2mm.

4. Terkelupa

Page 64: BAB 2 LANDASAN TEORI

68

b. Langkah penanganan

1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.

2. Memberikan tanda pasa jalan yang akan diperbaiki.

3. Membersihkan daerah dengan air compressor.

4. Menebarkan pasir kasar atau agregat halus dengan tebal 5 mm

di atas permukaan yang rusak hingga rata.

5. Melakukan pemadatan dengan mesin pneumatic sampai diperoleh

permukaan yang rata dan mempunyai kepadatan optimal yaitu

mencapai 95 %.

6. Bersihkan tempat pekerjaan dari sisa bahan dan alat pengaman.

7. Demobilitas.

2.6.3 Metode Perbaikan P3 (Melapisi Retak)

a. Jenis kerusakan

Lokasi-lokasi retak satu arah dengan lebar retakan < 3 mm.

b. Langkah penanganan

1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.

2. Memberikan tanda pasa jalan yang akan diperbaiki.

3. Membersihkan daerah dengan air compressor.

4. Buat campuran aspal emulsi dan pasir kasar dengan menggunakan

Concrete Mixer dengan komposisi sebagai berikut :

Pasir 20 Liter

aspal emulsi 6 Liter

5. Menyemprotkan tack coat dengan aspal emulsi jenis RC (0,2

lt/m2

) di daerah yang akan diperbaiki.

6. Menebarkan dan meratakan campuran aspak di atas permukaan

yang terkena kerusakan hingga rata.

7. Melakukan kepadatan ringan (1 – 2 ton) sampai diperoleh

permukaan yang rata dan mempunyai kepadatan optimal yaitu

mencapai 95 %.

Page 65: BAB 2 LANDASAN TEORI

69

8. Bersihkan tempat pekerjaan dari sisa bahan dan alat pengaman.

9. Demobilitas

2.6.4 Metode Perbaikan P4 (Pengisian Retak)

a. Jenis kerusakan

Lokasi-lokasi retak satu arah dengan lebar retak < 3 mm.

b. Langkah penanganan

1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.

2. Memberikan tanda pasa jalan yang akan diperbaiki.

3. Membersihkan daerah dengan air compressor.

4. Mengisi retakan dengan dengan aspal tack back (2 lt/m2)

5. menggunakan aspal spayer.

6. Menebarkan pasir kasar atau agregat halus dengan tebal > 10 mm

diatas permukaan yang rusak.

7. Melakukan pemadatan dengan baby roller minimal 3 lintasan.

8. Angkat kembali rambu pengaman dan beersihkan lokasi dari sisa

bahan

9. Demobilitas

2.6.5 Metode Perbaikan P5 (Penambalan Lubang)

a. Jenis kerusakan

1. Lubang dengan kedalaman > 50 mm.

2. Retak kulit buaya ukuran > 3 mm.

3. Bergelombang dengan kedalaman > 30 mm.

4. Alur dengan kedalaman > 30 mm.

5. Amblas dengan kedalaman > 50 mm.

6. Kerusakan tepi perkerasan jalan.

Page 66: BAB 2 LANDASAN TEORI

70

b. Langkah penanganan

1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.

2. Memberikan tanda pada jalan yang akan diperbaiki.

3. Menggali material sampai mencapai material di bawahnya

(biasanya kedalaman pekerjaan jalan 150 – 200 mm, harus

diperbaiki).

4. Membersihkan daerah yang diperbaiki dengan air compressor.

5. Pemeriksaan kadar air optimum material pekerjaan jalan yang

ada. Jika kering tambahkan air hingga keadaan optimum. Jika

basah gali material dan biarkan sampai kering.

6. Padatkan dasar galian dengan menggunakan pemadat tangan

7. Isi galian dengan bahan pondasi agregat yaitu kelas A atau kelas

B (tebal maksimum 15 cm), kemudian padatkan dalam keadaan

kadar optimum air sampai kepadatan maksimum.

8. Menyemprotkan lapis serap ikat (pengikat) prime coat jenis RS

dengan takaran 0,5 lt/m2. Untuk Cut Back jenis MC-30 atau 0,8 lt/

m2 untuk aspal emulsi.

9. Aduk agregat untuk campuran dingin dalam Concrete Mixer

dengan perbandingan agregat kasar dan halus 1,5 : 1.

10. Kapasitas maksimum aspalt mixer kira-kira 0,1 m3. Untuk

campuran dingin tambahkan semua agregat 0,1 m3 sebelum aspal.

11. Tambahkan aspal dan aduk selama 4 menit siapkan campuran aspal

dingin secukupnya untuk keseuruhan dari pekerjaan ini.

12. Tebarkan dan padatkan campuran aspal dingin dengan tebal

maksimum 40 mm sampai diperoleh permukaan yang rata dengan

menggunakan alat perata.

13. Padatkan dengan Baby Roller minimum 5 lintasan, tambahkan

material jika diperlukan.

14. Bersihkan lapangan dan periksa peralatan dengan permukaan yang

ada.

15. Angkat kenbali rambu pengaman dan bersihkan lokasi dari sisa

material.

Page 67: BAB 2 LANDASAN TEORI

71

16. Demobilitas.

2.6.6 Metode Perbaikan P6 (Perataan)

a. Jenis kerusakan

1. Lubang dengan kedalaman < 50 mm.

2. Bergelombang dengan kedalaman < 30 mm.

3. Lokasi penurunan dengan kedalaman < 50 mm.

4. Alur dengan kedalaman < 30 mm.

5. Jembul dengan kedalaman < 50 mm.

6. Kerusakan tepi perkerasan jalan.

b. Langkah penanganan

1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.

2. Memberikan tanda pada jalan yang akan diperbaiki.

3. Membersihkan daerah yang diperbaiki dengan air compressor.

4. Semprotkan tack coat dari jenis RS pada daerah kerusakan 0,5

lt/m2 untuk aspal emulsi atau 0,2 lt/m2 untuk cut back dengan aspalt

ketlle / kaleng berlubang.

5. Aduk agregat untuk campuran dingin dengan perbandingan 1,5

agregat kasar : 1,0 agregat halus.

6. Kapasitas maksimum mixer kira-kira 0,1 m3. Untuk campuran

dingin tambahkan agregat 0,1 m3 sebelum aspal.

7. Tambahkan material aspal dan aduk selama 4 menit. Siapkan

campuran aspal dingin kelas A, kelas C, kelas E, atau campuran aspal

beton secukupnya sampai pekerjaan selesai.

8. Hamparkan campuran aspal dingin pada permukaan yang telah

ditandai, sampai ketebalan diatas permukaan minimum 10 mm.

9. Padatkan dengan Baby Roller (minimum 5 lintasan) sampai

diperoleh dan kepadatan optimum.

10. Bersihkan lapangan dan angkat kembali rambu pengaman.

11. Demobilitas