BAB 1 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO … Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau Triwulan I ‐ 2009 8...
-
Upload
vuongkhuong -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
Transcript of BAB 1 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO … Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau Triwulan I ‐ 2009 8...
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
5
BAB 1 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
1.1. KONDISI UMUM
Di awal tahun 2009, imbas krisis finansial global terhadap perekonomian Kepulauan
Riau dirasakan semakin intens. Laju pertumbuhan ekonomi memasuki zona negatif dengan
melambat sebesar -0,89% (y-o-y) di triwulan I-2009, sedangkan triwulan sebelumnya masih
tumbuh di level 3,05%. Kinerja ekspor yang diperkirakan melambat sebesar -5,5% masih
menjadi penyebab utama koreksi pertumbuhan di triwulan laporan. Kondisi tersebut sangat
dipengaruhi oleh kesulitan finansial bahkan resesi yang dialami sebagian besar negara-negara
prinsipal, seperti AS, Jepang, Eropa dan Singapura. Selain itu, realisasi investasi barang modal
diperkirakan tumbuh terbatas setelah tahun 2008 mencapai tingkat pertumbuhan 30%.
Meski demikian, tren menguatnya nilai tukar Rupiah serta penurunan harga komoditas
internasional berkontribusi positif dalam menahan laju penurunan konsumsi lebih lanjut.
Dari sisi produksi, perlambatan ekonomi Kepulauan Riau didorong oleh melemahnya
pertumbuhan di 3 sektor utama, yaitu sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan, Hotel
dan Restoran, serta sektor Bangunan. Penurunan daya beli global berpengaruh signifikan
terhadap turunnya permintaan barang-barang manufaktur yang diproduksi di Kepulauan
Riau, khususnya kota Batam. Rata-rata penurunan utilisasi produksi bahkan telah mencapai
30% - 50%.
Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Penggunaan (yoy)
Grafik 1.1. Struktur Perekonomian Kepulauan Riau
2009III IV I II III IV* I**
SEKTOR EKONOMI1. Pertanian 6.77% 10.44% 8.37% 5.78% 2.18% -0.72% 0.08%2. Pertambangan & Penggalian -2.28% -2.91% -1.89% -2.99% -2.85% -3.09% -1.29%3. Industri Pengolahan 5.86% 6.35% 5.56% 6.35% 4.67% 1.78% -3.72%4. Listrik, Gas & Air Bersih 6.07% 9.06% 13.49% 12.34% 5.12% 1.65% -0.73%5. Bangunan 32.31% 46.12% 45.93% 42.58% 28.52% 24.03% 14.81%6. Perdagangan, Hotel & Restoran 8.60% 9.07% 10.52% 10.37% 8.36% 2.21% -0.87%7. Pengangkutan & Komunikasi 11.36% 15.32% 18.56% 16.34% 13.84% 9.64% 5.71%8. Keuangan, Persewaan & Jasa P'an 10.12% 11.51% 11.69% 10.69% 9.59% 7.10% 6.12%9. Jasa-Jasa 13.81% 20.07% 20.57% 17.47% 14.77% 10.36% 8.29%
KOMPONEN PENGGUNAAN1. Konsumsi Rumah Tangga 16.03% 19.58% 23.04% 17.48% 18.59% 17.45% 11.42%2. Konsumsi Lembaga Swasta 11.29% 15.26% 16.74% 11.26% 11.94% 13.91% 15.59%3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 16.07% 20.67% 18.06% 13.30% 9.15% 13.01% 14.54%4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.94% 17.96% 26.50% 34.38% 31.22% 25.72% 9.25%5. Ekspor Barang dan Jasa 157.09% -0.50% 7.07% 5.88% 0.60% -1.39% -5.50%6. Impor Barang dan Jasa 15.55% 13.06% 12.95% 15.59% 23.46% 19.57% 16.42%
P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89%
2007 2008
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
6
Kuatnya interaksi antara provinsi Kepulauan Riau dengan Singapura semakin terlihat
dari pola historis pertumbuhan ekonomi kedua wilayah. Perekonomian Singapura yang
mengalami resesi sejak akhir tahun 2008 diperkirakan semakin memburuk di triwulan awal
2009 dengan melambat -11,5%. Kondisi tersebut diduga turut berperan terhadap
pertumbuhan negatif sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran di periode ini.
Sumber : Bank Indonesia Batam & MTI Singapore (diolah) *) Angka Sementara
Sumber : Kurs Tengah Bank Indonesia
Grafik 1.2. Perkembangan Kurs IDR terhadap USD dan SGD
Grafik 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Kepri. &Singapura (y-o-y)
Krisis 1997/ 1998
Krisis 2007/ 2008
Grafik 1.4. Perkembangan Harga Minyak Dunia (WTI)
Sumber : Bloomberg *) harga pertengahan April 2009
Grafik 1.7. Perkembangan Harga Karet Dunia
Grafik 1.6. Perkembangan Harga Batu Bara Dunia
Grafik 1.5. Perkembangan Harga CPO Dunia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
7
1.2. SISI PERMINTAAN
1.2.1. Konsumsi
Tren penguatan nilai tukar Rupiah dan menurunnya harga komoditas di pasar
internasional sejak awal tahun 2009 berpengaruh positif terhadap perkembangan konsumsi
di Kepulauan Riau. Meski melambat, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di triwulan I-2009
relatif baik yakni sebesar 11,42% (yoy). Di lain pihak, komponen konsumsi lembaga swasta
nirlaba dan konsumsi pemerintah justru berakselerasi dibanding triwulan sebelumnya, dengan
laju pertumbuhan masing-masing sebesar 15,56% dan 14,54%.
Krisis keuangan global yang terjadi sejak akhir tahun 2007 mulai berdampak pada
variabel konsumsi sejak kuartal II tahun 2008. Efek penurunan yang ditimbulkan cukup
terbatas, namun tetap menunjukkan tren meningkat jika dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, komponen konsumsi merupakan faktor penyangga perekonomian
Kepulauan Riau di periode laporan.
Grafik 1.9. Perkembangan Impor Barang Konsumsi
Sumber : SEKDA - BI
Grafik 1.10.Perkembangan Indeks Nilai Tukar Petani (NTP)
Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau
Grafik 1.8. Laju Pertumbuhan Konsumsi (y-o-y)
Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau (diolah)
Periode Krisis
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
8
Daya beli masyarakat petani relatif meningkat didorong oleh kenaikan harga beberapa
komoditas pangan di wilayah Kepulauan Riau. Selama bulan Januari – Maret, wilayah
Kepulauan Riau mengalami “musim utara” dimana kecepatan angin relatif tinggi yang
menimbulkan gelombang laut yang tinggi. Terganggunya aktivitas pelayaran mengakibatkan
pasokan komoditas pangan yang diimpor, baik antar daerah maupun antar negara, menjadi
berkurang. Kondisi yang direspon dengan naiknya harga-harga kebutuhan pangan ternyata
cukup membantu daya beli petani di tengah penurunan harga komoditas, sebagaimana
ditunjukkan dengan tren kenaikan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) selama Januari dan Februari
2009.
Melambatnya laju pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga di periode ini cukup
terkonfirmasi dari arah penurunan berbagai indikator konsumsi terutama untuk komoditas
non-makanan. Angka penjualan kendaraan bermotor baru semakin terkoreksi. Penjualan
kendaraan roda empat di bulan Februari 2009 hanya tumbuh 10,5% sedangkan di akhir
tahun 2008 masih tumbuh 63,5% (y-o-y). Bahkan, pertumbuhan penjualan Sepeda Motor
telah memasuki zona negatif sejak awal tahun 2009. Jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, angka penjualan Sepeda Motor dalam 2 bulan pertama turun hingga 15%.
`
Selain itu, indikator konsumsi listrik untuk kelompok rumah tangga juga mengalami
penurunan level pertumbuhan. Total pemakaian listrik PT.PLN Batam oleh kelompok rumah
tangga selama triwulan I-2009 tercatat sebesar 87.620 MWh atau tumbuh hampir 9% (yoy).
Sementara itu pada triwulan sebelumnya pemakaian listrik rumah tangga masih mengalami
pertumbuhan lebih dari 15% (yoy).
Stimulus yang dihasilkan dari belanja Pemerintah daerah masih jauh dari harapan.
Asesmen ini didasarkan dari rendahnya tingkat realisasi anggaran belanja dalam 4 tahun
terakhir. Di samping kekhawatiran terhadap semakin intensifnya pengawasan terhadap
penggunaan anggaran pemerintahan daerah, masa kampanye pemilu legislatif ternyata cukup
Grafik 1.12. Pertumbuhan Penjualan Kendaraan Bermotor
Grafik 1.11. Pertumbuhan Penjualan Kendaraan Bermotor
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kepulauan Riau (diolah)
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
9
menyita konsentrasi pemerintah daerah untuk menjalankan program kerjanya. Tren
menurunnya laju pertumbuhan konsumsi pemerintah cukup tercermin dari tingkat
penyerapan anggaran yang relatif menurun sampai dengan tahun 2008. Akibatnya,
kontribusi pengeluaran pemerintah dalam menstimulus perekonomian daerah menjadi
semakin kecil.
Indikator konsumsi semen juga memperlihatkan penurunan tajam. Penjualan semen
untuk wilayah Kepulauan Riau selama triwulan I-2009 sebanyak 181,56 ribu ton, atau
melambat -0,41% dibanding triwulan I-2008 (yoy). Angka penjualan mengalami koreksi yang
signifikan pada bulan Maret 2009 yang turun 18,68% dibanding bulan Maret tahun
sebelumnya.
Sementara di sisi pembiayaan perbankan menunjukkan hal yang sama dimana
pertumbuhan kredit konsumsi terus menurun sejak Oktober 2008. Meski demikian angka
pertumbuhan masih berada di level yang cukup tinggi dimana pada bulan Maret 2009 posisi
penyaluran kredit Konsumsi total perbankan di Kepulauan Riau mencapai Rp 4,7 triliun atau
tumbuh sekitar 30,7%.
1.2.2. Investasi
Perkembangan investasi barang modal – Pembentukan Modal tetap Bruto (PMTB)
sepanjang tahun 2008 cenderung stabil dengan tren meningkat. Investasi PMTB pada tahun
2008 tumbuh 29,4% dibanding tahun 2007. Namun memasuki triwulan awal tahun 2009,
kinerja investasi relatif terbatas dengan pertumbuhan sebesar 9,25% (yoy). Penurunan angka
realisasi investasi tidak terlebas dari belum membaiknya perekonomian negara-negara
prinsipal utama seperti Singapura, AS, Jepang, dan Eropa. Kesulitan finansial yang dialami
negara-negara tersebut sangat mempengaruhi langkah ekspansi yang akan dilakukan di
Grafik 1.14.Penjualan Semen di Kepulauan Riau
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
Grafik 1.13. Kredit Konsumsi Perbankan Kepri.
Sumber : Laporan Bulanan Bank
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
10
wilayah Kepulauan Riau, baik dalam bentuk investasi baru maupun tamabahan investasi
dalam rangka perluasan usaha.
Menurunnya laju pertumbuhan investasi PMTB dapat diidentifikasi dari penurunan
beberapa indikator seperti impor barang modal serta penyaluran kredit investasi oleh
perbankan. Nilai Impor barang modal yang masuk ke wilayah kepabeanan Kepulauan Riau
relatif berfluktuasi meski trennya menurun. Namun secara riil, volume barang modal yang
diimpor menunjukkan perlambatan yang lebih intens sampai bulan Februari 2009.
Sementara di sisi pembiayaan perbankan pertumbuhan kredit investasi posisi Maret
2009 masih relatif minimal. Jika pada akhir tahun 2008, penyaluran kredit invetasi masih
tumbuh 16,02%, namun pada posisi bulan Maret 2009 hanya tumbuh 13,4% dibanding
periode yang sama tahun sebelumnya.
Selama bulan Januari s/d Maret 2009 total aplikasi PMA yang disetujui sebanyak 18
proyek baru dengan nilai investasi US$16.649.493, dan perluasan sebanyak 4 proyek
perluasan dengan nilai US$6.259.344. Sedangkan investasi PMDN yang telah disetujui
Investasinya selama periode triwulan I-2009 sebanyak Rp 22.450.000. Dari seluruh rencana
Grafik 1.16. Nilai Impor Kepri Berdasarkan BEC
Sumber : SEKDA - BI Sumber : Laporan Bulanan Bank (BU+BPR)
Grafik 1.17. Kredit Investasi Perbankan Kepri.
Grafik 1.15 Perkembangan Investasi PMTB
Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau (diolah)
Periode Krisis
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
11
investasi tersebut diperkirakan dapat menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 1.475 tenaga
kerja.
Lebih rinci, pada bulan Januari 2009 disetujui 7 aplikasi proyek PMA dengan nilai
investasi sebesar US$ 5.925.000, dan 1 proyek perluasan PMA dengan nilai US$350.000.
Sedangkan investasi PMDN baru yang disetujui aplikasinya sebanyak 2 proyek dengan nilai
investasi Rp11.050.000.000,-. Sementara pada bulan Februari 2009 disetujui 5 proyek aplikasi
PMA dengan nilai investasi sebesar US$4.624.493, dan investasi perluasan sebanyak 2 proyek
dengan nilai US$4.850.521. Serta 2 proyek PMDN baru senilai Rp11.400.000.000. Sedangkan
pada bulan Maret 2009 telah disetujui aplikasi proyek PMA sebanyak 6 proyek dengan nilai
investasi sebesar US$6.100.000, dan proyek perluasan sebanyak 1 proyek dengan nilai
US$1.058.823.
Persetujuan aplikasi investasi tersebut berasal dari negara-negara : Singapura, Inggris,
Australia, Malaysia, India, Luxemburg, Taiwan, Jepang, RRC, Belanda dan Korea Selatan.
Adapun bidang usaha aplikasi PMA tersebut adalah : Industri Pembuatan / Perbaikan Kapal (1
proyek); Industri Pallet Kayu dan Komponen bahan Bangunan (1 proyek); Perdagangan Besar
(Distributor Utama, Ekspor/Impor) (5 proyek); Industri peralatan lainnya dari logam dan
industri paku, mur dan baut (2 proyek); Penjualan langsung dari jaringan (direct selling) (1
proyek); Jasa Engineering Procurement Construction (EPC) (1 proyek); serta Industri dan jasa
lainnya (7 proyek).
Perencanaan pembangunan pada dasarnya akan ditentukan oleh kemampuan
penyediaan sumber pembiayaan atas dana untuk diinvestasikan guna mencapai laju
pertumbuhan dan tingkat kesejahteraan yang hendak dicapai. Untuk keperluan analisis ini,
biasanya digunakan konsep Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Perhitungan yang
diperoleh berupa angka yang menunjukan perbandingan antara investasi yang diperlukan
untuk dapat meningkatkan tambahan pendapatan atau output.
Berdasarkan penelitian LPEM-UI pada tahun 2007, diketahui bahwa ICOR Kepulauan
Riau sebesar 3,795. Dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2008 sebesar 6,65% (y-o-y)
dan asumsi belanja publik pada APBD 2009 sebesar 70% atau Rp 1,148 triliun (dispenda
Kepri), maka untuk mencapai tingkat pertumbuhan 2% - 5% dibutuhkan investasi swasta
sebesar Rp 2,6 – 5,8 triliun pada tahun 2009. Besaran ini diharapkan dapat tercapai dengan
resminya penerapan Free Trade Zone (FTZ) Batam-Bintan-Karimun (BBK) di awal April 2009 ini.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
12
1.2.3. Ekspor-Impor
Neraca perdagangan luar negeri Kepulauan Riau lebih tertekan menyusul penurunan
ekspor secara tajam hingga berkontraksi sebesar 5,5% di triwulan I-2009 (yoy). Sementara
itu, impor barang dan jasa tumbuh relatif stagnan selama masa krisis global. Resesi di
beberapa negara prinsipal besar seperti Singapura, Jepang dan Amerika Serikat, yang diikuti
dengan penurunan daya beli global sangat berpengaruh terhadap berkurangnya kuantitas
order produk yang diolah (manufactured) di wilayah Kepulauan Riau, khususnya kota Batam.
Imbasnya, lalu lintas perdagangan bahan baku dan bahan penolong menjadi menurun.
Buruknya kinerja ekspor berkontribusi signifikan terhadap perlambatan ekonomi Kepulauan
Riau di triwulan laporan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Riau, total ekspor barang dan
jasa dari wilayah kepabeanan selama Januari-Maret 2009 diperkirakan sebesar Rp9,24 triliun
atau turun 5,5% dibanding periode yang sama tahun 2008 yang tercatat sebesar Rp9,78
triliun. Sementara itu angka realisasi impor sebesar Rp 5,83 triliun masih menunjukkan tingkat
pertumbuhan yang stabil pada level 16,42% (yoy).
Ditinjau dari volume perdagangan, penurunan ekspor di kuartal awal 2009
berlangsung lebih agresif. Volume barang yang diekspor selama dua bulan pertama sebanyak
2,43 juta ton atau menurun 28,1% dibanding periode yang sama tahun 2008. Penurunan
volume ekspor sebagian besar terjadi pada jenis pasir, batu-batuan, bijih besi dan arang
sebagai komoditas yang memiliki volume ekspor dominan. Meski demikian, perkembangan
beberapa komoditas ekspor utama seperti barang-barang dari besi dan baja, serta
perlengkapan shipyard justru memperlihatkan arah meningkat. Sementara volume ekspor
mesin-mesin dan peralatan elektronik relatif stagnan di awal tahun 2009.
Grafik 1.18 Pertumbuhan Ekspor-Impor Kepulauan Riau (y-o-y)
Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau (diolah)
Periode Krisis
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
13
Berdasarkan negara tujuan dan asal barang, volume ekspor-impor dari dan ke negara
Singapura relatif menurun. Pada periode Januari-Februari 2009, total barang yang diekspor ke
Singapura sebanyak 1,4 juta ton, sedangkan pada periode yang sama tahun 2008 masih
tercatat sebanyak 1,6 juta ton. Penurunan volume ekspor melalui Singapura berpengaruh
langsung terhadap menurunnya volume ekspor secara keseluruhan, karena pangsanya yang
dominan mencapai 57% dari total volume ekspor. Fenomena yang terjadi adalah peningkatan
volume ekspor ke Hongkong cukup mengkompensir penurunan ekspor ke negara Cina.
Adapun kinerja impor juga menunjukkan penurunan terutama disebabkan oleh menurnnya
impor dari negara Malaysia. Sementara itu impor dari Singapura, Eropa, dan Cina masih relatif
stabil.
Terkoreksinya aktivitas ekspor-impor juga cukup teridentifikasi dari penurunan
aktivitas peti kemas di pelabuhan Batu Ampar, Sekupang dan Kabil sebagai pelabuhan utama
Free Trade Zone (FTZ) kota Batam. Perlambatan aktivitas masih dirasakan pada jalur
perdagangan luar negeri dimana kuantitas bongkar-muat barang masih berada di level
terendah. Total barang yang dibongkar (impor) dari luar negeri selama Januari-Maret 2009
sebanyak 16.273 Teus atau turun 33,4% dibanding triwulan I tahun 2008. Sedangkan
Grafik 1.19. Perkembangan Volume Produk Ekspor Utama
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Produk Impor Utama
Grafik 1.22.Volume Impor dari Negara Asal Utama
Grafik 1.21. Volume Ekspor ke Negara Tujuan Utama
Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah – Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
14
volume barang yang di-muat selama triwulan I-2009 menurun 39,9% dibanding periode yang
sama tahun sebelumnya menjadi sebanyak 14.540 Teus. Adapun perdagangan antar pulau
(domestik) memperlihatkan arah meningkat disebabkan adanya kenaikan arus perdagangan
kebutuhan pokok antar pulau akibat tingginya harga barang kebutuhan di pasar luar negeri
seiring pelemahan kurs Rupiah.
Informasi terkini pelaksanaan FTZ di Batam sejak 1 April 2009 belum memperlihatkan
perkembangan yang positif. Frekuensi kapal barang yang berlabuh dan bersandar di
Pelabuhan Batu Ampar mengalami penurunan akibat pembatasan importasi barang oleh
Badan Pengusahaan (BP) FTZ-Batam lalu. Salah satu aturan importasi tersebut adalah
mewajibkan proses importasi berdasarkan master list untuk kebutuhan 1 tahun sehingga
secara tidak langsung mengurangi intensitas kapal barang.
1.3. SISI PENAWARAN
Melambatnya aktivitas ekspor-impor berdampak besar terhadap kinerja sektor-sektor
produktif di Kepulauan Riau. Berdasarkan pantauan ke beberapa perusahaan manufaktur
skala besar diperoleh informasi bahwa penurunan kapasitas produksi terpakai (utilisasi)
berkisar antara 30% - 50%. Bersamaan dengan itu, kinerja sektor Bangunan dan sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran juga menurun tajam. Sedangkan sektor-sektor lainnya turut
terkoreksi meski dalam skala yang lebih minimal.
1.3.1. Sektor Industri Pengolahan
Laju perlambatan sektor industri pengolahan semakin berlanjut bahkan berkontraksi
di triwulan laporan. Nilai tambah yang dihasilkan sektor Industri Manufaktur di triwulan I-
2009 menurun 3,72% (yoy), setelah periode sebelumnya tumbuh cukup terbatas di angka
Grafik 1.23. Aktivitas Peti Kemas Internasional di Pelabuhan
Sumber : Otorita Batam, Pelabuhan Batam Ket.: Pelabuhan Batam meliputi pelabuhan Batu Ampar, Sekupang dan Kabil.
Grafik 1.24. Aktivitas Peti Kemas Domestik di Pelabuhan
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
15
1,78%. Penurunan disebabkan oleh melemahnya permintaan global dan resesi yang dihadapi
beberapa negara mitra dagang utama seperti Singapura, Jepang, dan AS. Akibatnya utilisasi
produksi sebagian perusahaan manufaktur menurun sekitar 30% – 50% dibanding kondisi
normal. Peningkatan angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) atau
kontrak yang tidak diperpanjang juga semakin memperlambat laju perekonomian di triwulan
I-2009.
Kontribusi penurunan sebagian besar dihasilkan dari melambatnya aktivitas sub-sektor
Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya, serta sub-sektor Logam Dasar Besi dan Baja. Nilai
tambah yang dihasilkan dari industri Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya di triwulan I-
2009 turun 3,94% dibanding triwulan I-2008 (yoy), sedangkan industri logam dasar besi dan
baja menurun 2,49%. Adapun sub-sektor industri lainnya seperti industri Makanan, Tekstil,
Barang Kayu, Kertas, Pupuk, Kimia dan Semen juga mengalami pertumbuhan minus di
triwulan laporan.
Hasil survei terhadap 12 perusahaan manufaktur skala besar diperoleh informasi
bahwa perusahaan tidak melakukan perpanjangan kontrak kepada 5.200 lebih pekerja sejak
Januari 2008 sampai Maret 2009. Di samping itu, masih terdapat potensi PHK yang cukup
besar dari 12 perusahaan tersebut di tahun 2009 ini.
Sektor industri pengolahan di provinsi Kepulauan Riau memiliki keterkaitan dengan
sektor manufaktur Singapura. Hal ini disebabkan karena sebagian besar perusahaan
manufaktur yang berasal dari Amerika Serikat, Eropa dan Jepang juga memiliki production
site di Singapura, atau setidaknya kantor perwakilan (representative) dan marketing. Dengan
melihat kuatnya hubungan dagang antara provinsi Kepulauan Riau khususnya kota Batam
dengan Singapura, maka pertumbuhan negatif yang dialami oleh sektor industri telah dapat
diperkirakan sebelumnya. Estimasi terkini dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan
Grafik 1.25. Pertumbuhan Sub-Sektor Industri Pengolahan
Tw.III & Tw.IV-2008
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah Sumber : Survei Liaison Bank Indonesia Batam, Maret 2009
No. Nama PerusahaanJlh Pekerja Des‐2007
PHK 2008‐2009
Potensi PHK 2009
Jlh Pekerja Des‐2009 (P)
Penurunan Produksi
1 PT. Sat Nusapersada Tbk 6,000 400 1,600 4,000 40%2 PT. Schneider Electric 1,400 700 0 700 40%3 PT. Japan Servo 1,000 500 100 400 70%4 PT. Epcos 3,000 180 0 2,820 30%5 PT. Ciba Vision 3,066 800 0 2,266 30%6 PT. TEC Indonesia 1,600 400 200 1,000 30%7 PT. TEAC Electronics Indonesia 1,900 800 100 1,000 40%8 PT. Infineon Technologies 1,750 0 450 1,300 30%9 PT. Unisem 4,400 800 0 3,600 20%10 PT. Yoshikawa Electronic Bintan 800 121 0 679 20%11 PT. Amtek Enginering 1,000 202 200 598 50%12 PT. Sumitomo Wiring System 950 395 100 455 50%
26,866 5,298 2,750 18,818Total
Tabel 1.2. Jumlah PHK di Beberapa Perusahaan
Manufaktur Kota Batam
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
16
Singapura memperkirakan kinerja sektor manufaktur akan semakin memburuk di triwulan I-
2009 ini dengan berkontraksi sebesar -29% (yoy). Buruknya rapor sektor manufaktur
merupakan determinan utama semakin melambatnya laju pertumbuhan di triwulan laporan.
Penurunan kinerja di triwulan I-2009 cukup teridentifikasi dari perkembangan volume
impor produk utama sektor Industri Pengolahan (termasuk Kawasan Berikat), seperti barang-
barang dari besi dan baja, bahan baku dan perlengkapan industri kapal (shipyard), mesin-
mesin, serta perlengkapan elektronik. Perlambatan terbesar diperlihatkan oleh 2 produk
utama yakni logam dasar serta barang-barang (articles) yang terbuat dari besi dan baja.
Sementara itu impor perlengkapan eletronik dan mesin-mesin relatif stagnan selama bulan
Januari dan Februari 2009.
Indikasi perlambatan juga jelas terlihat dari berkurangnya konsumsi listrik golongan
Industri. Konsumsi listrik Industri selama triwulan I-2009 sebanyak 88.253 MWh atau turun
9,39% dibanding triwulan I-2008 (y-o-y). Angka pertumbuhan konsumsi listrik oleh kelompok
Industri terus menurun setelah 2 triwulan sebelumnya masih tumbuh sebesar 15,85% di
triwulan III-2008 dan 4,57% di triwulan IV-2008. Aspek pembiayaan perbankan juga
memperlihatkan pola yang serupa. Meski masih mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi,
penyaluran kredit perbankan untuk sektor Industri Pengolahan memasuki tren menurun
sepanjang triwulan I-2009.
1.3.2. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Krisis likuiditas global yang diikuti penurunan daya beli domestik menyebabkan
pertumbuhan sektor unggulan ini merosot tajam. Sejak semester II tahun 2008, laju
pertumbuhan menurun secara gradual hingga tumbuh -0,87% (yoy) di triwulan I-2009.
Aktivitas perdagangan besar dan eceran merasakan dampak yang paling intens sehingga laju
Grafik 1.27. Perkembangan Kredit Sektor Industri Pengolahan
Sumber : Laporan Bulanan Bank (BU+BPR)
Grafik 1.26. Perkembangan Konsumsi Listrik Sektor Industri
Sumber : PT. PLN Batam
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
17
pertumbuhan berkontraksi di kisaran 1,48%, sedangkan triwulan sebelumnya masih tumbuh
1,07%. Namun industri perhotelan dan restoran masih tetap tumbuh meski sangat terbatas.
Melambatnya sektor PHR terkonfirmasi dari penurunan pertumbuhan kredit untuk
usaha distribusi, perdagangan eceran, restoran dan hotel. Pada posisi Maret 2009, posisi
penyaluran kredit untuk bidang usaha distribusi sebesar Rp556 milyar atau naik 17,8%
dibanding tahun sebelumnya (yoy), dimana pada posisi akhir tahun 2008 masih tumbuh
28,2%. Sedangkan posisi kredit untuk sektor perdagangan eceran tercatat sebesar Rp 1,03
triliun atau tumbuh -5,29%, dimana pada akhir tahun masih tumbuh di kisaran 5%. Adapun
untuk sektor Restoran dan Hotel, pertumbuhan juga relatif terbatas di tingkat 2,53% dengan
posisi outstanding kredit sebesar Rp345 milyar.
Terkoreksinya kegiatan perdagangan besar dan eceran juga dapat teridentifikasi dari
penurunan aktivitas peti kemas di pelabuhan Batu Ampar, Sekupang dan Kabil sebagai
pelabuhan utama Free Trade Zone (FTZ) kota Batam sebagaimana yang telah dibahas
sebelumnya.
Sementara perlambatan yang terjadi di industri Perhotelan ditunjukkan dengan
menurunnya tingkat hunian hotel berbintang di wilayah Kepulauan Riau, khususnya kota
Batam. Tingkat hunian (occupancy rate) mengalami koreksi yang signifikan dari 49,63% di
posisi Desember 2008 menjadi 37,46% di bulan Februari 2009. Menurunnya nilai tambah
ekonomi yang dihasilkan oleh industri perhotelan diduga terkait dengan permasalahan energi
yang kini dihadapi oleh industri hotel di kota Batam. Sebagaimana diatur dalam Permen
ESDM No 33/2008, kenaikan tarif untuk hotel mencapai 43% dan untuk mall mencapai 51%.
Kenaikan tarif ini menyebabkan sebagian besar hotel dan mall tidak dapat melakukan
pembayaran seperti biasa. Akibatnya, PT. Pelayanan Listrik Nasional (PLN) Batam melakukan
pemutusan aliran listrik ke 28 hotel dan 4 mall mulai pertengahan Maret 2009 lalu, dengan
alasan untuk efisiensi beban operasional perusahaan. Dalam menjalankan aktivitas rutinnya,
hotel dan mall menggunakan genset sendiri yang biaya operasionalnya relatif lebih besar.
Grafik 1.28. Pertumbuhan PDRB Sub-sektor Perdagangan, Hotel & Restoran
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah Sumber : Laporan Bulanan Bank (BU+BPR)
Grafik 1.29. Pertumbuhan Kredit Sektor Distribusi, Perdagangan Eceran, Hotel & Restoran
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
18
Penurunan aktivitas bisnis di sektor pariwisata juga diperkuat dengan data penurunan
jumlah penumpang domestik dan internasional yang datang melalui pintu masuk bandara
Hang Nadim Batam. Jumlah penumpang pesawat yang datang selama triwulan I-2009
sebanyak 328.727 penumpang atau menurun 7,9% jika dibandingkan periode triwulan I-
2008 (yoy).
Adapun komposisi wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke wilayah
Kepualuan Riau tidak banyak mengalami perubahan. Kunjungan wisman dari Singapura
pangsanya cenderung menurun dari 54,6% di akhir tahun 2008 menjadi 42,6% di bulan
Februari 2009. Sedangkan wisatawan asal Malaysia, India, Cina, Inggris, AS dan Australia
relatif meningkat di bulan Februari 2009.
1.3.3. Sektor Bangunan
Pertumbuhan sektor bangunan semakin tertahan merespon turunnya daya beli pasar
dan kenaikan harga bahan baku impor. Aktivitas sektor bangunan di Kepulauan Riau
meningkat 14,81% (yoy) di triwulan I-2009, menurun tajam dibanding triwulan sebelumnya
Tabel 1.3 Pangsa Wisatawan Mancanegara
yang Berkunjung ke Kepulauan Riau
Sumber : BPS Kepulauan Riau
Jan-08 Jan-09 Feb-09
Singapura 54.61% 54.26% 52.59%Malaysia 15.68% 14.54% 16.55%Korea Selatan 7.12% 4.49% 5.72%India 2.70% 3.74% 2.76%China 1.92% 3.91% 2.44%Jepang 3.05% 2.89% 3.07%Inggris 1.97% 2.06% 2.50%Amerika Serikat 1.15% 1.42% 1.39%Australia 1.23% 1.83% 1.45%Taiwan 0.69% 0.94% 0.63%Jerman 1.07% 0.69% 0.87%Belanda 0.36% 0.44% 0.53%Lainnya 8.42% 8.77% 9.49%Jumlah Wisman 135,741 125,674 103,858
Pangsa (%)Kebangsaan
Grafik 1.30. Tingkat Hunian Hotel Berbintang (occ.rate)
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah Sumber : Otorita Batam, Bandara Hang Nadim - Batam
Grafik 1.31. Volume Penumpang (Domestik & Int’l)
yang Datang Melalui Bandara Hang Nadim Batam
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
19
yang tumbuh sebesar 24,03%. Para pelaku bisnis properti baru mulai optimis terhadap
perkembangan ekonomi di semester II-2009.
Kondisi ini terlihat dari penurunan konsumsi semen hingga memasuki zona
pertumbuhan negatif 18,68% (yoy) di bulan Maret 2009. Secara triwulan, konsumsi semen
Kepulauan Riau selama triwulan I-2009 sebanyak 181,56 ribu ton, turun -0,41% dibanding
pemakaian semen di triwulan I-2008.
Di sisi penawaran, kondisi ini disebabkan karena sebagian bahan baku konstruksi
masih diimpor dari luar negeri seperti besi, baja, peralatan sanitary, pipa, polycarbonate, dan
sebagainya. Selain dihadapkan pada nilai Rupiah yang terdepresiasi, sektor bangunan juga
harus menerima kondisi pengetatan kredit perbankan untuk sektor properti. Penurunan harga
BBM dan komoditas dunia belum direspon optimal oleh para pelaku pasar sehingga belum
mampu menurunkan cost of fund perusahaan-perusahaan konstruksi di Kepulauan Riau,
terutama kota Batam dan Tanjung Pinang.
Perkembangan volume impor produk utama sektor bangunan cukup mengkonfirmasi
hal tersebut. Dimana penurunan impor terbesar pada barang kayu dan barang dasar logam
(besi/baja). Adapun kenaikan yang terjadi pada komoditas logam dasar diduga disebabkan
intensifnya pengerjaan pulau Dompak yang akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan
provinsi Kepulauan Riau ke depan, serta pembangunan beberapa fasilitas umum seperti
apartemen/hotel dan fasilitas hiburan keluarga di Batam.
Melambatnya sektor properti juga masih terkonfirmasi dari aspek pembiayaan
perbankan lokal. Total kredit properti yang disalurkan Bank Umum dan BPR di Kepulauan Riau
pada posisi Maret 2009 sebesar Rp3,22 triliun atau tumbuh 17,6%, relatif menurun
dibanding posisi akhir tahun 2008 yang mengalami peningkatan 21,2% (yoy). Adapun kredit
Sumber : SEKDA - BI
Grafik 1.33. Perkembangan Volume Impor Utama
Sektor Bangunan
Grafik 1.32. Volume Penjualan Semen di Kepulauan Riau
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
20
kepemilikian rumah (KPR) mengalami pertumbuhan yang terus menurun dimana pada posisi
Desember 2008 masih mencatat pertumbuhan sebesar 28,42% sedangkan di akhir bulan
Maret 2009 tumbuh 23,05%, atau sebesar Rp2,55 triliun.
Berdasarkan persentase, penurunan yang lebih intens terjadi pada pembiayaan KPR
tipe ≥70 m2, sedangkan secara nilai penurunan lebih dirasakan pada KPR untuk tipe ≤70 m2.
Menurunnya pembiayaan KPR tipe sederhana dan menengah ini sejalan dengan perkiraan
pada asesmen sebelumnya. Menurunnya daya beli sebagian besar masyarakat bawah dan
menengah akibat efisiensi perusahaan yang intens terjadi sejak pertengahan tahun 2008.
Akibatnya penjualan rumah terutama untuk tipe sederhana (tipe ≤36 m2) belum cukup
terbantu dengan menurunnya harga rumah sederhana berdasarkan hasil survei harga properti
residensial (SHPR) kota Batam pada triwulan I-2009. Sedangkan pertumbuhan KPR untuk
rumah tipe menegah dan besar yang masih mengalami kenaikan harga selama triwulan I-
2009 mengalami perlambatan dalam persentase yang lebih besar.
1.3.4. Pertambangan dan Penggalian
Kinerja sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami pertumbuhan negatif
sejak akhir tahun 2007 relatif membaik dengan laju -1,29%, sedangkan di triwulan IV-2008
berkontraksi lebih dalam di level -3,09%. Hal ini dihasilkan dari perlambatan sub-sektor
Pertambangan Minyak dan Gas (Migas) yang semakin melandai seiring dengan semakin
normalnya operasional di lapangan Belanak.
Aspek pembiayaan perbankan cukup mengkonfirmasi hal ini. Penyaluran kredit untuk
sub-sektor Pertambangan Migas relatif stagnan dengan tetap berkontraksi sepanjang tahun
2008 hingga bulan Maret 2009. Sementara itu, pertumbuhan sub-sektor penggalian yang
relatif berakselerasi dari 2,32% pada triwulan IV-2008 menjadi 3,82%, cukup sejalan dengan
Grafik 1.35. Perkembangan KPR Type >70m2
Grafik 1.34. Perkembangan KPR Type <70m2
Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
21
kenaikan indikator kredit sub-sektor Bijih Logam. Sedangkan perlambatan sub sektor
Pertambangan Non-Migas dapat terindentifikasi dari menurunnya laju pertumbuhan kredit di
sektor pertambangan lainnya.
Sebagai penghasil minyak utama yakni sebesar 65% dari total produksi minyak
Kepulauan Riau, berangsur normalnya lapangan minyak Belanak milik ini berkontribusi besar
terhadap kenaikan produksi minyak yang dihasilkan dari Kepulauan Riau. Bahkan sepanjang
tahun 2008, lifting minyak Belanak mencapai 181,97% dari prognosa yang ditetapkan
sebesar 11,13 juta barel. Adapun selama bulan Januari-Maret 2009, akumulasi lifting minyak
telah mencapai 4,41 juta barel atau terealisasi 62,9% dari prognosa tahun 2009 sebesar 8,39
juta barel.
Sementara itu, perkembangan lifting minyak dari lapangan Belida yang juga milik
Conoco Phillips relatif melambat jika dibandingkan selama triwulan laporan. Di tahun 2008
lapangan ini juga tidak berproduksi optimal dengan pencapaian lifting 88,1%. Sedangkan
selama triwulan I-2009, akumulasi lifting hanya tercatat sebesar 1,55 juta barel, atau 17%
dari target tahun 2009 yang ditetapkan sebesar 9,11 juta barel. Kurang maksimalnya
operasional di lapangan minyak ini diduga memberi kontribusi besar terhadap kontraksi
pertumbuhan yang dialami sektor Pertambangan Migas.
Grafik 1.38. Perkembangan Lifting Minyak Kepri
Sumber : ESDM – Dirjen Minyak & Gas Bumi
Grafik 1.39. Perkembangan Lifting Gas Kepulauan Riau
Sumber : ESDM – Dirjen Minyak & Gas Bumi
Sumber : BPS Kepulauan Riau
Grafik 1.36. Pertumbuhan PDRB Sektor Minyak & Gas
Grafik 1.37.Pertumbuhan Kredit Sub‐Sektor
Pertambangan Migas, Bijih Logam & Lainnya
Sumber : Laporan Bulanan Bank
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
22
Adapun pencapaian lifting gas Kepulauan Riau selama triwulan I-2009 tergolong
cukup optimal. Lapangan gas Conoco Phillips yang sepanjang tahun 2008 berproduksi
melebihi target, selama triwulan ini telah menghasilkan Gas sebanyak 37,4 juta MMBTU, atau
29,8% dari prognosa 2009. Tidak jauh berbeda, lapangan gas Kakap milik Star Energy telah
memproduksi 4,35 juta MMBTU atau mencapai 20,6% dari target produksi tahun 2009.
1.3.5. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Koreksi pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan mulai
melandai di triwulan I-2009 dengan laju sebesar 6,12% (yoy). Kinerja sektor Perbankan yang
relatif baik dengan meningkat 6,83% telah berkontribusi besar dalam menahan perlambatan
yang lebih dalam.
Adapun rapor kinerja terburuk dialami oleh sub-sektor Jasa Perusahaan yang
berkontraksi 2,01% sedangkan triwulan sebelumnya masih tumbuh 7,82%. Kondisi ini
sangat tidak terlepas dari melambatnya aktivitas sektor riil di kepulauan Riau. Menurunnya
nilai perekonomian yang dihasilkan dari aktivitas jasa penunjang perusahaan sangat
terkonfirmasi dari merosotnya pertumbuhan kredit perbankan untuk sektor dimaksud.
Pembiayan perbankan mencatat pertumbuhan -4,10% di posisi Maret 2009, sedangkan di
triwulan IV-2008 masih tumbuh 11,88%.
Di tengah ketatnya likuiditas perbankan, upaya perbankan untuk meningkatkan
pertumbuhan dana dan menahan laju pertumbuhan kredit dapat dikatakan berhasil. Kondisi
ini terlihat dari terus menurunnya gap pertumbuhan kredit dan dana bahkan mencapai
tingkat pertumbuhan yang hampir ekuivalen di triwulan laporan. Konsekuensinya, rasio loan
to deposit (LDR) menjadi semakin menurun. Bagi perbankan secara individu kondisi ini baik
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah
Grafik 1.40. Pertumbuhan PDRB Sub-Sektor
Bank, LKBB, Sewa Bangunan & Jasa Perusahaan Grafik 1.41.
Perkembangan Kredit Sektor Jasa Dunia Usaha
Sumber : Laporan Bulanan Bank (BU+BPR)
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
23
untuk menjaga keberlangsungan bisnisnya, meskipun berdampak terbalik bagi perekonomian
regional karena nilai tambah yang dihasilkan menjadi berkurang.
Sikap prudent yang ditunjukkan perbankan dalam menghadapi situasi krisis juga
terlihat dari menurunnya tingkat kredit bermasalah (non performing loan/NPL), dimana rasio
NPL Perbankan wilayah Kepulauan Riau menurun dari 2,6% di akhir tahun 2008 menjadi
2,05% di posisi Maret 2009. Meski demikian resiko meningkatnya NPL ke depan tetap harus
menjadi perhatian penting mengingat intensnya dampak krisis global terhadap perekonomian
Kepulauan Riau di triwulan ini.
1.3.6. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
Pertumbuhan sektor Pengangkutan dan Komunikasi masih menurun bersamaan
dengan berlanjutnya perlambatan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Laju pertumbuhan
(yoy) sektor pengangkutan dan komunikasi kembali turun dari 9,64% menjadi 5,71% di
triwulan I-2009.
Meski tumbuh positif, perlambatan terbesar terjadi pada aktivitas sub-sektor angkutan
yang sempat terpukul akibat kenaikan harga BBM di tahun 2008. Sektor Pengangkutan di
triwulan ini tumbuh 5,78%, menurun dibanding triwulan sebelumnya yang mengalami
pertumbuhan sebesar 9,91%. Kondisi ini disumbangkan oleh perlambatan sub-sektor
Angkutan Jalan Raya dari 9,28% menjadi 4%. Di samping itu, pertumbuhan sub-sektor
Angkutan Laut juga menurun dari 10,05% menjadi 7,61%. Di lain pihak, sektor Pos dan
Telekomunikasi menunjukkan koreksi yang melandai dari 7,68% di triwulan sebelumnya
menjadi 5,21% di periode ini.
Grafik 1.43. Perkembangan LDR & NPL Perbankan
Sumber : Laporan Bulanan Bank (BU+BPR)
Grafik 1.42. Pertumbuhan Aset, DPK & Kredit
Perbankan Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
24
Sementara di sisi pembiayaan perbankan kurang cukup mengkonfirmasi hal tersebut.
Kredit untuk bidang usaha Pengangkutan Umum dan Biro Perjalanan mengalami
pertumbuhan yang signifikan selama triwulan laporan. Walaupun penurunan yang ditujukkan
kredit sektor komunikasi cukup mengkonfirmasi data Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut.
Penurunan volume penerbangan dan kargo udara di Bandara Hang Nadim Batam,
serta bongkar-muat kargo di pelabuhan utama kota Batam, dapat mengindikasikan
rendahnya pertumbuhan industri pengangkutan di Kepulauan Riau. Jumlah penerbangan dan
aktivitas kargo (domestik dan internasional), baik melalui pengangkutan udara maupun laut
relatif menurun selama awal tahun 2009. Penurunan terutama terjadi pada aktivitas bongkar
(impor) barang, baik dari luar daerah maupun dari luar negeri.
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah
Grafik 1.44. Pertumbuhan PDRB Sub-sektor
Transportasi, Pos & Telekomunikasi (y-o-y) Grafik 1.45.
Perkembangan Kredit Sub-Sektor Pengangkutan, Biro Perjalanan & Komunikasi
Sumber : SEKDA - BI
Grafik 1.47. Volume Kargo Udara (Domestik & Int’l)
Grafik 1.46. Volume Penerbangan (Domestik & Int’l)
Sumber : Otorita Batam, Bandara Hang Nadim Batam
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
25
1.3.7. Sektor Pertanian
Penurunan harga BBM bersubsidi seiring dengan tren harga komoditas primer
berdampak positif terhadap perkembangan sektor Pertanian. Sektor pertanian bahkan relatif
berakselerasi di dari -0,72% menjadi 0,08% (yoy), akibat kenaikan produksi sub-sektor
Peternakan dan Hasil-hasilnya yang tumbuh 7,36% di triwulan I-2009. Sedangkan kinerja
sub-sektor Perikanan sedikit membaik walau tetap berada dalam area pertumbuhan negatif
dari -1,92% di triwulan sebelumnya, menjadi -1,8%. Sementara sub-sektor Pertanian lainnya
tetap mengalami tren pertumbuhan yang menurun.
Kenaikan hasil produksi Peternakan cukup dikonfirmasi oleh peningkatan ekspor
hewan hidup (live animal) selama Januari-Februari 2009 dibanding periode yang sama tahun
2008. Begitu juga halnya dengan komoditas perikanan yang mengalami kenaikan relatif
sebagaimana ditunjukkan oleh perkembangan positif ekspor ikan dan hasil-hasil laut dalam
periode yang sama.
Sumber : Otorita Batam, Pelabuhan Batu Ampar, Kabil dan Sekupang Batam
Grafik 1.48. Volume Kargo Laut (Domestik & Int’l)
Grafik 1.49. Pertumbuhan PDRB Sub-Sektor
TBM, Peternakan & Pertanian
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah
Grafik 1.50.Perkembangan Ekspor
Ikan, Udang dan Kepiting
Sumber : SEKDA - BI
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
26
Sementara itu di sisi pembiayaan perbankan belum mampu mengkonfirmasi
peningkatan yang terjadi pada sub-sektor Peternakan, dimana pertumbuhan kredit sektor
tersebut justru semakin menurun sampai posisi akhir triwulan I-2009. Namun secara
keseluruhan, kenaikan pembiayaan untuk bidang usaha Tanaman Pangan dan Perikanan
cukup mengidentifikasi berakselerasinya sektor Pertanian di triwulan laporan.
1.3.8. Sektor Listik, Gas dan Air Bersih
Melambatnya aktivitas bisnis di Kepulauan Riau semakin berdampak pada penurunan
konsumsi listrik, gas dan air. Pertumbuhan sektor infrastruktur tersebut terus menurun hingga
berkontraksi di tingkat -0,73% (yoy). Meski demikian, perlambatan sektor LGA mulai
melandai dibanding 2 periode sebelumnya yang masing-masing tumbuh 5,12% dan 1,65%
di triwulan IV-2008.
Nilai tambah yang dihasilkan sub-sektor Gas menurun secara drastis hingga tumbuh -
5,74% di triwulan laporan. Kondisi ini dipicu oleh penurunan utilisasi produksi industri
manufaktur berkisar antara 30%-50%, sehingga berdampak langsung terhadap
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah
Grafik 1.52. Pertumbuhan PDRB Sub-Sektor
Listrik, Gas & Air Bersih
Sumber : Hasil Survei BI-Batam, Nov 2008, diolah
Diagram 1.1. Rata-rata Penggunaan Per Jenis Bahan Bakar
Grafik 1.51. Pertumbuhan Kredit Sub-sektor
Tanaman Pangan, Perikanan & Peternakan
Sumber : Laporan Bulanan Bank
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
27
berkurangnya pemakaian energi, terutama Gas sebagai sumber energi penting dalam aktivitas
produksi. Hasil survei menunjukkan bahwa pemakaian energi gas di 103 perusahaan
manufaktur besar di kota Batam adalah lebih dominan dibanding pemakaian BBM dan listrik.
Meski terus melambat sejak semester II-2008, sub-sektor Listrik dan Air Bersih masih
tumbuh masing-masing sebesar 5,81% dan 4,97% di periode kali ini. Berbagai permasalahan
yang terjadi di sektor ini, antara lain kurangnya pasokan listrik di beberapa daerah di luar
Batam seperti kota Tanjungpinang dan kabupaten Bintan, penurunan aktivitas bisnis dan
industri, serta kenaikan tarif dasar listrik Hotel dan Mall yang akhirnya menimbulkan
permasalahan hukum, semakin memperburuk kinerja penjualan listrik oleh Perusahaan Listrik
Negara (PLN). Kondisi tersebut antara lain diperlihatkan dengan menurunnya penjualan daya
listrik oleh PT. PLN Batam, dimana selama triwulan I-2009 tercatat sebanyak 293.085 MWh
atau hanya tumbuh 0,95%, sementara di triwulan akhir 2008 lalu masih tumbuh 11,26%.
Khusus di Batam, sistem pengelolaan sarana Listrik sejak awal tahun 2006 dilakukan
melalui kerja sama jual-beli tenaga listrik antara PT. PLN Batam dengan Independend Power
Plant (IPP) milik swasta, dimana saat ini komposisi supply mesin pembangkit PT. PLN Batam
sebesar 27% dengan menggunakan energi diesel, sedangkan sisanya dipenuhi oleh IPP yang
menggunakan bahan bakar gas. Selain itu, sebagian aktivitas produksi perusahaan
manufaktur juga menggunakan bahan bakar gas dengan alasan harga yang relatif lebih
murah dibandingkan memakai tenaga listrik. Besarnya penggunaan gas untuk menjamin
pasokan listrik di kota Batam mengakibatkan arah pertumbuhan sub-sektor Gas relatif
konvergen dengan sub-sektor Listrik.
Perlambatan di sektor Listrik juga terkonfirmasi dari menurunnya pertumbuhan kredit
untuk sektor tersebut sampai bulan Maret 2009. Sementara itu penyaluran kredit untuk sub-
sektor Gas yang naik signifikan belum mampu mencerminkan penurunan kinerja sektor
dimaksud.
Sumber : PT. PLN Batam, diolah
Grafik 1.53 Perkembangan Penjualan Listrik
PT. PLN Batam
Sumber : Laporan Bulanan Bank
Grafik 1.54. Pertumbuhan Kredit Sub-Sektor
Listrik, Gas & Air Bersih
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
28
BAB 2 PERKEMBANGAN INFLASI REGIONAL
2.1. INFLASI KOTA BATAM
2.1.1. KONDISI UMUM
Laju inflasi Kota Batam pada triwulan I 2009 tercatat relatif rendah dibandingkan tahun
sebelumnya. Penurunan harga BBM di akhir tahun 2008 serta turunnya harga komoditas
dunia juga mempengaruhi rendahnya inflasi di triwulan awal 2009. Krisis keuangan global
juga mempengaruhi terhadap rendahnya permintaan sehingga berpengaruh pada turunnya
harga di wilayah Kota Batam. Laju inflasi tahun kalender Kota Batam sampai dengan triwulan
I 2009 tercatat sebesar 0,65% (ytd), lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2008
yang tercatat sebesar 2,89% (ytd).
Melanjutkan trend triwulan-triwulan sebelumnya, inflasi Batam pada triwulan I 2009
juga berada di bawah inflasi nasional. Secara tahunan inflasi Kota Batam tercatat sebesar
6,33% (yoy) di bawah angka inflasi tahunan nasional yang tercatat sebesar 7,92% (yoy).
Turunnya harga komoditas dunia serta berakhirnya musim utara di bulan Maret ikut
berpengaruh pada rendahnya laju inflasi di Kota Batam pada triwulan I 2009.
Grafik 2.1 – PERKEMBANGAN LAJU INFLASI TAHUNAN BATAM & NASIONAL
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
29
2.1.2. INFLASI TRIWULANAN
Secara triwulanan, laju inflasi Kota Batam mengalami sedikit peningkatan
dibandingkan dengan triwulan IV 2008. Peningkatan ini terjadi karena pada akhir triwulan IV
2008, tepatnya pada bulan Desember Kota Batam mengalami deflasi sebagai dampak dari
penurunan harga BBM oleh pemerintah. Pada triwulan I 2009 laju inflasi kota Batam tercatat
0,65% (qtq) sedikit lebih tinggi dibandingkan laju inflasi triwulan IV 2008 yang tercatat
sebesar 0,58% (qtq).
Inflasi Kota Batam sempat mengalami kenaikan yang cukup tinggi di bulan Februari
2009 yang disebabkan karena adanya gangguan cuaca akibat bertiupnya angin utara.
Bertiupnya angin utara tersebut menyebabkan gelombang tinggi yang berdampak supply
barang kebutuhan pokok ke Kota Batam menjadi terganggu. Selain itu musim utara juga
menyebabkan para nelayan kecil tidak bisa melaut sehingga mengurangi supply kebutuhan
ikan masyarakat Kota Batam. Selama bertiupnya angin utara ini kebutuhan ikan masyarakat
Kota Batam dipenuhi dari stok ikan yang ada di storage para penampung ikan. Pada bulan
Februari 2009 inflasi Kota Batam tercatat sebesar 0,59% (mtm). Meskipun demikian inflasi
yang relatif rendah di bulan Januari dan Maret 2009 ikut mempengaruhi rendahnya inflasi di
Kota Batam.
Tabel 2.1. Perkembangan Inflasi Triwulanan Kota Batam
KELOMPOK Triwulan IV ‐2008 Triwulan I ‐2009
Inflasi Sumbangan Inflasi Sumbangan I Bahan Makanan 3,50 0,10 1,02 0,24
II Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau 3,21 0,50 3,57 0,57
III Perumahan, Air, Listrik & Bahan Bakar 1,30 0,33 0,30 0,08 IV Sandang 3,31 0,22 5,48 0,38
V Kesehatan 0,70 0,03 0,34 0,02
VI Pendidikan, Rekreasi & Olahraga 0,22 0,01 0,20 0,01
VII Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan ‐3,02 ‐0,61 ‐3,36 ‐0,65
INFLASI 0.58 0,65
Sumber : BPS (diolah)
Berdasarkan kontribusinya, pada triwulan I 2009 kelompok makanan jadi, minuman,
rokok dan tembakau merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan angka inflasi
dengan kontribusi sebesar 0,57% (qtq) dan angka inflasi sebesar 3,51% (qtq). Kelompok
yang menyumbang inflasi terbesar kedua adalah kelompok sandang yang memberikan
kontribusi inflasi sebesar 0,38% (qtq) dengan angka inflasi sebesar 5,48% (qtq).
Kelompok berikutnya yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan
inflasi Kota Batam adalah kelompok bahan makanan yang memberikan kontribusi inflasi
sebesar 0,24% (qtq) dengan angka inflasi sebesar 1,02%. Sementara itu kelompok
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
30
perumahan, air, listrik dan bahan bakar memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,08% (qtq)
dengan angka inflasi sebesar 0,30% (qtq). Kelompok kesehatan memberikan kontribusi
sebesar 0,02% (qtq) dengan angka inflasi sebesar 0,34% (qtq). Sedangkan kelompok
pendidikan, rekreasi dan olahraga memberikan kontribusi sebesar 0,01% (qtq) dengan angka
inflasi sebesar 0,20% (qtq).
Kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan pada triwulan laporan justru
memberikan sumbangan deflasi yang cukup besar yaitu sebesar 0,65% (qtq) dengan angka
deflasi sebesar 3,36% (qtq). Penurunan harga yang terjadi pada kelompok ini terjadi pada
bulan Januari dan Februari sedangkan bulan Maret kelompok ini tidak mengalami perubahan
harga. Penurunan harga yang dialami kelompok ini masih dipengaruhi oleh penurunan harga
BBM yang dilakukan oleh pemerintah di akhir bulan Desember 2009.
2.1.3. INFLASI BERDASARKAN KELOMPOK BARANG
Secara total, inflasi Kota Batam pada triwulan I 2009 tercatat sebesar 0,65% (qtq)
lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama yang tercatat sebesar 2,89% (qtq).
Inflasi pada triwulan laporan yang relatif rendah tersebut dipengaruhi oleh rendahnya inflasi
di bulan Januari dan Maret 2009. Selain itu penurunan harga kelompok transportasi,
komunikasi dan jasa keuangan yang terjadi selama dua bulan berturut-turut yaitu bulan
Januari dan Februari juga berpengaruh pada rendahnya inflasi di triwulan I 2009.
Grafik 2.2. Inflasi Kota Batam Berdasarkan Kelompok Barang
Sumber : BPS data diolah
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
31
2.1.3.1. Bahan Makanan
Kelompok bahan makanan di Kota Batam pada triwulan I 2009 mengalami inflasi
sebesar 1,02% (qtq). Sub kelompok yang mengalami inflasi terbesar adalah sub kelompok
buah-buahan dan ikan segar yang mengalami inflasi masing-masing sebesar 9,75% (qtq) dan
8,20% (qtq). Sub kelompok buah-buahan dan ikan segar mengalami kenaikan harga yang
cukup tinggi dipengaruhi oleh bertiupnya angin utara yang bertiup di bulan Januari dan
Februari. Angin utara ini menimbulkan ombak tinggi sehingga lalu lintas pelayaran terganggu
yang mempengaruhi supply kebutuhan buah-buahan dan ikan segar.
Selain itu ombak tinggi yang dibawa oleh angin utara juga menyebabkan nelayan kecil
sulit melaut. Kebutuhan ikan segar masyarakat Kota Batam selama musim utara ini dipasok
dari storage yang dimiliki oleh para pengumpul ikan di Kota Batam. Fenomena ini juga
berpengaruh pada permintaan terhadap sub kelompok ikan diawetkan yang mengalami
peningkatan sehingga mengalami kenaikan harga sebesar 3,97% (qtq).
Sementara itu beberapa sub kelompok yang lain mengalami perubahan harga yang
relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sub kelompok padi-padian, sub
kelompok kacang-kacangan dan sub kelompok sayur-sayuran mengalami kenaikan harga di
bawah satu persen masing-masing sebesar 0,4% (qtq), 0,4% (qtq) dan 0,01% (qtq).
Grafik 2.3.. Rata‐rata Kecepatan Angin & Tinggi Gelombang Laut di Indonesia
FORECAST JANUARI 2009 VALID : 18-25/01/2009 00 UTC FORECAST FEBRUARI 2009 VALID : 18-25/01/2009 00 UTC
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
32
Pada triwulan I 2009 terdapat 4 (empat) sub kelompok yang mengalami penurunan
harga (deflasi). Sub kelompok yang mengalami penurunan harga terbesar adalah sub
kelompok bumbu-bumbuan yang mengalami penurunan harga sebesar 6,60%. Penurunan
harga sub kelompok ini merupakan proses menuju keseimbangan baru setelah pada triwulan
sebelumnya mengalami kenaikan harga sebesar 14,08%.
Sedangkan tiga sub kelompok lain yang mengalami penurunan harga adalah sub
kelompok daging, sub kelompok telur dan susu serta sub kelompok lemak dan minyak yang
masing-masing mengalami deflasi sebesar 3,46% (qtq), 1,80% (qtq), dan 0,91% (qtq).
2.1.3.2 . Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
Kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau pada triwulan I 2009
mengalami inflasi sebesar 3,57% (qtq). Ketiga sub kelompok yang ada pada kelompok ini
mengalami inflasi. Sub kelompok yang mengalami inflasi tertinggi adalah sub kelompok
minuman tidak beralkohol yang mengalami inflasi sebesar 8,63% (qtq). Sedangkan sub
kelompok tembakau dan minuman beralkohol mengalami inflasi sebesar 3,80% (qtq).
Sementara itu, sub kelompok makanan jadi mengalami terendah dalam kelompok ini dengan
angka inflasi sebesar 1,80% (qtq).
2.1.3.3. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
Kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar pada triwulan laporan
mengalami kenaikan harga sebesar 0,30% (qtq). Inflasi tertinggi dialami oleh sub kelompok
perlengkapan rumah tangga yang mengalami inflasi sebesar 1,26% (qtq) yang diikuti sub
kelompok biaya tempat tinggal dengan angka inflasi sebesar 0,37% (qtq).
Sub kelompok penyelenggaraan rumah tangga mengalami inflasi sebesar 0,14%
(qtq). Sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air mengalami inflasi terendaha dengan
angka inflasi sebesar 0,06% (qtq). Sub kelompok ini mengalami inflasi yang cukup rendah
setelah pada triwulan sebelumnya mengalami inflasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 4,71%
(qtq).
2.1.3.4. Kelompok Sandang
Kelompok sandang pada triwulan I 2009 mengalami inflasi yang cukup tinggi yaitu
sebesar 5,48% (qtq). Angka inflasi yang cukup tinggi ini disumbang terutama oleh kenaikan
harga pada sub kelompok barang pribadi dan sandang lain dengan angka inflasi sebesar
16,65% (qtq). Kenaikan harga sub kelompok ini terutama disebabkan oleh kenaikan harga
komoditas emas. Komoditas emas mengalami kenaikan harga mengikuti kenaikan harga
emas internasional.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
33
Sub kelompok sandang anak-anak dan sandang wanita tercatat mengalami
perubahan harga yang relatif stabil. Kenaikan harga yang dialami oleh kedua sub kelompok
ini masih berada di bawah satu persen. Sub kelompok sandang anak-anak mengalami
kenaikan harga dengan angka inflasi 0,18% (qtq) diikuti oleh sub kelompok sandang wanita
yang mengalami inflaasi sebesar 0,04% (qtq).
Sementara itu sub kelompok sandang laki-laki terus melanjutkan trend di triwulan
sebelumnya yang menunjukkan stabilitas harga. Pada triwulan I 2009 sub kelompok sandang
laki-laki tidak mengalami kenaikan harga. Artinya sejak bulan Oktober 2008 sub kelompok ini
tidak mengalami kenaikan harga selama enam bulan berturut-turut.
2.1.3.5. Kelompok Kesehatan
Kelompok kesehatan pada triwulan laporan mengalami inflasi sebesar 0,34% (qtq)
yang berasal dari sub kelompok jasa perawatan jasmani yang mengalami inflasi sebesar
3,58% (qtq) dan sub kelompok perawatan jasmani dan kosmetik yang mengalami inflasi
sebesar 0,22% (qtq). Sementara itu sub kelompok jasa kesehatan dan obat-obatan pada
triwulan I 2009 tidak mengalami perubahan harga.
2.1.3.6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
Kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga pada triwulan I 2009 mengalami
kenaikan harga sebesar 0,20% (qtq). Satu-satunya sub kelompok yang mengalami kenaikan
harga pada triwulan laporan adalah sub kelompok rekreasi sedangkan sub kelompok jasa
pendidikan, sub kelompok perlengkapan/peralatan pendidikan, sub kelompok kursus-kursus
dan sub kelompok olahraga tidak mengalami perubahan harga.
2.1.3.7. Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
Melanjutkan trend triwulan sebelumnya kelompok transportasi, komunikasi dan jasa
keuangan pada triwulan I 2009 juga mengalami penurunan harga dengan angka deflasi
sebesar 3,36% (qtq) yang berasal dari sub kelompok transportasi yang mengalami penurunan
harga sebesar 4,81%. Penurunan harga dialami sub kelompok ini terjadi pada bulan Januari
dan Februari sebagai dampak kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM pada bulan
Desember 2008. Sementara itu sub kelompok sarana penunjang transportasi, sub kelompok
komunikasi dan pengiriman serta sub kelompok jasa keuangan pada triwulan laporan tidak
mengalami perubahan harga.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
34
2.2. INFLASI KOTA TANJUNG PINANG
2.2.1. KONDISI UMUM
Searah dengan yang terjadi di Batam, laju inflasi Kota Tanjung Pinang pada triwulan I
2009 mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Laju inflasi Kota Tanjung
Pinang di triwulan awal 2009 tercatat sebesar 10,28% (yoy) lebih rendah dibandingkan
dengan triwulan IV 2008 yang tercatat sebesar 11,90% (yoy). Melanjutkan trend triwulan
sebelumnya, inflasi tahunan Kota Tanjung Pinang pada triwulan I 2009 tetap lebih tinggi
dibanding angka inflasi nasional yang tercatat sebesar 7,92% (yoy).
Laju inflasi Kota Tanjung Pinang yang masih relatif tinggi ini salah satunya dipengaruhi
oleh economic of scale Kota Tanjung Pinang yang masih terbatas. Sejak peralihan ibukota
Provinsi Kepulauan Riau dari Kota Batam ke Kota Tanjung Pinang, banyak terjadi pergerakan
penduduk dan kegiatan ekonomi dari Kota Batam ke Kota Tanjung Pinang. Oleh karena itu,
terjadi peningkatan permintaan terhadap kebutuhan pokok masyarakat baik untuk konsumsi
maupun sebagai bahan baku distribusi. Karena supply barang-barang kebutuhan pokok
tersebut ke Kota Tanjung Pinang masih cukup terbatas, sehingga terjadi kenaikan harga yang
masih cukup tinggi di Kota Tanjung Pinang.
2.1.2. INFLASI TRIWULANAN
Secara triwulanan, laju inflasi Kota Tanjung Pinang pada triwulan I 2009 tercatat
sebesar 0,33% (qtq) lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2008 yang tercatat sebesar
1,19% (qtq). Kelompok mkanan jadi, minuman, rokok dan tembakau menjadi kontributor
terbesar pada pembentukan inflasi Kota Tanjung Pinang dengan kontribusi sebesar 0,38%
(qtq) dengan angka inflasi sebesar 1,73% (qtq). Kelompok yang menjadi penyumbang inflasi
terbesar berikutnya adalah kelompok sandang, yang memberikan sumbangan sebesar 0,26%
(qtq) dengan angka inflasi sebesar 4,66% (qtq).
Tabel 2.2. Perkembangan Inflasi Triwulanan Kota Tanjung Pinang
KELOMPOK Triwulan IV ‐2008 Triwulan I ‐2009
Inflasi Sumbangan Inflasi Sumbangan I Bahan Makanan 2,66 0,69 0,48 0,1 II Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau 2,48 0,53 1,73 0,38 III Perumahan, Air, Listrik & Bahan Bakar 0,81 0,18 ‐0,06 ‐0,02 IV Sandang 3,48 0,19 4,66 0,26
V Kesehatan 0,75 0,03 0,8 0,03
VI Pendidikan, Rekreasi & Olahraga 0,13 0,01 ‐0,17 0
VII Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan ‐2,67 ‐0,44 ‐2,61 ‐0,42
INFLASI 1,19 0,33
Sumber : BPS (diolah)
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
35
Sedangkan kelompok bahan makanan di Kota Tanjung Pinang pada triwulan I 2009
memberikan kontribusi sebesar 0,10% (qtq) dengan angka inflasi sebesar 0,48% (qtq), diikuti
oleh kelompok kesehatan yang memberikan kontribusi sebesar 0,03% (qtq). Sedangkan
kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga pada triwulan laporan tidak mengalami
perubahan harga. Pada triwulan laporan, terdapat dua kelompok yang mengalami penurunan
harga yaitu kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar dan kelompok transportasi,
komunikasi dan jasa keuangan masing-masing dengan angka deflasi 0,02% (qtq) dan 0,42%
(qtq).
2.1.3. INFLASI BERDASARKAN KELOMPOK BARANG
Inflasi selama triwulan I 2009 di Kota Tanjung Pinang tercatat sebesar 0,33% (qtq)
lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 1,19% (qtq).
Inflasi tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh pergerakan harga pada kelompok makanan
jadi, rokok dan tembakau yang memberikan sumbangan cukup besar terhadap pembentukan
inflasi Kota Tanjung Pinang. Pada triwulan laporan, angka inflasi yang terbentuk di Kota
Tanjung Pinang juga dipengaruhi oleh deflasi yang terjadi di bulan Maret 2009 serta deflasi
yang dialami oleh kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang selama bulan
Januari dan Februari akibat kebijakan pemerintah yang menurunkan harga BBM di bulan
Desember 2008.
Grafik 2.4. Inflasi Kota Tanjung Pinang dan Inflasi Kelompok Makanan Jadi
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
36
2.1.3.1. Bahan Makanan
Kelompok bahan makanan di Kota Tanjung Pinang pada triwulan I 2009 mengalami
inflasi sebesar 0,48% (qtq). Sub kelompok yang mengalami inflasi terbesar adalah sub
kelompok bumbu-bumbuan yang mengalami inflasi sebesar 4,98% (qtq) yang diikuti oleh sub
kelompok sayur-sayuran yang mengalami inflasi sebesar 2,41% (qtq) dan sub kelompok ikan
segar yang mengalami inflasi sebesar 2,29% (qtq). Sub kelompok ikan segar pada bulan
Januari sempat mengalami inflasi sebesar 22,96% (mtm) akibat bertiupnya angin utara di
wilayah perairan Kota Tanjung Pinang pada bulan tersebut. Namun setelah angin utara
tersebut tidak bertiup kembali kelompok ikan segar mengalami penurunan harga sebesar
19,97% (mtm). Sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya yang mengalami inflasi
sebesar 2,14% (qtq) dan sub kelompok buah-buahan yang mengalami inflasi sebesar 0,09%
(qtq).
Sementara itu empat sub kelompok yang terdapat kelompok bahan makanan Kota
Tanjung Pinang pada triwulan I 2009 mengalami penurunan harga. Keempat sub kelompok
itu antara lain sub kelompok lemak dan minyak yang mengalami deflasi sebesar 2,26% (qtq),
sub kelompok daging dan hasil-hasilnya dengan angka deflasi sebesar 1,74% (qtq), sub
kelompok ikan yang diawetkan dengan angka deflasi sebesar 0,81% (qtq) dan sub kelompok
telur, susu dan hasilnya yang mengalami deflasi sebesar 0,58% (qtq).
2.1.3.2 . Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
Kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau pada triwulan I 2009
mengalami inflasi sebesar 1,73% (qtq). Inflasi tertinggi dialami oleh sub kelompok tembakau
dan minuman beralkohol yang mengalami deflasi sebesar 5,09% (qtq) diikuti sub kelompok
minuman tidak beralkohol dengan angka inflasi sebesar 3,03% (qtq). Sementara itu sub
kelompok makanan jadi yang mengalami inflasi sebesar 0,18% (qtq) yang diakibatkan
kenaikan harga di bulan Januari dan Februari 2009.
2.1.3.3. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
Kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar pada triwulan laporan
mengalami penurunan harga yang dipengaruhi penurunan harga pada sub kelompok biaya
tempat tinggal dan perlengkapan rumah tangga dengan angka deflasi masing-masing 0,26%
(qtq) dan 0,11% (qtq). Sementara itu dua sub kelompok lain dalam kelompok ini mengalami
kenaikan harga yaitu sub kelompok penyelenggaraah rumah tangga dengan angka inflasi
sebesar 1,03% (qtq) dan sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air dengan angka
inflasi sebesar 0,07% (qtq).
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
37
2.1.3.4. Kelompok Sandang
Pada triwulan I 2009 kelompok sandang mengalami inflasi tertinggi dibandingkan
dengan kelompok lain. Kenaikan harga yang dialami oleh kelompok sandang sangat
dipengaruhi oleh kenaikan harga yang dialami oleh sub kelompok barang pribadi dan
sandang lain dengan angka inflasi sebesar 15,37% (qtq). Kenaikan harga yang cukup tinggi
pada sub kelompok ini dipengaruhi oleh pergerakan harga komoditas emas. Harga emas
mengalami kenaikan sebagai akibat kenaikan harga emas internasional. Sub kelompok
sandang anak-anak pada triwulan ini mengalami kenaikan harga sebesar 0,20% (qtq).
Sementara itu sub kelompok sandang laki-laki dan sub kelompok sandang wanita pada
triwulan I 2009 tidak mengalami kenaikan harga.
2.1.3.5. Kelompok Kesehatan
Kelompok kesehatan pada triwulan laporan mengalami inflasi sebesar 0,80% (qtq)
yang berasal dari sub kelompok obat-obatan yang mengalami inflasi sebesar 0,29% (qtq) dan
sub kelompok perawatan jasmani dan kosmetika dengan angka inflasi sebesar 1,56% (qtq).
Sementara itu dua sub kelompok lain yaitu sub kelompok jasa kesehatan dan sub kelompok
jasa perawatan jasmani pada triwulan I 2009 tidak mengalami perubahan harga. Sub
kelompok jasa kesehatan di Kota Tanjung Pinang sejak bulan Juli 2008 sampai dengan Maret
2009 sama sekali tidak mengalami perubahan harga.
2.1.3.6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
Kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga pada triwulan I 2009 mengalami
penurunan harga dibandingkan triwulan sebelumnya dengan angka deflasi sebesar 0,17%
(qtq). Penurunan harga pada kelompok ini dipengaruhi oleh penurunan harga yang dialami
oleh sub kelompok rekreasi yang mengalami penurunan harga dengan angka deflasi sebesar
0,74% (qtq). Sementara itu sub kelompok olah raga mengalami kenaikan harga sebesar
0,30% (qtq). Sedangkan tiga sub kelompok tidak mengalami perubahan harga antara lain
sub kelompok kursus-kursus, sub kelompok perlengkapan/peralatan pendidikan dan sub
kelompok olahraga.
2.1.3.7. Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
Melanjutkan trend penurunan harga triwulan sebelumnya, pada triwulan I 2009
kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan di Kota Tanjung Pinang juga
mengalami penurunan harga. Kelompok ini mengalami deflasi sebesar 2,61% (qtq) yang
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
38
berasal dari penurunan harga yang dialami oleh sub kelompok transportasi dengan angka
deflasi sebesar 4,12% (qtq). Penurunan harga yang dialami oleh sub kelompok ini masih
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang menurunkan harga BBM pada bulan Desember
2008.
Sementara itu sub kelompok komunikasi justru mengalami kenaikan harga dengan
angka inflasi sebesar 0,48% (qtq). Sementara itu sub kelompok sarana penunjang transportasi
dan sub kelompok jasa keuangan pada triwulan laporan tidak mengalami perubahan harga.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
39
BAB 2 PERKEMBANGAN PERBANKAN REGIONAL
3.1. Kondisi Umum
Kondisi perbankan di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 menunjukkan
pergerakan yang cukup stabil terhadap periode sebelumnya. Beberapa indikator-indikator
perbankan, seperti total aset, Dana Pihak Ketiga (DPK) dan terus mengalami pertumbuhan.
Sementara itu penyaluran kredit oleh perbankan mengalami sedikit penurunan dibandingkan
triwulan sebelumnya.
Total asset perbankan di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 tercatat
sebesar Rp21,33 triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp511,55 miliar (2,46%)
dibandingkan triwulan IV 2008. Sedangkan secara tahunan total asset perbankan mengalami
peningkatan Rp4,62 triliun (27,65%) dibandingkan posisi yang sama tahun sebelumnya yang
tercatat sebesar Rp16,71 triliun.
Sementara itu, total DPK yang berhasil dihimpun oleh perbankan di Provinsi
Kepulauan Riau sampai dengan triwulan I 2009 tercatat sebesar Rp17,40 triliun atau
mengalami peningkatan sebesar Rp409,03 miliar (2,41%) dibandingkan posisi akhir tahun
2009. Sedangkan secara tahunan DPK perbankan mengalami peningkatan Rp3,46 triliun
(24,83%) dibandingkan posisi Maret 2008 yang tercatat sebesar Rp13,94 triliun.
Penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan di Provinsi Kepulauan Riau
mengalami sedikit penurunan. Pada triwulan I 2009, penyaluran kredit di Provinsi Kepulauan
Grafik. 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
40
Riau oleh perbankan tercatat sebesar Rp11,12 triliun atau mengalami penurunan sebesar
Rp95,00 miliar (0,85%) dibandingkan triwulan IV 2008 yang tercatat sebesar Rp11,22 triliun.
Secara tahunan penyaluran kredit perbankan di Provinsi Kepulauan Riau mengalami
peningkatan sebesar Rp2,14 triliun (23,88%) dibandingkan posisi yang sama tahun
sebelumnya yang tercatat sebesar Rp8,97 triliun.
Sebagai dampak penurunan penyaluran kredit oleh perbankan yang diiringi kenaikan
DPK maka LDR perbankan Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan akhir 2008 mengalami
penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Jika pada triwulan IV 2008 LDR perbankan
Provinsi Kepulauan Riau tercatat sebesar 66,01% maka pada triwulan I 2009 LDR perbankan
tercatat sebesar 63,91%.
Dampak krisis keuangan global sudah mulai terasa terhadap perekonomian Provinsi
Kepulauan Riau yang ditunjukkan dengan turunnya indikator penyaluran kredit oleh para
pelaku perbankan di Provinsi Kepulauan Riau sebagaimana tergambar dari data tersebut di
atas. Alih-alih menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit, kalangan perbankan di
Provinsi Kepulauan Riau lebih banyak menghimpun dana dalam rangka memperkuat kondisi
likuiditasnya.
3.2. Kondisi Bank Umum
Beberapa indikator industri bank umum menunjukkan pertumbuhan yang cukup stabil
meskipun indikator penyaluran kredit oleh perbankan menunjukkan penurunan dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Total asset bank umum yang berada di wilayah kerja Kantor
Bank Indonesia Batam mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan DPK yang
dihimpun oleh bank umum.
Grafik 3.2. Perkembangan Total Asset, Kredit, DPK dan LDR Bank Umum
Grafik 3.3. Perkembangan Kredit dan NPL’s Bank Umum
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
41
Jumlah jaringan kantor cabang bank umum di wilayah Provinsi Kepulauan Riau
tercatat sebanyak 46 kantor cabang pada triwulan I 2009 atau tidak mengalami pertambahan
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Tabel 3.1 –Perkembangan Indikator Bank Umum (juta rupiah)
Indikator
Periode
2008 2009 Tw.1 Tw.2 Tw.3 Tw.4 Tw.1
1. Jaringan BU 45 45 45 46 46
a. Batam 29 29 29 29 29
b. Tj. Pinang 13 13 13 14 14
c. Karimun 2 2 2 2 2
d. Natuna 1 1 1 1 1
2. Total Asset 16.065.809 16.709.890 17.600.675 19.898.329 20.242.439
a. Batam 11.821.641 12.319.472 12.891.294 14.478.579 14.578.187
b. Tj. Pinang 3.586.531 3.619.643 3.830.760 4.392.858 4.621.290
c. Dati II lain 657.637 770.775 878.621 1.026.892 1.042.962
3. Total DPK 13.442.509 14.071.918 14.446.343 16.332.781 16.601.580
a. Batam 9.389.470 9.873.065 9.966.579 11.249.163 11.245.003
b. Tj. Pinang 3.421.781 3.442.043 3.609.408 4.067.217 4.328.898
c. Dati II lain 631.258 756.810 870.356 1.016.401 1.027.679
4. Total Kredit 8.583.889 9.291.399 9.944.195 10.653.877 10.529.216
a. Batam 7.100.350 7.623.089 8.139.988 8.729.088 8.512.180
b. Tj. Pinang 1.193.191 1.319.883 1.423.511 1.539.970 1.622.192
c. Dati II lain 290.348 348.427 380.696 384.819 394.844
5. LDR (%) 63,86 66,03 68,84 65,23 63.42
a. Batam 75,62 77,21 81,67 77,6 77.73
b. Tj. Pinang 34,87 38,35 39,44 37,86 37.47
c. Karimun 41,57 41,65 39,89 38,41 38.32
d. Natuna 62,4 59,59 54,34 36,83 38.63
6. NPLs (%) 1,57 2,33 2,94 2,60 2.96
a. Batam 1,4 2,14 2,96 2,76 3.15
b. Tj. Pinang 2,93 3,21 2,64 2,04 2.44
c. Karimun 0,57 4,84 5,29 1,72 1.47
d. Natuna 0 0 0 0 0.04
Sumber : Bank Indonesia
3.2.1. Total Asset Bank Umum
Sampai dengan triwulan I 2009, total asset bank umum mencapai Rp20,24 triliun atau
mengalami peningkatan sebesar Rp344,11 miliar (1,73%) dibanding triwulan IV 2008 yang
tercatat sebesar Rp19,89 triliun. Secara tahunan terjadi peningkatan sebesar Rp4,1 triliun
(26,00%) terhadap posisi yang sama tahun sebelumnya.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
42
Berdasarkan Dati II, kegiatan bank umum masih terkonsentrasi di Kota Batam, dimana
jumlah total asset bank umum sebagian besar masih tetap terhimpun di Kota Batam. Total
asset bank umum yang ada di Kota Batam pada triwulan I 2009 sebesar Rp14,58 triliun atau
72,02% dari seluruh total asset bank umum di Kepulauan Riau. Sedangkan total asset yang
berhasil dihimpun oleh bank umum di Tanjung Pinang sebesar Rp4,62 triliun atau 22,83%
dari seluruh total asset perbankan di Kepulauan Riau. Sementara itu total asset perbankan di
wilayah Kepulauan Riau (Tanjung Uban, Tanjung Balai Karimun, dan Natuna) sebesar Rp1,04
triliun (5,15%).
Total asset perbankan di Kota Batam mengalami peningkatan sebesar Rp99,61 miliar
(0,69%) secara triwulanan (qtq) sedangkan secara tahunan mengalami peningkatan sebesar
Rp2,76 triliun (23,32%). Sedangkan untuk total asset perbankan di wilayah Kota Tanjung
Pinang mengalami peningkatan sebesar Rp228,43 miliar (5,20%) sedangkan secara tahunan
mengalami peningkatan sebesar Rp1,03 triliun (28,85%). Untuk perbankan di wilayah
Kepulauan Riau yang meliputi Tanjung Uban, Tanjung Balai Karimun dan Natuna, total asset
perbankan di wilayah tersebut mengalami peningkatan secara triwulanan sebesar Rp16,07
miliar (1,56%) sedangkan secara tahunan mengalami peningkatan sebesar Rp385,32 miliar
(58,59%).
3.2.2. Dana Pihak Ketiga Bank Umum
Pada triwulan I 2009, jumlah dana masyarakat yang dihimpun oleh bank umum
mengalami peningkatan sebesar Rp268,79 miliar (1,65%) menjadi sebesar Rp16,60 triliun.
Peningkatan DPK bank umum pada triwulan I 2009 sebagian besar disumbangkan oleh
peningkatan simpanan dalam bentuk deposito yang naik Rp598,64 miliar (18,22%)
dibandingkan triwulan sebelumnya sehingga tercatat sebesar Rp3,88 triliun. Secara tahunan
simpanan dalam bentuk deposito mengalami peningkatan sebesar Rp985,22 miliar atau
Diagram 3.1. Share Asset Bank Umum
Grafik 3.4. Perkembangan Asset Bank Umum
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
43
33,99%. Sedangkan simpanan dalam bentuk tabungan mengalami peningkatan sebesar
Rp17,27 miliar (0,30%). Secara tahunan, simpanan dalam bentuk tabungan juga mengalami
peningkatan sebesar Rp816,47 miliar (16,36%).
Sementara itu simpanan dalam bentuk giro secara triwulanan justru mengalami
penurunan sebesar Rp347,12 miliar (4,78%) terhadap triwulan sebelumnya. Secara tahunan
simpanan dalam bentuk deposito mengalami peningkatan sebesar Rp1,36 triliun (24,45%).
Meskipun mengalami penurunan, secara nominal porsi simpanan giro masih
merupakan jenis simpanan terbesar (41,62%) diantara dua jenis simpanan lain dengan nilai
nominal sebesar RpRp6,91 triliun. Porsi simpanan jenis tabungan tercatat sebesar Rp5,81
triliun (34,99%). Sedangkan simpanan dalam bentuk deposito tercatat sebesar Rp3,88 triliun
(23,39%). Dominasi sektor industri dan sektor perdagangan pada perekonomian Kota Batam
turut mempengaruhi jenis transaksi perbankan di Provinsi Kepulauan Riau. Kebutuhan
masyarakat akan dana likuid serta transaksi ekonomi yang membutuhkan waktu singkat
menyebabkan simpanan berbentuk giro memiliki porsi terbesar terhadap total simpanan
masyarakat di perbankan.
3.2.3. Kredit Bank Umum
Jumlah kredit yang disalurkan oleh bank umum di wilayah kerja Kantor Bank
Indonesia Batam pada triwulan I 2009 tercatat sebesar Rp10,52 triliun turun sebesar
Rp124,66 miliar (1,17%) dibandingkan triwulan sebelumnya. Penurunan jumlah kredit yang
disalukan oleh bank umum tersebut berakibat pada penurunan tingkat LDR (Loan to Deposit
Ratio) bank umum di Provinsi Kepulauan Riau menurun dari 65,23% pada triwulan IV 2008
menjadi 63,42%.
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.5. Perkembangan DPK Bank Umum Diagram 3.2. Share DPK Bank Umum
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
44
Berdasarkan jenis penggunaannya, kredit yang disalurkan di wilayah kerja KBI Batam
sebagian besar digunakan untuk kredit konsumsi sebesar Rp4,31 triliun atau 40,98% dari
total kredit yang diberikan. Sedangkan kredit untuk modal kerja dan investasi masing-masing
sebesar Rp3,75 triliun (35,59%) dan Rp2,46 triliun (23,43%).
Dari segi pertumbuhan, jenis kredit yang mengalami peningkatan pada triwulan I
2009 adalah kredit konsumsi yang mengalmai peningkatan sebesar Rp116,59 miliar (2,78%)
terhadap triwulan IV 2008. Secara tahunan kredit konsumsi mengalami peningkatan sebesar
Rp977,76 miliar (29,30%).
Kredit modal kerja dan kredit investasi secara triwulanan pada triwulan I 2009
mengalami penurunan masing-masing sebesar Rp227,59 miliar (5,73%) dan Rp13,65 miliar
(0,55%). Secara tahunan baik kredit modal kerja maupun kredit investasi mengalami
kenaikan. Pada triwulan I kredit modal kerja mengalami peningkatan sebesar Rp692,71 miliar
(22,67%). Sedangkan kredit investasi secara tahunan meningkat sebesar Rp274,87 miliar
(12,54%).
NPL bank umum di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 menunjukkan
peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. NPL bank umum meningkat dari
2,60% pada triwulan IV 2008 menjadi 2,96% pada triwulan laporan. Krisis keuangan global
yang berdampak kepada kondisi perekonomian Singapura ikut berkontribusi pada kualitas
kredit di Provinsi Kepulauan Riau. Turunnya permintaan berakibat pada turunnya kapasitas
produksi beberapa perusahaan yang berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Meski
demikian, angka NPL’s kantor cabang bank umum di Provinsi Kepulauan Riau masih berada di
bawah standar NPL’s yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu 5%.
Grafik 3.6. Perkembangan Kredit Jenis Penggunaan Bank Umum
Diagram 3.3. Kredit Jenis Penggunaan Bank Umum
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
45
3.2.4. Kredit UMKM Bank Umum
Searah dengan yang terjadi pada total kredit bank umum, penyaluran kredit UMKM
pada triwulan I 2009 juga mengalami penurunan. Jika pada triwulan IV 2008 penyaluran
kredit UMKM tercatat sebesar Rp5,71 triliun pada triwulan I 2009 kredit UMKM bank umum
turun menjadi sebesar Rp5,64 triliun atau mengalami penurunan sebesar Rp62,25 miliar
(1,09%). Namun secara tahunan kredit UMKM bank umum pada triwulan I 2009 mengalami
peningkatan sebesar Rp821,81 miliar (17,04%).
Sementara itu jika dilihat dari share kredit UMKM, menunjukkan trend penurunan.
Namun pada triwulan I 2009 nampak telah menunjukkan kenaikan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Jika pada triwulan IV 2008, share kredit UMKM tercatat sebesar 53,56% maka
pada triwulan I 2009 share kredit UMKM mengalami peningkatan menjadi 53,61%.
3.3. Bank Perkreditan Rakyat
Sebagai daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, Provinsi
Kepulauan Riau menarik minat investor untuk menanamkan modalnya untuk diinvestasikan
pada bisnis perbankan, khususnya BPR. Adapun alasan investor tersebut karena bisnis BPR
tidak terlalu membutuhkan modal besar dan proses pendiriannya tidak terlalu rumit.
Grafik 3.7 Perkembangan Kredit UMKM dan Share terhadap Total Kredit
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
46
TABEL 3.2 – PERKEMBANGAN INDIKATOR BPR (dalam jutaan rupiah)
KETERANGAN 2008 2009
Tw.1 Tw.2 Tw.3 Tw.4 Tw.1 TOTAL ASSET 642.366 680.641 776.379 918.784 1.086.223 TOTAL DANA 498.168 504.879 564.556 660.973 801.204 a. Tabungan 40.902 44.805 51.715 63.749 82.123 b. Deposito 457.266 460.073 512.841 597.224 719.079
TOTAL KREDIT 394.750 461.337 538.346 563.476 593.136 a. Investasi 30.844 40.208 50.540 52.551 54.784 b. Modal Kerja 90.339 108.041 128.903 128.638 134.479 c. Konsumsi 273.567 313.088 358.903 382.287 403.873
Sampai dengan triwulan I 2009 jumlah kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tercatat
ada 24 kantor BPR dan 3 (tiga) kantor cabang BPR atau terjadi penambahan 1 (satu) BPR.
Perkembangan BPR yang sudah beroperasi juga tergolong cukup baik yang ditunjukkan oleh
kenaikan share beberapa indikator kinerja BPR terhadap perbankan di Provinsi Kepulauan Riau
secara keseluruhan.
Dilihat dari total asset, share asset BPR terhadap total asset perbankan di Provinsi
Kepulauan Riau mengalami peningkatan secara gradual tiap triwulan. Pada triwulan I 2009
terjadi peningkatan yang cukup tinggi. Jika pada triwulan IV 2008 share asset BPR terhadap
total asset perbankan di Provinsi Kepulauan Riau tercatat 4,41% maka pada triwulan I 2009
share total asset BPR Provinsi Kepulauan Riau terhadap perbankan provinsi Kepulauan Riau
tercatat sebesar 5,09%. Peningkatan share ini terjadi karena tingkat pertumbuhan asset BPR
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan asset kantor cabang bank umum
yang beroperasi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.
Grafik 3.8. Share Asset BPR terhadap Perbankan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.9. Share Kredit BPR terhadap Perbankan
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
47
Selain itu peningkatan asset share asset BPR tersebut tidak lepas dari tingkat
pertambahan BPR baru yang cukup tinggi. Adanya peningkatan jumlah BPR tersebut
memberikan masyarakat lebih banyak pilihan dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan baik
konsumsi, investasi maupun modal kerja. Penambahan jumlah BPR tersebut juga dapat ikut
serta mendorong pertumbuhan sektor usaha domesitik khususnya koperasi dan UMKM.
Dari sisi pembiayaan, share kredit BPR terhadap total kredit perbankan di Provinsi
Kepulauan Riau juga mengalami peningkatan terhadap triwulan IV 2008. Pada triwulan I
2009 share kredit BPR terhadap total kredit perbankan tercatat sebesar 5,33% lebih tinggi
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,33%. Peningkatan share
kredit ini dipengaruhi oleh penurunan kredit yang disalurkan oleh bank umum. Sementara itu
kredit BPR terus melanjutkan trend peningkatan selama tiga tahun terakhir.
3.3.1. Total Asset Bank Perkreditan Rakyat
Total asset BPR yang berada di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia Batam sampai
dengan triwulan I 2009 terus melanjutkan trend peningkatan. Sampai dengan triwulan I
2009, total asset BPR mengalami peningkatan sebesar Rp167,44 miliar (18,22%) menjadi
sebesar Rp1,09 triliun dibanding triwulan IV 2008 yang tercatat sebesar Rp918,78 miliar.
Secara tahunan total asset BPR mengalami peningkatan sebesar Rp443,85 miliar (69,10%)
dibanding posisi yang sama pada tahun 2008.
3.3.2. DPK Bank Perkreditan Rakyat
Grafik 3.10. Perkembangan Asset BPR
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
48
Sebagaimana indikator BPR yang lain, total dana yang berhasil dihimpun oleh BPR
pada triwulan laporan meningkat dengan triwulan sebelumnya. Jika pada triwulan IV 2008
total dana yang dihimpun BPR tercatat sebesar Rp660,97 miliar, maka pada triwulan I 2009
DPK BPR meningkat menjadi Rp801,20 miliar atau naik sebesar Rp140,23 miliar (21,22%).
Secara tahunan dana yang berhasil dihimpun oleh BPR mengalami peningkatan sebesar
Rp303,03 miliar (60,83%). Sebagaimana karakteristik BPR, sebagian besar dana masyarakat
yang dihimpun oleh BPR disimpan dalam bentuk deposito. Sedangkan simpanan dalam
bentuk tabungan biasanya digunakan oleh nasabah untuk proses pencairan kredit. Dana
simpanan dalam bentuk deposito yang dihimpun oleh BPR di Provinsi Kepulauan Riau tercatat
sebesar Rp719,08 miliar atau 89,75% dari seluruh total DPK BPR. Sedangkan 10,25%
disimpan dalam bentuk tabungan sebesar Rp82,15 miliar.
Simpanan dalam bentuk deposito mengalami peningkatan sebesar Rp121,86 miliar
(20,40%) dibandingkan triwulan sebelumnya. Sedangkan secara tahunan simpanan dalam
bentuk deposito di BPR mengalami peningkatan sebesar Rp261,81 miliar (57,26%). Secara
triwulanan simpanan dalam bentuk tabungan mengalami peningkatan sebesar Rp18,37 miliar
(28,82%) dibandingkan triwulan IV 2008. Sedangkan secara tahunan mengalami
peningkatan sebesar Rp41,22 miliar (100,78%) dibandingkan posisi yang sama tahun 2008.
3.6. Kredit Bank Perkreditan Rakyat
Ketika penyaluran kredit bank umum mengalami peningkatan, penyaluran kredit yang
dilakukan oleh BPR kepada masyarakat pada triwulan I 2009 justru mengalami peningkatan
dibandingkan triwulan IV 2008. Jumlah kredit yang disalurkan oleh 24 BPR yang beroperasi di
wilayah Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 tercatat sebesar Rp593,14 miliar atau
meningkat Rp29,66 miliar (5,26%) dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp563,48
miliar. Sementara itu secara tahunan kredit BPR di Provinsi Kepulauan Riau mengalami
Grafik 3.11. Perkembangan DPK BPR Diagram 3.4. Share DPK BPR
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
49
peningkatan sebesar Rp198,39 miliar (50,26%) dibandingkan triwulan I 2008 yang tercatat
sebesar Rp394,75 miliar..
Penyaluran kredit yang dilakukan oleh BPR di wilayah kerja KBI Batam sebagian besar
digunakan untuk keperluan konsumsi. Kredit untuk konsumsi yang disalurkan BPR di wilayah
kerja KBI Batam pada triwulan I 2009 tercatat sebesar Rp403,87 miliar atau 68,09% dari
seluruh total kredit yang diberikan oleh BPR. Sementara kredit untuk modal kerja yang
diberikan BPR di Provinsi Kepulauan Riau sebesar Rp134,48 miliar atau 22,67% dari seluruh
total kredit yang diberikan oleh BPR. Sedangkan porsi kredit investasi adalah sebesar Rp54,79
miliar (9,24%).
Kredit konsumsi BPR di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 mengalami
peningkatan sebesar Rp21,58 miliar (5,26%) dibandingkan triwulan IV 2008 yang tercatat
sebesar Rp382,29 miliar. Sementara itu secara tahunan kredit konsumsi BPR mengalami
peningkatan sebesar Rp130,30 miliar (47,63%) dibandingkan posisi yang sama tahun 2008.
Kredit modal kerja yang disalurkan BPR di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I
2009 mengalami peningkatan sebesar Rp5,84 miliar (4,54%) dibandingkan triwulan
sebelumnya. Sedangkan secara tahunan kredit modal kerja BPR mengalami peningkatan
sebesar Rp44,14 miliar (48,86%) dibandingkan posisi triwulan I 2008. Kredit investasi yang
disalurkan oleh BPR kepada masyarakat Provinsi Kepulauan Riau sampai dengan triwulan I
2009 mengalami peningkatan sebesar Rp2,24 miliar (4,26%) dibandingkan triwulan IV 2008
yang tercatat sebesar Rp52,55 miliar. Secara tahunan kredit investasi BPR di Provinsi
Kepulauan Riau mengalami peningkatan sebesar Rp23,95 miliar (77,66%) terhadap posisi
yang sama tahun 2008 yang tercatat sebesar Rp30,84 miliar.
Besarnya kredit BPR untuk keperluan konsumsi mencerminkan intermediasi yang
dilakukan BPR terhadap dunia usaha masih belum optimal. Sebagian besar BPR di Provinsi
Grafik 3.12. Perkembangan DPK BPR Diagram 3.5. Share Kredit BPR
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
50
Kepulauan Riau menyalurkan kredit untuk keperluan pembelian mobil dan beberapa untuk
pembelian rumah atau ruko. Sedangkan porsi yang untuk kredit produktif terutama
pemberdayaan UMKM masih kurang optimal. Hal ini perlu digalakkan mengingat fitrah BPR
adalah sebagai lembaga pembiayaan UMKM dan Koperasi.
Sementara itu, NPLs kredit yang diberikan oleh BPR sampai dengan triwulan I 2009
mengalami kenaikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. NPLs kredit BPR pada
triwulan laporan tercatat sebesar 2,10% lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV 2008
yang tercatat sebesar 1,59%. Meskipun mengalami kenaikan rasio kredit bermasalah NPLs
BPR yang beroperasi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau secara trend data masih berada pada
kisaran 1% - 2%, jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu 5%.
Namun jika dibandingkan dengan posisi yang sama tahun sebelumnya NPLs BPR di Provinsi
Kepulauan Riau justru mengalami penurunan. NPLs BPR pada posisi Maret 2008 tercatat
sebesar 2,33%.
Grafik 3.13. Perkembangan Kredit dan NPLs BPR
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
51
BAB 4 PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH
4.1. KONDISI UMUM
Beragam tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam reformasi anggaran dan
keuangan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Selain berupa peraturan yang
saling bertentangan yang dikeluarkan oleh Departemen di tingkat nasional, kesulitan muncul
dalam keseluruhan siklus keuangan pemerintah daerah. Mulai dari pengesahan anggaran
sampai ke penyusunan laporan keuangan, yang disebabkan oleh kompleksitas peraturan,
kurangnya SDM, buruknya koordinasi dan tidak memadainya teknologi yang digunakan.
Beberapa contoh yang lebih spesifik antara lain: Keterpaduan Perencanaan dan
Penganggaran. Keterkaitan antara UU No 25/1999, UU No 17/2003 dan UU No 32/2004
dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Perencanaan Tahunan
Kebijakan Umum Anggaran (KUA/PPAS), dan anggaran tahunan tidak jelas. Sedang tujuan
dari PP No 58/2005 dan Permendagri No 13/2006 adalah untuk mengaitkan perencanan dan
penganggaran.
Dalam Permendagri No 13 Tahun 2006 dokumen perencanaan dan anggaran tertentu
disiapkan oleh Satuan Kerja Perangkan Daerah (SKPD). Dan ini menyulitkan pemerintah
daerah karena kurangnya kompetensi teknis pada tingkat tersebut. Tidak terdapat indikator
untuk mengukur pencapaian target penyediaan layanan yang digunakan dalam perencanaan,
serta tidak adanya kaitan dengan indikator target dalam anggaran tahunan yang berbasiskan
kinerja. Kemudian dalam Kep. Mendagri No 29 Tahun 2002, DPRD (pihak legislatif)
menetapkan Arah Kebijakan Umum (AKU), yang berfungsi sebagai panduan kebijakan umum
bagi eksekutif dalam menyusun rancangan anggaran (RAPBD). Sementara, dalam
Permendagri No 13 Tahun 2006, DPRD mengeluarkan KUA, yang mirip dengan AKU tapi
dengan program dan kagiatan yang jauh lebih rinci. AKU membatasi Eksekutif dalam
penyusunan rancangan anggaran sampai Batas rincian yang mungkin tidak realistis atau tidak
praktis. Hasilnya, rancangan anggaran yang dihasilkan akan terliha berbeda dengan KUA
sehingga menyebabkan konflik antara DPRD dan Eksekutif.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
52
Hasilnya, rancangan anggaran yang dihasilkan akan terlihat berbeda dengan KUA
sehingga menyebabkan konflik antaran DPRD dan Eksekutif. Tertundanya pengesahan APBD
juga merupakan hal yang sangat lazim terjadi, akibat prosesnya sendiri yang seringkali
berjalan tidak sesuai dengan kalender anggaran yang telah ditetapkan. Beberapa tahap yang
seharusnya dilakukan secara beruntun, seperti misalnya penyusunan kebijakan umum
anggaran dan instruksi anggaran bagi dinas, pada kenyataannya dilakukan secara bersamaan.
Kadang rancangan anggaran sudah dalam tahap review sementara kebijakan umum
anggaran belum lagi disahkan. Meskipun menurut peraturan, anggaran harus sudah disahkan
pada akhir Desember untuk tahun anggaran yang dimulai bulan Januari, kadang eksekutif
baru mengajukan rancangan anggaran kepada DPRD pada bulan Pebruari. Sementara DPRD
membutuhkan paling tidak dua bulan untuk review rancangan anggaran tersebut untuk
memastikan anggaran telah mencerminkan kebutuhan dan prioritas masyarakat. Konsekuensi
tidak dapat disahkannya anggaran sesuai jadwal, berarti pemerintah daerah tidak dapat
mendanai proyek-proyek di luar belanja rutin, seperti gaji pegawai negeri.
Kualitas beberapa proyek menjadi jauh berkurang jika keterlambatan pengesahan
anggaran menyebabkan tidak tersedianya waktu yang memadai untuk merencanakan dan
melakukan proyek bersangkutan.Untuk mempercepat proses pengesahan anggaran, baik
pihak legislatif maupun eksekutif harus melakukan pendekatan yang tegas dalam
menerapkan langkah -langkah yang diperlukan bagi penyelesaian proses APBD secara efisien
dan tepat waktu.
4.2. PERKEMBANGAN PENERIMAAN PEMERINTAH
Anggaran Penerimaan seluruh pemerintah kabupaten dan kota pada tahun 2009
mengalami penurunan yang signifikan, sebesar 29,6% dibanding tahun 2008. Total
Penerimaan tahun 2009 dianggarkan sebesar Rp 5,07 triliun, sedangkan di tahun 2008
sebesar Rp7,2 triliun.
Menurunnya anggaran penerimaan tahun 2009 disebabkan adanya penyesuaian-
penyesuaian pos pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan. Setelah mencermati
perkembangan informasi tentang penetapan target DBH PPh, Pertambangan, DAU, DAK
bagian Provinsi Kepri Tahun 2009 melalui Surat Dirjen Perimbangan Keuangan Nomor : S-
539/PK/2008 tanggal 31 Oktober 2008, maka perlu untuk dilakukan penyesuaian terhadap
target penerimaan yang berasal dari DBH PPh, Pertambangan, Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu, dengan adanya tren penurunan harga komoditas
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
53
primer di pasaran internasional, maka perlu dilakukan penyesuaian penurunan jumlah target
penerimaan yang bersumber dari DBH Migas, dan DBH PBB.
Tabel 4.1. Perkembangan APBD Kab/Kota di Provinsi Kepulauan Riau
Tahun Anggaran 2008 dan 2009
2008 2009 % ∆
TOTAL PENERIMAAN 7,199,276 5,066,700 -29.62%Pendapatan Asli Daerah (PAD) 13,732,036 1,050,395 -92.35%DANA PERIMBANGAN 3,020,707 3,836,335 27.00%TOTAL BELANJA 5,155,325 6,702,499 30.01%Belanja Tidak Langsung 1,959,360 2,463,137 25.71% - Belanja bantuan Sosial 194,997 222,388 14.05%Belanja Langsung 3,195,965 4,239,364 32.65% - Belanja Pegawai 400,679 590,169 47.29% - Belanja Barang dan Jasa 1,330,753 1,519,122 14.16% - Belanja Modal 1,464,533 2,130,074 45.44%
4.3. PERKEMBANGAN BELANJA PEMERINTAH
Dalam kurun waktu tahun 2002-2008, tingkat penyerapan anggaran belanja oleh
sebagian besar kabupaten dan kota di provinsi Kepulauan Riau tergolong belum optimal.
Tingkat penyerapan terendah terjadi pada kabupaten Natuna, dimana pada tahun 2008
diperkirakan hanya 75% dari APBD TA.2008 yang disetujui sebesar Rp1,04 triliun. Sedangkan
tahun 2007 hanya terealisasi sebesar 73,5% dari target APBD tahun berjalan.
Sumber : Direktorat Jenderal Keuangan Daerah (diolah) *) data tahun 2009 tidak termasuk Kabupaten Kepulauan Anambas
Sumber : Direktorat Jenderal Keuangan Daerah (diolah)
Grafik 4.1. Tingkat Penyerapan Anggaran APBD Kabupaten/Kota
di Provinsi Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
54
Adapun daerah yang memiliki tingkat penyerapan anggaran belanja tertinggi adalah
kabupaten Bintan, dimana realisasi belanja pemerintah di tahun 2008 diperkirakan sekitar
Rp663 milyar, mencapai 127,9% dari target APBD TA. 2008 yang ditetapkan sebesar Rp518,3
milyar. Kinerja pemerintah kabupaten Bintan sangat baik selama 3 tahun terakhir, antara lain
terlihat dari optimalnya penyerapan anggaran belanja hingga melampaui target APBD yang
telah ditetapkan. Hal ini sekaligus memperlihatkan kesadaran seluruh perangkat daerah dalam
memberikan stimulus bagi perekonomian daerahnya.
Pengelolaan keuangan yang cukup baik juga dilakukan oleh pemerintahan kabupaten
Karimun, meski di tahun 2008 diperkirakan menurun. Total pengeluaran pemerintah selama
tahun 2005 s.d. 2007 terealisasi maksimal dengan tingkat pencapaian yang melampaui target
APBD yang ditetapkan. Bahkan pada tahun 2007, tingkat penyerapan anggaran mencapai
162,7%. Namun di tahun 2008, tingkat penyerapan anggaran diperkirakan menurun hingga
hanya terealisasi sekitar 80,2% dari target APBD TA. 2008 sebesar Rp 757 milyar.
Sementara itu kota Batam yang diharapkan menjadi lokomotif pertumbuhan provinsi
Kepulauan Riau tidak pernah mencapai tingkat realisasi yang optimal dalam 5 tahun terakhir.
Penyerapan anggaran belanja rata-rata hanya sebesar 85,2%. Di tahun 2008, dari target
APBD yang telah disahkan sebesar Rp 882 milyar diperkirakan hanya terserap sekitar 84,4%.
Meskipun kontribusinya terhadap pembentukan PDRB kota Batam terus meningkat dari tahun
2002 sebesar 0,93%, di tahun 2008 memberi kontribusi sebesar 2,27% terhadap
perekonomian kota.
Sumber : Direktorat Jenderal Keuangan Daerah; BPS Provinsi Kepulauan Riau; BPS Kota Batam (diolah)
Grafik 4.2. Tingkat Penyerapan Anggaran Belanja & Kontribusinya thp PDRB kota Batam
Grafik 4.3. Tingkat Penyerapan Anggaran Belanja
& Kontribusinya thp PDRB Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
55
Secara keseluruhan, dalam 3 tahun terakhir diketahui bahwa penyerapan anggaran
dari seluruh kabupaten dan kota di Kepulauan Riau semakin menurun. Penyerapan anggaran
belanja di tahun 2006 sempat melampaui target pengeluaran dengan tingkat realisasi sekitar
102,7%, akibat tingginya penyerapan di kabupaten Bintan dan Karimun, serta kota
Tanjungpinang. Namun di tahun 2007 turun menjadi 87,8%, dan di tahun 2008 diperkirakan
hanya terserap sebesar 86,3%. Bersamaan dengan itu, kontribusi yang diberikan terhadap
perkembangan ekonomi Kepulauan Riau juga semakin menurun. Dimana pada tahun 2008
diperkirakan memberi kontribusi sebesar 8,28%, menurun dibandingkan tahun 2007 yang
berkontribusi mencapai 10,42%.
Jika melihat target APBD TA.2009 seluruh kabupaten dan kota di Kepulauan Riau
diketahui bahwa secara total terdapat kenaikan yang signifikan mencapai 30% dibanding
tahun 2008. Target anggaran belanja tahun 2009 sebesar Rp 6,7 triliun sedangkan tahun
sebelumnya tercatat sebesar Rp5,2 triliun. Kenaikan anggaran APBD tersebut diharapkan
dapat men-trigger pertumbuhan ekonomi provinsi Kepulauan Riau, karena kenaikan terbesar
terjadi pada pos anggaran Belanja Modal yang mengalami peningkatan 45,4% di tahun 2009
menjadi sebesar Rp2,13 triliun. Sementara anggaran belanja Barang dan Jasa juga mengalami
peningkatan yang cukup siginifikan dari Rp1,33 triliun menjadi Rp 1,52 triliun, atau naik
14,2%.
Peningkatan anggaran belanja Modal dan Barang/jasa akan memberi efek pengganda
(multiplier) bagi perkembangan ekonomi daerah di tengah situasi krisis keuangan global yang
mulai dirasakan dampaknya sejak pertengahan tahun 2008 lalu. Upaya pemerintah daerah
dalam meredam dampak krisis juga cukup terlihat dari meningkatnya anggaran belanja
Bantuan Sosial bagi masyarakat tidak mampu, dimana pada tahun 2009 dianggarkan sebesar
Rp222 milyar, atau meningkat 14,05% dibandingkan anggaran yang tersedia pada tahun
2008.
Dengan demikian, partisipasi aktif pemerintah daerah Kepulauan Riau menjadi
semakin penting dalam menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi wilayahnya sejalan dengan
target pertumbuhan Nasional tahun 2009. Percepatan realisasi belanja secara proporsional
diyakini mampu memberi stimulus positif bagi penciptaaan lapangan kerja di tengah langkah
rasionalisasi karyawan yang mulai dilakukan perusahaan-perusahaan untuk menjaga
kesinambungan bisnisnya. Lebih jauh, realisasi belanja secara optimal selama semester I-2009
sangat dibutuhkan guna mengantisipasi dampak krisis yang semakin intens dirasakan pada
triwulan I-2009 dan diperkirakan masih berlanjut di triwulan mendatang.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
56
BAB 5 PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
5.1. PENGEDARAN UANG KARTAL
Perkembangan aliran uang yang masuk (inflow) dan keluar (outflow) Kantor Bank
Indonesia Batam pada triwulan I 2009 ditandai dengan angka outflow yang mengalami
penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan I 2009 terjadi outflow
sebesar Rp582,64 miliar atau turun sebesar Rp913,83 miliar (61,07%) dibandingkan triwulan
IV 2008 yang tercatat sebesar Rp1,49 triliun.
Sementara itu inflow ke Kantor Bank Indonesia Batam tercatat sebesar Rp165 milyar.
Oleh karena itu secara keseluruhan terjadi net outflow Rp417,23 miliar. Turunnya penarikan
maupun setoran dari bank ke Bank Indonesia dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
terkait dengan kebutuhan uang kartal di masyarakat yang mengalami penurunan. Pada dua
triwulan sebelumnya kebutuhan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau akan uang kartal cukup
tinggi mengingat pada triwulan tersebut terdapat hari raya keagamaan baik Hari Raya Idul
Fitri yang jatuh pada bulan Oktober 2008 maupun Hari Raya Natal yang jatuh di akhir bulan
Desember. Kebutuhan masyarakat juga meningkat cukup tinggi di akhir tahun 2008 terkait
Grafik 5.1. Perkembangan Inflow Outflow
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
57
dengan Tahun Baru Masehi dan Tahun Baru Imlek yang dirayakan cukup meriah mengingat
banyak penduduk keturunan Tiong Hoa yang berada di Provinsi Kepulauan Riau.
Tabel 5.1 Perkembangan Uang Kartal (dalam milyar rupiah)
KETERANGAN 2007 2008 2009
Tw. II Tw. III Tw. IV Tw. I Tw. II Tw. III Tw. IV Tw. I
Inflow 60,55 47,68
214,06 59,97 60,95 64,57
278,55 165,41
Outflow 502,94
851,82
1.208,18 405,16 791,49
1.527,09
1.496,47 582,64
Net 442,39
804,14
994,12 345,19 730,54
1.462,53
1.217,92 417,23
Sumber: Bank Indonesia
5.1.1. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Peracikan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) merupakan salah satu upaya yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan uang bersih (clean money policy) yaitu
Bank Indonesia senantiasa menyediakan uang rupiah dalam kondisi yang layak kepada
masyarakat. Di samping itu, Bank Indonesia juga memberikan pelayanan kepada perbankan
dan masyarakat untuk kegiatan setoran, penarikan dan penukaran untuk pecahan besar ke
pecahan kecil serta untuk uang rupiah lusuh. Selama triwulan I 2009, jumlah UTLE yang
diracik di KBI Batam Rp38,53 milyar atau mengalami penurunan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp58,54 miliar. Penurunan jumlah UTLE yang
diracik oleh KBI Batam terkait dengan turunnya setoran bank yang terlihat dari indikator
inflow yang mengalami penurunan.
Grafik 5.2. Perkembangan UTLE
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
58
5.2. LALU LINTAS PEMBAYARAN GIRAL
5.2.1. Kliring Lokal
Untuk wilayah kerja Kantor Bank Indonesia Batam, terdapat 3 (tiga) wilayah kliring lokal,
yaitu: di Kantor Bank Indonesia Batam untuk wilayah Kota Batam, PT. Bank Mandiri untuk
wilayah Tanjung Pinang, dan PT. BNI untuk wilayah Tanjung Balai Karimun.
Nilai transaksi melalui sistem kliring lokal di wilayah Provinsi Kepulauan Riau pada
triwulan I 2009 mencapai Rp2,59 triliun dengan jumlah warkat sebanyak 101.670 lembar.
Nilai total kliring tersebut menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat
sebesar Rp2,74 triliun dengan jumlah warkat sebanyak 102.838 lembar.
Sementara itu, penolakan Cek/BG kosong di wilayah kerja KBI Batam pada triwulan I
2009 tercatat sebesar Rp56,98 milyar dengan jumlah warkat sebanyak 2.892 lembar. Jika
dilihat dari nominal dan jumlah warkatnya, jumlah Cek/BG kosong yang ditolak mengalami
peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan III 2008 jumlah
Cek/BG kosong yang ditolak tercatat sebesar Rp 56,80 milyar dengan jumlah warkat sebesar
1.812 lembar.
Tabel 5.2 – Perkembangan Kliring Lokal
Keterangan 2007 2008 2009 Tw.4 Tw.1 Tw.2 Tw.3 Tw.4 Tw.1
Perputaran Kliring Lembar 103.390 104.027 108.574 111.429 102.838 101.670 Nominal (Rp Miliar) 2.652 2.456 2.719 2.964 2.742 2.597
Penolakan Cek/BG Kosong Lembar 1.665 1.873 1.770 1.986 2.160 1.812 Nominal (Rp Miliar) 93,26 47,16 71,27 49,34 56,80 56.98
Sumber: Bank Indonesia
5.2.2. Transaksi BI-RTGS
Grafik 5.3. Perputaran Kliring Grafik 5.4. Penolakan Cek/BG Kosong
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
59
Transaksi masyarakat melalui sarana Bank Indonesia Real Time Gross Settlement
(RTGS) di Provinsi Kepulauan Riau baik secara nominal maupun sencara volume masih
didominasi transaksi yang terjadi di Kota Batam. Transaksi BI-RTGS selama triwulan I 2009
yang berasal dari Kota Batam tercatat sebesar Rp5,04 triliun atau 89,43% dari total seluruh
transaksi BI-RTGS yang berasal dari Provinsi Kepulauan Riau. Sedangkan transaksi yang berasal
dari Kabupaten Tanjung Balai Karimun dan Kota Tanjung Pinang masing-masing tercatat
sebesar Rp322,48 milyar dan Rp273,34 milyar.
Sementara itu, transaksi BI-RTGS yang masuk ke Kota Batam selama triwulan I 2009
tercatat sebesar Rp6,11 triliun atau 85,55% dari seluruh transaksi BI-RTGS yang masuk ke
Provinsi Kepulauan Riau. Transaksi BI-RTGS yang masuk ke Kota Tanjung Pinang tercatat
sebesar Rp681,88 miliar, sedangkan transaksi BI-RTGS yang masuk ke Tanjung Balai dan
Natuna tercatat sebesar Rp330,49 milyar dan Rp19,61 milyar.
Tabel 5.3 Perkembangan BI-RTGS Tw. I 2009
Region
FROM TO FROM ‐ TO
Nilai Volume
Nilai Volume
Nilai
Volume (Milyar Rp) (Milyar Rp) (Milyar Rp)
BATAM 5.042,91
9.555
6.108,54
12.051
3.274,46
5.202
NATUNA ‐
‐
19,61
47
‐
‐
TANJUNG BALAI 322,48
1.257
330,49
764
12,86
26
TANJUNGPINANG 273,34
676
681,88
1.165
194,89
454
Sumber: Bank Indonesia
5.3. UANG PALSU
Jumlah uang rupiah palsu yang dilaporkan ke Bank Indonesia Batam pada triwulan I
2009 berjumlah Rp 1.180.000,00 dengan jumlah lembar sebanyak 20 lembar. Jumlah
tersebut menurun dibandingkan dengan triwulan IV 2008 yang tercatat sebesar Rp 1.470.000
dengan jumlah lembar sebanyak 28 lembar.
Tabel 5.4. Perkembangan Uang Palsu
Pecahan Tw. IV 2008 Tw. I 2009
Nominal Lembar Nominal Lembar 100.000 600.000 6 500.000 5 50.000 800.000 16 650.000 13 20.000 20.000 1 20.000 1 10.000 50.000 5 10.000 1 5.000 ‐ ‐ ‐ ‐ 1.000 ‐ ‐ ‐ ‐
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
60
1.470.000 28 1.180.000 20 Sumber: Bank Indonesia
Berdasarkan jenis pecahan, uang kertas rupiah palsu pecahan Rp100.000,00
dilaporkan sebanyak 5 lembar, uang kertas rupiah palsu pecahan Rp50.000,00 dilaporkan
sebanyak 13 lembar, uang kertas rupiah palsu pecahan Rp20.000,00 dilaporkan sebanyak 1
lembar, uang kertas rupiah palsu pecahan Rp10.000,00 dilaporkan sebanyak 1 lembar.
Diagram 5.1. Prosentase Pecahan Uang Palsu
Terkait dengan uang palsu yang beredar di masyarakat, Bank Indonesia Batam terus
melakukan berbagai upaya untuk menekan peredarannya, antara lain dengan melakukan
sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada berbagai kalangan (perbankan, pelajar,
mahasiswa, masyarakat umum). Selain itu, Kantor Bank Indonesia Batam juga memasang
iklan layanan masyarakat tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah di beberapa media, salah
satunya adalah di bioskop yang ada di Kota Batam.
LembarNominal
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
61
BAB 6 PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAERAH DAN KESEJAHTERAAN
6.1. PENDUDUK
Jumlah penduduk Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2008 meningkat dibandingkan
tahun sebelumnya. Penduduk Provinsi Kepulauan Riau meningkat sebesar 60.155 jiwa
(4,32%) menjadi 1.453.073 jiwa dibandingkan tahun 2007 yang tercatat sebesar 1.392.918
jiwa.
Secara jumlah, peningkatan penduduk terbesar terjadi di Kota Batam yang mengalami
peningkatan jumlah penduduk sebesar 41.794 jiwa (6,01%) dibandingkan tahun 2007
sehingga pada tahun 2008 tercatat sebesar 737.533 jiwa. Selanjutnya diikuti Kabupaten
Karimun yang meningkat sebesar 7.657 (3,54%) menjadi 223.878 jiwa pada tahun 2008.
Kota Tanjung Pinang mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 4.778 jiwa (2,68%)
dibandingkan dengan tahun 2007 sehingga tercatat sebesar 182.741 jiwa pada tahun 2008.
Sedangkan jumlah penduduk Kabuten Bintan meningkat 2.381 jiwa (1,94%)
dibandingkan dengan tahun 2007 yang tercatat sebesar 122.277 jiwa menjadi 125.058 jiwa
pada tahun 2008. Sementara itu jumlah penduduk Kabupaten Lingga dan Kabupaten Natuna
pada tahun 2008 masing-masing mengalami peningkatan sebesar 2.107 jiwa dan 1.438 jiwa
dibandingkan dengan 2007 menjadi masing-masing sebesar 95.531 jiwa dan 88.332 jiwa
pada tahun 2008.
Tabel 6.1 Perkembangan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota
Kab./Kota 2006 2007 2008 Selisih Pert. (%) Karimun 209.875 216.221 223.878 7.657 3,54 Bintan 121.303 122.677 125.058 2.381 1,94 Lingga 91.918 93.424 95.531 2.107 2,26
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
62
Natuna 86.150 86.894 88.332 1.438 1,65 Batam 656.001 695.739 737.533 41.794 6,01 Tanjung Pinang 172.616 177.963 182.741 4.778 2,68 Total 1.337.863 1.392.918 1.453.073 60.155 4,32
Sumber : BPS Prov. Kepri
Penyebaran penduduk Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2008 sebagian besar
masih terkonsentrasi di Kota Batam. Jumlah penduduk Kota Batam pada tahun 2008 tercatat
sebesar 737.533 jiwa atau 50,76% dari total penduduk Provinsi Kepulauan Riau. Secara
trend, share jumlah penduduk Kota Batam juga terus mengalami peningkatan yang cukup
tajam selama tiga tahun terakhir. Selanjutnya diikuti oleh jumlah penduduk Kabupaten
Karimun yang tercatat sebesar 223.878 jiwa (15,41%) dan jumlah penduduk Kota Tanjung
Pinang yang tercatat sebesar 182.741 jiwa (12,58%). Penduduk Kabupaten Bintan
mempunyai porsi 8,61% dari total penduduk Provinsi Kepulauan Riau. Sementara itu
penduduk Kabupaten Lingga dan Kabupaten Natuna masing-masing memiliki porsi 6,57%
dan 6,08% dari total penduduk Provinsi Kepulauan Riau.
6.2. KETENAGAKERJAAN
6.2.1. Angkatan Kerja, Penduduk Yang Bekerja dan Angka Pengangguran
Secara keseluruhan struktur ketenagakerjaan di Propinsi Kepri pada bulan Agustus
2008 mengalami perubahan yang cukup berarti. Pada bulan Agustus 2008, jumlah angkatan
kerja mencapai 666.000 orang, naik sebanyak 13.463 orang dibandingkan bulan Februari
2008. Jumlah penduduk yang bekerja di Provinsi Kepulauan Riau bertambah 15.508 orang
dibandingkan Februari 2008.
Diagram 6.1. Share Jumlah Penduduk di Provinsi Kepulauan Riau
Grafik 6.1. Perkembangan Share Penduduk Kota Batam Terhadap Provinsi
Kepulauan Riau
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
63
Sementara itu, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga menunjukkan sedikit
kenaikan, yaitu dari 65,61% pada Februari 2008 menjadi 66,09% pada Agustus 2008. Hal ini
dipengaruhi oleh turunnya tingkat pengangguran terbuka dari 8,49 pada Februari 2008
menjadi 8,01% pada Agustus 2008.
Tabel 6.2. Perkembangan Penduduk Menurut Kegiatan
URAIAN FEB 2007 AGT 2007 FEB 2008 AGT 2008 Angkatan Kerja Bekerja 583.155 535.797 597.159 612.667
Pengangguran 56.708 53.077 55.378 53.333Total 639.863 588.874 652.537 666.000
Bukan Angkatan Kerja Sekolah 67.247 75.895 72.455 60.596Mengurus RT 192.966 234.848 240.225 249.224Lainnya 23.486 34.059 29.314 31.951Total 283.699 344.802 341.994 341.771
Total Penduduk 15+ 923.562 933.676 994.531 1.007.771Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 69,28 63,07 65,61 66,09Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 8,86 9,01 8,49 8,01
Sumber : BPS, Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2007 dan 2008
Sedangkan jumlah penduduk setengah penganggur mengalami peningkatan dari
88.066 jiwa pada bulan Februari 2008 menjadi 90.175 jiwa pada Agustus 2008. Peningkatan
jumlah penduduk setengah penganggur ini dipengaruhi oleh kenaikan jumlah setengah
penganggur sukarela yang meningkat sebesar 11.363 jiwa dibandingkan Februari 2008
menjadi 50.443 jiwa pada Agustus 2008. Sementara itu jumlah penduduk setengah
penganggur terpaksa justru mengalami penurunan dibandingkan bulan Februari 2008. Jika
pada Februari 2008 jumlah penduduk setengah penganggur terpaksa berjumlah 48.986 jiwa
maka pada bulan Agustus 2008 jumlah penduduk setengah penganggur terpaksa tercatat
sebesar 39.732 jiwa.
Grafik 6.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Setengah
Penganggur Provinsi Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
64
6.2.2. Lapangan Pekerjaan Utama
Dilihat dari lapangan usahanya, jumlah pekerja di Provinsi Kepulauan Riau masih
terkonsentrasi di sektor industri dengan total pekerja sebanyak 185.624 orang atau 30,30%
dari total pekerja di Provinsi Kepulauan Riau. Penduduk yang bekerja di sektor ini mengalami
peningkatan sebanyak 3.268 orang atau 1,79% dibandingkan bulan Februari 2008. Sektor
yang cukup dominan dalam menyerap pekerja berikutnya adalah sektor perdagangan dengan
jumlah pekerja sebanyak 124.820 orang (20,37%). Pekerja di sektor ini pada bulan Agustus
2008 mengalami peningkatan sebanyak 12.522 (11,15%) dibandingkan bulan Februari 2008.
Sementara itu sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebanyak 81.139 orang atau 13,24%
dari total pekerja di Provinsi Kepulauan Riau. Pekerja di sektor ini pada bulan Agustus 2008
mengalami penurunan sebanyak 21.039 orang (20,59%) dibandingkan Februari 2008.
6.2.3. Status Pekerjaan
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
Grafik 6.3. Perkembangan Share Tenaga Kerja di Sektor industri
Grafik 6.4. Perkembangan Share Tenaga Kerja di Sektor Perdagangan
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
65
Dari tujuh pembedaan status pekerjaan yang terekam pada Survei Angkatan Kerja
Nasional (Sakernas), dapat diidentifikasi dua kelompok utama terkait dengan kegiatan
ekonomi formal dan informal. Kegiatan formal terdiri dari mereka yang berstatus berusaha
dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan. Sementara kelompok kegiatan yang tidak dibantu
buruh tetap dan buruh/karyawan termasuk kegiatan informal.
Pekerja yang berstatus sebagai karyawan memiliki porsit terbesar dibandingkan
dengan status pekerjaan lain dengan jumlah sebesar 348.611 jiwa. Jumlah ini menurun
dibandingkan dengan jumlah buruh/karyawan pada bulan Februari yang berjumlah 349.264
jiwa. Kelompok penduduk yang bekerja dengan berusaha sendiri tercatat sebesar 150.136
jiwa pada Agustus 2008 atau mengalam pertambahan 2.630 jiwa dibandingkan Februari
2008 yang tercatat sebesar 147.506 jiwa.
Tabel 6.3. Perkembangan Status Pekerjaan Penduduk
STATUS Feb-07 Agt-2007 Feb-08
Agt- 2008
Berusaha sendiri 127.290 147.430 147.506 150.136Berusaha dibantu buruh tidak tetap/brh tdk dibayar 19.397 15.991 28.147 43.422
Berusaha dibantu buruh tetap/brh dibayar 13.796 13.838 19.493 19.465
Buruh/karyawan 366.591 314.653 349.264 348.611
Pekerja bebas pertanian 9.685 7.269 11.586 6.827
Pekerja bebas non tani 24.109 14.279 14.551 19.839
Pekerja tak dibayar 22.287 22.337 26.612 24.367
Total 583.155 535.797 597.159 612.667Sumber : BPS, Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2007 dan 2008
Seiring dengan penurunan jumlah pekerja sebagai karyawan, sharing pekerjaan
karyawan terhadap total pekerja di Provinsi Kepulauan Riau juga mengalami penurunan. Jika
pada Februari 2008 sharing pekerja yang bekerja sebagai karyawan adalah sebesar 58,49%
maka pada bulan Agustus 2008 turun menjadi 56,90%. Sebagian besar pekerja yang bekerja
sebagai karyawan bekerja di sektor industri yang tersebar di Kota Batam dan Kabupaten
Bintan.
Grafik 6.5. Perkembangan Share Pekerja sebagai Karyawan
Grafik 6.6. Perkembangan Share Pekerja yang Berusaha Sendiri
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
66
Sementara itu sharing pekerja yang berusaha sendiri tanpa bantuan buruh meskipun
mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya namun secara share
mengalami penurunan. Sharing pekerja yang berusaha sendiri di Provinsi Kepulauan Riau
pada bulan Agustus 2008 tercatat sebesar 24,51% atau mengalami sedikit penurunan
dibandingkan dengan bulan Februari yang tercatat sebesar 24,70%. Namun perkembangan
share pekerja yang berusaha sendiri menunjukkan trend peningkatan. Hal ini cukup positif
mengingat pekerja yang berusaha sendiri dengan sendirinya menciptakan lapangan kerja.
Biasanya pekerja yang berusaha sendiri ini berada di sektor perdagangan.
6.3 KESEJAHTERAAN DAERAH
6.3.1. Indeks Pembangunan Manusia
Salah satu alat ukur untuk mengetahui pencapaian kesejahteraan penduduk adalah
kelangsungan hidup, pengetahuan dan daya beli yang terangkum dalam Indeks
Pengembangan Manusia (IPM). Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi
kelangsungan hidup dan sehat adalah angka harapan hidup, untuk mengukur dimensi
pengetahuan adalah angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, sedangkan dimensi
kehidupan yang layak diukur dengan paritas daya beli.
Tabel 6.4 – IPM Kab/Kota di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2007
Prov/Kab /Kota
Angka Harapan
Hidup (tahun)
Angka Melek Huruf
(persen)
Rata2 Lama
Sekolah (tahun)
Rata2 Pengeluran
riil perkapita (000Rp)
IPM Peringkat
Prop.Kepri 69,60 96,00 8,94 631,94 73,68 6
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
67
Karimun
Bintan
Natuna
Lingga
Kota Batam
Kota Tj.Pinang
69,76
69,57
67,96
69,70
70,62
69,40
95,00
94,40
95,75
90,90
98,84
97,30
7,80
7,95
6,90
7,20
10,70
9,20
628,00
637,00
608,00
618,10
640,20
624,20
72,40
72,97
69,36
70,25
76,82
73,46
124
97
252
212
12
84
Secara keseluruhan Propinsi Kepulauan Riau termasuk propinsi yang mempunyai IPM
kategori terbaik (73,68) dibandingkan dengan 33 propinsi di Indonesia, yaitu ditunjukkan oleh
peringkat IPM nomor 6 dari 33 propinsi. Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota, Kota
Batam mempunyai peringkat IPM urutan ke 12 dari 440 kabupaten/kota seluruh Indonesia
dengan nilai 76,82. Posisi kedua adalah Kota Tanjungpinang dengan nilai 73,46 atau urutan
ke 84 dari 440 kabupaten/kota. Diikuti oleh Kabupaten Karimun dengan nilai 72,97 dan
peringkat 97 dari 440 kabupaten/kota. Sementara itu, Kabupaten Lingga mempunyai IPM
72,40 dengan peringkat 124 dari 440 kabupaten/kota. Kabupaten Bintan tercatat mempunyai
nilai IPM 70,25 dengan peringkat 212 dari 440 kabupaten/kota. Sedangkan Kabupaten
Natuna tercatat mempunyai IPM 69,36 dengan peringkat 252 dari 440 kabupaten/kota.
6.3.2. Kemiskinan
Selain itu, jumlah penduduk miskin di Provinsi Kepulauan Riau sampai dengan tahun
2008 tercatat berjumlah 268.935 jiwa atau 18,51% dari total penduduk Provinsi Kepulauan
Riau. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 4.688 jiwa (1,71%) dibandingkan dengan
angka kemiskinan tahun 2005 yang tercatat sebesar 273.623 jiwa.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dalam
rangka mengurangi angka kemiskinan adalah program pengentasan desa tertinggal yang
telah berjalan selama empat tahun. Program ini memberikan bantuan kepada setiap desa
tertinggal dengan jumlah bantuan sebesar Rp500 juta. Dana ini dikelola oleh masyarakat desa
untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif yang dapat meningkatkan pendapatan
masyarakatnya.
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
68
Saat ini terdapat 169 desa tertinggal yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi
Kepuauan Riau baik yang terdapat di pulau-pulau besar seperti Bintan, Batam dan Karimun
juga terdapat di pulau-pulau kecil. Program pengentasan desa tertinggal telah dilaksanakan
kepada 72 desa tertinggal sejak tahun 2003. Pada tahun 2009, direncanakan akan diberikan
bantuan kepada 36 desa tertinggal berikutnya sehingga pada akhir tahun 2009 akan ada 108
desa yang telah mendapatkan bantuan. Target pemerintah daerah Provinsi Kepulauan Riau di
tahun 2010, seluruh desa yang berjumlah 169 desa tertinggal sudah ditangani dan diberikan
bantuan. Pelaksanaan percepatan pembangunan desa juga mendapatkan dukungan dari
kabupaten maupun kota melalui dana-dana APBD.
BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN DAN INFLASI REGIONAL
Kondisi perekonomian regional di triwulan II-2009 sedikit membaik meski tetap
mengalami laju pertumbuhan yang berkontraksi. Sumber pertumbuhan diduga berasal dari
kenaikan demand domestik seiring dengan tren menguatnya nilai tukar Rupiah dan BI-Rate
yang menurun signifikan sejak akhir tahun 2008. Penurunan suku bunga acuan tersebut
diharapkan dapat direspon oleh perbankan dengan mulai menurunkan suku bunga kreditnya
secara bertahap di periode mendatang. Di samping itu, penurunan harga komoditas primer,
bergeraknya perekonomian regional selama masa Pemilu, serta efektifnya penerapan Free
Trade Zone (FTZ) di kawasan Batam-Bintan-Karimun sejak 1 April 2009 lebih memperkuat
asesmen terhadap perkembangan konsumsi di triwulan II-2009. Adapun aktivitas
perdagangan luar negeri diperkirakan stagnan akibat berlanjutnya koreksi pertumbuhan
sektor Industri Pengolahan. Sedangkan investasi barang modal (PMTB) masih tetap tumbuh
dengan laju perlambatan yang lebih melandai.
Grafik 7.2. Perkembangan Harga Minyak Dunia (WTI)
Grafik 7.1. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
terhadap US Dollar dan Singapore Dollar
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
69
Berlanjutnya krisis keuangan global akan semakin menekan pertumbuhan sektor
produktif Kepulauan Riau terutama pada sektor Industri Pengolahan sebagai sektor dominan.
Sementara aktivitas Perdagangan yang relatif meningkat diperkirakan mampu
mengkompensir perlambatan yang akan dialami industri Perhotelan. Sedangkan sektor
Bangunan diproyeksi tetap tumbuh di atas 10% didorong oleh penyelesaian beberapa proyek
konstruksi besar, baik oleh Pemerintah maupun Swasta.
Tekanan inflasi di kota Batam dan Tanjung Pinang selama triwulan II-2009 akan
sedikit meningkat merespon kenaikan permintaan atas barang-barang kebutuhan masyarakat.
Meski demikian pengaruh faktor cuaca semakin hilang dengan membaiknya iklim di perairan
sekitar wilayah Kepulauan Riau.
7.1. PROSPEK PERTUMBUHAN EKONOMI
`Laju perekonomian di triwulan II-2009 diperkirakan berada pada kisaran -0,48 ± 1%
(y-o-y). Asesmen ini sangat dipengaruhi oleh semakin turunnya permintaan global terhadap
produk yang diolah industri manufaktur di kota Batam. Tingkat utilisasi produksi perusahaan
manufaktur besar diperkirakan relatif sama dengan triwulan I-2009 yakni sekitar 30% - 50%,
merosot tajam dibanding kondisi normal sekitar 80% - 90%.
Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau *) angka sementara; **) angka sangat sementara; ***) proyeksi Bank Indonesia Batam (revisi Maret 2009)
Grafik 7.3. Estimasi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau (yoy)
Grafik 7.4. Estimasi Pertumbuhan Ekspor
Barang dan Jasa
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
70
Akibatnya, lalu lintas bahan baku dan barang hasil olahan dari dan ke luar negeri
menjadi semakin berkurang. Pertumbuhan ekspor Kepulauan Riau di triwulan mendatang
diproyeksi sebesar -4,11 ± 1%. Peluang menguatnya pertumbuhan ekspor terindikasi dari
lalu-lintas peti kemas internasional di 3 pelabuhan FTZ kota Batam yang relatif stabil selama
bulan Januari – Maret 2009.
Penurunan BI-Rate selama tahun 2009 mencapai 175 bps, diikuti tren penurunan
harga komoditas primer dan menguatnya nilai tukar Rupiah diperkirakan dapat menahan laju
penurunan Konsumsi Rumah Tangga di triwulan II-2009. Laju pertumbuhan Konsumsi Rumah
Tangga diperkirakan sekitar 11,6 ± 1%, relatif sama dengan triwulan I-2009 yang tumbuh
11,42%. Adapun pertumbuhan Konsumsi Pemerintah diproyeksi akan meningkat menjelang
akhir masa jabatan sebagian pejabat daerah di Kepulauan Riau. Di samping itu, bergeraknya
perekonomian regional selama periode Pemilu serta efektifnya penerapan Free Trade Zone
(FTZ) diduga turut mendorong pertumbuhan konsumsi di triwulan mendatang.
Keberhasilan kawasan FTZ di beberapa negara tidak bisa diraih dalam waktu singkat.
Meski demikian, momentum krisis finansial diharapkan menjadi keuntungan komparatif yang
dimiliki provinsi ini sebagai tujuan berinvestasi. Berjalannya FTZ diperkirakan cukup menahan
perlambatan komponen Investasi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Laju perlambatan
semakin melandai dengan tumbuh 6,32 ± 1%, dibanding triwulan I-2009 yang terkoreksi dari
25,72% menjadi 9,25%.
Sumber : Otorita Batam, Pelabuhan Batam Ket.: Pelabuhan Utama Batam meliputi pelabuhan Batu Ampar, Sekupang dan Kabil.
Grafik 7.6. Estimasi Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga, Swasta Nirlaba dan Pemerintah
Grafik 7.5. Lalu Lintas Peti Kemas Internasional
di Pelabuhan Utama Batam
Grafik 7.8. Estimasi Pertumbuhan
Sektor Industri Pengolahan Grafik 7.7.
Estimasi Pertumbuhan Investasi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
71
Sementara itu, aktivitas ekonomi produktif sektor Industri Pengolahan diproyeksi lebih
melambat dibanding triwulan sebelumnya dengan laju berkisar -4,6 ± 1%. Indikasi penurunan
kinerja sektor Industri Pengolahan dapat terlihat dari koreksi tajam aktivitas industri
manufaktur Singapura yang diperkirakan mencapai -29% di triwulan I-2009. Rendahnya
tingkat utilisasi produksi memaksa perusahaan melakukan efisiensi dan penyesuasian
terhadap seluruh faktor produksi. Efisiensi tenaga kerja melalui PHK maupun tidak
memperpanjang kontrak kerja masih akan terjadi sepanjang triwulan II-2009, namun
jumlahnya diperkirakan semakin menurun.
Arah perkembangan sektor Jasa (services) Singapura yang mengalami bergerak
negatif sedikitnya akan mempengaruhi industri pariwisata di Kepulauan Riau, terutama kota
Batam. Sedangkan arus perdagangan barang masih tertahan seiring dengan menurunnya
aktivitas sektor Industri Pengolahan dan sektor-sektor lainnya. Di samping itu, industri
perhotelan dan mall masih dihadapkan pada masalah tingginya kenaikan tarif dasar listrik
mencapai 51% akan berdampak pada penurunan nilai tambah yang akan dihasilkan sektor ini
di triwulan mendatang. Laju pertumbuhan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran di
triwulan II-2009 diperkirakan -0,29 ± 1%.
Grafik 7.9. Pertumbuhan GDP Singapura,
Sektor Manufaktur, Konstruksi dan Jasa (yoy)
Sumber : MTI Singapore April 2009 *) angka sementara Sumber : Survei Liaison Bank Indonesia Batam, Maret 2009
No. Nama PerusahaanJlh Pekerja Des‐2007
PHK 2008‐2009
Potensi PHK 2009
Jlh Pekerja Des‐2009 (P)
Penurunan Produksi
1 PT. Sat Nusapersada Tbk 6,000 400 1,600 4,000 40%2 PT. Schneider Electric 1,400 700 0 700 40%3 PT. Japan Servo 1,000 500 100 400 70%4 PT. Epcos 3,000 180 0 2,820 30%5 PT. Ciba Vision 3,066 800 0 2,266 30%6 PT. TEC Indonesia 1,600 400 200 1,000 30%7 PT. TEAC Electronics Indonesia 1,900 800 100 1,000 40%8 PT. Infineon Technologies 1,750 0 450 1,300 30%9 PT. Unisem 4,400 800 0 3,600 20%10 PT. Yoshikawa Electronic Bintan 800 121 0 679 20%11 PT. Amtek Enginering 1,000 202 200 598 50%12 PT. Sumitomo Wiring System 950 395 100 455 50%
26,866 5,298 2,750 18,818Total
Tabel 7.1. Jumlah PHK di Beberapa Perusahaan
Manufaktur Kota Batam
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
72
Adapun perlambatan sektor bangunan diproyeksi semakin melandai dengan
meningkat sekitar 12,32 ± 1%, dimana pada triwulan sebelumnya tumbuh 14,81%.
Pertumbuhan didorong oleh semakin intensifnya penyelesaian proyek Dompak, hotel dan
apartemen, serta pusat hiburan keluarga di Ocarina. Sementara industri properti residensial
diperkirakan belum memasuki masa recovery di triwulan II-2009. Pelaku bisnis properti
memiliki optimisme terhadap kondisi perekonomian pasca pemilu Presiden bulan Juni
mendatang. Sejalan dengan itu, kegiatan promosi dan pemasaran direncanakan lebih intens
memasuki semester II tahun 2009.
Perkembangan sektor produktif lainnya relatif konvergen dengan sektor-sektor
dominan tersebut. Industri perbankan diperkirakan tumbuh stabil pada triwulan II-2009 di
kisaran 6,01 ± 1%, sedangkan triwulan I tumbuh sebesar 6,12%.Desakan berbagai pihak
kepada perbankan agar lebih intensif dalam mendorong bergeraknya sektor riil akan
berdampak positif bagi kinerja sektor Keuangan. Sehingga target pertumbuhan kredit sebesar
20% di tahun 2009 optimis dapat tercapai.
Meski tumbuh sangat terbatas, laju perekonomian di sektor Pertanian diproyeksi
membaik di triwulan II mendatang didorong oleh kenaikan produksi ikan dan hasil laut.
Musim angin utara yang terjadi sejak penghujung tahun menyebabkan nelayan tidak dapat
melaut akibat tingginya kecepatan angin dan gelombang laut di sekitar wilayah perairan
Kepulauan Riau. Sehingga aktivitas penangkapan ikan baru dimulai pada awal bulan Maret
setelah musim ini berakhir.
7.2. PROSPEK INFLASI
Memperhatikan kecenderungan pergerakan indikator ekonomi wilayah Provinsi
Kepulauan Riau serta berdasarkan pemantauan pada hal-hal yang dapat memberikan
Grafik 7.10. Estimasi Pertumbuhan
Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran Grafik 7.11.
Estimasi Pertumbuhan Sektor Bangunan
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
73
pengaruh bagi pergerakan dimaksud seperti dampak musiman, pengaruh alam serta
perkembangan terkini mengenai perekonomian global triwulan I 2009, prospek inflasi pada
periode triwulan II 2009 di Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang diperkirakan tetap
mengalami kenaikan harga dengan level yang lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I
2009.
Inflasi Kota Batam pada triwulan II 2009
diperkirakan akan tetap mengalami inflasi pada
kisaran 5,59% - 7,70% (yoy). Sementara itu inflasi
tahun kalender diperkirakan akan berada pada kisaran
0,87% - 1,37% (ytd). Sementara itu inflasi Kota
Tanjung Pinang pada triwulan II 2009 diperkirakan
akan mengalami kenaikan pada kisaran 10,21% ‐
11,39% (yoy). Sedangkan inflasi tahun kalender
diperkirakan akan berada pada kisaran 1,17% ‐ 2,49%
(ytd).
7.1.2 Prospek Inflasi Berdasarkan Kelompok Barang
Kelompok bahan makanan pada triwulan II 2009 diperkirakan akan mengalami
kenaikan harga yang cukup tinggi di Kota Batam dengan angka inflasi rata-rata sekitar 1,24%
- 1,32% (mtm) setiap bulannya. Sementara itu untuk Kota Tanjung Pinang, rata-rata angka
inflasi pada triwulan II 2009 diperkirakan berada pada kisaran 0,27% -0,49% (mtm).
Kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau di Kota Batam pada triwulan
II 2009 diperkirakan akan mengalami angka rata-rata inflasi pada kisaran 0,46% - 0,63%
(mtm). Sedangkan untuk Kota Tanjung Pinang angka rata-rata inflasi sampai dengan triwulan
II 2009 inflasi diperkirakan akan berada pada kisaran 0,01% -0,06% (mtm).
Grafik 7.13 Estimasi Inflasi Bahan Makanan Grafik 7.14 Estimasi Inflasi Makanan Jadi
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
74
Kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar di Kota Batam pada triwulan II
2009 diperkirakan akan mengalami rata-rata angka inflasi pada kisaran 0,10% - 0,28%
(mtm). Sementara itu di Kota Tanjung Pinang diperkirakan angka rata-rata inflasi kelompok
perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar antara 0,08% -0,14% (mtm). Sementara itu rata-
rata inflasi kelompok sandang di Kota Batam pada triwulan II 2009 diperkirakan berada pada
kisaran 1,58% - 1,61% (mtm). Sedangkan di Kota Tanjung Pinang rata-rata inflasi pada
triwulan II 2009 diperkirakan berada pada kisaran 0,10% - 0,13% (mtm).
Kelompok kesehatan di Kota Batam pada triwulan II 2009 diperkirakan akan
mengalami rata-rata angka inflasi pada kisaran 0,47% - 0,58% (mtm). Rata-rata angka inflasi
Kota Tanjung Pinang pada triwulan II 2009 diperkirakan akan berada pada kisaran 0,01% -
0,02% (mtm). Kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga pada triwulan II 2009
diperkirakan akan mengalami rata-rata inflasi dengan kisaran 0,36% - 0,66% (mtm).
Sementara itu di Kota Tanjung Pinang kelompok ini diperkirakan akan mengalami inflasi
dengan rata-rata 0,06% - 0,12% (mtm).
Grafik 7.15 Estimasi Inflasi Perumahan Grafik 7.16 Estimasi Inflasi Sandang
Grafik 7.17 Estimasi Inflasi Kesehatan Grafik 7.18 Estimasi Inflasi Pendidikan
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
75
Kelompok tranportasi, komunikasi dan jasa keuangan di Kota Batam pada triwulan II
2009 diperkirakan akan mulai mengalami kenaikan setelah tiga bulan sebelumnya mengalami
penurunan sebagai dampak kebijakan penurunan BBM oleh pemerintah. Pada tiwulan II 2009
kelompok ini diperkirakan akan mengalami inflasi dengan rata-rata 0,08% - 1,67% (mtm)
setiap bulannya. Searah dengan yang terjadi di Kota Batam kelompok transportasi,
komunikasi dan jasa keuangan di Kota Tanjung Pinang diperkirakan akan mengalami inflasi
dengan kisaran 0,23% - 0,28% (mtm).