BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Demam Korea mungkin istilah yang sesuai untuk menggambarkan bagaimana
produk budaya populer Korea masuk dan menjadi booming di Indonesia. Popularitas
produk budaya Korea ini tidak hanya terjadi di kalangan penyuka budaya Korea saja,
tapi juga lebih luas dengan dukungan dari media mainstream seperti televisi, surat
kabar, tabloid, dan radio. Stasiun televisi nasional seperti Indosiar dan AnTV
misalnya secara konsisiten menayangkan drama Korea di spot prime time mereka.1
Peliputan surat kabar atas produk budaya Korea mungkin tidak terlalu besar, namun
untuk majalah dan tabloid yang memiliki segmen pembaca lebih spesifik, produk
budaya Korea mendapat tempat dan porsi yang besar. Tabloid ASIAN adalah salah
satu tabloid yang menyediakan informasi mengenai drama, film, musik, dan para
selebriti dari Cina, Jepang dan Korea. Sejak 2009 lalu, fokus ASIAN yang awalnya
pada produk budaya Cina dan Jepang—yang lebih dulu populer di Indonesia—
bergeser pada Korea.
Pada 2009 salah satu produk budaya Korea, musik K-Pop, menempati puncak
popularitasnya dan sebarannya begitu massif tidak hanya di wilayah Asia Timur, tapi
1 Jadwal tayang drama Korea di Indosiar dan AnTV dapat dilihat di sirus resmi kedua stasiun di
http://www.indosiar.com/ dan http://www.an.tv/. AnTV sendiri sejak trimester kedua tahun 2013 tidak lagi menayangkan drama Korea, namun hal ini memang sering dilakukan AnTV, berhenti sejenak menayangkan untuk beberapa waktu lalu kembali menayangkan. Berbeda dengan Indosiar yang memang secara konsisten menayangkan drama Korea sejak dekade lalu.
2
juga Negara-negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Segera K-Pop menjadi simbol
dari Korean Wave atau Hallyu beserta para penyanyinya dalam bentuk solo atau
grup.2 Di Indonesia, demam Korea mencapai puncaknya pada 2011 lalu. Selain
representasi media atas Korean Wave dan K-Pop yang jauh lebih besar, konser grup-
grup K-Pop juga mulai masuk ke Indonesia. Tercatat dari tahun 2011 hingga akhir
2012 ada sekitar 10 konser besar K-Pop dari grup-grup ternama Korea, di luar dari
mini konser seperti fan meeting. Beberapa promotor besar seperti Showmaxx
Entertainment dan Big Daddy berhasil mendatangkan artis K-Pop seperti Super
Junior dan Bigbang untuk mengadakan konser di Jakarta.
Analisa dari fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari analisa tentang fans
K-Pop yang menjadi main audiences. Fans adalah kelompok yang kemudian
melakukan reproduksi atas idola/star dan terus menjadikannya “hidup”. Menguatnya
Korean Wave di Indonesia menjadi alasan lahirnya kantong-kantong fans K-Pop di
Indonesia yang eksistensinya mulai terlihat dua tiga tahun belakangan ini setelah
sebelumnya nyaris tidak diketahui orang kebanyakan. Kelompok fans K-Pop pada
dasarnya terbagi ke dalam nama-nama tertentu sesuai dengan penyanyi atau grup
idola. Beberapa grup K-Pop, boy band atau girl band, umumnya memiliki sebutan
2 Popularitas K-Pop yang meroket pasca tahun 2009 dan sebarannya yang melintasi batas Asia Timur,
digunakan oleh Pemerintah Korea sebagai salah satu media memperkenalkan Korea dan budaya Korea ke kancah internasional melalui para artisnya dengan cara mendukung konser-konser bertajuk kerjasama bilateral, menunjuk para artis K-Pop sebagai duta pariwisata, duta makanan, dan lain-lain. Lihat The Korean Wave. 2011. Korean Culture and Information Service; Ministry of Culture, Sport and Tourism.
3
untuk klub fans mereka, seperti ELF untuk fans Super Junior, Cassiopea untuk fans
DBSK (Dombangsinki), dan VIP untuk fans Bigbang.
Super Junior adalah boy band Korea yang memiliki kelompok fans besar di
Indonesia. Popularitas Super Junior yang tinggi di Indonesia “mengatakan” hal itu.
Fanbase Super Junior di Indonesia tergabung dalam klub “ELF Indonesia” yang
terbentuk sejak tahun 2006 lalu. Kegiatan klub ELF lebih banyak terkonsentrasi di
dunia maya dengan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia. Data resmi dari
www.sujunesia.net, situs resmi ELF Indonesia, menunjukkan jumlah anggota yang
bergabung dalam forum sebanyak 8.024 anggota per September 2013. ELF Indonesia
sendiri terbagi lagi ke dalam ELF-ELF daerah seperti Jogja, Surabaya, Jakarta, dan
Makassar. Tidak semua fans bergabung dalam www.sujunesia.net, seringkali mereka
lebih memilih bergabung dengan ELF daerah. Namun ada lebih banyak lagi fans
Super Junior yang tidak tergabung dalam official fan club ELF Indonesia. Tidak ada
data yang dapat ditampilkan seberapa besar jumlah ELF sebenarnya di Indonesia
karena memang tidak dapat dilacak secara jelas.
Besarnya ELF Indonesia berbanding lurus dengan tingginya popularitas Super
Junior di Indonesia. Beberapa hal menunjukkan hal tersebut, misalnya Super Junior
adalah grup boy band Korea pertama dan satu-satunya yang berhasil menggelar
konser tunggal selama tiga hari berturut-turut dengan jumlah penonton mencapai ±25
ribu orang. Jadwal ini diperpanjang satu hari dari jadwal semula karena permintaan
yang begitu tinggi dari para fans. Berikutnya pemutaran Konser Super Junior “Super
Show 3” di blitzmegaplex dan pemutaran konser Super Junior di Indonesia “Super
4
Show 4” oleh stasiun televisi SCTV. Keduanya diselenggarakan tentu dengan asumsi
popularitas Super Junior yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan grup boy band
lain dari Korea.
Contoh lainnya adalah inkorporasi industri penerbitan atas fan fiction Super
Junior dengan menerbitkannya menjadi buku dan menjualnya di toko-toko buku.
Seiring dengan menguatnya fenomena K-Pop di Indonesia, hal ini menjadi mungkin
dilakukan. Beberapa fan fiction K-Pop dalam rentang waktu 2011 hingga 2014
(ketika penelitian ini ditulis) banyak diterbitkan dan dengan mudah dapat dijumpai di
toko-toko buku. Dari sekian fan fiction yang diterbitkan, sebagian besar mengambil
grup Super Junior sebagai primary source3. Beberapa contoh fan fiction yang
diterbitkan dengan mengambil (anggota) Super Junior sebagai sumber adalah “My
Love, My Kiss, My Heart”, “Walkin‟ to the Day”, “Mr. Simple”, dan “A Short
Journey”. Masuknya genre fan fiction K-Pop dalam pasar mainstream menunjukkan
beberapa hal, pertama, aktivitas fans (fan cultural production) yang umumnya adalah
kegiatan-kegiatan underground mulai tampak ke permukaan; kedua, ada ceruk atau
target pasar yang definite dari buku-buku fiksi bergenre fan fiction K-Pop, yaitu fans
K-Pop itu sendiri; ketiga, dengan menempatkan fans K-Pop sebagai ceruk pasar baru,
maka asumsinya fans K-Pop secara kuantitatif cukup besar dan potensial untuk terus
meningkat jumlahnya.
3 Yang dimaksud dengan primary source adalah teks atau idola yang menjadi sumber utama dari fan
fiction yang dibuat oleh fans.
5
Fans dari kacamata kapitalisme adalah captive market yang harus digunakan
untuk memaksimalkan profit. Namun dari perspektif kultural, fans adalah kelompok
yang menciptakan budayanya sendiri (fan culture) yang secara aktif melakukan
produksi dan pertukaran makna. Seluruh klub fans K-Pop pada dasarnya memiliki
budaya fans (fan culture) yang sebagian besar sama, yaitu mengonsumsi teks yang
berkenaan tentang idolanya, seperti lagu, music video, konser, berita, dan lain-lain,
lalu mereproduksinya dalam banyak bentuk seperti fan writing dan fan video-making4
yang merupakan pengejawantahan hasrat dan fantasi fans terhadap idola/star. Tentu
saja ada banyak faktor lain yang turut bermain dalam proses konsumsi dan
(re)produksi tersebut yang kemudian membentuk dan menentukan dinamika fandom.
Pada dasarnya seluruh dinamika yang terjadi dalam fandom menunjukkan relasi yang
terjalin antara fans dengan idola/star, di mana posisi keduanya, baik fans maupun
idola/star—adalah sama, dalam posisi saling mempengaruhi.
Menarik kemudian untuk melihat teks hasil reproduksi fans (fan cultural
production) yang mewujud dalam beragam bentuk. Beberapa di antaranya adalah
yang disebut sebelumnya, yaitu fan writing dan fan video-making. Keduanya dalam
perkembangannya hadir dalam bentuk-bentuk yang variatif. Dalam fan video-making
misalnya ada beberapa jenis video dengan label fancam (fan camera), yaitu video
hasil rekaman idola/star dari fans seperti saat konser, di tengah shooting, atau
4 Fan writing dan fan video-making merujuk pada tulisan Jenkins (1992) tentang produksi yang dilakukan oleh fans. Salah satu contoh dari fan writing yang disampaikan Jenkins adalah fanzine (fan+magazine), dengan jenis tulisan fiksi dan non-fiksi yang merupakan cikal bakal dari fan fiction yang berkembang pesat di era internet.
6
bandara; dan fanmade adalah label untuk video hasil kreasi atau buatan fans yang
diambil dari banyak materi seperti video musik, foto-foto idola, atau lainnya dan
dibuat sesuai dengan keinginan fans. Sementara untuk fan writing selain seperti yang
dicontohkan Jenkins (1992) fanzine (fan magazine), yang populer pada hari ini adalah
fan fiction atau yang biasa disingkat fanfic/FF. Penelitian ini saya mulai dari
ketertarikan saya terhadap fanfic, yang merupakan kisah fiksi yang ditulis oleh fans
dengan menggunakan idola/star mereka sebagai inspirasi atau primary source.
Melalui fanfic, seorang fans dimungkinkan untuk menulis alur cerita, penokohan,
konflik, dan penyelesaian (ending) sesuai dengan imajinya atas idola/star.
Pada dasarnya fanfic bukanlah hal yang baru dalam dunia fandom. Fans serial
televisi Star Trek misalnya adalah kelompok yang mempopulerkan budaya ini dan
telah menjadi bahan kajian Jenkins di tahun 1988 (dalam Lewis, 1992: 208-236).
Beberapa novel popular seperti Harry Potter dan Twilight juga menjadi sumber
penulisan fanfic bagi para penggemarnya. Fanfic K-Pop hanyalah satu ragam fanfic
yang hadir sedikit berbeda karena dalam fanfic K-Pop yang menjadi primary source-
nya adalah artis K-Pop (perorangan atau grup), bukan pada teks seperti novel atau
film.
Budaya fanfic tumbuh subur di dunia maya (internet), di mana para penulis
dan pembaca saling berinteraksi melalui laman web atau blog. Situs-situs berupa
forum di mana para penulis dan pembaca fanfic dapat saling berbagi tulisan dan
komentar adalah wadah bagi para fans untuk menikmati fan fiction. Di internet, fanfic
benar-benar mendapat tempatnya, sebab semua orang bisa menjadi penulis tanpa ada
7
aturan, syarat, dan standar seperti yang berlaku dalam sebuah penerbit misalnya.
Semua orang bebas menuliskan cerita mereka sesuai imaji mereka, seliar apapun itu.
Berbagai jenis cerita dapat ditemukan di situ, termasuk cerita tentang idola/star yang
dibingkai dalam relasi sesama jenis (homoseksual). Jenis cerita ini disebut slash
fiction, yaitu pilihan alur cerita untuk merelasikan tokoh secara romantik dengan
sesama jenis.
Fenomena slash fiction sendiri bagi saya cukup unik dan menarik karena ia
menghadirkan cerita yang berbeda dari konsepsi umum tentang orientasi seksual dan
relasi romantik. Genre slash fiction ini juga berkembang dalam tradisi fanfic K-Pop.
ELF (fans Super Junior) misalnya banyak menulis cerita-cerita tentang hubungan
homoseksual antar anggota Super Junior. Salah satu contoh penggalan slash fiction
Super Junior seperti berikut:
“I love you”, Sungmin yelled as he can, tried to combat the voice of thunder.
Rain fall like crazy but he didn‟t care. What he did know right now was the
answer from the other man. Kyuhyun, which was a few step from him, didn‟t
know how to react.
“Hyung, did you know what you are saying?”, Kyuhyun asked the older man.
Both of them drenched in the rain. Their main plan was to spend some time at
the park near to their house, was ruined when suddenly there was a downpour.
They were on their way to save themselves from the rain when suddenly
Sungmin confess to Kyuhyun.5
Bentuk cerita slash fiction seperti di atas menghadirkan kisah yang tidak biasa, yang
keluar dari pakem yang selama ini diterima masyarakat. Ada hasrat tentang relasi
5 Fan fiction ini merupakan potongan dari fan fiction berjudul “Come and Stay with Me Till The End”
yang ditulis dan diunggah oleh luv_prettyboys (ID user). Versi lengkap fan fiction ini dapat dilihat di http://www.asianfanfics.com/story/view/412/come-stay-with-me-till-the-end-kyuhyun-kyumin-superjunior-yaoi
8
yang tak melulu berbeda jenis dan ada imaji-imaji tentang bagaimana relasi tersebut
dirajut.
Teks slash fiction menghadirkan hasrat dan fantasi yang di luar kebiasaan
melalui representasi relasi homoseksual. Fantasi dalam slash fiction dihadirkan dalam
bentuk yang selama ini dipandang tabu di masyarakat. Menarik untuk melihat
tawaran-tawaran fantasi tersebut yang representasi atasnya tetap membuat slash
fiction menjadi hasil reproduksi teks yang underground. Dan mungkin karena sifat
slash sebagai teks bawah tanah yang kemudian memungkinkan fantasi-fantasi “liar”
bisa muncul dalam sebuah teks.
Alur cerita dalam slash fiction yang mengikat tokohnya dalam sebuah relasi
homoseksual (relasi sesama jenis), menjadi perbedaan paling mendasar dengan genre
fanfic lainnya seperti het fiction dan gen fiction6. Dalam het fiction relasi antar tokoh
dibangun dalam kerangka relasi beda jenis, heteroseksual, laki-laki/perempuan seperti
umumnya kita ketahui dan terima dalam masyarakat. Sementara gen fiction
merupakan cerita-cerita umum yang relasi-relasi antar tokohnya bukan merupakan
relasi romantik, tapi relasi-relasi sosial lain seperti saudara, keluarga, pertemanan,
kolega, dan lain-lain. Dari situ dapat dilihat jika homoseksualitas adalah kata kunci
utama dalam slash fiction. Keseluruhan cerita digambarkan berdasarkan hasrat dan
fantasi-fantasi atas relasi homoseksual.
6 Lihat Karen Hellekson dan Kristina Busse. 2006. Fan Fiction and Fan Communities in The Age of The
Internet. hal. 10
9
Slash fiction dapat dikatakan hadir sebagai sebuah teks alternatif yang
menawarkan bentuk relasi selain heteroseksual. Slash fiction juga bisa hadir sebagai
alternatif terhadap teks awal primary source. Jika kita menengok tradisi fanfiction,
primary source biasanya berasal dari novel atau film seperti Harry Potter, Twilight,
Star Trek, di mana orientasi seksual para tokohnya jelas. Dalam novel dan film Harry
Potter misalnya, tokoh Harry digambarkan sebagai seorang heteroseksual sebab dia
diceritakan jatuh cinta dan menikah dengan perempuan. Slash fiction Harry Potter
kemudian hadir untuk menjadi alternatif teks yang melawan dan menolak terhadap
teks awal Harry Potter yang menawarkan relasi heteroseksual.
Dalam konteks K-Pop, slash fiction bisa hadir sebagai alternatif dan bisa juga
hadir untuk mendukung teks awal. Hal ini mengacu pada orientasi seksual artis K-
Pop sebagai primary source yang dapat dikatakan tidak jelas. Tidak jelas di sini
dalam artian tidak ada konfirmasi yang betul-betul pernah dilakukan para artis K-Pop
mengenai orientasi seksual mereka. Sehingga yang ada hanya hasil resepsi atau
pemaknaan fans atas teks yang kemudian mereka tarik sebagai sebuah asumsi atas
orientasi seksual idolanya. Misalnya, hasil wawancara dengan artis K-Pop A (laki-
laki) menyajikan jawaban-jawaban dia mengenai perempuan idamannya, lalu oleh
fans ini diartikan bahwa si idola adalah heteroseksual karena memiliki kriteria
perempuan idaman, maka sebenarnya itu adalah asumsi dari hasil resepsi dan
interpretasi fans atas teks, yang sejatinya tidak memberikan kejelasan orientasi
seksual sang idola. Sehingga teks slash fiction K-Pop mungkin saja menjadi alternatif
yang memberikan gambaran lain tentang idola yang sebenarnya heteroseksual
10
menjadi homoseksual dalam teks fanfic. Tapi mungkin juga slash fiction K-Pop justru
mendukung cerita yang sesungguhnya dari sang idola jika memang benar memiliki
orientasi seksual homo.
Di tengah masyarakat Indonesia, di mana heteronormativitas diterima dan
dilestarikan banyak pihak, homoseksualitas menjadi sesuatu yang tabu dan
problematis. Dalam kondisi dan konteks Indonesia slash fiction dapat disebut sebagai
“teks yang menyimpang” karena menghadirkan kisah romantik homoseksualitas.
Apa-apa yang digambarkan dan dikisahkan dalam teks slash fiction merupakan
penolakan terhadap diskursus dominan-hegemonik heteroseksual sebagai satu-
satunya orientasi seksual dan jenis relasi romantik yang memungkinkan terjalin antar
manusia. Di sini saya kemudian memiliki pertanyaan bagaimana hasrat dan fantasi
homoseksual digambarkan, dihadirkan, dan direpresentasikan dalam sebuah teks
slash fiction yang hadir di tengah masyarakat dengan nalar-nalar heteronormativitas.
Sebuah teks tentu tidak lepas dari konteks sosial budaya masyarakat di mana
ia diproduksi. Dalam masyarakat heteronormatif, mengacu pada asumsi yang
dikemukakan Karen Hellekson dan Kristina Busse (2006), slash fiction menjadi salah
satu gambaran dari hasrat atas relasi dan partner yang equal7 (equal relationship
7 Dalam relasi konvensional (heteroseksual), relasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan secara
umum dapat dikatakan sebagai relasi yang unequal sebab konstruksi dominan yang selalu memposisikan laki-laki superior sementara perempuan inferior. Relasi yang dibangun dalam bingkai patriakhi menempatkan perempuan dalam posisi objek dan pasif. Slash fiction yang menyajikan relasi sesama jenis (seringkali laki-laki/laki-laki) menurut Karen Hellekson dan Kristina Busse kemudian menghadirkan pola relasi yang equal, setara antar pasangan sebab keduanya sama-sama laki-laki, memiliki superioritas yang sama, tidak ada pihak yang mendominasi/didominasi. Hal ini yang dinilai Hellekson dan Busse sebagai alasan mengapa penulis atau pembaca slash menyukai ragam cerita
11
between equal partners), relasi yang tidak hierarkis pada pasangan. Lalu bagaimana
dengan slash fiction K-Pop yang diproduksi di Indonesia? Bagaimana hasrat dan
fantasi tentang homoseksualitas disajikan? Apakah juga menjanjikan kesetaraan
seperti yang diasumsikan Hellekson dan Busse? Bagaimana kesetaraan itu
digambarkan? Pertanyaan-pertanyaan panjang yang serupa kemudian menjadi dasar
saya untuk melakukan penelitian secara mendalam atas teks slash fiction K-Pop.
Dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini
akan menggunakan teks slash fiction Super Junior yang direproduksi di Indonesia
sebagai objek penelitian. Secara otomatis, dengan menggunakan Super Junior sebagai
batasan primary source, maka slash fiction di sini merujuk pada male-male
relationship. Super Junior sendiri dipilih dengan alasan seperti yang telah
dikemukakan di atas, yakni tingginya popularitas Super Junior di Indonesia yang
sekaligus menunjukkan besarnya fans Super Junior di Indonesia. Teks slash fiction
yang dipilih adalah yang ditulis oleh fans yang berasal dari Indonesia. Seperti yang
telah disampaikan sebelumnya, sebuah teks tidak pernah lepas dari konteks sosial
budaya di mana ia direproduksi. Asumsinya, dengan memilih penulis yang berasal
dari Indonesia, konteks sosial budaya Indonesia-lah yang melandasi proses produksi
teks tersebut, termasuk juga konteks heteronormativitas yang kuat di Indonesia.
Teks slash fiction Super Junior akan dipilih dan diambil dari situs
www.asianfanfics.com. Situs ini merupakan situs terbesar untuk fanfic Asia, J-Pop
slash, khususnya perempuan yang dalam realitas hidupnya sulit untuk mendapatkan relasi yang setara dengan partnernya.
12
dan K-Pop. Terdapat situs besar lain untuk fanfic, seperti www.fanfiction.net
misalnya, namun ia tidak mengkhususkan pada fanfic dari produk budaya Asia.
Karena itulah saya memilih www.asianfanfics.com di mana seluruh fans yang terlibat
di dalamnya, baik sebagai penulis atau pembaca memiliki kerangka budaya fandom
yang sama.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar pemaparan fenomena dan permasalahan yang melatari penelitian ini
seperti dipaparkan di atas dan dari beberapa pertanyaan yang ingin dijawab melalui
penelitian ini, dirumuskan dua pertanyaan besar untuk penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana hasrat homoseksual dalam teks slash fiction Super Junior di
www.asianfanfics.com?
2. Bagaimana fantasi homoseksual dalam teks slash fiction Super Junior di
www.asianfanfics.com?
3. Mengapa hasrat dan fantasi homoseksual dalam teks slash fiction Super
Junior di www.asianfanfics.com hadir dalam representasi sebagaimana
terjelaskan dalam jawaban rumusan permasalahan 1 dan 2?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah untuk menjawab pertanyaan
penelitian dalam rumusan masalah di atas, yaitu:
13
1. Menganalisis hasrat homoseksual dalam teks slash fiction Super Junior di
www.asianfanfics.com.
2. Menganalisis fantasi homoseksual dalam teks slash fiction Super Junior di
www.asianfanfics.com.
3. Menganalisis alasan mengapa hasrat dan fantasi homoseksual dalam teks
slash fiction Super Junior di www.asianfanfics.com hadir dalam
representasi seperti yang terjelaskan dalam jawaban rumusan
permasalahan 1 dan 2.
1.4 Objek Penelitian
Pada latar belakang penelitian ini telah disampaikan bahwa fokus kajian
penelitian ini adalah teks fanfic Super Junior bergenre slash yang terunggah di
www.asianfanfics.com. Telah disebutkan juga jika teks fanfic yang akan dipilih
sebagai objek penelitian ditulis oleh penulis yang berasal dari Indonesia. Batasan
Indonesia ini dipilih terkait dengan persoalan konteks sosial budaya
heteronormativitas yang kuat dalam masyarakat Indonesia yang akan menentukan
kondisi macam apa yang melatarbelakangi produksi teks.
Berdasar penelusuran yang saya lakukan di www.asianfanfics.com, cukup
sulit untuk mengetahui dari Negara mana seorang penulis fanfic berasal. Sebab tidak
semua penulis fanfic mencantumkan data lengkap di akun miliknya. Sehingga dalam
pencarian penulis slash fiction Super Junior yang berasal dari Indonesia, saya hanya
bisa bergantung pada para penulis fanfic yang mencantumkan Negara dalam biodata
14
akun miliknya atau bahasa yang digunakan untuk menulis fanfic. Hal ini menjadi
salah satu konsekuensi logis dari internet sebagai media dari mana teks slash fiction
objek penelitian ini diambil. Cairnya identitas di dunia cyber memungkinkan
pengguna internet untuk menyembunyikan atau menyamarkan identitasnya. Karena
itu saya mencoba untuk melakukan klarifikasi dengan mengirim pesan pada akun
masing-masing penulis untuk memastikan mereka benar berasal dari Indonesia.
Namun tentu saja klarifikasi ini tetap memiliki keterbatasan mengingat seluruh
komunikasi juga dilakukan via internet di mana kebenaran atau kejujuran menjadi
begitu cair.
Dari banyak akun penulis fanfic yang berasal dari Indonesia, saya
menyaringnya lagi pada mereka yang menulis slash fiction Super Junior. Dari
beberapa penulis slash fiction Super Junior tersebut, saya kembali melakukan
pemilahan terhadap tulisan-tulisan slash fiction yang ada untuk kemudian menjadi
objek penelitian ini. Beberapa penulis kadang melakukan karakter silang dalam slash
fiction karyanya dengan memasukkan karakter anggota boy band lain di luar Super
Junior, dan demi kepentingan penelitian ini agar pembahasannya fokus saya tidak
mengambil jenis tulisan slash fiction tersebut. Dari sekian banyak teks slash fiction
yang ada dan setelah pemilahan dilakukan, saya mengambil empat tulisan sebagai
objek penelitian ini, yaitu:
1. “Between Kisses” oleh eunhyukjae
2. “Your Eyes Tell Me Everything” oleh iamvaganza
3. “Sweet Pumpkin” oleh _Minki_
15
4. “Chicken Curry” oleh kyu0306
Empat judul tulisan slash fiction di atas adalah milik empat penulis yang
berbeda. Meski keempat teks tersebut sama-sama menghadirkan kisah romantik antar
laki-laki, namun dibingkai dalam frame yang berbeda. Sebagian teks di atas ada yang
mengisahkan anggota Super Junior sesuai dengan kondisi dan setting yang
sebenarnya, yaitu kehidupan anggota grup boyband. Tapi sebagian lainnya hanya
mengambil karakter anggota Super Junior saja dan mengubah kondisi lainnya sesuai
dengan yang diinginkan penulis, yang hal ini diistilahkan dengan „alternate universe‟.
Pemilihan teks yang memiliki bentuk penulisan berbeda ini saya rasa perlu untuk
melihat seperti apa hasrat dan fantasi yang dihadirkan dalam frame tulisan yang
berbeda. Dari keempat teks tersebut, perlu disebutkan juga tentang bahasa yang
digunakan dalam teks tersebut. Tiga dari empat teks slash fiction yang menjadi objek
penelitian menggunakan bahasa Inggris, sedang satu teks menggunakan bahasa
Indonesia. Dalam kajian Lacan, bahasa merupakan aspek yang signifikan yang
menunjukkan order simbolik subjek. Penggunaan bahasa yang berbeda dalam teks
menunjukkan bagaimana order simbolik bermain di sekitar subjek, karenanya penting
untuk disebutkan di sini bahasa yang digunakan dalam keempat teks objek untuk
nantinya menjadi bagian dari bahasan dan analisis penelitian ini.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini secara umum dapat dikatakan membahas tiga pokok kajian.
Pertama, kajian fans (fan studies) yang membahas seputar budaya fans, relasi antara
16
fans dengan idola/star (fandom-stardom), konsumsi teks yang dilakukan fans, dan
reproduksi fans. Kedua, kajian tentang Korean popular culture atau lebih luas lagi
East Asian popular culture yang bergerak pada studi produk-produk budaya dari
Negara-negara di Asia Timur, khususnya dalam penelitian ini pada produk budaya
Korea Selatan. Kajian ketiga yaitu studi tentang fan fiction sebagai teks hasil
reproduksi fans. Maka dari itu, tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitan ini
merentang pada tiga kajian pokok tersebut.
Studi-studi tentang fans/fans culture pada dasarnya merupakan kajian yang
cukup menarik bagi kalangan akademisi dan telah cukup banyak dilakukan. Salah
satunya dilakukan oleh Matt Hills (2002) dan terangkum dalam bukunya “Fan
Culture” yang mencoba untuk menghadirkan fenomena-fenomena tentang dunia fans
(fandom). Melalui uraian yang komprehensif, Hills pertama-tama mencoba mengulas
posisi fans dalam dunia akademis, yaitu bagaimana fans umumnya dipandang oleh
para akademisi dengan cenderung meminggirkan dan memandang negatif fans, lalu
bagaimana saat scholar menjadi fans (scholar-fans) atau fans yang kemudian menjadi
scholar (fan-scholars). Di situ, Hills juga menyajikan wacana budaya fans dari
berbagai perspektif, seperti konsumerisme, fans sebagai komunitas, pengetahuan
(knowledge) dan justifikasi, juga antara fans dan fantasi. Melalui tulisannya, Hills
pada dasarnya berangkat dari wacana tentang scholar-fans dan posisi scholar-fans
dalam penelitian.
Studi Hills atas fans dalam bukunya tersebut dapat terbilang bersifat general,
karena Hills mencoba merangkum banyak isu di seputar fans. Berbeda misalnya
17
dengan studi yang dilakukan Henry Jenkins (1992) dan Stephen Hinerman (1992)
yang telah melakukan telaah atas fans jauh hari sebelum Hills. Henry Jenkins (1992)
menuangkan hasil studinya tentang fans dalam bukunya Textual Poachers: Television
Fans & Participatory Culture. Di situ Jenkins memfokuskan penelitiannya pada
audiens (fans) televisi dalam meresepsi program tertentu, yaitu Beauty and The Beast.
Dalam analisanya, Jenkins menggambarkan bagaimana budaya fans, praktik-praktik
dalam komunitas fans, dan relasi mereka dengan gaya baca dari satu jenis gender
tertentu. Jenkins menemukan bahwa ternyata fans—dalam meresepsi program—juga
melakukan penolakan terhadap teks atau makna yang ditetapkan produser. Akibatnya,
fans membuat jalan lain untuk menyalurkan „kehendak‟ mereka melalui—yang
disebut Jenkins—cultural production within the fan community. Produksi teks yang
dilakukan fans ini berupa fan writing dan fan video-making.
Apa yang ditemukan dan disampaikan Jenkins dalam bukunya tersebut, pada
dasarnya beririsan dengan apa yang akan saya kaji. Irisan tersebut ada pada proses
reproduksi—atau dalam istilah Jenkins produksi kultural fans—sebagai sebuah
konsekuensi logis dari konsumsi teks yang dilakukan fans. Irisan ini sekaligus
menjadi pembeda antara penelitian Jenkins dan penelitian yang sedang saya lakukan.
Perbedaannya terletak tentu saja ada pada fokus kajian. Jika pada penelitian Jenkins
resepsi fans menjadi fokusnya, maka pada penelitian ini pada teks hasil (re)produksi
fans. Pada penelitian Jenkins, teks hasil produksi kultular oleh fans seperti fan writing
dan fan video-making dilihat sebagai jalan alternatif dari resepsi fans yang menolak
makna yang ditetapkan produser. Sementara dalam penelitian ini, teks hasil produksi
18
kultural fans justru dilihat sebagai sumber dalam melihat dinamika fans dan relasinya
dengan idola/star sekaligus menjadi pintu masuk untuk mengeksplor persoalan hasrat
dan fantasi yang dituangkan oleh fans dalam teks hasil produksi fans yang tidak
menjadi bagian dari studi Jenkins.
Stephen Hinerman (1992) juga melakukan kajian seputar fans yang
difokuskan pada persoalan fantasi. Dalam tulisannya yang diberinya judul “‟I‟ll Be
Here With You‟: Fans, Fantasy and the Figure of Elvis” Hinerman melakukan
penelitiannya pada fans Elvis Presley. Di situ Hinerman mengemukakan bagaimana
pasca Elvis meninggal beberapa dekade silam, fans Elvis masih terus ada dan
aktivitas-aktivitas fans masih berlangsung hingga saat (setidaknya) Hinerman
menuliskan hasil penelitiannya. Elvis masih terus menjadi perbincangan yang tidak
ada habisnya, sering diparodikan hingga sekarang, masih menjadi acuan, dan bahkan
masih berpotensial dalam ranah komersil.
“The writing goes on, the tabloid articles continue, the books are still
published, new combinations of previously released material appear on
CDs, and Graceland continues to play host to apparently unending
battalions of the curious and the ceaselessly devoted. There is a
continuing appetite for what-has-become-Elvis and it shows no sign of
abating”. (Hinerman, 1992: 108)
Fenomena yang berhasil ditangkap oleh Hinerman ini, kemudian
diinterpretasikan olehnya bahwa hal ini terjadi sebab ada fantasi yang bekerja pada
benak fans. Yang kemudian dibahasakan oleh Hinerman sebagai konsep kajiannya
“after-death fantasies of Elvis and his fans”.
19
“My own interest here is to explore a certain type of fan encounter: the
particularly active fantasies of fans whose interactions with a star are
generated with either memory or secondary material. In this light, I am
interested in what lies behind or within a few of the encounters that fans
have had with Elvis since his death”. (Hinerman, 1992: 109)
Fokus Hinerman pada aspek fantasi fans ini kemudian dia elaborasi dengan
menggunakan perspektif psikoanalisis Freud dan Lacan. Hal ini yang kemudian
membuat kajian Hinerman beririsan dengan penelitian yang akan saya lakukan.
Bedanya adalah, saya lebih memilih untuk menggunakan perspektif Lacanian dalam
penelitian ini, juga fokus pada persoalan hasrat dan fantasi yang ditawarkan oleh teks
alih-alih pada diri penulis (fans).
Penelitian tentang fans di Indonesia, khususnya fans K-Pop pernah dilakukan
Sun Jung (2011) dengan mengambil fokus studi pada penggunaan social media oleh
fans sebagai salah satu alternatif sirkulasi budaya. Sirkulasi budaya dengan
menggunakan social media seperti YouTube, Facebook dan Twitter terjadi dalam tiga
aspek, yaitu immediate transculturations, embodying K-pop, dan building intimacies.
Ketiganya terepresentasi secara bersamaan melalui posting atau reposting yang
dilakukan fans dalam Facebook atau dalam Twitter dilakukan dengan cara retweet.
Khususnya dalam Twitter, Jung mengungkapkan kedekatan antara fans dan idola/star
begitu nampak karena adanya fasilitas tweet, reply, dan retweet, di mana fans dapat
langsung menyampaikan pesan kepada idolanya dengan cara mentioning. Dari
pemaparan panjang Sun Jung, tampak bahwa dia ingin menunjukkan bagaimana
transformasi budaya dalam fandom bergeser salah satunya karena perubahan
20
teknologi media baru seperti internet—khususnya social media—yang
memungkinkan “…global poop consumers to easily access once unknown and
marginalized popular cultures, such as K-pop8” (Jung, 2011).
Penelitian Jung tersebut sekaligus juga menjadi salah satu penelitian bertema
Korean popular culture di antara beberapa penelitian lain seperti yang dilakukan Jim
Dator dan Yongseok Seo (2004), Chua Beng Huat (2010), Sue Jin Lee (2011), dan
Sooyeon Lee (2012). Jim Dator dan Yongseok Seo (2004) melakukan analisa atas
perkembangan Korean Wave (Hallyu) melalui perspektif ekonomi yang disebut
mereka bahwa Hallyu telah menjadi tonggak pergeseran dari Gross National Product
(GNP) menjadi Gross National Cool sebagai ukuran utama pendapatan Negara.
Popularitas produk-produk budaya Korea seperti film, drama, musik, dan game yang
telah menyebar luas di Negara-negara Asia disadari betul oleh pemerintah Korea
Selatan dan kemudian digunakan dasar pengambilan kebijakan resmi untuk
menjadikan Korea Selatan sebagai a dream society of icons and aesthetic experience.
Lebih jauh Dator dan Seo menjelaskan persoalan dream society of icons and aesthetic
experience sebagai konsekuensi logis dari masyarakat informasi yang merupakan
tahapan setelah masyarakat agraris dan industrial. Pada intinya, tulisan Dator dan Seo
menunjukkan satu sisi dalam melihat perkembangan Korean Wave (Hallyu) dalam
perspektif ekonomi global, posisi Korea dalam himpitan dunia hiburan yang selama
8 Pada dasarnya saya tidak sepakat dengan penggunaan istilah unknown and marginalized popular
cultures untuk merujuk pada produk budaya Korea, termasuk K-pop, karena berdasar tahun tulisan Sun Jung dirilis, yaitu 2011, Korean Wave telah mencapai puncaknya dan bahkan berada pada tahapan ‘second Korean wave’ alih-alih ‘first’. Bukti-bukti popularitas produk budaya Korea, khususnya di daratan Asia, telah cukup untuk menolak istilah yang digunakan Jung tersebut.
21
ini dikuasai Amerika dan Jepang, dan posisi produk budaya Korea sebagai sumber
pemasukan Negara.
Sementara itu, Chua Beng Huat (2010) dan Sue Jin Lee (2011) dalam tulisan
yang berbeda melakukan analisa terhadap produk-produk budaya Korea itu sendiri,
baik penetrasi serta sebarannya di Negara-negara luar Korea, khususnya Asia, juga
dampak yang ditimbulkannya di Negara-negara tersebut. Chua menitikkan analisanya
pada tiga produk budaya Korea, yaitu film, drama, dan musik pop, melihat persebaran
ketiga produk budaya tersebut serta dampak yang ditimbulkan dengan
membandingkan medium yang dipakai ketiga produk budaya tersebut. Sedangkan
Seo lebih melihat pada bagaimana Korean Wave yang tersebar melalui produk
budayanya seperti drama mampu memberikan dampak pada Negara-negara tetangga
Korea Selatan termasuk pada proses framing dalam ulasan pemberitaan dan respon
publik di Negara-negara tetangga atas Korea Selatan.
Baik Chua maupun Lee dua-duanya memiliki hasil analisis yang cukup serupa
di titik tingginya tingkat penetrasi dan penerimaan produk budaya Korea di Negara-
negara Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara. Keduanya berargumen
bahwa kedekatan kultural antara Negara-negara di Asia membuat produk budaya
Korea dapat diterima dengan lebih mudah.
“South Korean television shows and movies portray themes that Asian
audiences can relate to more easily than those of Western entertainment
because Korean “dramas typically deal with family issues, love and filial
piety in an age of changing technology, and often reinforces traditional
values of Confucianism” (Ryoo, 2007, p. 140)”. (Lee, 2011: 86)
22
Hal ini juga yang dikatakan oleh Chua, Negara-negara dengan basis audiens etnis
Cina yang tersebar di Asia Timur dan Asia Tenggara, menerima dengan baik teks-
teks porduk budaya Korea karena kedekatan kultural seperti yang disebut Lee di atas.
Dengan lebih tajam dan detail, Chua menyebutkan hal tersebut terjadi karena self-
affirmation yang dilakukan audiens.
“From the point of view of the overwhelming ethnic-Chinese audiences in
East and Southeast Asia, the Korean TV dramas are vehicles for self-
affirmation of being “Asian” by which they mean a reduced version of
Confucianism to “familial” relations. For the majority of women
audience, they are vehicles for gender self-affirmation, being a
combination of intermittently “Asian” and “traditional” in mother-
daughter filial relations and being “modernist” as independent women in
the economy”. (Chua, 2010: 23)
Penelitian yang dilakukan Sooyeon Lee (2012) dalam tulisannya “The
Structure of the Appeal of Korean Wave Texts” terbilang paling dekat dengan
penelitian yang saya lakukan sekarang. Lee menggunakan psikoanalisis Lacan dalam
menganalisis fantasy dan lack yang ditawarkan dalam teks drama Korea dan music
video K-Pop. Dalam hasil analisis yang dipaparkan, Lee membagi dua teks—drama
dan music video—untuk memperjelas perbedaan fantasy dan lack yang ditawarkan
masing-masing teks. Dalam drama Korea Lee menyatakan fantasy yang ditawarkan
umumnya berupa ideal love, ideal relation, dan ideal characters; sedangkan lack
dalam drama Korea menurut Lee seringkali tampil dalam karakter protagonist laki-
laki, seperti latar orang tua yang tidak jelas, seperti tidak tahu ibunya atau tumbuh
besar tanpa ayah. Pada teks music video (MV), Lee melihat bahwa baik fantasy dan
23
lack yang ditawarkan terekspresi melalui banyak hal, mulai dari musik, tema dan
subjek MV, narasi, dinamika grup, performers, dan seksualitas. Secara umum dari
unsur-unsur tersebut merepresentasi innocent-ness dan youth culture yang sekaligus
menawarkan fantasy dan lack, seperti fantasi tentang kemudaan (youth-ness) yang
juga mengandung lack berupa remaining immature yang berarti juga menolak peran-
peran sosial.
Penelitian tentang fan fiction pada dasarnya telah banyak dilakukan, namun
hingga kini penelitian mengenai fanfic dengan primary source manusia9 sangat
minim penulis temukan, baik di Indonesia maupun di luar. Karen Hellekson dan
Kristina Busse (2006) menyajikan satu kumpulan tulisan komprehesif tentang studi
fan fiction di internet. Bahasan yang disampaikan merentang dari awal kemunculan
fan fiction di internet, ragam genre yang banyak diadopsi penulis fan fiction,
karakteristik dan gaya fan fiction, komunitas fan fiction yang tidak hanya terdiri dari
penulis tapi juga pembaca yang dalam logika internet turut memegang kontrol. Dari
itu semua tidak ada yang membahas tentang fanfic dengan primary source manusia.
Bahasan Hellekson dan kawan-kawan terbatas pada fan fiction yang menjadikan
novel, film, dan serial televisi sebagai primary source-nya. Ini sedikit berbeda dengan
yang menjadi bahasan dari penelitian ini, yaitu fan fiction dengan primary source
9 Sepanjang penelusuran penulis terhadap kajian fan fiction, primary source dari fan fiction berasal
dari teks lain, seperti novel, film, atau serial televisi. Hal ini juga yang menjadi titik bahasan dalam Hellekson dan Busse (2006), yakni fan fiction yang bersumber dari novel, film, ataus serial televisi seperti Pride and Prejudice, Harry Potter, Star Trek, dan Dr. Who. Sementara fan fiction yang bersumber pada manusia seperti band, penyanyi, aktor, dan lain-lain masih menjadi kajian yang minor di tengah kajian tentang fan fiction yang marak.
24
manusia, tepatnya boy band. Hal yang kemudian dapat dikaitkan dengan penelitian
ini adalah fenomena fan fiction di internet, yang dinyatakan dalam Hellekson bahwa
perpindahan aktivitas fans ke ranah internet merubah pola dan karakter fan fiction itu
sendiri. Beberapa hal seperti genre slash dan porn dalam fan fiction mendapat
tempatnya ketika budaya internet mengemuka. Penelitian ini pun nantinya akan
memfokuskan pada penulis fan fiction yang menggunakan internet sebagai medianya,
di mana hal ini beririsan dengan bahasan Karen Hellekson dan Kristina Busse.
Tesis Irana Astutiningsih (2012) mengkaji wacana maskulinitas dalam fanfic
slash Harry Potter yang ditulis oleh fans perempuan. Penelitian ini dapat dikatakan
kuat bersinggungan dengan penelitian Irana dalam hal slash fiction, namun fokus
penelitian yang dipilih jelas berbeda. Irana memfokuskan pada bagaimana wacana
maskulinitas direpresentasi oleh para penulis perempuan yang diasumsikan
heteroseksual dalam tulisan slash fiction mereka. Argumennya, slash fiction dilihat
sebagai perlawanan simbolik terhadap isu maskulinitas, yang berarti maskulinitas
yang terepresentasi dalam fanfic logisnya mengambil bentuk berbeda dari
maskulinitas dominan-hegemonik. Namun ternyata wacana maskulinitas yang
digambarkan dalam slash fiction oleh para penulis perempuan tetap berada dalam
kerangka patriarkhi.
25
1.6 Kerangka Pemikiran
1.6.1 Fans dan Reproduksi Teks
Ulasan mengenai definisi fans telah banyak disajikan dalam literatur-literatur
studi audiens dan fans. Fans berbeda dengan audiens yang secara umum dimengerti
sebagai konsumen teks. Fans merupakan kelompok kecil audiens yang menyukai
secara berlebih produk media tertentu, apakah itu acara televisi, film, buku, penyanyi,
aktor/aktris, klub sepakbola, dan lain-lain. Kata „fan‟ sendiri diambil dari kata
„fanatik‟ yang berasal dari bahasa Latin „fanaticus‟. Hal ini seperti menunjukkan
secara konkrit perbedaan fans dengan audiens pada umumnya. Ada level ketertarikan
pada satu produk media yang tinggi dari kelompok fans, yang itu tidak dimiliki oleh
audiens secara umum.
Matt Hills (2002: viii) menyajikan definisi fans yang paling umum dipahami
orang kebanyakan, yaitu “…somebody who is obsessed with a particular star,
celebrity, film, TV programme, band: somebody who can produce reams of
information on their object of fandom, and can quote their favoured lines or lyrics,
chapter and verse”. Dari definisi tersebut saya menggaris bawahi sebutan fans
sebagai “mereka yang terobsesi”, yang konotasinya cenderung bernuansa irasional.
Tak heran, Abercrombie dan Longhurst (1998) menyamakan fans dengan cultists. Joli
Jensen (1992) juga melihat fans sebagai kelompok yang irasional dengan
menggambarkan fans hanya ke dalam dua tipe, yaitu “the obsessed individual” dan
“the hysterical crowd”.
26
Pemahaman terhadap fans seperti di atas kemudian cenderung menempatkan
fans sebagai efek dari kehadiran selebriti dan media secara mentah. Atau dalam
bahasa Joli Jensen (1992: 10), dikatakannya “the fan is defined as a response to the
star system”. Maka fans di sini diposisikan sebagai kelompok yang pasif, yang
kehadirannya dikontrol dan digerakkan oleh media massa. Pandangan ini semata
melihat fans sebagai konsumen teks. Tapi tentu saja dalam studi-studi yang lebih
komprehensif dan dalam perspektif yang berbeda fans tidak hanya menjadi konsumen
teks terkait hal yang digemarinya, tapi fans juga secara aktif melakukan produksi
teks.
Fred dan Judy Vermorel (1992) misalnya dalam studinya mengkaji surat-surat
yang ditulis fans kepada para idolanya. Melalui surat-surat tersebut fans
mengungkapkan perasaannya, keinginan-keinginannya, juga harapan-harapannya
kepada sang idola. Henry Jenkins (1992) dalam tulisannya “‟Strangers No More, We
Sing‟: Filking and The Social Construction of The Science Fiction Fan Community”
menyebutkan fans memproduksi empat hal, yaitu: makna dan interpretasi; karya seni
(art-works); komunitas; dan identitas alternatif. Bentuk konkritnya berupa apa yang
disebut Jenkins sebagai fan cultural production, seperti fan writing (shrot stories,
novels, poems, fan fiction, fan magazine), fan art (pictures, painting, sculptures,
fashion, costumes), fan songs, fan music-making, dan fan video-making.
Melalui contoh ragam teks yang diproduksi fans di atas, fans pada dasarnya
tidaklah pasif, namun secara aktif melakukan reproduksi atas idolanya. Jenkins
(1992: 213) menyebutkan “so, fans are consumers who also produce, readers who
27
also write, spectators who also participate”. Pernyataan Jenkins jelas menunjukkan
posisi fans sebagai apa yang saat ini dikenal dengan “procumer”
(producer+consumer). Relasi fans dengan idola kemudian tidak terbangun dalam
pasivitas di pihak fans, tapi fans memiliki dinamika yang aktif bergerak sesuai
dengan mode interpretasi fans terhadap idolanya yang kemudian menciptakan budaya
dalam komunitas fans. Maka dalam penelitian ini, fan fiction merupakan salah satu
bentuk hasil reproduksi fans terhadap idolanya.
1.6.2 Subjek Lacanian
Perbincangan tentang subjek umumnya mengemuka dalam obrolan tentang
diri (self), The „I‟, dan individu, yang kemudian berujung pada persoalan identitas.
Meski dalam perbincangan istilah subjek dan self seringkali dipertukarkan, namun
keduanya pada dasarnya mengindikasikan perbedaan secara epistolomologis.
Mengetahui perbedaan antara self dan subjek berfungsi untuk memahami paradigma
yang digunakan Lacan dalam mengembangkan teorinya. Self merupakan konsep yang
lahir dari rahim Renaissance yang mengagungkan otonomisasi diri/individu. Jargon
terkenal dari filsuf Rene Descartes, “I think, therefore I am” jelas menggambarkan
apa itu self. Lebih sederhananya, Nick Mansfield (2000: 3) merangkum perbedaan
antara self dan subjek sebagai berikut:
“…the word „self‟ does not capture the sense of social and cultural
entanglement that is implicit in the word „subject‟..[..] the subject is
always linked to something outside of it..”
28
“Epistemologically, to be subject means to be „placed (or even thrown)
under‟. One is always subject to or of something. The word subject,
therefore, proposes that the self is not a separate and isolated entity, but
one that operates at the intersection of general truths and shared
principles.”
Cara pandang tersebut yang kemudian penting untuk dipahami dalam melihat
bagaimana teori psikoanalisis Lacan (1901-1981) dikembangkan, meski subjek
sendiri tidak pernah memiliki definisi tunggal. Sederhananya Lacan bukan berada
pada posisi memercayai otonomisasi individu, tapi “Lacan‟s „subject‟ is the subject
of the unconscious” (Evans, 1996: 198). Di sini posisi Lacan mengadopsi pemikiran
Freud yang menyerang subjek Cartesian dengan mengajukan konsep ketidaksadaran
(unconsciousness) alih-alih menyetujui subjek yang rasional dan bersandar pada akal
murni.
Dalam mengembangkan idenya tentang subjek, Lacan dipengaruhi oleh
banyak teorisi awal seperti Sigmund Freud, Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson,
Ludwig Wittgenstein, dan Martin Heidegger. Karenanya Nick Mansfield (2002) dan
Philip Hill (2002) misalnya mengatakan secara terus terang bahwa karya Lacan
terkenal rumit, sukar dimengerti, dan ambigu. Pengaruh Freud atas Lacan misalnya
adalah reformulasi ide Freud tentang splitting of the subject, yaitu keterbelahan
subjek ke dalam counscious and unconsciousness parts (Ragland-Sullivan, 1986: 2).
Ketidaksadaran ini yang menjadi titik tekan dalam pemikiran Lacan, “the true subject
is the subject of the unconscious”. Keseluruhan eksistensi manusia, menurut Lacan,
dipengaruhi dan dikontrol oleh ketidaksadaran. Proses salah mengenali
29
(misrecognition) dalam pembentukan subjek yang menentukan seluruh identifikasi
manusia—akan dijelaskan pada bagian berikutnya—adalah awal dari bagaimana
ketidaksadaran menyetir keseluruhan eksistensi diri manusia nantinya.
Ide Lacan yang paling berpengaruh adalah ungkapannya “the
unconsciousness is structured like a language”. Ide Lacan ini mendapat banyak
pengaruh dari strukturalisme dan linguistik Ferdinand de Saussure. Dari Saussure,
Lacan mengadopsi relasi biner antara penanda-petanda juga metafora-metonimi.
Lacan juga mengembangkan pemikiran secara berbeda dengan Saussure misalnya
dalam konsep bahasa di mana Saussure percaya bahwa „kita dapat berdiri di luar
bahasa‟, sementara bagi Lacan „kita tenggelam dan selalui dikuasai bahasa‟. Ide
tentang ketidaksadaran yang terstruktur seperti bahasa akan banyak mendapat tempat
bahasannya saat membicarakan hasrat yang jejaknya bisa dilacak melalui tataran
simbolik (bahasa).
1.6.3 The Real, Imaginary Order dan Symbolic Order
Pada dasarnya pembahasan subjek Lacanian tidak dapat dipisahkan dengan
bahasan tahapan dalam proses pembentukan subjek, yaitu the imaginary, the
symbolic, dan the real. Untuk masuk dalam pembahasan ini, Lacan mengajukan satu
konsep yang enigmatik yaitu mirror-stage (fase cermin). Fase ini merepresentasi
aspek yang sangat mendasar dari struktur subjektivitas. Fase cermin terjadi pada bayi
berumur antara enam hingga delapan belas bulan. Sebelum melewati fase cermin,
bayi merasa bukan sebagai entitas yang terpisah dari entitas lain di luar dirinya, tidak
30
ada unsur eksternal, juga tidak ada batasan. Di saat yang bersamaan, karena
koordinasi anggota badan yang masih rendah, bayi merasa bahwa dirinya terpisah
(fragmented body). Pada masa pre-Oedipal ini belum ada subjektivitas.
Pada saat fase cermin terjadi, seluruh kondisi tadi berubah. Bayi yang melihat
bayangannya di cermin10
menangkap bahwa image yang dilihatnya di cermin adalah
dirinya yang sesungguhnya (the Ideal-I), refleksi yang menawarkan keutuhan dan
totalitas (unity and totality) yang menggantikan fragmented body yang selama ini
dirasakan bayi. Di titik ini proses identifikasi dimulai dan proses pembentukan subjek
mulai berproses. Pentingnya fase cermin dicatat Lacan sebagai berikut:
“We have to only understand the mirror stage as an identification, in the
full sense that analysis gives to the term: namely, the transformation that
takes place in the subject when he assumes an image—whose
predestination to this phase-effect is sufficiently indicated by the use, in
analytic theory, of the ancient term imago.” (Lacan, 1977: 2)
“Lacan goes on to emphasize just how radical a transformation of the
infant is involved in this identification with the mirror image: the infant is
basically taking herself to be something other than herself; there is thus a
fundamental alienation of infant from self marked by the mirror stage;
and this alienation lies at the foundation of the very notion of human
identity.” (Scott Lee, 1990: 18)
Identifikasi selalu merupakan awal dari seluruh proses pembentukan subjek,
namun fase cermin sendiri dikatakan Lacan selain sebagai proses identifikasi ia juga
menjadi titik balik bagi bayi. Titik balik ini menurut Lacan adalah terjadinya
misrecognition oleh bayi pada saat proses identifikasi ketika melihat bayangannya di
10
Cermin di sini bukan berarti cermin semata-mata, tapi ia metafora yang bisa merujuk pada cermin atau pada pantulan bayangan dari mata orang lain di sekitar bayi seperti ibu atau lainnya.
31
cermin dan menjadikan bayangan tersebut sebagai the Ideal-I atau ego ideal, sehingga
ego yang dibangun pada dasarnya terbentuk dari sebuah kesalahan identifikasi. Proses
ini di mana semua ditentukan oleh image, sistem ini yang disebut Lacan sebagai the
imaginary order. Image dalam cermin pada dasarnya tidak sesederhana tampaknya.
Seperti dikatakan, saat bayi mengidentifikasi bayangan di cermin sebagai dirinya,
maka terjadi misrecognition, sebab bayangan tersebut meski merefleksikan diri bayi,
tapi dia adalah hal di luar bayi (other). Sederhananya sepertikan dikatakan Mansfield
(2000: 43) “the subject does not define itself. Instead, it is defined by something other
than itself”, yang dalam bahasa Lacan diistilahkan “the subject is the discourse of the
other”.
Ketika bayi mulai melakukan identifikasi dan mampu melakukan pembedaan
dengan liyannya (other) dan bayi mulai mengenal bahasa, maka tataran simbolik (the
symbolic order) dimulai. Dalam syombolic order selain masuk pada tataran bahasa,
subjek juga mulai bersitatap dengan hukum dan budaya (culture) yang disebut Lacan
sebagai “the big Other”. Alan Sheridan (1977: ix) dalam pengantarnya untuk Écrits
menuliskan: “Henceforth it is the symbolic, not the imaginary, that is seen to be the
determining order of the subject, and its effects are radical: the subject, in Lacan‟s
sense, is himself an effect of the symbolic”. Tampaknya subjek memang menempati
tataran simbolik ini mengingat rentang waktu akuisisi bahasa telah lama dimulai
sejak bayi.
Tahap perpindahan bayi dari imaginary order ke symbolic order tidak bisa
dipisahkan dengan apa yang oleh Lacan dikonsepsikan sebagai “the-Name-of-the-
32
father”. Ia adalah metafora untuk menyebut apa-apa yang memisahkan bayi dari
ibunya. Ayah yang kemudian menegakkan hukum (the law) pada si bayi bahwa ia
tidak boleh menghasrati ibunya (larangan inses), dan dari sini bayi kemudian masuk
dalam tataran simbolik melalui hukum dan wacana-wacana. Name-of-the-father
disebut Lacan sebagai signifier yang secara metaforik bekerja untuk menentukan “apa
yang seharusnya” bagi bayi dalam metafora paternal dalam masa Oedipal (Glowinski,
dkk., 2001: 120).
Tataran berikutnya adalah the real order yang dirumuskan paling akhir oleh
Lacan. Real di sini berbeda dengan konsep realitas yang umum dipahami. The real
yang dimaksud Lacan dapat dikatakan sebagai tataran sebelum imaginary dan
symbolic, yang disebut oleh Sheridan dengan istilah “keadaan mentah” dari
imaginary order dan symbolic order. The real adalah fase pra-bahasa, keadaan yang
utuh, tidak ada keterpisahan, dan kekurangan; kondisi yang dirindukan subjek dan
menjadi tujuan utama dari pemenuhan hasrat. Posisinya yang berada dalam tataran
tanpa bahasa, membuat the real ini menjadi hal yang tidak mungkin. Scott Lee (1990)
dan Sheridan (1977) menyebutnya sebagai “the impossible real” namun sekaligus
yang menjadi sumber dari pemenuhan hasrat, yaitu kembali pada keadaan yang utuh
(unity, totality).
1.6.4 Hasrat dan Fantasi
Hasrat ada sebagai produk dari lack yang secara pasti dimiliki subjek. Proses
identifikasi subjek yang „gagal‟ pada saat mirror stage karena terjadinya
33
misrecognition menyebabkan timbulnya lack pada subjek. Lack ini yang kemudian
memunculkan hasrat (desire) untuk menutupi kekurangan tersebut.
“At the heart of its very being is a sense of lack. It endlessly seeks to
compensate for this lack, to fill the hole at ists core. This longing for
self-completion is Lacan‟s definition of desire. [..] Each separate thing
we pursue is called a demand.” (Mansfield, 2000: 45-46)
Dylan Evans (1996: 98) menyebutkan bahwa konsep lack pada dasarnya lekat pada
„lack of being‟ (kekurangan menjadi) yang pada akhirnya mengarah pada hasrat
menjadi (desire to be). Lacan membedakan lack of being yang mengarah pada hasrat
dengan lack of having yang nantinya mengacu pada demand (permintaan).
Gambaran diri yang ditemukan subjek pada tahap mirror stage yang komplit
dan utuh menjadi “imaginary ideal self” bagi subjek, sementara subjek merasa
dirinya tidaklah seperti itu, tapi terfragmentasi (fragmented body-image). Dari situ
terjadi mis-recognition yang kemudian memunculkan lack dan melahirkan hasrat
untuk menjadi ideal self yang tampak pada cermin. Karena keterkaitan hasrat dengan
image dalam cermin yang berada “di luar” subjek, maka dikatakan bahwa hasrat
selalu terkait dengan “yang lain” (liyan/other), seperti yang Mark Bracher (1993: 19)
tuliskan: “The key to understanding desire….can be found in Lacan‟s dictum that
desire is the desire of the Other”.
Catatan penting dari konsep hasrat (desire) Lacan, dan ini menunjukkan
besarnya pengaruh Saussure dalam pemikiran Lacan, adalah bahwa hasrat berada
pada ranah publik. Hasrat tidak pernah milik sendiri, karena hasrat selalu
berhubungan dengan the other dan ia membutuhkan bahasa, sementara bahasa adalah
34
milik bersama, karenanya hasrat dikatakan berada dalam tataran simbolik. The other
yang diistilahkan Lacan merujuk pada the little other („the other‟) dan the big Other
(„the Other‟). The little other merupakan si liyan yang tidak benar-benar orang lain,
melainkan refleksi ego yang tampak di cermin (imaginary ideal self). Ini yang
kemudian diistilahkan Lacan dengan „objet petit a‟ (object of desire). Sementara the
big Other adalah keliyanan (otherness) yang benar-benar berada di luar subjek. Lacan
menyamakannya dengan bahasa, hukum dan wacana, yang disebut olehnya “beyond
one‟s conscious control: they come from another place, outside consciousness, and
hence „the unconscious is the discourse of the Other‟” (Evans, 1996: 136).
Hasrat tidak akan pernah terpuaskan, begitu disampaikan Bruce Fink (2004:
23) “..desire is structurally unsatisfiable. Whereas need can be satisfied, desire
cannot: there is always something left to be desired”. Hasrat utama subjek adalah
kembali pada keutuhan yang hanya dapat dicapai pada tataran the real, sementara the
real is impossible. Maka dari itu, sampai kapan pun hasrat akan terus ada dan
direproduksi. Termasuk ketika membicarakan hasrat homoseksual, pada dasarnya
hasrat tersebut adalah usaha untuk menutupi lack dan mencapai keutuhan (kembali
pada the real).
Dan apa yang membuat hasrat terus ada? Fantasi adalah jawabannya. Fantasi
merupakan penopang atas hasrat, menjaga hasrat tetap ada dan terus berjalan. Lacan
dalam bahasannya mengenai fantasi memberikan penekanan pada fungsi proteksi dari
fantasi. “…fantasy scene is a defence which veils castration” (dalam Evans, 1996:
61). Adanya fantasi menjadi satu bentuk pertahanan untuk menutupi kastrasi atau
35
kekurangan (lack) pada subjek terhadap the big Other. Kekurangan pada subjek yang
tak akan pernah tertutupi karena the real yang tak mungkin, kemudian terselubung
dengan adanya fantasi yang sekaligus menunjukkan mode of jouissance (moda
penikmatan) si subjek.
“Desire requires the support of the fantasy” (Lacan, 1977: 313, dalam
Glowinski, dkk., 2001: 58). Fantasi disimbolkan oleh Lacan dengan ($◊a) dapat
dibaca secara sederhana sebagai “subjek terbelah (barred subject) melihat melalui
cermin pada liyan (other)”. Dari simbol tersebut tersirat bahwa fantasi merupakan
hasil dari relasi subjek dengan liyan. Fantasi merupakan respon subjek atas
pertanyaan “Che vuoi?” (apa yang orang lain (the Other) inginkan dariku?). Karena
itulah Lacan menyebut fantasi ($◊a) tak lain adalah the object of desire.
“…the question of the Other, which comes back to the subject from the
place from which te expects an oracular rely in some such form as „Che
vuoi?‟, „What do you want?‟, is the one that best leads him to the path of
his own desire — providing he sets out, with the help of the skills of the
partner known as a psychoanalyst, to reformulate it, even without knowing
it, as „What does he want of me?‟”. (Lacan, 1977: 312)
Dari penjelasan Lacan tersebut, fantasi kemudian mencoba menjawab
pertanyaan „Che vuoi?‟ dengan berusaha memenuhi ekspektasi liyan terhadap subjek
(apa yang mereka mau dari saya). Pemenuhan atas ekspektasi liyan (ekspektasi
masyarakat) yang tergambar dalam fantasi subjek ini yang kemudian menjaga hasrat
tetap ada dan beroperasi. Dari situ juga terlihat relasi hasrat dan fantasi dengan liyan
(other) yang karenanya disebutkan bahwa “our desire is never properly our own, but
is created through fantasies that are caught up in cultural ideologies rather than
36
material sexuality”.11
Dari sini dapat dipahami bahwa fantasi kemudian merupakan
satu pengejawantahan dari wacana-wacana kultural terkait relasinya dengan liyan
tadi.
Dalam bahasannya tentang fantasi, Lacan mengambil analogi dengan image
yang diam dalam satu potongan sinema. Hal ini untuk menunjukkan kerja fantasi
yang berupa gambaran-gambaran atau bayangan-bayangan. Namun Lacan kemudian
juga menegaskan bahwa dengan begitu fantasi tidak berarti berada pada level
imaginary. “…any temptation to reduce it [fantasy] to the imagination, …is a
permanent misconception. [...] However, once it is defined as an image set to work in
the signifying structure, the notion of the unconscious phantasy no longer presents
any difficulty” (Lacan, 1977: 272).
1.6.5 Homoseksualitas
Homoseksualitas adalah kata yang merujuk pada orientasi seksual seseorang
yang memiliki ketertarikan secara seksual pada sesama jenis. Kata ini dioposisikan
secara biner dengan heteroseksualitas yang mewakili orientasi seksual pada lawan
jenis. Gambaran ini tentu sederhana untuk dimengerti dan bisa dengan mudah
diterapkan untuk melakukan kategorisasi pada orang-orang sekeliling apakah ia
termasuk homoseksual atau heteroseksual. Namun sayangnya „homoseksualitas‟ tidak
sesederhana penjelasan definisi di atas. Pada „homoseksualitas‟ melekat tabu, represi,
11
Dalam “Introduction to Jacques Lacan, Module on Desire” di http://www.cla.purdue.edu/english/theory/psychoanalysis/lacandesire.html
37
diskriminasi, penyimpangan, abnormalitas, dosa, negatif, pelanggaran, dan sederet
kata lain yang senada. Ia pun kemudian dihindari dan sebisa mungkin tidak disentuh
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak saja dihindari, tapi juga dihujat, terutama
dalam masyarakat di mana heteronormativitas berlaku secara dominan hegemonik.
Homoseksualitas menjadi problematis karena relasi yang ajeg diterima dalam
masyarakat adalah relasi heteroseksual, yakni relasi beda jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan). Keberterimaan terhadap heteroseksualitas tidak saja telah berlangsung
lama, tapi juga didukung oleh institusi agama, Negara, adat, dan budaya, yang
mengakibatkan dikesampingkannya—bahkan seolah dikuburkannya—
homoseksualitas. Sebuah keberterimaan yang menurut Dédé Oetomo (2003) di
Indonesia baru muncul setelah modernitas hadir seiring kolonialisme yang masuk dan
menguasai wilayah Nusantara.
Barat melalui dominasi institusi gereja mengharamkan perbuatan homoseks
dengan landasan agama yang memahami seks hanya untuk prokreasi yang hanya bisa
dicapai melalui senggama antar penis dan vagina (heteroseks). Memasuki abad 19,
ilmu pengetahuan yang berganti menancapkan pengaruhnya pada peradaban Barat
dan manusia secara umum. Dengan perkembangan ilmu kedokteran, psikiatri dan
psikologi, homoseksualitas yang sebelumnya dilabeli sebagai dosa dan hal yang
terkutuk kemudian dianggap sebagai kelainan, penyimpangan seksual, penyakit
gangguan jiwa, abnormalitas. Hingga homoseksualitas dipandang sebagai sesuatu
yang harus “disembuhkan”, “ditanggulangi”, dan “dikembalikan pada kondisi
normal”.
38
Pergeseran wacana homoseksualitas dari dominasi gereja (agama) hingga
ilmu pengetahuan (modernitas)—yang pada dasarnya tetap menempatkan
homoseksualitas dalam kerangka negatif—yang terjadi di Barat tersebut yang
kemudian masuk dan berkembang kuat di Indonesia dan menghilangkan fenomen
pelembagaan homoseksualitas yang kaya dimiliki budaya-budaya Nusantara.12
Tak
pelak di Indonesia kini sikap terhadap homoseksualitas cenderung negatif, baik yang
direpresentasi oleh institusi agama maupun budaya masyarakat Indonesia modern.
Keberterimaan terhadap homoseksualitas pun sangat rendah dan secara sistematik
menempatkan kelompok homoseksual ke dalam lingkarang marginalisasi.
Konseskuensinya kemudian homoseksualitas menjadi hal yang sembunyi-
sembunyi, ditutup-tutupi, bergerak bawah tanah, dan hadir dengan representasi yang
tak utuh juga penuh stereotipe. Segala hal yang berbau homoseksual, kemudian
menjadi cibiran, ejekan dan target hinaan. Tak jarang menjadi bahan gurauan di
media-media mainstream seperti televisi, tapi pada kenyataannya toh penerimaan
terhadap homoseksualitas hanya sebatas itu saja. Tidak ada keterbukaan dan
keberterimaan secara publik oleh dan terhadap kaum homoseksual. Akhirnya
homoseksualitas tetap terjerat di desas-desus, gosip-gosip, rahasia antar teman, dan
praktiknya terus bergerak secara underground.
12
Pergeseran wacana homoseksualitas dari masyarakat tradisional Nusantara yang cenderung menerima dan tidak mempermasalahkannya karena praktik-praktik homoseksual saat itu terlembagakan dalam beragam bentuk ke masyarakat Indonesia modern yang cenderung menolak dan bahkan mengalami homophobia akibat pengaruh dari Barat dijelaskan secara lebih terperinci dan detail oleh Dédé Oetomo (2003) dalam Memberi Suara yang Bisu, bab “Homoseksualitas di Barat dan di Indonesia” (hal. 5-21) dan “Homoseksualitas di Indonesia” (hal.23-47).
39
Dalam studi homoseksualitas (dan seksualitas secara umum) terdapat dua
pandangan utama yang menentukan arus pikir para pengkaji dan aktivis gerakan
homoseksualitas. Dua pandangan tersebut adalah pandangan esensialisme
(essentialism) dan sosial konstruksionisme (social constructionism). Pandangan
esensialisme memahami homoseksualitas sebagai bagian hakiki (esensial) dari
struktur kepribadian manusia yang merupakan bawaan dari lahir (innate) (Oetomo,
2003: 28). Pandangan ini lahir dari tradisi medis-biologis seperti psikologi/psikiatri,
misalnya Fruedian. Sementara pandangan kedua, sosial konstruksionisme hadir
sebagai oposisi dari pandangan pertama. Tim Edwards (1994: 7) dalam menjelaskan
sosial konstruksionisme dalam studi seksualitas menyatakan:
The theory at its simplest states that sexuality, far from being
„inevitable‟, „biological‟, or „natural‟, is in fact a deeply socially
conditioned and dynamic phenomenon that is indeed „socially
constructed‟ as it does not in itself constitute any kind of separate
entity. The theory developed primarily out of political opposition to
Freudian and Darwinian „hydraulic‟ or „essentialist‟ models of
sexuality as an innate and overwhelming drive necessarily controlled
or repressed in society.
Intinya pandangan kedua ini melihat homoseksualitas sebagai produk dari konstruksi
sosial, dibentuk oleh masyarakat. Pandangan kedua ini banyak dipengaruhi oleh ide
Michel Foucault. Meski terdapat perbedaan secara teoritik, baik essensialisme
maupun sosial konstruksionisme pada dasarnya mencoba untuk meletakkan
homoseksualitas pada posisi yang “tepat” dengan caranya masing-masing.
Ketidakberterimaan terhadap homoseksualitas jika ditinjau dari perspektif
Lacanian merupakan hasil dari relasi subjek terhadap liyan (the big Other). Dalam
40
masyarakat Indonesia, heteronormativitas menjadi hukum (law) yang diterapkan oleh
berbagai pihak. Di sini metaphor the-Name-of-the-father bekerja. Ayah—yang bisa
berupa sekolah, lingkungan, media—menyajikan heteronormativitas sebagai satu-
satunya hukum yang mengatur relasi antar manusia. Maka homoseksualitas
merupakan bentuk ketakpatuhan subjek atas hukum ayah. Hasratnya kemudian hasrat
yang ditentang dan ditolak oleh ayah.
Ketidakpuasan subjek terhadap jawaban Other atas pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan subjek (ingat bahasan „Che vuoi?‟) membuat subjek ingin keluar dari
wacana yang ditawarkan Other dan mencari jalan keluar dari situ. Maka hasrat subjek
turut berganti. Dalam konteks homoseksualitas di Indonesia, subjek mempertanyakan
heteroseksualitas yang selama ini mendominasi wacana dalam masyarakat. Apakah
ini bentuk relasi satu-satunya? Apakah ini yang diinginkan masyarakat dariku?
Jawaban atas pertanyaan tersebut yang tidak mampu memuaskan subjek kemudian
membuat subjek mencari jawaban sendiri dengan mengingkari master signifier the-
Name-of-the-father yang menerapkan hukum heteronormativitas dan mengalihkannya
pada homoseksualitas.
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
psikoanalisis Lacanian. Psikoanalisis sendiri merupakan teori yang dikembangkan
oleh Sigmund Freud melalui penemuannya atas „ketidaksadaran (the unconscious)‟.
41
Lacan dengan banyak terpengaruh oleh Freud mengembangkan sendiri teori
psikoanalisis dengan menjelaskan posisi subjek melalui tiga tahapan yang disebut
Lacan pasti dilalui subjek, real order, imaginary order, dan symbolic order; juga
mengetengahkan signifikansi bahasa dalam psikoanalisis melalui ungkapannya yang
terkenal “the unconscious is structured like a language”.
Pada Freud, psikoanalisis selain dikembangkan sebagai teori, juga sebagai
metode untuk menginvestigasi proses mental tak sadar dan metode untuk terapi
neurotic disorders. Tradisi ini juga dilanjutkan oleh Lacan dengan memperlakukan
psikoanalisis sebagai teori dan sekaligus metode. Agak berbeda dari Freud, Lacan
memasukkan teks ke dalam bahan analisanya. Lacan misalnya membedah hasrat
dalam teks Hamlet karya William Shakespeare, alih-alih pada penulisnya dalam
“Desire and the Interpretation Desire in Hamlet” (1977). Bruce Fink (2004: 42-43)
berdasarkan pembacaannya yang cermat atas Écrits karya Lacan menyebutkan:
“Psychoanalysis, according to Lacan, is a method of reading texts, whether those
texts be oral—the analysand‟s discourse—or written. […] Lacan even says that
“[c]ommenting on a text is like doing an analysis” (Seminar I, 87/73)”.
Pijakan analisis Lacanian atas teks inilah yang membedakan Lacan dengan
pendahulunya, Freud. E. Ann Kaplan (1990) mencoba merinci perbedaan antara
Lacan dan Freud dalam dua hal mendasar:
“Lacan‟s psychoanalytic apparatus is different from Freud‟s in
important way that make his work on a text less of a violation in New
Critical terms. First, Lacan does not move back from the text to the
author; where the Freudian method is ultimately biographical, Lacan‟s
42
textual. In this sense, Lacan may be aligned with structuralist literary
and anthropological scholars. Second, the centrality of language, and
particularly the devices of metaphor and metonomy, in Lacan‟s system
bring him closer to the specifically “literary” qualities of the texts he
handles. Thus in Lacan literature is not subjugated to psychoanalysis
as an institution, as it arguably is in the neo-Freudian readings”.
Jelas kemudian, dalam kepentingan penelitian ini, psikoanalisis Lacanian yang
kemudian dapat menjawab kebutuhan untuk mendapatkan data dan analisisnya.
Pijakan Lacan atas analisa teks ini menjadikan mungkin untuk mengeksplorasi dan
membedah hasrat yang terkandung dalam slash fiction Super Junior. Bahasa tentu
kemudian akan menjadi pokok yang menghantarkan pada pengumpulan data dan
bahan analisis nantinya.
1.7.2 Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini adalah penelitian atas teks, maka data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini seluruhnya bersumber dari teks yang akan digunakan
sebagai objek penelitian. Teks yang akan diteliti seluruhnya diperoleh dari laman
www.asianfanfics.com. Berikut keempat teks yang menjadi objek dalam penelitian
ini dan laman sumbernya:
1. “Between Kisses” oleh eunhyukjae, di
http://www.asianfanfics.com/story/view/357211/1/between-kisses-donghae-
eunhyuk-kyuhyuk-kyuhyun-superjunior
2. “Your Eyes Tell Me Everything” oleh iamvaganza, di
https://www.asianfanfics.com/story/view/208796/your-eyes-tell-me-
everything-oneshot-angst-donghae-drama-sihae-siwon-superjunior
43
3. “Sweet Pumpkin” oleh _Minki_, di
http://www.asianfanfics.com/story/view/422807/sweet-pumpkin-indonesian-
kyumin-superjunior
4. “Chicken Curry” by kyu0306, di
http://www.asianfanfics.com/story/view/505187/chicken-curry-kyuhyun-
siwon-wonkyu
Data yang akan menjadi bahan analisa adalah tuturan (speech) dalam keempat teks
fanfic tersebut. Dari tuturan tersebut nantinya akan dianalisis bagaimana hasrat
homoseksual yang dihadirkan dalam teks slash fiction tersebut.
1.7.3 Analisis Data
Teks slash fiction akan dianalisis dengan menggunakan teori psikoanalisis
Lacanian sebagai pisau analisis. Dalam menganalisa hasrat dalam teks slash fiction,
konsep Lacan tentang hasrat akan menjadi pijakan utama. Mengacu pada pernyataan
Lacan bahwa “desire is the metonymy of the want-to-be” (Lacan, 1977: 259), maka
analisa hasrat dalam penelitian ini merujuk pada „hasrat menjadi‟ („to be‟, „want-to-
be‟, „want of being‟). Homoseksualitas dilihat sebagai dinamika lack of being/desire
to be.
Rumusan Lacan (1977: 264) tentang hasrat yang hampir selalu disebutkannya
“man‟s desire is the desire of the Other” menjadi kacamata dalam menganalisa
hasrat subjek dalam teks fanfic. Hasrat dilihat sebagai produk sosial dan bukan urusan
privat seseorang, melainkan selalu terbentuk melalui relasi dialektis dengan hasrat
yang dimiliki liyan. Begitu juga dengan fantasi ($◊a) sebagai penopang hasrat yang
44
merepresentasi jawaban subjek atas apa yang diekspektasikan oleh Other. Konsep
pertanyaan „Che vuoi?‟ membantu untuk melihat jejak fantasi pada subjek dalam teks
slash fiction.
Subjek dalam teks mengacu pada karakter-karakter dalam cerita yang saling
berelasi berdasar alur cerita yang terbentuk. Relasi subjek (karakter)—dalam empat
slash fiction terpilih—dengan liyan akan menjadi jejak untuk menganalisa hasrat dan
fantasi subjek. Konteks cerita akan menentukan master signifier (the-Name-of-the-
Father) yang dihadirkan dalam teks yang berfungsi untuk melihat hukum (law) atau
wacana apa yang disisipkan dalam teks.