b1_kelompok 1_pengujian Aktivitas Lokomotor
-
Upload
ayu-apriliani -
Category
Documents
-
view
126 -
download
9
description
Transcript of b1_kelompok 1_pengujian Aktivitas Lokomotor
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI SISTEM SARAF
SEMESTER GENAP 2015 – 2016
PENGUJIAN AKTIVITAS LOKOMOTOR
Hari / Jam Praktikum : KAMIS, 13.00-16.00
Tanggal Praktikum : 19 Mei 2016
Kelompok : 1 (satu)
Asisten : 1. MOCHAMMAD INDRA P.
2. RAISSA DWI
Anggota Kelompok
Ayu Apriliani 260110140078 Pembahasan
Putri Raraswati 260110140079 Tujuan, prinsip,alat Bahan, Prosedur dan Editor
Ummi Habibah 260110140080 Teori Dasar
Ayyu Widyazmara 260110140081 Teori Dasar
Anggia Diani A 260110140082 Pembahasan
Siti Nurohmah 260110140083 Data Pengamatan
Ai Siti Rika F 260110140084 Pembahasan
Doni Dermawan 260110140107 Pembahasan
LABORATORIUM FARMAKOTERAPI SISTEM SARAF
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016
I. Tujuan
Mengetahui efek obat terhadap aktivitas lokmotor hewan percobaan
yang dimasukkan ke dalam “roda putar” (wheel cage), berdasarkan
pengamatan jumlah putaran roda.
II. Prinsip
1. Hipnotik-Sedatif/Depresan
Bentuk yang paling ringan dari penekanan SSP adalah sedasi, dimana
penekan SSP tertentu dalam dosis yang lebih rendah dapat menghilangkan
respons fisik dan mental tetapi tidak mempengaruhi kesadaran. Sedatif
terutama dipakai pada siang hari, dengan meningkatkan dosis dapat
ditimbulkan efek hipnotik. Jika diberikan dalam dosis yang sangat tinggi,
obat – obat sedatif-hipnotik mungkin dapat mencapai anestesi (Kee &
Hayes, 1996).
2. Stimulan
Stimulasi pada daerah korteks otak depan oleh senyawa stimulan SSP
(Sistem Saraf Pusat) akan meningkatkan kewaspadaan, pengurangan
kelelahan pikiran dan semangat bertambah. Sistem saraf pusat terdiri atas
otak dan medulla spinalis yang berfungsi mengatur fungsi tubuh.
Informasi yang disampaikan oleh rangsangan dari sistem saraf tepi
diterjemahkan oleh sistem saraf pusat (Kee & Hayes, 1996).
III. Teori Dasar
Sistem saraf pusat (SSP) adalah bagian dari sistem saraf yang
mengkoordinasi kegiatan dari semua bagian tubuh hewan bilaterian yaitu
semua hewan multiseluler kecuali simetris radial spons dan binatang
seperti ubur-ubur. Pada vertebrata, sistem saraf pusat yang ditutupi dalam
meninges ini berisi sebagian besar sistem saraf dan terdiri dari otak dan
sumsum tulang belakang. Bersama-sama dengan sistem saraf perifer
memiliki peran fundamental dalam kontrol perilaku. Yang termasuk SSP
adalah otak dan sumsum tulang belakang. Otak dilindungi oleh tengkorak,
sedangkan sumsum tulang belakang dilindungi oleh tulang belakang(Neal,
2005).
Dalam sel saraf, energi dialihkan dengan penghantaran saraf yang
melibatkan proses elektrik murni. Proses hantaran sinaptik melibatkan
pengalihan energi dari ujung cabang akson pada neuron yang satu ke
neuron yang lain yang tidak saling berhubungan. Penghantaran impuls
saraf melalui sambungan sinaptik adalah suatu proses kimia. Perubahan
aktivitas listrik disebabkan oleh perubahan permeabilitas membran sel
pascasinaptik, dan ini disebabkan pula oleh pelepasan transmiter. Bila zat
transmiter bereaksi dengan reseptor pascasinaptik, zat itu dapat
menimbulkan eksitasi atau hambatan. Kerja transmiter itu meningkatkan
atau menurunkan secara selektif penghantaran ion atau permeabilitas
membran terhadap ion (Sukandar, 2010).
Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat (SSP) memperlihatkan
efek yang sangat luas. Obat tersebut mungkin merangsang atau
menghambat aktivitas SSP secara spesifik atau secara umum(Tjay, 2002).
Pembagian obat dalam kelompok yang merangsang dan kelompok yang
menghambat SSP tidak tepat, karena psokofarmaka misalnya menghambat
fungsi bagian SSP tertentu dan merangsang bagian SSP yang lain. Obat
yang mempengaruhi susunan saraf pusat (SSP) dapat bersifat merangsang
atau mendepresi (Tjay, 2002).
Berdasarkan kegunaan terapeutiknya, obat SSP dapat dibagi dalam
tiga golongan :
1. Depresi SSP umum
Obat-obat ini menimbulkan efeknya dengan mendepresi secara tak
selektif struktur sinaptik, termasuk jaringan prasinaptik, termasuk
jaringan prasinaptik dan prasinaptik. Obat-obat ini menstabilkan
membran neuron dengan mendepresi struktur pascasinaptik, disertai
dengan pengurangan jumlah transmiter kimia yang dilepaskan oleh
neuron prasinaptik.
2. Perangsang DDP umum
Obat-obat ini melakukan kerjanya secara tak selektif dengan salah
satu mekanisme berikut : merintangi hambatan pascasinaptik atau
mengeksitasi neuron secara langsung. Eksitasi neuron secara langsung
dapat dicapai dengan mendepolarisasi sel prasinaptik, meningkatkan
pelepasan prasinaptik akan transmiter, melemahkan kerja transmiter,
melabilkan membran neuron atau menurunkan waktu pulih sinaptik.
3. Obat-obat SSP selektif
Obat golongan ini dapat berupa depresan atau perangsang. Kerja
melalui berbagai mekanisme, dan mencakup obat antikejang, pelemas
otot yang bekerja sentral, analgetika dan sedativa(Tjay, 2002).
Secara kualitatif benzodiazepin mempunyai efek yang hampir
sama, namun secara kuantitatif spektrum farmakodinamik serta data
farmakokinetik yang berbeda. Hal ini yang menyebabkan aplikasi terapi
golongan ini sangat luas. Benzodiazepin berefek hipnosis, sedasi,
relaksasi otot, ansiolitik dan antikonvulsi dengan potensi yang berbeda-
beda(Andrianto, 2008).
Efek benzodiazepin hampir semua merupakan hasil kerja golongan
ini pada SSP dengan efek utama: sedasi, hiposis, pengurangan terhadap
rangsangan emosi/ansietas, relaksasi otot dan antikonvulsi. Walaupun
benzodiazepin mempengaruhi aktivitas saraf pada semua tingkatan,
namun beberapa derivat yang lain pengaruhnya lebih besar dari
derivatnya yang lain, sedangkan sebagian lagi memiliki efek yang tak
langsung. Penggolongan benzodiazepin :
1. Obat-obat long-acting antara lain klordiazepoksida, diazepam,
nitrazepam, dan flurazepam.
2. Obat-obat short-acting : oksazepam, lorazepam, lormetazepam,
temazepam, loprazolam dan zopiclon.
3. Obat-obat ultra-short acting : triazolam, midazolam, dan estazolam.
Risiko akan efek abstinensi dan rebound-insomnia lebih besar lagi
pada obat-obat ini sehingga setidaknya jangan digunakan labih
lama dari 2 minggu (Muchtaridi,2008).
Barbiturat sejak lama digunakan sebagai hipnotika dan
sedativa, tetapi penggunaannya dalam tehun-tahun terakhit sangat
menurun karena adanya obat-obat dari kelompok benzodiazepin
yang lebih aman. Yang merupakan pengecualian adalah
fenobarbital, yang memiliki sifat antikonvulsif dan tiopental yang
masih banyak digunakan sebagai anestetikum i.v.(Mutchler, 1991).
Ada indikasi kuat bahwa terjadinya toleransi dan
ketergantunga berkaitan erat dengan aktivasi dari sistem
dopaminergik di otak. Semua zat yang bersifat adiksi berkhasiat
meningkatkan jumlah dopamin secara akut yang dihubungkan
dengan efek eufori, labilitas emosional, kekacauan dan histeri.
Lebih dari sepuluh neurotransmiter lain antaranya noradrenalin dan
serotonin, memegang peranan pula pada adiksi tetapi pengaruhnya
jauh lebih ringan. Kadar dopamin yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan halusinasi dan psikosis akut (Dewoto, 2007).
Kafein berkhasiat menstimulasi SSP, dengan efek
menghilangkan rasa letih, lapar dan mengantuk juga daya
konsentrasi dan kecepatan reaksi dipertingg,prestasi otak dan
suasana jiwa diperbaiki. Kerjanya terhadap kulit otak lebih ringan
dan singkat daripada amfetamin. Kafein juga berefek inotrop
positif terhadap jantung, vasodilatasi perifer dan diuresis (Depkes
RI,1979).
IV. Alat dan Bahan
4.1 Alat
1. Alat roda putar (Wheel cage)
2. Sonde oral mencit
3. Stopwatch
4. Timbangan mencit
4.2 Bahan
1. Hewan Percobaan : Mencit putih jantan dengan berat badan antara
20-25 gram.
2. Obat depresan atau stimulan yang diuji.
3. Larutan NaCl fisiologis atau larutan suspensi gom arab 1-2 %
4.3 Gambar Alat
Alat roda putar Sonde Oral
Stopwatch Neraca
V. Prosedur
Pengujian dilakukan dengan “metode roda putar” (Wheel cage
method) yang dimodifikasi, dengan cara hewan dibagi atas dua kelompok,
yang terdiri atas kelompok kontrol dan Kelompok obat uji ( obat uji 1 dan
obat uji 2). Semua hewan dari setiap kelompok diberi perlakuan sesuai
dengan kelompoknya. Kelompok kontrol diberi larutan NaCl fisiologis atau
larutan suspensi gom arab 1-2 %, sedangkan kelompok uji diberi obat
depresan atau stimulan , pemberian zat/obat dilakukan secara oral.Tiga puluh
menit kemudian mencit dimasukkan ke dalam alat “roda putar”. Aktivitas
mencit dicatat selama 90 menit dengan interval 15 menit. Data yang diperoleh
dianalisis secara statistik berdasarkan analisis variansi dan kebermaknaan
perbedaan lama waktu tidak bergerak antara kelompok kontrol dan kelompok
uji dianalisis dengan Student’s t-test. Data disajikan dalam bentuk tabel atau
grafik.
VI. Data Pengamatan
1. Berat Mencit
Mencit 1 = 17,6 gram
Mencit 2 = 16,5 gram
Mencit 3 = 20 gram
2. Perhitungan Dosis
Mencit PGA =
= 0,435 ml PGA
Mencit Kafein =
= 0,41 ml Kafein
Mencit Diazepam =
= 0,5 ml Diazepam
3. Aktivitas Lokomotor
Perlakuan Kelompok Jumlah Putaran
Total 5' 10' 15' 20' 25' 30'
PGA
1 1 0 0 0 0 0 1
2 36 2 0 0 0 0 38
3 102 63 60 86 81 90 482
4 23 10 37 33 33 32 168
5 82 57 107 83 115 156 600
48.8 26.4 40.8 40.4 45.8 55.6 257.8
Kafein
1 40 56 50 58 45 98 347
2 70 58 72 68 6 1 275
3 48 61 136 107 137 118 607
4 28 31 38 35 40 42 214
5 64 78 104 90 107 84 527
50 56.8 80 71.6 67 68.6 394
Diazepam
1 19 45 47 71 58 53 293
2 10 0 0 0 0 0 10
3 48 37 31 23 36 27 202
4 0 0 0 0 0 0 0
5 87 59 0 0 59 115 320
32.8 28.2 15.6 18.8 30.6 39 165
4. Perhitungan % Stimulan
% Stimulan = ∑ ( ) ∑ ( )
∑ ( ) x 100%
% Stimulan =
x 100%
% Stimulan = 52,83 %
5. Perhitungan % Depresan
% Depresan = ∑ ( ) ∑ ( )
∑ ( ) x 100%
% Depresan =
x 100%
% Depresan = 36 %
6. Analisis Varians
ANOVA
Jumlah Putaran
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups 132672,133 2
66336,06
7 1,610 ,240
Within Groups 494544,800 12
41212,06
7
Total 627216,933 14
7. Grafik Pengamatan
48.8
26.4
40.8 40.4 45.8
55.6
0
10
20
30
40
50
60
5' 10' 15' 20' 25' 30'
∑ P
uta
ran
Ro
da
Waktu
PGA
PGA
50 56.8
80 71.6 67 68.6
0
20
40
60
80
100
5' 10' 15' 20' 25' 30'∑ P
uta
ran
Ro
da
Waktu
KAFEIN
KAFEIN
32.8 28.2
15.6 18.8
30.6
39
0
10
20
30
40
50
5' 10' 15' 20' 25' 30'
∑ P
uta
ran
Ro
da
Waktu
DIAZEPAM
DIAZEPAM
VII. Pembahasan
Percobaan kali ini yaitu pengujian aktivitas lokomotor yang bertujuan
untuk mengetahui efek obat terhadap aktivitas lokomotor hewan percobaan
yang dimasukkan ke dalam roda putar (wheel cage) berdasarkan
pengamatan terhadap jumlah putaran. Prinsipnya yaitu pemberian obat
stimulant dan depresan yang mempengaruhi aktivitas lokomotor hewan
percobaan. Digunakan 3 mencit dalam percobaan kali ini dengan fungsi
yang berbeda-beda. Mencit pertama bertugas sebagai hewan control, yaitu
diberikan larutan PGA, mencit kedua dan ketiga sebagai hewan uji yang
masing-masing diberikan obat diazepam (sedatif) dan kafein (stimulant).
Sebagai hewan percobaan mencit yang digunakan harus memenuhi
beberapa persyaratan yaitu: bersifat homogen baik dari segi galur, berat,
umur dan jenis kelaminnya karena akan mempengaruhi dosisnya. Jenis
kelamin mencit yang digunakan pada percobaan ini adalah mencit jantan
karena mencit betina tidak stabil. Mencit betina mengalami menstruasi dan
pada saat menstruasi maka hormonnya akan meningkat sehingga
mempengaruhi kondisi psikologisnya. Kenaikan hormon ini juga akan
berpengaruh pada efek obat. Dengan alasan inilah mencit betina jarang
digunakan sebagai hewan percobaan.
Gerak lokomotor dapat diartikan sebagai gerak memindahkan tubuh
dari satu tempat ke tempat yang lain. Bentuk gerak lokomotor diantaranya
berjalan, berlari, berjingkat melompat dan meloncat, berderap, merayap
dan memanjat. Lokomotor sendiri berasal dari kata loko “gerak”,
0
20
40
60
80
100
5' 10' 15' 20' 25' 30'
∑ P
uta
ran
Ro
da
Waktu
Kelompok
PGA
KAFEIN
DIAZEPAM
dan motor “penggerak”. Jadi, lokomotor adalah gerak yang dilakukan oleh
penggerak. Untuk menguji aktivitas lokomotorik digunakan 3 hewan
mencit dengan pemberian obat yang berbeda yang bertujuan untuk
mengetahui perbandingan aktivitas lokomotor dari suatu hewan uji yang
diberikan jenis obat yang berbeda dan tanpa pemberian obat (larutan
PGA).
Diazepam termasuk golongan benzodiazepine yaitu jenis obat yang
memiliki efek sedative atau menenangkan. Sedangkan kafein adalah zat
stimulant untuk system saraf pusat sebagai peransang serta dapat
menangkal rasa kantuk dan mengembalikan kewaspadaan. Sehingga
berdasarkan teori, mencit yang diberikan obat diazepam akan memberikan
aktivitas yang lemah yang ditandai dengan sedikitnya jumlah putaran
sedangkan hewan yang diberikan kafein memiliki aktivitas berlebih yang
ditunjukan dengan banyaknya putaran yang dilakukan mencit.
Mencit pertama berfungsi sebagai hewan control dimana mencit
tersebut diberikan PGA dalam percobaan ini. Mencit control ini
beraktivitas alami tanpa pengaruh obat sehingga mencit control ini dapat
dijadikan sebagai pembanding dengan mencit lain yang diberikan obat.
Jumlah putaran mencit hasil pengamatan yaitu dengan jumlah rata-rata
pada menit ke 5= 48,8; menit ke 10=26,4; menit ke 15= 40,8; menit ke 20=
40,4; menit ke 25= 45,8; dan menit terakhir yaitu menit ke 30= 55,6. Dari
grafik yang didapat, terlihat bahwa mencit control ini menunjukan hasil
yang fluktuatif yaitu naik turun dalam jumlah putarannya. Hal ini
dikarenakan mencit control ini tidak dipengaruhi oleh efek obat sehingga
gerakan yang ditunjukkan alami.
Obat stimulan yang digunakan adalah kafein. Kafein merupakan
senyawa hasil metabolisme sekunder alkaloid. Efek fisiologis kafein
sebagai antagonisme reseptor adenosine. Terdapat empat reseptor
adenosine yang dikenal: A1, A2 (A dan B) dan A3. Reseptor A1 dan A2
merupakan subtipe utama yang terlibat dengan efek kafein karena dapat
berikatan dengan kafein pada dosis kecil, A2B pula berikatan pada dosis
yang tinggi dan A3 tidak sensitif terhadap kafein. Selain memberi efek
terhadap tidur dan kewaspadaan melalui aktivasi neuron kolinergik
mesopontin oleh antagonisme receptor A1 , kafein juga berinteraksi
dengan sistem dopamin untuk memberikan efeknya terhadap perilaku. Hal
ini dicapai melalui penghambatan reseptor adenosine A2 sehingga kafein
dapat mempotensiasi neurotansmisi dopamin, dengan demikian dapat
mengaktivasi reseptor D1 dan D2.
Obat stimulan dapat bekerja merangsang susunan sistem saraf pusat
melalui dua mekanisme yaitu merintangi hambatan pascasinaps atau
mengeksitasi neuron secara langsung. Kafein dapat berfungsi sebagai
stimulan karena kerjanya pada sistem saraf pusat yakni meningkatkan
rangsangan sinaps yaitu terutama pada korteks serebri. Selain itu, kafein
juga dapat memberikan rangsangan pada medula oblongata sehingga pusat
vasomotor dan pusat pernapasan pun ikut terangsang. Akan tetapi tekanan
darah tidak naik, hal ini terjadi karena pada saat bersamaan, terjadi juga
dilatasi pembuluh kulit, ginjal dan koroner, akibat kerjanya di sistem saraf
perifer. Rangsangan pada pusat vasomotor oleh kafein disebabkan adanya
kostriksi pembuluh darah otak dan turunnya tekanan liquor. Meningkatnya
perangsangan sinaps oleh kafein mengakibatkan kondisi tubuh menjadi
siaga dan kemampuan psikis pun akan meningkat. Dengan pemberian
secara per oral, kafein akan diabsorpsi dengan cepat dan sempurna
sehingga efek kafein dapat dengan cepat dirasakan.
Hasil presentase efek kafein sebagai stimulan yakni sebesar 52,83 %
yang diperoleh dari perbedaan jumlah putaran roda kelompok hewan
percobaan uji stimulan dengan kelompok kontrol (PGA) yang kemudian
dibandingkan nilainya dengan jumlah putaran roda pada kelompok kontrol
(PGA). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat stimulan dapat
meningkatkan aktivitas lokomotor hewan percobaan dengan menstimulasi
sistem saraf pusat. Grafik meningkat sampai puncaknya pada menit ke-15
kemudian kembali mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa
pada grafik yang mengalami peningkatan, hewan percobaan mulai
mengalami efek stimulan dari kafein dengan adanya peningkatan aktivitas
lokomotor kemudian grafik mengalami penurunan setelah menit ke-15
menunjukkan bahwa hewan percobaan mulai kehilangan efek dari kafein
dan merasa lelah sehingga jumlah putaran roda mengalami penurunan.
Pada mencit uji kelompok III diberi obat berupa depresan yaitu
diazepam. obat antidepresan biasanya bekerja pada sistem yaitu dengan
memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin
dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi
terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan
dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai
agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai
benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya
interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan
meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya
reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida
akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel. Meningkatnya
jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan dan
sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.
Penurunan aktivitas pada mencit ini disebabkan karena
diazepam termasuk golongan benzodiazepin. Untuk mencit yang
diberikan obat uji berupa diazepam seiring dengan berjalannya waktu
pengamatan, seharusnya aktivitas mencit perlahan mengalami penurunan.
Hal tersebut di tunjukkan dengan berkurangnya jumlah putaran roda
putarnya. Penurunan aktivitas pada mencit ini disebabkan karena diazepam
termasuk golongan benzodiazepin dimana termasuk obat yang bersifat
hipnotik sedatif sehingga mengakibatkan mencit perlahan mengalami rasa
sedasi yang cukup kuat dan apabila dosisnya ditingkatkan maka
kemungkinan mencit tersebut akan tertidur atau terjadi pengurangan
aktivitas hingga tidak melakukan aktivitas apapun. Sedangkan untuk
mencit yang diberikan obat kafein ternyata mengalami peningkatan
aktivitas yang cukup signifikan ditandai dengan peningkatan jumlah
putaran rodanya. Kafein meningkatan kerja psikomotor sehingga tubuh
tetap terjaga dan memberikan efek fisiologis berupa peningkatan energi.
Dengan demikian maka mencit akan terus aktif bergerak selama efek obat
tersebut masih ada di dalam tubuh mencit. Pada grafik mencit dengan
pemberian diazepam seharusnya terlihat bahwa grafik semakin menurun.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa efek sedasi dan hipnosis yng diberkan
diazepam pada mencit semakin meningkat sehingga putaran rodanya
semakin sedikit. Namun berdasarkan hasil pengamatan terjadi fluktuasi
naik turun dari grafik pemberian obat diazepam dikarenakan banyak
mencit yang mati saat pengamatan sehingga mempengaruhi data jumlah
gerakan dari mencit setiap lima menitnya selama 30 menit.
Setelah didapat hasil pengamatan percobaan, dilihat pengaruh
pemberian obat diazepam maupun kaffein pada mencit dengan
perhitungan persentasi aktivitas masing-masing obat. Setelah dilakukan
perhitungan % aktivitas stimulan untuk mengukur efek dari kafein yang
diberikan dengan rumus:
∑ ∑ ( )
∑ ( )
Didapatkan hasil % aktivitas stimulan sebesar 52,83 %.
Kemudian dilakukan juga perhitungan % aktivitas depresan untuk
mengukur efek dari diazezpam yang diberikan dengan rumus :
∑ ∑
∑ ( )
Setelah dihitung, didapatkan hasil % aktivitas depresan sebesar 36,00
%. Hal ini menunjukkan baik obat stimulan (kafein) maupun depresan
(diazepam) memiliki efek yang cukup signifikan terhadap kontrol uji.
Kemudian dilakukan pengujian dengan Student’s t-test. Berdasarkan
pengujian data secara statistika dapat dilihat bahwa pemberian
diazepam ataupun kafein memberikan efek terhadap mencit apabila
dibandingkan dengan kontrol sesuai dengan fungsinya.
Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi jumlah putaran selain
pemberian obat uji. Salah satunya yang sangat mempengaruhi
adalah keseragaman berat badan dari mencit uji yang digunakan. Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, adanya metabolisme obat dalam tubuh
dapat menurunkan aktivitas obat. Kemampuan metabolisme obat dalam
tubuh dipengaruhi oleh luas permukaan daerah absorpsi obat, yang
berkaitan dengan berat badan mencit karena semakin berat mencit
maka luas permukaan daerah absorpsi obat akan semakin besar. Adapun
berat badan mencit uji kontrol adalah 17,6 g, berat badan mencit uji kafein
16,5 g dan berat badan mencit uji diazepam adalah 20 g.
Hal tersebut mempengaruhi bagaimana ketersediaan obat dalam
mencit. Semakin lama obat dalam mencit akan bekerja sampai puncaknya
dan kemudian lama-lama efeknya akan menurun karena ketersediaan obat
makin berkurang, sehingga efek obat uji yang diberikan baik berupa
depresan (diazepam) maupun stimulan (kafein) dapat berkurang
aktivitasnya. Maka dari itu mencit yang digunakan diusahakan
memiliki keseragaman bobot antar mencit yang sama atau tidak terlalu
berbeda agar efek dari obat uji yang diamati dapat diteliti lebih akurat.
Selain itu, pemberian jeda waktu yang diperlukan obat untuk mencapai
efek kerja setelah diberikan sebelum mencit dimasukkan dalam wheel cage
dapat mempengaruhi. Hal ini disebabkan obat uji yang diberikan mencit
yang memiliki bobot berat akan lebih mudah termetabolisme daripada
mencit yang memiliki bobot yang lebih ringan, sehingga efek yang
ditimbulkan pun lebih cepat.sehingga dikhawatirkan efek obat yang
ditimbulkan dapat tidak sesuai dengan literatur.
Data pengamatan yang didapat diolah berdasarkan statistika melalui
metode analisis variansi (ANAVA). Disebut analisis variansi, karena pada
prosedur ini kita melihat variasi-variasi yang muncul karena adanya
beberapa perlakuan atau treatment untuk menyimpulkan ada tidaknya
perbedaan rata-rata pada k populasi tersebut. Adapun persyaratan dalam
analisis variansi yaitu pengambilan sampel dilakukan secara random atau
acak dari populasi, masing masing populasi saling independen dan masing
masing data pengamatan saling independen di dalam kelompoknya,
populasi penelitian harus berdistribusi normal dan populasi-populasi
mempunyai variasi yang sama atau homogen. Prinsip Uji Anova adalah
melakukan analisis variabilitas data menjadi dua sumber variasi yaitu
variasi di dalam kelompok (within) dan variasi antar kelompok (between).
Bila variasi within danbetween sama (nilai perbandingan kedua varian
mendekati angka satu), maka berarti tidak ada perbedaan efek dari
intervensi yang dilakukan, dengan kata lain nilai mean yang dibandingkan
tidak ada perbedaan. Sebaliknya bila variasi antar kelompok lebih besar
dari variasi didalam kelompok, artinya intervensi tersebut memberikan
efek yang berbeda, dengan kata lain nilai mean yang dibandingkan
menunjukkan adanya perbedaan.
Adapun dasar pengambilan keputusan dalam analisis variansi, jika
nilai probabilitas signifikansi > 0,05, maka tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada mencit dan jika nilai probabilitas signifikansi < 0,05 maka
terdapat perbedaan yang signifikan pada perlakuan terhadap mencit.
Berdasarkan perhitungan anava, diperoleh nilai probabilitas
signifikansi sebesar 0,240. Oleh karena, nilai probabilitas signifikansi
0,240 > 0,05, maka hipotesis diatas diterima, yang berarti tidak terdapat
perbedaan/aktivitas yang signifikan dari efek pemberian obat-obat
tersebut. Hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang seharusnya
terjadi, dimana pemberian zat stimulan dan depresan pada hewan uji akan
memberikan efek yang signifikan terhadap hewan uji yang digunakan
sebagai kontrol negatif berdasarkan perbedaan jumlah putaran yang
dilakukan oleh hewan uji.
VIII. Kesimpulan
Efek obat terhadap aktivitas lokomotor hewan percobaan
yang dimasukkan ke dalam roda putar (wheel cage) dapat diketahui yang
didasarkan pada persen aktivitas stimulan yaitu sebesar 52,83 % pada
kafein dan persen aktivitas depresan yaitu sebesar 36,00 % pada
diazepam.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto. 2008. Sistem Saraf Pusat. Dapat diakses pada http://medicastore.com
[diakses tanggal 20 April 2013].
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ke 3. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Dewoto, Hedi R. 2007. Analgesik Opiod dan Antagonis-Farmakologi dan Terapi
edisi 5. Fakultas kedokteran-UI. Jakarta.
Kee, J. And Hayes, E. 1996. Farmakologi: Pendekatan dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Muchtaridi. 2008. Lokomotor Mencit. Dapat diakses pada
http://farmasi.ugm.ac.id/[diakses tanggal 20 April 2013].
Mutchler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Penerbit ITB. Bandung.
Neal, M.J. 2005. At A Glance Farmakologi Medis. Penerbit Buku EGC. Jakarta.
Sukandar, Elin Yulinah, dkk. 2010. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI. Jakarta.
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya edisi kelima. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta.