ayat muamalat jual beli
-
Upload
taufik-rahman -
Category
Education
-
view
76 -
download
3
Transcript of ayat muamalat jual beli
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi,
mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil
interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu
mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan
rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu
berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap
sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal
dan komprehensif.
Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa tentang jual beli yang
patut diperhatikan bagi kita yang kesehariannya melakukan kegiatan dengan transaksi jual
beli, bahkan jika diteliti secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan. Disini
saya akan menguraikan satu ayat yang berkaitan dengan jual beli pada khususnya dan riba
pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 275 ?
2. Bagaimana Hukum yang terkandung dalam Surah Al-Baqarah ayat 275?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nash Ayat
Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
يطان من المس ذلك بأ الذين يأكلون الربا ال ي قومون إال كما ي قوم الذي ي تخبطه الش م ي ا الب الوا إ الربا ن له ما سلف وأمره ى ف وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فان ت ي إل الل ومن عاد فأولئك وأح الل الب
ا خالدون أصحاب الن في .ار ه
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275)
B. Sebab turunnya ayat
Kaum Tsaqif, penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan dengan Rasulullah
SAW bahwa semua hutang mereka demikian juga piutang ( tagihan) yang berdasarkan riba
agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah, Rasulullah
SAW menunjuk ‘Itab ibn Usaid sebagai gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif.
Bani Amr ibn Umar adalah orang yang biasa meminjamkan uang secara riba kepada bani
Mughirah sejak zaman jahiliyah dan Bani Mughiroh senantiasa membayarkannya. Setelah
kedatangan Islam, mereka memiliki kekayaan yang banyak. Karenanya, datanglah Bani Amer
untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi Bani Mughirah menolak. Maka
diangkatlah masalah itu kepada Gubernur ‘Itab ibn Usaid dan beliau menulis kepada
Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat ini. Rasulullah Saw lalu menulis surat balasan yang
3
isinya “ Jika mereka ridha atas ketentuan Allah SWT diatas maka itu baik, tetapi jika mereka
menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka1
C. Mufrodat
Beberapa mufrodat yang penting antara lain adalah :2
(يأكلون ) : arti harfiyahnya adalah memakan, disini berarti mengambil atau
memanfaatkan. Karena itulah tujuan utamanya. Maksudnya bahwa kebanyakan
bentuk dalam mengambil manfaat adalah memakannya.
(يقومون ) : maksudnya bangkit dari kubur mereka
(يتخبطهم) : artinya kesurupan atau kemasukan syetan.
(الخبط) : berjalan tidak stabil3
( gila : (المس
D. Macam-macam tafsiran dari beberapa kitab tafsir
1. Tafsir An-Nur
يطان من المس الذين يأكلون الربا ال ي قومون إال كما ي قوم الذي ي تخبطه الش“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang dibanting setan.”
“Mengambil” diserupakan dengan “Makan” untuk menegaskan bahwa apa yang
sudah dimakan tidak bisa dikembalikan, demikian pula halnya riba, apa yang sudah diambil
tidak bisa dikembalikan. Para pemakan riba disamakan dengan orang yang kemasukan setan,
berjalan tidak menentu arahnya. Gerak-gerik mereka seperti orang gila atau kemasukan setan.
Kata “berdiri” dalam ayat ini, yang dimaksud adalah: gerak-gerik, sikap, dan perilaku, yang
diperlihatkan oleh pemakan riba. Tetapi jumhur ulama berpendapat, yang dimaksud dengan
kata “berdiri” dalam ayat ini adalah berdiri dari kubur(makam) pada hari kebangkitan. Allah
menjadikan di antara tanda-tanda pemakan riba pada hari kiamat adalah bangkit dari kubur
dalam kondisi seperti kemasukan setan.
1 Tafsir At-Thabari, jilid 6 hal 33 dan Tafsir Al-Munir oleh Dr. Wahbat Az-Zuhaili, Darul Fikr Al-
Mu’ashir Libanon, juz 3, hal. 84-85 2 Ibid 3 Terjemah tafsir Al -Maraghi juz 3 h.96
4
الربا م ي ا الب الوا إ ذلك بأن
“Yang demikian akabat mereka berkata: sesungguhnya jual-beli itu hampir sama
dengan riba.”
Mereka(para pemakan riba) ketika itu memandang riba adalah halal sebagaimana
layaknya jual beli. Orang boleh menjual sesuatu yang semula harganya seribu rupiah menjadi
dua ribu rupiah, tentu hal yang sama berlaku dalam transaksi peminjaman uang (kredit).
وحرم الربا ي وأح الل الب
“padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Allah telah menghalalkan jual beli, karena dalam jual beli ada pertukaran dan
pergantian, ada barang yang mungkin hargana bertambah pada masa mendatang. Tambahan
harga itu adalah jasa dari kemanfaatan yang diperoleh dari harga barang tersebut.
Allah mengharamkan riba, karena dalam riba tak ada pertukaran dan tambahan
pembayaran, bukan karena kompensasi, tetapi semata-mata karena penundaan waktu
pembayaran. Dalam jual beli ada hal-hal yang menghendaki kehalalannya, sedangkan dalam
riba terdapat mafsadat yang menghendaki keharamannya. Dalam jual beli, kepentingan
pembeli dari barang pembeliannya selalu diperhatikan.
2. Tafsir Ibnu Katsir
وحرم الربا ي الربا وأح الل الب م ي ا الب الوا إ ذلك بأن
“Yang demikian itu karena mereka berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ”
Karena mereka telah menentang hukum Allah, dan berkata: “bahwa jual beli itu sama
dengan riba”, seakan-akan mereka akan mempergunakan qiyas yang terbalik dan keliru,
sebab mereka sekiranya akan mengadakan qiyas tentu berkata:”Riba itu sama saja dengan
jual beli yang halal dengan cara riba”.
Sebab Allah itu maha Mengetahui dan sangat bijaksana, yang mengetahui hakikat dan
akibat dari segala sesuatu yang berguna maka dibolehkannya, dan yang berbahaya maka
diharamkannya, karena Allah itu lebih kasih sayang kepada hamba-Nya melebihi dari kasih
sayang ibu terhadap anaknya yang bayi.
5
3. Tafsir Maraghi
وحرم الر ي الربا وأح الل الب م ي ا الب الوا إ باذلك بأن
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, , Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Jika mereka memakan riba, maka riba akan dianggap sebagai yang dihalalkan, sama
seperti jual beli . Dalam keyakinan si pemakan, hal tersebut sama bolehnya dengan
seseorang menjual barang dagangan yang harganya sepuluh dirham, misalnya dengan
bayaran kontan, atau dua puluh dirham dengan kredit. Karena anggapan membolehkan tadi,
maka dalam keyakinan mereka dibolehkan pula memberikan sepuluh dirham terhadap orang
yang membutuhkannya, dengan syarat ia akan mengembalikannya menjadi dua puluh
dirham setelah setahun. Sebab dibolehkannya ini menurut keyakinannya adalah sama, yakni
perbedaan masa waktu.
Demikianlah alasan mereka, menurut apa yang mereka khayalkan. Padahal, analogi
mereka ini sama sekali tidak benar. Karenanya, Allah berfirman yang menegaskan bahwa
riba itu haram sedang jual beli itu halal.
Dalam hal jual beli, ada hal-hal yang menyebabkan dihalalkannya jual beli, dan dalam
masalah riba, ada factor-faktor yang menyebabkan haramnya riba. Penyebab dihalalkannya
jual beli, karena selamanya pihak pembeli bisa memanfaatkan apa yang dibeli dalam artian
hakiki. Misalkan, kita membeli beras, maka sekali-kali kita tidak membeli kecuali untuk
dimakan atau untuk dijual lagi (sebagai perdagangan). Disamping itu, harga yang ditetapkan
berimbang dengan barang yang dijual secara rela antara penjual dan pembeli, dan dengan
pilihan antar keduanya.
E. Hukum yang terkandung di dalam ayat tersebut
Ayat yang melarang riba ini bila disimak lebih jauh mengandung banyak pengertian
hukum, diantaranya :
Dibolehkannya semua praktek jual beli yang tidak ada larangan syar`i di dalamnya.
Jual beli sendiri memiliki arti memiliki harta dengan harta melalui ijab qabul dengan
keridhaan keduanya.
Diharamkannya riba
6
F. Definisi Jual Beli
Secara etimologi, al-bay’u ,berarti mengambil dan memberikan sesuatu (jual beli)البيع
dan merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan
depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai
tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang
berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik
berupa ucapan maupun perbuatan.4
Kata buyu’ adalah bentuk jama’ dari bai’ artinya jual-beli. Sering dipakai dalam
bentuk jama’ karena jual-beli itu beraneka ragam bentuknya. Bai’ Secara istilah ialah
pemindahan hak milik kepada orang lain dengan imbalan harga. Sedangkan syira’
(pembelian) ialah penerimaan barang yang dijual (dengan menyerahkan harganya kepada si
penjual). Dan seringkali masing–masing dari kedua kata tersebut diartikan jual beli.
Jual beli adalah kegiatan saling menukar, terdiri dari 2 kata, yaitu jual ( al-bai’) dan
beli (al-syirâ`), merupakan 2 kata yang biasanya digunakan dalam pengertian yang sama.
Secara etimologi, al-bai’ (jual beli) merupakan bentuk isim mashdar dari akar kata bahasa
Arab bâ’a , maksudnya: penerimaan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-bai’ dalam
bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata al-syirâ`(beli). Dua
kata ini masing-masing mempunyai makna dua (jual dan beli) yang satu sama lain bertolak
belakang. Secara terminologi, jual-beli adalah pertukaran harta dengan harta yang lain
berdasarkan tujuan tertentu, atau pertukaran sesuatu yang disukai dengan yang sebanding atas
dasar tujuan yang bermanfaat dan tertentu, serta diiringi dengan ijab dan qabul .
Menurut Sayyid Sâbiq, jual-beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau
memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Apabila akad pertukaran
(ikatan dan persetujuan) dalam jual-beli telah berlangsung, dengan terpenuhinya rukun dan
syarat, maka konsekuensinya penjual akan memindahkan barang kepada pembeli. Demikian
pula sebaliknya, pembeli memberikan miliknya kepada penjual, sesuai dengan harga yang
disepakati, sehingga masing-masing dapat memanfaatkan barang miliknya menurut aturan
dalam Islam. Dalam konteks modern, terminologi jual-beli digunakan untuk menunjukkan
4 Taudhihul Ahkam, 4/211
7
proses pemindahan hak milik barang atau aset yang mayoritas mempergunakan uang sebagai
medium pertukaran.
Menurut Ulama Hanafiyah jual beli adalah saling menukar harta dengan harta melalui
cara tetentu atau tukar menukar ssesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara
tertentu yang bermanfaat.
Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar
menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan
kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan
urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian. Berdasarkan
hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal,
kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut.5
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik?
Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala
pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya
tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat,
diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
عري وا عري بالش هب والفضة بالفضة والب ر بالب ر والش هب بالذ لا ب الذ سواءا بسواء لتمر بالتمر والملح بالملح ملفت هذه الصناف فبيعوا كيف شئت ا بيد فإذا اخت ا ب يدا يد إذا كان يدا
Artinya: “Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung
diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun
harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan
transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa
melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia
5 Taisir Karimir Rahman 1/116.
8
semenjak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa
umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat
membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu
dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian,
terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi
tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
G. Syarat-syarat Sah Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan
batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat
adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.
Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab
yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai
upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada
praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang
mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini,
mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan
“ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh
karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ال ب لى ول ي د أح الل الب ي يا رسول الل أوليس ال ار الفج ار ه يكذبون ويلفون إن التج ثون ف يد كن ون ويأث
Artinya: “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat),
para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek
jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para
pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang
dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan
perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah
Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz
9
Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh
mereka berdua”.6
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan
syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan
syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata,
ف سونا إال من ي فقه، وإ ال أك الربا ال يب
Artinya: “Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih
(paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”
Berikut beberapa syarat sah jual beli yang dirangkum dari kitab Taudhihul ahkam
4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui
dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan
yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun
pembeli, yaitu:
Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela,
tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:
بالباط إال نك ب ي ا الذين آمنوا ال تأكلوا أموالك يا أي راض منك أن تكون تارةا عن ت
Artinya; “… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara
kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia
adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang),
sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap,
orang gila atau orang yang dipaksa.7 Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan
6 lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).
7 Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92
10
agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena
seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang
dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk
bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya.
Wallahu a’lam.
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjual belikan, syarat-syaratnya yaitu:
Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang
yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena
barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang
bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ما ليس عندك ال تب
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud
3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan
434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly) Seseorang diperbolehkan
melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik
memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok
ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik.8 Hal ini ditunjukkan oleh
persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala
beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab
28 nomor 3642)
Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang
terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan
semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan
karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat
diserahkan.
Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah
pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah
8 Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24
11
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan
menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan
dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang
ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ا فيه عيب إ عا باع من أخيه ب ي ال ي لمسل أخو المسل ب ي نه له ال المسل
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang
muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim,
melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad
IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
ليس منا ، والمكر والداع ف النار نا ف من غش
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan
kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani
dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh
Salim Al Hilaly)
Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan riba, anggapan
mereka ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang mengambil keuntungan yang
sangat besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka menyamakan antara jual beli dan riba?!.
Alasan ini sangat keliru, Allah ta’ala telah menampik anggapan seperti ini. Allah ta’ala
berfirman:
يطان من المس ذلك بأن الربا الذين يأكلون الربا ال ي قومون إال كما ي قوم الذي ي تخبطه الش م ي ا الب الوا إ وحرم الربا وأح ي الل الب
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)
Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk mengambil
keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu tergantung pada hukum
12
permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan sikap santun dan toleran (disadur dari Fikih
Ekonomi Keuangan Islam, hal. 87 dengan beberapa penyesuaian). Bahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyetujui tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua kali lipat
dari harga pasar tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing buat beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
Namun, yang patut dicermati bahwa sikap yang lebih sesuai dengan petunjuk para
ulama salaf dan ruh syariat adalah memberikan kemudahan, santun dan puas terhadap
keuntungan yang sedikit sehingga hal ini akan membawa keberkahan dalam usaha. Ali
radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan
selamat. Jangan kalian tolak kentungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalangi
mendapatkan keuntungan yang besar.”
Adapun seseorang yang merasa tertipu karena penjual mendapatkan keuntungan
dengan menaikkan harga di luar batas kewajaran, maka syariat kita membolehkan pembeli
untuk menuntut haknya dengan mengambil kembali uang yang telah dibayarkan dan
mengembalikan barang tersebut kepada penjual, inilah yang dinamakan dengan khiyarul
gabn bisa dilihat pada pembahasan berbagai jenis khiyar. Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Demikianlah beberapa penjelasan ringkas mengenai tafsiran surah Al-Baqarah ayat
275 tentang jual beli pada khusunya dan riba pada umumnya . Semoga bermanfaat bagi kita
kaum muslimin muslimat. Amien
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada prinsipnya boleh melakukan kegiatan jual beli apa saja dalam segala bentuk jual
beli selama didasarkan pada sikap sama-sama ridha dari kedua belah pihak dan selama tidak
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Secara terminologi, jual-beli adalah pertukaran harta dengan harta yang lain
berdasarkan tujuan tertentu, atau pertukaran sesuatu yang disukai dengan yang sebanding atas
dasar tujuan yang bermanfaat dan tertentu, serta diiringi dengan ijab dan qabul . Menurut
Sayyid Sâbiq, jual-beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak
milik dengan ganti yang dapat dibenarkan
Rukun dan syarat Jual beli:
a. Adanya orang-orang yang berakad (al-muta’aqidain) , syaratnya: merdeka, baligh,
berakal, saling ridha antara penjual dan pembeli, memiliki kompetensi dalam melakukan
aktifitas jual beli
b. Sighat (ijab dan qabul) , syaratnya, ijab dan qabul harus selaras baik spesifikasi barang
dan harga yang disepakati, tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan
keabsahan transaksi pada kejadian yang akan datang
c. Barang yang dibeli (mabi’) , syaratnya: suci, ada manfaat, barang dapat diserahkan,
barang milik penuh penjual,barang diketahui sipenjual dan pembeli
d. Nilai tukar pengganti (tsaman) . harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas
jumlahnya, dapat diserahkan pada waktu akad atau transaksi, apabila jual beli dilakukan
dengan sisten barter, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang
diharamkan syara’.
14
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sarwat, http://www.ustsarwat.com
As-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Teungku, Tafsir Alqur’anul Majid An-Nur, Semarang:
PT.Pustaka Rizqi Putera, 2000
Bahreisy, Salim dan Bahreisy, Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1982
Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadits Ekonomi Syari’ah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Musthafa Al-Maraghi, Ahmad, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Juz 3