Awan Dan Hujan

19
AWAN DAN HUJAN EDWARD Saleh Lab. Teknik Tanah dan Air Fakultas Pertanian Unsri Email : [email protected] A. Awan Awan adalah kumpulan titik-titik air atau kristal es yang melayang-layang di atmosfer. Awan terjadi sebagai akibat adanya kondensasi. Udara selalu mengandung uap air. Apabila uap air ini meluap menjadi titik-titik air, maka terbentuklah awan. Klasifikasi Awan Menurut persetujuan internasional (dalam usaha penyeragaman), awan dibedakan dalam empat golongan. 1. Golongan awan tinggi. Awan ini tingginya rata-rata yang terendah 6.000 m (± 20.000 ft). Termasuk golongan awan ini adalah : a) Cirrus (Ci), yaitu awan yang halus, struktur berserat, seperti bulu burung, sering tersusun sebagai pita yang melengkung, sehingga seolah-olah bertemu pada satu atau dua titik di horison. Awan ini tersusun oleh kristal- kristal es. b) Cirostratus (Cs). Awan ini bagaikan kelambu, putih, halus, menutup seluruh angkasa, yang oleh sebab itu berwarna pucat atau kadang-kadang nampak sebagai anyaman tidak teratur. Sering menimbulkan adanya “kalangan” (lingkaran) pada matahari atau bulan. c) Cirrocumulus (Cc). Awan ini berbentuk sebagai gerombolan domba, menyebabkan adanya sedikit bayangan atau tidak sama sekali. 1

description

deskripsi jurnal wan dan hujan

Transcript of Awan Dan Hujan

AWAN DAN HUJAN

EDWARD SalehLab. Teknik Tanah dan Air

Fakultas Pertanian UnsriEmail : [email protected]

A. Awan

Awan adalah kumpulan titik-titik air atau kristal es yang melayang-

layang di atmosfer. Awan terjadi sebagai akibat adanya kondensasi. Udara

selalu mengandung uap air. Apabila uap air ini meluap menjadi titik-titik air,

maka terbentuklah awan.

Klasifikasi Awan

Menurut persetujuan internasional (dalam usaha penyeragaman),

awan dibedakan dalam empat golongan.

1. Golongan awan tinggi. Awan ini tingginya rata-rata yang terendah

6.000 m (± 20.000 ft). Termasuk golongan awan ini adalah :

a) Cirrus (Ci), yaitu awan yang halus, struktur berserat, seperti bulu

burung, sering tersusun sebagai pita yang melengkung, sehingga

seolah-olah bertemu pada satu atau dua titik di horison. Awan ini

tersusun oleh kristal-kristal es.

b) Cirostratus (Cs). Awan ini bagaikan kelambu, putih, halus,

menutup seluruh angkasa, yang oleh sebab itu berwarna pucat

atau kadang-kadang nampak sebagai anyaman tidak teratur.

Sering menimbulkan adanya “kalangan” (lingkaran) pada

matahari atau bulan.

c) Cirrocumulus (Cc). Awan ini berbentuk sebagai gerombolan

domba, menyebabkan adanya sedikit bayangan atau tidak sama

sekali.

2. Golongan awan sedang. Tinggi awan ini antara 2.000 – 6.000 m (±

6.000 – 20.000 ft). Termasuk kedalam golongan awan ini adalah :

a) Altrostratus (As). Awan ini berbentuk seperti selendang yang

tebal. Pada bagian yang menghadap bulan atau matahari nampak

lebih terang. Diantaranya terdapat bentuk-bentuk Cirostratus.

b) Altocumulus (Ac). Awan ini bagaikan bola-bola yang tebal putih

atau pucat dengan bagian-bagian kelabu karena kurang

mendapatkan sinar. Bergerombolan atau berlarikan dan sering

1

begitu dekat satu sama lain sehingga kelihatan seperti

bergandengan. Umumnya bola-bola yang di tengah-tengah

gerombolan atau larikan adalah lebih besar.

3. Golongan awan rendah. Tinggi awan ini antara 0 – 2.000 m (± 0 –

6.000 ft). Termasuk kedalam golongan awan ini adalah :

a) Stratocumulus (Sc). Awan ini berbentuk seperti gelombang yang

sering menutup seluruh angkasa, sehingga menimbulkan

persamaan dengan gelombang di lautan. Langit yang berwarna

biru sering masih nampak diatara awan ini.

b) Stratus (St). Awan ini melebar seperti kabut, akan tetapi tidak

sampai pada permukaan tanah.

4. Golongan awan dengan perkembangan vertikal. Awan ini tertinggi

sama dengan awan cirrus dan terendah antara 500 – 2.000 m (±

1.600 ft). Termasuk kedalam golongan awan ini adalah :

a) Nimbostratus (Ns). Suatu lapisan awan tebal dengan bentuk tidak

teratur, menimbulkan banyak hujan.

b) Cumulus (Cu). Awan ini merupakan awan tebal dengan dasar

horisontal dengan puncak yang bermacam-macam. Terbentuk

pada siang hari dalam udara yang naik. Bagian yang berhadapan

dengan matahari kelihatan terang. Mempunyai bayangan kelabu

jika disinari sebelah dan kelihatan hitam dengan pinggir putih jika

di muka matahari.

c) Cumulonimbus (Cb). Awan ini merupakan awan yang bervolume

sangat besar. Berbentuk bagaikan menara, gunung atau

pundaknya melebar. Awan ini menimbulkan hujan dengan kilat

dan guntur.

Terjadinya Awan

Prinsip utama terjadinya awan ialah : mula-mula udara yang

mengandung uap air temperaturnya tinggi, kemudian turun mencapai titik

kondensasi. Selanjutnya temperaturnya mengalami penurunan lagi dan

melampaui titik kondensasi.

Sebab-sebab terjadinya pendinginan udara

1. Untuk udara yang dekat dengan permukaan tanah pendinginan udara

disebabkan pengaruh pendinginan permukaan tanah. Seperti

2

diketahui setelah matahari terbenam baik atmosfer maupun

permukaan tanah masih tetap melepaskan panas. Tetapi permukaan

tanah (bumi) merupakan benda yang beradiasi lebih efektif daripada

atmosfer. Sehingga pendinginan pada waktu malam dipermukaan

tanah lebih cepat daripada di atmosfer. Sehingga akibatnya

temperatur dipermukaan tanah lebih rendah. Hal ini menyebabkan

udara yang berdekatan dengan permukaan tanah terpengaruh oleh

dinginnya permukaan tanah dan temperaturnya akan turun, dan jika

keadaan menguntungkan akan dicapai titik kondensasi dan akhirnya

terjadi kondensasi dan selanjutnya terbentuk tetesan-tetesan air,

inilah sebabnya pada pagi hari sebelum matahari terbit sering terjadi

kabut. Kabut ini tidak lain adalah awan yang berdekatan dengan

permukaan tanah. Hal ini dapat dimengerti misalnya saja kalau kita

naik gunung. Sewaktu kita masih dibawah kita melihat adanya awan

di puncak atau dekat puncak gunung. Tetapi setelah kita sampai

ditempat itu yang kita lihat dan dijumpai hanyalah kabut, seperti apa

yang kita lihat dekat permukaan tanah di daerah yang rendah.

2. Karena udara naik

Naiknya udara ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor :

a) Radiasi matahari

Pada siang hari akibat pemanasan dari matahari maka temperatur

udara yang dekat permukaan tanah akan menjadi tinggi dan

akibatnya udara di situ akan mengembang dan akan naik dengan

mendesak udara diatasnya dan disekelilingnya, yang lebih berat.

Naiknya udara ini pada suatu tempat dimana udara pada tempat

itu mempunyai temperatur dan berat jenis yang sama dengan

udara yang naik itu. Dengan naiknya udara itu maka

temperaturnya akan turun dan pada suatu saat akan mempunyai

titik kondensasi. Jika setelah dicapai titik kondensasi udara masih

naik terus maka akan terbentuk awan yang banyak. Tetapi bila

berhenti naik maka pembentukan awan juga berhenti. Hal ini

yang menyebabkan terbentuknya awan cumulus dan

cumulonimbus. Batas bawah awan cumulus adalah tempat

dicapainya titik kondensasi dan batas atas adalah batas naiknya

udara.

b) Karena pengaruh gunung/bukit

3

Kalau angin yang cukup kuat menjumpai gunung maka ia akan

dipaksa naik. Karena naik ini maka temperaturnya turun dan

seperti kejadian yang disebutkan di muka, jika udara cukup

mengendung uap air akan terbentuk awan.

c) Karena kabut

Jika masa udara yang panas bertemu dengan masa udara yang

dingin maka udara yang panas akan meluncur diatas udara yang

dingin. Hal ini karena udara yang dingin tadi berlaku sebagai

penghalang. (bidang pertemuan antara udara yang panas dan

masa udara yang dingin ini disebut front). Karena naik maka

temperatur udara yang lebih panas tadi akan turun secara

adiabatis dan memungkinkan terbentuknya awan. Awan yang

terbentuk merupakan awan berlapis yang terbentang mendatar.

d) Konvergen

Karena beberapa sebab udara yang bergerak horisontal dipaksa

untuk bertemu (konvergen). Karena udara tidak dapat

mengumpul dalam pertemuan ini maka akibatnya udara akan naik

walaupun naiknya perlahan-lahan. Sebagai akibatnya akan

memungkinkan terbentuknya awan.

B. Hujan

Hujan adalah air dalam bentuk cair atau padat yang jatuh sampai ke

permukaan bumi. Terjadinya hujan ini selalu didahului oleh proses

kondensasi dan atau pembekuan uap air. Awan merupakan suspensi

koloida udara atau aerosol. Selama butir-butir belum bersatu akan tetap

melayang-layang di udara. Ini menyebabkan awan itu kekal dan tidak akan

terjadi hujan. Jika butir-butir cenderung bersatu sehingga menjadi lebih

besar dan berat maka awan menjadi tidak kekal dan akan terjadi hujan.

Mekanisme terjadinya hujan

Jika dibuat suatu perbandingan antara ukuran butir-butir yang dapat

menghasilkan hujan menjadi jelas bahwa suatu proses khusus harus terjadi

pada awan yang dapat menimbulkan hujan. Hanya saja bagaimana proses

itu belum dapat diketahui dengan pasti. Seperti diketahui rata-rata butir

penyusun awan yang terjadi dari kondensasi selama 100 menit mempunyai

4

diameter 0,04 mm dan ukuran maksimum 0,2 mm. Sedangkan tetesan air

hujan yang umum diameternya antara 0,5 – 4,0 mm.

Ada dua pendapat mengenai bagaimana terjadinya butir-butir hasil

kondensasi ini sampai menjadi butir-butir yang dapat menimbulkan hujan.

Pendapat pertama mengatakan bahwa terjadinya butiran-butiran yang

dapat menimbulkan hujan itu disebabkan adanya penyatuan antara

beberapa butir hasil kondensasi. Pendapat ini kurang dapat menerangkan

mengapa hal ini hanya terjadi untuk beberapa macam saja. Pendapat yang

kedua mengatakan bahwa terjadinya butiran-butiran yang lebih besar itu

karena tumbuh dari adanya air dan partikel es dalam awan yang sama.

Seperti diketahui tetesan air mempunyai tekanan uap air lebih besar

(menguap lebih besar) daripada partikel es. Hal ini menyebabkan

terjadinya perpindahan air yang menguap dari butir-butir air dan

berkondensasi pada partikel es, sehingga partikel es ini diselubungi oleh air

yang makin lama makin besar sehingga mampu jatuh. Dengan jatuhnya

melalui awan dapat terus tumbuh dengan proses kondensasi dan bergabung

dengan butir-butir yang lain. Kebanyakan hujan di daerah lintang

menengah dan besar adalah terjadi akibat proses atau mendekati proses

ini, karena awan didaerah ini umumnya tumbuh sampai ketinggian diatas

batas pembekuan sebelum hujan terjadi. Walaupun demikian perlu

diketahui bahwa hujan juga dapat terjadi dari awan yang temperaturnya

masih cukup tinggi, terutama di daerah lintang kecil. Dalam hal ini

dijelaskan bahwa terjadi perpindahan air dari butiran air yang

temperaturnya lebih tinggi ke butiran yang temperaturnya lebih rendah.

Pendapat lain tentang proses terjadinya hujan adalah diawali ketika

sejumlah uap air di atmosfer bergerak ke tempat yang lebih tinggi oleh

adanya beda tekanan uap air. Uap air bergerak dari tempat dengan tekanan

uap air lebih tinggi ke tempat dengan tekanan uap air lebih rendah. Uap air

yang bergerak ke tempat yamg lebih tinggi (dengan suhu udara menjadi

lebih rendah) tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami

penjenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi, maka

uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran-butiran air hujan.

Pengembunan

Jika udara didinginkan, maka kapasitas udara untuk menampung uap

air berkurang. Pada suatu titik jika jumlah uap air tidak berubah sedangkan

5

penurunan suhu terus terjadi akan mengakibatkan udara tak jenuh menjadi

jenuh yaitu RH = 100% atau ea =es. Suhu kritis tersebut merupakan suhu

titik embun. Jika udara didinginkan dibawah titik embun, maka kelebihan

uap air dari kemampuan udara menampung uap air ini akan berubah

menjadi titik-titik air atau partikel-partikel es. Jadi pengembunan ditentukan

oleh RH dan suhu. Jika RH tinggi hanya diperlukan sedikit penurunan suhu

untuk pengembunan dan sebaliknya jika RH kecil diperlukan penurunan

suhu yang besar untuk mencapai suhu titik embun.

Terjadinya kondensasi karena pendinginan di alam dapat terjadi karena

adanya kejadian seperti berikut:

1) Hilangnya panas melalui pancaran radiasi dari massa udara akan

menyebabkan udara menjadi dingin dan mngembun.

2) Rambatan/sentuhan dengan permukaan yang dingin akan

menghasilkan embun

3) Pencampuran dua massa udara dengan suhu dan kelembaban

yang berbeda. Jika campuran ini mencapai suhu titik embun

akan terjadi awan atau kabut.

4) Pendinginan adiabatik mengikuti pemuaian gelembung udara

yang naik. Arus udara naik diakibatkan oleh proses : konveksi,

konvergensi dan orografik. Pendinginan ini biasanya

menghasilkan awan.

Adanya pembentukan awan tidak dengan sendirinya diikuti dengan

terjadinya hujan. Namun demikian, keberadaan awan dapat dijadikan

indikasi awal untuk berlangsungnya hujan. Untuk uraian lebih rinci tentang

mekanisme terjadinya hujan dalam kaitannya dengan pembentukan awan

dapat dipelajari dalam Weisberg (1981) dan Mason (1975).

Secara ringkas dan sederhana, terjadinya hujan terutama karena

adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai

respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda

ketinggiannya. Ditempat tersebut karena adanya akumulasi uap air pada

suhu yang rendah maka terjadilah proses kondensasi, dan pada gilirannya

massa air basah tersebut jatuh sebagai air hujan. Dari sini dapat

disimpulkan ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya hujan, yaitu :

(1) kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih atas sampai saatnya

atmosfer menjadi jenuh,

6

(2) terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air kecil di atmosfer, dan

(3) partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan

waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai

hujan) karena gaya gravitasi.

Akhirnya perlu disadari bahwa sampai sekarang persoalan ini belum

seluruhnya terpecahkan.

Klasifikasi hujan

1. Berdasarkan bentuk

Berdasarkan bentuknya hujan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :

1) Hujan (rain)

Hujan merupakan air yang turun berbentuk cair. Tetesan-tetesan air

yang jatuh mempunyai diameter bervariasi dari 0,5 – 4,0 mm. Bahwa

tidak semua ukuran butiran air dapat turun/jatuh menjadi hujan

disebabkan adanya geseran udara. Sehubungan dengan ini juga

Findisen mengatakan jarak jatuh dapat dicapai oleh suatu butiran air

jika melelui udara yang belum jenuh bertambah besar sebanding

dengan pangkat empat dari bertambahnya besar diameter.

Misalnya : jika suatu butiran air dengan diameter 0,1 mm melalui

lapisan udara dengan kelembaban relatif 90% maka setelah jatuh

sejauh 10 ft (± 3,3 m) butiran air itu sudah habis menguap,

sedangkan kalau diameter butiran itu 0,5 mm dia baru habis

menguap setelah jatuh sejauh 6,250 ft.

2) Salju (snow)

Salju terjadi karena sublimasi uap air pada temperatur dibawah titik

beku. Bentuk dasar salju adalah heksagonal akan tetapi hal ini

tergantung pada temperatur dan cepatnya sublimasi. Hujan bentuk

salju ini dapat terjadi jika dari tempat terjadinya awan sampai dengan

permukaan tanah temperaturnya lebih kecil dari 0oC (dibawah titik

beku). Hal ini karena kalau terdapat lapisan udara yang

temperaturnya masih di atas titik beku maka pada waktu kristal-

kristal es melalui lapisan itu akan mencair sehingga yang sampai ke

permukaan tanah bukan salju tetapi hujan air.

3) Hujan es (hail stone)

Terdiri dari bongkah-bongkah es, dengan diameter antara 5 – 50 mm.

Hujan es jatuh pada waktu ada hujan guntur dari awan

cumulonimbus. Di dalam awan terdapat konveksi dari udara panas

7

dan lembab. Dalam udara panas dan lembab yang naik secara

konvektif kondensasi mulai sebagai hujan akan tetapi butir-butirnya

diangkat secara vertikal keatas sampai pada suatu tempat tempertur

berada dibawah titik beku. Sehingga terjadi bongkah-bongkah es.

2. Berdasarkan proses terjadinya

a) Hujan konvektif (convectional storms).

Tipe hujan ini disebabkan oleh adanya beda panas yang diterima

permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara di

atas permukaan tanah tersebut. Biasanya terjadi pada akhir musim

kering dengan intensitas hujan yang tinggi sebagai hasil proses

kondensasi massa air basah pada ketinggian di atas 15 km.

Mekanismenya : ketika udara di atas permukaan tanah menjadi lebih

panas daripada lapisan udara di atasnya, maka berlangsunglah

gerakan lapisan udara panas tersebut ke tempat yang lebih atas.

Udara panas yang bergerak keatas tersebut pada saatnya akan

terkondensasi, terus bergerak ke atas sehingga uap panas tersebut

akan membeku dan jatuh sebagai hujan oleh adanya gaya gravitasi.

Hujan konveksi ini pada umumnya cukup lebat, intensitas tinggi,

berlangsung relatif cepat, dan mencakup wilayah yang tidak begitu

luas.

b) Hujan orografis (orographic storms)

Hujan yang terjadi dari awan yang terbentuk dalam angin yang

melewati pegunungan. Hujan ini biasanya juga cukup lebat.

c) Hujan frontal (frontal/cyclonic storms)

Hujan yang terjadi dari awan yang terbentuk karena adanya

pertemuan masa udara yang panas dan yang dingin. Hujan ini

biasanya tidak lebat. Hujan ini banyak terjadi di daerah lintang

pertengahan. Hal ini jarang terjadi di daerah tropika dimana masa

udara hampir mempunyai temperatur yang seragam.

d) Hujan konvergen

Hujan yang terjadi dari awan yang terbentuk karena adanya

konvergen. Hujan ini biasanya juga cukup lebat.

Unsur-unsur dalan hujan

Hujan mempunyai susunan kimia yang cukup kompleks dan bervariasi

dari tempat yang satu ketempat yang lain, dari musim ke musim pada

8

tempat yang sama dan dari waktu hujan yang berbeda. Air hujan terdiri

dari atas : ion-ion natrium, kalium, kalsium, khlor, bikarbonat dan sulfat

yang merupakan jumlah yang besar bersama-sama. Amonia, nitrat, nitrit,

nitrogen, dan susunan-susunan nitrogen lain. Bagian yang kecil misalnya :

iodine, bromine, boron, besi, aluminium, dan silika. Asal unsur-unsur ini

adalah lautan, sungai-sungai/danau, permukaan tanah, vegetasi, industri,

dan gunung-gunung berapi. Air hujan pH-nya berkisar antara 3,0 – 9,8

Unsur data hujan

(1) Jumlah hujan

Hujan adalah nama umum dari uap air yang mengkondensasi dan

jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi. Jumlah

hujan selalu dinyatakan dengan dalamnya hujan (mm).

Salju, hujan es dan lain-lain juga dinyatakan dengan dalamnya

(seperti hujan) sesudah dicairkan. Budidaya pertanian dapat

dilakukan di daerah-daerah yang mendapat hujan tahunan lebih dari

450 mm. Jika hujan kurang dari 300 mm, maka budidaya pertanian

hanya mungkin dilaksanakan jika dibantu dengan irigasi.

(2) Intensitas hujan

Derajat curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan

dalam suatu satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan.

Satuan yang digunakan adalah mm/jam. Jadi intensitas curah hujan

berarti jumlah hujan/curah hujan dalam waktu relatif singkat

(biasanya dalam waktu 2 jam). Intensitas curah hujan dapat

diperoleh atau dibaca dari kemiringan kurva (tangens kurva) yang

dicatat oleh alat ukur curah hujan otomatis. Pembagian intensitas

curah hujan seperti pada tabel berikut.

Tabel 1. Derajat curah hujan dan intensitas curah hujan

Derajat hujanIntensitas curah hujan (mm/min)

Kondisi

Hujan sangat lemah

< 0,02 Tanah agak basah atau dibasahi sedikit

Hujan lemah 0,02 – 0,05 Tanah menjadi basah semuanya, tetapi sulit membuat puddel

9

Hujan normal 0,05 – 0,25 Dapat dibuat puddel dan bunyi curah hujan kedengaran

Hujan deras 0,25 – 1 Air tergenang di seluruh permukaan tanah dan bunyi keras hujan kedengaran dari genangan

Hujan sangat deras

> 1 Hujan seperti ditumpahkan, saluran dan drainase meluap

Sedangkan sifat curah hujan seperti pada tabel 2 berikut.

10

Tabel 2. Keadaan curah hujan dan intensitas curah hujan

Keadaan curah hujanIntensitas curah hujan (mm)

1 jam 24 jam

Hujan sangat ringan < 1 < 5

Hujan ringan 1 – 5 5 – 20

Hujan normal 5 – 10 20 – 50

Hujan lebat 10 – 20 50 – 100

Hujan sangat lebat > 20 > 100

Curah hujan tidak bertambah sebanding dengan waktu. Jika waktu

itu ditentukan lebih lama, maka penambahan curah hujan adalah

kecil dibandingkan dengan penambahan waktu, karena kadang-

kadang curah hujan itu berkurang ataupun berhenti.

(3) Hubungan topografi dan hujan

Umumnya curah hujan di daerah pegunungan adalah lebih dari di

dataran rendah. Hubungan antara ketinggian (elevasi) dan curah

hujan dinyatakan oleh persamaan :

R = a + b.h

R curah hujan (mm)

h ketinggian (m)

(4) Pengamatan curah hujan

Pengamatan curah hujan dilakukan menggunakan alat ukur curah

hujan. Ada dua jenis alat ukur curah hujan yang digunakan untuk

pengamatan, yakni jenis biasa atau manual dan jenis otomatis. Alat

ukur curah hujan harus diletakkan pada daerah yang masih alamiah,

sehingga curah hujan yang terukur dapat mewakili wilayah yang

luas.

Alat ukur curah hujan yang paling banyak digunakan untuk manual

adalah tipe observatorium atau sering disebut ombrometer. Data

yang diperoleh dari alat tipe ini adalah curah hujan harian. Curah

hujan dari pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan di bagi

dengan luas mulut penakar. Alat tipe observatorium merupakan alat

baku dengan mulut penakar seluas 100 cm2 dan dipasang dengan

ketinggian mulut penakar 1,2 m dari permukaan tanah.

Alat pengukur curah hujan otomatis biasanya menggunakan prinsip

pelampung, timbangan dan jungkitan. Keuntungan menggunakan

11

alat ukur otomatis diantaranya adalah : (a) waktu terjadinya hujan

dapat diketahui, (b) intensitas setiap kejadian hujan dapat dihitung,

dan (c) pada beberapa tipe alat, pengukuran dapat dilakukan pada

periode waktu lebih dari sehari, misalnya mingguan.

C. Alat Pengukur Curah Hujan

C.1. Penakar curah hujan biasa

Penakar hujan ini termasuk jenis penakar hujan non-recording atau tidak dapat mencatat sendiri. Bentuknya sederhana, terdiri dari :

Sebuah corong yang dapat dilepas dari bagian badan alat. Bak tempat penampungan air hujan. Kaki yang berbentuk tabung silinder. Gelas penakar hujan.

C.2.   Penakar Hujan Jenis Hellman

12

Penakar hujan jenis Hellman termasuk penakar hujan yang dapat mencatat sendiri. Jika hujan turun, air hujan masuk melalui corong, kemudian terkumpul dalam tabung tempat pelampung. Air ini menyebabkan pelampung serta tangkainya terangkat (naik keatas). Pada tangkai pelampung terdapat tongkat pena yang gerakkannya selalu mengikuti tangkai pelampung. Gerakkan pena dicatat pada pias yang ditakkan/ digulung pada silinder jam yang dapat berputar dengan bantuan tenaga per. Jika air dalam tabung hampir penuh, pena akan mencapai tempat teratas pada pias. Setelah air mencapai atau melewati puncak lengkungan selang gelas, air dalam tabung akan keluar sampai ketinggian ujung selang dalam tabung dan tangki pelampung dan pena turun dan pencatatannya pada pias merupakan garis lurus vertikal. Dengan demikian jumlah curah hujan dapat dhitung/ ditentukan dengan menghitung jumlah garis-garis vertikal yang terdapat pada pias.

C.3.  Penakar Hujan Jenis Tipping Bucket

Bertujuan untuk mendapatkan jumlah curah hujan yang jatuh pada periode dan tempat-tempat tertentu. Pada bagian muka terdapat sebuah pintu untuk mengeluarkan alat pencatat, silinder jam dan ember penampung air hujan. Jika dilihat dari atas, ditengah-tengah dasar corong terdapat saringan kawat untuk mencegah benda-benda memasuki ember (bucket).Pada prinsipnya jika hujan turun, air masuk melalui corong besar dan corong kecil, kemudian terkumpul dalam ember (bucket) bagian atas (kanan). Jika air yang tertampung cukup banyak menyebabkan ember bertambah berat, sehingga dapat menggulingkan ember kekanan

13

atau kekiri, tergantung dari letak ember tersebut. Pada waktu ember terguling, penahan ember ikut bergerak turun naik. Penahan ember mempunyai dua buah tangkai yang berhubungan dengan roda bergigi. Gerakan turun naik penahan ember menyebabkan kedua tangkainya bergerak pula dan bentuknya yang khusus dapat memutar roda bergigi berlawanan dengan arah perputaran jarum jam. Perputaran roda bergigi diteruskan ke roda berbentuk jantung. Roda yang berbentuk jantung mempunyai sebuah per yang menghubungkan kedua pengatur kedudukan pena yang letak ujungnya selalu bersinggungan dengan tepi roda. Perputaran roda berbentuk jantung akan menyebabkan kedudukan pena bergerak sepanjang tepi roda.

Daftar Pustaka

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press.

Mason, B.J. 1975. Cluds, rain and rainmaking. Edisi ke 2. Cambridge University Press, Cambridge. 189 hal.

Subarkah, I. 1978. Hidrologi untuk perencanaan bangunan air. Penerbit Idea Dharma Bandung.

Weisberg, J.S. 1981. Meteorology : the Earth and Its Weather. Houghton Mifflin Company, Boston. 427 hal.

Wilson, E.M. 1993. Hidrologi Teknik. Edisi keempat. Penerbit ITB Bandung.

Wisnubroto, S., S.L. Aminah S. dan M. Nitisapto. 1983. Asas-asas Meteorologi Pertanian. Ghalia Indonesia.

14

Tugas ;1. Sebutkan syarat2 stasiun klimatologi2. Jelaskan cara kerja alat pengukur hujan tipe observatorium dan tipe Hellman3.

15