ATM OKEY
-
Upload
melati-putri-sitorus -
Category
Documents
-
view
341 -
download
2
Transcript of ATM OKEY
Acute Transverse Myelitis (ATM) merupakan penyakit yang jarang terjadi pada masa anak-anak
dan remaja dan insidensinya diperkirakan mencapai 1,34 pada 1.0000.000 orang di Israel1 Tetapi
belum ada evaluasi spesifik dari insidensi pada anak-anak. Hal ini dikarakteristikan dengan
disfungsi medulla spinalis bilateral dengan menghasilkan kelemahan anggota gerak bawah
dengan atau tanpa gejala sensoris dan disfungsi kandung kemih. Secara tipikal bermanifestasi
dari jam hingga satu minggu.2, 3 Magnetic resonance imaging (MRI) spinalis, tes
electrophysiologis dan analisis cairan serebrospinal (CSF) dilakukan untuk mendiagnosis ATM
dan emngeluarkan kondisi yang bisa diterapi. ATM dapat disebabkan oleh sejumlah kelainan
termasuk trauma, lesi, malformasi vaskular, kelainan vaskulitis oklusif yang menyebabkan infark
medulla spinalis4, 5, 6 penyakit autoimmune7, 8 dan infeksi lain baik bakteri, virus atau spirochaeta.9
ATM telah dijabarkan setelah infeksi dengan virus Epstein-Barr virus, cytomegalovirus,
cytomegalovirus pada pasien kompromise imune, infeksi virus simpleks herpes dan sitomegalo,
rubella, chickenpox, infeksi mononukleosis, dan campak.2 ATM dapat menjadi presentasi awal
dari leukimia limphoblastik akut.<span style=”position:relative;top:-4pt;”>10 Poliomyelitis dan Sindroma Guillain-
Barre tetap merupakan dua diagnosis banding yang penting. Setelah diagnosis dari ATM, dosis
tinggi IV steroid merupakan terapi yang menjanjikan. Prognosis bervariasi dan gejala residual
sering terjadi. 13
Insidensi
Usia dari kondisi ini dapat didapat dari infant hingga orang dewasa yang lebi tua (5 bulan
hingga 80 tahun). Puncak usia untuk diagnosis TM adalah 10-19 dan 30-39 tahun. Laki-laki dan
wanita sama dalam diagnosa. TM merupakan kelainan yang jarang dengan penjumlahan
insidensi 300 kasus baru di United Kingdom. 1
Pemulihan dari TM pada umumnya dimulai dalam 8 minggu dari onset. Pemulihan seringkali
cepat selama bulan ke 3-6 dan dapat berlanjut hingga lebih dari 2 tahun setelah onset. Satu
pertiga dari mereka yang didiagnosa dengan TM mendapatkan pemulihan yang baik, satu pertiga
hanya mempunyai pemulihan sedikit (disabilitas permanent derajat sedang), dan satu pertiga
tidak menunjukkan pemulihan. 2
TM secara umum merupakan penyakit monofasik (hanya satu kali timbul). Bagaimanapun,
persentase kecil pasien dapat mendapat reurensi, terutama jika ada penyakit yang mendasarinya.
2
Definisi
TM merupakan kelainan neurologis yang jarang, satu dari kelompok penyakit
‘neuroimmunologic’ dari sistem saraf pusat, dimana juga termasuk ADEM, NMI (penyakit
Devic) dan MS. Kondisi ini kesemuanya melibatkan penyerangan inflamasi di sistem saraf pusat.
Mereka dibedakan secara primer oleh lokasi lesi, dan oleh penyerangannya baik monofasik atau
episode yang multipel. Kelainan ini membagi mekanisme yang sering dan mempunyai banyak
gejala yang sama. 3
Ada bermacam variabilitas dalam presentasi gejala, dimana didasari oleh level medulla spinalis
yang dipengaruhi dan ada variasi yang luar buasa dalam penampakkan gejala, dimana didasari
dari lesi medulla spinalis yang terkenda dan keparahan kerusakan mielin dan serat saraf di
neuron. Gejala TM termasuk kelemahan otot, paralisis, parastehesias, atau sesnsasi saraf yang
tidak nyaman, nyeri neuropatik, spastisitas, depressi serta disfungsi usus, kandung kemih dan
seksual. TM daoat akut atau berkembang perlahan. Ada beberapa variasi dari diagnosis TM. 4
Etiologi
TM merupakan kelainan neurologis yang disebabkan oleh proses inflamasi dari substansia putih
dan abu-abu medulla spinalis, dan dapay menyebaban demielinisasi aksonal. Demieliniasasi ini
meningkat secara idiopatik yang diikuti dengan infeksi atau vaksinasi, atau dikarenakan multiple
sclerosis. Satu teori utama yang menyebabkannya adalah inflamasi mediasi imun sebagai hasil
akibat terpapar dengan antigen viral. Lesi ini bersifat inflamasi dan melibatkan medulla spinalis
pada kedua sisinya. Dengan transverse myelitis akut, onset terjadi mendadak dan berkembang
dengan cepat dalam beberapa jam dan beberapa hari. Lesi dapat tampak dimana saja di medulla
spinalis, meskipun demikian biasanya terbatas pada bagian kecil. 5
Dalam beberapa kasus, penyakit ini diasumsikan disebabkan oleh infeksi viral atau vaksinasi
dan juga telah dikaitkan dengan cedera medulla spinalis, reaksi imun, schistosomiasus, dan aliran
darah yang insufisien melalui pembuluh darah spinalis. Gejala termasuk kelemahan dan kebas di
kedua tungkai untuk motor, defisit sensorik dan sfingter. Nyeri pinggang dapat timbul pada
beberapa pasien saat onset penyakit berjalan. Terapi biasanya hanya simptomatik, kortikosteroid
digunakan dengan kesuksesan yang terbatas. Perbedaan utama untuk dibuat adalah kondisi yang
sama akibat kompressi medulla spinalis, akibat penyakit yang mengelilingi kolumna vertebralis.
6
TM dapat timbul dalam isolasi atau dengan penyakit lain. Ketika TM timbul tanpa penyakit
penyerta yang tampak, hal ini diasumsikan untuk menjadi idiopatik. TM idiopatik diasumsikan
untuk sebagai hasil dari aktivasi abnormal sistem imune melawan medulla spinalis. TM
seringkali timbul bersamaan dengan infeksi bakteri dan virus. 6
Sekitar satu pertiga pasien dengan TM melaporkan penyakit seperti flu dengan demam, dengan
onset waktu gejala neurologis. Vaksinasi juga dikaitkan dengan TM dan terutama ADEM, tetapi
hubungannya tidak dapat dibuktikan. 6
Terapi
Obat kortikosteroid secara umum digunakan sebagai terapi inflamasi medulla spinalis dengan
pasien TM. Pertukaran plasma atau terapi immunosupressant radikal yang lebih dapat digunakan
jika steroidnya tidak bekerja. Semua terapi lain hanya menujukan gejala pada saat ini.
Rehabilitasi, terutama fisioterapi, sangat penting. Pasien sebaiknya mengikuti regimen
rehabilitasi untuk kerusakan spinal. 7
Evaluasi Pasien dengan TM Akut
Setiap pasien yang dicurigai mempunyai disfungsi medulla spinalis akut harus dievaluasi cepat.
Semenjak secara relatif beberapa pasien mempunyai trias disfungsi motorik, sensorik, dan
otonomik yang penuh pada saat gejala, klinisi harus mempunyai ambang rendah untuk
merekomendasikan evaluasi yang lebih jauh. Sayangnya, nyeri pinggang dengan nyeri radikuler
lebih sering dan merupakan gejala awal yang tidak spesifik. Bagaimanapun, komplain dari
pasien tentang kesulitan berkemih atau inkontinensia onset baru dan komplain sensorik
transversa (kumpulan penekanan, nyeri atau kebas) sebaiknya mendorong klinisi untuk
melakukan evaluasi yang lebih jauh lagi. Hal yang sama, kelemahan tungkai progresif akut
bilateral dengan setiap adanya gejala yang diatas harus dilakukan evaluasi yang cepat. Banyak
pasien, yang memperlihatkan dengan paraparesis progresif, tidak tepat didiagnosa dengan
sindroma Guillain-Barre (GBS). Bagaimanapun, sebaliknya terhadap GBS, TM tidak
menampakkan palsies sistem saraf pusat, dan GBS amat jarang pada pasien dnegan disfungsi
kandung kemih dan komplain sensoris. 7
Evaluasi awal pasien dengan melibatkan mielopati harus dibedakan dari penyebab struktural
(diskus herniasi, fraktur vertebral patologis, metastasis tumor atau spondylolisthesis) dapat
diidentifikasi. Secara ideal dengan kontrast gadolinium MRI dilakukan dalam beberapa jam
setelah penampakkan gejala. Jika, bagaimanapun tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu
yang pendek, CT-myelography atau CT spinalis merupakan alternative yang beralasan. Dua studi
ini mempunyai ketidakuntungan yang berbeda dari tidak bisanya untuk menilai patologis
intramedularis, dan semua pasien yang didiagnosa dengan TM sebaikanya mempunyai MR
secepatnya pada fase akut. Jika ada keterlambatan dalam mendapatkan studi pencitraan dan
pasien secara klinismielopati cepat, kemudian sebaiknya metilprenidsolone secara empiris
diberikan sebagai berikut : <3 jam dari onset, 30 mg/kgBB setelah satu jam diikuti dengan 5,4
mg/kg/ jam untuk penambahan 23 jam berikutnya; diantara 3-8 jam onset gejala-30 mg/kgBB
bolus diikuti dengan 5,4 mg/kg/jam untuk penambahan selama 47 jam. Jika penyebab struktural
bisa diidentifikasi untuk mielopati, evaluasi pembedahan saraf merupakan hal yang wajib
dilakukan. 8
Jika tidak ada penyebab struktural yag diidentifikasi pada pasien dengan mielopati transversus
akut atau subakut, terapi secara besar tegantung pada penyebab potensial. Pungsi lumbal
sebaiknya dilakukan dan CSF dievaluasi untuk studi rutin sebagaimana kgabungan oligoclonal,
indeksIgG, vPCR virus, antibodi lyme dan mikoplasma, dan VDRL. Meskipun studi yang
dilakukan dalam list ini tidak bersifat komprehensiv, hal ini bisa secara potensial menterapi
penyebab mielopati transversus akut. Studi serologis tambahan dapat dijamin tergantung
daripada skenario klinik. Sementara meninggu studi serologis dan PCR, kita akan sering
mengawali terapi dengan asiklovir secara empirik (10 mg/kg IV TID untuk 14-21 hari), jika
pasien mempunyai bukti klinis atau radiologis, maka terapi TM juga sebaiknya memasukkan
doxycycline (100 mg PO BID) atau azitromisin (500 mg sekali satu, kemudian 250 mg PO qD ).
Hal yang sama dalam keadaan klinis yang perlu, satu yang harus dipertimbangkan untuk
diagnosis neuroborreliosis (Lyme). Pasien dengan imunosupressi dengan riwayat retinopati
CMV atau poliradikulopati sebaiknya menerima gancyclovir (5 mg/kg IV per 12 jam).
Pertimbangan dari penyebab mikrobiologi TM sebaiknya tidak digunakan aggressive untuk
kortikosteroid intra vena terutama jika ada riwayat terbakar, nyeri radikular atau radikulitis
zoster yang menyebabkan mielitis. 9
Pemberian steroid intravena dosis tinggi seringkali diberikan sekali ketika diagnosis TM
ditegakkan, dan beberapa studi kecil mendukung bahwa hal ini meningkat menjadi ambulasi
yang independent dan pemulihan motorik yang luar biasa. Banyak klinis mengawali terapi
dengan methyl prednisolone 1000mg IV qD untuk 5 hari, dan regimen ini sebaiknya dimulai
pada kebanyakan pasien secepatnya ketika diagnosis TM dipertimbangkan. Weinshenker dan
teman-temannya menunjukkan bahwa subset pasien steroid-refrakter dengan kelainan
demielinisasi inflamasi berespon terhadap plasmapheresis. Untuk itu, pada institus kami, pasien
dengan TM akut diberikan terapi 5 hari dengan solumedrol IV diikuti dengan plasma pheresis
pada 1,1 volume plasma QOD untuk dua minggu. Hal ini belum jelas kapan sebaiknya dilakukan
plasmapheresis, tetapi kita menunggu selama stau minggi mengikuti pemberian steroid untuk
mengawali plasmapheresis. 10
Pada pasien TM dengan diketahui atau dicurigai kalinan jaringan ikat seperti SLE, investigasi
harus dilakukan untuk mengeliminasi bukti adanya vaskulitis sistemik, atau secara alternative,
buktidari predisposisi protrombotik pada dasara antibodi antiphospolipid. Etiologi vaskulitis
dapat dicurigai dengan kadar komplemen yang menurun, tingginya titer ANA, hematuria,
tingginya ESR atau manifestasi sistemik lain dari SLE aktive. Pasien seperti ini sebaiknya
menerima dosis tinggi kortikosteroid dan pertimbangan untuk cyclophospamide IV (500-1000
mg/m2). Cyclophospamide selanjutnya sebaiknya diberikan perbulan pada dosis yang didesain
pada hitung darah leukosit 3,000-4,000/mm3. Pasien dengan antibodi antiphospolipid seringkali
melaporkan kejadian trombosis vena atau arterial sebelumnya, gugur kandungan. Pasien ini akan
seringkali membutuhkan antikoagulasi intensive untuk mencegah TM berulang dan secara
potensial sebagai terapi akut. 10
Terapi Kronis Pasien TM
Ketika TM biasanya merupakan kelainan monofasik, terapi pasien yang diikuti dengan cedera
akut difokuskan dalam management gejala. Banyak dari strategi management ini sama dengan
mereka yang mengambil pasien dengan kerusakan medulla spinalisa dan tidak dilihat lebih detail
disini. 1
Beberapa prinsip bantuan harus diamati dalam management pasien dengan TM. Jika
kesemuanya memungkinkan untuk bisa berdiri atau berjalan pada pasien, hal ini harus dilakukan
sedikitnya setiap hari. Asumsi dari postur tegak lurus adalah kritis untuk menjaga arsitektur
tulang dan otot sama halnya dengan reaktivasi sistem sirkulasi. Hal ini juga mengurangi insidensi
infeksi traktus urinarius dan deep vein tromboses (DVT). pAsien mungkin membutuhkan alat
untuk berdiri atau brace orthotic spesial, atau membutuhkan terapi akuatik dalam melakukan hal
ini. Pasien TM sebaiknya diskreening untuk depressi semenjak hal ini menjadi lebih sering dan
seringkali menyebabkan penurunan compliance dengan regimen terapi fisik dan secara jauh
mempengaruhi hasil. Disfungsi seksual merupakan masalah sering pada pasien TM, dan pria
dengan disungsi ereksi seringkali melaporkan peningkatan fungsi seksual dengan sildenafil (50
mg 1 hari sebelum aktivitas seksual, jika tidak ada respon dapat ditingkatkan hingga 100 mg
sebelum aktivitas seksual). Pasien sebaiknya diskreening untuk osteoporosis meskipun jika
penurunan atau absen yang tegas dalam akselerasi penyerapan dimediasi osteokalst. Penilaian
densitometri tulang diikuti dengan terapi (Ca++ 1000 mg/hari dengan vitamin D 400 I.U/hari,
dan pertimbangan terapi bifosfat) mengurangi fraktur patologik selanjutnya dan deteriorasi
fungsi. 11
Pasien seringkali meninggalkan disfungsi kandung kemih yang melibatkan waktu dari kandung
kemih atonik secara awal yang spastik dengan episode inkontinensia urine. Perubahan ini
disebabkan oleh perkembangan hiperaktivitas detrussor diikuti dengan kerusakan serat mikturisi
descending. Pasien dengan TM sacral (keterlibatan conus medullaris) dapat ditinggal dengan
kandung kemih akontrakile permanen jika lower motor neuron pada kandungkemih rusak. USG
renal sebaiknya dilakukan dalam 3 bulan pertama untuk mengevaluasi kerusakan traktus atas,
dan uji urodinamis juga sebaiknya dilakukan kadangkala dalam enam bulan pertama diikuti TM
untuk mengevaluasi penyimpanan tekanan tinggi dan pengosongan sebagaimana DESD
(detrusor-external sphincter dyssynergia). 12
Kondisi ini dapat menpredisposisi kedua kerusakan kronis terhadap traktus urinarius atas dan
bawah yang seringkali secara klinis diam. Evaluasi lebih jauh akan membantu klinisi dalam
membedakan terapi farmakologis untuk memaksimalkan fungsi urine. Tujuan dari management
yang efektif dari disfungsi kandung kemih adalah tekanan penyimpanan yang rendah (<10-15 cm
H20), tekanan pengisian rendah (<40-60 cm H20 pada pria dan <20-30 cm H20 pada wanita),
dan pengurangan dalam volume residual (<50-100cc). Hiperaktivitas detrusor yang mudah dapat
ditangani dengan obat antikolinergik seperti oxybutinin pelepasan jauh (5-10 mg qD atau BID),
hyoscyamine (0.15-0.3 mg PO QID), tolterodine (1-2 mg BID) atau propantheline (15 mg PO
q4-6), dimana DESD menjamin konsultasi urologi dan seringkali terapi kombinasi. Stimulasi
saraf sakral menjanjikan terapi baru yang dapat mengijinkan pasien untuk mengurangi atau
mengeliminasi kebutuhan kateterisasi intermittent. 12
Pasien seringkali meninggalkan kelemahan permanent diikuti TM. Strategi rehabilitasi standar
seringkali menghasilkan fungsionalitas peningkatan yang relevabt dan sebaiknya secara agresif
dilakukan. Rehabilitasi aquatik terutama menguntungkan pada pasien TM dengan latihan
kardiovaskular, pengurangan spastisitas, resumsi dari posisi tegak lurus, dan menjaga
independensi sensorik. Beberapa pasien melaporkan peningkatan yang signifikan dalam
kekuatan dan disfungsi kandung kemih dalam penggunaan dengan fampridine (4-AP). Obat ini
merupakan bloker saluran potasium yang menginhibisi repolarisasi baru di neuron. Maka, untuk
itu, menambah konduksi dari saraf yang telah rusak. Obat ini sebaiknya diberikan dengan
perhatian akibat efek samping yang potensial meliputi paresthesia, agitasi, peningkatan tekanan
darah, insomnia dan nyeri kepala. Fampridine diawali pada 10 mg qD dan dititrasi hingga dosis
harian total 0.5-0.7 m/kg/hari. Dosis yang lebih tinggi dari 0.8 mg/kg/hari telah menunjukkan
menyebabkan kejang pada beberapa pasien dan sebaiknya dihindari. 12
Nyeri atau dyesthesia merupakan sekuele jangka panjang yang meresahkan pada 40% pasien
TM. Gejala seringkali ditangani dengan terapi gabapentin (hingga diatas 4800 mg/hari terbagi
TID atau QID), Pelepasan luas carbamazepine (hingga 1200 mg/hari terbagi BID), nortriptyline
(hingga 100 mg/hari diberikan qHS), atau tramadol (hingga 400 mg/hari terbagi TID atau QID).
Opioids biasanya tidak lebih efektif daripada obat-obatan diatas dan sebaiknya dihindari jika
kesemuanya memungkinkan efek samping dari konstipasi sekunder dan retensi urine. Opioid
Intrathecal dapat diberikan melalui pompa implant dan menawarkan bantuan signifikan dengan
efek samping yang lebih sedikit pada individu yang dipilih. TENS unit dapat diaplikasikan ke
area lokal dysesthesia dengan bantuan yang signifikan untuk ketidaknyamanan. 12
Konstipasi merupakan masalah berlanjut pada pasien TM yang seringkali membutuhkan
kombinasi stimulasi digital dan laksan. Tujuan dari management usus sebaiknyaevakuasi reguler
dari feses yang semi terbentuk untuk dorongan kronis. Banyak pasien yang berespon terhadap
regimen dulcolax (dua kali PO pada malam hari) and senekot (dua kali PO pada malam hari).
Sebagai tambahan, penggunaan intermitent dari bisacodyl pada dasar air (The Magic Bullet)
sangat efektif dalam mayoritas pasien. 11
Spastisitas mempengaruhi secara virtual pada semua pasien dengan TM dan seringkali terbatas
perluasannya dalam penyembuhan. Pasien dapat melaporkan kekakuan, ketarikan, atau spasmus
yang nyeri dan seringkali timbul di paha dan kaki. Spastisitas dapat membatasi ambulasi,
terutama pada stimulus yang membuat destabilisasi postural. Baclofen (dimulai pada dosis 10
mg qd, dititrasi hingga 100-120 mg/d) seringkali berguna sebagai terapi lini tpertama dan efektif
pada sekitar 60% individu. Lemas dan perkembangan kelemahan merupakan efek samping yang
potensial. Tizanidine (dimulai pada dosis 2 mg/hari dititrasi hingga 24-32 mg/hari dalam tidga
dosis terbag) merupakan medikasi yang secara presinap menghambat neuron motorik pada
medulla spinalis, dan secara teoritis lebih spesifik untuk interneuron daripada baclofen. Dengan
demikian dapat untuk kurang menyebabkan kelemahan, tetapi tetap pada efek samping yang
lemas. Diazepam (dimulai pada dosis 5 mg, dititrasi hingga 30-40 mg dalam tiga dosis terbagi)
dapat efektif pada pasien dengan spastisitas yang tidak dimodulasi baik oleh tizanidine atau
baclofen. 12
Untuk pasien yang secara fungsional terbatas spastisitas tidak ditangani dengan secara efktif
dengan obat oral, pemberian intratekal baclofen secara potensial merupakan alternatif yang
efektif. Mengikuti uji coba diagnostik pemberian baclofen melalui jarum lumbar pugsi (50 mcg,
lalu jika tidak ada respon 75 mcg atau 100 mcg), pompa subkutan diimplantasikan dimana
memberikan baclofen ke ruang CSF. Angka pemberian pompa dapat dimodulasi secara
eksternal, dan pompa harus diisi secara perkutan 3-5 kali/tahun. Efek samping yang potensial
termasuk infeksi pompa dan kelemahan, tetapi kelelahan dan konstipasi yang memburuk
biasanya tidak terlihat. 13
DAFTAR PUSTAKA
1) Defresne P, Meyer L, Tardieu M, Scalais E, Nuttin C, Bont B.D, et al: Efficacy of high
dose steroid therapy in children with severe acute transverse myelitis. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2001;71:272-4.
2) Linssen WHJP, Gabreels FJM, Wevers RA. Infective acute transverse myelopathy.
Report of two cases. Neuropediatrics 1991;22:107-9.
3) Kalita J, Misra U.K: Neurophysiological studies in acute transverse myelitis. J-Neurol.
2000 Dec; 247(12): 943-8.
4) Altrocchi P.H. Acute transverse myelopathy. Arch Neurol.1963:9;111-9.
5) Choi JU, Hoffman HJ, Hendrick EB, Humphreys RP, Keith WS. Traumatic infarction
of the spinal cord in children. J Neurosurg 1986;65:608-10
6) Linssen W.H.J.P, Praamstra P, Gabreels F.J.M, Rotteveel J.J: Vascular insufficiency of
the cervical spinal cord due to minor trauma with hyperextension of spine in a child.
Pediatr Neurol 1990;6:123-5.
7) Morris A.M, Elliott E.J, D’Souza R.M, Antony J, Kennett M, Longbottom H: Acute
flaccid paralysis in Australian children. J-Paediatr-Child-Health. 2003 Jan-Feb; 39(1):
22-6.
Yavuz H, Cakir M: Transverse myelopathy: an initial presentation of acute leukemia.
Pediatr-Neurol. 2001 May; 24(5): 382-4.
9) Knebusch M, Reiners K. Acute transverse myelitis in childhood: nine cases and review
of literature. Developmental Medicine & Child Neurology 1998;40:631-9.
10) De-Goede CG: Urinary problems following acute transverse myelitis in children. Dev-
Med-Child-Neurol. 2002 Mar; 44(3): 212-3.
11) Ganesan V, Borzyskowski M. Characteristics and course of urinary tract dysfunction
after acute transverse myelitis in. Dev Med Child Neurol 2001; 43(7): 437-5.
12) Krishnan C, Kaplin AL, Deshpande DM, Pardo CA, Kerr DA. Transverse Myelitis:
Pathogenesis, Diagnosis and Treatment. Frontiers in Bioscience 2004;9:1483-99.
13) Wilmshurst JM, Walker MC, Pohl KRE. Rapid onset transverse myelitis in
adolescence: implications for pathogenesis and prognosis. Arch-Dis-Child 1999;80(2):
137-42.
A. ANAMNESA
perlu ditanyakan keluhan utama pasien. Pada setiap keluhan ditanyakan :
1. Sejak kapan timbul
2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, habis makan, dsb.)
5. Keluhan lain yang ada kaitannya
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang memperberat atau memperingan keluhan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat/ringan, datang dalam bentuk serangan,
dsb.
Pada setiap pasien dengan penyakit syaraf, harus dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau
kelainan di bawah ini, dengan mengajukan pertanyaan.
9. Nyeri kepala
10. Muntah
11. Vertigo
12. Gangguan penglihatan
13. Gangguan pendengaran
14. Gangguan syraf otak lainnya
15. Gangguan fungsi luhur
16. Gangguan kesadaran
17. Gangguan motorik
18. Gangguan sensibilitas
19. Gangguan syaraf otonom
B. PEMERIKSAAN TINGKAT KESADARAN
Prinsip :
Untuk Mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma glasgow yang
memperhatikan tanggapan / respon pasien terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon
tersebut. Tanggapan atau respon pasien yang perlu diperhatikan ialah : Respon Membuka mata
(Eye), Respon verbal (V), dan respon motorik (M).
Skala Glasgow
Area Pengkajian Nilai
Membuka mata
Spontan 4
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3
Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supra orbita atau kuku jari) 2
Tidak ada reaksi ( dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata) 1
Respon verbal (bicara)
Baik dan tidak ada disorientasi 5
Kacau (Confused), dapat berbicara dalam kalimat,
namun ada disorientasi waktu dan tempat 4
Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata,
Namun tidak berupa kalimat atau tidak tepat 3
Mengerang (tidak mengucapkan kata,
hanya mengeluarkan suara erangan 2
Tidak ada respon 1
Motor Response
Menurut perintah (misalnya suruh pasien angkat tangan) 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supra orbita.
Bila pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud
menepis rangsangan tersebut, berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri
Reaksi menghindar / Withdraws 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) Abnormal Flexion 3
Berikan rangsangan nyeri misalnya menekan dengan objek keras
seperti ballpoint pada kuku jari, Bila sebagai jawaban siku memfleksi,
terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri
Reaksi ekstensi abnormal /Abnormal extention / desebrasi 2
Dengan rangsangan nyeri tersebut diatas, terjadi ekstensi pada siku.
Ini selalu disertai fleksi spastic pada pergelangan tangan.
Tidak ada reaksi 1
(harus dipastikan terlebih dahulu, bahwa rangsangan nyeri telah adekuat
C. PEMERIKSAAN RANGSANGAN MENINGEAL
Bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub arachnoid terdapat benda asing seperti
darah, maka dapat merangsang selaput otak
1. Kaku kuduk
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan dengan cara :
a. Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring
b. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
c. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan.
d. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada.
e. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala tidak dapat
ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang.
f. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan
kepala.
2. Tanda laseque
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus,
b. lakukan ekstensi pada kedua tungkai.
c. Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi panggul.
d. Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus.
e. Normal : Jika kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit atau tahanan.
f. Laseq (+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai 70 o
3. Tanda Kerniq
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus di tempat tidur.
b. Pasien difleksikan pahanya pada sendi panggul sampai membuat sudut 90o,
c. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
d. Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 o, antara tungkai bawah dan tungkai atas.
e. Tanda kerniq (+) = Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 135o
4. Tanda Brudzinsky I
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.
b. Dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita
tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada.
c. Tangan yang satunya lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya
badan.
d. Brudzinsky I (+) ditemukan fleksi pada kedua tungkai.
5. Tanda Brudzinsky II
Pemeriksaan dilakukan seagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.
b. Satu tungkai di fleksikan pada sendi panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam
keadaan lurus.
c. Brudzinsky I (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula fleksi, tapi perhatikan apakah ada
kelumpuhan pada tungkai.
D. PEMERIKSAAN KEKUATAN MOTORIK
1. Inspeksi
- Perhatikan sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring dan bergerak,
- Perhatikan bentuknya apakah ada deformitas,
- Perhatikan ukuran nya apakah sama bagian tubuh kiri dan kanan
- Perhatikan adanya gerakan abnormal yang tidak dapat dikendalikan seperti tremor, khorea,
atetose, distonia, ballismus, spasme, tik, fasikulasi dan miokloni.
2. Palpasi
- Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya
- Palpasi otot untuk menentukan konsistensi dan nyeri tekan, tonus otot
3. Pemeriksaan gerakan aktif
- Pasien disuruh menggerakan bagian ekstremitas atau badannya dan kita pemeriksa menahan
gerakan tersebut
- Kita pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan disuruh ia menahan
Penilaian status motorik dilakukan dengan melihat :
1. Fungsi motoris dengan menilai : Besar dan bentuk otot, tonus otot dan kekuatan otot
ekstremitas (skala 0 – 5)
1) 0 = tidak ada gerakan
2) 1 = kontraksi otot minimal terasa tanpa menimbulkan gerak
3) 2 = otot dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan
4) 3 = gerakan otot dapat melawan gaya berat tapi tidak bisa thd tahanan pemeriksa
5) 4 = gerakan otot dg tahanan ringan pemeriksa dan dapat melawan gaya berat
6) 5 = gerakan otot dg tahanan maksimal pemeriksa
Pada pemeriksaan kekuatan otot digunakan skala dari 0-5. Seperti pada gambar di bawah ini:
4. Pemeriksaan gerakan pasif
5. Koordinasi gerak
E. PEMERIKSAAN SENSORIK
1. Pemeriksaan sensibilitas : Pemeriksaan rasa raba, Pemeriksaan rasa nyeri, Pemeriksaan rasa
suhu
2. Pemeriksaan rasa gerak dan rasa sikap
3. Pemeriksaan rasa getar
4. Pemeriksaan rasa tekan
5. Pemeriksaan rasa interoseptif : perasaan tentang organ dalam
6. Nyeri rujukan
F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS
1. Pemeriksaan N. I : Olfaktorius
Fungsi : Sensorik khusus (menghidu, membau)
Cara Pemeriksaan :
a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau
polip, karena dapat mengurangi ketajaman penciuman.
b. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh, tembakau dan jeruk.
c. Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N V) seperti mentol, amoniak,
alkohol dan cuka.
d. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien menciumnya
e. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lobang hidung yang lainnya
dengan tangan.
2. Pemeriksaan N. II : Optikus
Fungsi : Sensorik khusus melihat
Tujuan pemeriksaan :
a. Mengukur ketajaman penglihatan / visus dan menentukan apakah kelaianan pada visus
disebabkan oleh kelaianan okuler lokal atau kelaianan syaraf.
b. Mempelajari lapangan pandangan
c. Memeriksa keadaan papil optik
Cara Pemeriksaan :
Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan pemeriksa juga
tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya dilakukan pemeriksaan nervus II , yaitu :
a. Ketajaman penglihatan
b. Lapangan pandangan
Bila ditemukan kelainan, dilakuakn pemeriksaan yang lebih teliti. Perlu dilakukan pemeriksaan
oftalmoskopik.
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan :
1. Dilakukan dengan cara memandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa yang
normal.
2. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh, misalnya jam dinding dan ditanyakan
pukul berapa.
3. Pasien disuruh membaca huruf-huruf yang ada di koran atau di buku.
4. Bila ketajaman penglihatan pasien sama dengan pemeriksa, maka dianggap normal.
5. Pemeriksaan ketajaman penglihatan yang lebih teliti dengan pemeriksaan visus dengan
menggunakan gambar snellen.
6. Pemeriksaan snellen chart
a. Pasien disuruh membaca gambar snellen dari jarak 6 m
b. Tentukan sampai barisan mana ia dapat membacanya.
c. Bila pasien dapat membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman penglihatannya
norma (6/6)
d. Bila tidak normal :
i. Misal 6/20, berarti huruf yang seharusnya dibaca pada jarak 20 m, pasien hanya dapat memaca
pada jaral 6 m, namun bila pasien dapat melihat melalui lubang kecil (kertas yang berluang,
lubang peniti), huruf bertambah jelas, maka pasien mengalami kelainan refraksi.
ii. 1/300 = Pasien dapat melihat gerakan tangan / membedakan adanya gerakan atau tidak
iii. 1/~ = pasien hanya dapat membedakan gelap dan terang
Pemeriksaan Lapangan Pandangan :
Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan penglihatan pemeriksa yang dianggap normal.,
dengan menggunakan metode konfrontasi dari donder.
1. Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1 m.
2. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya
dengan tangan atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya.
3. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu
melihat mata kanan pasien.
4. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa
dan pasien.
5. Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam
6. Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberi tahu dan
dibandingkan dengan pemeriksa, apakah pemeriksa juga melihatnya
7. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat
gerakan tersebut.
8. Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien.
3. Pemeriksaan N. III Okulomotorius
Fungsi : Sematomotorik, visero motorik
Meninervasi m. Rektus internus (medialis), m. Rektus superior dan m. Rektus inferior, m levator
palpebra, serabut visero motorik mengurus m. Sfingter pupil dan m. Siliare (lensa mata).
4. Pemeriksaan N. IV Trokhlearis
Fungsi : Somatomotorik
Menginervasi m. Obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke bawah
dan nasal.
5. Pemeriksaan N. V Trigeminus
Fungsi : Somatomotorik, somatosensorik
Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, ayitu menutup mulut, menggerakkan
rahang ke bahwa dan samping dan membuka mulut.
Bagian sensorik cabang Oftalmik mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak,
sinus paranasal dan sebagian mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang maksilaris mengurus sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi,
palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang mandibularis mengurus sensibilitas rahang bawah, bibir bawah, mukosa
pipi, 2/3 bagian depan lidah dan sebagian telinga, meatus dan selaput otak.
Cara pemeriksaan fungsi motorik :
a. Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita raba m. Masseter dan m.
Temporalis, perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya.
b. Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah.
c. Bila ada parise, maka rahang bawah akan berdeviasi ke arah yang lumpuh
Cara pemeriksaan fungsi sensorik :
a. Diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri dan suhu daerah yang dipersyarafi.
b. Periksa reflek kornea
6. Pemeriksaan N. VI Abdusen
Fungsi : Somatomotorik
Meninervasi m. Rektus eksternus (lateralis). Kerja mata ini menyebabkan lirik mata ke arah
temporal
Untuk N. III, IV dan VI fungsinya saling berkaitan. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata
ekstra okuler dan mengangkat kelopak mata. Searbut otonom N III, mengatur otot pupil. Cara
pemeriksaannya bersamaan, yaitu :
1. Pemeriksa melakukan wawancara dengan pasien
2. Selama wawancara, pemeriksa memperhatikan celah matanya, apakah ada ptosis, eksoftalmus
dan strabismus/ juling dan apakah ia cendrung memejamka matanya karena diplopia.
3. Setelah itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi cahaya
pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan nistagmus.
4. Untuk menilai m. Levator palpebra, pasien disuruh memejamkan matanya, kemudia disuruh ia
membuka matanya.
5. Waktu pasien membuka matanya, kita tahan gerakan ini dengan jalan memegang / menekan
ringan pada kelopak mata.
6. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan kelopak mata.
7. Untuk menilai pupil, perhatikan besarnya pupil pada kiri dan kanan, apakah sama ukurannya,
apakah bentuknya bundar atau tidak rata tepinya. Miosis = pupil mengecil, midriasis = pupil
membesar
8. Reflek cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya langsung atau tidak langsung., caranya :
i. Pasien disuruh melihat jauh.
ii. Setelah itu pemeriksa mata pasien di senter/ diberi cahaya dan lihat apakah ada reaksi pada
pupil. Normal akan mengecil
iii. Perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena penyinaran pupil mata
tadi disebut dengan reaksi cahaya tak langsung
iv. Cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh.
7. Pemeriksaan N. VII Fasialis
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik
Cara Pemeriksaan fungsi motorik :
a. Perhatikan muka pasien, apakah simetris atau tidak, perhatikan kerutan dahi, pejaman mata,
plika nasolabialis dan sudut mulut.
b. Bila asimetris muka jelas disebabkan kelumpuhan jenis perifer.
c. Pada kelumpuhan jenis sentral, kelumpuhan nyata bila pasien disuruh melakukan gerakan
seperti menyeringai dan pada waktu istirahat, muka simetris.
d. Suruh pasien mengangkat alis dan mengkerutkan dahi
e. Suruh pasien memejamkan mata
f. Suruh pasien menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
g. Gejala chvostek, dengan mengetuk N. VII di bagian depan telinga. (+) bila ketokan
menyebabkan kontraksi otot mata yang di persyarafi.
Fungsi pengecapan :
a. Pasien disuruh menjulurkan lidah
b. Taruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam secara bergiliran
c. Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut.
d. Pasien disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dengan isyarat.
8. Pemeriksaan N. VIII Akustikus
Fungsi : Sensorik khusus pendengaran dan keseimbangan
Cara Pemeriksaan syaraf kokhlerais :
a. Ketajaman pendengaran
b. Tes swabach
c. Tes Rinne
d. Tes weber
Cara untuk menilai keseimbangan :
a. Tes romberg yang dipertajam :
- Pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit kaki yang satu berada di
depan jari-jari kaki yang lain
- Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup
- Orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih
b. Tes melangkah di tempat
- Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan
berjalan seperti biasa
- Suruh pasien untuk tetap di tempat
- Tes abnormal jika kedudukan pasien beranjak lebih dari 1 m dari tempat semula atau badan
berputar lebih 30 o
c. Tes salah tunjuk
- Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa
- Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi dan kemudian
kembali ke posisi semula
- Gangguan (+) bila didapatkan salah tunjuk
9. Pemeriksaan N. IX Glossofaringeus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik
10. Pemeriksaan N. X Vagus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, somatosensorik
N IX dan N X diperiksa bersamaan. Cara Pemeriksaan Fungsi motorik :
- Pasien disuruh menyebutkan aaaaaa
- Perhatikan kualitas suara pasien, apakah suaranya normal, berkurang, serak atau tidak sama
sekali.
- Pasien disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air
- Perhatikan apakah ada kesalahan telan / tidak bisa menelan / disfagia
- Pasien disuruh membuka mulut
- Perhatikan palatum mole dan faring, perhatikan sikap palatum mole, arkus faring dan uvula
dalam keadaan istirahat dan bagaimana pula waktu bergerak, misalnya waktu bernafas atau
bersuara. Abnormal bila letaknya lebih rendah terhadap yang sehat.
11. Pemeriksaan N. XI aksesorius
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :
a. Untuk mengukur kekuatan otot sternocleidomastoideus dilakukan dengan cara :
- pasien disuruh menggerakkan bagian badan yang digerakkan oleh otot ini dan kita tahan
gerakannya.
- Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.
b. Lihat otot trapezius
- apakah ada atropi atau fasikulasi,
- apakah bahu lebih rendah,
- apakah skapula menonjol
- Letakkan tangan pemeriksa diatas bahu pasien
- Suruh pasien mengangkat bahunya dan kita tahan.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.
12. Pemeriksaan N. XII Hipoglosus
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :
a. Suruh pasien membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak
b. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan :
- besarnya lidah,
- kesamaan bagian kiri dan kanan
- adanya atrofi
- apakah lidah berkerut
c. Apakah lidahnya mencong bila digerakkan atau di julurkan
G. PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGIS
1. Reflek tendon dalam (bisep dan trisep)
Derajatnya : 0 = absen reflek
1=Menurun
2 = Normal
3 = Hiperreflek
4 = Hiperreflek dengan klonus
2. Reflek superficial
a. Reflek kulit perut :
epigastrium T 6-9, abdomen tengah T 9-11, Hiogastrium T 11-L1. Abdomen digores dari arah
luar menuju umbilikus --- kontraksi dinding perut
b. Kremaster ( L 1-2)
Paha bagian dalam digores—kontraksi kremaster dan penarikan testis ke atas
c. Reflek anus ( S3-4-5)
Pakai sarung tangan ujung jari dimaasukkan kedalam cincin anus terasa kontraksi spingter ani
d. Reflek bulbokavernosus
Kulit penis atau glan dicubit terlihat kontraksi bulbokavernosus
5. Reflek Plantar ( L 5, S 1-5)
Telapak kaki dirangsang akan timbul fleksi jari kaki seperti pemeriksaan Babinski
H. PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS
1. Babinski
Telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari, timbul dorso
fleksi ibu jari dan pemekaran jari-jari lainnya.
2. Chadock
Tanda babinski akan timbul dengan menggores punggung kaki dari arah lateral ke depan
3. Openheim
Mengurut tibia dengan ibu jari, jario telunjuk, jari tengah dari lutut menyusur kebawah (+ =
babinski)
4. Gordon
Otot gastroknemius ditekan (+ sama dengan Babinski)
5. Scahaefer
Tanda babinski timbul dengan memijit tendon Achiles
6. Rosollimo
Mengetok bagian basis telapak jari kaki (+) fleksi jari-jari kaki
7. Mendel Rechterew
Mengetok bagian dorsal basis jari kaki. (+) fleksi jari kaki
8. Hoffman –Trommer
Positif timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari telunjuk atau jari tengah
Referensi :
Lumbantobing (2000) Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental, FKUI, Jakarta
Diposkan oleh Nenny Afrini di 03:12 0 komenta
Anatomi Fisiologi Persarafan
Ns. Lukman, SKep,MM
Struktur dan Fungsi
Sistem persarafan terdiri dari sel-sel saraf yang disebut neuron dan jaringan penunjang yang
disebut neuroglia . Tersusun membentuk sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (SST).
SSP terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi merupakan susunan saraf
diluar SSP yang membawa pesan ke dan dari sistem saraf pusat. Sistem persarafan berfungsi
dalam mempertahankan kelangsungan hidup melalui berbagai mekanisme sehingga tubuh tetap
mencapai keseimbangan. Stimulasi yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari
lingkungan internal maupun eksternal menyebabkan berbagai perubahan dan menuntut tubuh
dapat mengadaptasi sehingga tubuh tetap seimbang. Upaya tubuh dalam mengadaptasi
perubahan berlangsung melalui kegiatan saraf yang dikenal sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh
tidak mampu mengadaptasinya maka akan terjadi kondisi yang tidak seimbang atau sakit.
Stimulasi dapat Menghasilkan Suatu Aktifitas
Stimulasi diterima oleh reseptor sistem saraf yang selanjutnya akan dihantarkan oleh sistem
saraf tepi dalam bentuk impuls listrik ke sistem saraf pusat. Bagian sistem saraf tepi yang
menerima rangsangan disebut reseptor, dan diteruskan menuju sistem saraf pusat oleh sistem
saraf sensoris. Pada sistem saraf pusat impuls diolah dan diinterpretasi untuk kemudian
jawaban atau respon diteruskan kembali melalui sistem saraf tepi menuju efektor yang
berfungsi sebagai pencetus jawaban akhir. Sistem saraf yang membawa jawaban atau respon
adalah sistem saraf motorik. Bagian sistem saraf tepi yang mencetuskan jawaban disebut
efektor. Jawaban yang terjadi dapat berupa jawaban yang dipengaruhi oleh kemauan (volunter)
dan jawaban yang tidak dipengaruhi oleh kemauan (involunter). Jawaban volunter melibatkan
sistem saraf somatis sedangkan yang involunter melibatkan sistem saraf otonom. Efektor dari
sitem saraf somatik adalah otot rangka sedangkan untuk sistem saraf otonom, efektornya adalah
otot polos, otot jantung dan kelenjar sebasea.
Fungsi Saraf
1. Menerima informasi (rangsangan) dari dalam maupun dari luar tubuh melalui saraf
sensori . Saraf sensori disebut juga Afferent Sensory Pathway.
2. Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
3. Mengolah informasi yang diterima baik ditingkat medula spinalis maupun di otak untuk
selanjutnya menentukan jawaban atau respon.
4. Mengantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ tubuh sebagai
kontrol atau modifikasi dari tindakan. Saraf motorik disebut juga Efferent Motorik Pathway.
Sel Saraf (Neuron)
Merupakan sel tubuh yang berfungsi mencetuskan dan menghantarkan impuls listrik. Neuron
merupakan unit dasar dan fungsional sistem saraf yang mempunyai sifat exitability artinya siap
memberi respon saat terstimulasi. Satu sel saraf mempunyai badan sel disebut soma yang
mempunyai satu atau lebih tonjolan disebut dendrit. Tonjolan-tonjolan ini keluar dari sitoplasma
sel saraf. Satu dari dua ekspansi yang sangat panjang disebut akson. Serat saraf adalah akson
dari satu neuron. Dendrit dan badan sel saraf berfungsi sebagai pencetus impuls sedangkan
akson berfungsi sebagai pembawa impuls. Sel-sel saraf membentuk mata rantai yang panjang
dari perifer ke pusat dan sebaliknya, dengan demikian impuls dihantarkan secara berantai dari
satu neuron ke neuron lainnya. Tempat dimana terjadi kontak antara satu neuron ke neuron
lainnya disebut sinaps. Pengahantaran impuls dari satu neuron ke neuron lainnya berlangsung
dengan perantaran zat kimia yang disebut neurotransmitter
Jaringan Penunjang
Jaringan penunjang saraf terdiri atas neuroglia. Neuroglia adalah sel-sel penyokong untuk
neuron-neuron SSP, merupakan 40% dari volume otak dan medulla spinalis. Jumlahnya lebih
banyak dari sel-sel neuron dengan perbandingan sekitar 10 berbanding satu. Ada empat jenis sel
neuroglia yaitu: mikroglia, epindima, astrogalia, dan oligodendroglia
Mikroglia
Mempunyai sifat fagositosis, bila jaringan saraf rusak maka sel-sel ini bertugas untuk mencerna
atau menghancurkan sisa-sisa jaringan yang rusak. Jenis ini ditemukan diseluruh susunan saraf
pusat dan di anggap berperan penting dalam proses melawan infeksi. Sel-sel ini mempunyai
sifat yang mirip dengan sel histiosit yang ditemukan dalam jaringan penyambung perifer dan
dianggap sebagai sel-sel yang termasuk dalam sistem retikulo endotelial sel.
Epindima
Berperan dalam produksi cairan cerebrospinal. Merupakan neuroglia yang membatasi sistem
ventrikel susunan saraf pusat. Sel ini merupakan epitel dari pleksus choroideus ventrikel otak.
Astroglia
Berfungsi sebagai penyedia nutrisi esensial yang diperlukan oleh neuron dan membantu neuron
mempertahankan potensial bioelektris yang sesuai untuk konduksi dan transmisi sinaptik.
Astroglia mempunyai bentuk seperti bintang dengan banyak tonjolan. Astrosit berakhir pada
pembuluh darah sebagai kaki I perivaskuler dan menghubungkannya dalam sistem transpot
cepat metabolik. Kalau ada neuron-neuron yang mati akibat cidera, maka astrosit akan
berproliferasi dan mengisi ruang yang sebelumnya dihuni oleh badan sel saraf dan tonjolan-
tonjolannya. Kalau jaringan SSP mengalami kerusakan yang berat maka akan terbentuk suatu
rongga yang dibatasi oleh astrosit
Oligodendroglia
Merupakan sel yang bertanggungjawab menghasilkan myelin dalam SSP. Setiap
oligodendroglia mengelilingi beberapa neuron, membran plasmanya membungkus tonjolan
neuron sehingga terbentuk lapisan myelin. Myelin merupakan suatu komplek putih lipoprotein
yang merupakan insulasi sepanjang tonjolan saraf. Myelin menghalangi aliran ion kalium dan
natrium melintasi membran neuronal .
Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan medula spinalis. SSP dibungkus oleh selaput meningen
yang berfungsi untuk melindungi otak dan medula spinalis dari benturan atau trauma. Meningen
terdiri atas tiga lapisan yaitu durameter, arachnoid dan piamater.
Rongga Epidural
Berada diantara tulang tengkorak dan durameter. Rongga ini berisi pembuluh darah dan jaringan
lemak yang berfungsi sebagai bantalan. Bila cidera mencapai lokasi ini akan menyebabkan
perdarahan yang hebat oleh karena pada lokasi ini banyak pembuluh darah sehingga
mengakibatkan perdarahan epidural
Rongga Subdural
Berada diantara durameter dan arachnoid, rongga ini berisi berisi cairan serosa.
Rongga Sub Arachnoid
Terdapat diantara arachnoid dan piameter. Berisi cairan cerebrospinalis yang salah satu
fungsinya adalah menyerap guncangan atau shock absorber. Cedera yang berat disertai
perdarahan dan memasuki ruang sub arachnoid yang akan menambah volume CSF sehingga
dapat menyebabkan kematian sebagai akibat peningkatan tekanan intra kranial (TIK).
Otak
Otak, terdiri dari otak besar yang disebut cerebrum, otak kecil disebut cerebellum dan batang
otak disebut brainstem. Beberapa karateristik khas Otak orang dewasa yaitu mempunyai berat
lebih kurang 2% dari berat badan dan mendapat sirkulasi darah sebenyak 20% dari cardiac out
put serta membutuhkan kalori sebesar 400 Kkal setiap hari. Otak merupakan jaringan yang
paling banyak menggunakan energi yang didukung oleh metabolisme oksidasi glukosa.
Kebutuhan oksigen dan glukosa otak relatif konstan, hal ini disebabkan oleh metabolisme otak
yang merupakan proses yang terus menerus tanpa periode istirahat yang berarti. Bila kadar
oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak maka metabolisme menjadi terganggu dan
jaringan saraf akan mengalami kerusakan. Secara struktural, cerebrum terbagi menjadi bagian
korteks yang disebut korteks cerebri dan sub korteks yang disebut struktur subkortikal. Korteks
cerebri terdiri atas korteks sensorik yang berfungsi untuk mengenal ,interpretasi impuls
sensosrik yang diterima sehingga individu merasakan, menyadari adanya suatu sensasi
rasa/indra tertentu. Korteks sensorik juga menyimpan sangat banyak data memori sebagai hasil
rangsang sensorik selama manusia hidup. Korteks motorik berfungsi untuk memberi jawaban
atas rangsangan yang diterimanya.
Struktur sub kortikal
a. Basal ganglia; melaksanakan fungsi motorik dengan merinci dan mengkoordinasi gerakan
dasar, gerakan halus atau gerakan trampil dan sikap tubuh.
b. Talamus; merupakan pusat rangsang nyeri
c. Hipotalamus; pusat tertinggi integrasi dan koordinasi sistem saraf otonom dan terlibat dalam
pengolahan perilaku insting seperti makan, minum, seks dan motivasi
d. Hipofise
Bersama dengan hipothalamus mengatur kegiatan sebagian besar kelenjar endokrin
dalam sintesa dan pelepasan hormon.
Cerebrum
Terdiri dari dua belahan yang disebut hemispherium cerebri dan keduanya dipisahkan oleh
fisura longitudinalis. Hemisperium cerebri terbagi menjadi hemisper kanan dan kiri. Hemisper
kanan dan kiri ini dihubungkan oleh bangunan yang disebut corpus callosum. Hemisper cerebri
dibagi menjadi lobus-lobus yang diberi nama sesuai dengan tulang diatasnya, yaitu:
1. Lobus frontalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang frontalis
2. Lobus parietalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang parietalis
3. Lobus occipitalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang occipitalis
4. Lobus temporalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang temporalis
Cerebelum (Otak Kecil)
Terletak di bagian belakang kranium menempati fosa cerebri posterior di bawah lapisan
durameter Tentorium Cerebelli. Di bagian depannya terdapat batang otak. Berat cerebellum
sekitar 150 gr atau 8-8% dari berat batang otak seluruhnya. Cerebellum dapat dibagi menjadi
hemisper cerebelli kanan dan kiri yang dipisahkan oleh vermis. Fungsi cerebellum pada
umumnya adalah mengkoordinasikan gerakan-gerakan otot sehingga gerakan dapat terlaksana
dengan sempurna.
Batang Otak atau Brainstern
Terdiri atas diencephalon, mid brain, pons dan medula oblongata. Merupakan tempat berbagai
macam pusat vital seperti pusat pernafasan, pusat vasomotor, pusat pengatur kegiatan jantung
dan pusat muntah, bersin dan batuk.
Komponen Saraf Kranial
a. Komponen sensorik somatik : N I, N II, N VIII
b. Komponen motorik omatik : N III, N IV, N VI, N XI, N XII
c. Komponen campuran sensorik somatik dan motorik somatik : N V, N VII, N IX, N X
d. Komponen motorik viseral
Eferen viseral merupakan otonom mencakup N III, N VII, N IX, N X. Komponen eferen
viseral yang 'ikut' dengan beberapa saraf kranial ini, dalam sistem saraf otonom tergolong
pada divisi parasimpatis kranial.
1. N. Olfactorius
Saraf ini berfungsi sebagai saraf sensasi penghidu, yang terletak dibagian atas dari mukosa
hidung di sebelah atas dari concha nasalis superior.
2. N. Optikus
Saraf ini penting untuk fungsi penglihatan dan merupakan saraf eferen sensori khusus. Pada
dasarnya saraf ini merupakan penonjolan dari otak ke perifer.
3. N. Oculomotorius
Saraf ini mempunyai nucleus yang terdapat pada mesensephalon. Saraf ini berfungsi sebagai
saraf untuk mengangkat bola mata
4. N. Trochlearis
Pusat saraf ini terdapat pada mesencephlaon. Saraf ini mensarafi muskulus oblique yang
berfungsi memutar bola mata
5. N. Trigeminus
Saraf ini terdiri dari tiga buah saraf yaitu saraf optalmikus, saraf maxilaris dan saraf
mandibularis yang merupakan gabungan saraf sensoris dan motoris. Ketiga saraf ini
mengurus sensasi umum pada wajah dan sebagian kepala, bagian dalam hidung, mulut, gigi
dan meningen.
6. N. Abducens
Berpusat di pons bagian bawah. Saraf ini menpersarafi muskulus rectus lateralis. Kerusakan
saraf ini dapat menyebabkan bola mata dapat digerakan ke lateral dan sikap bola mata
tertarik ke medial seperti pada Strabismus konvergen.
7. N. Facialias
Saraf ini merupakan gabungan saraf aferen dan eferen. Saraf aferen berfungsi untuk sensasi
umum dan pengecapan sedangkan saraf eferent untuk otot wajah.
8. N. Statoacusticus
Saraf ini terdiri dari komponen saraf pendengaran dan saraf keseimbangan
9. N. Glossopharyngeus
Saraf ini mempersarafi lidah dan pharing. Saraf ini mengandung serabut sensori khusus.
Komponen motoris saraf ini mengurus otot-otot pharing untuk menghasilkan gerakan
menelan. Serabut sensori khusus mengurus pengecapan di lidah. Disamping itu juga
mengandung serabut sensasi umum di bagian belakang lidah, pharing, tuba, eustachius dan
telinga tengah.
10 N. Vagus
Saraf ini terdiri dari tiga komponen: a) komponen motoris yang mempersarafi otot-otot
pharing yang menggerakkan pita suara, b) komponen sensori yang mempersarafi bagian
bawah pharing, c) komponen saraf parasimpatis yang mempersarafi sebagian alat-alat dalam
tubuh.
11. N. Accesorius
Merupakan komponen saraf kranial yang berpusat pada nucleus ambigus dan komponen
spinal yang dari nucleus motoris segmen C 1-2-3. Saraf ini mempersarafi muskulus
Trapezius dan Sternocieidomastoideus.
12. Hypoglosus
Saraf ini merupakan saraf eferen atau motoris yang mempersarafi otot-otot lidah. Nukleusnya
terletak pada medulla di dasar ventrikularis IV dan menonjol sebagian pada trigonum
hypoglosi.
Medula Spinalis
Medula spinalis merupakan perpanjangan medula oblongata ke arah kaudal di dalam kanalis
vertebralis mulai setinggi cornu vertebralis cervicalis I memanjang hingga setinggi cornu
vertebralis lumbalis I - II. Terdiri dari 31 segmen yang setiap segmennya terdiri dari satu pasang
saraf spinal. Dari medula spinalis bagian cervical keluar 8 pasang , dari bagian thorakal 12
pasang, dari bagian lumbal 5 pasang dan dari bagian sakral 5 pasang serta dari coxigeus keluar 1
pasang saraf spinalis. Seperti halnya otak, medula spinalispun terbungkus oleh selaput
meninges yang berfungsi melindungi saraf spinal dari benturan atau cedera.
Gambaran penampang medula spinalis memperlihatkan bagian-bagian substansia grissea dan
substansia alba. Substansia grisea ini mengelilingi canalis centralis sehingga membentuk
columna dorsalis, columna lateralis dan columna ventralis. Massa grisea dikelilingi oleh
substansia alba atau badan putih yang mengandung serabut-serabut saraf yang diselubungi oleh
myelin. Substansi alba berisi berkas-berkas saraf yang membawa impuls sensorik dari SST
menuju SSP dan impuls motorik dari SSP menuju SST. Substansia grisea berfungsi sebagai
pusat koordinasi refleks yang berpusat di medula spinalis.Disepanjang medulla spinalis terdapat
jaras saraf yang berjalan dari medula spinalis menuju otak yang disebut sebagai jaras acenden
dan dari otak menuju medula spinalis yang disebut sebagai jaras desenden. Subsatansia alba
berisi berkas-berkas saraf yang berfungsi membawa impuls sensorik dari sistem tepi saraf tepi
ke otak dan impuls motorik dari otak ke saraf tepi. Substansia grisea berfungsi sebagai pusat
koordinasi refleks yang berpusat dimeudla spinalis.
Refleks-refleks yang berpusat di sistem saraf puast yang bukan medula spinalis, pusat
koordinasinya tidak di substansia grisea medula spinalis. Pada umumnya penghantaran impuls
sensorik di substansia alba medula spinalis berjalan menyilang garis tenga. ImPuls sensorik dari
tubuh sisi kiri akan dihantarkan ke otak sisi kanan dan sebaliknya. Demikian juga dengan impuls
motorik. Seluruh impuls motorik dari otak yang dihantarkan ke saraf tepi melalui medula
spinalis akan menyilang.
Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari korteks motorik
serebri atau batang otak yang seluruhnya (dengan serat saraf-sarafnya ada di dalam sistem saraf
pusat. Lower motor neuron (LMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari sistem saraf
pusat tetapi serat-serat sarafnya keluar dari sistem saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi
dan berakhir di otot rangka. Gangguan fungsi UMN maupun LMN menyebabkan kelumpuhan
otot rangka, tetapi sifat kelumpuhan UMN berbeda dengan sifat kelumpuhan UMN. Kerusakan
LMN menimbulkan kelumpuhan otot yang 'lemas', ketegangan otot (tonus) rendah dan sukar
untuk merangsang refleks otot rangka (hiporefleksia). Pada kerusakan UMN, otot lumpuh
(paralisa/paresa) dan kaku (rigid), ketegangan otot tinggi (hipertonus) dan mudah ditimbulkan
refleks otot rangka (hiperrefleksia). Berkas UMN bagian medial, dibatang otak akan saling
menyilang. Sedangkan UMN bagian Internal tetap berjalan pada sisi yang sama sampai berkas
lateral ini tiba di medula spinalis. Di segmen medula spinalis tempat berkas bersinap dengan
neuron LMN. Berkas tersebut akan menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motorik otot
rangka akan menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan
kelumpuhan pada otot-otot sisi yang berlawanan.
Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai pusat refleks.
Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansia grisea medula spinalis. Refleks adalah jawaban
individu terhadap rangsang, melindungi tubuh terhadap pelbagai perubahan yang terjadi baik
dilingkungan internal maupun di lingkungan eksternal. Kegiatan refleks terjadi melalui suatu
jalur tertentu yang disebut lengkung refleks
Fungsi medula spinalis
1. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis.
2. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai
3. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
4. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
Lengkung refleks
o Reseptor: penerima rangsang
o Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat (ke pusat
refleks)
o Pusat refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis: substansia grisea), tempat
terjadinya sinap ((hubungan antara neuron dengan neuron dimana terjadi pemindahan
/penerusan impuls)
o Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor. Bila sel
efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga neuron motorik (sel saraf /penggerak)
o Efektor: sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban refleks. Dapat
berupa sel otot (otot jantung, otot polos atau otot rangka), sel kelenjar.
Sistem Saraf Tepi
Kumpulan neuron diluar jaringan otak dan medula spinalis membentuk sistem saraf tepi (SST).
Secara anatomik digolongkan ke dalam saraf-saraf otak sebanyak 12 pasang dan 31 pasang saraf
spinal. Secara fungsional, SST digolongkan ke dalam: a) saraf sensorik (aferen) somatik :
membawa informasi dari kulit, otot rangka dan sendi, ke sistem saraf pusat, b) saraf motorik
(eferen) somatik : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke otot rangka, c) saraf sesnsorik
(eferen) viseral : membawa informasi dari dinding visera ke sistem saraf pusat, d) saraf mototrik
(eferen) viseral : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke otot polos, otot jantung dan
kelenjar. Saraf eferen viseral disebut juga sistem saraf otonom. Sistem saraf tepi terdiri atas
saraf otak (s.kranial) dan saraf spinal.
Saraf Otak (s.kranial)
Bila saraf spinal membawa informasi impuls dari perifer ke medula spinalis dan membawa
impuls motorik dari medula spinalis ke perifer, maka ke 12 pasang saraf kranial
menghubungkan jaras-jaras tersebut dengan batang otak. Saraf cranial sebagian merupakan
saraf campuran artinya memiliki saraf sensorik dan saraf motorik
Saraf Spinal
Tiga puluh satu pasang saraf spinal keluar dari medula apinalis dan kemudian dari kolumna
vertabalis melalui celah sempit antara ruas-ruas tulang vertebra. Celah tersebut dinamakan
foramina intervertebrelia. Seluruh saraf spinal merupakan saraf campuran karena mengandung
serat-serat eferen yang membawa impuls baik sensorik maupun motorik. Mendekati medula
spinalis, serat-serat eferen memisahkan diri dari serat –serat eferen. Serat eferen masuk ke
medula spinalis membentuk akar belakang (radix dorsalis), sedangkan serat eferen keluar dari
medula spinalis membentuk akar depan (radix ventralis). Setiap segmen medula spinalis
memiliki sepasang saraf spinal, kanan dan kiri. Sehingga dengan demikian terdapat 8 pasang
saraf spinal servikal, 12 pasang saraf spinal torakal, 5 pasang saraf spinal lumbal, 5 pasang saraf
spinal sakral dan satu pasang saraf spinal koksigeal. Untuk kelangsungan fungsi integrasi,
terdapat neuron-neuron penghubung disebut interneuron yang tersusun sangat bervariasi mulai
dari yang sederhana satu interneuron sampai yang sangat kompleks banyak interneuron. Dalam
menyelenggarakan fungsinya, tiap saraf spinal melayani suatu segmen tertentu pada kulit, yang
disebut dermatom. Hal ini hanya untuk fungsi sensorik. Dengan demikian gangguan sensorik
pada dermatom tertentu dapat memberikan gambaran letak kerusakan.
Sistem Saraf Somatik
Dibedakan 2 berkas saraf yaitu saraf eferen somatik dan eferen viseral. Saraf eferen somatik :
membawa impuls motorik ke otot rangka yang menimbulkan gerakan volunter yaitu gerakan
yang dipengaruhi kehendak. Saraf eferen viseral : membawa impuls mototrik ke otot polos, otot
jantung dan kelenjar yang menimbulkan gerakan/kegiatan involunter (tidak dipengaruhi
kehendak). Saraf-saraf eferen viseral dengan ganglion tempat sinapnya dikenal dengan sistem
saraf otonom yang keluar dari segmen medula spinalis torakal 1 – Lumbal 2 disebut sebagai
divisi torako lumbal (simpatis). Serat eferen viseral terdiri dari eferen preganglion dan eferen
postganglion. Ganglion sistem saraf simpatis membentuk mata rantai dekat kolumna vertebralis
yaitu sepanjang sisiventrolateral kolumna vertabralis, dengan serat preganglion yang pendek dan
serat post ganglion yang panjang. Ada tiga ganglion simpatis yang tidak tergabung dalam
ganglion paravertebralis yaitu ganglion kolateral yang terdiri dari ganglion seliaka, ganglion
mesenterikus superior dan ganglion mesenterikus inferior. Ganglion parasimpatis terletak relatif
dekat kepada alat yang disarafinya bahkan ada yang terletak didalam organ yang dipersarafi.
Semua serat preganglion baik parasimpatis maupun simpatis serta semua serat postganglion
parasimpatis, menghasilkan asetilkolin sebagai zat kimia perantara. Neuron yang menghasilkan
asetilkolin sebagai zat kimia perantara dinamakan neuron kolinergik sedangkan neuron yang
menghasilkan nor-adrenalin dinamakan neuron adrenergik. Sistem saraf parasimpatis dengan
demikian dinamakan juga sistem saraf kolinergik, sistem saraf simpatis sebagian besar
merupakan sistem saraf adrenergik dimana postganglionnya menghasilkan nor-adrenalin dan
sebagian kecil berupa sistem saraf kolinergik dimana postganglionnya menghasilkan
asetilkolin. Distribusi anatomik sistem saraf otonom ke alat-alat visera, memperlihatkan bahwa
terdapat keseimbangan pengaruh simpatis dan parasimpatis pada satu alat. Umumnya tiap alat
visera dipersarafi oleh keduanya. Bila sistem simpatis yang sedang meningkat, maka pengaruh
parasimpatis terhadap alat tersebut kurang tampak, dan sebaliknya. Dapat dikatakan pengaruh
simpatis terhadap satu alat berlawanan dengan pengaruh parasimpatisnya. Misalnya peningkatan
simpatis terhadap jantung mengakibatkan kerja jantung meningkat, sedangkan pengaruh
parasimpatis menyebabkan kerja jantung menurun. Terhadap sistem pencernaan, simpatis
mengurangi kegiatan, sedangkan parasimpatis meningkatkan kegiatan pencernaan. Atau dapat
pula dikatakan, secara umum pengaruh parasimpatis adalah anabolik, sedangkan pengaruh
simpatis adalah katabolik.
Sirkulasi Darah pada Sistem Saraf Pusat
Sirkulasi darah pada sistem saraf terbagi atas sirkulasi pada otak dan medula spinalis. Dalam
keadaan fisiologik jumlah darah yang dikirim ke otak sebagai blood flow cerebral adalah 20%
cardiac out put atau 1100-1200 cc/menit untuk seluruh jaringan otak yang berat normalnya 2%
dari berat badan orang dewasa. Untuk mendukung tercukupinya suplai oksigen, otak mendapat
sirkulasi yang didukung oleh pembuluh darah besar.
Suplai Darah Otak
1. Arteri Carotis Interna kanan dan kiri
– Arteri communicans posterior
Arteri ini menghubungkan arteri carotis interna dengan arteri cerebri posterior
– Arteri choroidea anterior, yang nantinya membentuk plexus choroideus di dalam
ventriculus lateralis
– Arteri cerebri anterrior
Bagian ke frontal disebelah atas nervus opticus diantara belahan otak kiri dan kanan. Ia
kemudian akan menuju facies medialis lobus frontalis cortex cerebri. Daerah yang
diperdarahi arteri ini adalah: a) facies medialis lobus frontalis cortex cerebro, b) facies
medialis lobus parietalis, c) facies convexa lobus frontalis cortex cerebri, d) facies
convexa lobus parietalis cortex cerebri, e) Arteri cerebri media
– Arteri cerebri media
2. Arteri Vertebralis kanan dan kiri
Arteri Cerebri Media
Berjalan lateral melalui fossa sylvii dan kemudian bercabang-cabang untuk selanjutnya menuju
daerah insula reili. Daerah yang disuplai darah oleh arteri ini adalah Facies convexa lobus
frontalis coretx cerebri mulai dari fissura lateralis sampai kira-kira sulcus frontalis superior,
facies convexa lobus parielatis cortex cerebri mulai dari fissura lateralis sampai kira-kira sulcus
temporalis media dan facies lobus temporalis cortex cerebri pada ujung frontal.
Arteri Vertebralis kanan dan kiri
Arteri vertebralis dipercabangkan oleh arteri sub clavia. Arteri ini berjalan ke kranial melalui
foramen transversus vertebrae ke enam sampai pertama kemudian membelok ke lateral masuk
ke dalam foramen transversus magnum menuju cavum cranii. Arteri ini kemudian berjalan
ventral dari medula oblongata dorsal dari olivus, caudal dari tepi caudal pons varolii. Arteri
vertabralis kanan dan kiri akan bersatu menjadi arteri basilaris yang kemudian berjalan frontal
untuk akhirnya bercabang menjadi dua yaitu arteri cerebri posterior kanan dan kiri. Daerah yang
diperdarahi oleh arteri cerbri posterior ini adalah facies convexa lobus temporalis cortex cerebri
mulai dari tepi bawah sampai setinggi sulcus temporalis media, facies convexa
parietooccipitalis, facies medialis lobus occipitalis cotex cerebri dan lobus temporalis cortex
cerebri. Anastomosis antara arteri-arteri cerebri berfungsi utnuk menjaga agar aliran darah ke
jaringan otak tetap terjaga secara continue. Sistem carotis yang berasal dari arteri carotis interna
dengan sistem vertebrobasilaris yang berasal dari arteri vertebralis, dihubungkan oleh circulus
arteriosus willisi membentuk Circle of willis yang terdapat pada bagian dasar otak. Selain itu
terdapat anastomosis lain yaitu antara arteri cerebri media dengan arteri cerebri anterior, arteri
cerebri media dengan arteri cerebri posterior.
Suplai Darah Medula Spinalis
Medula spinalis mendapat dua suplai darah dari dua sumber yaitu: 1) arteri Spinalis
anterior yang merupakan percabangan arteri vertebralis, 2) arteri Spinalis posterior, yang juga
merupakan percabangan arteri vertebralis.
Antara arteri spinalis tersebut diatas terdapat banyak anastomosis sehingga merupakan anyaman
plexus yang mengelilingi medulla spinalis dan disebut vasocorona. Vena di dalam otak tidak
berjalan bersama-sama arteri. Vena jaringan otak bermuara di jalan vena yang terdapat pada
permukaan otak dan dasar otak. Dari anyaman plexus venosus yang terdapat di dalam spatum
subarachnoid darah vena dialirkan kedalam sistem sinus venosus yang terdapat di dalam
durameter diantara lapisan periostum dan selaput otak.
Cairan Cerebrospinalis (CSF)
Cairan cerebrospinalis atau banyak orang terbiasa menyebutnya cairan otak merupakan bagian
yang penting di dalam SSP yang salah satu fungsinya mempertahankan tekanan konstan dalam
kranium. Cairan ini terbentuk di Pleksus chroideus ventrikel otak, namun bersirkulasi
disepanjang rongga sub arachnoid dan ventrikel otak. Pada orang dewasa volumenya berkisar
125 cc, relatif konstan dalam produksi dan absorbsi. Absorbsi terjadi disepanjang sub arachnoid
oleh vili arachnoid. Ada empat buah rongga yang saling berhubungan yang disebut ventrikulus
cerebri tempat pembentukan cairan ini yaitu: 1) ventrikulus lateralis , mengikuti hemisfer
cerebri, 2) ventrikulus lateralis II, 3) ventrikulus tertius III dtengah-tengah otak, dan 4)
ventrikulus quadratus IV, antara pons varolli dan medula oblongata.
Ventrikulus lateralis berhubungan dengan ventrikulus tertius melalui foramen monro.
Ventrikulus tertius dengan ventrikulus quadratus melalui foramen aquaductus sylvii yang
terdapat di dalam mesensephalon. Pada atap ventrukulus quadratus bagian tengah kanan dan kiri
terdapat lubang yang disebut foramen Luscka dan bagian tengah terdapat lubang yang disebut
foramen magendi. Sirkulasi cairan otak sangat penting dipahami karena bebagai kondisi
patologis dapat terjadi akibat perubahan produksi dan sirkulasi cairan otak. Cairan otak yang
dihasilkan oleh flexus ventrikulus lateralis kemudian masuk kedalam ventrikulus lateralis, dari
ventrikulus lateralis kanan dan kiri cairan otak mengalir melalui foramen monroi ke dalam
ventrikulus III dan melalui aquaductus sylvii masuk ke ventrikulus IV. Seterusnya melalui
foramen luscka dan foramen megendie masuk kedalam spastium sub arachnoidea kemudian
masuk ke lakuna venosa dan selanjutnya masuk kedalam aliran darah.
Guillan Barre Syndrome
Posted on Februari 24, 2009 by idmgarut
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic
Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan
menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang
didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh
menyerang sel saraf.
Kelumpuhan dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial
(Ascending Paralysis).
Etiologi
Kondisi yang khas adalah adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada
ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Tetapi dalam beberapa
kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.
Penyebab yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering
disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah
Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab
bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa minggu
sebelum onset, antara lain :
- Peradangan saluran napas bagian atas
- Vaksinasi
- Diare
- Kelelahan
- Peradangan masa nifas
- Tindakan bedah
- Demam yang tidak terlalu tinggi
Patofisiologi
Sistem imunitas tubuh normalnya menyerang benda dan organisme asing, tetapi pada penyakit
Guillain Barre Syndrome (GBS), sistem imunitas malah menyerang sel saraf yang membawa
impuls ke otak, sehingga pelindung serabut saraf (serabut myelin) menjadi rusak dan
mempengaruhi proses penjalaran impuls sehingga menyebabkan kelemahan, keadaan mati rasa,
ataupun kelumpuhan (paralisis).
Serabut myelin merupakan membran yang berlapis yang mengelilingi dan membungkus serabut
saraf. Serabut myelin ini terdiri dari lipid, termasuk sfingomielin dan gangliosid.
Guillain-Barré syndrome
Gambar 1. Serabut Saraf Normal
Gambar 2. Damaged Myelin
Gambar 3. Patofisiologi
Pada GBS, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh
mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut
myelin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri
diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein
membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter
jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini
menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya
epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon
dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah
kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls
saraf.
Gejala Klinik
Gejala dari penyakit GBS ini terjadi sangat cepat dan juga cepat memburuk. Adanya penurunan
dari proses myelinisasi dari serabut saraf mengakibatkan terjadinya kelumpuhan otot dan
hilangnya sensasi. Pada awalnya, gejala akan dirasakan terutama di daerah tungkai. Selanjutnya
kelemahan dan adanya rasa nyeri akan menyebar ke seluruh tubuh terutama di bagian
ekstremitas dan punggung bawah. Semakin besar serabut myelin yang hilang karena kerusakan
yang terjadi, semakin buruk gejala yang timbul. Pada akhirnya kedua lengan dan kedua tungkai
akan mengalami kelumpuhan hanya dalam beberapa hari.
Gejala klinik timbul secara mendadak atau perlahan-lahan dalam waktu beberapa jam sampai 2-
4 minggu, biasanya setelah adanya infeksi gastrointestinal atau gangguan pernapasan. Masa
prosresifitas tidak lebih dari 4 minggu.
Leneman (1966) dan Ravn (1967) membagi penderita GBS ke dalam 2 golongan, yaitu :
1. Kasus Primer
Gejala klinis yang timbul tanpa didahului atau disertai keadaan atau penyakit.
2. Kasus Sekunder
Gejala klinis timbul setelah didahului atai disertai suatu keadaan atau penyakit.
Keadaan atau penyakit yang menyertai :
1. Infeksi virus
2. Infeksi bakterial
3. Tindakan operasi
4. Pengobatan dengan demam
5. Proses keganasan
6. Kehamilan dan masa nifas
7. Vaksinasi
8. Penyakit lain :
- Alkoholisme dan penyakit hati
- Hipertiroid dan disfungsi adrenal
- Myasthenia gravis
- Sengatan serangga
Keluhan dan gejala awal tersering yang didapatkan adalah :
- Paresthesi
- Hipesthesi
- Kelumpuhan dan nyeri
Gejala Neurologis Maksimal
1. Gangguan Fungsi Motorik
Kelumpuhan otot dengan derajat kelumpuhan yang luas, mulai dari ataksia sampai kelumpuhan
total.
2. Gangguan Saraf Kranialis
- Hampir seluruh saraf kranialis terkena kecuali N.I dan VIII.
- Sering terkena adalah N.VII (bilateral)
- N. IX dan X menyebabkan gangguan menelan dan berbicara
- N.III, IV, dan VI menyebabkan oftalmoplegia
3. Gejala Gangguan Sensibilitas
Lebih sering didapatkan pada anggota badan bagian bawah dibandingkan dengan anggota badan
bagian atas dan distribusinya seperti sarung tangan dan kaus kaki (Glove-Stocking Phenomena).
4. Gangguan Fungsi Otonom
- Sekresi air liur, kelenjar keringat, bronkus
- Gangguan fungsi spingter
- Gangguan fungsi vasomotor
- Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Diagnosis
A. Gambaran yang diperlukan untuk diagnosa
- Kelemahan motorik secara progresif pada kedua lengan atau kedua tungkai
- Arefleksia; hilangnya refleks tendo yang biasanya menyeluruh
B. Gambaran yang menyokong diagnosa
- Progresifitas gejala dari beberapa hari sampai 4 minggu
- Relatif simetris
- Keluhan dan gejala sensibilitas ringan
- Saraf otak terkena; hampir 50% N.VII terkena dan sering bilateral. Saraf otak lainnya juga
dapat terkena terutama saraf untuk lidah dan menelan.
- Penyembuhan dimulai dari 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, penyembuhan umumnya
fungsionil dapat kembali
- Gangguan otonom; takikardia dan aritmia jantung, hipotensi
- Afebril pada saat onset
- Tingginya kadar protein dalam LCS tetapi kurang dari 10 x 106/L
- Variasi gambaran elektrodiagnostik
C. Gambaran yang tidak menyokong diagnose
- Terdapat riwayat infeksi diphteri disertai atau tanpa miokarditis dalam waktu hampir
bersamaan
- Gambaran klinis yang sesuai dengan keracunan timah hitam atau lead neuropathy
(kelumpuhan lengan dengan wrist drop, asimetris)
- Hilangnya sensasi yang murni tanpa adanya kelumpuhan
Diagnosis Banding
- Poliomielitis
- Mielitis Akut
- Neuropati Akut (diphteri, porfiria, intoksikasi obat)
- Hipokalemia
Tabel 1. Diagnosa Banding
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
- LED; umumnya normal atau sedikit meningkat
- Leukosit; umumnya dalam batas normal
- Hemoglobin; normal
2. Pemeriksaan cairan Serebrospinal
Kadang-kadang ditemukan protein yang meninggi tetapi jumlah sel masih dalam batas normal
(disosiasi sitoalbuminik).
3. EKG
- Gelombang T yang mendatar atau terbalik
- Peninggian kompleks QRS
- Deviasi sumbu ke kiri
- Penurunan segmen ST
- Memanjangnya interval QT
- Kelainan ini dapat terjadi pada keadaan tekanan darah normal dan tidak ada hubungannya
dengan derajat kelumpuhan.
4. EMG
Gangguan konduksi serta perubahan pola kontraksi otot.
Terapi
Dikarenakan etiologi yang belum jelas, sehingga pengobatan biasanya bersifat simptomatis dan
suportif.
a. Terapi Suportif (Umum)
- Monitor respirasi, bila perlu lakukan trakeostomi
- Pasang NGT
- Monitor EKG
- Fisioterapi aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi alat gerak,
menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan
- Fisioterapi pasif setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot.
b. Terapi Simptomatis (Khusus)
- Plasmaphoresis
Pertukaran plasma yang ditujukan untuk membuang antibodi yang rusak. Tindakan ini dipercaya
dapat membebaskan plasma darah dari antibodi yang rusak yang menyerang sistem saraf tepi.
- Imunoglobulin intravena
Immunoglobulin donor mengandung antibodi yang sehat. Dosis tinggi dapat mengurangi jumlah
antibodi yang sudah rusak.
- Kortikosteroid
Belum terbukti manfaatnya. Interferonβ pernah dilaporkan pada beberapa kasus tetapi efisiensi
dan efikasinya belum teruji secara klinis.
Prognosis
Pada umumnya mempunyai prognosa yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat
meninggal atau mempunyai gejala sisa.
- 65% penderita mengalami penyembuhan hampir sempurna dengan defisit yang minimal
- 15% penderita mengalami penyembuhan neurologis yang sempurna
- 5-10% mempunyai disabilitas yang permanen
- 5-8% kematian
Prognosa akan semakin buruk bila :
- Umur > 60 tahun
- Progresifitas menjadi quadriparesis < 7 hari
- Membutuhkan bantuan ventilator
Pada sebagian besar penderita anak-anak akan mempunyai gejala sisa bila penyembuhan baru
terjadi setelah 18 hari dan timbul gejala neurologis maksimal.
SINDROMA GUILLAIN-BARR� (SGB)
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak � FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
BATASAN
Sinonimnya: Guillain-Barr� Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis adalah kelemahan motorik yang
progresif dan arefleksi. Sering disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas batang
otak. Timbulnya didahului oleh infeksi virus.
PATOFISIOLOGI
Adanya infeksi virus menyebabkan penurunan kadar supresor sel-T sehingga kadar sel-T, sel-B
dan limfosit meningkat. Kemudian sel limfosit dan makrofag melakukan infiltrasi ke dalam
membran basalis serabut saraf sehingga menimbulkan kerusakan mielin dan degenerasi
Wallerian, yang kemudian menimbulkan inflamasi saraf tepi terutama di daerah radiks saraf.
Beberapa pemicu patogen terjadinya SGB antara lain: virus Epstein-Barr, virus sitomegalo,
hepatitis, varisela, Mycoplasma pneumonia dan Campylobacter jejuni.
Dugaan bahwa imunitas selular atau humoral berperan dalam kerusakan mielin masih merupakan
kontroversi.
CD4+ helper-inducer T-cell merupakan mediator penting terjadinya SGB. Antigen spesifik
seperti myelin P-2, ganglioside GQ1b, GM1, dan GT1a diduga ikut berperan dalam proses
penyakit.
Ada 2 bentuk SGB, yaitu:
1. Tipe demyelinating
Terjadi demielinisasi segmental saraf tepi yang disebabkan oleh infiltrasi sel-sel radang
2. Tipe axonal
Terjadi degenerasi akson tanpa proses demielinisasi atau peradangan
GEJALA KLINIS
� Kelumpuhan akut, simetris dan ascending
� Nyeri dan gangguan sensori
� Hipotensi ortostatik
� Pengeluaran keringat abnormal
� Takikardia
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Anamnesis:
o Riwayat infeksi virus 2-4 minggu sebelumnya
o Retensi urin (10-15%)
o Nyeri (50%), sehingga anak menjadi rewel dan irritable
Pemeriksaan fisik:
o Kelemahan otot ascending dan hilangnya refleks fisiologis (Tanda khas SGB).
o Kelemahan kaki (dropfoot) merupakan gejala pertama. Dan kelemahan ini dapat
mengenai otot-otot pernafasan hingga membutuhkan respirator.
o Instabilitas otonom (26%). Berupa neuropati otonomik yang mengenai sistim
simpatis dan parasimpatis dengan manifestasi klinis berupa hipotensi ortostatik,
disfungsi pupil, pengeluaran keringat abnormal dan takikardia.
o Ataksia (23%)
o Gangguan saraf kranial (35-50%)
� Pemeriksaan laboratorium:
Cairan Serebro Spinal (CSS): hasil analisa CSS normal dalam 48 jam pertama,
kemudian diikuti kenaikan kadar protein CSS pada minggu II tanpa atau disertai sedikit
kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation).
� Pemeriksaan elektrofisiologi:
EMG dan Nerve Conduction Velocity (NCV):
o Minggu I: terjadi pemanjangan atau hilangnya F-response (88%), prolong distal
latencies (75%), blok pada konduksi (58%) dan penurunan kecepatan konduksi
(50%).
o Minggu II: terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies
(92%) dan penurunan kecepatan konduksi (84%).
� Pemeriksaan radiologi:
MRI: Sebaiknya MRI dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala SGB.
Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kontras gadolinium memberikan gambaran
peningkatan penyerapan kontras di daerah lumbosakral terutama di kauda equina.
Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB adalah 83%.
DIAGNOSIS BANDING
Poliomielitis
Miositis akut
Lesi medula spinalis
PENATALAKSANAAN
1. Intravenous Imunoglobulin (IVIG) 0,4 g/KgBB/hari IV, selama 5 hari. Perbaikan klinis
mulai tampak setelah hari ke 2-3. Terapi ini dapat menurunkan beratnya penyakit dan
mempersingkat lamanya sakit.
2. Plasmafaresis dilakukan 4-5 kali dalam waktu 7-10 hari (hati-hati dapat terjadi
hiperkalsemia, perdarahan karena kelainan pembekuan darah dan gangguan otonom).
3. Dexamethasone 0,5 mg/Kg/hari dibagi dalam 3 dosis (kontroversial).
4. Rehabilitasi medis diperlukan pada penderita yang sakit lama.
5. Alat bantu pernafasan (respirator): apabila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan.
KOMPLIKASI
Konstipasi (40%)
Aritmia (30%)
Hipertensi (10-30%)
Pnemoni ortostatik
Syndrome inapropriate antidiuretic hormone (SIADH) (3%)
Dekubitus
Kontraktur
PROGNOSIS
Penderita SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa
dropfoot atau tremor postural (25-36%).
Pada SGB tipe aksonal dengan kelumpuhan hebat prognosisnya jelek dengan angka kematian 1-
5% dan kematian biasanya disebabkan karena gagal nafas.
Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic
Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP)
DAFTAR PUSTAKA
1. Abd-Allah SA, Jansen PW, Ashwal S ; Intravenous immunoglobulin as therapy for
pediatric Guillain-Barre syndrome. J Child Neurol, 1997 ; 12 : 376-380.
2. Hughes RA. Rees JH : Clinical and epidemiological features of Guillain-Barre syndrome. J
Infect Dis 1997 ; 176 : S92-8.
3. Jones HR : Childhood Guillain-Barre syndrome : clinical presentation, diagnosis and
therapy. J Child Neurol 1996 ; 11 : 4-12.
4. Korinthenberg R, Monting JS : Natural history and treatment effects in Guillain-Barre
syndrome : a multicentre study. Arch Dis Child 1996 ; 74 : 281-7.
5. Prevots DR, Sutter RW : Assessment of Guillain-Barre syndrome mortality and morbidity
in the United States : implications for acute flaccid paralysis surveillance. J Infect Dis 1997 ;
175 : S151.
6. Ucapan terima kasih kepada : dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan pedoman
diagnosis & terapi, Neurologi anak.
TRAUMA CLASIFICATIONS
Mechanism of injury
Flexion
Hyperextension
Flexion – rotation
Compression
Level of injury
Cervical
Thoracal
Lumbar
Sacral
Degree of injury
Complete cord lesion
Incomplete cord lesion
CLINICAL MANIFESTATIONS
Quadriplegia
C1-C3: usually fatal injury, vagus nerve domination of heart, respiration, blood vessels,
all organs below injury
C4-C8: Vagus nerve domination of hearth,respirations, and all vessel and organ below
injury
CLINICAL MANIFESTATIONS
Paraplegia
T1-T6: Sympathetic inervation to hearth, Vagus nerve domination of hearth,respirations, and all
vessel and organ below injury
T6-T12: Vagus nerve domination only of leg vessels,GI & Genitourinary organs
L1-L2: Vagus nerve domination of leg vessels
L3-L4: Partial Vagus nerve domination of leg vessels, GI & Genitourinary organs
CLINICAL MANIFESTATIONS
Lesi S1-S5
Terdapat perubahan posisi dari telapak kaki, tidak ada paralisis tapi kemungkinan
kehilangan sensasi area sadel, skrotum, dan gland penis, perineum area anal, dan 1/3 atas
aspek posterior paha
EMERGENCY MANAGEMENT
Initial
Ensure patient airway
Stabilize cervical spine
Administer oxygen
Establish IV line
Asses for other injuries
Control external bleeding
CT scan
Prepare for stabilization (cranial tongs or traction)
Administer high-dose methylprednisolone
EMERGENCY MANAGEMENT Cont…
On Going Monitoring
Monitoring vital signs, level of consciousness, oxygen saturation, cardiac rhythm, urine
output
Keep warm
Monitor for urinary retention, hypertension
Anticipate need for intubation if gag reflex absent
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
o Stabilitas Hemodinamik
o Dekompresi & Imobilisasi medula
o Penatalaksanaan pernafasan
o Nutrisi
o Mobilisasi dini
o Tindakan terhadap ileus paralitik
o Penatalaksaan perkemihan
o Obat-obatan
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolaboratif
o Imobilisasi Spinal
o Kontrol suhu
o Pencegahan trombosis vena dalam
o Penatalaksanaan perkemihan
o Dukungan psikologis
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Keperawatan
o Penatalaksanaan pernafasan
o Latihan usus
o Perawatan kulit
o Pemberian obat
o Latihan kandung kemih
o Seksualitas dan konsep diri
NURSING CARE PLAN
NURSING DIAGNOSIS
Impaired gas exchange related to muscle fatigue & retained secretions
Inability to sustain spontaneous ventilation r.t. diaphragmatic fatigue or paralysis
Decreased cardiac output r.t. venous pooling of blood and immobility
Impaired skin integrity r.t. immobility & poor tissue perfusion
Constipation r.t. the injury, inadequate fluid intake, diet low in roughage, & immobility
NURSING DIAGNOSIS
Urinary retention r.t. injury & limited fluid intake
Impaired physical mobility r.t. spinal cord injury, vertebral column instability, or forced
immobilization by traction
Risk for autonomic dysreflexia r.t. reflex stimulation of sympathetic nervous system
Altered nutrition: less than body requirements r.t. increased metabolic demand &
inability to eat independently
Sexual dysfunction r.t. inability to achieve erection or perceive pelvic sensation & lack of
knowledge of alternate means of achieving sexual satisfaction
NURSING DIAGNOSIS
Risk for injury r.t. sensory deficit & lack of self protection abilities
Altered family process r.t. change in function of ill family member
Risk for ineffective individual coping r.t. loss of control over bodily functions & altered
lifestyle secondary to paralysis
Body image disturbance r.t. paralysis
Th.10
L2
Posisi fr lumbal
PEMERIKSAAN FISIK
NEUROLOGIS
PADA SPINAL CORD INJURY (SCI)
Definisi
Tetraplegia
Kerusakan atau hilangnya fungsi motorik dan/atau sensorik pada segmen servikal karena
kerusakan elemen saraf dalam kanalis spinalis. Tetraplegia berakibat kerusakan pada
fungsi ekstremitas atas, tubuh, ekstremitas bawah dan organ pelvis. Kerusakan tidak
termasuk lesi pada pleksus brakialis atau cedera nervus perifer di luar kanalis spinalis.
Paraplegia
Kerusakan atau hilangnya fungsi motorik dan/atau sensorik pada segmen torakal, lumbal
atau sakral (selain servikal), sekunder dari kerusakan elemen saraf di dalam kanalis
spinalis.
Dermatom
Area kulit yang dipersarafi oleh akson sensorik pada tiap segmen saraf ( radiks).
Miotom
Kumpulan serabut otot yang dipersarafi oleh akson motorik pada tiap segmen saraf
( radiks).
Level neurologis, Level sensorik dan Level motorik
Level neurologis
Segmen terbawah pada medula spinalis dengan fungsi sensorik dan motorik normal
pada kedua sisi tubuh.
Level sensorik
Segmen terbawah dari medula spinalis dengan fungsi sensorik normal pada kedua sisi
tubuh.
Menentukan tingkat lesi dengan memeriksa titik2 sensorik pada 28 dermatom pada sisi
kanan dan 28 dermatom pada sisi kiri tubuh
Titik berikut harus dites pada kedua sisi. Tanda bintang menunjukkan bahwa titik tersebut
berada di garis mid-klavikula:
C.2 Protuberensia oksipitalis
C.3 Fossa supraklavikula
C.4 Puncak dari sendi akromioklavikular
C.5 Sisi lateral fossa antekubital
C.6 Ibu jari
C.7 Jari tengah
C.8 Jari kelingking
T.1 Sisi medial fossa antekubital
T.2 Puncak aksila
T.3 Sela iga ke-3)*
T.4 Sela iga ke-4 ( linea mamaria)*
T.5 Sela iga ke-5*
T.6 Sela iga ke-6 (prosesus xifoideum)*
T.7 Sela iga ke-7*
T.8 Sela iga ke-8*
T.9 Sela iga ke-9*
T.10 Sela iga ke-10 ( umbilicus)*
T.11 Sela iga ke-11*
T.12 Pertengahan inguinal
L.1 Pertengahan antara T12 –L2
L.2 Pertengahan paha sisi anterior
L.3 Medial kondilus medial
L.4 Maleolus medialdorsum pedis pada
MTP 3
S.1 Tumit lateral
S.2 Pertengahan fosa popliteal
S.3 tuberositas ischium
S.4 – 5 area perianal
Level motorik
Segmen terbawah dari medula spinalis dengan fungsi motorik normal pada kedua sisi
tubuh.
Otot kunci pada 10 miotom pada sisi kanan dan 10 miotom pada sisi kiri tubuh.
Kekuatan tiap otot dibagi berdasarkan skala 6 poin
0 = paralysis total
1 = dapat teraba atau terlihat ada kontraksi
2 = gerakan aktif, lingkup gerak sendi penuh, tetapi tidak bisa melawan gravitasi.
3 = gerakan aktif, LGS penuh, dapat melawan gravitasi.
4 = gerakan aktif , LGS penuh dapat melawan tahanan sedang
5 = gerakan aktif , LGS penuh, dapat melawan tahanan penuh.
NT = not testable
Berikut ini adalah otot-otot yang harus diperiksa dan dinilai berdasarkan skala di atas. Otot-otot
ini dipilih, karena secara konsisten dipersarafi oleh segmen saraf spinal yang akan diperiksa dan
dapat diperiksa dengan mudah dalam situasi klinis. Dalam hal ini pasien harus berada pada
posisi berbaring telentang.
C5 – fleksor siku ( biceps, brachialis)
C6 – ekstensor pergelangan tangan ( extensor carpi radialis longus dan brevis)
C7 – ekstensor siku (triceps)
C8 – fleksor jari-jari (flexor digitorum profundus) jari tengah
T1 – abduktor jari kelingking (abductor digiti minimi)
L2 – fleksor panggul ( iliopsoas)
L3 – ekstensor lutut (quadriceps)
L4 – dorsofleksor pergelangan kaki ( tibialis anterior)
L5 – ekstensor jari tengah kaki (extensor hallucis longus)
S1 – plantarfleksor pergelangan kaki ( Gastrocnemius , soleus)
Motor
key muscle
Finger abduktor (kelingking)
T1
Finger flexsor (tengah)
C8
Elbow extensor
C7
Wrist extensor
C6
Elbow fleksor
C5
L
R
UE
JUMLAH TOTAL : 50
Motor
key muscle
Angkel plantar flexsor
S1
Long toe extensor
L5
Angkel dorso flexsor
L4
Knee extensor
L3
Hip flexsor
L2
L
R
LE
JUMLAH TOTAL : 50
Level skeletal:
Ditentukan melalui pemeriksaan radiologis, dengan melihat korpus vertebra mana yang
paling kerusakan paling berat.
Spondilitis TB L 4-5
AP
L
MRI Spondilitis TB L 4-5
Cedera inkomplit
Bila masih ada sensorik dan/ atau motorik yang masih berfungsi parsial dan meliputi segmen
sacral terbawah, maka cedera dikatakan inkomplit. Sensasi sacral termasuk pada sensasi pada
mukokutan anus begitu pula sensasi dalam anus. Tes fungsi motorik berupa adanya kontraksi
volunter pada sfingter ani eksterna pada palpasi.
Cedera komplit
CMS dikatakan komplit bila tidak ada fungsi sensorik dan motorik pada segmen sacral
terbawah.
PEMERIKSAAN
Any Anal sensation ( AAS) dan
Voluntery Anal Contraction (VAC)
Tujuannya
untuk menentukan komplit atau inkomplit dari cedera spinal cord yang dialami oleh pasien
CARANYA
Atur posisi pasien yang paling nyaman (berbaring miring ke kiri )
Perawat menginformasikan pada pasien akan dilakukan colok dubur dengan jari perawat
Kemudian rasakan apakah ada gerakan konstriksi dari pada anus yang terasa pada jari
perawat bila terjadi reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan sensasi (+) dan bila tidak ada
reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan sensasi negatif (-)
Kemudian instruksikan pasien untuk menjepit jari perawat …perawat merasakan apakah
ada jepitan atau tidak bila ada jepitan pada anal hal ini dinyatakan voluntery konstriksi (+), dan
bila tidak ada jepitan pada anal hal ini dinyatakan voluntery konstriksi (-)
Kemudian minta pasien untuk melepas jepitan dan seterusnya
INTERPRETASI HASIL
Bila ada sensasi dan volunteri konstriksi (+) artinya spinal cord injury INKOMPLIT
Sebaliknya bila tidak ada sensasi dan volunteri konstriksi (-) artinya spinal cord injury
KOMPLIT
PEMERIKSAAN
ACR / BCR
Pemeriksaan Anal Cutanius Reflec (ACR )
Pengertian:
Melakukan pemeriksaan dengan merangsang area anal menggnakan pin prick kemudian akan
terjadi reflek pada anal hal ini dinyatakan ACR (+) dan bila tidak ada reflek pada anal hal ini
dinyatakan ACR (-)
Untuk menentukan atau mengidentifiksi adanya spinal syock pada pasien dengan Spinal
Cord Injury
CARANYA
Atur posisi pasien yang paling nyaman
(berbaring miring atau terlentang dengan kedua kaki ditekuk ke
arah dada )
Perawat menginformasikan pada pasien akan dilakukan perangsangan pada daerah anal
dengan pin prick
Kemudian perhatikan reaksi yang terjadi pada daerah anal akan terjadi reflek konstriksi
pada anal hal ini dinyatakan ACR (+) dan bila tidak ada reflek konstriksi pada anal hal
ini dinyatakan ACR (-)
INTERPRETASI HASIL
Bila terjadi reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan ACR (+) artinya pasien tidak
pada keadaan spinal syock
Dan bila tidak ada reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan ACR (-) artinya pasien
masih dalam kondisi spinal syock
Pemeriksaan Bulbocavernosus Cutanius Reflec (BCR )
Pengertian:
Melakukan pemeriksaan dengan merangsang area glen penis (lk) kelentit (Pr) kemudian akan
terjadi reflek pada anal hal ini dinyatakan BCR (+) dan bila tidak ada reflek pada anal hal ini
dinyatakan BCR (-)
Untuk menentukan atau mengidentifiksi adanya spinal syock pada pasien dengan Spinal
Cord Injury
CARANYA
Atur posisi pasien yang paling nyaman (berbaring miring atau terlentang dengan kedua
kaki ditekuk ke arah dada )
Perawat menginformasikan pada pasien akan dilakukan perangsangan pada daerah penis
(Lk), kelentit (Pr)
Kemudian perhatikan reaksi yang terjadi pada daerah anal akan terjadi reflek konstriksi
pada anal hal ini dinyatakan BCR (+) dan bila tidak ada reflek konstriksi pada anal hal ini
dinyatakan BCR (-)
INTERPRETASI HASIL
Bila terjadi reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan BCR (+) artinya pasien tidak
pada keadaan spinal syock
Dan bila tidak ada reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan BCR (-) artinya pasien
masih dalam kondisi spinal syock.
KLASIFIKASI AIS
Skala berikut digunakan untuk klasifikasi derajat kelainan:
A = komplit.
Tidak ada fungsi sensorik dan motorik normal pada segmen sakral S2-S4
B = inkomplit.
Di bawah level neurologik, fungsi sensorik dan segmen sakral S2-S4 yang
normal ( fungsi motorik terganggu) .
C = inkomplit.
Di bawah level neurologik, fungsi motorik ada,dan kurang dari separuh otot di bawah
tingkat neurologik memiliki kekuatan otot kurang dari 3.
D = inkomplit.
Fungsi motorik di bawah tingkat neurologik ada dan paling sedikit separuh dari otot
kunci di bawah tingkat neurologik memiliki kekuatan otot lebih atau sama dengan 3.
E = normal.
Fungsi sensorik dan motorik normal.
TERIMA KASIH
Meningioma
8:36 AM Posted by Irga
I. PENDAHULUAN
Meningioma adalah tumor pada meninx, yang merupakan selaput pelindung yang melindungi
otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di bagian otak
maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya terjadi di hemisphere otak di semua lobusnya.
Kebanyakan meningioma bersifat jinak (benign). Meningioma malignant jarang terjadi 1.
Meningioma merupakan neoplasma intracranial nomor 2 dalam urutan frekuensinya yaitu
mencapai angka 20%. Ia lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria terutama pada
golongan umur antara 50-60 tahun dan memperlihatkan kecenderungan untuk ditemukan pada
beberapa anggota di satu keluarga. Korelasi dengan trauma kapitis kurang meyakinkan. Pada
umumnya meningioma dianggap sebagai neoplasma yang berasal dari glioblas di sekitar vili
arachnoid. Sel di medulla spinalis yang sebanding dengan sel tersebut ialah sel yang terletak
pada tempat pertemuan antara arachnoid dengan dura yang menutupi radiks 1.
Tempat predileksi di ruang cranium supratentorial ialah daerah parasagital. Yang terletak di
krista sphenoid, parasellar, dan baso-frontal biasanya gepeng atau kecil bundar. Bilamana
meningioma terletak infratentorial, kebanyakan didapati di samping medial os petrosum di dekat
sudut serebelopontin. Meningioma spinalis mempunyai kecenderungan untuk memilih tempat di
bagian T.4 sampai T.8. Meningioma yang bulat sering menimbulkan penipisan pada tulang
tengkorak sedangkan yang gepeng justru menimbulkan hyperostosis 1.
Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan dapat menimbulkan
manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian otak yang terganggu. Sekitar
40% meningioma berlokasi di lobus frontalis dan 20% menimbulkan gejala sindroma lobus
frontalis. Sindroma lobus frontalis sendiri merupakan gejala ketidakmampuan mengatur perilaku
seperti impulsif, apati, disorganisasi, defisit memori dan atensi, disfungsi eksekutif, dan
ketidakmampuan mengatur mood 1.
II. EPIDEMOLOGI DAN INSIDEN
Tumor ini mewakili 20% dari semua neoplasma intracranial dan 12 % dari semua tumor
medulla spinalis. Meningioma biasanya jinak, tetapi bisa kambuh setelah diangkat. Tumor ini
lebih sering ditemukan pada wanita dan biasanya muncul pada usia 40-60 tahun, tetapi tidak
tertutup kemungkinan muncul pada masa kanak-kanak atau pada usia yang lebih lanjut.Paling
banyak meningioma tergolong jinak(benign) dan 10 % malignant. Meningioma malignant dapat
terjadi pada wanita dan laki-laki,meningioma benign lebih banyak terjadi pada wanita 2.
III. ETIOLOGI
Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun beberapa teori telah diteliti
dan sebagian besar menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang meyebabkan timbulnya
meningioma. Para peneliti sedang mempelajari beberapa teori tentang kemungkinan asal usul
meningioma. Di antara 40% dan 80% dari meningiomas berisi kromosom 22 yang abnormal
pada lokus gen neurofibromatosis 2 (NF2). NF2 merupakan gen supresor tumor pada 22Q12,
ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma sporadik. Pasien dengan NF2 dan beberapa non-
NF2 sindrom familial yang lain dapat berkembang menjadi meningioma multiple, dan sering
terjadi pada usia muda. Disamping itu, deplesi gen yang lain juga berhubungan dengan
pertumbuhan meningioma 3.
Kromosom ini biasanya terlibat dalam menekan pertumbuhan tumor. Penyebab kelainan ini
tidak diketahui. Meningioma juga sering memiliki salinan tambahan dari platelet diturunkan
faktor pertumbuhan (PDGFR) dan epidermis reseptor faktor pertumbuhan (EGFR) yang
mungkin memberikan kontribusi pada pertumbuhan tumor ini. Sebelumnya radiasi ke kepala,
sejarah payudara kanker, atau neurofibromatosis tipe 2 dapat risiko faktor untuk
mengembangkan meningioma. Multiple meningiomas terjadi pada 5% sampai 15% dari pasien,
terutama mereka dengan neurofibromatosis tipe 2. Beberapa meningiomas memiliki reseptor
yang berinteraksi dengan hormon seks progesteron, androgen, dan jarang estrogen. Ekspresi
progesteron reseptor dilihat paling sering pada jinak meningiomas, baik pada pria dan wanita.
Fungsi reseptor ini belum sepenuhnya dipahami, dan demikian, sering kali menantang bagi
dokter untuk menasihati pasien perempuan mereka tentang penggunaan hormon jika mereka
memiliki sejarah suatu meningioma. Meskipun peran tepat hormon dalam pertumbuhan
meningioma belum ditentukan, peneliti telah mengamati bahwa kadang-kadang mungkin
meningioma tumbuh lebih cepat pada saat kehamilan 2,3.
IV. ANATOMI
Meninx adalah suatu selaput jaringan ikat yang membungkus enchepalon dam medulla spinalis.
Terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater, yang letaknya berurutan dari superficial ke
profunda. Bersama-sama,araknoid dan piamater disebut leptomening 4
Dura mater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri dari lamina
meningialis dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina endostealis melekat erat pada
dinding canalis vertebralis, menjadi endosteum(=periosteum),sehingga di antara lamina
meningialis dan lamina endostealis terdapat spatium extraduralis(spatium epiduralis) yang berisi
jaringan ikat longgar, lemak dan pleksus venosus. Antara dura mater dan archnoid terdapat
spatium subdurale yang berisi cairan lymphe. Pada enchepalon lamina endostealis melekat erat
pada permukaan interior cranium, terutama pada sutura, basis crania dan tepi foramen occipital
magnum. Lamina meningialis mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan
sel, dan membentuk empat buah septa, yaitu 4;
1. Falx cerebri
2. Tentorium cerebella
3. Falx cerebella
4. Diaphragm sellae
Arachnoid bersama-sama dengan pia mater disebut leptomeninges. Kedua lapisan ini
dihubungkan satu sama lain oleh trabekula arachnoideae.Arachniod adalah suatu selubung tipis,
membentuk spatium subdurale dengan dura mater. Antara archnoid dan pia mater terdapat
spatium subarachnoideum yang berisi liquor cerebrospinalis. Arachnoid yang membungkus
basis serebri berbentuk tebal sedangkan yang membungkus facies superior cerebri tipis dan
transparant. Arachnoid membentuk tonjolan-tonjolan kecil disebut granulation arachnoidea,
masuk kedalam sinus venosus, terutama sinus sagitallis superior 4.
Lapisan disebelah profunda, meluas ke dalam gyrus cerebri dan diantara folia
cerebri.Membentuk tela chorioidea venticuli. Dibentuk oleh serabut-serabut reticularis dan
elastic,ditutupi oleh pembuluh-pembuluh darah cerebral. Pia terdiri dari lapisan sel mesodermal
tipis seperti endothelium. Berlawanan dengan arachnoid, membrane ini ini menutupi semua
permukaan otak dan medulla spinalis 4.
V. PATOFISIOLOGI
Seperti banyak kasus neoplasma lainnya, masih banyak hal yang belum diketahui dari
meningioma. Tumor otak yang tergolong jinak ini secara histopatologis berasal dari sel
pembungkus arakhnoid (arakhnoid cap cells) yang mengalami granulasi dan perubahan bentuk.
Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas. Kaskade eikosanoid
diduga memainkan peranan dalam tumorogenesis dan perkembangan edema peritumoral 3.
VI. KLASIFIKASI
WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang telah diketahui, termasuk
meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan derajat pada hasil biopsi yang dilihat
di bawah mikroskop. Penatalaksanaannya pun berbeda-beda di tiap derajatnya 7.
a. Grade I
Meningioma tumbuh dengan lambat . Jika tumor tidak menimbulkan gejala, mungkin
pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara periodic. Jika tumor semakin
bverkembang, maka pada akhirnya dapat menimbulkan gejala, kemudian penatalaksanaan bedah
dapat direkomendasikan. Kebanyakan meningioma grade I diterapi dengan tindakan bedah dan
observasi yang continue 7.
b. Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan grade I dan mempunyai angka kekambuhan yang lebih tinggi juga.
Pembedahan adalah penatalaksanaan awal pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya
membutuhkan terapi radiasi setelah pembedahan 7.
c. Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma malignant atau
meningioma anaplastik. Meningioma malignant terhitung kurang dari 1 % dari seluruh kejadian
meningioma. Pembedahan adalah penatalaksanaan yang pertama untuk grade III diikuri dengan
terapi radiasi. Jika terjadi rekurensi tumor, dapat dilakukan kemoterapi 7.
Meningioma juga diklasifikasikan ke dalam subtype berdasarkamn lokasi dari tumor 8.
1. Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx adalah selaputyang
terletak antara dua sisi otak yang memisahkan hemisfer kiri dan kanan. Falx cerebri
mengandung pembuluh darah besar. Parasagital meningioma terdapat di sekitar falx
2. Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada permukaan atas otak.
3. Meningioma Sphenoid (20%) Daerah Sphenoidalis berlokasi pada daerah belakang mata.
Banyak terjadi pada wanita.
4. Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan
otak dengan hidung.
5. Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan bawah bagian
belakang otak.
6. Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah kotak pada dasar
tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitary.
7. Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita yang berumur antara 40
dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pda medulla spinbalis setingkat thorax dan dapat menekan
spinal cord. Meningioma spinalis dapat menyebabkan gejala seperti nyeri radikuler di sekeliling
dinding dada, gangguan kencing, dan nyeri tungkai.
8. Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang paa atau di sekitar mata
cavum orbita.
9. Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi cairan di seluruh bagian
otak.
VII. DIAGNOSA
Manifestasi klinik
Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan tumor pada otak dan medulla
spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan oleh terganggunay fungsi normal dari bagian
khusus dari otak atau btekanan pada nervus atau pembuluh darah). Secara umum, meningioma
tidak bisa didiagnosa pada gejala awal 8.
Gejala umumnya seperti 8;
- Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat beraktifitas atau pada pagi hari.
- Perubahan mental
- Kejang
- Mual muntah
- Perubahan visus, misalnya pandangan kabur.
Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor 8;
- Meningioma falx dan parasagittal; nyeri tungkai
- Meningioma Convexitas; kejang, sakit kepala, deficit neurologis fokal, perubahan status
mental
- Meningioma Sphenoid; kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan pandang, kebutaan,
dan penglihatan ganda.
- Meningioma Olfactorius; kurangnya kepekaan penciuman, masalah visus.
- Meningioma fossa posterior; nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan spasme otot-otot wajah,
berkurangnya pendengaran, gangguan menelan, gangguan gaya berjalan,
- Meningioma suprasellar; pembengkakan diskus optikus, masalah visus
- Spinal meningioma ; nyeri punggung, nyeri dada dan lengan
- Meningioma Intraorbital ; penurunan visus, penonjolan bola mata
- Meningioma Intraventrikular ; perubahan mental, sakit kepala, pusing
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos
Hiperostosis adalah salahsatu gambaran mayor dari meningioma pada foto polos. Dinidikasikan
untuk tumor pada meninx. Tampak erosi tulang dan dekstruksi sinus sphenoidales, kalsifikasi
dan lesi litik pada tulang tengkorak. Pembesaran pembuluh darah meninx menggambarkan
dilatasi arteri meninx yang mensuplai darah ke tumor. Kalsifikasi terdapat pada 20-25% kasus
dapat bersifat fokal maupun difus 9.
CT-Scan
CT-scan kontras dan CT-scan tanpa kontras memperlihatkan paling banyak meningioma.
Tampak gambran isodense hingga hiperdense pada foto sebelum kontras, dan gambaran
peningkatan densitas yang homogeny pada foto kontras. Tumor juga memberikan gambaran
komponen cystic dan kalsifikasi pada beberapa kasus. Udem peritumoral dapat terlihat dengan
jelas. Perdarahan dan cairan intratumoral sampai akumulasi cairan dapat terlihat 9.
MRI
MRI merupakan pencitraan yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi meningioma. MRI
memperlihatkan lesi berupa massa, dengan gejala tergantung pada lokasi tumor berada 9.
ANGIOGRAFI
Umumnya meningioma merupakan tumor vascular. Dan dapat menimbulkan gambaran “spoke
wheel appearance”. Selanjutnya arteri dan kapiler memperlihatkan gambaran vascular yang
homogen dan prominen yang disebut dengan mother and law phenomenon 10 .
VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan meningioma terganting darilokasi dan ukuran tumor itu sendiri. Terapi
meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan pertama. Beberapa faktor yang
mempengaruhi operasi removal massa tumor ini antara lain lokasi tumor, ukuran dan
konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat
operasi sebelumnya dan atau radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya
berubah berdasarkan faktor resiko, pola, dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya
mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang untuk
menurunkan kejadian rekurensi 12.
Rencana preoperatif
Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan dapat segera
diberikan, deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2 antagonis beberapa hari
sebelum operasi dilaksanakan. Pemberian antibiotik perioperatif digunakan sebagai profilaksis
pada semua pasien untuk organisme stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin generasi III
yang memiliki aktifitas terhadap organisem pseudomonas, serta pemberian metronidazol (untuk
organisme anaerob) ditambahkan apabila operasi direncanakan dengan pendekatan melalui
mulut, sinus paranasal, telinga, atau mastoid 12.
Klasifikasi Simptom dari ukuran reseksi pada meningioma intracranial 12.
Grade I Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang abnormal
Grade II Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura
Grade III Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi dari perlekatan dura, atau mungkin
perluasan ekstradural ( misalnya sinus yang terserang atau tulang yang hiperostotik)
Grade IV Reseksi parsial tumor
Grade V Dekompresi sederhana (biopsy)
Radioterapi
Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak dipakai untuk terapi.
External beam irradiation dengan 4500-6000 cGy dilaporkan efektif untuk melanjutkan terapi
operasi meningioma reseksi subtotal, kasus-kasus rekurensi baik yang didahului dengan operasi
sebelumnya ataupun tidak. Pada kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi karena lokasi
yang sulit, keadaan pasien yang buruk, atau pada pasien yang menolak dilakukan operasi,
external beam irradiation masih belum menunjukkan keefektifitasannya. Teori terakhir
menyatakan terapi external beam irradiation tampaknya akan efektif pada kasus meningioma
yang agresif (atyppical, malignan), tetapi informasi yang mendukung teori ini belum banyak
dikemukakan 12.
Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan pertimbangan komplikasi yang
ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf optikus sangat rentan mengalami kerusakan
akibat radioterapi. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan berupa insufisiensi pituitari ataupun
nekrosis akibat radioterapi 12.
Radiasi Stereotaktik
Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960an
menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu penggunaan stereotaktik radioterapi ini
semakin banyak dilakukan untuk meningioma. Sumber energi yang digunakan didapat melalui
teknik yang bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang berasal dari Co
gamma (gamma knife) atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat (proton, ion helium)
dari cyclotrons. Semua teknik radioterapi dengan stereotaktik ini dapat mengurangi komplikasi,
terutama pada lesi dengan diameter kurang dari 2,5 cm 12.
Steiner dan koleganya menganalisa pasien meningioma yang diterapi dengan gamma knife dan
diobservasi selama 5 tahun. Mereka menemukan sekitar 88% pertumbuhan tumor ternyata dapat
dikontrol. Kondziolka dan kawan-kawan memperhitungkan pengontrolan pertumbuhan tumor
dalam 2 tahun pada 96 % kasus. Baru-baru ini peneliti yang sama melakukan studi dengan
sampel 99 pasien yang diikuti selama 5 hingga 10 tahun dan didapatkan pengontrolan
pertumbuhan tumor sekitar 93 % kasus dengan 61 % massa tumor mengecil. Kejadian defisit
neurologis baru pada pasien yang diterapi dengan stereotaktik tersebut kejadiannya sekitar 5 %
12.
Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak diketahui efikasinya
untuk terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi sebagai terapi ajuvan untuk
rekuren meningioma atipikal atau jinak baru sedikit sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi
terapi menggunakan regimen kemoterapi (baik intravena atau intraarterial cis-platinum,
decarbazine (DTIC) dan adriamycin) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte
dan Yung), walaupun regimen tersebut efektifitasnya sangat baik pada tumor jaringan lunak.
Laporan dari Chamberlin pemberian terapi kombinasi menggunakan cyclophosphamide,
adriamycin, dan vincristine dapat memperbaiki angka harapan hidup dengan rata-rata sekitar 5,3
tahun. Pemberian obat kemoterapi lain seperti hydroxyurea sedang dalam penelitian.
Pertumbuhan sel pada meningioma dihambat pada fase S dari siklus sel dan menginduksi
apoptosis dari beberapa sel dengan pemberian hydroxyurea. Dan dilaporkan pada satu kasus
pemberian hydroxyurea ini memberikan efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan
meningioma yang tidak dapat direseksi. Pemberian Alfainterferon dilaporkan dapat
memperpanjang waktu terjadinya rekurensi pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan
juga terapi ini kurang menimbulkon toksisitas dibanding pemberian dengan kemoterapi 12.
Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada kasus dengan meningioma.
Preparat yang dipakai biasanya tamoxifen (anti estrogen) dan mifepristone (anti progesteron).
Tamoxifen (40 mg/m2 2 kali/hari selama 4 hari dan dilanjutkan 10 mg 2 kali/hari) telah
digunakan oleh kelompok onkolologi Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang sulit
dilakukan reseksi dan refrakter. Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien, stabilisasi
sementara pertumbuhan tumor pada 6 pasien, dan respon minimal atau parsial pada tiga pasien
12.
Pada dua studi terpisah dilakukan pemberian mifepristone (RU486) 200 mg perhari selama 2
hingga 31 bulan. Pada studi yang pertama didapatkan 5 dari 14 pasien menunjukkan perbaikan
secara objektif yaitu sedikit pengurangan massa tumor pada empat pasien dan satu pasien
gangguan lapang pandangnya membaik walaupun tidak terdapat pengurangan massa tumor;
terdapat pertumbuhan ulang pada salah satu pasien tersebut. Pada studi yang kedua dari
kelompok Netherlands dengan jumlah pasien 10 orang menunjukkan pertumbuhan tumor
berlanjut pada empat pasien, stabil pada tiga pasien, dan pengurangan ukuran yang minimal
pada tiga pasien. Tiga jenis obat tersebut sedang dilakukan penelitian dengan jumlah sampel
yang lebih besar pada meningioma tetapi sampai sekarang belum ada terapi yang menjadi
prosedur tetap untuk terapi pada tumor ini 12.
IX. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosa meningioma adalah baik, karena pengangkatan tumor yang sempurna
akan memberikan penyembuhan yang permanen. Pada orang dewasa snrvivalnya relatif lebih
tinggi dibandingkan pada anak-anak, dilaporkan survival rate lima tahun adalah 75%. Pada
anak-anak lebih agresif, perubahan menjadi keganasan lebih besar dan tumor dapat menjadi
sangat besar. Pada penyelidikan pengarang-pengarang barat lebih dari 10% meningioma akan
mengalami keganasan dan kekambuhannya tinggi 13.
Sejak 18 tahun meningioma dipandang sebagai tumor jinak, dan bila letaknya mudah dapat
diangkat seluruhnya. Degenerasi keganasan tampak bila ada13:
invasi dan kerusakan tulang
tumor tidak berkapsul pada saat operasi
invasi pada jaringan otak.
Angka kematian (mortalitas) meningioma sebelum operasi jarang dilaporkan, dengan kemajuan
teknik dan pengalaman operasi para ahli bedah maka angka kematian post operasi makin kecil.
Diperkirakan angka kematian post operasi selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan
(1957–1966) adalah8,5%. Sebab-sebab kematian menurut laporan-laporan yang terdahulu yaitu
perdarahan dan edema otak 13.\
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono M, Sidharta P. Dalam: Neurologi klinis dasar. : Fakultas Kedokteran Universtas
Indonesia; 2003. Hal 393-4.
2. Focusing on tumor meningioma[ cited 2009 November 20]. Availble from:
http://www.abta.org/meningioma.pdf
3. Patogenesis, histopatologi, dan klasifikasi meningioma[cited 2009 November 20]. Availble
from: http://www.neuroonkologi.com/articles/Patogenesis,%20histopatologi%20dan
%20klasifikasi%20meningioma.doc
4. Luhulima JW. Menings. Dalam: Anatomi susunan saraf pusat. Makassar: Bagian Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003. Hal.
5. Image of meninx. [cited 2009 November 20]. Available from:www. American Society of
Oncology
6. Netter HF, etc. Spinal nerve origin. In: Neuroanatomy and neurophysiology. USA: Icon
Custom Communication: 2002. P. 24
7. Meningiomas. [cited 2009 November 20]. Available from: www. Mayfieldclinic.com
8. Meningioma[cited 2009 November 20]. Available from:. http://www.cancer.net
9. Fyann E, Khan N, Ojo A. Meningioma. In: SA Journal of Article Radiology. SA: Medical
University of Southern Africa; 2004. p. 3-5.
10. Neuroradiology Imaging Teaching Files Case Thirty Six-Meningioma. [cited 2009
November 20]. Available from: http://www.uhrad.com/mriarc/mri036.htm
11. Meningioma[cited 2009 November 20]. Available from:
http://www.meddean.luc.edu/Lumen/meded/radio/curriculum/N/Meningioma1.htm
12. Manajemen Meningioma. [cited 2009 November 20]. Available from: www.google . com
13. Widjaja D, Meningioma intracranial[cited 2009 November 23]. Available from:
http://www.portalkalbe.co.id/files/cdk/files/09MeningiomaIntrakranial016.pdf/
09MeningiomaIntrakranial016.html
I. PENDAHULUAN
Tumor otak adalah suatu pertumbuhan jaringan yang abnormal di dalam otak. Yang
terdiri atas Tumor otak benigna dan maligna. Tumor otak benigna adalah pertumbuhan jaringan
abnormal di dalam otak, tetapi tidak ganas, sedangkan tumor otak maligna adalah kanker di
dalam otak yang berpotensi menyusup dan menghancurkan jaringan di sebelahnya atau yang
telah menyebar (metastase) ke otak dari bagian tubuh lainnya melalui aliran darah.(1)
Tumor otak dibagi menjadi dua tipe :
1. Tumor primer, yaitu tumor yang berasal dari dalam otak sendiri. Bisa berasal dari
astrosit, oligodendrosit, ependimosit, fibroblast arakhnoidal, neuroblas-meduloblas.
2. Tumor sekunder, yaitu tumor yang berasal dari karsinoma metastasis yang terjadi di
bagian tubuh lainnya, contohnya yang paling sering adalah yang berasal dari tumor
paru-paru pada pria dan tumor payudara pada wanita. (2)
Insidens tumor otak primer terjadi pada sekitar enam kasus per 100.000 populasi per
tahun. Dimana tumor otak primer tersebut kira-kira 41% adalah glioma, 17% meningioma, 13%
adenoma hipofisis dan 12% neurilemoma. Pada orang dewasa 60% terletak supratentorial sedang
pada anak 70% terletak infratentorial. Pada anak yang paling sering ditemukan adalah tumor
serebellum yaitu meduloblastoma dan astrositoma, sedangkan pada dewasa adalah glioblastoma
multiforme. (2,3,4)
II. KLASIFIKASI
Ada beberapa macam klasifikasi, tetapi yang paling sering dijumpai adalah klasifikasi
berdasarkan lokasi, yaitu :
1. Tumor supratentorial
a. Hemisfer otak, terbagi lagi :
Glioma :
- Glioblastoma multiforme
- Astrositoma
- Oligodendroglioma
Meningioma
Tumor Metastasis
b. Tumor struktur median
- Adenoma hipofisis
- Tumor glandula pienalis
- Kraniofaringioma
2. Tumor infratentorial
a. Schwanoma akustikus
b. Tumor metastasis
c. Meningioma
d. Hemangioblastoma (4,5,6)
III. ETIOLOGI
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun telah
banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu :
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota
sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai
manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis
neoplasma tersebut tidak ada bukti-buakti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor
hereditas yang kuat pada neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang
mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya sebagian
dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak bangunan di
sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma
intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan
degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma. Pernah
dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan
dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma,
tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan
tumor pada sistem saraf pusat.
5. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah
diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-
urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan (7,8)
IV. GEJALA KLINIK
Gejala klinik pada tumor intrakranial dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
1. Gejala umum
2. Gejala lokal
3. Gejala lokal yang menyesatkan (False lokalizing features)
1. Gejala Klinik Umum
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat infiltrasi difus
dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan status mental, kejang,
nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan
gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal
depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejala-gejala yang
umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering
memberikan gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum. (4,9)
Nyeri Kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak yang kemudian
berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga sering
diperhebat oleh perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah
ditemukan bersama nyeri kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor
supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian frontal. Tumor pada fossa posterior
memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher. (4,9,10)
Perubahan Status Mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian, perubahan mood dan
berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala umum pada penderita dengan tumor lobus frontal
atau temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan
terjadinya somnolen hingga koma. (4,9,10)
Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti astrositoma,
oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal baru
kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal. (4,9,10)
Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik
neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan
gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat
menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan
menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap. (4,8,9)
Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari massa tumor tersebut
juga mengindikasikan adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam hari,
dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya massa
intrakranial. (4,8,9)
2. Gejala Klinik Lokal
Manifestasi lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi parenkim, infark atau
edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase,
ion hydrogen, enzim proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal
yang reversibel. (4,9)
Tumor Kortikal
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang diikuti paralisis pos-
iktal. Meningioma kompleks atau parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan
kejang. Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia
jika hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus
olfaktorius. (4,9)
Tumor Lobus Temporalis
Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
defisit lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang
parsial kompleks. Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan sensoris dan
berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala utama tumor lobus parietal. Adapun gejala
yang lain diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/
quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan simple motor atau kejang sensoris. (4,9)
Tumor Lobus Oksipital
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang kongruen.
Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi kontralateral episodic terhadap
cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri.
Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat ventrikel atau
aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan
ventrikel sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan
kadang-kadang pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus,
amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu. (4,9)
Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan pandang, nistagmus,
ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan
hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-gejala umum. (4,9)
Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala yang sering
ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol. (4,9)
3. Gejala Lokal yang Menyesatkan (False Localizing Features)
Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi tumor yang
sebenarnya. Sering disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran dari
struktur-struktur intrakranial atau iskemi. Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan kompresi saraf. Tumor lobus frontal
yang difus atau tumor pada korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia). (9)
V. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita tumor otak yaitu
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti, adapun pemeriksaan penunjang
yang dapat membantu yaitu CT-Scan dan MRI. () Dari anamnesis kita dapat mengetahui gejala-
gejala yang dirasakan oleh penderita yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah
diuraikan di atas. Misalnya ada tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui
pemeriksaan fisik neurologik mungkin ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan deficit
lapangan pandang. (2,5)
Pemeriksaan Penunjang
CT scan dan MRI memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur
investigasi awal ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda penyakit
otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari sindrom atau gejala-gejala tumor.
Kadang sulit membedakan tumor dari abses ataupun proses lainnya.
Foto polos dada dan pemeriksaan lainnya juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
tumornya berasal dari suatu metastasis yang akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun
multiple pada otak.
Pemeriksaan cairan serebrospinal juga dapat dilakukan untuk melihat adanya sel-sel
tumor dan juga marker tumor. Tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien
dengan massa di otak yang besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui
pemeriksaan patologi anatomi, sebagai cara yang tepat untuk membedakan tumor dengan proses-
proses infeksi (abses cerebri). (8,11)
VI. TERAPI
Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa faktor, antara lain :
- kondisi umum penderita
- tersedianya alat yang lengkap
- pengertian penderita dan keluarganya
- luasnya metastasis. (5)
adapun terapi yang dilakukan, meliputi Terapi Steroid, pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Terapi Steroid
Steroid secara dramatis mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial, namun tidak
berefek langsung terhadap tumor. (4)
Pembedahan
Pembedahan dilaksanakan untuk menegakkan diagnosis histologik dan untuk mengurangi
efek akibat massa tumor. Kecuali pada tipe-tipe tumor tertentu yang tidak dapat direseksi. (12)
Radioterapi
Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi total sebesar 5000-6000
cGy tiap fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan dari radioterapi hiperfraksi ini didasarkan pada
alasan bahwa sel-sel normal lebih mampu memperbaiki kerusakan subletal dibandingkan sel-sel
tumor dengan dosis tersebut. Radioterapi akan lebih efisien jika dikombinasikan dengan
kemoterapi intensif. (12)
Kemoterapi
Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi tetap
diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada tumor-tumor tertentu
seperti meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke batang otak, terapi
tambahan berupa kemoterapi dan regimen radioterapi dapat membantu sebagai terapi paliatif. (12)
VII. DIAGNOSIS BANDING
Gejala yang paling sering dari tumor otak adalah peningkatan tekanan intrakranial,
kejang dan tanda deficit neurologik fokal yang progresif. Setiap proses desak ruang di otak dapat
menimbulkan gejala di atas, sehingga agak sukar membedakan tumor otak dengan beberapa hal
berikut :
- Abses intraserebral
- Epidural hematom
- Hipertensi intrakranial benigna
- Meningitis kronik. (5)
VIII. PROGNOSIS
Prognosisnya tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di Negara-negara maju,
dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan
radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan angka
ketahanan hidup 10 tahaun (10 years survival) berkisar 30-40%. Terapi tumor otak di Indonesia
secara umum prognosisnya masih buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada
beberapa rumah sakit di Jakarta.(4,6)
DAFTAR PUSTAKA
1. Informasi tentang Tumor Otak dalam http://www.medicastore.com dikutip tanggal 13
November 2004
2. Adams and Victors, Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Manual of
Neurology edisi 7, McGraw Hill, New York, 2002 : 258 – 263
3. Adams and Victors, Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Principles of
Neurology edisi 7, McGraw Hill, New York, 2001 : 676 – 721
4. Syaiful Saanin, dr, Tumor Intrakranial dalam
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Pendahuluan.html, dikutip tanggal 13
November 2004
5. Harsono, Tumor Otak dalam Buku Ajar Neurologi Klinis edisi I, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1999 : 201 – 207
6. What you need to Know about Brain Tumor at http://www.cancer.gov
7. Mahar, M., Proses Neoplasmatik di Susunan Saraf dalam Neurologi Klinis Dasar edisi 5,
Dian Rakyat, Jakarta, 2000 : 390 – 402
8. Meyer, J.S., Gilroy J., Tumors of the Central Nervous System in Medical Neurology edisi 2,
McMillan Publishing C. Inc, New York, 1995 : 611 – 629
9. Bradley, Walter G., Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in Clinical
Practice edisi 3, Butterworth, Boston 2000 : 239 – 267
10. Howard L.W., Lawrence P. L., Malignancy and the Nervous System in Neurology edisi 5,
Williams & Wilkins, Philadelphia, : 139 – 142
11. Facts About Brain Tumors at http://www.braintumor.org, dikutip tanggal 13 November
2004
12. John R.M., Howard K.W, A ,B, Cs of Brain Tumors — From Their Biology to Their
Treatments at http://www.brain-surgery.com, dikutip tanggal 13 November 2004
Meningioma, Tumor selaput otak
Tumor jinak , berasal dari sel arachnoid. Arachnoid adalah salah satu dari 3 lapisan selaput
pembungkus otak ( Mening).
Umumnya tumor ini jinak, menyerang lebih banyak pada wanita dibanding pria.
Pada umumnya, tingkat kesulitan operasi kelainan di otak ( tumor, gumpalan darah atau benda
asing ) tergantung lokasi tumor. Makin ditengah dan makin didasar tengkorak, makin sulit.
Berikut ditampilkan sakah satu gambar kasus meningioma dan tindakan operasinya, yang
dilakukan di RS Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.
gambar scan otak dengan kontras: meningioma
tampak putih bulat di sebelah kiri adalah sang tumor (meningioma)
operasi pengangkatan meningioma
hasil operasi : kiri tumor (meningioma), kanan tulang kepala yang
terinfiltrasi tumor
Guest Book
MENINGIOMA
Posted on July 18, 2009. Filed under: Uncategorized |
LATAR BELAKANG.
Karena kemajuan tehnik diagnosa pada dewasa ini, kasus-kasus tumor intrakranial menjadi lebih
sering dilaporkan. Pada umumnya, tumor intrakranial timbul dengan cepat dan progressif,
sehingga mendorong penderitanya untuk segera mendapatkan pengobatan ke dokter. Namun
tidak demikian halnya dengan kasus-kasus meningioma dimana penderita datang pada keadaan
yang sudah lanjut dan tentunya ukuran tumor sudah menjadi sangat besar. Bahkan oleh karena
perjalanannya yang sangat lambat sebagian besar kasus tanpa disertai adanya gejala-gejala
klinik. Meningioma yang kecil atau dengan gejala yang minimal seringkali diketemukan secara
kebetulan. Dari semua otopsi tumor, dilaporkan terdapat 1,44% meningioma intrakranial yang
sebagian besar tanpa adanya gejala-gejala klinik.1
Seperti banyak kasus neoplasma lainnya, masih banyak hal yang belum diketahui dari
meningioma. Tumor otak yang tergolong jinak ini secara histopatologis berasal dari sel
pembungkus arakhnoid (arakhnoid cap cells) yang mengalami granulasi dan perubahan bentuk.2
Meningioma intrakranial merupakan tumor kedua yang tersering disamping Glioma, dan
merupakan 13-20% dari tumor susunan saraf pusat.1 Etiologi tumor ini diduga berhubungan
dengan genetik, terapi radiasi, hormon sex, infeksi virus dan riwayat cedera kepala. Patofisiologi
terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas.2
DEFINISI
Meningioma adala tumor otak jinak yang berasal dari sel-sel yang terdapat pada lapisan
meningen serta derivat-derivatnya. Di antara sel-sel meningen itu belum dapat dipastikan sel
mana yang membentuk tumor tetapi terdapat hubungan erat antara tumor ini dengan villi
arachnoid. Tumbuhnva meningioma kebanvakan di temnat ditemukan banyak villi arachnoid.
Dari observasi yang dilakukan Mallary (1920) dan didukung Penfield (1923) didapatkan suatu
konsep bahwa sel yang membentuk tumor ini ialah fibroblast sehingga mereka menyebutnya
arachnoid fibroblast atau meningeal Fibroblastoma.3 Meningioma berasal dari leptomening yang
biasanya berkembang jinak. Cushing, 1922 menamakannya meningioma karena tumor ini yang
berdekatan dengan meningen.4
Ahli patologi pada umumnya lcbih menyukai label histologi dari pada label anatomi untuk suatu
tumor. Namun istilah meningioma yang diajukan Cushing (1922) ternyata dapat diterima dan
didukung oleh Bailey dan Bucy (1931).3
Orville Bailey (1940) mengemukakan bahwa sel-sel arachnoid berasal dari neural crest, sel-sel
arachnoid disebut Cap cells; pendapat ini didukung Harstadius (1950), bermula dari unsur
ectoderm. Zuich tetap menggolongkan meningioma ke dalam tumor mesodermal.3
INSIDENSI
Meningioma dapat dijumpai pada semua umur, namun paling banyak dijumpai pada usia
pertengahan. Meningioma intrakranial merupakan 15-20% dari semua tumor primer di regio ini.
Meningioma juga bisa timbul di sepanjang kanalis spinalis, dan frekuensinya relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan tumor lain yang tumbuh di regio ini.3
Di intracranial, meningioma banyak ditemukan pada wanita dibanding pria (2 : 1), sedangkan
pada kanalis spinalis lebih tinggi lagi (4 : 1). Meningioma pada bayi lebih banyak pada pria.3
Meningioma intrakranial merupakan tumor kedua yang tersering disamping Glioma, merupakan
13–20% dari tumor susunan saraf pusat. Meningioma dapat terjadi pada semua usia namun
jarang didapatkan pada bayi dan anak-anak. Angka tertinggi penderita meningioma adalah pada
usia 50-60 tahun. Meskipun demikian dilaporkan juga dua kasus meningioma kongenital pada
bayi. KOOS dan MULLER menyatakan mulai usia 12 tahun insidens meningioma meningkat
secara progressif. Meningioma ini lebih banyak didapatkan pada wanita dari pada laki-laki.
Perbandingan antara wanita dan laki-laki adalah 3 : 2, sedangkan JACOBSON dkk mendapatkan
perbandingan wanita dan laki-laki adalah 7 : 4.1
ETIOLOGI
Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah trauma, kehamilan, dan virus.
Pada penyelidikan dilaporkan 1/3 dari meningioma mengalami trauma. Pada beberapa kasus ada
hubungan langsung antara tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor. Sehingga
disimpulkan bahwa penyebab timbulnya meningioma adalah trauma. Beberapa penyelidikan
berpendapat hanya sedikit bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara meningioma dengan
trauma.1
Dilaporkan juga bahwa meningioma ini sering timbul pada akhir kehamilan, mungkin hal ini
dapat dijelaskan atas dasar adanya hidrasi otak yang meningkat pada saat itu.1
Teori lain menyatakan bahwa virus dapat juga sebagai penyebabnya. Pada penyelidikan dengan
light microscope ditemukan virus like inclusion bodies dalam nuclei dari meningioma. Tetapi
penyelidikan ini kemudian dibantah bahwa pemeriksaan electron misroscope inclusion bodies ini
adalah proyeksi cytoplasma yang berada dalam membran inti.1
PATOGENESA
Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas. Kaskade eikosanoid
diduga memainkan peranan dalam tumorogenesis dan perkembangan edema peritumoral.2
Dari lokalisasinya Sebagian besar meningioma terletak di daerah supratentorial. Insidens ini
meningkat terutama ada daerah yang mengandung granulatio Pacchioni. Lokalisasi terbanyak
pada daerah parasagital dan yang paling sedikit pada fossa posterior.1
Etiologi tumor ini diduga berhubungan dengan genetik, terapi radiasi, hormon sex, infeksi virus
dan riwayat cedera kepala. Sekitar 40-80% tumor ini mengalami kehilangan material genetik dari
lengan panjang kromosom 22, pada lokus gen neurofibromatosis 2 (NF2). NF2 merupakan gen
supresor tumor pada 22Q12, ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma sporadik. Pasien
dengan NF2 dan beberapa non-NF2 sindrom familial yang lain dapat berkembang menjadi
meningioma multiple, dan sering terjadi pada usia muda. Disamping itu, deplesi gen yang lain
juga berhubungan dengan pertumbuhan meningioma.2
Terapi radiasi juga dianggap turut berperan dalam genesis meningioma. Bagaimana peranan
radiasi dalam menimbulkan meningioma masih belum jelas. Pasien yang mendapatkan terapi
radiasi dosis rendah untuk tinea kapitis dapat berkembang menjadi meningioma multipel di
tempat yang terkena radiasi pada dekade berikutnya. Radiasi kranial dosis tinggi dapat
menginduksi terjadinya meningioma setelah periode laten yang pendek.2
Meningioma juga berhubungan dengan hormon seks dan seperti halnya faktor etiologi lainnya
mekanisme hormon sex hingga memicu meningioma hingga saat ini masih menjadi perdebatan.
Pada sekitar 2/3 kasus meningioma ditemukan reseptor progesterone. Tidak hanya progesteron,
reseptor hormon lain juga ditemukan pada tumor ini termasuk estrogen, androgen, dopamine,
dan reseptor untuk platelet derived growth factor. Beberapa reseptor hormon sex diekspressikan
oleh meningioma. Dengan teknik imunohistokimia yang spesifik dan teknik biologi molekuler
diketahui bahwa estrogen diekspresikan dalam konsentrasi yang rendah. Reseptor progesteron
dapat ditemukan dalam sitosol dari meningioma. Reseptor somatostatin juga ditemukan
konsisten pada meningioma.2
Pada meningioma multiple, reseptor progesteron lebih tinggi dibandingkan pada meningioma
soliter. Reseptor progesteron yang ditemukan pada meningioma sama dengan yang ditemukan
pada karsinoma mammae. Jacobs dkk (10) melaporkan meningioma secara bermakna tidak
berhubungan dengan karsinoma mammae, tapi beberapa penelitian lainnya melaporkan
hubungan karsinoma mammae dengan meningioma.2
Meningioma merupakan tumor otak yang pertumbuhannya lambat dan tidak menginvasi otak
maupun medulla spinalis. Stimulus hormon merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan
meningioma. Pertumbuhan meningioma dapat menjadi cepat selama periode peningkatan
hormon, fase luteal pada siklus menstruasi dan kehamilan.2
Trauma dan virus sebagai kemungkinan penyebab meningioma telah diteliti, tapi belum
didapatkan bukti nyata hubungan trauma dan virus sebagai penyebab meningioma. Philips et al
melaporkan adanya sedikit peningkatan kasus meningioma setelah trauma kepala pada populasi
western Washington state.2
KLASIFIKASI
Gambaran mikroskopik meningioma amat bervariasi, macam-macam klasifikasi diusulkan,
namun Orville Bailey (1940) menganggap klasifikasi meningioma tidak diperlukan. Pandangan
ini didasarkan secara biologis karma variasi-variasi histologis tersebut tidak banyak kaitannya
dengan perangai biologi kelompok tumor ini.3
Klasifikasi menurut Kernohan dan Sayre, yaitu Meningioma meningotheliomatosa (syncytial,
endothclimatous), Meningioma fibroblastic dan Meningioma angioblastik. Yang terakhir ada
yang menggolongkan sebagai haemangioperisitoma. Tipe transisional atau tipe campuran
digolongkan ke dalam kelompok meningioma meningotheliomatosa.3
WHO juga membuat suatu klasifikasi untuk meningioma, lihat table 2.1.
Low risk of Recurrence and Aggressive Growth
Grade I
Meningothelial meningioma
Fibrous (fibroblastic) meningioma
Transitional (mied) meningioma
Psammomatous Meningioma
Angiomatous meningioma
Mycrocystic meningioma
Lymphoplasmacyte-rich meningioma
Metaplastic meningioma
Secretory meningioma
Greater Likelihood of Recurrence, Aggressive behavior, or any Type with a
High Proliferative Index
Grade II
Atypical meningioma
Clear cell meningioma (Intracranial)
Choroid meningioma
Grade III
Rhabdoid meningioma
Papillary meningioma
Anaplastic (malignant) meningioma
Tabel 2.1 Klasifikasi Meningioma menurut WHO2
Meningioma meningotheliomatosa
Terdiri atas sel-sel uniform, berinti bulat atau oval, mengandung satu atau dua nukleoli yang
nyata, sedangkan membran sel tidak jelas, sebagian dari kelompok-kelompok sel tersebut
tersusun dalam lobulus-lobulus membentuk massa yang solid. Jaringan ikat pada batas-batas
lobulus. Whorls dan psammoma bodies juga merupakan gambaran khas tumor ini. Meningioma
ftbroblastik Terdiri alas sel-sel pipih yang membentuk berkas-berkas yang sating beranyaman,
kadang-kadang dengan bagian-bagian menyerupai struktur palisade. Sel-sel tersebut mirip
dengan fibroblast, namun inti sel identik dengan inti sel meningioma meningiomatosa. Adanya
serabut retikulin yang berlebihan dan serabut kolagen yang menjadi pemisah antara sel pada
meningioma tipe ini, merupakan tanda yang khas.3
Meningioma angioblastik
Terdiri alas sel-sel tersusun padat, batas-batas sitoplasma tidak jelas, inti sel tersusun rapat. Sel-
sel tersebut umumnya menempel pada dinding kapiler, namun kapiler-kapiler tersebut sebagian
mengalami dilatasi, sebagian lagi kompresi, sehingga sukar untuk diidentifikasi. Bailey dkk.
(1928) beranggapan bahwa sel-sel tumor ini berasal dari elemen dinding pembuluh darah.
Beberapa penulis melaporkan bahwa meningioma angioblastik lebih sering kambuh.3
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Meningioma intrakranial banyak ditemukan di regio parasagital, selanjutnya di daerah
permukaan konveks lateral dan falx cerebri. Di kanalis spinalis meningioma lcbih sering
menempati regio torakal. Pertumbuhan tumor ini mengakibatkan tekanan hebat pada jaringan
sekitamya, namun jarang menyebuk ke jaringan otak. Kadang-kadang ditemukan fokus-fokus
kalsifikasi kecil-kecil yang berasal dari psammoma bodies, bahkan dapat ditemukan
pembentukan jaringan tulang baru.3
Secara histologis, meningioma biasanya berbentuk globuler dan meliputi dura secara luas. Pada
permukaan potongan, tampak pucat translusen atau merah kecoklatan homogen serta dapat
seperti berpasir. Dikatakan atipikal jika ditemukan proses mitosis pada 4 sel per lapangan
pandang elektron atau terdapat peningkatan selularitas, rasio small cell dan nukleus sitoplasma
yang tinggi, uninterupted patternless dan sheet-like growth. Sedangkan pada anaplastik akan
ditemukan peningkatan jumlah mitosis sel, nuklear pleomorphism, abnormalitas pola
pertumbuhan meningioma dan infiltrasi serebral. Imunohistokimia dapat membantu diagnosis
meningioma. Pada pasien dengan meningioma, 80% menunjukkan adanya epithelial membrane
antigen (EMA) yang positif. Stain negatif untuk anti-Leu 7 antibodi (positif pada Schwannomas)
dan glial fibrillary acidid protein (GFAP).2
MANIFESTASI KLINIK
Meningioma tumbuhnya perlahan-lahan dan tanpa memberikan gejala-gejala dalam waktu yang
lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Ini khas untuk meningioma tetapi tidak pathognomonis.
Diperkirakan meningioma intrakranial yang merupakan 1,44% dari seluruh otopsi sebagian besar
tidak menunjukkan gejala-gejala dan didapatkan secara kebetulan. Dari permulaan sampai
timbulnya gejala-gejala rata-rata ± 26 bulan, dilaporkan juga gejala-gejala yang lama timbulnya
yaitu antara 20 — 30 tahun. Walaupun demikian gejala-gejala yang cepat tidak menyingkir kan
adanya meningoma.1
Gejala-gejala umum, seperti juga pada tumor intracranial yang lain misalnya sakit kepala,
muntah-muntah, perubahan mental atau gejala-gejala fokal seperti kejang-kejang, kelumpuhan,
atau hemiplegia. Gejala umum ini sering sudah ada sejak lama bahkan ada yang bertahun-tahun
sebelum penderita mendapat perawatan dan sebelum diagnosa ditegakkan.1
Gejala-gejala yang paling sering didapatkan adalah sakit kepala. Gejala klinis lain yang paling
sering adalah berturut-turut sebagai berikut :
kejang-kejang (±48%)
gangguan visus (± 29%)
gangguan mental (± 13%)
gangguan fokal (± 10%)
Tetapi timbulnya tanda-tanda dan gejala-gejala ini tergantung pada letak tumor dan tingginya
tekanan intrakranial. Tanda-tanda fokal sangat tergantung dari letak tumor, gejala-gejala
bermacam-macam sesuai dengan fungsi jaringan otak yang ditekan atau dirusak, dapat perlahan-
lahan atau cepat. Menurut LEAVEN gangguan fungsi otak ini penting untuk diagnosa dini.
Gejala-gejala ini timbul akibat hemodynamic steal dalam satu hemisfer otak, antara hemisfer
atau dari otak kedalam tumor.1
Sakit Kepala
Merupakan gejala yang paling sering, sakit kepala ini tidak khas, dapat umum atau terlokalisir
ada daerah yang berlainan. Hal ini sudah lazim walaupun tidak dikaitkan dengan meningkatnya
tekanan intracranial. Meningioma Intra Ventrikuler seringkali mengalami sakit kepala dan
peningkatan tekanan intrakranial, karena meningioma di tempat tersebut dapat bergerak dan
dapat mengadakan penyumbatan pada aliran cairan serebrospinalis. Sakit kepala tersebut bersifat
unilateral dan gejala-gejala ini mungkin hilang timbul. Selain sakit kepala juga disertai mual dan
muntah-muntah.1
Kejang
Didapati 48% dari kasus meningioma mengalami kejang-kejang terutama pada meningioma
parasagittal dan lobus temporalis, Adanya kejang-kejang ini akan memperkuat diagnosa.1
Gangguan Mata
Gangguan mata yang terjadi pada meningioma dapat berupa :
penurunan visus
papil oedema
nystagmus
gangguan yojana penglihatan
gangguan gerakan bola mata
exophthalmus.1
Hemiparese
Lebih sering didapatkan pada meningioma dibandingkan dengan tumor-tumor intrakranial yang
lain. 10% dari kasus meningiomadidapati kelumpuhan fokal, Crose dkk mendapatkan tiga dari
13 kasusnya dengan hemi parese disertai gangguan sensoris dari N V.1
Gangguan mental
Sering juga didapatkan gangguan mental, tentunya berhubungan pula dengan lokalisasi dari
tumor.Dilaporkan 13% dari kasus-kasus RAAF (29) dengan gangguan mental. Gejala mental
seperti: dullness, confusion stupor merupakan gejala-gejala yang paling sering.1
Disamping gejala-gejala tersebut di atas juga sering didapatkan gangguan saraf otak (nervus
cranialis) terutama yang paling sering dari kasus-kasus Crouse yaitu N II, V, VI, IXdan X.
Gejala yang menarik adalah adanya Intermittent cerebral symptoms. Pada 219 penderita dengan
meningioma supra tentorial didapatkan ganggnan fungsi serebral yang mendadak intermitten dan
sementara dapat beberapa menit atau lebih dari sehari. Gejala-gejala dapat berupa afasia,
kelumpuhan dari muka dan lidah, hemi plegia, vertigo, buta, ataxia, hallusinasi (olfaktoris) dan
kejang-kejang. Setengah dari kasus-kasus ini gangguan fungsi serebral berulang-ulang, karena
terjadi pada usia lanjut maka seringkali diagnosa membingungkan dengan suatu infark otak atau
insuffuiensia serebrovaskuler, migrain, dan multiple sclerosis. Pada umumnya C.V.A. dapat
dibedakan dengan tumor intrakranial dengan adanya gejala-gejala yang mendadak dan perlahan-
lahan diikuti dengan kemajuan dari gejala-gejala neurologis. Bermacam-macam gejala eurologis
yang paling sering menimbulkan kesalahan diagnose.1
Tanda-tanda yang menyesatkan (False Localizing Signs = FLS)
FLS dari tumor-tumor intrakranial adalah tanda-tanda yang tidak semuanya berhubungan dengan
gangguan fungsi pada tempat tumor tersebut. Biasanya terlihat sebagai gejala fokal dari tempat-
tempat yang jauh dari tumor di mana hal ini dapat membingungkan untuk menentukan lokalisasi
tumor tersehut. Seperti biasanya diagnosa klinik ditegakkan dari kumpulan/tanda-tanda, tetapi
kurangnya pengetahuan akan FLS menyebabkan kesalahan-kesalahan pada diagnosa, apabila
pada kasus-kasus yang tanda-tandanya tidak jelas. Dari 250 kasus meningioma intrakranial
didapatkan 101 kasus dengan FLS. Diagnosa yang salah karena gejala-gejala yang tidak jelas
disertai adanya FLS. Gejala-gejala yang tidak jelas dapat disebabkan oleh karena adanya Silent
area di mana tumor-tumor itu pada permulaannya tidak menunjukkan gejala-gejala. Yang
termasuk silent area: parasagital anterior, konveksitas frontal dan intraventrikuler.1
PROSEDUR DIAGNOSTIK
Diagnosa meningioma dapat ditentukan atas beberapa pemeriksaan sebagai berikut :
Elektroensefalografi (E.E.G.).
X ray foto tengkorak.
Angiografi
Pneumoensefalografi atau Ventrikulografi.
Brain Scan.
Computerized Tomography Scan (CT scan).
Histopatologik.
Tissue Culture1
Elektroensefalografi (EEG)
Tumor otak memberi EEG abnormal pada 75–85% dari kasus dan 15 — 25% dari penderita
dengan tumor otak mempunyai EEG yang normal. Tumor otak sendiri tidak memberi aktivitas
listrik abnormal. Hanya neuron-neuron yang membuat ini pada daerah dekat tumor menjadi
abnormal sedemikian rupa sehingga hypersynchronisasi dari pelepasan-pelepasan listrik dari
beribu-ribu atau berjuta-juta sel saraf membentuk gelombang lambat atau gelombang runcing
pada EEG. Mungkin tumor ini memberi kelainan metabolik dari neuron-neuron didekatnya,
mungkin dengan tekanan langsung, oedema atau mengacau (merusak) innervasi daerahnya.
Meningoma menunjukkan sedikit abnormalitas pada E.E.G. Pada kasus-kasus didapatkan 53%
dengan focus abnormal. Pada meningioma intraventriculer enam dari delapan kasus
menunjukkan EEG yang abnormal.1
Foto Tengkorak
Beberapa sarjana menyatakan bahwa perubahan-perubahan dari X foto tengkorak pada
meningioma 22,5% adalah normal, 75,5% abnormal. Kelainan radiologis tersebut adalah:
Hyperostosis : 25% – 44,1%
Pembesaran dari canalis yang dilalui oleh arteri meningiamedia (foramen Spinosum) :
25%
Perkapuran dari tumor : 3% — 20%
Kerusakan dari tulang : 1,5% – 16,1%
Pembuatan specule : 4,3% adalah pembuatan tulang-tulang baru sebagai tiang yang
ramping tegak lurus pada permukaan tulang yang normal.
Penebalan tulang yang difus
Hyperostosis dan kalsifikasi tumor terutama Psammomatous merupakan tanda yang paling
penting untuk diagnosa meningioma disamping peningkatan Vascularisasi dan kerusakan tulang.1
Angiografi
Kelainan pembuluh darah yang paling khas pada meningioma adalah adanya pembuluh darah
yang memberi darah pada neoplasma oleh cabang-cabang arteri sistim karotis eksterna. Bila
mendapatkan arteri karotis ekstema yang memberi darah ke tumor yang letaknya intrakranial
maka ini mungkin sekali neningioma.1
Meningioma menunjukkan ciri-ciri paling khas sebagai berikut:: (i) Mendapat darah dari sistim
karotis eksterna. (ii) Homogenous akan tetapi sharphy sircumscribed cloud, ya itu adanya tumor
cloud yang homogen dari cairan kontras pada seluruh tumor. Batas vaskuler intrinsik dari
meningioma sering jelas sekali dan konfigurasinya berbentuk bulat-bulatan (lobulated). Dan (iii).
Tetap adanya cairan kontras dalam tumor.1
Terdapat tetap adanya tumor cloud untuk waktu yang agak lama pada serialogram. Tumor Stain
masih terlihat pada film terakhir ialah delapan sampai sembilan detik setelah permulaan dari
injeksi cairan kontras. (iii) lebih dapat dipercaya daripada (ii).1
Pneumoensefalografi atau Ventrikulografi
Pneumografi dapat menunjukkan paling jelas tumor intraventrikuler dan tumor yang letaknya
dalam, dekat pada ventrikel atau mengadakan invasi pada struktur di garis tengah (invading
midline structures).1
Brain Scan
Brainscan biasanya kurang cermat untuk diagnosa dari tumor yang tumbuh lambat dan berasal
dari glia. Mungkin tak lebih dari separo menunjukkan Brainscan yang positip. Keterbatasan atau
kejelekan dari radionucleide brainscan ini ialah tak dapat memberi petunjuk yang dapat
dipercaya mengenai jenis atau macam nature dari lesi. Ia hanya menunjukkan suatu daerah
dengan uptake yang abnormal dalam kepala, yang dapat sebagai neoplasma, vaskuler, radang
atau trauma. Ia tak memberi informasi mengenai status dari otak dan derajad dari deformitas atau
adanya edema otak, dilatasi ventrikel atau tekanan intrakranial yang tinggi. Dalam hal ini, C.T.
scan dari otak lebih superior dibandingkan dengan isotop brainscan.1
Computerized Tomography scan (CT scan)
Meningioma biasanya lebih padat dibandingkan dengan otak oleh karena adanya Calcium dalam
tumor. Nilai absorpsi mungkin antara 20 – 300 Um, dan lesi-lesi itu dengan densitas sedang,
bertambah jelas dengan penyuntikan, kontras walau dengan jumlah yang sedikit (20 – 40 cc).
Bila meningioma dengan densitas sangat mendekati otak,maka kita dapat salah menerka edema
sebagai tumor dan dapat mendiagnosis salah sebagai glioma. Sesuai dengan laporan BECKER
dkk (1) bila meningioma mengandung banyak calcium, ia sangat padat dan diagnosisnya jelas.1
CT. Scan dapat menunjukkan ventrikel dan ruangan subarachnoid, juga massa tumor, sering
dapat memberi informasi tentang lokalisasi secara terperinci. Histopatologik. Histopatologi dari
meningioma menunjukkan gambaran yang beraneka ragam. Beberapa sarjana membagi menjadi
gambaran yang sederhana didasarkan jenis yang paling sering didapatkan.1
Pembiakan jaringan (Tissue Culture)
Sejak tahun 1928 pembiakan jaringan meningioma telah dilakukan, tetapi tidak didapatkan
bentuk-bentuk pertumbuhan, sampai COSTERO dkk pada th 1955 mendapatkan pertumbuhan
meningioma whorls yang khusus. Bentuk whorls tidak selalu didapatkan pada semua pembiakan
jaringan meningioma, tetapi whorls ini merupakan tanda khas adanya meningioma dan tidak
pernah didapatkan pada tumor-tumor yang lain baik intra maupun ekstraserebral.1
Menurut U.I.C.C. (Unio Internationalis Contra Cancrum) gambaran histopatologi sebagai
berikut:
Epitheloid
Meningotheliomatous
Endotheliomatous
Fibroblastic / Fibromatous
Psammomatous1
2.9 PENATALAKSANAAN
Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan pertama. Beberapa
faktor yang mempengaruhi operasi removal massa tumor ini antara lain lokasi tumor, ukuran dan
konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat
operasi sebelumnya dan atau radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya berubah
berdasarkan faktor resiko, pola, dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya mengangkat
seluruh tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang untuk menurunkan kejadian
rekurensi.4 Klasifikasi Simpson untuk reseksi meningioma intracranial dapat dilihat pada table
2.2
Rencana preoperatif
Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan dapat segera diberikan,
deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2 antagonis beberapa hari sebelum operasi
dilaksanakan.4
Pemberian antibiotik perioperatif digunakan sebagai profilaksis pada semua pasien untuk
organisme stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin generasi III yang memiliki aktifitas
terhadap organisem pseudomonas, serta pemberian metronidazol (untuk organisme anaerob)
ditambahkan apabila operasi direncanakan dengan pendekatan melalui mulut, sinus paranasal,
telinga, atau mastoid.4
Grade I Gross total resection of tumor, dural attachments and abnormal bone
Grade II Gross total resection of tumor, coagulation of dural attachments
Grade III Gross total resection of tumor, without resection or coagulation of dural
attachments, or alternatively of its extradural extensions ( e.g invaded sinus or
hyperostotic bone)
Grade IV Partial resection of tumor
Grade V Simple decompression (biopsy)
Tabel 2.2 Klasifikasi Simpson untuk reseksi meningioma intracranial4
Operasi
Meningioma yang terletak di vault biasanya dapat dioperasi seluruhnya. Pada basis otak terdapat
kesukaran tekhnis untuk diambil seluruhnya.1
Drainage ventrikel
Cara ini digunakan umpamanya pada neoplasma dari fossa posterior dengan obstruksi akut dari
sistem ventrikel, tekanan intrakranial meningkat secara massif dan oedema otak yang ikut
menyertainya.1
Penutupan vaskuler
Cara ini digunakan paling sering pada meningioma dengan banyak sekali pembuluh darah
(highly vascular meningioma). Biasanya dilakukan ± 24 jam sebelum operasi yaitu penutupan
dari arteria karotis eksterna yang memberi darah pada tumor dengan macam-macam tehnik
embolisasi.1
Pembesaran lapangan operasi (Operative magnification)
Penggunaan microscope bedah atau loupe dengan cahaya fiberoptic memberi dimensi baru untuk
pendekatan operasi, dari banyak tnmor.1
Terapi Ajuvan
Radioterapi
Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak dipakai untuk terapi.
External beam irradiation dengan 4500-6000 cGy dilaporkan efektif untuk melanjutkan terapi
operasi meningioma reseksi subtotal, kasus-kasus rekurensi baik yang didahului dengan operasi
sebelumnya ataupun tidak. Pada kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi karena lokasi
yang sulit, keadaan pasien yang buruk, atau pada pasien yang menolak dilakukan operasi,
external beam irradiation masih belum menunjukkan keefektifitasannya. Teori terakhir
menyatakan terapi external beam irradiation tampaknya akan efektif pada kasus meningioma
yang agresif (atyppical, malignan), tetapi informasi yang mendukung teori ini belum banyak
dikemukakan.4
Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan pertimbangan komplikasi yang
ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf optikus sangat rentan mengalami kerusakan
akibat radioterapi. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan berupa insufisiensi pituitari ataupun
nekrosis akibat radioterapi.4
Radiasi Stereotaktik
Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960an
menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu penggunaan stereotaktik radioterapi ini
semakin banyak dilakukan untuk meningioma. Sumber energi yang digunakan didapat melalui
teknik yang bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang berasal dari Co
gamma (gamma knife) atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat (proton, ion helium)
dari cyclotrons. Semua teknik radioterapi dengan stereotaktik ini dapat mengurangi komplikasi,
terutama pada lesi dengan diameter kurang dari 2,5 cm.4
Steiner dan koleganya menganalisa pasien meningioma yang diterapi dengan gamma knife dan
diobservasi selama 5 tahun. Mereka menemukan sekitar 88% pertumbuhan tumor ternyata dapat
dikontrol. Kondziolka dan kawan-kawan memperhitungkan pengontrolan pertumbuhan tumor
dalam 2 tahun pada 96 % kasus. Baru-baru ini peneliti yang sama melakukan studi dengan
sampel 99 pasien yang diikuti selama 5 hingga 10 tahun dan didapatkan pengontrolan
pertumbuhan tumor sekitar 93 % kasus dengan 61 % massa tumor mengecil. Kejadian defisit
neurologis baru pada pasien yang diterapi dengan stereotaktik tersebut kejadiannya sekitar 5 %.4
Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak diketahui efikasinya
untuk terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi sebagai terapi ajuvan untuk rekuren
meningioma atipikal atau jinak baru sedikit sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi terapi
menggunakan regimen kemoterapi (baik intravena atau intraarterial cis-platinum, decarbazine
(DTIC) dan adriamycin) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte dan Yung),
walaupun regimen tersebut efektifitasnya sangat baik pada tumor jaringan lunak. Laporan dari
Chamberlin pemberian terapi kombinasi menggunakan cyclophosphamide, adriamycin, dan
vincristine dapat memperbaiki angka harapan hidup dengan rata-rata sekitar 5,3 tahun.
Pemberian obat kemoterapi lain seperti hydroxyurea sedang dalam penelitian. Pertumbuhan sel
pada meningioma dihambat pada fase S dari siklus sel dan menginduksi apoptosis dari beberapa
sel dengan pemberian hydroxyurea. Dan dilaporkan pada satu kasus pemberian hydroxyurea ini
memberikan efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan meningioma yang tidak dapat
direseksi. Pemberian Alfainterferon dilaporkan dapat memperpanjang waktu terjadinya rekurensi
pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan juga terapi ini kurang menimbulkon toksisitas
dibanding pemberian dengan kemoterapi.4
Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada kasus dengan meningioma.
Preparat yang dipakai biasanya tamoxifen (anti estrogen) dan mifepristone (anti progesteron).
Tamoxifen (40 mg/m2 2 kali/hari selama 4 hari dan dilanjutkan 10 mg 2 kali/hari) telah
digunakan oleh kelompok onkolologi Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang sulit
dilakukan reseksi dan refrakter. Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien, stabilisasi
sementara pertumbuhan tumor pada 6 pasien, dan respon minimal atau parsial pada tiga pasien.
Pada dua studi terpisah dilakukan pemberian mifepristone (RU486) 200 mg perhari selama 2
hingga 31 bulan. Pada studi yang pertama didapatkan 5 dari 14 pasien menunjukkan perbaikan
secara objektif yaitu sedikit pengurangan massa tumor pada empat pasien dan satu pasien
gangguan lapang pandangnya membaik walaupun tidak terdapat pengurangan massa tumor;
terdapat pertumbuhan ulang pada salah satu pasien tersebut. Pada studi yang kedua dari
kelompok Netherlands dengan jumlah pasien 10 orang menunjukkan pertumbuhan tumor
berlanjut pada empat pasien, stabil pada tiga pasien, dan pengurangan ukuran yang minimal pada
tiga pasien. Tiga jenis obat tersebut sedang dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang
lebih besar pada meningioma tetapi sampai sekarang belum ada terapi yang menjadi prosedur
tetap untuk terapi pada tumor ini.4
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding tergantung dari bentuk gejala sebenarnya dan usia penderita. Telah dibuat
sejumlah diagnosa banding pada beberapa penyelidikan.Kira-kira separo dari kasus-kasus
dengan insuffisiensia serebral sepintas lalu dan berulang-ulang pada penderita yang tua
menyerupai infark otak atau insuffiensia serebro vaskuler. Seringkali juga menyerupai chronic
subdural hematoma, perdarahan subarachnoid dan meningitis serosa.1
PROGNOSIS
Pada umnmnya prognosa meningioma adalah baik, karena pengangkatan tumor yang sempurna
akan memberikan peyembuhan yang permanen. Pada orang dewasa snrvivalnya relatif lebih
tinggi dibandingkan pada anak-anak, dilaporkan survival rate lima tahun adalah 75%. Pada anak-
anak lebih agresif, perubahan menjadi keganasan lebih besar dan tumor dapat menjadi sangat
besar. Pada penyelidikan pengarang-pengarang barat lebih dari 10% meningioma akan
mengalami keganasan dan kekambuhannya tinggi.1
Sejak 18 tahun meningioma dipandang sebagai tumor jinak, dan bila letaknya mndah dapat
diangkat seluruhnya. Degenerasi keganasan tampak bila ada:
invasi dan kerusakan tulang
tumor tidak berkapsul pada saat operasi
invasi pada jaringan otak.1
Angka kematian (mortalitas) meningioma sebelum operasi jarang dilaporkan, dengan kemajuan
tehnik dan pengalaman operasi para ahli bedah maka angka kematian post operasi makin kecil.
Diperkirakan angka kematian post operasi selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan
(1957–1966) adalah8,5%. Sebab-sebab kematian menurut laporan-laporan yang terdahulu yaitn
perdarahan dan oedema otak.1
KESIMPULAN
Meningioma intrakranial merupakan tumor intrakranial kedua yang tersering disamping glioma,
perjalananya sangat lambat dan lebih sering didapatkan pada wanita pada usia 50 – 60 th. Diduga
sebagai penyebabnya adalah trauma, kehamilan dan virus. Lokalisasi tersering didaerah supra
tentorial di para sagital. Permulaan sampai timbul gejala-gejala rata-rata 26 bulan. Gejala-gejala
umum seperti tumor intrakranial disertai gejala-gejala fokal tergantung lokalisasi dari tumor.
Diagnosa dibuat berdasarkan pemeriksaan tumor intracranial pada umumnya, yaitu dibuat
berdasarkan pemeriksaan klinik , E.E.G., x-foto tengkorak, angiografi, PEG atau ventrikulografi.
Diagnosa banding seringkali menyerupai insuffisiensi serebral sementara dan berulang-
ulang,infark otak, chronic subdural hematoma, perdarahan sub archnoid dan meningitis.serosa.
Pengobatan dengan operasi, drainage ventrikel, penutupan vaskuler, pembesaran lapangan
operasi. Prognosa pada umumnya baik, survival rate lima tahun adalah 75%. Angka kematian :
diperkirakan post operasi selama lima tahun (1942 – 1946) adalah 7,9% dan (1957 – 1966)
adalah 8,5%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Widjaja D, Fauziah B. Meningioma Intrakranial. 1979. Diunduh dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09MeningiomaIntrakranial016.pdf/
09MeningiomaIntrakranial016.html
2. 2. Manajemen Meningioma. Diunduh dari
http://www.neuro-onkologi.com/articles/Manajemen Meningioma.doc
3. 3. Patogenesis Histopatologi dan lasifikasi Meningioma. Diunduh dari www.neuro-
onkologi.com/…/Patogenesis, histopatologi dan klasifikasi meningioma.doc
4. Yusup FXEG. Histopatologi Tumor Otak. 1992. Diumduh dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09HistopatologiTumorOtak077.pdf/
09HistopatologiTumorOtak077.html