Astina edisi 2
-
Upload
barjow-anonim -
Category
Spiritual
-
view
154 -
download
0
description
Transcript of Astina edisi 2
JURNALASTINA
Segala sesuatu pada dasarnya memiliki dua wajah. Salah satunya adalah yang terasingkan :
Edisi II/Oktober/2011
2 JURNALASTINA
K ita hidup dalam dunia yang penuh peperangan. Setiap hari media selalu memberitakan soal perang ideologi dan
perang wacana. Kekhawatiran tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah senantiasa hadir dalam benak kita. Pemenang menjelma menjadi penguasa. Mereka seolah berhak mengkonstruksikan kebenarannya sebagai suatu hal yang absolut dalam masyarakat. Maka pihak yang kalah akan mengikuti wacana kebenaran pemenang. Mereka yang tidak mengikuti instruksi tersebut, dilabeli sebagai pembangkang dan dianggap sebagai wujud kegilaan dalam masyarakat. Kegilaan didefinisikan sebagai suatu kondisi abnormal dalam situasi 'comfort zone' masyarakat. Pada masyarakat tradisional, oknum-oknum pembangkang tersebut biasanya diasingkan atau bahkan dibuang dari kelompok masyarakatnya. Hal yang sama juga terjadi bahkan dalam masyarakat yang menyebut diri mereka 'modern'. Para pelaku kegilaan menerima sanksi-sanksi tersendiri dari otoritas yang berkuasa. Sejarah mencatat banyak pemikir-pemikir kritis, yang buah pikirannya dianggap bid'ah pada jamannya, dan mengalami hukuman sadis dari rezim yang berkuasa. Padahal banyak buah pemikiran mereka yang akhirnya membuktikan bahwa tidak selamanya kebenaran tunggal penguasa bagaikan wahyu sorgawi Tuhan. Astina memotret dua wajah kebenaran tersebut dalam ilustrasi sampul edisi “kegilaan” kali ini.
Astina mengangkat wacana kegilaan sebagai bentuk resistensi terhadap wacana kebenaran tunggal yang saat ini membelenggu kognisi kita. Tulisan-tulisan dalam jurnal ini berusaha memotret kegilaan dalam berbagai perspektif. Frendy mengangkat potret moralitas manusia sebagai sebuah kegilaan pada jamannya. Feby menelaah pemikiran Foucault mengenai kegilaan dan mengaitkan beberapa adegan di film Tsotsi dalam perspektif arsitektur. Elbram melihat kegilaan dalam pengorbanan Kristus dan kaitannya dengan Paskah. Willy memandang revolusi sebagai pengejawantahan kegilaan dalam upaya melawan belenggu kapitalisme. Bima melihat kegilaan pada diri manusia dalam memahami semesta sosialnya. Zikri mengangkat isu kontemplasi kognisi dalam kehidupan urban.
Berbagai tulisan yang disajikan dalam jurnal Astina kali ini, membuktikan bahwa kegilaan dapat ditelisik dari berbagi sudut pandang. Mulai dari perihal justifikasi kebenaran, religius, hingga hal kemanusian, semua berujung pada upaya menggugat absolutisme kebenaran tunggal. Sebagai penutup, tim redaksi Astina ingin mengajak rekan-rekan pembaca untuk memaknai ulang kebenaran melalui kegilaan.
Salam,
Redaksi.
Daftar Isi
...Hanya Kegilaan & Kebenaran
(Frendy Kurniawan)
Halaman 3
Tsotsi: Antara Urban & Kuasa
(Feby HK)
Halaman 10
Jalan Revolusi
(Willy Avriely D)
Halaman 14
Ah! Paskah!
(Elbram Aprlianto)
Halaman 18
Sesuatu
(M.Zikri)
Halaman 21
astina diskusi virtual (grup fb)
kelompok diskusi astina (fb)
@astinaacademia
astina-academia.blogspot.com
Contact Person:
Feby (0858885232088)
Willy (08988004890)
PANTAU TERUS
KEGIATAN KAMI!
JURNALASTINA 3
dan kebenaran
P etikan puisi dari Nietzsche di atas akan
mengawali pembicaraan kita berkenaan
tentang kebenaran dan kegilaan manusia.
Puisi tersebut di ambil dari kumpulan puisi
Nietzche era 1882 - 1888 (dalam judul
Dithyrambos Dionysos). Beberapa larik dari puisi
tersebut, sudah menyiratkan kepada kita perihal
sebuah masalah dari manusia. Mungkin saja pokok
tersebut menjadi sebuah permasalahan manusia
yang tiada pernah terselesaikan secara tuntas.
Bersama puisi tersebut marilah kita refleksikan
segala yang berkaitan dengan manusia.
* * *
Saya kira permasalahan mendasar dari
manusia adalah sebuah kegelisahan abadi. Sebuah
beban yang tertanggungkan secara mendasar di
dalam kemanusiaan itu sendiri. Rasa gelisah
manusia menunjuk pada sebuah karakteristik
purba berkenaan dengan passion (hasrat). Passion
yang menjadikan manusia dalam keliaran, dalam
potentia, dalam keterpurukan serta keterlemparan
dari mitos-mitos, juga menjadikan manusia
terjebak dalam aneka ragam bayang-bayang
egonya: kebebasan, kebenaran, keabadian.
Menurun dari passion, manusia semakin
menegaskan kegelisahan, semakin gundah-gulana
tiada pernah terhentikan. Layaknya samudera
yang terus menderu dalam gelora, dalam badai.
... hanya kegilaan
. . .
Pada rekah fajar,
saat bulan sabit yang pucat di tengah gemilang jingga
dengan iri berindap dengki, - gentar akan terangnya hari,
bersingjingkat menyabiti hamparan mawar
hingga pucat terkulai ke gulita malam: demikianlah dahulu kuterlukai
dari gila-kebenaranku, dari rindu-rindu siangku,
muak akan siang, sakit oleh cahaya - tenggelam, ke malam, ke gelap,
oleh Satu kebenaran terbakar dan dahaga.
- ingatlah kau, wahai kalbu membara, betapa dulu kau dahaga
akan keterusiranku dari tiap kebenaran!
Cuma pandir! Cuma penyair! . . .
Nietzsche: Nur Narr! Nur Dichter! (Cuma Pandir! Cuma Penyair!)
oleh Frendy Kurniawan1
4 JURNALASTINA
Menghantam seluruh tepi-tepi karang, sejarah
kehidupan manusia yang membeku.
Manusia menyadari kegelisahan tersebut
dalam perjalanan panjang sejarah, serta dengan
pencapaian akan
kesadaran.
Kesadaran, telah
terbukti menjadi
selubung gelap
pengetahuan
manusia dari zaman
klasik hingga
modern, dari sari
kebijakan Timur
semacam Zen
hingga seluruh
pencapaian sejarah
filsafat Barat. Kesemuanya berupaya menguak
tabir misteri semesta, membongkar mitos-mitos
penuh kegelapan seraya menghadirkan secercah
kebenaran, bagi manusia. Tapi tetap saja tak
pernah bertemu dengan ujung penyelesaian.
Kesadaran manusia itu sendiri berkenaan
dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan mengenai
kehidupan juga tentang kematian. Manusia sebagai
makhluk yang memiliki kehidupan, lantas
mempertanyakan segala hal berkaitan dengan
hidup itu sendiri. Apa itu kehidupan? Apa itu
dunia? Apa itu kenyataan? Apa itu hidup? Mengapa
hidup ini bisa terjadi? Untuk apakah hidupku ini?
Dari manakah aku berasal? Dan akan kemana?
Itulah segelintir saja pertanyaan manusia dari
seluruh pertanyaan tiada habis berkenaan dengan
hidupnya.
Tidak hanya hidupnya yang manusia
pertanyakan tiada henti. Perihal kematian pun
manusia gelisahkan tiada habis-habisnya. Apa itu
kematian? Kenapa manusia mati? Apa yang akan
terjadi setelah manusia mati? Kenapa kematian
harus terjadi? Tidak adakah jalan selain kematian
itu? Semua itu benar-benar menggelisahkan sang
manusia. Tidak ada detik kehidupan manusia yang
terlewatkan tanpa
ketakutan. Tanpa rasa
gemetar untuk
menghadapi kesunyian
yang penuh dengan
selubung misteri.
Sebuah kematian yang
membawa pada
keabadian.
Tanggapan
manusia berkenaan
dengan seluruh
pertanyaan-
pertanyaan tersebut cukup beragam. Salah satu di
antaranya terangkum dalam sebuah skema kisah-
kisah agama dan tuhan. Agama menjadi salah satu
spirit manusia, baik secara personal maupun juga
komunal. Akan tetapi agama secara jelas lebih
menguatkan pengaruh secara komunal. Ritus yang
kemudian diwartakan oleh agama-agama perlu
dijalankan dalam skema komunal. Eksistensi
kebersamaan secara alami ditegaskan dengan kuat
oleh agama. Termasuk juga dengan kematian.
Kematian yang pada prinsip dasarnya adalah
sebuah proses alamiah dari eksistensi mahkluk
hidup, oleh agama diubah menjadi sebuah titik
tolak misteri yang penuh dengan kategori sakral.
Kematian dianggap sebagai sebuah pintu gerbang
penuh penantian yang akan membawa manusia
berjumpa secara abadi dengan tuhan. Karenanya,
ada upacara secara kolektif yang kemudian
tercipta sebagai sebuah tanda perwujudan dari
ritus kematian.
Begitupun dengan kesadaran akan
“Apa itu kematian? Kenapa manusia
mati? Apa yang akan terjadi setelah
manusia mati? Kenapa kematian harus
terjadi? Tidak adakah jalan selain
kematian itu? Semua itu benar-benar
menggelisahkan sang manusia. Tidak
ada detik kehidupan manusia yang
terlewatkan tanpa ketakutan. Tanpa
rasa gemetar untuk menghadapi
kesunyian yang penuh dengan
selubung misteri.”
JURNALASTINA 5
kehidupan. Skema agama dan tuhan telah
memberikan jubah sakral bagi kematian. Juga
memberikan pemahaman besar mengenai
rancangan besar nan agung mengenai alam
semesta. Alam semesta yang kemudian disadari
dan juga nantinya dialami oleh manusia ini
dikisahkan sebagai sebuah kerja kreatif dalam
skema besar kreasionisme. Prinsip kreasionisme
telah memberikan
pemahaman bahwa
alam semesta
merupakan sebuah
rancangan kreatif dari
tuhan. Dengan demikian
kehendak tuhanlah
segala-galanya ini
berpusat. Pokok
terpenting dari
kreasionisme ini adalah
adanya kekuatan
adikodrati yang
menjadikan segala-
galanya, entah melalui
ketiadaan (ex-nihilo)
ataupun dari suatu
realitas chaos
(demiurgos) yang
kemudian menjadi teratur.
Jawaban tersebut pada suatu waktu diterima
bahkan diyakini. Hingga kini pun sebagian
penduduk dunia masih menjadi penganut paham
besar kreasionisme ini. Melalui otoritas agama
serta pewarisan secara kultural maupun juga
ekspansional (perang), paham kebenaran agama
dan tuhan sebagai sebuah pusat dari eksistensi
semesta dilestarikan di dunia. Manusia seolah-olah
menemukan kebenaran melalui skema itu.
Kesadaran manusia memberikan pembenaran bagi
prinsip ini. Reason atau akal manusia menjadi jalan
bagi usaha pencarian sekaligus legitimasi dari
kebenaran mengenai tuhan dan semestanya. Akan
tetapi melalui sebuah kesadaran manusia juga,
pengalaman keduniawian manusia lantas
memperlihatkan berbagai ketaksesuaian dengan
prinsip kreasi tuhan. Pengalaman manusia
memberikan kenyataan lain mengenai dunia yang
tidak sempurna. Dunia yang
penuh dengan aroma tak
mengenakan dan berwajah
gelap. Ini merupakan
sebuah kontradiksi dari
prinsip kesadaran yang
diterima begitu saja pada
awalnya.
Mengapa dunia yang
dicipta secara sempurna ini
masih saja menampakan
tanda-tanda
ketidaksempurnaan?
Mengapa manusia harus
mengalami kematian?
Mengapa ada yang miskin
dan ada yang kaya?
Mengapa ada orang-orang
sakit dan cacat? Mengapa
ada ketidakadilan? Bukankah tuhan yang
mempunyai kekuasaan penuh mencipta segala-
gala ini dapat saja menghilangkannya? Mengapa
tidak tuhan lakukan?
Reason manusia lantas menemukan
jawabannya, mengarah kepada sosok bernama evil.
Evil menjadikan sosok kegelapan dan
ketidaksempurnaan memperoleh wujud
konkretnya. Seluruh kreasi tuhan mengenai
semesta lantas dimitoskan diganggu oleh sosok
evil itu. Pembenaran mengenai evil ini menjadikan
Karya Ibnu Rizal Courtesy of: 28w ArtLab
6 JURNALASTINA
dengan nafsu. Buruk adalah segala kegelapan
malam, dengan lolongan anjing dan serigala
kelaparan yang mengawasi kota, siap untuk
memangsa. Yang buruk adalah segala yang kuasa,
yang menguasai tanpa menjadi anak-anak dari yang
terlihat, tanpa mengakui dari yang cahaya. Buruk
adalah oposisi. Sekalipun alam semesta memiliki
dasar kegelapan yang hebat!
* * *
Manusia memang
sebuah bayang-
bayang gelap, tak
pernah terselesaikan.
Bahkan ketika dunia
sudah penuh
kedamaian dalam
naungan rancangan
agung sang tuhan,
lama kelamaan
Tuhan pun dia
gugurkan sendiri.
Sebagai pencipta
nilai-nilai, manusia
memang mempunyai
segala kuasa atas
segala yang tercipta. Manusia mencipta segala yang
khayali. Segala macam rekaan yang seringkali diberi
selubung kebenaran. Dapatkah manusia
memberikan pembenaran akan Tuhan yang
mengawali segala sesuatu? Ya dan tidak. Ya dalam
sebuah skema kelogisan atas seluruh hasrat
kerinduan manusia akan kebenaran, dan tidak ketika
manusia merasa jatuh tersungkur dan tidak berdaya
tanpa sebuah pertolongan apapun. Bahkan dari
sebuah keajaiban. Tuhan bagi manusia, dalam
pandangan Nietzche adalah sebuah ilusi. Diciptakan
sebagai sebuah rekayasa untuk menutupi segala
kelemahan manusia yang tidak ingin diakuinya.
Diciptakan untuk memberikan sebuah kode impian
bernama pengaharapan akan jaminan kehidupan
setelah kematian dalam keabadian.
Penantian, penantian dan terus penantian,
itulah jati diri lemah manusia yang ketika
tersungkur dalam permainan kehidupan, sebuah
keberulangan Abadi, manusia merasa tak berdaya,
merasa kalah. Atas semua kekalahan dan
ketakberdayaan tersebut manusia pun masih
mengingkarinya,
masih merasa bukan
sebagai
kemanusiaan.
Manusia mencipta
tuhan dalam pikiran-
pikiran, dalam
khayalan-khayalan,
dalam spirit
kehidupan, dalam
kerumunan dan
gerombolan.
Manusia berani
menyatakan Tuhan
atas nama
kebersamaan dengan
banyak manusia-
manusia lain. Manusia berkerumun bersama-sama,
menunjuk Tuhan, menghadirkan Tuhan seraya
berlindung dibaliknya. Bersembunyi dan menjadi
naif atas seluruh kemanusiaannya.
Manusia-manusia di masa kini sungguh suatu
manusia dalam kerumunan kegilaan. Berduyung-
duyung mengejar segala passion, meluapkannya
dalam puncak keberlimangan dunia seraya mengejar
segala yang akhirat. Manusia-manusia gila sedang
menghuni tempat-tempat terbaik dari kita,
bersemayam dalam puncak kuasa raja juga dalam
secibir buaian jalanan. Gila menjadi sebuah cara
manusia mengamini segala yang kemudian tak lagi
Tafsir Puisi “Pertemuan” Goenawan Mohamad Karya
Bachtiar Agung N
JURNALASTINA 7
sakit dan cacat? Mengapa ada ketidakadilan?
Bukankah tuhan yang mempunyai kekuasaan
penuh mencipta segala-gala ini dapat saja
menghilangkannya? Mengapa tidak tuhan lakukan?
Reason manusia lantas menemukan
jawabannya, mengarah kepada sosok bernama
evil. Evil menjadikan sosok kegelapan dan
ketidaksempurnaan memperoleh wujud
konkretnya. Seluruh kreasi tuhan mengenai
semesta lantas dimitoskan
diganggu oleh sosok evil
itu. Pembenaran mengenai
evil ini menjadikan
seluruh pengalaman
manusia yang tak
sempuran tadi
mendapatkan
penjelasannya.
Pemahaman ini dapat
ditelusur melalui
pandangan Theodicy.
(lihat Theodicy: Essays on the Goodness of God, the
Freedom of Man and the Origin of Evil, Leibniz:
1978)
Moral tentang yang baik dan buruk
Sepertinya reason manusia berkenaan
dengan tuhan dan evil, hanya akan membawa
manusia pada pertimbangan mengenai yang baik
dan buruk. Suatu prinsip mendasar yang
menyelimuti seluruh kehidupan manusia hingga
kini. Baik manusia secara personal maupun
manusia pada hitungan kawanan (komunal).
Pertimbangan mengenai yang baik dan yang buruk
tersebut lantas menjadi prinsip moral manusia.
Manusia meyakini menjadi satu-satunya mahkluk
di dunia yang merengkuh hukum universal
tersebut.
Moral mengendalikan manusia. Moral
mengendalikan kehidupan manusia. Moral adalah
hukum. Hukum dalam keteraturan, manifestasi
dari prinsip mendasar alam semesta: teratur.
Kesadaran yang merupakan pencapaian eksistensi
tertinggi manusia pun pada akhirnya mau tidak
mau harus menunduk malu pada moral itu. Moral
memberikan semacam pentunjuk bagi manusia
dalam menentukan
pilihan jalan kehidupan
manusia. Mana yang baik,
mana yang buruk.
Dalam risalah
fiktifnya, Nietzche
menyatakan asal muasal
moral manusia pada
sesosok nabi bernama
Zaratrustha. Sesosok nabi
dalam agama kuno Persia
menunjukan kepada umat
manusia perihal cahaya dan kegelapan.
Menunjukan kepada manusia perihal kebaikan dan
keburukan. Itulah hukum semesta. Semesta yang
secara reason dipahami sebagai sebuah wujud
keteraturan dalam skema cahaya (tata surya).
Seluruh kehidupan dalam alam semesta memang
sangat bergantung dengan cahaya, dengan
matahari. Maka tidak mengherankan pula pada
tradisi agama-agama semit memberikan
keagungan kepada matahari: nur, bintang timur,
cahaya, terang semesta. Yang baik adalah yang
terlihat, yang buruk adalah yang tersembunyikan.
Yang terlihat adalah segala-gala yang dapat
dicerna oleh mata (terbaca), terindrawi dan yang
estetis sebagai sebuah perwujudan dunia yang
indah. Yang buruk adalah kekelaman, yang berada
di dalam perasaan terdalam, yang emosionil penuh
“akhir dari moral .... kegilaan
. . .
Tuhan sendiri - pernahkah ia mengawali?
Tuhan sendiri - pernahkah ia memulai?”
Nietzche: Alle ewigen Quell-Bronnen
(Semua Mata Air Abadi ...)
8 JURNALASTINA
terindrawi dan yang estetis sebagai sebuah
perwujudan dunia yang indah. Yang buruk adalah
kekelaman, yang berada di dalam perasaan
terdalam, yang emosionil penuh dengan nafsu.
Buruk adalah segala kegelapan malam, dengan
lolongan anjing dan serigala kelaparan yang
mengawasi kota, siap untuk memangsa. Yang
buruk adalah segala yang kuasa, yang menguasai
tanpa menjadi anak-anak dari yang terlihat, tanpa
mengakui dari yang cahaya. Buruk adalah oposisi.
Sekalipun alam semesta memiliki dasar kegelapan
yang hebat!
* * * Manusia memang sebuah bayang-bayang gelap, tak
pernah terselesaikan. Bahkan ketika dunia sudah
penuh kedamaian dalam naungan rancangan
agung sang tuhan, lama kelamaan Tuhan pun dia
gugurkan sendiri. Sebagai pencipta nilai-nilai,
manusia memang mempunyai segala kuasa atas
segala yang tercipta. Manusia mencipta segala
yang khayali. Segala macam rekaan yang seringkali
diberi selubung kebenaran. Dapatkah manusia
memberikan pembenaran akan Tuhan yang
mengawali segala sesuatu? Ya dan tidak. Ya dalam
sebuah skema kelogisan atas seluruh hasrat
kerinduan manusia akan kebenaran, dan tidak
ketika manusia merasa jatuh tersungkur dan tidak
berdaya tanpa sebuah pertolongan apapun.
Bahkan dari sebuah keajaiban. Tuhan bagi
manusia, dalam pandangan Nietzche adalah
sebuah ilusi. Diciptakan sebagai sebuah rekayasa
untuk menutupi segala kelemahan manusia yang
tidak ingin diakuinya. Diciptakan untuk
memberikan sebuah kode impian bernama
pengaharapan akan jaminan kehidupan setelah
kematian dalam keabadian.
Penantian, penantian dan terus penantian,
itulah jati diri lemah manusia yang ketika
tersungkur dalam permainan kehidupan, sebuah
keberulangan Abadi, manusia merasa tak berdaya,
merasa kalah. Atas semua kekalahan dan
ketakberdayaan tersebut manusia pun masih
mengingkarinya, masih merasa bukan sebagai
kemanusiaan. Manusia mencipta tuhan dalam
pikiran-pikiran, dalam khayalan-khayalan, dalam
spirit kehidupan, dalam kerumunan dan
gerombolan. Manusia berani menyatakan Tuhan
atas nama kebersamaan dengan banyak manusia-
manusia lain. Manusia berkerumun bersama-sama,
menunjuk Tuhan, menghadirkan Tuhan seraya
berlindung dibaliknya. Bersembunyi dan menjadi
naif atas seluruh kemanusiaannya.
Manusia-manusia di masa kini sungguh
suatu manusia dalam kerumunan kegilaan.
Berduyung-duyung mengejar segala passion,
meluapkannya dalam puncak keberlimangan dunia
seraya mengejar segala yang akhirat. Manusia-
manusia gila sedang menghuni tempat-tempat
terbaik dari kita, bersemayam dalam puncak kuasa
raja juga dalam secibir buaian jalanan. Gila
menjadi sebuah cara manusia mengamini segala
yang kemudian tak lagi dapat diperjelas dalam
kebenaran. Manusia menjadi gila dalam
kesendiriannya, dalam kekosongan untuk sekedar
bergerak melampaui diri mereka sendiri. Manusia
sungguh sedang menderita, sungguh tak berdaya.
Bencana, keputusasaan, hidup yang tak lagi
bermakna, kemunafikan, kematian secara massal
bahkan segala hal yang hidup pun kini tak lagi
menunjukan rasa bagi manusia. Segala hanya
kegilaan, saat sang moral telah dihentikan atas
nama ego, atas nama kebebasan.
Moral pada zaman ini berakhir lewat
legalitas rasional. Hukum yang secara instrumental
telah menatah segala yang obyektif pada ragam
JURNALASTINA 9
bentuk benar-salah. Reason menjadi salah satu
fondasinya. Manusia bukan lagi dikendalikan oleh
nurani hati nurani (mores) sebagai perwujudan
moral, melainkan relasi kontraktual antar
sesamanya (atau juga menggunakan prinsip lawan-
kawan; Schmitt). Dengan demikian, manusia bukan
saja mengubah segala kondisi yang selama ini
menyelingkupinya, melainkan juga menciptanya
kembali dengan sebuah tatanan yang baru. Alam
yang penuh dengan segala yang reason, adalah alam
yang sudah mengubah wajah tuhan. Tuhan telah
mati, begitu kata Nietzche. Dalam artian bukan lagi
menjadi penjaga absolut dari moral manusia. Bukan
lagi menakut-nakuti manusia melalui suara-suara
gelap (atas nama moral). Tuhan masa kini telah
dijadikan sebagai sebuah obyek baru, yaitu suatu
perwujudan rasional atas pilihan benar-salah,
selamat atau tidak selamat. Manusia-manusia hari
ini sudah menafsir Tuhan dalam kerangka
instrumental. Manusia mencari jawaban perihal the
chosen one (yang terpilih) seperti dalam
penggambaran Max Weber.
Moralitas manusia hari ini adalah sebuah
kegilaan. Kegilaan akan penantian tiada henti akan
keselamatan dunia yang akan datang. Keselamatan
dalam skema keabadian. Sejarah manusia lantas
memang sebuah sejarah perjuangan. Perjuangan
antar kelas yang terpilih dan kelas yang tidak
terpilih. Moralitas diukur sejauh itu. Tetapi memang
apa daya, manusia tak dapat memastikan dengan
benar-benar apa yang akan mereka hadapi ketika
kematian itu datang. Percaya, keteguhan, keyakinan
bahkan pembelaan yang kuat dan mati-matian akan
sebuah ajaran dan tradisi atas seluruh ramalan
mengenai zaman yang akan datang menjadi sebuah
keniscayaan manusia-manusia masa kini –yang saya
sebut sebagai kegilaan―agar mereka mampu mati
dalam ketenangan.
* * *
Akankah semua cerita tentang zaman yang
akan datang itu memang benar adanya?
Tidak ada yang tahu pasti, kecuali kita menjemput
kematian. Tetapi apa daya, hingga hari ini
masyarakat kita atas nama apapun sangat membenci
bunuh diri. Juga ketika kita pun mengamini seluruh
sabda dari Nietzche: berkatalah “Ya” atas seluruh
hidup yang kita tanggung.
Jangan pernah menolak kehidupan, sama
seperti jiwa Dynosius yang terus bergelora
memberikan keliaran kehidupan (juga pengetahuan)
kepada sang Apollo yang bernyanyi
memanggilnya.***
1Penulis adalah seorang mahasiswa sosiologi yang
sedang menempuh tugas akhir dan juga merupakan
seorang penyair, pemikir existensialisme dan
penggiat diskusi sastra dan kebudayaan di UI.
10 JURNALASTINA
T sotsi adalah sebuah film bersetting di
Johannesburg, Afrika Selatan yang
memotret realita dua sisi kota tersebut,
satu sisi memperlihatkan kuasa dengan
eksklusivitas dan satu sisi yang lain mendapatkan
kuasa dengan kriminalitas. Beranjak dari situ
penulis juga terdorong untuk menjelaskan
“penggunaan” kekerasan dan rasa takut tersebut
yang diterangkan Foucault. Dalam bukunya yang
berjudul History of Madness, Foucault menulis:
“For madness: to take oneself for a king
when one is poor; to believe oneself dressed
in gold when one is naked; to imagine that
one has a body of glass, or that one is a
water pitcher. Madness is when all is other,
it deforms and transports, it evokes a
different scene.”
Konsepsi kegilaan dan rasa takut yang keluar
dirasa dapat menjelaskan bagaimana kuasa dapat
berperan di dalamnya. Dalam hal ini tentunya akan
dikaitkan dengan eksklusivitas dan kriminalitas
yang tersirat pada Tsotsi. Tulisan ini terdiri dari
sinopsis film, pola segregasi dalam tata kota
Johannesburg hingga pandangan Foucault tentang
kegilaan, dan analisa Foucault terkait film tersebut.
Dengan demikian, semoga dari penjelasan
beberapa hal tersebut, pertanyaan yang timbul
mengenai segregasi ketika menonton Tsotsi akan
terjawab.
Sinopsis Tsotsi
Tsotsi disutradarai oleh Gavin Hood dan
merupakan adaptasi dari novel karya Athol Fugard
dengan judul yang sama. Film yang dirilis pada
tahun 2005 ini mengambil latar belakang di Afrika
Selatan, pada kawasan kumuh Suweto,
Johannesburg. Bercerita tentang seorang pemuda
bernama Tsotsi3 yang terkenal dengan tindak
kriminalitasnya. Segala macam pencurian
dilakukannya dan tak kenal takut untuk
membunuh. Kejahatan yang ia lakukan bukan
tanpa sebab. Sedari kecil Tsotsi sudah mengenal
kerasnya hidup.
Ibunya terkena penyakit yang tak bisa
disembuhkan dan Ayahnya melarang dirinya
untuk bersentuhan dengan Ibunya. Dikarenakan
Ayahnya yang tak memberinya kasih sayang yang
sepantasnya, Tsotsi kecil pergi dari rumah. Dari
situlah ia mulai menjalani hidup sendirian tanpa
hangat dari pelukan orangtua.
Ketika beranjak dewasa, Tsotsi melakukan
penjambretan di dalam kereta bersama Butcher,
Boston, dan Aap. Penjambretan itu berakhir
dengan pembunuhan yang dilakukan Butcher.
Boston yang tidak setuju dengan tindakan
pembunuhan tersebut akhirnya berkelahi dengan
Tsotsi yang merupakan pemimpin dalam aksi
penjambretan tersebut. Setelah perkelahian itu,
Tsotsi pergi ke kawasan perumahan dimana ia
menembak seorang wanita bernama Pumla dan
Feby Hendola Kaluara2
“violence and fear are entangled with processes of social change in contemporary cities,
generating new forms of spatial segregation and social discrimination.”
Tsotsi; Antara Urban dan Kuasa1
JURNALASTINA 11
mengambil mobilnya yang hendak memasuki
gerbang rumahnya. Tsotsi yang tidak bisa
menyetir dengan baik mengendarai mobil tersebut
tanpa tersadar ada bayi di dalamnya. Saat berhenti,
Tsotsi tersadar ada bayi di dalamnya. Awalnya ia
ingin meninggalkan si bayi begitu saja, tetapi hati
kecilnya tak tega. Tsotsi seperti melihat dirinya
sewaktu kecil di bayi itu. Akhirnya bayi itu dibawa
ke rumahnya. Sementara Pumla dan suaminya
mengerahkan segenap tenaga dan bantuan dari
polisi untuk menemukan bayi mereka.
Tsotsi yang disibukkan dengan kehadiran si
bayi, menyadari betapa ia tidak becus merawat
bayi, Tsotsi menodong Miriam—seorang wanita
yang tinggal tidak jauh dari rumahnya, untuk
merawat si bayi. Dari sinilah ia kemudian mulai
menyadari kasih sayang yang sempat terenggut
dari kehidupannya. Seiring berjalannya waktu,
Tsotsi menjadi begitu sayang dengan si bayi dan
ingin sekali merawat si bayi.
Pola Segregasi dalam Tata Kota
Johannesburg
Tata Kota Johannesburg memang tidak secara
eksplisit diperlihatkan, namun segregasi antara si
miskin dan si kaya sangat mudah untuk
diidentifikasi, oleh sebab itu, penulis mencoba
menjelaskan pola tata kota tersebut.
Laiknya negara berkembang lain, Afrika
Selatan juga mengalami fenomena urbanisasi.
Urbanisasi kerap terjadi karena adanya
industrialisasi dan modernisasi di bagian
perkotaan, sehingga mendorong orang-orang
untuk mengadu nasib di kota. Seringkali urbanisasi
membentuk pola baru yang biasa disebut center-
periphery. Pola ini biasanya memiliki 4
karakteristik, yaitu (1) bangunannya lebih
menyebar ketimbang terkonsentrasi, (2) terdapat
perbedaan kelas yang mencolok dan biasanya
kaum menengah ke atas tinggal di bagian
pusatnya, sementara kaum menengah ke bawah di
sekeliling pinggiran kota, (3) kepemilikan rumah
menjadi pandangan umum bagi yang kaya maupun
yang miskin, dan (4) transportasi sangat
tergantung pada jalanan, dengan bus yang biasa
digunakan oleh kaum pekerja (working class),
sementara angkutan pribadi umumnya digunakan
oleh kaum menengah ke atas.
Pola tersebut juga terlihat di Johannesburg.
Pada bagian pinggir kota ini didominasi oleh
kawasan kumuh sementara di bagian pusatnya
berdiri bangunan tinggi nan gemerlap. Hal ini
diilustrasikan oleh Martin J Murray dengan istilah
“dua ekstrim yang terkotakkan”; satu sisi adalah
ruang kemakmuran yang sehat, fungsional, dan
sebagian besar dihuni oleh warga berkulit putih
kelas menengah ke atas; sisi lainnya adalah ruang
kurungan yang menyesakkan dimana mayoritas
penduduk yang tinggal adalah pekerja kulit hitam.
Perbedaan ini makin terlihat dengan
munculnya perumahan residensial yang dengan
jelas memperlihatkan batasan antara penghuni
dengan daerah sekitarnya. Dinding, gerbang, dan
pos pemeriksaan menjadikan residensial tersebut
terprivatisasi. Konsep siege architecture4 ini sudah
ada sejak sesudah masa apartheid. Obsesi akan
privatisasi tersebut kemudian menyerupai sebuah
tempat yang homogen di tengah-tengah
keragaman dan kemiskinan.
Eksklusivitas ini terjadi karena adanya rasa
takut akan kriminalitas. Hal ini tidak
mengherankan karena mereka yang mampu
mendapatkan fasilitas tersebut memiliki kekayaan
yang ingin mereka jaga. Adanya ketakutan dengan
kriminalitas yang terjadi di sekitarnya membuat
12 JURNALASTINA
kriminalitas yang terjadi di sekitarnya membuat
mereka begitu terbedakan dengan kaum
menengah ke bawah. Seolah-olah dengan adanya
eksklusivitas tersebut hidup mereka terlihat lebih
berkualitas.
Tsotsi dan Segregasi
Segregasi di Tsotsi terlihat dari perbedaan
kehidupan antara kaum menengah ke atas dengan
kaum menengah ke bawah yang diperlihatkan
sekilas namun sangat sangat terasa. Eksklusivitas
pada Tsotsi sekilas terlihat saat Tsotsi hendak
mencuri mobil Pulma. Di situ terlihat keadaan
rumah Pulma yang mewah dan memiliki fasilitas
interkom. Sementara itu di adegan lain terdapat
pula gambaran rumah Tsotsi yang seadanya
dengan fasilitas air yang kurang memadai.
“Kegilaan” Menurut Foucault
Foucault adalah sosok yang dikenal dengan
telaah sejarahnya. Umumnya tulisan Foucault
adalah analisa sejarah dan tidak spesifik di bidang
tertentu saja. Begitupun ketika membahas
kegilaan. Foucault membahas kegilaan dalam
bukunya History of Madness dalam tiga pembagian
era: renaissance, classical age, dan modern. Pada
era renaissance, kegilaan lebih dilihat sebagai
knowledge dan pandangan mengenai “orang gila”
tersangkut-paut dengan masalah agama. Di era
classical age, pembicaraan mengenai kegilaan lebih
merujuk ke ranah etika. Mereka yang melakukan
penyimpangan etika dari yang “normal”, akan
dipisahkan ke “institusi khusus”. Di era modern,
kegilaan dilihat sebagai penyakit atau object of
science, sehingga muncul obat penenang dan
rumah sakit jiwa. Contoh yang lebih spesifik
misalnya saat Foucault menerangkan kegilaan
pada zaman reinassance dengan menganalisa
beberapa karya seni dari zaman itu. Salah satu
karya seni itu adalah Ship of Fools, sebuah alegori
tentang kapal yang berisi orang-orang yang gila
dan tak tahu arah. Kiasan yang sering
menginspirasi dunia sastra dan seni di Eropa pada
abad ke-15 sampai ke-16 ini, merupakan hal yang
lumrah dilakukan. Pada tahun 1399 tukang perahu
di Frankfurt diberi tugas untuk membersihkan
kota dari orang gila, sehingga kedatangan Ship of
Fools sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Kapal yang berisi orang gila ini kemudian
dibiarkan berlayar tanpa tujuan.
Mengenai kegilaan pada zaman Renaissance
itu, Foucault berargumen
“Most probably, as it (madness) is forbidden
knowledge, it predicts both the reign of
Satan and the end of the world, ultimate
happiness and supreme punishment,
omnipotence on earth and the descent into
hell”.
Dengan kata lain kegilaan tersebut dilihat dalam
perspektif religi, seperti Ship of Fools yang
dianggap sebagai bentuk dari kemenangan
antikristus: kapal yang melewati kebahagiaan
dimana orang-orang di dalamnya terasingkan dari
kebutuhan dan keinginannya.
Dari hal tersebut bisa terlihat, bahwa
kegilaan dilihat sebagai bentuk pengalaman
religius. Kegilaan tersebut mengindikasikan ke
mereka yang dianggap gila (sang seniman) untuk
mendapatkan pengalaman tragis karena dianggap
memiliki tenaga yang mengancam dunia dan
kemanusiaan.
Foucault juga menulis:
“..there is no certainty that madness was
content to sit locked up in its immutable
JURNALASTINA 13
identity, waiting for psychiatry to
perfect its art, before it emerged
blinking from the shadows into the
blinding light of truth. Nor is it clear
that confinement was above all, or even
implicitly, a series of measures put in
place to deal with madness. It is not
even certain that in this repetition of the
ancient gesture of segregation at the
threshold of the classical age, the
modern world was aiming to wipe out
all those who, either as a species apart
or a spontaneous mutation, appeared as
‘asocial’.”
Penjelasan singkat di atas memperlihatkan, bahwa
ada perubahan konsepsi kegilaan di setiap era.
Dengan kata lain tidak ada kepastian mengenai
makna “kegilaan” itu sendiri. Justru yang sering
terulang adalah tingkah laku kita yang
memisahkan antara yang “gila” dan yang tidak.
Kesimpulan
Kriminalitas merupakan salah satu wujud
kegilaan, yang dalam hal ini diinginkan untuk
terpisah dengan cara memberikan fasilitas
keamanan. Di saat yang sama fasilitas tersebut
hanya bisa didapatkan oleh kaum menengah ke
atas, sehingga muncul konsepsi eksklusivitas.
Eksklusivitas di Johannesburg yang terilustrasikan
pada Tsotsi sebenarnya hanyalah efek dari mitos
akan ketakutan mengenai kriminalitas. Dengan
kata lain, eksklusivitas yang ada tidak benar-benar
dapat melindungi mereka dari kriminalitas.
Eksklusivitas ini hanya memberikan perbedaan
yang signifikan antara mereka yang kaum
menengah ke atas dengan kaum menengah ke
bawah, sementara kriminalitas itu sendiri akan
terus menyerang siapapun.
Murray berpendapat, bahwa
“the design of urban space is not simply a
matter of context and aesthetics, but is also
a complex sociospatial process that encodes
power relations into the ordinary practices
of everyday life.”
Sociospatial memang memegang peran penting
dalam interaksi yang terjadi di keseharian warga.
Begitupun eksklusivitas yang terjadi di
Johannesburg. Kesenjangan yang terjadi justru
membuat hubungan antara kedua kaum tersebut
hilang, sehingga tidak ada keakraban di antaranya.
Hal ini menimbulkan ketidakpedulian satu pihak
dengan pihak yang lain. Sifat individualistis ini, jika
tidak diubah, akan tetap mengental di kota
Johannesburg yang kemudian mempengaruhi
pembangunan di kota tersebut. Dengan tidak
meratanya perhatian yang diberikan untuk
kesejahteraan semua penduduknya, maka
kriminalitas itu tetap ada.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis
menyarankan adanya penelusuran lebih lanjut
karena masih banyak lagi yang masih bisa dibahas
dalam film Tsotsi, dengan menggunakan konsepsi
kekuasaan yang lain—di luar pemikiran Foucault.
Tentunya pembahasan tersebut tidak terlepas dari
masalah urban di Afrika Selatan.
1Tulisan ini aslinya merupakan tugas kuliah dalam bentuk
kajian film menggunakan tinjauan arsitektur 2Penulis merupakan Mahasiswi Arsitektur UI, salah satu
punggawa Komunitas Diskusi Astina dan juga merupakan
vokalis dari Band “Sempak Terbang”. 3Tsotsi berarti “membunuh” (dalam bahasa seleng-an di
Johannesburg). 4Siege architecture berarti “arsitektur mengepung”. Sebuah
nama yang diberikan Murray melihat eksklusivitas yang
terjadi di Johannesburg
14 JURNALASTINA
Revolusi: Melawan Mitos Kapitalisme
K aum Liberalist Economist senantiasa
menjadi repetitor doktrin-doktrin kapi-
talisme. Bekerja untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup. Kerja bukan lagi sebagai ak-
tivitas pemenuh kebutuhan dasar. Kerja menjadi
tujuan hidup. Manusia kehilangan pemaknaan
akan kerja itu sendiri. Proletar menyerahkan jiwa
dan raganya untuk bekerja. Untuk memenuhi kan-
tong-kantong uang borjuis. Bagi Lafargue hal ini
sangat menggelikan. Jauh lebih baik kita hidup di
jaman purba, tatkala manusia saat itu hanya
bekerja jika merasa kebutuhan pokoknya habis.
Jaman borjuasi mengubah segalanya. Lafargue
mengatakan kita harus melawan, melawan sistem
racun seperti ini. Setiap proletar memiliki hak un-
tuk malas di hadapan kapitalisme. Lafargue men-
yarankan pemboikotan secara serentak dalam
upaya menentang penghisapan yang dilakukan
Kapitalisme. Sekaligus sebagai bentuk aktualisasi
diri, melakukan hal lain selain bekerja untuk bor-
juis. Ini merupakan jalan untuk melawan mitos
yang dibangun oleh para Liberalist Economist demi
menguatkan posisi kapitalisme dalam hegemoni
sistem dunia.
Jalan Revolusi yang dimaksud Lafargue me-
rupakan usaha yang riskan bila tidak ada kesada-
ran kelas dalam diri individu. Tiada kesadaran un-
Jalan Revolusi1 oleh Willy Avriely Daeli2
Paul Lafargue, seorang jurnalis Marxis pernah berkata:
Dan para ekonom terus saja mengulang-ulang pernyataannya kepada buruh, "Bekerjalah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial."
Dan dengan sarkas ia menambahkan:
“Bekerjalah, bekerjalah kaum proletar, untuk meningkatkan kemakmuran sosial dan kemiskinan individualmu. Bekerjalah, bekerjalah agar, karena menjadi lebih miskin, kalian bisa punya lebih
banyak alasan untuk bekerja dan menjadi sengsara. Begitulah hukum produksi kapitalis yang tak bisa ditawar-tawar.”
JURNALASTINA 15
tuk bergerak bersama, secara kolektif, melakukan
sesuatu untuk mencapai tujuan. Maka sangat bijak-
sana apabila sebelum melakukan jalan revolusi
semacam itu, kita mempersiapkan suatu rancan-
gan pokok. Lebowitz mengatakan dalam bukunya
‘Sosialisme Sekarang Juga’, bahwa Venezuela meru-
pakan contoh paling baik dalam menempuh jalan
revolusi. Kesadaran kelas dicapai melalui pendidi-
kan. Jika pikiran manusia dibekali oleh kerangka
sosialisme, maka dengan sendirinya manusia akan
bertindak dan berperilaku seperti itu. Jalan pem-
boikotan tidak harus ditempuh kecuali dalam
situasi krisis dimana terjadi resistensi dari kelom-
pok minoritas borjuis. Namun di balik semua itu,
pendidikan dan pemboikotan merupakan bentuk
upaya melawan mitos kerja kapitalisme. Mitos
yang meracuni pikiran dan mempengaruhi mental
proletar hampir seabad ini.
Secara umum menurut Douglas Dowd, seti-
daknya terdapat tiga kebutuhan utama kapital-
isme. Pertama adalah kebutuhan ekspansi, kedua
adalah kebuhan ekploitasi, sedangkan ketiga
adalah kebutuhan oligarkis. Power sangat ber-
peran dalam upaya pemenuhan tiga kebutuhan
kapitalisme tersebut. Penggunaan Power dalam
pemenuhan tiga kebutuhan kapitalisme tercermin
dalam perilaku eksploitasi pekerja. Eksploitasi
pekerja dilakukan untuk memenuhi standar pen-
dapatan yang kemudian diputar kembali menjadi
bentuk modal awal. Douglas Dowd menjelaskan
labor theory of value sebagai elemen penting dalam
kerangka mekanisme kapitalisme. Labor theory of
value yang disusun Adam Smith merupakan fon-
dasi dari sistem kapitalisme. Sekiranya ada 3 point
dalam labor theory of value. Point pertama adalah
pekerja membuat sendiri nilainya. Nilai ini berarti
kualitas dari dirinya yang bisa “dijual”. Point kedua
adalah upah merupakan bentuk hadiah dari kuali-
tas produksi yang bisa dikerjakannya. Point ketiga
adalah setiap bentuk profit tidak menjadi bagian
pekerja, namun menjadi bagian pemilik modal.
Perihal lain terkait pengupahan tenaga kerja
adalah upah pekerja harus seturut dengan standar
yang telah ditentukan. Sistem ekonomi klasik terli-
hat sangat profit oriented. Demi pemenuhan keun-
tungan dan menarik minat pasar, kesejahteraan
pekerja di kesampingkan (bukan menjadi per-
hatian utama).
Dalam penjelasan-penjelasan ini kita dapat
melihat bahwa sesungguhnya teori ekonomi
(klasik) tidak pernah netral. Teori ekonomi dibuat
dengan tendensi kepentingan kelas tertentu. Men-
gandung muatan ideologi tertentu. Teori ekonomi
klasik sangat menekankan hak kepemilikan indi-
vidu. Hal ini kemudian mendorong perilaku-
perilaku individualistik, yang tidak mendasarkan
diri pada status kolektif. Karya-karya individu le-
bih dihargai ketimbang karya kolektif. Eksistensi
individu diakui melalui hasil produksi mereka.
Terjadi proses dehumanisasi dalam mekanisme
kerja kapitalisme. Individu kesulitan mengaktu-
lisasikan diri dalam sistem kapitalisme.
Sosialisme dan Venezuela
Sosialisme hadir sebagai jalan untuk
mengembalikan manusia pada realisasi dirinya
masing-masing. Mengembalikan manusia pada
hubungan-hubungan sosial yang didasari keingi-
nan untuk berinteraksi satu sama lain. Sosialisme
menyediakan hal-hal yang tidak bisa diperoleh
manusia dalam sistem kapitalisme. Manusia di-
paksa untuk bekerja demi memenuhi pundi-pundi
keuntungan kapitalisme. Individu teralienasi dari
lingkungannya atau bahkan dari hasil produksinya
sendiri. Hasil yang seharusnya bisa dinikmati juga
16 JURNALASTINA
oleh sang individu, namun terhalangi oleh sistem
kapitalisme.
Sosialisme tidak jatuh dari langit. Sosial-
isme sangat fluid (cair). Sifat fluid sosialisme me-
rupakan bentuk terbaik dari upaya menggugat ek-
sistensi Kapitalisme sebagai bentuk hegemoni sis-
tem dunia. Bagi Marx, individu merupakan subjek-
subjek yang konkret. Hal ini dapat dimaknai seba-
gai sebuah kenyataan bahwa masing-masing indi-
vidu memiliki sejarah dan tradisi masing-masing.
Hal ini sangat disadari Marx. Semangat sosialis ha-
rus tumbuh dari bawah. Semangat sosialis tidak
bisa diberikan dari atas. Pesan perjuangan Marx
sangat jelas, bahwa proses perjuangan adalah
proses membentuk orang-orang dengan cara yang
berbeda. Perjuangan tersebut dilakukan untuk me-
menuhi kebutuhan-kebutuhan subjek-subjek
tersebut, yang kemudian berkembang menjadi ke-
butuhan masyarakat. Ini disebut Marx sebagai
praktek revolusi. Praktek yang menuntut kese-
suaian antara kondisi dengan tindakan yang dila-
kukan. Ciri-ciri unik yang partikular pada masing-
masing masyarakat menjadi faktor penting dalam
menentukan jalan revolusi mereka.
Lebowitz mengatakan adalah sangat
menarik untuk melihat Venezuela sebagai subjek
partikular yang berhasil dalam menempuh jalan
revolusinya sendiri. Tidak diduga dari negara
seperti Venezuela lahir semangat revolusi yang
menggebu-gebu. Dulu terdapat jurang pemisah
yang luar biasa lebar dalam kehidupan masyara-
kat. Jurang antara kemakmuran dan kemiskinan.
Negara saat itu hanya berfungsi sebagai institusi
penegas kelas. Pendapatan dari perdagangan min-
yak di dunia masuk pundi-pundi borjuis yang
duduk tenang di pucuk pemerintahan. Kapitalis
menjadi parasit bagi masyarakat dalam suatu sis-
tem neo-liberalisme.
Venezuela sadar bahwa jalan perubahan
hanya dapat ditempuh berawal dari perubahan
internal. Jalan revolusi Venezuela adalah mencipta
bukan meniru. Chavez sangat menyadari hal itu
ketika naik menjadi Presiden Venezuela. Ia men-
canangkan program Vuelvan Caras. Program ini
menitikberatkan perhatian pada pembangunan
pertanian. Lebih dari 50% beasiswa dikucurkan
dalam pendidikan pertanian, 30 % pendidikan in-
dustri, sementara lainnya adalah pendidikan pari-
wisata, infrastruktur, dan jasa sosial. Selepas dari
masa pendidikan, mereka dapat mendirikan
koperasi-koperasi. Negara memberikan keistime-
waan dalam hal ini, seperti hal suntikan dana.
Chavez mengatakan bahwa ini merupakan perwu-
judan ekonomi sosial. Suatu sistem ekonomi yang
didasari keinginan untuk lepas dari logika kapital-
isme. Ekonomi sosial tidak mendasarkan diri pada
perolehan keuntungan, tetapi pada penciptaan
nilai guna. Selanjutnya relasi sosial masyarakat
dibentuk oleh keterhubungan nilai guna, bukan
pada nilai lebih secara ekonomi.
Venezuela dalam hal ini melakukan pe-
rubahan mendasar dari dalam diri manusia.
Mereka melakukannya melalui jalan pendidikan.
Kesadaran masyarakat ditumbuhkan melalui pen-
didikan. Kesadaran yang berbasis semangat sosial-
isme. Sistem ekonomi yang diciptakan Venezuela
mampu membangkitkan sistem produksi dan kon-
sumsi komunal. Ini merupakan perwujudan eko-
nomi berbasis kerakyatan. Koperasi serta or-
ganisasi-organisasi komunitas merupakan monu-
men perjuangan ekonomi rakyat Venezuela.
Rakyat Venezuela merealisasi diri ketika mereka
berjuang demi pembangunan manusia, pemenu-
han kebutuhan dasar, moral, dan keadilan bagi
mereka. Rakyat Venezuela bertranformasi menjadi
padanan masyarakat baru yang dilandasi seman-
JURNALASTINA 17
gat sosialisme. Inilah jalan revolusi Venezuela.
Chavez, Dowd, Lebowitz, dan Lafargue me-
rupakan anak-anak jaman yang lahir di era puncak
kapitalisme. Sebuah era “New Dark Age”. Masa ke-
gelapan dan penindasan dengan selubung-
selubung manis kebebasan. Usaha Chavez, Dowd,
Lebowitz, dan Lafargue dalam menegakkan prinsip
-prinsip Sosialisme sebagai bentuk resisten terha-
dap sistem kapitalisme, merupakan secercah ca-
haya yang sangat berarti bagi sejarah peradaban
manusia. Dowd mengingatkan kita pada mekan-
isme kapitalisme yang menipu. Lebowitz mengin-
gatkan kita pada semangat Marxist Klasik untuk
melakukan revolusi terus menerus. Revolusi tanpa
batas. Lafargue menyarankan sebuah jalan
revolusi yang tegas dan lugas. Ide-ide perlawanan
terhadap hegemoni kekuatan kapitalisme dunia
dapat dimaknai sebagai wujud kegilaan dalam
upaya memahami kebenaran di luar kebenaran
tunggal yang ditawarkan kekuasaan ideologi tung-
gal. Ide-ide ini harus terus direproduksi, terus di-
bakar, agar dapat menjadi penerang dalam masa
kelam seperti ini.
1Tulisan ini merupakan bahan diskusi S.S, dengan judul
yang berbeda. 2Mahasiswa Jurusan Antropologi, Universitas Indonsia;
Penggiat Diskusi Astina
18 JURNALASTINA
A dapun sajak tersebut pasti mendapat
pengaruh dari kesalahan penafsiran pe-
nulisnya akan prakarsa Pencipta turun
ke dunia. Pasalnya ia menggunakan kata ‘gila.’ Apa
definisi gila sebenarnya? Gila adalah kondisi tanpa
akal sehat. Semua yang dilakukan seorang gila ter-
jadi atas ketidaksadarannya. Seorang mantan gila
di Kota Perdagangan, Kecamatan Bandar, Kabu-
paten Simalungun, Sumatera Utara pernah bertu-
tur mengenai masa gilanya. Pada waktu itu ia sem-
pat memecahkan banyak kaca rumah penduduk,
dan kejadian dahsyat itu tak sedikit pun terekam
oleh ingatannya, karena ia justru baru mengeta-
huinya atas pemberian informasi dari orang lain
setelah ia masuk ke masa waras.
Dari penjabaran sederhana di atas terungka-
plah bahwa si gila penulis sajak itu jelas-jelas sa-
lah. Pencipta datang ke dunia atas kesadaran pe-
nuh, itulah yang membuat Ia tidak pantas disebut
gila. Penulis sajak harus mencari kata lain untuk
menunjukkan kekagumannya akan ''ke-kokmauya?
-an'' Pencipta datang ke dunia yang kelewat hina
dina ini. Sebagai anlogi coba lihat ini: kalau kamu
hendak berangkat ke kampus, tiba-tiba seorang
rekan menelepon “Hei, kalau kamu ke kampus hari
ini, sudah ada sekelompok orang menantimu. Nan-
ti kamu dilecehkan, diludahi, ditendang, ditelan-
jangkan, disakiti sepenuh hati, dan untuk meno-
longmu: tak seorang pun akan berani!” Adakah kita
terus melangkah ke kampus? Kalau itu adalah ja-
waban yang serius jujur maka: tidak sama sekali.
Hebatnya, Pencipta yang mahatahu itu tetap da-
tang kendati sebagai Tuhan Yang Terhormat Ia
akan dizolimi luar biasa.
Adapun kedatangan Tuhan ke muka bumi ini
satu set pula dengan penderitaan-Nya di atas kayu
salib. Salib, pada masa itu adalah lambang kehi-
naan yang paling hina. Ia adalah hukuman untuk
penjahat yang nggak ketulungan najisnya. Silakan
cari kesalahan Yesus Kristus dan kamu tak akan
menemukan satu pun bahkan setengah atau seper-
empat atau seperdelapan atau berapa pun tidak.
Namun Ia sungguh rela, demi kita. Sekali lagi, Ia
melakukannya dengan kesadaran penuh. Itulah
yang membuktikan ketidakgilaan-Nya.
Yang menarik, justru kegilaan hinggap pada
“pengikut-pengikut” Yang Mulia hingga hari ini:
banyak yang mengaku ‘Kristen’ tapi tidak tahu apa
yang diperbuatnya, mari ambil contoh sederhana
yang berkaitan dengan Paskah.
Ah, Paskah!1
oleh El Bram Apriyanto2
Pada acara perayaan Natal di Balairung UI tahun lalu, ada seorang gadis FIB naik ke hadapan khalayak dan
membacakan sebuah sajak karya seorang gila. Pada bait ke-4-nya, sajak tersebut berkoar demikian:
“Bagiku, Natal adalah sebuah momen keras. Yang begitu mengingatkan, bahwa kita punya Allah yang GILA
Why not? DIA sudah punya singgasana mahamulia di surga sana segala kenyamanan dan kedamaian dan kekudusan sudah ada pada-Nya Loh kok DIA malah nekat turun juga ke dunia yang penuh kenajisan ini?
Tidak tanggung-tanggung, dipilih-Nya kandang domba pula sebagai istana mula dan tempat makanan hewan ternak sebagai takhta pertama”
JURNALASTINA 19
Pada dasarnya, saya ini seorang guru seko-
lah Minggu. Sudah agak lama, sejak 2005. Dan ta-
hukah Saudara bahwa dua tahun lalu kami guru
sekolah Minggu di gereja melakukan rapat untuk
menentukan apa yang akan terjadi pada Paskah.
Beberapa nyeletuk “Ayo bikin lomba cari telur!”
banyak yang mengangguk. Ada pula ide soal lomba
menghias telur. Saya yang kala itu sudah menjadi
mahasiswa, bertanya dengan agak kritis: “Mengapa
harus telur?” dan ketahuilah Saudara, tak seorang
pun menjawab. Krik… krik… krik… . saya sarankan
pada rekan-rekan kala itu, “Ayo, sebelum kita tahu
apa kaitannya telur dengan Paskah, kita buat acara
yang lain saja dulu.” Dan saya disambut dengan
krik… krik… krik… .
Sebagai seorang Kristen saya lantas berdoa
pada Sang Pencipta, “Hei Gusti, gimana ya ini?
Mohon pencerahan dong. Apa sih perihal telur-
teluran ini? Kok tak kutemukan perintah untuk
bertelur ria di Kitab Keren?” Dan Gusti menjawab,
krik… krik… krik… . Hei Saudara, saya beri tahu,
kalau kamu bertanya pada Gusti dan tidak
mendengar jawaban, itu bukan karena Dia tidak
ada. Melainkan kita yang tidak ada punya ke-
pekaan. Tapi saya yakin Gusti mendengar. Walau-
pun nggak yakin akan terima jawaban.
Minggu depannya saya beribadah di GBI
Kamboja Depok pagi menjelang siang. Adalah seo-
rang pendeta tampan bernama Andy Panggabean
sedang berkhotbah. Di akhir khotbahnya ia meni-
tipkan pesan pula: “Kalau saudara-saudara mau
tahu mengapa ada telur dan kelinci pada
perayaaan Paskah di dunia, nanti datang ibadah
jam 5.” Saya tertegun dan terkaget dan seperti ter-
henyak, seakan hampir terlempar dari kursi. Saya
sampaikan pada Gusti, “Thank you Bro, nanti saya
mau datang.”
Datanglah saya jam 5 sore itu. Dan menden-
gar penjabaran panjang lebar kurang lebih
demikian kalau boleh dirangkumkan:
1. Ucapan “Happy Easter” pada perayaan Paskah
itu salah besar. Apa sebab? Easter tidak punya kai-
tan dengan wafatnya Yesus Kristus dan kebangki-
tannya. Easter adalah nama lain dari Astarte alias
Semiramis. Ia adalah nama dewi dalam mitologi
Babilonia alias Babel. Nah perayaan yang berke-
naan dengan si Easter ini pas sekali terjadi pada
masa yang sama dengan Paskah.
2. Lebih baik gunakan “Happy Pesach” atau
“Happy Passover” atau kalau lebih nasionalis
“Selamat Paskah” saja cukup. Mengapa Passover?
Karena ia adalah padanan kata yang tepat dalam
Bahasa Inggris untuk kata Ibrani Pesach. Pesach
dalam Bahasa Ibrani berarti “Sudah lewat.” Ini
mengacu pada sebuah peristiwa di masa lalu
bangsa Israel, ketika mereka masih ditawan di
tanah Mesir. Kala itu bangsa Mesir terutama
Firaunnya amatlah bebal, mereka tak pernah
dengan sukarela mengizinkan bangsa Israel keluar.
Berbagai tulah dikirimkan, tapi hati Firaun tak
kunjung melunak. Sampailah pada tulah terakhir
yang mengancam nyawa semua anak sulung di
negeri itu. Tuhan membuat pengecualian bagi
bangsa Israel dengan menyuruh mereka (via
Musa) menyembelih seekor domba jantan yang tak
bercacat cela, memakannya, dan membubuhkan
darahnya pada tiang dan ambang pintu rumah.
Pada tengah malam, Tuhan turun atas Mesir dan
segenap penduduk ketakutan, termasuk orang
Israel. Mereka sangat tidak mau anak sulung
mereka binasa, maka ketika Tuhan melewati setiap
rumah, mereka semua menjadi gemetar, dan ketika
Tuhan pergi dan anak sulung mereka terbukti
masih hidup, mereka berteriak: “Pesach!” artinya:
“Sudah lewat!” Kejadian ini seakan menjadi simbol
nubuatan untuk kematian Yesus di kayu salib. Pada
20 JURNALASTINA
dasarnya umat manusia juga pasti akan binasa
karena semua kita sudah berbuat dosa dan upah
dosa ialah maut. Namun Allah mengirimkan “anak
domba”-Nya dan menorehkan darahnya pada kayu
salib (ingatlah bahwa salib dan palang serta
ambang pintu sama-sama mempunyai garis
horizontal dan vertikal). Dan karena darah itu
tercurah, manusia akan diselamatkan (lirik
Yohanes 3:16).
3. Easter alias Astarte alias Semiramis dikisahkan
turun dari langit ke bumi dalam sebuah telur
besar, yang kemudian pecah dan dari dalamnya
keluar seorang wanita cantik. Inilah sebabnya
ramai telur digunakan sebagai ornamen.
4. Easter alias Astarte alias Semiramis adalah
dewi kesuburan, maka kelinci pun diambil sebagai
simbol, karena kelinci dikenal beranak banyak.
5. Babel dalam upacara keagamaannya yang lain
juga menggunakan pohon yang dihiasi sebagai
hiasan.
Tradisi Babel juga mengandung mitologi soal kakek tua berjanggut panjang yang dengan keretanya terbang di langit pada malam perayaan hari besar tertentu.
Lihatlah betapa banyak warna Babel dalam
perayaan Paskah dan Natal. Padahal hal-hal
tersebut amat tidak bersangkut paut dengan
kekristenan. Andy Panggabean kemudian
menjelaskan bahwa yang bertanggung jawab atas
sinkretisme ini adalah Konstantin, seorang kaisar
Romawi yang beribukan Kristen dan berbapakan
Babel (atau sebaliknya?). Yang jelas dalam masa
kekuasaannya ia membuat seluruh Romawi
beragama Kristen, tapi mencampur adukkannya
dengan tradisi Babel. Pengecualian harus dibuat
untuk pemilihan tanggal perayaan Natal yaitu 25
Desember. Awalnya ia adalah tanggal perayaan
hari lahir Dewa Matahari, namun Konstantin
melakukan sejenis revolusi untuk “menguduskan”
tanggal tersebut. Andy Panggabean sendiri
menghitung-hitung dengan berbagai argumen
Alkitabiah bahwa Yesus harusnya lahir pada
tengah tahun, entah Juni atau Juli.
Segala yang dijelaskan oleh Andy
Panggabean bisa salah bisa benar, perlu ada
pembuktian lebih lanjut. Demikian juga
kemampuan saya mengingat penjelasan beliau bisa
juga salah pada beberapa titik. Tidaklah baik untuk
segera percaya dan mengiyakan begitu saja. Poin
penting di sini adalah, kegilaan terjadi kala orang
melakukan bahkan merayakan sesuatu hanya
sekadar rutinitas dan tradisi tanpa
mempertanyakan esensi. Berapa banyak orang
yang mengaku Kristen tapi getol berteriak “Happy
Easter” setiap Paskah? Berapa banyak yang masih
gemar menghias-hias telur? Berapa banyak yang
masih menggunakan gambar kelinci dalam
undangan perayaan Paskah? Semua hal itu tidak
salah total secara substansi. Yang fatal adalah
ketidakpedulian untuk merunut histori. Itulah
kegilaan, melakukan sesuatu tidak dengan
kesadaran penuh. Adakah ini yang Yesus Kristus
inginkan setiap perayaan Paskah?
Kehendak-Nya bukanlah membuat pesta
besar gila-gilaan untuk memperingati kematian
dan kebangkitan-Nya. Kehendak-Nya adalah aku
dan kau diselamatkan, karena tidak dengan gila ia
rela dilecehkan, sungguh-sungguh supaya kita
diselamatkan.
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16)
1Tulisan ini dibuat dalam rangka perenungan kembali
makna Paskah(Kebangkitan Kristus) 2Penulis adalah seorang Sarjana Humaniora yang juga
aktif dalam kegiatan Persekutuan Oikumene FIB & UI
JURNALASTINA 21
S esuatu yang paling dianggap indah bagi
sebagian kalangan. Katanya, sih, begitu!
Karena suka sama suka. Bahkan ketika
saya memperhatikan keanggunan seorang pen-
yanyi yang penuh talenta (sekali lagi, katanya, sih,
begitu!) dan membayangkan dirinya dan saya
berada di titik sesuatu itu. Kau tahu apa yang ke-
mudian saya imajinasikan? Saya mencoba menarik
diri yang berbeda ini keluar dari Manshur Zikri itu,
lalu memperhatikan mereka (Si Manshur Zikri dan
penyanyi kondang itu), dan apa yang kemudian
terpikirkan di dalam benak saya? Pikiran yang pe-
nuh dengan protes dan perasaan yang memuak-
kan, melihat diri saya yang lain terjebak ke dalam
sesuatu itu, yang paling saya benci (sejatinya). An-
daikan saya bukan manusia, dan adalah Tuhan,
sesuatu itu pasti tidak akan pernah ada di dunia ini.
Bahkan ketika saya membayangkan ketika
seorang nabi berada di situasi dan kondisi yang
sama dengan si Manshur Zikri itu, pasti saya akan
mengarahkan pantat saya ini kepadanya dan ter-
tawa sekeras-kerasnya, sambil berseru, "Makan
tuh sabda!" Untung saja nabi tidak akan pernah
seperti itu, Gan! Dan saya tidak perlu dikejar-kejar
oleh FPI dan diancam akan dibunuh karena telah
melecehkan nabi. Nabi itu bukan milik satu agama
saja! Benar, kan, saya?
Sesuatu ini, yang semakin hari semakin
membuat saya muak adalah sesuatu yang sakral,
Gan! Akan tetapi juga bisa menjadi malapetaka.
Dan yang lebih parah, hingga malam ini, sesuatu itu
menjadi mutlak yang ingin saya persalahkan setiap
waktu. Dia lah penyebab utama kegelisahan saya,
atau orang-orang yang seperti saya ini. Semoga
saja kau tidak seperti saya, jadi tidak perlu repot-
repot mengangguk membenarkan apa yang saya
utarakan, menyumpahi sesuatu yang memuakkan
itu.
Sesuatu ini yang membuat semua yang ma-
pan menjadi tumbang dengan mudah, yang mem-
buat aturan dan kesepakatan di dalam masyarakat
bergejolak dengan dahsyat, bahkan beberapa ele-
men dari mereka mulai melancarkan aksi protes
dengan ganas. Karena sesuatu ini terjadi konflik
berkepanjangan. Karena sesuatu ini, bahkan seo-
rang Pemimpin sekaliber Soekarno pun, kehilan-
gan sebuah kepercayaan dan kekaguman dari
mereka-mereka yang membaca sejarah
(setidaknya, inilah kenyataan yang saya temui
dalam beberapa seminar tentang sebuah pergera-
kan). Bah, pantas saja orang-orang yang memiliki
kesombongan tingkat tinggi karena obsesi kesem-
purnaan di dalam dirinya bisa dikenal sampai
sekarang. Mereka terlihat begitu agung, karena
tidak bersentuhan dengan sesuatu ini, yang mem-
buat mereka tidak kelihatan cacat, meskipun se-
Hah, saya merinding dan mendecakkan lidah ketika membayangkan sesuatu ini! Kau tahu apa? Sesuatu
yang dianggap spektakuler oleh mereka yang mengerti tentang art. Katanya, sih, begitu, Gan! Akan tetapi
ketika temanku berseru tentang "tegangan" di antara para lelaki, "tegangan" yang menjadi kunci penting
untuk menjelaskan apa itu sesungguhnya seni, orang-orang, yang berbeda dengan saya ini, malah
memikirkan hal yang berbeda. Dan yang menjadi tegang juga hal yang berbeda. Cih!
Sesuatu Manshur Zikri1
22 JURNALASTINA
cara jelas dan nyata mereka menyatakan tidak
mengakui agama. Aaargh, semakin saya
memikirkannya, semakin muak rasanya! Kalau saja
komputer ini bukan barang yang punya harga,
mungkin sudah saya banting sedari tadi. Saya akan
membuat sebuah kehebohan di tempat tinggal
saya ini. Seperti orang gila. Memang tidak bisa,
Gan! Dilihat dari sudut padang mana pun, sesuatu
itu menjadi hal yang paling tidak menyenangkan.
Kalau saja kau sudah memiliki pemikiran yang
sama persis dangan saya, kau pasti akan memiliki
rasa kekecewaan yang mendalam ketika kau men-
yaksikannya sendiri. Pribadi yang penuh konflik,
keyakinan yang penuh konflik, masyarakat yang
penuh konflik, sistem yang penuh konflik, bahkan
kehidupan yang penuh konflik, disebabkan hanya
karena sesuatu ini. Memang sial, sesuatu itu!
Sesuatu itu juga menimpa saya beberapa
waktu yang lalu, Gan! Juga tidak tahu bagaimana
dengan waktu-waktu yang nanti. Oleh karena itu
saya semakin muak saja dengan sesuatu itu. Kau
tahu, karena ulah sesuatu itu, orang-orang yang
sempat saya kagumi dengan berbagai kelebihan
dan intelektualitasnya, terpaksa saya coret dalam
daftar role model ketika saya ketahui bahwa tern-
yata dia menyenangi sesuatu itu (ya tentu be-
berapa dari mereka, tidak semua orang yang saya
kagumi terkena sesuatu itu). Ah, parah! Dasar se-
suatu sialan! Yang menjadi masalah adalah, yang
menyebabkan saya tidak bisa mengingkari akan
kehadiran sesuatu ini, adalah dia merupakan
bagian kodrat dari manusia yang paling penting.
Sedangkan saya mengagungkan kodrat manusia
yang memiliki cacat itu. Tidak bisa, walau bagai-
mana pun, kita tetaplah manusia. Manusia tetap
manusia. Namun, mengapa harus ada sesuatu ini,
yang terus bersarang di dalam lubuk hati manusia
yang paling dalam?
Sayangnya saya tidak bisa menjadi malai-
kat. Kalau kita ingin berubah bentuk dari manusia,
sesungguhnya kita bisa. Sangat gampang sekali.
Akan tetapi kita hanya punya satu pilihan, yaitu
menjadi setan. Dan tahukah kau bahwa setan
adalah pangkal dari sesuatu itu. Karena setan juga
penuh dengan konflik, yang juga merupakan sifat
dari sesuatu itu. Tak usah lah kau berkilah-kilah
dan mengatakan berbagai argumen kepada saya.
Sehebat apa pun kau melakukan pembenaran, baik
secara ilmiah, falsafi, dan logika, sesuatu itu telah
mutlak menjadi hal yang paling saya benci (paling
tidak malam ini).
Sesuatu itu, di satu saat bisa membuat kita
melayang jauh tinggi ke awan. Akan tetapi juga
bisa membuat kita jatuh seketika. Apakah saya
membencinya karena sesuatu itu menimpa saya,
dan karenanya saya mendapatkan kerugian? Bu-
kan, sama sekali bukan karena itu. Saya secara sa-
dar (ah, lagi-lagi kesadaran. Terlalu menyesatkan
kesadaran yang berlebih-lebih itu. Namun saya
memang memiliki kesadaran yang juga memuak-
kan ini), ya, secara sadar saya telah memberikan
sebuah nilai bahwa sesuatu itu adalah hal yang pal-
ing memuakkan. Hei, hei, hei! Kau jangan merusak
tulisan saya ini, Gan! Saya bukan sedang memba-
has tentang cinta. Sesuatu itu, yang saya perma-
salahkan sedari tadi itu, bukan cinta. Cinta
itu, mah, soal lain. Mungkin akan lebih menarik
ketika kau perbincangkan hal ini dengan orang-
orang yang sedang galau di kampus UI. Sekali lagi
saya tegaskan, sesuatu itu bukan cinta. (kemudian
saya tertawa) Ini sesuatu, Men! Sesuatu! Perlukan
saya menuliskan namanya dengan huruf yang be-
sar-besar: SESUATU. Dia penuh dengan misteri.
Kata orang, banyak makna yang bisa dibedah dari
sesuatu itu. Dia imajinatif, bayangan, khayal,
mimpi, tetapi juga nyata. Bisa kau rasakan. Ketika
JURNALASTINA 23
tersentuh, kau merasakan kenikmatan yang begitu
hebat. Akan tetapi dia tetap lah sesuatu, yang
ketika kau melihatnya secara gamblang --- dengan
syarat kau memiliki pemikiran yang sama dengan
saya --- dia menjadi hal yang paling tidak ingin kau
lihat. Karena apa? Karena ketika kau membayang-
kan dirimulah yang berada di titik sesuatu itu ---
yang disentuh sesuatu itu --- melihat mimik wa-
jahmu, kau akan merasakan mual di perut dan se-
ketika akan segera muntah, muntah darah, mung-
kin.
Sesuatu itu selalu membuat saya mengge-
lengkan kepala ketika usai melihat hal-hal di balik
layar kaca, layar udara, layar kehidupan, karena
menyadari bahwa semuanya akan rusak karena
sesuatu itu. "Percuma saja, pasti akan menjadi bu-
ruk ketika sesuatu itu ikut serta menghiasi ini!"
saya berujar dalam hati. Sesuatu... sesuatu... Bah!
Saya kehabisan kata-kata karena sesuatu ini kem-
bali menyerang saya! Sialaaaaaaaaaaan! "Ah, se-
suatu, kau memang bangsat! Dari mana saja kau?
Apa yang kau lakukan sedari tadi? Oh, tidak-tidak,
tulisan ini bukan apa-apa, hanya iseng sambil
menanti kedatanganmu. Eh, tak perlu kau baca,
nanti kau tersinggung pula dan mendampar saya
karena tulisan ini! Eit, eit, eit, jangan dilihat. Saya
merasa malu karena, ng... saya sedikit membahas
tentang dirimu! Hayolah, lebih baik kita ber-
cengkrama seperti biasa, seperti yang kau
inginkan. Bukan kah itu lebih seru dan lebih
menarik?"
("Anjing, kau , sesuatu! Lihat saja, suatu
saat nanti, kau akan saya musnahkan dari muka
bumi ini!" saya berkata dalam hati. Ini rahasia
antara kita saja, jangan sekali-sekali kau adukan
kepada sesuatu. Biarkan sesuatu tidak mengeta-
huinya. Kalau dia tahu, umat manusia akan ter-
timpa bencana! Kalau Agan tetap berinisiatif ingin
memberitahukan sesuatu, maka kau yang akan
saya musnahkan terlebih dahulu, sebelum sesuatu
itu.)
1Mahasiswa Kriminologi UI, dan penggiat Akumassa di Forum Lenteng.
24 JURNALASTINA
Motor X-Tra 26
Serves you with the best
*Wash
*Services
*Spare parts
10x cuci = 1x
cuci gratis
5x servis = 1x
servis 1/2 harga