Aspek Fisiologis Manusia Dan Penerapannya Dalam Perbaikan Sistem Kerja
Transcript of Aspek Fisiologis Manusia Dan Penerapannya Dalam Perbaikan Sistem Kerja
Aspek Fisiologis Manusia dan Penerapannya dalam
Perbaikan Sistem Kerja
Definisi Fisiologi
Fisiologi adalah cabang dari ilmu biologi yang mempelajari tentang fungsi
normal dari suatu organisme mulai dari tingkat sel, jaringan, organ, sistem organ hingga
tingkat organisme itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan
fisiologi adalah cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan
atau zat hidup (organ, jaringan, atau sel).
Menurut kedua definisi tersebut bias disimpulkan bahwa fisiologi adalah fungsi
kerja yang meliputi fungsi mekanik, fisik, dan biokimia dari makhluk
hidup (http://fkuii.org/tiki-index,php?page=ilmu+fisiologi).
Fisiologi dapat digunakan dalam berbagai metode ilmiah untuk mempelajari sel,
jaringan, organ, sistem organ, dan organisme secara keseleruhan menjalankan fungsi
fisik ddan kimiawinya untuk mendukung kehidupan. Menurut objek kajiannya dikenal
fisiologi manusia, fisiologi hewan, dan fisiologi tumbuhan. Prinsip fisiologi bersifat
universal yaitu tidak bergantung pada jenis organisme yang
dipelajari. (http://id.wikipedia.org/wiki/fisiologi)
Manusia dalam suatu sistem bekerja dan berinteraksi dalam suatu lingkungan,
dan dalam perspektif ergonomi keterkaitan dan interaksi antara manusia dan
lingkungannya dikenal dengan istilah Environmental Ergonomicsatau ergonomi
lingkungan. Wignjosoebroto (2008) menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk
sempurna tetap tidak luput dari kekurangan, dalam arti segala kemampuannya masih
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor faktor tersebut dapat berasal dari diri sendiri
(intern), dapat juga dari pengaruh luar (ekstern). Salah satu faktor yang berasal dari luar
adalah kondisi lingkungan kerja, yaitu semua keadaan yang terdapat di sekitar tempat
kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan,
getaran mekanis, bau-bauan, warna dan lainlain. Hal-hal tersebut dapat berpengaruh
secara signifikan terhadap hasil kerja manusia. Parson (2000) mengemukakan bahwa
pada prinsipnya ergonomi lingkungan mencakup kondisi sosial, kondisi psikologis,
budaya dan organisasi dari lingkungan. Kesemuanya ini akan membahas bagaimana
reaksi manusia terhadap kondisi lingkungan kerja yang akan memberikan respon
psikologis dan respon fisiologis sehingga dalam perancangan produk yang sering
digunakan di lingkungan kerja yang ekstrim, dapat memperhitungkan factor
lingkungannya, dan dalam kehidupan bahwa antara lingkungan fisik dan manusia saling
mempengaruhi. Furnace area atau tungku peleburan merupakan area kerja yang
memiliki risiko besar terjadinya heat stress karena lingkungan kerja yang penuh risiko
dengan temperatur yang tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi durasi kerja dan 2
beban kerja itu sendiri. Penggunaan pakaian pelindung diri dengan standar yang lebih
tinggi menjadi suatu keharusan untuk area kerja ini. Setelan pakaian pelindung diri
harus cocok dengan kondisi lingkungan, khususnya terhadap temperatur yang yang akan
mempengaruhi heat stress. Heat stress yang terusmenerus akan berpotensi menjadi
penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Menurut Pulat (1992) bahwa reaksi fisiologis
tubuh (heat strain) karena peningkatan temperatur udara di luar comfort zone adalah
vasodilatasi, denyut jantung meningkat, temperatur kulit meningkat, suhu inti tubuh
pada awalnya turun kemudian meningkat. Suhu lingkungan kerja yang tinggi
menyebabkan temperatur tubuh pekerja meningkat selanjutnya akan mengakibatkan
tekanan panas (heat stress) pada pekerja sehingga akan mempengaruhi produktivitas
pekerja.
Di lingkungan kerja yang ekstrim, pakaian pelindung diri atau personal
protective clothing (PPC) dijadikan sebagai salah satu faktor penting untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja. Performansi pekerja ketika menggunakan PPC menjadi hal
penting untuk dikaji McLellan (2006) melakukan sebuah penelitian terkait dengan
penurunan range of motion (ROM) pekerja ketika menggunakan pakaian pengaman
(safety wear) pada pemadam kebakaran, pekerja pengolahan limbah, tentara, dan untuk
pekerja yang penuh risiko lainnya dengan suhu ekstrim 40oC. Kemudian, banyak
penelitian yang terkait dengan evaluasi PPC terhadap lingkungan kerja. Adams et al,
(1994) mulai mencari keterkaitan antara efek pakaian kerja dengan performansi pekerja
itu sendiri, meskipun didapatkan kesimpulan bahwa masih cukup sulit untuk
memprediksikan keterkaitan antara efek dari pakaian kerja dengan performansi pekerja.
Namun penelitian tersebut memperkenalkan sebuah kerangka penelitian tentang
hubungan antara lingkungan, pakaian kerja, dan performansi kerja. Kang et al, (2001)
membuat pemodelan lingkungan panas dan respon manusia pada daerah iklim tropis
yang berguna untuk desain dan evaluasi lingkungan bangunan non AC (non air
conditioned building environments). Penelitian tentang lingkungan panas juga dilakukan
Muflichatun (2006),dalam penelitiannya tersebut menyatakan bahwa ada hubungan
antara tekanan panas (heat stress) dengan produktifitas dan denyut nadi. Tekanan panas
pada pekerja dapat dikendalikan dengan memperbaiki lingkungan kerja 3 perusahaan
atau dengan melakukan perbaikan pada seragam pekerja. Holmer (2006) dalam
penelitiannya berpendapat bahwa PPC di lingkungan kerja yang panas sangat erat
kaitannya dengan heat stress serta berpengaruh pada performansi pekerja yang
diakibatkan oleh pengaruh lingkungan panas dan ketidaknyamanan dari PPC itu sendiri.
Lingkungan kerja yang ekstrim tidak hanya area peleburan pada pabrik tertentu, tapi
bagi mereka yang bekerja di sebagai petugas pemadam kebakaran juga erat dengan
terjadinya heat stress. Mclellan (2006) mengevaluasi pengaruh tekanan panas pada
pakaian pelindung selama operasi pemadam kebakaran. Gasperin (2008) merancang
sebuah model untuk mengevaluasi pakaian pelindung diri anti api yang melakukan
protocol test (simulation) dengan menggunakan manekin untuk menguji ketahanan
pakaian pelindung diri yang tahan api. Raimundo dan Figueiredo (2009) telah membuat
suatu pedoman yang berguna tentang penentuan pengaruh sifat-sifat pakaian pelindung
diri selama operasi pemadaman kebakaran. Dari beberapa penelitian ini, terdapat
beberapa kesimpulan yang sama yaitu tekanan panas pada pekerja akan mempengaruhi
performansi pekerja dan juga mempengaruhi kesehatan pekerja itu sendiri. Penelitian
terkait dengan lingkungan kerja juga diteliti oleh Furtado et al. (2007), penelitian
tersebut juga melakukan sebuah eksperimen dengan mengukur performansi pekerja
yang bekerja di lingkungan yang panas (trial outdoors) dan yang bekerja di dalam
ruangan. Dari kedua lingkungan yang berbeda ini, tolak ukur penelitian adalah
bagaimana performansi pekerja ketika menggunakan PPC dan tidak menggunakan PPC
pada dua lingkungan kerja yang berbeda. Penelitian ini melakukan pendekatan fisiologi
kerja yang menganalisa performansi pekerja dengan mengukur denyut jantung (HR).
Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Kim et al. (2007) dengan kondisi lingkungan
yang dingin. Penelitian Kim et al. (2007) focus pada analisis beban kerja dalam
pemindahan material dari satu tempat ke tempat yang lain sesuai dengan skenario
eksperimen. Dari hasil eksperimen yang dilakukan didapatkan kesimpulan bahwa
performansi manusia akibat lingkungan yang dingin, akan mempengaruhi beban
kerjanya dan mempengaruhi respon fisiologis manusia. Di India, juga dilakukan
pengukuran beban kerja dengan mengambil sampel dari pekerja bangunan yang
berjenis4 kelamin perempuan. Penelitian Maiti (2008) ini melakukan pengukuran
langsungdimana yang menjadi pelaku eksperimen adalah para pekerja tersebut. Kondisi
kerja yang manual dan tanpa pakaian pelindung diri merupakan aspek utama dalam
penelitian Maiti (2008). Ketika beberapa peneliti sebelumnya melakukan penelitian
dengan melakukan studi eksperimen fisiologi kerja, lain halnya dengan Tian et al.
(2011). Pada penelitian Tian et al. (2011) mengkombinasikan aspek fisiologi kerja dan
psikologi kerja dari manusia. Untuk aspek fisiologis kerja, penelitian tersebut
melakukan eksperimen seperti penelitian lainnya, dan untuk aspek psikologis kerja akan
diberikan kuisioner kepada responden terkait respon mereka terhadap lingkungan panas.
Dari beberapa penelitian tersebut di atas sangat erat kaitannya dengan keselamatan dan
kesehatan kerja karyawan yang berada di lingkungan ekstrim tertentu. Outdoor
activities dan juga pemadaman kebakaran merupakan beberapa dari sekian banyak
contoh lingkungan kerja yang memiliki suhu di atas normal. Namun, dari pemaparan di
atas, belum ditemui adanya penelitian yang memfokuskan pada lingkungan pabrik,
khususnya di area peleburan. Mereka yang bekerja di area peleburan, akan berada di
area dengan suhu yang panas dalam waktu yang cukup lama sesuai dengan shift kerja
mereka. Sehingga, kondisi kesehatan pekerja akan erat kaitannya dengan keselamatan
pekerja, dengan mengidentifikasi potensi bahaya dalam satu lingkungan kerja maka
dapat mengurangi risiko penyakit hyperthermia. Sehingga, untuk mencapai tingkat
keselamatan kerja atau yang biasa dikenal dengan istilah zero accident diperlukan
kontribusi yang besar antara perusahaan dan karyawan. Beranjak dari ide penelitian
Furtado et al. (2007), Kim et al. (2007), Maiti (2008), dan Tian et al. (2011), tentang
analisis keterkaitan antara lingkungan kerja, beban kerja, fisiologis kerja, psikologis
kerja, pakaian pelindung, maka penelitian tesis ini akan merancang model penliaian
potensi personal protective clothing (PPC) dalam mempengaruhi kinerja karyawan pada
lingkungan kerja ekstrim.
Jenis-jenis kerja
Terdapat macam-macam jenis kerja di dalam fisiologi, jenis-jenis kerja tersebut
ada terbagi dua yaitu kerja fisik (otot) dan kerja mental. Berikut penjelasan cirri-ciri
kedua jenis kerja:
1. Kerja Fisik (otot)
Kerja yang memerlukan energi fisik otot manusia sebagai sumber tenaganya.
Menurut Davis dan Miller kerja fisik ada tiga macam yaitu:
a. Kerja total seluruh tubuh: melibatkan 2/3 atau ¾ otot tubuh.
b. Kerja sebagian otot: otot digunakan lebih sedikit.
c. Kerja otot statis: menghasilkan gaya kontraksi otot.
Secara umum, kerja fisik dibagi menjadi dua bagian yaitu kerja statis dan kerja
dinamis. Berikut ini perbedaan antara kedua kerja tersebut:
a. Kerja statis yaitu tidak menghasilkan gerak, kontraksi otot bersifat isometris,
kelelahan lebih cepat terjadi.
b. Kerja dinamis yaitu menghasilkan gerak, kontraksi otot bersifat isotonos dan
ritmis, kelelahan relatif agak lama terjadi.
Metode pengukuran kerja fisik adalah:
a. Konsep Horse Power oleh taylor.
b. Tingkat konsumsi energi untuk mengukur pengeluaran energi.
c. Perubahan tingkat kerja jantung dan konsumsi oksigen.
2. Kerja Mental
Merupakan kerja yang melibatkan proses berfikir dari otak dan pengeluaran
energinya relatif lebih sedikit dari kerja fisik. Menurut Tiffin ada tiga criteria-kriteria
untuk mengetahui pengaruh pekerjaan terhadap manusia dalam suatu sistem kerja,
yaitu:
a. Kriteria Faali
Kriteria faali meliputi: kecepatan denyut jantung, konsumsi oksigen, tekanan darah,
tingkat penguapan, temperatur tubuh, komposisi kimiawi dalam darah dan air seni.
Kriteria ini digunakan untuk mengetahui perubahan fungsi alat-alat tubuh.
b. Kriteria Kejiwaan
Kriteria kejiwaan meliputi; pengujian tingkat kejiwaan pekerja, seperti tingkat
kejenuhan, emosi, motivasi, sikap dan lain-lain. Kriteria kejiwaan ini digunakan
untuk mengetahui perubahan kejiwaan yang timbul selama bekerja.
c. Kriteria Hasil Kerja
Kriteria hasil keja meliputi: hasil kerja yang diperoleh dari pekerja. Kriteria ini
digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh kondisi kerja dengan melihat hasil
keja yang diperoleh dari pekerja tersebut.
Fisiologi Kerja
Setiap kegiatan yang berlangsung pada diri manusia membutuhkan energy.
Kemampuan manusia untuk melakukan berbagai kegiatan tergantung pada struktur fisik
dari tubuhnya sendiri, struktur tulang, otot-otot rangka, system saraf dan proses
metabolism. Dua ratus enam tulang membentuk rangka manusia yang berfungsi
menopang dan melakukan kegiatan-kegiatan fisik. Tulang-tulang tersebut saling
berhubungan dengan sendi-sendi yang merupakan gumpalan-gumpalan serabut otot
yang dapat berkontraksi. Fungsi dari serabut otot adalah untuk mengubah energy kimia
menjadi energy mekanik. Kegiatan-kegiatan otot dikontrol oleh system saraf sedemikian
rupa sehingga kerja otot secara keseluruhan dapat berlangsung dengan baik.
Untuk melakukan semua kegiatan manusia diperlukan suplai energy. Energy
terbentuk karena adanya proses metabolism dalam otot, yaitu berupa serangkaian proses
kimia yang mengubah bahan makanan menjadi dua bentuk energy : energy mekanis dan
energy panas
Aktivitas otot akan mengubah fungsi-fungsi fisiologis dalam tubuh sebagai berikut :
Denyut jantung
Tekanan darah
Keluaran/output jantung (liter darah/menit
Komposisi kimia dalam darah dan tubuh
Temperature tubuh
Laju penguapan
Ventilasi paru-paru
Konsumsi oksigen oleh otot
Proses Metabolisme
Proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh manusia merupakan fase yang
penting sebagai penghasil energy yang diperlukan untuk kerja fisik.
Proses metabolisme ini bias dianalogikan dengan proses pembakaran yang kita
jumpai dalam mesin motor bakar (combustion engine). Lewat proses metabolis
akan dihasilkan pandas dan energy yang diperlukan untuk kerja mekanis lewat
system otot manusia. Disini zat-zat makanan akan bersenyawa dengan oksigen
(O2) yang dihirup, terbakar dan menimbulkan panas serta energy mekanik
Pengukuran konsumsi energy
Kerja fisik mengakibatkan pengeluaran energi yang berhubungan erat dengan
konsumsi energi. Konsumsi energi pada waktu kerja biasanya ditentukan dengan cara
tidak langsung, yaitu dengan pengukuran tekanan darah, aliran darah, komposisi kimia
dalam darah, temperatur tubuh, tingkat penguapan dan jumlah udara yang dikeluarkan
oleh paru-paru. Dalam penentuan konsumsi energi biasa digunakan parameter indeks
kenaikan bilangan kecepatan denyut jantung. Indeks ini merupakan perbedaan antara
kecepatan denyut jantung pada waktu kerja tertentu dengan kecepatan denyut jantung
pada saat istirahat.
Untuk merumuskan hubungan antara energy expenditure dengan kecepatan heart
rate (denyut jantung), dilakukan pendekatan kuantitatif hubungan antara energy
expediture dengan kecepatan denyut jantung dengan menggunakan analisa regresi.
Bentuk regresi hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung secara umum adalah
regresi kuadratis dengan persamaan sebagai berikut :
Y=1 ,80411−0 , 0229038 X+4 , 71733.10−4 X2
Dimana:
Y : Energi (kilokalori per menit)
X : Kecepatan denyut jantung (denyut per menit)
Setelah besaran kecepatan denyut jantung disetarakan dalam bentuk energi,
maka konsumsi energi untuk kegiatan kerja tertentu bisa dituliskan dalam bentuk
matematis sebagai berikut :
KE = Et – Ei
Dimana :
KE : Konsumsi energi untuk suatu kegiatan kerja tertentu (kilokalori/menit)
Et : Pengeluaran energi pada saat waktu kerja tertentu (kilokalori/menit)
Ei : Pengeluaran energi pada saat istirahat (kilokalori/menit)
Terdapat tiga tingkat energi fisiologi yang umum : Istirahat, limit kerja aerobik,
dan kerja anaerobik. Pada tahap istirahat pengeluaran energi diperlukan untuk
mempertahankan kehidupan tubuh yang disebut tingkat metabolisis basah. Hal tersebut
mengukur perbandingan oksigen yang masuk dalam paru-paru dengan karbondioksida
yang keluar. Berat tubuh dan luas permukaan adalah faktor penentu yang dinyatakan
dalam kilokalori/area permukaan/jam. Rata-rata manusia mempuanyai berat 65 kg dan
mempunyai area permukaan 1,77 meter persegi memerlukan energi sebesar 1
kilokalori/menit.
Kerja disebut aerobik bila suply oksigen pada otot sempurna, sistem akan
kekurangan oksigen dan kerja menjadi anaerobik. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas
fisiologi yang dapat ditingkatkan melalui latihan. Aktivitas dan tingkat energi dan
Klasifikasi beban kerja dan reaksi fisiologis terlihat pada tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Aktivitas Dan Tingkat Energi
ENERGI
(Kkal/menit)1 2.5 5 7.5 10
DETAK
JANTUNG
(per menit)
60 75 100 125 150
OKSIGEN
(liter/menit)0.2 0.5 1 1.5 2
Metabolis
me basahKerja ringan
Jalan
(6.5kph)Kerja berat Naik Pohon
Istirahat DudukAngkat roda
100 kg
Membuat
tungku
TidurMengendarai
Mobil
Bekerja
ditambang
Jalan di
Bulan
Tabel 2. Klasifikasi Beban Kerja Dan Reaksi Fisiologis
Tingkat
Pekerjaan
Energy Expenditure Detak JantungKonsumsi
Energi
Kkal / menit Kkal / 8jam Detak / menit Liter / menit
Undully Heavy >12.5 >6000 >175 >2.5
Very Heavy 10.0 – 12.5 4800 – 6000 150 – 175 2.0 – 2.5
Heavy 7.5 – 10.0 3600 – 4800 125 – 150 1.5 –2.0
Moderate 5.0 – 7.5 2400 – 3600 100 – 125 1.0 – 1.5
Light 2.5 – 5.0 1200 – 2400 60 – 100 0.5 – 1.0
Very Light < 2.5 < 1200 < 60 < 0.5
Konsumsi energi berdasarkan kapasitas oksigen terukur
Konsumsi energi dapat diukur secara tidak langsung dengan mengukur konsumsi
oksigen. Jika satu liter oksigen dikonsumsi oleh tubuh, maka tubuh akan mendapatkan
4,8 kcal energi.
T(B – S)
Dimana :
R : Istirahat yang dibutuhkan dalam menit (Recoveery)
T : Total waktu kerja dalam menit
B : Kapasitas oksigen pada saat kerja (liter/menit)
S : Kapasitas oksigen pada saat diam (liter/menit)
Konsumsi energi berdasarkan denyut jantung (heart rate)
Jika denyut nadi dipantau selama istirahat, kerja dan pemulihan, maka recovery
(waktu pemulihan) untuk beristirahat meningkat sejalan dengan beban kerja. Dalam
keadaan yang ekstrim, pekerja tidak mempunyai waktu istirahat yang cukup sehingga
mengalami kelelahan yang kronis. Murrel membuat metode untuk menentukan waktu
istirahat sebagai kompensasi dari pekerjaan fisik :
R=
T (W −S )W−1,5
Dimana :
R : Istirahat yang dibutuhkan dalam menit (Recoveery)
B – 0,3R =
T : Total waktu kerja dalam menit
W : Konsumsi energi rata-rata untuk bekerja dalam kkal/menit
S : Pengeluaran energi rata-rata yang direkomendasikan dalam kkal/menit
(biasanya 4 atau 5 Kkal/menit)
Menentukan Waktu Standar Dengan Metode Fisiologis
Pengukuran fisiologi dapat dipergunakan untuk membandingkan cost energy
pada suatu pekerjaan yang memenuhi waktu standar, dengan pekerjaan serupa yang
tidak standard, tetapi perbandingan harus dibuat untuk orang yang sama. hasilnya
mungkin beberapa orang yang memiliki performansi 150% hingga 160% menggunakan
energi expenditure sama dengan orang yang performansinya hanya 110% sampai 115%.
Waktu standar ditentukan untuk tugas, pekerjaan yang spesifik dan jelas definisinya. Dr.
Lucien Brouha telah membuat tabel klasifikasi beban kerja dalam reaksi fisiologi, untuk
menentukan berat ringannya suatu pekerjaan, seperti terlihat pada tabel 3..
Tabel 3. Jenis Pekerjaan Dengan Konsumsi Oksigen
WORK LOAD
OXYGEN
CONSUMPTION
(Liter/Minute)
ENERGY
EXPENDITURE
(Calories/minute)
HEART RATE
DURING WORK
(Beats per minute)
Light 0.5 – 1.0 2.5 – 5.0 60 – 100
Moderate 1.0 – 1.5 5.0 – 7.5 100 – 125
Heavy 1.5 – 2.0 7.5 – 10.0 125 – 150
Very Heavy 2.0 – 2.5 10.0 – 12.5 150 - 175
Fatique
Fatique adalah suatu kelelahan yang terjadi pada syaraf dan otot-otot manusia
sehingga tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Kelelahan dipandang dari sudut
industri adalah pengaruh dari kerja pada pikiran dan tubuh manusia yang cenderung
untuk mengurangi kecepatan kerja mereka atau menurunkan kualitas produksi, atau
kedua-duanya dari performansi optimum seorang operator. Cakupan dari kelelahan,
yaitu :
1. Penurunan dalam performansi kerja
Pengurangan dalam kecepatan dan kualitas output yang terjadi bila melewati suatu
periode tertentu, disebut industry fatique.
2. Pengurangan dalam kapasitas kerja
perusakan otot atau ketidakseimbangan susunan saraf untuk memberikan stimulus,
disebut Psikologis fatique
3. Laporan-laporan subyektif dari pekerja
Berhubungan dengan perasaan gelisah dan bosan, disebut fungsional fatique.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi fatique adalah besarnya tenaga yang
dikeluarkan, kecepatan, cara dan sikap melakukan aktivitas, jenis kelamin dan umur.
Fatique dapat diukur dengan :
a. Mengukur kecepatan denyut jantung dan pernapasan
b. Mengukur tekanan darah, peredaran udara dalam paru-paru, jumlah oksigen yang
dipakai, jumlah CO2 yang dihasilkan, temperatur badan, komposisis kimia dalam
urin dan darah
c. Menggunakan alat uji kelelahan Riken Fatique.
d. Kelelahan otot adalah kelelahan yang terjadi karena kerja otot dengan adanya
aktivitas kontraksi dan relaksasi. Tipe aktivitas otot oleh Ryan dalam Work &
Effort adalah:
1. Pengeluaran sejumlah energi secara cepat.
2. Pekerjaan yang dilakukan secara teru-menerus.
3. Pekerjaan setempat atau lokal yang terus-menerus berulang dengan pengeluaran
energi setempat yang besar.
4. Sikap yang dibatasi (kerja statis).
e. Kelelahan secara umum juga sering dirasakan pada setiap aktivitas yang dilakukan.
Kelelahan umum ditandai dengan berbagai kondisi antara lain:
1. Kelelahan visual (indera penglihatan) disebabkan oleh illuminasi, luminasi,
seringnya akomodasi mata.
2. Kelelahan seluruh tubuh.
3. Kelelahan mental.
4. Kelelahan urat saraf.
5. Stress (pikiran tegang).
6. Rasa malas bekerja.
Untuk lebih jelas mengenai fatique dapat dibaca pada buku Motion & Time Study:
Design & measurement of Work, Barnes Ralph, 1980