Askep Gerd
-
Upload
cita-nuraini-ibrahiem -
Category
Documents
-
view
239 -
download
8
description
Transcript of Askep Gerd
Askep GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
BAB I
A. Latar Belakang
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa. Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel, 2002).
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat. Berbagai survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa menderita heartburn (rasa panas membakar di daerah retrosternal), suatu keluhan klasik GERD. Di Indonesia, penyakit ini sepintas tidak banyak ditemukan. Hanya sebagaian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter karena pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan endoskopi dan berbagai macam komplikasinya yang datang berobat ke dokter (Djajapranata, 2001).
Prevalensi PRG bervariasi tergantung letak geografis, tetapi angka tertinggi terjadi di Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia meningkat. Di Hongkong meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003). Sedangkan berdasarkan data salah satu rumah sakit di Indonesi, RSCM menunjukkan peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5 tahun. Asian Burning Desire Survey (2006) membuktikan bahwa pemahaman tentang GERD pada populasi di Indonesia adalah yang terendah di Asia Pasifik, hanya sekitar 1%, sedangkan di Taiwan mencapai 81% dan Hongkong 66%.
Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang begitu jelas, kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan non-erosive reflux disease lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin bukan menjadi faktor utama dalam perkembangan PRG, namun Barrett’s esophagus lebih sering terjadi pada laki-laki.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) terdiri dari spektrum gangguan yang terkait, termasuk hernia hiatus, reflux disease dengan gejala yang terkait, esofagitis erosif, striktur peptikum, Barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. Selain beberapa patofisiologi dan hubungan antara beberapa gangguan ini, GERD juga ditandai dengan terjadinya komorbiditas pada pasien yang identik dan oleh epidemiologi perilaku yang serupa diantara mereka.
B. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, terapi, dan komplikasi dari GERD.
2. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien GERD.
BAB II
A. DEFINISI
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2002).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2002).
B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi :
1. Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
2. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
3. Ketahanan epitel esofagus menurun
4. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin, garam empedu, HCL.
5. Kelainan pada lambung
6. Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
9. Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
10. Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan (Yusuf, 2009).
C. PATOFISIOLOGI
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD akan terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah ke atas ataupun sebaliknya (Hadi, 2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esophagus, dan ketahanan ephitelial esophagus. Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
b. Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik, eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
c. Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan ephitelial esophagus terdiri dari :
1. Membran sel
2. Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus
3. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ .
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intra abdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring (Hadi, 2002).
D. TANDA DAN GEJALA
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal, yaitu :
1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah gejala tersering.
2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut terasa asam dan pahit.
3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009)
Gejala Atipikal :
1. Batuk kronik dan kadang wheezing
2. Suara serak
3. Pneumonia
4. Fibrosis paru
5. Bronkiektasis
6. Nyeri dada nonkardiak (Yusuf, 2009).
Gejala lain :
1. Penurunan berat badan
2. Anemia
3. Hematemesis atau melena
4. Odinofagia (Bestari, 2011).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi. Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopi).
2. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.
3. Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri dada asal esofagus.
4. Pengukuran pH dan tekanan esofagus
Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik esofagus. Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai gold standar untuk memastikan adanya PRGE.
5. Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya non invasif (Djajapranata, 2001).
6. Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi, dan striktur.
7. Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75%.
8. Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
9. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk memastikan NERD (Yusuf, 2009).
F. TERAPI
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala pasien, mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal, mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah berkembangnya komplikasi. Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa.
1. Modifikasi Gaya Hidup
a. Tidak merokok
b. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan
c. Tidak minum alkohol
d. Diet rendah lemak
e. Hindari mengangkat barang berat
f. Penurunan berat badan pada pasien gemuk
g. Jangan makan terlalu kenyang
h. Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang
2. Terapi Endoskopik.
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi, endoscopic suturing, dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan memanaskan gastroesophageal junction. Tujuan dari jenis terapi ini adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi reflux.
3. Terapi medika mentosa. Sampai pada saat ini dasar yang digunakan untuk terapi ini adalah supresi pengeluaran asam lambung. Ada dua pendekatan yang biasa dilakukan pada terapi medika mentosa:
a. Step up
Awal pengobatan pasien diberikan obat-obat yang kurang kuat menekan sekresi asam seperti antacid, antagonis reseptor H2 ( simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin) atau golongan prokinetik (metoklorpamid,domperidon,cisaprid) bila gagal berikan obat-obat supresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (PPI).
b. Step down
Pada terapi ini pasien langsung diberikan PPI dan setelah berhasil lanjutkan dengan supresi asam yang lebih lemah untuk pemeliharaan.
4. Terapi terhadap Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan dan striktur. Bila terjadi rangsangan asam lambung yang kronik dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari squamous menjadi kolumnar yang metaplastik sebagai esophagus barret’s (premaligna) dan dapat menjadi karsinoma barret’s esophagus
a. Striktur esophagus
Bila pasien mengeluh disfagia dan diameter strikturnya kurang dari 13 mm maka dapat dilakukan dilatasi busi, bila gagal juga lakukanlah operasi.
b. Barret’s esophagus
Bila pasien telah mengalami hal ini maka terapi yang dilakukan adalah terapi bedah (fundoskopi). Selain terapi bedah dapat juga dilakukan terapi endoskopi (baik menggunakan energy radiofrekuensi, plikasi gastric luminal atau dengan implantasi endoskopi) walapun cara ini masih dalam penelitian.
(Djajapranata, 2001).
G. KOMPLIKASI
Komplikasi GERD antara lain :
1. Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
2. Esofagitis ulseratif
3. Perdarahan
4. Striktur esofagus
5. Aspirasi
(Asroel, 2002).
H. PENGKAJIAN
a. Keadaan umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif atau GCS dan respon verbal klien.
b. Tanda-tanda vital
Meliputi pemeriksaan :
1. Tekanan darah : sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi, dan kondisi patologis.
2. Pulse rate
3. Respiratory rate
4. Suhu
c. Keluhan utama
Dikaji Awitan, durasi, kualitas dan karakteristik, tingkat keperahan. Lokasi, faktor pencetus, manifestasi yang berhubungan :
Keluhan tipikal (esofagus) : heartburn, regurgitasi, dan disfagia.
Keluhan atipikal (eskstraesofagus) : batuk kronik, suara serak, pneumonia, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak.
Keluhan lain : penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena, odinofagia.
d. Riwayat kesehatan dahulu
1) Penyakit gastrointestinal lain
2) Obat-obatan yang mempengaruhi asam lambung
3) Alergi/reaksi respon imun
e. Riwayat penyakit keluarga
f. Pola Fungsi Keperawatan
1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena nyeri di daerah epigastrium, seperti terbakar.
Data obyektif :
Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran.
Tidak terjadi perubahan tonus otot.
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
Klien mengatakan bahwa ia tidak mengalami demam.
Data Obyektif:
Suhu tubuh normal (36,5-37,5 oC)
Kadar WBC meningkat.
3. Eliminasi
Data Subyektif:
Klien mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.
Data obyektif:
Bising usus menurun (<12x/menit)
4. Makan/ minum
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami mual muntah.
Klien mengatakan tidak nafsu makan.
Klien mengatakan susah menelan.
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Obyektif:
Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan.
5. Sensori neural
Data Subyektif:
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data obyektif:
Status mental baik.
6. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah epigastrium.
P : nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh
cairan refluks.
Q : klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R : klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.
S : klien mengatakan skala nyeri 1-10.
T : klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan
makanan. Nyeri pada dada menetap.
Data Obyektif:
Klien tampak meringis kesakitan.
Klien tampak memegang bagian yang nyeri.
Tekanan darah klien meningkat
Klien tampak gelisah
7. Respirasi
Data Subyektif :
Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
Klien mengatakan mengalami batuk
Data obyektif:
Terlihat ada sesak napas.
Terdapat penggunaan otot bantu napas.
Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada bayi >30 40 x/mnt dan pada anak-anak > 20-26 x/menit.
Klien terlihat batuk.
8. Keamanan
Data Subyektif :
Klien mengatakan merasa cemas
Data obyektif:
Klien tampak gelisah
9. Interaksi sosial
Data Subyektif:
Klien mengatakan suaranya serak
Klien mengatakan agak susah berbicara dengan orang lain karena suaranya tidak jelas terdengar.
Data obyektif:
Suara klien terdengar serak
Suara klien tidak terdengar jelas.
g. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit termasuk ekspresi wajah dan posisi pasien, kesadaran yang dapat meliputi penilaian secara kualitatif seperti compos mentis, apathis, somnolent, sopor, koma dan delirium.
2. Pemeriksaan tanda vital : Meliputi nadi (frekuensi, irama, kualitas), tekanan darah, pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman, pola pernafasan) dan suhu tubuh.
3. Pemeriksaan kulit, rambut dan kelenjar getah bening. Kulit : Warna (meliputi pigmentasi, sianosis, ikterus, pucat, eritema dan lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan ada/tidaknya edema. Rambut : Dapat dinilai dari warna, kelebatan, distribusi dan karakteristik lain. Kelenjar getah bening : Dapat dinilai dari bentuknya serta tanda-tanda radang yang dapat dinilai di daerah servikal anterior, inguinal, oksipital dan retroaurikuler.
4. Pemeriksaan kepala dan leher Kepala : Dapat dinilai dari bentuk dan ukuran kepala, rambut dan kulit kepala, ubun-ubun (fontanel), wajahnya asimetris atau ada/tidaknya pembengkakan, mata dilihat dari visus, palpebrae, alis bulu mata, konjungtiva, sklera, pupil, lensa, pada bagian telinga dapat dinilai pada daun telinga, liang telinga, membran timpani, mastoid, ketajaman pendengaran, hidung dan mulut ada tidaknya trismus (kesukaran membuka mulut), bibir, gusi, ada tidaknya tanda radang, lidah, salivasi. Leher : Kaku kuduk, ada tidaknya massa di leher, dengan ditentukan ukuran, bentuk, posisi, konsistensi dan ada tidaknya nyeri telan
5. Pemeriksaan dada : Yang diperiksa pada pemeriksaan dada adalah organ paru dan jantung. Secara umum ditanyakan bentuk dadanya, keadaan paru yang meliputi simetris apa tidaknya, pergerakan nafas, ada/tidaknya fremitus suara, krepitasi serta dapat dilihat batas pada saat perkusi didapatkan bunyi perkusinya, bagaimana(hipersonor atau timpani), apabila udara di paru atau pleura bertambah, redup atau pekak, apabila terjadi konsolidasi jarngan paru, dan lain-lain serta pada saat auskultasi paru dapat ditentukan suara nafas normal atau tambahan seperti ronchi, basah dan kering, krepitasi, bunyi gesekan dan lain-lai pada daerah lobus kanan atas, lobus kiri bawah, kemudian pada pemeriksaan jantung dapat diperiksa tentang denyut apeks/iktus kordis dan aktivitas ventrikel, getaran bising (thriil), bunyi jantung, atau bising jantung dan lain-lain
6. Pemeriksaan abdomen : data yang dikumpulkan adalah data pemeriksaan tentang ukuran atau bentuk perut, dinding perut, bising usus, adanya ketegangan dinding perut atau adanya nyeri tekan serta dilakukan palpasi pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing yang ditentukan ada tidaknya dan pembesaran pada organ tersebut, kemudian pemeriksaan pada daerah anus, rektum serta genetalianya.
7. Pemeriksaan anggota gerak dan neurologis : diperiksa adanya rentang gerak, keseimbangan dan gaya berjalan, genggaman tangan, otot kaki, dan lain-lain.
J. DIAGNOSA
1. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refluks laring dan glotis terhadap cairan refluks.
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah / pengeluaran yang berlebihan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus.
5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan refluks cairan ke laring dan tenggorokan.
6. Gangguan menelan berhubungan dengan penyempitan/striktur pada esophagus akibat gastroesofageal reflux disease.
7. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit.
K. INTERVENSI
No.
Diagnosa
Perencanaan
Rasional
Kriteria Hasil
Intervensi
1.
Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refleks laring dan glotis terhadap cairan refluks.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam masalah aspirasi pada klien dapat diatasi dengan kriteria hasil:
Status hasil:
Klien dapat bernafas dengan mudah, tidak irama, frekuensi pernafasan normal skala 4
Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampu melakukan oral hygiene skala 4
Jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada suara nafas abnormal skala 4
1. Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan menelan.
2. Naikkan kepala 30-45 derajat setelah makan.
3. Potong makanan kecil kecil.
4. Hindari makan kalau residu masih banyak
1. Meningkatkan ekspansi paru maksimal dan alat pembersihan jalan napas.
2. Meningkatkan pengisian udara seluruh segmen paru, memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
3. Menghindari terjadinya risiko aspirasi yang terlalu tinggi.
4. Dapat membatasi ekspansi gastroesofagus
2.
Defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah / pengeluaran yang berlebihan.
Definisi: penurunan cairan intravaskuler, interstisial dan atau interseluler. Mengarah ke dehidrasi kehilangan cairan dengan pengeluaran sodium.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam, defisit volume cairan pada klien dapat diatasi dengan kriteria hasil:
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia BB, BJ urine normal skala 4
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik dan tidak ada rasa haus yang berlebihan skala 4
Berat badan stabil skala 4
Hematokrit menurun skala 4
Tidak ada ascites skala 4
1. Monitor status hidrasi.
2. Kaji tanda vital, catat perubahan TD, takikardi, turgor kulit dan kelembaban membran mukosa.
3. Berikan cairan tambahan IV sesuai indikasi.
4. Dorong masukan oral bila mampu
1. Perubahan pada kapasitas gaster dan mual sangat mempengaruhi masukan dan kebutuahan cairan, peningkatan risiko dehidrasi.
2. Indikator dehidrasi/hipovolemia, keadekuatan penggantian cairan.
3. Menggantikan kehilangan cairan dan memperbaiki keseimbangan cairan dalam fase segera dan pasien mampu memenuhi cairan per oral.
4. Memungkinkan penghentian tindakan dukungan cairan infasif dan kembali ke normal.
3.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual dan muntah.
Definisi: intake nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolisme tubuh
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam, nutrisi pada klien dapat diatasi dengan kriteria hasil:
Status hasil:
Peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan skala 4
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi skala 4
Tidak ada penurunan berat badan yang berarti skala 4
Mengidentifikasi skala nutrisi skala 4
Stamina dan energi ada skala 4
1. Diskusikan pada pasien makanan yang disukainya dan makanan yang tidak disukainya.
2. Buat jadwal masukan tiap jam. Anjurkan mengukur cairan/makanan dan minum sedikit demi sedikit atau makan secara perlahan.
3. Beritahu pasien untuk duduk saat makan/minum.
4. Tekankan pentingnya menyadari kenyang dan menghentikan masukan.
5. Timbang berat badan tiap hari. Buat jadwal teratur setelah pulang.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi
1. Dengan memilih makanan yang disukai pasien maka selera makan si pasien akan bertambah dan dapat mengurangi rasa mual dan muntah.
2. Setelah tindakan pembagian, kapasitas gaster menurun kurang dari 50 ml, sehingga perlu makan sedikit/sering.
3. Menurunkan kemungkinan aspirasi.
4. Makan berlebihan dapat mengakibatkan mual dan muntah
5. Pengawasan kehilangan dan alat pengkajian kebutuhan nutrisi
6. Perlu bantuan dalam perencanaan diet yang memenuhi kebutuhan nutrisi
4
Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ......x 24 jam, pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
Tanda vital dalam rentang normal
1. Kurangi faktor presipitasi nyeri
2. Tingkatkan istirahat
3. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang, dan antisipasi ketidaknyamanan prosedur.
4. Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi seperti teknik relaksasi nafas dalam, distraksi dan kompres hangat/dingin.
5. Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri
1. Dengan berkurangnya faktor pencetus nyeri maka pasien tidak terlalu merasakan intensitas nyeri.
2. Menurunkan tegangan abdomen dan meningkatkan rasa kontrol.
3. Pemberian informasi yang berulang dapat mengurangi rasa kecemasan pasien terhadap rasa nyerinya.
4. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping.
5. Perlu penanganan obat untuk memudahkan istirahat adekuat dan penyembuhan
5
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan refluks cairan ke laring dan tenggorokan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ......x 24 jam klien dapat menunjukkan kriteria hasil:
Status hasil:
jalan nafas yang paten (tidak tercekik, irama nafas dan pola nafas dalam rentang normal) skala 4
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
3. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
1. Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
2. Fisioterapi dada dapat mengeluarkan sisa sekret yang masih tertinggal.
3. Keseimbangan akan stabil apabila antara pemasukan dan pengeluaran diatur
6.
Gangguan Menelan berhubungan dengan penyempitan/strikture pada esophagus akibat gastroesophegal reflux disease
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam maka gangguan menelan pada klien dapat diatasi dengan kriteria hasil:
Status hasil:
Klien dapat menelan makanan dengan sempurna skala 4
1. Bantu pasien dengan mengontrol kepala
2. Letakkan pasien pada posisi duduk/tegak selama dan setelah makan.
3. Berikan makan perlahan pada lingkungan yang tenang
1. Menetralkan hiperekstensi , membantu mencegah aspirasi dan meningkatkan kemampuan untuk menelan.
2. Menggunakan gravitasi untuk memudahkan proses menelan.
3. Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adnya gangguan distraksi dari luar
7.
Ansietas berhubungan dengan proses penyakit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam, ansietas pada klien dapat diatasi dengan kriteria hasil:
Menyingkirkan tanda kecemasan skala 4
Merencanakan strategi koping skala 4
Intensitas kecemasan
skala4
Mencari informasi untuk menurunkan cemas skala 4
1. Dorong pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan.
2. Berikan informasi yang dapat dipercaya dan konsisten dan dukungan untuk orang terdekat.
3. Tingkatkan rasa tenang dan lingkungan tenang.
4. Pertahankan kontak sering dengan pasien, bicara dengan menyentuh bila tepat.
1. Memberikan kesempatan untuk memeriksa rasa takut realistis serta kesalahan konsep tentang diagnosis.
2. Memungkinkan untuk interaksi interpersonal lebih baik dan menurunkan rasa ansietas dan rasa takut.
3. Memudahkan istirahat, menghemat energi dan meningkatkan kemampuan koping.
4. Memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri atau ditolak, mengembangkan kepercayaan.
L. Evaluasi
a. Risiko aspirasi pada klien dapat diatasi
b. Defisit volume cairan dapat diatasi.
c. Ketidakseimbangan nutrisi pada pasien GERD dapat ditangani.
d. Nyeri akut pada pasien dapat diatasi.
e. Bersihan jalan nafas efektif.
f. Gangguan menelan pada klien dapat diatasi
g. Ansietas pada pasien dapat diatasi.
BAB III
A. KESIMPULAN
1. Gastroesofageal reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi dimana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi, dan komplikasi. Manifestasi klinis GERD meliputi gejala tipikal (esofagus) dan atipikal (ekstraesofagus). Faktor yang berperan untuk terjadinya GERD yaitu mekanisme antirefluks, kandungan cairan lambung, mekanisme bersihan oleh esofagus, dan resistensi sel epitel esofagus. Untuk menegakkan diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan analisa gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya endoskopi, radiologi, pengukuran pH, tes perfusi Berstein, tes gastro-esophageal scintigraphy.
Komplikasi penyakit GERD diantaranya Esofagus barret, esofagitis ulseratif, perdarahan, striktur esofagus, dan aspirasi. GERD merupakan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Pengobatan yang dapat diberikan pada klien GERD meliputi modifikasi gaya hidup, terapi endoskopi, terapi medikamentosa, dan terapi komplikasi.
2. Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada klien dengan GERD yaitu :
a. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refluks laring dan glotis terhadap cairan refluks.
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah / pengeluaran yang berlebihan.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus.
e. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan refluks cairan ke laring dan tenggorokan.
f. Gangguan menelan berhubungan dengan penyempitan/striktur pada esophagus akibat gastroesofageal reflux disease.
g. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit.
B. SARAN
1. Individu yang mengalami keluhan-keluhan refluks gastroesofagus perlu mencari pengobatan sedini mungkin sehingga keluhan berat dan komplikasi dapat dicegah.
2. Bagi tenaga kesehatan maupun tenaga pengajar perlu memberikan sumbangsih penelitian maupun referensi mengenai penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) mengingat sedikit dijumpai referensi penunjang mengenai penyakit ini.
3. Makalah ini dapat digunakan sebagai penunjang mahasiswa keperawatan ketika praktik di klinik dan sebaiknya perlu disempurnakan lagi dengan referensi yang terbaru.
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara : Fakultas Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux Disease (GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI.
Sujono, Hadi. 2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks Gastroesofagus. Jakarta : FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis. PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September - November 2009.
Penyebab Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)
inShare 1
Oleh Dr Ananya Mandal, MD
GERD atau Gastro-esophageal reflux disease adalah salah satu masalah pencernaan yang paling umum di seluruh dunia. Hampir 1 dari 5 orang akan memiliki gejala setiap kali dalam setahun dan 1 dari 10 akan menderita gejala of the kondisi secara teratur atau setiap hari. Usia pasien, gejala memburuk. Gejala ini juga lebih buruk di wanita hamil, perokok, obesitas dan kelebihan berat badan individu. 1-6
Lebih rendah esophageal sphincter (LES) otot
Dalam kebanyakan kasus gastro-esophageal reflux disease (GERD) dikatakan menyebabkan jika ada masalah dengan lebih rendah esophageal sphincter (LES) otot.
LES ditempatkan di ujung bawah esofagus mana kemudian bergabugn perut. Esofagus adalah tabung otot yang kontrak dan mendorong makanan ke perut. Gerakan ini makanan ke dalam perut memerlukan pembukaan sphincter.
Setelah tangan makanan didorong ke dalam perut sphincter tegas menutup lagi untuk menghentikan isi perut dari bergerak mundur ke dalam kantung. Cara ini LES bertindak sebagai katup.
Pada pasien dengan GERD LES menjadi lemah dan memungkinkan beberapa isi perut dan asam meresap kembali ke dalam kerongkongan. Hal ini menyebabkan gejala mulas dan dada sakit pada pasien dengan GERD.
Penyebab tepat melemahnya LES tidak diketahui namun ada sejumlah faktor-faktor risiko yang mungkin mengakibatkan kondisi ini.
Faktor-faktor risiko untuk GERD
Faktor-faktor risiko yang mengakibatkan GERD termasuk kehamilan, obesitas, diet lemak tinggi dan sebagainya.
Kehamilan dan GERD
Wanita hamil berada pada risiko GERD. Itu adalah menemukan bahwa perubahan dalam tingkat hormon selama kehamilan, terutama kenaikan tingkat progesteron, dapat melemahkan LES.
Selain itu, karena pertumbuhan janin tekanan ke atas pada perut naik. Ini mungkin mendorong isi perut ke esofagus.
Orang-orang yang kelebihan berat badan dan gemuk dan GERD
Karena peningkatan tekanan pada LES dan perut mungkin ada gejala GERD di individu. Ini peningkatan tekanan juga melemahkan LES.
Diet tinggi lemak dan GERD
Orang-orang diet lemak tinggi juga dapat mengembangkan GERD. Lemak di perut memakan waktu lama untuk dicerna dan pindah ke dalam usus. Hal ini menyebabkan stagnasi makanan di perut. Ini meningkatkan tekanan ternyata mundur dan mungkin melemahkan LES.
Tembakau, alkohol dan kafein dan GERD
Merokok tembakau, alkohol, kafein mengandung produk, seperti kopi atau cokelat, semua santai dan melemahkan LES menuju gejala GERD.
Stres dan marah emosional dan GERD
Stres dan gangguan emosional adalah penyebab untuk melemahnya LES menuju gejala GERD.
Pasien dengan hiatus hernia dan GERD
Pada pasien dengan hiatus hernia ada risiko GERD. Ini adalah suatu kondisi di mana bagian perut mendorong melalui diafragma, yang lapisan otot yang memisahkan rongga dada dari rongga perut. Biasanya di bagian bawah esofagus melewati sebuah lubang di diafragma ini. Pada pasien dengan hiatus hernia lubang ini diperbesar dan bagian perut mendorong ke dalam rongga dada.
Pasien dengan gastroparesis dan GERD
Pada pasien dengan gastroparesis, di mana perut berlangsung lebih lama untuk membuang perut asam, asam dapat meresap kembali ke dalam kerongkongan yang menyebabkan gejala GERD.
Ini terlihat pada pasien dengan diabetes. Penderita diabetes mempunyai gula darah tinggi yang dapat merusak syaraf yang mengendalikan otot-otot perut dan kerongkongan.
Obat-obatan dan GERD
Beberapa obat dapat juga menyebabkan gejala GERD. Ini dapat bersantai LES atau dapat meningkatkan sekresi asam lambung. Mereka termasuk:
saluran kalsium Blocker (misalnya, Amlodipine, dll Nifedipine digunakan dalam kontrol tekanan darah tinggi)
Penghilang rasa sakit atau steroid anti-inflammatory drugs obat (NSAID seperti Ibuprofen
antidepresan (inhibitor serotonin selektif reuptake SSRI misalnya Fluoxetine, Paroxetine dll.)
tricyclic antidepresan (misalnya Amitriptyline), anticholinergics, Kortikosteron (misalnya Prednisolon)
bifosfonat (digunakan dalam penyakit tulang seperti osteoporosis) nitrat (digunakan dalam perawatan sakit angina atau dada)
Faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko GERD
Faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko GERD gejala termasuk:
mengenakan pakaian ketat
memiliki besar makanan memiliki buah jeruk (jeruk, jeruk atau jus cranberry) bawang putih lada hitam dan bawang Mint perasa makanan pedas tomat berbasis makanan, seperti saus spaghetti, salsa, cabai, dan pizza dll.
Kondisi penyakit yang meningkatkan risiko GERD termasuk sklerosis sistemik, esofagus dysmotility, skleroderma, penurunan produksi salivary dll.
Ditinjau oleh April Cashin-Garbutt, BA Hons (Cantab)
http://www.news-medical.net/health/Causes-of-Gastro-Esophageal-Reflux-Disease-%28GERD%29-%28Indonesian%29.aspx
Muhammad Begawan Bestari
Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
ABSTRAK
Penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease, GERD) kurang umum dijumpai dan derajat keparahan endoskopiknya lebih ringan di Asia dibandingkan di negara-negara Barat. Namun, data saat ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan frekuensi penyakit tersebut di Asia. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas. Sementara itu, tidak terdapat pemeriksaan baku emas untuk diagnosis penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD) dan diagnosisnya mengandalkan gejala atau respons terhadap pengobatan proton pump inhibitor (PPI). Sasaran pengobatan GERD adalah menyembuhkan esofagitis, memperingan gejala, mempertahankan pasien tetap bebas gejala, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah komplikasi. Hingga saat ini, PPI merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif. Sesudah pengobatan awal, terapi on-demand dapat efektif pada beberapa pasien penderita NERD atau esofagitis erosif ringan. Bedah anti-refluks oleh dokter bedah yang kompeten dapat membuahkan hasil-akhir yang sama,
dengan mortalitas operatif sebesar 0,1 – 0,8%. Keputusan bergantung pada pilihan pasien dan ketersediaan dokter bedah yang berpengalaman. Pada penderita GERD yang tidak mengeluhkan gejala peringatan (alarm symptoms) saat pemeriksaan di layanan primer, pengobatan dapat dimulai dengan PPI dosis standar selama 2 minggu. Bila responsnya sesuai, PPI dilanjutkan selama 4 minggu sebelum masuk ke terapi on-demand.
Kata kunci: GERD, PPI, terapi on-demand, endoskopi
Pendahuluan
Berdasarkan data epidemiologis, prevalensi GERD di Asia sekitar 2-5% dan esofagitis endoskopik sebesar 2-5%, lebih rendah dibandingkan prevalensi di negara-negara 1-3 Barat. Derajat keparahan GERD di Asia-
Pasifik cenderung lebih ringan, dan secara endoskopik normal (non-erosive reflux disease, NERD); kalaupun didapatkan gambaran esofagitis, sebagian besar kasus (90%) merupakan esofagitis Los Angeles (LA) 3 grade A atau B. Esofagus Barrett, striktur esofagus, atau adenokarsinoma esofagus juga lebih jarang ditemukan pada pasien di Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat. Sebaliknya, prevalensi infeksi Helicobacter pylori di Asia (30-60%) lebih tinggi dibandingkan di negara Barat.
GERD harus dibedakan dari penyakit saluran cerna atas yang terkait H. pylori, terutama ulkus peptikum dan kanker lambung.
Definisi
Berdasarkan Genval Workshop, definisi pasien GERD adalah semua individu yang terpapar risiko komplikasi fisik akibat refluks gastroesofageal, atau mereka yang mengalami gangguan nyata terkait dengan kesehatan (kualitas hidup) akibat gejala-gejala yang terkait dengan refluks. Secara sederhana, definisi GERD adalah gangguan berupa regurgitasi isi lambung yang menyebabkan heartburn dan gejala lain.
Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis erosif ), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas.
Yang kedua adalah penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan gejala-gejala refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat pemeriksaan endoskopi saluran cerna.
Saat ini, telah diusulkan konsep yang membagi GERD menjadi tiga kelompok, yaitu penyakit refluks non-erosif, esofagitis erosif, dan esofagus Barrett.
Patogenesis
Tidak ada korelasi antara infeksi H. pylori dan GERD. Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa infeksi H. pylori mempunyai peran patogenik langsung terhadap kejadian GERD.
Tidak terdapat korelasi antara infeksi H. pylori dan esofagitis, tetapi infeksi galur (strain) beruvirulen organisme tersebut, yang ditandai oleh CagA positif, berbanding terbalik dengan esofagitis, esofagus Barrett (dengan atau tanpa displasia) dan adenokarsinoma esofagus. Setiap pengaruh infeksi H. pylori pada GERD terkait dengan gastritis yang ditimbulkannya dan efeknya pada sekresi asam lambung. Efek eradikasi H. pylori pada gejala refluks dan GERD bergantung pada dua faktor: (i) distribusi anatomis gastritis; dan (ii) ada tidaknya GERD sebelumnya
Diagnosis
Adanya gejala klasik GERD (heartburn danregurgitasi), yang ditemukan melalui anamnesis yang cermat, merupakan patokan diagnosis. Pada beberapa pasien, GERD perlu dibedakan dari kondisi lain, misalnya penyakit traktus bilier dan penyakit arteri koroner. Pemeriksaan barium tidak dapat menegakkan diagnosis GERD. Sekitar 50% pasien GERD simtomatik memperlihatkan hasil pH-metri yang normal, sementara hanya 25% penderita esofagitis erosif dan 7% penderita esofagus Barrett yang menunjukkan hasil pH-metri normal. Pemeriksaan endoskopi pada esofagitis erosif menurut klasifikasi LA mempunyai korelasi positif yang bermakna dengan pH-metri esofagus 24-jam dan gejala-gejala klinisnya.
Tes PPI
Beberapa uji klinis prospektif terkontrol meneliti penggunaan empiris PPI untuk GERD. Tes PPI adalah pengobatan PPI selama 2 minggu pada pasien yang mempunyai gejala GERD atau pasien yang mempunyai
manifestasi GERD atipikal/ekstraesofageal.
Dalam tes ini, PPI diberikan dua kali sehari; sensitivitas tes PPI sebesar 68- 80% untuk diagnosis GERD. Dari penelitian di Asia, terungkap bahwa 93% penderita yang mempunyai gejala GERD tipikal dan endoskopinya normal ternyata responsif terhadap terapi PPI selama 2 10 minggu tersebut.
Tes PPI merupakan sebuah modalitas diagnostik yang bermanfaat, tetapi perlu diingat bahwa respons positif terhadap tes PPI tidak selalu sebanding dengan diagnosis GERD, begitu juga respons negatif tidak serta merta dapat menyingkirkan diagnosis GERD.
Gejala Peringatan (Alarm Symptoms)
Endoskopi saluran cerna atas pada pasien dengan gejala heartburn atau regurgitasi bukan keharusan bagi pasien GERD, mengingat lebih dari 90% pasien GERD di Asia tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan endoskopi (endoscopic-negative). Selain itu, karena mahalnya biaya pemeriksaan dan tidak semua daerah memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna atas, penggunaan endoskopi sebagai modalitas diagnostik masih terbatas di Indonesia. Setelah diagnosis klinis ditegakkan, PPI dosis standar dapat diberikan selama 1 atau 2 mingu (tes PPI) pada penderita dengan gejala yang tipikal. Tes PPI bersifatsensitif dan spesifik untuk mendiagnosis GERD yang mempunyai gejala tipikal; strategi ini dapat menghemat biaya secara nyata dan mengurangi penggunaan tes diagnostik yang invasif. Jika responsnya sesuai, pasien harus melanjutkan pengobatansedikitnya selama 4 minggu. Setelah itu, direkomendasikan untuk memberikan terapi on-demand mengingat sebagian besar pasien di Asia tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan endoskopi.
Pasien harus dirujuk untuk menjalankan pemeriksaan endoskopi saluran cerna jika tidak responsif terhadap PPI, mengalami relaps berulang, gejala atipikal, gejala berat, atau gejala peringatan (alarm symptoms). Gejala peringatan untuk rujukan dini endoskopi saluran cerna atas meliputi penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena, riwayat kanker lambung dan/ atau esofagus dalam keluarga, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid, disfagia progresif, odinofagia, dan usia >40 tahun di daerah prevalensi tinggi kanker lambung.
Penatalaksanaan
• Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup tidak direkomendasikan sebagai pengobatan primer GERD. Penelitian objektif belum memperlihatkan bahwa alkohol, diet, dan faktor psikologis berperan signifikan dalam GERD. Modifikasi gaya hidup dapat mengurangi episode refluks individual; pasien yang mengalami eksaserbasi gejala refluks yang berhubungan dengan makanan atau minuman tertentu dapat direkomendasikan untuk menghindari makanan atau minuman bersangkutan. Sebuah
penelitian observasional menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko independen GERD simtomatik. Merokok terkait dengan peningkatan pajanan asam pada esofagus (berdasarkan pemeriksaan pH-metri). Namun, tidak terdapat penelitian intervensional yang menunjang penghentian merokok sebagai terapi primer GERD
Penelitian observasional lain memperlihatkan secara konsisten bahwa obesitas merupakan salah satu faktor risiko GERD. Namun, dari sebuah penelitian yang menggunakan kontrol, belum terbukti bahwa penurunan berat badan dapat memperingan gejala menyebabkan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah ataupun
mengurangi pajanan asam pada esofagus.
• Terapi Medikamentosa
Sasaran pengobatan GERD adalah menyembuhkan esofagitis, meringankan gejala, mempertahankan remisi, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah komplikasi. Terapi medikamentosa untuk memperingan gejala GERD mencakup pemberian antasida, prokinetik, H2-receptor antagnists (H2-RA), dan PPI. Untuk mengontrol gejala dan penyembuhan esofagitis pada GERD erosif, saat ini PPI merupakan pilihan yang paling efektif. Hanya satu penelitian yang memperlihatkan bukti efikasi antasida dalam pengobatan GERD. Uji klinik yang menilai efikasi famotidine, cimetidine, nizatidine, dan ranitidine memperlihatkan bahwa H2-
RA lebih efektif dibanding plasebo dalam meringankan gejala GERD derajat ringan sampai sedang, dengan tingkat respons 18-20 60% - 70%. Uji klinik PPI jangka pendek memperlihatkan penyembuhan yang lebih cepat dan perbaikan heartburn dibandingkan H2-RA atau prokinetik pada penderita esofagitis erosif. Di antara berbagai PPI, pemberian omeprazole, lansoprazole, pantoprazole, dan rabeprazole dosis standar menghasilkan kecepatan penyembuhan dan remisi yang sebanding pada kasus esofagitis erosif. Proton pump
inhibitor juga efektif pada penderita esofagitis refluks yang resisten terhadap H2-RA. Dari penelitian jangka panjang (sampai 11 tahun), penggunaan PPI relatif aman; insidens gastritis atrofik sebesar 4,7% pada pasien H. pylori-positif dan 0,7% pada pasien H. pylori-negatif, serta tidak ditemukan displasia ataupun neoplasma.
Atas dasar efikasi dan kecepatan perbaikan gejala, PPI dosis standar dapat diberikan untuk pengobatan awal GERD erosif. Bedah Anti-refluks Pembedahan, yaitu dengan funduplikasi, merupakan salah satu alternatif terapi di samping terapi medikamentosa dalam upaya meringankan gejala dan menyembuhkan
esofagitis. Namun, morbiditas dan mortalitas pasca-operasi bergantung pada keterampilan dokter bedah. Karena itu, pilihan antara terapi medikamentosa dan tindakan bedah berpulang pada keputusan pasien maupun ketersediaan dokter bedah.
Simpulan
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) merupakan kondisi yang insidensnya makin meningkat di Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya walaupun sebagian besar pasien di Asia hanya mengalami NERD atau esofagitis erosif ringan (grade LA A atau B). Patofisiologi GERD perlu dimengerti lebih baik lagi. Pengobatan harus diarahkan pada faktor etiologi dan mekanisme patofisiologi, bukan pada pengontrolan gejala.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kang JY, Ho KY. Different prevalences of reflux oesophagitis and hiatus hernia among dyspeptic patients in England and Singapore. Eur J Gastroenterol Hepatol.
1999;11(8):845-50.
2. Goh KL, Chang CS, Fock KM, Ke M, Park HJ, Lam SK. Gastro-oesophageal reflux disease in Asia. J Gastroenterol Hepatol. 2000;15(3):230-8.
3. Wong WM, Lam SK, Hui WM, et al. Long-term prospective follow-up of endoscopic oesophagitis in southern Chinese--prevalence and spectrum of the disease. Aliment
Pharmacol Ther. 2002;16(12):2037-42.
4. An evidence-based appraisal of reflux disease management--the Genval Workshop Report. Gut 1999;44 Suppl 2:S1-16.
5. Fock KM, Talley N, Hunt R, et al. Report of the Asia-Pacific consensus on the management of gastroesophageal reflux disease. J Gastroenterol Hepatol. 2004;19(4):357-67.
6. Martinez SD, Malagon IB, Garewal HS, Cui H, Fass R. Non-erosive reflux disease (NERD)-acid reflux and symptom patterns. Aliment Pharmacol Ther. 2003;17(4):537-45.
7. Lundell LR, Dent J, Bennett JR, et al. Endoscopic assessment of oesophagitis: clinical and functional correlates and further validation of the Los Angeles classification. Gut
1999;45(2):172-80.
8. Kahrilas PJ. Diagnosis of symptomatic gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2003;98(3 Suppl):S15-23.
9. Fass R, Ofman JJ, Gralnek IM, et al. Clinical and economic assessment of the omeprazole test in patients with symptoms suggestive of gastroesophageal reflux disease.
Arch Intern Med. 1999;159(18):2161-8.
10. Wu WC. Ancillary tests in the diagnosis of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterol Clin North Am. 1990;19(3):671-82.
11. Vicari JJ, Peek RM, Falk GW, et al. The seroprevalence of cagA-positive Helicobacter pylori strains in the spectrum of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology
1998;115(1):50-7.
12. Laheij RJ, Van Rossum LG, De Boer WA, Jansen JB. Corpus gastritis in patients with endoscopic diagnosis of reflux oesophagitis and Barrett's oesophagus. Aliment
Pharmacol Ther. 2002;16(5):887-91.
13. Schwizer W, Thumshirn M, Dent J et al. Helicobacter pylori and symptomatic relapse of gastro-oesophageal reflux disease: a randomised controlled trial. Lancet
2001;357(9270):1738-42.
14. Locke GR, 3rd, Talley NJ, Fett SL, Zinsmeister AR, Melton LJ, 3rd. Risk factors associated with symptoms of gastroesophageal reflux. Am J Med. 1999;106(6):642-9.
15. Pandolfino JE, Kahrilas PJ. Smoking and gastro-oesophageal reflux disease. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2000;12(8):837-42.
16. Kjellin A, Ramel S, Rossner S, Thor K. Gastroesophageal reflux in obese patients is not reduced by weight reduction. Scand J Gastroenterol. 1996;31(11):1047-51.
17. Weberg R, Berstad A. Symptomatic effect of a low-dose antacid regimen in reflux oesophagitis. Scand J Gastroenterol. 1989;24:401–6.
18. Paul K, Redman CM, Chen M. Effectiveness and safety of nizatidine, 75 mg, for the relief of episodic heartburn. Aliment Pharmacol Ther. 2001;15(10):1571-7.
19. Ciociola AA, Pappa KA, Sirgo MA. Nonprescription doses of ranitidine are effective in the relief of episodic heartburn. Am J Ther. 2001;8(6):399-408.
20. Galmiche JP, Shi G, Simon B, Casset-Semanza F, Slama A. On-demand treatment of gastro-oesophageal reflux symptoms: a comparison of ranitidine 75 mg with cimetidine
200 mg or placebo. Aliment Pharmacol Ther. 1998;12(9):909-17.
21. Chiba N, De Gara CJ, Wilkinson JM, Hunt RH. Speed of healing and symptom relief in grade II to IV gastroesophageal reflux disease: a meta-analysis. Gastroenterology
1997;112(6):1798-810.
22. Klok RM, Postma MJ, van Hout BA, Brouwers JR. Meta-analysis: comparing the efficacy of proton pump inhibitors in short-term use. Aliment Pharmacol Ther.
2003;17(10):1237-45.
23. DeVault KR, Castell DO. Guidelines for the diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux disease. Practice Parameters Committee of the American College of
Gastroenterology. Arch Intern Med. 1995;155(20):2165-73.
ASKEP GASTREOFAGUS Diposkan oleh exka saputra Kamis, 18 Oktober 2012
BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Refluks gastroesofagus merupakan kembalinya isi lambung ke esophagus atau lebih proksimal. Isi
lambung tersebut dapat berupa asam lambung, udara maupun makanan (Resto, 2000). Refluks
gastroesofagus merupakan aliran balik isi lambung atau duodenum ke dalam esophagus.
Esofagus adalah saluran yang menghubungkan mulut ke lambung. Otot berbentuk cincin di bagian
bawah esophagus (spinkter esophagus bawah) membuka dan menutup agar makanan masuk ke dalam
lambung. Spinkter ini membuka agar udara dapat keluar setelah makanan masuk. Ketika spinkter
membuka, isi lambung masuk ke dalam esophagus, dan dapat keluar dari rongga mulut, menyebabkan
regurgitasi (aliran balik), meludah dan muntah.
B. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi :
1. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun. Disebabkan karena kemampuan esofagus untuk
membersihkan asam tersebut menurun, sedangkan asam semakin meningkat.
2. Gangguan fungsi (relaksasi sementara LES (Lower Esophageal Sphincter)) atau mekanikal (penurunan
tekanan LES) menyebabkan peningkatan refluks gastroesofagus.
3. Komponen makanan (misalnya : kafein, alcohol), obat-obatan dapat menurunkan tekanan LES
4. Kegemukan, merupakan factor penting yang mengontribusi refluks gastroesofagus yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan intraabdomen.
5. Usia, meskipun refluks gastroesofagus dapat terjadi pada semua usia, tetapi pada usia lanjut kondisi
refluks gastroesofagus meningkat seiring dengan penurunan tekanan LES.
C. Patofisiologi
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan
makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esophagus bawah dalam keadaan relaksasi atau
melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan
lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai
esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap
berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus
atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring,
mulut atau nasofaring. Secara ringkas dapat dilihat pada skema di bawah ini
mulut
laring
Ditelan kembali
muntah
Lumen trakeobronkial
Hidung
SEA terbuka
Peristaltik mengembalikannya ke lambung
Lumen esofagus
SEA tertutup
Tekanan
SEB inadekuat
Isi lambung
D. Manifestasi klinis
Gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus
gastrointestinal, antara lain:
1. Rasa panas di dada (heart burn). Heartburn adalah gejala khas yang paling umum dari GERD. Hal ini
dirasakan sebagai sensasi retrosternal pembakaran atau ketidaknyamanan yang biasanya terjadi setelah
makan atau ketika berbaring terlentang atau membungkuk. Timbulnya keluhanini akibat ransangan
kemoreseptor (bagian yang berfungsi untuk menangkap rangsangan kimia yang larut pada air) pada mukosa.
2. Sendawa, dikarenakan isi lambung yang keluar itu berupa udara.
3. Mual, dikarenakan lambung yang terlalu terisi penuh, sehingga gerak peristaltic lambung tidak dapat
bekerja secara maksimal.
4. Muntah, dikarenakan tekanan SEB (Spinkter Esofagus Bawah) mengalami penurunan. Sehingga makanan
yang tadinya berada di lambung keluar melalui mulut.
5. Disfagia yaitu gangguan menelan bisa disebabkan oleh paresis saraf pasialis atau saraf hipoglosus
dimana makanan sukar dipindah-pindahkan.
6. Odinofagia yaitu kondisi nyeri akut saat menelan, disebabkan karena radang esofagus atau esofagitis.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien dengan
dugaan PRGE (Penyakit Refluks Gastro Esofagus). Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai
kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi.
Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan (dilatasi
endoskopi).
2. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium secara spontan pada
pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan
dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.
3. Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus terhadap asam.
Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCl 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein yang negatif
tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi
asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan dosis 80 µg/kg
berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak
peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri dada asal esofagus.
4. Pengukuran pH dan tekanan esofagus
Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE (Refluks Gastro
Esofagus), pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB (Spinkter Esofagus Bawah) dianggap diagnostik
untuk RGE. Cara lain untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat
yang mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik
esofagus. Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga
dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes
tersebut dianggap sebagai gold standar untuk memastikan adanya PRGE.
5. Tes PPI (proton pump inhibitor)
Golongan obat ini menyupresi produksi asam lambung dengan menghambat molekul di kelenjar
lambung yang bertanggung jawab menyekresi asam lambung, biasa disebut pompa asam lambung
(Lowe, 2004)
6. Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya non invasif
(Djajapranata, 2001).
7. Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi, dan
striktur (penyempitan).
F. Penatalaksanaan
Pengobatan penderita PRGE terdiri dari :
1. Tahap I
Bertujuan untuk mengurangi refluks, menetralisasi bahan refluks, memperbaiki barrier anti refluks dan
mempercepat proses pembersihan esophagus dengan cara :
a. Posisi kepala atau ranjang ditinggikan (6-8 inci)
b. Diet dengan menghindari makanan tertentu seperti makanan berlemak, berbumbu, asam, coklat,
alkohol, dll.
c. Menurunkan berat badan bagi penderita yang gemuk
d. Jangan makan terlalu kenyang
e. Jangan segera tidur setelah makan dan menghindari makan malam terlambat
f. Jangan merokok dan hindari obat-obat yang dapat menurunkan SEB (Spinkter Esofagus Bawah) seperti
kafein, aspirin, teofilin, dll.
2. Tahap II
Menggunakan obat-obatan, seperti :
a. Obat prokinetik yang bersifat mempercepat peristaltik dan meninggikan tekanan SEB, misalnya
Metoklopramid : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur dan Betanekol : 0,1 mg/kgBB
2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur.
b. Obat anti-sekretorik untuk mengurangi keasaman lambung dan menurunkan jumlah sekresi asam
lambung, umumnya menggunakan antagonis reseptor H2 seperti Ranitidin : 2 mg/kgBB 2x/hari,
Famotidin : 20 mg 2x/hari atau 40 mg sebelum tidur (dewasa), dan jenis penghambat pompa ion
hidrogen seperti Omeprazole: 20 mg 1-2x/hari untuk dewasa dan 0,7 mg/kgBB/hari untuk anak.
c. Obat pelindung mukosa seperti Sukralfat: 0,5-1 g/dosis 2x sehari, diberikan sebagai campuran dalam 5-
15 ml air.
d. Antasida
Dosis 0,5-1 mg/kgBB 1-2 jam setelah makan atau sebelum tidur, untuk menurun-kan refluks asam
lambung ke esofagus.
3. Tahap III
Pembedahan anti refluks pada kasus-kasus tertentu dengan indikasi antara lain mal-nutrisi berat, PRGE
persisten, dll. Operasi yang tersering dilakukan yaitu fundo-plikasi Nissen, Hill dan Belsey. yaitu dibuat
semacam katup buatan pada pertemuan gastro-esofagus dengan menutup atau merajut fundus gaster
di sekitar bagian bawah esofagus.
G. Komplikasi
Komplikasi PRGE antara lain:
1. Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik. Barrett esophagus
disebabkan oleh gastro-esofagus penyakit refluks yang memungkinkan isi perut untuk merusak sel-sel
yang melapisi esophagus bagian bawah
2. Perdarahan saluran cerna akibat iritasi mukosa (selaput lendir).
3. Striktur esophagus. Striktur esofagus merupakan penyempitan lumen esofagus yang dapat
menyebabkan keluhan disfagia. Berdasarkan etiologinya, striktur esofagus dibedakan menjadi striktur
esofagus benigna dan maligna. Striktur esofagus benigna disebabkan oleh GERD, zat korosif, web,
radiasi, post anastomosis esofagus, sedangkan striktur esofagus maligna disebabkan oleh keganasan
baik dari dalam maupun dari luar esofagus
4. Aspirasi yaitu masuknya cairan atau isi lambung ke dalam saluran nafas yang menyebabkan sesak nafas.
5. Esofagitis yaitu radang esophagus. Hal ini disebabkan karena isi lambung yang keluar adalah asam
lambung. Dimana asam ini akan merusak mukosa esophagus dan memberikan gejala klinis.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Keluhan utama
a. Keluhan pirosis (nyeri dengan sensasi terbakar pada esophagus)
b. Dispepsia atau indigesti (makanan tidak terurai menjadi serpihan kecil atau molekul sehingga sulit
digerakkan ke sepanjang saluran pencernaan.
c. Disfagia (gangguan menelan). Tentukan berapa lama keluhan muncul dan apakah disertai dengan
penurunan berat badan.
d. Odinofagia (nyeri saat menelan)
e. Regugirtasi (aliran balik). Keluhan material esophagus masuk ke dalam jalan napas.
2. Pengkajian psikologis
Sering didapatkan kecemasan akan kondisi yang dialami. Perawat juga mengkaji factor yang dapat
menurunkan atau menambah keluhan. Kaji mengenai pengetahuan pasien bagaimana cara pasien untuk
menurunkan keluhan, apakah dengan mengobati sendiri atau meminta pertolongan kesehatan.
3. Tanda-tanda vital
Meliputi pemeriksaan :
a. Tekanan darah : sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi, dan kondisi patologis.
b. Respiratory rate
4. Pola Fungsi Keperawatan
a. Aktivitas dan istiraha
Data Subyektif:
Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena nyeri di daerah epigastrium, seperti terbakar.
Data obyektif :
Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran.
Tidak terjadi perubahan tonus otot.
b. Eliminasi
Data Subyektif:
Klien mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.
Data obyektif:
Bising usus menurun (<12x/menit)
c. Makan/ minum
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami mual muntah.
Klien mengatakan tidak nafsu makan.
Klien mengatakan susah menelan.
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Obyektif:
Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan.
d. Sensori neural
Data Subyektif:
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data obyektif:
Status mental baik.
e. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah dada.
P : nyeri terjadi akibat adanya peradangan pada esofagus (esofagitis).
Q : klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R : klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah dada.
S : klien mengatakan skala nyeri 8 (1-10).
T : klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan makanan. Nyeri pada dada menetap.
Data Obyektif:
Klien tampak meringis kesakitan.
Klien tampak memegang bagian yang nyeri.
Tekanan darah klien meningkat
Klien tampak gelisah
f. Respirasi
Data Subyektif :
Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
Klien mengatakan mengalami batuk
Data obyektif:
Terlihat ada sesak napas.
Terdapat penggunaan otot bantu napas.
Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada bayi >30 4 x/mnt
dan pada anak-anak > 20-26 x/menit.
Klien terlihat batuk.
g. Keamanan
Data Subyektif :
Klien mengatakan merasa cemas
Data obyektif:
Klien tampak gelisah
h. Interaksi sosial
Data Subyektif:
Klien mengatakan suaranya serak
Klien mengatakan agak susah berbicara dengan orang lain karena
suaranya tidak jelas terdengar.
Data obyektif:
Suara klien terdengar serak
Suara klien tidak terdengar jelas.
i. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit termasuk ekspresi wajah dan
posisi pasien, kesadaran yang dapat meliputi penilaian secara kualitatif seperti compos mentis, apathis,
somnolent, sopor, koma dan delirium.
2. Pemeriksaan tanda vital : Meliputi nadi (frekuensi, irama, kualitas), tekanan darah, pernafasan
(frekuensi, irama, kedalaman, pola pernafasan) dan suhu tubuh.
3. Pemeriksaan kulit, rambut dan kelenjar getah bening. Kulit : Warna (meliputi pigmentasi, sianosis,
ikterus, pucat, eritema dan lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan ada/tidaknya edema. Rambut : Dapat
dinilai dari warna, kelebatan, distribusi dan karakteristik lain. Kelenjar getah bening : Dapat dinilai dari
bentuknya serta tanda-tanda radang yang dapat dinilai di daerah servikal anterior, inguinal, oksipital dan
retroaurikuler.
4. Pemeriksaan kepala dan leher Kepala : Dapat dinilai dari bentuk dan ukuran kepala, rambut dan kulit
kepala, ubun-ubun (fontanel), wajahnya asimetris atau ada/tidaknya pembengkakan, mata dilihat dari
visus, palpebrae, alis bulu mata, konjungtiva, sklera, pupil, lensa, pada bagian telinga dapat dinilai pada
daun telinga, liang telinga, membran timpani, mastoid, ketajaman pendengaran, hidung dan mulut ada
tidaknya trismus (kesukaran membuka mulut), bibir, gusi, ada tidaknya tanda radang, lidah, salivasi.
Leher : Kaku kuduk, ada tidaknya massa di leher, dengan ditentukan ukuran, bentuk, posisi, konsistensi
dan ada tidaknya nyeri telan
5. Pemeriksaan dada : Yang diperiksa pada pemeriksaan dada adalah organ paru dan jantung. Secara
umum ditanyakan bentuk dadanya, keadaan paru yang meliputi simetris apa tidaknya, pergerakan nafas,
ada/tidaknya fremitus suara, krepitasi serta dapat dilihat batas pada saat perkusi didapatkan bunyi
perkusinya, bagaimana(hipersonor atau timpani), apabila udara di paru atau pleura bertambah, redup
atau pekak, apabila terjadi konsolidasi jarngan paru, dan lain-lain serta pada saat auskultasi paru dapat
ditentukan suara nafas normal atau tambahan seperti ronchi, basah dan kering, krepitasi, bunyi gesekan
dan lain-lai pada daerah lobus kanan atas, lobus kiri bawah, kemudian pada pemeriksaan jantung dapat
diperiksa tentang denyut apeks/iktus kordis dan aktivitas ventrikel, getaran bising (thriil), bunyi jantung,
atau bising jantung dan lain-lain
6. Pemeriksaan abdomen : data yang dikumpulkan adalah data pemeriksaan tentang ukuran atau bentuk
perut, dinding perut, bising usus, adanya ketegangan dinding perut atau adanya nyeri tekan serta
dilakukan palpasi pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing yang ditentukan ada tidaknya dan
pembesaran pada organ tersebut, kemudian pemeriksaan pada daerah anus, rektum serta genetalianya.
7. Pemeriksaan anggota gerak dan neurologis : diperiksa adanya rentang gerak, keseimbangan dan gaya
berjalan, genggaman tangan, otot kaki, dan lain-lain.
B. Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul adalah :
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
2. Gangguan menelan berhubungan dengan penyakit refluks gastroesofagus
3. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa esofagus.
C. Intervensi
Diagnosa keperawatanTujuan dan criteria hasil
(NOC)
Intervensi
(NIC)
Kekurangan volume
cairan berhubungan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24
Pengkajian
1. Pantau warna, jumlah dan
dengan mual dan
muntah
jam, klien dapat
menunjukkan status nutrisi :
asupan makanan dan cairan
yang ditandai dengan :
- Memiliki keseimbangan
asupan dan haluaran yang
seimbang dalam 24 jam.
- Memiliki asupan cairan oral
dan/atau intravena yang
adekuat.
frekuensi kehilangan cairan
2. Timbang berat badan dan
pantau kemajuannya
3. Pertahankan keakuratan
catatan asuhan dan
haluaran
Pendidikan untuk
pasien/keluarga
4. Anjurkan pasien untuk
menginformasikan perawat
bila haus
Aktivitas Lain
5. Bersihkan mulut secara
teratur
6. Tentukan jumlah cairan
yang masuk dalam 24 jam,
hitung asupan yang
diinginkan sepanjang siang,
sore, dan malam hari
7. Tingkatkan asupan oral
(misalnya, berikan cairan
oral yang disukai pasien,
letakkan pada tempat yang
mudah dijangkau, berikan
sedotan, dan berikan air
segar), sesuai dengan
keinginan.
8. Berikan cairan, sesuai
dengan kebutuhan.
Gangguan menelan
berhubungan dengan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24
Pengkajian
1. Pantau gerakan lidah klien
penyakit refluks
gastroesofagus
jam, klien dapat
menunjukkan perawatan diri
: makan yang ditandai
dengan :
- Mengidentifikasi factor
emosi/psikologis yang
memengaruhi menelan
- Makan tanpa tersedak atau
aspirasi
- Tidak ada kerusakan otot
tenggorok atau fasial,
menelan, menggerakkan
lidah, atau reflex muntah
saat makan
2. Pantau adanya penutupan
bibir saat makan, minum,
dan menelan
3. Kaji mulut dari adanya
makanan setelah makan
Pendidikan untuk
pasien/keluarga
4. Ajarkan pasien untuk
menggapai makanan di
bibir atau di pipi dengan
menggunakan lidah
5. Ajarkan pasien/pemberi
perawatan tentang
tindakan kegawatan
terhadap tersedak
Aktivitas kolaboratif
6. Konsultasikan dengan ahli
gizi tentang makanan yang
mudah ditelan
7. Kolaborasikan dengan ahli
terapi wicara untuk
mengajarkan keluarga
pasien tentang program
latihan menelan
Aktivitas Lain
8. Berikan perawatan mulut,
jika diperlukan
9. Bantu pasien untuk
memposisikan kepala fleksi
ke depan untuk
menyiapkan menelan.
Nyeri berhubungan
dengan iritasi mukosa
esofagus.
P : nyeri terjadi
disebabkan karena
terlambat makan.
Q : klien mengatakan
nyeri terasa seperti
terbakar.
R : klien mengatakan
nyeri terjadi pada
daerah dada.
S : klien mengatakan
skala nyeri 8 (1-10).
T : klien mengatakan
nyerinya terjadi pada
saat menelan makanan.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24
jam, klien dapat
menunjukkan nyeri efek
merusak yang ditandai
dengan :
- Gangguan kerja, kepuasan
hidup atau kemampuan
untuk mengendalikan.
- Penurunan konsentrasi
- Terganggunya tidur
- Penurunan nafsu makan
atau kesulitan menelan
- Mengenali factor penyebab
dan menggunakan tindakan
untuk mencegah nyeri
Pengkajian
1. Gunakan laporan dari
pasien sendiri sebagai
pilihan pertama untuk
mengumpulkan informasi
pengkajian.
2. Dalam mengkaji nyeri
pasien, gunakan kata-kata
yang konsisten dengan usia
dan tingkat perkembangan
pasien
Pendidikan untuk pasien
dan keluarga
3. Instruksikan pasien untuk
menginformasikan kepada
perawat jika pengurang
nyeri tidak dapat dicapai
4. Informasikan pada pasien
tentang prosedur yang
dapat meningkatkan nyeri
dan tawarkan saran koping
Aktivitas lain
5. Bantu pasien untuk lebih
berfokus pada aktifitas
daripada nyeri/
ketidaknyamanan dengan
melakukan pengalihan
melalui televisi, radio, tape
dan kunjungan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi
secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan. Berbagai derajat Refluks Gastroesofagus
(RGE), atau aliran balik isi lambung atau duodenum ke dalam esophagus, adalah normal baik pada orang
dewasa dan anak – anak. Refluks berlebihan dapat terjadi karena sfingter esophagus bawah tidak
kompeten, stenosis pilorik, atau gangguan motilitas. Kekambuhan refluks tampak meningkat sesuai
pertambahan usus.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta : Salemba Medika
http://arininacita.blogspot.com/2012/05/askep-gerd.html
http://ardyanpradana007.blogspot.com/2011/10/penyakit-refluks-gastroesofagus-prge.html
http://fourseasonnews.blogspot.com/2012/05/mendiagnosis-refluks-gastroesofagus-rge.html
http://milissehat.web.id/?p=95
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest
Gastroesophageal Reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi dimana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi dan komplikasi. GERD merupakan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga berdampak terhadap penurunan produktivitas, kualitas hidup. Anamnesis gejala klinis tipikal, adanya faktor risiko dan test PPI dapat menegakkan diagnosis GERD lebih dini sehingga komplikasi dapat dicegah. Penatalaksanaan GERD dapat berupa pengobatan non farmakologis seperti mengubah gaya hidup diperlukan dalam penatalaksanaan pasien. Penggunaan PPI diperlukan untuk mengurangi gejala refluks. Untuk pasien yang sudah lanjut mengalami komplikasi penggunaan PPI setiap hari diperlukan. Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi di mana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi dan komplikasi. GERD merupakan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga berdampak terhadap penurunan produktivitas, kualitas hidup. Suatu studi kohort di Argentina dari 4000 kasus GERD dilaporkan adanya peningkatan insiden striktur, asma, batuk kronis, fibrosis paru, laringitis dan metaplasi esofagus. Esofagus Barrett’s adalah bentuk metaplasi yang merupakan komplikasi lanjut penyakit GERD. Penderita GERD hampir separuh penduduk dunia. Di negara Barat GERD merupakan penyakit di mana pasien sering meminta pertolongan. Menurut data di Amerika Serikat diperkirakan 7% dari
populasi menderita heart burn tiap hari, 14% tiap minggu. Prevalensi GERD di negara Barat sekitar 20-40% dari populasi. Studi lain mengatakan prevalensi GERD 19,4%. Sedangkan di Asia prevalensi GERD lebih rendah. Keluhan heart burn dan regurgitasi adalah gejala klasik GERD. Tetapi gejala heart burn tidak timbul bahkan pada kasus yang menimbulkan komplikasi Esofagus Barrett’s dan adenokarsinoma esofagus tidak menimbulkan gejala heart burn lagi. Lebih lanjut beberapa pasien gejala GERD tidak khas sehingga tidak dapat dijadikan pegangan untuk menegakkan diagnosis. Patofisiologi GERD Anatomi Esofagus Ada dua fungsi esofagus yaitu sebagai transport makanan dari mulut ke lambung dan mencegah isi lambung kembali esofagus. Esofagus adalah organ tubuh yang berbentuk seperti tabung. Panjangnya kurang lebih 25 cm dimulai dari otot krikofaringeus dan sampai 2-3 cm di bawah diafragma. Mempunyai spingter atas dan spinter bawah. Spingter atas terletak setinggi C5-6 yaitu terdiri atas kricopharengeus dan bagian bawah otot konstriktor pharingeus inferior. Mukosa esofagus terdiri dari epiter sel skuamosa. Sedangkan perbatasan dengan lambung sel barganti menjadi sel epitel selindris dan daerah tersebut bernama squamocollumnar junction atau garis Z yang terletak 2 cm distal hiatus diafragma. Sedangkan otot esofagus terdiri dari 2 lapis yaitu bagian dalam sirkuler dan bagian luar longitudinal. Bagian yang sirkuler bila kontraksi akan menyebabkan penyempitan lumen sedangkan bagian otot longitudinal bila kontraksi akan menyebabkan pemendekan esofagus. Jenis otot esofagus adalah 1/3 atas adalah otot skletal sedangkan otot 1/3 distal adalah otot polos, diantaranya adalah daerah otot transisional. Esofagus tidak memiliki lapisan serosa. Perdarahan berasal dari dari arteri tiroidal inferior, aorta, dan arteri gastrika sinistra. Kemudian darah balik melalui vena porta inferior, vena azygos dan vena koronaria. Fisiologi Menelan Fase volunter Proses dimulai dari makanan yang berbentuk bolus yang ada di mulut dan dengan dorongan lidah masuk ke faring. Kemudian di orofaring bolus makanan akan mengaktifkan reseptor sensorik dan akan memulai fase involunter di faring dan esofagus Fase involunter Fase ini dikenal dengan deglutitive reflex suatu serial kompleks di mana makanan tidak sampai masuk ke jalan napas. Ketika bolus sampai di belakang lidah, kemudian laring bergerak ke depan sehingga jalan napas tertutup dan spingter atas esofagus terbuka (deglutitive inhibition). Kontraksi konstriktor faring superior mengatasi tahanan dari kontraksi palatum mole akhirnya bolus makanan bergerak ke esofagus. Dengan kontraksi peristaltik bolus akhirnya masuk ke lambung. Respon peristaltik oleh proses menelan disebut peristaltik primer. Distensi lokal di esofagus oleh makanan mengaktifkan refleks intramular. Kemudian dilanjutkan peristaltik sekunder dengan batas esofagus bagian toraks. Esofagus berperan sebagai transport makanan dari mulut ke lambung. Kedua spingter atas dan bawah tertutup pada saat istirahat. Spingter atas berguna mencegah masuk makanan ke dalam saluran pernapasan. Sedangkan spingter bawah mencegah masuknya material dari lambung ke esofagus. Kemudian saat menelan, spingter atas terbuka kemudian dengan gelombang peristaltik otot sirkuler dan longitdinal, bolus makanan sampai ke kardia setelah spinter bawah terbuka. Jadi bolus makanan sampai ke lambung melalui gelombang peristaltik dan gaya gravitasi. Spektrum patologi dari penyakit refluks esofagus adalah mulai dari esofagitis sampai terjadinya komplikasi metaplasi yaitu Barrett’s esofagus. Refluks material dari lambung ke esofagus menyebabkan kerusakan jaringan mukosa. Ada beberapa faktor yang berperan untuk terjadinya GERD, yaitu: Mekanisme
antirefluks. Kandungan cairan lambung. Mekanisme bersihan oleh esofagus. Resistensi sel epitel esofagus. Infeksi Helicobacter pylori. 1. Mekanisme antirefluks Spingter Esofagus Bawah (SEB) Keadaan normal terdapat perbedaan tekanan antara abdomen dan thorak. Di mana tekanan intraabdomen lebih tinggi. Keadaan ini membuat kecenderungan terjadinya refluks cairan lambung ke esofagus. Spingter esofagus bawah adalah pertahanan yang pertama untuk mencagah refluks. Bila spingter tidak ada maka akan terjadi refluks terus-menerus. Terdapat otot sirkuler pada esofagus bagian bawah sepanjang 1-3,5 cm yang mempertahankan tekanan sebesar 10-45 mmHg lebih tinggi dari tekanan dari lambung untuk mencegah refluks. Meskipun otot SEB tidak dapat dibedakan dengan otot esofagus yang lain, tapi otot SEB dapat dibedakan dari fungsinya yang khas. Otot SEB secara spontan tekanan meningkat dan relaksasi berdasarkan stimulasi elektrik. Ada beberapa keadaaan yang membuat SEB terganggu, yaitu: a. Kelemahan otot SEB. Ketika tekanan otot SEB mendekati nol, SEB tidak efektif mencegah refluks. Keadaan ini tidak biasa pada orang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Kahrilas dan Gupta rokok adalah salah satu yang membuat kelemahan otot SEB. Di kepustakaan dikatakan GERD yang berat disebabkan oleh karena kelemahan otot SEB. b. Respon tonus otot SEB yang kurang. Keadaan ini terjadi pada saat pasien batuk dan bersin. Oleh karena otot SEB yang tidak respon terhadap peningkatan tekanan abdomen, maka terjadi refluks. c. Relaksasi otot SEB yang menetap. Mekanisme ini paling penting terhadap kejadian refluks. Dalam keadaan normal, peristaltik esofagus dirangsang oleh proses menelan. Kemudian esofagus relaksasi selama 3-10 detik mengikuti bolus makanan yang mulai masuk ke lambung. Bila makanan sudah masuk ke lambung dan relaksasi berlangsung lebih lama lebih dari 45 detik di mana tekanan mendekati 0, maka terjadi refluks. Fenomena ini dapat menjelaskan pada pasien yang mengalami gangguan kelemahan otot yang sering mengalami refluks. Secara fisiologi normal, relaksasi terjadi karena adanya rangsangan bolus makanan yang akan memasuki lambung seperti penjelasan di atas. Keadaan lain adalah rangsangan gas dari lambung. Tekanan gas yang terkumpul di lambung akan mengirim informasi melalui reseptor di lambung ke medula spinalis melalui nukleus traktus solitarius dan menyebabkan relaksasi SEB. Di medula spinalis terdapat reseptor G-Aminobutyric Acid B (GABAB). Perangsangan reseptor ini akan menghambat relaksasi otot SEB. Blok reseptor kolienergik juga dapat menghambat relaksasi otot SEB. Relaksasi SEB dirangsang melalui reseptor kolesitokinin-A pada otot SEB. d. Hiatal hernia. Esofagus membentang dari thoraks sampai abdomen melewati diafragma yang disebut dengan hiatus esophagus. Ketika diafragma kontraksi atau pada saat inspirasi, maka diafragma menjepit esophagus. Efek ini penting sebagai antirefluks pada saat inspirasi dan peningkatan tekanan intraabdomen. Banyak kasus GERD yang berat karena adanya hiatal hernia di mana bagian fundus gaster masuk ke hiatal hernia. Kondisi ini menyebabkan mengganggu tekanan SEB sehingga peningkatan tekanan intraabdomen menyebabkan refluks. Ada dua hal yang mempengaruhi tekanan SEB yaitu otot intrinsik yang berasal dari otot esofagus dan otot ekstrinsik yang berasal dari crural diafragma. Pada kasus hiatal hernia, SEB berada di rongga thoraks. Jadi walaupun tonus SEB normal tapi kalau terpisah dari crural esofagus maka akan mudah terjadi refluks. 2. Kandungan asam lambung Yang menyebabkan injuri mukosa esofagus adalah cairan lambung yang bersifat kaustik. Zat yang terkandung di cairan lambung yang bersifat kaustik adalah asam lambung,
pepsin, cairan empedu, dan enzim pankreas. Atas dasar inilah peran PPI untuk menghambat sekresi asam lambung dan pepsin penting dalam penatalaksanaan GERD. Juga perlambatan pengosongan lambung akan menyebabkan produksi asam lambung meningkat dan juga menyebabkan penurunan tonus SEB yang menetap. Oleh karena itu kondisi tersebut meningkatkan risiko GERD. 3. Resistensi sel epitel esofagus Sel epitel esofagus adalah faktor yang berperan sebagai proteksi terhadap injuri. Telah diketahui kalau pada orang normal terjadi refluks. Oleh karena itu sel epitel penting untuk mencegah esofagitis. Akan tetapi bila kejadian refluks terus berlangsung lamakelamaan akan merusak epitel juga sebagai benteng pertahanan. 4. Mekanisme bersihan esofagus Material kautik yang berasal dari lambung masuk ke esofagus normalnya akan cepat dibersihkan. Ada 4 mekanisme yang berperan: Gaya gravitasi. Peristaltik. Saliva. Produksi bikarbonat esofagus. Bila material lambung masuk ke esofagus, maka keempat mekanisme tersebut bekerja bersamaan. Pada penderita skleroderma risiko GERD meningkat melalui mekanisme bersihan esofagus yang tidak normal. Pada saat tidur atau bungkuk risiko terjadi GERD akan tetapi ada mekanisme lain sebagai proteksi, maka GERD terhindari. Rokok akan meningkatkan risiko GERD melalui peningkatan produksi asam dan penurunan produksi saliva. 5. Infeksi Helicobacter pylori Infeksi bakteri ini sudah diketahui akan meningkatkan risiko kanker lambung. Tapi kuman ini tidak menginfeksi esofagus. Malahan merupakan sebagai faktor menurunkan risiko GERD. Diduga karena infeksi Helicobacter pylori akan menurunkan produksi asam lambung. Saat ini hubungan infeksi Helicobacter pylori dan patogenesis GERD masih kontroversi. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70% merupakan tipikal, yaitu: 1. Heart burn. Heart burn adalah sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heart burn adalah gejala yang tersering. 2. Regurgitasi. Regurgitasi adalah kondisi di mana material lambung terasa di pharing. Kemudian mulut terasa asam dan pahit. Kejadian ini dapat menyebabkan komplikasi paru-paru. 3. Disfagia. Disfagia biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur. Gejala atipikal (ekstraesofagus) seperti batuk kronik dan kadang wheezing, suara serak, pneumonia asmpirasi, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak. Data yang ada kejadian suara serak 14,8%, bronkhitis 14%, disfagia 13,5%, dispepsia 10,6%, dan asma 9,3%. Kadang-kadang gejala GERD tumpang tindih dengan gejala klinis dispepsia sehigga keluhan GERD yang tipikal tidak mudah ditemukan. Spektrum klinik GERD bervariasi mulai gejala refluks berupa heart burn, regurgitasi, dispepsia tipe ulkus atau motilitas. Terdapat dua kelompok GERD yaitu GERD pada pemeriksaan endoskopi terdapat kelainan esofagitis erosif yang ditandai dengan mucosal break dan yang tidak terdapat mucosal break yang disebut Non Erosive Reflux Disease (NERD). Manifestasi klinis GERD dapat menyerupai manifestasi klinis dispepsia berdasarkan gejala yang paling dominan adalah: • Manifestasi klinis mirip refluks yaitu bila gejala yang dominan adalah rasa panas di dada seperti terbakar. • Manifestasi klinis mirip ulkus yaitu bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati. • Manifestasi klinis dismotilitas yaitu gejala yang dominan adalah kembung, mual, dan cepat kenyang. • Manifestasi klinis campuran atau nonspesifik. Untuk menilai derajat esofagitis digunakan klasifikasi Los Angeles. Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles Spektrum Klinis GERD di Beberapa Negara Menurut Melleney dan Willoughby di Inggris, dari 84 pasien dengan manifestasi klinis dispepsia yang di endoskopi didapatkan 11,9% normal,
35,7% esofagitis, 28,6% hiperemis ringan di mukosa gaster atau duodenum, 4,8% ulkus peptik, 7,1% kanker esofagus dan gaster, dan kelainan ringan 11,9%. Di Indonesia data dari rumah sakit yang mempunyai fasilitas endoskopi didapatkan hasil dispepsia fungsional 60-70%, refluks esofagus 10-20%, tukak peptik 10-15%, keganasan lambung 2-5%. Ada pula pasien dispepsia dengan keluhan yang tumpang tindih seperti rasa terbakar di dada dan nyeri bagian tengah abdomen (42,7%). Juga didapatkan data bahwa pasien dengan diagnosa ulkus peptikum 28% dengan keluhan heart burn. Data lain keluhan nyeri epigastrium didapatkan 9% ulkus dan 14% esofagitis. Penelitian oleh Syafruddin di RSCM yang berhubungan dengan keluhan esofagitis adalah disfagia 10%, mual 26,7%, nyeri ulu hati 33,3%, esofagitis 22,8%, dan kembung 40%. Sedangkan penelitian oleh Poeniati didapatkan keluhan rasa panas di dada seperti terbakar (heart burn) 24,7% dan muntah 26,7%. Dengan demikian ada beberapa kasus GERD dengan manifestasi klinis dispepsia. Dari penelitian Syafruddin didapatkan esofagitis derajat ringan (derajat 1 dan 2) sebesar 36,6%, dan tidak didapatkan derajat 3 dan 4. Sedangkan penelitan Marshal dkk derajat 3 dan 4 mencapai 4%. Berdasarkan data endoskopi dari bagian gastroenterologi FKUIRSCM dari tahun 2003-2005 kasus esofagitis tidak jauh berbeda dari sebelumnya yaitu sebesar 22,24%. Penyakit ini cukup sering yang membuat seseorang berobat ke dokter umum maupun ahli penyakit dalam. Penelitian yang dilakukan Khek Yu Ho dkk di Asia membagi menjadi 3 etnis yaitu Cina, Melayu dan India. Gejala regurgitasi >1 kali dalam seminggu pada etnis India 11%, Melayu 2,1%, Cina 0,4%. Sedangkan gejala heart burn pada etnis India 5,3%, Melayu 3%, Cina 0,4%. Di barat didapatkan gejala regurgitasi dan heart burn lebih banyak dari pada di Asia sebesar 29-44%. Heart burn pada wanita hamil di Singapura dilaporkan sebesar 23% sedangkan di negara barat 50%. Penelitian Swarnjit Singh dkk meneliti hubungan antara keluhan heart burn dan chest pain dengan GERD. Mereka menemukan data bahwa keluhan heart burn merupakan keluhan yang bermakna dihubungkan dengan GERD dengan sensitivitas 93% dan spesifisitas 71%. Sedangkan chest pain tidak ada hubungan yang bermakna dengan GERD. Penelitian Ho June Song dkk meneliti gejala atipikal GERD berupa gejala dispepsi predominan nyeri dan predominan dismotilitas yang dihubungkan dengan temuan esofagitis. Hasilnya adalah didapatkan hasil yang bermakna antara gejala dispepsi predominan nyeri dengan GERD (p<0,001). Jose D Sollano dkk meneliti erosif esofagitis derajat A dan B di Philipina. Dari jumlah sampel 15.981 didapatkan gejala erosif esofagitis antara lain nyeri epigastrium (p<0,001), pirosis (p=0,281), regurgitasi (p=0,544), disfagia (p=0,193), perdarahan saluran cerna bagian atas (p=0,138), muntah (p<0,001), dan kembung (p=0,190). Penelitian yang dilakukan di Jepang menemukan terdapat hubungan antara gejala berat heart burn, regurgitasi, disfagia, dan odynophagia yang semakin berat dengan grade esofagitis (gambar). Gambar. Hubungan antara grade esofagitis dengan gejala klinis Menurut kepustakaan gejala ekstraesofagus berupa pneumonia 23,6%, nyeri dada tidak khas 23,1%, suara serak 14,8%, disfagia 13,5%, dispepsi 10,6%, dan asma 9,3%. Menurut penelitian di Cina dikatakan terdapat hubungan antara esofagus Barrett’s dengan penyakit GERD. Penelitian di Swedia menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara edenokarsinoma dengan GERD. Di Asia prevalensi esofagus Barrett’s sebesar 0,08%. Sedangkan di Amerika 0,4%. Diagnosis GERD Untuk menegakkan diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan dari analisa gejala klinis,
sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang. Akan tetapi tidak satupun yang menjadi standar baku. Menurut konsensus nasional penatalaksanaan penyakit reflux gastroesofagus, standar baku untuk diagnosa GERD adalah dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas dengan ditemukan mucosal break di esofagus. Pemeriksaan lain menurut konsensus nasional penatalaksanaan penyakit reflux gastroesofagus adalah pemeriksaan pH esofagus dan terapi empiris. Kendala yang dihadapi adalah tidak semua pelayanan kesehatan mempunyai alat endoskopi dan operator sehingga tidak dapat mendiagnosa GERD dengan pasti dan tepat yang berdampak terhadap penatalaksanaan pasien GERD. Di pusat kesehatan primer di Indonesia diagnosis GERD ditegakkan hanya berdasarkan gejala saja karena terbatasnya sarana diagnostik endoskopi dan biaya yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu dokter yang bertugas di tempat tersebut masih bingung untuk membedakan antara GERD dan dispepsi. Oleh karena itu dibutuhkah guideline untuk mendeteksi GERD agar penatalaksanaan lebih tepat dan cepat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Saat ini di keluarkan konsensus yang dimotori oleh 18 negara yang terdiri dari ahli di bidang gastroenterologi untuk mempermudah diagnosis GERD di puskesmas. Walaupun demikian untuk menegakkan GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis walaupun mempunyai sensitivitas yang lebih rendah daripada dengan pemeriksaan endoskopi. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di beberapa negara, gejala-gejala yang ditemukan pada pasien GERD dapat menjadi pertimbangan dalam menegakkan diagnosis. Kalau melihat datadata penelitian yang sudah dilakukan, gejala tipikal GERD seperti heart burn dan regurgitasi yang mempunyai sensitivitas 93% dan spesivisitas 71% dapat menjadi pertimbangan untuk memutuskan memulai terapi GERD. Walaupun ada juga GERD dengan manifestasi klinis dispepsi yang merupakan gejala atipikal GERD. Akan tapi dispepsi predominan nyeri dapat pula dipertimbangkan sebagai gejala GERD. Selain itu gejala ekstraesofagus dan faktor risiko dapat menjadi pertimbangan dalam menegakkan diagnosis GERD. (tabel 2) Tabel 2. Untuk mendiagnosa GERD dari keluhan tidak mudah. Oleh karena itu diperlukan juga pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis GERD adalah dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas dan ditemukan mucosal break di esofagus. Tetapi untuk mendiagnosis NERD tidak ada pemeriksaan standar. Sehingga untuk melakukan diagnosis digunakan pedoman: • Tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi. • Pemeriksaan pH esofagus dengan hasil positif. • Terapi empiris yang dikenal dengan tes PPI Ada beberapa pemeriksaan untuk diagnosis GERD yaitu: 1. Pemeriksaan Esofagogram. Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi dan striktur. Pemeriksaan ini mempunyai akurasi 24,6% untuk esofagitis ringan, 81,6% esofagitis sedang, dan 98,7% esofagitis berat. 2. Monitoring pH intra esofagus 24 jam. Pemeriksaan ini berhubungan dengan episode reflux dan gejala-gejalanya serta NERD. Akurasi pemeriksaan ini mencapai 96%. 3. Tes Perfusi Berstein. Digunakan untuk menilai sensitivitas mukosa esofagus terhadap paparan asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCl 0,1% yang dialirkan ke esofagus dan menggunakan NaCl 0,9% sebagai kontrol. Sensitivitas pemeriksaan ini 78 % dan spesifisitas 84%. 4. Tes PPI. Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesitivitas 55%. 5. Manometri esofagus.
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien NERD terutama untuk tujuan penelitian. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus. 6. Endoskopi. Diindikasikan: Menilai adanya kerusakan mukosa esofagus mulai erosi sampai keganasan. Mengambil sampel biopsi. Kecurigaan adanya esofagus Barrett’s. 7. Histopatologi. Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk memastikan NERD. Penatalaksanaan 1. Modifikasi gaya hidup. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan faktor risiko seperti berhenti merokok, menurunkan berat badan, menghindari makanan yang berpotensial menyebabkan reflux seperti coklat dan makanan yang mengandung mint, meninggikan kepala dan tempat tidur, dan menghindari makan sebelum tidur. 2. Farmakologi. Pengobatan GERD (tabel 3) Tabel 3. Pengobatan GERD 3. Pembedahan antireflux Modalitas ini bersifat individu. Terapi ini dilakukan apabila dengan pengobatan medikamentosa gagal. Operasi dilakukan bila pemeriksaan manometri menunjukkan motilitas esofagus normal. Indikasi lain adalah untuk memperbaiki diafragma pada kasus hiatus hernia. 4. Terapi endoskopi Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi, endoscopic suturing, dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan memanaskan gastroesophageal junction. Tujuan dari jenis terapi ini adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi reflux. 5. Follow up. Menurut beberapa studi observasi, bila selama 10 tahun tidak ada perubahan gejala, maka sebaiknya dilakukan endoskopi ulang dan selanjutnya dilakukan setiap 10 tahun. Komplikasi Erosif esofagus. Keadaan ini paling sering terjadi yaitu suatu inflamasi mukosa esofagus. Esofagus barrett’s. Adalah komplikasi jangka panjang. Benyak penelitian sudah membuktikan ada hubungan antara reflux jangka panjang dengan insiden esofagus Barrett’s. Striktur esofagus. Jika reflux berlangsung secara kronik, dan inflamasi berlangsung lama dapat menyebabkan striktur. Kesimpulan GERD adalah suatu kondisi kronik yang memerlukan terapi jangka lama. Pengobatan untuk mengurangi gejala terus menerus kadang kala diperlukan untuk kenyamanan pasien, dan yang menjadi masalah adalah dalam menegakkan diagnosis memerlukan pemeriksaan yang invasif. Walaupun demikian dari anamnesis gejala klinis tipikal, adanya faktor risiko dan tes PPI dapat menegakkan diagnosis GERD lebih dini sehingga komplikasi dapat dicegah. Penatalaksanaan GERD dapat berupa pengobatan nonfarmakologis seperti mengubah gaya hidup diperlukan dalam penatalaksanaan pasien. Penggunaan PPI diperlukan untuk mengurangi gejala reflux. Untuk pasien yang sudah lanjut mengalami komplikasi penggunaan PPI setiap hari diperlukan. Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin