Artikel Kdrt
-
Upload
hanif-fikriyantito -
Category
Documents
-
view
19 -
download
3
description
Transcript of Artikel Kdrt
BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT ) TERHADAP PEREMPUAN
Oleh : YetniwatiDosen Fakultas Hukum Universitas Jambi
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penyelesaian kasus KDRT yang diatur dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 hanya berupa regulasi dalam hukum formil suatu tindak pidana yang litigasi, pada hal tindak pidana KDRT termasuk delik aduan maka ada peluang cara lain yang akan dilakukan korban.. Apabila pihak korban tidak melapor ke pihak Kepolisian maka penyelesaian dapat dilakukan secara non litigasi yaitu secara negosiasi atau mediasi penal. Jenis kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga dapat dilakukan secara non litigasi. Sedangkan penyelesaian secara litigasi dapat dilakukan apabila penyelesaian non litigasi tidak menghasilkan mufakad, atau penyelesaian non litigasi tidak pernah dilakukan mengingat beratnya resiko yang dialami korban.
Kata kunci : penyelesaian, KDRT, negosiasi, mediasi, litigasi., non litigasi
A. PENDAHULUAN
Setiap manusia yang normal akan memerlukan kehidupan rumah tangga
yang bahagia sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang
No.1 Tahun 1974: ” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini berarti tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang bahagia
sudah ada landasan yuridisnya”.
Untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia itu akan dipengaruhi
oleh pelaksanaan hak dan kewajiban suami –istri . Pasal 33 Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan :” Antara suami-istri
mempunyai kewajiban untuk saling cinta –mencintai, hormat menghormati , setia
dan saling memberi bantuan lahir dan batin “. Kata “saling” dalam pasal tersebut
menunjukan hak dan kewajiban itu seimbang , setara. Hal ini telah diatur pada
1
Pasal 31 ayat 1 Undang-undang Perkawinan : “ Hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat “. Kedua pasal tersebut mengatur
adanya kesetaraan gender dalam rumah tangga.
Disamping Undang-undang Perkawinan mengatur tujuan perkawinan
diperlukan juga peraturan lain yang mengatur kehidupan dalam rumah tangga
yaitu larangan melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT )
diantaranya :
a. Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
b. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
c. Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerja Sama Pemulihan Korban Dalam Rumah Tangga.
e. Keppres No. 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan.
f. Konvensi CEDAW yang ratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7
tahun 1984 tentang Pengesahan Mengenai Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
Meskipun telah banyak peraturan yang mengatur tentang larangan
kekerasan dalam rumah tangga,. Menurut data Komnas perempuan, pada akhir
tahun 2013 tercatat 11719 kasus KDRT (Komnas perempuan juga mencatat
sampai akhir September 2010 tercatat 189 Peraturan Daerah (Perda) dan
kebijakan lain berdalih moralitas dan diskriminasi terhadap perempuan (kompas
com , 23 Desember 2010) .
Kekerasan dalam rumah tangga atau yang disingkat dengan KDRT adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
2
dalam lingkup rumah tangga ( Pasal 1 butir 1 UU.No.23 Tahun 2004). Kekerasan
terhadap perempuan yang dimaksudkan dalam judul ini yaitu si istri, karena
banyaknya ditemukan kasus kekerasan yang dilakukan suami terhadap istrinya.
Pasal 28 G ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan : setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang berada di bawah kekuasaanya, serta berhak dari rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesatu
yang merupakan hak asasi. Dan kemudian Pasal 28 H ayat (2) menyatakan ,
bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan. Sebagai landasan konstitusi bagi peraturan selanjutnya, ketentuan ini
memberikan perlindungan hak asasi manusia, sebagai hak kodrat yang dibawa
sejak lahir.
Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
lazim disingkat dengan HAM, dimana pada Pasal 9 ayat (2) menyatakan, bahwa
setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir batin.
Undang-undang HAM bersifat universal, maka untuk larangan kekerasan dalam
rumah tangga secara khusus diatur pada Undang-undang nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pengaturan penyelesaian dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 hanya bersifat hukum publik saja,
pada hal masalah KDRT, terdapat juga masalah yang bersifat hukum perdata, hal
ini tidak diatur secara tegas dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004, maka
terdapat kekaburan norma dalam undang-undang tersebut.
Penyelesaian kasus dalam hukum pidana sering dihadapkan oleh sifat
hukum pidana yang: kontradiktif, dualistik, padoksal. Disatu pihak hukum pidana
bermaksud melindungi kepentingan/ benda hukum dan hak asasi manusia dengan
merumuskan norma-norma perbuatan yang dilarang, namun dilain pihak hukum
pidana menyerang kepentingan hukum/ hak asasi manusia (HAM) seseorang
dengan menggunakan sanksi kepada sipelanggar norma (Malkani, 2012, hlm.1).
3
Banyaknya upaya penanggulangan KDRT yang dihentikan oleh penyidik,
disebabkan oleh karena sikorban sebagai pelapor menarik kembali pengaduannya.
Hasil penelitian dari Malkani tahun 2012 menunjukan penanggulangan kasus
KDRT di Bukitinggi lebih didominan diselesaikan secara mediasi, dimana
mediatornya adalah kepolisian. Adapun alasan pelapor yaitu pihak istri mencabut
kembali pengaduannya adalah karena mereka akan menyelesaikan kasus KDRT
secara damai, dan pihak suami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan KDRT,
hal ini dilatar belakangi bahwa siistri masih memerlukan suaminya demi masa
depan anak-anak, siistri takut bercerai dengan suami karena pekerjaan pelapor
dominan adalah ibu rumahtangga saja, dan alasan suami melakukan KDRT
adalah untuk memberi pelajaran kepada siistri ( Malkani, 2012 hlm 5).
Tindak pidana KDRT termasuk pada delik aduan, artinya penyelesaian
kasus tindak pidana dilakukan oleh penegak hukum didasarkan pada pengaduan
sikorban dengan alat bukti yang kuat. Pengaduan yang telah dilaporan kepada
pihak kepolisian boleh ditarik kembali, akhirnya penyidikan dihentikan, para
pihak dapat membuat perjanjian perdamaian agar perbuatan KDRT tidak terulang
lagi.
Meskipun telah ada penarikan pengaduan dengan alasan perdamaian yang
dilakukan para pihak perlu ditinjau lagi, apakah tidak ada unsur intimidasi kepada
korban dan anak-anaknya, bagaimana peran perempuan dalam pengambilan
keputusan. Sebagaimana yang diutarakan oleh Nurherwati : “ upaya penyelesaian
kasus melalui mekanisme nonformal , seperti lembaga adat, warga yang
disegani, keluarga dan agama, juga tidak jauh berbeda dengan proses pengadilan
belum memenuhi rasa keadilan, karena korban terlihat sebagai pihak yang pasif ,
tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan ( kompas, 23 -12-2010}.
Menurut Joni Emirzon : bahwa penyelesaian kasus selain melalui pengadilan
dapat juga diselesaikan melalui alternative penyelesaian kasus yaitu ; negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau arbitrase ( Joni Emirzon, 2001,hal.39 ).
Dalam tulisan ini akan membahas:
1. Bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan secara
non litigasi?
4
2. Bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan secara
litigasi ?
B. PEMBAHASAN
1. Penyelesaian Kasus KDRT Terhadap Perempuan Secara Non Litigasi
Kasus KDRT merupakan perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga
yang berakibat penderitaan bagi korbannya karena perbuatan kekerasan fisik,
kekerasan seksual, kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga yang dilakukan
oleh salah satu anggota keluarganya. Oleh karena itu kasus KDRT awalnya
bersifat interen, dan ada peluang KDRT meluas keranah publik akibat dari
perbuatan pidana, apabila tidak dicegah secara cepat dan tepat.
Penyelesaian secara non litigasi yaitu penyelesaian diluar pengadilan atau
dikenal dengan alternatif penyelesaian kasus. Undang-undang nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Kasus, pada Pasal 6 mengatur
bentuk alternatif penyelesaian kasus yaitu negosiasi paling lama 14 hari, dan
mediasi paling paling lama 30 hari. Hasil kesepakatan dari negosiasi atau mediasi
dituangkan dalam suatu kesepatan tertulis. Agar kesepakatan final , binding, dan
mempunyai kekuatan eksekutorial maka kesepakatan dapat didaftarkan pada
kepaniteraan Pengadilan Negeri (Pasal 6 ayat 7 U.U.No.30 Tahun 1999)
Kasus KDRT sangat banyak dialami oleh istri, hal ini disebabkan oleh
karena istri kedudukannya belum setara dengan suami atau dikenal dengan istilah
patriachis, siistri harus patuh kepada suami tanpa mempertimbangkan kebenaran
perilaku suami, ketergantungan ekonomi istri kepada suami, adanya anggapan
perempuan itu lemah, perilaku suami yang egois. Hasan Ramadhan mengatakan”
kekerasan kerapkali terjadi dikarenakan kuatnya dorongan maskulinitas
tradisional, yang mengakibatkan banyak pria terjerat dalam kontruksi sosial yang
patriarki , pria punya beban sosial yang lebih berat, harus tampil lebih kuat,
jantan, mengontrol, mampu secara ekonomi, dan bentuk-bentuk maskulin lainnya
( Hasan Ramadhan, kompas 12 Juni 2013).
Setiap perselisihan atau konflik dalam rumah tangga belum tentu akan
berakibat KDRT, apabila para pihak yang berselisih dapat mengatasinya secara
bijak dan musyawarah, konflik dapat diselesaikan secara baik. Namun tidak
5
menutup kemunkinan konflik dapat menimbulan KDRT. Meskipun terjadi KDRT
banyak tingkatan resiko yang terjadi pada fisik korban diantaranya: psikis,
keadaan tidak berdaya (lemas tenaga), memar, luka ringan, luka berat, meninggal
dunia. Banyak upaya yang dapat dilakukan oleh para pihak untuk menyelesiakan
kasus KDRT sebelum diselesaikan melalui litigasi diantaranya:
a. Negosiasi
Negosiasi adalah cara menyelesaikan konflik oleh para pihak yang
bersenketa dengan cara berunding atau musyawarah. Joni Emirzon mengutip Alan
Fowler mengemukakan elemen-elemen dari negosiasi yaitu: 1. melibatkan dua
pihak atau lebih; 2. Pihak-pihak membutuhkan keterlibatan satu sama lain dalam
mencapai hasil; 3. Para-para pihak menganggap negosiasi sebagai cara yang lebih
memuaskan dari pada cara lain; 4. Ada kemunkinan untuk membujuk pihak lain
untuk memodifikasi posisi awal mereka; 5. Setiap pihak mempunyai harapan
akan sebuah hasil akhir yang mereka teerima; 6. Proses negosiasi secara lisan
lansung, walaupun kadang-kadang tertulis ( Joni Emirzon, 2001, hlm,46).
Negosiasi dapat juga melakukan pemaafan, yaitu membudayakan sikap
saling memaafkan dalam keluarga. Hal ini akan mendinginkan rasa emosional
anggota keluarga. Dalam Islam perbuatan saling memaafkan sebagaimana dalam
surat Ali Imran ayat (134) yang artinya: “orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan”. Begitu juga selanjutnya dalam surat Ali Imran ayat (159)
yang artinya: “ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya”. Hukum Islam menganjurkan perbuatan saling
memaafkan sebagai suatu yang dianjukan dan diridhoi Allah termasuk dalam hal
bernegosiasi.
6
Penyelesaian kasus KDRT secara negosiasi, yaitu si korban dengan
pelaku KDRT bermusyawarah dua arah untuk menghasilkan mufakat, dan lebih
baik hasil kesepakatan dituangkan dalam surat perjanjian agar perbuatan
kekerasan tidak terulang lagi. Kelebihan penyelesaian sistim ini, dimana perkara
rumah tangga terjamin kerahasiaannya, hubungan keluarga bisa baik kembali
sehingga keutuhan rumah tangga bisa dipertahankan. Sedangkan kelemahan sistim
ini bisa saja musyawarah itu mengandung unsur ancaman atau tekanan. apalagi
pada masyarakat yang menganut paham patriakhis yang mana kedudukan
perempuan lebih rendah dari laki-laki, akan memberi peluang perempuan berada
dibawah ancaman laki-laki. Apabila kasus kekerasan fisik dilakukan pelaku
KDRT suami, penyelesaian dilakukan secara negosiasi dengan si korban (isteri)
yang tidak punya penghasilan, akan berakibat ada peluang suami pelaku KDRT
memberi ancaman atau tekanan bagi si korban sehingga kesetaraan gender tidak
terwujud.
Penyelesaian kasus KDRT secara negosiasi ini dapat dilakukan terhadap at
kekerasan berisiko rendah, jika kekerasan itu berisiko tinggi bagi istri jangan
dilakukan secara negosiasi. Penyelesaian secara negosiasi lebih cocok dipakai
untuk jenis kekerasan kondisinya tidak terlalu berbahaya bagi pisik seperti:
memar, kekerasan seksual, kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga. Setelah
upaya negosiasi telah dilakukan namun tidak juga mewujudkan perdamaian maka
para pihak dapat mencari penengah atau mediator .
b. Mediasi
Menurut Folberg dan Taylor sebagaimna dikutip oleh Joni Emirzon,
mediasi adalah suatu proses di mana para pihak dengan bantuan seseorang atau
beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disenketakan
untuk mencari alternatif dan mencapai penyelesaian yang dapat mengakomodasi
kebutuhan mereka (Joni Emirzon, 2001, hlm.68). Pihak ketiga yang membantu
penyelesaian disebut mediator.
Pada masyarakat adat penyelesaian sengketa pidana melalui mediasi
dikenal dengan berbagai istilah seperti pada masyarakat adat Banjar memakai
istilah badamai /baparbaik/bapatut, pada masyarakat adat Dayak penyelesaian
7
melalui Dewan Adat yang mediatornya disebut”damang”, pada masyarakat Aceh
melalui geucik dan tetua gampong sebagai mediator, pada masyarakat adat
Ambon menyelesaikan sengketa melalui Raja sebagai mediator, pada masyarakat
adat Lombok Utara penyelesaian sengketa melalui Wet Tu Telu, pada masyarakat
adat Flores Nusa Tenggara Timur melalui lembaga adat mela sareka (Trisno
Raharjo, 2010 , hlm 492-519), masyarakat adat Minangkabau menyelesaikan
senketa melalui mediasi disebut secara badamai. Semua mediasi secara adat
merupakan sebagai suatu kearifan lokal, masyarakat menyelesaikan senketa
dengan memakai prinsip musyawarah untuk mufakat dan mengupayakan kondisi
hubungan para pihak bisa baik kembali, pelaku kejahatan berjanji tidak akan
mengulangi lagi perbuatan kekerasan dan kesalahan yang sama.
Penyelesaian kasus KDRT secara mediasi yaitu cara penyelesaian yang
dibantu oleh mediator (pihak ketiga) yang netral. Adapun elemen mediasi, yaitu:
1. Penyelesaian senketa sukarela, 2. Intervensi / bantuan, 3. Pihak ketiga yang
tidak berpihak, 4. Pengambilan keputusan secara konsensus, 5. Partisipasi aktif
mediator (Joni Emerzon, 2001, hal.69).
Siapa saja yang bisa menjadi mediator, hal ini tentu pihak ketiga yang
netral dan mampu membantu penyelesaian senketa KDRT. Mediator itu ada 3
tipe yaitu: 1. Mediator Otoritatif, dimana dalam proses mediasi dia memiliki
kewenangan yang besar dalam mengontrol dalam memimpin pertemuan para
pihak, dalam hal tertentu mediator ini dapat melakukan interogasi ; 2. Mediator
Sosial Network, adalah tipe mediator dimana ia mempunyai jaringan sosial yang
luas untuk mendukung kegiatannya dalam menyelesaikan kasus ; 3. Mediator
Independen, adalah tipe mediator dimana ia tidak terikat dengan lembaga sosial
atau institusi apapun dalam menyelesaiakan kasus para pihak, seperti tokoh adat,
tokoh ulama, tokoh masyarakat yang ikut menyelesaikan kasus ( Syahrizal Abbas,
2009, hlm,74-77).
Abraham Lincoln seorang filsuf yang telah menuangkan teori penyelesaian
kasus di luar pengadilan, “ perkecilah peran pengadilan, bujuklah tetangga anda
untuk berkompromi, sepanjang yang mampu anda lakukan. Tunjukan kepada
mereka, bagaimana orang yang hanya namanya saja disebut pemenang, tetapi
8
sering di dalam kenyataannya lebih merupakan pihak yang nyata-nyata kalah,
yaitu kalah dalam biaya, pembayaran, pemborosan waktu. Sebagai seorang
pembuat perdamaian, para pengacara mempunyai suatu kesempatan yang luar
biasa untuk menjadi orang yang baik” ( Achmad Ali, 2009, hlm.445) . Abraham
Lincoln telah mengemukakan keuntungan penyelesaian senketa di luar pengadilan
atau secara non litigasi, hemat biaya, hemat waktu, dan mengurangi beban
pengadilan dalam menangani kasus yang telah menumpuk.
Untuk penyelesaian kasus KDRT secara mediasi, tidak ada` ketentuan
yang mengatur siapa yang akan menjadi mediator, hal ini tergantung pilihan
mereka yang berselisih misalnya: pihak kepolisian, pemuka adat, BP4, kepala
pemerintahan daerah setempat, kiyai/pemuka agama, pengacara, dosen, lembaga
swadaya masyarakat atau LSM, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak atau P2TP2A, anggota keluarga yang mempunyai
kekerabatan dengan pelaku dan disegani pelaku, dan sebagainya mediator
sepanjang mempunyai kemampuan menengahi perkara, mampu merahasiakan
perkara dan tidak berpihak, berwibawa, dewasa. Sebagai mediator ia harus
mempunyai kemampuan menyelesaikan konflik. sifat mempunyai sifat adil, netral
dan berwibawa, sebagaimana surat Almaiidah ayat (8) yang artinya: “ Hai orang-
orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dalam memimpin penyelesaian kasus mediator dapat melakukan
beberapa taktik diantaranya: 1. Taktik menyusun kerangka keputusan; 2. taktik
mendapatkan wewenang dan keerja sama; 3.taktik mengendalikan emosi dan
menciptakan suasan yang tepat; 4.taktik yang bersifat informatif; 5.taktik
pemecahan masalah; 6. Taktik menghidarkan rasa malu; 7. Taktik pemaksaan
untuk menghidari penyelesaian yang bertele-tele (Joni Emirzon, 2001, hlm.87-
88).
9
Penyelesaian kasus KDRT secara mediasi atau lazim disebut mediasi penal
mempunyai keuntungan, karena adanya pihak penengah atau mediator yang akan
mengawasi musyawarah, untuk mencapai kesepakatan dalam proses pembuatan
surat perdamaian yang tidak mengandung unsur ancaman / tekanan, penipuan,
ataupun kekeliruan. Pada saat melakukan mediasi, mediator dapat pula
memberikan nasehat agar tindakan KDRT tidak terulang lagi, keharmonisan
rumah tangga bisa tercipta kembali. Mediator memberikan anjuran sebagia hasil
musyawarah bukan keputusan, anjuran tidak mempunyai kekuatan hukum. Hasil
musyawarah lebih baik dituangkan dalam suatu perjanjian secara tertulis, hal ini
berfungsi untuk mengingatkan kembali kepada pelaku KDRT tidak melakukan
perbuatan kekerasan lagi. Agar kesepakatan mempunyai kekuatan eksekutorial,
kesepakatan tertulis harus didaftarkan pada Pengadilan Negeri setempat ( Pasal 6
ayat 7 UU.No.30 tahun 1999).
Pertimbangan lain perlu adanya mediasi untuk tindak pidana KDRT ini
juga didasarkan pada ancaman pidana alternatif antara pidana penjara atau denda,
ini memberi peluang bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara,
mengingat penjara banyak mudaratnya dari pada manfaatnya, mengingat proses
pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan belum dapat berfungsi secara baik.
Dengan adanya ancaman yang bersifat alternatif ini, kiranya dapat memberikan
peluang atau dasar pertimbangan aturan secara informal, walaupun demikian
dasar hukum formal perlu difikirkan untuk masa yang akan datang (Liliana T dan
Krismi Tedjosaputra dan Krismiyarsi, 2012, hal.9).
Penyelesaian kasus KDRT diluar pengadilan baik secara negosiasi ataupun
mediasi atau penyelesaian secara alternatif memiliki kelebihan karena rahasia
rumah tangga tidak diketahui orang banyak, proses penyelesaian lebih cepat,
biaya relatif murah, kondisi hubungan para pihak bisa kondusif kembali. Namun
untuk memilih penyelesaian kasus KDRT secara alternatif sikorban harus
memperhatikan tingkat resiko kekerasan yang dialami sikorban, kesetaraan gender
dalam musyawarah, dan syarat syahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata , yaitu: 1) kesepakatan para pihak, 2) kecakapan para pihak yang
membuat perjanjian, 3) hal tertentu, 4) kausa yang halal.
10
Pasal 1320 bila diaplikasikan dengan penyekesaian kasus KDRT , dimana
hasil musyawarah yang dituangkan dalam perjanjian harus memenuhi : 1. Adanya
kesepakatan secara sukarela dari suami dan istri untuk membuat perdamaian, tidak
ada unsure penipuan, ancaman, kekeliruan ; 2. Suami dan istri cakap hukum
dalam arti tidak sakit ingatan atau berada dibawah pengampuan; 3. Adanya isi
perjanjian berupa hak dan kewajiban suami istri untuk mewujudkan perdamaian
dalam rumah tangga, sehingga KDRT tidak terulang lagi; 4. Adanya tujuan
perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-
undang yang berlaku .
Penyelesaian kasus KDRT jenis kekerasan fisik tidak disaran penyelesaian
secara negosiasi atau mediasi, hal ini mengingat kondisi korban yang mengalami,
luka, memar, sakit yang sudah mengarah kepada perbuatan penganiayaan dan
bahkan sampai kepada perbuatan pembunuhan. Perbuatan tersebut adalah
termasuk tindak pidana dan akan diberi sanksi pidana sesuai ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang No.23 Tahun 2004.
Tapi perlu dicermati penyelesaian kasus di luar pengadilan yang memakai
prinsip musyawarah untuk mufakad itu jangan sampai mengenyampingkan
kesetaraan gender. Penyelesaian senketa secara alternatif diatur dalam Undang-
undang no.30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Kasus
terdapat pada Pasal 6, menentukan jangka waktu penyelesaian secara negosiasi
paling lama 14 hari, dan penyelesaian secara mediasi paling lama 30 hari. Jangka
waktu penyelesaian kasus KDRT secara negosiasi dan mediasi tidak perlu terikat
dengan ketentuan ini. Sebab apabila hasil kesepakatan tidak diperoleh, sikorban
akan meneruskan penyelesaian kasusnya melalui pengadilan atau litigasi, harus
berdasarkan pengaduan sikorban. Kapan sikorban akan mengadu kepihak
kepolisian tidak ada masa kadaluarsa pengaduan, yang penting saat pengaduan
alat bukti tindak kekerasan masih ada.
2. Penyelesaian Kasus KDRT Terhadap Perempuan Secara Litigasi
Apabila penyelesaian secara negosiasi atau mediasi tidak menghasilkan
mufakat dalam bentuk perdamaian, atau tidak pernah melakukan negosiasi dan
11
mediasi, karena beratnya resiko yang dialami sikorban, maka penyelesaian kasus
KDRT dapat dilakukan secara litigasi.
Perbuatan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu kejahatan atau
pidana, karena perbuatan tersebut mengandung unsur perbuatan yang merugikan,
mengancam nyawa, mengancam keamanan dalam rumah tangga, baik dengan
kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, ataupun penelantaran rumah
tangga terhadap anggota keluarga, maupun orang yang berada dalam satu
keluarga, karena tanggung jawab yang diberikan berdasarkan perjanjian ataupun
perundang-undangan.
Untuk penegakan hukum pidana diperlukan hukum formil yang mengatur
cara-cara penegak hukum bekerja dalam rangka penegakan hukum, atau
mempertahankan hukum materil, salah satu hukum formil itu adalah hukum acara
pidana. Hukum acara pidana diatur dalam bebagai perundang-undangan,
diantaranya:
1. Undang-undang No.8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana.
2. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
3. Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
4. Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Proses menyelesaian kasus pidana secara garis besar sebagaimana diatur
dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 adalah : 1. Penyelidikan; 2.
Penangkapan atau penahan; 3. Penyidikan; 4. Pelimpahan perkara kepada
Kejaksaan; 5. Pemeriksaan perkara di Pengadilan; 6. Keputusan; 7.Eksekusi.
Penanganan kasus KDRT yang merupakan delik aduan, maka sikorban
yang mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis,
penelantaran dalam rumah tangga, yang tidak bisa diselesaikan secara non litigasi,
dan kekerasan yang berakibat luka berat, terlebih dahulu melakukan pengaduan
tentang kejadian yang dialaminya kepada pihak Kepolisian. Pengaduan adalah
pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (Pasal 1 butir 25 UU.No.8
12
tahun 1981). Pihak kepolisian akan mencatat pengaduan dan melakukan
penyelidikan lebih lanjut.
Kepolisian sebagai penyelidik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-
undang no.8 Tahun 1981 mempunyai kwewenangan : 1. menerima laporan atau
pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. mencari keterangan dan
barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung-jawab. Sebagai pihak penyelidik atas perintah penyidik ia dapat
melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penahanan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil
sidik jari dan memotret seorang; 4. membawa dan menghadapkan seorang pada
penyidik. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan
tindakan kepada penyidik.
Untuk mencari ada atau tidaknya suatu tindak pidana maka pihak
kepolisian akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi korban dan tersangka,
keterangan saksi-saksi lainnya, tersangka akan dipanggil berdasarkan surat
pemanggilan, apabila tersangka tidak datang secara patut menghadap kepolisian
maka akan dilakukan penangkapan tersangka berdasarkan surat penangkapan dan
penahanan.
Dalam tulisan Malkani menyatakan :” wewenang yang diberikan kepada
penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang yang diberikan
undang-undang, penyidik berhak mengurangi hak asasi seseorang, asal ia masih
berpijak pada landasan hukum. Dan harus dihubungkan dengan landasan prinsip
hukum yang menjamin terpeliharanya harkat martabat kemanusiaan seseorang
serta tetap berpedoman pada landasan orientasi keseimbangan antara
perlindunggan kepentingan tersangka pada satu pihak dan kepentingan
masyarakat serta penegakan ketertiban hukum pada pihak lain” ( Malkani,2012,
hlm.4). Sehingga tujuan hukum dapat tercapai.
Menurut teori hukum timur, tujuan hukum adalah keharmonisan, dan
keharmonisan adalah kedamaian. Sedangkan menurut teori hukum barat, tujuan
13
hukum adalah keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum. Indonesia masyarakat
berkultur timur, sementara hukum pidananya yang berasal dari Eropa Kontinental,
teori mana yang dipakai?, Satjipto Raharjo mengatakan Indonesia memiliki kultur
hukum timur, sebaliknya menggunakan paradigma hukum dan hukum formal
barat , sementara adil itu abstrak dan bersifat subjektif ( Achmad Ali, 2009 , hlm.
212).
Pihak kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dalam proses penyelidikan
dan penyidikan haruslah adil. Teori keadilan mana yang akan dipakai oleh pihak
kepolisian , menurut peneliti adalah keadilan prosedural. Hal ini berarti aturan-
aturan seyogyanya tidak sekedar adil dan tidak memihak, tetapi juga dilaksanakan
secara jujur, sejalan dengan standar ‘prosedur yang semestinya’ dan tanpa peduli
akan ras, kelas, ataupun status sosial lainnya ( Acmad Ali, 2009, hlm, 231).
Makna ’prosedur yang semestinya’ ini adalah hukum acara atau hukum formil
yang berlaku. Keadilan procedural menurut peneliti bukanlah tujuan dari hukum,
melainkan keadilan dalam proses beracara untuk mencapai keadilan substantif,
hukum materil sebagai tujuan hukum.
Untuk pemeriksaan saksi korban kekerasan seksual yang umumnya adalah
perempuan, sebaiknya masalah ini diperiksa oleh polisi wanita. Tujuannya adalah
agar saksi korban lebih terbuka mengungkapkan persoalan yang dialaminya.
Setelah dilakukan penyidikan pihak kepolisian menduga adanya tindak
pidana KDRT didukung oleh alat bukti yang kuat, pihak kepolisian menyerahkan
perkara tersebut kepada kejaksaan sebagai penuntut umum. Penuntut umum
setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari da meneliti
dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah
penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Apabila hasil penyidikan itu belum
lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kembali kepada penyidik
untuk dilengkapi, dalam waktu 14( empat belas hari ) sejak penerimaan berkas,
penyidik harus sudah menyampaikanya kembali kepada penuntut umum (Pasal
138 UU.No.8 Tahun1981).
Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan
karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
14
merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum
menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Isi surat ketetapan tersebut
diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera
dibebaskan.Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau
keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan
hakim ( Pasal 140 UU.No.8 Tahun 1981).
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan, disertai surat dakwaan.
Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani
serta berisi : a.nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin,kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b.uraian
secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Surat
dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan diatas akan berakibat batal demi hukum.
Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada
tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang
bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke Pengadilan
Negeri daerah hukum terdakwa bertempat tinggal atau di tempat pelaku ditahan
(Pasal 84 KUHAP).
Pengadilan Negeri setelah menerima perlimpahan perkara dari Kejaksaan
akan melakukan : pemanggilan terdakwa, pembacaan surat dakwaan, eksepsi
kalau ada, acara pemeriksaan, pembacaan surat tuntutan oleh Jaksa sebagai
penuntut umum, pembelaan atau pledoi, replik, duplik, acara pembacaan putusan.
Semua ketentuan acara tersebut harus memperhatikan asas-asas hukum acara
pidana, yaitu : asas legalitas, eguality before the law atau perlakuan yang sama
didepan hukum, presumption of innocent atau asas praduga tak bersalah, asas
peradilan cepat, sedernaha, dan biaya ringan, asas tersangka berhak mendapatkan
bantuan hukum, asas pengadilan memeriksa perkara dengan menghadirkan
terdakwa kecuali atas putusan vertek atau inabsentia . asas peradilan terbuka
untuk umum kecuali mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak
15
( http;www.negarahukum.com/hukum/sumber-dan-asas-hukum-acara-
pidana.html).
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum ( Pasal 195 KUHAP).
Kemudian ketentuan Pasal 196 menetapkan:
(1). Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal
undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan
dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang
wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya,
yaitu :
a. hak segera menerima atau segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak
putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;
c. hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia
menerima putusan;
d. hak. minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu
yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.
Selama proses pemeriksaan mulai dari penyelidikan setiap saksi dan
korban berhak mendapatkan perlindungan , sebagaimana diatur dalam Pasal 21
sampai Pasal 38 Undang-undang no.23 Tahun 2004 berupa:
1. perlindungan sementara di kantor kepolisian,
2. pelayanan kesehatan akibat KDRT,
3. mendapatkan tempat tinggal alternatif atau rumah aman,
4. mendapatkan pelayanan dari relawan pendamping,
5. mendapatkan pelayananan konseling dari pekerja sosial atau rohanian,
6. mendapatkan advokad,
16
7. melaporkan secara lansung KDRT kepada Kepolisian,
8. memberikan surat kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan KDRT kepada Kepolisian.
Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang no.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 5 mengatur tentang hak korban:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau
korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban yang lazim disebut LPSK. Biaya yang diperlukan
untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara ( Pasal 27 UU no.13 Tahun 2006). Oleh sebab itu korban KDRT
yang ingin mendapatkan bantuan biaya perlindungan, harus terlebih dahulu
mengajukan permohonan secara tertulis ke LPSK.
Apabila penyelesaian kasus KDRT hanya secara litigasi saja, tentu akan
berakibat menumpuknya perkara di pengadilan, memerlukan biaya lebih banyak
17
dari nonlitigasi, memerlukan waktu yang lebih lama, hubungan para pihak setelah
keputusan hakim tidak kondusif dan dapat berakibat perceraian, lagi pula sering
pihak yang kalah tidak merasa puas dengan keputusan hakim.
C. PENUTUP
Kesimpulan
1. Bentuk penyelesaian kasus KDRT secara non litigasi yaitu melalui negosiasi
atau mediasi penal, dapat dilakukan sebagai langkah awal penyelesaian kasus
kekerasan seksual, kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, sedangkan
penyelesaian kasus kekerasan fisik lebih baik diselesaikan secara litigasi,
karena kekerasan fisik termasuk salah satu tindak pidana penganiayaan.
Keuntungan penyelesaian secara non litigasi adalah rahasia rumah tangga
dapat tersimpan, waktu penyelesaian cepat, biaya relatif lebih murah,
hubungan suami istri bisa terbina baik kembali.
2. Bentuk penyelesaian kasus KDRT secara litigasi, dapat dilakukan dalam hal
penyelesaian secara non litigasi tidak memperoleh mufakad, atau tidak pernah
dilakukan penyelesaian secara non litigasi karena pertimbangan beratnya
resiko yang dialami korban, atau adanya unsur tindak pidana penganiayaan.
Proses penyelesaian secara litigasi berawal dari pengaduan pihak korban ke
Kepolisian sampai dengan adanya keputusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Selama proses penyelesaian litigasi, sikorban
mendapatkan perlindungan hak yang diatur dalam Undang-undang no. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan
Undang-undang no.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Saran
1. Kepada dewan legislatif, agar dapat merevisi Undang-undang no. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
dengan memuat norma hukum penyelesaian sengketa KDRT diluar
pengadilan dalam perundang-undangan.
2. Setiap peristiwa KDRT, sikorban terlebih dahulu memikirkan kemana ia
bisa menyelesaikan kasus yang dialaminya. perlu ada pertimbangan
18
lembaga penyelesaian yang dipilih berdasarkan resiko yang dialami
sikorban, efektifitas berperkara, kesetaraan gender, hubungan suami istri
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan( Judicialprudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang ( Legisprudence), Vol.1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta ..
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Gramedia Pustaka Utama , Jakarta.
Malkani, 2012, Dilematis Pemeriksaan Tersangka Oleh Penyidik Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Polres Bukitinggi, Artikel Tesis. Program Kerjasama Pascasarjana Universitas Andalas Dengan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Padang.
Liliana T dan Krismi Tedjosaputra dan Krismiyarsi, 2012, Kebijakan penanggulangan Kejahatan Melalui Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT, dalam Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.8 No.1 Mei 2012: 052-063 .
Syahrizal Abbas,2011, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Lili Tedjosaputro dan Krismiyarsi, Kebijakan penanggulangan Kejahatan Melalui Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT, dalam Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.8 No.1 Mei 2012: 052-063
Nur Herawati, Penangan Kasus Kekerasan Belum Memenuhi Rasa Keadilan , Kompas, 23 Desember 2010,.
Trisno Raharjo, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat, Jurnal Hukum No.3 Vol.17 Juli 2010.
Satu Dasawarsa Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) dapat diakses melalui
http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/satu-dasawarsa-undang-
undang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt/
Hasan Ramadhan, Kekerasan Rumah Tangga, Maskulinitas Traditional Dorong Terjadi KDRT. Kompas 12 Juni 2013
19