Artikel Erri Gunrahti

21
1 A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah secara normatif menggariskan bahwa Kecamatan dan kelurahan adalah merupakan bagian dari perangkat pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Urusan yang dapat dilakukan oleh tingkat Kecamatan atau kelurahan, tidak perlu ”berduyun-duyun” ke tingkat Kabupaten/Kota. Lokasi kantor Kecamatan yang tepat adalah yang mudah dijaungkau oleh seluruh warga masyarakat desa atau kelurahan setempat, memberi dampak efektif dan efisien bagi masyarakat, dan tentu saja dapat memotong birokrasi yang berbelit-belit. Asumsi yang dibangun di atas, sebuah Kecamatan yang terlalu gemuk dengan jumlah desa/kelurahan yang banyak tidak lagi efektif dan efisien. Semangat dari studi ini adalah dengan penempatan lokasi pelayanan publik yang tepat, diharapkan secara bertahap dapat membangun wilayah secara lebih merata dan meningkatkan pelayanan publik. Pemekaran wilayah khususnya Kecamatan sangat jarang sekali dibahas, karena pada umumnya pemekaran dilakukan untuk menimbulkan Kabupaten Baru atau memunculkan Provinsi baru yang otonom maka kiranya perlu adanya suatu kajian pemekaran Kecamatan untuk memperjelas dan mendapatkan ilmu pengetahuan baru yang berguna bagi pengembangan hukum pemerintahan daerah. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS PEMEKARAN KECAMATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimanakah syarat dan mekanisme pemekaran Kecamatan berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ?

Transcript of Artikel Erri Gunrahti

Page 1: Artikel Erri Gunrahti

1

A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah secara

normatif menggariskan bahwa Kecamatan dan kelurahan adalah merupakan

bagian dari perangkat pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Urusan yang dapat

dilakukan oleh tingkat Kecamatan atau kelurahan, tidak perlu ”berduyun-duyun”

ke tingkat Kabupaten/Kota. Lokasi kantor Kecamatan yang tepat adalah yang

mudah dijaungkau oleh seluruh warga masyarakat desa atau kelurahan setempat,

memberi dampak efektif dan efisien bagi masyarakat, dan tentu saja dapat

memotong birokrasi yang berbelit-belit. Asumsi yang dibangun di atas, sebuah

Kecamatan yang terlalu gemuk dengan jumlah desa/kelurahan yang banyak tidak

lagi efektif dan efisien. Semangat dari studi ini adalah dengan penempatan lokasi

pelayanan publik yang tepat, diharapkan secara bertahap dapat membangun

wilayah secara lebih merata dan meningkatkan pelayanan publik.

Pemekaran wilayah khususnya Kecamatan sangat jarang sekali dibahas,

karena pada umumnya pemekaran dilakukan untuk menimbulkan Kabupaten Baru

atau memunculkan Provinsi baru yang otonom maka kiranya perlu adanya suatu

kajian pemekaran Kecamatan untuk memperjelas dan mendapatkan ilmu

pengetahuan baru yang berguna bagi pengembangan hukum pemerintahan daerah.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS

PEMEKARAN KECAMATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG 32

TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan

masalah yaitu bagaimanakah syarat dan mekanisme pemekaran Kecamatan

berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ?

Page 2: Artikel Erri Gunrahti

2

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat dan mekanisme pemekaran

Kecamatan berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah.

D. Kegunaan Penelitian

1. Keguanaan teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Hukum

pemerintahan daerah khususnya syarat dan mekanisme pemekaran Kecamatan

berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

2. Kegunaan Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pembaca, bagi instansi yang terkait dengan syarat dan mekanisme

pemekaran Kecamatan berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah.

E. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan : Yuridis normatif

2. Spesifikasi Penelitian : Deskriptif

3. Sumber data : Data sekunder

4. Metode Pengumpulan

Data

: Studi kepustakaan atau studi

dokumen.

5. Teknik Penyajian Data : Teks naratif.

6. Analisa Data : Kualitatif.

F. Hasil dan Pembahasan

1. Hasil Penelitian

a. Pembentukan Kecamatan

1) Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang

Kecamatan menyatakan bahwa, Pembentukan Kecamatan dapat

Page 3: Artikel Erri Gunrahti

3

berupa :

1) Pemekaran satu Kecamatan menjadi dua Kecamatan ataulebih;

2) Dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau kelurahan daribeberapa Kecamatan.

2) Pasal 3 menyatakan bahwa, pembentukan Kecamatan harus

memenuhi syarat :

1) Administratif2) Teknis, dan3) Fisik kewilayahan.

b. Syarat Administratif Pembentukan Kecamatan

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008

Tentang Kecamatan, menyatakan bahwa, syarat administratif pembentukan

Kecamatan meliputi:

1) Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima)tahun;

2) Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/ataukelurahan yang akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5(lima) tahun;

3) Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lainuntuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lainuntuk kelurahan di seluruh wilayah kecamata baik yang menjadicalon cakupan wilayah Kecamatan baru maupun Kecamataninduk tentang persetujuan pembentukan Kecamatan;

4) Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa danKeputusan Lurah atau nama lain untuk kelurahan di seluruhwilayah Kecamatan baik yang akan menjadi cakupan wilayahKecamatan baru maupun Kecamatan induk tentang persetujuanpembentukan Kecamatan;

5) Rekomendasi Gubernur.

c. Syarat Fisik Kewilayahan

Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang

Kecamatan menyatakan bahwa, syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan

wilayah, lokasi calon ibuKota, sarana dan prasarana pemerintahan. Cakupan

wilayah sebuah Kecamatan untuk daerah Kabupaten paling sedikit terdiri

atas 10 (sepuluh) desa/kelurahan dan untuk daerah Kota paling sedikit

Page 4: Artikel Erri Gunrahti

4

terdiri atas 5 (lima) desa/kelurahan. (Pasal 6 ayat 1). Lokasi calon ibuKota

memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi

dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial

budaya. (Pasal 6 ayat 2). Sarana dan prasarana pemerintahan meliputi

bangunan dan lahan untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat.

d. Persyaratan Teknis Pembentukan Kecamatan

1) Persyaratan teknis meliputi :

a) Jumlah penduduk;b) Luas wilayah;c) Rentang kendali penyelenggaraan pelayanan

pemerintahan;d) Aktivitas perekonomian;e) Ketersediaan sarana dan prasarana. (Pasal 7 ayat 1

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 TentangKecamatan).

2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai

berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerintah Kabupaten

/Kota sesuai indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran

yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP ini. (Pasal 7

ayat 2).

3) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk Kecamatan di

wilayah yang mencakup satu atau lebih pulau, yang

persyaratannya dikecualikan dari persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 dengan pertimbangan untuk efektivitas

pelayanan dan pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau

terpencil dan/atau terluar. (Pasal 8 ayat 1).

4) Pembentukan Kecamatan harus terlebih dahulu mendapat

persetujuan dari Gubernur sebagai wakil Pemerintah. (Pasal 8

ayat 2).

5) Pemerintah dapat menugaskan kepada pemerintah Kabupaten/

Kota tertentu melalui Gubernur selaku wakil Pemerintah untuk

Page 5: Artikel Erri Gunrahti

5

membentuk Kecamatan dengan mengecualikan persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (Pasal 9 ayat 1).

6) Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9

ayat (1), atas pertimbangan kepentingan nasional dan

penyelenggaraan tugas umum pemerintahan. (Pasal 9 ayat 2).

7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan

Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling

sedikit memuat :

a. Nama Kecamatan;b. Nama ibuKota Kecamatan;c. Batas wilayah Kecamatan, dand. Nama desa dan/atau kelurahan. (Pasal 10 ayat 1).

8) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri

peta Kecamatan dengan batas wilayahnya sesuai kaidah teknis

dan memuat titik koordinat. (Pasal 10 ayat 2).

9) Perubahan nama dan/atau pemindahan ibuKota Kecamatan

ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal

11).

10) Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000

Tentang Pedoman Pembentukan Kecamatan menyatakan bahwa,

Pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah

dan memperhatikan kemampuan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Tata cara penilaian Pembentukan Kecamatan ditetapkan oleh

Bupati/Walikota.

11) Pasal 3 menyatakan bahwa, Pembentukan Kecamatan

sebagaimana dimaksud Pasal 2 harus memenuhi kriteria-kriteria:

a. Jumlah penduduk;b. Luas wilayah;c. Jumlah Desa/Kelurahan.

12) Pasal 4 menyatakan bahwa, jumlah penduduk sebagaimana

dimaksud Pasal 3 huruf a terdiri dari :

Page 6: Artikel Erri Gunrahti

6

a. Wilayah Jawa dan Bali minimal 10.000 jiwa;b. wilayah Sumatera dan Sulawesi minimal 7.500 jiwa;c. wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya minimal 5.000jiwa.

13) Pasal 5 menyatakan bahwa, luas Wilayah Kecamatan

sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf b terdiri dari:

a. Wilayah Jawa Bali minimal 7,5 Km2;b. Wilayah Sumatera dan Sulawesi minimal 10 Km2 ;c. Wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya minimal 12,5Km2 ;

14) Pasal 6 menyatakan bahwa, jumlah Desa/Kelurahan

sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf c Wilayah Jawa, Bali,

Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timar, Maluku dan Irian Jaya minimal 4

Desa/Kelurahan.

e. Syarat-syarat dan Indikator Pembentukan suatu Daerah Baru

Pembentukan suatu daerah baru tidak terlepas dari persyaratan dan

indikator yang harus dicapai, maka dari itu syarat dan indikator dalam Bab

III PP RI No 129 Tahun 2000 terdiri dari:

1) Kemampuan ekonomi hal ini merupakan cerminan hasilkegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu daerahProvinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan.

2) Potensi daerah merupakan cerminan tersedianya sumberdayayang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadappenerimaan daerah dan kesejahteraan msyarakat yang diukurdari:a) Sarana ekonomib) Sarana pendidikanc) Sarana kesehatand) Sarana transportasie) Sarana pariwisata

3) Sosial budaya merupakan cerminan yang berkaitan denganstruktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosialbudaya masyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatandan sarana olah raga.

4) Jumlah penduduk yaitu jumlah tertentu penduduk dalam suatudaerah

Page 7: Artikel Erri Gunrahti

7

5) Luas daerah yaitu nilai luas keseluruhan suatu daerah tertentu.6) Pertimbangan lain bagi terselenggaranya otonomi daerah dengan

berpatok pada: kemanan/ketertiban, ketersediaan saranaprasarana, rentang kendali dan lain-lain.

f. Penghapusan Dan Penggabungan Kecamatan

1) Kecamatan dihapus apabila :

a) jumlah penduduk berkurang 50% (lima puluh perseratus)b) atau lebih dari penduduk yang ada, dan/atauc) cakupan wilayah berkurang 50% (lima puluh perseratus)d) atau lebih dari jumlah desa/kelurahan yang ada. (Pasal 12

ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008Tentang Kecamatan).

2) Kajian penghapusan dan/atau penggabungan Kecamatan

dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan melibatkan

perguruan tinggi terdekat yang ada di Kabupaten/Kota atau

provinsi yang bersangkutan.

3) Penghapusan dan penggabungan Kecamatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota. (Pasal 13).

2. Pembahasan

Pemekaran wilayah merupakan salah satu bentuk usaha memaksimalkan

pemerataan pembangunan daerah dan pengembangan wilayah. Undang-undang

No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur beberapa prasyarat

bagi adanya pemekaran wilayah. Syarat tersebut antara lain syarat teknis, fisik

kewilayahan, dan administratif. Tujuan dari pemekaran wilayah adalah dalam

rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan

kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian

daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan

ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang

Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Pemekaran wilayah dapat

dianalogikan juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. Undang-

Page 8: Artikel Erri Gunrahti

8

undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa

pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri.

Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) Pasal yang

sama menyebutkan,

“Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud padaayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibuKota,kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabatkepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian,pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”

Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas

kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan

dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan

pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di

daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk

mempercepat laju pembangunan daerah.

Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah

telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun

kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu

perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan

fungsi Kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam

kerangka asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam

kerangka asas desentralisasi.

Dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, terbuka

kemungkinan untuk membentuk Kecamatan baru. Pada masa UU Nomor 5 Tahun

1974, pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah

melewati tahap persiapan dalam bentuk Perwakilan Kecamatan. Karena

pembentukannya melalui PP, rnaka jumlah Kecamatan dapat dikendatikan sesuai

prinsip efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Pada masa UU

Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004, pembentukan

Kecamatan baru dapat dilakukan secara iangsung tanpa melIalui tahap persiapan

Page 9: Artikel Erri Gunrahti

9

oleh Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerahnya masing-masing. Pembentukan

Kecamatan baru seringkali juga didasarkan pada pertimbangan politis untuk bahan

pembentukan Kabupaten/Kota baru.

Terdapat tiga konsep pemekaran Kecamatan yang pernah berlaku di

Indonesia antara lain menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, menurut UU Nomor 22

Tahun 1999, dan menurut UU Nomor 32 Tahun 2004. Pada saat berlakunya UU

Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, dikenal istilah Kemantrenan.

Kemantren yang sudah dikenal oleh masyarakat di tanah Jawa. Kemantren pada

dasarnya adalah suatu wilayah tertentu yang memperoieh dan menjadi binaan

khusus seorang Mantri Polisi (dahulu disebut Mantri Pagar Praja). Pembinaan

khusus tersebut dilakukan dalam rangka membantu tugas Camat membina

wilayah secara keseluruhan. Pembinaan khusus tersebut dilakukan kemungkinan

karena wilayahnya berjauhan clengan kantor Camat sehingga sulit dalam

pengendaliannya ataupun karena jurnlah desa di lingkungan suatu Kecamatan

terlalu banyak sehingga diperlukan pembagian tugas.1

Keberadaan kemantren diatur secara formal menurut Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982 tentang Tata Cara Pembentukkan

Kecamatan dan Perwakilan Kecamatan. Istilah Kemantren dibakukan menjadi

Perwakilan Kecamatan. Secara garis besar, Peraturan Menteri Dalam Negeri

tersebut mengatur mengenai proses pembentukan Kecamatan baru melalui

pembentukan perwakilan Kecamatan terlebih dahulu. Adapun persyaratan

pembentukan Kecamatan baru antara lain:

1. Untuk Daerah Jawa dan Bali, jumlah penduduk minimal adalah 2.500Kepala Keluarga atau 12.500 jiwa;

2. Untuk Daerah luar Jawa dan Bali, jumlah penduduk minimal 1.500Kepala Keluarga atau l.k. 7.500 jiwa;

3. Wilayah bawahan minimal terdiri dari 4 Desa/Kelurahan:4. Kecuali bagi wilayah yang penduduknya lebih dari 4.000 Kepala

Keluarga atau 20.000 jiwa, wilayah bawahan dapat terdiri dad 3Desa/Kelurahan. (Pasal 4 ayat 1 Permendagri Nomor 138-210 Tahun1982).2

1 Sadu Setiono, Ismail Nurdin dan M. Fahrurozi, Perkembangan Organisasi KecamatanDari Masa Ke Masa, Fokusmedia, Bandung, 2009, hal. 9

2 Ibid.

Page 10: Artikel Erri Gunrahti

10

Dilatarbelakangi karena pembentukan Kecamatan baru harus terlebih dahulu

melalui pembentukan Perwakilan Kecamatan, maka dapat dikatakan bahwa

perwakilan Kecamatan merupakan bentuk embrional dari Kecamatan. Perwakilan

Kecamatan dibentuk dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

setelah mendapat persetujuan dart Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini, inisiatif

pembentukannya berasal dart Daerah Tingkat I dan atau Daerah Tingkat II.

Konsekuensi logis dart hal tersebut maka seluruh fasilitas. sarana dan pembiayaan

perwakilan Kecamatan menjadi beban APBD Tingkat I dan APBD Tingkat II

(Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982).

Meskipun perwakilan Kecamatan pada dasarnya adalah bagian dart wilayah Ad-

ministratif Kecamatan yang menjalankan tugas dekonsentrasi.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 memang mengenal perbedaan antara

desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan tetapi tidak secara tegas

memisahkan pelaksanaannya, sehingga tidak tertutup kemungkinan perangkat

Wilayah Administratif diberi tugas membantu melaksanakan tugas-tugas

desentralisasi.3

Pada Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982,

dikemukakan bahwa selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak dibentuknya

perwakilan Kecamatan, harus sudah diusulkan menjadi Kecamatan dengan

memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Bab II. Hal-hal pokok yang perlu

diperhatikan untuk pengusulan perwakilan Kecamatan menjadi Kecamatan adalah

:

1. Jumlah penduduk dan tingkat perkembangannya, yang merupakanfaktor penting berkaitan dengan keberadaan Kecamatan itu sendiriserta dengan pelayanan kepada masyarakat;

2. Jumlah pegawai, prasarana dan sarana pemerintahan yang tersedia,berkaitan pula dengan pelayanan kepada masyarakat;

3. Instansi-instansi Vertikal dan Dinas yang telah ada yang diperlukandalam rangka koordinasi;

4. Fasilitas-fasilitas umum (public utilities) yang tersedia;5. Jaringan-jaringan jalan yang telah tersedia.4

3 Ibid., hal. 104 Ibid.

Page 11: Artikel Erri Gunrahti

11

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982,

meskipun sebuah perwakilan Kecamatan sudah berusia 3 (tiga) tahun atau lebih

dan sudah diusulkan menjadi Kecamatan definitif, tetapi usulan tersebut belum

tentu disetujui. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang diketuai oleh

Menteri Dalam Negeri akan mengkaji usulan dari Daerah dengan memperhatikan

pula kemampuan keuangan negara untuk menggaji pegawai, menyediakan sarana

dan prasarana perkantoran. Tetapi yang sexing menjadi penyebab ialah bahwa

jumlah Instansi Vertikal dan Dinas yang ada diperwakilan Kecamatan tersebut

belum cukup memadai. Hal ini dapat dimengerti karena pandangan kepentingan

suatu Departemen atau daerah Otonom terhadap suatu wilayah akan berbeda-

beda. Masing-masing pihak memiliki tolok ukurnya sendiri-sendiri. Ditinjau dari

sudut pandangan manajemen pemerintahan, keberadaan perwakilan Kecamatan

pada dasarnya adalah untuk memperkecil rentang kendali Camat terhadap

desa/kelurahan bawahan dan masyarakat.

Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, pembentukan Kecamatan ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah setelah melewati tahap persiapan dalam bentuk

Perwakilan Kecamatan. Karena pembentukannya melalui PP maka jumlah

Kecamatan dapat dikendalikan sesuai prinsip efektivitas dan efisiensi

penyelenggaraan pemerintahan. Pada masa UU Nornor 22 Tahun 1999 maupun

UU Nomor 32 Tahun 2004, pembentukan Kecamatan baru dapat dilakukan secara

langsung tanpa melalui tahap persiapan oleh kabupaten/Kota dengan Peraturan

Daerahnya masing-masing. Pembentukan Kecamatan baru seringkali juga

didasarkan pada pertimbangan politis untuk bahan pembentukan kabupaten/Kota

baru.5

Pembentukan Kecamatan baru seharusnya dilakukan dengan alasan

mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan ketentraman dan

ketertiban, serta mempercepat pengembangan potensi wilayah. Intinya ditujukan

untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu

5 Ibid., hal. 37

Page 12: Artikel Erri Gunrahti

12

kebijakan pembentukan terhadap Kecamatan tersebut didasarkan luas wilayah,

jumlah penduduk, dan potensi yang dimiliki.6

Hasil survey potensi wilayah pada beberapa provinsi, kabupaten dan Kota

menggambarkan bahwa pembangunan pada unit organisasi pemerintahan terutama

Kecamatan belum merata terutama pada bagian wilayah tertentu yang memiliki

orbitasi relatif jauh clan kantor Kecamatan. Pelayanan pemerintahan belum

menyentuh masyarakat sampai ke pelosok wilayah kerja pemerintahan

Kecamatan, serta masih banyaknya potensi yang belum tersentuh atau belum

dikelola secara optimal sehingga terjadi kesenjangan pelayanan masyarakat dan

pembangunan pada bagian-bagian tertentu dalam wilayah kerja pemerintahan

Kecamatan.

Untuk menjawab persoalan itu, alternatif pilihan kebijakan yang dapat

diambil adalah melakukan penguatan pada Kecamatan dan pembentukan

Kecamatan baru pada wilayah kerja pemerintahan Kecamatan dengan melihat

potensi pada Kecamatan yang ada. Melalui pembentukan Kecamatan, dapat

dipastikan rentang kendali pemerintah akan menjadi lebih kecil dan institusi

pelayanan menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Terjadinya pembentukan

Kecamatan baru diharapkan akan berdampak terhadap peningkatan dan

pemerataan pembangunan jam pelayanan umum.

Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah

berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang

Kecamatan atas payung hukum UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Pembentukan Kecamatan dapat berupa pemekaran 1 (satu) Kecamatan

menjadi 2 (dua) Kecamatan atau lebih, dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau

kelurahan dari beberapa Kecamatan.

Pembentukan Kecamatan berdasarkan konsep Peraturan Pemerintah Nomor

19 Tahun 2008 tentang Kecamatan atas payung hukum UU Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis,

dan fisik kewilayahan. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk Kecamatan

di wilayah yang mencakup satu atau lebih pulau, yang persyaratannya

6 Ibid.

Page 13: Artikel Erri Gunrahti

13

dikecualikan dari persyaratan dengan pertimbangan untuk efektifitas pelayanan

dan pemberdayaan masyarakat di pulau -pulau terpencil dan/ atau terluar.

Pembentukan Kecamatan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari

gubernur sebagai wakil Pemerintah.

Pemerintah dalam hal ini dapat menugaskan kepada pemerintah

kabupaten/Kota tertentu melalui gubernur selaku wakil Pemerintah untuk

membentuk Kecamatan dengan mengecualikan persyaratan. Pembentukan

Kecamatan haruslah didasari atas pertimbangan kepentingan nasional dan

penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.

Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan

menysyaratkan bahwa, pembentukan Kecamatan haruslahmelalui Peraturan

Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan Kecamatan

paling sedikit memuat:

a. Nama Kecamatan;b. Nama ibu Kota Kecamatan;c. Batas wilayah Kecamatan; dand. Nama desa dan /atau kelurahan.

Peraturan Daerah tersebut dilampiri peta Kecamatan dengan batas

wilayahnya sesuai kaidah teknis dan memuat titik koordinat. Konsep pemekaran

bukan hanya pembentukan baru tetapi juga akibat adanya perluasan, penyempitan

daerah Kecamatan yag mengakibatkan perubahan nama Kecamatan. Perubahan

nama dan/ atau pemindahan ibuKota Kecamatan harus pula ditetapkan dengan

Peraturan Daerah kabupaten/Kota.

Akibat logis dari adanya pemekaran yaitu penghapusan dan penggabungan

suatu Kecamatan. Kecamatan dihapus apabila:

a. Jumlah penduduk berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebihdari penduduk yang ada; dan/atau

b. Cakupan wilayah berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebihdari jumlah Desa/kelurahan yang ada.

Kecamatan yang dihapus, wilayahnya digabungkan dengan Kecamatan yang

bersandingan setelah dilakukan pengkajian. Penghapusan dan penggabungan

Kecamatan haruslah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Page 14: Artikel Erri Gunrahti

14

Berdasarkan penjelasan mengenai pembentukan Kecamatan menurut UU Nomor

5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 serta UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat

dibuat perbandingan sebagai berikut:

(1) Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, pembentukan Kecamatanditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah melalui tahappembentukan perwakilan Kecamatan terlebih dahulu.

(2) Pada UU Nomor 22 Tahun 1999, sesuai dengan semangatdesentralisasi yang seluas-luasnya, pembentukan Kecamatansepenuhnya menjadi kewenangan daerah Kabupaten/Kota karenaKecamatan sudah merupakan perangkat daerah. Pembentukannyacukup melalui Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersangkutan,

(3) Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 juncto PP Nomor 19 Tahun 2008,pembentukan Kecamatan dilakukan dengan Peraturan Daerah setelahada rekomendasi dari Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.Tujuannya adalah agar penambahan jumlah Kecamatan dapatdikendalikan sesuai prinsip efektivitas dan efisiensi serta kemampuankeuangan negara. Sebab pembentukan Kecamatan baru biasanyadisertai dengan pembentukan instansi vertikal tingkat Kecamatanseperti Koramil, Polsek, Mantri Statistik, KUA dan lain sebagainya.

Syarat pembentukan Kecamatan yang hanya terdiri dari tiga variabel telah

mendorong daerah Kabupaten/Kota berlomba-lomba membentuk Kecamatan

baru. yang pada gilirannya membuat birokrasinya membengkak sehingga belanja

aparaturnya meningkat serta mengurangi belanja publik. Padahal tujuan utama

pembentukan Kecamatan baru adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat, tetapi variabel yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat malahan

tidak dijadikan syarat pembentukan.

Berdasarkan kajian tentang pembentukan Kecamatan di berbagai daerah.

Penulis mengkonstruksikan pengukuran potensi dengan menggunakan variabel

lain yang dapat mendukung persyaratan pembentukan Kecamatan seperti variabel

kesehatan masyarakat, pendidikan, perekonomian, demografi, aspek

pemerintahan, sarana komunikasi, sarana transportasi, penerangan umum,

ketenagakerjaan, pariwisata, sarana ibadah, sarana olah raga, politik dan aspirasi

masyarakat, kamtibmas, orbitasi, peternakan, perikanan (darat/laut), kondisi sosial

masyarakat dan pertanian. Berkaitan penjelasan di atas, kiranya perlu segera

dilakukan pengkajian potensi wilayah kerja pemerintahan Kecamatan dan

kelurahan dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi

Page 15: Artikel Erri Gunrahti

15

wilayah yang realibel untuk mengetahui dapat atau tidaknya dilakukan

pembentukan baru pada sebuah Kecamatan.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 sebagaimana

dikemukakan di atas kemudian tidak digunakan lagi karena sudah terbit PP

Nomor 19 Tahun 2008. Pada Pasal 3 PP tersebut dikemukakan bahwa pem-

bentukan Kecamatan harus memenuhi Syarat Administratif, Syarat Teknis Dan

Syarat Fisik Kewilayahan. Pada Pasal 4 PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan

mengenai syarat administratif pembentukan Kecamatan meliputi:

1. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;2. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan

yang akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5 (lima) tahun;3. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk

Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untukkelurahan di seluruh wilayah kecamata balk yang menjadi caloncakupan wilayah Kecamatan bard maupun Kecamatan induk tentangpersetujuan pornbentukan Kecamatan;

4. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa dan KeputusanLurah atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah Kecamatanbalk yang akan menjadi cakupan wilayah Kecamatan baru maupunKecamatan induk tentang persetujuan pembentukan Kecamatan;

5. Rekomendasi Gubernur.

Pasal 5 PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan mengenai syarat fisik

kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu Kota, sarana dan

prasarana pemerintahan yang tersedia. Makna cakupan wilayah diatur secara lebih

rinci dalam Pasal 6 PP Nomor 19 Tahun 2008 yaitu sebagai berikut:

(1) Cakupan wilayah untuk daerah Kabupaten paling sedikit terdiri atas10 desa/kelurahan dan untuk daerah Kota paling sedikit terdiri atas 5desa/kelurahan.

(2) Lokasi calon Ibu Kota memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaanfasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan,sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.

(3) Sarana dan prasarana pemerintahan meliputi bangunan dan lahanuntuk kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikanpelayanan kepada masyarakat.

Persyaratan teknis yang dimaksud diatur secara rinci pada Pasal 7 ayat (1)

PP Nomor 19 Tahun 2008, yang meliputi:

(1) Jumlah penduduk;

Page 16: Artikel Erri Gunrahti

16

(2) Luas wilayah;(3) Rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan;(4) Aktivitas perekonomian;(5) Ketersediaan sarana dan prasarana.

Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu

berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan

wilayah dilaksankan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya

secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat

komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosoial, budaya dan lingkungan

hidup utnuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut dengan

pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah.

Pembangunan berkelanjutan dengan prinsi seperti ini harus dijadikan tujuan utama

bagi pembuat keputusan kebijakan publi untuk setiap tingkatan pemerintahan

yang memang berbeda tipenya.7

Tujuan penataan ruang antara lain adalah tercapainya pemanfaatan ruang

yang berkualitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas berbudi luhur

dan sejahtera, mewujudkan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya, meningkatkan

sumberdaya alam secara efisien dan efektif bagi manusia, dan mewujudkan bagi

perlindungan fungsi ruang dan mencegah kerusakan lingkungan. Hal yang sama

dinyatakan oleh Sitorus, bahwa pembangunan wilayah berkelanjutan erat

kaitannya dengan rencana pemanfaatan lahan (ruang) dan dapat diwujudkan

melalui keterkaitan pengelolaan yang tepat antara sumberdaya alam, dengan aspek

social-ekonomi, dan budaya (kultur).8

Dalam pengembangan wilayah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan

penggunaan lahan yang strategis yang dapat memberikan keuntungan ekonomi

wilayah (strategic landuse development planning). Menurut Sitours perencanaan

penggunaan lahan yang strategis bagi pembangunan merupakan salah satu

kegiatan dari upaya pengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan. Hal ini

penting untuk mengetahui potensi pengembangan wilayah, daya dukung dan

7 Djakapermana, Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman, IPB Press,Bogor, 2005, hal. 10

8 S.R.P. Sitorus, Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan, IPB Press, Bogor,2004, hal.10.

Page 17: Artikel Erri Gunrahti

17

manfaat ruang wilayh melalui proses inventarisais dan penilaian keadaan/kondisi

lahan, potensi, dan pembatasan-pembatasan suatu daerah tertentu.9

Ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan serta kegiatan pengolahan

hasil ekstraksi sumberdaya alam tersebut juga akan berinteraksi dengan penduduk

setempat, permukiman atau lokasi-lokasi pasar (outlet-Kota/pelabuhan). Interaksi

yang baik, aman, lancar, murah dan tidak mengganggu lingkungan alam yang

serasi merupakan kebutuhan untuk dapat memperlancar pemasaran hasil produksi

pemanfaatan sumberdaya alam, dan sekaligus akan memberikan dampak

timbulnya berbagai kegiatan pemanfaatan ruang lainnya yang berpotensi bagi

pengembangan wilayah dimasa yang akan datang.10

Berdasarkan beberapa pandangan tersbut, terlihat suatu keterkaitan antara

upaya pemanfaatan ruang wilayah dengan faktor optimasi pemnafaatan

sumberdaya alam, lingkungan dan pengembangan prasarana transportasi wilayah.

Upaya untuk mengembangkan wilayah harus sesuai dengan tujuan pokok

pengembangan wilayah yang ada dalam rencana tata ruang yang telah disepakati

sebelumnya. Tujuan ini selanjutnya dituangkan dalam rencana struktur dan pola

ruang serta berbagai indikasi program. Perwujudan rencana tata ruang dan

indikasi program tersebut masih memerlukan alat penjabarannya dalam bentuk

arahan kebijakan strategis.

Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

pengertian wilayah adalah “ruang” yang merupakan satu kesatuan geografis

beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Sementara itu, pengertian ruang

menurut Undang-undang yang sama adalah wadah yang meliputi ruang darat,

ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan

wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup lain, melakukan kegiatan dan

memelihara kelangsungan hidupnya. Dengan pengertian ruang tersebut, maka ada

ruang untuk kegiatan manusia melakukan kegiatannya (budidaya) dan ada ruang

untuk kelangsungan mahluk hidup lainnya yang harus dipelihara, dijaga, dan

9Ibid., hal.1210 Djakapermana, Op cit., hal. 14

Page 18: Artikel Erri Gunrahti

18

bahkan dlindungi agar kehidupannya bisa tetap berlangsung (ruang yang harus

dilindungi).

Berdasarkan pengertian Undang-undang tersebut, ada dua aspek yang harus

diperhatikan dalam konsep wilayah yaitu:

1. Di dalam wilayah ada unsur-unsur yang saling terkait yaitu ruangyang berfungsi lindung yang harus selalu dijaga keberadaannya danruang yang berfungsi budidaya sebagai tempat manusia melakukankegiatannya untuk kelangsungan hidupnnya, yang pada dasarnya,keduanya tidak biasa hidup dan berkembang serta survive(berkelanjutan) secara sendiri-sendiri.

2. Adanya pengertian deliniasi fungsi berdasarkan kooridnasi geografis(batas berdasarkan titik-titik kooridnat) yang deliniasinya bisa wilayahadmnisitrasi (pemerintahan) dan wilayah fungsi tertentu lainnya.Pengertian wilayah ini menurut Rustiadi et al akan selalu terkait aspekkepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan maupunpertahanan. Secara umum pengertian wilayah ini dapat dikelompokansebagai berikut:1) Ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan

ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yangmembentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yanghierarkis antara ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS)dengan sub DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan strukturbagian hutan tropisnnya.

2) Ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yangberorientasi menggambarkan maksud fungsi (manfaat-manfaat)ekonomi, seperti wilayah produksi, konsusmi, perdagangan,aliran barang dan jasa.

3) Ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yangtekait dengan budaya adat dan berbagai prilaku masyarakat,misalnya wilayah adat/marga, suku maupun wilayah pengaruhkerajaan.11

Menurut Rustiadi et al wilayah politik yaitu dimensi wilayah yang terkait

dengan batas administrasi, yaitu batasan ruang kewenangan kepala pemerintahan

yang mengatur dan mengelola berbagai sumber daya alam dan manffatnya untuk

kepentingan pengembangan wilayah yang akan diatur dan yang menjadi

kewenangan politiknya selaku penguasa wilayah.12

11 Ibid., hal.2812 Ibid., hal.29

Page 19: Artikel Erri Gunrahti

19

Kondisi sosial ekonomi merupakan suatu keadaan atau tingkat sosial dan

ekonomi masyarakat yang mempengaruhi atau menjadi indikator pemekaran

Kecamatan. Untuk melihat suatu keadaan tersebut, dapat dilihat dari beberapa

indikator seperti dibawah ini :

a. Pendidikanb. Kesehatanc. Transportasid. Mata pencahariane. Tingkat pendapatan

Metode rata -rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap

calon Kecamatan dan Kecamatan induk terhadap besaran/nilai rata-rata

keseluruhan Kecamatan di Kabupaten/Kota. Dalam hal terdapat Kecamatan yang

memiliki besaran/nilai indikator yang sangat berbeda (di atas 5 kali dari

besaran/nilai terendah), maka besaran/nilai tersebut tidak diperhitungkan.

Metode Kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai

kuota penentuan skoring baik terhadap calon Kecamatan maupun Kecamatan

induk. Untuk daerah Kabupaten, kuota jumlah penduduk Kecamatan untuk

pembentukan Kecamatan adalah 10 (sepuluh) kali rata-rata jumlah penduduk

desa/kelurahan seluruh Kecamatan di Kabupaten yang bersangkutan. Untuk

daerah Kota, kuota jumlah penduduk Kecamatan untuk pembentukan Kecamatan

adalah 5 (lima) kali rata-rata jumlah penduduk desa/kelurahan seluruh Kecamatan

di Kota yang bersangkutan.

Semakin besar perolehan besaran/nilai calon Kecamatan dan Kecamatan

induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan Kecamatan, maka

semakin besar skornya. Setiap indikator mempunyai skor dengan skala 1-5,

dimana skor 5 masuk dalam kategori sangat mampu, skor 4 kategori mampu, skor

3 kategori kurang mampu, skor 2 kategori tidak mampu dan skor 1 kategori sangat

tidak mampu. Pemberian skor 5 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau

sama dengan 80% besaran/nilai rata -rata, pemberian skor 4 apabila besaran/nilai

indikator lebih besar atau sama dengan 60% besaran/nilai rata-rata, pemberian

skor 3 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 40%

besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 2 apabila besaran/nilai indikator lebih

Page 20: Artikel Erri Gunrahti

20

besar atau sama dengan 20% besaran/nilai rata -rata, pemberian skor 1 apabila

besaran/nilai indikator kurang dari 20% besaran/nilai rata -rata. Setiap faktor dan

indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuai dengan perannya dalam

pembentukan Kecamatan.

G. Simpulan dan Saran

1. Simpulan

Pembentukan atau Pemekaran Kecamatan berdasarkan UU Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dilakukan dengan memenuhi syarat

administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif yang

dimaksudkan ialah batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima)

tahun, batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang

akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5 (lima) tahun, Keputusan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD), Keputusan Kepala Desa, dan Rekomendasi

Gubernur. Syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu

Kota, sarana dan prasarana pemerintahan yang tersedia. Kemudian Persyaratan

teknis yang dimaksud ialah jumlah penduduk, luas wilayah, rentang kendali

penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, aktivitas perekonomian, Ketersediaan

sarana dan prasarana.

2. Saran

Pemekaran Kecamatan haruslah didasarkan atas kebutuhan pembangunan

dan pelayanan masyarakat semata dan bukanlah unsur politis, sehingga ketentuan

dengan mengikut sertakan akademisi dan perguruan tinggi dalam penilaian

indikator. Sehingga diperlukan pengaturan yang lebih rinci mengenai teknis

penilaian dan kriteria seorang penilai dalam suatu Peraturan Pemerintah.

Page 21: Artikel Erri Gunrahti

21

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Djakapermana. 2005. Pengembangan Wilayah Melalui PendekatanKesisteman. IPB Press. Bogor.

Setiono, Sadu, Ismail Nurdin dan M. Fahrurozi. 2009. PerkembanganOrganisasi Kecamatan Dari Masa Ke Masa. Fokusmedia. Bandung.

Sitorus, S.R.P. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan.IPB Press. Bogor.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

PP Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat.

PP RI Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan danKriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

PPNomor 78 tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan KriteriaPemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.