Perencanaan tata ruang kolaboratif di Kabupaten Mamberamo Raya (Papua, Indonesia)
ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON...
-
Upload
duongkhanh -
Category
Documents
-
view
227 -
download
1
Transcript of ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON...
MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN
BERBASIS KARBON
(Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri,
Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)
ARNALDO HENDRIX S.
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTANBERBASIS KARBON
(Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri,Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)
ARNALDO HENDRIX S.
SkripsiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTANFAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2012
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Model Simulasi
Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon (Studi Kasus di IUPHHK PT. Mamberamo
Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)” adalah benar-benar
hasil karya sendiri dengan bimbingan Dosen Pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2012
Arnaldo Hendrix S.
Judul Penelitian : Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon (Studi
Kasus di IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten
Mamberamo Raya, Provinsi Papua)
Nama : Arnaldo Hendrix S.
NIM : E14070083
Menyetujui:
Dosen Pembimbing :
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS.
NIP. 19610720 198601 1001
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suhardjito, MS.
NIP. 19630401 199403 1001
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 04 Februari 1989
sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak
Herry Cahyanto dan Ibu Rahayu Ningsih. Pendidikan formal
yang pernah ditempuh penulis dimulai dari TK Pertiwi
Tangerang pada tahun 1993, kemudian dilanjutkan di SD
Negeri Citapen 2 Tasikmalaya yang diselesaikan tahun 2001.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SLTP Negeri 2 Tasikmalaya
dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan ke SMA
Negeri 5 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2007, kemudian pada tahun
tersebut juga penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan,
Departemen Manajemen Hutan, melalui Undangan Seleksi Masuk IPB.
Selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota divisi Peningkatan
Sumber Daya Masyarakat PC Sylva IPB pada tahun 2008, Ketua divisi bidang
Pengkaderan dan Penguatan Organisasi PC Sylva IPB pada tahun 2009, dan
Wakil ketua PC Sylva IPB pada tahun 2010. Selain itu penulis juga aktif dalam
kepanitiaan Bina Corps Rimbawan 2009 sebagai anggota komisi disiplin dan
panitia Temu Manajer 2009 sebagai kepala divisi bidang logistik dan trasnportasi.
Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi Sumber
Daya Hutan tahun ajaran 2009/2010.
Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH)
yang dilaksanakan di Cagar Alam Pangandaran - Gunung Sawal, Ciamis dan
Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) yang dilaksanakan di Hutan Pendidikan
Gunung Walat, KPH Cianjur dan industri pengelolaan kayu di Sukabumi, Jawa
Barat. Pada bulan April sampai Juni 2011 penulis melaksanakan Praktek Kerja
Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
Skripsi dengan judul Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon (Studi
Kasus di IUPHHK-HA PT.Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo
Raya, Provinsi Papua) dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH
Melalui lembaran ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Ayahanda Herry Cahyanto, Ibunda Rahayu Ningsih, Mba Vani dan de’
Vina yang senantiasa memberikan doa dan kasih sayangnya selama ini.
2. Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama pelaksanaan penelitian
hingga penulis menyelesaikan karya ilmiah ini.
3. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MSi selaku dosen penguji dalam sidang
komprehensif yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis.
4. Beasiswa BUMN IPB yang telah memberikan bantuan materi selama
penulis menyelesaikan karya ilmiah ini .
4. Keluarga besar PT Mamberamo Alamandiri baik yang ada di kantor pusat
Jakarta maupun yang berada di camp.
8. Rekan-rekan seperjuangan selama PKL dan Penelitian : Hikmah, Christa,
Puji, Ade, Qori, Andri, Rudi dan teman sepermainan : Bayu, Ade mbah,
Dian, Anis, Elvia (vivi), Fathia, atas bantuan dan motivasinya selama
penulis bersama kalian.
9. Keluarga besar Fakultas Kehutanan khususnya MNH’44 dimanapun
kalian berada, semoga tetap terjalin silaturahmi.
10. Teman-Teman PC Sylva IPB dan semua pengurus Sylva Indonesia yang
telah berbagi pengetahuan tentang kehutanan.
11. Wisma Mujako beserta penghuninya Hendri, Harwan dan Slamet yang
telah berbagi suka dan duka selama tinggal bersama (Elby puyuh akan
selalu dikenang, keep contact guys).
12. Seluruh pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah membantu selama proses perkuliahan sampai dengan selesainya
karya ilmiah ini.
RINGKASAN
ARNALDO HENDRIX S. Model Simulasi Pengelolaan Hutan BerbasisKarbon (Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri,Provinsi Papua). Dibimbing oleh BUDI KUNCAHYO.
Tingginya permintaan pasar akan kebutuhan kayu yang terus meningkatserta mendukung pemerintah dalam penurunan emisi karbon, maka perludilakukan suatu simulasi guna menentukan formula yang tepat dalam pengelolaanhutan. Formula tersebut diterapkan ketika kebijakan moratorium penebanganhutan berlaku di Indonesia. Penelitian ini mensimulasikan beberapa skenariobentuk pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat selain kayu, karenabaik kayu, karbon dan hasil hutan bukan kayu pada akhir-akhir ini memilikipangsa pasar yang tinggi. Skenario tersebut terdiri dari skenario pengelolaan hutanmenggunakan sistem TPTI, skenario pengelolaan hutan berbasis karbon, skenariopengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sarang semut, skenario pengelolaanhutan kombinasi karbon dengan usaha minyak lawang, dan skenario pengelolaanhutan kombinasi karbon dengan usaha sagu. Bentuk pengelolaan hutan yang tepatdapat memberikan manfaat dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial.
Hasil simulasi skenario, menunjukan nilai kelayakan usaha pada masing-masing skenario memiliki net present value (NPV) positif, benefit cost ratio(BCR) lebih dari 1 dan internal rate return (IRR) lebih dari tingkat suku bungayang digunakan. Hal tersebut menunjukan bahwa skenario masing-masing usahalayak untuk dijalankan. Nilai NPV, BCR dan IRR tertinggi ada pada skenariopengelolaan hutan kombinasi karbon dan pemanfaatan sagu, dengan nilai NPVsebesar Rp. 25.170.588,59. Nilai ini menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkandalam kegiatan pengelolaan akan memberikan keuntungan selama umur usaha 5tahun menurut nilai sekarang. Nilai BCR pada skenario pengelolaan hutankombinasi karbon dan pemanfaatan sagu sebesar 1,47. Keadaan tersebutmenggambarkan bahwa manfaat yang diperoleh selama umur proyek sebesar nilaiBCR lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan untuk nilai IRR padaskenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pengusahaan sagu sebesar28 % berada diatas suku bunga bank yang digunakan yaitu 10%. Nilai tersebutmenujukan kriteria kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan terbaik secarafinansial ada pada skenario kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon denganpemanfaatan sagu. Hal ini juga didukung dengan tingkat kelestarian strukturtegakan yang baik dan memiliki standing stock yang besar pada siklus tebangberikutnya karena pemanfaatan kayu dihentikan sementara dan beralih kepemanfaatan jasa penyerapan karbon.
Kata Kunci : Model simulasi, pengelolaan hutan, kombinasi pendapatan,kelayakan finansial, karbon.
SUMMARY
ARNALDO HENDRIX S. Simulations Model of Carbon Based ForestManagement (Case Study in IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri,Papua Province). Under supervision by BUDI KUNCAHYO.
In order to fullfilling market demand of wood which still increasing and tosupport government commitment on global emission reduction effort, there shouldbe a simulation to determine good formula on forest management. This formulaapplied when forest moratorium occur in Indonesia. The study simulating someforest management scenario’s by considering another benefits of forest wood,because wood, carbon and non timber forest products has a high market demandnowadays. The scenario’s include forest management with TPTI system, carbonbased forest management system, combination system between carbon based andants nest scenario, carbon based and mace oil combination management scenario,and carbon based and sago utilization management scenario. A proper forestmanagement could give a good economic, ecology and social benefit.
The scenario of simulation results a value of business feasibility on eachscenarios, has a positive value of net present value (NPV), benefit cost ratio(BCR) more than 1 and internal rate of return more than interest rate used. Thismeans each scenario of business is feasible. The highest value of NPV, BCR andIRR is on carbon combination forest management and sagoo utilization, by valueNPV of Rp. 25.170.588,59. This value indicates the cost used on forestmanagement giving benefit during financial analysis time, which is 5 based onpresent value. BCR value of carbon based and sago utilization scenario is 1.47This condition illustrates benefit obtained as much as BCR during project time, isbigger than the cost issued. Meanwhile the IRR value of carbon based and sagoutilization scenario is 28% above bank rate is 10%, this value indicates the goodcriteria of business feasibility based on financial is combination carbon based andsago utilization forest management. This is also supported by a good level ofsustainability of standing stock on next harvest cycle, due to banned woodutilization and turn to carbon sequestration service utilization.
Key words: Simulation model, forest management, income combination, financialanalysis, carbon.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Karbon (Studi Kasus di IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten
Mamberamo Raya, Provinsi Papua). Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini
adalah sebagai syarat kelulusan pada program sarjana Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan banyak
kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran
yang bersifat membangun guna memperbaiki skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua.
Bogor, Januari 2012
Penulis
i
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………….……………….…………….………. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………............ ii
DAFTAR TABEL ………………………………………………….…………... iv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………. v
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………. vi
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
1.3 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 4
2.1 Fungsi Hutan Terhadap Perubahan Iklim ................................................... 4
2.2 Komposisi dan Struktur Tegakan................................................................ 5
2.3 Kandungan Biomassa dan Karbon di Atas Permukaan Tanah.................... 6
2.4 Perdagangan Karbon dengan Skema REDD............................................... 8
2.5 Skenario Pengelolaan Hutan ..................................................................... 10
2.6 Pemodelan Sistem ..................................................................................... 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 19
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................... 19
3.2 Alat dan Bahan.......................................................................................... 19
3.3 Metode Penelitian...................................................................................... 19
3.4 Kerangka Penelitian .................................................................................. 24
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN.......................................... 25
4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan ...................................................................... 25
4.2 Letak Geografis dan Luas IUPHHK ......................................................... 25
4.3. Topografi dan Kelerengan................................................................................25
4.4 Tanah dan Geologi ............................................................................................25
4.5 Iklim dan Intensitas Hutan ........................................................................ 26
4.6 Keadaan Hutan .......................................................................................... 26
4.7 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat.................................................. 27
iii
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 28
5.1 Struktur Tegakan Awal Pada Hutan Bekas Tebangan .............................. 28
5.2 Model Pengelolaan Hutan Menggunakan Sistem TPTI............................ 29
5.3 Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon .............................. 39
5.4 Pengelolaan Hutan Kombinasi.................................................................. 42
5.5 Kombinasi Skenario Terbaik..................................................................... 48
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 50
6.1 Kesimpulan ............................................................................................... 50
6.2 Saran.......................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 51
LAMPIRAN…………………………………………………………………….. 54
iv
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1 Parameter pengukuran biomassa dan metode pengukuranya….….............… 7
2 Persamaan alometrik estimasi biomassa……………………..…...............… 8
3 Penutupan vegetasi IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri…................... 27
4 Rekapitulasi data komposisi tegakan ……………..………............….......... 29
5 Skenario perubahan suku bunga……………………………..........………... 39
6 Perbandingan kelayakan usaha masing-masing skenario…..........………..... 48
v
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1 Tumbuhan sarang semut Myrmecodia pendans Merr. & Perry….............… 12
2 Hubungan antar sub model …………………………...…..........…..…..….. 21
3 Grafik curah hujan rata-rata bulanan tahun 2010 ………..............…......... 26
4 Kondisi struktur tegakan awal areal hutan bekas tebangan….............……. 28
5 Model konseptual dinamika struktur tegakan…………...........…....………. 32
6 Sub model pendapatan………………………………..........…………..….... 34
7 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-2……............………..……. 35
8 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-3……………............…....... 35
9 Analisis sensitivitas model………………………………..…..…................ 36
10 Potensi tegakan pada pengelolaan hutan untuk produksi kayu…............… 37
11 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga…………........…. 38
12 Sub model pendugaan stok karbon…………………………………........... 39
13 Sub model pendugaan biaya pengusahaan karbon……………..............…. 41
14 Struktur tegakan pada pengelolaan hutan penyerapan karbon…….........… 41
15 Sub model pengusahaan sarang semut……………………….............…… 43
16 Sub model usaha minyak lawang………………………………………..… 44
17 Sub model usaha sagu………………………………………….............…. 46
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Struktur tegakan awal pada hutan bekas tebangan 3 tahun…....................... 54
2. Peta PT. Mamberamo Alasmandiri....... ...................................... ................. 55
3. Print out persamaan model…………………………………...……………… 56
4. Pertumbuhan tegakan secara periodik………………………………………...60
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada pengelolaan hutan menggunakan sistem silvikultur TPTI, terjadi
penurunan siklus tebang dan batas diameter minimal pohon layak tebang yang
diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009. Hal ini menyebabkan besarnya
volume tebangan yang tidak diiringi dengan peningkatan riap pertumbuhan pohon
yang mengakibatkan tingkat kelestarian hutan sulit dicapai pada siklus tebang
berikutnya. Riap pohon berbeda-beda untuk jenis pohon yang berbeda, tergantung
oleh beberapa faktor antara lain : kesuburan tanah, iklim, dan ketersediaan air
(Wartono & Manan 1992).
Penurunan siklus tebang berdampak pula pada tingginya laju deforestasi
hutan dan degradasi lahan. Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia selama
tahun 2003 – 2006 mencapai 1,089 juta hektar per tahun (Kementerian Kehutanan
2009). Berbagai upaya untuk pengurangan laju deforestasi kini mulai dilakukan
oleh pihak yang memiliki perhatian terhadap masalah hutan dan lingkungan
hidup. Hal ini dilakukan agar dampak negatif akibat kegiatan deforestasi dapat
dikurangi atau bahkan dihentikan.
Suatu tindakan adaptasi lingkungan melalui pengurangan laju deforestasi
hutan dan degradasi lahan dengan cara mempertahankan kandungan karbon di
hutan dapat memberikan manfaat tambahan dalam segi lingkungan maupun
pendapatan yang dihasilkan dari kompensasi jasa penyerapan karbon ketika
perdagangan karbon berlaku. Indonesia melakukan kerjasama dengan Norwegia
dengan cara menyediakan jasa penyerapan karbon tersebut, kemudian Norwegia
siap mengalokasikan 3 miliar NOK (satuan mata uang Norwegia) per tahun untuk
menyokong upaya REDD (Reducing emissions from deforestation and
degradation) di negara-negara berkembang yang bersedia membantu
menurunkan emisi global (Angelsen et al. 2010).
Kompensasi dari penyerapan karbon bisa menjadi income tambahan bagi
negara yang menghasilkan jasa penyerapan karbon disamping pendapatan pokok
dari sektor kehutanan yang terdiri dari sumber penerimaan negara bukan pajak
2
sebesar ± Rp. 2.201.613.190 yang berasal dari dana reboisasi sebesar ± Rp.
1.454.865.578.120, provisi sumberdaya hutan sebesar ± Rp. 674.358.139.370, dan
iuran hak pengusahaan hutan sebesar ± Rp. 72.389.473.500 (Departemen
Kehutanan 2009). Selain itu, perusahaan juga dapat memanfaatkan potensi lain
selain kayu sebagai nilai tambah ketika perdagangan karbon berlaku untuk
menutupi biaya tetap yang dikeluarkan dan memperoleh keuntungan tambahan
disamping kompensasi penyerapan karbon. Potensi yang dapat dimanfaatkan dari
hasil hutan bukan kayu yang memiliki pasar cukup baik antara lain : pemanfaatan
sarang semut, usaha minyak lawang dan usaha sagu.
Sarang semut merupakan salah satu tumbuhan epifit dari hidnophytinae
(Rubiaceae) yang dapat bersimbiosis dengan semut dan menempel pada tumbuhan
lain tetapi tidak hidup secara parasit pada inangnya. Sarang semut merupakan
hasil hutan bukan kayu yang berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit
ringan dan berat, seperti kanker dan tumor, asam urat, jantung koroner, wasir,
TBC, migren, rematik, dan leukemia. Tanaman ini mengandung senyawa aktif
penting seperti flavanoid, tokoferol, fenolik dan kaya akan berbagai mineral yang
berguna sebagai anti-oksidan dan anti-kanker (Subroto 2007).
Potensi lain yang bisa dimanfaatkan adalah kulit pohon lawang yang dapat
diolah menjadi minyak lawang. Minyak Lawang adalah minyak yang dikenal
sangat panas, digosokkan pada bagian yang sakit akan mendatangkan pemulihan
dari sakit yang diderita. Diolah melalui proses penyulingan yang diambil dari kulit
pohon lawang. Minyak lawang sangat berkhasiat untuk meredakan nyeri yang
ditimbulkan oleh rematik baik rematik karena udara dingin maupun oleh karena
asam urat yang berlebih. Minyak Lawang cocok digunakan untuk wilayah yang
dingin sebagai penghangat badan.
Sagu (Metroxylon sago Rottb.) merupakan sumber karbohidrat yang cukup
potensial di Indonesia dan sebagian besar berada di Papua. Di sekitar areal kerja
perusahaan banyak ditemui tanaman sagu yang dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitar hutan sebagai makanan pokok. Meski sudah diketahui potensinya besar,
namun bahan pangan yang satu ini belum banyak tersentuh dalam konteks
pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Selama ini sagu belum dibudidayakan
secara efektif, bahkan bisa dikatakan sekedar tumbuh secara liar.
3
Sagu (Metroxylon spp) termasuk ordo Sapindiciflorae, sub famili
Calamoideae dari famili Palmae. Nama tanaman sagu yang dengan bahasa latin
Metroxylon spp, berasal dari 2 (dua) kata, yaitu : Metra yang berarti empulur, dan
Xylon yang berarti Xylem. Metroxylon sagu berarti tanaman yang tumbuh di
daerah berair, berbunga hanya sekali, serta toleran terhadap salinitas. Sagu
termasuk salah satu dari beberapa jenis palem yang penting dan telah diolah sejak
dahulu kala. Sagu dinggap penting karena memproduksi atau menghasilkan pati
(tepung sagu) yang merupakan sumber karbohidrat (Flach 1983).
Potensi hutan di Indonesia yang semakin menurun setiap tahunnya
diakibatkan oleh pemanfaatan kayu secara berlebihan, sehingga menyebabkan
stok tegakan sebagai penyerap karbon semakin sedikit. Hal ini berkorelasi negatif
dengan tingginya emisi global yang semakin bertambah setiap tahunnya. Untuk
itu perlu adanya simulasi skenario pengelolaan hutan yang tepat dengan cara
mengkombinasikan pengelolaan hutan berbasis karbon dengan hasil hutan bukan
kayu lainya agar kelestarian tegakan dan manfaat lingkungan dapat terjaga, selain
itu dari segi ekonomi perusahaan bisa memperoleh keuntungan yang maksimal.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Membuat model simulasi tegakan pada pengelolaan hutan menggunakan
sistem TPTI.
2. Membuat model simulasi tegakan pada pengelolaan hutan berbasis karbon.
3. Membuat dan memilih skenario pengelolaan hutan terbaik yang dapat
dikombinasikan dengan pengelolaan hutan berbasis karbon.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memperoleh skenario pengelolaan hutan
terbaik dengan memperhatikan manfaat kelestarian ekonomi, ekologi dan sosial.
Informasi yang diperoleh dapat dijadikan arahan bagi para pemegang kebijakan
atau dalam hal ini pihak pengelola HPH PT. Mamberamo Alasmandiri yang dapat
digunakan sebagai indikator dalam menentukan strategi pengelolaan dan
pemanfaatan hutan secara optimal.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fungsi Hutan Terhadap Perubahan Iklim
Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan
hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan
lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Indonesia memiliki
hutan terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire. Luas kawasan hutan di Indonesia
yang mencapai ± 133.841.806 ha yang terdiri dari luasan Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan alam (IUPHHK-HA) sebesar ± 26,169,813 ha dan
luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
(IUPHHK-HT) sebesar ± 10.039.052 ha (Dirjen Planologi Kehutanan 2009).
Potensi tersebut dapat dimanfaatkan diantaranya sebagai penyeimbang
siklus karbon di atmosfir melalui proses fotosintesis. Penyerapan CO2 di udara
oleh tegakan dibantu sinar matahari dan air dapat menghasilkan karbohidrat yang
kemudian diolah dalam organ tumbuhan, yaitu : batang, cabang, ranting, dan
daun. Sehingga dengan mengukur jumlah karbon yang tersimpan dalam suatu
areal dapat menggambarkan CO2 yang terserap dari udara. Kondisi hutan dengan
fase masa pertumbuhan mampu menyerap lebih banyak CO2 jika dibandingkan
dengan hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam pertumbuhanya
yang hanya mampu menyerap sedikit CO2 karena telah mencapai keseimbangan
dimana tingkat pembentukan dan pelapukan seimbang (Hairiah & Rahayu 2007).
Pada hutan bekas tebangan memiliki tingkat penyerapan CO2 yang tinggi
karena lebih didominasi oleh tingkat permudaan pohon yang berada dalam fase
pertumbuhan. Setelah hutan alam atau sisa-sisa hutan alam terdegradasi akibat
adanya intervensi manusia dari kegiatan tebang pilih atau pembalakan kayu yang
tak terkontrol. Hutan sekunder akan berkembang dari benih pohon-pohon pionir
yang telah bereproduksi dan jatuh ke permukaan tanah, dari sisa-sisa tebangan
(tunggul pohon) atau melalui regenerasi jenis pohon klimaks hingga kembali ke
keadaan seperti semula selama proses tersebut tidak terganggu.
5
Hutan sekunder memiliki sifat sebagai berikut :
1. Komposisi dan struktur tegakan tidak hanya tergantung pada luas keterbukaan
namun juga pada umur keterbukaan areal.
2. Tegakan muda memiliki komposisi dan struktur tegakan lebih seragam
dibandingkan dengan hutan aslinya.
3. Pohon jenis niagawi sangat sulit ditemui sedangkan jenis-jenis pohon cepat
tumbuh (fast growing species) lebih mendominasi.
4. Persaingan ruangan dan sinar matahari yang intensif sering membuat batang
bengkok karena pertumbuhan pohon mengikuti arah sinar matahari.
5. Memiliki riap awal yang besar, karena pertumbuhan tegakan distimulus oleh
sinar matahari yang langsung masuk akibat keterbukaan areal dan lambat laun
riap tersebut akan mengecil.
6. Memiliki struktur tegakan, komposisi tegakan, dan riap tegakan yang tidak
pernah stabil, sehingga mengakibatkan sulitnya merencanakan pemasaran
hasil yang tepat.
Kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur di hutan alam tropis
dapat menimbulkan perubahan terhadap ekosistem hutan yang cukup besar.
Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam mengakibatkan kerusakan
vegetasi hutan dan kerusakan tanah. Disamping itu kegiatan pemanenan kayu
berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal
50%. Di hutan tropis asia penurunan cadangan karbon akibat aktifitas pemanenan
kayu berkisar antara 22-67% (Butler 2007).
2.2 Komposisi dan Struktur Tegakan
Keanekaragaman jenis pohon pada hutan alam umumnya lebih tinggi
dibandingkan dengan tipe hutan tanaman. Tingginya keanekaragaman jenis
tersebut diwakili oleh banyaknya jumlah jenis pohon yang ditemukan per satuan
luas. Struktur tegakan dapat menjelaskan tentang tingkat kerapatan suatu
tegakan, selain itu struktur tegakan juga dapat menjelaskan tentang distribusi
jumlah pohon berdasarkan kelas diameternya. M engukur kerapatan tegakan
berguna untuk mengindikasikan kuantitas kayu yang berada di atas tegakan
( Husch et al. 2003).
6
Tegakan hutan adalah sekumpulan pohon yang memiliki karakteristik
seperti komposisi, ukuran dan umur (Kohyama 1993). Tegakan dapat
diekspresikan sebagai unit per luas area seperti volume, luas bidang dasar,
jumlah pohon, dan sebagainya. Tetapi sering juga diekspresikan dalam skala
relatif sebagai persentase dari keadaan kerapatan penuh atau sebagai persentase
kerapatan rata-rata. Hasil dari proyeksi struktur tegakan berguna untuk pengaturan
hasil dan prediksi kandungan biomassa dan nilai karbon tersimpan pada tegakan.
Struktur tegakan merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis
pohon dengan dimensi diameter pohon dalam suatu kawasan hutan yang berguna
untuk mempertahankan keanekaragaman jenis. Pengetahuan menyangkut struktur
tegakan memberi informasi dinamika populasi suatu jenis mulai dari tingkat
semai, pancang, tiang dan pohon. Struktur tegakan dapat memberikan berbagai
informasi penting bagi pengelola hutan melalui upaya pemodelan untuk keperluan
prediksi yang sesuai dengan kondisi yang akan datang (Kohyama 1993).
Demikian disampaikan oleh Burkhart (1990) dalam Thornley (1998)
bahwa pemodelan pertumbuhan merupakan dasar pengelolaan hutan yang
bertujuan untuk mengekstrapolasi prediksi kegunaan untuk tujuan pengelolaan
pada basis yang dibatasi pada sejumlah hasil yang diinginkan. Dalam pemodelan
hutan, Thornley (1998) membedakan atas model individu pohon yakni terdiri atas
pengukuran dimensi tinggi, diameter, umur dan lain-lain serta model tegakan
keseluruhan seperti model pertumbuhan dan hasil tegakan.
2.3 Kandungan Biomassa dan Karbon di Atas Permukaan Tanah
Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hayati maupun
non hayati yang berada di atas maupun yang berada di bawah permukaan tanah.
Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan
mengubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis (Brown 1997).
Faktor yang mempengaruhi besarnya biomassa diantaranya adalah iklim, curah
hujan, umur tegakan, struktur tegakan, kerapatan tegakan, serta kualitas tempat
tumbuh yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan pohon yang ekuivalen
dengan besarnya biomassa. Jumlah cadangan karbon ditentukan oleh : luasan areal,
kerapatan tegakan perhektar, dan komposisi jenis tegakan.
7
Penggunaan persamaan alometrik dapat mengurangi tindakan perusakan
selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi berdasarkan pada
pengukuran diameter batang. Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa
pemanenan kayu merupakan penyebab utama penurunan jumlah stok karbon
yang diserap oleh hutan dimana karbon yang ditinggalkan di dalam tegakan
terdapat di bawah permukaan tanah, tegakan tinggal, semai, tumbuhan bawah, dan
limbah kegiatan pemanenan kayu. Prosedur pengumpulan data biomassa di atas
tanah disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Parameter pengukuran biomassa dan metode pengukuranya
No Parameter Metode
1 Serasah dan Tumbuhan bawah Destruktive
2 Pohon hidup Non- Destruktive, persamaan alometrik
3 Pohon mati berdiri Non- Destruktive, persamaan alometrik
(nekromassa) (bercabang) dan persamaan silinder.
4 Pohon mati roboh Non- Destruktive, persamaan silinder
(nekromassa) atau alometrik untuk yang bercabang
5 Tunggak pohon (nekromassa) Non- Destruktive, persamaan silinder
Sumber : Hairiah dan Rahayu 2007.
Pengukuran karbon membutuhkan data biomassa tumbuhan yang dapat
diukur dengan menggunakan 2 sistem, yaitu : sistem destruktive sampling
merupakan metode pengukuran biomassa dengan cara merusak atau menebang
pohon untuk selanjutnya dilakukan pengukuran berat basah di berbagai carbon
pool yang terdiri dari biomassa atas, biomassa akar, biomassa kayu mati,
biomassa serasah dan biomassa tanah organik (Ostwald 2008), sedangkan sistem
non-destruktive sampling merupakan pengukuran biomassa dengan cara tidak
merusak pohon dan menggunakan konversi persamaan alometrik dimana
parameter yang digunakan antara lain : diameter, tinggi dan berat jenis.
Persamaan alometrik merupakan pendekatan regresi yang sering
digunakan dalam menduga biomasa. Brown (1997) telah membangun persamaan
allometrik untuk hutan tropis. Beberapa persamaan alometrik dalam pengukuran
biomassa pohon di hutan tropis dalam tiga bentuk berdasarkan intensitas curah
hujannya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
8
Tabel 2 Persamaan alometrik estimasi biomassa
Curah hujan
tahunan
Persamaan Allometrik Kisaran
DBH
Sampel
Pohon
R²
Kering
(<1500 mm/Thn)
B = exp[-1,996 + 2,32*ln(D)] 5-40 cm 28 0,89
B = 10^[-0,535 + log10(BA)] 5-30 cm 191 0,94
Lembab
(1500-4000 mm/thn)
B = 42,69 - 12,800(D) + 1,242 (D²)5-148 cm 170
0,84
B = exp[-2,134 + 2,530 * ln (D)] 0,97
Basah
(>4000 mm/thn)B = 21,297 - 6,953 (D) + 0,740 (D²) 4-112 cm 169 0,92
Keterangan : B = Biomassa (Kg), D = Diamater (cm), BA = Basal Area (cm²)
Pendugaan karbon diperoleh dari hasil konversi sebesar 50% dikali
dengan kandungan biomassanya. Hasil penelitian Onrizal (2004) menyebutkan
bahwa hubungan antara kandungan biomassa setiap bagian pohon berhubungan
secara linear dengan kandungan karbonnya, karbon suatu pohon akan
meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan biomassa pohon tersebut.
2.4 Perdagangan Karbon dengan skema REDD
Perdagangan karbon adalah kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari
kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan melalui penyerapan emisi oleh tegakan.
Pengurangan emisi dari deforestasi hutan dan degradasi lahan yang selanjutnya
disebut REDD merupakan semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka
pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok
karbon untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Pembayaran
karbon hutan dapat terjadi melalui penyerapan karbon yang diperoleh dari
penyerapan CO2 dalam penanaman pohon atau perlindungan karbon tersimpan
yang sebaliknya dapat teremisi dari hutan alam (Kementerian Kehutanan 2009b).
Perdagangan karbon dapat membantu penurunan emisi global yang
dihasilkan dari negara maju (Annex 1) dengan cara membeli kredit REDD
(offsets) untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka sendiri. Selain itu,
manfaat lain dari perdagangan karbon adalah penjualan jasa penyerapan karbon
(Payments for Environmental Services) di tingkat internasional. Pembeli jasa
akan membayar kepada penyedia jasa untuk jasa lingkungan atau kegiatan yang
dapat memberikan jasa tersebut (Angelsen 2010).
9
Pertimbangan pendekatan nasional bukan berdasarkan pengurangan emisi,
tetapi kemampuan suatu negara untuk mempertahankan pengurangan karbon
sesuai tingkat referensi yang telah ditetapkan tanpa mempedulikan lokasi persis
sumber pengurangan tersebut, Jika suatu negara melampaui tingkat referensi yang
telah ditetapkan, maka salah satu alternatifnya adalah negara tersebut berusaha
menurunkan emisi dengan cara lain atau membayar denda. Melalui ‘sistem debit’
misalnya, nilai emisi di atas tingkat referensi akan dipotong dari pendapatan
kredit emisi di masa mendatang. (Schlamadinger & Johns 2006).
Metode untuk mengukur perubahan stok karbon karena degradasi hutan,
yaitu : metode perubahan stok karbon (stock-difference) dan metode tambah-
kurang (gain-loss). Metode perubahan stok dibangun berdasar inventarisasi hutan
yang biasanya dilakukan untuk menaksir serapan atau emisi karbon. Sedangkan
metode tambah-kurang berdasarkan pemahaman dari sifat ekologis hutan,
bagaimana hutan tumbuh, bagaimana proses alami dan pengaruh manusia
mengakibatkan pengurangan karbon di dalam hutan. Metode perbedaan stok
mengukur stok biomassa di awal dan akhir periode penghitungan, untuk masing-
masing pool karbon (IPCC 2006). Metode tambah-kurang menaksir terjadinya
penambahan biomassa dari pertumbuhan rata-rata per tahun (Mean Annual
Increment), dikurangi taksiran biomassa yang berkurang karena kegiatan seperti
penebangan pohon, pengumpulan kayu bakar, dan kebakaran. Apabila wilayah
hutan dikelompokkan berdasar penyebab degradasinya, maka ada kemungkinan
untuk mengetahui seberapa banyak kayu yang diambil pada kurun waktu tertentu
dengan cukup akurat.
Skema REDD diharapkan dapat meningkatkan serapan karbon melalui
additionality dari business as usual dalam rangka upaya mitigasi sampai dengan
tahun 2020 nanti diharapkan mampu menyerap 1.31 Gt CO2 dengan menanam
500.000 hektar per tahun. Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan
berhutan maka dapat menunda terjadinya emisi ke atmosfer. Rencana Strategis
Kementerian Kehutanan 2010-2020 disusun untuk merealisasikan komitmen
Pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 26% melalui kegiatan pengayaan
dan penanaman hutan serta pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m3
menjadi 9 juta m3 (Ramos 2006).
10
2.5 Skenario Pengelolaan Hutan
Skenario pengelolaan hutan dibuat untuk mengetahui manfaat terbaik yang
diperoleh dari alternatif skenario pengelolaan hutan dengan memperhatikan
manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial. Berikut adalah beberapa skenario yang
akan disimulasikan dalam penelitian.
2.5.1 Pengelolaan Hutan untuk Penyerapan Karbon
Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m3 kayu bulat tiap
tahunnya. Hal ini tidak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan.
Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan
alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m3. Maraknya
pembalakan liar mengakibatkan ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu
yang semakin merusak hutan. Total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan
produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m3, telah menyebabkan kerugian
negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006 (Smith et al. 2002).
Perlu adanya tindakan pengurangan penebangan atau bahkan penghentian
sementara (moratorium) eksploitasi kayu agar kelestarian tegakan bisa terjaga.
Moratorium penebangan adalah penundaan dan atau pengurangan produksi kayu
dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga kelestarian
tegakan dan carbon sink dari hutan serta serapan karbon di atmosfer. Tujuan dari
pemberlakuan moratorium adalah mempertahankan stok tegakan dan hutan yang
diharapakan mampu mengurangi emisi global (IFCA 2007).
Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut
ditindaklanjuti dengan moratorium, maka akan berdampak pada kemampuan
pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu nasional sehingga dapat mengurangi
pendapatan negara dari sektor kehutanan. Indonesia membutuhkan dana
kompensasi sebesar Rp.75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan
moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam
pada 110 perusahaan HPH dan 77 perusahaan HTI. Lebih lanjut menjelaskan
bahwa perusahaan tersebut berencana melakukan penebangan kayu seluas 1,84
juta hektar dengan potensi sebesar 79,69 juta m3 hingga 2018 (Departemen
Kehutanan 2009).
11
2.5.2 Kombinasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon
Permintaan pasar akan kebutuhan kayu yang semakin meningkat serta
mendukung pemerintah dalam penurunan emisi global sebesar 26%, maka
diperlukan suatu tindakan pola adapatasi lingkungan dengan memperhatikan
manfaat kelestarian ekonomi, ekologi, dan sosial. Salah satunya dengan
mengkombinasikan pengelolaan hutan untuk memproduksi kayu dengan
penyerapan karbon agar keseimbangan iklim dan pemenuhan kebutuhan kayu
terpenuhi. Untuk itu, dibutuhkan suatu formula yang tepat agar kelestarian
tegakan dan pendapatan negara dari sektor kehutanan tidak terlalu menurun.
Dengan skenario tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian stok tegakan dan
mengurangi laju deforestasi di Indonesia, selain itu juga dapat mengurangi
pemanasan global dengan cara mempertahankan fungsi tegakan sebagai penyerap
emisi. Hal ini juga dapat menjadi nilai tambah bagi pendapatan negara dari sektor
kehutanan yang dihasilkan dari pembayaran jasa penyerapan karbon.
2.5.3 Sarang Semut
Skenario pengusahaan yang dapat dikombinasikan dengan pengelolaan
hutan berbasis karbon adalah usaha hasil hutan non kayu melalui pengelolaan
sarang semut yang memiliki potensi besar di Papua dan banyak diminati
konsumen belakangan ini. Skenario tersebut dilakukan ketika kebijakan
moratorium penebangan berlaku di Indonesia dan pendapatan perusahaan yang
dihasilkan dari jasa penyerapan karbon tidak dapat memenuhi besarnya
pengeluaran perusahaan.
Sarang semut (Myrmecodia pendans Merr. & Perry.) merupakan
tumbuhan dari family Rubiaceae yang berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini
bersifat epifit menempel pada tumbuhan lain. Ukuran sarang semut juga beragam.
Biasanya bagian umbi sarang semut mengalami proses menggelembung sejalan
dengan pertambahan usia tanaman. Daunnya juga beragam, ada yang bulat
lonjong, memanjang, namun rata-rata umbinya melonjong dengan tebaran duri
bersusun pada pola tertentu di bagian luarnya. Di dalam umbi itu terdapat labirin
yang dihuni oleh semut dan cendawan. Daging umbi tanaman itulah yang diiris
tipis-tipis, kemudian dijemur dan dijadikan obat herbal (Subroto 2007).
12
Gambar 1 Tumbuhan sarang semut Myrmecodia pendans Merr. & Perry.
Menurut Subroto dan Hendro (2006), klasifikasi dari tumbuhan sarang
semut adalah sebagai berikut :
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliospida
Subkelas : Lamiidae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Myrmecodia
Spesies : Myrmecodia pendans Merr. & Perry
Genus sarang semut tersebut dibagi menjadi beberapa spesies berdasarkan
struktur umbinya. Hydnophytum terdiri dari 45 spesies dan Myrmecodia 26
spesies. Tumbuhan sarang semut telah terbukti dapat menyembuhkan beragam
penyakit ringan dan berat, antara lain : kanker, tumor, asam urat, jantung koroner,
wasir, TBC, migren, rematik, dan leukemia. Sarang semut mengandung flavonoid
dan tanin yang berfungsi sebagai antioksidan, dan bisa mencegah sekaligus
mengatasi serangan kanker. Mekanisme kerja Flavonoid dalam mengatasi kanker
dengan cara menonaktifkan karsinogen (Subroto & Hendro 2006).
Disamping itu, sarang semut juga mengandung tokoferol serupa dengan
vitamin E yang berefek antioksidan efektif. Tekoferol berfungsi sebagai
antioksidan dalam menangkal radikal bebas bebas dan sebagai antikanker. Dilihat
dari kandungannya, maka sarang semut hampir bisa mengatasi berbagai jenis
kanker. selain itu juga bisa digunakan untuk mengobati penyakit jantung dan
kebocoran jantung. Senyawa flavonoid dalam serbuk maupun ekstrak air sarang
semut berperan langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi
mikroorganisme seperti bakteri atau virus (Bustanussalam 2010).
13
2.5.4 Minyak Lawang
Pohon lawang (Cinnamomum culilawan BL) dikelompokkan sebagai salah
satu komoditas hasil hutan non kayu (non timber forest product) yang masuk
dalam kelompok jenis yang dapat menghasilkan minyak atsiri. Berbeda dengan
produk minyak atsiri lainnya, minyak lawang lebih khas, panas, dengan banyak
multi fungsi. Persediaan minyak lawang di pasaran, masih sangat terbatas,
sementara permintaan terus meningkat. Kondisi ini terjadi dikarenakan daerah
yang menghasilkan minyak ini hanya berasal dari Indonesia bagian Timur.
Persebaran pohon penghasil minyak lawang banyak ditemukan di Indonesia
bagian Timur, terutama di Kabupaten Kaimana Propinsi Papua. Pohon yang
mempunyai genus sama dengan species ini adalah pohon kayu manis, kulit pohon
ini di Pulau Jawa banyak dimanfaatkan untuk aroma makanan dan minuman juga
digunakan sebagai bahan untuk campuran obat tradisional (Anonim 2011).
Rekayasa teknologi diperlukan untuk mengolah bahan kulit pohon lawang
menjadi produk yang siap dipasarkan dengan nilai jual tinggi guna mendapatkan
nilai tambah (value added). Klasifikasi dari pohon lawang adalah sebagai berikut.
Familia : Lauraceae
Genus : Cinnamomum
Species : Cinnamomum culilawan BL.
Tahapan proses pengolahan yang harus dilakukan untuk mendapatkan
hasil minyak lawang berkualitas, yaitu : pemilihan bahan baku, sortir bahan baku,
penghalusan bahan baku, proses penyulingan dan pemisahan minyak lawang
dengan air. Alat distilasi minyak lawang, dilengkapi dengan suhu dan tekanan.
Dengan menggunakan alat distilasi tersebut diatas mampu menghasilkan minyak
lawang dengan kualitas prima, dengan rendemen cukup tinggi sebesar 4,2%
dengan waktu penyulingan yang sangat cepat, hanya 2 jam 15 menit, sehingga
dapat menghemat bahan bakar cukup banyak. Limbah hasil penyulingan minyak
lawang, biasanya hanya dibuang begitu saja, walaupun masih mempunyai
kandungan minyak lawang, yang tentu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku
produk. Limbah minyak lawang yang berupa bubur kayu dapat dimanfaatkan
untuk bahan baku produk param dan lulur (Anonim 2010).
14
2.5.5 Sagu
Sagu (Metroxylon spp) termasuk ordo Sapindiciflorae, sub famili
Calamoideae dari famili Palmae. Nama tanaman sagu yang dengan bahasa latin
Metroxylon spp, berasal dari 2 (tiga) kata yaitu Metra yang berarti empulur, Xylon
yang berarti Xylem dan sagu menunjukkan kepada pati. Metroxylon sagu berarti
tanaman yang tumbuh di daerah berair, berbunga hanya sekali, serta toleran
terhadap salinitas. Sagu dianggap penting karena menghasilkan pati yang
merupakan sumber karbohidrat. (Flach 1983)
Sagu memiliki potensi yang baik, yaitu : produksinya tinggi, dapat
tumbuh, dan berproduksi pada daerah rawa. Tanaman sagu termasuk dalam
kelompok tanaman tahunan dan cocok untuk daerah basah dataran rendah tropis.
Tanaman sagu sendiri mulai bisa dipanen setelah berumur 5-10 tahun. Setiap
tahun akan tumbuh tunas dan anakan baru dengan tingkat produksi yang juga
tinggi. Pemanenan sagu saat ini dilakukan dengan cara tradisional dengan
teknologi sederhana yaitu dengan penebangan kemudian diambil empulurnya,
dihaluskan dan disaring pati dari sagu tersebut lalu dikeringkan.
Pada umumnya sagu tumbuh di daerah dataran rendah hingga ketinggian
700 m di atas permukaan laut. Habitat sagu adalah rawa, di sekitar daerah sumber
air, di sekitar sungai dan di dataran rendah yang lembab. Tanaman sagu juga
memiliki kemampuan tumbuh dengan sedikit atau tanpa pemeliharaan serta
memiliki kemampuan tumbuh di daerah berair dengan derajat keasaman tanah
(pH) antara 3,7 sampai 6,5 dan suhu diatas 25⁰C. (Yumte 2008)
Menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) dalam Djoefrie
(1999), daerah utama kawasan sagu di nusantara adalah Papua, Maluku, Sulawesi
terutama Sulawesi Selatan, Tengah, dan Tenggara, Kalimantan terutama
Kalimantan Barat, serta Sumatera terutama di Kepulauan Riau. Di Jawa, sagu
ditemukan secara terbatas di Bogor Barat sampai ke Banten. Luas Hutan sagu
sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Luas hutan sagu di Indonesia
diperkirakan mencapai 1 juta hektar yang tersebar di Papua 800.000 ha, Maluku
50.000 ha, Sulawesi 40.000 ha, Kalimantan 45.000 ha, Sumatera 32.000 ha dan
sisanya di Jawa.
15
Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan
utama tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola
dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun. Produktivitas ini setara
dengan tebu, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang
dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun. (Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia 2007). Sagu mampu menghasilkan pati kering
hingga 25 ton per ha, jauh melebihi pati beras dan jagung yang hanya 6 ton per ha
dan pati kering jagung hanya 5,5 ton/ha. (Yuniarsih 2009)
2.6 Pemodelan Sistem
Menurut Grant et al. (1997), analisis sistem adalah studi yang dibentuk
satu atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem. Analisis sistem
adalah pendekatan filosofis dan kumpulan teknik, termasuk simulasi yang
dikembangkan secara eksplisit untuk menunjukkan masalah yang berkaitan
dengan sistem yang kompleks. Analisis sistem menekankan pada pendekatan
holistik untuk memecahkan masalah dan menggunakan model matematika untuk
mengidentifikasi dan mensimulasikan karakteristik yang penting dari sistem yang
kompleks. Tahapan analisis sistem menurut Grant et al. (1997), sebagai berikut :
2.6.1 Formulasi model konseptual.
Tujuan tahapan ini untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model
sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan pada
kenyataan di alam dengan segala sistem yang terkait antara satu dengan yang
lainnya serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati keadaan yang
sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan
memeperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan
tujuan melakukan pemodelan simulasi. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah
sebagai berikut :
1. Penentuan isu, tujuan, dan batasan model
2. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem
3. Pengidentifikasian hubungan antar komponen
16
Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem
dikategorisasikan kedalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan
fungsinya sebagai berikut :
1. State variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem
2. Driving variable, variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun
tidak dapat dipengaruhi oleh sistem.
3. Konstanta. Adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik sebuah
sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami perubahan
pada setiap kondisi simulasi.
4. Auxiliary variable, variabel yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi
sistem.
5. Material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode tertentu
yang terletak diantara dua state, source dan sink.
6. Information transfer, menggambarkan penggunaan informasi tentang state
dari sistem untuk mengendalikan perubahan state.
7. Source dan sink berturut-turut menggambarkan asal (awal) dimulainya proses
dan akhir dari masing-masing transfer materi.
2.6.2 Spesifikasi model kuantitatif
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model kuantitatif
dari sistem yang diinginkan. Pembuatan model kuantitatif ini dilakukan dengan
memberikan nilai kuantitatif terhadap masing-masing nilai variabel dan
menterjemahkan setiap hubungan antar variabel dan komponen penyusun model
sisitem tersebut ke dalam persamaan matematik sehingga dapat dioperasikan oleh
program simulasi. Spesifikasi model terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Memilih struktur kuantitatif umum dari model dan waktu dasar yang
digunakan dalam simulasi.
2. Mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model.
3. Menduga parameter dari persamaan model.
4. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi.
5. Menjalankan simulasi dan menampilkan persamaan model
17
2.6.3 Evaluasi model
Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan
membandingkannya dengan dunia nyata. Tujuannya adalah mengevaluasi model
yang dibangun dalam hal kegunaan relatifnya untuk memenuhi tujuan-tujuan
tertentu. Tahapan evaluasi model adalah sebagai berikut :
1. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model.
2. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan.
3. Membandingkan model dengan sistem nyata.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model
jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.
2.6.4 Penggunaan model
Pemodelan adalah kegiatan membuat model untuk tujuan tertentu. Model
adalah abstraksi dari suatu sistem. Sistem adalah sesuatu yang terdapat di dunia
nyata. Sehingga pemodelan adalah kegiatan membawa sebuah dunia nyata
kedalam dunia tak nyata atau maya tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya dengan
menggunakan perpaduan antara seni dan logika. Sistem adalah suatu gugus dari
elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan
atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sedangkan sub sistem adalah suatu unsur atau
komponen fungsional dari suatu sistem, yang berperan dalam pengoperasian
sistem tersebut. Dasar dari analisis sistem adalah asumsi bahwa proses alami
terorganisasi dalam suatu hierarki yang kompleks. Proses sistem terbentuk dari
hasil aksi dan interaksi proses-proses yang sederhana. Tidak ada sistem yang
terpisahkan dan setiap sistem saling berinteraksi satu sama lain (Gayatri 2010).
Analisis sistem lebih mendasarkan pada kemampuan untuk memahami
fenomena dari jumlah data yang tersedia. Analisis sistem adalah sebuah
pemahaman yang berbasis pada proses, sehingga sangat penting untuk berusaha
memahami proses-proses yang terjadi. Membuat analogi-analogi terkadang
merupakan cara yang penting untuk memahami sesuatu, Keyakinan akan adanya
isomorfisme antar beragam sistem menjadikan pemahaman terhadap sesuatu
menjadi mungkin, bahkan pada suatu sistem kita buta sekali akan perilakunya
(Purnomo 2004).
18
Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah
diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan
dan simulasi beberapa skenario hasil simulasi yang telah di evaluasi, sehingga
dapat digunakan untuk memahami pola perilaku model, serta mengetahui
kecenderungan (trend) di masa yang akan datang. Model juga dapat dipakai untuk
menguji sebuah hipotesis atau dipakai untuk mengevaluasi ragam skenario atau
kebijakan dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak dalam
kasus permodelan partisipatif.
Menurut Soerianegara (1978) dalam Gayatri (2010), mengemukakan
bahwa simulasi adalah eksperimentasi yang menggunakan model dari suatu
sistem. Simulasi dalam analisis sistem meliputi tiga kegiatan sebagai berikut:
1. Membuat model yang menggambarkan keadaan sistem dan proses-proses yang
terjadi di dalamnya.
2. Memanipulasi atau melakukan percobaan-percobaan terhadap model tersebut
yang akan menghasilkan data eksperimen.
3. Menggunakan model dan data untuk menjawab pertanyaan atau memecahkan
persoalan mengenai sistem sebenarnya (real world) yang diteliti.
Model merupakan penjabaran sederhana dari berbagai bentuk hubungan
dan interaksi antar komponen dalam suatu sistem. Bila bentuk hubungan ini
diketahui dengan baik, maka dapat disusun menjadi suatu persamaan matematis
untuk menjabarkan berbagai asumsi yang ada. Hasil dari pendugaan model
umumnya masih berupa ‘hipotesis’ yang harus diuji kebenarannya pada ‘dunia
yang nyata’. Hasil yang diperoleh melalui pendugaan model tidak selalu sejalan
dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bila terjadi perbedaan, maka ada dua hal
yang harus dilakukan, sebagai berikut :
1. Memeriksa ulang struktur model, termasuk nilai parameter yang dipergunakan
untuk mengawali pemodelan dan konsistensi internal model (apakah output
yang dihasilkan sejalan dengan asumsi yang ada).
2. Memeriksa ulang cara pengukuran parameter di lapangan, dengan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara seksama.
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2011 yang berlokasi di
areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alas Mandiri, Kabupaten Mamberamo
Raya, Provinsi Papua.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk penelitian ini, yaitu: alat tulis, tallysheet,
kalkulator, phiband, parang, kompas, cat penanda batas petak, tambang 20 m,
seperangkat computer dengan software Microsoft Excell, Microsoft words, Stella
9.02, Minitab 14, dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
berupa data administrasi yang meliputi data pertumbuhan tegakan Petak ukur
Permanen (PUP) tiga tahun terakhir, data curah hujan, data kondisi umum lokasi
IUPHHK-HA, data biaya produksi, dan laporan tahunan perusahaan.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data lapangan dilaksanakan langsung di PUP dengan metode
purposive sampling pada petak yang tidak dilakukan pemeliharaan. Jalur
pengukuran dibuat dengan ukuran 20 x 20 meter. Pengukuran dilakukan pada
semua pohon berdiameter sama dan atau lebih dari 10 cm pada petak ukur contoh,
dengan mengukur tinggi dan diameter pohon serta mencatat jenis kayu. Data ini
selanjutnya akan digunakan untuk validasi data struktur tegakan setelah proyeksi.
3.3.2 Pengelompokan Data
Pengelompokan data menurut jenis dimaksudkan untuk membandingkan
kandungan karbon pada setiap kelompok jenis dan untuk kepentingan skenario
pengambilan keputusan. Kemudian dilakukan pengelompokan menurut kelas
diameter dengan maksud untuk melihat laju pertumbuhan riap pada setiap satu
satuan waktu dan rata-rata kandungan karbon pada setiap kelas diameter.
20
3.3.3 Pemodelan Sistem
Tahapan pemodelan menurut Grant et al. (1997), sebagai berikut :
1. Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan
Identifikasi isu atau masalah dilakukan untuk mengetahui dimana
sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Setelah identifikasi isu dilakukan maka
selanjutnya ditentukan tujuan dari pemodelan tersebut. Batasan dapat berupa batas
daerah atau ruang, batas waktu dan batasan isu yang telah diidentifikasi sesuai
dengan tujuan pemodelan.
2. Konseptualisasi Model
Tahap ini bertujuan untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model
sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual didasarkan pada segala
sistem yang terkait antara yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi,
sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam
dimasukkan dalam simulasi dengan memeperhatikan komponen-komponen yang
terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan pemodelan simulasi. Konsep
yang dibuat dalam pemodelan ini terdiri dari tujuh sub model, sebagai berikut :
1. Sub model dinamika struktur tegakan.
2. Sub model pendapatan kayu.
3. Sub model pendugaan stok karbon
4. Sub model pendugaan biaya usaha karbon dengan Plan Vivo Standard.
5. Sub model usaha sarang semut.
6. Sub model usaha minyak lawang.
7. Sub model usaha sagu.
3. Hubungan Antar Sub Model
Sub model dinamika struktur tegakan menjelaskan dinamika jumlah pohon
per hektar dan besarnya jumlah tebangan. Sub model Pendapatan menjelaskan
besarnya jumlah pendapatan dari penebangan kayu berdasarkan biaya-biaya yang
dikeluarkan. Sub model pendugaan stok karbon menjelaskan dinamika besarnya
stok karbon. Sub model pendapatan menjelaskan besarnya nilai ekonomi yang
akan didapatkan dari besarnya stok karbon menggunakan plan vivo standart.
21
Sub model usaha sarang semut menggambarkan potensi pendapatan
tambahan dari pengusahaan sarang semut. Sub model minyak lawang
mensimulasikan pendapatan dari pengusahaaan minyak lawang. sedangkan sub
model usaha sagu merupakan simulasi tentang pendapatan yang dihasilkan dari
pengusahaan sagu. Alternatif usaha hasil hutan bukan kayu tersebut dilakukan
ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan berbasis
karbon tidak bisa menutupi besarnya biaya tetap yang harus dikeluarkan.
Gambar 2 Hubungan antar sub model.
4. Spesifikasi Model
Data yang digunakan untuk menduga parameter-parameter model
dinamika struktur tegakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Data jumlah pohon per hektar (n/ha).
2. Persamaan Ingrowth pada penelitian ini menggunakan persamaan Krisnawati
(2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269 n/ha – 0,33 LBDS. Untuk persamaan
Upgrowth Y = 0,214 – 0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh – 0,00012 Dbh2,
dimana Y adalah jumlah pohon, n/ha adalah jumlah pohon per hektar, LBDS
adalah luas bidang dasar (m2/ha) dan Dbh adalah diameter setinggi dada (cm).
22
3. Persamaan Mortality
Nilai mortality rate pada KD<60cm diasumsikan sebesar 8 % dan untuk
KD>60cm sebesar 5%. (Elias et al. 2006).
4. Penerimaan kayu = n/ha 40up x Vol kayu x harga kayu (diasumsikan harga
kayu Rp. 2.000.000/m3). Pengeluaran terdiri dari biaya pembinaan hutan,
biaya pemanenan dan pajak. Pendapatan didefinisikan sebagai total
penerimaan dikurangi total pengeluaran.
5. Persamaan Penduga Biomassa Pohon
Perhitungan biomassa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
persamaan alometrik Brown (1997) dengan r²=0,97. Persamaan ini diterapkan
pada zona iklim lembab dengan curah hujan sebesar 1500-4000 mm/th dimana
curah hujan di lokasi penelitian yaitu 3493 mm/th.
B = exp [-2,134 + 2,530 x ln(d)]Dimana : B = biomassa per pohon (kg)
D = Diameter pohon setinggi dada (cm).
6. Besarnya Kandungan karbon Tersimpan
Kandungan karbon di hutan alam dapat dihitung dengan menggunakan
pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50%
dari biomassa hutan tersusun atas karbon sehingga dari hasil perhitungan
biomassa dapat dirubah kedalam bentuk karbon (ton C/ha).
Karbon (C) = B x 0,5Dimana : C = Jumlah karbon (ton C/ha).
7. Biaya perdagangan karbon dengan skema plan vivo standart terdiri dari biaya
validasi sebesar US$ 12500 per waktu validasi (5 th), biaya verifikasi sebesar
US$ 30000 per waktu verifikasi (5 th) dan upah sertifikat CO2 sebesar US$
0,30 per karbon yang terjual. (Kementerian Kehutanan 2009b).
8. Pendapatan Karbon diperoleh dari perkalian stok karbon dengan harga karbon
yang berlaku, dengan asumsi harga karbon US$5/tonC, dan 1US$ = Rp. 8.500.
9. Pendapatan sarang semut diperoleh dari selisih antara cost dan income yang
dihasilkan dari pemanfaatan sarang semut.
10. Pendapatan minyak lawang diperoleh dari hasil penjualan dengan harga
pasaran Rp. 500.000,-/L dan biaya pengolahan minyak terlampir pada printout
persamaan model Lampiran 3.
23
11. Pendapatan sagu diperoleh dari penjualan tepung sagu dengan harga Rp.
3000,-/Kg dan biaya pengolahan sagu terlampir pada printout persamaan
model Lampiran 3.
12. Kelayakan finansial
a. Net Present Value (NPV)
NPV = t
n
t i
CtBt
)1(1
b. Benefit Cost Ratio (BCR)
BCR =
n
tt
t
n
tt
t
i
Ci
B
1
1
)1(
)1(
Keterangan : Bt = penerimaan (benefit) pada tahun ke-tCt = biaya (cost) pada tahun ke-tt = umur proyek (tahun)i = discount rate yang berlaku (%)
c. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return yaitu tingkat suku bunga yang membuat proyek
mengembalikan semua investasi selama umur proyek. Jika dinilai Internal
Rate of Return lebih kecil dari discount rate maka NPV<0, artinya
sebaiknya proyek itu tidak dilaksanakan. Inti analisis finansial adalah
membandingkan antara pendapatan dengan pengeluaran, dimana suatu
kegiatan atau usaha adalah feasible apabila pendapatan > dari pengeluaran.
IRR = )( 1221
11 iix
NPVNPV
NPVi
Dimana : i1 = discount rate yang menghasilkan NPV positifi2 = discount rate yang menghasilkan NPV negatif
NPV1 = NPV yang bernilai positif, NPV2 = NPV yang bernilai negatif
5. Evaluasi Model
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengetahui kelogisan yang dibuat
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Langkah evaluasi yang ditempuh
diantaranya dengan cara membandingkan model dengan sistem nyata. Analisis
sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan
perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.
24
6. Penggunaan Model
Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah
diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan
dan simulasi dari beberapa skenario hasil simulasi yang telah dievaluasi, sehingga
dapat digunakan untuk memahami perilaku model, serta mengetahui
kecenderungan di masa mendatang.
3.4 Kerangka Pemikiran
Pengelolaan hutan adalah kegiatan yang secara keseluruhan bertujuan
untuk mengarahkan atau memelihara ekosistem hutan sehingga sistem tersebut
memungkinkan memenuhi kebutuhan hidup manusia akan produksi hasil hutan
maupun jasa secara berkelanjutan dan jangka panjang. Suatu skenario disusun
untuk keperluan pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat ekonomi,
ekologi, dan sosial yang diperoleh. Beberapa skenario yang akan dijalankan
adalah sebagai berikut :
1. Skenario 1, pengelolaan hutan murni 100% untuk usaha kayu menggunakan
sistem TPTI seperti yang selama ini dijalankan.
2. Skenario 2, pengelolaan hutan diperuntukan sebagai penyerapan karbon ketika
moratorium penebangan berlaku. Pada pengelolaan hutan ini 100% kawasan
digunakan sebagai penyerapan karbon.
3. Skenario 3, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha
sarang semut.
4. Skenario 4, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha
sarang minyak lawang.
5. Skenario 5, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha
sagu.
25
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan
PT. Mamberamo Alasmandiri merupakan perusahaan PMDN yang
tergabung dalam KODECO GROUP. Ijin Pemanfaatan Hutan IUPHHK PT.
Mamberamo Alasmandiri didasarkan pada keputusan Menteri Kehutanan No.
1071/Kpts-II/1992 tanggal 19 November 1992, seluas 691.700 ha yang kemudian
diperbaharui berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.
910/Kpts-IV/1999 tanggal 14 Oktober 1999 dengan luas 677.310 hektar. Dalam
kegiatan pengelolaan hutan, PT. Mamberamo Alasmandiri membagi areal
kerjanya menjadi 2 unit kelestarian, yaitu : Unit Aja dan Unit Gesa dimana
keduanya melakukan kegiatan operasional secara terpisah (PT. MAM 2009).
4.2 Letak Geografis dan Luas IUPHHK
Areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri termasuk ke
dalam kelompok hutan Sungai Mamberamo-Sungai Gesa. Berdasarkan pembagian
wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo
Alasmandiri terletak di dalam wilayah distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo
Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta distrik Waropen Atas, Kabupaten
Mamberamo Raya, Provinsi Papua (PT.MAM 2009).
4.3 Topografi dan Kelerengan
Areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri bervariasi dari
datar sampai bergelombang dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 100-
648 m dpl. Kelas lereng di areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri
terdiri atas kelas lereng A (<8%) sampai kelas lereng E (>40%) (PT. MAM 2009).
4.4 Tanah dan Geologi
Jenis tanah di IUPHHK ini terdiri dari tanah aluvial, latosol, regosol,
podzolik dan litosol. Struktur geologi khususnya di areal kerja IUPHHK-HA PT.
Mamberamo Alasmandiri didominasi oleh sesar (sesar naik dan geser) dan lipatan.
26
Sesar naik utama pada bagian tersebut membatasi Cekungan Wapoga dan
Cekungan Mamberamo. Struktur lipatan terdiri dari antiklin dan siklin. Antiklin
penting dikenal sebagai Antiklin Gesa yang memotong aliran S. Gesa yang
mengalir ke utara (PT. MAM 2009).
4.5 Iklim dan Intensitas Hujan
Dari data yang diperoleh dari stasiun pencatat curah hujan Camp Aja tahun
2010 diperoleh curah hujan rata-rata adalah sebesar 3.493,33 mm/tahun dan
tingkat minimum hujan yang terjadi pada bulan September (156,51 mm/bulan)
dan maksimum terjadi pada bulan Mei (591,40 mm/bulan). Berdasarkan data
curah hujan pada tahun 2010, kawasan IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri
termasuk dalam klasifikasi iklim lembab. Data curah hujan bulanan pada tahun
2010 dapat dilihat pada gambar berikut. (PT. MAM 2009).
Gambar 3 Grafik curah hujan rata-rata bulanan tahun 2010.
4.6 Keadaan Hutan
Penutupan lahan areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri
berdasarkan hasil penafsiran Citra Landsat LS-7 ETM+US band 542, Mozaik
Path 102 Row 62, liputan tanggal 19 November 2005 dan Path 103 Row 62
Liputan tanggal 8 Juli 2006 disajikan pada tabel berikut (PT. MAM 2009)
27
Tabel 3 Penutupan vegetasi IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri
Penutupan LahanFungsi Hutan (Ha)
BZ Jumlah PersenHPT HP HPK
1. Hutan Primer 287.203 66.966 6.176 12.230 372.575 55,00%
2. Hutan Bekas Tebangan 105.825 40.100 30.651 1.948 178.524 26,40%
3. Non Hutan 6.209 5.169 592 127 12.097 1,80%
4. Hutan Rawa Primer - 1.890 10.951 - 12.841 1,90%
5. Hutan Rawa Bekas Tebangan 8.268 783 - - 9.051 1,30%
6. Non Hutan Rawa - 71 1.111 - 1.182 0,20%
7. Tubuh Air / Danau - 636 - 12 648 0,10%
8. Tertutup Awan 74.295 10.511 - 5.586 90.392 13,30%
Jumlah 481.800 126.126 49.481 19.903 677.310 100,00%
Sumber : Pengesahan Citra Landsat Nomor S.35/VII/Pusin-1/2006 tanggal 22 Januari 2007(PT.MAM 2009).
4.7 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Penduduk asli di sekitar kelompok hutan S.Mamberamo-S.Gesa adalah
suku Baudi Bira, Kerema, Obagui Dai, Kapso Apawer, Birara Noso, Bodo dan
suku Haya. Agama dan kepercayaan yang dianut adalah Kristen Protestan, Katolik
dan Islam. Mata pencaharian penduduk yang berada di sekitar areal kerja
IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri meliputi mencari ikan, bercocok
tanam dengan berladang berpindah, dan “meramu” (mencari sagu, umbi dan
berburu). Sedangkan masyarakat yang tinggal di pusat-pusat pemerintah (Distrik
dan Kabupaten) yang umumnya sebagai pendatang berprofesi sebagai pegawai
negeri dan buruh harian (PT. MAM 2009).
28
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Struktur Tegakan Awal Pada Hutan Bekas Tebangan
Petak yang diukur dalam penelitian ini adalah petak ukur permanen (PUP)
dengan luas 100 m x 100 m pada areal bekas tebangan 3 tahun yang tidak
mengalami pemeliharaan, yaitu : pada areal bekas tebangan Blok RKT 2008/2009
petak 4, petak 5 dan petak 6. Data pertumbuhan tegakan tahun 2009 dan 2010
diperoleh dari data sekunder perusahaan. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa
pada hutan bekas tebangan memiliki kondisi tempat tumbuh sama dan
karakteristik tegakan yang homogen. Penelitian ini menggunakan contoh kasus
pada areal hutan bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat
pertumbuhan dan penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi
karena memiliki keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar
matahari langsung masuk kemudian diterima oleh pohon dan mempercepat proses
fotosintesis. Sinar matahari tersebut dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan
tegakan dalam proses penyerapan karbon. Struktur tegakan pada masing-masing
kelas diameter dapat dilihat seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Kondisi struktur tegakan awal areal hutan bekas tebangan.
Hasil dari pengukuran diperoleh jumlah pohon per hektar (n/ha) pada
hutan bekas tebangan sebanyak 397 pohon yang terdiri dari 6 kelas diameter
dengan lebar kelas 10 cm, mulai dari pohon berdiameter 10-19 cm hingga pohon-
pohon berdiameter >60 cm (KD 60up) seperti disajikan pada Tabel 4.
29
Tabel 4 Rekapitulasi data komposisi tegakan
Jenis 1019 2029 3039 4049 5059 60up Jumlah
Komersil 128 42 15 7 3 3 209
Non komersil 11 9 3 5 3 24 59
Rimba campuran 87 17 5 7 1 2 129
Total 226 68 23 19 7 29 397Sumber : hasil rekapitulasi data
Pada hutan bekas tebangan untuk pohon inti didominasi oleh jenis-jenis
komersil dan rimba campuran karena telah dilakukan pemanenan pada kelas
diameter 40cm up dan hanya menyisakan permudaan pohon yang dihasilkan dari
regenerasi pohon induk melalui penyebaran biji yang jatuh kemudian tumbuh.
Sedangkan pada pohon layak tebang lebih didominasi oleh jenis non komersil
karena pada saat kegiatan penebangan, jenis non komersil tidak diproduksi.
Data komposisi tegakan tersebut kemudian digunakan dalam pendugaan
model simulasi dinamika struktur tegakan pada pengelolaan hutan menggunakan
sistem TPTI dimana parameter-parameternya merupakan fungsi dari kerapatam
tegakan yang dinyatakan oleh bidang dasar tegakan yang terdiri atas fungsi
ingrowth, upgrowth, dan mortality.
5.2 Model Pengelolaan Hutan Menggunakan Sistem TPTI
Sistem TPTI merupakan sistem tebang pilih tegakan tidak seumur
berdasarkan limit diameter tebangan yang dilakukan untuk meningkatkan riap dan
mempertahankan keanekaragaman hayati dengan terbentuknya struktur hutan
dalam rangka memperoleh panen yang lestari (Kementerian Kehutanan 2009c).
Siklus tebang yang digunakan dalam sistem TPTI adalah 35 tahun yang
diharapkan pada jangka waktu tersebut bisa memperoleh tegakan dengan diameter
layak tebang minimal 25 pohon per hektar. Untuk menduga potensi tersebut perlu
upaya simulasi yang dapat memproyeksikan potensi tegakan pada siklus tebang
berikutnya. Selain itu, dilakukan pula simulasi terhadap penurunan jangka waktu
siklus tebang yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009. Dalam
membangun suatu model diperlukan 4 (empat) tahap yang digunakan dalam suatu
pemodelan yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model,
spesifikasi model, serta penggunaan model.
30
5.2.1 Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan
Penurunan siklus tebang dan batas diameter minimal pohon layak tebang
yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009 menyebabkan besarnya volume
tebangan yang tidak diiringi dengan peningkatan riap pertumbuhan tegakan yang
mengakibatkan tingkat kelestarian hutan sulit dicapai pada siklus tebang
berikutnya. Untuk itu perlu dilakukan suatu simulasi yang bertujuan untuk
menduga potensi tegakan dan proyeksi pendapatan yang dihasilkan dari simulasi
skenario pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI pada siklus tebang
berikutnya. Batasan yang digunakan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Siklus tebang adalah interval waktu (dalam tahun) antara dua penebangan
yang berurutan di tempat yang sama dalam sistem sivikultur polisiklik.
2. Struktur tegakan adalah banyaknya pohon per satuan luas (per hektar) pada
setiap kelas diameter.
3. Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan jumlah pohon terhadap
banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter (KD) terkecil selama periode
waktu tertentu.
4. Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas
diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter dibawahnya selama periode
waktu tertentu.
5. Mortality adalah banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas
diameter dalam periode waktu tertentu akibat penebangan.
6. Hasil tebangan diperoleh dari pemanenan pohon berdiameter 40 cm up.
7. Penerimaan diperoleh dari penjualan kayu hasil produksi.
8. Pengeluaran terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu.
5.2.2 Konseptualisasi Model
Model konseptual yang dikembangkan dapat dideskripsikan melalui stok
dan aliran. Sub model akan saling mempengaruhi satu sama lainya. Pemodelan ini
menggunakan satuan tahun. Fase konseptual model ini bertujuan mendapatkan
gambaran secara menyeluruh tentang model-model yang dibuat, terdiri dari : sub
model dinamika struktur tegakan dan sub model pendapatan kayu.
31
Sub model dinamika tegakan mensimulasikan proyeksi tegakan masing-
masing kelas diameter yang dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar, luas
bidang dasar tegakan, pertumbuhan, dan kematian. Sub model dinamika tegakan
merupakan sub model yang paling penting karena dapat mempengaruhi sub model
lainya. Sub model pendapatan kayu menggambarkan potensi pendapatan yang
akan diperoleh dalam suatu waktu melalui produksi kayu layak tebang setelah
dikurangi dengan biaya produksi kayu. Sub model pendapatan kayu dipengaruhi
oleh sub model dinamika tegakan karena pendapatan kayu dihasilkan dari panen
pohon layak tebang pada kelas diameter 40cm up.
5.2.3 Spesifikasi Model
5.2.3.1 Sub Model Dinamika Struktur Tegakan
Pembentukan model dinamika struktur tegakan bertujuan untuk
mensimulasikan potensi tegakan per hektar pada hutan bekas tebangan setiap
tahunnya sehingga dapat diprediksi kondisi struktur tegakan yang optimal pada
waktu tertentu. Model ini merupakan model inti yang sangat berpengaruh
terhadap sub model yang lainnya. Parameter yang menjadi acuan dalam sub
model yang lainnya diantaranya adalah jumlah pohon masak tebang masing-
masing kelas diameter dan jumlah pohon per hektar.
Dinamika tegakan sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan dan luas
bidang dasar tegakan. Penelitian ini menggunakan contoh kasus pada areal hutan
bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat pertumbuhan dan
penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi karena memiliki
keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar matahari yang masuk
langsung di terima oleh pohon dan mempercepat proses fotosintesis dan menjadi
stimulus bagi pertumbuhan tegakan dalam proses penyerapan karbon.
Selain itu pertumbuhan tegakan juga di pengaruhi oleh luas bidang dasar
tegakan yang menggunakan parameter diameter dalam pengukuranya, karena
pengukuran diameter memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dari pada volume
tegakan yang menggunakan parameter tinggi pohon, dimana pengukuran tinggi
pohon di ukur dengan menggunakan taksiran bukan pengukuran langsung
sebenarnya sehingga tingkat ketelitian pada pendugaan volume sangat kecil.
32
Gambar 5 Model konseptual dinamika struktur tegakan.
Pada sub model dinamika struktur tegakan, yang menjadi state variable
adalah jumlah pohon pada setiap kelas diameter. Dari gambar model terlihat
adanya aliran materi antar kelas diameter (KD), dari KD yang lebih rendah ke KD
yang lebih tinggi. Aliran tersebut tersusun secara seri, tidak ada aliran materi KD
yang melangkahi KD atasnya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada selang
waktu setahun pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak akan
menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya. Perubahan
pohon dalam KD disebabkan oleh faktor ingrowth, upgrowth, dan mortality.
Penentuan ingrowth, upgrowth, dan mortality sangat dipengaruhi oleh
kerapatan tegakan, luas bidang dasar dan jumlah pohon per hektar. Ingrowth
dalam penelitian ini didefinisikan sebagai banyaknya jumlah pohon dari hasil
pertumbuhan riap yang masuk pada kelas diameter terkecil (KD1019) selama
periode satu tahun. Persamaan ingrowth yang digunakan di adopsi dari persamaan
Krisnawati (2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269 n/ha – 0,33 LBDS, dimana Y adalah
jumlah pohon, n/ha merupakan jumlah pohon per hektar, dan LBDS adalah luas
bidang dasar (m2/ha).
KD1019
Ingrowth
Teb 60up
Upg1
KD3039KD2029 KD4049
TingkatKematianLogging1
NHA
D1 D2
KD5059 KD60up
Teb 60up
Upg2 Upg3 Upr4Upg5
TingkatKematianLogging2 D3
D4D5
D6
LBDSTot
Daur
TingkatKematianLogging3 TingkatKematanlogging4 TingkatKematianlogging5TingkatKematianlogging6
LBDSTot
NHA
Panen
Teb 4049
PendugaanVolume 60up
Vol teb 60up
LBDSTot
Pendugaan vol 5059Teb 5059
Vol Teb 5059
Teb 4049
Vol Teb 4049
Pendugaan Vol 4049
Teb 5059
Dinamika Struktur Tegakan
33
Upgrowth merupakan peluang transisi dari suatu kelas diameter, yaitu
banyaknya jumlah pohon yang hidup pada kelas diameter tertentu yang pindah ke
kelas diameter berikutnya dari KD yang lebih rendah ke KD yang lebih tinggi
pada selang waktu setahun dan pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak
akan menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya.
Upgrowth sangat dipengaruhi oleh bidang dasar tegakan dan diameter pohon.
Persamaan upgrowth yang digunakan dalam menduga model dinamika struktur
tegakan ini di adopsi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 0,214 –
0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh – 0,00012 Dbh2.
Mortality adalah laju kematian dari pohon-pohon dalam tegakan yang
umumnya dinyatakan dengan persen per tahun. Kematian ini disebabkan oleh
faktor alam (mati yang disebabkan oleh penyakit, kompetisi masing-masing
individu, longsor, dan kebakaran lahan) maupun kematian akibat penebangan.
Nilai mortality rate pada diameter <60 cm diasumsikan sebesar 8 %, sedangkan
untuk kelas diameter >60 cm sebesar 5%. Asumsi ini berdasarkan hasil penelitian
Elias et al. (2006) menyimpulkan bahwa dampak dari kegiatan pemanenan kayu
mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sampai 45% untuk seluruh tegakan atau
seluruh kelas diameter.
Besarnya efek penebangan bervariasi menurut KD dan dipengaruhi oleh
banyaknya jumlah pohon yang ditebang, sistem silvikultur, dan penerapan metode
penebangan yang digunakan. Pada state variable KD4049, KD5059, dan KD60up
terdapat faktor lain yang mempengaruhi jumlah tegakan yaitu penebangan.
Kegiatan penebangan ini tidak dilakukan setiap tahun, tetapi pada awal siklus
tebang. Besarnya penebangan ditentukan oleh LBDS tegakan, siklus tebang, dan
jumlah pohon pada masing-masing KD.
Jumlah pohon layak tebang yang diperoleh dari KD4049, KD5059, dan
KD60up kemudian dikonversi ke dalam volume (m³) menggunakan rumus umum
pendugaan volume, yakni V = 0,25*3,14*(d^2)*t dimana d adalah diameter (cm)
dan t adalah tinggi pohon (taksiran). Kemudian setelah diperoleh volume panen,
data tersebut akan digunakan dalam sub model berikutnya untuk mengetahui nilai
pendapatan bersih dari pengelolaan hutan bekas tebangan yang optimal per hektar
pada skema pengelolaan hutan.
34
5.2.3.2 Sub Model Pendapatan Kayu
Pada sub model ini menggambarkan pendugaan potensi pendapatan yang
berasal dari pemasukan dan pengeluaran. Pemasukan diperoleh dari penjualan
kayu layak tebang, sedangkan pada pengeluaran terdiri dari biaya pembinaan
hutan, biaya produksi dan biaya manajemen sebagai biaya tetap. Pendapatan dari
penebangan diperoleh dari hasil tebangan pada KD4049, KD5059, dan KD60up
(dalam volume) yang kemudian di konversi ke harga kayu yang diasumsikan
sebesar Rp. 2.000.000,-/m³, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan
hutan diacu dari laporan tahunan perusahaan. Hal utama yang mempengaruhi sub
model pendapatan ini adalah jumlah pohon layak tebang yang dipengaruhi oleh
tingkat kematian dan jumlah pohon yang berasal dari KD3039. Pada sub model ini
menggunakan suku bunga 10% untuk menghitung nilai kelakayan usaha dari
masing-masing skenario pengelolaan hutan. Suku bunga tersebut merupakan suku
bunga yang berlaku saat penelitian berlangsung.
Gambar 6 Sub model pendapatan.
5.2.4 Evaluasi Model
Evaluasi model dilakukan untuk menguji keterandalan dalam menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi di sistem nyata. Evaluasi model dilakukan
terhadap model yang paling berhubungan atau berperan terhadap pencapaian
Penyusunan RKT
Penerimaan
Pengeluaran
PenebanganCL
Teb 60up
SukuBunga Daur
NPV Conv
Teb 5059
Pelatihan
HargaKayuB
Daur
Pengamanan Hutan
PWH
PemeliharaanAlatBangunan
PemeliharaaanJalan
PerlindunganHutan
Penjarangan
PenanamanPengayaan
Gaji&TunjanganRehabilitasi lahan
Operasional & adm camp
PersemaianPembibitan
PAK
BinaDesa
ITT
PBB
Pemeliharaan tata batas
Penyiapan lahan
MuatBongkar
Pengupasan kulit
PengangkutanPengapalanDR&IHH
BiayaBinHut
Biaya Tetap
InspeksiBlok
Biaya Pemanenan
PerencanaanOperasionalPemanenan
ITSP
PenandaanJalanSarad KontruksiJalanSarad
Penyaradan
Penebangan
Vol teb 60up
Pemeliharaan Tanaman
Pembagian batang
Biaya Pemanenan
BCR
Vol Teb 5059
Vol Teb 4049
Teb 4049
Sub model Pendapatan
35
tujuan penelitian dengan membandingkan data hasil simulasi dengan hasil
pengukuran atau perhitungan lapangan. Evaluasi model pada penelitian ini
dilakukan terhadap sub model dinamika struktur tegakan dengan membandingkan
struktur tegakan hasil simulasi dan data aktual pada tahun ke-2 dan ke-3.
Gambar 7 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-2.
Gambar 8 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-3.
Dari hasil proyeksi perbandingan jumlah tegakan pada masing-masing
kelas diameter pada tahun ke-2 dan ke-3, diperoleh kurva antara hasil simulasi
dengan aktual tidak begitu berbeda secara signifikan. Hasil regresi pada taraf
nyata 5% untuk tahun kedua memiliki koefisien korelasi sebesar 95 % dan untuk
tahun ketiga memiliki koefisien korelasi sebesar 89,7 % menunjukan bahwa
model memiliki korelasi yang cukup tinggi dan dapat digunakan untuk menduga
dinamika tegakan dalam jangka panjang meskipun pengujian model dilakukan
hanya dari data pertumbuhan selama 3 tahun. Pengujian model akan lebih baik
lagi jika menggunakan data periodik yang lama supaya dapat diketahui pola
pertumbuhan tegakannya secara konstan.
36
5.2.5 Analisis Sensitivitas Model
Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan dalam parameter yang
mendukung. Sensitivitas model pada penelitian ini dilakukan terhadap besarnya
potensi tegakan yang diperoleh apabila tingka kematian akibat pemanenan dirubah
menjadi 12%, 8%, dan 4% pada KD < 60 cm dan 9%, 6%, dan 3% pada KD > 60
cm. Semakin tinggi tingkat kematian, maka potensi tegakan semakin berubah.
Gambar 9 Analisis sensitivitas model.
Keterangan :1. Potensi tegakan dengan mortality 9% untuk KD>60 dan 12% untuk KD<60.2. Potensi tegakan dengan mortality 6% untuk KD>60 dan 8% untuk KD<60.3. Potensi tegakan dengan mortality 3% untuk KD>60 dan 4% untuk KD<60.
Gambar 16 menunjukan bahwa, jika hutan bekas tebangan memiliki
mortality yang rendah, maka pendapatan efektif yang diperoleh akan semakin
besar, hal ini dikarenakan jumlah tegakan yang ada tidak berkurang secara
signifikan, dan sebaliknya jika mortality lebih besar maka pendapatan efektifnya
juga akan berkurang lebih besar, hal ini dikarenakan berkurangnya jumlah stok
tegakan akibat mortality yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan tegakan.
5.2.6 Penggunaan Model
Penggunaan model berfungsi untuk menerapkan model dalam skenario
yang telah dibuat dalam rangka memberikan jawaban mengenai tujuan pembuatan
sub model. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah memproyeksikan potensi
tegakan dan pendapatan ketika menggunakan sistem TPTI.
37
5.2.6.1 Skenario Siklus Tebang
Skenario siklus tebang dan pendapatan mensimulasikan perbandingan
jumlah tegakan yang dihasilkan dari pengelolaan hutan mengggunakan sistem
TPTI dengan siklus tebang 35 tahun dan Permenhut No. 11 Tahun 2009 dengan
siklus tebang 30 tahun. Hasil simulasi model menunjukan pada siklus tebang 30
tahun lebih cepat memperoleh pohon layak tebang karena jangka waktu dari siklus
pertama ke siklus kedua lebih sedikit dibandingkan dengan siklus tebang 35
tahun. Hal ini akan berdampak pada tingginya volume layak tebang sehingga
terjadi penurunan potensi jumlah pohon per hektar pada siklus tebang berikutnya.
Perlu adanya suatu tindakan pola adaptasi pengelolaan hutan agar kelestarian
produksi dapat terjamin, salah satunya dengan menurunkan jumlah volume
tebangan atau bahkan menghentikan sementara kegiatan penebangan dan beralih
ke pengusahaan hasil hutan bukan kayu. Berdasarkan grafik pada Gambar 10
terlihat bahwa struktur tegakan pada siklus tebang berikutnya cenderung menurun.
Gambar 10 Potensi tegakan pada pengelolaan hutan untuk produksi kayu.
Keterangan :1. Potensi tegakan dengan siklus tebang 30 tahun (Permenhut No.11 2009).2. Potensi tegakan dengan siklus tebang 35 tahun (Sistem TPTI).
Dari hasil simulasi pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI seperti
yang selama ini dijalankan oleh perusahaan, diperoleh jumlah potensi pohon per
hektar pada siklus tebang berikutnya sebesar 408 pohon dengan pohon layak
tebang 63 pohon/ha, kemudian mengalami penurunan potensi pada siklus tebang
kedua menjadi 133 pohon/ha dengan 25 pohon layak tebang. Sedangkan untuk
pengelolaan hutan menggunakan siklus tebang 30 tahun memiliki jumlah pohon
per hektar sebanyak 349 pohon dengan pohon layak tebang sebanyak 63
38
pohon/ha, dan mengalami penurunan potensi pada siklus tebang kedua yang hanya
memiliki 125 pohon/ha dengan 19 pohon layak tebang. Penurunan potensi
tersebut disebabkan oleh kegiatan eksploitasi hutan yang berlebihan akibat
penurunan limit diameter pohon layak tebang, sedangkan tingkat pertumbuhan
tegakan kecil dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk kembali memiliki
potensi pohon layak tebang.
5.2.6.2 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga
Pada skenario ini dilakukan perubahan tingkat suku bunga terhadap
besarnya Net Present Value (NPV) pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI.
Tingkat suku bunga pada skenario ini akan diubah menjadi 5 % dan 15 %.
Gambar 11 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga.
Keterangan :1. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 5 %.2. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 10 %.3. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 15 %.
Pada Gambar 12 terlihat bahwa semakin tingginya tingkat suku bunga,
maka besarnya NPV yang diperoleh akan semakin berkurang, sedangkan semakin
kecil tingkat suku bunga, maka besarnya NPV yang diperoleh semakin meningkat.
Karena tingkat suku bunga berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan,
dengan semakin tinggi tingkat suku bunga, maka pendapatan yang diperoleh akan
semakin berkurang, sedangkan semakin rendah tingkat suku bunga pendapatan
yang diperoleh akan semakin meningkat. Hasil skenario nilai NPV pada
perubahan tingkat suku bunga terdapat pada Tabel 5.
39
Tabel 5 Skenario perubahan suku bunga
Simulasi perubahan sukubunga
Suku bunga
5% 10% 15%
NPV (Rp) 58.356.086,88 17.032.509,69 2.417.058,81
Sumber data : hasil simulasi model.
5.3 Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon
5.3.1 Sub Model Pendugaan Stok Karbon
Pada sub model ini dilakukan pendugaan terhadap jumlah kandungan
karbon pada suatu areal. Parameter yang digunakan adalah jumlah pohon dari
masing-masing KD yang kemudian dikonversi dalam bentuk biomassa
menggunakan persamaan allometrik yang dibuat oleh Brown (1997) pada iklim
lembab, yaitu B = EXP(-2.134+2.53*(Ln(D))/1000*KD dimana D merupakan
diameter dan KD merupakan jumlah pohon pada masing-masing kelas diameter.
Biomassa dinyatakan dalam ukuran berat kering, dalam kg/ha atau ton/ha.
Biomassa yang diukur pada simulasi kali ini adalah biomassa atas permukaan
tanah pada hutan bekas tebangan. Biomassa yang didapat kemudian dikonversi ke
karbon dengan asumsi 50% dari biomassa adalah karbon (Brown 1997). Karbon
stok yang diperoleh merupakan penjumlahan stok karbon masing-masing KD.
Hasil pendugaan stok karbon ini berguna untuk memprediksi serapan emisi yang
diserap oleh tegakan melalui proses fotosintesis yang nantinya digunakan untuk
perhitungan kompensasi penyerapan karbon.
Gambar 12 Sub model pendugaan stok karbon.
KD1019 KD2029 KD3039 KD4049 KD5059 KD60up
D1019D2029 D3039
D4049 D5059
C KD1019
C KD2029
C KD3039
C KD4049
C KD5059
D60up
C KD60up
C tot
Pendugaan Stok Karbon
40
5.3.2 Sub Model Pendugaan Pengusahaan Karbon
Sub model pendugaan pengusahaan karbon mensimulasikan proyeksi
pendapatan yang diperoleh dalam skema perdagangan karbon ketika perusahaan
melakukan kebijakan moratorium penebangan. Sub model pendapatan karbon
terdiri dari komponen harga karbon, stok karbon, pendapatan karbon, biaya tetap,
biaya validasi, biaya verifikasi, biaya sertifikasi dan komponen nilai kelayakan
usaha. Pendapatan karbon dihasilkan dari kompensasi jasa penyerapan karbon
yang diperoleh dari pembeli jasa penyerapan karbon, bisa dalam lingkup nasional
maupun internasional atau dalam hal ini negara-ngeara maju. Pendapatan karbon
tersebut kemudian dikurangi biaya-biaya pengusahaan karbon.
Biaya validasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran
pengesahan suatu proyek REDD yang dijalankan antara penjual jasa penyerapan
karbon dengan penerima jasa, biaya verifikasi adalah biaya yang dikeluarkan
untuk memantau keberlanjutan dan tingkat keberhasilan proyek REDD yang
dijalankan, sedangkan biaya sertifikasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan sertifikasi pengurangan emisi per karbon yang terjual. Besarnya
biaya-biaya tersebut mengacu kepada Plan Vivo Standard yang diadaptasi dari
Peraturan Menteri Kehutanan No P. 36/Menhut-II/2009, dimana biaya validasi
diasumsikan sebesar 12500 US$, biaya verifikasi sebesar 30.000 US$ dalam
jangka waktu pengusahaan 5 tahun dan biaya sertifikasi karbon sebesar 0,5 US$
per karbon yang terjual dengan nilai kurs rupiah diasumsikan sebesar US$ 1 = Rp.
8.500,-.
Besarnya jumlah karbon yang dapat dikompensasi ke dalam bentuk
pendapatan tambahan dan biaya pengusahaan karbon diakumulasi berdasarkan
jumlah stok karbon pada waktu tertentu yang diduga pada sub model pendugaan
stok karbon. Biaya tersebut dijumlahkan dengan biaya tetap (manajemen) yang
wajib dikeluarkan setiap tahun. Biaya tetap merupakan biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan setiap tahunnya, baik untuk pengelolaan hutan berbasis
produksi kayu ataupun pengelolaan hutan berbasis jasa penyerapan karbon. Dalam
sub model ini juga menghitung nilai kelayakan usaha pada skenario yang dibuat
dengan tingkat suku bunga 10%.
41
Gambar 13 Sub model pendugaan biaya pengusahaan karbon.
5.3.3 Skenario Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon
Pada skenario pengelolaan hutan untuk penyerapan karbon tidak dilakukan
penebangan dan pengelolaan hutan difokuskan pada penyerapan karbon oleh
tegakan pada saat kebijakan moratorium berlaku. Moratorium tersebut dilakukan
agar kelestarian tegakan terjamin dan membantu penurunan emisi global.
Dinamika struktur tegakan karbon dapat dilihat seperti pada Gambar 14.
Gambar 14 Struktur tegakan pada pengelolaan hutan untuk penyerapan karbon.
Dari hasil proyeksi diperoleh bentuk dinamika struktur tegakan dengan
jumlah pohon per hektar yang cenderung meningkat pada siklus tebang berikutnya
sehingga kelestarian produksi dapat terjamin. Potensi tegakan pada skenario
pengelolaan hutan berbasis karbon mengalami peningkatan jumlah tegakan dari
397 pohon/ha menjadi 406 pohon/ha pada siklus tebang berikutnya. Peningkatan
jumlah pohon ini dikarenakan oleh pengelolaan hutan hanya diperuntukan sebagai
C tot
C Price
Income c
NPV C
BCR C
SukuBunga
Biaya TetapDaur Valid&Ver
Biay a VVS
Cost C
Sub model pendugaan pengusahaan karbon
42
penyerapan karbon tanpa memanfaatkan atau menebang kayu yang ada. Tren
jumlah pohon per hektar tersebut cenderung meningkat dan konstan hingga akhir
waktu simulasi yaitu pada tahun ke-120.
Sedangkan dari segi pendapatan, skenario pengelolaan hutan berbasis
karbon memperoleh keuntungan dari hasil kompensasi jasa penyerapan karbon
yang menghasilkan nilai NPV sebesar Rp. 10.011.211,-/ha dengan BCR 1,43 dan
IRR sebesar 24%, dengan artian usaha skenario pengelolaan hutan berbasis
karbon layak untuk dijalankan dan baik secara ekologi. Akan tetapi dalam segi
pendapatan masih lebih menguntungkan skenario pengelolaan hutan
menggunakan sistem TPTI.
5.4 Pengelolaan Hutan Kombinasi
5.4.1 Sub Model Pengusahaan Sarang Semut
Myrmecodia pendans atau lebih dikenal dengan sebutan sarang semut,
merupakan tanaman berkhasiat yang berasal dari tanah Papua. Belakangan
tanaman ini marak diperbincangkan karena diyakini memiliki khasiat luar biasa
untuk mengobati berbagai macam penyakit berat, antara lain : kanker, tumor,
gangguan jantung terutama jantung koroner, stroke ringan maupun berat, ambeien
(wasir), benjolan-benjolan dalam payudara, gangguan fungsi ginjal dan prostat,
haid dan keputihan, melancarkan peredaran darah, migren, paru-paru, rematik,
sakit maag dan sebagainya. Hasil penelitian mendapati bahwa tanaman ini
mengandung senyawa aktif penting, antara lain : flavanoid, tokoferol, fenolik dan
kaya akan berbagai mineral yang berguna sebagai anti-oksidan dan anti kanker.
Sub model usaha sarang semut dibuat untuk mengetahui pendapatan
tambahan yang dihasilkan dari pengusahaan sarang semut ketika moratorium
penebangan berlaku dan perusahaan mengalihfungsikan hutan untuk penyerapan
karbon. Pada skenario ini, komponen biaya terdiri dari biaya pengolahan selama
memproduksi sarang semut, biaya kemasan dan biaya pemasaran. Sedangkan
pendapatan diperoleh dari hasil penjualan sarang semut dalam bentuk simplisia.
Proses pengolahan sarang semut dimulai dari pengunduhan di lapangan, kemudian
sarang semut tersebut diiris tipis dan dikeringkan. Hasil dari sarang semut yang
43
telah dipotong dan dikeringkan dinamakan simplisia. Harga simplisia saat ini
Rp.65.000,-/kg dan dalam setahun diasumsikan sebanyak 360 kg simplisia.
Gambar 15 Sub model pengusahaan sarang semut.
Skenario pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat tambahan secara
finansial diperlukan ketika kebijakan moratorium penebangan diberlakukan
dengan maksud mempertahankan kelestarian tegakan dan menurunkan emisi
secara global. Karena jika pengelolaan hutan hanya difokuskan untuk penyerapan
karbon saja tidak mencukupi untuk memperoleh keuntungan yang minimal setara
dengan pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI. Untuk itu perlu formula
khusus melalui beberapa skenario untuk mengetahui hasil hutan buan kayu yang
berpotensi menambah pendapatan perusahaan. Kombinasi yang mungkin
dilakukan oleh perusahaan diantaranya adalah pemanfaatan sarang semut,
pemanfaatan minyak lawang, dan pemanfaatan sagu yang memiliki potensi
melimpah di sekitar areal kerja perusahaan.
5.4.2 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon + Sarang Semut
Pada sub model pengelolaan sarang semut, keuntungan tambahan yang
akan diperoleh perusahaan disamping dari pembayaran kompensasi penyerapan
karbon adalah sebesar Rp. 7.823.608,- /ha. Nominal tersebut sedikitnya bisa
menutupi kekurangan pendapatan perusahaan ketika kebijakan moratorium
penebangan berlaku dan pengelolaan hutan diperuntukan sebagai penyerapan
karbon. Skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sarang semut, akan
Biay a
PendapatanOlah
Kemasan
Keuntungan
Pemasaran
harga simplisia
simplisia KgperTh
SukuBungaNPV SS
BCR SS
waktu
Sub Model Usaha Sarang Semut
44
memperoleh pendapatan tambahan dari pengolahan sarang semut disamping dari
kompensasi penyerapan karbon. Besarnya NPV pada skenario kombinasi ini
adalah Rp. 17.834.820,-/ha dengan BCR 1,35 dan IRR 23%. Pendapatan dari
kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon dengan sarang semut ternyata dapat
melebihi pendapatan pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI yang hanya
Rp. 17.032.509,-/ha jika dikelola dengan benar.
5.4.3 Sub Model Usaha Minyak Lawang
Potensi minyak lawang di Papua cukup melimpah dan khasiat atau
kegunaanya pun makin digemari akhir-akhir ini. Minyak lawang yang dihasilkan
dari penyulingan berbahan baku kulit pohon lawang merupakan obat gosok yang
digunakan untuk meredakan nyeri yang ditimbulkan oleh rematik, pegel, keseleo
dan lainya. Selain itu minyak lawang juga digunakan untuk bumbu masak oleh
sebagian masyarakat di Bali. Limbah dari penyulingan minyak lawang yang
berupa bubur kayu masih bisa dimanfaatkan untuk bahan baku produk diantaranya
adalah param dan lulur.
Gambar 16 Sub model usaha minyak lawang.
Sub model ini di buat untuk mengetahui nilai ekonomis dari pemanfaatan
kulit pohon lawang dengan pengelolaan yang baik. Pengelolaan dimulai dari
pengupasan kulit batang pohon yang telah ditebang pada pohon komersil,
hasil suling
bahan bakar
kupas kulitSortir
Produksi per ha
penyulingan Biaya 1Ha
pemasaran minyak
kemas
harga per mL
pendapatan minyak
NPV Minyak
BCR minyak
Jk waktu
SukuBunga
cacah
upah pekerja
Sub Model Usaha Minyak Lawang
45
kemudian dilakukan pemilihan (sortir) kulit pohon yang memiliki kualitas baik,
setelah itu dilakukan pencacahan pada kulit pohon tesebut hingga berbentuk
potongan-potongan kecil atau bahkan serbuk untuk memudahkan dalam proses
penyulingan, pencacahan tersebut dilakukan supaya menghasilkan sari pati yang
lebih banyak dari serat-serat potongan tesebut. Kemudian dilakukan proses
penyulingan hingga berbentuk minyak murni yang telah terpisah dari air,
selanjutnya dilakukan pengemasan dan pemasaran.
Sub model ini terdiri dari komponen biaya, pendapatan dan potensi
produksi. Biaya dari pembuatan minyak lawang, yaitu : biaya pengupasan kulit,
biaya pemilihan bahan baku, biaya pencacahan bahan baku, biaya penyulingan,
biaya pembelian bahan bakar, upah pekerja, biaya pengemasan, dan biaya
pemasaran. Sedangkan komponen pendapatan terdiri dari harga jual minyak
lawang per mili liter dan potensi produksi minyak hasil sulingan. Harga minyak
lawang dipasaran saat ini sebesar Rp. 500.000,- untuk tiap satu liter minyak
lawang. sedangkan dalam satu hektar kurang lebih akan menghasilkan 15,75 ℓ
dengan asumsi terdapat 21 pohon lawang/ha. Hal ini tentu saja bisa menjadi nilai
tambah lain bagi perusahaan jika pemanfaatan kulit pohon lawang dikelola
dengan baik. Dalam sub model usaha minyak lawang juga terdapat komponen
nilai kelayakan usaha menggunakan suku bunga bank 10% untuk melihat nilai
kelayakan usaha minyak lawang tersebut.
5.4.4 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon dan Minyak Lawang
Potensi hasil hutan bukan kayu lain yang dapat dikembangkan oleh
perusahaan adalah pengelolaan minyak lawang yang memiliki cukup bahan baku
untuk dimanfaatkan. Pengelolaan minyak lawang melalui proses penyulingan
membutuhkan bahan baku kulit pohon lawang. Dari hasil simulasi model skenario
pemanfaatan minyak lawang, diperoleh besarnya pendapatan yang akan diterima
perusahaan adalah Rp, 2.818.051,-/ha. Pendapatan tersebut bisa menjadi alternatif
pendapatan tambahan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan
pengelolaan hutan difokuskan untuk penyerapan karbon dalam rangka
mengurangi emisi global.
46
Pada kombinasi skenario pengelolaan hutan karbon dengan usaha minyak
lawang, nilai NPV yang dihasilkan sebesar Rp. 12.829.263,-/ha dengan BCR 1,18
dan IRR sebesar 21%. Nilai-nilai tersebut menunjukan bahwa skenario
pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan usaha minyak lawang layak untuk
dijalankan, akan tetapi dalam segi pendapatan masih lebih menguntungkan
skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan usaha sarang semut yang
memiliki pendapatan lebih besar jika dibandingkan dengan pengelolaan hutan
kombinasi karbon dengan pemanfaatan minyak lawang.
5.4.5 Sub Model Usaha Sagu
Sagu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat
dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia.
Sagu bisa dikembangkan sebagai bahan pangan, sagu juga dibutuhkan bagi
industri tekstil, kertas, dan juga industri kosmetika. Selain itu, bahan tepung sagu
dapat menghasilkan polimer terbaik guna membuat plastik yang bisa terurai di
alam dan sebagai sumber energi alternatif (bioetanol).
Gambar 17 Sub model usaha sagu.
Potensi sagu dunia hampir 50% berada di Indonesia yang diperkirakan
mencapai satu juta hektar dan sebagian besar berada di daerah Papua salah
satunya di Kabupaten Mamberamo Raya. Hal ini dibuktikan dengan tanaman sagu
yang berada di sekitar lokasi areal kerja perusahaan cukup melimpah. Sub model
usaha sagu ini dibuat untuk melihat potensi pendapatan yang dihasilkan dari
hasil perbtg
pisah patipenghalusanpeny aringan
pengeringanPenebangan
cacah empulur
NPV sagu
panen per ha
Kemas sari buah merah
Bagi btg
Pemasaran buah
Jangka waktu
BCR sagu
SukuBunga
Biay a perHa Pendapatan sagu
Harga perKg
Sub Model Usaha Sagu
47
pengelolaan sagu. Pengelolaan sagu dari batang pohon hingga menjadi tepung
memiliki beberapa tahap diantaranya adalah penebangan pohon, pembagian
batang yang dibelah secara memanjang, pengambilan empulur atau teras batang
sagu, penghalusan empulur, penyaringan, pemisahan pati sagu kemudian
pengeringan hingga menjadi tepung sagu.
Sub model usaha sagu terdiri dari beberapa komponen, antara lain : biaya
pengelolaan sagu, harga sagu, potensi sagu dan pendapatan dari penjualan sagu.
Biaya yang dikeluarkan dalam pengolahan sagu terdiri dari biaya penebangan
pohon sagu, biaya pembagian dan pemotongan batang, biaya pencacahan
empulur, biaya penghalusan, biaya penyaringan pati sagu, biaya pengeringan,
biaya kemasan dan biaya pemasaran tepung sagu. Sedangkan komponen
pendapatan terdiri dari potensi panen per hektar, potensi sagu per batang dan
harga jual sagu. Harga tepung sagu sekarang ini mencapai Rp. 3000,- /kg,
sedangkan dalam satu batang pohon sagu dihasilkan sekitar 150-300 kg tepung
sagu dan potensi pohon sagu dalam setahun bisa memanen 86 pohon/ha (Widjono
et al. 2000). Komponen lain dari sub model usaha sagu adalah nilai kelayakan
usaha yang menggunakan suku bunga bank sebesar 10% untuk mengetahui
tingkat kelayakan usaha sagu.
5.4.6 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon dan Sagu
Skenario terkahir sebagai alternatif pendapatan tambahan adalah
pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sagu. Pohon sagu yang sangat
melimpah di sekitar areal kerja perusahaan berpotensi untuk menghasilkan
pendapatan lain jika dikelola dengan benar. Harga tepung sagu semakin naik dan
dari hasil pengelolaan satu batang pohon sagu bisa menghasilkan 200-300 kg
tepung sagu mengingat masyarakat Papua sebagian besar mengkonsumsi sagu
sebagai makanan pokok sehingga dalam hal pemasarannya sangat potensial untuk
dimanfaatkan. Dari hasil simulasi pengelolaan sagu, diperoleh pendapatan
tambahan yang akan diterima perusahaan sebesar Rp. 15.159.376,-/ha. Dengan
asumsi satu hektar bisa menebang 86 pohon sagu. Pendapatan tambahan tersebut
merupakan pendapatan yang paling menguntungkan dari skenario pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu lainnya.
48
Dari hasil simulasi skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan
pemanfaatan sagu diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 25.170.588,-/ha dengan BCR
1,47 dan sebesar IRR 28%. Nilai kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan
kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu tersebut merupakan skenario yang
paling layak untuk dijalankan, karena menghasilkan pendapatan paling besar yang
akan diterima oleh perusahaan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku
dan pengelolaan hutan difokuskan untuk penyerapan karbon dalam rangka
mengurangi emisi global. Selain itu dari hasil pengelolaan hutan berbasis karbon
tersebut diperoleh struktur tegakan yang baik dan dapat terjamin kelestariannya.
5.5 Kombinasi Skenario Terbaik
Pemilihan kombinasi skenario pengelolaan hutan terbaik dilakukan dengan
membandingkan kelayakan usaha pada masing-masing skenario pengelolaan
hutan, kemudian memilih skenario dengan kelayakan usaha yang memiliki NPV
paling maksimal untuk tiap kondisi simulasi sehingga dapat memberikan manfaat
ekonomi yang maksimal. Perbandingan pendapatan dan kelayakan usaha pada
masing-masing skenario pengelolaan hutan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Perbandingan kelayakan usaha masing-masing skenario
Skenario UsahaKelayakan Usaha
NPV BCR IRR100 % Kayu Rp 17.032.509,- 1,17 21%100 % Karbon Rp 10.011.211,- 1,43 24%Karbon + sarang semut Rp. 17.834820,- 1,35 23%Karbon + minyak lawang Rp.12.829.263,- 1,18 21%Karbon + sagu Rp. 25.170.588,- 1,47 28%
Sumber : Hasil rekapitulasi data.
Dari perbandingan nilai kelayakan usaha, diketahui bahwa nilai NPV pada
masing-masing skenario pengelolaan hutan memiliki nilai positif dengan artian
semua skenario usaha layak untuk dijalankan. Nilai NPV, BCR dan IRR tertinggi
ada pada skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu
yang memperoleh nilai NPV sebesar Rp. 25.170.588,-. Nilai ini menunjukan
bahwa biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan pengelolaan akan memberikan
keuntungan selama umur analisis finansial yakni 5 tahun menurut nilai sekarang.
49
Nilai BCR dari skenario pengelolaan hutan kombinasi pengelolaan hutan
berbasis karbon dengan pemanfaatan sagu sebesar 1,47. Nilai BCR tersebut
menunjukan perbandingan antara manfaat dan biaya yang didiskonto. Keadaan
tersebut menggambarkan bahwa manfaat yang diperoleh selama umur proyek
lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan untuk IRR pada skenario
pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu sebesar 28 %
berada diatas suku bunga bank yang digunakan sebesar 10 %. Hal ini menunjukan
kriteria kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan terbaik secara finansial ada
pada skenario ke-5, yaitu kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon dengan
pemanfaatan sagu. Disamping itu, tingkat kelestarian tegakan pada skenario ini
memiliki standing stock yang besar pada siklus tebang berikutnya karena
pemanfaatan kayu dihentikan sementara dan beralih ke pemanfaatan jasa
penyerapan karbon.
50
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Pengelolaan hutan akan sangat menguntungkan bila mampu dilakukan
dengan memperhatikan manfaat lain selain kayu, karena baik kayu, karbon dan
hasil hutan bukan kayu pada akhir-akhir ini memiliki pangsa pasar yang tinggi.
Suatu manajemen pengelolaan hutan yang tepat dapat memberikan dampak
keuntungan ekonomi yang baik bagi masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Dari
hasil simulasi model pengelolaan hutan berbasis karbon di HPH PT Mamberamo
Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua dapat disimpulkan,
sebagai berikut :
1. Model simulasi tegakan dengan menggunakan sistem TPTI akan mengalami
penurunan jumlah potensi pada siklus tebang berikutnya.
2. Model pengelolaan hutan untuk jasa penyerapan karbon mengalami tren
peningkatan jumlah tegakan per hektar, sehingga memberikan manfaat baik
secara ekologi dengan kondisi ketersediaan stok tegakan yang tinggi.
3. Skenario pengelolaan hutan yang terbaik ada pada pengelolaan hutan
berbasis karbon dikombinasikan dengan pemanfaatan sagu yang
memperoleh manfaat ganda dari segi ekonomi dan ekologi. Dengan nilai
NPV sebesar Rp. 25.170.588,- BCR sebesar 1,47 dan IRR 28 % dapat
disimpulkan bahwa usaha tersebut dinyatakan layak untuk dijalankan.
6.2 Saran
Saran yang diajukan sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah
pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan pemanfaatan sagu
sangat layak untuk dijalankan, karena dapat memberikan manfaat tambahan baik
dari segi ekonomi, ekologi maupun sosial ketika kebijakan moratorium dan
perdagangan karbon berlaku di Indonesia.
51
DAFTAR PUSTAKA
Angelsen, A. dan Atmadja, S. (eds). 2010. Melangkah Maju dengan REDD: Isu,Pilihan, dan Implikasi. Center of International Forestry Research. Bogor.
[Anonim]. 2010. Minyak lawang asli papua. Diakses melaluihttp://www.souvenirpapua.com/?p=7. [27 November 2011]
[Anonim]. 2011. Pemanfaatan minyak lawang dan kegunaanya. Diakses melaluihttp://nichye.blogspot.com/2011/03/minyak-lawang.html. [27 November2011]
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, 2007. Tanaman Sagusebagai Sumber Energi Alternatif. Warta penelitian dan pengembanganpertanian Vol.29, n0.4, 2007.
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A.Primer. FAO. Forestry Paper. USA. 134:10-13
Bustanussalam. 2010. Penentuan Struktur Molekul dari Fraksi Air TumbuhanSarang Semut Myrmecodia pendans Merr. & Perry yang MempunyaiAktifitas Sitotoksik dan Sebagai Antioksidan. [Tesis] Institut PertanianBogor. Bogor.
Butler, R.A. 2007. Reduces Impact Logging: Sustainable Logging and ImprovedForest Management. Tropical Forest. Mongabay.com [10 Juni 2011].
Departemen Kehutanan. 2008. Statisistika Kehutanan_Bina Produksi Kehutanan.Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2009. Statisistika Kehutanan_Bina Produksi Kehutanan.Jakarta.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2009. Eksekutif Data Strategis. Jakarta.
Djoefrie, MHB. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil BahanPangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalamRangka Ketahanan Pangan Nasional. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Elias., Grahame, A., Kuswata, K., Machfudh., Art, K. 2006. Reduced ImpactLogging Guidelines for Indonesia. ITTO, Dephutbun, CIFOR, CIRAD,INHUTANI II, WCS. Bulungan.
Flach M. 1983. The Sago Palm. Demestication, Exploitation and Product. FAO.Plant Production and Protection. Dalam Proceeding SimposiumPenerapan Ekolabel di Hutan produksi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Gayatri A. 2010. Model Rantai Nilai Mata Kayu Jati (Tectona grandis L.f) diKesatuan Pemangkuan Hutan Bojonegoro Perum Perhutani Unit II JawaTimur. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,Institut Pertanian Bogor. Bogor
Grant W.E. Pedersen, and Sandra L. 1997. Ecology and Natural ResourceManagement System Analysis and Simulation. Toronto : John Willey andSon Inc.
52
Hairiah K. 2002. Lahan gambut untuk perlindungan iklim global dankesejahteraan masyarakat : Pengukuran carbon stock di ataspermukaan tanah. Wetlands International. Canada.
Hairiah, K dan S Rahayu. 2007. Pengukuran karbon tersimpan di berbagaimacam penggunaan lahan. Agroforestry Centre – ICRAF. Bogor
Husch B, Beers TW, dan Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. Fourthedition.USA: John Wiley & Sons, Inc.
IFCA, 2007. Consolidation Report : Reducing Emissions from Deforestation andForest Degradation in Indonesia, Published by FORDA Indonesia.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelinesfor National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the NationalGreenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L.,Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.
Kementerian Kehutanan RI. 2009a. Peraturan Menteri Kehutanan RepublikIndonesia Nomor : P. 11/Menhut-II/2009 Tentang Sistem Silvikultur dalamAreal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi.
Kementerian Kehutanan RI. 2009b. Peraturan Menteri Kehutanan RepublikIndonesia Nomor : P. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara PerizinanUsaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon PadaHutan Produksi dan Hutan Lindung.
Kementerian Kehutanan RI. 2009c. Pedoman Pelaksanaan Sistem SilvikulturTPTI. Lampiran 1 Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan.Nomor P.9/VI/-BPHA/2009. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Krisnawati, H. 2001. Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dengan PendekatanDinamika Struktur Tegakan (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan). [Tesis]Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Kohyama, T. 1993. Size Structured Tree Population in Gap Dynamic Forest.Journal of Ecology, 81 : 131-145.
Nurdjannah, N. 1994. Pengeringan bahan dan penyulingan minyak. PemberitaanLitantri xx. (1-2) : 11-15. Puslitbangtri. Bogor
Onrizal. 2004. Model Penduga Biomassa dan Karbon Tegakan Hutan Kerangasdi Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. [Tesis] InstitutPertanian Bogor. Bogor.
Ostwald M. 2008. Carbon Inventory Method. Handbook for Greenhouse GasInventory, Carbon Mitigation and Roundwood Productions Project.Goteborg University. Sweden.
[PT. MAM] PT Mamberamo Alasmandiri. 2009. RKUPHHK dalam Hutan Alampada Hutan Produksi Periode 2008 s/d 2017. Papua: PT. MAM.
Purnomo H. 2004. Teori sistem. Bahan Bacaan Mata Ajaran Analisis Sistem.Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.
53
Ramos, C.A., O. Carvalho and B.D. Amaral. 2006. Short-term effects ofreduced-impact logging on eastern Amazon fauna. Forest Ecology andManagement, Vol.2322, No.1-3 : 26-35.
Smith, J dan Scheer, SJ. 2002. Forest Carbon and Local Livelihood. Assessmentof Oppourtunities and Policy Recommendation. Cifor Occasional PaperNo. 37
Schlamadinger, B. dan Johns, T. 2006. Reducing emissions from deforestation andforest degradation; Latest developments. Climat change mitigationmeasures in the agroforestry sector and biodiversity futures, Trieste/IT,ICTP.
Subroto M. A. dan Hendro. 2006. Gempur penyakit dengan sarang semut. Jakarta.Penebar Swadaya.
Subroto M. A. 2007. Kandungan sarang semut. Jakarta. Penebar Swadaya.
Thornley, JHM. 1998. Grassland dynamic, an ecosystem simulation model.Wallingford, UK. Center of Agricultural Bioscience International.
UNFCCC, 2008. Investment and financial flows to address climate change.UNFCCC. Bonn.
Wartono K, Manan S. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan RI.Jakarta.
Widjono, A., R. Aser, dan Amisnaipa. 2000. Identifikasi, karakterisasi, dankoleksi jenis-jenis sagu. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Sistem Usaha TaniPapua. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Yuniarsih, FN. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Dekstrin dan Sirup Glukosa sagu(Metroxylon sp) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var.ellipsoideus.[skripsi] Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yumte Y. 2008. Penyusunan Model Penduga Berat Basah Tepung Sagu Duri(Metroxylon rumphii) di Kabupaten Sorong Selatan Provinsi Papua Barat[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
54
LAMPIRAN
Lampiran 1. Struktur tegakan pada hutan bekas tebangan berumur 3 tahun
55
Lampiran 2. Peta PT. Mamberamo Alasmandiri
Peta lokasi kawasan PT. Mamberamo Alasmandiri
Peta areal kerja PT. Mamberamo Alasmandiri
56
Lampiran 3. Print out persamaan model
1. Dinamika Struktur TegakanKD1019(t) = KD1019(t - dt) + (Ingrowth - Upg1 - TingkatKematianLogging1) * dtINITKD1019 = 279INFLOWS:Ingrowth = 3.98+0.03*NHA-0.3*LBDSTotOUTFLOWS:Upg1 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d1-0.00012*(d1)^2)*KD1019TingkatKematianLogging1 = if Panen>0 then 0.08*KD1019 else 0KD2029(t) = KD2029(t - dt) + (Upg1 - Upg2 - TingkatKematianLogging2) * dtINIT KD2029= 70INFLOWS:Upg1 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d1-0.00012*(d1)^2)*KD1019OUTFLOWS:Upg2 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d2-0.00012*(d2)^2)*KD2029TingkatKematianLogging2 = if Panen>0 then 8/100*KD2029 else 0KD3039(t) = KD3039(t - dt) + (Upg2 - Upg3 - TingkatKematianLogging3) * dtINIT KD3039= 21INFLOWS:Upg2 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d2-0.00012*(d2)^2)*KD2029OUTFLOWS:Upg3 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d3-0.00012*(d3)^2)*KD3039TingkatKematianLogging3 = if Panen>0 then 8/100*KD3039 else 0KD4049(t) = KD4049(t - dt) + (Upg3 - Upr4 - TingkatKematanlogging4 - Teb_4049) *dtINIT KD4049 = 16INFLOWS:Upg3 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d3-0.00012*(d3)^2)*KD3039OUTFLOWS:Upr4 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d4-0.00012*(d4)^2)*KD4049TingkatKematanlogging4 = if Panen>0 then 8/100*KD4049 else 0Teb_4049 = if mod(time,Daur)=0 then 0.8*KD4049 else 0KD5059(t) = KD5059(t - dt) + (Upr4 - TingkatKematianlogging5 - Upg5 - Teb_5059) *dtINIT KD5059 = 5INFLOWS:Upr4 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d4-0.00012*(d4)^2)*KD4049OUTFLOWS:TingkatKematianlogging5 = if Panen>0 then 8/100*KD5059 else 0Upg5 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d5-0.00012*(d5)^2)*KD5059Teb_5059 = if mod(time,Daur)=0 then 0.8*KD5059 else 0KD60up(t) = KD60up(t - dt) + (Upg5 - Teb_60up - TingkatKematianlogging6) * dtINITKD60up = 6INFLOWS:Upg5 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d5-0.00012*(d5)^2)*KD5059OUTFLOWS:Teb_60up = if mod(time,Daur)=0 then 0.8*KD60up else 0TingkatKematianlogging6 = if Panen>0 then 6/100*KD60up else 0D1 = 0.15, D2 = 0.25, D3 = 0.35, D4 = 0.45, D5 = 0.55, D6 = 0.65Daur = 0LBDSTot = ((0.25)*3.14*(D1)^2)*KD1019+((0.25)*3.14*(D2)^2)*KD2029+((0.25)*3.14*(D3)^2)*KD3039+((0.25)*3.14*(D4)^2)*KD4049+((0.25)*3.14*(D5)^2)*KD5059+((0.25)*3.14*(D6)^2)*KD60upNHA = KD1019+KD2029+KD3039+KD4049+KD5059+KD60upPanen = Teb_4049+Teb_5059+Teb_60up
57
PendugaanVolume_60up = 0.25*3.14*(60/100)^2*20*0.7Pendugaan_Vol_4049 = 0.25*3.14*(40/100)^2*15*0.7Pendugaan_vol_5059 = 0.25*3.14*(50/100)^2*17*0.7Vol_Teb_4049 = Pendugaan_Vol_4049*Teb_4049Vol_Teb_5059 = Pendugaan_vol_5059*Teb_5059Vol_teb_60up = Teb_60up*PendugaanVolume_60up
2. Sub Model Pendugaan Stok KarbonC_KD1019 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D1019)))))/1000*KD1019C_KD2029 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D2029)))))/1000*KD2029C_KD3039 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D3039)))))/1000*KD3039C_KD4049 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D4049)))))/1000*KD4049C_KD5059 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D5059)))))/1000*KD5059C_KD60up = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D60up)))))/1000*KD60upC_tot= C_KD1019+C_KD2029+C_KD3039+C_KD4049+C_KD5059+C_KD60upD1019 = 15, D2029 = 25, D3039 = 35, D4049 = 45, D5059 = 55, D60up = 65
3. Sub Model PendapatanBCR = if mod(time,Daur)=0 then ((Penerimaan/Pengeluaran)/(1+SukuBunga)^Daur) else 0BiayaBinHut =Gaji&Tunjangan+ITT+Operasional_&_adm_camp+PAK+Pemeliharaan_Tanaman+Penjarangan+Penyusunan_RKT+PerlindunganHutan+PersemaianPembibitan+Rehabilitasi_lahan+PenanamanPengayaanBiaya_Pemanenan = if PenebanganCL>0 thenDR&IHH+InspeksiBlok+ITSP+KontruksiJalanSarad+MuatBongkar+PenandaanJalanSarad+Penebangan+Pengangkutan+Pengupasan_kulit+Pengapalan+PerencanaanOperasionalPemanenan+DR&IHH+Penyaradan+PWH+Pembagian_batang else 0Biaya_Tetap = if mod(time,5)=0 thenBinaDesa+Pelatihan+PBB+Pengamanan_Hutan+PemeliharaaanJalan+PemeliharaanAlatBangunan+Pemeliharaan_tata_batas else 0BinaDesa = 300000DR&IHH = 2248285Gaji&Tunjangan = 3579150HargaKayuB = 2000000InspeksiBlok = 430000ITSP = 130000ITT = if mod(time,Daur+1)=0 then 150000 else 0KontruksiJalanSarad = 237100MuatBongkar = 968068NPV_Conv = if mod(time,Daur)=0 then ((Penerimaan-Pengeluaran)/(1+SukuBunga)^Daur)else 0Operasional_&_adm_camp = 3622235PAK = if mod(time,Daur+2)=0 then 110000 else 0PBB = 581500Pelatihan = 292000Pembagian_batang = 398616PemeliharaaanJalan = 326400PemeliharaanAlatBangunan = 870000Pemeliharaan_Tanaman = if mod(time,Daur+5)=0 then 101000 else 0Pemeliharaan_tata_batas = 271000PenanamanPengayaan = if mod(time,Daur+4)=0 then 571914 else 0PenandaanJalanSarad = 112000Penebangan = 1708356PenebanganCL = Teb_4049+Teb_5059+Teb_60upPenerimaan = HargaKayuB*(Vol_Teb_4049+Vol_Teb_5059+Vol_teb_60up)Pengamanan_Hutan = 142050Pengangkutan = 740288Pengapalan = 455562
58
Pengeluaran = Biaya_Pemanenan+BiayaBinHut+Biaya_TetapPengupasan_kulit = 341671Penjarangan = if mod(time,Daur+5)=0 then 43690 else 0Penyaradan = 1081959Penyiapan_lahan = if mod(time,Daur+1)=0 then 160000 else 0Penyusunan_RKT = 30000PerencanaanOperasionalPemanenan = 300861PerlindunganHutan = 1500PersemaianPembibitan = if mod(time,Daur+2)=0 then 230000 else 0PWH = 654000Rehabilitasi_lahan = if mod(time,Daur+3)=0 then 50000 else 0SukuBunga = 0.10
4. Sub Model Pendapatan Karbon dengan Plan Vivo StandardBCR_C = if Mod(time,Daur_Valid&Ver)=0 then(Income_c/Cost_C)/(1+SukuBunga)^Daur_Valid&Ver else 0Biaya_VVS[Validation] = if mod(time,0)=Daur_Valid&Ver then 12500 else 0Biaya_VVS[Verification] = if mod(time,0)=Daur_Valid&Ver then 30000 else 0Biaya_VVS[C_Certification] = 0.3Cost_C =((Biaya_VVS[Validation]+Biaya_VVS[Verification]+(Biaya_VVS[C_Certification]*C_tot))*8500)+Biaya_TetapC_Price = 5*8500Daur_Valid&Ver = 5Income_c = C_Price*C_totNPV_C = if Mod(time,Daur_Valid&Ver)=0 then (Income_c-Cost_C)/(1+SukuBunga)^Daur_Valid&Ver else 0
5. Sub Model Usaha Sarang SemutBCR_SS = ((Pendapatan/biaya)/(1+SukuBunga)^waktu)Biaya = Kemasan+Olah+Pemasaranharga_simplisia = 65000Kemasan = 10000*simplisia_KgperThKeuntungan = Pendapatan-BiayaNPV_SS = ((Pendapatan-biaya)/(1+SukuBunga)^waktu)Olah = 10000*simplisia_KgperThPemasaran = 15000*simplisia_KgperThPendapatan = simplisia_KgperTh*harga_simplisiasimplisia_KgperTh = 30*12waktu = 5
6. Sub Model Usaha Minyak lawangbahan_bakar = 654000BCR_minyak = ((pendapatan_minyak/Biaya_1Ha)/(1+SukuBunga)^Jk_waktu)Biaya_1Ha =bahan_bakar+cacah+kemas+kupas_kulit+pemasaran_minyak+penyulingan+Sortir+upah_pekerjacacah = 273000harga_per_mL = 500hasil_suling = 15*Produksi_per_haJk_waktu = 5kemas = 290000kupas_kulit = 197400NPV_Minyak = ((pendapatan_minyak-Biaya_1Ha)/(1+SukuBunga)^Jk_waktu)pemasaran_minyak = 125700pendapatan_minyak = harga_per_mL*hasil_sulingpenyulingan = 769400, Produksi_per_ha = 1050, Sortir = 97000, upah_pekerja = 930000
59
7. Sub Model Usaha SaguBagi_btg = 398616BCR_sagu = ((Pendapatan_sagu/Biaya_perHa)/(1+SukuBunga)^Jangka_waktu)Biaya_perHa =Bagi_btg+cacah_empulur+Kemas_sari_buah_merah+Pemasaran_buah+Penebangan_2+pengeringan+penghalusan+penyaringan+pisah_paticacah_empulur = 8600000Harga_perKg = 3000hasil_perbtg = 200Jangka_waktu = 5Kemas_sari_buah_merah = 1240000NPV_sagu = ((Pendapatan_sagu-Biaya_perHa)/(1+SukuBunga)^Jangka_waktu)panen_per_ha = 86Pemasaran_buah = 1240000Pendapatan_sagu = panen_per_ha*hasil_perbtg*Harga_perKgPenebangan_2 = 1708356pengeringan = 2475000penghalusan = 5982700penyaringan = 3524000pisah_pati = 2017000
60
Lampiran 4. Rekapitulasi pertumbuhan tegakan secara periodik pada hutan bekas tebangan
No Nama Lokal Kel Jenis Jenis Diameter Tbc KD Diameter Tbc KD Diameter Tbc KD
1 Libani Kel Rimba Campuran ND 89,5 34,6 60up 89,8 35 60up 90,4 35,6 60up
2 Matoa Kel Meranti D 10 13,1 10-19 10,9 14 10-19 11,7 15,1 10-19
3 Binuang Kel Rimba Campuran ND 52 39,5 50-59 52,8 40 50-59 53,5 40,5 50-59
4 Merbau Kel Meranti D 10,8 18,5 10-19 11,7 19 10-19 12,25 20,1 10-19
5 Jambu Kel Rimba Campuran ND 11,4 16 10-19 12,1 16,5 10-19 12,95 17,2 10-19
6 Matoa Kel Meranti D 15 16,4 10-19 15,67 17 10-19 16,07 17,65 10-19
7 Bipa Kel Rimba Campuran ND 18 18,6 10-19 18,75 19 10-19 19,35 20,1 10-19
8 Malas Kel Non Komersil NK 14 16,9 10-19 14,39 17,5 10-19 15,09 18 10-19
9 dahu Kel Kayu Indah ND 14,5 22,5 10-19 15,3 23 10-19 16,1 23,8 10-19
10 Libani Kel Rimba Campuran ND 10,9 20 10-19 11,8 21 10-19 12,5 21,8 10-19
11 Mersawa Kel Meranti D 16,8 29,4 10-19 17,7 30 10-19 18,3 30,6 10-19
12 Libani Kel Rimba Campuran ND 43 25,3 40-49 43,5 26 40-49 44,3 26,8 40-49
13 Mersawa Kel Meranti D 10,5 14,6 10-19 11,2 15 10-19 12,1 15,93 10-19
14 Matoa Kel Meranti D 15,8 33,6 10-19 16,3 34 10-19 16,87 34,5 10-19
15 Matoa Kel Meranti D 22,8 15,5 20-29 23,6 16 20-29 24,35 16,92 20-29
16 Kenari Kel Meranti D 13,6 16,3 10-19 14,2 17 10-19 15,1 18 10-19
17 Matoa Kel Meranti D 58,7 19 50-59 59,3 19,5 50-59 59,8 20,3 50-59
18 Malas Kel Non Komersil NK 10,8 22,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
19 Matoa Kel Meranti D 36 21,5 30-39 36,6 22 30-39 37,4 22,91 30-39
20 Mersawa Kel Meranti D 24,6 32,5 20-29 25,45 33 20-29 26,05 33,8 20-29
21 Malas Kel Non Komersil NK 20,6 18 20-29 21,5 18,5 20-29 21,9 19,6 20-29
22 Pala Hutan Kel Rimba Campuran ND 11 20,5 10-19 12 21 10-19 12,57 21,9 10-19
23 Matoa Kel Meranti D 10,6 23 10-19 11,4 23,5 10-19 12,2 24 10-19
24 Merbau Kel Meranti D 20,3 23 20-29 21 23,5 20-29 21,6 24 20-29
25 Resak Kel Meranti D 21 23,4 20-29 21,83 24 20-29 22,45 24,7 20-29
26 Libani Kel Rimba Campuran ND 24,1 24,5 20-29 24,9 25 20-29 25,1 25,8 20-29
27 Jambu Kel Rimba Campuran ND 19,7 20,5 10-19 20,1 21,4 20-29 21,8 23 20-29
28 Hopea Kel Meranti D 17,1 27,6 10-19 17,67 28 10-19 18,07 28,8 10-19
29 Merbau Kel Meranti D 30,1 24,5 30-39 30,75 25 30-39 31,35 26,4 30-39
30 Merbau Kel Meranti D 13,2 32,5 10-19 14 33 10-19 14,57 33,86 10-19
31 Libani Kel Rimba Campuran ND 18,9 11,6 10-19 19,3 12 10-19 20,1 12,57 20-29
32 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 16 15,5 10-19 16,73 16 10-19 17,35 16,8 10-19
33 Terentang Kel Rimba Campuran ND 11 14,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
34 Resak Kel Meranti D 10 13,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
35 Merbau Kel Meranti D 25,7 20 20-29 26,5 20,9 20-29 27,3 21,6 20-29
36 Malas Kel Non Komersil NK 11,9 18,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
37 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 13 21,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
38 Resak Kel Meranti D 31 15 30-39 31,7 15,8 30-39 32,25 16,56 30-39
39 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 13,6 9,2 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
40 Merbau Kel Meranti D 27,8 17 20-29 28,5 17,5 20-29 29,4 18,25 20-29
41 Libani Kel Rimba Campuran ND 13,4 10,3 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
42 Hopea Kel Meranti D 10 13,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
43 Hopea Kel Meranti D 10 13,8 10-19 10,83 14,5 10-19 11,4 15,2 10-19
44 Hopea Kel Meranti D 45,3 18,5 40-49 46 19 40-49 46,8 19,85 40-49
45 Merbau Kel Meranti D 26,9 10,5 20-29 27,6 11 20-29 28,1 11,84 20-29
46 Matoa Kel Meranti D 14,5 17,5 10-19 15,2 18 10-19 16,1 18,9 10-19
61
47 Libani Kel Rimba Campuran ND 41,2 14,5 40-49 42 15 40-49 42,5 15,6 40-49
48 Matoa Kel Meranti D 12,5 18,6 10-19 13,07 19 10-19 13,72 20 10-19
49 Sindur Kel Kayu Indah ND 12 19,1 10-19 12,7 20,8 10-19 13,3 21,2 10-19
50 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 13,2 17,6 10-19 14,1 18 10-19 14,75 18,67 10-19
51 Merbau Kel Meranti D 17 15,4 10-19 17,39 16 10-19 18,09 17 10-19
52 Merbau Kel Meranti D 28,8 13,5 20-29 29,4 14 20-29 30,1 14,8 30-39
53 Resak Kel Meranti D 12 14 10-19 12,65 14,8 10-19 13,35 15,3 10-19
54 Hopea Kel Meranti D 10 15,6 10-19 10,5 16 10-19 11 16,8 10-19
55 Matoa Kel Meranti D 24,4 8 20-29 25 8,75 20-29 25,5 9,75 20-29
56 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 13,9 22,5 10-19 14,5 23 10-19 15,3 23,6 10-19
57 Pulai Kel Meranti D 12 24 10-19 12,65 24,75 10-19 13,45 25,45 10-19
58 Matoa Kel Meranti D 14,8 9,1 10-19 15,45 9,85 10-19 16,25 10,5 10-19
59 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 17,4 11,5 10-19 18 12 10-19 18,67 13 10-19
60 Matoa Kel Meranti D 13 15,5 10-19 13,8 16 10-19 14,6 16,9 10-19
61 Merbau Kel Meranti D 31 18 30-39 31,7 18,5 30-39 32,5 19,6 30-39
62 Merbau Kel Meranti D 11 18,1 10-19 12 18,5 10-19 12,74 19,4 10-19
63 Binuang Kel Rimba Campuran ND 10,51 15,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
64 Merbau Kel Meranti D 20,73 8,5 20-29 21,53 9 20-29 22,28 9,65 20-29
65 Dahu Kel Kayu Indah ND 13,4 10,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
66 Mersawa Kel Meranti D 11 13,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
67 Merbau Kel Meranti D 12,2 12,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
68 Matoa Kel Meranti D 12,2 23,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
69 Bipa Kel Rimba Campuran ND 11 11,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
70 Mersawa Kel Meranti D 13 15,5 10-19 13,87 16 10-19 14,52 16,78 10-19
71 Matoa Kel Meranti D 31,4 32,4 30-39 32,1 33 30-39 32,7 33,8 30-39
72 Binuang Kel Rimba Campuran ND 13 10,5 10-19 13,78 11 10-19 14,38 11,92 10-19
73 Hopea Kel Meranti D 11,8 13,5 10-19 12,7 14 10-19 13,4 15 10-19
74 Malas Kel Non Komersil NK 43,4 20,4 40-49 44,12 21 40-49 44,84 21,8 40-49
75 Malas Kel Non Komersil NK 10 15,4 10-19 10,86 16 10-19 11,42 16,74 10-19
76 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 20,7 11,5 20-29 21,3 12 20-29 22 12,7 20-29
77 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,2 12 10-19 11 12,5 10-19 11,9 13,2 10-19
78 Simpur Kel Rimba Campuran ND 61,7 32,5 60up 62,1 33 60up 62,4 33,5 60up
79 Matoa Kel Meranti D 13,4 14,5 10-19 13,97 15 10-19 14,57 15,63 10-19
80 Matoa Kel Meranti D 12,4 15,5 10-19 13,1 16 10-19 13,92 16,9 10-19
81 Binuang Kel Rimba Campuran ND 30 17,5 30-39 30,9 18 30-39 31,7 19 30-39
82 Matoa Kel Meranti D 22,1 22,4 20-29 22,81 23 20-29 23,67 23,8 20-29
83 Simpur Kel Rimba Campuran ND 13,8 13 10-19 14,5 13,5 10-19 15,23 14,3 10-19
84 Matoa Kel Meranti D 34,5 12,5 30-39 35,1 13 30-39 35,85 13,8 30-39
85 Mersawa Kel Meranti D 11,37 17,5 10-19 11,97 18 10-19 12,54 18,9 10-19
86 Mersawa Kel Meranti D 25,7 10,6 20-29 26,57 11 20-29 27,45 11,5 20-29
87 Matoa Kel Meranti D 10,67 12 10-19 11,21 12,5 10-19 11,96 13,1 10-19
88 Malas Kel Non Komersil NK 14 13,5 10-19 14,75 14 10-19 15,55 14,8 10-19
89 Malas Kel Non Komersil NK 12,9 8,1 10-19 13,6 8,5 10-19 14,5 8,35 10-19
90 Sukun Kel Rimba Campuran ND 10,1 11,5 10-19 10,9 12 10-19 11,8 13 10-19
62
91 Bipa Kel Rimba Campuran ND 11,27 12,3 10-19 11,77 13 10-19 12,3 13,83 10-19
92 Merbau Kel Meranti D 20,4 17,6 20-29 21 18 20-29 21,8 18,76 20-29
93 Cempaka Kel Kayu Indah ND 11,7 10 10-19 12,61 10,5 10-19 13,35 11,23 10-19
94 Matoa Kel Meranti D 30,8 15,5 30-39 31,52 16 30-39 32,4 16,91 30-39
95 Malas Kel Non Komersil NK 10 14,6 10-19 10,8 15 10-19 11,5 15,6 10-19
96 Jambu Kel Rimba Campuran ND 10,4 11,6 10-19 11,25 12 10-19 12,05 12,52 10-19
97 Mendarahan Kel Rimba Campuran ND 32,1 15,6 30-39 33 16 30-39 33,7 16,74 30-39
98 Matoa Kel Meranti D 15,2 13,4 10-19 16 14 10-19 16,9 14,82 10-19
99 Mersawa Kel Meranti D 28 16 20-29 28,63 16,5 20-29 29,33 17,4 20-29
100 Dahu Kel Kayu Indah ND 10,1 17,6 10-19 11 18 10-19 11,8 18,9 10-19
101 Libani Kel Rimba Campuran ND 12,4 14,5 10-19 13,27 15 10-19 13,97 15 10-19
102 Matoa Kel Meranti D 14,1 17,5 10-19 14,92 18 10-19 15,72 18,57 10-19
103 Matoa Kel Meranti D 26,8 17,6 20-29 27,54 18 20-29 28,34 18,9 20-29
104 Sukun Kel Rimba Campuran ND 41,1 21 40-49 41,6 21,78 40-49 42,2 22,48 40-49
105 Merbau Kel Meranti D 10,7 25,6 10-19 11,5 26 10-19 12,43 26,5 10-19
106 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 23,4 11 20-29 24,13 11,5 20-29 24,9 12,15 20-29
107 Bipa Kel Rimba Campuran ND 20,8 17,4 20-29 21,55 18 20-29 Mati Mati Mati
108 Hopea Kel Meranti D 11,3 12 10-19 12,2 12,5 10-19 13,1 13,4 10-19
109 Dahu Kel Kayu Indah ND 38,1 9 30-39 39 9,5 30-39 39,86 10,35 30-39
110 Mersawa Kel Meranti D 11,34 13,5 10-19 11,94 14 10-19 12,9 15,1 10-19
111 Simpur Kel Rimba Campuran ND 24,8 14,5 20-29 25,37 15 20-29 25,79 15,86 20-29
112 Libani Kel Rimba Campuran ND 12 23,6 10-19 12,67 24 10-19 13,52 24,9 10-19
113 Hopea Kel Meranti D 13 17,5 10-19 13,82 18 10-19 14,46 19,1 10-19
114 Mersawa Kel Meranti D 10,1 12,2 10-19 10,9 12,6 10-19 11,65 13,35 10-19
115 Mersawa Kel Meranti D 13 13,4 10-19 13,57 14 10-19 14,35 14,67 10-19
116 Matoa Kel Meranti D 56,6 13 50-59 57 13,5 50-59 57,5 14,3 50-59
117 Hopea Kel Meranti D 12,74 16,5 10-19 13,09 17 10-19 13,84 17,73 10-19
118 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 10 14,5 10-19 10,8 15,4 10-19 11,5 16,2 10-19
119 Matoa Kel Meranti D 53,5 16,5 50-59 54 17 50-59 54,4 17,89 50-59
120 Matoa Kel Meranti D 14 13 10-19 14,54 13,5 10-19 15,19 14,3 10-19
121 Bipa Kel Rimba Campuran ND 11,6 15,6 10-19 12,4 16 10-19 13,12 16,62 10-19
122 Malas Kel Non Komersil NK 11,1 20,5 10-19 12 21 10-19 12,8 22 10-19
123 Merbau Kel Meranti D 10,9 10,8 10-19 11,7 11,7 10-19 12,15 12,3 10-19
124 Libani Kel Rimba Campuran ND 21,7 16,6 20-29 22,5 17 20-29 23,2 18 20-29
125 Merbau Kel Meranti D 68,4 40,5 60up 68,6 41 60up 68,9 41,4 60up
126 Terentang Kel Rimba Campuran ND 10 16,5 10-19 10,49 17 10-19 11,34 18 10-19
127 Cempaka Kel Kayu Indah ND 12,5 16,5 10-19 13,34 17 10-19 14,04 17,8 10-19
128 Mersawa Kel Meranti D 10 20,5 10-19 10,75 21 10-19 11,35 21,7 10-19
129 Sukun Kel Rimba Campuran ND 12,4 30,5 10-19 13,3 31 10-19 14,05 31,4 10-19
130 Simpur Kel Rimba Campuran ND 41,2 24 40-49 41,8 25,1 40-49 42,2 25,94 40-49
131 Malas Kel Non Komersil NK 28,8 8 20-29 30 8,5 30-39 30,8 9,4 30-39
132 Lulu Kel Rimba Campuran ND 43,8 24,5 40-49 44,1 25 40-49 44,7 25,8 40-49
133 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 10,4 20,5 10-19 11,2 21 10-19 11,95 21,76 10-19
134 Matoa Kel Meranti D 26,9 17,5 20-29 27,7 18 20-29 28,52 18,84 20-29
63
135 Mersawa Kel Meranti D 41,2 23,4 40-49 42 24 40-49 42,6 25,1 40-49
136 Matoa Kel Meranti D 14,3 12,3 10-19 15,1 12,7 10-19 15,75 13,5 10-19
137 Hopea Kel Meranti D 10,8 17,5 10-19 11,64 18 10-19 12,4 18,9 10-19
138 Mersawa Kel Meranti D 13,2 24,5 10-19 13,62 25 10-19 14,19 25,6 10-19
139 Libani Kel Rimba Campuran ND 30,4 18,4 30-39 31 19 30-39 31,6 19,82 30-39
140 Nyatoh Kel Meranti D 16,2 10,5 10-19 16,9 11 10-19 17,5 12 10-19
141 Matoa Kel Meranti D 14,81 19,5 10-19 15,29 20 10-19 Mati Mati Mati
142 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 44,6 22 40-49 45 22,8 40-49 45,7 23,4 40-49
143 Merbau Kel Meranti D 34,3 11 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
144 Malas Kel Non Komersil NK 22,2 11 20-29 23,05 11,7 20-29 23,75 12,54 20-29
145 Merbau Kel Meranti D 23,4 21 20-29 24,13 21,5 20-29 24,85 22,3 20-29
146 Merbau Kel Meranti D 48,5 18,2 40-49 49 18,5 40-49 49,5 19,4 40-49
147 Matoa Kel Meranti D 11,27 12,4 10-19 11,94 12,83 10-19 12,67 13,4 10-19
148 Sindur Kel Kayu Indah ND 55,9 25,2 50-59 56,42 26,1 50-59 57,08 26,76 50-59
149 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 16 19,4 10-19 16,78 20 10-19 17,31 21,1 10-19
150 Merbau Kel Meranti D 28 17 20-29 28,91 17,5 20-29 29,72 18,3 20-29
151 Malas Kel Non Komersil NK 23,1 16,4 20-29 23,75 17 20-29 24,55 17,83 20-29
152 Merbau Kel Meranti D 10,3 16,4 10-19 11,1 17 10-19 Mati Mati Mati
153 Jambu Kel Rimba Campuran ND 11 20,5 10-19 11,76 21 10-19 12,56 22 10-19
154 Bipa Kel Rimba Campuran ND 16 13,2 10-19 16,57 13,6 10-19 17,15 14,23 10-19
155 Matoa Kel Meranti D 10,2 17,6 10-19 10,9 18 10-19 11,63 19 10-19
156 Dahu Kel Kayu Indah ND 40,1 12,5 40-49 40,7 13 40-49 41,1 13,78 40-49
157 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,4 25,5 10-19 11,2 26 10-19 12,06 26,7 10-19
158 Matoa Kel Meranti D 21,2 12,5 20-29 22,1 13 20-29 22,83 13,5 20-29
159 Matoa Kel Meranti D 10,2 15,4 10-19 11,05 16 10-19 11,85 17 10-19
160 Matoa Kel Meranti D 12,1 13,5 10-19 13 14 10-19 13,57 14,06 10-19
161 Merbau Kel Meranti D 24,8 12,4 20-29 25,65 13 20-29 26,4 13,82 20-29
162 Terentang Kel Rimba Campuran ND 21,6 31,5 20-29 22,34 32 20-29 23,19 32,8 20-29
163 Terentang Kel Rimba Campuran ND 12 17,4 10-19 12,57 18 10-19 13,23 18,9 10-19
164 Matoa Kel Meranti D 14,2 9,5 10-19 14,9 10 10-19 15,62 10,93 10-19
165 Merbau Kel Meranti D 89,5 33,9 60up 90 34,6 60up 90,4 35 60up
166 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 11,2 11,2 10-19 12,1 12,6 10-19 12,65 13,1 10-19
167 Malas Kel Non Komersil NK 12 12 10-19 12,85 12,78 10-19 13,45 13,68 10-19
168 Matoa Kel Meranti D 10,2 10,6 10-19 10,86 11 10-19 11,57 11,91 10-19
169 Medang Kel Meranti D 41,4 11,5 40-49 42 12,4 40-49 42,6 13 40-49
170 Matoa Kel Meranti D 16,9 17,5 10-19 17,5 18,2 10-19 18,35 19 10-19
171 Matoa Kel Meranti D 18,03 17,6 10-19 18,31 18 10-19 19,06 18,9 10-19
172 Nyatoh Kel Meranti D 37 10,5 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
173 Simpur Kel Rimba Campuran ND 12 11,4 10-19 12,57 12 10-19 13,99 12,87 10-19
174 Pulai Kel Meranti D 10 14,6 10-19 10,9 15,1 10-19 11,75 15,9 10-19
175 Bipa Kel Rimba Campuran ND 21,1 32,4 20-29 21,9 33 20-29 22,7 33,8 20-29
176 Matoa Kel Meranti D 13,2 15,4 10-19 14 16 10-19 14,66 16,65 10-19
177 Merbau Kel Meranti D 45,7 13 40-49 46,2 13,67 40-49 46,9 14,52 40-49
178 Cempaka Kel Kayu Indah ND 13,9 21,4 10-19 14,7 22 10-19 15,3 23 10-19
64
179 Matoa Kel Meranti D 20 15,5 20-29 20,42 16 20-29 21,12 16,59 20-29
180 Matoa Kel Meranti D 10,6 17 10-19 11,13 17,5 10-19 11,78 18,5 10-19
181 Merbau Kel Meranti D 12,1 21,6 10-19 13 22 10-19 13,4 22,9 10-19
182 Merbau Kel Meranti D 40 20,6 40-49 40,4 21 40-49 40,9 22 40-49
183 Merbau Kel Meranti D 10,7 9,6 10-19 11,54 10,35 10-19 12,29 11,23 10-19
184 Mersawa Kel Meranti D 11,8 14,6 10-19 12,3 15 10-19 13 16 10-19
185 Pulai Kel Meranti D 23,5 19,4 20-29 24,2 20 20-29 24,83 20,65 20-29
186 Medang Kel Meranti D 13,2 9,5 10-19 14 10,23 10-19 14,58 11,08 10-19
187 Merbau Kel Meranti D 39 34,6 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
188 Mersawa Kel Meranti D 10,4 17 10-19 11,23 17,84 10-19 12,08 18,74 10-19
189 Dahu Kel Kayu Indah ND 20,9 31,8 20-29 21,55 32,5 20-29 22,25 33,4 20-29
190 Malas Kel Non Komersil NK 13 16,5 10-19 13,41 17 10-19 14,06 18,04 10-19
191 Matoa Kel Meranti D 14,6 30,4 10-19 15,2 30,7 10-19 16,12 31,2 10-19
192 Merbau Kel Meranti D 35,6 20 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
193 Dahu Kel Kayu Indah ND 17 12,2 10-19 17,42 12,5 10-19 18,15 13,34 10-19
194 Hopea Kel Meranti D 23,4 20,5 20-29 24,1 21 20-29 24,8 21,8 20-29
195 Hopea Kel Meranti D 15,3 19,5 10-19 15,86 20 10-19 16,68 21,1 10-19
196 Matoa Kel Meranti D 10 23,5 10-19 10,9 24 10-19 11,5 24,7 10-19
197 Matoa Kel Meranti D 31,1 19,5 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
198 Mersawa Kel Meranti D 11,2 14,2 10-19 11,74 14,5 10-19 12,39 15,42 10-19
199 Hopea Kel Meranti D 10,7 16,5 10-19 11,15 17 10-19 11,95 17,9 10-19
200 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,2 21,5 10-19 14,9 22 10-19 15,6 22,6 10-19
201 Bipa Kel Rimba Campuran ND 27,2 19,5 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
202 Mersawa Kel Meranti D 10,2 10,6 10-19 11,76 11 10-19 12,3 12 10-19
203 Mersawa Kel Meranti D 10 13,4 10-19 10,8 13,7 10-19 11,5 14,3 10-19
204 Binuang Kel Rimba Campuran ND 23,4 25 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
205 Hopea Kel Meranti D 22,3 30,2 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
206 Matoa Kel Meranti D 16 11,3 10-19 16,57 12 10-19 17,23 12,72 10-19
207 Hopea Kel Meranti D 16,7 20,4 10-19 17,35 20,6 10-19 18,13 21,5 10-19
208 Simpur Kel Rimba Campuran ND 10,3 19 10-19 11,12 19,5 10-19 11,82 20,3 10-19
209 Libani Kel Rimba Campuran ND 10,1 18,5 10-19 11 19 10-19 11,8 19,6 10-19
210 Matoa Kel Meranti D 10 16,5 10-19 10,8 17 10-19 11,5 17,7 10-19
211 Matoa Kel Meranti D 12 24,5 10-19 12,81 25 10-19 13,56 25,7 10-19
212 Matoa Kel Meranti D 27,8 17,6 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
213 Pulai Kel Meranti D 15,8 29,5 10-19 16,3 30 10-19 17 30,5 10-19
214 Resak Kel Meranti D 16,8 18,5 10-19 17,55 18,9 10-19 18,32 19,4 10-19
215 Hopea Kel Meranti D 10,3 19,4 10-19 11,14 20 10-19 11,93 20,6 10-19
216 Simpur Kel Rimba Campuran ND 22 16,5 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
217 Jambu Kel Rimba Campuran ND 14,33 13,5 10-19 15,13 14 10-19 15,98 15 10-19
218 Mersawa Kel Meranti D 20,1 18,5 20-29 20,75 19 20-29 21,56 19,67 20-29
219 Matoa Kel Meranti D 14,39 17,6 10-19 15,1 18 10-19 15,75 18,59 10-19
220 Binuang Kel Rimba Campuran ND 34,2 17 30-39 35,4 17,5 30-39 36,21 18,2 30-39
221 Matoa Kel Meranti D 12,29 22,4 10-19 12,77 23 10-19 13,37 23,9 10-19
222 Merbau Kel Meranti D 10,2 17,8 10-19 11,1 18,2 10-19 Mati Mati Mati
65
223 Libani Kel Rimba Campuran ND 40,4 18,5 40-49 41,1 19 40-49 41,4 19,89 40-49
224 Bipa Kel Rimba Campuran ND 12,9 17,5 10-19 13,34 18 10-19 14,04 18,82 10-19
225 Matoa Kel Meranti D 40,2 29,5 40-49 40,8 30 40-49 41,2 30,5 40-49
226 Merbau Kel Meranti D 21,4 24,4 20-29 21,97 25 20-29 22,75 25,6 20-29
227 Merbau Kel Meranti D 10,2 21 10-19 11,9 21,84 10-19 12,67 22,59 10-19
228 Resak Kel Meranti D 11,2 23,6 10-19 12,04 24,21 10-19 12,86 24,5 10-19
229 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 16,9 19,5 10-19 17,47 20,3 10-19 18,99 21,12 10-19
230 Matoa Kel Meranti D 19,4 23,5 10-19 20,24 24 20-29 21,14 24,5 20-29
231 Simpur Kel Rimba Campuran ND 13,2 19,5 10-19 13,77 20,21 10-19 14,36 20,8 10-19
232 Merbau Kel Meranti D 10,1 21,6 10-19 10,59 22 10-19 11,29 22,7 10-19
233 Merbau Kel Meranti D 12,4 19,6 10-19 13,23 20,5 10-19 13,98 20,6 10-19
234 Malas Kel Non Komersil NK 20,6 11,5 20-29 21,4 12,4 20-29 21,83 13,3 20-29
235 Lulu Kel Rimba Campuran ND 15,7 18,9 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
236 Mersawa Kel Meranti D 14,5 10,5 10-19 15,3 11,12 10-19 16,07 12 10-19
237 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,27 20,5 10-19 11,94 21 10-19 12,56 21,8 10-19
238 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 18,66 13,5 10-19 19,11 14 10-19 19,84 14,78 10-19
239 Resak Kel Meranti D 16,4 16,5 10-19 17,23 16,9 10-19 17,8 17,8 10-19
240 Matoa Kel Meranti D 26,85 14,5 20-29 27,07 15,32 20-29 27,59 15,64 20-29
241 Simpur Kel Rimba Campuran ND 20,13 18,6 20-29 20,7 19,12 20-29 21,1 20 20-29
242 Merbau Kel Meranti D 13,1 12,4 10-19 13,6 13,22 10-19 14,45 14 10-19
243 Mersawa Kel Meranti D 11,6 16,5 10-19 12,52 17,13 10-19 13,29 17,4 10-19
244 Matoa Kel Meranti D 16,2 20,5 10-19 17,1 21,14 10-19 17,78 21,8 10-19
245 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,1 19,4 10-19 14,76 20,2 10-19 15,39 20,9 10-19
246 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,5 23,4 10-19 13,92 24,23 10-19 14,66 24,7 10-19
247 Malas Kel Non Komersil NK 15,3 14 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
248 Merbau Kel Meranti D 34,9 23,6 30-39 35,4 24 30-39 36,12 24,5 30-39
249 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,5 24,5 10-19 13,14 25,1 10-19 14,9 25,5 10-19
250 Cempaka Kel Kayu Indah ND 16,5 20,6 10-19 17,35 21 10-19 18,04 22,1 10-19
251 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,2 17,1 10-19 10,78 17,5 10-19 11,45 18,2 10-19
252 Bintangur Kel Rimba Campuran ND 12,3 23,5 10-19 13,23 24 10-19 13,8 24,5 10-19
253 Pulai Kel Meranti D 11,3 17,5 10-19 12,1 18 10-19 12,98 18,7 10-19
254 Matoa Kel Meranti D 11,2 13,5 10-19 12,06 14,2 10-19 Mati Mati Mati
255 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 10,2 14,3 10-19 11,1 15 10-19 11,92 15,84 10-19
256 Libani Kel Rimba Campuran ND 13,5 11,6 10-19 14,25 12,4 10-19 14,67 13,32 10-19
257 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,2 12,4 10-19 11,8 13 10-19 12,5 13,83 10-19
258 Bipa Kel Rimba Campuran ND 30,1 32,6 30-39 30,92 33,12 30-39 31,76 33,4 30-39
259 Dahu Kel Kayu Indah ND 12,4 19,6 10-19 13 20 10-19 13,73 21 10-19
260 Matoa Kel Meranti D 21,94 16,9 20-29 22,29 17 20-29 23,04 17,7 20-29
261 Dahu Kel Kayu Indah ND 13,2 24,5 10-19 14,12 25 10-19 14,68 26 10-19
262 Libani Kel Rimba Campuran ND 10 15,5 10-19 10,56 16 10-19 Mati Mati Mati
263 Matoa Kel Meranti D 14,5 12 10-19 15,4 12,5 10-19 16,23 13 10-19
264 Matoa Kel Meranti D 13,89 16,1 10-19 14,33 16,4 10-19 15,08 17 10-19
265 Sukun Kel Rimba Campuran ND 15,8 23,5 10-19 16,65 24,3 10-19 17,1 24,8 10-19
266 Libani Kel Rimba Campuran ND 13,4 27,5 10-19 14,12 28 10-19 14,76 28,9 10-19
66
267 Resak Kel Meranti D 13,4 16,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
268 Dahu Kel Kayu Indah ND 13,4 17,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
269 Resak Kel Meranti D 27,61 15,6 20-29 27,98 16,22 20-29 28,4 17,02 20-29
270 Terentang Kel Rimba Campuran ND 11 19,2 10-19 11,86 20,1 10-19 12,56 20,8 10-19
271 Terentang Kel Rimba Campuran ND 13,5 20,4 10-19 14,1 21 10-19 14,77 21,9 10-19
272 Matoa Kel Meranti D 12,5 29,3 10-19 13,4 30 10-19 14,1 30,6 10-19
273 Hopea Kel Meranti D 15,4 18,7 10-19 16,15 19,2 10-19 16,9 20,2 10-19
274 Jambu Kel Rimba Campuran ND 16,8 12,5 10-19 17,5 13,2 10-19 18,13 14 10-19
275 Resak Kel Meranti D 16,8 19 10-19 17,35 19,78 10-19 18,25 20,4 10-19
276 Matoa Kel Meranti D 13,4 17 10-19 14,15 17,5 10-19 14,75 17,9 10-19
277 Matoa Kel Meranti D 14,5 22,5 10-19 15,22 23,1 10-19 15,92 24 10-19
278 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 18,9 20 10-19 19,32 21 10-19 20,02 22 20-29
279 Bipa Kel Rimba Campuran ND 20,8 18,5 20-29 21,45 19 20-29 22,3 20,1 20-29
280 Sukun Kel Rimba Campuran ND 12,5 24,9 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
281 Matoa Kel Meranti D 12,8 10 10-19 13,2 10,8 10-19 14,05 11,2 10-19
282 Cempaka Kel Kayu Indah ND 15,8 13 10-19 16,55 13,2 10-19 17,3 14 10-19
283 Resak Kel Meranti D 16,4 21,5 10-19 17,12 22 10-19 17,92 22,5 10-19
284 Sukun Kel Rimba Campuran ND 11,2 19 10-19 12,1 19,4 10-19 12,95 20,1 10-19
285 Bipa Kel Rimba Campuran ND 14,2 31,5 10-19 15 32 10-19 15,87 32,7 10-19
286 Libani Kel Rimba Campuran ND 16,5 34,6 10-19 16,92 35 10-19 17,7 35,4 10-19
287 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 10 17 10-19 10,83 17,5 10-19 11,46 18,12 10-19
288 Malas Kel Non Komersil NK 11,4 29,5 10-19 12,3 30 10-19 13,12 30,4 10-19
289 Merbau Kel Meranti D 25,4 24,5 20-29 26,24 25,2 20-29 27 25,9 20-29
290 Matoa Kel Meranti D 11,5 18,7 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
291 Mersawa Kel Meranti D 14,8 11 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
292 Hopea Kel Meranti D 16,8 28,6 10-19 17,45 29 10-19 18,05 29,7 10-19
293 Pulai Kel Meranti D 10,5 16,9 10-19 11,92 17,1 10-19 12,42 18 10-19
294 Matoa Kel Meranti D 11,2 21,5 10-19 12 22,3 10-19 12,97 22,7 10-19
295 Malas Kel Non Komersil NK 25,35 19,4 20-29 26,12 20 20-29 26,68 20,98 20-29
296 Mersawa Kel Meranti D 20,4 27,4 20-29 21,23 27,7 20-29 21,8 28 20-29
297 Hopea Kel Meranti D 14,5 13,5 10-19 15,27 14,2 10-19 15,9 15,1 10-19
298 Merbau Kel Meranti D 12,2 11,6 10-19 13,2 12 10-19 14,12 12,78 10-19
299 Resak Kel Meranti D 10,5 21,6 10-19 11,4 22,11 10-19 12,2 23 10-19
300 Malas Kel Non Komersil NK 14,6 12,4 10-19 15,57 13 10-19 15,97 13,59 10-19
301 Matoa Kel Meranti D 10,2 34,5 10-19 11 35 10-19 11,7 35,6 10-19
302 Sukun Kel Rimba Campuran ND 10,67 19,9 10-19 11,15 20,2 10-19 11,86 21 10-19
303 Sukun Kel Rimba Campuran ND 16,4 33 10-19 17,2 33,5 10-19 17,82 34,1 10-19
304 Matoa Kel Meranti D 10,2 21,6 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
305 Mersawa Kel Meranti D 19,39 18,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
306 Mersawa Kel Meranti D 13,5 13,4 10-19 14,4 13,9 10-19 15,1 14,8 10-19
307 Mersawa Kel Meranti D 12,3 25,8 10-19 13,12 26,1 10-19 13,97 26,9 10-19
308 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,8 19 10-19 11,5 19,5 10-19 12,25 20 10-19
309 Malas Kel Non Komersil NK 13,5 14,6 10-19 14,42 15,2 10-19 15,32 15,7 10-19
310 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,2 19 10-19 11,77 19,5 10-19 12,4 20,1 10-19
67
311 Merbau Kel Meranti D 20,5 24,5 20-29 21,4 25,1 20-29 22,2 26 20-29
312 Dahu Kel Kayu Indah ND 18,66 15,4 10-19 19,17 16,1 10-19 20,02 16,95 20-29
313 Merbau Kel Meranti D 27,1 29 20-29 27,83 29,3 20-29 28,53 30,1 20-29
314 Resak Kel Meranti D 15,6 35 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
315 Resak Kel Meranti D 10,1 15 10-19 10,86 15,68 10-19 11,67 16,18 10-19
316 Resak Kel Meranti D 13,4 21,5 10-19 14,26 22 10-19 15,06 22,8 10-19
317 Resak Kel Meranti D 10,1 15,8 10-19 10,87 16,2 10-19 11,46 17 10-19
318 Simpur Kel Rimba Campuran ND 16,4 20,6 10-19 17,23 21,2 10-19 18,03 22 10-19
319 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,4 18 10-19 11,3 18,5 10-19 12,14 19,2 10-19
320 Hopea Kel Meranti D 16,02 18,5 10-19 16,72 19 10-19 17,44 19,59 10-19
321 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,6 17,9 10-19 15,4 18,2 10-19 16,34 18,8 10-19
322 Merbau Kel Meranti D 16,34 20,5 10-19 16,72 21 10-19 17,5 21,5 10-19
323 Merbau Kel Meranti D 10,2 19,6 10-19 11,05 20 10-19 11,85 20,8 10-19
324 Hopea Kel Meranti D 12,4 10 10-19 13,25 10,5 10-19 14,05 11,3 10-19
325 Bintangur Kel Rimba Campuran ND 10 24,6 10-19 10,87 25 10-19 11,52 25,5 10-19
326 Dahu Kel Kayu Indah ND 24 20 20-29 24,57 20,3 20-29 25,37 20,72 20-29
327 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,2 16,5 10-19 12,1 17 10-19 12,89 17,6 10-19
328 Bintangur Kel Rimba Campuran ND 13,8 24,9 10-19 14,42 25,1 10-19 15,27 25,9 10-19
329 Malas Kel Non Komersil NK 12,29 17 10-19 12,96 17,2 10-19 13,56 18 10-19
330 Matoa Kel Meranti D 18,76 21,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
331 Hopea Kel Meranti D 11,4 16 10-19 12,13 16,5 10-19 12,95 17 10-19
332 Dahu Kel Kayu Indah ND 14,5 15 10-19 15,35 15,2 10-19 15,92 16,1 10-19
333 Resak Kel Meranti D 19,2 8,6 10-19 20,1 9,1 20-29 20,84 9,77 20-29
334 Malas Kel Non Komersil NK 10 19,5 10-19 10,59 20 10-19 11,63 21 10-19
335 Mersawa Kel Meranti D 15,4 18,5 10-19 16,2 19 10-19 17,1 19,4 10-19
336 Pulai Kel Meranti D 19,7 19,5 10-19 20,23 20 20-29 21,18 20,9 20-29
337 Dahu Kel Kayu Indah ND 12,3 11 10-19 13,12 11,5 10-19 13,69 12,11 10-19
338 Mersawa Kel Meranti D 12,3 20,5 10-19 12,95 21 10-19 13,76 21,87 10-19
339 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,4 19 10-19 13,2 19,5 10-19 13,77 20,3 10-19
340 Mersawa Kel Meranti D 79,49 26 60up 79,72 26,5 60up 80,14 27,1 60up
341 Mersawa Kel Meranti D 18,4 19,4 10-19 19,15 20,1 10-19 19,95 21 10-19
342 Pulai Kel Meranti D 13,5 19,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
343 Mersawa Kel Meranti D 15 17,5 10-19 15,92 18 10-19 16,72 18,67 10-19
344 Resak Kel Meranti D 33,92 15,4 30-39 34,03 16 30-39 34,88 16,78 30-39
345 Lancat Kel Rimba Campuran ND 25,1 22,2 20-29 25,9 22,7 20-29 26,76 23 20-29
346 Libani Kel Rimba Campuran ND 17,71 29 10-19 18,31 29,5 10-19 19,11 30,23 10-19
347 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 11,4 9 10-19 12,15 9,5 10-19 12,94 10,12 10-19
348 Cempaka Kel Kayu Indah ND 26,7 32,2 20-29 27,3 32,9 20-29 27,9 33,2 20-29
349 Resak Kel Meranti D 17,36 19 10-19 17,62 19,2 10-19 18,04 19,75 10-19
350 Resak Kel Meranti D 18 25,4 10-19 18,7 25,8 10-19 19,6 26,3 10-19
351 Matoa Kel Meranti D 30,45 18 30-39 31,02 18,5 30-39 31,87 19,07 30-39
352 Merbau Kel Meranti D 14,5 25 10-19 15,36 25,5 10-19 16,21 26 10-19
353 Nani Kel Non Komersil NK 15,7 23,3 10-19 16,31 23,72 10-19 17,2 24,12 10-19
354 Sindur Kel Kayu Indah ND 15,6 19 10-19 16,5 19,5 10-19 17,3 20 10-19
68
355 Merbau Kel Meranti D 20,3 25,4 20-29 21,2 26 20-29 21,92 27 20-29
356 Matoa Kel Meranti D 27,52 17,5 20-29 27,87 18 20-29 28,7 19 20-29
357 Mersawa Kel Meranti D 12,4 12 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
358 Resak Kel Meranti D 17,07 25 10-19 17,52 25,2 10-19 18,4 26 10-19
359 Resak Kel Meranti D 17,9 27,2 10-19 18,52 27,61 10-19 19,27 28,11 10-19
360 Merbau Kel Meranti D 11,3 17 10-19 12,1 17,6 10-19 12,95 18,1 10-19
361 Matoa Kel Meranti D 17,58 24,3 10-19 18,22 24,7 10-19 19,12 25,2 10-19
362 Libani Kel Rimba Campuran ND 13,5 18,9 10-19 14,34 19,2 10-19 15,14 19,9 10-19
363 dahu Kel Kayu Indah ND 24,5 20 20-29 25,35 20,6 20-29 26,05 21,1 20-29
364 Matoa Kel Meranti D 27,26 19 20-29 27,83 19,3 20-29 28,68 20,1 20-29
365 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 20,4 30,8 20-29 21,3 31,2 20-29 22,1 32 20-29
366 Malas Kel Non Komersil NK 13,4 30,6 10-19 14,1 30,85 10-19 15 31,15 10-19
367 Sindur Kel Kayu Indah ND 12,61 17,5 10-19 13,15 18 10-19 13,95 19 10-19
368 Mersawa Kel Meranti D 20,13 16,6 20-29 20,83 17 20-29 21,4 17,92 20-29
369 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 17,61 26,5 10-19 18,22 27 10-19 18,92 27,5 10-19
370 Matoa Kel Meranti D 16,8 17,6 10-19 17,5 18 10-19 18,3 18,46 10-19
371 Mersawa Kel Meranti D 20,48 29 20-29 21,15 29,5 20-29 21,95 30,1 20-29
372 Merbau Kel Meranti D 10,63 31 10-19 11,97 31,45 10-19 12,82 31,97 10-19
373 Mersawa Kel Meranti D 14,43 26 10-19 15,25 26,5 10-19 15,95 27,2 10-19
374 Matoa Kel Meranti D 14,81 16,1 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
375 Matoa Kel Meranti D 18,34 19 10-19 18,89 19,5 10-19 19,64 20,2 10-19
376 Matoa Kel Meranti D 25,1 30 20-29 25,92 30,2 20-29 26,72 30,7 20-29
377 Matoa Kel Meranti D 14,43 20,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
378 Matoa Kel Meranti D 15,16 28,5 10-19 15,86 29 10-19 16,8 29,56 10-19
379 Merbau Kel Meranti D 16,69 24,2 10-19 17,39 24,8 10-19 18,19 25,5 10-19
380 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,8 21,5 10-19 13,57 22 10-19 14 22,5 10-19
381 Matoa Kel Meranti D 25,35 30 20-29 26,25 30,67 20-29 26,68 31,07 20-29
382 Nani Kel Non Komersil NK 17,99 16,9 10-19 18,83 17,2 10-19 19,65 17,9 10-19
383 Merbau Kel Meranti D 12,3 20 10-19 13,15 20,5 10-19 13,85 21,4 10-19
384 Bipa Kel Rimba Campuran ND 11 20 10-19 11,74 20,5 10-19 12,34 21,1 10-19
385 Bipa Kel Rimba Campuran ND 16,69 16 10-19 17,02 16,2 10-19 17,87 17 10-19
386 Matoa Kel Meranti D 13,4 19,6 10-19 14,25 20,3 10-19 15,06 20,72 10-19
387 Simpur Kel Rimba Campuran ND 14,6 18,2 10-19 15,5 18,7 10-19 16,35 19,1 10-19
388 Merbau Kel Meranti D 17,93 20 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
389 Mersawa Kel Meranti D 16,02 11,5 10-19 16,78 12 10-19 17,4 12,57 10-19
390 Dahu Kel Kayu Indah ND 28,09 21,6 20-29 28,59 22 20-29 29,7 23 20-29
391 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,5 8,1 10-19 15,3 8,5 10-19 16,12 10 10-19
392 Sindur Kel Kayu Indah ND 17,61 19,8 10-19 17,93 20,5 10-19 18,72 21,1 10-19
393 Resak Kel Meranti D 22,07 16,5 20-29 22,68 16,9 20-29 23,43 17,4 20-29
394 Libani Kel Rimba Campuran ND 28,41 24 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati
395 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 20,13 23,5 20-29 20,86 23,92 20-29 21,4 24,32 20-29
396 Terentang Kel Rimba Campuran ND 13,5 20 10-19 14,4 21,2 10-19 15,23 21,62 10-19
397 Cempaka Kel Kayu Indah ND 13,76 20,2 10-19 14,56 20,62 10-19 15,46 21,02 10-19
398 Merbau Kel Meranti D 0 0 12,7 9,5 IN 13,3 10,3 10-19
69
399 Sindur Kel Kayu Indah ND 0 0 11,4 9 IN 12,3 9,8 10-19
400 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 0 0 12 10,6 IN 12,57 11,1 10-19
401 Libani Kel Rimba Campuran ND 0 0 12 10 IN 12,5 10,65 10-19
402 Merbau Kel Meranti D 0 0 12,6 9,4 IN 13,1 10 10-19
403 Malas Kel Non Komersil NK 0 0 12,1 10 IN 12,52 10,8 10-19
404 Mersawa Kel Meranti D 0 0 11,4 12,5 IN 11,97 13,4 10-19
405 Dahu Kel Kayu Indah ND 0 0 11,5 9 IN 12 9,6 10-19
406 Hopea Kel Meranti D 0 0 12,2 10,6 IN 12,8 11,2 10-19
407 Bipa Kel Rimba Campuran ND 0 0 15,1 13,7 IN 15,52 14,5 10-19
408 Matoa Kel Meranti D 0 0 13,3 12 IN 13,71 12,57 10-19
409 Simpur Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 11,5 9 IN
410 Bipa Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 12,2 10,6 IN
411 Mersawa Kel Meranti D 0 0 0 0 15,1 13,7 IN
412 Terentang Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 13,3 12 IN
413 Bipa Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 14,5 12,4 IN
414 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 12,6 9,4 IN
415 Terentang Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 12,1 10 IN
416 Cempaka Kel Kayu Indah ND 0 0 0 0 11,4 12,5 IN
417 Merbau Kel Meranti D 0 0 0 0 11,5 9 IN
418 Sindur Kel Kayu Indah ND 0 0 0 0 12,2 10,6 IN
419 Resak Kel Meranti D 0 0 0 0 15,1 13,7 IN
420 Resak Kel Meranti D 0 0 0 0 13,3 12 IN
421 Merbau Kel Meranti D 0 0 0 0 14,5 12,4 IN
422 Matoa Kel Meranti D 0 0 0 0 15 13,5 IN
423 Libani Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 13,8 8,9 IN