Penggunaan Karbon Arang Kayu Belian Dan Arang Kayu Akasia ...
Arang - BP2SDM-MENLHKbp2sdm.menlhk.go.id/emagazine/Edisi_3_Tahun_2017.pdf · 2 Briket Arang...
-
Upload
nguyenliem -
Category
Documents
-
view
234 -
download
1
Transcript of Arang - BP2SDM-MENLHKbp2sdm.menlhk.go.id/emagazine/Edisi_3_Tahun_2017.pdf · 2 Briket Arang...
1
Arang KayaManfaatRamahLingkungan
Oleh :
EndangDwiHastutiSiwiTriUtami
Arang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari‐hari. Arang merupakan salah satu
produk yang dihasilkan dari teknologi arang terpadu yang ramah lingkungan. Arang
memiliki banyak manfaat, tidak hanya dijadikan bahan bakar saja tapi juga dapat
diaplikasikan dalam berbagi bidang pertanian dan peternakan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan telah mensosialisasikan teknologi ini sejak tahun 2000‐an,
pada berbagai instansi terkait, maupun kelompok‐kelompok masyarakat. Beberapa
penyuluhkehutanantelahsuksesmengaplikasikanteknologiini.
ArangTerpadu,TeknologiTerapanRamahLingkungan
Arang terpadu merupakan teknologi yang dalam proses dan aplikasinya dilakukan
secaraterpadu.Arangterpaduadalahteknologiterapanyangramahlingkungan,karena
memanfaatkanberbagaijenislimbahbiomassasertamenerapkanteknologiyangrendah
emisi.Teknologiarangterpaduselainmenghasilkanarangjugaarangkomposdanasap
cair.
Arang dapat diolah lebih lanjut menjadi briket arang untuk energi Gambar 1 juga
dapatdiolahlebihlanjutmenjadiarangaktif.
Gambar 1. Berbagai bentuk briket arang untuk energi alternatif.
2
Briket Arang memiliki beberapa kelebihan antara lain : Bersih dan tidak berdebu;
Mengeluarkansedikitasap;Abusisapembakarankecil;Menghasilkankalorpanasyang
tinggidankonstan;Menyalaterustanpadikipas;Ramah lingkungan;serta tersedianya
bahanbakuyangmelimpah.
Beberapa penelitian tentang teknologi arang terpadu pernah dilakukan dengan
mengunakan:
1 drum bekas yang tutup/sungkupnya disambung dengan bambu sepanjang 4
meteryangberfungsisebagaipendinginalami Gambar2 ,yangdisebutdengan
carakonvensionalatautradisional.
Tungkukubahyangterbuatdaribatubata,dilengkapiunitpendingin,
Tungku baja dan tungku sakuraba, masing‐masing dilengkapi dengan unit
pendinginair.
Tungkuarangterpadu3in1terbuatyangdaribahanstainlessstelldengandual
pendinginyangbagiandalamdilapisidenganbata Gambar3 .
p
(foto: gusmailina)
Gambar 2.Tungku konvensional/tradisional dengan pendingin bambu, dalam lingkaran putih terdapat
botol penampung asap cair
Penggunaan tungku drum yang diberi sungkup bambu lebih sesuai bagi masyarakat
karena teknologi ini lebih murah dan mudah diaplikasikan. Namun dari beberapa
penelitian penggunaan tungku ini masih ada kelemahanya itu kualitas asap cair
yang dihasilkan masih terlihat kotor dan berwarna hitam, sehingga harus dilakukan
penyulingan.
3
(foto: gusmailina)
Gambar 3.Tungku 3 in 1 (A); Tungku 2 drum dengan pendingin stainless steel (B)
(sumber foto: gusmailina)
Gambar 4.Tungku kubah kapasitas 3 m3 untuk produksi arang dan asap cair
Asap yang terbentuk dalam proses pembuatan arang, akan mengalami perubahan
bentukmenjadicairanapabila terjadiprosespendinginan.Cairan inidisebutasapcair
ataucukakayu woodvinegar .
ArangSebagaiPembangunKesuburanTanah PKT
Arang atau Biochar merupakan hasil dari pembakaran tidak sempurna sehingga
menyisakan unsur hara yang menyuburkan lahan. Jika pembakaran berlangsung
sempurna,arangberubahmenjadiabudanmelepaskarbon.
Arang bukan pupuk tetapi arang dapat membangun kualitas dan kondisi tanah baik
secarafisik,kimiadanbiologitanah.Arangmemilikiporipadapermukaannyasehingga
jika digunakan sebagai campuranmedia tanam dapatmemperbaiki sirkulasi air dan
udaradidalamtanah.Arangdapatmenyerapdanmenyimpanairdanhara,kemudian
airdanharatersebutakandikeluarkankembalisesuaikebutuhan.Selainituarangdapat
meningkatkan pH tanah. Kondisi ini bagus untuk perkembanganmikroba tanah yang
berfungsidalampenyediaanunsurharadalamtanahuntukdiseraptanaman.Olehsebab
ituarangdisebutsebagaipembangunkesuburantanah.
AB
4
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan arang pada media
tumbuhdapatmempercepatpertumbuhantanamandipersemaianmaupundilahan.
ArangMeningkatkanpHdanAktivitasMikrorganismeTanah
ArangbersifatalkalidenganpHdiatas8, sehinggaarangdigunakansebagaipengganti
kapur ataudolomit yangharganya lebihmahal. Arangdapatmemperbaiki sifat kimia,
fisikdanbiologitanahsehinggaapabilatanamandiberiarangmakapertumbuhanakan
meningkat,antaralaintinggi,diameterdanproduksi.Pemberianarangpadatanahdapat
meningkatkanphdanaktivitasmikroorganismetanah.
Arangjugadapatmeningkatkankelembabandankesuburantanahdandapatbertahan
ribuan tahun dalam tanah. Arang juga baik sebagai campuran pakan, maupun untuk
meningkatkan higienis, kebersihan dan kesehatan kandang ternak. Arang digunakan
sebagai pelapis alas kandang untuk mengurangi bau, selalu hangat dan menyerap
berbagai penyakit yang akan menyerang ternak, sehingga ternak menjadi sehat dan
lingkunganterjagakebersihannya.
Pertumbuhan dan produktivitas buahnya akan selalu membutuhkan pupuk sebagai
nutrisi dalam jumlah tertentu sehingga ketersediaan pupuk yang memadai harus
terjamin.Namunpenyediaanpupuk dengan jumlah yangmemadaimemerlukan biaya
yangbesar.Disamping itu,pupukpadaumumnyaakanbanyak tercuci/leaching rata‐
rata50% sehinggamenimbulkanbanyakpemborosanyangmerugikan.
Aplikasiarangadalahsalahsatusolusidenganmemanfaatkan limbahbiomasasebagai
bahan baku arang, murah danmudah didapat. Hasil suatu risetmenunjukkan bahwa
keberadaanarangdidalamtanahtidakakanterpengaruhselama130tahunlamanya.
AplikasiArangSudahRatusanTahun
Parailmuwanduniamenemukanunsurarangdalamkandungantanahhitamdilembah
Amazon yang disebut Terra Preta. Diperkirakanmerupakan hasil pengelolaan bangsa
Amerindiansejak500tahunhingga2.500tahunsilam.Selanjutnya,arangjugaterdapat
buku kuno di Jepang dengan istilah pupuk‐api fire‐manure sebagai penyubur
pertanianpadatahun1697.DemikianpuladiChina,tradisimenyuburkanlahansudah
sejak lamadikembangkanmelaluipembakaranbiomassa.Sejak1915penelitian ilmiah
peranarangterhadappertumbuhanbibitpadisudahdikembangkan.
5
RamahLingkungan
Arang bersifat karbon negatif sehingga telah menjadi tumpuan keberlanjutan sistem
usaha tani dan sekaligusmengurangi dampak perubahan iklim global di negaramaju
danberkembangsepertiIndonesia.Selaindapatmeningkatkanproduktivitaslahandan
tanaman, penggunaan arang juga dapat mengurangi kerusakan lingkungan yang
disebabkanolehkegiatanpertanian.
Di Indonesia, pemanfaatan arang dalam skala luas merupakan hal yang relatif baru.
Masih perlu penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya arang untuk
keberlanjutanusahapertaniandalamartiluas.
MembuatArangSecaraSederhana
Pembuatanarangsecarasederhanasudahbanyakdilakukanolehmasyarakat.Cara ini
sederhana,mudahdanmurah,menggunakandrumbekasminyaktanahatauolidengan
kapasitas200liter.
Bahan baku yang digunakan adalah berbagai jenis limbah biomassa antara lain
tempurungkelapa,tempurungkemiri,limbahkulit,rantingatausebetan.
Prosespembuatanarangsecarasederhanaadalahsebagaiberikut:
Bahanbakudimasukkankedalamdrum,
Dibakardenganpancingandibagianbawahdrumyangtelahdilubangi.
Jikabahanbakusudahmulaiterbakar,yangditandaidengankepulanasaptebal,
drumditutupdenganpenutup,
Pasang bambu sepanjang 4meter yang berfungsi sebagai pendingin alami jika
pengarangandilakukansecarakonvensional.
Arang terbukti memiliki banyakmanfaat danmenjadi solusi berbagai permasalahan
terkaitdenganpeningkatankualitaskesuburanlahandanpencemaranlingkungan.
Cara pembuatan arang juga sangat sederhana dan bahan bakunya banyak tersedia di
sekitarmasyarakat,sertatidakmembutuhkanmodalyangbesar.Olehkarenanya,arang
diharapkandapatmenjadisalahsatukomoditasramahlingkunganyangbermanfaatdan
dapatmeningkatkanpendapatanmasyarakat.
Informasi ini perlu disebarluaskan dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan pemahamandan kesadarannya terhadap pengelolaan lingkungan yang
6
baikdanberguna,sertamenumbuhkanlapanganpekerjaandanmenambahpendapatan
keluargayangberujungpadameningkatnyakesejahteraankeluarga.
*) Dirangkum dari Materi Pertemuan Forum Komunikasi Peneliti, Widyaiswara, Penyuluh dan Guru
SKMA tanggal 21 Juli 2016, berjudul “Teknologi Arang Terpadu” oleh Gusmailina, Gustan Pari, Sri
Komarayati & Djeni Hendra
1
Keterampilan Yang Dibutuhkan Pemimpin Untuk
Menghadapai Perubahan
Oleh : Junaidin, S.Hut, MA.
Widyaiswara Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar
Abstrack
Middle level managers have several characteristics which differ from top level managers such as limited power resource such as communication, network and authority to determine the way of the organizational work. In order to deal with new objections and tasks in public organization, there are four skills of middle level managers which important to deal with this issue: give clear instruction and command, resolve conflicts between the subordinates, encourage employers to improve their skills and set transparent reward and punishment system.
Keyword: middle level manager, new tasks, instruction, motivation, reward
1. Pendahuluan
Perubahan zaman merupakan suatu keniscayaan yang harus dihadapi oleh setiap
organisasi. Sebagai organisasi yang relatif baru, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) yang dibentuk dari peleburan dua Kementerian yakni Kementerian Kehutanan dan
Kementerian Lingkungan Hidup dihadapkan pada persoalan perubahan tugas dan fokus prioritas.
Walaupun telah dilakukan reorganisasi dalam rangka mengatasi perubahan tujuan organisasi,
salah satu persoalan penting yang perlu mendapat perhatian adalah mengoptimalkan kemampuan
kepemimpinan untuk bekerja dengan tujuan dan fokus prioritas yang baru.
Dengan dilakukannya reorganisasi KLHK berimplikasi pada terbentuknya organisasi-
organisasi baru hasil peleburan dari unit-unit kerja dari dua kementerian. Sebagai akibatnya,
unit-unit kerja tersebut akan memiliki tugas dan tanggung jawab baru, sebagai contoh Direkotrat
Jenderal Perubahan Iklim yang merupakan hasil peleburan antara Badan Penanggulangan Emisi
dari Deforestasi dan Degradasi Lahan (BPREDD+) Kementerian Kehutanan dengan Dewan
Nasional Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup.
2
Untuk dapat menjawab tantangan tugas dan fokus prioritas yang baru kemampuan
pimpinan sangat dibutuhkan terutama untuk menterjemahkan tujuan dan sasaran organisasi dari
level makro ke tingkat operasional. Pada tingkat makro tujuan dan sasaran organisasi masih
dalam bentuk yang sangat umum, oleh karena itu dibutuhkan penjabaran ke level operasional
yang lebih mudah diimplementasikan (Rainey, 2010). Dalam hal ini, peran pimpinan level
mengengah menjadi penting untuk mengartikulasikan tujuan makro organisasi ke dalam langkah-
langkah operasional praktis (Wooldridge, Schmid, & Floyd, 2008).
Tulisan ini bertujuan untuk membahas keterampilan-keterampilan apa saja yang
dibutuhkan oleh pimpinan level menengah untuk menghadapi tugas dan prioritas baru dari unit
kerjanya. Untuk mencapai tujuan penulisan, rumusan masalah dari tulisan ini diformulasikan
sebagai berikut “keterampilan apa yang dibutuhkan oleh manejer level menengah di KLHK
untuk dapat mengantisipasi tujuan dan prioritas baru di unit kerjanya?”. Untuk memudahkan
pembaca memahami tulisan ini, bagian-bagian tulisan akan disusun secara sistematis. Setelah
bagian pendahuluan akan dilanjutkan dengan kajian pustaka tentang peran pemimpin untuk
menghadapi tantangan baru dan peran pimpinan level menengah dalam organisasi pemerintah.
Setelah itu, karakkteristik-karakteristik pimpinan level menengah dalam menghadapi tugas dan
prioritas baru akan dijabarkan.
2. Kepemimpinan untuk menghadapai tantangan baru
Pemimpin (leader) merupakan istilah dengan banyak pengertian. Pemimpin didefenisikan
sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mendorong dan menggerakan orang lain
untuk mencapai tujuan tertentu (Rainey, 2010). Alban-Metcalfe et al., (2007) mendefenisikan
seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki kualitas untuk mengarahkan, memotivasi dan
menggerakan pengikutnya untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Beinecke (2009), untuk menghadapi situasi yang serba tidak pasti, seorang
pemimpin tidak saja harus mempersiapkan dirinya untuk beradaptasi dengan kondisi yang penuh
ketidakpastian namun juga harus meningkatkan kapasitasnya untuk memotivasi bawahannya
untuk beradptasi terhadap situasi yang dinamis. Terdapat lima kemampuan yang harus dimiliki
oleh pemimpin pada organisasi publik untuk dapat menghadapi yang dinamis yaitu (1)
kemampuan intrapersonal, seperti kemampuan mengelola kecerdasan emosional dan spiritual,
daya tahan dan etika (2) kemampuan interpersonal, seperti keterampilan komunikasi, manajemen
3
konflik dan negosiasi (3) kemampuan transaksional, seperti keterampilan manajemen sumber
daya manusia (4) kemampuan transformasional, seperti keterampilan mengarahkan, menangani
situasi kompleks dan pengaturan tujuan organisasi, dan, (5) pengetahuan terhadap kebijakan dan
program organisasi.
3. Peran manajer level menengah dalam organisasi pemerintah
Pimpinan pada level menengah memiliki peran yang berbeda dengan pimpinan pada level
atas karena pimpinan level menengah memiliki keterbatasan sumberdaya kekuasaan, jaringan
komunikasi dan otoritas untuk menentukan jalannya organisasi (Gatenby, Rees, Truss, Alfes, &
Soane, 2014). Namun, secara umum, pimpinan level menengah berfungsi untuk menterjemahkan
strategi dari pimpinan diatasnya kedalam langkah-langkah operasional yang dapat berupa (1)
merumuskan taktik dan mengelola anggaran untuk pencapaian tujuan, (2) mengevaluasi kinerja
bawahannya, dan (3) melakukan revisi tindakan ketika hasil kegiatan berada dibawah target yang
diharapkan (Floyd & Wooldridge, 1994). Lassen, Waehrens, & Boer (2009) menjabarkan peran
penting pimpinan level menegah dalam hirarki organisasi publik yakni untuk menyeimbangkan
rencana dan kegiatan organisasi, melakukan integrasi teknologi, dan melakukan pembahasan
gagasan-gagasan baru untuk diimplementasikan dalam kegiatan organisasi.
Dalam organisasi publik, pimpinan level menengah berperan penting untuk
meningkatkan kinerja organisasi pada tingkat pekerjaan operasional dan pelaksanaan kegiatan
teknis (Floyd & Wooldridge, 1997). Dalam konteks pemerintahan lokal, pimpinan level
menengah memberikan efek yang signifikan untuk menjaga keberlanjutan pelaksanaan program-
program karena pimpinan level menengah memilik keterampilan teknis khusus sehingga mereka
dapat lebih mudah untuk berinteraksi dan berfokus untuk berhubungan dengan masyarakat
(Wang, Van Wart, & Lebredo, 2014).
4. Kepemimpinan level menengah dan tantangan perubahan
Dalam kasus Kementerian LHK peran pemimpin level menengah berperan penting untuk
menyelaraskan tujuan, strategi dan kebijakan baru dari organisasi diatasnya dan menterjemahkan
dalam kegiatan-kegiatan operasional dan teknis. Selain itu, para manejer level menengah harus
mengusahakan agar pelaksanaan kegiatan-kegiatan operasional teknis tersebut terlaksana dengan
baik. Oleh karena itu, dibutuhkan karakteristik kepemimpinan yang mengkombinasikan antara
4
gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Seorang pemimpin yang bertipe
transaksional adalah seseorang yang kuat dalam perencanaan dan manajemen organisasi,
efisiensi kerja, kompetensi kerja dan sistematisasi pekerjaan. Sementara itu, pemimpin dengan
tipe transformasional adalah pemimpin yang berfokus pada kekuatan membangun hubungan
personal, kerjasama, komunikasi, kerativitas, motivasi bawahan dan menjunjung tinggi
kejujuran, integritas dan rendah hati (Beinecke, 2009).
Oleh karena itu, terdapat empat keterampilan pemimpin level menengah untuk
menghadapi tantangan perubahan yaitu: (1) keterampilan untuk memberikan perintah dan
intruksi yang jelas, (2) keterampilan membuat sistem penghargaan dan hukuman yang transparan
(3) keterampilan manajemen konflik, dan (4) keterampilan memotivasi bawahannya untuk
meningkatkan kapasitas bawahannya. Keterampilan yang dibutuhkan pemimpin level menengah
digambarkan pada tabel 1.
Tabel 1. Tabel keterampilan pimpinan level menengah untuk menghadapi tantangan baru
Gaya kepemimpinan Keterampilan Pemimpin level menengah
Tujuan
Kepemimpinan
transaksional
Memberikan perintah dan intruksi yang jelas
Menghindari kesalah pahaman
Meningkatkan efisiensi kerja
Membuat sistem penghargaan dan hukuman yang transparan
Menjaga kinerja bawahan
Kepemimpinan
transformasioanl
Manajemen konflik Menghindari perpecahan
bawahan
Membangun komitmen
Motivasi bawahan Meningkatkan sikap kerja
positif bawahan
Pertama, pemimpin level menengah harus dapat memberikan perintah dan instruksi yang
jelas pada bawahannya mengenai pekerjaan yang ditugaskan kepadanya (Heifetz & Laurie,
1997). Kejelasan dalam memberikan perintah dan instruksi sangat dibutuhkan ketika bawahan
harus melakukan pekerjaan yang baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Disaat pekerja
5
memiliki keterbatasan informasi mengenai pekerjaan yang akan mereka lakukan, seorang
pemimpin harus dapat mengarahkan bawahannya sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pekerjaan bawahannya (Bens, 2006).
Kedua, pimpinan level menengah harus memiliki keterampilan untuk membuat sistem
pengahrgaan dan hukuman yang transparan. Pada organisasi level menengah yang berurusan
dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis, keterampilan pemimpin untuk
mengkompromikan pengakuan dan sanksi bagi bawahan merupakan kemampuan penting untuk
meningkatkan kinerja bawahan. Dengan memberikan apresiasi kepada pekerja atas pencapaian
yang dilakukannya akan meningkatkan kepercayaan diri pekerja untuk lebih meningkatkan
kinerjanya. Sementara itu, dengan memberikan teguran dan hukuman bagi bawahan yang
menyalahi aturan akan mengirimkan pesan pada pekerja lain bahwa tidak ada toleransi bagi yang
menyalahi aturan dalam jalannya organisasi (Hornsby, Kuratko, & Zahra, 2002).
Ketiga, keterampilan untuk melakukan manajemen konflik merupakan kemampuan yang
penting untuk dimiliki pimpinan level menengah untuk menghadapi tantangan baru. Ketika
organisasi publik memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dari sebelumnya, akan ada masalah
yang hadir diantara para pekerja. Beberapa pekerja yang sudah nyaman dengan kondisi
pekerjaan yang lama akan menjadi resisten untuk mengubah rutinitasnya mengikuti irama kerja
yang baru. Sementara itu, organisasi dengan tugas dan fungsi yang baru akan memunculkan
pekerja yang akan melihat tugas dan fungsi yang baru ini sebagai peluang untuk menunjukan
kemampuan mereka. Perbedaan persepsi diantara para bawahan ini jika tidak dimediasi dengan
baik akan menimbulkan konflik kepentingan diantara mereka. Oleh karena itu, pimpinan pada
organisasi dengan tugas dan fungsi yang baru harus memilik keterampilan manajemen konflik
yang tidak hanya penting untuk memediasi kepentingan para pekerja namun juga penting untuk
membangun mental pembelajaran kelompok (Heifetz & Laurie, 1997).
Keempat, keterampilan memberikan motivasi kepada bawahan untuk meningkatkan
kemampuan teknisnya juga merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki pimpinan
organisasi level menengah di KLHK untuk menghadapi prioritas pekerjaan baru. Ketika atasan
memberikan motivasi kepada bawahan akan meningkatkan keterampilan kerjanan akan
menumbuhkan sikap kerja positif seperti kepuasan kerja dan komitmen dalam pekerjaan
(Goleman, 2004). Selain itu, dengan memberikan motivasi kepada bawahan akan membuat para
6
bawahan lebih terangsang secara intelektual untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dengan
pendekatan yang berbeda (Bass, Waldman, Avolio, & Bebb, 1987). Oleh karena itu, ketika
pimpinan memberikan motivasi kepada bawahan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan teknisnya akan memudahkan organisasi menghadapi tantangan baru.
5. Kesimpulan
Untuk menghadapi tugas dan fungsi yang baru, pimpinan level menengah pada KLHK
memainkan peran penting untuk menterjemahkan tujuan, strategi dan kebijakan KLHK kedalam
kegiatan-kegiatan operasional. Agar dapat menghadapi tantangan tugas dan fungsi yang baru,
seorang pemimpin level menengah setidaknya harus memiliki empat keterampilan penting yaitu
keterampilan untuk memberikan perintah dan instruksi yang jelas, keterampilan untuk membuat
sistem penghargaan dan hukuman yang transparan, keterampilan manajemen konflik dan
keterampilan memberikan motivasi kepada bawahan untuk meningkatkan keterampilan kerjanya.
6. Rekomendasi
Sebagai tindak lajut tulisan ini, diperlukan kajian empirik untuk membuktikan pengaruh
gaya kepemimpinan pada organisasi level menengah di KLHK terhadap kinerja organisasi dan
kepuasan pekerja.
Daftar Pustaka
Alban-Metcalfe, J., Samele, C., Bradley, M., Mariathasan, J., Alban-Metcalfe, J., Camara, J., … Straw, R. (2007). The impact of leadership factors in implementing change in complex health and social care environments: NHS Plan clinical priority for mental health crises resolution teams.
Bass, B. M., Waldman, D. A., Avolio, B. J., & Bebb, M. (1987). Transformational Leadership and the Falling Dominoes Effect. Group & Organization Management, 12(1), 73. http://doi.org/10.1177/105960118701200106
Beinecke, R. H. (2009). Introduction: Leadership for Wicked Problems. Innovation Journal, 14(1), 1–17. Retrieved from http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=buh&AN=37167844&site=ehost-live
Bens, I. (2006). Facilitating to lead!: Leadership strategies for a networked world. John Wiley & Sons.
Floyd, S. W., & Wooldridge, B. (1994). Dinosaurs or dynamos? Recognizing middle management’s strategic role. Academy of Management Executive, 8(4), 47–57. http://doi.org/10.5465/ame.1994.9412071702
7
Floyd, S. W., & Wooldridge, B. (1997). Middle Management Strategic Influence and Organizational Performance. Journal of Management Studies, 34(May), 22–2380. http://doi.org/10.1111/1467-6486.00059
Gatenby, M., Rees, C., Truss, K., Alfes, K., & Soane, E. (2014). Managing change, or changing managers? the role of middle managers in UK public service reform. Public Management Review, 17(8), 1124–1145. http://doi.org/10.1080/14719037.2014.895028
Goleman, D. (2004). What makes a leader? Harvard Business Review, 82(1), 82–91.
Heifetz, R. A., & Laurie, D. L. (1997). The work of leadership. Harvard Business Review, 75, 124–134.
Hornsby, J. S., Kuratko, D. F., & Zahra, S. A. (2002). Middle managers’ perception of the internal environment for corporate entrepreneurship: assessing a measurement scale. Journal of Business Venturing, 17(3), 253–273.
Lassen, A. H., Waehrens, B. V., & Boer, H. (2009). Re-orienting the Corporate Entrepreneurial Journey: Exploring the Role of Middle Management. Creativity and Innovation Management, 18(1), 16–23. http://doi.org/10.1111/j.1467-8691.2009.00508.x
Rainey, H. (2010). Understanding and Managing Public Organizations (4th ed.). San Fransisco: Jossey-Bass. Retrieved from https://books.google.com/books?id=_-APAQAAMAAJ
Wang, X., Van Wart, M., & Lebredo, N. (2014). Sustainability Leadership in a Local Government Context. Public Performance & Management Review, 37(3), 339–364. http://doi.org/10.2753/PMR1530-9576370301
Wooldridge, B., Schmid, T., & Floyd, S. W. (2008). The Middle Management Perspective on Strategy Process: Contributions, Synthesis, and Future Research. Journal of Management (Vol. 34). SAGE Publications. http://doi.org/10.1177/0149206308324326
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN
BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi)
Oleh:
Sri Harteti1 dan Kusumoantono2 1Widyaiswara Pusat Diklat SDM LHK 2Widyaiswara Balai Diklat LHK Bogor
Abstract
Indonesia has a high level of biodiversity. But now, the degradation of biodiversity in Indonesia keeps happening. Because of that, many plants and wild animals extinct, one of them is Balinese Starling bird (Leucopsarrotschildi). The government already made some policies to solve the population degradation of wild animals, one of it is Policy of Forestry Minister P.19/Menhut-II/2005 I about the Captive Breeding of Plant and Wild Animals. This policy is already done by CV. SA Citeureup BF since December, 2012. The purpose of this study is to analyze the policy’s implementation of Balinese Starling at CV. SA Citeureup BF. This study was done at February, 2017. The data’s collection method is through observation, interview, and literature review. Data’s analysis is done by policy’s analysis and descriptive analysis. This study showed that CV. SA Citeureup BF already did captive breeding activity in a controlled environment. The origins of these birds are legal and there are 19 couples of them. The bird’s marking activity was done through ring’s placementand documented through sertificates. This captive breeding activity is done by proffesionals. The restocking of Balinese Starling to West Bali National Park was done and it is in line with government’s policy P.19/Menhut-II/2005 about the Captive Breeding of Plants and Wild Animals.
Key words: policy’s implementation, captive breeding. Balinese Starling bird
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun saat ini, penurunan
keanekaragaman hayati terus terjadi di Indonesia. Akibatnya banyak tumbuhan dan satwa liar
yang punah. Oleh karena itu perlu upaya berbagai pihak untuk melestarikan tumbuhan dan
satwa liar yang hampir punah tersebut. Salah satu jenis satwa liar yang hampir punah adalah
burung jalak Bali (Leucopsar rotschildi). Penyebab utama terancamnya keberadaan burung
ini adalah kerusakan hutan yang merupakan habitatnya dan meningkatnya intensitas
perburuan terhadap burung tersebut.
Menurut Kemenhut (2008), jalak Bali merupakan satwa endemik Bali (khususnya daerah
bagian barat-utara) dan memiliki sebaran terbatas dengan jumlah populasi alami yang sangat
kecil. Habitat mengalami penyusutan drastis baik kualitas maupun kuantitas. Ancaman utama
terhadap populasi berasal dari perburuan. Jalak Bali dimasukkan kedalam kategori Kritis oleh
International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan terdaftar dalam Apendiks I
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES).
Beberapa kebijakan telah dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi penurunan populasi
burung jalak Bali. Kebijakan tersebut diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor: P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi
Spesies Nasional 2008 – 2018, dan Rencana Induk (Grand Design) Pelestarian Curik Bali di
Taman Nasional Bali Barat 2013 – 2017.
Salah satu kebijakan yang telah diimplementasikan adalah penangkaran jalak Bali.
Penangkaran jalak Bali telah dilakukan oleh CV. SA Citeureup BF. CV. SA Citeureup BF
sejak bulan Desember 2012 telah melakukan kegiatan penangkaran tersebut. Lokasi
penangkaran berada di Bogor, Jawa Barat. Penangkaran tersebut bertujuan untuk
meningkatkan ekonomi dan ikut serta dalam kegiatan konservasi. Untuk menilai
implementasi penangkaran yang dilakukan CV. SA Citeureup BF, perlu dikaji kesesuaian
implementasi kebijakan penangkaran yang dilakukan tersebut dengan peraturan perundangan
terkait.
B. Rumusan Masalah
Penangkaran jalak Bali harus dilakukan secara profesional yaitu dengan manajemen yang
baik, penguasaan teknik penangkaran yang tepat dan kesediaan sarana dan prasarana yang
memadai sehingga mencapai target yang diinginkan yaitu peningkatan populasi. Untuk
mendapatkan informasi menyeluruh tentang implementasi penangkaran burung jalak Bali di
CV. SA Citeureup BF, perlu dikaji bagaimana kebijakan penangkaran jalak Bali
diimplementasikan. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam kajian ini
adalah: “Bagaimana kebijakan penangkaran jalak Bali diimplementasikan?”
C. Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan penangkaran jalak Bali
di CV. SA Citeureup BF.
II. METODOLOGI KAJIAN
Kajian ini dilakukan di CV. SA Citeureup BF yang berada di Bogor, Jawa Barat. Kajian
ini dilaksanakan pada bulan Februari 2017.
Alat yang digunakan dalam kajian ini adalah alat tulis, meteran, perekam suara, dan
kamera. Instrumen yang digunakan dalam kajian ini adalah panduan wawancara.
Jenis data yang dikumpulkan dalam kajian berupa data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara dan observasi. Wawancara menggunakan panduan wawancara
dengan unit sampel yaitu direktur, komisaris, dan karyawan CV. SA Citeureup BF dan
petugas Balai Besar Konservasi SumberDaya Alam Jawa Barat. Jumlah responden sebanyak
8 orang. Kegiatan observasi dilakukan terhadap aktivitas penangkaran jalak Bali yang
dilakukan penangkar. Selain itu dilakukan pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka.
Pustaka dikumpulkan melalui Laporan Rencana Kerja Tahun 2017, laporan bulanan dan
peraturan perundangan terkait penangkaran tumbuhan dan satwa liar.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen peraturan perundang-
undangan. Teknik analisis data dilakukan melalui analisis peraturan dan analisis deskriptif.
Analisis peraturan perundang-undangan dilakukan terhadap P.19/Menhut-II/2005 tentang
Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
III. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN JALAK BALI
Implementasi kebijakan penangkaran Jalak Bali dianalisis dengan peraturan perundangan
yaitu P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Hasil analisis
peraturan diuraikan di bawah ini:
A. Bentuk Penangkaran
Kegiatan penangkaran yang dilakukan CV. SA Citeureup BF adalah pengembangbiakan
satwa. Hal ini sesuai dengan pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005
bahwa “pengembangbiakan satwa adalah kegiatan penangkaran berupa perbanyak individu
melalui cara reproduksi kawin maupun tidak kawin dalam lingkungan buatan dan atau semi
alami serta terkontrol dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya”.
Menurut pasal 4 bahwa penangkaran tumbuhan dan satwa liar berbentuk:
pengembangbiakan satwa, pembesaran satwa dan perbanyakan tumbuhan secara buatan
dalam kondisi yang terkontrol. Adapun pengembangbiakan satwa terdiri dari:
pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol (captive breeding) dan pengembangan
populasi berbasis alam (wild based population management). Berdasarkan pasal 4 tersebut
maka bentuk penangkaran burung jalak Bali yang dilakukan CV. SA Citeureup BF adalah
pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol (captive breeding).
Pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol merupakan kegiatan
memperbanyak individu anakan melalui cara-cara reproduksi dari spesimen induk baik kawin
(sexual) maupun tidak kawin (asexual) di dalam lingkungan terkontrol. Lingkungan
terkontrol merupakan lingkungan buatan di luar habitat alaminya, yang dikelola untuk tujuan
memproduksi jenis-jenis satwa tertentu dengan membuat batas-batas yang jelas untuk
mencegah keluar masuknya satwa, telur atau gamet, baik berupa kandang, kolam dan sangkar
maupun lingkungan semi alam. Lingkungan terkontrol berupa kandang, kolam dan sangkar.
Syarat lingkungan terkontrol untuk pengembangbiakan satwa adalah:
1) Adanya fasilitas yang berbeda untuk penempatan induk dan keturunannya serta
penempatan spesimen yang sakit.
CV. SA Citeureup BF memiliki 4 jenis kandang yaitu kandang inkubator, kandang
pembesaran, kandang peraga dan kandang kawin. Namun untuk burung yang sakit belum
disediakan kandang khusus. Perlakuan untuk burung yang sakit adalah dilakukan
perawatan makan, minum, obat dan vitamin.
Empat jenis kandang yang dimiliki CV. SA Citeureup BF adalah:
a. Anak burung jalak Bali (piyik) yang berumur 7-30 hari ditempatkan di kandang
inkubator yang berukuran panjang 50 cm, lebar 90 cm dan tinggi 67 cm (Gambar 1).
Suhu pada inkubator berkisar antara 30–31oC. Tujuan penempatan piyik pada
kandang inkubator adalah membesarkan piyik agar bulu badannya tumbuh rapat
sehingga mampu hidup di luar kandang inkubator.
Gambar 1. Kandang inkubator
b. Anak burung jalak Bali yang berumur 1-2 bulan ditempatkan di kandang pembesaran
yang tidak permanen (Gambar 2). Fungsi kandang pembesaran adalah untuk melatih
anak burung agar bisa makan sendiri dan badannya lebih kuat.
Gambar 2. Kandang pembesaran
c. Anak burung jalak Bali yang berumur lebih dari 2 bulan ditempatkan di kandang
peraga (Gambar 3). Kandang ini berukuran panjang 2.5 m, lebar1,7 m dan tinggi 2.5
m. Kandang ini berfungsi untuk membesarkan burung agar siap dijual dan dijadikan
induk.
Gambar 3. Kandang peraga
d. Induk burung jalak Bali yang berumur 2 tahun ditempatkan di kandang kawin yang
dibangun permanen dengan ukuran panjang 3 m, lebar 1 meter dan tinggi 3 meter
(Gambar 4). Fungsi kandang tersebut adalah tempat berkembang biak. Jumlah
kandang yang tersedia sebanyak 28 unit yang diisi satu pasang burung jalak Bali per
kandang.
Gambar 4. Kandang kawin
2) Adanya pembuangan limbah, fasilitas kesehatan, perlindungan dari predator dan
penyediaan pakan.
Limbah yang dihasilkan dari kegiatan penangkaran jalak Bali di CV. SA Citeureup BF
adalah kotoran burung dan sisa pakan. Limbah ini dikumpulkan dan dibuang ke dalam
lubang untuk dijadikan pupuk. Fasilitas kesehatan yang disediakan adalah obat-obatan
dan vitamin (Gambar 5).
Gambar 5. Obat-obatan dan vitamin untuk burung jalak Bali
Menurut Mas’ud (2010) bahwa, faktor penting lain yang harus diperhatikan adalah
makanan, karena makanan merupakan unsur penting bahkan sebagai faktor pembatas
bagi usaha penangkaran. Jenis-jenis makanan burung jalak Bali adalah pisang kepok,
pepaya, pur, dan jangkrik (Gambar 6). Untuk induk burung jalak Bali di kandang kawin
diberikan 1 buah pisang kepok dan 1 potong pepaya, serta 30-40 ekor jangkrik setiap
hari. Sesuai dengan pernyataan Dimitra dkk (2013), Pakan nabati yang diberikan yaitu
pisang atau pepaya diberikan setiap hari pada pagi hari setelah kandang dibersihkan.
Untuk piyik diberikan pur yang dicampur dengan air panas. Pemberian makanan kepada
piyik dilakukan dengan menyedokkan makanan tersebut ke mulutnya.
Gambar 6. Pakan burung jalak Bali
3) Memberikan kenyamanan, keamanan dan kebersihan lingkungan sesuai dengan
kebutuhan spesimen yang ditangkarkan.
Kegiatan membersihkan kandang di . SA Citeureup BF dilakukan setiap hari mulai jam
07.00-11.00 WIB. Kandang kawin disemprot 1 bulan 1 kali dengan obat agar kandang
dalam kondisi steril. Tempat minum dan mandi burung jalak Bali yang terbuat dari
keramik dilakukan pergantian air setiap pagi hari.
B. Pengadaan dan Legalitas Asal Induk
Asal usul induk burung Jalak Bali CV. SA Citeureup BF adalah pembelian sah dari hasil
penangkaran jalak Bali. Jumlah induk awalnya adalah 19 pasang jalak Bali. Dengan demikian
asal usul induk burung Jalak Bali CV. SA Citeureup BF sudah sesuai dengan pasal 6
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005. Bunyi peraturan tersebut yaitu
“induk satwa untuk keperluan pengembangbiakan dapat diperoleh dari: penangkapan satwa
dari habitat alam; sumber-sumber lain yang sah seperti: hasil penangkaran, luar negeri,
rampasan, penyerahan dari masyarakat, temuan, lembaga konservasi”.
C. Pelaksanaan Pengembangbiakan
Pasal 16 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran
Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan “untuk menjaga kemurnian jenis satwa,
pengembangbiakan satwa dilakukan dengan jumlah paling sedikit dua pasang atau bagi jenis-
jenis satwa yang poligamus minimal dua ekor jantan”. Hal ini sudah dipenuhi oleh CV. SA
Citeureup BF yaitu jumlah induk burung yang digunakan CV. SA Citeureup BF adalah 19
(Sembilan belas) pasang burung jalak Bali.
D. Penandaan dan Sertifikasi
Penandaan pada hasil penangkaran merupakan pemberian tanda bersifat permanen pada
bagian tumbuhan dan satwa dengan menggunakan teknik tagging/banding, cap (marking),
transponder, pemotongan bagian tubuh, tattoo dan label yang mempunyai kode berupa
nomor, huruf atau gabungan nomor dan huruf. Tujuan penandaan adalah untuk membedakan
antara induk dengan induk lainnya, antara induk dengan anakan dan antara anakan dengan
anakan lainnya serta antara spesimen hasil penangkaran dengan spesimen dari alam.
Pasal 59 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran
Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan “tanda untuk jenis-jenis burung hidup berbentuk
cincin tertutup”. Penandaan dengan cincin ini telah dilakukan oleh CV. SA Citeureup BF.
Pemberian tanda ini merupakan kartu identitas bagi status satwa yang dikoleksi. Mengingat
pentingnya kepastian status hukum Tumbuhan Satwa Liar, maka kegiatan penandaan menjadi
salah satu prioritas bagi Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang di wilayahnya terdapat
individu, lembaga konservasi, penangkar, dan pusat penyelamatan satwa (PPS) yang
mengoleksi satwa liar. CV. SA Citeureup BF melakukan pemasangan cincin pada piyik
berumur 7 hari yang dipasang pada kaki kanannya.
Sertifikasi hasil penangkaran dilaksanakan oleh unit penangkaran dan disahkan oleh
Kepala BKSDA. Kegiatan sertifikasi hasil penangkaran adalah: pemeriksaan asal usul,
pemeriksaan identitas individu spesimen dan pendokumentasian dalam sertifikat. CV. SA
Citeureup BF telah mendokumentasikan kegiatan tersebut dalam bentuk sertifikat (Gambar 7)
Gambar 7. Sertifikat burung jalak Bali
E. Standar Kualifikasi Penangkaran
Standar kualifikasi penangkaran merupakan standar bagi hasil penangkaran yang
dinyatakan telah layak untuk dijual. Menurut pasal 64 Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, standar kualifikasi
penangkaran ditetapkan berdasarkan pertimbangan:
a. Batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa liar hasil penangkaran
Jenis burung yang ditangkarkan CV. SA Citeureup BF adalah jalak Bali yang merupakan
jenis satwa yang dilindungi. Berdasarkan data pada tahun 2015 bahwa CV. SA Citeureup
BF telah memiliki induk jantan 25 ekor dan induk betina 26 ekor. Pada tahun 2016
produksi jalak Bali adalah F3 sebanyak 39 ekor, F4 sebanyak 50 ekor dan F5 sebanyak
66 ekor (CV. SA Citeureup BF, 2017). Kondisi tersebut menunjukkan kemampuan
reproduksi atau pembiakan jalak Bali di penangkaran terus terjadi setiap tahun.
b. Profesionalisme kegiatan penangkaran
Struktur organisasi CV. SA Citeureup BF yaitu tenaga ahli 1 orang, perawat
satwa/keeper 2 orang dan tenaga administrasi 1 orang. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa CV. SA Citeureup BF telah mempunyai tenaga ahli yang berpengalaman.
Berdasarkan observasi di penangkaran, maka sarana prasarana yang tersedia kandang
inkubator, kawin/perkembangbiakan, pembesaran dan pemeliharaan. Legalitas asal induk
sudah terpenuhi yaitu berasal dari hasil penangkaran yang telah memiliki izin. Kegiatan
penandaan dilakukan dengan pemasangan cincin dan pemberian sertifikat.
c. Tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan
Berdasarkan tingkat kelangkaan maka status perlindungan adalah burung dilindungi yang
merupakan satwa endemik di Pulau Bali. Populasi di alam menunjukkan penurunan.
Keadaan populasi di penangkaran pada bulan Desember tahun 2016 adalah F3 sebanyak
73 ekor, F4 sebanyak 107 ekor dan F5 sebanyak 130 ekor
F. Pengembalian ke Habitat Alam (Restocking) dan Status Purna Penangkaran
Pasal 71 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran
Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan “setiap penangkar yang melakukan penangkaran
wajib melakukan pengembalian ke habitat alamnya spesimen tumbuhan dan satwa liar hasil
penangkaran dari jenis yang dilindungi yang telah memenuhi standar kualifikasi penangkaran
sedikitnya 10% dari hasil penangkaran. Pengembalian tumbuhan dan satwa liar hasil
penangkaran dilakukan bila: nilai genetik tinggi, mendekati induk, bibit atau benihnya;
populasi di alam rendah; bebas penyakit; tidak cacat fisik; mampu bertahan di alam; habitat
pelepasan merupakan daerah penyebaran; habitat pelepasan secara teknis mampu
mengakomodasi kehidupan satwa; memperhatikan perilaku satwa”. Saat ini hasil
penangkaran Jalak Bali CV. SA Citeureup BF telah dimanfaatkan untuk restocking atau
pengembalian ke habitat alaminya yaitu Taman Nasional Bali Barat.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa CV. SA Citeureup BF telah melaksanakan kegiatan
penangkaran burung jalak Bali yang sesuai dengan peraturan perundangan yaitu
P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Bentuk penangkaran
yang dilakukan adalah pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol (captive
breeding). Asal usul induk burung jalak Bali legal dari hasil penangkaran dengan jumlah
induk 19 pasang burung. Kegiatan penandaan melalui pemasangan cincin pada piyik telah
dilakukan dan didokumentasikan melalui sertifikat. Jumlah populasi burung jalak Bali yang
ditangkarkan mengalami peningkatan. Kegiatan penangkaran dilakukan oleh tenaga ahli yang
profesional. Kegiatan pengembalian ke habitat alam (restocking) telah dilakukan ke Taman
Nasional Bali Barat.
B. Rekomendasi
Rekomendasi dari hasil kajian ini adalah:
1. Perlu menyediakan kandang khusus untuk burung jalak Bali yang sakit.
2. Perlu upaya pendataan populasi burung jalak Bali yang lebih detil yaitu laju kematian,
daya tetas telur dan perkembangbiakan induk sehingga bisa ditentukan tingkat
keberhasilan penangkaran secara detil.
DAFTAR PUSTAKA
CV. SA Citeureup BF. 2017. Rencana Kerja Tahunan (RKT) Tahun 2017 Penangkaran
Burung Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi) yang Dilindungi UU Generasi F2 dan Seterusnya Milik CV. SA Citeureup BF. CV. SA Citeureup BF. Bogor.
Dimitra A., Mustofa I., Kusnoto, Legowo,D., Kusumawati D., Setiawan B. 2013. Studi
Perilaku Pasangan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) pada Kandang Breeding di Kebun Binatang Surabaya. Veterinaria Medika. 6(1):61-67.
Kementerian Kehutanan 2005. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005
tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Kementerian Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.57/Menhut-II/2008
tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Kementerian Kehutanan. 2012. Rencana Induk (Grand Design) Pelestarian Curik Bali di
Taman Nasional Bali Barat 2013 – 2017. Taman Nasional Bali Barat, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan. Jembrana.
Mas’ud B. 2010. Teknik Menangkarkan Burung Jalak di Rumah. IPB Press. Bogor.
Jadi PARALEGAL? Penyuluh Kehutanan juga bisa....
Oleh :
Yumi Angelia
Saat ini “paralegal” sedang menjadi “tren” pembicaraan di Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Pembicaraan tentang paralegal seringkali dikaitkan dengan program Perhutanan Sosial. Apa sebenarnya palalegal dan peranannya dalam Perhutanan Sosial? Mengapa akhir-
akhir ini begitu sering dibicarakan? Siapa saja yang dapat menjadi paralegal?
Target program nasional Perhutanan
Sosial 12,7 juta hektar yang dicanangkan
oleh Presiden Jokowi menjadi PR berat
bagi Kementerian Lingkunan Hidup dan
Kehutanan. Sampai dengan tahun 2017,
dalam kurun waktu dua tahun pencapaian
target tersebut baru 4% (510.200 hektar –
Kompas, Oktober 2017).
Sedangkan proses pemetaan batas
kawasan secara partisipatif telah mencapai
68,20% menurut Koordinator Jaringan
Pemetaan Partisipatif tetapi masih
menyisakan konflik. Berbagai kendala dan
permasalahan dikemukakan, di antaranya
masih lemahnya pendampingan di tingkat
tapak.
Untuk meningkatkan pendampingan
masyarakat dalam Perhutanan Sosial
termasuk di antaranya pencegahan dan
pendampingan pasca konflik di masyarakat
sangat diperlukan peran paralegal.
Paralegal adalah seorang yang bukan
advokat namun memiliki pengetahuan di
bidang hukum, dengan pengawasan
advokat atau organisasi bantuan hukum
berperan membantu masyarakat pencari
keadilan. Paralegal dapat bekerja sendiri di
dalam komunitasnya atau bekerja untuk
organisasi bantuan hukum atau firma
hukum.
Peran Paralegal
Fungsi dan peran paralegal antara
lain: (a) memberikan bantuan hukum
kepada masyarakat pencari keadilan, (b)
melakukan penguatan organisasi
masyarakat, (c) melakukan investigasi/
monitoring terhadap suatu kasus, (d)
melakukan pendokumentasian hukum
(kronologi suatu kasus), (e) pengumpulan
bukti-bukti dan pencatatan sejarah kasus,
dan (f) melakukan pelaporan-pelaporan.
Dikaitkan dengan konflik tenurial
yang sering ditemui dalam program
Perhutanan Sosial, peran paralegal antara
lain: (a) mendidik dan meningkatkan
kesadaran masyarakat mengenai hak-
haknya; (b) memberikan informasi hukum
yang dapat melindungi mereka; (c)
memberikan informasi mengenai skema
Perhutanan Sosial yang dapat menjadi
salah satu solusi untuk konflik tenurial; (d)
memberikan penjelasan bagaimana
masyarakat dapat berpartisipasi dalam
program Perhutanan Sosial untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka.
Siapa yang dapat menjadi paralegal dan
apa syaratnya?
Untuk menjadi paralegal, syarat
paling utama adalah mengikuti pendidikan
dasar dan pendidikan lanjutan
keparalegalan. Setiap paralegal harus
memegang kode etik, antara lain: (a)
menjunjung tinggi nilai keadilan,
kebenaran dan hak-hak asasi manusia; (b)
memiliki rasa percaya diri dan keberanian
untuk menegakkan keadilan dengan
berbagai resiko; dan (c) tidak
menyalahgunakan peranannya untuk
kepentingan pribadi maupun kelompok.
Siapa saja dapat menjadi paralegal,
tidak harus seorang sarjana hukum atau
mengenyam pendidikan hukum di
perguruan tinggi. Misalnya pemimpin
komunitas, ketua adat, pemuka agama,
tokoh pemuda, mahasiswa, guru, penyuluh
dan lainnya asalkan telah memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan dasar
keparalegalan.
Penyuluh sangat potensial menjadi
paralegal
Program Perhutanan Sosial tidak
pernah lepas dari permasalahan konflik
tenurial. Menurut data dari Direktorat
Penanganan Konflik dan Hutan Adat,
Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan jumlah pengaduan konflik
tenurial kawasan hutan dan hutan adat
sampai dengan Mei 2017 sebanyak 220
kasus. Ini baru jumlah yang dilaporkan,
masih banyak yang tidak dilaporkan.
Konflik tenurial hutan adalah
berbagai bentuk perselisihan atau
pertentangan klaim penguasaan
pengelolaan, pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan. Dalam
melaksanakan tugas pendampingan
masyarakat di tingkat tapak, Penyuluh
Kehutanan seringkali menemui
permasalahan konflik tenurial di tengah-
tengah masyarakat. Namun karena
ketidakpahamannya seringkali Penyuluh
mengambil sikap menghindar dan bukan
mencari solusi.
Penyuluh Kehutanan di seluruh
Indonesia saat ini berjumah 3.202 orang
yang tersebar ke 34 provinsi, UPT
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan serta di Pusat Penyuluhan.
Penyuluh Kehutanan selama ini hidup
bersama dan mendampingi masyarakat
sehingga tidak menemui kesulitan dalam
berinteraksi dengan masyarakat.
Penyuluh Kehutanan Prov. Kalimantan Barat sedang melakukan peran paralegal: “berdialog dengan KTH
tentang permasalahan konflik tenurial”
Memperhatikan peran paralegal
dalam masyarakat sebagaimana diuraikan
di atas, beberapa peran paralegal sama
dengan tugas pokok Penyuluh Kehutanan
yang selama ini telah dilakukan. Penyuluh
kehutanan memiliki tugas untuk
membentuk dan membina organisasi
Kelompok Tani Hutan (KTH) di tingkat
tapak. Dengan demikian penyuluh
kehutanan sudah memiliki modal untuk
berperan sebagai paralegal yaitu
mengorganisasikan masyarakat.
Bagaimana Penyuluh Kehutanan dapat
menjadi paralegal?
Pertama-tama Penyuluh Kehutanan
perlu memiliki sertifikat paralegal sebagai
bukti penguasaan pengetahuan dan
ketrampilan mengenai keparalegalan.
Memang belum banyak pelatihan paralegal
diadakan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Saat ini Direktorat
Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan
Adat (PKTHA), Ditjen Perhutanan Sosial
dan Kemitraan Lingkungan yang
memfasilitasi kegiatan pelatihan paralegal.
Kedua Penyuluh Kehutanan perlu
meningkatkan pemahaman mengenai : (a)
kasus hukum perdata/pidana, (b) alur dan
proses pemeriksaan hukum, (c) kedudukan
hak dan kewajiban terkait pemeriksaan
hukum; dan (d) asas hukum yang berlaku
baik proses hukum skema litigasi (melalui
peradilan) maupun non litigasi.
Penyuluh Kehutanan harus
memahami dan menguasai peraturan
perundangan terkait permasalahan yang
dihadapi masyarakat. Terkait program
Perhutanan Sosial, khususnya penanganan
konflik tenurial dan hutan adat, Penyuluh
Kehutanan wajib memahami: (1) Undang-
Undang No.7 tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial, (2) Peraturan
MenLHK No. P.32/Menhut-Setjen/2015
tentang Hutan Hak; (3) Peraturan
MenLHK No. 84/Menlhk-Setjen/2015
tentang Penanganan Konflik Tenurial di
Kawasan Hutan; (4) Peraturan MenLHK
No. 83/Menlhk-Setjen/2016 tentang
Perhutanan Sosial; (5) Peraturan Dirjen
PSKL Nomor : P.1/PSKL/Set/Kum.1/2/2016
tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi
Hutan Hak; (6) Peraturan Dirjen PSKL
Nomor : P.4/PSKL/SET/PSL.1/4/2016
tentang Mediasi Penanganan Konflik
Tenurial Kawasan Hutan; dan (7)
Peraturan Dirjen PSKL Nomor :
P.6/PSKL/Set/Kum.1/5/2016 tentang
Pedoman Asesmen Konflik Tenurial dan
Hutan Adat.
Ketika akan memilih penyelesaian
kasus dengan litigasi, perlu diketahui skema
litigasi kasus perdata berbeda dengan
pidana. Kasus perdata dimulai dengan
pendaftaran, pengajuan gugatan,
pemeriksaan dan tawaran perdamaian
(mediasi), persidangan dan eksekusi.
Sedangkan kasus pidana dimulai dengan
pelaporan, penyidikan, penuntutan,
persidangan, dan eksekusi putusan
pengadilan. Penyuluh kehutanan seringkali
memilih skema non litigasi, yaitu
penyelesaian dengan cara kekeluargaan,
negosiasi, mediasi dan arbitrasi.
Ketiga menjalin hubungan kerja
dengan organisasi dan kelompok lain
untuk mendapatkan dukungan terhadap
masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat. Penyuluh Kehutanan
umumnya sudah memiliki jaringan kerja
yang cukup luas di masyarakat. Jejaring
kerja ini perlu terus dipelihara bahkan
diperluas sehingga dapat dimanfaatkan
untuk membantu menyelesaikan konflik-
konflik di masyarakat.
Penyuluh Kehutanan Prov. Sulawesi Utara bekerja sama dengan berbagai pihak dalam mendampingi masyarakat pengurusan ijin HKm sebagai salah
satu solusi konflik tenurial.
Keempat Penyuluh kehutanan
dapat mewakili, mendampingi dan atau
memberikan bantuan hukum pada
masyarakat dalam penyelesaian kasus di
hadapan pemerintah, pengadilan atau
forum pengadilan lainnya.
Penyuluh kehutanan dapat
membantu masyarakat membuat surat
laporan kasus/masalah yang dihadapi oleh
masyarakat yang didampinginya. Tidak
ada format baku untuk surat laporan
tersebut, tetapi minima harus memuat: (1)
nama Pelapor; (2) Jabatan; (3) Waktu
kejadian; (4) tempat kejadian; (5) akibat
yang ditimbulkan; dan (6) langkah yang
diambil.
Dengan kata lain, inti laporan
memuat 5W 1 H (Who, What, When,
Where, Why dan How). Who: siapa
pelaku dan siapa yang mengalami
kejadian. What : apa yang terjadi secara
detail dalam kejadian tersebut. When :
kapan waktu terjadinya kejadian. Where:
dimana lokai terjadinya kejadian. Why:
kenapa kejadian tersebut terjadi. How:
bagaimana kejadian tersebut bisa terjadi.
Kelima penyuluh kehutanan dapat
membimbing, memberi nasehat hukum
dan melakukan mediasi dalam perselisihan
yang terjadi di antara anggota masyarakat.
Permasalahan
Percepatan pencapaian target
Perhutanan Sosial tidak dapat
mengesampingkan dukungan Sumber Daya
Manusia (SDM). Peningkatan jumah
personil dan kompetensi pendamping di
tingkat tapak perlu mendapat perhatian.
Keragaman permasalahan di tingkat tapak
membutuhkan tenaga pendamping yang
handal. Penambahan tenaga pendamping
dengan meningkatkan keterlibatan
penyuluh kehutanan dan Penyuluh
Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM)
perlu mendapat prioritas.
Demikian juga pengadaan tenaga
paralegal dari tokoh agama, tokoh masya-
masyarakat, generasi muda di masyarakat
dapat menjadi solusi bagi pencegahan dan
penanganan konflik dalam kegiatan
Perhutanan Sosial.
Perekrutan tenaga pendamping dan
tenaga paralegal serta penyelenggaraan
pelatihan untuk peningkatan kompetensi
SDM dimaksud perlu mendapat alokasi
anggaran yang cukup. Hal ini menjadi
salah satu titik lemah dalam kegiatan
Perhutanan Sosial. Menitikberatkan LSM
sebagai pendamping dan paralegal semata
akan sulit mengejar ketinggalan pencapaian
target untuk 2 tahun ke depan.
Sudah saatnya semua unit kerja di
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan bersatu saling bahu membahu
mendukung pencapaian target program
nasional. Slogan Forum Perhutanan Sosial
Nusantara “Sudah saatnya untuk Rakyat”
membutuhkan kepedulian dan komitmen
bersama seluruh unsur Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk
mewujudkannya.
Pelatihan paralegal tanggal 11-13 September 2017 bagi 40 orang Penyuluh Kehutanan di Pusat dan Provinsi difasilitasi Direktorat Penangan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Ditjen PSKL bekerja sama dengan Conflict
Resolution Unit (CRU) dan World Resources Institute (WRI).
1
Penerapan Payment for Environmental
Service (PES) di Indonesia
Oleh
Anna Indria Witasari
Widyaiswara Pusat Diklat SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Abstract
Payment for environment services (PES) is a scheme to provide incentive to manage and to
protect environment in order to maintain environmental function, to sell carbon credit, to
maintain biodiversity and water service at a national as well as at an international level, and
other functions. PES is market-based. Despite the positive outcomes of the implementation of
PES scheme in several countries including in Indonesia such as increased forest cover
recovery and water conservation, there are also several things need to be taken into account
during the implementation. They include: inconsistent and overlapped policies, insecure
property rights, non voluntary participation, and issue of sustainability.
Key words: PES, environmental service, incentive, voluntary participation.
Pendahuluan
Ekosistem adalah kombinasi interaksi antara: komponen biologi seperti hewan,
tanaman, mikroorganisme, dan sebagainya dengan komponen fisik seperti air, udara, tanah
dan sebagainya (Herbert, Vonada, Jenkins, & Bayon, 2010).
Ekosistem menyediakan berbagai manfaat yang meliputi: keaneka ragaman hayati,
sumber daya air, mengatur iklim mikro, mengendalikan penyakit, dan lain sebagainya. Karena
perannya yang sangat penting untuk mendukung seluruh kehidupan, maka ekosistem harus
tetap dipertahankan kualitasnya. Ke semua manfaat tersebut disebut: jasa lingkungan.
Herbert, Vonada, Jenkins, & Bayon, (2010) mendefinisikan jasa lingkungan sebagai berbagai
kondisi dan proses dimana ekosistem alam dan spesies yang merupakan bagian dari ekosistem
mempertahankan dan memenuhi kehidupan manusia. Atau dengan kata lain, manfaat yang
diperoleh manusia dari ekosistem.
Manfaat lingkungan yang merupakan manfaat tidak langsung dari hutan antara lain:
jasa karbon, transportasi air, konservasi air, perlindungan tanah bagian atas (topsoil), dan
perlindungan terhadap banjir. Manfaat tidak langsung tersebut lebih tinggi nilainya daripada
2
nilai ekonomi hutan seperti: hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu (Prasetyo,
Soewarno, Purwanto, & Hakim, 2009). Terkait manfaat lingkungan dari keberadaan hutan di
Indonesia, manfaat lingkungan tersebut tidak terbatas pada tingkat nasional saja, namun juga
pada tingkat internasional. Terutama fungsi hutan sebagai penyedia karbon.
Namun, sejalan dengan perkembangan waktu, hutan alam di Indonesia semakin
mengalami kerusakan. Kebakaran hutan yang terjadi beberapa tahun belakangan juga semakin
memperburuk kondisi hutan di Indonesia. Pada tahun 2015, hutan yang terbakar adalah seluas
261.060,44 hektar (Anonim, 2016) Demikian pula, kerusakan hutan akibat pembalakan liar.
Dengan rusaknya hutan maka manfaat yang dapat diperoleh akan semakin berkurang, baik
manfaat langsung seperti hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu.
Upaya yang dilakukan guna merehabilitasi hutan dan mewujudkan pengelolaan hutan
yang berkelanjutan antara lain dengan menerapkan skema pembayaran untuk jasa lingkungan
(Payment for Environmental Services). Payment for environment services (PES) adalah suatu
skema untuk menyediakan insentif baik dalam bentuk uang atau bukan uang bagi pengelola
lahan untuk mengelola dan melindungi lingkungan guna mempertahankan fungsi ekosistem
yaitu berupa supply karbon, keaneka ragaman hayati dan jasa air di tingkat nasional dan
internasional, keindahan alam, perlindungan daerah aliran sungai, dan sebagainya. Skema
PES berbasis mekanisme pasar dan bersifat sukarela dalam pengelolaan dan perlindungan
lingkungan (Herbert, Vonada, Jenkins, & Bayon, 2010; Montagnini & Finney, 2011).
Seperti halnya di negara-negara lain, skema PES juga semakin populer di Indonesia
guna mengatasi masalah lingkungan. Dengan kata lain skema PES digunakan untuk
melindungi lingkungan. Pemerintah setempat dan masyarakat tertarik dengan skema PES
karena: kegagalan penerapan kebijakan yang sifatnya perintah dan mengendalikan dari
Pemerintah Pusat. Dengan desentralisasi yang membuat pemerintah setempat memiliki
wewenang mengatur daerahnya sendiri, maka skema PES dianggap suatu alternatif untuk
mengelola sumber daya alam. Selain itu, pada skema PES masyarakat diikutsertakan dalam
pelaksanaannya (Fauzi & Anna, 2013).
Walau konsep PES semakin populer diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia
guna melindungi lingkungan, perlu diidentifikasi isu yang ada di tingkat lapangan
berdasarkan penerapan PES yang telah dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia. Hal ini
bertujuan agar penerapan PES dapat mencapai sasaran sesuai yang diharapkan.
3
Lokasi Penerapan PES di Indonesia
Konsep PES pertama kali diperkenalkan pada tahun 2002 di Indonesia dengan
beberapa lokasi proyek percontohan seperti di Cidanau (propinsi Banten), Brantas (propinsi
Jawa Timur), dan Lombok Barat (propinsi Nusa Tenggara Barat). Selanjutnya, proyek-proyek
percontohan juga dilaksanakan di Sumber Jaya (propinsi Lampung), Kuningan-Cirebon
(propinsi Jawa Barat), Sungai Wain (propinsi Kalimantan Timur) , dan sebagainya (Fauzi
and Anna, 2013).
Beberapa lokasi diinisiasi oleh The World Agroforestry Centre (ICRAF) melalui
program Rewarding Upland Poor for Environmental Services (RUPES) (Amalia & Syahril,
2016). Sebagian besar skema PES dilaksanakan di areal pengelolaan hutan dan daerah aliran
sungai yang melibatkan berbagai sektor dan berbagai tingkat pengelolaan (Fauzi & Anna,
2013).
Dalam pelaksanaan skema PES di Indonesia, dapat terjadi beberapa instansi terlibat
ataupun hanya antara penyedia (seller) dan pengguna (buyer). Pada lokasi PES di Cidanau
Banten sebagai contoh, ada beberapa instansi yang berkerjasama (Amalia & Syahril, 2016)
yang disebut Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC). Instansi-instansi tersebut adalah:
Krakatau Tirta Industri (KTI), Kementerian Pekerjaan Umum, Kelompok Tani Hutan (KTH),
LSM Rekonvasi Bhumi, PDAM, dan PLN (Amalia and Syahril, 2016). Selain itu Skema PES
di Gunung Rinjani Lombok yang melibatkan: LP3ES yang dilanjutkan WWF dan KONSEPSI
(LSM), masyarakat di hulu sungai, masyarakat kota Mataram, PDAM, dan Dinas Kehutanan
(Amalia & Syahril, 2016; Fauzi & Anna, 2013; Prasetyo, Soewarno, Purwanto, & Hakim,
2009). Sementara itu, yang langsung antara penyedia dan pengguna PES antara lain: skema
PES di Sumber Jaya Lampung antara Pembangkit Listrik Tenaga Air Way Besai dan
masyarakat yang tinggal di hulu sungai (Fauzi & Anna, 2013).
Isu-isu Pelaksanaan PES di Tingkat Tapak
Sejak PES diinisiasi di Indonesia tahun 2002 antara lain oleh the World Agroforestry
Centre (ICRAF) melalui program Rewarding Upland Poor for Environmental Services
(RUPES) hingga 2016, beberapa hal yang ditemukan di tingkat tapak adalah:
1. Peraturan dan Fiskal
Menurut Fauzi & Anna (2013), berdasarkan riset yang dilakukan di dua lokasi
pelaksanaan PES yaitu: di Sumber Jaya – Lampung dan Gunung Rinjani – Lombok, masalah
yang dominan adalah: peraturan dan fiskal selain hak kepemilikan (property right). Skema
PES pada umumnya dilaksanakan di areal hutan negara. Terutama di hutan lindung dan
4
konservasi, masalah klasik yang dihadapi adalah adanya peraturan yang tumpang tindih dan
kadang bertentangan satu sama lain. Peraturan-peraturan tersebut dikeluarkan oleh berbagai
instansi. Peraturan-peraturan tersebut adalah: Undang-undang No. 5/1960 tentang Undang-
undang Pokok Agraria, Undang-undang No.41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No.
26/2007 tentang Tata Ruang, Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan, Undang-undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-
undang No. 32/2004 tentang Otonomi Wilayah., Undang-undang No. 4/2009 tentang
Batubara dan Tambang, Undang-undang No. 17/2003 tentang Pengelolaan Keuangan
Negara, Undang-undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah, Undang-undang No. 20/1997
tentang Penghasilan Bukan Pajak, Undang-undang No. 33/2004 tentang Keseimbangan Fiskal
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Undang-undang No. 9/1985 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem, Peraturan Pemerintah No. 34/2002 tentang Perencanaan dan
Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah No. 3/2008 tentang Pemerintahan Kehutanan,
Peraturan Pemerintah No. 10/2010 tentang Perubahan Penggunaan Lahan di Areal Hutan,
Peraturan Pemerintah No. 42/2009 tentang Pembiayaan Hutan, Peraturan Pemerintah No.
22/1997 tentang Penghasilan Bukan Pajak (Fauzi & Anna, 2013).
Beberapa peraturan tersebut dalam pelaksanaannya kadang kala saling bertentangan.
Sebagai contoh: untuk pelaksanaan skema PES yang tidak melibatkan pemerintah,
pembayaran antara penjual dan pembeli dapat dilakukan langsung tanpa perlunya dasar
aturan. Namun, bila skema PES tersebut semi publik (melibatkan pemerintah) maka akan ada
masalah fiskal. Peraturan No. 28/2009, No. 17/2003, dan No. 20/1997 tidak mengakui
adanya pendapatan dari jasa lingkungan. Dengan demikian pendapatan dari PES dianggap
pendapatan lain. Akibatnya, pendapatan yang diperoleh dari PES disimpan pada Dinas
Kehutanan dan dapat digunakan untuk kepentingan lain selain jasa lingkungan (Fauzi &
Anna, 2013). Maka, dana tersebut dapat tidak mencapai sasarannya yaitu untuk keperluan jasa
lingkungan.
Peraturan lainnya terkait dengan biaya penggunaan air. Undang-undang No. 28/2009
mengijinkan pengenaan biaya air baik di permukaan atau di dalam tanah. Namun, Peraturan
Pemerintah No. 34/2002 menyatakan bahwa pemanfaatan air merupakan bentuk jasa
lingkungan. Sehingga air yang berada di areal hutan merupakan pendapatan kehutanan.
Undang-undang No. 7 tahun 2004 yang menyatakan bahwa air untuk kebutuhan dasar dan
pertanian tidak dikenakan biaya. Akibatnya, sangat sulit untuk menetapkan pembayaran untuk
penggunaaan air (Fauzi & Anna, 2013). Demikian juga peraturan-peratuan lain yang saling
5
tumpang tindih dan bertentangan. Karenanya, hal ini menyulitkan pelaksanaan PES dan
pelaksanaan PES tidak mecapai tujuannya secara optimal.
Terkait peraturan yang saling bertentangan atau tumpang tindih seperti yang dikemukan
oleh Fauzi & Anna (2013), pada kenyataannya hal tersebut tidak hanya terjadi pada
pelaksanaan program PES saja. Namun juga program-program lainnya. Sebagai contoh: pada
program Rehabilitasi Lahan yang dilaksanakan pada tahun 2000 awal (Witasari, 2010)
dimana baik Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki kebijakan yang berbeda-beda mengenai
rehabilitasi hutan Negara. Sehingga petani yang berpartisipasi dalam program Rehabilitasi
Lahan tidak mendapatkan kepastian hukum.
Masalah ketidak konsistenan peraturan serta tumpang tindihnya peraturan merupakan
masalah klasik yang selalu muncul dalam pelaksanaan suatu program. Hal ini mengakibatkan
program-program pemerintah tidak dapat mencapai tujuan secara optimal. Terutama terkait
dengan masyarakat karena kebijakan yang tidak konsisten dan tumpang tindah mengurangi
kepercayaan masyarakat (Witasari, 2010).
2. Status Kepemilikan Lahan
Lahan hutan di Indonesia sebagian besar berada dalam otoritas negara. Luas hutan
negara adalah sebagai berikut: luas daratan hutan: 120.773.441, 71 hektar. Daerah Aliran
Sungai dari hulu ke hilir dalam pelaksanaan program PES sebagian besar adalah areal hutan
negara. Konsekuensi dari status kepemilikan yang merupakan hutan negara adalah dapat
berakibat pada ketidakpastian yang dirasakan oleh masyarakat yang berpartisipasi dalam
program tersebut. Hal ini terjadi juga pada program-program lainnya, walaupun program
tersebut tidak selalu bermitra dengan negara (Witasari, 2010). Kepemilikan dan pengelolaan
sumber daya hutan oleh masyarakat akan meningkatkan jaminan pengelolaan hutan jangka
panjang yang berkesinambungan karena masyarakat mendapatkan jaminan akses terhadap
sumber daya hutan (Patunru & Haryoko, 2015). Hal ini dikarenakan adanya keyakinan bahwa
ada keterkaitan yang kuat antara penjaminan hak kepemilikan, pertumbuhan ekonomi lokal
dan perlindungan lingkungan dengan asumsi: pelaku ekonomi mencari keuntungan dan
kesejahteraan pribadi serta jaminan hak kepemilikan membuat masyarakat berorientasi pada
keuntungan jangka panjang yang berasal dari sumber daya alam. Hal serupa dikemukakan
oleh Fauzi & Anna (2013) berdasarkan studi yang dilakukan di Sumberjaya – Lampung
bahwa pola kepemilikan menentukan perilaku. Karena kerumitan kepemilikan lahan dan
sistim pengelolaan lahan, terjadi ketidakpastian dalam skema PES. Pada kasus di Sumberjaya
– Lampung, program Hutan Kemasyarakatan dalam pelaksanaan PES dilaksanakan sebagai
6
alternatif dimana masyarakat tidak memiliki status hak milik pada hutan negara (Fauzi &
Anna, 2013).
3. PES tidak bersifat sukarela (voluntary)
Secara teori seperti yang diungkapkan oleh Wunder (2008; halaman 280), PES bersifat
sukarela (voluntary). Namun pada prakteknya di Indonesia, PES dapat dikatakan bersifat
mandatatory. Terutama terhadap pembeli (buyer) (Amalia & Syahril, 2016; Prasetyo,
Soewarno, Purwanto, & Hakim, 2009). Sebagai contoh: pelaksanaan PES di Lombok dan
Hutan Lindung Sungai Wain di Kalimantan berdasarkan studi yang dilakukan oleh Prasetyo,
Soewarno, Purwanto, & Hakim (2009).
Di Lombok, Daerah Aliran Sungai (DAS) Rinjani sangat penting peranannya sebagai
penyedia jasa air bagi masyarakat disekitarnya. Suply air berkurang akibat perubahan lahan
menjadi areal pertanian, degradasi hutan, dan kegiatan wisata. Untuk mengatasi hal tersebut,
maka WWF Indonesia bersama NGO setempat yaitu: KONSEPSI serta pemerintah daerah
menerapkan skema PES. Masyarakat pengguna PDAM yang berasal dari sumber air dari
Gunung Rinjani diwajibkan membayar biaya konservasi sumber air sebesar Rp. 1.000,- tiap
bulan. Walaupun proses tersebut didahului dialog dengan masyarakat, namun masyarakat
pengguna diwajibkan membayar untuk air yang digunakan dari mata air tersebut. Demikian
juga yang terjadi di Hutan Lindung Sungai Wain Kalimantan. PERTAMINA, yang tergantung
pada pasokan air dari hutan lindung tersebut diwajibkan untuk membayar biaya kompensasi
guna pengelolaan hutan lindung.
Dalam kedua kasus diatas, pengguna juga telah teridentifikasi dengan jelas (Prasetyo,
Soewarno, Purwanto, & Hakim, 2009). Oleh karenanya, konsep sukarela untuk berpartisipasi
tidak ditemukan dalam pelaksanaan skema PES di kedua lokasi tersebut dan juga beberapa
tempat lain (lihat: Amalia & Syahril, 2016).
Dengan demikian, untuk kondisi di Indonesia, PES yang sifatnya sukarela (voluntary)
seperti yang dinyatakan Wunder (2008) dapat dikatakan hampir tidak dapat terpenuhi (Amalia
& Syahril, 2016). Namun, untuk Indonesia pada saat ini untuk skema PES yang bersifat
mandatory adalah relevan untuk diterapkan dengan mengingat latar belakang sosial, budaya
dan faktor-faktor lainnya.
4. Keberlanjutan
Pertanyaan lain mengenai pelaksanaan skema PES yang dilakukan di Indonesia adalah:
isu keberlanjutan. Keberlanjutan merupakan salah satu kriteria PES (additionality) yang tidak
7
termasuk dalam salah satu kriteria Wunder (2008). Namun, keberlanjutan perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanan PES di Indonesia.
Ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan skema PES di suatu lokasi . Salah
satunya adalah komitmen baik dari pihak penyedia ataupun pengguna jasa. Komitmen dari
pihak penyedia jasa adalah secara terus menerus melakukan pengelolaan lahan yang baik
sehingga jasa lingkungan dapat diperoleh oleh pengguna jasa (Amalia & Syahril, 2016).
Selain itu, komitmen pengguna jasa lingkungan dalam memberikan reward berdasarkan
kesepakatan juga sangat menentukan keberhasilan skema PES di lokasi tersebut.
Kondisi-kondisi tersebut diatas perlu menjadi bahan pemikiran untuk upaya tindak
lanjut agar penerapan skema PES di masa yang akan datang dapat mencapai hasil sesuai yang
diharapkan. Kondisi tersebut terutama terkait kebijakan yang tidak konsisten, tumpang tindih
dan seringkali bertentangan satu sama lain. Karena isu kebijakan pada umumnya
teridentifikasi sebagai faktor penyebab yang dominan sehingga program tidak dapat
dilaksanakan secara optimal (Fauzi & Anna, 2013; Witasari, 2010). Selain itu, koordinasi
antar instansi sangat dibutuhkan terkait kebijakan.
Kesimpulan
Pelaksanaan skema PES di Indonesia telah dilakukan di beberapa lokasi. Pada
umumnya skema PES tersebut adalah berupa pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan
Daerah Aliran Sungai (DAS).
Berdasarkan penerapan PES tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicatat, yaitu:
peraturan dan fiskal; status kepemilikan lahan; PES tidak bersifat sukarela (voluntary); dan
keberlanjutan.
Terkait dengan peraturan dan fiskal, masalah umum yang diidentifikasi di lapangan
adalah: adanya peraturan yang tumpang tindih dan tidak konsisten. Terkait status kepemilikan
lahan, umumnya lokasi pelaksanaan PES adalah lahan negara. Hal ini menimbulkan ketidak
pastian bagi masyarakat. Maka, disiasati dengan pemberian hak kelola seperti halnya di
Lampung. Sementara itu, pelaksanaan PES yang tidak bersifat sukarela disebabkan karena
pengguna telah teridentifikasi dengan jelas. Selain itu, pengguna juga diwajibkan untuk
membayar kompensasi bagi penyedia jasa lingkungan. Selanjutnya, isu keberlanjutan
terutama ditentukan oleh komitmen baik penyedia maupun pengguna lingkungan.
8
Saran
Agar penerapan skema PES dapat mencapai tujuan yang optimal, kondisi-kondisi
tersebut harus ditindak lanjuti untuk perbaikan terutama kebijakan yang tidak konsisten dan
sering kali tumpang tindih serta bertentangan satu dengan yang lain.
Koordinasi antar instansi diperlukan untuk mengurangi terjadinya kebijakan yang
tumpang tindih dan seringkali bertentangan satu dengan yang lain.
Penerapan PES di Indonesia yang sifatnya mandatory terutama bagi pengguna jasa
lingkungan untuk saat ini sesuai dengan kondisi di Indonesia. Oleh karenanya, hal tersebut
sebaiknya dilanjutkan agar tujuan konservasi dan kesejahteraan masyarakat di hulu tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, M., & Syahril, S. (2016). Overview of the Payment for the Environmental Services
Implementation in Indonesia. Worldfish.
Anonim. (2016). Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha) per Provinsi di Indonesia
Tahun 2011-2016. Retrieved from http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran
Anonim. (2017). Badan Pusat Statistik. Retrieved September 6, 2017, from
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1716
Dirhantoro, T. (2016, Maret 10). Pemerintah Tak Konsisten Benahi Tata Kelola Hutan. Retrieved
Agustus 21, 2017, from https://geotimes.co.id/berita/abaikan-svlk-pemerintah-tidak-konsisten/
Fauzi, A., & Anna, Z. (2013). The complexity of the institution of payment for environmental
services: a case study of two Indonesian PES Scheme. Ecosystem Services, 6, 54-63.
Herbert, T., Vonada, R., Jenkins, M., & Bayon, R. (2010). Environmental funfs and payments for
ecosystem services.
Montagnini, F., & Finney, C. (2011). Payments for environmental services in Latin America as a tool
for restoration and rural development. AMBIO, 40, 285-297.
Patunru, A. A., & Haryoko, A. (2015). CIPS Policy Recommendations No. 2: June 2015: Kepemilikan
dan Pengelolaan Hutan di Indonesia. Centre for Indonesian Policy Studies.
Prasetyo, F. A., Soewarno, A., Purwanto, & Hakim, R. (2009). Making policies work payment for
environmental services (PES): an evaluation of the experience for formulating conservation
policies in districts of Indonesia. Journal of Sustainable Forestry, 28, 415-433.
Witasari, A. I. (2010). Changing practices: negotiation, identity and social capital in protected area
management – Lampung, Indonesia. University of Melbourne. Australia. PhD Thesis. Tidak
dipublikasikan.
Wunder, S. (2008). Payments for environmental services and the poor: concepts and preliminary
evidence. Environment and Development Economics, 13, 279–297.
doi:doi:10.1017/S1355770X08004282
PEMANFAATAN TANAMAN LERAK SEBAGAI ZAT ADIKTIF PADA SABUN
Oleh : Slamet Supriyadi
I. PENDAHULUAN
Tanaman lerak (Sapindus rarak DC) merupakan tanaman industri yang berasal dari Asia
Tenggara yang dapat tumbuh dengan baik pada hampir semua jenis tanah dan keadaan iklim.
Sebaranya meliputi India dan Sri Lanka di area barat, China dan Taiwan di utara dan Indonesia di
selatan. Nama spesies diambil dari nama Malaysia yaitu rerak atau rerek. Di Indonesia tanaman ini
mempunyai nama yang berbeda pada setiap daerah, seperti di Palembang disebut lamuran, di Jawa
lerak/klerek dan di Jawa Barat sering disebut rerek.
Lerak atau Klerek termasuk dalam famili Sapindaceae, tumbuh dengan baik pada di Pulau
Jawa sebagai tanaman liar, dengan tinggi mencapai 42 m dan berdiameter batang 1 m. Kayunya
ringan dan biasa digunakan sebagai papan cor, batang korek api dan kerajinan dari kayu. Kulit
batang dapat digunakan sebagai pembersih rambut, buahnya yang bulat dapat dimanfaatkan sebagai
pengganti sabun untuk mencuci berbagai macam kain, biasa digunakan dalam industri batik.
Taksonomi tanaman lerak yaitu:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledons
Sub kelas : Rosidae
Bangsa : Sapindales
Suku : Sapindaceae
Marga : Sapindus
Jenis : Sapindus mukorossi
Tanaman lerak memiliki bentuk daun bulat telur/oval, perbungaan majemuk, malai, terdapat
di ujung batang warna putih kekuningan. Bentuk buah seperti kelereng jika sudah tua atau masak,
berwarna coklat kehitaman, permukaan buah licin atau mengkilat, bijinya bundar berwarna hitam.
Daging buah sedikit berlendir dan aromanya wangi.
Kandungan kimiawi tanaman lerak antara lain sebagai berikut : daging buah mengandung
triterpen, alkaloid, steroid, antrakinon, tanin, fenol, flavonoid, dan minyak atsiri. Selain itu kulit
buah, biji, kulit batang dan daun lerak mengandung saponin dan flavonoid, sedangkan kulit buah
juga mengandung alkaloida dan polifenol. Kulit batang dan daun tanaman lerak mengandung tanin.
Senyawa aktif yang telah diketahui dari buah lerak adalah senyawa–senyawa dari golongan saponin
dan sesquiterpen.
Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida steroida yang
merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Pola glikosida saponin
kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen
yang umum ialah asam glukuronat (Harborne, 1996).
Saponin banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih.
Sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok, akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama.
Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter.
Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput
lendir. Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada darah.
Saponin bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan banyak diantaranya digunakan sebagai
racun ikan. Saponin yang bersifat keras atau racun biasa disebut sebagai Sapotoksin. Sapotoksin
pada biji lerak berpotensi sebagai insektisida, mengurangi jerawat dan kudis.
II. Pemanfaatan Tanaman Lerak Sebagai Sabun
Sabun adalah garam logam alkali yang berfungsi sebagai pencuci dan pengemulsi, dengan
dua komponen utama yaitu asam lemak (rantai karbon C16 ) dan sodium (Na) atau potassium (K).
Sabun dibuat dengan mereaksikan kalium (K) atau natrium (Na) dengan asam lemak, baik minyak
nabati atau lemak hewani melalui proses saponifikasi dan netralisasi minyak.
Saponifikasi adalah proses pembuatan sabun melalui reaksi hidrolisis lemak/minyak dengan
menggunakan basa kuat seperti Natrium Hidroksida (NaOH) atau Kalium Hidroksida (KOH)
sebagai alkali. Sedangkan, Netralisasi ialah proses pemisahan asam lemak bebas (ALB) dari minyak
atau lemak, menggunakan basa kuat (NAOH atau KOH). Sabun yang dibuat dengan alkali NaOH
menghasilkan sabun keras (hard soap), sedangkan alkali KOH menghasilkan sabun lunak (soft
soap).
Kemampuan sabun menurunkan tegangan permukaan air, memungkinkan air membasahi
bahan yang dicuci dengan lebih efektif. Kotoran dan lemak yang menempel di badan dan pakaian
tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan air biasa. Sabun mempunyai dua
bagian, yaitu bagian yang menyerap air dan bagian yang menyerap lemak. Dengan menggunakan
bantuan sabun, air dapat masuk ke dalam lemak kotoran. Akibatnya, lemak kotoran yang semula
tidak dapat bercampur dengan air kini dapat bercampur dengan air, sehingga menjadi mudah
dibersihkan.
Sabun merupakan pembersih yang sangat baik karena kemampuannya bertindak sebagai
agen pengemulsi. Sabun memiliki gugus non polar (gugus –R) yang dapat mengikat kotoran, dan
gugus –COONa yang dapat mengikat air. Kotoran tidak dapat lepas karena terikat pada sabun dan
sabun terikat pada air.
Sabun merupakan iritan lemah. Penggunaan yang lama dan berulang akan menyebabkan
iritasi dan beberapa efek samping pada kulit, yaitu pembengkakan dan pengeringan kulit, denaturasi
protein dan ionisasi, antimikrobial, antiperspiral, dan lain sebagainya. pH yang terlalu tinggi
disinyalir sebagai salah satu penyebab daya iritasi sabun pada kulit. Sehingga komposisi alkali dan
minyak yang sesuai, yang sesuai (ideal) harus dikontrol dengan cermat. Pada kemasan sabun harus
dicantuman masa kadaluarsa sabun. Penggunaan sabun yang telah kadaluarsa meningkatkan resiko
iritasi kulit.
A. Proses Pembuatan Sabun
Sabun dapat dibuat melalui dua proses, yaitu:
1. Saponifikasi
Saponifikasi melibatkan hidrolisis ikatan ester gliserida yang menghasilkan pembebesan asam
lemak dalam bentuk garam dan gliserol. Garam dari asam lemak berantai panjang adalah sabun
(Stephen, 2004).
Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut:
2. Netralisasi
Netralisasi adalah proses untuk
memisahkan asam lemak bebas dari
minyak atau lemak, dengan cara
mereaksikan asam lemak bebas dengan
basa atau pereaksi lainnya sehingga
membentuk sabun (Ketaren, 2008).
Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut:
Lemak dan minyak adalah sama-sama memiliki senyawa ester non-polar, yaitu sama-sama tidak
larut di dalam air. Lemak dan minyak mempunyai
dua jenis ikatan, yaitu ikatan jenuh dan ikatan tak
jenuh dengan atom karbon 8-12. Secara umum,
reaksi antara kaustik dengan gliserol dapat
membentuk sabun melalui reaksi saponifikasi.
Perbedaan kadar asam lemak dalam minyak atau
lemeak menyebabkan sabun yang terbentuk
mempunyai sifat yang berbeda. Minyak dengan
kandungan asam lemak rantai pendek dan ikatan
tak jenuh akan menghasilkan sabun cair.
Sedangkan rantai panjang dan jenuh menghasilkan
sabun yang tak larut pada suhu kamar.
Sabun mandi merupakan senyawa natrium atau
kalium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat,
berbusa, dengan atau penambahan lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit (SNI, 1994).
Dalam pembuatan sabun, lemak dipanasi dalam ketel besi yang besar dengan larutan natrium
hidroksida dalam air, sampai lemak itu terhidrolisis sempurna. Pereaksi semacam itu sering disebut
penyabunan (latin, sapo adalah sabun), karena reaksi itu telah digunakan sejak zaman Romawi kuno
untuk mengubah lemak dan minyak menjadi sabun. Persamaan untuk reaksi itu adalah:
(RCO2)3C3H3 + 3NaOH 3RCO2Na + C3H5(OH)3
Jika lemak/minyak dihidrolisis, akan terbentuk gliserol
dan asam lemak yang dengan adanya Na(NaOH) akan
terbentuk sabun karena sabun merupakan garam Na atau
K dari asam lemak. Sabun Na dan K larut dalam air,
sedangkan Ca dan Mg tidak larut. Sabun Na (sabun
keras) digunakan untuk mencuci dan sabun K (sabun
lunak) digunakan untuk sabun mandi.
B. Khasiat Sabun Lerak
Senyawa saponin dalam sabun lerak bermanfaat untuk mengobati berbagai penyakit, antara lain
sebagai berikut :
a. Obat Skabies
Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi Sarcoptes
scabiei varian hominis dan produknya. Penyakit ini disebut juga the itch, seven year itch,
Norwegian itch, gudikan, gatal agogo, budukan atau penyakit ampere
Skabies disebabkan oleh tungau kecil berkaki delapan, dan didapatkan melalui kontak fisik
yang erat dengan orang lain yang menderita penyakit ini. Tungau skabies (Sarcoptes scabiei)
berbentuk oval, dengan ukuran 0,4 x 0,3 mm pada jantan dan 0,2 x 0,15 pada betina.
Gejala utama skabies adalah gatal, yang secara khas terjadi di malam hari. Terdapat dua tipe
utama lesi kulit pada skabies, yaitu terowongan dan ruam. Terowongan terutama ditemukan
pada tangan dan kaki, khususnya bagian samping jari tangan dan kaki, sela- sela jari,
pergelangan tangan dan punggung kaki. Masing- masing terowongan panjangnya beberapa
millimeter hingga beberapa centimeter, biasanya berliku- liku dan ada vesikel pada salah
satu ujung yang berdekatan dengan tungau yang sedang menggali terowongan, seringkali
disertai eritema ringan.
Racun dalam saponin yang disebut Sapotoksin yang terdapat dalam tumbuhan lerak
berfungsi sebagai insektisida berperan aktif dalam menekan laju pertumbuhan dan
perkembangan tungau Sarcoptes scabiei. Sehingga dapat digunakan sebagai obat sakit
Skabies.
b. Obat Jerawat
Jerawat, atau acne vulgaris, adalah suatu kondisi kulit yang terjadi saat folikel rambut
tersumbat dengan kulit mati dan minyak yang mengakibatkan peradangan. Kelenjar
penghasil minyak di bawah kulit disebut dengan kelenjar sebasea dan lubang pada kulit
disebut dengan pori–pori. Folikel rambut menghubungkan pori–pori dengan kelenjar
sebasea. Jerawat dapat berupa bintil merah ringan hingga jerawat kistik yang nyeri. Jerawat
biasanya terdapat pada wajah, pundak, punggung, dan dada.
Senyawa Saponin, Alkaloid, Ateroid, dan Triterpen berfungsi sebagai antijamur, antiseptik,
antioksidan dan antivirus yang sangat bermanfaat untuk wajah berjerawat. Senyawa-
senyawa tersebut dapat mempercepat proses penyembuhan jerawat dan mencegah infeksi
lanjutan jerawat.
III. BUDIDAYA TANAMAN LERAK
1) Potensi Tanaman Lerak
Tanaman lerak paling sesuai pada iklim tropik
dengan kelembaban tinggi, berdrainase baik, subur
dan mengandung banyak humus. Lerak tumbuh
pada ketinggian di bawah 1.500 m di atas
permukaan laut, dengan pertumbuhan paling baik
pada daerah berbukit dataran rendah dengan
ketinggian 0 - 450 m di atas permukaan laut, curah
hujan rata-rata 1.250 mm/tahun. Lerak termasuk
dalam kelas Dicotyledone, berakar tunggang
dengan perakaran yang kompak sehingga dapat
digunakan sebagai pengendali erosi dan penahan
angin. Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5 – 15 tahun, dan musim berbuah pada awal musim
hujan (November-Januari) yang menghasilkan buah sebanyak 10000–15000 biji/pohon.
Setiap satu kg biji lerak diperkirakan berjumlah 350 biji. Biji lerak kering dapat disimpan
selama satu tahun. Rata-rata setiap pohon menghasilkan 28 - 43 kg. Jika harga setiap kilogram buah
lerak berkisar antara Rp 15.000 – Rp 40.000 maka nilai ekonomis buah setiap pohon lerak adalah
Rp 420.000 – Rp 1.720.000. Beberapa daerah penghasil lerak terbesar di Indonesia adalah Kediri,
Banten, dan Madura. Setiap bulan Kediri mampu mengirim tiga ton (hasil produksi hutan-hutan
setempat) ke berbagai industri. Kediri bahkan sanggup memasok enam ton lagi setiap bulan. Lerak
atau juga dikenal sebagai rerek (Jawa Barat) atau lamuran (Palembang) adalah tumbuhan yang
dikenal karena kegunaan bijinya yang dipakai sebagai deterjen tradisional. Tanaman lerak tersebar
di berbagai daerah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tanaman ini belum
dibudidayakan secara luas dan masih terbatas sebagai tanaman sampingan.
2) Budidaya
Budidaya tanaman lerak dapat dilakukan secara
generatif dengan biji. Buah lerak tersusun dalam tandan
dengan jumlah 8 – 12 buah, berbentuk bulat dengan
ukuran 2 cm, berwarna hijau tua dan biji berwarna hitam.
Biji yang akan digunakan untuk perbanyakan harus sudah
cukup tua dan sehat. Biji disimpan di tempat teduh dan
dibasahi secara teratur sebelum disemaikan, kemudian
biji disemaikan hingga menjadi benih dan dapat dipindah
ke lapangan pada umur 3 bulan.
Perbanyakan secara generatif dengan biji. Buah lerak tersusun dalam tandan dengan jumlah 8
- 12 biji, berbentuk bulat dengan ukuran 2,0 cm, berwarna hijau tua dan biji berwarna hitam. Biji
yang akan digunakan untuk perbanyakan harus sudah cukup tua dan sehat. Biji disimpan di tempat
teduh dan dibasahi secara teratur sebelum disemaikan, kemudian biji disemaikan hingga menjadi
benih.
3) Bercocok tanam
Jarak tanam untuk tanaman lerak, adalah 6 x 6 m, 8 x 8 m atau 10 x 10 m. Benih berasal dari
biji, dan dapat dipindah ke lapangan pada umur 3 bulan dengan tinggi 30 - 40 cm dengan cara
membuka tanaman dari polibeg dan dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan ukuran 40 x 40 x
40 cm. Pupuk kandang yang diberikan sebanyak 5 kg/lubang tanam. Cara pemeliharaan tanaman
lerak tidak memerlukan penanganan khusus. Penyiangan dan pembumbunan dilakukan sampai
tanaman berumur 2 tahun. Panen buah Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5 - 10 tahun,musim
berbuah setiap tahunnya yaitu pada setiap awal musim hujan bulan Nopember-Januari. Bentuk buah
lerak bulat kelereng, berukuran diameter 2 cm, berkulit tipis dengan permukaan licin, tangkai
pendek. Buah masak ditandai dengan warna hijau tua sampai cokelat. Panen buah dilakukan
dengan memotong tangkai buah yang telah matang dengan galah bambu yang diberi pisau atau
dibiarkan jatuh. Buah yang telah dipetik dikeringkan dengan cara dijemur sehingga kulit biji
berkerut keriput.
IV. PENUTUP
Tanaman lerak memiliki manfaat yang cukup potensial untik dikembangkan, menjadi
tanaman industry skala bisnis dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Lerak mempunyai manfaat
yang cukup potensial sebagai bahan pengganti sabun dan atau bahan adiktif pada sabun. Kandungan
senyawa kimia yang berfungsi sebagai insektisida dan nematisida serta antiseptik pada pengobatan
kudis, dan jerawat, diharapkan dapat menarik minat investasi corporate atau perusahaan sabun
serius mengembangkan riset pada tanaman lerak.
Selain itu tanaman Lerak dapat dikembangkan sebagai tanaman konservasi dan penghijauan.
Tanaman lerak dapat ditanam sebagai tanaman peneduh di tepi jalan, dan tanaman pekarangan.
DAFTAR PUSTAKA :
Iskandar, Rifki.2006. Prospek Lerak Tanaman Industri Pengganti Sabun. Jakarta: Pustaka Baru Press
Gunawan, Dadit dan Sri Mulyani. 2004. Ilmu obat Alam (Farmakognosi) Jilid I. Jakarta : Penebar Swadaya
Fatmawati, Lerak. 2014. Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak DC) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi. Surabaya : Balai Pelestarian Budaya Jawa Timur.
Hart, H. dan L. Craine. 2003. Kimia Organik. Edisi II. Penerbit Erlangga. Jakarta Widowati, L. 2003. Sapindus rarak DC. In: Lemmens RHMJ. Bunyapraphastsara, N. (Eds). Plant
Resources of South-East Asia. Medicinal and Poisonous Plants. Prosea Foundation. Bogor. Sungkar S. 2000. Skabies. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Boediardja S. 2003. Skabies pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
I Wayan Sudarma : Bekerja dan Berdarma Oleh : Ryke L.S. Siswari
Seperti juga di daerah lain, jumlah penyuluh Kehutanan PNS di Kabupaten Karangasem masih jauh dari mencukupi. Untuk 8 kecamatan yang meliputi 78 kelurahan, Kabupaten Karangasem hanya memiliki 17 orang penyuluh kehutanan PNS. Para penyuluh tersebut berada pada KPH Bali Timur yang meliputi Kabupaten Karangasem
dan Kabupaten Bangli. Dengan kondisi yang demikian, kehadiran penyuluh kehutanan swadaya masyarakat atau PKSM sebagai mitra penyuluh kehutanan PNS menjadi sangat penting. PKSM dapat membantu mengisi kekosongan yang tidak bisa dijangkau oleh PK PNS bahkan kadang-kadang malah menjadi andalan dalam kegiatan penyuluhan.
Salah satu PKSM yang sangat aktif di Kabupaten Krangasem adalah I Wayan Sudarma. Kiprahnya dalam penyuluhan dan pembangunan kehutanan secara umum mengantarkannya sebagai PKSM terbaik II nasional pada Lomba Wana Lestari tahun 2017. Dari Kaki Gunung Agung Yang Sejuk dan Berkabut Wayan, begitu ia biasa dipanggil, lahir dan besar di Desa Menanga, Rendang, Karangasem. Desa yang terletak di kaki Gunung Agung ini sebenarnya merupakan tanah perbukitan yang subur. Namun sangat banyak lahan terlantar dan terbengkalai yang tidak dimanfaatkan. Masyarakat hanya mengandalkan hidup dari padi gogo yang ditanam di ladang dan di panen satu kali setahun.
Wayan sering berpikir untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong tersebut guna menambah penghasilan keluarganya. Namun sebagai anak petani yang serba kekurangan dan hanya menamatkan pendidikan tingkat SLTP, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana memulainya. Sempat menjadi supir mobil jenazah dan bergabung dengan kelompok peternak ayam ternyata tidak memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya.
Beruntung Wayan luwes dalam bergaul dan aktif dalam kegiatan masyarakat di desanya. Hal ini mengantarnya berkenalan dengan penyuluh pertanian yang kemudian mengajarkannya untuk bertani sayuran. Dari pertemanan dengan penyuluh pertanian ini kemudian ia bertemu dengan Made Suastana, seorang penyuluh kehutanan. Made Suastanalah yang mengajarinya bahwa untuk bisa berhasil dalam bertani diperlukan air dan kondisi lingkungan yang terjaga kelestariannya. Bersama-sama mereka mulai mengajak masyarakat desa Menanga untuk tidak sekedar bertanam sayuran tapi juga melakukan konservasi tanah melalui penanaman pohon, penanaman bambu dan enau pada tebing-tebing serta pembuatan terasering. Sejak saat itulah sebenarnya Wayan sudah melakukan kegiatannya sebagai PKSM.
Wayan juga mulai membentuk kelompok tani dengan kegiatan bertani sayuran serta mengembangkan hutan rakyat dengan tanaman albizia dan kajimas. Kelompok Taninya sempat memperoleh dana Kebun Bibit Rakyat (KBR) pada 2010. Pada tahun itu juga, Made yang melihat potensi dan kesungguhan Wayan dalam mengembangkan kelompok dan kegiatan fisik di desa Menanga, merekomendasikannya sebagai peserta yang mewakili Kabupaten Karangasem untuk mengikuti pelatihan budidaya lebah madu Apis cerana di Soe, NTT. Maju Bersama Madu Selesai pelatihan, Wayan mulai mengembangkan budidaya lebah madu di kelompoknya. Sayangnya kelompok tidak terlalu antusias melaksanakannya. Pada saat yang sama juga terjadi konflik yang menyebabkan perpecahan dalam kelompok. Wayan bertekad untuk memulai kelompok baru yang harus lebih sukses dari kelompok sebelumnya. Dari sinilah terbentuk Kelompok Tani Hutan Satya Loka Parama Sidhi yang diketuainya. Ia ingin kelompok ini nantinya tidak hanya bertani sayuran, membangun dan mengembangkan hutan rakyat tetapi juga memiliki usaha lain untuk meningkatkan kesejahterannya.
Budidaya lebah Trigona oleh Kelompok Tani Hutan Binaan I Wayan Sudarma (dokumentasi pribadi)
Wayanpun memulainya dengan diri sendiri. Selain membudidayakan Apis cerana, ia
menemukan bahwa di Menanga juga terdapat lebah dari jenis Trigona yang hasil madunya dikenal dengan madu kala. Madu kala ini banyak dicari pembeli dan belum ada yang membudidayakannya. Harga madu kala juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan madu Apis cerana. Wayan mencoba-coba sendiri membudidayakan lebah trigona ini berbekal ilmu yang pernah diperoleh digabungkan dengan pengalaman dan upaya mencari informasi dari berbagai pihak.
Ketekunannya membuahkan hasil. Dengan harga jual yang mencapai Rp 250.000 – Rp 400.000 rupiah per botol berukuran 350 ml, anggota kelompok dan masyarakat mulai mengikuti langkahnya. Saat ini KTH Satya Loka Parama Sidhi telah memiliki 1200 stup lebah Trigona. Bila digabungkan dengan milik kelompok lain dan masyarakat sekitar yang
dibina Wayan, jumlah stup lebah Trigona telah mencapai lebih dari 5000 dengan produksi lebih dari 200 botol per tahun. Untuk kestabilan harga, pemasaran madu Trigona Desa Menanga dilakukan melalui KTH Satya Loka Purnama Sidhi. Dari setiap botol yang terjual, kelompok memperoleh keuntungan Rp 5.000.
Keberhasilan Wayan membudidayakan lebah trigona mengantarnya memperoleh penghargaan Sipakara Nugaraha 2014 dari Bappeda Bali untuk Kreativitas dan
Inovasi Tehnologi Masyarakat dalam Penyepihan Lebah Trigona. Saat ini Wayan juga merupakan instruktur tetap untuk pelatihan-pelatihan bididaya lebah trigona yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Hutan Rakyat Berkembang, Rejekipun Datang Selain madu, KTH Satya Loka Purnama Sidhi tetap mengembangkan hutan rakyat. Saat ini hutan rakyat di Menanga telah mencapai 233 ha dari jenis albiziaa, kajimas, mahoni, gmelina dan jabon. Kelompok maupun masyarakat binaan Wayan telah memiliki pasar tetap yaitu industri pengolahan kayu di Jawa yang membeli langsung di lokasi.
Hutan Rakyat di Desa Menanga (dokumentasi : I Wayan Sudarma)
Di bawah tegakan juga dikembangan tanaman kunyit dan jahe, yang oleh Kelompok Wanita Tani binaan diolah menjadi minuman kesehatan dan dipasarkan dalam kemasan
botol. Selain kunyit dan jahe, kelompok mengembangkan tanaman nilam yang mencapai
luasan 10 ha. Pada 2012 kelompok memperoleh bantuan mesin penyulingan nilam dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karangasem. Saat ini kelompok rata-rata memproduksi 40- 50 kg minyak nilam yang di suplai ke industri kosmetik di Bangli secara rutin. Harga minyak nilam mencapai Rp 800.000 per kg.
Berkembangnya hutan rakyat dan berbagai ussaha semakin memantapkan
kelompok ini dan mengundang datangnya berbagai fasilitasi. Diantaraya adalah bantuan
ternak sapi. Dari peternakan sapi, Wayan beserta kelompoknya mengolah limbah peternakannya menjadi pupuk organik. Usaha pupuk ini berkembang dengan pesat hingga akhirnya menampung juga limbah peternakan masyarakat sekitar sebagai bahan baku. KTH Satya Loka Parama Sidhi bahkan dipercaya untuk mensuplai kebutuhan pupuk bersubsidi bagi Provinsi Bali dengan omzet 350 ton per tahun. Harga jual pupuk untuk pemerintah provinsi mencapai Rp 1000/kg, sedangkan bila dijual kepada rekanan harganya mencapai Rp 1.200/kg
Wayan juga melihat bahwa desa Menanga memiliki potensi untuk budidaya bunga Marigold di pekarangan masyarakat. Kebutuhan Marigold sebagai bagian dari perangkat upacara di Bali memang sangat tinggi. Saat ini Desa Menanga mampu memproduksi lebih dari 50 ton bunga Marigold per bulan dengan harga sekitar Rp 30.000 per kg. Bunga tersebut diproduksi untuk memenuhi kebutuhan kabupaten Karangasem, Klungkung dan Kota Denpasar. Bekerja dan Berdarma Bekerja dan berdarma menjadi motto Wayan dalam menjalani kehidupan. Bekerja adalah kewajiban yang harus dilakukan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Di saat yang bersamaan Wayan juga ingin selalu bisa berdarma atau memberikan kebaikan dan manfaat bagi sesama.
Sebagai PKSM, Wayan telah melakukan keduanya. Ia berharap dan terus berusaha untuk dapat melaksanakan motto kehidupannya tersebut. Itu sebabnya Wayan tidak sebatas berkarya pada kegiatan fisik saja. Ia membantu menumbuhkan dan membina kelompok-kelompok tani di Menanga dengan kegiatan serupa serta mengkader masyaraat untuk menularkan ilmu melalui penyuluhan sebagaimana yang dilakukannya. Saat ini
Wayan membina 5 Kelompok Tani Hutan dan 1 Kelompok Tani Wanita, serta menumbuhkan 5 PKSM lain di Kecamatan Rendang.
Budidaya bunga marigold di pekarangan (dokumentasi :I Wayan Sudarma)
Wayan juga tak henti meningkatkan kapasitas dirinya. Setelah menelesaikan Paket C, saat ini ia sedang menempuh kuliah semester 5 di STKIP Agama Hindu di Amlapura. Ia tak berhenti dengan peningkatan kapasitas dirinya sendiri tetapi juga berupaya meningkatkan kapasitas masyarakat Menanga khususnya dan Kecamatan Rendang umumnya. Untuk itulah Wayan aktif dalam berbagai organisasi masyarakat dan organisasi profesi seperti Pengurus Badan Pelestarian Hutan Desa Menanga, Pengurus Karang Lanjut Usia, Ketua Gapoktan Menanga, Sekretaris Koperasi Yowana Satya Kerti, Komite Pada Pusat Kegiatan belajar Masyarakat (PKBM) Yowana Sastra dan anggota IPKINDO.
Menurut Wayan, aktif berkegiatan di berbagai organisasi tersebut merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam melakukan kegiatannya sebagai PKSM. Dari berbagai organisasi tersebut Wayan dapat berkomunikasi dan bertukar pengalaman dengan pengurus maupun anggota lainnya untuk lebih meningkatkan pengetahuannya. Kunci sukses lainnya adalah membangun jejaring kerja dengan berbagai pihak. Mulai dari pemerintahan desa, kecamatan hingga instansi pemerintah kabupaten serta para pengusaha. Dukungan instansi pembina dan penyuluh kehutanan pendamping merupakan kunci berikutnya dalam melaksanakan kegiatannya sebagai PKSM maupun sebagai ketua kelompok. Khusus untuk PKBM Yowana Sastra, Wayan juga berperan sebagai instruktur pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan lembaga ini. PKBM Yowana Sastra yang merupakan tempat belajar mandiri bagi masyarakat tidak hanya menggelar pelatihan-pelatihan teknis seperti perlebahan, pembibitan dan pembuatan barang-barang kerajinan tetapi juga mengenai kelembagaan kelompok, bahasa Inggris dan bahasa Jepang, juga kejar Paket A, Paket B dan Paket C. Lembaga ini telah mengantar masyarakat Menanga meningkatkan keterampilan dan pendidikannya.
Dari aspek ekologi, sosial maupun ekonomi, Wayan telah melakukan darmanya. Kegiatan yang dilakukannya tidak saja memperbaiki lingkungan tetapi juga meningkatkan kapasitas dan pendapatan masyarakat desanya. Prestasi sebagai PKSM terbaik kedua tingkat nasional pada Lomba Wana Lestari 2017 bukanlah merupakan tujuan utamanya. Baginya, yang terpenting adalah terus berkarya agar hutan dan lingkungan desa Menanga terjaga kelestariannya dan masyarakatnya menjadi lebih sejahtera