Arah dan Strategi Reformasi LAN
-
Upload
tri-widodo-w-utomo -
Category
Education
-
view
3.394 -
download
4
description
Transcript of Arah dan Strategi Reformasi LAN
ARAH DAN STRATEGI REFORMASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA RI
Sebuah Pemikiran Awal Pengembangan Kapasitas Institusional LAN
Menuju Penguatan Sistem Administrasi Negara
Disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Lembaga Administrasi Negara RI
Kampus PPLPN Pejompongan – Jakarta, 12 s.d. 14 Desember 2007
JAKARTA, 2007
1
ARAH DAN STRATEGI REFORMASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA RI Sebuah Pemikiran Awal Pengembangan Kapasitas Institusional LAN Menuju Penguatan Sistem Administrasi Negara
PENDAHULUAN LAN merupakan salah satu LPND yang dalam pelaksanaan tugasnya dikoordinasikan
oleh MENPAN1
. Secara fungsional, LAN mempunyai tugas “melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang administrasi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Untuk melaksanakan tugas tersebut di atas, LAN
menyelenggarakan fungsi kajian, kediklatan, dan advokasi dalam bidang administrasi
Negara2. Sebagai salah satu Instansi Pemerintah dan organisasi formal, LAN mempunyai
berbagai permasalahan terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya. Permasalahan
dimaksud dapat terjadi, baik dalam lingkup eksternal maupun internal, yang jika
dibiarkan berlarut-larut akan bermuara pada menurunnya kinerja LAN, yang dapat
diindikasikan dari menurunnya kualitas produk LAN.
Secara eksternal, meski telah ada pembagian rigid mengenai kedudukan dan tugas
lembaga-lembaga pemerintah seperti Menteri Koordinator, Menteri Negara, Departemen/
LPND3
, pada implementasinya masih ditemukan beberapa penyimpangan maupun
overlapping dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan antar lembaga pemerintah
tersebut. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi LAN sebagaimana dikemukakan di muka,
seringkali dihadapkan pada ketidakpastian/kerancuan kedudukan, baik dari segi struktur
organisasi pemerintahan maupun dari segi substansi urusannya. Dari segi struktur
organisasi pemerintahan, perlu kejelasan mengenai kedudukan LAN sebagai lembaga
supporting staff kepada Presiden. Dalam prakteknya, ada hambatan struktural yang masih
mentradisikan perlunya penghormatan terhadap lembaga-lembaga yang bersifat lebih
khusus menangani permasalahan pemerintahan. Sedangkan dari segi substansi urusan,
ranah keilmuan administrasi negara yang mencakup tidak hanya wilayah
penyelenggaraan kekuasaan eksekutif, melainkan juga wilayah legislatif, yudikatif,
auditif, dan bidang kekuasaan negara lainnya berdasarkan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terkadang tidak dapat diaktualisasikan4. Hal ini dikarenakan
masih belum kesamaan persepsi publik terhadap luasnya cakupan administrasi negara.
1 Keppres No.103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Perpres No. 64 Tahun 2005. 2 Berdasarkan Keppres No. 103 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 3 Tahun
2002 3 Simak Perpres No. 62 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Perpres No. 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara RI. 4 Baca cakupan konsepsional Administrasi Negara dalam Edisi Revisi SANKRI III, LAN, Jakarta, 2006.
2
Secara internal, untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, berdasarkan Keputusan
Kepala LAN No. 4 Tahun 2004, struktur organisasi LAN terdiri dari tujuh Unit Eselon I,
17 Unit Eselon II, 42 Unit Eselon III, dan 53 Unit Eselon IV, yang terbagi dalam lingkup
wilayah kerja LAN Jakarta, PKP2A I di Bandung, PKP2A II di Makassar, PKP2A III di
Samarinda, serta STIA LAN Jakarta, Bandung, dan Makassar. Dalam pelaksanaannya,
masih terjadi ketidakserasian kegiatan antar unit organisasi di LAN yang terkait dengan
substansi dan cakupan kerja. Masih ditemui adanya overlapping pekerjaan, baik antar
Unit Kerja, maupun antara LAN Jakarta dengan perwakilan di daerah. Hal ini
dikarenakan tatanan keorganisasian LAN masih menimbulkan ambiguitas mengenai
batasan kewenangan masing-masing Unit Kerja. Dari segi SDM, PNS di lingkungan
LAN tersebar dalam berbagai Jabatan Struktural, Jabatan Fungsional Tertentu dan
Jabatan Fungsional Umum/Pelaksana. Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam
pengelolaan SDM LAN adalah belum teridentifikasinya kebutuhan pengadaan Jabatan
Fungsional Tertentu, di samping pola pembinaan pegawai yang belum tertata dengan baik.
Selain itu, jumlah pegawai yang ada diasumsikan masih kurang berkaitan dengan
pengembangan struktur organisasi LAN yang baru, yaitu pembentukan PKP2A III di
Samarinda dan Balai Diklat Bahasa.
Demikian pula dari segi komposisi latar belakang pendidikan pegawai masih dirasakan
adanya kekurangan, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun spesialisasi, khususnya
untuk level S-3 dan S-2. Begitu juga dengan kebutuhan penguasaan kompetensi teknis,
baik dalam bidang kajian, Diklat, maupun kesekretariatan, perlu mendapatkan perhatian
yang optimal. Secara umum, permasalahan dalam pengelolaan SDM pegawai adalah
perlu ditetapkannya pola pembinaan karier secara sistematis dan terpadu, yang
memberikan kesempatan pengembangan karier bagi PNS di lingkungan LAN. Dalam hal
ketatalaksanaan, telah ditetapkan berbagai kebijakan internal yang mengatur tentang
sistem dan mekanisme kerja. Namun, masih diperlukan penyempurnaan lebih lanjut
disesuaikan dengan perkembangan kebijakan dan tuntutan kebutuhan organisasi.
Disamping itu masih perlu ditetapkan beberapa pedoman kerja, dan implementasi
pedoman kerja yang sudah ditetapkan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam
hal sarana atau fasilitas kerja, telah dilakukan berbagai upaya pengembangan, baik dalam
bentuk penambahan maupun peningkatan kualitas sarana fisik. Meski demikian, upaya
tersebut dinilai masih terbatas, khususnya dalam bidang teknologi informasi yang belum
sepenuhnya mampu mendukung proses kerja guna mewujudkan kinerja dan pelayanan
yang lebih baik. Atas dasar paparan di atas, perlu segera dirumuskan langkah-langkah
stratejik dalam rangka mewujudkan pengembangan kapasitas organisasi LAN pada
khususnya serta organisasi pemerintahan dan kenegaraan pada umumnya.
POSITIONING LAN Refleksi Singkat Kinerja LAN
Secara umum dapat diamati bahwa LAN telah cukup mampu membangun kinerja
kelembagaan yang baik. Sejak berdirinya, LAN telah berkontribusi secara konkrit dalam
3
perumusan berbagai kebijakan di bidang tata kepemerintahan, misalnya pengaturan
tentang organisasi departemen dan susunan organisasi departemen sebagaimana tertuang
dalam Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1974. Hingga saat ini, pemerintah
bersama DPR-RI masih belum mampu menuntaskan pembahasan RUU Kementerian
Negara sebagai pedoman umum penataan kelembagaan dan manajemen Departemen/
Kementerian Negara. Kondisi ini menyiratkan bahwa pada era tahun 1970-an, kita jauh
lebih maju dalam manajemen kepemerintahan karena telah memiliki aturan (walaupun
hanya setingkat Keppres) tentang Pokok-Pokok dan Susunan Organisasi Departemen.
Selain itu, LAN telah turut mengawal upaya mewujudkan good governance melalui
penguatan salah satu pilarnya, yakni prinsip akuntabilitas. Penguatan akuntabilitas sektor
publik ini secara legal formal tertuang dalam Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam Inpres tersebut, LAN mendapat tugas
untuk: 1) membuat pedoman penyusunan pelaporan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah; dan 2) memberikan bantuan teknis dan penyuluhan tentang pelaporan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Atas dasar amanat tersebut, Keputusan Kepala
LAN Nomor 589/IXIS/Y/99 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah, yang telah disempurnakan dengan Keputusan Kepala LAN
Nomor 239/1X/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan AKIP.
LAN juga telah menerbitkan buku SANRI (Sistem Administrasi Negara RI) Jilid I dan II,
yang selama dekade 1990-an telah menjadi buku rujukan utama (text-book) bagi pelajar
dan mahasiswa, aparat pemerintah, pengamat dan cendekiawan, serta banyak kalangan
lainnya dalam memahami sistem administrasi negara di Indonesia. Buku tersebut telah
disempurnakan dengan diterbitkannya buku SANKRI (Sistem Administrasi Negara
Kesatuan RI) Jilid I, II, dan III. Hingga saat ini, baik buku SANRI maupun SANKRI
masih dapat dikatakan sebagai acuan utama dan dokumen terlengkap mengenai
administrasi negara di Indonesia dari perspektif historis hingga zaman modern dewasa ini.
Dengan kata lain, kedua buku tersebut dapat dikatakan sebagai “Buku Induk” sistem
administrasi negara Indonesia.
Kontribusi positif LAN dalam membangun profesionalisme aparatur pemerintahan tidak
bisa dilepaskan juga dari amanat peraturan perundang-undangan yang tertuan dalam PP
No. 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS. Dalam PP tersebut
secara eksplisit dinyatakan bahwa LAN adalah Instansi Pembina Diklat yang secara
fungsional bertanggung jawab atas pengaturan, koordinasi, dan penyelenggaraan Diklat.
Sebagai instansi pembina, LAN telah melaksanakan serangkaian program penting sbb:
a. Penyusunan pedoman Diklat;
b. Bimbingan dalam pengembangan kurikulum Diklat;
c. Bimbingan dalam Penyelenggaraan Diklat;
d. Standarisasi dan akreditasi Diklat;
e. Standarisasi dan akreditasi widyaiswara;
f. Pengembangan sistem informasi Diklat;
g. Pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat;
h. Pemberian bantuan teknis melalui konsultansi, bimbingan di tempat kerja,
kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan, dan evaluasi Diklat.
4
Program-program Diklat yang diselenggarakan dan/atau dikelola oleh LAN sendiri
meliputi Diklat Kepemimpinan (Tingkat I, II, III, dan IV); Diklat Teknis Fungsional
(TNA, TOT, MOT, TOC, dsb); Diklat Teknis Manajemen, serta berbagai jenis bimbingan
teknis. Dilihat dari jumlah alumni Diklat LAN yang mencapai ratusan ribu pegawai, serta
dilihat dari produk-produk pembinaan dan program Diklat yang telah dilaksanakan, dapat
dibayangkan bahwa LAN telah secara sistematis dalam kurun waktu yang sangat panjang
membangun kapasitas kepemerintahan melalui peningkatan kompetensi individual
pegawai, baik keterampilan teknis (technical competency), kompetensi kepemimpinan
(managerial competency), maupun pembenahan mental, sikap dan perilaku (behavioral
competency).
Melalui STIA-LAN, LAN juga telah mencetak puluhan ribu kader aparatur pada berbagai
jenjang dan disiplin/bidang keilmuan. Alumni STIA-LAN tersebar di seluruh penjuru
Nusantara serta telah/pernah menduduki jabatan strategis seperti Menteri, Ketua/anggota
DPR/DPRD, Gubernur, Bupati/Walikota, anggota TNI/Polri, Ketua/pengurus berbagai
Partai Politik, Pimpinan Lembaga Negara, tokoh LSM, dan sebagainya. Fakta ini
memberikan ilustrasi bahwa penyelenggaraan organisasi pemerintahan / politik / militer
tidak terlepas dari peran dan pemikiran para alumni LAN.
Diluar hal-hal diatas, LAN juga telah menghasilkan banyak policy paper dan policy
recommendation pada berbagai bidang, melalui fungsi pengkajian dan penerbitan jurnal-
jurnal ilmiah maupun buku-buku. Konsep-konsep baru dalam konteks pengembangan
ilmu dan metodologi administrasi, maupun konsep-konsep pragmatis dalam rangka
menyikapi fenomena-fenomena aktual kontemporer, telah banyak digagas dan
dikembangkan oleh LAN melalui fungsi-fungsi kajian, penelitian, asistensi, dan
konsultasi. Konsep-konsep tadi antara lain meliputi manajemen kinerja, organisasi
berbasis kinerja, budaya kerja, model-model penataan kelembagaan, dan sebagainya.
Keberadaan berbagai konsep tadi diharapkan dapat berfungsi menjadi software
(perangkat lunak) untuk memacu efektivitas dan efisiensi siklus penyelenggaraan
pemerintahan di suatu unit organisasi.
Meskipun kinerja LAN dapat dinilai cukup baik sebagaimana diuraikan diatas, namun
tentu saja masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dapat ditemukan, baik dalam
hal mekanisme kerja atau output/outcomes yang ingin dicapai. Salah satu kritik
konstruktif datang dari ADB (2004) dalam publikasi berjudul Country Governance
Assessment Report, Republic of Indonesia. Beberapa hal yang masih lemah dalam sistem
administrasi dan kepegawai di Indonesia menurut ADB, adalah:
• National system of administration and the civil service system are not
conducive to good governance.
• At present, operational planning, manpower planning, development planning,
and budgeting take place independently of one another.
• Central institutions emphasize adherence to regulations rather than
performance.
5
• There is no mechanism for the transfer of staff to or between regions. Such a
mechanism is urgently needed because of the large disparities in staff levels
between regions, and excessive staffing in national government offices.
• The civil service system is a career system not focused on professionalism
and performance.
• Civil service position are not professionally classified, there are no
requirements for position-holders to have skills matching the tasks.
• Regions have more autonomy to organize themselves, but they have been
provided with a model that is too limited.
• Many irregularities in data were found during the transfer of personnel to the
regions.
• Indonesia has a poor track record in functional training programs supported
by funding agencies.
Tentu saja, kritik yang disampaikan oleh ADB diatas bukan hanya dimaksudkan untuk
LAN semata, namun juga institusi pemerintah lainnya pada rumpun PAN, yakni Kantor
Menpan, BKN, BPKP, bahkan dalam hal tertentu juga menyangkut Depdagri. Meskipun
demikian, kritik tadi sangat baik untuk dijadikan sebagai cermin dalam membenahi
sistem administrasi negara yang memang masih belum ideal. Dan sebagai wujud otokritik
untuk menemukan strategi yang lebih tepat bagi LAN dalam menjalankan Tupoksinya
dimasa mendatang, paparan dibawah ini akan mengelaborasi lebih detail berbagai kondisi
dan permasalahan LAN.
LAN Ditengah Problema Internal
Kinerja kelembagaan LAN memiliki korelasi yang erat dengan faktor internal organisasi.
Artinya, kekuatan (strength) atau kelemahan (weakness) sumber daya internal akan
sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya atau baik buruknya kinerja dan citra LAN
sebagai sebuah institusi pemikir strategis di bidang administrasi negara. Itulah sebabnya,
identifikasi terhadap kelemahan, keterbatasan dan/atau berbagai kekurangan, perlu
dilakukan secara cermat. Hal ini dimaksudkan agar terhadap permasalahan atau
kekurangan yang ada, dapat dikelola dan ditransformasi menjadi faktor kekuatan. Adapun
beberapa problema internal yang masih sering dihadapi LAN meliputi hal-hal sebagai
berikut:
• Peran kepemimpinan LAN secara institusional dalam proses transformasi sistem
pemerintahan dan sistem administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dirasakan masih belum optimal. Berbagai kajian dan rumusan saran kebijakan
reformasi administrasi Negara yang dihasilkan oleh LAN dalam kurun waktu lima
tahun terakhir, tampaknya masih belum mampu memberikan inspirasi yang signifikan,
baik secara substantif maupun instrumental bagi penyusunan dan penetapan rumusan
kebijakan transformasi administrasi pemerintahan di Indonesia. Sebaliknya, LAN
tampak seperti “tertinggal” atau bahkan “ditinggalkan” sendiri dalam dinamika
reformasi nasional tersebut. Lebih parah lagi, LAN dewasa ini tampaknya
“kehilangan identitas” sebagai lembaga “think-tank” bagi para pengambil kebijakan
dilingkungan pemerintahan, khususnya bagi lembaga kepresidenan.
6
• Produk kajian dan pengembangan, serta perumusan kebijakan nasional tertentu di
bidang administrasi negara, cenderung masih terbatas kepada hal-hal yang berkaitan
dengan fungsi-fungsi eksekutif. Itupun juga masih terbatas pada aspek-aspek
kelembagaan, kewenangan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia. Sedangkan
aspek-aspek kebijakan yang bersifat substantif fungsional dalam berbagai bidang dan
sektor pemerintahan masih belum tersentuh oleh kompetensi dan kapasitas
kelembagaan LAN.
• Program yang dikembangkan oleh unit-unit Diklat, Litbang dan STIA kurang terpadu
satu sama lain bahkan terkadang duplikasi satu sama lain. Program-program Litbang
tidak mendapat dukungan dari program Diklat begitu pula sebaliknya. Benturan dan
duplikasi tadi antara lain muncul karena: 1) pembagian kewenangan yang tidak jelas
sehingga menimbulkan duplikasi pekerjaan antar satuan kerja; 2) intensitas pekerjaan
yang tidak merata baik antara pusat dan daerah maupun antara unit yang satu dengan
unit yang lain; 3) sumber daya manusia yang kualitas dan kuantitasnya tidak merata,
pekerjaan sering terkonsentrasi pada individu/pegawai tertentu saja. Akibatnya,
pendistribusian pekerjaan tidak bisa dilakukan secara merata, dan kalaupun
dipaksakan merata maka pekerjaan tidak bisa terselesaikan dengan target-target yang
telah ditetapkan; 4) perencanaan yang belum memiliki arah yang jelas sehingga unit
kerja menafsirkannya sendiri bahkan terkadang tidak lagi mengacu kepada sandaran
yang ada tapi pada kebutuhan dan perkembangan di lapangan yang kadang hanya
bersifat sesaat saja; 5) masih adanya ego unit dan ego individual; serta 6) tidak
adanya jaminan untuk dapat terfokus untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
• Selain permasalahan duplikasi tadi, dalam dataran pelaksanaan, benturan jadwal
kegiatan sering tidak bisa dihindari, akibat penumpukan pekerjaan yang tidak
didukung oleh sumber daya manusia yang memadai baik secara kualitas maupun
kuantitas. Duplikasi program tadi, ironisnya, terjadi juga antar lembaga-lembaga di
rumpun PAN (Kantor Menpan, LAN, BKN), bahkan juga dengan Depdagri.
• Permasalahan yang sering ditemui juga berkaitan dengan kurang terinternalisasinya
visi bersama (shared vision) di seluruh jajaran pimpinan dan staf serta antar unit kerja.
Pada saat yang bersamaan, terjadi proses melemahnya / lunturnya pemahaman dan
internalisasi nilai-nilai normatif khas LAN menurut Motto Makarti Bhakti Nagari
maupun motto Prestasi, Dedikasi, dan Partisipasi. Akibatnya, kohesivitas dan
sinergitas antar unit kerja baik secara vertikal, horisontal, maupun diagonal melemah
dan berkembang pola hubungan kerja dan prosedur kerja birokratis, hierarkhis,
formalitas dsb.
• Di bidang kelembagaan, fakta masih menunjukkan masih kurang seimbangnya
struktur organisasi dengan beban kerja berdasarkan Tupoksi dan daya jangkau
terhadap kelembagaan pemerintahan di Pusat maupun di Daerah. Akibatnya,
representasi kompetensi kelembagaan LAN dalam momentum lintas sektoral dan
lintas stakeholders masih lemah. Hal ini diperparah dengan fakta masih lemahnya
sistem informasi manajemen serta ketersediaan data base kondisi lingkungan strategis,
program diklat maupun stakeholders, serta masih lemahnya pembinaan hubungan
kerja atau Human and Public Relationship dalam suatu jejaring kerja dengan para
alumni diklat., maupun dengan berbagai unsur pimpinan lembaga pemerintahan
secara lintas sektoral.
7
• Sistem perencanaan program kerja jangka lima tahunan dan tahunan kurang terpola
secara jelas, sehingga menghasilkan perencanaan yang lemah. Kondisi ini menjadi
semakin terasa karena kurangnya komitmen dan konsistensi terhadap hasil
perencanaan, serta lemahnya koordinasi dalam penyusunan perencanaan program
antar unit/satker hingga tahap pelaksanaannya. Fenomena yang sering muncul adalah
penyusunan perencanaan secara mendadak, sering berubah-ubah, serta berdasarkan
pada format yang berbeda-beda. Akibat dari sistem perencanaan yang lemah ini dapat
dirasakan pada tiga bentuk, yaitu: 1) ukuran tingkat capaian kinerja program menjadi
tidak jelas; 2) keterkaitan antar program tidak jelas; serta 3) peran dan kinerja
organisasi menjadi tidak jelas.
• Kapasitas SDM internal masih relatif kurang optimal jika dikaitkan dengan beban
kerja. Sebagai instansi pembina diklat, misalnya, LAN bertanggung jawab terhadap
lembaga-lembaga diklat di 33 Provinsi, sebagian Kabupaten/Kota, dan badan-badan
atau balai-balai diklat Departemen/LPND. Sementara di bidang kajian, dinamika
kehidupan berbangsa pada skala lokal, nasional, dan global, tidak mungkin dapat
diikuti secara cepat melalui perumusan program-program kajian, asistensi, maupun
konsultasi. Dengan rasio (perbandingan) yang kurang ideal antara sumber daya
internal dengan dinamika eksternal tersebut, maka dapat dipahami jika pembenahan
sistem administrasi negara menjadi kurang optimal pula. Dalam kaitan ini, salah satu
strategi yang dapat dikembangkan adalah penguatan organisasi (institutional
strengthening) LAN yang dikaitkan dengan strategi kewilayahan.
• Dalam bidang kediklatan, meski berstatus sebagai instansi pembina, harus diakui
bahwa LAN masih dihadapkan pada berbagai problematika yang sistemik. Beberapa
hal yang bisa diidentifikasi antara lain: 1) Kompetensi SDM Diklat yang masih
kurang karena belum adanya standar kompetensi widyaiswara dan pengelola diklat,
serta belum adanya sistem akreditasi dan sertifikasi widyaiswara dan pengelola diklat;
2) Program diklat yang kurang efektif karena tidak dilakukakan analisis kebutuhan
diklat secara matang, penyusunan program diklat yang tidak berdasarkan standar
kompetensi (competence-based training), serta belum adanya akreditasi dan
sertifikasi program diklat; 3) Daya dukung kelembagaan diklat yang masih kurang,
yang diindikasikan oleh fakta belum ada standar kelembagaan diklat berdasarkan
tipologi, sistem akreditasi dan sertifikasi lembaga diklat yang kurang jelas, serta
evaluasi terhadap ”kelembagaan” diklat terakreditasi yang belum berjalan dengan
baik dan konsisten; 4) Mekanisme pembinaan dan koordinasi belum berjalan dengan
baik karena tidak adanya standar mekanisme koordinasi, serta pembagian peran antar
lembaga penyelenggara diklat, antara lembaga diklat dengan instansi pembina, dan
antara satker di lingkungan instansi pembina yang kurang jelas; 5) Sistem diklat yang
tidak connect/inline dengan sistem pengembangan karir, karena kurang jelasnya pola
pengembangan karir berdasarkan diklat. Contoh konkrit adalah Diklatpim yang lebih
diperuntukan bagi ”persyaratan” jabatan bukan pemenuhan kompetensi.
• Di sisi lain, keberfungsian LAN yang sangat dominan dalam pembinaan dan/atau
penyelenggaraan Diklat Aparatur, khususnya Diklat Kepemimpinan, juga masih
dipertanyakan berbagai pihak yang terkait dengan pendayagunaan para lulusan
berbagai program diklat termaksud. Kapasitas LAN dalam penyelenggaraan dan/atau
pembinaan Diklat seperti dalam proses akreditasi Lembaga Diklat, Evaluasi Program
dan Paska Program Diklat, maupun Pembinaan Kewidyaiswaraan hingga dewasa ini
8
juga masih sering terkendala oleh berbagai keterbatasan kompetensi kelembagaan
maupun SDM yang ada.
• Keberadaan STIA-LAN sebagai lembaga pendidikan bergelar / berjenjang juga tidak
luput dari persoalan pelik. Jika berbagai persoalan ini tidak diatasi secara tuntas,
maka upaya membangun SDM aparatur yang profesional dan berkinerja tinggi, secara
otomatis akan menjadi terhambat. Diantara permasalahan yang menuntut pemikiran
serius di lingkungan STIA-LAN adalah: belum semua kampus STIA mempunyai
unsur pelaksana akademik, kurikulum STIA belum sepenuhnya berorientasi pada
kebutuhan dan tantangan perubahan, koordinasi berkala belum terlaksana dengan baik,
Pusat PPM sebagai salah satu perwujudan fungsi pokok perguruan tinggi belum
berfungsi optimal, keterikatan dengan alumni STIA relatif lemah, kurangnya
networking dengan perguruan tinggi lain, belum jelasnya analisis kebutuhan
pengembangan pegawai, serta sentralisasi program pengembangan SDM.
LAN Ditengah Perubahan dan Tantangan Besar
Sebagai lembaga pemerintah yang berfungsi sebagai perumus kebijakan dan konseptor
reformasi administrasi, LAN jelas tidak bergerak di ruang hampa. LAN merupakan satu
komponen kecil dari sistem kehidupan antar negara, antar lembaga, dan antar kelompok
masyarakat yang saling berinteraksi dan saling bergantung. Untuk itu, LAN dituntut
memiliki kemampuan mengelola perubahan sekaligus kemampuan menjawab berbagai
tantangan yang menyertai perubahan tersebut.
Beberapa perubahan besar yang dihadapi LAN antara lain dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
• Proses Amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali yang memungkinkan
terselenggaranya sistem Pemilu yang jauh lebih demokratis berdasarkan sistem multi
partai pada Pemilu Legislatif, serta Pemilihan Umum Langsung Presiden / Wakil
Presiden RI dan Pemilihan Langsung Kepala Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota.
Secara fundamental, hal ini telah merubah sistem dan tatanan demokrasi lama model
Orde Baru menjadi tatanan baru yang memberi tempat lebih luas bagi tumbuhnya
partisipasi langsung masyarakat (direct democracy), tanpa mengabaikan sistem
perwakilan (democracy by representation) yang sudah eksis sebelumnya.
• Kelembagaan negara juga berubah secara drastis seiring dengan Amandemen UUD
1945. Sistem parlementaria yang berkamar tunggal berubah menjadi bikameral (DPR
dan DPD), bahkan trikameral (ditambah dengan MPR sebagai ”kamar” ketiga).
Kekuasaan yudikatif juga berubah dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi dan Komisi
Yudisial. Sementara di lingkungan eksekutif, muncul banyak sekali ”lembaga negara”
non struktural berbentuk Dewan, Komisi, atau Badan independen.
• Perubahan pada dimensi suprastruktur tadi juga diikuti dengan perubahan pada
dimensi infrastruktur politik. Proses demokrasi yang sebelumnya berbasis pada
prinsip simplifikasi kepartaian, berubah total menjadi sistem multi partai. Secara
langsung, kondisi ini berdampak pada komposisi keanggotaan legislatif yang
bercorak ”pelangi”. Dan kefraksian yang sangat beragam di tubuh legislatif inilah
yang menjadi salah satu pemicu munculnya kebiasaan membentuk kabinet koalisi
9
yang rapuh. Hak prerogatif Presiden untuk mengangkat para pembantunya menjadi
kabur atau melemah akibat dari menguatnya pengaruh sistem kepartaian. Pada saat
yang bersamaan – meski tidak ada landasan yuridisnya – sistem kepartaian
sekonyong-konyong terbagi menjadi dua kelompok besar (dikotomi), yakni antara
partai pemerintah (governing parties) dan partai oposisi (non-governing parties).
Uniknya lagi, parpol seolah-olah memiliki hak untuk sewaktu-waktu menentukan
pilihan apakah menjadi bagian dari partai pemerintah atau partai oposisi.
• Dengan adanya perubahan suprastruktur dan infrastruktur politik tadi, sistem
pemerintahan presidensial tidak dapat berjalan secara konsisten dan konsekuen.
Padahal, desain konstitusional (amandemen UUD 1945) sesungguhnya lebih
memperkokoh sistem Presidensial, yakni melalui mekanisme Pilpres secara langsung
oleh rakyat (Pasal 6A) dan menjabat untuk waktu yang telah ditetapkan (Pasal 7).
Kondisi ini juga tercerminkan hingga birokrasi yang paling bawah, dimana bukan
hanya dalam hal pengangkatan Kepala Daerah saja, pengangkatan seseorang pada
jabatan karir seperti Sekretaris Daerah juga sering diwarnai dengan kepentingan-
kepentingan tertentu. Dengan kata lain, netralitas birokrasi menjadi dipertanyakan.
• Desentralisasi luas yang diintroduksi sejak 1999 telah merangsang kelahiran daerah-
daerah otonom baru, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Pada level yang lebih
rendah, hal tersebut berimplikasi terhadap bertambahnya unit-unit organisasi
pemerintahan seperti kecamatan, kelurahan, dan desa. Dengan kata lain, struktur
kelembagaan pemerintahan menjadi membesar di tingkat daerah, sebagai implikasi
logis desentralisasi secara luas. Selain itu, otonomi luas juga membawa transformasi
sumber daya secara massive dari Pusat ke Daerah dalam bentuk transfer kewenangan,
SDM pegawai, sumber keuangan / pembiayaan, serta asset / kekayaan pemerintah.
• Pada tataran global, integrasi dan disintegrasi negara bangsa (nation state) muncul
dengan variasinya masing-masing. Negara Eropa Timur seperti Rusia, Cekoslovakia
dan Yugoslavia ”memilih” jalan pemisahan diri (separatisme) untuk mendirikan
negara-negara kecil yang otonom. Sedangkan negara Eropa Barat seperti Jerman
Barat dan Jerman Timur memilih melebur menjadi kesatuan dalam wadah Republik
Federal Jerman. Gejala disintegrasi juga sudah terjadi di Indonesia dengan
merdekanya Timor Timur serta lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan
Malaysia. Diluar kasus itu, gerakan laten di Aceh, Maluku dan Papua juga masih
terus menuntut pemisahan diri dari NKRI.
• Pada saat bersamaan, kecenderungan perkembangan kemajuan teknologi informatika
dan telekomunikasi serta globalisasi ekonomi telah mendorong berkembangnya apa
yang oleh FW Riggs (2004) disebut sebagai “the Global Public Administration”, yang
pada gilirannya mengikat sistem administrasi negara di Indonesia maupun negara
lainnya di berbagai belahan dunia, untuk tunduk pada berbagai ketentuan protokol
internasional di berbagai bidang dalam kerangka perwujudan kepentingan asasi
masyarakat global.
Seluruh perubahan yang terjadi tersebut – khususnya pada level nasional – adalah sebuah
perubahan yang direncanakan dan diarahkan pada terwujudnya tata kepemerintahan yang
baik, bersih dan bebas KKN. Tentu saja, LAN menempati posisi sentral sebagai penjaga
dan pengaman kebijakan dan konsep reformasi administrasi. Hal ini mengandung
10
pemahaman bahwa LAN harus memiliki konsep akademik dan konsep kebijakan dalam
mengantisipasi dan merencanakan sebuah perubahan, sekaligus konsep akademik dan
kebijakan dalam mengelola setiap perubahan yang sedang dan/atau akan berlangsung.
Adapun tantangan besar administrasi negara yang dihadapi LAN antara lain dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
• Proses demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia tidak segera memasuki fase
konsolidasi yang mantap. Hal ini nampak dari sering berubah-ubahnya aturan main
(rule of the game) dan format kelembagaan politik. Rivalitas antar pelaku dan partai
politik sering terjadi secara tidak elegant, atau praktek-praktek suap, gratifikasi, dan
bentuk-bentuk KKN yang lain, juga masih cukup menggejala dalam kehidupan
berpolitik kita. Dengan kata lain, demokrasi Indonesia yang ideal masih terus mencari
bentuknya. Dalam hubungan ini, sistem konstitusi NKRI nampaknya juga masih
mencari bentuknya. Hal ini terlihat dari adanya keinginan sebagian komponen bangsa
untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
• Kesenjangan pembangunan antar wilayah masih sangat terasa antara Jawa dengan
luar Jawa, atau antara Indonesia bagian Barat dengan kawasan Timur. wilayah KTI
(Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua) seluas 67,91% dari total
wilayah Indonesia, namun hanya dihuni hanya sekitar 20% penduduk Indonesia.
Kondisi ini jelas sekali menyiratkan ketimpangan distribusi sumber-sumber daya
pembangunan. Problematika pembangunan KTI ini semakin diperparah oleh fakta-
fakta seperti rendahnya dukungan politik dan kelembagaan, potensi konflik horisontal
dan vertikal, kualitas SDM yang relatif masih rendah, serta infrastruktur ekonomi
yang sangat minim.
• Masyarakat dan dunia usaha swasta hanya memiliki sedikit peran dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Kepuasan masyarakat masih relatif rendah,
sementara kepastian pelayanan dalam dimensi prosedur, biaya, persyaratan, dan mutu,
juga belum dapat diwujudkan. Hal ini antara lain disebabkan karena kewajiban moral
aparat pemerintah sebagai service provider dalam menetapkan Maklumat / Janji
Pelayanan juga belum dapat dipenuhi.
• Fakta tingginya angka pengangguran juga menjadi salah satu masalah klasik
pembangunan ekonomi di Indonesia. Data 2006 menunjukkan bahwa pengangguran
terbuka mencapai sekitar 10,4 persen dari total angkatan kerja, atau sebesar 106,3 juta
orang. Sementara penciptaan lapangan kerja baru hanya sebesar 2,1 juta, dan itupun
merupakan angka maksimal dari perkiraan (asumsi) pertumbuhan ekonomi pada
tahun 2007 yang sebesar 6,3 persen. Jika pertumbuhan ekonomi lebih rendah, maka
secara otomatis akan sangat sulit untuk menekan angka pengangguran tersebut.
Masalahnya akan lebih berat lagi dengan adanya penduduk setengah penganggur
yaitu yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu, yang jumlahnya saat ini mencapai
sekitar 12 juta orang (Bappenas, 2007). Ironisnya, kemampuan sektor jasa, industri,
manufaktur, dan lain-lain yang diharapkan dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak
pada tahun 2007 tidak terlalu bisa diandalkan karena terimbas oleh inflasi maupun
kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
• Seiring dengan tingginya angka pengangguran, jumlah penduduk miskin pada tahun
2007 diperkirakan akan mencapai 45,7 juta jiwa (Pusat penelitian Ekonomi LIPI,
11
2007). Proyeksi lain mengestimasi bahwa tahun 2007 angka kemiskinan di Indonesia
sebesar 17,75 persen dari total 222 juta penduduk (iNusantara Networks, 2007). Hal
ini sedikit berbeda dengan pengumuman resmi pemerintah yang mengatakan bahwa
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta
(16,58 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2006 yang
berjumlah 39,30 juta (17,75 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar
2,13 juta (BPS, 2007). Terlepas dari perbedaan data tersebut, yang pasti adalah bahwa
kemiskinan belum teratasi dan tetap menjadi salah satu masalah besar bangsa.
• Di bidang pembangunan hukum, tantangan yang masih sering ditemukan antara lain
adalah: 1) masih adanya peraturan hukum yang tersedia tidak lengkap dan tidak jelas
kaitan pengaturannya terhadap peristiwa konkrit tertentu; 2) lemahnya penegakan
hukum yang berimplikasi terhadap menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada
aparat penegak hukum; 3) adanya diskrimasi dan desain celah hukum (law hole)
dalam perumusan peraturan; 4) terciptanya mafia peradilan bagi masyarakat pencari
keadilan; 5) lambatnya penanganan perkara, dan 6) berbagai permasalahan klasik
dalam penegakan hukum yang diakibatkan lemahnya sistem pengawasan penegakan
hukum secara efektif yang melibatkan peran aktif seluruh komponen masyarakat
(social control).
• Kondisi sumber daya alam dan lingkungan juga terancam semakin terdegradasi. Pola
pemanfaatan lahan yang dilaksanakan cenderung mengarah kepada aspek ekonomi
tanpa mempertimbangkan aspek ekologi. Kerusakan lingkungan pada gilirannya
menyebabkan fungsi hutan tidak lagi optimal. Sistem hidrologi menjadi berubah,
banjir yang diikuti oleh terjadinya erosi dan longsor, menimbulkan kerugian fisik,
ekonomi, sosial, dan psikologis yang teramat besar. Sebagai ilustrasi, Hingga saat ini
hutan di Indonesia mengalami penyusutan hampir mencapai kurang lebih 65 juta
hektare. Sejak 1996 Indonesia telah kehilangan hutan mencapai angka 2 juta hektar
per tahun atau sama dengan enam kali lapangan bola setiap menitnya (Lobja, 2007).
Ironisnya, kerusakan lingkungan bukan hanya terjadi di sektor kehutanan melalui
aktivitas illegal logging atau kasus-kasus kebakaran, tetapi juga pada sektor DAS
(daerah aliran sungai), areal tambang, sumber daya hayati (flora dan fauna), dsb.
• Korupsi telah menjadi penyakit yang menggerogoti daya tahan dan memperlemah
daya saing bangsa. Munculnya berbagai kasus korupsi sendiri, selain disebabkan oleh
praktek penyimpangan yang terlanjur “membudaya”, juga karena ada struktur yang
membiarkan praktek korupsi merajalela, yang kemudian menimbulkan budaya
koruptif. Hal inilah yang sering disebut orang sebagai “Republik Dracula”, yaitu
segala struktur di dalam republik yang menjadi para penghisap darah yang
menggerogoti habis segala sendi-sendi dalam negara tersebut (MTI, 1999). Meskipun
sudah agak membaik, namun data CPI (Index Persepsi Korupsi) 2006 menunjukkan
bahwa Indonesia masih berada dibawah Philipina, Sri Lanka, India, China, Thailand
dan Malaysia. CPI Indonesia masih lebih baik dibanding Papua Nugini, Pakistan,
Kamboja, Bangladesh, dan Myanmar (Hardjapamekas, 2007). Sayangnya, kinerja
pemberantasan korupsi yang dikomandani oleh KPK masih sangat lemah. Potensi
pengembalian kerugian negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu putusan terhadap uang/barang rampasan, uang
pengganti, dan denda, “hanya” sebesar Rp. 27.750.057.426. Dari jumlah tersebut,
yang telah berhasil disetor ke Kas Negara “hanya” sebesar Rp. 12.771.271.205 (KPK,
12
Laporan Tahunan 2006). Hal ini menyiratkan bahwa agenda pemberantasan korupsi
di Indonesia masih belum cukup menjanjikan untuk membentuk sosok
kepemerintahan yang benar-benar bersih dan berwibawa.
• Tidak kalah dengan tantangan besar lainnya, masalah etika penyelenggaraan negara
yang lemah juga menjadi problematika klasik di Indonesia. Dalam hal ini, Eep
Saefullah Fatah (2007) menyebutkan beberapa daftar persoalan tentang etika, yakni:
1) kita mewarisi kerusakan infrastruktur etika bernegara; 2) agenda pembentukan
kembali infrastruktur etika bernegara terbengkalai selama 9 tahun terakhir; 3)
absennya infrastruktur etika bernegara melemahkan praktik good governance dalam
beberapa aspek seperti political and bureaucratic accountability, freedom of
association and participation, fairand reliable judicial system, effective and efficient
public sector management. Dalam perspektif kedepan, dimensi etika dalam
penyelenggaran negara ini perlu lebih ditonjolkan untuk mengurangi keterlibatan para
pejabat negara dan pejabat pemerintahan dari praktek-praktek kotor yang tidak terpuji.
Keseluruhan fakta dan fenomena global diatas, secara umum telah berdampak pada
perubahan sistem dan praktek penyelenggaraan pemerintahan negara sebagai satu
kesatuan sistem administrasi negara yang berlaku di dalam kerangka NKRI paska
pemerintahan Orde Baru. Kondisi ini sesungguhnya merupakan faktor pendorong dan
sekaligus peluang yang sangat strategis bagi LAN untuk memantapkan dan meningkatkan
eksistensi, keberfungsian, dan peranannya sebagai lembaga fungsional di bidang
perumusan kebijakan, pengkajian dan pengembangan sistem administrasi negara, serta
pendayagunaan aparatur, khususnya di bidang pendidikan dan pelatihan bagi PNS.
Implikasinya, berbagai tantangan besar tadi secara kasat mata berada dihadapan LAN dan
menuntut jawaban yang cepat dan akurat berisi strategi, langkah-langkah dan agenda
pembenahan sistem administrasi negara baru yang mampu mengantisipasi sekaligus
mengatasi tantangan-tantangan besar yang ada. Tentu saja, dalam upaya turut mengurai
permasalahan dan tantangan yang ada secara sistematis, LAN tetap tetap berpijak pada
peraturan pembentukannya serta dalam koridor Tupoksinya. Dengan kata lain, LAN
bukanlah pelaku tunggal (single actor) yang bertanggungjawab terhadap keseluruhan
problematika nasional yang ada, melainkan menjadi bagian integral dari lembaga-
lembaga negara dan aktor lainnya untuk memainkan peran sebagai problem solver yang
komprehensif, sinergis dan kohesif.
LAN Diantara Landasan Filosofis Berbangsa dan Dinamika / Wacana Kritis
Perubahan-perubahan dan tantangan besar administrasi negara kedepan, pada dasarnya
merupakan issu-issu aktual dan sering muncul sebagai wacana kritis kehidupan berbangsa
dan bernegara. Issu-issu dan wacana inilah yang diharapkan dapat diolah dan diproses
oleh LAN menjadi formulasi-formulasi kebijakan, strategi manajemen, dan konsep-
konsep, ataupun modul, toolkit, dan bahan ajar dalam kerangka besar program reformasi
administrasi negara. Dengan demikian nampak bahwa LAN semestinya lebih banyak
bergerak di tataran dinamis / operasional kebijakan.
Dalam mengolah issu-issu maupun wacana dinamis tersebut, tentu LAN memiliki pijakan
berupa landasan filosofis. Landasan filosofis disini dimaksudkan sebagai sebuah
13
komitmen dan konsensus dasar dalam pembentukan negara bangsa (nation state), yang
secara konkrit misalnya berwujud Tujuan Negara, atau suasana kebatinan (gleistlichen
hintergrund) bangsa Indonesia ketika merumuskan konsenses bersama di awal masa-
masa kemerdekaan. Landasan filosofis tadi bisa juga berupa nilai-nilai universal yang
diakomodasikan secara legal formal kedalam norma-norma konstitusi (UUD 1945).
LAN Diantara Pelaksanaan Tupoksi dan Pencapaian Tujuan Negara
LAN adalah salah satu lembaga yang seharusnya mampu berperan aktif dalam proses
transformasi sistem administrasi Negara menuju terciptanya kepemerintahan yang baik
(good governance), guna mendorong percepatan peningkatan daya saing nasional. Hal ini
sesuai dengan tugas pokok LAN berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9
tahun 2004 dan Keppres Nomor 11 tahun 2004, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 2005, yaitu: “…melaksanakan tugas pemerintahan
di bidang administrasi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, LAN memiliki fungsi-fungsi sbb:
• Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional tertentu bidang administrasi negara;
• Pengkajian kinerja kelembagaan dan sumber daya aparatur dalam rangka
pembangunan administrasi negara dan peningkatan kualitas sumber daya aparatur;
• Pengkajian dan pengembangan manajemen kebijakan dan pelayanan di bidang
pembangunan administrasi negara;
• Penelitian dan pengembangan administrasi pembangunan dan otomasi administrasi
negara;
• Pembinaan dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan aparatur negara;
• Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas LAN;
• Fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang administrasi
negara; dan
• Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian,
keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan, dan rumah tangga.
Melihat rumusan tugas pokok dan fungsi LAN diatas, dapat dibayangkan betapa luasnya
cakupan tugas LAN. Berdasarkan Tupoksi diatas, maka tugas LAN menjangkau seluruh
sektor pemerintahan dan/atau pembangunan, sepanjang berkenaan dengan aspek
administrasi negara. Hal ini sesuai dengan pengertian “Administrasi Negara”, yakni
administrasi yang mendukung penyelenggaraan tugas / fungsi negara (pemerintah dalam
arti luas). Dalam bahasa lain, seluruh instansi / lembaga pemerintahan sesungguhnya
mempraktekkan fungsi dan aktivitas administrasi (negara).
Atas dasar pemahaman seperti itu, maka seluruh sumber daya LAN termasuk program
dan kegiatan lembaga, harus diarahkan sebesar-besarnya pada upaya mewujudkan tujuan
negara. Tujuan Negara sendiri dapat diwujudkan jika terdapat jaminan bahwa tujuan
pembentukan Lembaga Negara, Departemen/LPND, BUMN, Pemerintahan Daerah, serta
lembaga-lembaga lainnya, dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa setiap lembaga memiliki
tanggung jawab dan kontribusi untuk turut mewujudkan tujuan negara, sebatas pada tugas
pokok dan fungsi yang dibebankan kepada lembaga tersebut. Peran LAN sendiri adalah
14
membenahi sistem administrasi negara yang kondusif dan menjadi landasan yang kokoh
bagi setiap lembaga publik untuk dapat mewujudkan tujuannya masing-masing.
Sementara itu dilingkup internal, LAN hanya akan mampu membangun sistem
administrasi negara makro yang kondusif jika satuan-satuan kerja yang ada dapat
membangun kinerjanya secara optimal. Dengan kata lain, satuan kerja internal LAN
seperti Kedeputian, STIA-LAN, PKP2A, dan Sekretariat Utama, secara langsung harus
mendukung dan/atau berkontribusi terhadap kinerja institusi LAN, dan secara tidak
langsung berkontribusi terhadap program reformasi administrasi negara secara umum.
Dalam lingkaran yang lebih mikro, satuan kerja internal LAN hanya dapat unjuk kinerja
optimal jika perumusan program dan kegiatan direncanakan dengan seksama, matang,
antisipatif (mengakomodasi kemungkinan perubahan dan bervisi kedepan), integratif
(memiliki korelasi positif dengan program di sektor/unit lain, atau program pada waktu
yang berbeda), dan komprehensif (mempertimbangkan semua faktor / aspek / dimensi).
Sebaliknya, jika program dan kegiatan tidak terencana dengan baik, maka cita-cita
membangun kinerja lembaga (institutional performance), atau mimpi mewujudkan
birokrasi yang handal dan profesional, serta harapan mewujudkan tujuan negara, hanya
akan menjadi sesuatu yang kosong dan tidak bermakna.
Oleh karena itu, reformasi administrasi negara secara sistemik dalam mewujudkan tujuan
negara harus dibarengi dengan pembenahan kelembagaan negara (state institutional
reform), yang selanjutnya diikuti dengan penguatan kelembagaan LAN (LAN
institutional strengthening). Konsep inilah yang dimaksudkan ssebagai orbit LAN dalam
konteks merealisasikan tujuan negara. Artinya, LAN harus berputar (menjalankan
aktivitas) mengikuti garis orbit yang telah tertentu, dengan pusat orbitnya yaitu tujuan
negara. Jika LAN berjalan menyimpang dari garis orbitnya, apalagi keluar orbit (offline),
maka tujuan negara akan tetap menjadi sebuah idealita atau retorika. Selanjutnya, untuk
dapat berhasil menjalankan program penguatan kelembagaan (internal), Tupoksi LAN
harus menjadi pusat orbit atas seluruh program dan kegiatan yang
dirumuskan. Dalam bentuk model, garis orbit LAN
dalam mewujudkan tujuan negara dapat
disederhanakan dalam Gambar sbb:
15
Gambar 1. Garis Orbit LAN Dalam Mewujudkan Tujuan Negara
REFORMASI LAN for REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA Dimensi Reformasi Administrasi Negara
Sebagaimana kritik ADB, sistem administrasi negara di Indonesia memiliki banyak
kelemahan. Persepsi banyak kalangan, termasuk pernyataan mantan Presiden Megawati
bahwa birokrasi kita ibarat keranjang sampah, juga mengilustrasikan bahwa aparatur
negara di Indonesia masih carut marut dan kurang profesional. Terhadap kondisi tersebut,
reformasi administrasi, reformasi birokrasi, reformasi pemerintahan, atau istilah-istilah
yang merujuk kepada pengertian yang serupa, adalah jawaban dan pilihan yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi. Namun faktanya, merumuskan program reformasi birokrasi
ibarat mengurai benang kusut. Berbagai konsep reformasi disusun, dan berbagai lembaga
negara dengan fungsi melakukan reformasi dibentuk, namun birokrasi yang bersih,
berwibawa, dan profesional tidak kunjung datang. Nampaknya ada sesuatu yang salah
dengan program besar reformasi tadi. Terdapat semacam mis-orientasi, dari mana harus
memulai langkah reformasi, dan strategi apa yang harus dipilih untuk mengeksekusi
program reformasi nasional tersebut.
Mengingat fenomena tersebut, maka perlu adanya semacam cetak biru (blue print)
tentang reformasi administrasi negara yang lengkap dan komprehensif, mudah
diaplikasikan, terinci, serta disepakati dan/atau didukung oleh seluruh pihak / stakeholder
terkait. Sebab, sebagaimana dikemukakan oleh Mustopadidjaja (2000), kegagalan dalam
mengembangkan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan
merupakan salah satu penyebab krisis nasional di Indonesia pada akhir abad 20.
Dalam rangka lebih memperjelas tentang cakupan dan substansi reformasi sektor publik,
maka langkah pertama yang perlu disepakati adalah tingkatan atau cakupan dari
reformasi sektor publik itu sendiri. Artinya, untuk memudahkan dalam membuat agenda
kebutuhan reformasi, maka kita dapat menggolongkan reformasi tersebut menjadi 3 (tiga)
kelompok atau tingkatan sebagai berikut:
1. Governance Reform (Reformasi Tata Kepemerintahan).
Reformasi pada kelompok ini merupakan program yang sifatnya makro dan
mencakup berbagai dimensi dan berbagai cabang kekuasaan (Trias Politika).
Beberapa cakupan dari governance reform ini antara lain reformasi konstitusional
(Amandemen UUD 1945) termasuk peraturan perundang-undangan yang
menjabarkannya (regulatory reform); pembenahan dunia peradilan menyangkut
sistem hukum, struktur hukum dan budaya hukum; pemberantasan korupsi dan
berbagai moda KKN lainnya; reformasi kepolitikan nasional seperti sistem Pemilu,
susunan dan kedudukan lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD);
penyempurnaan demokrasi melalui Pilkada, dan sebagainya.
16
2. Administrative Reform (Reformasi Birokrasi).
Reformasi administratif disini merupakan sinonim dari reformasi birokrasi. Makna
birokrasi sendiri identik dengan aparatur pemerintahan pada cabang kekuasaan
eksekutif. Dengan demikian, reformasi birokrasi atau administrative reform
merupakan bagian dari reformasi tata kepemerintahan (governance reform).
Reformasi birokrasi ini antara lain meliputi pembaharuan manajemen kebijakan
publik, penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan, kapasitas finansial dan
manajemen keuangan, sistem perencanaan dan pengawasan pembangunan, sistem
akuntabilitas dan transparansi informasi (information disclosure), peningkatan
kualitas pelayanan publik, dan sebagainya.
3. Civil Service Reform (Reformasi Kepegawaian / SDM Aparatur).
Reformasi kepegawaian merupakan tingkatan terendah dengan cakupan (scope) yang
lebih sempit, yakni menyangkut dimensi-dimensi kepegawaian/personalia, sejak
tahapan awal hingga tahap akhir dari siklus manajemen kepegawaian. Dengan kata
lain, reformasi sistem kepegawaian ini berkaitan dengan aspek rekrutmen,
pengembangan pegawai, standarisasi kompetensi, kinerja individual, sistem karir,
pengembangan program kediklatan, gaji / insentif, pemensiunan, kesejahteraan
pegawai, dan sebagainya. Reformasi kepegawaian, dengan demikian, merupakan
bagian integral dari administrative reform dan governance reform.
Agenda Reformasi Administrasi Negara
Basis pemikiran yang dikembangkan dalam buku ini sesungguhnya sama dengan
kerangka kerja dan konsep RPJM Nasional mengenai penciptaan tata pemerintahan yang
bersih dan berwibawa. Permasalahan utama yang dihadapi adalah reformasi birokrasi
belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pelanggaran disiplin,
penyalahgunaan kewenangan dan masih banyaknya praktek KKN; rendahnya kinerja
sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan
ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum memadai; rendahnya efisiensi
dan efektifitas kerja; rendahnya kualitas pelayanan umum; rendahnya kesejahteraan PNS;
dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan, dan masih lemahnya pengawasan
terhadap kinerja aparatur negara, merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang
masih jauh dari harapan.
Atas dasar permasalahan inti diatas, maka reformasi administrasi negara yang dapat
diperankan oleh LAN harus bermuara pada terwujudnya sasaran berupa tata
pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang
diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta kapasitas
optimal dalam pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan
sasaran umum tersebut, maka beberapa sasaran khusus yang harus dapat dicapai meliputi
hal-hal sebagai berikut:
• Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan dimulai dari tataran
(jajaran) pejabat yang paling atas;
17
• Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih,
efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel;
• Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap warga
negara, kelompok, atau golongan masyarakat;
• Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;
• Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, dan tidak bertentangan
dengan peraturan dan perundangan di atasnya.
3 (Tiga) Agenda reformasi LAN
Terlepas dari segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi yang dimiliki, LAN masih memiliki peluang yang besar untuk berperan lebih
pro-aktif dan inovatif dalam proses reformasi sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara, baik di Pusat maupun di Daerah, dalam kerangka implementasi dan perwujudan
good and clean governance di Indonesia. Di samping itu, tuntutan masyarakat yang
semakin dinamis dan kritis terhadap kapasitas, kompetensi, maupun profesionalitas
aparatur negara dan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan publik; juga berimplikasi kepada keberfungsian LAN dalam pembinaan dan
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
Dalam rangka memenuhi panggilan tugas negara serta memenuhi harapan masyarakat
terhadap sosok administrasi negara yang bersih, modern, profesional, dan berkompeten
tinggi, maka 3 (tiga) ranah reformasi internal perlu dilaksanakan secara simultan, kohesif,
dan berkelanjutan, sehingga melahirkan efek penguatan (reinforcing) satu dengan lainnya.
Adapun ketiga dimensi reformasi LAN tersebut adalah sebagai berikut:
1. Restrukturisasi Kelembagaan LAN
Sebagai sebuah faktor input dalam mencapai tujuan lembaga, aspek kelembagaan
memegang peran yang sangat penting. Dalam hal ini, model/format kelembagaan
harus didesain sedemikian rupa agar tidak menjadi penghambat kreativitas dan
fleksibilitas pelaksanaan tupoksi lembaga. Hambatan yang dapat muncul dari desain
kelembagaan yang terlalu besar, kaku, dan ortodoks, misalnya koordinasi yang tidak
lancar mengalir, tersumbatnya alur komunikasi antar unit kerja atau antar pegawai,
keterlambatan penyelesaian program/kegiatan karena adanya berbagai red-tape,
distribusi tugas dan tanggungjawab pekerjaan yang kurang seimbang, alokasi sumber
daya yang tidak merata, dan sebagainya.
Mengingat hal-hal tersebut, maka desain kelembagaan yang mencakup dimensi
struktur, proses, maupun sistemnya, harus benar-benar memperhatikan prinsip-prinsip
normatif penataan organisasi, misalnya memiliki visi yang jelas dan terarah,
ramping/flat sesuai dengan beban kerja dan kebutuhan, memperkuat jabatan
fungsional secara variatif, mampu mengembangkan strategi learning organization
dan membangun jejaring organisasi (networking), mampu menyiapkan instrumen
sebagai pusat pengembangan knowleged institution, dan sebagainya.
2. Revitalisasi Sumber Daya LAN
18
Kebijakan restrukturisasi dalam rangka reposisi kelembagaan LAN dalam arus
perubahan lingkungan strategis diatas, perlu dibarengi atau ditindaklanjuti dengan
kebijakan dan program peningkatan kapasitas sumber daya aparatur LAN, baik
struktural, fungsional maupun staf umum dalam berbagai bidang kompetensi yang
relevan dengan berbagai aspek perkembangan lingkungan strategis. Hal ini
mengandung konsekuensi bahwa manajemen kepegawaian, manajemen keuangan,
manajemen asset, manajemen perencanaan dan monitoring di lingkungan LAN perlu
diperbaharui kembali agar menjadi lebih baik.
3. Reaktualisasi Peran LAN
Diantara ketiga aspek reformasi internal LAN diatas, aspek ke-3 merupakan aspek
pokok yang menjadi inti dari buku ini. Hal ini mengandung pengertian bahwa 2 (dua)
dimensi yang lain dianggap tetap (mutatis mutandis), dan diasumsikan masih cukup
efektif dan efisien untuk mendukung peran baru LAN mewujudkan reformasi
administrasi negara yang lebih berdayaguna dan berhasilguna. Alternatif lainnya,
penyempurnaan dimensi pertama dan kedua harus segera dirumuskan setelah peran-
peran LAN telah berhasil diaktualisasikan kembali. Dengan kata lain, program
reposisi / restrukturisasi kelembagaan dan revitalisasi sumber daya LAN merupakan
tahapan lebih lanjut dari tahap reformulasi peran lembaga.
PERAN LAN DALAM MENDORONG REFORMASI ADM. NEGARA
Sebagaimana diuraikan diatas, reformasi sektor publik terdiri dari 3 (tiga) tingkatan,
dengan cakupan (scope) dan isi (content) yang berbeda sesuai dengan tingkatannya.
Untuk dapat mewujudkan hasil yang optimal tentang sistem dan mekanisme
penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan negara, maka ketiga tingkatan
reformasi diatas perlu dilaksanakan secara paralel, simultan dan sinergis.
Prinsip ”lebih dahulu telor atau ayam” jelas tidak dapat dipergunakan. Reformasi
harus dimulau dan dilakukan secara serentak pada berbagai bidang dan berbagai lini,
berbagai lembaga dan departemen, oleh berbagai aktor, serta dengan berbagai
pendekatan. Inilah yang disebut sebagai reformasi yang holistik (holistic reform).
Dalam rangka mendorong bergulirnya reformasi yang holistik tersebut, peran LAN
cukup dominan. LAN harus memainkan peran untuk dapat menjamin berlangsungnya
roda reformasi pada ketiga tingkatan tersebut. Untuk itu, peran yang tepat akan
menentukan efektivitas hasil dari reformasi. Atas dasar pola pemikiran seperti ini,
maka beberapa peran LAN yang dapat dipertimbangkan meliputi peran-peran sbb:
1. Mengemban upaya-upaya dalam mewujudkan values (nilai-nilai yang
menghikmati kehidupan bangsa atau nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan
bangsa) seperti perjuangan mewujudkan jatidiri bangsa dan tujuan bangsa
bernegara.
19
2. Memperbaharui secara terus menerus sistem dan mekanisme kerja birokrasi
dalam rangka menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi sistem
administrasi negara dalam sebagian ataupun keseluruhan dimensinya (values,
structure, process, outputs).
3. Menciptakan lingkungan yang kondusif (enabling environment) bagi
berlangsungnya transformasi sistem administrasi negara menuju terciptanya
kepemerintahan yang baik (good governance), sehingga mampu mendorong
upaya percepatan peningkatan daya saing nasional dan perwujudan
kepemerintahan yang baik, bersih dan bebas KKN. Dengan kata lain, LAN
diharapkan akan memiliki wibawa dan pengaruh kepemimpinan institusional yang
kuat sebagai “inspirator” dan “generator” dalam proses reformasi dan
transformasi sistem administrasi negara di Indonesia.
4. Mendorong terbangunnya sebuah sistem, mekanisme, dan tata hubungan antar
lembaga negara dan lembaga pemerintahan yang lebih berbasis pada
keseimbangan dan saling bersinergi dalam pencapaian visi bersama
penyelenggaraan negara (presenting political equilibrium). Dalam kaitan ini,
peran tersebut harus diimbangi dengan pendidikan perilaku pejabat publik yang
lebih berpihak kepada kepentingan bangsa secara kolektif (controlling political
behavior).
5. Menjadi percontohan dalam implementasi manajemen pemerintahan di berbagai
bidang (modelling / piloting roles). Penerapan e-government (termasuk e-
procurement), anggaran berbasis kinerja, organisasi yang ramping dan efektif
(lean in structure and fit in function), pola karir yang menjamin profesionalisme
aparatur, budaya kerja, organisasi pembelajaran, dan berbagai bentuk best
practices manajemen pemerintahan membutuhkan lembaga tententu sebagai
model percontohan. Dan LAN-lah yang seharusnya memerankan peran
sebagai ”laboratorium kebijakan” tersebut. Dengan kata lain, LAN harus
memposisikan diri menjadi pionir pembaharuan administrasi negara (leading in
renewal of public management) melalui proses pengabdian sepenuh hati (totally-
devoting) dan pembelajaran terus menerus (continually-learning).
6. Memperkokoh ”peran-peran lama” (the genesis roles) dalam rangka memperkuat
kinerja kelembagaan LAN. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah
dengan penyelenggaraan kajian, konsultasi dan litbang administrasi yang lebih
berorientasi pada problem solving dan costumer satisfaction and needs-fulfillment.
Untuk dapat memenuhi orientasi tersebut, maka proses dan program kajian harus
berbasis pada kompetensi yang tinggi (competence-based research), baik
kompetensi kelembagaan, kompetensi tenaga peneliti, maupun kompetensi
produk kajian/litbang. Salah satu upaya yang dapat dipikirkan adalah dengan
menetapkan tahapan-tahapan capaian (milestones) dalam keseluruhan proses
kajian/litbang. Milestones tadi misalnya didahului oleh produk / laporan kajian,
kemudian ditransformasi menjadi agenda diklat atau pola pembelajaran tertentu
berwujud sylabus, modul, atau bahan ajar. Milestones ini perlu terus
ditransformasi dalam wujud-wujud yang lebih konkrit dan aplikatif hingga pada
tahapan peningkatan kapasitas SDM dan sistem penyelenggaraan pemerintahan.
20
7. Peran pada butir ke-6 perlu juga di-reinforcing dengan perombakan sistem
kediklatan dengan penguatan kompetensi akademik dan analisis pada SDM aparat
level bawah. Artinya, semakin sedikit masa kerja seorang pegawai, maka semakin
besar pula peluang yang harus diberikan untuk menempuh diklat dalam ranah
intelectual competency. Sebaliknya, semakin lama masa kerja, maka semakin
banyak peluang yang harus disediakan untuk mengikuti diklat yang membangun
managerial competency. Dan bagi seluruh pegawai tanpa pembedaan masa kerja,
harus diberikan kesempatan untuk membangun behavioral competency-nya
melalui program diklat.
8. LAN harus mampu menjamin dasar filosofis terjabarkan dalam substansi
kebijakan (fungsi decoding/interpreting). Artinya, materi hukum atau substansi
peraturan perundang-undangan harus dapat terjabarkan dalam produk hukum
turunannya secara sinergis tanpa menimbulkan friksi, overlap dan pertentangan
satu sama lain. Dalam hal ini, fungsi sosialisasi kebijakan dan replikasi penerapan
kebijakan yang baik (good policy implementation) harus menjadi perhatian LAN
di masa-masa mendatang. Pada saat yang bersamaan, LAN harus mampu
mengakomodir wacana kritis dan menerjemahkan sesuai semangat filosofisnya
(fungsi bridging / channeling). Ini mengandung pengertian bahwa aspirasi daerah,
kelompok masyarakat, organisasi profesi, kaum intelektual/pakar, dan komponen
masyarakat lain harus mampu diwadahi dalam kerangka kebijakan.
ROAD-MAP DAN PROGRAM REAKTUALISASI PERAN INSTITUSIONAL LAN
Harus diakui bahwa selama ini penyelenggaraan program di lingkungan LAN masih lebih
berorientasi pada sekedar melaksanakan tupoksi organisasi dari pada memikirkan
manfaat dan dampak (benefit and impact) dari pelaksanaan tupoksi tersebut. Orientasi
pada pelaksanaan tupoksi ini dapat kita sebut sebagai orientasi primitif dari sebuah
organisasi modern. Oleh karena itu, orientasi tahap awal ini harus kita tinggalkan jauh-
jauh karena sangat bertentangan dengan karakter dan spirit LAN sebagai think tank
pembaharuan sistem administrasi negara.
Orientasi kedua adalah pelaksanaan tugas dan menghasilkan produk tertentu (output
oriented). Dalam orientasi tahap kedua ini, kualitas juga masih cenderung
dikesampingkan. Kepuasan kerja hanya terukur dari adanya laporan kegiatan dan tidak
ada proses evaluasi terhadap susbstansi dan tindak lanjutnya. Dengan kata lain,
manajemen kinerja organisasi terhenti ketika program/kegiatan lembaga telah
mendapatkan hasil tertentu. Orientasi lembaga yang tidak mampu melampaui tahap
output ini dapat kita sebut sebagai orientasi bertahan (survival orientation) yang juga
harus kita hindarkan.
Pada tahap selanjutnya, LAN sudah mampu menyusun program dan menjalankan peran
yang lebih baik, yakni mengidentifikasi kebutuhan stakeholder. Dalam tahap ini, LAN
diasumsikan sudah relatif mampu melakukan konsolidasi internal untuk menjawab
tuntutan serta memenuhi harapan dan kebutuhan stakeholder. Namun nampaknya dalam
21
tataran ini masih lebih terperangkap pada daftar keinginan / kebutuhan (list of needs),
namun belum ada strategi yang jelas bagaimana kebutuhan tersebut dipuaskan. Orientasi
ini dapat kita katakan sebagai orientasi pasar, dimana program LAN sudah banyak
bersesuaian dengan realitas praktek administrasi negara dalam berbagai dimensinya.
Jalan organisasi yang harus ditempuh selanjutnya adalah membangun kepercayaan dan
kepuasan stakeholder. Oleh karenanya, orientasi pada tahap ini dapat dikatakan sebagai
orientasi kepercayaan dan kepuasan. Disini LAN sudah mampu membangun network
yang memiliki landasan kokoh agar berkesinambungan di masa-masa selanjutnya. LAN
juga sudah mampu memberikan jaminan kualitas (quality assurance) serta jaminan
bimbingan berkelanjutan. Selain itu, produk-produk kajian LAN dapat dijadikan sebagai
rujukan / referensi penting dalam pembenahan manajemen pemerintahan. Dan untuk
mampu mengimplementasikan orientasi ini, LAN perlu terus-menerus melakukan
penajaman fokus program/kegiatan jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Adapun ”jalan tertinggi” yang harus dilalui oleh LAN adalah orientasi kinerja unggul.
Dalam tahap ini, aktualisasi peran LAN sudah mendapat pengakuan sangat luas diantara
lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Demikian pula, produk-produk LAN sudah
menjadi nationally standardized (bahkan internationally). Kapasitas kelembagaan makin
mengokoh dan mengakar yang ditopang oleh kapasitas SDM yang mumpuni. Image atau
citra LAN juga sangat positif baik dalam konteks kualitas produknya maupun perilaku
pejabatnya. Manajemen internal dan sosok / format kelembagaan sangat efektif dan
efisien untuk menciptakan kinerja institutional yang tertinggi.
Selanjutnya, kelima jalan organisasi diatas harus masuk dalam kerangka waktu yang
terukur. Dalam hal ini, LAN disarankan untuk mencapai tahap kelima (orientasi kinerja
unggul) pada tahun 2011. Secara skematik, roadmap LAN dalam membangun peran
maksimal membangun dan membenahi sistem admininistrasi negara dapat dilihat pada
gambar sebagai berikut.
22
23
P E N U T U P
Dari paparan terdahulu dapatlah disimpulkan bahwa pembenahan sistem administrasi
negara dan peningkatan kualitas aparatur negara / pemerintahan mensyaratkan adanya
peningkatan peran LAN sebagai salah satu institusi yang memiliki tugas pokok di bidang
pendayagunaan administrasi negara. Selanjutnya secara implisit dapat disimpulkan pula
bahwa peningkatan peran administrasi negara berarti peningkatan kualitas sistem dan
kompetensi SDM dalam sistem administrasi negara utamanya dalam birokrasi. Hal itu
akan ditempuh melalui peningkatan kompetensi SDM, sedangkan perbaikan kualitas
sistem administrasi negara dilakukan melalui perbaikan-perbaikan struktur organisasi
dan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen termasuk pemanfaatan teknologi informasi
(electronic administration).
Dengan demikian, profesionalisme birokrasi bermakna ganda yaitu: 1) peningkatan
kualitas sistem administrasi negara, dan 2) peningkatan kualifikasi profesionalitas SDM
aparatur negara. Kedua hal tersebut tidak boleh lepas dari dan harus selalu dikaitkan
dengan dimensi-dimensi nilai yang melandasi dan mengarahkan sistem administrasi
negara. Dalam konteks Indonesia hal itu berarti “nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan
bangsa” sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
1945. Nilai-nilai tadi harus selalu melandasi dan menjadi acuan dalam penyelenggaraan
negara, yang sekaligus juga harus dapat diaktualisasikan dalam praktek penyelenggaraan
negara melalui konsep SANKRI.
Dalam rangka menggulirkan cita-cita dan program besar tersebut, maka reaktualisasi
peran LAN melalui konsolidasi internal, penajaman program-program, serta penetapan
peran-peran baru yang lebih menantang, menjadi kebutuhan yang mendesak. Disini
terdapat sebuah “hipotesa” bahwa efektivitas kelembagaan (LAN) akan menentukan
kinerja kelembagaan; kinerja kelembagaan akan menjadi faktor determinan dalam
mewujudkan reformasi yang berhasil; dan reformasi yang berhasil menjadi kunci dan
dasar untuk dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan negara.