Apra Yg Lengkp Bgt
-
Upload
gobang-tid-corp -
Category
Documents
-
view
765 -
download
14
Transcript of Apra Yg Lengkp Bgt
PERLAWANAN ANGKATAN PERANG RATU ADIL (APRA) DI BANDUNG 1950
(by.Hermsylar)
a. Kegagalan Mobilisasi KNIL kedalam APRIS
Sesuai dengan persyaratan persetujuan Den Haag, Koninklijke Leger Nederlandsch-
Indiche Leger (KNIL), yang berkekuatan 65.000 orang akan dibubarkan menjelang tanggal 26
Juli 1950. nyatanya, proses pembaharuan itu jauh lebih lambat daripada yang diduga
sebelumnya. Bahkan hingga tanggal tersebut, 17.000 dari jumlah itu belum berhasil dimobilisasi.
Baru pada tanggal 4 Juli 1951, di umumkan bahwa proses tersebut seluruhnya telah selesai.
Menjelang tanggal 26 Juli 1950, sekitar 26.000 prajurit KNIL digabungkan ke dalam angkatan
bersenjata RIS, 18.750 dimobilisasi di Indonesia dan 3.250 diberangkatkan ke Negeri Belanda.
(Kahin,1995:574) Walaupun telah diputuskan dan ditandatangani oleh semua utusan dari
delegasi yang mengikuti KMB. Keputusan-keputusan dalam bidang militer tersebut tidak dapat
dilaksanakan seperti dengan yang diharapkan.
Di tinjau dari bidang politik militer pembubaran KNIL merupakan suatu kemenangan
bagi bangsa Indonesia, akan tetapi apabila ditinjau secara teknis dan psikologis sangat berat
untuk dilaksanakan. Jumlah KNIL yang puluhan ribu, dengan tata organisasi dan mentalitas yang
berbeda, menyebabkan timbulnya ketegangan antara bekas-bekas KNIL dengan para tentara
APRIS.
Dalam rangka pembubaran KNIL termasuk pula didalamnya pemulangan para anggota
KL ke Nederland, hal ini juga menjadikan beban bangsa Indonesia karena pemulangan KL ini
banyak melahirkan masalah-masalah baru, selain menyita biaya yang besar untuk ransum
makanan dan biaya angkutam, sikap kolonialistis dari KL ini banyak melahirkan ketegangan
terhadap kedua belah pihak. Dari sini dimulai ketegangan-ketegangan dan pertikaian-pertikaian
antara anggota KNIL dan APRIS. Pertikaian ini dipicu oleh berbagai faktor, diantarannya seperti
yang diungkapkan oleh HD. Pratikto yang diungkapkan dalam hasil wawancara dengan penulis
pada tanggal 17 September 2005 yang mengatakan:
“..tentu saja kami tidak terima karena mereka (bekas-bekas KNIL)
adalah tentara-tentara yang tidak sama dengan kami (APRIS), TNI
adalah tentara pejuang yang berjuang demi negara, demi rakyat
dan demi negara kesatuan Indonesia, sedangkan bekas-bekas
KNIL adalah musuh kami yang mengabdi pada Belanda, yang
selalu kami lawan karena mereka tidak memiliki rasa cinta
terhadap negara seperti kami” (wawancara dengan H.D Pratikto
tanggal 17 September 2005)
Melihat pernyataan dari H.D. Pratikto cukup mewakili suara hati para anggota TNI yang
tergabung dalam APRIS. Melihat pernyataan diatas sangat terlihat keenganan para anggota TNI
(APRIS) untuk menerima para bekas tentara KNIL kedalam kesatuan mereka, secara psikologis
hal ini cukup beralasan karena sebelum ditandatangani keputusan KMB tersebut TNI dan KNIL
adalah dua kubu yang selalu bermusuhan. TNI sebagai tentara pejuang yang merasa telah
berkorban dan berjuang demi kemerdekan tentu saja tidak mau menerima bekas musuhnya yang
lebih setia kepada pemerintahan Belanda.
Berdasarkan keputusan KSAD No.40/KSAD/PH/50 tanggal 7 Februari 1950 dan perintah
KSAD No:384/KSAD/PH/1950 yang berisikan pentetapan reformasi dan konsolidasi antara
bekas KNIL untuk digabungkan dengan APRIS dengan TNI sebagai intinya (Dinas Sejarah
Militer TNI-AD,1979:216) Keputusan tersebut mengakibatkan anggaran belanja tidak
mencukupi karena hal tersebut melipatgandakan pengeluaran untuk mendanai jumlah bekas
KNIL yang jumlahnya puluhan ribu. Selain masalah dana yang tidak mencukupi hal tersebut
juga menimbulkan permasalahan baru seperti yang di sampaikan H.D. Pratikto:
“…pada waktu itu, selain secara psikologis kami tidak mau
bergabung ada hal lain yang membuat kami semakin membenci
mereka (KNIL), akibat peleburan itu banyak sekali yang dirugikan
terutama teman-teman kami yang juga ikut berjuang untuk
negara, diantara mereka banyak yang di non-aktifkan dan
dikembalikan ke masyarakat. Hal ini dilakukan untuk memperkecil
pengeluaran negara untuk mendanani peleburan KNIL dan
pemulangan KL ke negeri Belanda” (wawancara dengan
H.D.Pratikto tanggal 17 September 2005).
Berdasarkan hasil wawancara dengan H.D. Pratikto diatas dapat dilihat bahwa banyak
sekali permasalahan yang ditimbulkan oleh kebijakan peleburan KNIL kedalam APRIS ini.
Selain perbedaan yang sudah mengakar karena sebelumnya KNIL dan APRIS merupakan
musuh, ditambah lagi para anggota TNI semakin merasa dijadikan korban dengan banyaknya
para anggota TNI yang harus diberhentikan hanya karena untuk efesiensi dana dan memangkas
pengeluaran negara untuk peleburan KNIL kedalam APRIS tersebut.
b. Mengenal Sosok Raymond Pierre Westerling
Berbicara mengenai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) tidak dapat dipisahkan dari
seorang tokoh yang sekaligus pemimpin tertinggi dari APRA yaitu Raymond Pierre
Westerling. Raymond Piere Westerling, ia merupakan orang Belanda campuran antara Belanda,
Turki dan Yunani. Westerling dilahirkan pada bulan Agustus 1919 di Istanbul, Turki. Ia berasal
dari seorang ayah Belanda dan Ibu seorang Turki-Yunani. (Dinas Sejarah Militer TNI-
AD,1979:218). Westerling di gambarkan sebagai sosok yang tegap dan kekar dengan tinggi
badan 170 cm. Suaranya keras dan lancar berbahasa Belanda dan Inggris serta sudah bisa
berbicara dalam bahasa Indonesia (Suara Bogor, 21 Januari 1950)
Karier hidupnya dalam ketentaraan dimulai sebagai seorang sukarelawan dalam tentara
pemerintah pelarian Belanda di Mesir, kemudian diperbantukan kepada kesatuan-kesatuan
Inggris pada saat Perang Dunia II. Kemudian Westerling menyelesaikan pendidikan militer di
Kanada dan selesai pada tahun 1944. Setelahnya Westerling diangkat sebagai instruktur dalam
kemiliteran Belanda. Masih pada tahun yang sama, Westerling diperintahkan untuk
melumpuhkan kekuatan Nazi Jerman di Belgia sebagai pemimpin dalam menyusun gerakan
bawah tanah di negara tersebut.(Wilson,1992:71). Selain itu, Westerling juga menjadi anggota
Staf Prins Bernhard dan berhasil menumpas pasukan ilegal di Brabant dan Linburg di negeri
Belanda (Pusemad,1965:43). Dari riwayat hidup dan pendidikan serta dari misi-misi yang telah
dilakukan oleh Westerling dapat dilihat bahwa Ia merupakan seseorang yang cerdas dan
memiliki kemampuan untuk mengatur sebuah organisasi. Karena hanya seseorang yang memiliki
kecerdasan dan bakat saja yang ditugaskan dalam tugas-tugas kemiliteran yang sangat penting.
Tugas sebagai pemimpin gerakan bawah tanah di Belgia menunjukan bahwa Westerling
memiliki kemampuan yang baik dalam menyusun strategi dan siasat untuk melakukan
penyerangan secara rahasia.
Westerling mulai mengenal Indonesia pada bulan Agustus 1945 ketika ia diterjunkan
disekitar Medan oleh Sekutu sebelum Jepang menyerah. Penerjunan ini dilakukan sebagai upaya
persiapan pendaratan tentara Sekutu di Sumatera. Pada waktu itu Westerling masih berpangkat
Letnan dan menjabat sebagai anggota Dinas Kontra Spionase dari Tentara Kerajan Belanda.
Tidak lama kemudian Westerling ditugaskan di Makassar, dan namanya mulai dikenal orang
karena tindakan-tindakannya. Menurut beberapa sumber yang dipublikasikan di Indonesia seperti
Dinas Sejarah TNI-AD, selama bertugas di Sulawesi Selatan Westerling telah membantai
sedikitnya 40.000 orang. Namun menurut perkiraan Kahin, yang terbunuh di Sulawesi tidak
mencapai angka 40.000 jiwa, namun berjumlah sekitar 11.000 orang sipil dan hanya sekitar 500
sampai 1.000 orang yang menjadi tanggung jawab langsung Westerling.
Di sini tidak akan mempermasalahkan mana yang benar mengenai jumlah korban yang
terbunuh pada masa Westerling bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan, apakah seperti yang
dituliskan dalam buku-buku terbitan Indonesia atau perkiran dari Kahin yang benar, hal ini akan
bergantung sekali pada sudut pandang penulis dan kepentingan yang ada dibaliknya. Namun,
satu hal yang dapat dipastikan bahwa selama menjalankan tugasnya di Makassar, Sulawesi
Selatan, Westerling telah memperlihatkan jati dirinya sebagai seorang kapten Belanda yang
ditakuti karena reputasinya.
Cara–cara yang dilakukan Westerling dalam menjalankan tugasnya di Makassar sangat
proaktif dan tegas, hal ini diberitakan dalam Madjalah Merdeka edisi 3 tahun III tanggal 21
Januari 1950 yang menuliskan:
“Bagi setiap orang jang datang dari Sulawesi Selatan tentu tidak
akan kehabisan bahan bila bertjerita tentang tjara2 dan
kekedjaman-kekedjaman Westerling. Tiba-tiba bisa melakukan
aksi pembersihanja mengepung sebuah kampung kemudian
mengumpulkan semua orang di suatu lapangan. Dengan
sekehendak hati Westerling sanggup menundjuk seseorang
diantara mereka sebagai pengatjau dan menembaknja dengan
tangan sendiri dihadapan orang banjak itu”
Setelah bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan, Westerling dipindahkan ke Batujajar
(daerah Cimahi) dan diangkat sebagai Komando Speciale Tropen (Green Caps). Menjabat
Komandan Speciale Tropen. Berdasarakan beberapa sumber yaitu melalui wawancara dengan
Abung Kusman (8 Desember 2005) serta pemberitaan Madjalah Merdeka mengatakan bahwa
sebenarnya pemindahan Westerling ke Jawa Barat ini tidak lepas dari perlakuan Westerling yang
kejam di Sulawesi Selatan dan telah menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Untuk
mengendalikan keadaan maka pihak pemerintah Belanda memindahkan Westerling dari
Sulawesi Selatan ke Jawa Barat.
Keterangan mengenai pemindahan tugas Westerling dari Sulawesi Selatan ke Jawa Barat,
Madjalah Merdeka (21 Januari 1950) menuliskan:
“…Setelah Palar, jang ketika itu masih mendjadi anggota
parlemen Belanda membongkar soal itu, mulailah kelihatan akibat
aksi Westerling. Dengan begitu soal Westerling yang sudah mulai
hangat itu telah mulai ditekan dan mentjoba mendiamkannja.
Westerling dengan pasukannja dengan diam-diam ditarik dari
Sulawesi Selatan. Westerling tiba-tiba muntjul di Djawa Barat”
Keterangan dari Madjalah Merdeka menguatkan asumsi bahwa pemindahan Westerling
dari Sulawesi Selatan ke Jawa Barat merupakan langkah politik pemerintah Belanda untuk
meredakan tekanan dari parelemen dan masyarakat Indonesia yang mulai mengetahui sepak
terjang Westerling di Sulawesi Selatan. Dengan pemindahan Westerling ini diharapkan situasi
yang memanas akibat protes masyarakat dapat sedikit diredakan.
Kedudukan Westerling sebagai Komando Speciale Tropen di Jawa Barat tidak
berlangsung lama, sejak bulan November 1948 ia menyerahkan pimpinan Speciale Tropen yang
kepada penggantinya tanpa alasan yang jelas. Mengenai pengunduran diri Westerling
berdasarkan pemberitaan Suara Bogor tanggal 11 Januari 1950 menuliskan:
“…Komisaris Agung Belanda di Djakarta menerangkan bahwa
Westerling pada pertengahan kedua dari tahun 1948, sudah
diberhentikan dari KNIL dan sedjak itu, hidup sebagai seorang
partikelir dan sedikitpun tidak mempunjai hubungan dengan
Pemerintaha Belanda dan alat-alatnja.
Menanggapi pernyataan Komisaris Agung di atas, Harian Tanah Air tanggal 16 Januari
1950 menuliskan:
“Jang hendak kita bitjarakan disini ialah sikap Belanda dan
Pemerintah RIS. Omong kosong kalau Hirschfeld mengatakan
Belanda tidak tahu dan tidak tjampur2. biarpun Westerling telah
berhenti dari KNIL semenjak pertengahan tahun 1948, Omong
kosong kalau Belanda tidak tahu Dr. Koets jang sekarang masih
ada di Djakarta tentu pula bisa bertjerita dari mana Westerling
dapat sendjata2 dan dari mana dapat ratusan ribu untuk
memelihara pasukan2 liarnja?”.
Pernyataan dari Komisaris Agung Belanda di atas sebenarnya sangat kontradiktif dengan
kenyataan sebenarnya, karena dalam usahanya menyusun kekuatan dan membentuk pasukan
APRA, Westerling memperoleh bantuan secara langsung dari pimpinan KNIL di Bandung yaitu
Jenderal Engels. Selain itu Westerling juga mampu menyediakan kebutuhan pasukan-
pasukannya dengan baik dengan menyediakan persenjataan, makanan dan perlengkapan perang
lainnya, hal ini tentu saja memerlukan dana yang besar. Apabila tidak dibantu oleh pihak
Belanda dari mana Westerling memperoleh dana operasional pasukannya. Keterlibatan
pemerintah Belanda ini terlihat dari surat dukungan yang diberikan Engels untuk Westerling
(Dinas Sejarah Militer TNI-AD,1979:44) di bawah ini:
Bandung,17 April 1948
Kapten Westerling.
Dit Schijven wordt U, overhandigd door Kapt Mr.E.J. Froeling
van het KNIL, die mijn volleding vertrouwen geniet, Order nadare
goedkeuring van de Legercommandant wordt hij U tot nader order
ter beschikking gesteld als juridisch adviseur.
Zijn werkzaamheden en al of niet verblijf te uwent dienen in
orderling overleg to worden geregeld.
Over date uwer beschikkingstelling van Kapt Fr.Wordt de
Strikte gehiemhouding in acht genemen. Ook voor de riest is
Kapt.Fr.Geheim houding opgelegd.
Da Gen Mayoor U.d.Gen
Staf KNIL
D.C.O
W.G.E Engels.
Surat dukungan dari Engels diatas memperlihatkan bahwa pemerintah Belanda masih
belum puas atas apa yang telah di capai Republik Indonesia. secara tersirat surat tersebut
memperlihatkan bahwa usaha-usaha Westerling dalam mengkampanyekan gerakan anti negara
kesatuan Indonesia telah mendapat persetujuan dan dukungan dari pemerintah Belanda.
Dalam petualangannya di daerah Jawa Barat, kegiatan-kegiatan Westerling tidak hanya
dalam bidang Militer saja, akan tetapi ia berusaha mendekati pihak politisi terutama yang tidak
senang terhadap Republik Indonesia Serikat, baik dikalangan pejabat sipil maupun militer.
Westerling telah menggunakan pengaruhnya untuk menarik perhatian dan simpati di kalangan
sipil dan militer dan karena kharismanya, usaha ini menghasilkan banyak orang yang simpati
terhadap Westerling dan memusuhi RIS. ((Dinas Sejarah Militer TNI-AD,1979:44).
c. Kemunculan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Setelah mendapat dukungan secara tertulis dari Jenderal Engels dan mendapat simpati
dari tokoh-tokoh yang mendukung bentuk negara federal seperti Sultan Hamid II maka
Westerling semakin yakin atas apa yang akan dilakukannya. Situasi ini semakin dikuatkan oleh
keadaan politik yang sedang memanas pada waktu itu terutama ketegangan antara para tentara
APRIS yang enggan untuk menerima bekas-bekas KNIL kedalam kesatuan mereka. Pada masa
ini, gejolak politik dalam negeri masih belum stabil karena banyaknya pemberontakan-
pemberontakan yang bersifat separatis seperti DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia),
serta situsi militer Indonesia yang masih compang-camping karena tersita perhatiannya untuk
menumpas pemberontakan PKI pimpinan Muso di Madiun dan adanya golongan-golongan yang
tidak setuju atas berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Golongan ini terutama golongan
Islam yang menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia seperti tokoh-tokoh gerombolan
DI.
Pertemuan antara Westerling dengan tokoh-tokoh DI telah dilaksanakan di daerah Bogor
pada bulan Oktober 1949 akhir, antara Westerling dan VD Plas dari pihak Belanda dan KH
Engkar dari pihak gerombolan DI. Dalam pertemuan ini disepakati persetujuan diantaranya
adalah: Penggabungan satuan-satuan KNIL, KL kedalam DI, pada fase pertama dalam
penggabungan ini 70 anggota KNIL, KL digabungkan dengan gerombolan DI pimpinan KH.
Engkar. Selain itu dalam persetujuan ini juga ditetapkan untuk berhubungan dengan DI/TII
pimpinan Kartosuwiryo ((Dinas Sejarah Militer TNI-AD,1979:46-47)
Setelah berhasil melakukan konsolidasi antara bekas-bekas KNIL dan gerombolan DI
pimpinan KH. Engkar, bertempat di hotel Preanger Bandung pada tanggal 4 Oktober 1949
Westerling mengadakan pertemuan dengan para tokoh Sipil maupun militer, dalam pertemuan
itu telah dibicarakan idenya untuk membentuk organisasi APRA. Dalam pertemuan ini dihadiri
oleh Jenderal Mayor Engels, Capt Foelling dari Green Caps dan Letnan Titalay. Dalam akhir
bulan Desember 1949, sebulan sebelum terjadinya penyerbuan ke kota Bandung, Westerling
telah berhubungan dengan Letnan Hegima, Letkol Cassa dan Letnan Tetalay. Sesuai dengan
pengakuan Solomon Sihombing menjelaskan bahwa sebelum orang-orang Westerling
menggempur Bandung, Westerling telah bertemu terlebih dahulu dalam suatu pertemuan, duduk
berdampingan dengan Mayor Jenderal Engels, dan minum-minum dalam satu pesta di Hotel
Preanger (Dinas Sejarah Militer TNI-AD,1979:46). Jadi tampak secara nyata bahwa ide
Westerling dengan APRA-nya mendapat dukungan dari pimpinan KNIL di Bandung.
Westerling adalah sosok yang cerdas dan peka terhadap keadaan sekitarnya, hal ini juga
berlaku saat ia menyadari pentingnya peranan agama dan kepercayaan di kalangan rakyat
Indonesia, khususnya di daerah Jawa Barat. Untuk mencari dan mendapat dukungan yang positif,
menurut Majalah Merdeka (21 Januari 1950) untuk menunjukan bahwa Westerling merupakan
seorang Islam ia selalu mengucapkan “Bismillahirrohmannirrohim” dan “Assalamualaikum”
setiap mengadakan pertemuan dengan pasukan-pasukannya.
Suara Bogor (16 Januari 1950) menuliskan:
“…Dia dikatakakan djarang marah dan bisa menahan nafsu. Dia
memperlihatkan seakan2 orang yang baik hati. Pengaruhnya
terhadap pasukanja sangat kuat mereka rela mati demi dia, walau
punya sikapnja keras dan tindakanja kedjam…”
Untuk menghimpun kekuatan dan memperbanyak simpati dan dukungan kepadanya,
Westerling telah mengeluarkan ajakan terhadap rakyat, untuk mengikuti APRA, ajakan ini antara
lain mengatakan:
“Gerakan ini adalah suatu pergerakan penetapan hak-hak sebagai
manusia dan memandang rakyat seperti memandang pundamen
mas yang berharga. Khususnya untuk umat Islam dan umumnya
untuk makluk Allah seluruhnya tidak memandang bangsa apapun
juga.
Kita selaku putra dan putri Indonesia atau selaku warga negara
yang telah lahir di Indonesia harus mengakui apakah artinya
kemerdekaan yang sebetulnya.
Setiap langkah harus bersandar kepada wet (undang-undang) dan
negara.
Selaku bangsa Indonesia atau selaku suku bangsa umumnya
janganlah memandang kepada yang lain musuh karena dalam
Alqur’an telah disebutkan sesungguhnya orang alim itu harus
bersaudara.
Selaku negara yang merdeka haruslah didalamnya ada
kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi bangsa dan suku bangsa
lainnya tidak ada rasa bimbang, takut dan lain-lain untuk mencari
nafkah hidup yang halal, di manapun ta’ ada rintangan dari fihak
siapapun. Bilamana rintangan itu terjadi bagi rakyat dan
masyarakat maka tentara akan bertindak. Kita akan menghancur
leburkannya.
Tentara kita adalah tentara yang disukai oleh rakyat dan
masyarakat karena di dalamnya penuh dengan segala keadilan
dan kebijaksanaan yang ditunjukan kepada umum. Tentara kita
bukan suatu tentara yang berani mati kalau membela keadilan
dan kebenaran.
Tentara kita adalah suatu tentara yang berdiri dari segala bangsa
yang umumnya pecinta kebenaran dan keadilan. (Disjarah
AD,1975:189 (manuskrip)
Ajakan yang dibuat Westerling untuk menarik simpati dari masyarakat yang
berlandaskan kepada kepercayaan masyarakat tersebut merupakan suatu metode yang hampir
mirip dengan ajakan dari para nabi pemimpin spiritual dari gerakan millenarian seperi gerakan
gerakan Pai Maire di Selandia Baru pada tahun 1864-1867, gerakan Munda dan Birsa di Chotta
Nagpur, India pada tahun 1899-1900, Pemberontakan Maji-Maji di Afrika Timur, Tanzania pada
tahun 1905-1906 dan Pemberontakan Saya San di Birma pada tahun 1930-1932 (Adas:1979: 1-
51). Model ajakan yang dilakukan Westerling adalah mengajak semua lapisan masyarakat untuk
menganggap bahwa misi yang akan dijalankan oleh tentara-tentara APRA adalah misi suci untuk
menggulingkan ketidakadilan di Indonesia.
Poesponegoro (1993:253) menuliskan Westerling memahami bahwa sebagian besar
rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik di bawah Belanda maupun
di bawah Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam
ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil,
yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan aman damai dan
rakyat akan makmur dan sejahtera. Menurut Adas (1979:216-217) pemberontakan kenabian
memiliki tiga faktor yang berinteraksi yang merupakan pendorong utama bagi tindakan
kekerasan untuk menggulingkan kekuasaan yang sedang berjalan adalah:
(1) keputusan para pemimpin kenabian untuk memimpin para pengikut mereka dalam
pemberontakan;
(2) hilangnya kekuasaan yang efektif atas para pengikut dari para nabi ke tangan para
pemimpin sekunder yang cenderung lebih suka menggunakan kekerasan; dan
(3) gagalnya para penguasa untuk mengambil tindakan cepat atau keteledoran
Ketiga faktor diatas apabila diterapkan pada kasus Perlawanan APRA yang dikomandoi
Westerling di Bandung memiliki beberapa kesamaan, walaupun unsur-unsur millenarian dan
mesianistis tidak terlalu menonjol pada gerakan ini. Faktor pertama yaitu keputusan para
pemimpin kenabian untuk memimpin para pengikut mereka dalam pemberontakan bisa diartikan
bahwa Westerling menempatkan dirinya sebagai tokoh yang identik dengan tokoh kenabian yang
bertugas memimpin umatnya untuk melawan ketidakadilan yang telah dilakukan penguasa
(pemerintah Indonesia) terhadap para pengikutnya (bekas-bekas KNIL). Kedua yaitu hilangnya
kekuasaan yang efektif atas para pengikut dari para nabi ke tangan para pemimpin sekunder
yang cenderung lebih suka menggunakan kekerasan, bisa diartikan bahwa pemerintah Indonesia
telah hilang kharismanya di mata para pengikutnya (bekas-bekas KNIL) karena dianggap telah
gagal dalam mengakomodasi keinginan mereka. Dalam hal ini kegagalan mobilisasi bekas-bekas
KNIL bisa dipandang sebagai penyebab utama hilangnya rasa percaya para anggota KNIL
terhadap pemerintahan Indonesia. Hal ini digunakan Westerling untuk mengakomodasi para
tentara KNIL yang merasa kecewa dan tidak percaya terhadap pemerintah Indonesia untuk
melakukan perlawanan dengan kekerasan Faktor ketiga yaitu gagalnya para penguasa untuk
mengambil tindakan cepat atas keteledoran yang telah mereka lakukan. Hal ini dapat dilihat
sebagai kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengakomodasi kepentingan bekas-bekas KNIL
untuk dimobilisasi kedalam APRIS, sehingga kegagalan ini dimanfaatkan oleh Westerling
sebagai sarana penguat untuk dijadikan sebagai alasan perlawanan APRA terhadap pemerintahan
Indonesia.
d. Persiapan APRA dalam Melakukan Aksi Perlawanan
Sebelum melakukan serangan terhadap Markas Kwartier Divisi Siliwangi yang berada
pada jalan Oude Hospitalweg, kini dikenal dengan nama jalan Lembong. Westerling bukan orang
yang tanpa perhitungan, namun ia merupakan seseorang yang selalu terencana dengan terperinci
sebelum melakukan misi-nya.
Dalam laporan Military Intelegence pada tanggal 18 September 1949, menyatakan bahwa
pada tanggal 5 November 1949 Westerling telah mengadakan rapat dengan maksud
merencanakan aksinya. Laporan Military Intelegence melaporkan sebagai berikut:
Pada tanggal 5 bl.11-1949 djam 11.00 siang, bertempat di HOTEL
PREANGER kamar nomor 101, telah diadakan rapat tertutup di
bawah pimpinan Kapt. WESTERLING.
Atjaranya ialah jang terpenting; bahwa Pemerintah
Belanda meretjanakan Politional actie ke III.
Setiap anggauta2. dari mulai sekarang jang berada di masing-
masing tempat dan Djawatan2 harus sudah siap guna mengakut
segala alat-alat Negara ke Pelabuhan2, djika Politional actie ke III
diumumkan, Pelabuhan-pelabuhan yang akan di pakai ialah
Tandjong-Priok, Semarang dan Surabaya
Sesesai
(Dokumen Millitary Intelegen No. 2/M/I/49.)
Laporan diatas yang dikutip dari Dokumen Millitary Intelegen No. 2/M/I/49
memperlihatkan bahwa rencana perlawanan yang akan dilakukan Westerling merupakan
manifestasi dari rencanaPolitional Acte ke III yang telah direncanakan Belanda melalui
pelaksananya yaitu Westerling. Politional Acte ke III seperti yang diinformasikan oleh H.M
Siradz (wawancara tanggal 17 September 2005) dalam istilah militer bisa disamakan dengan aksi
agresi militer yang telah dilaksanakan oleh Belanda pada masa sebelumnya. Namun ternyata
yang dilakukan Belanda tidak sama dengan aksi-aksi sebelumnya yang menggunakan tentara-
tentara mereka, namun kali ini mereka kembali kepada menggunakan cara mereka sebelumnya
dengan memanfaatkan situasi ketegangan antara bekas-bekas KNIL dengan TNI yang pada masa
itu sedang dalam konflik yang memanas.
Hal senada juga dikemukakan oleh H.D. Pratikto yang mengatakan:
“Belanda dari dulu itu memang pintar memanfaatkan situasi yang
sedang berlangsung, sebenarnya kita sudah beberapa kali diadu
domba oleh mereka (Belanda). Contohnya sudah tidak perlu saya
sebutkan, anda pasti lebih tahu dari saya. Pemberontakan APRA
yang dipimpin Westerling menurut saya adalah salah satu
manifestasi dari politik devide et impera yang sudah beberapa kali
digunakan Belanda. Bukankah bekas-bekas KNIL itu juga bangsa
Indonesia? namun karena mereka (KNIL) sudah terhasut oleh
Belanda sehingga mereka lebih memilih melawan bangsanya
sendiri” (Wawancara tanggal 17 September 2005).
Menilik kedua pendapat diatas, menurut penulis cukup beralasan karena melihat kenyataan
bahwa KNIL merupakan orang-orang Indonesia yang merasa kecewa atas kebijakan pemerintah
RIS yang tidak dapat memenuhi keinginan mereka sehingga bisa saja kekecewaan ini
dimanfaatkan oleh pihak lain yang juga tidak suka atas kemerdekaan bangsa Indonesia yang
sudah terealisasi. Sehingga sah-sah saja apabila H.M Sirodz dan H.D Pratikto menganggap
perlawanan APRA itu sebagai salah satu manifestasi dari politik devide et impera atau politik
adu domba antara bekas-bekas KNIL dengan TNI.
Sehubungan dengan kegiatan-kegiatan Westerling dalam mengembangkan idenya dalam
mewujudkan pasukan APRA, menurut pengalaman Mr. Kustomo, bekas pegawai Binenlandse
Vielingheid yang dipimpin oleh kolonel Santoso, mengatakan bahwa APRA terdiri dari semua
KNIL, sedikit KL dan hampir semua angkatan-angkatan pegawai Belanda yang berasal dari
kalangan kepolisian. Begitu juga dalam kegiatan-kegiatannya Westerling selalu mendapat
bantuan dari pembantu-pembantunya, antara lain: Sultan Hamid, Kolonel Suryo Santoso, Letnan
Kolonel Cassa, Komandan Polisi. Asbeck dan Inspektur Polisi Nayoan (Pusemad,1965:46)
. Usaha Westerling selalu mendapat bantuan tidak saja dari golongan-golongan yang tidak
menghendaki kemerdekaan, akan tetapi mendapat dukungan juga dari pembesar Sipil maupun
Militer, khususnya Sultan Hamid II dan Mayor Jenderal Hegel yang telah disinggung pada
bagian sebelumnya.
Dalam mempersiapkan Persenjataan, Suply, dan Propaganda, Westerling dengan bantuan
dari Engels telah membentuk tim-tim yang terorganisir secara rapi dan memiliki pembagian
tugas yang jelas. Dalam hal penyediaan persenjataan, Westerling mendapatkan bantuan dari
Engels dan dibawahi oleh satu tim khusus yang dinamakan Luit Sneep C.M.I yang berangotakan
Otto Sergt, Hagenbeck J.M. Luwi Korp, De Laungda dan Wusrof. Sedangkan tim yang di
komandoi langsung oleh Westerling terdiri dari 3 Sub yaitu terdiri dari Bagian Propaganda dan
Dokumentasi yang di bawahi oleh Suherman, Bagian Patroli Kota yang dipimpin oleh Sukarya,
dan Bagian Gerilya yang langsung dibawah pengawasan Westerling.
Selain berhasil memperoleh dukungan dari pemerintah Belanda melalui Engels,
Westerling juga berhasil memperoleh bantuan kekuatan dari berbagai organisasi yang simpati
dan kontra atas bentuk negara kesatuan Indonesia. organisasi-organisasi tersebut di antaranya
adalah Organisasi Pemuda Indonesia yang beraliran terutama Organisasi Pemuda Kalimantan
yang di bawahi oleh BFO pimpinan Sultan Hamid II, Negara Pasundan dan DI yang di bawahi
oleh Zaenal Abidin, Organisasi Tionghoa yang dibawahi oleh Goan Yoe Thio, KNIL V-B yang
sebagian adalah besar adalah bekas-bekas tentara KNIL dan Stoot Tropen yag merupakan polisi-
polisi bekas pegawai Belanda.
Menurut pemberitaan surat kabar Belanda De Warheid yang dikutip oleh Warta
Indonesia (26 Januari 1950), keterlibatan tokoh-tokoh Negara Pasundan dalam rencana
Westerling adalah Wiranatakusuma dan Kusna Puradipradja yang bertindak sebagai penasehat
Westerling. Lebih lanjut De Warheid menuliskan bahwa Wiranatakusuma dan Kusna
Puradipradja adalah tokoh penting dalam pendirian Negara Boneka Pasundan. Selain hal diatas,
diberitakan pula bahwa Kusna Puradipradja bersama agen polisi Belanda pernah datang ke
Belanda untuk belajar di Den Hag pada tahun 1933.
Tujuan utama perlawanan APRA di Bandung adalah sebagai langkah awal untuk
mewujudkan pemerintahan sendiri yaitu pemerintahan Ratu Adil Indonesia (RAPI) suatu bentuk
pemerintahan baru yang bertujuan untuk menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) (Pusjarah AD,1965:52). Jadi dengan kata lain Westerling telah mempersiapkan secara
matang semua langkah-langkah yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan sendiri dalam
kekuasaan APRA. Pembentukan TKD juga dimaksudkan Westerling sebagai organisasi bagian
dari APRA yang bertugas sebagai tentara pengaman RAPI.
Mengenai jumlah personal personal tentara APRA yang di komandoi Westerling,
terdapat beberapa perbedaan diantaranya menurut Dinas Sejarah Angkatan Darat (1965:52)
menyebutkan bahwa kekuatan APRA termasuk yang berstatus cadangan adalah sekitar 8.000
orang. Menurut Kahin (1952:576), Poesponegoro (1993:252) jumlah personel APRA yang
terlibat penyerangan di Bandung diperkirakan berjumlah 800 orang. Sedangkan menurut
Sundhaussen (1988:92) jumlah personel APRA yang melakukan penyerangan ke markas militer
Siliwangi berjumlah sekitar 500 orang.
Perbedaan jumlah anggota APRA diatas memang cukup membingungkan penulis namun
setelah dilakukan analisis dan pengumpulan informasi dari saksi sejarah yang berhasil
diwawancarai yaitu H.D Pratikto, jumlah personel APRA yang melakukan penyerangan
berjumlah sekitar 250-300 orang saja. Hal ini di perkuat oleh informasi dari H.M Siradz yang
melakukan pengejaran dan pemusnahan para anggota APRA yang terlibat pada penyerangan di
Bandung yang mengatakan bahwa para anggota APRA melarikan diri mengendarai tujuh Truk
dan sekitar 200 orang berhasil dimusnahakan di perkebunan karet Vada di Cianjur dan sisanya
melarikan diri. Jadi beradasarkan informasi dari kedua pelaku sejarah diatas penulis lebih
condong kepada pendapat H.D Pratikto dan H.M Siradz yang menaksir jumlah personil APRA
berjumlah sekitar 200-300 orang yang terlibat secara langsung.
Berdasarkan informasi dari Abung Kusman (wawancara 8 Desember 2005), tidak semua
pasukan APRA bersenjata dan ikut melakukan penyerangan ke Bandung, karena sebagian lagi
telah di berangkatkan ke Jakarta yang dipimpin langsung oleh Westerling. Dari informasi-
informasi diatas tidak ada jumlah yang pasti yang secara akurat menyebutkan jumlah personel
APRA, jadi sangat beralasan apabila terdapat berbagai versi mengenai jumlah anggota APRA
tersebut.
Dalam mendukung rencananya, Westerling memperoleh sumber dana dari berbagai
pihak. Dana terbesar diperkirakan berasal dari pihak pemerintah Belanda yang berasal dari
Engels, selain itu Westerling juga mendapatkan bantuan dari para pengusaha yang tidak
menyetujui berdirinya NKRI yang diantaranya berasal dari para pengusaha non pribumi seperti
pengusaha Belanda, dan pengusaha Tionghoa. (Disjarah AD, 1965:52). Mengenai kucuran dana
dari pihak non pribumi (pengusaha Belanda dan Tionghoa) dapat dilihat dari adanya dukungan
dari organisasi-organisasi Belanda (KNIL, NEFIS) serta dukungan dari organisasi Tionghoa
yang dipimpin oleh GoanYoe Thio. Hal ini secara tidak langsung mengidikasikan bahwa tidak
menutup kemungkinan apabila pengusaha-pengusaha yang berasal dari non pribumi memberikan
suntikan dana untuk Westerling.
Selain sumber dana diatas, menurut Kantor Berita Rusia TASS, yang dikutip oleh Warta
Indonesia (24 Januari 1950), sumber dana yang di dapatkan Westerling juga diperoleh dari
bantuan dari Inggris, dengan dana ini Westerling memperoleh dana untuk penyediaan amunisi
dan perlengkapan perang prajurit. Lebih lanjut TASS memberitakan bahwa Westerling
merupakan agen Inellegence Service Inggris yang mendarat di Sumatera tahun 1945.
Mengenai asal muasal personel APRA yang melakukan penyerangan terhadap Markas
Militer Divisi Siliwangi berdasarkan sumber-sumber diatas jumlah terbanyak adalah bekas-bekas
KNIL yang merasa tidak puas terhadap kebijakan RI. Sedangkan sisanya bisa berasal dari mana
saja yang memiliki pemikiran atau idiologi yang sejalan dengan Westerling.
Sebelum melakukan serangan, dengan penuh keyakinan atas usaha yang telah
dilakukannya akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang telah direncanakan, Westerling
menirimkan Ultimatum terhadap Pemerintah RIS (Disjarah AD:1965:53) yang berisikan:
Agar kekuasaan Militer di daerah Pasundan/ Jawa Barat sepenuhnya
diserahkan saja pada APRA, mengingat Tentara Nasional Indonesia
(TNI) kurang mampu melaksanakan tugas itu.
Selain itu agar pasukannya (APRA) diakui sebagai pasukan resmi.
Ultimatum yang dikeluarkan Westerling diatas tidak mendapat perhatian ataupun
tanggapan dari pemerintah RIS. Hal ini dianggap Westerling sebagai tantangan untuk
mewujudkan ancamannya. Maka Westerling memutuskan untuk mewujudkan ancamannya
tersebut dalam bentuk serangan, atau perebutan kekuasaan atas pemerintah RIS.
Setelah melihat bahwa ultimatum yang telah dikeluarkannya tidak ditanggapi dengan
serius, Westerling memutuskan untuk melakukan rencana besarnya yaitu melakukan kudeta
secara besar-besaran. Kudeta tersebut akan di laksanakan di dua kota yaitu Bandung dan Jakarta.
Pada tanggal 22-23 Januari 1950 (Kahin:1952:576-577), (Pusjarah AD,1963:53)
Pemilihan dua kota yaitu Bandung dan Jakarta sebagai sasaran untuk melaksanakan
kudeta di pengaruhi oleh beberapa pertimbangan, di antaranya adalah kota Bandung merupakan
salah satu kota yang strategis baik secara politik maupun militer. Apabila kota Bandung dapat
dilumpuhkan dan Divisi Siliwangi di kuasai maka salah satu pusat kekuatan militer RIS akan
hancur dan hal ini akan memudahkan untuk melaksanakan rencana selanjutnya yaitu menduduki
Jakarta yag merupakan kota terpenting dan merupakan pusat pemerintahan RI. Apabila kedua
kota tersebut dapat dikuasai maka secara otomatis pemerintahan RI dapat di ambil alih.
Karena letak Bandung dan Jakarta cukup jauh dan memerlukan waktu dalam
pelaksanaanya. Akhirnya Westerling memutuskan untuk membagi dua pasukannya. Sebagian
dari pasukan yang bersenjata lengkap dan mendapat bantuan dari anggota KNIL memiliki tugas
untuk menyerbu dan menguasai Bandung pada tanggal 23 Januari 1950. sedangkan sebagian lagi
yang dipimpin langsung oleh Westerling akan berangkat menyerbu Jakarta.
e. Penyerangan APRA Ke Markas Kwartier Divisi Siliwangi
Pada hari Minggu tanggal 22 Januari 1950 Pimpinan Divisi Siliwangi menerima
laporan dari Letnan Kolonel Sentot Iskandar Dinata, tentang adanya kegiatan-kegiatan pasukan
bersenjata di sekitar daerah Cililin. Pasukan tersebut dipimpin oleh van Beelden dan van der
Meulen. Keduanya merupakan bekas anggota polisi Belanda. Pasukan bersenjata ini berhasil
menguasai dan memblokir jalan antara Cimahi dan Bandung. Hari berikutnya yaitu tanggal 23
Januari 1950 pada pukul 04:30 di luar kota Bandung telah terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata
antara pasukan ini dengan polisi negara yang bertugas di pos-pos penjagaan di Cimindi,
Cibereum dan pabrik Mecaf. Pasukan ini berhasil melucuti dan menguasai pos-pos penjagaan
tersebut, untuk selanjutnya mereka bergerak ke arah Bandung dengan menggunakan berbagai
kendaraan seperti truk, sepeda motor, Jeep dan tidak sedikit yang berjalan kaki. (Suara Bogor 24
Januari 1950).
Berdasarkan harian Warta Indonesia tanggal 26 Januari 1950 memberitakan peristiwa
penyerbuan Westerling sebagai berikut:
“Pada tanggal 23 Januari 1950 jam 09:00 pagi gerombolan APRA
dari jurusan Cimahi bergerak menuju ke kota Bandung. Mereka
mmakai truk, Yeep dan motor piet, kemudian ada juga berjalan
kaki beruniform, bersenjata lengkap jumlah semuanya kira-kira
500 orang.
Di sepanjang jalan Cimah—Bandung diadakan Stelling di gang-
gang di sana-sini dilepaskan tembakan ke atas, ada pula yang
ditujukan kearah beberapa rumah. Pos-pos polisi sepanjang jalan
raya seperti Cimindi, Cibereum dan lain-lainnya dilucuti.
Sesampainya dikota Bandung mereka menimbulkan kepanikan di
kalngan rakyat. Toko-toko ditutup, rumah-rumah ditutup, jalan-
jalan menjadi sepi”
Menurut Menteri Pertahanan Indonesia, pasukan Westerling mendekati Bandung pada
tanggal 22 Januari 1950 petang, dan diperkuat oleh resimen pasukan gerak cepat Koninklijke
Leger(KL) yang berpangkalan di Bandung. Pasukan yang seluruhnya berjumlah 800 orang
bersenjata berat, menurut komunike Menteri Pertahanan ditaksir 300 diantaranya adalah serdadu
KL (Kahin, 1955:576). Kekuatan bersenjata APRA yang menyerang Bandung menurut berbagai
buku yang berasal dari Dinas Sejarah Angkatan Darat diantaranya adalah Dinas Sejarah Kodam
Divisi Siliwangi dan Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat menyebut jumlah 800 personel
APRA, hal ini senada dengan Kahin (1952:576), sedangkan berdasarkan hasil wawancara
dengan H.D Pratikto (17 September 2005) jumlah personel APRA yang menyerbu markas
Militer Siliwangi diperkirakan sekitar 250-300 orang. Menurut surat kabar Warta Indonesia
(tanggal 26 Januari 1950) jumlah pasukan APRA yang menyerbu Bandung diperkirakan 500
orang. Jadi berdasarkan informasi-informasi yang telah berhasil di kumpulkan terdapat beberapa
versi mengenai jumlah personel APRA yang menyerang Bandung, jumlah 800 orang cukup
dapat diterima karena dalam penyerbuan tersebut pasukan APRA tidak terkonsentrasi pada satu
titik saja melainkan tersebar di beberapa titik, seperti markas divisi Siliwangi, jalan Asia Afrika,
Jl. Banceuy dan Jl. Riau
Kedatangan gerombolan pasukan dengan mengunakan truk-truk dan kendaraan lainnya
pada waktu itu tidak menimbulkan reaksi di kalangan penduduk karena hal ini dianggap kejadian
yang lumrah terjadi pada masa itu. Menurut informasi yang dikeluarkan Disjarah AD (1965:54)
penyerangan APRA ke kota Bandung dipimpin oleh Letnan Pontalo dan Letnan Sadikin yang
telah dipercaya sepenuhnya oleh Westerling untuk memimpin misi di Bandung.
Menurut Suara Bogor (24 Januari 1950), pasukan Westerling bergerak dari dua jalur
yaitu dari Utara (jalur Lembang) dan dari jalur Barat (jalur Cimahi). Keterangan dari Suara
Bogor ini diperkuat oleh informasi dari Abung Kusman (wawancara tanggal 10 Desember 2005)
yang mengatakan bahwa pasukan APRA yang menyerang Bandung terbagai kedalam dua jalur
yang masing-masing dipimpin oleh Letnan Pontalo dan Letnan Sadikin. Mereka kemudian
bertemu dan menggabungkan diri di Jl. Asia Afrika.
Suasana berubah menjadi ketegangan ketika pasukan APRA mulai melakukan tindakan
penembakan yang diarahkan kepada anggota-anggota TNI yang sedang berpatroli ataupun
penduduk yang ada berpapasan dengan gerombolan APRA ini. Menurut keterangan Jumahara
(wawancara tanggal 25 September 2005) salah satu penduduk sipil yang berada di sekitar jalan
Asia Afrika sekarang, ia mendengar letusan-letusan dari senjata dan rentetan tembakan kemudian
ia lari untuk bersembunyi. Menurut keterangannya, yang menjadi sasaran bukan hanya para
anggota TNI melainkan penduduk sipil yang berada di depan pasukan APRA juga menjadi
sasaran tembak. Selain menembaki mereka juga melakukan perampasan dan penjarahan terhadap
toko-toko yang berada di sana.
Pembunuhan pertama terjadi di Prapatan Jalan Bancey-Jalan Asia Afrika, dimana
seorang anggota TNI yang sedang mengendarai kendaraan Jeep telah di berhentikan dan
kemudian turut dan ditembak sehingga meninggal pada waktu itu juga. Kemudian disusul
kejadian pembunuhan di Jalan Braga, di Jalan Asia Afrika (di depan hotel Preanger) di jalan
Merdeka dan jalan Suniaraja-jalan Braga. Peristiwa penembakan ini juga di tulis dalam Warta
Indonesia tanggal 26 Januari 1950 yang menuliskan: ”..di jalan Perapatan Banceuy seorang TNI
sedang mengedarai Yeep distop, disuruh angkat tangan kemudian ditembak mati.”
Tindakan penembakan terhadap para anggota TNI dan penjarahan terhadap toko-toko
yang dilakukan tentara APRA telah menimbulkan kepanikan diantara anggota Staf Kwartier
Divisi Siliwangi yang waktu itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Sutoko. Tiba-tiba pasukan APRA
muncul dan menyerbu Staf Kwartier Divisi Siliwang, anggota TNI yang sedang berada disana
sebanyak 15 orang. Pertempuran berlangsung sekitar setengah jam, karena tidak ada persiapan
dan persedian peluru yang sangat sedikit dari pasukan Siliwangi pasukan APRA dapat
menguasai keadaan dan berhasil menguasai markas tersebut. Menurut H.D.Pratikto, yang
berhasil lolos adalah Letnan Mashudi, Letkol Sutoko dan Letkol Abimanyu yang bersembunyi
kemudian melompati tembok dibelakang markas Siliwangi. (wawancara H.D.Pratikto)
Ketika terjadi pertempuran yang berlangsung di Staff Kwartier, Letkol Lembong dengan
tergesa-gesa pergi ke Staf Kwartier. Sewaktu mobil yang di kendarainya memasuki halaman
Markas Staf Kwartier, tiba-tiba dihujani tembakan-tembakan, Letkol Lembong tidak sempat
melakukan perlawanan, akhirnya Letkol Lembong beserta ajudannya Letnan Leo Kailola kena
tembakan dan meninggal dunia. Menurut keterangan Amih (wawancara tanggal 10 Desember
2005) menyebutkan bahwa ia melihat secara langsung proses penembakan terhadap Letkol
Lembong yang baru datang, setelah Letkol terjatuh dari mobilnya kemudian di seret oleh
pasukan APRA dan dibacok berkali-kali oleh bayonet sampai mati.
Setelah berhasil melumpuhkan markas militer divisi Siliwangi, pasukan APRA terus
melakukan pendudukan terhadap tempat-tempat lainnya dan melakukan penyisiran di sepanjang
rute jalan yang mereka lalui. Selagi melancarakan penyisiran tersebut, tepat disekitar jalan Dago
dan jalan Riau, di depan Apotek Rathkamp, pasukan APRA berpapasan dengan para anggota
Komisi Penyelidik dan Percobaan Teknik (KPPT) Staf Q Angkatan Darat yang sedang
melakukan perjalanan dari Jl. Ringboulevard no.33 (sekarang jalan Dipati Ukur) ke arah menuju
jalan Dago.(Pusjarah AD,1965:57).
f. Usaha-Usaha Penyelesaian Perlawanan APRA oleh Divisi Siliwangi
Pada tanggal 24 Januari pasukan Westerling mulai meninggalkan Bandung dan
merencanakan untuk menggabungkan diri dengan pasukan APRA yang sudah berada di Jakarta.
Namun rencana ini sudah diketahui oleh pemerintah RI, setelah melakukan penyerangan ke
markas Kwartier Divisi Siliwangi (Jl Lembong sekarang) dan membunuh anggota tentara serta
warga sipil yang berada disana, pasukan APRA mulai beranjak untuk meninggalkan Bandung
dan bergerak menuju Jakarta.
Ketika peristiwa APRA terjadi, Panglima Divisi Siliwangi yaitu Kolonel Sadikin sedang
mengadakan perjalanan ke luar kota yaitu ke Subang bersama Gurbenur Jawa Barat, Sewaka.
Setelah menerima laporan tentang kejadian penyerbuan APRA terhadap kota Bandung,
kemudian Kolonel Sodikin melakukan perundingan untuk mengambil langkah-langkah yang
akan dilakukan. Keputusan dari perundingan mendadak ini diantaranya adalah Gurbenur Suwaka
akan berangkat ke Jakarta untuk menghadap Menteri Pertahanan, Sultan Hamengkubuwono IX
untuk melaporkan kejadian penyerbuan pasukan APRA ke kota Bandung dan menunggu perintah
untuk mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan masalah perlawanan APRA tersebut.
Usul yang disampaikan kepada Menteri Pertahanan dari Divisi Siliwangi Bandung adalah akan
menggunakan batalyon-batalyon Siliwangi yang ada di Jawa Barat dan kalau diperlukan akan
mendatangkan bala bantuan pasukan dari Jawa Tengah untuk melakuan penumpasan APRA
(Wawancara H.D Pratikto tanggal 17 September 2005).
Setelah mengadakan pembicaraan dengan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel
TB Simatupang, atas usulan tersebut disusunlah suatu instruksi yang isinya agar segera disiapkan
sejumlah batalyon untuk melakukan serangan balasan terhadap APRA yang menduduki kota
Bandung. Instruksi ini segera disampaikan kepada Panglima Siliwangi secara khusus, Kolonel
Sadikin yang pada waktu itu masih berada di Subang segera menyiapkan pasukan yang ada di
Subang untuk berangkat ke Bandung. (Pusjarah AD, 1965:68).
Pertemuan-pertemuan antara RIS dengan Komisasris Tinggi Belanda juga
sudah dilakukan sesaat setelah terjadinya penyerangan APRA pada tanggal 23 Januari 1950. dari
pihak TNI diwakili oleh Kepala Staf Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Dr. Ery Sudewo, dan dari
pihak Belanda diwakili oleh Komandan KNIL di Bandung Jenderal Engels. Hasil perundingan
yang diperoleh adalah tentara APRA harus meninggalkan Bandung pada tanggal itu juga yaitu
tanggal 23 Januari 1950. Hasil perundingan ini disampaikan kepada pemerintah RIS oleh
komandan KNIL bahwa pasukan APRA telah dapat dikuasai dan telah dikembalikan ketangsi-
tangsinya. Dengan adanya berita ini Kementrian Pertahanan RIS menganggap bahwa gejolak di
Bandung telah diselesaikan.
Hal itu tidaklah seperti yang dilaporkan oleh komandan KNIL kepada pemerintah RIS,
tidak semua anggota APRA dapat dikuasai dan banyak yang melarikan diri ke arah Barat kota
Bandung, yaitu kearah Cianjur.
Daerah Cianjur yang menjadi tanggung jawab Batalyon Kala Hitam di bawah pimpinan
Kapten Sutoko telah mengetahui bahwa APRA menuju ke daerahnya. Kapten Sutoko kemudian
menghubungi pos-pos pleton yang berada di Cianjur untuk segera bersiap menghadapi
kedatangan pasukan APRA dari Bandung yang akan menuju Jakarta. Pos terdepan Peleton I Ki I
di pimpin oleh Letnan Furqon (daerah Cipeyem), Pos Pleton II Ki I Ciranjang di pimpin oleh
Letnan Yusuf dan Pos Pleton III Ki I di pimpin Letnan Siradz.
Letnan Sirodz juga merupakan Komandan Kompi Bataliyon 301 yang memiliki nama
sandi kompi Kala Hitam. Letnan Sirodz yang sedang berjaga di Cikalong Kulon, Cianjur
mendengar kabar tentang pembunuhan para tentara anggota divisi Siliwangi dari seorang supir
mobil angkutan yang baru dari Bandung. Melalui informasi dari supir tersebut Letnan Siradz
mengerahkan anak buahnya yang berjumlah sekitar 50 orang untuk berjaga-jaga membentuk
pertahanan dan memblokade jalur masuk yang mungkin dilalui oleh para anggota APRA yang
mau hijrah ke Jakarta. (Hasil Wawancara dengan Pak. H.M Sirodz, 17 September 2005).
1. Pertempuran di Cipeyem
Para anggota TNI yang ada di pos terdepan Peleton I Ki I pimpinan Letnan Furqon
berjumlah 40 orang. Mereka sudah berjaga-jaga dari pagi dan menutup jalan dengan
menggunakan penghalang kereta api untuk menahan laju truk-truk yang dipakai oleh tentara
APRA.
Pada tanggal 24 Januari 1950 sekitar jam 15.00 WIB sore rombongan tentara APRA
mulai memasuki daerah Cipeyem. Iring-iringan pasukan APRA mengendarai 2 buah mobil Jeep
dan 7 buah truk berjalan secara beriringan. Mengenai jumlah dari pasukan APRA ini tidak
diketahui dengan pasti, menurut hasil wawancara dengan H.D Pratikto dan H.M Sirodz dapat
diperkirakan berjumlah sekitar 200 orang yang terbagi kedalam 7 truk.
Penghadangan ini menimbulkan kontak senjata yang cukup lama. Para anggota APRA
yang menggunakan truk menembaki para anggota Batalyon Kala Hitam dari Atas Truk, hal ini
menyulitkan para tentara batalyon pimpinan Letnan Furqon karena harus menjaga jarak tembak
dengan para pasukan APRA yang terlindungi di dalam truk. Karena kalah jumlah dan sulitnya
menghentikan truk-truk tersebut, pasukan yang dipimpin Letnan Furqon tidak dapat menahan
laju truk-truk tersebut dan pasukan APRA berhasil lolos. Walaupun tidak ada korban jiwa,
kontak senjata ini melukai beberapa anggota Batalyon pimpinan Letnan Furqon. Setelah tidak
berhasil menahan dan menghentikan pasukan APRA di daerah Cipeyeum, Letnan Furqon
menghubungi letnan Yusuf yang berada didaerah Ciranjang, untuk memnginformasikan ketidak
berhasilan penghadangan dan mengingatkan Letnan Yusuf dengan pasukannya agar bersiap-siap
menghentikan kedatangan rombongan tentara APRA tersebut.
2. Pertempuran di Ciranjang
Sekitar jam 19.00 Malam setelah Isya, rombongan APRA mulai memasuki daerah
Ciranjang. Anggota Batalyon yang berada di Ciranjang sudah mendengar dari letnan Furqon
mengenai kemungkinan masuknya pasukan APRA melalui Ciranjang atau Cipanas yang sedang
menuju ke Jakarta.
Sebelum melewati jembatan Cisokan, pasukan APRA telah melihat adanya tentara-
tentara yang sedang berjaga-jaga. Dalam keadaan gelap pasukan APRA mulai melakukan
penembakan atas pasukan TNI yang ada disana. Letnan Yusuf yang berjaga disana mengerahkan
pasukannya untuk menghentikan pasukan APRA tersebut dengan membolkade jalan dan
menembaki truk-truk tersebut dari pinggir-pinggir jalan. Dalam kontak senjata ini jatuh satu
orang korban dari TNI dan beberapa orang luka-luka.
Bentrokan di Ciranjang tidak berhasil menghentikan truk-truk tersebut sehingga pasukan
APRA berhasil melarikan diri dengan truk-truknya ke daerah Cikalong Kulon yaitu menuju ke
arah Utara. Letnan Yusuf tidak melakukan pengejaran karena tidak tersedianya alat untuk
mengejar, sehingga langsung menghubungi Letnan Sirodz yang juga sudah bersiap-siap di
Cikalong Kulon.
3. Penghadangan di Ciranjang
Letnan Sirodz yang sudah mendengar informasi dari Letnan Furqon dan Lentan Yusuf
segera memerintahkan anak buahnya untuk berjaga-jaga dan menghentikan setiap kendaraan,
terutama truk-truk yang mencurigakan. Sekitar Pukul 02.30 dini hari letnan Sirodz menghentikan
sebuah Pick Up yang dikemudikan oleh seseorang yang mencurigakan. Setelah dihentikan
kemudian ditanyaoleh Letnan Siradz,.
4. Pertempuran di Perkebunan Vada, Cikalong Kulon
Rombongan Truk-Truk yang dipimpin oleh seorang bernama Van Der Mullen tersebut
sebenarnya mau menuju ke Jakarta, karena ketakutan dan tidak mengetahui jalan akhirnya
mereka memutuskan untuk bersembunyi kedaerah perkebunan Karet milik Belanda yang
bernama perkebunan Vada.
Sekitar pukul 5:00 WIB pasukan batalyon dibawah pimpinan Letnan Sirodz dan pasukan
bantuan yang dipimpin oleh Letnan Bastaman melakukan pengejaran ke perkebunan Vada.
Setelah memperoleh informasi dari pekerja perkebunan yang melihat banyaknya tentara yang
memasuki perkebunan karet serta melihat truk-truk yang terparkir disana, letnan Sirodz beserta
anak buahnya yang berjumlah sekitar 50 orang dan pasukan bantuan yang dipimpin oleh letnan
Bastaman yang berjumlah sekitar 60 orang dan dibantu dengan para penduduk sipil dan pekerja
perkebunan mengepung para anggota APRA yang telah terdesak.
Setelah melakukan pencarian dan pengintaian, akhirnya secara serentak pasukan batalyon
Kala Hitam di bawah pimpinan Letnan Sirodz melakukan penyergapan terhadap para anggota
APRA yang tengah berada disekitar perkebunan. Dalam pertempuran ini pasukan APRA sudah
kelelahan dan ketakutan sehingga perlawanan yang diberikan kepada TNI tidak lagi kuat
Dalam pertempuran tersebut hampir semua anggota APRA berhasil di bunuh dan
dimusnahkan. Bahkan Van Der Mullen berhasil ditangkap oleh anak buah letnan Sirodz. Dari
pertempuran di perkebunan karet Vada ini sekitar 200 orang anggota APRA berhasil dibunuh,
sedangkan dari pihak batalyon Kala Hitam tidak ada yang meninggal, dan hanya beberapa orang
yang terluka.(Hasil Wawancara dengan Pak. H.M Sirodz, 17 September 2005)
Dalam pertempuran ini pasukan TNI berhasil merampas senjata-senjata dalam berbagai
jenis dan 7 buah truk dan 2 buah Jeep yang digunakan sebagai alat transportasi oleh pasukan
APRA. Dengan berakhirnya pertempuran di perkebunan Vada ini pasukan APRA yang sedang
melakukan perjalanan ke Jakarta dapat digagalkan dan pemimpinnya yaitu Van Der Mullen
dapat ditangkap. Dengan demikian berakhirlah perlawanan pasukan APRA di Bandung.
Berakhirnya Perlawanan APRA
Setelah kegagalan perlawanan APRA di Bandung dan keberhasilan divisi Siliwangi
dalam mengejar dan memusnahkan pasukan APRA yang akan hijrah ke Jakarta, secara umum
perlawanan APRA di Bandung berakhir. Kegagalan ini juga berdampak sangat besar kepada
perlawanan APRA secara keseluruhan. Karena Westerling yang menunggu dengan pasukannya
di perbatasan Jakarta yang menunggu bantuan dan supply senjata dari pasukan APRA di
Bandung tidak bisa dilaksanakan. Sehingga bisa dikatakan rencana penyerbuan di Jakarta gagal
sebelum dilaksanakan.
Menyadari akan kegagalan-kegagalan yang telah dialami, Westerling berusaha untuk
menghindarkan diri dari penangkapan oleh pemerintah RIS. Westerling kemudian melarikan diri
ke Singapura dengan menggunakan pesawat terbang jenis Cattalina milik Angkatan Laut
Belanda (Pusjarah AD, 1965:70). Westerling berhasil ditangkap oleh pemerintah Singapura
dengan tuduhan memasuki wilayah Singapura tanpa izin.
Pemerintah RIS segera mengusahakan kepada pemerintah Singapura untuk menyerahkan
Westerling kepada RIS sebagai pemimpin pemberontakan APRA dan dituduh sebagai penjahat
perang. Namun, karena tidak adanya hubungan diplomasi dan perjajanjian ektradisi antara RIS
dengan Singapura permohonan ini ditolak oleh pihak Singapura pemerintah Singapura kemudian
memberikan hukuman penjara selama satu bulan terhadap Westerling dengan dakwaan
memasuki wilyah Singapura dengan ilegal. Setelah satu bulan Westerling dikembalikan ke
Belanda.
Setelah kegagalan penangkapan Westerling, pemerintah RIS kemudian melakukan
penyelidikan terhadap tokoh-tokoh lainnya yang terlibat dalam gerakan APRA, setelah melalui
proses penyidikan dan penelusuran bukti-bukti dapat diketahui bahwa selain Westerling terdapat
tokoh lain yang terlibat dengan gerakan APRA yaitu Sultan Hamid II.
Sultan Hamid II adalah salah satu tokoh federal, dan menjabat sebagai Menteri Negara
Zonder Forte Feolio atau Menteri Negara tanpa porto polio. Berdasarkan keterangan Pusjarah
AD (1965:72), Sultan Hamid II adalah otak penyerbuan APRA ke Jakarta dan pada tanggal 24
Januari 1950 telah memerintahkan kepada Westerling untuk mengintruksikan Frans Nayoan
(Inspektur Polisi) untuk menyerbu Dewan Menteri yang akan bersidang. Dalam penyerbuan itu
diperintahkan agar semua menteri ditawan, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan
Hamengkubuwono IX, Sekertaris Menteri Pertahanan Mr. Ali Budihajo, Kepala Staf Angkatan
Perang Kolonel TB Simatupang harus ditembak mati. Untuk membuat alibi, Sultan Hamid II
juga memerintahkan Frans Nayoan untuk menembak kaki atau tangan Sultan Hamid II agar ia
terbebas dari kecurigaan atas keterlibatannya dengan APRA Penyerangan yang direncanakan
oleh Sultan Hamid II dimaksudkan untuk mewujudkan ambisinya yang menginginkan
kedudukan sebagai Menteri Pertahanan dan meminta persetujuan kepada Presiden untuk
membentuk kabinet baru.
Rencana penyerbuan ke Gedung Dewan Menteri ini tidak bisa direalisasikan karena
rencana ini dapat tercium oleh pemerintah RIS. Pemerintah RIS kemudian melakukan penjagaan
ketat dan mempercepat proses sidang hanya sampai jam 18:00 WIB.
Berdasarkan perintah Jaksa Agung pada tanggal 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap.
Berdasarkan Harian Warta Indonesia (6 April 1950) memberitakan :
“Pagi-pagi jam 04:00 CPM dan polisi telah menagkap Sultan
Hamid II di kamarnya di Hotel Des Indes No.152 sebelum
penangkapan dilakukan oleh petugas itu diberikan kepadanya
Surat Keputusan Presiden yang mengatakan ia telah
diberhentikan selaku Menteri Negara. Baru kemudian disampaikan
kepadanya Surat Perintah Penangkapan.
Dengan penangkapan ini gagalah percobaan untuk merongrong
kedaulatan pemerintah RIS. Alasan penangkapan ini ialah: bahwa
ia tidak hanya tersangkut bahkan memegang rol/peranan dalam
perencanaan penyerangan ke Bandung dan penyerbuan terhadap
Sidang Dewan Menteri”
Setelah penangkapan Sultan Hamid II, pemerintah RIS kemudian
mengeluarkan pengumuman resmi melalui kator berita Antara pada tanggal
5 April 1950 (Pusjarah, AD, 1965:73):
“Dengan menyesal sekali pemerintah Republik Indonesia Serikat
memberitahukan bahwa ia merasa berwajib untuk mengambil
tindakan terhadap salah seorang dari anggotanya.
Setelah pecahnya aksi Westerling di Bandung, pada tanggal 23
Januari 1950 telah timbul sangkaan, bahwa aksi ini merencanakan
dengan setahu atau malahan persetujuan saloah seoarang
anggauta Kabinet.
Tetapi bukti-bukti dalam pemeriksaan terhadap orang-orang yang
ditahan, mengatakan tidak dapat disangkal lagi, bahwa anggauta
pemerintah itu tidak hanya tersangkut, melainkan memberi
pimpinan terhadap aksi yang bertujuan menggulingkan negara.
Ucapan kepentingan ketentraman dan keamanan pemerintah RIS.
Pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang keras, dengan
memecatnya dari jabatan selaku Menteri Negara. Pun
diperintahkan penahanan atas diri Sultan Hamid II itu.
Pemerintah RIS berseru kepada segenap penduduk agar
memandang tindakan itu dengan tenang dan tentram.
Setelah penangkapan Sultan Hamid II, kemudian Sultan Hamid
diajukan ke Mahkamah Agung untuk diadili dengan tuduhan penghianatan
tehadap bangsa dan negara Indonesia. berdasarkan dokumen yang
dikeluarkan oleh Disjarah AD (1965:382-386), Sultan Hamid II dituntut
dengan:
Primair:
Bahwa ia di dalam bulan Januari 1950 jadi di dalam keadaan
perang di Jakarta atau tempat lain di Jawa dengan maksud
melawan pemerintah yang telah berdiri di Indonesia, telah
menyerbu dengan atau menggabungkan diri pada gerombolan
melawan kekuasaan pemerintah dengan senjata dan kemudian
mengangkat senjata terhadap pemerintah itu dengan jalan
mengadakan organisasi secara Militer yang dinamakan APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Westerling.
Subsidair:
Bahwa ia pada tanggal 24 Januari 1950 telah menyiapkan atau
mempermudah pemberontakan telah mencoba membujuk atau
menemui Westerling atau Frans Nayoan untuk melakukan
penyerbuan terhadap Sidang Dewan Menteri.
Subsider lagi:
Bahwa ia, telah mencoba membujuk atau mempengaruhi
Westerling atau Frans Nayoan untuk melakukan pembunuhan
dengan direncanakan terlebih dahulu atau pembunuhan biasa
dengan menembak mati ketika itu juga Menteri Pertahanan Sultan
Hamengkubuwono IX, Kolonel Simatupang dan Mr. Ali Budiajo,
akan tetapi percobaan kejahatan itu tidak sampai jadi dilakukan,
dalam proses penuntutan itu diajukan beberapa saksi yaitu:
Nayoaan, Paulus Frans.
Mr. T.L. Kruithoff.
Kiens, Yantianus.
Yusuf Barnas.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Simatupang TB
Mr. Ali Budiarjo
Adapun jaksa Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang mengadakan tuntutan itu adalah R.Suprapto
Sedangkan pembela dalam persidangan ialah Mr. Suryadi.
Setelah melaksanakan sidang, pada tanggal 8 April 1953, yang
diketuai oleh Mr. Wiryono Projodikono, dan Angota: Mr. Satachid Kartanagara
dan Mr. Husein Tirta Amijoyo dan Panitera Ranu Atnaja, Mahkamah Agung
menjatuhkan vonis kepada Sultan Hamid II berupa hukuman penjara selama
10 tahun, dikurangi masa tahanan dan larangan untuk tidak dipekerjakan
diluar gedung penjara.
Setelah putusan sidang terhadap Sultan Hamid II diputuskan,
perlawanan APRA secara umum bisa dikatakan sudah berakhir, walaupun
masih ada sisa-sisa APRA yang masih terus berusaha merongrong
kedaulatan RIS.
Sisa-sisa APRA yang masih ada kemudian menggabungkan diri dalam
suatu organisasi ilegal yang dikenal NIGO (Nederland Indisce Gerilya
Organisasi). Tokoh yang terkenal sebagai motor penggerak NIGO ini adalah
H.Y.G Scimidt dan L.N.Y. Yungslager (Pusjarah, 1965:75). Gerakan organisasi
NIGO ini tidak memiliki ruang gerak yang luas karena dinyatakan terlarang
oleh RIS dan pada akhirnya banyak dari anggota-anggotanya
menggabungkan diri dengan DI/TII di Jawa Barat terutama DI/TII pimpinan
Ahmad Sungkawa.
Setelah penangkapan ketua NIGO yaitu H.Y.G Scimidt dan L.N.Y.
Yungslager pada awal tahun 1954 oleh pihak kepolisian, kegiatan-kegiatan
NIGO dan sisa-sisa APRA telah berhasil diakhiri.
g. Akibat Peristiwa Perlawanan APRA
Peristiwa perlawanan APRA adalah salah satu kejadian yang mengemparkan di Bandung
dan telah menimbulkan banyak korban baik dari militer maupun warga sipil. Walaupun kejadian
puncaknya hanya satu hari yatu terjadi pada tanggal 23 Januari 1950, namun telah menggoreskan
luka pada rakyat kota Bandung khususnya dan Republik Indonesia pada umumnya bahwa
kekerasan senantiasa selalu merugikan.
Pada bagian ini penulis mencoba menguraikan beberapa akibat yang ditimbulkan dari
adanya Peristiwa perlawanan APRA di Bandung dalam berbagai bidang kehidupan.
Peristiwa perlawanan APRA merupakan salah satu bukti dari ketidakpuasan sekelompok
orang terhadap kemerdekan bangsa Indonesia. Kejadian ini membuat pemerintahan RIS yang
baru berdiri harus segera bebenah dan mengambil kebijakan-kebijakan penting untuk
menstabilkan keadaan yang terganggu.
Masalah Westerling menimbulkan kemarahan dari rakyat RI terutama kepada pemerintah
Belanda, hal ini tidak terlepas dari anggapan sebagain rakyat Indonesia bahwa Belanda ingin
kembali menjajah Indonesia.
Kahin (1954:557) menuliskan dalam bukunya:
“Masalah Westerling sungguh mengganggu hubungan Belanda
Indonesia. Bangsa Indonesia menjadi marah karena terlibatnya
beberapa perwira angkatan bersenjata Belanda dalam masalah
tersebut, dan mereka merasa bahwa komandan tertinggi
angkatan Bersenjata Belanda begitu bodoh dalam
mempertahankan pengawasan atas pasukan-pasukannya sendiri.”
Kemarahan rakyat tidak hanya ditujukan kepada pemerintah Belanda, golongan federalis
pun menjadi sasaran demonstrasi rakyat dalam hal ini pemerintah negara bagian Pasundan
ditekan oleh rakyat untuk segera diturunkan dan diganti. (wawancara Abung Kusman). Dengan
tertangkapnya Sultan Hamid II yang merupakan salah satu tokoh federalis, menjadikan posisi
golongan federalis bertambah sulit.
Pada tanggal 8 Februari 1950, kabinet RIS membuat konsep undang-undang darurat
mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah Pasundan kepada suatu Komisi negara yang
ditunjuk oleh pemerintah pusat. Pada tanggal 9 Februari 1950 Wali Negara Pasundan Wiranata
Kusuma secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada Sewaka, yang merupakan komisaris
baru yang ditunjuk oleh pemerintah RIS.
Setelah pecahnya perlawanan APRA di Bandung, secara politik berdampak terhadap
lahirnya gagasan untuk membentuk negara persatuan, karena sistem federal dianggap tidak
cocok dan telah gagal serta menimbulkan ketidakstabilan politik di Indonesia. Mayoritas
anggota senat RIS dan Majelis Permusyawaratan dan pemerintah RIS kemudian mengeluarkan
undang-undang darurat mengenai pembubaran negara-negara bagian untuk kembali digabungkan
dalam satu bentuk negara kesatuan Republik Indonesia.
Pada tanggal 7 Maret 1950 berdasarkan Undang-Undang Darurat tahun 1950, pasal 130
meresmikan pembubaran negara-negara bagian di Indonesia dan peresmian sistem negara
Indonesia yang baru yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kejadian tanggal 23 Januari di Bandung menimbulkan banyak reaksi dari berbagai
kalangan, reaksi-reaksi tersebut muncul baik dari masyarakat maupun tokoh-tokoh politik pada
waktu itu. Dari kalangan politisi memunculkan tekanan kepada pemerintah RIS untuk segera
menyelesaikan kasus Westerling dan segera dilakukan langkah-langkah hukum terhadapnya.
Reaksi dari beberapa tokoh Partai Politik pada waktu itu memberikan dampak sosial yang
sangat besar pada masyarakat Indonesia. dantaranya komentar dari Wondomiseno (Warta
Indonesia, 26 Januari 1950) yang mendesak pemerintah agar supaya mengambil tindakan tegas
atau masalah baru akan timbul yaitu gerakan pembalasan dari massa terhadap Belanda atau
orang-oarang asing yang ada di Indonesia.
Pendapat Wondomiseno diatas menunjukan kekhawatiran akan adanya aksi protes dari
masyarakat yang akan menimbulkan suasana chaos yang pada akhirnya akan semakin
memperburuk suasana. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya aksi protes dan demonstrasi yang
menuntut agar segera membubarkan negara bagian Pasundan.
Selain menimbulkan kemarahan rakyat, peristiwa APRA ini juga telah menyebabkan
kepercayaan masyarakat terhadap orang-orang federalis menurun, hal ini dikarenakan adanya
keterlibatan tokoh-tokoh federalis (Sultan Hamid II dan Anak Agung) dalam perlawanan APRA.
Dalam Bukunya Kahin (1952:578) menuliskan:
“…Keyakinan bahwa beberapa pejabat tertentu dari pemerintah
Pasundan telah mengadakan “perjanjian” dengan Westerling dan
Kenyataan bahwa sejumlah anggota Pemerintah Pasundan yang
berkebangsaan Belanda (dari pasukan polisi yang sebagian masih
dipimpin perwira Belanda), membelot kepada Westerling, benar-
benar merusak kedudukan golongan Federalis. Setelah Sultan
Hamid, satu dari sekutu utama mereka, tertangkap, kedudukan
mereka makin bertambah sulit.”
Akibat yang ditimbulkan dari peristiwa perlawanan APRA dalam bidang ekonomi adalah
kerugian material yang cukup besar hal ini meliputi kerusakan bangunan-bangunan fisik seperti
pertokoan dan rumah penduduk serta beberapa properti milik negara dan TNI.
Menurut wawancara dengan H.D Pratikto (7 September 2005), Jumahara (25 September
2005) dan Amih (10 Desember 2005), penyerangan pasukan APRA ke jalan Hospittalweg selain
melakukan penembakan dan pembunuhan terhadap anggota-anggota TNI, sebagian dari pasukan
APRA juga melakukan penjarahan dan pengrusakan terhadap toko-toko atau rumah penduduk
sekitar. Walapun tidak ada kepastian mengenai kerugian materi yang ditimbulkan dari
perlawanan APRA, berdasarkan informasi-informasi dari saksi mata tersebut dapat dipastikan
bahwa cukup banyak kerugian yang diderita oleh masyarakat.
Selain itu, pada tanggal 23-24 Januari suasana Bandung masih belum tenteram dan lalu
lintas masih kacau serta sarana telepon belum lancar, hal ini mengakibatkan terganggunya
kegiatan masyarakat dalam melakukan aktifitas perekonomian mereka. Dengan terganggunya
arus transportasi mengakibatkan kegiatan ekonomi sedikit banyak terganggu.
Secara umum perlawanan pasukan APRA di Bandung telah mengakibatkan kerugian-
kerugian yang tidak sedikit baik kerugian material maupun jatuhnya banyak korban jiwa.
Namun, diantara sekian banyak kerugian tersebut terdapat sisi positif yang bisa diambil
diantaranya adalah kesadaran masyaakat semakin tinggi terhadap keadaan keamanan
lingkungannya, kecintaan masyarakat terhadap bangsa dan negara semakin kuat karena melihat
betapa besar pengorbanan yang harus dibayar untuk sesuatu yang kita kenal dengan
kemerdekaan.