Appendisitis

26
Appendicitis Alitha Rachma Oktavia* NIM 102010278 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Ukrida *Alamat korespondensi Alitha Rachma Oktavia Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 No. Telp (021) 5694-2061, e-mail :[email protected] Definisi Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendix. Peradangan ini pada umumnya disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat appendix. Apendicitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan 1

description

appendisitis adalah

Transcript of Appendisitis

AppendicitisAlitha Rachma Oktavia*NIM 102010278Mahasiswi Fakultas Kedokteran Ukrida

*Alamat korespondensiAlitha Rachma OktaviaFakultas kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510No. Telp (021) 5694-2061, e-mail :[email protected]

DefinisiAppendicitis adalah suatu peradangan pada appendix. Peradangan ini pada umumnya disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat appendix.Apendicitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir.Radang usus buntu terpicu karena adanya sumbatan pada usus buntu. Sumbatan mengakibatkan pembengkakan usus buntu dan lama-lama tekanan intra-lumen apendiks meningkat, mengakibatkan dinding usus buntu rapuh dan perforasi / pecah.1

KlasifikasiKlasifikasi apendicitis terbagi atas 2 yakni : Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.1EpidemiologiAppendicitis menyerang 7-9% dari keseluruhan populasi di Amerika Serikat dan paling sering ditemukan pada umur 10-19 tahun walaupun secara jelas dapat juga terlihat baik pada pasien yang lebih muda maupun yang lebih tua. Insiden appendicitis di Amerika Serikat sekitar 1,1 kasus setiap 1000 orang per tahun. Terdapat faktor predisposisi dari keluarga. Insiden dari appendicitis adalah lebih rendah pada negara dengan budaya konsumsi makanan tinggi serat. Serat makanan dianggap mengurangi kekentalan feses, mengurangi bowel transit time dan mengurangi pembentukan fekalit, yang dapat menyebabkan obstruksi lumen apendiks.Secara umum insiden dari appendicitis sekitar 1,4 kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. Insiden dari appendektomi primer diperkirakan sama besar pada kedua jenis kelamin ini. Insiden dari appendicitis meningkat bertahap sesuai pertambahan umur, puncaknya pada akhir usia belasan tahun, dan secara bertahap menurun pada usia tua. Nilai median pada usia saat appendektomi adalah 22 tahun. Walaupun jarang, appendicitis pada neonatus dan bahkan pada prenatal tetap ditemukan.Keseluruhan angka kematian dari appendicitis yang berkisar antara 0,2-0,8% lebih banyak diakibatkan oleh komplikasi dari penyakit itu sendiri daripada intervensi bedah. Angka kematian meningkat diatas 20% pada pasien yang usianya lebih dari 70 tahun, biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi. Angka perforasi lebih tinggi pada pasien kurang dari 18 tahun dan lebih dari 50 tahun, kemungkinan akibat dari keterlambatan diagnosis. Perforasi dari apendiks berhubungan dengan peningkatan yang mencolok pada angka kematian dan kesakitan akibat appendicitis.2Etiologia. Peranan Lingkungan diet dan higiene Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan-makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendicitis. Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras.

b. Peranan Obstruksi Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam appendicitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan appendicitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus appendicitis sederhana (simpel), sedangkan pada appendicitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan appendicitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90% .Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya appendicitis pada neonatus.Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendicitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi.Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya appendicitis adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks, lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks. Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale. Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi.

c. Peranan Flora Bakterial Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam appendicitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap appendicitis sederhana. Pada tahap appendicitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendicitis gangrenosa atau appendicitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis.2

PatofisiologiApendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel, limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama, mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, dipedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadi perforasi. Sedangkan pada orangtua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

Keterangan: :Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut.Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti ganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi.Bila proses berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga muncul infiltrat appendikkularis.Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi, sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.3Gejala KlinikGambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain:1. Nyeri abdominal.Nyeri ini merupakan gejala klasik appendicitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc. Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritoneum biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.3. Nafsu makan menurun.4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,7-38,3 C.Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendicitis diketahui setelah terjadi perforasi.4

Pemeriksaan Fisik Inspeksi : Pada appendicitis akut biasanya ditemukan distensi perut. Palpasi : Pada regio iliaka kanan (pada titik Mc Burney) apabila ditekan akan terasa nyeri (nyeri tekan Mc Burney) dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (nyeri lepas Mc Burney). Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah (Nyeri tekan merupakan kunci diagnosis dari appendicitis). Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). Khusus untuk appendicitis kronis tipe Reccurent/Interval Appendicitis terdapat nyeri di titik Mc Burney tetapi tidak ada defans muscular sedangkan untuk yang tipe Reccurent Appendicular Colic ditemukan nyeri tekan di apendiks. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.Mengkaji kemungkinan apendisitis:Tanyakan di mana nyeri mulai terasa, sekarang terasa di bagian mana, minta pasien untuk batuk, di mana terasa sakit. Kemungkinan temuan pada apendisitis klasik, nyeri mulai terasa dekat umbilikus terasa di kuandran kanan bawah. Palpasi untuk melokalisasi nyeri tekan. Kemungkinan temuan nyeri tekan kuadran kanan bawah. Palpasi untuk kekakuan muskular. Kemungkinan temuan kekakuan kuadran kanan bawah.Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,50C. Bila suhu tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 10C.Pasien apendisitis akut biasanya ditemukan terbaring di ranjang dan memberikan penampilan umum perasaan tidak sehat. Kemudahan atau kesulitan pada gerakan mencapai posisi terlentang bisa menawarkan tanda pertama tentang ada atau tidak adanya iritasi peritoneum. Sikapnya di ranjang cenderung tak bergerak, sering dengan tungkai kanan fleksi. Inspeksi langsung abdomen biasanya tak jelas serta auskultasi atau perkusi tidak sangat bermanfaat dalam pasien apendisitis. kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler.Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci dgiagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda rovsing. Palpasi ringan abdomen dari sisi kiri ke kanan memungkinkan pemeriksa menilai rigiditas atau defans muskular ringan. Tujuan primer palpasi abdomen adalah untuk menentukan apakah pasien menderita iritasi perineum atau tidak. Tanda iritasi peritoneum adalah nyeri tekan lokalisata, khas dalam kuadran kanan bawah, rigiditas atau defans muskular derajat ataupun nyeri lepas. Palpasi abdomen yang lembut kritis dalam membuat keputusan, apakah operasi diindikasikan pada pasien yang dicurigai apendisitis, palpasi seharusnya dimulai dalam kuadran kiri bawah, yang dilanjutkan ke kuadran kuadran kiri atasm kuadran kanan atas dan diakhiri dengan pemeriksaan kuadran kanan bawah. Kadang-kadang pada apendisitis yang lanjut, dapat dideteksi suatu massa. Adanya nyeri tekan kuadran kanan bawah dengan spasme otot kuadran kanan bawah merupakan indikasi untuk operasi, kecuali ada sejumah petunjuk lain bahwa apendisitis mungkin bukan diagnosis primer. Pemeriksaan rectum dan pelvis harus dilakukan dalam semua pasien apendisitis. Pada apendisitis atipik, nyeri mungkin tidak terlokalisasi dari daerah periumbilicus, tetapi nyeri tekan rectum kuadran kanan bawah dapat dibangkitkan. Adanya nyeri tekan rectum kuadran kanan bawah dapat dibangkitkan. Adanya nyeri tekan atau sekret cervix pada wanita muda dengan nyeri kuadran kanan bawah membawa ke arah diagnosis penyakit peradangan pelvis.5

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis.2. Abdominal X-RayDigunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendicitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.3. USGBila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.4. Barium enema Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.5. CT-ScanDapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.6. LaparoscopiYaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.5

PenatalaksanaanMedika MentosaAda 3 prinsip utama pola pemberian antibiotik pada penderita yang di diagnosis dengan apendisitis akut, yaitu :1.Antibiotik diberikan preoperatif bila diduga telah terjadi perforasi.2. Antibiotik diberikan preoperatif, dan terus dilanjutkan bila dijumpai apendiks perforasi atau gangren.3. Antibiotik diberikan preoperatif pada semua penderita dengan apendisitis akut dan dilanjutkan hingga 3-5 hari.Hasil penelitian menunjukkan obat yang digunakan pada kasus apendisitis akut adalah antibiotika, analgetika, terapi cairan, antiulser dan antiemetika. Jenis antibiotika yang digunakan pasien apendisitis akut adalah sefalosporin generasi III (sefotaksim dan seftriakson), sefalosporin generasi IV (sefpirom), metronidazol, aminoglikosida (gentamisin), penisilin (ampisilin), dan karbapenem (meropenem). Pada saat KRS antibiotika yang paling banyak digunakan adalah siprofloksasin. Jenis analgetika yang digunakan adalah ketorolak trometamin, metamizol Na, dan tramadol HCl. Dosis obat yang digunakan semuanya sesuai dengan pustaka dengan rute pemberian iv dan per oral pada saat KRS. Efektivitas obat pada kasus apendsitis akut ditunjukkan dengan penurunan leukosit, LED, dan intensitas nyeri serta tidak didapatkan infeksi luka operasi (ILO). Problem obat pada kasus apendisitis akut hanya ditemukan pada satu pasien yaitu reaksi alergi (hipersensitifitas) terhadap sefotaksim.Metronidazol dan tinidazolMetronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung. Pada biakan E.histolytica dengan kadar metronidazol 1-2ug/ml, semua parasit musnah dalam 24 jam. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten terhadap metronidazol. Tinidazol memperlihatkan spektrum antimikroba yang sama dengan metronidazol. Perbedaannya dengan metronidazol ialah masa paruhnya yang lebih panjang sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal perhari, dan efek sampingnnya lebih ringan daripada metronidazol. Absorpsi metronidazol berlangsung dengan baik sesudah pemberian oral. Satu jam setelah pemberian dosis tungal 500 mg per oral diperoleh kadar plama kira-kira 10 ug/ml. Umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri yang sensitif, rata-rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8 ug/ml. Waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam. Pada beberapa kasus terjadi kegagalan karena rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin disebabkan oleh absorpsi yang buruk atau metabolisme yang terlalu cepat. Obat ini diekskresi melalui urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolit hasil oksidasi dan glukuronidasi. Urin mungkin berwarna cokelat kemerahan karena mengandung pigmen tak dikenal yang berasal dari obat. Metronidazol juga diekskresi melalui air liur, air susu, cairan vagina, dan cairan seminal dalam kadar yang rendah. Masa paruh tinidazol 12-24 jam. Kadar plasma setelah 24 jam, 10 ug/ml. Efek samping yang paling sering dikeluhkan ialah sakit kepoala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Muntah, diare, dan spasme usus jarang dialami. Lidah berselaput, glositis dan stomatitis dapat terjadi selama pengobatan dan ini mungkinberkaitan dengan moniliasis. Efek samping lain dapat berupa pusing, vertigo, ataksia, parastesia pada ekstremiatas, urtikaria, flushing, pruritus, disuria, sistitis, rasa tekan pada pelvik, juga kering pada mulut, vagina dan vulva. Pada pasien dengan riwayat penyakit darah atau dengan gangguan SSP, pemberian obat tidak dianjurkan. Bila ditemukan ataksia, kejang, atau gejala susunan saraf pusat yang lain, maka pemberian obat harus segera dihentikan. Metronidazol telah diberikan pada berbagai tingkat kehamilan tanpa peningkatan kejadian teratogenik, prematuritas dan kelainan pada bayi yang dilahirkan. Namun penggunaan pada trimester pertama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis metronidazol perlu disesuaikan pada pengguanaan bersama obat fenobarbital, prednison, rifampin karena meningkatkan metabolisme oksidatif metronidazol. Sedangkan simetidin dapat menghambat metabolisme metronidazol di hati.Metronidazol dan tinidazol terutama digunakan untuk amubiasis, trikomoniasis dan infeksi bakteri anaerob. Metronidazol efektif untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal.namun efeknya lebih jelas pada jaringan, sebab sebagian metronidazol mengalami penyerapan di usus halus. Pada abses hati, dosis yang digunakan sema besar dengan dosis yang digunakan untuk disentri amuba bahkan dengan dosis yang lebih kecil telah dapat diperoleh respons yang baik. Juga indikasikan untuk drankuliasis sebagai alternatif niridazol untuk giardiasis. Digunakan untuk profilaksis pasca bedah daerah abdomen, infeksi pelvik dan pengobatan endokarditis yang disebabkan oleh B.fragilis. juga dapat digunakan untukkolitis pseudomembranosa yang disebabkan oleh Clostridium difficile tetapi vankomisin meruapakan obat terpilih. Penelitian memperlihatkan metronidazol bermanfaat bagi beberapa pasien ulkus peptikum yang terinfeksi Helicobacter pylori.TramadolAdalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis reseptor u yang lemah, sebagian dari analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan norepinefrin. Tramadol sama efektif dengan morfin atau meperidin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Tramadol mngalami metabolisme di hati dan ekskresi oleh ginjal, dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7, 5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah pengguanaan secara oral dan mencapai puncaknya dalam 2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam. Dosis maksimum per hari yang dianjurkan 400 mg. Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi, dan sakit kepala. Karena efek inhibisinya sebgaiknya tidak digunakan pada pasien yang menggunakan penghambat monoamin-oksidase (MAO).6

Non Medika MentosaPada apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.a. Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirah baring dan dipuasakanb. Tindakan operatif ; appendiktomic. Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.10Tidak ada cara yang dapat mencegah perkembangan lanjut terjadinya apendisitis akut.Operasi apendektomi emergensi merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan untuk dapat mengurangi morbiditas dan mencegah mortalitas penderita. Dalam 24 jam pertama timbulnya gejala, dapat terjadi perforasi sebanyak kurang dari 20%, tapi meningkat cepat menjadi lebih 70% setelah 48 jam.

Pada penderita yang tidak dapat segera dilakukan tindakan operasi, penanganannya dilakukan dengan perawatan konservatif, penderita diobservasi ketat, istirahat total di tempat tidur, diet makanan yang tidak merangsang peristaltik dan pemberian antibiotik broad spektrum. Pasang drain bila terjadi abses.4

KomplikasiApendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderugan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan masa tersebut. Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang: tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif bila ada.Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Tromboflebitis supurativ dari sitem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis, mengigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intrabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.7

PencegahanSampai saat ini, tidak ada metode yang akurat untuk mengetahui bagaimana mencegah usus buntu. Namun, Anda dapat mengurangi risiko kematian dari usus buntu dengan memahami gejala-gejala umum dari kondisi tersebut, untuk mendapatkan pengobatan yang tepat sebelum berkembang menjadi serangan yang lebih parah. Ada beberapa tindakan pencegahan yang disarankan tetapi tidak ada cara standar untuk mencegah usus buntu dari terjadi. 1. Makanlah makanan kaya serat. Ada korelasi yang tinggi antara usus buntu dan diet serat rendah. Diet serat tinggi dapat lembut dengan sistem pencernaan. Diet serat larut terdiri dari buah-buahan dan sayuran biji-bijian, roti gandum, wortel, timun, zucchini, dan seledri merupakan diet serat non-larut. Mempertahankan diet yang baik dan seimbang juga dapat membantu mencegah usus buntu. Asupan Cairan juga penting untuk menjaga tubuh cukup terhidrasi. 2. Ukuran efektif yang paling baik untuk mencegah usus buntu dari berkembang menjadi lebih parah bentuknya akan pengakuan dari tanda-tanda awal umum radang usus buntu. Ini mungkin termasuk sakit perut terutama pada kuadran kanan bawah perut, terasa dari pusar ke bawah ke sisi kanan bawah perut, dan / atau muntah, kehilangan nafsu makan, perut bengkak, demam, sembelit dan mual. Setelah diobati, infeksi dapat berlanjut menyebabkan pecahnya usus buntu yang akan memerlukan operasi pengangkatan segera. Oleh karena itu, penting untuk mengenali gejala ini sebagai cara untuk mencegah usus buntu bagi kemajuan di lebih kondisi serius dengan mendapatkan diagnosis yang tepat dan pengobatan. 3. Ambil suplemen yang akan menjaga daya tahan tubuh yang kuat terhadap infeksi. Beta Carotene vitamin C dan seng dapat meningkatkan kekebalan tubuh saat koenzim A bantu proses tubuh untuk detoksifikasi.7

PrognosisDengan diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Angka kematian lebih tinggi pada anak dan orang tua. Apabila appendiks tidak diangkat, dapat terjadi serangan berulang.4

KesimpulanAppendicitis adalah peradangan pada appendix yang disebabkan oleh obstruksi dan infeksi. Diagnosis appendicitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keterlambatan dalam mendiagnosis dan melakukan tindakan dapat menyebabkan terjadinya abses atau perforasi. Penatalaksanaan appendicitis dilakukan dengan tindakan appendectomi, yaitu suatu tindakan bedah dengan mengangkat appendix.

Daftar Pustaka1. Sudoyono A W, Setiyohadi B, Alwi I dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.591-97.2. Isselbacher,dkk. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Vol 4. Jakarta : EGC;2000.H.1577-823. Corwin E J. buku saku patofisiologi. Edisi ke 3. Jakarta : EGC; 2009.h.614-15.4. Kowalak JP, Welsh W, Editor. Buku pegangan uji diagnostic. Ed. 3.jakarta : EGC, 2009.h.651-745.5. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC, 2009.h.83-8.6. Syarif Amir, Estuningtyas Ari, Setiawati Arini, Muchtar Armen, Arif Azalia, Bahry Bahroelim, dkk. Frmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 20087. Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rkhmi, Wardhani Ika Wahyu, Seiowulan Wiiwiek. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FK UI; 2007. Hal 307-310.

14