APLIKASI KLINIS

10
APLIKASI KLINIS A. Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) PPOK adalah suatu penyakit paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi saluran napas yang terjadi akibat penyampitan lumen saluran napas bagian bawah. Ketika resistensi saluran napas meningkat, harus diciptakan gradien tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan kecepatan aliran udara. Karena itu orang dengan PPOK harus berusaha lebih kuat untuk bernapas (Sherwood,2011). Penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. Spirogram pada pasien penyakit paru obstruktif, karena pasien mengalami kesulitan dalam mengosongkan paru daripada mengisinya maka TLC( Total Lung Capacity) pada hakikatnya normal. Akan tetapi ada peningkatan RV (Residual Volume), FRC (Fungsional Residual Capacity) yang terjadi akibat tambahan udara yang terperangkap dalam paru setelah ekspirasi normal maupun paksa. Karna RV meningkat, maka VC (Vital Capacity) berkurang. Selain itu juga ada penurunan FEV1 (force expiratory volume in 1 second), dan FEV1/FVC (Sylvia: 2005).

description

good

Transcript of APLIKASI KLINIS

APLIKASI KLINISA. Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK)PPOK adalah suatu penyakit paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi saluran napas yang terjadi akibat penyampitan lumen saluran napas bagian bawah. Ketika resistensi saluran napas meningkat, harus diciptakan gradien tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan kecepatan aliran udara. Karena itu orang dengan PPOK harus berusaha lebih kuat untuk bernapas (Sherwood,2011).Penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.Spirogram pada pasien penyakit paru obstruktif, karena pasien mengalami kesulitan dalam mengosongkan paru daripada mengisinya maka TLC( Total Lung Capacity) pada hakikatnya normal. Akan tetapi ada peningkatan RV (Residual Volume), FRC (Fungsional Residual Capacity) yang terjadi akibat tambahan udara yang terperangkap dalam paru setelah ekspirasi normal maupun paksa. Karna RV meningkat, maka VC (Vital Capacity) berkurang. Selain itu juga ada penurunan FEV1 (force expiratory volume in 1 second), dan FEV1/FVC (Sylvia: 2005).

Gambar: Perbandingan spirometri pasien denngan PPOK dan orang normal (Wijaya Putra, Paramarta. Et al. 2011. Diagnosis Dan Tataaksana PPOK. Universitas Udayana)

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:1. Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri : Normal 2. Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1 Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 80% 3. Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80% 4. Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4.Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50% 5. Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%

PPOK mencakup tiga penyakit kronis yaitu Bonkitis kronik, asma dan Emfisema. Menurut beberapa sumber, ada hubungan etiologik dan sekuensial antara bronkitis kronik dan emfisema, tetapi tampaknya tak ada hubungan antara kedua penyakit itu dengan asma (Sylvia, 2005).

1. Bronkitis KronikBronchitis kronik didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut turut. Sekresi yang menumpuk dalam bronchiolus mengganggu pernapasan yang efektif. Merokok atau pemajanan terhadap terhadap polusi adalah penyebab utama bronchitis kronik. Pasien dengan bronchitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan infeksi saluran pernapasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri, dan mikroplasma dapat menyebabkan episode bronchitis akut. Eksaserbasi bronchitis kronik hampir pasti terjadi selama musim dingin. Menghirup udara yang dingin dapat menyebabkan bronchospasme bagi mereka yang rentan (Smeltzer & Bare, 2001).Pengertian yang sama juga didapat dari sumber lain, bahwa Bronchitis kronis adalah kelainan yang ditandai oleh hipersekresi bronchus secara terus menerus. Bronchitis Kronis merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronchus dan bermanifestasi sebagai batuk kronis dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun sekurang-kurangnya dalam 2 tahun berturut-turut (Sylvia, Price, & Wilson, 2005).

2. EmfisemaEmfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oeh pembesaran aveolus dan ductus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar (Sylvia, 2005). Penyakit irreversibe ini timbul mealui dua cara berbeda. Emfisema paing sering terjadi karna pelepasan berebihan enzim tripsin dari makrofag alveous sebagai mekanisme pertahanan terhadap pajanan kronik zat iritan. Penyebab yang lain adalah ketidakmampuan tubuh secara genetis menghasilkan alfa1- antitripsin sehingga jaringan paru tidak terlindungi dari tripsin (sherwood,2011)Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya: a. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama. b. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah. Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi 1-antitripsin. c. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).3. AsmaAsma bronkiale adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990). Pengertian lain dari asma adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible, bahwa trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan nafas yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi (Smeltzer & Bare, 2002). Prinsip yang mendasari asma menurut beberapa definisi diatas bahwa pada asma bronkial ini terjadi penyempitan bronkus yang bersifat reversible yang terjadi oleh karena bronkus yang hiperaktif mengalami kontaminasi dengan antigen. Asma bronkial juga bisa dikatakan suatu sindrom yang ditandai dengan adanya sesak nafas dan wheezing yang disebabkan oleh karena penyempitan menyeluruh dari saluran nafas intra pulmonal.

B. Kelainan Paru RestriktifKelainan Paru Restriktif adalah gangguan pengembangan paru oleh sebab apapun. Gangguan ventilasi restritif ditandai dengan peningkatan kekuan paru, toraks atau keduanya, akibat penurunan keregangan dan penurunan semua volume paru, termasuk kapasitas vital. Kerja pernapasan meningkat untuk mengatasi daya elastik alat pernapasan sehingga napas menjadi cepat dan dangkal. Akibat fisiologi yang terbatas ini ada hipoventilasi aveolar dan ketidakmampuan mempertahankan tekanan gas darah norma (Sylvia 2011).Spirogram pada penyakit paru restriktif dimana paru kurang complient maka didapatkan hasil kapasitas paru total, kapasitas inspirasi serta kapasitas vital (VC) berkurang karna paru tidak bisa mengembang secara normal. Presentasi VC yang dapat dihembuskan dalam satu detik normalnya adalah 80% atau bahkan lebih tinggi karena udara dapat mengalir bebas disaluran napas (Sherwood,2010). Gambar: Perbedaan spirogram pada penyakit gangguan restriktif dan obstrutif. (Maestu, Luis Puente. Et al. Lung Function Tests in Clinical Decision-Making . Arch Bronconeumol. 2012;48:161-9. - Vol. 48 Num.05 DOI: 10.1016/j.arbr.2011)

Pola penyakit pernapasan restriktif secara kasar mungkin dapat dibagi menjadi dua subgroup berdasarkan lokasi patologisnya (Sylvia, 2011):1. EkstrapulmonalIstilah ekstrapulmonal menyatakan bahwa jaringan paru itu sendiri kemungkinan normal. Gangguan patologis yang sering terjadi pada keadaan ini adalah hipoventilasi alveolar, meskipun ini tak sepenuhnya benar pada kasus kifoskoliosis. Penyebab dari hipoventilasi alveolar ini sendiri adalah gangguan SSP yang menghentikan transmisi impuls saraf ke otot-otot pernafasan, gangguan neuromuskular, serta trauma rongga toraks.2. IntrapulmonalTerdapat banyak penyakit yang menyerang alveolus ataupun interstisial paru, baik lokal maupun difus, yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan. Jarinan paru yang masih sehat dapat mengalami kerusakan akibat serangan bakteri, virus, fungus, protozoa, atau sel-sel ganas serta inhalasi debu dan asap yang merangsang. Penyebab intrapulmonal pada disfungsi pernapasan restriktif mencakup gangguan pleura ( efusi atau radang pleura, dan pneumotoraks) serta gangguan parenkim paru (atelektasis, pneumonia, fibrosis pulmonal, dan sindrom disterss pernafasan dewasa (ARDS).

DAFTAR PUSTAKASherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGCPrice, Sylvia A. Et al. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed:6 Vol:2. Jakarta:EGCWijaya Putra, Paramarta. Et al. 2011. Diagnosis Dan Tataaksana PPOK. Universitas UdayanaBrunner and Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Editor:SuzanneC.Smeltzer,BrendaG.Bare.Jakarta:EGC. 2001Maestu, Luis Puente. Et al. Lung Function Tests in Clinical Decision-Making . Arch Bronconeumol. 2012;48:161-9. - Vol. 48 Num.05 DOI: 10.1016/j.arbr.2011