APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR...
Transcript of APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR...
APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT
FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAHAMAN AHLI
KITAB DALAM AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Siti Robikah
NIM 21514015
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
v
MOTTO
ل هافولك ول وم وا وجهةه ٱليرت ٱستبق م تبك
ون وا يأ ينماتك
ا جيع ٱلل أ
ءلقديرٱللإن ش ك ١٤٨لع
148. Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.
Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu. (Al Baqarah[2]: 148).
“ Rethinking the Past, Reshaping the Future”
Mun’im Sirry
vi
PERSEMBAHAN
Untuk Ayahanda,
Untuk Sang Motivator,
Untuk Keluargaku tercinta,
Untuk para Sahabat, Teman dan Seluruh Pembaca
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini
berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif اtidak
dilambangkan tidak dilambangkan
ba’ B be ب
ta’ T te ت
ṡa ṡ es (dengan titik di atas) ث
Jim J je ج
ḥa’ ḥ حha (dengan titik di
bawah(
kha’ Kh ka dan ha خ
Dal D de د
Żal Ż zet (dengan titik di atas) ذ
viii
ra’ R er ر
Zal Z zet ز
Sin S es س
Syin Sy es dan ye ش
ṣad ṣ صes (dengan titik di
bawah)
ḍad ḍ ضde (dengan titik di
bawah)
ṭa’ ṭ te (dengan titik di bawah) ط
ẓa’ ẓ ظzet (dengan titik di
bawah)
ain ‘ koma terbalik (di atas)‘ ع
Gain G ge غ
fa’ F ef ف
Qaf Q qi ق
Kaf K ka ك
Lam L el ل
ix
Mim M em م
Nun N en ن
Wawu W we و
ha’ H ha ه
Hamzah ` apostrof ء
ya’ Y ye ي
B. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap
Ditulis Muta’addidah متعددة
Ditulis ‘iddah عدة
C. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h
a. Bila dimatikan ditulis h
Ditulis Ḥikmah حكمة
Ditulis Jizyah جزية
(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa
Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya)
b. Bila diikuti kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.
x
`Ditulis Karâmah al-auliyā كرمة االولياء
c. Bila Ta’ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah ditulis t.
Ditulis Zakat al-fiṭrah زكاة الفطرة
D. Vokal Pendek
___ Fatḥah Ditulis A
___ Kasrah Ditulis I
___ Ḍammah Ditulis U
E. Vokal Panjang
Fatḥah bertemu Alif
جاهليةDitulis
Ā
Jahiliyyah
Fatḥah bertemu Alif Layyinah
Ditulis تنسىĀ
Tansa
Kasrah bertemu ya’ mati
كرميDitulis
Ī
Karīm
Ḍammah bertemu wawu mati
فروضDitulis
Ū
Furūḍ
xi
F. Vokal Rangkap
Fatḥah bertemu Ya’ Mati
Ditulis بينكمAi
Bainakum
Fatḥah bertemu Wawu Mati
قولDitulis
Au
Qaul
G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
Ditulis A`antum أأنتم
Ditulis U’iddat أعدت
Ditulis La’in syakartum لئن شكرمت
H. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah ditulis
dengan menggunkan “al”
Ditulis Al-Qur`ān القران
Ditulis Al-Qiyās القياس
`Ditulis Al-Samā السماء
Ditulis Al-Syams الشمس
xii
I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau
pengucapannya
Ditulis Żawi al-furūḍ ذوى الفروض
Ditulis Ahl al-sunnah اهل السنة
xiii
ABSTRAK
Robikah, Siti. 2018. Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman terhadap
Pemahaman Ahli Kitab Dalam Al-Qur’an. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag.
Kata Kunci: double movement, ahli kitab, Fazlur Rahman
Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan teori hermeneutika double
movement Fazlur Rahman dalam memahami term ahli kitab dalam al-Qur’an. Ahli kitab
pada masa sekarang ini sering menjadi perdebatan dari berbagai pemikir Muslim. Hal ini
dikarenakan adanya Surah yang menyatakan kebolehan menikahi ahli kitab (QS Al
Maidah:5). Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif
berbasis pada kajian pustaka berupa kajian tematik dengan menggunakan teori tokoh
tafsir era kontemporer, Fazlur Rahman. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah (1),
bagaimana hermeneutika double movement Fazlur Rahman?, (2) bagaimana aplikasi
hermeneutika double movement Fazlur Rahman dalam pemahaman ahli kitab dalam al-
Qur’an? dan (3) bagaimana relevansi aplikasi hermeneutika double movement Fazlur
Rahman terhadap pemahaman term ahli kitab dalam konteks Indonesia? Untuk menjawab
hal tersebut maka penulis menggunakan teori hermeneutika Gadamer yang berakhir pada
teori aplikasinya. Hermeneutika Fazlur Rahman menurut beberapa peneliti mempunyai
kemiripan dengan Gadamer.
Dalam pengaplikasikan teori Rahman harus melihat tiga komponen utama
yaitu situasi sekarang kembali ke situasi masa pewahyuan dan dikembalikan ke masa
sekarang sebagai sebuah jawaban. Berdasarkan penelitian ini, menghasilkan tiga
komponen penting yang harus ada dalam hermeneutika double movement Fazlur
Rahman. Pertama, ahli kitab masa sekarang (sebagai sebuah problem), kedua ahli kitab
pra Islam dan ahli kitab masa pewahyuan. Dari ketiga komponen tersebut akan
dikembalikan pada masa sekarang sebagai sebuah jawaban. Problem yang ada mengenai
ahli kitab masa sekarang adalah pertanyaan mengenai masih adakah ahli kitab pada masa
ini? setelah ditarik ke masa pewahyuan dimana terbagi dalam tiga komponen yang telah
disebutkan.
Maka hasil akhir dari ahli kitab masa sekarang masih ada karena secara
realitasnya Yahudi dan Nasrani tidak mengalami perubahan dalam hal teologis
(keimanan). Nasrani masih tetap menuhankan Yesus dan Yahudi tetap pada
kepercayaannya bahwa Uzair adalah anak Tuhan (at-Taubah:30). Menurut teori Rahman
legal spesifik dari ahli kitab adalah masih adanya ahli kitab pada masa sekarang dan ideal
moral (nilai yang dapat diambil) dari keragaman agama adalah adanya fastabiqul khoirat
dan menemukan kalimatun sawa dalam semua agama. Yang pada akhirnya dapat
membentuk masyarakat damai dan harmonisasi umat beragama tercapai. Setelah
ditemukan adanya ideal moral tersebut maka relevansi aplikasi hermeneutika double
movement dalam memahami term ahli kitab yaitu memperbolehkannya pernikahan beda
agama dengan catatan dapat menerapkan kedua prinsip dengan komprehensif. Berlomba-
lomba dalam kebaikan dan menemukan persatuan dalam kehidupan berumah tangga.
xiv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikna skripsi ini yang berjudul “Aplikasi Hermeneutika
Double Movement Fazlur Rahman terhadap Pemahaman Ahli Kitab Dalam Al-Qur’an”
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah menerangi dunia dari zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang dengan
kesempurnaan agama islam.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Keberhasilan
penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan semua pihak yang
terkait. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga.
2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M. Hum selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan
Humaniora (FUADAH) beserta jajarannya yang selalu memberikan dukungannya.
3. Ibunda Tri Wahyu Hidayati, M. Ag Selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
IAIN Salatiga yang tidak lelahnya mengingatkan untuk selalu bersemangat dalam
belajar dan selalu memberikan dukungan agar segera menyelesaikan tugas akhir ini.
xv
4. Ayahanda Dr. Adang Kuswaya, M.Ag selaku Dosen Pembimbing dan motivator
terbaik yang telah membimbing, memberikan nasihat, arahan, serta masukan-
masukan yang sangat membangun dalam penyelesaian tugas akhir ini.
5. Seluruh dosen dan petugas admin Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di IAIN
Salatiga yang telah banyak membantu selama kuliah dan penelitian berlangsung
terkhusus untuk Bapak Farid Hasan, S.Thi, M.hum, yang telah memberikan
bimbingan dalam penulisan proposal dan selalu mengingatkan agar segera
menyelesaikan tugas akhir dengan maksimal. Bu Ika, Pak Mujib dan Pak Tafin yang
selalu memberikan pelayanan terbaiknya.
6. Bapak Munawari dan Ibu Asiyah yang telah mencurahkan pengorbanan, kasih
sayang dan do’a restu yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis. Begitu juga
Abah Wafir Rahman dan Umi Lathifah yang selalu memberikan wejangannya agar
dapat memaksimalkan diri untuk mengaji dan kuliah.
7. Mbak Ula dan Mas Surur yang selalu memberikan dukungan agar segera
melanjutkan sekolah ke tingkat selanjutnya dan selalu direpotkan untuk translete
kebahasaannya. Ummul dan Ulil yang menyimpankan berjuta do’a untuk kesuksesan
penulis.
8. Motivator terbaik mas mk Ridwan yang tak pernah lelah memberikan pelajaran
berharga untuk tetap selalu belajar, membaca dan menulis dari mulai titik nol hingga
sekarang apa yang telah dicapai oleh penulis. Terima kasih pula untuk mbak
Khairunnisa, Tio famor, Sifa Arif, Putri SKA, Puput dan Eka SKA yang selalu
memberikan api penyemangat untuk tetap berkarya.
xvi
9. Keluarga besar IAT spesial untuk IAT 2014, Samsil, Day, Latep, Abrir, Fisa, Say,
Mpok, Mbak Nopita, Dek Wahyu, Nisa, Nenok, Yusta, Ucu, Layla, Aditya yang
melaju terus pantang mundur demi kesuksesan kita semua. Keluarga Mahasantri
Denok, Rima, Mba Cho, Mba Am dan Mba Ana yang selalu memberikan tambahan
asupan gizi setiap hari. Sahabat posko 101 pak ketua Ucil, Imam, Igun, Mamah,
Karin, Yulia, Uyun inces, Bu Es, Santi yang telah memberikan banyak hadiah cerita
dan tawanya. Teruntuk my twins Inay Hasanah yang selalu memberikan cerita beda
tiap harinya.
10. Teman-teman pesantrenku PPHQ Al Manshur yang selalu memberikan kesan indah
kebersamaan teruntuk Ri_ul, Yaya, Ustadzah Midah, Foajri, Bu Kunul, Nyai Mas
dan seluruh jajarannya. Terima kasih telah mau direpotkan, selalu menjadi pendengar
setia saat bercerita bersama di pesantren. Dan untuk kalian anak-anak PPRT yang
selalu mengajarkan kedewasaan dan kesabaran.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi para Pembaca dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Salatiga, 15 Maret 2018
Penulis
xvii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................... ii
NOTA PEMBIMBING ................................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi
TRANSLITERASI ARAB-LATIN .............................................................. vii
ABSTRAK ...................................................................................................... xiii
KATA PENGANTAR .................................................................................... xiv
DAFTAR ISI ................................................................................................... xvii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 7
E. Kajian Pustaka ...................................................................... 8
F. Dasar Pemikiran ................................................................... 14
G. Metodologi Penelitian ......................................................... 18
H. Sistematika Penulisan .......................................................... 20
BAB II : HERMENEUTIKA AL QUR’AN FAZLUR RAHMAN
A. Hermeneutika Barat ............................................................. 19
xviii
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika .............. 19
2. Model- model Hermeneutika ......................................... 23
B. Hermeneutika Barat dan Tafsir al-Qur’an ........................... 31
1. Teori kesadaran sejarah dan teori pra pemahaman ........ 32
2. Teori Fusion of Horizons dan Dirasat ma hawla
al-Nashsh ........................................................................ 33
3. Teori Aplikasi dan Interpretasi Ma’na cum Maghza ..... 33
C. Teori Double Movement Fazlur Rahman ............................. 43
1. Setting Historis Rahman dan Teorinya ......................... 43
2. Contoh aplikasi Double Movement ............................... 56
BAB III : PEMAHAMAN AHLI KITAB DARI BERBAGAI PERSPEKTIF
A. Terminologi Ahli Kitab ........................................................ 60
B. Pergeseran Makna Ahli Kitab ............................................. 62
C. Apresiasi al-Qur’an Terhadap Ahli Kitab ........................... 72
BAB IV : APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT
FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAKNAAN AHLI KITAB
A. Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman Terhadap
Pemaknaan Ahli Kitab ......................................................... 86
1. Ahli Kitab Masa Sekarang ............................................ 86
2. Ahli Kitab Masa Pra-Islam ............................................ 92
3. Ahli Kitab Masa Pewahyuan ......................................... 97
a. Masa Pewahyuan di Mekah .................................... 97
xix
b. Masa Pewahyuan di Madinah ................................. 101
4. Ahli Kitab Masa Sekarang Sebagai Jawaban ................ 111
B. Skema Double Movement dalam Memahami ahli kitab ..... 113
C. Relevansi Aplikasi Double Movement Terhadap Pemaknaan
Ahli Kitab Dalam Konteks Indonesia ................................. 113
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 114
B. Saran .................................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 119
CURICULUM VITAE ................................................................................... 124
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Shahih li Kulli zaman wa makan” adalah salah satu tujuan terpenting atas
al-Qur’an sebagai petunjuk umat Islam. Al-Qur’an tidak akan mampu memberi
petunjuk kepada umat Islam jika umat Islam sendiri tidak tergerak untuk
mengungkap rahasia ayat-ayat al-Qur’an. Salah satu hal yang perlu diperhatikan
dalam mengungkapkan rahasia ayat al-Qur’an adalah dengan melakukan
penafsiran. Tafsir telah ada sejak Nabi Muhammad yang kemudian dilanjutkan
pada masa Sahabat sampai pada masa kontemporer saat ini. Pendekatan yang
digunakan para Mufasir dari masa klasik hingga kontemporer semakin beragam.
Belakangan ini, ada sejumlah pemikir muslim kontemporer yang ingin
memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan atau bahkan pengganti Ilmu
al-Qur’an dan tafsir.1
Hermeneutika dimunculkan sebagai salah satu metode penafsiran
dikarenakan anggapan bahwa metode terdahulu tidak mempunyai variabel
kontekstualisasi. Metodologi tafsir yang dikembangkan ulama masa lalu,
diasumsikan terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik,
terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas. Paradigma tafsir klasik
dianggap memaksakan prinsip-prinsip universal al-Qur’an dalam konteks
apapun ke dalam teks al-Qur’an. Akibatnya pemahaman yang muncul cenderung
1 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana
Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002).
2
tekstualis-literalis. Dengan demikian menurut pandangan ini, dekontruksi
sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran al-Qur’an adalah suatu
keniscayaan.2
Kemunculan hermeneutika sebagai metode penafsiran al-Qur’an tidak
berjalan secara mulus. Kontroversi hermeneutika semakin marak ketika banyak
dari mufasir kontemporer memunculkan metode hermeneutika sebagai metode
baru untuk menafsirkan al-Qur’an. Sebagai contoh Hassan Hanafi menjelaskan
bahwa hermeneutika bukan sekedar teori penafsiran dan pemahaman, namun ia
adalah ilmu yang menerangkan proses penerimaan wahyu sejak perkataan
sampai pada tingkat kenyataan, serta meggambarkan pemikiran Tuhan kepada
manusia. Untuk dapat memahami teks sangat diperlukan kritik kesejarahan,
guna menjamin keaslian sebuah teks atau kitab suci. Hassan Hanafi menilai
bahwa belum tentu semua teks bebas dari ketidakaslian dan tidak mengalami
distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Mengetahui keaslian teks akan
mempermudah proses penafsiran dan menghasilkan pemahaman yang tepat.3
Berbeda dengan pernyataan Hassan Hanafi di atas, sebagian kalangan
yang menolak adanya hermenutika sebagai metode tafsir mengatakan bahwa
hermeneutika berasal dari Barat dan digunakan pada awalnya untuk mengkritisi
kitab suci Bibel. Adian Husaini sebagai salah satu dari golongan tersebut,
mengatakan terdapat tiga persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan
2 Sudarto Muwafiq, “Hermeneutika Al Quran: Kritik Atas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid”,
Akademika, (Vol.9, No.1, Juni 2015), hlm. 3 Reflita, “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir(menimbang Penggunaan
Hermeneutika dalam Penafsiran Al Quran), Jurnal Ushuluddin, (Vol.24, No.2, Juli-Desember
2016), hlm. 139
3
dalam tafsir al-Qur’an. Pertama, hermeneutika menghendaki sikap yang kritis
dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneut tidak bisa
lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun
budaya masyarakat pada saat teks itu dilahirkan. Kedua, hermeneutika
cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia) dan mengabaikan
hal-hal yang sifatnya transenden (illahiyyah). Ketiga, aliran hermeneutika sangat
plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada
gilirannnya menjadi repot untuk diterapkan.4Hal tersebut tidak menjadi hal yang
perlu diperdebatkan karena jika dilihat pada masing-masing golongan
mempunyai landasan atas apa yang diungkapkannya.
Pada masa kontemporer ini, bisa dilihat bahwa problematika yang
dihadapi oleh umat Islam semakin beragam dan memang harus ada pembaharuan
metode penafsiran yang memperhatikan konteks kehidupan di masa sekarang.
Maka dari itu, meskipun terdapat pro dan kontra atas hermeneutika tidaklah
menjadi kekeliruan ketika umat Islam menggunakan metode tersebut untuk
menafsirkan al-Qur’an. Salah satu tokoh yang telah menerapkan hermeneutika
sebagai metode tafsir al-Qur’an yaitu Fazlur Rahman. Salah satu tokoh
pembaharu dalam Islam kelahiran Pakistan, menawarkan satu metode tafsir
dalam memahami teks al-Qur’an yang dinamai dengan double movement theory,
dimana gerakan pertama merupakan penjabaran dari tiga pendekatan penafsiran
al-Qur’an yaitu pendekatan historis, kontekstual dan sosiologis. Sedang gerakan
4 Reflita, “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir(menimbang Penggunaan
Hermeneutika dalam Penafsiran Al Quran)”, hlm. 142
4
kedua merupakan upaya merumuskan prinsip, nilai, dan tujuan al-Qur’an yang
telah disistematisasikan melalui gerakan pertama terhadap situasi atau kasus
aktual saat ini.5 Dalam hal ini penulis mencoba mengaplikasikan hermeneutika
Fazlur Rahman (selanjutnya akan ditulis Rahman) untuk memahami term ahli
kitab dalam al-Qur’an yang berimplikasi pada problem pernikahan beda agama.
Pernikahan beda agama menjadi sebuah problem yang masih
diperbincangkan sampai saat ini. Dapat dilihat dalam Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/ MUI/8/2005 memutuskan bahwa pernikahan
beda agama antara laki-laki muslim dengan ahli kitab menurut qaul mu’tamad
adalah tidak sah (haram).6 Hal ini juga dijelaskan dalam al-Qur’an Q.S. Al
Baqarah:221,
221. dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
5 Labib Muttaqin, “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Doktrin
Kewarisan Islam Klasik”, Al Manahij:Jurnal Kajian Hukum Islam, (Vol.VII, No.2, Juli 2013),
hlm.196 6 Majelis Ulama Indonesia dalam Musywarah Nasional MUI VII pada tanggal 19-22 Jumadil
Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M
5
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.
Ayat tersebut menjelaskan secara tekstual jika tidak diperbolehkannya
orang Islam (laki-laki) menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman. Berbeda dengan ayat diatas, jika melihat dalam QS Al Maidah:5
menjelaskan bahwa adanya kebolehan menikahi ahli kitab bagi orang Islam.
5. pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Dari kedua ayat tersebut menjadi penyebab adanya perbedaan pendapat
dari kalangan para Ulama. Yang menjadi sorotan utama pada kedua ayat tersebut
6
adalah membedakan antara wanita musyrik (yang dilarang untuk dinikahi) dan
Ahli kitab (yang boleh dinikahi). Maka dari itu menjadi kegelisahan penulis
untuk mencari masih adakah ahli kitab yang dimaksudkan dalam ayat tersebut
dengan mencoba mengaplikasikan hermeneutika Fazlur Rahman dalam
memecahkan problematika nikah beda agama di kalangan umat Islam.
Ada beberapa alasan akademik penulis memilih riset dengan tema
hermeneutika oleh tokoh Fazlur Rahman dan diaplikasikan untuk memahami
term Ahli kitab bukan yang lain. Pertama, Rahman adalah salah satu garda
depan pencetus hermeneutika yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an.
Kedua, Hermeneutika Rahman menarik untuk diteliti dikarenakan konsep yang
dicetuskan sistematis dan mudah dipahami. Ketiga, pemahaman atas term Ahli
kitab masih penting untuk diperjelas karena menimbulkan banyaknya perbedaan
pendapat di kalangan umat. Maka dari itu penulis ingin menerapkan
hermeneutika Rahman untuk memahami term Ahli kitab yang implikasinya pada
problem pernikahan beda agama.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep hermeneutika Fazlur Rahman?
2. Bagaimana Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman
terhadap pemahaman term Ahli kitab dalam al-Qur’an?
3. Bagaimana Relevansi Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur
Rahman terhadap pemahaman term Ahli kitab dalam Konteks Indonesia?
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep hermeneutika Fazlur Rahman.
2. Untuk mengetahui Aplikasi Hermeneutika Fazlur Rahman terhadap
pemahaman term ahli kitab dalam al-Qur’an.
3. Untuk Mengetahui Relevansi Aplikasi Hermeneutika Double Movement
Fazlur Rahman terhadap pemahaman term Ahli kitab dalam Konteks
Indonesia.
D. Manfaat dan Kontribusi
Sebuah karya akademik harus memiliki manfaat dan kontribusi dalam
pengembangan keilmuan Islam, dalam konteks ini adalah studi al-Qur’an.
Secara umum penelitian ini bermanfaat untuk mencari pengertian yang jelas
tentang term ahli kitab dalam al-Qur’an dengan metode hermeneutika Fazlur
Rahman. Secara terperinci manfaat dan kontribusi penelitian ini, sebagai berikut:
1. Memperluas kajian seputar metodologi penafsiran al-Qur’an sebagai
salah satu sarana untuk menjawab problematika di era kontemporer ini
salah satunya dengan metode hermeneutika.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memperbarui mindset umat Muslim
mengenai term-term al-Qur’an yang masih menimbulkan kontroversi
di antara pendapat para Ulama’.
3. Memberikan wawasan tentang double movement theory yang
diaplikasikan pada term ahli kitab dalam al-Qur’an dan menemukan
pesan al-Qur’an secara kontekstual.
8
E. Kajian Pustaka
Disertasi yang telah dibukukan karya Ahmad Syukri pada tahun 2007
dengan judul “Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pemikiran
Fazlur Rahman” menjelaskan bahwa: pertama, metode tafsir Rahman muncul
disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an, metode klasik
dan modern tidak lagi kondusif bagi kehidupan umat Islam dewasa ini. Para
pakar modern belum mampu menawarkan metode tafsir yang sistematis dan
setia pada ajaran al-Qur’an dalam menghadapi persoalan kontemporer. Maka
dari itu, menurut Rahman perlunya rancangan sebuah metode tafsir yang dapat
berlaku adil terhadap tuntunan intelektual dan integritas moral yang mengacu
pada kritik sejarah dalam pengertian yang lebih luas. Metode yang diusulkannya
berbeda dengan para mufasir sebelumnya, dimana ia mengusulkan pendekatan
sejarah dan hermeneutika yang diserap dari sumber klasik dan modern Islam
serta Barat kontemporer.
Kedua, proses perumusan metode ini berlangsung tidak kurang dari 12
tahun. Gagasan pertama dengan nama metode penafsiran sisitematis, kemudian
disempurnakan dengan dua gerakan pemikiran hukum, yaitu pemikiran dengan
berangka dari yang khusus kepada yang umum, kemudian dari umum ke khusus.
Akhirnya, metode ini hadir dalam bentuknya yang final dengan nama gerakan
ganda. Ketiga, gerakan ganda didefinisikan sebagai sebuah metode yang
bertolak dari situasi sekarang menuju masa al-Qur’an diturunkan lalu kembali
pada masa sekarang. Keberadaan metode Rahman merupakan kontribusi yang
sangat berarti dalam sejarah perkembangan al-Qur’an metode tafsir
9
kontemporer. Metode Rahman menjadikan asbab al-nuzul dan konteks historis-
sosiologis masyarakat di mana al-Qur’an diturunkan sebagai pertimbangan
dalam menggali prinsip-prinsip umum dan mengajukan model penafsiran yang
memperlihatkan keterkaitan aspek teologi, etika, dan hukum yang merupakan
manifestasi syariat Islam.7
“Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Doktrin
Kewarisan Islam Klasik” artikel yang ditulis oleh Labib Muttaqin dalam jurnal
Al Manahij Vol. VII, No.2, Juli 2013 berisi tentang tawaran Rahman terhadap
suatu metode penggalian hukum agar prinsip-prinsip umum dan semangat teks
al-Qur’an tetap tertanam dalam suatu hukum. Metode yang dikembangkan oleh
Rahman mengupayakan agar al-Qur’an tidak hanya dipahami sebagai doktrin
normatif semata, tetapi juga harus dikembangkan menjadi konsepsi operatif,
sehingga tetap adanya kesinambungan dan relevansi dari suatu teks al-Qur’an
dengan realitas sosial yang terus berlangsung. Berkembangnya suatu peradaban
dan tatanan sosial adalah sebuah keniscayaan. Hal ini juga berlaku pada
eksistensi dan peran perempuan pada saat ini baik dalam ranah publik maupun
domestik. Realitas inilah yang kemudian dijadikan indikator bagi Rahman dalam
menafsirkan kembali teks-teks kewarisan yang ada dalam al-Qur’an. Dalam re-
interpretasinya, Rahman menggunakan teori double movement dengan
pendekatan historis-kontekstual yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa
7 Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Quran Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur
Rahman, (Jakarta: badan Litbang dan Diklat Departemen Agama,2007), hlm.x-xi
10
ketentuan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan yang tadinya
dipahami 2:1 menjadi 1:1. 8
Dr. Sa’dullah Assa’idi dalam bukunya “Pemahaman Tematik Al-Qur’an
menurut Fazlur Rahman” yang diterbitkan oleh Pustaka pelajar pada November
2013 memusatkan pembahasannya pada telaah metodologis atas Major Themes
of the Qur’an karya Fazlur Rahman. Metodologi yang dimaksud merupakan
suatu analisis dan pengaturan yang sistemik mengenai prinsip dan proses
rasional serta eksperimental, dan mengarah pada penyelidikan ilmiah.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
yang berlandaskan pada filsafat rasionalisme. Langkah yang ditempuh selalu
dimulai dengan berfikir menggunakan rasio, karena yang menjadi objek
penelitian itu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun di atas
kemampuan argumentasi secara logis.
Studi tentang pemikiran tafsir atas Major Themes of the Qur’an karya
Fazlur Rahman mempunyai muatan kontributif terhadap bidang keilmuan
sumber ajaran Islam, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) terutama ilmu
tafsir al-Qur’an. Paradigma Rahman tentang pandangan al-Qur’an yang kohesif
mengenai alam semesta dan kehidupan memberikan perluasan misi “tafsir”,
bukan sekedar berarti menjelaskan ayat al-Qur’an, akan tetapi justru
menafsirkannya dalam arti memberikan petunjuk. Studi tafsir al-Qur’an
menggunakan paradigma Rahman dapat memberikan kontribusi dalam
8 Labib Muttaqin, “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur rahman Terhadap Doktrin
Kewarisan Islam Klasik”, Al Manahij, (Vol.VII, No.2, 2013), hlm.195- 206
11
pengembangan ilmu-ilmu Islam. Jadi, buku ini merupakan book review karya
Fazlur Rahman Major Themes of the Qur’an.
Tulisan Mawardi “Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman (Teori
Double Movement” dalam buku Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis yang
diterbitkan oleh eLSAQ Press pada tahun 2010 berisi tentang teori double
movement terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari arti khusus (partikular) ke
umum (general). Artinya sebelum seorang mufasir mengambil kesimpulan
hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara
tekstual dalam suatu ayat dengan meniliti alasan hukumnya, baik yang disebut
eksplisit maupun implisit. Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang
berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan
saat al-Quran diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang
mufasir. Setelah itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin
disampaikan oleh al-Qur’an. Adapun mengenai ayat-ayat teologis-metafisis,
Rahman menawarkan sebuah pendekatan sintesis logis, yaitu pendekatan dengan
mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang akan dibahas dan
yang berhubungan tidak selalu berbicara tentang tema yang sama.9
Artikel jurnal Al-Dzikra dengan judul “Konsep Ahlul al-kitab dalam Al-
Qur’an Menurut Penafsiran Muhammed Arkoun dan nurcholish Madjid” yang
ditulis oleh Andi Eka Putra Dosen Fakultas ushuluddin IAIN Raden Intan
Lampung diterbitkan pada Vol.X,No.1, Januari-Juni tahun 2016 ini menjelaskan
9 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:eLSAQ Press, 2010),hlm. 59-
82
12
tentang konsep ahli kitab dalam perspektif Arkoun dan Nurcholish Madjid.
Keduanya melihat komunitas Ahli kitab tidak hanya pada agama Yahudi dan
Nasrani saja akan tetapi bagi mereka yang menganut kitab suci berdasarkan
keyakinan mereka masing-masing. Dalam hal ini Cak Nur dan Arkoun
menawarkan model penafsiran baru dengan memasukkan pertimbangan relasi
antar umat beragama yang semakin inklusif dan dialogis. Perbedaannya jika Cak
Nur tetap menggunakan kata ahli kitab akan tetapi Arkoun mengubahnya
menjadi masyarakat kitab. Implikasi dari tafsiran Cak Nur dan Arkoun mengenai
ahli kitab dalam al-Qur’an memberikan wawasan baru seputar hubungan antar
umat beragama. Keduanya menawarkan konsep yang bermuara pada rethinking
Islam, memikirkan kembali Islam dalam menerima keberadaan agama lain.
Konsep Ahli kitab dalam al-Qur’an pada prinsipnya mengajak umat beragama
untuk saling menyapa, berdialog dan hidup dalam kedamaian dan ketentraman
bersama.10
Waryono Abdul Ghafur menuliskan dalam bukunya yang berjudul
“Persaudaraan Agama-Agama, Millah Ibrahim dalam Tafsir Al Mizan”
diterbitkan oleh mizan pada November 2016 juga menjelaskan perihal ahli kitab
dalam tafsir Al Mizan. Dia membagi Ahli kitab menjadi dua bagian yaitu ahli
kitab yang mukmin dan Ahli kitab yang kafir. Dalam buku ini pembahasan ahli
kitab hanya secara singkat dengan mencari ayat yang berhubungan dengan ahli
10 Andi Eka Putra,”Konsep Ahlil al-Kitab dalam Al Quran Menurut Penafsiran Muhammed
Arkoun dan Nurcholish Madjid”, Al-Dzikra, (Vol.X, No.1,2016),hlm. 43-65
13
kitab kemudian menafsirkannya dengan menggunakan tafsir Al Mizan karya
Thabathaba’i.11
Artikel Ali Masrur dengan judul “Ahli kitab Dalam Al-Qur’an (Model
Penafsiran Fazlur Rahman)”. Dalam tulisannya, Masrur menjelaskan
keselamatan ahli kitab dalam perspektif Fazlur Rahman, yang pada akhir
tulisannya tersebut, Masrur memberikan kritikan terhadap pemikiran Fazlur
Rahman. Menurutnya, dalam menafsirkan ayat mengenai keselamatan ahli kitab
Rahman lebih menekankan pada esensi dan substansi ajaran Islam. Masrur juga
menyimpulkan dari pemikiran Rahman mengenai ahli kitab bahwa ahli kitab
tidak hanya terbatas pada Yahudi dan Nasrani akan tetapi semua agama yang
mempunyai seorang utusan pembawa berita.
Dengan adanya pencarian penelitian ataupun artikel sebelumnya, maka
didapati bahwa penelitian ini mempunyai kesamaan pada pembahasan teori
double movement Fazlur Rahman dengan mengkonsentrasikan pembahasan
yang berbeda-beda. Ahmad Syukri dan Mawardi mengkonsentrasikan
pembahasan secara mendalam pada metodologi teori double movement Fazlur
Rahman. Dalam tulisannya, Labib Muttaqin menjelaskan aplikasi double
movement pada problem kewarisan Islam. Kemudian, Dr. Sa’dullah yang
membahas tentang metode yang digunakan Fazlur Rahman dalam bukunya
Major Themes of the Quran. Artikel yang membahas tentang ahli kitab seperti
Andi Eka dan Waryono akan tetapi memiliki perbedaan pada penggunaan
11 Waryono Abdul Ghofur, Persaudaraan Agama-Agama;Millah Ibrahim dalam Tafsir Al
Mizan, (Bandung:PT. Mizan Pustaka,2016),hlm.191-120
14
metodenya. Penelitian Ali Masrur yang berfokus pada ahli kitab dengan metode
penafsiran Fazlur Rahman sebenarnya mempunyai kesamaan yang signifikan,
akan tetapi tulisan ini mengfokuskan pada aplikasi gerakan ganda Fazlur
Rahman yang akan menghasilkan sebuah pembahasan mengenai ahli kitab masa
sekarang, ahli kitab pra-Islam dan ahli kitab masa pewahyuan. Ketiga aspek ini
merupakan tahapan-tahapan dalam teori double movement Fazlur Rahman, yang
mana hal tersebut tidak tersentuh dalam artikel Ali Masrur. Meskipun telah
banyak yang membahas mengenai double movement dan ahli kitab akan tetapi
tidak ada kesamaan dengan tulisan ini.
F. Dasar Pemikiran
Dalam penelitian ilmiah, kerangka teori sangat diperlukan untuk
membantu memecahkan dan mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti
sebagai acuan dalam melakukan analisis pada konteks masalah yang hendak
dicarikan jawabannya. Sehingga dalam penelitian aplikasi double movement
theory Fazlur Rahman ini menggunakan teori application Hans Goerge Gadamer
sebagai teori inti.
1. Teori “Penerapan/Aplikasi” Gadamer (Anwendung, application)
Awalnya tradisi hermeneutik dibedakan menjadi problem atau seluk
beluk pemahaman (understanding, substilitas intelegendi), dan problem
penafsiran (interpretation, substilitas explicandi.) Baru kemudian dalam
tradisi pietisme ditambah elemen ketiga yaitu problem penerapan
15
(application, substilitas applicandi).12Dengan menekankan elemen ketiga
itu, yang belum masuk dalam konsep hermeneutik Schleiermacher
maupun Dilthey, Gadamer ingin menekankan bahwa penafsiran bukan
suatu elemen tambahan yang bisa kadang-kadang saja dilakukan setelah
pemahaman dilakukan.13
Penggabungan batin pemahaman dan penafsiran –seperti dalam
hermeneutika Schleiermacher dan Post-Romantik ditegaskan bahwa
adanya satu kesatuan dalam dua elemen-- menyebabkan unsur ketiga
dalam masalah hermeneutik, penerapan, sepenuhnya menjadi terputus dari
hubungan apapun dengan hermeneutika. Di dalam perjalanan refleksi kita
harus melihat bahwa pemahaman selalu melibatkan sesuatu seperti
penerapan terhadap teks untuk dipahami oleh situasi penafsir sekarang.
Jadi, penerapan merupakan bagian dari satu proses terpadu dalam
hermeneutika dan sebagai bagian integral dari tindakan hermeneutika
sebagaimana pemahaman dan penafsiran.14
Dalam sejarahnya, tugas hermeneutika adalah untuk menyesuaikan
makna sebuah teks dengan situasi konkret dimana ia bicara. Sebagai
seorang penafsir kitab suci, mereka tidak hanya bertugas memproduksi
kembali apa yang dikatakan oleh penerjemah akan tetapi mengungkapkan
apa yang niscaya baginya dalam mempertimbangkan situasi yang real saat
12 Hans Gorge Gadamer, Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2004), hlm.370 13 Richard E Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery
dan Damanhuri Muhammed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005). Hlm.187 14 Hans Gorge Gadamer, Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah, hlm.370
16
ini. Hubungan yang orisinil dari bentuk-bentuk hermeneutika ini
tergantung pada pengakuan terhadap aplikasi sebagai sebuah unsur
integral dari semua pemahaman. Di dalam hermeneutika teologis dan
hukum terdapat ketegangan antara teks yang dituliskan –dari hukum atau
penyataan—di satu sisi, di sisi lain, pengertian dicapai oleh penerapannya
di dalam peristiwa penafsiran khusus, baik dalam pertimbangan maupun
ajaran. Hukum di sini tidak dipahami secara historis akan tetapi secara
konkret dianggap sahih melalui penafsiran. Dengan cara yang sama,
sebuah pernyataan religius tidak dipahami semata-mata sebagai dokumen
historis, akan tetapi dipahami dengan cara bagaimana ia menunjukkan
pengaruh penyelamatannya. Ini meliputi fakta bahwa teks, apakah hukum
ataupun kitab suci, jika dipahami dengan tepat, yakni menurut apa yang
dibuat klaim pada setiap peristiwa, di dalam setiap situasi khusus, cara
baru dan berbeda maka hal tersebut yang disebut dengan aplikasi.15
Pokok dari pemahaman, sebagaimana yang terjadi dalam ilmu-ilmu
kemanusiaan, secara esensial bersifat historis, yakni sebuah teks dipahami
dengan cara yang berbeda di setiap waktu. Struktur historitas di dalam
pemahaman mensugestikan pentingnya sebuah faktor yang telah lama
diabaikan dalam hermeneutika, aplikasi, fungsi interpretasi dalam
hubungannya dengan makna teks terhadap situasi kekinian.16
15 Hans Gorge Gadamer, Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah, hlm.371 16 Richard E Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery
dan Damanhuri Muhammed, hlm.221
17
2. Fusion of Horizons Gadamer dan Double Movement Theory Rahman
Menurut Gadamer dalam menafsirkan, seorang penafsir harus selalu
berusaha merehabilitasi pra pemahamannya. Hal ini berkaitan dengan teori
“penggabungan atau asimilasi horison”, dalam arti bahwa proses penafsiran
seseorang harus sadar bahwa dalam proses penafsiran seseorang harus sadar
bahwa ada horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison di dalam
teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Soerang pambaca
teks memulainya dengan cakrawala hermeneutika, namun dia juga
memperhatikan bahwa teks juga mempunyai horison sendiri yang mungkin
berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca.17
Horison teks atau disebut dengan weltanschauung (pandangan
dunia) hanya dapat diketahui dengan melakukan apa yang disebut al-Khulli
dengan dirāsāt mā fî n-nashsh (studi atas apa yang ada di dalam teks) dan
dirāsāt mā hawla n-nashsh (studi atas sesuatu yang melingkupi teks). Studi
apa yang ada di dalam teks dilakukan antara lain dengan menganalisis aspek
kebahasaan teks, sedangkan studi atas sesuatu yang melingkupi teks berupa
analisis terhadap aspek historis yang melingkupinya, seperti aspek historis
mikro (asbaab an-nuzul) dan aspek historis makro yakni kondisi bangsa
Arab saat al-Qur’an diturunkan. Setelah seorang penafsir melakukan
analisis-analisis di atas, maka dia akan mendapatkan Weltanschauung atau
horison teks secara baik.18
17 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran (Edisi Revisi dan
Perluasan), (Yogyakarta:Baitul Hikmah Press, 2017), hlm.81 18 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran (Edisi Revisi dan
Perluasan), hlm.87
18
Pemikiran Gadamer fusion of horizons dianggap menginspirasi
Rahman dalam pemikiran double movement theorynya, meskipun secara
tegas Rahman menampik jika ia terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer,
bahkan mengklaim bahwa pemikirannya sama sekali berbeda dengan
pemikiran Gadamer.19 Dari keduanya mempunyai kemiripan ketika
membahas dua horison yang perlu diperhatikan ketika akan menafsirkan
sebuah teks. Dalam teori double movementnya, Rahman juga mengatakan
bahwa dibutuhkannya dua gerakan yang saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan demi mendapatkan pesan yang sebenarnya (pokok) akan
disampaikan oleh teks (al-Qur’an).
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menitik
beratkan pada telaah kepustakaan( library research) dengan analisis
deskriptif. Penulis mengumpulkan tulisan atau buku yang bersangkutan
kemudian mengaplikasikan pemikiran tokoh tersebut untuk menjawab
sebuah problem yang menjadi latar belakang adanya penelitian.
2. Kebutuhan dan Sumber data
Penulisan ini merupakan penulisan kepustakaan, karenanya data
yang digunakan adalah buku-buku atau tulisan yang disusun oleh Fazlur
Rahman. Selain itu penulis juga melakukan pengumpulan data dengan
19 Mu’amar Zayn Qadafy, Buku Pintar Sababun Nuzul Dari Mikro Hingga Makro,
(Yogyakarta: IN AzNa Books,2015), hlm.124
19
jalan mempelajari literatur dari buku-buku lain yang mendukung
pendalaman analisis.
Secara garis besar sumber data terbagi mejadi dua yaitu
a). Sumber pilihan (Primer)
Sumber data primer dalam penelitian ini meliputi karya-karya Fazlur
Rahman yang dipakai bahan analisis, seperti:
1. Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran,(Chicago: The
University of Chicago,2009)
2. Fazlur Rahman, Islam, (Chicago :The University of
Chicago,1979)
3. Fazlur Rahman, Revival and reform in Islam, Terj. Aam
Fahmia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2000).
4. Fazlur Rahman, Metode dan Altertif Neomodernisme Islam,
Penyunting Taufik Adnan Amal, (Bandung: Mizan,1989).
5. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an
Intelectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago
Press,1982).
b). Sumber Tambahan ( Sekunder)
Data sekunder merupakan pendukung karya yang ditulis oleh para
tokoh yang berkaian dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini yakni yang membahas tentang Fazlur Rahman dan ahli kitab:
20
1. Waryono Abdul Ghofur, Persaudaraan Agama-
Agama;Millah Ibrahim dalam Tafsir Al Mizan,
(Bandung:PT. Mizan Pustaka,2016).
2. Abd A’la, Dari Neomodernisme Ke Islam Liberal, (Jakarta:
Dian Rakyat,2009).
3. Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer
dalam Pemikiran Fazlur Rahman, (Badan Litbang dan
Diklat Depag RI, 2007).
4. Sa’dullah Assa’idi, Pemahaman Tematik al-Qur’an
Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2013).
5. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas:
Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlurrahman, (Bandung:
Mizan, 1996).
3. Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan studi pustaka
yaitu dengan mencari literatur baik berupa buku atau jurnal yang berkaitan
dengan penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Pada penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab. Yang mana setiap bab saling
berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan laporan penelitian ini bertujuan
agar pembahasan dalam laporan penelitian ini tersusun secara sistematis supaya
lebih mudah untuk dipahami. Sistematikanya antara lain:
21
Bab pertama Pendahuluan; berisi hal-hal yang berkaitan dengan penelitian
ini yang menguraikan pemikiran latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian sebagai
cara metodologis dalam penulisan dan sistematika penulisan. Bab pertama
merupakan gambaran awal tentang penulisan laporan penelitian ini.
Bab kedua Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman. Bab ini meliputi
pengertian, macam-macam dan hubungan hermeneutika umum dengan
penafsiran al-Qur’an yang kemudian dilanjutkan pembahasan pada
hermeneutika double movement Fazlur Rahman dan beberapa contoh penerapan
metode hermeneutika tersebut.
Bab ketiga Pemahaman terma ahli kitab dari berbagai perspektif. Dalam
bab ini dijelaskan beberapa pengertian ahli kitab baik secara kebahasaan maupun
secara luas. Pengertian ahli kitab juga diperluas dengan adanya pendapat-
pendapat dari para tokoh Muslim. Bab ini akan menghasilkan pengertian yang
luas mengenai terma ahli kitab.
Bab keempat Aplikasi Hermenutika Double Movement Fazlur Rahman
Terhadap Pemaknaan Ahli kitab. Pada bab ini, akan diketahui bagaimana
penggunaan teori double movement Fazlur Rahman dalam memahami terma ahli
kitab dan relevansinya dalam konteks Indonesia.
Bab kelima penutup yang berisi simpulan seluruh rangkaian yang telah
dikemukanan dan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada. Bab ini juga
berisi saran-saran yang bisa direkomendasikan dan menunjukan hasil akhir dari
penelitian yang telah dilakukan.
22
BAB II
HERMENEUTIKA AL QUR’AN FAZLUR RAHMAN
A. Hermeneutika Barat
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika
Secara etimologis, kata hermeneutika diambil dari bahasa Yunani,
yakni hermeneuein, yang berarti “menjelaskan”. Kata hermeios dan kata
kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata bensa hermenia diasosiasikan
pada Dewa Hermes. Tepatnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi
transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang
dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.20 Pada suatu ketika Hermes
dihadapkan dengan sebuah masalah bagaimana menyampaikan pesan Zeus
yang menggunakan “bahasa langit” kepada manusia yang menggunakan
“bahasa bumi”. Akhirnya, dengan kebijaksanaannya, Hermes menafsirkan
bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia dalam bentuk teks suci.21
Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas
menunjukkan adanya tiga unsur yang menjadi variabel utama pada kegiatan
manusia dalam memahami. Pertama, adanya tanda, pesan atau teks yang
menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan
pesan yang dibawa oleh Hermes. Kedua, adanya perantara atau penafsir
yaitu Hermes dan ketiga, penyampaian pesan oleh seorang perantara agar
dapat dipahami dan sampai kepada yang menerima. Beberapa kajian
20 Richard E Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery
dan Damanhuri Muhammed, hlm.15 21 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:Belukar,2004), hlm.135
23
menyebutkan bahwa hermeneutika adalah proses mengubah sesuatu atau
situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti.22
Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman Hermeneutik
dan bahasa Inggris hermeneutics. Sebagai sebuah istilah, kata tersebut
didefinisikan secara beragam dan bertingkat. Hermeneutika adalah seni
praktis, yakni techne yang digunakan dalam hal-hal seperti berceramah,
menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan menjelaskan teks-teks,
dan sebagai dasar dari semua ini (ia merupakan) seni memahami, sebuah
seni yang secara khusus dibutuhkan ketika makna sesuatu (teks) itu tidak
jelas.23
Dengan makna ini pulalah F. Schleiermacher mengartikan istilah
tersebut dengan seni memahami secara benar bahasa orang lain, khususnya
bahasa tulis (the art of understanding rightly another man’s language,
particularly his written language). Selain sebagai seni, hermeneutika pada
masa modern, menurut Gadamer diartikan sebagai art of exegesis (seni
menafsirkan), melainkan lebih dari itu sebagai disiplin yang membahas
aspek-aspek metodis yang secara teoritis dapat menjustifikasi aktivitas
penafsiran. Definisi hermeneutika sebagai gabungan antara aktivis dan
metode penafsiran ini juga didapati pada definisi yang dikemukakan oleh
Franz-Peter Burkard yaitu “seni menafsirkan teks dan dalam arti yang lebih
luas hermeneutika adalah refleksi teoritis tentang metode-metode dan
22Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial,
(Yogyakarta:Kalimedia,2015), hlm.5 23Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, (Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 5-6
24
syarat-syarat pemahaman. Definisi tersebut dengan jelas memasukkan
aktivitas penafsiran dan metodenya ke dalam istilah hermeneutika.24
Hermeneutika berbicara tentang pemahaman bukan untuk
menciptakan kembali hal yang dibaca. Hermeneutika bukan hanya
mengeluarkan kembali sesuatu yang sudah tersimpan lama akan tetapi
sebagai sebuah seni yang bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman.
Menurut Schleiermacher terdapat dua masalah universal dalam
hermeneutika yaitu penjumpaan dengan sesuatu yang asing dan
kemungkinan salah paham manakala harus memahami lewat kata-kata.25
Maka dengan adanya hermeneutika, pemahaman atas sebuah teks
diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman dan dapat dicapai makna objektif-
orisinil.26
Problem dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran
teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh
karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian
banyak lagi kompleks yang terjalin sekitar watak dasar teks dan
hubungannya al-turats di satu sisi, serta hubungan teks dengan
pengarangnya di sisi lain. Yang terpenting di antara sekian banyak persoalan
di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan
mufasir dengan teks. Konsentrasi atas hubungan mufasir dengan teks
24 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, hlm. 6 25 W. Poespoprodje, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 24 26 Siti Robikah, “Contextual Interpretations of the Quran: Telaah Hermeneutika Inklusif Nasr
Hamid Abu Zayd”, Proceeding The 2nd BUAF 17-20 Juli 2017, (Banjarmasin:UIN Antasari).
25
merupakan titik pangkal dan persoalan serius bagi hermeneutik.27 Jika
dilihat dalam berbagai pembahasan, interpretasi dan pemahaman –dimana
pemahaman adalah hal yang menjadi tujuan hermeneutika—erat terjalin.
Setiap masalah interpretasi adalah masalah pemahaman, dengan alasan
bahwa pemahaman dicapai melalui interpretasi.
Memahami teks melalui interpretasi menurut hermeneutika tidak bisa
lepas dari konteks sejarah dimana teks itu muncul, kepada siapa teks itu
berdialog, mengapa teks itu dibuat dan seterusnya, yang pasti tidak lepas
dari ruang yang mengintarinya. Teks adalah produk kebudayaan yang
mengintarinya sehingga harus dipahami secara kritik historis. Menurut
Schleiermacher, karya sastra atau seni merupakan manifestasi pribadi
sehingga membaca teks adalah suatu dialogia dengan pengarang atau
seniman. Teks bukanlah objek mati, bukan sekedar benda yang merentang
dalam ruang dan waktu (res extensa).28
2. Model-Model Hermeneutika
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga
bentuk atau model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan
tokoh-tokoh klasik, khususnya F. Schleimacher, W. Dilthey, dan Emilio
Betti. Menurut model ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana
yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang ada di dalam teks adalah
ungkapan jiwa pengarangya, sehingga apa yang disebut makna atau tafsiran
27Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, terj. Muhammad
Mansur, (Jakarta: ICIP, 2004), hlm. 3 28 W. Poespoprodje, Hermeneutika, hlm. 19
26
atasnya tidak didasarkan pada kesimpulan pembaca melainkan diturunkan
dan bersifat instruktif.29 Untuk dapat mencapai tingkatan itu, menurut
Schleiermacher, ada dua cara yang dapat ditempuh, dengan bahasanya yang
mengungkapkan hal-hal baru atau lewat karakteristik bahasanya yang
ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya tentang
teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi yaitu
pertama, sisi linguistik yang merujuk pada bahasa yang memungkinkan
proses memahami menjadi mungkin dan kedua, sisi psikologis yang isi
pikiran si pengarang yang termenifestasi pada gaya bahasa yang digunakan.
Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang mana pembaca
mengkontruksikannya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan
pengalamannya.30
Untuk memahami maksud pengarang –dengan gaya bahasa yang
berbeda- maka tidak ada jalan lain bagi mufasir kecuali harus keluar dari
tradisinya sendiri untuk kemudian masuk ke dalam tradisi dimana si penulis
teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir
pada zaman itu. Dengan masuk ke dalam dunia pengarang, memahami dan
menghayati budaya yang melingkupinya, mufasir akan mendapatkan makna
objektif sebagaimana yang dimaksud si pengarang.31
29 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London: Roudege & Kegars Paul,1980),
hlm.29 30 Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, terj. Muhammad
Mansur, hlm.11 31 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta:Gramedia, 1981), hlm.230
27
Scheleimacher juga telah mempelopori tokoh-tokoh setelahnya,
terutama Dilthey dan Gadamer. Dilthey memulai pembahasannya dalam
wilayah yang mana Schelemacher berhenti, yakni pembahasan tentang
penafsiran dan pemahaman yang benar dalam bidang ilmu-ilmu humaniora.
Usaha Dilthey terfokus pada pemisahan antara disiplin ilmu alam, sejarah
dan humaniora. Dilthey menolak metode kalangan positivisme yang
mengatakan bahwa penyelamatan satu-satunya bagi ketertinggalan ilmu
humaniora dan ilmu-ilmu alam adalah dengan menerapkan metode
eksperimental ilmu-ilmu eksakta dalam ilmu-ilmu humaniora, sebagai
upaya untuk mencapai aturan umum yang pasti dan untuk menghindari
subjektivitas dan kedangkalan ilmu humaniora.32
Dilthey berusaha membangun ilmu sosial dengan landasan metode
yang berbeda dengan ilmu alam. Menurutnya, perbedaan diantara keduanya
terletak pada persoalan materinya, materi ilmu sosial (akal manusia) bukan
merupakan bentukan di luar dirinya sebagaimana materi ilmu alam adalah
derivasi dari alam.
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh
modern Hans Georg Gadamer dan Jacques Derida. Menurut model ini,
hermeneutika bukan sebuah usaha untuk menemukan makna objektif yang
dimaksud penulis melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu
sendiri.33 Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan
32 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan kekuasaan, terj. Dede Iswadi,
(Bandung:RqiS), hlm.47 33 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, hlm.230
28
pada ide awal penulis. Inilah yang membedakan antara hermeneutika
subjektif dan objektif. Dalam pandangan subjektif, teks bersifat terbuka dan
dapat diinterpretasikan oleh siapapun, ia telah berdiri sendiri dan tidak lagi
berkaitan dengan penulis. Karena itu, teks tidak harus dipahami berdasarkan
ide penulis melainkan berdasarkan materi yang ada dalam teks itu sendiri.
seseorang menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini
(vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht), dan apa yang diperoleh kemudian
(vorgriff).34 Menurut pendapat Gadamer, ketiga unsur tersebut, yang disebut
dengan lingkaran hermeneutika, didiskusikan oleh Heidegger bukan sebagai
usaha pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan untuk memberikan
deskripsi cara pencapaian pemahaman melalui interpretasi. Heidegger
menjelaskan bahwa jika ingin memahami sesuatu, maka seseorang haruslah
membawa latar belakang tradisi yang telah ia miliki sebelumnya. Unsur
pertama dalam lingkaran hermeneutika disebut dengan vorhabe (fore-have).
Selanjutnya dalam menafsirkan, orang itu dibimbing oleh cara pandang
tertentu. Maka dari itu dalam melakukan proses pemahaman ia selalu
didasari oleh apa yang telah dilihat sebelumnya yang disebut pada unsur
kedua dengan vorsicht (fore-sight). Unsur selanjutnya yaitu Vorgiff (fore-
conception) yang menjadi syarat pemahaman adalah konsep-konsep yang
memberi kerangka awal. Ketiga unsur tersebut menjadi syarat pemahaman
dalam lingkaran hermeneutik yang bertitik tolak dari konsep ontologis
Heidegger yang lebih mendasar pada being there dari Dasein yang terikat
34 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, hlm.232
29
temporalitasnya. Menurut penjelasan Gadamer bahwa lingkaran
hermeneutika mengandung kapasitas primordial pemahaman manusia yang
positif karena adanya pra-pengertian.35
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh
Muslim kontemporer yaitu Hassan Hanafi dan Farid Esack. Pada model ini
hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi akan tetapi lebih pada
aksi.36 Hassan Hanafi biasanya dianggap sebagai filosof dibandingkan
dengan hermeneutikus, namun disertasinya merupakan sebuah pengkajian
hermeneutik Islam yang sangat komprehensif dan sangat disayangkan jika
diabaikan begitu saja. Dia juga menulis beberapa artikel yang berisi tentang
hermeneutika al-Qur’an dan juga karya eksegetis meskipun dalam
pengertian tradisionalnya bukan merupakan kitab tafsir. Menurutnya,
hermeneutika bukan hanya sebuah seni interpretasi dan teori pemahaman,
namun juga merupakan ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu dari
tingkat kata ke tingkat realitas, dari logos ke praksis. Dia mengusulkan
sebuah hermeneutika al-Qur’an yang spesifik (juz’i), tematik, temporal dan
realistik, dia juga lebih menekankan makna dan tujuan ketimbang kata-kata
dan huruf. Hermeneutika al-Qur’an haruslah berdasarkan atas pengalaman
hidup, dimulai dengan kajian atas problem-problem manusia. Teori
hermeneutikanya terutama didasarkan atas pengertian asbaab an nuzul
dalam pengertian realitas selalu mendahului wahyu. Interpretasi haruslah
35 Agus Darmaji, “Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer”,
Refleksi, (Vol.13,No.4,2013),hlm.473 36 Hassan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus,
(Yogyakarta:Prisma,2003), hlm.109
30
mengambil titik berangkatnya dari realitas, dalam problem-problem di mana
manusia mendapatkan dirinya, kemudian kembali kepada wahyu (al-
Qur’an) untuk mendapatkan sebuah jawaban teoritis. Jawaban teoritis ini
haruslah kemudian diterapkan dalam praksis. Interpretasi selalu berakhir
dalam praksis.37
Farid Esack, seorang intelektual Muslim Afrika Selatan dan aktivis
hak asasi manusia, mengusulkan sebuah hermeneutika al-Qur’an tentang
plularisme religius untuk pembebasan. Yang didasarkan atas konteks dan
pengalaman hidup di Afrika Selatan, yang pernah dibentuk oleh politik
aparteid, ketidakadilan dan penindasan. Dia lebih menekankan
hermeneutika penerimaan yang biasanya didiskusikan dalam konteks
fungsionalisme. Yang sentral dalam hermeneutika adalah pertanyaan
mengenai bagaimana teks al-Qur’an diterima oleh masyarakat Muslim
Afrika Selatan. Demikian pula koteks spesifik di mana teks al-
Qur’anditerima dan dialami, dan bukannya konteks universal, adalah titik
dimana interpretasi apapun dimulai. Dalam hal ini masyarakatlah yang
berhak menginterpreatsi wahyu Allah bukanlah Ulama.38
Dengan demikian, terdapat tiga model hermeneutika. Pertama,
hermeneutika objektif yang berusaha memahami makna asal dengan cara
mengajak kembali ke masa lalu; Kedua, hermeneutika subjektif yang
memahami makna dalam konteks kekinian dengan menepikan masa lalu;
37 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, (Jakarta:TERAJU, 2003),
hlm.40 38 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, hlm.41
31
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang memahami makna asal dalam
konteks kekinian tanpa menghilangkan masa lalu dan yang terpenting
pemahaman tersebut tidak sekedar berkutat dalam wacana melainkan benar-
benar mampu menggerakan sebuah aksi dan perubahan sosial.39
B. Hermeneutika Barat dan Tafsir al-Qur’an
Mengenal hermeneutika Barat bermula dari hermeneutika yang
dikenalkan oleh Schleiermacher—yang kemudian dikenal sebagai bapak
hermeneutika—kemudian dilanjutkan oleh para tokoh setelahnya. Dhitley,
Gadamer dan Jorge Gracia sebagai deretan nama yang berada setelah
Schleiermacher. Pada era kontemporer ini, banyak tokoh intelektual Islam
yang mengadopsi pemikiran hermeneutika Barat untuk memahami kitab
suci al-Qur’an. Salah satunya pemikiran Fazlur Rahman yang banyak
mengadopsi pemikiran Gadamer, meskipun Fazlur Rahman tidak
mengakuinya secara keseluruhan. Jika dilihat secara spesifik maka terlihat
dari teori kedua tokoh—fusion of horizon dan double movement-- tersebut
terdapat keterkaitan di antara keduanya.
Kesesuaian hermeneutika Gadamer dan penafsiran al-Qur’an terlihat
pada setiap teori yang dia kemukakan.
39 Muhammad Aji Nugroho, “Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi; Merefleksikan Teks
pada Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian”, Millati, (Vol.1, No,2, Desember 2016), hlm. 192-
193
32
1. Teori kesadaran sejarah dan teori pra pemahaman dalam menafsirkan
al-Qur’an
Inti dari teori pra pemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus
berhati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkan sesuai
kehendaknya semata-mata hanya terpengaruh pada pengetahuan awal. Teori
ini sangat jelas adanya keterkaitan dengan ilmu tafsir al-Qur’an. Dalam
hadis Nabi dijelaskan bahwa “Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an
dengan ra’y-nya, maka bersiaplah untuk menempati nereka.” Kata ra’y
dalam hadis tersebut diartikan sebagai “akal”, sebab kata akal mengandung
arti berfikir secara positif, sebagaimana telah tertera dalam surah al-
Qur’an.40 Kata ra’y diatas lebih tepatnya diartikan dengan “dugaan” atau
pra pemahaman yang tidak atau belum diuji ketepatannya. Seperti dalam
istilah Gadamer yaitu ‘vorverstaendnis’.41Dalam hadis lain dikatakan
bahwa man fassara l-Qur’ana bi ghairi ‘ilm (siapapun yang menafsirkan al-
Qur’an tanpa ilmu pengetahuan). Dengan demikian penafsiran yang
dilarang oleh Nabi adalah penafsiran yang tidak didasarkan pada ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an saat
penafsiran dan hanya didasarkan pada ‘subyektivitas’ penafsir semata.42
40 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan
Perluasan, hlm. 84 41 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan
Perluasan, , hlm. 84 42 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan
Perluasan, hlm.84
33
2. Teori Fusion of Horizons dan Dirāsāt mā hawla al-Nashsh
Dengan teori fusion of horizons, Gadamer mengatakan bahwa dalam
proses penafsiran terdapat dua horison yang harus diperhatikan dan
diasimilasi, yakni horison teks dan horison penafsir. Horison teks, atau bisa
saja disebut dengan weltanschauung (pandangan dunia) teks hanya bisa
diketahui dengan melakukan apa yang disebut dengan dirāsāt mā fi n-
nashsh dan dirāsāt mā hawla n-nashsh oleh Amin Al khulli. Studi atas apa
yang terdapat di dalam teks dilakukan, antara lain dengan menganalisis
aspek kebahasaan teks, sedangkan studi atas sesuatu yang melingkupi teks
berupa analisis terhadap aspek historis yang melingkupinya seperti aspek
historis mikro (asbaab an nuzul) dan aspek historis makro yaitu kondisi
bangsa Arab saat al-Qur’an diturunkan. Setelah seseorang melakukan
analisis-analisis di atas, dia akan mendapatkan weltanschauung atau horison
teks secara baik. Horison ini pada gilirannya akan digabungkan dengan
horison penafsir dalam bentuk reaktualisasi penafsiran.43
3. Teori Aplikasi dan Interpretasi Ma’na-cum-maghza
Teori aplikasi yang dikemukakan Gadamer menegaskan bahwa
setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah
teks pada saat teks tersebut muncul, dia kemudian melakukan
pengembangan penafsiran atau reaktualisasi (reinterpretasi) dengan tetap
memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah
43 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulum al-
Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer” dalam buku Upaya Integrasi
Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN SUKA, 2011), hlm. 38
34
teks. Dengan teori ini diharapkan bahwa pesan teks tersebut dapat
diaplikasikan pada saat penafsiran.44
Teori ini dapat diterapkan dalam praktik penafsiran al-Qur’an yang
bisa disebut dengan “interpretasi ma’na-cum-maghza”. Interpretasi yang
dimaksud di sini adalah satu bentuk interpretasi yang memperhatikan baik
makna asal dari teks yang diinterpretasikan maupun makna terdalam
darinya. Gadamer menyebutnya dengan sinn (arti) dan makna yang berarti
atau mendalam. Interpretasi ini dilakukan dengan cara memperhatikan
konteks tekstual dengan analisis bahasa sebagai basisnya dan konteks
sejarah di mana teks itu muncul dengan analisis historis sebagai
instrumennya.45
Gadamer memusatkan perhatiannya pada problem pemahaman yang
dianggapnya sebagai problem eksistensial. Ia memulainya dengan
pembahasan historis kritik bagi hermeneutik sejak masa Scheleimacher
sampai masa Dilthey. Ia berpendapat bahwa Scheleimacher meletakkan
kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang menyelamatkan kita dari buruknya
pemahaman. Pemahaman buruk yang sering dilakukan ketika usia teks
tersebut sudah tua. Akhirnya bahasanya menjadi samar dan rancu.
Titik berangkat dalam pandangan Gadamer bukanlah membahas apa yang
harus dilakukan atau dihindari dari praktek pemahaman, tetapi yang lebih
44 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan
Perluasan, hlm. 85 45 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan
Perluasan, hlm.85, lihat tulisan Sahiron Syamsuddin dalam buku buku Upaya Integrasi
Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm. 40
35
penting adalah membahas apa yang sebenarnya terjadi dalam pemahaman
ini, tanpa melihat niat atau maksud kita.46
Gadamer memulai dari persoalan filosofis sebagaimana Heidegger
tentang hubungan pemahaman dengan pengalaman yang universal yang
melampaui bingkai metode dalam pengertian ilmiah. Ia mementingkan
pembahasan mengenai pengalaman sejati yang melampui bingkai metode
ilmiah yang sistematis. Dan yang termanifestasikan dalam filsafat, sejarah
dan seni. Hermeneutika Gadamer tidak berusaha mambahas metode ilmu
humaniora. Tetapi berusaha memahami ilmu-ilmu humaniora tanpa
metodenya. Dan untuk memahami relasinya dengan pengalaman kita yang
menyeluruh di alam semesta. Menurut Gadamer, sesungguhnya Dilthey
telah melakukan kesalahan fatal yang yang sesungguhnya dia sensiri
mencoba untuk menghindarinya. Praktek pemahaman dalam ilmu
humaniora dan ilmu eksakta merupakan praktek yang melampaui wilayah
metode. Karena pada akhirnya metode tidak menghasilkan apa-apa selain
objek yang dibahas atau tidak menjawab kecuali atas persoalan-persoalan
yang dilontarkan. Metode apapun yang memberikan jawabannya secara
implisit, dan tidak menyampaikan pada suatu yang baru. Kalau begitu
hermeneutik Gadamer melampaui wilayah metodologis dalam menganalisis
praktek pemahaman itu sendiri.47
46 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,
(Bandung: RqiS, 2003), hlm.65 47 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,
hlm.66
36
Dari titik tolak pemikiran ini, Gadamer mulai menganalisis konsep
kebenaran dalam seni, sejarah dan filsafat. Seni, dalam pandangannya tidak
hanya bertujuan pada kesenangan estetis yang dalam filsafat estetika
umumnya terfokus pada bentuk. Sedangkan menurut pengalaman kita,
dalam menerima aktifitas seni, kesadaran kita normal tidak terpisah dari diri
kita. Dengan kesadaran seperti itulah kita memasuki lingkaran kesadaran
estetis. Selanjutnya dengan dua bentuk kesadaran estetis dengan kesadaran
non estetis menurut Gadamer terletak pada pandangan bahwa kesadaran
subjektif merupakan dasar segala pengetahuan dalam filsafat Barat. Di sisi
lain, terdapat perbedaan antara wilayah pengetahuan seni dan non seni,
seperti sejarah dan filsafat. Seni tidak lahir hanya untuk menjadi objek
penilaian dengan menolak atau menerimanya semata-mata berdasarkan
kesadaran estetis subjektif.48
Kesadaran estetis—menurut Gadamer—berada pada tempat kedua
bila dibandingkan dengan hakikat yang muncul dari aktivitas seni hanya atas
dasar kesadaran estetis saja, maka kita akan merasa asing terhadap hakikat
aktivitas seni itu. Hal itu disebabkan karena menafikkan hakekat yang
tersembunyi dalam aktivitas ini. Gadamer berpendapat sama dengan
kalangan sosialis yang berpendapat bahwa seni terkait dengan manusia dan
bahwa seni merupakan pemikiran yang paling orisinil. Tetapi Gadamer
memahami hal tersebut sebagai objek yang berbeda dari anggapan kalangan
48 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,
hlm. 66
37
sosialis sendiri. Ia menganggap bahwa di dalam bingkai formalistis seni
estetis pada suatu hakikat. Yaitu makna yang merupakan pesan seni itu
sendiri. Ia juga berusaha menolak pendapat kaum estetis yang berpendapat
bahwa seni tidak memiliki tujuan apapun kecuali mewujudkan kesenangan
estetis. Ia menegaskan bahwa seni mengutarakan secara implisit satu jenis
kebenaran yang tidak didapatkan dari sumber lain.49
Untuk memperjelas metode interpretasi Gadamer dalam penafsiran al-
Qur’an, akan lebih mudah jika diberikan contoh. Salah satu contoh
penafsiran dengan metode Gadamer tentang kepemimpinan publik dilihat
dari segi jenis kelamin. Ayat-ayat yang dipandang dan sering dijadikan
landasan oleh para ulama klasik dan sarjana muslim dalam perdebatan
tentang kesetaraan jender dalam bidang kepemimpinan.50 Allah berfirman;
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”51
Ayat yang termasuk dari ayat-ayat Madaniyah ini sering digunakan
oleh para ulama yang berpendapat bahwa seorang wanita tidak boleh
49 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,
hlm.67 50 Sahiron Syamsuddin dalam buku Upaya Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an
dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm. 47 51 QS 4:34
38
menjadi pemimpin publik. Mereka mengatakan bahwa seorang wanita tidak
boleh menjadi pemimpin publik. Mereka mengatakan bahwa ar-rijalu
qawwamuna ‘ala n-nisa’i menunjukkan bahwa kaum lelaki adalah
pemimpin bagi kaum wanita. Meskipun demikian, kalau kita
memperhatikan konteks tekstual ayat tersebut, maka kita akan mendapati
bahwa ayat tersebut tidak terkait dengan kepemimpinan dalam ranah publik,
melainkan dalam ranah keluarga.52 Hal ini dapat dilihat dari asbaab an-
nuzul ayat tersebut. Ibnu katsir, menyebutkan satu riwayat dari ‘Ali ibn
Thalib bahwa suatu ketika Nabi Muhammad saw didatangi oleh seorang
wanita yang mengadukan kepadanya bahwa dia dipukul oleh suaminya.
Terhadap pengaduan ini, rasulullah merespon: “al-qishash” (balas dia
dengan pukulan lagi) atau, dalam riwayat lain, “laysa lahu dzalika” (dia
suami tidak berhak / boleh melakukan hal itu). setelah itu, turunlah ayat
tersebut. Beliau mengatakan: Saya menghendaki sesuatu, namun Allah
menghendaki yang lain” (yakni bolehnya memukul istri dalam batas
tertentu).53Seandainya riwayat ini memang benar, maka dapat kita katakan
bahwa ayat tersebut terkait dengan kepemimpinan lelaki dalam keluarga
secara historis (dengan memperhatikan sistem masyarakat Arab Madinah
52 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan pengembangan Ulum al-
Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer” dalam buku Upaya Integrassi
Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm. 48 53 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulum al-
Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”, hlm.49
39
waku itu) memang berkarakteristik pratriarkal dan tentunya riwayat ini
sangat multi-interpretable (dapat ditafsirkan secara beragam).54
Para Ulama yang mendasarkan ayat tersebut untuk mengatakan lelaki
juga pemimpin dalam ranah publik tampaknya mengambil keumuman lafal
tersebut, sehingga mereka berkesimpulan bahwa al-Qur’anpun memberikan
runtutan agar kepemimpinan publik juga dipegang oleh laki-laki,
sebagaimana pemimpin keluarga. Dalam hal ini, yang berpandangan seperti
itu berpegang pada prinsip al-‘ibrah bi-‘umum al-lafzh la bi khushush as-
sabab (keumuman lafal bukan kekhususan sebab turunnya). Pemahaman
semacam ini kiranya cukup problemik karena tidak memperhatikan konteks
ayat baik tekstual maupun historis. Kemudian ayat QS 2:228;
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf.
Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Melihat ayat tersebut secara tekstual maka dapat disimpulkan bahwa
ayat tersebut berkenaan dengan masalah perceraian, bukan masalah
kepemimpinan publik. Penafsiran ini digaris bawahi oleh mufasir awal yaitu
al-Thabari mengatakan bahwa penggalan tersebut berarti pemberian maaf
oleh suami kepada istrinya yang melalaikan sebagian kewajiban-
54 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulum al-
Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”, hlm.48
40
kewajibannya, melupakan kesalahan istri dan menunaikan kewajibannya
kepada istrinya.55
Terkait dengan ayat tersebut banyak mufasir yang menafsirkan ayat
tersebut dengan bias jender. Tafsir bias jender yang dimaksud adalah tafsir
yang memiliki tendensi diskriminatif terhadap sekelompok manusia atas
jenis kelamin. Tafsir semacam ini biasanya dipengaruhi oleh pra
pemahaman (pre understanding)56 yang membentuk horison seseorang. Pra
pemahaman dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan dan sistem
masyarakat, ilmu pengetahuan, subjektivitas serta kecenderungan penafsir.
Hal ini yang dapat mempengaruhi mufasir. Mufasir yang hidup di
masyarakat pratiarkal maka akan terpengaruh dalam penafsirannya dengan
sistem patriarkal pula. Adanya pra pemahaman adalah suatu keharusan,
karena tanpa adanya pra pemahaman, seseorang tidak akan mampu
memahami teks yang ditafsirkan. Yang menjadi problem adalah jika pra-
pemahaman tidak terkontrol dan akhirnya akan memaksakan agar teks yang
sedang ditafsirkan itu “berbicara” kepada penafsir, padahal tugas utama
penafsir adalah membiarkan teks berbicara dengan sendirinya bukan
memaksa sesuai dengan kehendak penafsir. Dengan kata lain, tugas penafsir
adalah mencari tahu dan memaparkan apa yang benar-benar dimaksud oleh
teks (objective meaning, al ma’na al-ashli). Dengan demikian bukan berarti
55 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan pengembangan Ulum al-
Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”, hlm.49 56 Hans-Gorge Gadamer, Hermeneutika Klasik dan Filosofis, terj. Syafa’atun Almirzanah,
dalam Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN
SUKA,2011), hlm. 153
41
penafsir hanya berhenti di situ saja akan tetapi setelah mendapatkan dan
menyampaikan makna yang dimaksud teks, penafsir berhak melakukan
“reinterpretasi” dan “reaktualisasi” terhadap makna teks sesuai dengan
situasi dan kondisi dimana penafsiran tersebut dilakukan.57 Beberapa
penafsir memang menafsirkan ayat QS 4: 34 dipandang bias jender,
diantaranya Ibn Katsir, al-Thabari dan Fakhruddin Ar Razi.
Beranjak dari ayat tersebut yang mana banyak diantara penafsir abad
pertengahan menyatakan ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin
dalam ranah publik, ayat QS 27: 29-35 berisi tentang kepemimpinan ratu
Balqis. Meskipun ayat-ayat tersebut berisi tentang kepemimpinan ratu
Balqis, namun sebagian ulama memahaminya secara implisit dan simbolik
sebagai justifikasi Qur’ani seorang perempuan memimpin Negeri, seperti
yang dilakukan oleh Ratu Balqis. Dalam al-Qur’an sama sekali tidak
mencela kepemimpinan Ratu Balqis, sebaliknya al-Qur’an justru
memaparkan betapa baiknya dan tepatnya keputusan dan kebijakan Ratu
Balqis sebagai pemimpin Negeri Saba’. Hal ini menunjukkan bahwa
seorang perempuan juga bisa memimpin suatu negeri dengan baik. Respon
interpretatif ini disebut dengan interpretasi ma’na-cum-maghza. Adapun
terkait dengan ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Ratu Balqis
adalah seorang Ratu yang mempunyai karakteristik demokrasi,
57 Lebih detail lihat Hans Gorge Gadamer, Wahrheit and Method, hlm. 398
42
mengutamakan ketentraman rakyat, menyukai diplomasi dan perdamaian,
cerdas dan berhati-hati.58
Dari pemaparan tersebut, dapat dilihat secara detail bagaimana gerak
hermeneutika jika digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an. Hal ini tidak
terlihat bahwa hermeneutika bertolak belakang dengan penafsiran yang
telah ada sebelumnya. Hermeneutika terkesan kurang tepat digunakan
dalam menafsirkan al-Qur’an dikarenakan adanya ketidakharmonisan
antara para pemikir Islam dengan keilmuan Barat. Akan tetapi, hal ini tidak
menjadi problem besar bagi para intelektual Muslim yang mampu
menggunakan hermeneutika sebagai metode dalam memahami kitab suci al-
Qur’an.
Gagasan untuk menjadikan al-Qur’an universalitas dan fleksibelitas,
tidak dapat berhasil jika al-Qur’an tidak dipahami secara atomistik,
melainkan sebagai kesatupaduan yang berjalin berkelindan sehingga
menghasilkan weltanschauung yang pasti. Pemahaman seperti inilah yang
tidak didapatkan dari penafsiran klasik, mereka hanya bermain dengan kata-
kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-tekstual.
Menurut Fazlur Rahman fenomena semacam ini dikarenakan ketidaktepatan
dan ketidaksempurnaan alat-alat yang disebabkan kegersangan metode
penafsiran. Untuk mengatisipasi persoalan tersebut, Fazlur Rahman
58 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg gadamer dan pengembangan Ulum al-
Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer” dalam buku Upaya Integrasi
Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm.57
43
menawarkan suatu metode pembaharuan dalam penafsiran al-Qur’an yaitu
hermeneutika Double movement.
C. Teori Double movement Fazlur Rahman
1. Setting Historis Rahman dan Teorinya
Sebelum menjelaskan teori double movement Fazlur Rahman,
mengenal sosok intelektual Fazlur Rahman adalah hal paling penting,
dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam siapa sosok
Fazlur Rahman tersebut. Fazlur Rahman merupakan sosok intelektual
Muslim yang dapat dikatakan sebagai salah seorang pemikir modernis-
kontemporer Islam yang paling serius dan produktif. Ia dilahirkan pada
21 September 1919 M di Hazara, Pakistan.59 Rahman dibesarkan oleh
sebuah keluarga Muslim yang taat, yang mempraktekkan ajaran
fundamental Islam seperti shalat, puasa dan sebagainya. Dengan latar
belakang keislaman yang kental maka tidak heran jika Rahman telah
menghafalkan al-Qur’an pada usia 10 tahun. Ayah Rahman, Maulana
Syahab al-Din adalah orang yang berjasa dalam menanamkan dan
membentuk kepribadian Rahman. Tidak seperti Ulama pada zamannya
yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni
keimanan dan moral, Maulana Syahab meyakini bahwa Islam harus
menghadapi realitas kehidupan modern, tidak saja sebagai tantangan
tetapi merupakan kesempatan. Keyakinan inilah yang kelak
59 Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur
Rahman, (Badan Litbang dan Diklat Depag RI,2007), hlm. 25
44
dipraktikkan ayahnya pada diri Rahman sampai akhir hayatnya. Tidak
hanya seorah Ayah, Rahman juga mengakui bahwa Ibunya sangat
berperan dalam menanamkan nilai kejujuran, kasih sayang dan nilai-
nilai kebenaran. Ketika usia empat belas tahun ia mulai belajar filsafat,
bahasa Arab, teologi, hadis dan tafsir. Intelektualitasnya semakin teguh
dengan penguasaan berbagai bahasa. 60
Selain mendapatkan pendidikan dari keluarganya, Rahman
secara formal mengenyam pendidikan menengah di Seminari Deoband
India, tempat ayahnya mengabdikan diri. Selanjutnya ia melanjutkan
kuliah di jurusan ketimuran Universitas Punjab Lahore bidang kajian
sastra Arab hingga meraih gelar sarjana dan kemudian melanjutkan
untuk mendapatkan gelar masternya dan tamat pada tahun 1942. Empat
tahun kemudian ia melanjutkan studinya di Oxford University Inggris.
Dipilihnya Inggris sebagai tempat belajar karena ia menginginkan studi
Islam yang kritis, yang ia tidak dapatkan di Pakistan maupun India.
Pada tahun 1951 ia berhasil mencapai gelar Ph.D-nya di bidang Filsafat
Islam. Disertasinya tentang Filsafat Ibnu Sina. Lepas dari Oxford ia
memilih tetap tinggal di Barat dan mengajar filsafat di Durham
University antara tahun 1950-1958. Kemudian ia meninggalkan
Durham dan menetapkan bekerja sebagai assosiate profesor di Institute
of Islamic Studies Mc.Gill University Kanada sampai tahun 1961.61
60 Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur
Rahman, hlm. 25-26 61 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum
Fazlurrahman, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 79-84
45
Pada saat yang sama, Jenderal Ayyub Khan, Presiden Pakistan,
mencari seorang intelektual muslim yang berwawasan modern untuk
mengepalai Institut Riset Islam yang telah dibangunnya. Institut ini
disediakan untuk mendukung proyek modernisasinya. Sebagai anak
bangsa, Rahman dipilih menjadi direkturnya, juga menjadi profesor
tamu di institut tersebut antara tahun 1962-1968. Di samping itu, ia
menjadi anggota Advisory Council of Islamic Ideology pemerintah
Pakistan. Karena masuk dalam dua lembaga inilah, ia terlibat aktif dan
intens dalam usaha-usaha untuk menafsirkan kembali Islam dalam
rangka menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa
kini. Ia banyak menawarkan ide-ide baru yang tidak biasa dicetuskan
oleh ulama- ulama Pakistan. Karena ide-ide pembaruan yang
dikemukakannya ini selalu mendapat tantangan keras dari ulama
konservatif Pakistan maka akhirnya ia pamit dan undur diri dari
Pakistan dan kembali lagi menikmati udara intelektual di Barat.
Setibanya di Barat, ia menjadi profesor pada University of California,
Los Angeles, pada musim semi tahun 1969. Sedangkan musim
gugurnya, ia pergi ke University of Chicago sebagai profesor bidang
pemikiran Islam. Kemudian pada tahun 1986 ia mendapat anugerah
sebagai Harold H. Swift Distinguised Profesor di University of
46
Chicago. Ia menyandang gelar ini sampai ia meninggal dunia pada 26
Juli 1988 akibat serangan jantung kronis.62
Kegagalan memahami al-Qur’an sebagai suatu keterpaduan
yang berjalin berkelindan dan menghasilkan weltanschauung yang
pasti, telah mengakibatkan bencana besar dalam lapangan pemikiran
teologi. Memang para filosof dan para sufi, memahami al-Qur’an
sebagai satu kesatuan, akan tetapi kesatuan ini mereka dapatkan dari
luar bukannya diperoleh dari kajian atas al-Qur’an sendiri. Sistem-
sistem dan orientasi pemikiran tertentu diadopsi dari sumber luar (yang
tidak jarang bertentangan dengan al-Qur’an), yang disesuaikan dengan
mental Islam, namun struktur gagasan dasarnya tidak diambil dari al-
Qur’an itu sendiri.63 Hal ini yang menjadi kegelisahan tersendiri dari
pemikiran Rahman.
Rahman mengungkapkan bahwa perlu diadakannya
pembaharuan metode penafsiran yang menyeluruh agar al-Qur’an tidak
dipahami secara parsial atau terpotong-potong. Hal inilah yang menjadi
latar belakang lahirnya teori double movement. Hermeneutika double
movement merupakan salah satu terapan teori hermeneutika dalam
penafsiran al-Qur’an. Rahman sebagai pencetus hermeneutik tersebut
mengharapkan adanya pembaharuan dalam penafsiran al-Qur’an.
62 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum
Fazlurrahman, hlm. 111 63 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka,2005,
cet. III), hlm. 3-4
47
Rahman memberikan kritikan bagi para mufasir klasik dengan
mengatakan:
The classical and medieval commentators of the Quran have
treated the Quran verse by verse, although sometimes they
give cross-reference tho other verses of the Quran while
commenting upon a verse, this has not been done
systematically. The Quran commentaries therefore do not
yield an effective ‘weltanschauung’ that is cohesive and
meaningful for life as a whole.
Artinya, para penafsir klasik dan pertengahan menafsirkan al-
Qur’an ayat demi ayat. Walaupun kadang-kadang mufasir
menghubungkan pembahasan dengan ayat lain, namun dilakukan bukan
secara sistematis. Akibatnya, tafsiran al-Qur’an tidak
menghasilkan‘weltanschauung’ yang efektif, kohesif dan bermakna
bagi kehidupan dalam segala aspek.64
Dari keterangan tersebut, dapat dilihat bahwa keinginan
Rahman memperbarui metode interpretasi al-Qur’an untuk menemukan
‘weltanschauung’ sebagai kandungan pokok al-Qur’an yang perlu
ditemukan untuk menjawab problem masa ini. Pemahaman seperti ini
tidak didapatkan dalam penafsiran klasik. Mereka terlalu asyik dengan
kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-
tekstual. Rahman menyebutkan fenomena ini dikarenakan adanya
ketidaksesuaian penggunaan alat-alat untuk interpretasi. Untuk
64 Syamrudin, “Hermeneutika Fazlur Rahman”, Miqot, (Vol.XXXV, No.2, Juli-Desember
2011), hlm. 279
48
mengantisipasi hal tersebut maka Rahman menawarkan metode yang
logis, kritis dan komprehesif yaitu double movement (gerakan ganda).
The process of interpretation proposed here consist of a
double movement, from the present situation to Qur’anic
times, then back to the present. The Qur’an is the divine
response, throught the prophet’s mind, to the moral social
situation of the prophet’s Arabia, particularly to the problems
of the commercial Meccan Society of his day.65
Artinya proses penafsiran yang diusulkan di sini terdiri dari
gerakan ganda, dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan
kembali lagi ke masa kini. Al-Qur’an adalah respon Illahi, melalui
ingatan Nabi, kepada situasi moral sosial Arab pada masa Nabi,
khususnya pada masalah-masalah masyarakat dagang Mekah pada
masanya.66 Dari pemaparan Rahman tersebut dapat disimpulkan bahwa
gerakan ganda (double movement) dilahirkan dari pemikiran Rahman
sendiri baik dari nama maupun metode penafsirannya.
Hermeneutika double movement yang dilahirkan oleh
pemikiran Fazlur Rahman ini, memberikan pemahaman yang sistematis
dan kontekstualis, sehingga menghasilkan penafsiran yang tidak
atomistik67, literalis dan tekstualis, melainkan penafsiran yang mampu
menjawab masalah kekinian. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
65 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition
(Chicago and London: University Press, 1982), hlm.5 66 Fazlur Rahman, islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad, hlm.6 67 Lihat pada Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalis
Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.23
49
gerakan ganda adalah dimulai dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an
diturunkan dan kembali ke masa kini.68
Menurut Rahman, mengetahui konteks historis ketika al-
Qur’an diturunkan sangat penting meskipun pada masa keduanya
sebenarnya tidak mempunyai kesamaan sedikitpun. Artinya
signifikansi pemahaman setting-sosial Arab pada masa al-Qur’an
diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara al-Qur’an
dengan realitas, baik dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan),
tahrim (melarang keberadaannya) dan taghiyyur (menrima dan
merekonstruksi tradisi).69
Adapun mekanisme hermeneutika double movement dalam
menginterpretasi al-Qur’an sebagai berikut:
Gerakan pertama, bertolak dari situasi kontemporer menuju ke
era al- Qur’an diwahyukan, dalam pengertian bahwa perlu dipahami arti
dan makna dari suatu pernyataan dengan cara mengkaji situasi atau
problem historis di mana pernyataan al-Qur’an tersebut hadir sebagai
jawabannya. Dengan kata lain, memahami al-Qur’an sebagai suatu
totalitas di samping sebagai ajaran-ajaran spesifik yang merupakan
respon terhadap situasi-situasi spesifik. Kemudian, respon-respon yang
spesifik ini digeneralisir dan dinyatakan sebagai pernyataan-
68 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition
(Chicago and London: University Press, 1982), hlm.6 69 Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas,
(Yogyakarta:ar-Ruzz Media,2008), hlm.116-117
50
pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral umum yang dapat
“disaring” dari ayat-ayat spesifik yang berkaitan dengan latar belakang
sosio historis dan rasio legis yang sering diungkapkan. Selama proses
ini, perhatian harus diberikan pada arah ajaran al-Qur’an sebagai suatu
totalitas sehingga setiap arti atau makna tertentu yang dipahami, setiap
hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan atau sasaran yang
diformulasikan akan berkaitan dengan lainnya. Singkatnya, dalam
gerakan pertama ini, kajian diawali dari hal-hal yang spesifik dalam al-
Qur’an, kemudian menggali dan mensistematisir prinsip-prinsip umum,
nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya.70
Gerakan kedua, dari masa al-Qur’an di turunkan (setelah
menemukan prinsip-prinsip umum) kembali lagi ke masa sekarang.
Dalam pengertian bahwa ajaran-ajaran (prinsip) yang bersifat umum
tersebut harus ditubuhkan dalam konteks sosio historis konkret
sekarang. Untuk itu perlu dikaji secara cermat situasi sekarang dan
dianalisa unsur-unsurnya sehingga situasi tersebut dapat dinilai dan
diubah sejauh yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas baru
demi mengimplementasikan nilai-nilai al-Qur’an secara baru pula.71
70 Rifki Ahda Sumantri, “Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman Metode Tafsir Double
Movement,” Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, ( Vol.7, No.1, Januari-Juni 2013), hlm.7,
lihat juga dalam Fazlur Rahman, islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung:
Pustaka,2005, cet. III), hlm. 7, Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an
Intelectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), hlm.6 71 Rifki Ahda Sumantri, “Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman Metode Tafsir Double
Movement,” hlm. 8
51
Gerakan pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam al-
Qur’an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-
nilai dan tujuan jangka panjangnya, yang kedua harus dilakukan dari
pandangan umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasi sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus
ditubuhkan dalam konteks sosio historis yang konkrit pada masa
sekarang. Dalam hal ini membutuhkan kajian yang cermat atas situasi
sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga
dapat menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh
yang diperlukan dan menentukan prioritas baru untuk bisa
mengimplementasikan nilai-nilai al-Qur’an seacara baru pula. Jika
seseorang mampu mengaplikasikan double movement dengan berhasil
maka perintah-perintah al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif
kembali. Tugas yang pertama adalah para ahli sejarah dan dalam
pelaksanaan tugas kedua yaitu instrumentalitas dan para saintis sosial
jelas mutlak diperlukan.72
Dengan demikian metode yang diintrodusir oleh Rahman
adalah metode berfikir yang secara reflektif, mondar-mandir diantara
deduksi dan induksi secara timbal balik. Metodologi semacam ini tentu
saja akan membawa implikasi bahwa hukum Allah dalam pengertian
72 Fazlur Rahman, islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad, hlm.8 atau lihat juga dalam
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual Tradition, (Chicago: The
University of Chicago Press, 1984), hlm. 7
52
seperti yang dipahami manusia tidak ada yang abadi. Yang abadi
hanyalah prinsip moral.73
Jika dicermati teori Rahman tampaknya ingin
mendialektikakan text, author dan reader. Disini, Rahman tidak
memaksakan teks berbicara sesuai dengan keinginan author, akan tetapi
membiarkan teks berbicara sendiri. Untuk mengajak berbicara, Rahman
menelaah historitas teks. Historitas yang dimaksud tidak berhenti pada
asbaab an nuzul melainkan lebih luas yaitu setting-sosial masyarakat
Arab dimana Al-Qur’an turun (qira’ah al tarikhiyyah). Tujuan
menelaah historis teks disini yaitu untuk mencari nilai-nilai universal –
ideal moral- yang tidak berubah dan berlaku sepanjang masa. 74
Dalam hal ini Rahman membedakan antara ideal moral dan
legal spesifik. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan
al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik ketentuan hukum yang diterapkan
secara khusus. Ideal moral lebih patut diterapkan daripada legal
spesifik. Sebab, ideal moral lebih universal dibandingkan legal spesifik
yang lebih partikular. Proses pengaplikasian ideal moral, sebagai
author, Rahman juga mempertimbangkan reader yang dilingkup oleh
berbagai peraturan dan latar belakang. Seperti pengaplikasian potong
tangan, disini Rahman turut mempertimbangkan nilai-nilai
73 Sahiron Syamsuddin, ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm.72 74 Sahiron Syamsuddin, ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm.72
53
kemanusiaan agar tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, jadi
reader disini adalah hak asasi manusia.75
Jika dicermati, teori double movement yang diusulkan Rahman
merupakan perpaduan antara tradisionalis Muslim dengan
hermeneutika Barat. Pengaruh atau kesamaan tradisionalis Muslim
terhadap teori Rahman terlihat pada gerakan yang pertama. Pada
langkah tersebut, Rahman menyebutkan “dalam memahami suatu
pernyataan, terlebih dahulu memperhatikan konteks mikro dan makro
ketika al-Qur’an diturunkan”. Ide tentang konteks mikro dan makro
sebenarnya telah digagas oleh Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam
karnyanya “Fauzul al-Kabir fi Ushul al-Tafsir”. Dalam karyanya, al-
Dahlawi menyebutkan kedua konteks tersebut dengan asbaab an Nuzul
ak-khassah dan asbaab an Nuzul al-‘ammah. Di samping itu,
kesamaannya adalah pernyataan al-Dahlawi bahwa al-Qur’an turun
merespon kehidupan masyarakat Arab dengan mendidik jiwa manusia
dan memberantas kepercayaan yang keliru dan perbuatan jahat
lainnya.76 Senada dengan pernyataan tersebut, Rahman juga
mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan respon Illahi melalui ingatan
dan pikiran Nabi Muhammad, kepada situasi moral-masyarakat dagang
Mekah dari segi kepercayaan dan kehidupan sosial.77
75 Sahiron Syamsuddin, ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm.72-73 76 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 75 77 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm.6
54
Sebelum al-Dahlawi, teori ini juga pernah dikemukakan oleh
Syatibi, tokoh ushul fiqh yang terkenal dengan “maqasid al-syariah”.
Berhubungan dengan masalah konteks, Syatibi mengatakan untuk
mengetahui al-Qur’an perlu memahami situasi dan kondisi dimana al-
Qur’an itu diturunkan. Disamping itu, Syatibi juga mengatakan bahwa
“untuk memahami teks bahasa Arab yang mana al-Qur’an diturunkan
maka diperlukan pengetahuan mengenai sejumlah keadaan, keadaan
bahasa, keadaan mukhatib dan keadaan mukhatabnya dan memahami
ini diperlukan pula pengetahuan tentang konteks-konteks di luarnya
yang lebih luas.78
Dari sini terlihat adanya kesamaan kedua. Menurut Rahman,
untuk mengkaji al-Qur’an kajian situasi masyarakat, agama , adat
istiadat, lembaga-lembaga bahkan kehidupan bangsa Arab secara
menyeluruh ketika al-Qur’an diturunkan sangatlah penting. Dari sini
terlihat bahwa keduanya berpendapat bahwa setting-sosial masyarakat
Arab sangat diperlukan. Sisi lain yang menyamakan pemikiran Syatibi
dengan Rahman yaitu petunjuk-petunjuk umum atau hukum universal
bersifat pasti, sementara khusus bersifat tidak mungkin dan
kondisional, karena itu petunjuk umum dan universal harus
didahulukan. Pernyataan Syatibi mempunyai kesamaan dengan
78 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 76
55
Rahman yaitu pada konsep ideal moral. Bagi Rahman, ideal moral
bersifat universal dan al-Qur’an dipandang elastis dan fleksibel.79
Selain kedua tokoh tersebut, teori double movement juga
dipengaruhi oleh hermeneutika Hans-Gorge Gadamer, sebab dalam
teori Gadamer, subjektivitas adalah pra pemahaman
(wirkungsgeschichte) yang ada pada diri pembaca teks. Artinya ketika
seseorang membaca teks terlebih dahulu maka akan dipengaruhi oleh
pra pemahaman dan ini harus ada pada seseorang agar mampu
mendialogkan teks, sebab tanpa adanya pra pemahaman tidak akan
mampu teks dengan baik. Ini menunjukkan bahwa pembaca
mempunyai horison tersendiri dan, begitu juga sebuah teks yang
mempunyai horison tersendiri. Untuk mendapatkan pesan-pesan teks
secara objektif maka pembaca harus membatasi horisonnya sendiri dan
lebih mengutamakan teks dengan mengkaji di mana teks tersebut
muncul. Dari sinilah pertemuan antara subjektifitas dengan objektifitas,
dimana horison teks lebih diutamakan. Pentingnya mengetahui horison
teks dikarenakan berbedanya kondisi sosial teks dengan pembaca.
Setelah proses pemahaman, sekarang masuk ke dalam proses
pengaplikasian. Menurut Gadamer setelah proses pemahaman penafsir
dituntut untuk penerapan. Dalam mengaplikasikan penafsiran perlu
diperhatikan bahwa yang diaplikasi bukanlah makna-makna literal teks,
79 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 77
56
melainkan meaningful sense (makna yang berarti) atau pesan yang lebih
berarti daripada sekedar literal.80
Dalam teori double movement, pra pemahaman adalah sosial
yang melingkupi penafsir, seperti yang disebut pada langkah pertama
“masa sekarang”. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan pesan teks
secara objektif, penafsir dituntut untuk meninggalkan pra pemahaman
dengan mengutamakan horison teks dengan menyelami historisitas di
mana munculnya teks. Di sini Rahman juga memandang bahwa teks
mempunyai konteks tersendiri, maka untuk menafsirkan dan
memahami teks diperlukan kajian setting-sosial di mana teks tersebut
muncul. Dalam tahap aplikasi Rahman juga tidak menggunakan makna
literal teks tapi ideal moral dari teks tersebut.81
2. Contoh Aplikasi Teori Double movement
Dalam artikel Rahman berjudul “Interpreting the Quran”,
Rahman memberikan beberapa contoh penggunaan teori double
movement dalam aspek hukum. Bagaimana ideal moral yang
sebenarnya ingin disampaikan al-Qur’an bagi manusia. Pertama dalam
masalah poligami dalam surat an-Nisa ayat 2, al-Qur’an mengeluh
banyaknya pengampu anak yatim yang menyalahgunakan kekayaan
anak-anak yatim serta memakannya secara batil. Dalam surat yang
sama ayat 126, al-Qur’an menyatakan bahwa pengampu lebih baik
80 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 78 81 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 78-79
57
mengawini gadis-gadis yatim ketika mereka dewasa daripada
mengembalikan kekayaan tersebut. Jadi dalam ayat 3, Surah an-Nisa,
al-Qur’an mengatakan bahwa jika para pengampu tidak dapat berlaku
adil terhadap kekayaan gadis-gadis yatim maka mereka boleh
mengawini gadis-gadis yatim hingga empat orang asalkan mereka
mampu berlaku adil dengan semua istri-istrinya. Tetapi jika mereka
tidak mampu berlaku adil di antara istri-istriya maka kawini seorang
saja dari gadis-gadis yatim itu, karena hal ini merupakan yang terdekat
kepada titik di mana engkau tidak akan melakukan kesalahan.82
Dalam ayat 127, surat an-Nisa, al-Qur’an menyatakan secara
gamblang bahwa mustahil untuk berlaku adil di antara istri-istri.
Problem pernikahan ini tampak bertentangan. Ada izin untuk menikah
hingga empat orang tanpa perlakuan adil dengan anak-anak yatim,
adanya kewajiban untuk melaksanakan keadilan dan adanya suatu
deklarasi yang secara kategoris bahwa keadilan tidak mungkin
dilaksanakan. Untuk suatu hal, adalah pasti bahwa keseluruhan masalah
tersebut dibicarakan dalam konteks wanita yatim dan tidak
diperbincangkan dalam terma mutlak. Para fuqaha menafsirkan klausa
yang megizinkan poligami sebagai klausa yang memiliki kekuatan
hukum, sebab ia bersifat konkrit dan spesifik. Klausa yang menuntut
keadilan mereka anggap sebagai rekomendasi bagi nurani sang suami
82 Fazlur rahman, Metode dan Alternatif neomodernisme Islam, Penyunting: Taufik Adnan
Amal, (Bandung: Mizan, 1989), hlm.63
58
bahwa ia harus berlaku adil tetapi tidak memiliki kekuatan hukum tentu
saja, selalu terbuka kemungkian bagi kaum muslimah untuk menuntut
dan mendapatkan cerai atas dasar penganiyaan, penyia-nyiaan dan
perlakuan tidak adil dari suaminya. Dalam kasus poligami ini klausa
berlaku adil harus mendapat perhatian dan ditetapkan memiliki
kepentingan yang lebih mendasar ketimbang dengan klausa spesifik
yang mengizinkan poligami.83
Dalam memahami poligami ini, dengan menggunakan teori
double movement Fazlur Rahman, gerakan pertama dimulai dari masa
sekarang ke masa pewahyuan. Sebuah kegelisahan yang muncul pada
saat sekarang dalam pandangan Rahman yaitu masih banyaknya
problem paligami yang muncul di kalangan masyarakat. Dari situasi
tersebut kemudian dikembalikan ke masa pewahyuan dimana
kebolehan poligami dikarenakan tidak adanya keadilan atas kekayaan
gadis-gadis yatim (an-Nisa:2). Hal ini menganjurkan bagi pengampu
anak yatim menikahi gadis yatim tersebut dengan bilangan yang
diperbolehkan adalah empat gadis yatim (an-Nisa: 3) dengan syarat
berlaku adil pada semua istrinya. Namun ayat selanjutnya (an-Nisa:
127) menjelaskan bahwa bersikap adil kepada istri-istrinya adalah
mustahil. Maka dari itu jawaban spesifik dari problem poligami adalah
ketidakbolehan poligami dikarenakan sikap keadilan kepada seluruh
83 Fazlur rahman, Metode dan Alternatif neomodernisme Islam, Penyunting: Taufik Adnan
Amal, hlm.63
59
istri adalah mustahil. Ideal moral dari larangan poligami adalah
penegakan keadilan bagi Muslimah.
60
BAB III
PEMAHAMAN AHLI KITAB DARI BERBAGAI PERSPEKTIF
A. Terminologi Ahli Kitab
Terma Ahli Kitab berasal dari dua kata yaitu ahli dan kitab. Kata ahli
secara literal mengandung pengertian ramah, senang atau suka. Kata ahli
telah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang mempunyai dua pengertian,
yaitu: 1). Orang yang mahir (sangat paham dengan suatu ilmu) dan ke 2).
Kaum, keluarga atau sanak saudara maupun orang yang berada dalam satu
golongan.84 Selain itu dapat juga digunakan untuk menunjukkan kepada
sesuatu yang mempunyai hubungan sangat dekat, seperti kata ahl ar-rajul
yaitu orang yang menghimpun mereka, baik dari hubungan nasab maupun
agama atau hal yang setara dengannya, seperti komunitas atau profesi.85
Kata ahli dapat pula diartikan sebagai keluarga yang masih mempunyai
hubungan nasab, seperti ahl al-bait yang digunakan dalam penyebutan bagi
mereka yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga Ali bin Abi
Thalib dan Siti Fatimah.
Dalam al-Qur’an kata ahli digunakan dengan beberapa variasi.
Disebutkan sebanyak 125 kali.86 Dalam QS al-Ahzab(33): 33, kata ahli
menunjuk pada suatu kelompok tertentu dengan kata ahl al-bait yang
84 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993),
hlm.11 85 Ar-Raghib al-Asfihani, Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t),
hlm.25 86 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/1988M), hlm. 121-123.
61
ditunjukkan untuk kelurga Nabi Muhammad. Kata ahli menunjukkan arti
suatu penduduk seperti dalam QS Al Qashash (28): 45 dan dapat juga
dimaknai sebagai suatu kelompok yang menganut paham dan ajaran
tertentu, dijelaskan dalam QS Al Baqarah (2):105. Dalam hal ini, kata ahli
mempunyai banyak makna yang dapat disimpulkan dengan arti kelompok
atau keluarga.
Kata kitab terdiri dari tiga huruf yaitu kaf, ta’ dan ba’ yang menunjuk
pada arti kata yaitu rangkaian atau kumpulan87 dapat juga diartikan
pengumpulan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk memperoleh manfaat
atau untuk membentuk sebuah tema yang sempurna. Oleh karenanya firman
Allah yang diturunkan kepada para rasul disebut dengan Kitabullah atau al-
Kitab, karena terdiri dari rangkaian lafadz. Syahrur mendefinisikan kata
kitab merujuk pada pengertian kumpulan berbagai tema yang diwahyukan
kepada Muhammad, oleh karenanya surah al-Fatihah disebut “Fatihat al-
kitab”.88 Dari pemaparan kata ahli dan kitab maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dari kata ahli kitab yaitu komunitas atau kelompok pemeluk
agama yang memiliki kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi dan
Rasul-Nya secara umum.
Secara bahasa ahli kitab adalah orang yang mempunyai kitab.
Artinya orang yang mengikuti kitab suci yang diturunkan kepada salah
seornag Nabi. Secara singkat, ahli kitab bisa diartikan orang yang
87 Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis al-Lughoh, (Dar Fikr,t.t), hlm.158 88 Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer,
(Yogyakarta: Kalimedia,2015), hlm.69
62
mempercayai salah satu Nabi dan percaya dengan kitab suci baik Yahudi
maupun Nasrani. Dalam al-Qur’an, kata ahli kitab kerap kali ditujukan
kepada Yahudi dan Nasrani. Sebenarnya pemaknaan ahli kitab mengalami
pergeseran yang sangat signifikan dimana banyak intelektual Muslim yang
berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebenarnya yang menjadi kontroversi
dari pemahaman ahli kitab bukanlah definisi umumnya akan tetapi lebih
kepada cakupan kelompok atau golongan apa saja yang dapat dimasukkan
ke dalam kelompok ahli kitab. Perbedaan pendapat tersebut tidak lain
dikarenakan adanya pemahaman yang berbeda dari banyaknya ayat yang
menjelaskan mengenai ahli kitab itu sendiri.
B. Pergeseran makna Ahli Kitab
Pemaknaan ahli kitab mengalami pergeseran dari yang signifikan
dari para pemikir Muslim masa klasik (Salaf) dan kontemporer (Kholaf).89
Pada awal perkembangan Islam, terma ahli kitab digunakan untuk
menunjukkan kaum yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, kelompok
diluar itu tidak disebut sebagai ahli kitab. Kemudian pada masa tabi’in,
sebutan untuk ahli kitab sudah mulai mengalami perkembangan
pemaknaan. Imam Syafi’i (W. 204 H) dalam kitabnya al-Umm, menjelaskan
riwayat yang disebutkan, bahwa Atha’ (tabi’in) berkata: “Orang kristen
Arab bukan termasuk ahli kitab. Kaum yang disebut ahli kitab adalah kaum
Israel, yakni orang-orang yang diturunkan kepada meraka kitab Taurat dan
89 Pemetaan pemaknaan ahli kitab dalam tulisan ini berdasarkan pada runtutan dari Ulama
Salaf ke Ulama Kholaf, yang mengalami pergeseran makna secara signifikan. Akan tetapi secara
garis besar banyak diantaranya mengakui ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani
63
Injil”. Adapun orang selain Bani Israel yang memeluk agama Yahudi dan
Nasrani tidak termasuk golongan ahli kitab. Dengan demikian Imam Syafi’i
memahami ahli kitab sebagai komunitas etnis, bukan sebagai komunitas
agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa.90 Menurut Abu Hanifah
dan ulama Hanafiah menyatakan bahwa yang disebut ahli kitab adalah
siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi atau kitab suci yang pernah
diturunkan Allah SWT, tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani. Dengan
demikian, jika ada yang percaya kepada suhuf Ibrahim atau kitab zabur,
maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian ahli kitab.91 Bagi imam
ath-Thabari92, ahli kitab adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari
keturunan manapun dan siapapun mereka, baik keturunan Israel maupun
bukan dari bangsa Israel.93
Ibn Hazm94 mendefinisikan ahli kitab dengan sekumpulan manusia
yang mempunyai kitab yang diturunkan kepada Nabi tertentu sebagai
sumber panutan mereka. Ibnu Hazm merumuskan definisi ini berdasar pada
beberapa fakta, yaitu pertama, Ibnu Hazm bermadzhab Zahiri yaitu aliran
pemikiran yang memahami sesuatu berasas pada makna literal. Ungkapan
90 Nasrullah, “Ahli Kitab Dalam Perdebatan: kajian Survei Beberapa Literatur Tafsir Al-
Qur’an”, Jurnal Syahadah, (Vol.III, No.2, Oktober 2015),hlm. 70 91 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan,1994), hlm. 367 92 Nama lengkapnya Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid At
Thabari, ada pula yang mengatakan Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin
Ghalib At Thabari. dilahirkan pada tahun 224 H dan wafat pada tahun 310 H. 93 Nasrullah, “Ahli Kitab Dalam Perdebatan: kajian Survei Beberapa Literatur Tafsir Al-
Qur’an”, hlm. 71, lihat pada Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, (Beirut, Dar
al-kutub al-‘ilmiyyah, 1992), hlm.321 94 Nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Khalaf bin
Ma’dan bin Sufyan bin Yazid. Lahir pada tahun 384 H bertepatan dengan tanggal 8 November 994
M di Cordova dan wafat pada bulan Sya’ban tanggal 28 tahun 456 H. Ketika berusia 72 tahun.
64
ahli kitab menurutnya, merupakan kalimat yang terdiri dari dua kata yaitu
ahli dan kitab (mudhaf dan mudhaf ilaih) yang disandarkan satu sama lain
dalam pemberian makna. Kata kitab disandarkan pada kata ahl memberikan
makna yang tidak terpisah diantara keduanya. Kedua, golongan Yahudi dan
Nasrani yang mana mereka mempercayai kitab yang diturunkan kepada
Nabi mereka. Ketiga, kelompok majusi sebagai ahli kitab didasari adanya
kewujudan kitab yang dipegangi oleh kelompok majusi disamping
kepercayaannya pada keNabian Zaradasht. Kesimpulan dari ketiga faktor
ahli kitab menurut Ibn Hazm yaitu golongan Yahudi, Nasrani dan majusi.95
Berbeda dengan Ibn Hazm, al-Shahrastani96 memberikan definisi
ahli kitab sebagai kelompok yang telah keluar dari agama yang hanif dan
syariat Islam. Mereka ialah kumpulan yang mempunyai syariat, hukum-
hukum, hudud dan ulama. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan dua ciri
utama ahli kitab yaitu kelompok yang mempunyai syariat, hukum-hukum,
ulama dan agama mereka yang telah keluar daripada agama yang lurus.97
Al-Shahrastani juga memasukkan golongan yang hanya menerima
suhuf sebagai bagian dari ahli kitab. Dia membagi ahli kitab menjadi dua
kategori yaitu pertama, golongan yang mempunyai kitab sebenarnya yaitu
95 Mohd Faizal Abdul Khir, “Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-Shahrastani”,
Jurnal Usuluddin, (Januari 2011), hlm. 21 96 Nama Lengkapnya Muḥammad bin ‘Abd al-Karīm bin Aḥmad bin Abī al-Qāsim bin Abī
Bakar.seorang tabi’in, satu dari tujuh fuqaha Madinah selain Said ibn al-Musayyab, Urwah ibn az-
Zubair, Abu Bakar ibn Abdurrahman al-Makhzuumi, Khaarijah ibn Zaid, Sulaiman ibn Yasaar,
dan Ubaidullah ibn Abdillah ibn Utbah. Beliau yang paling utama ilmunya pada zamannya, paling
tajam kecerdasan otaknya, dan paling bagus sifat wara’nya. . Lahir tahun 459 H dan Wafat pada
tahun 548 H. 97 Mohd Faizal Abdul Khir, “Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-Shahrastani”,
hlm.22
65
Yahudi dan Nasrani dan kedua, golongan yang mempunyai kitab yang
mempunyai kemiripan dengan kitab asli yaitu Majusi dan Manawi.
Perbedaan antara keduanya, menurut Shahrastani yaitu kitab yang hakiki
seperti Taurat dan Injil manakala mirip kitab yaitu suhuf Ibrahim. Golongan
yang mempunyai kitab sebenarnya, mereka masih mempunyai kitab hingga
sekarang sedangkan mirip kitab, telah diangkat kembali ke langit.98
Sehubungan dengan penjelasan tersebut, Ibn Hazm dan Shahrastani terletak
pada klasifikasi ahli kitab yang mana Shahrastani membagi ahli kitab
menjadi dua yaitu ahli kitab hakiki dan mirip kitab yang tidak disentuh oleh
Ibn Hazm. Menurut Ibn Hazm, Majusi merupakan bagian dari ahli kitab
sedangkan Shahrastani memasukkan Majusi pada golongan mirip ahli kitab.
Kesamaan pendapat diantara keduanya yaitu menyatakan bahwa Yahudi
dan Nasrani merupakan ahli kitab yang hakiki.
Menurut Thabathaba’i99 menyimpulkan bahwa orang-orang yang
diberi kitab sebelum al-Qur’an jumlahnya banyak, akan tetapi sebagian
besarnya merujuk pada Yahudi dan Nasrani. Yang biasanya disamakan
dengannya yaitu Majusi dan Shabi’in, dua kelompok minoritas yang tidak
dominan dalam mewarnai dakwah Nabi. Yahudi dan Nasrani disebut
sebagai ahli kitab dikarenakan mereka merupakan kelompok masyarakat
yang berinteraksi secara aktif dengan Nabi. Dalam interaksi itulah dua
98 Mohd Faizal Abdul Khir, “Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-Shahrastani”,
hlm.23 99 lahir pada akhir 1321 H. tepatnya pada 29 Dzulhijjah 1321 H. atau bertepatan dengan
1903 M di Desa Shadegan, Provinsi Tibriz atau Tabriz (provinsi yang pernah dijadikan sebagai ibu
kota pada masa Dinasti Safawi) dan wafat pada meninggal dunia di Aban pada tanggal 18
Muharram 1412 H/ 1981 M.
66
kelompok tersebut, baik sendiri maupun bersamaan dideskripsikan dalam
al-Qur’an.100
Menurut Thabathaba’i, Majusi dan Shabi’in disamakan dengan
Yahudi dan Nasrani sehingga termasuk golongan ahli kitab dikarenakan
mereka memiliki Nabi yaitu Zoroaster dan kitab suci Avastha, meskipun
mereka mengakui bahwa sejarah hidup dan kemunculan agama ini sangatlah
tidak jelas. Kitab mereka hilang ketika Iskandar zulkarnain menguasai Iran,
tetapi kemudian diperbarui pada masa kekuasaan Dinasti
Sasan.101Thabathaba’i juga menjelaskan bahwa sebenarnya Majusi
memiliki Nabi yang kemudian Nabi tersebut mereka bunuh dan mereka juga
mempunyai kitab sebanyak 12.000 jilid yang akhirnya mereka bakar.
Penganut Majusi mempunyai banyak sekte akan tetapi pada prinsipnya
mereka hanya mempercayai adanya dua penguasa dan pengatur alam raya,
pengatur kebaikan dan kejahatan yakni Tuhan cahaya yang bernama Yazdan
dan Tuhan gelap yang bernama Ahriman. Mereka mensucikan para malaikat
dan berusaha mendekatkan diri kepadanya tanpa membuat berhala seperti
apa yang dilakukan oleh para penyembah berhala. Mereka juga mensucikan
unsur-unsur perantara, khususnya api, dan mereka mempunyai rumah-
rumah api di pusat-pusat agama mereka, seperti di Iran, Cina dan India.102
Shabi’in menurut Thabathaba’i yaitu mereka yang mengagungkan
api, binatang-binatang dan unsur-unsurnya. Shabi’in disebut juga kelompok
100 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Mu’assasah al-
‘A’alamy lil Mathbu’at, 1991), Vol.XVI, hlm.142 101 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. XIV, hlm.359 102 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. XIV, hlm.359
67
Haraniyah dan menurut salah satu pendapat mengatakan bahwa kaum
Shabi’in adalah Hadan Ibn Terah yang berarti saudara Ibrahim. Mengutip
pendapat al-Ma’sudi, Thabathaba’i menyatakan bahwa Shabi’in adalah
kelompok penyembah binatang yang dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa
mereka adalah kelompok yang Tuhannya dihancurkan oleh Ibrahim. Akan
tetapi dalam uraian lain dikatakan bahwa Shabi’in adalah qaum
mutawassithun baina al-yahudiyyah wa al-majusiyyah (kaum yang
memiliki keyakinan dan praktik keagamaan antara Yahudi dan Majusi),
mereka memiliki kitab suci yang dinisbahkan kepada Yahya dan Zakaria.103
Dari pendapat yang telah dipaparkan oleh Thabathaba’i, meskipun
tidak menjelaskan secara eksplisit akan tetapi dapat dilihat bahwa
menurutnya ahli kitab adalah kelompok atau golongan yang mana di dalam
golongan tersebut diperintahkan seorang Nabi yang membawa wahyu dari
Tuhan. Maka dari itu, Thabthaba’i memasukkan Shabi’in ke dalam
kelompok ahli kitab. Meskipun Thabathaba’i telah menjelaskan
pendapatnya, beberapa kemungkinan yang muncul ketika dilihat dari
konteks ayat dan sejarah, maka yang lazim disebut sebagai ahli kitab adalah
Yahudi dan Nasrani. Kedua agama inilah yang menamakan dirinya sebagai
ahli kitab dan menamakan selainnya sebagai ummiyyin (masyarakat tak
berkitab).104 Yahudi dan Nasrani berasal dari satu sumber yaitu keluarga
103 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. XIV, hlm.359 104 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. III, hlm.300
68
Israel yang kepada mereka diutuslah Musa dan Isa, meskipun pada akhirnya
dakwah Isa menyebar kepada selain Bani Israel.
Yahudi dan Nasrani jelas memiliki persambungan akidah dengan
kaum Muslim. Bahkan Allah menegaskan bahwa al-Qur’an datang untuk
memberikan pembenaran terhadap sebagian dari ajaran Taurat dan Injil
serta mengoreksi sebagian lainnya. Dalam koreksi al-Qur’an, transgresi
terburuk kaum Yahudi yaitu penyimpangan dari ajaran agama mereka,
membunuh Nabi mereka dan menyimpang dari ajaran agama yang lurus
(monoteisme). Sedangkan kesalahan terburuk kaum Nasrani yaitu konsep
mereka tentang trinitas dan penuhanan Yesus Kristus.105
Diskursus ahli kitab tidak hanya berhenti pada ulama salaf seperti
apa yang telah dijelaskan. Namun hal ini berlanjut pada pemaham ahli kitab
ulama kholaf (modern-kontemporer). Dalam tafsir Al Manar menjelaskan
ahli kitab tidak hanya terbatas pada dua kelompok tersebut, akan tetapi
mencakup semua pemeluk agama yang kitab sucinya dianggap berasal dari
Tuhan yaitu mencakup Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Sinto.106
Mohammad Arkoun salah satu intelektual Muslim kontemporer
yang mendefinisikan ahli kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani yang juga
masuk dalam lingkup pergaulan Nabi Muhhammad selama di Mekkah dan
Madinah. Dalam al-Qur’an orang-orang itu disebut sebagai pemilik wahyu
awal, orang-orang beriman yang juga dicintai Tuhan sebagaimana kaum
105 W. Mountgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh
University Press,1970), hlm.157-158 106 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Ma’rifah,t.t), hlm.188-
190
69
Muslim, yang telah menerima wahyu. Namun dalam al-Qur’an
mendefinisikan hal yang berbeda mengenai ahli kitab. Orang Yahudi dan
Nasrani memusuhi Nabi dan menolak klaimnya bahwa beliau adalah
seorang Nabi dan mereka menolak menerima al-Qur’an sebagai wahyu
tertinggi dari kata-kata Tuhan. Ketegangan sosial dan politik, ditambah
dengan kompetisi simbolis yang menarik, terjadi di Madinah antara ahli
kitab dan komunitas baru orang-orang yang beriman.107
Beberapa pemikir Indonesia yang mendefinisikan ahli kitab sebagai
contoh Nuruddin Ar-Raniri108 dan M. Quraish Shihab, meskipun masih ada
beberapa pemikir Muslim yang juga mendefinisikan ahli kitab akan tetapi
dalam hal ini penulis hanya menjelaskan kedua tokoh tersebut. Nuruddin
Ar-Raniri menyebutkan bahwa ahli kitab hanya terdapat tiga golongan
utama yaitu Barahimah, Yahudi dan Nasrani. Barahimah merupakan
golongan keturunan dan umat Nabi Ibrahim yang menyembah berhala.
Sebagian mereka pada masa itu menetap di benua Gujarat. Ar-Raniri
mengatakan bahwa kelompok ini sesat dikarenakan kepercayaan mereka
dalam menyembah. Hal tersebut menyimpang dari milah Ibrahim yang
mana Nabi Ibrahim sendiri memeluk agama yang lurus. Kelompok Yahudi
yang diklasifikasikan oleh Ar-Raniri menjadi dua yaitu Uzayriyyah dan
Samariyyah. Nama ini diputuskan berdasarkan objek yang mereka sembah.
Uzayriyyah dinisbatkan kepada Nabi Uzayr yang diyakini sebagai seorang
107 Mohammad Arkoun, “Pemikiran tentang Wahyu Dari Ahli Kitab sampai Masyarakat
Kitab”, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, (no.2, Vol.IV, 1993), hlm.47 108 Nama lengkapnya Nuruddin Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji ibn Muhammad Hamid al-
Quraishi al- Shafi‘i al-Asy‘ary Al-’Aydarusi ar-Raniri.
70
anak Allah dan Samariyyah merupakan sebutan bagi para penyembah
lembu. Kelompok Nasrani yang diklasifikasikan oleh Ar-Raniri menjadi
tiga kelompok yaitu Malkaniyyah, Nasturiyyah dan Marya’qubiyyah. Nama
ketiga kelompok ini diambil berdasarkan nama ketiga pemimpin mereka
yaitu Malkan, Nastur dan Mar ya’qub. Ada pula yang mengungkapkan
bahwa klasifikasi tersebut di dasarkan pada tempat tinggal mereka yaitu
Malkaniyyah di Kota Mesir, Nasturiyyah menunjukkan kota Irak dan Mar
Ya’qubiyyah menunjuk pada kota Syam.109
Sedangkan Quraish Shihab mempunyai klasifikasi tersendiri
mengenai ahli kitab. Dalam bukunya wawasan al-Qur’an110, dia
menjelaskan bahwa ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani dimanapun dan
siapapun mereka baik keturunan bani Israel maupun tidak, mereka
tergolong ahli kitab. Di dasarkan pada QS 6:156,
“(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan:
"Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum
kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka
baca”.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Al Kitab hanya diturunkan
kepada dua golongan saja. Maka dari itu Quraish Shihab berpendapat tidak
ada golongan kecuali Yahudi dan Nasrani yang termasuk ahli kitab.111
Definisi cakupan ahli kitab memang berbeda-beda dari satu tokoh
dengan tokoh yang lain. Beberapa diantaranya mengatakan bahwa hanya
109 Ar-Raniri, Tibyan fi Ma ‘ rifat al - Adyan (Banda Aceh: PeNa, 2010), hlm. 58. 110 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan,1994), hlm. 367 111 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
hlm. 368
71
Yahudi dan Nasrani yang masuk dalam golongan ahli kitab, akan tetapi ada
pula yang menyatakan bahwa mereka yang mempunyai kitab dan
diperintahkan atasnya utusan maka dapat dimasukkan ke dalam golongan
ahli kitab. Dalam hal ini, cakupan kelompok yang termasuk ahli kitab secara
garis besarnya tetap ditujukan kepada kelompok agama Yahudi dan
Nasrani. Perbedaan ini menjadi penyempurna kajian keislaman karena
sebenarnya mereka – pemikir Muslim—merujuk pada satu kitab suci yaitu
al-Qur’an.
Terlepas dari penilaian ahli kitab, Islam sangat menekankan kepada
para pengikutnya untuk mengembangkan common platform, yang dalam
bahasa al-Qur’an disebut sebagai kalimatun sawa,112 dengan penganut
agama lain. kalimatun sawa seharusnya dibangun atas dasar keimanan yang
benar yaitu tauhid (keesaan Tuhan). Tanpa adanya dasar keimanan maka
pengembangan kalimatun sawa tidak akan terlaksana dan terwujud. Dari
dasar keimanan tersebut akan dapat dikembangkan dengan adanya titik-titik
temu yang nantinya akan mendukung terciptanya kehidupan yang toleran,
saling menghormati dan saling mempercayai. Pengembangan kalimatun
sawa teah dimulai sejak masa Nabi Muhammad ketika berhijrah ke Madinah
dengan adanya tuntutan untuk menciptakan kehidupan beragama yang
harmonis. Secara historis, Islam bertemu dengan Yahudi dan Nasrani sejak
diangkat sebagai Rasul. Bahkan menurut pendapat Waardenburg, Islam
112 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama, (Bandung: Mizan, 2016), hlm.191
72
juga bertemu dengan Zoroaster dan Shabi’ah. Pada masa itu Yahudi
mempunyai posisi kuat di Yasri dan Khaibar sedangkan Nasrani
mempunyai pengaruh penting di Najran. Oleh karena itu komunitas-
komunitas tersebut masing-masing telah berusaha mengajak masyarakat
Mekah untuk mengikuti agama mereka. Maka dari itu, sebelum Islam
muncul, sedikit banyak masyarakat Mekah telah mengenal ide-ide
keagamaan dan tradisi yang hidup di kalangan ahli kitab.113
Berhadapan dengan kalimatun sawa yang dapat juga disebut sebagai
syahadat universal bagi siapapun yang mengaku ahli waris millah Ibrahim,
sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, dinyatakan bahwa ahli kitab
terbagi menjadi tiga sikap yaitu beriman, Syirik dan Kafi, atau secara umum
terbagi menjadi dua yaitu mukmin dan kafir.
C. Apresiasi al-Qur’an Terhadap Ahli Kitab
Di dalam al-Qur’an, setidaknya terdapat 31 ayat yang dengan jelas
menggunakan sebutan ahli kitab. Dari 31 ayat tersebut, 27 ayat memandang
ahli kitab secara kritis, sementara yang 4 ayat sisanya memandang ahli kitab
ini secara apresiatif dan simpatik. Ayat-ayat yang memandang ahli kitab
secara kritis terdapat pada QS 2:105, 109; QS 3:65,59,70,71,72,75,98,99;
QS 4: 153,159,17; QS 5:15, 19,59,65,68,77; QS 29:46, QS 33:26; QS 57:29;
QS 59:2,11; QS 98: 1,6. Sedangkan empat ayat sisanya memandang ahli
kitab secara positif dan apresiatif hanya terdapat dalam satu surat saja yakni
113 Nafis Irkhami, Keselamatan Bagi Ahlul Kitab? Menelusuri Pemahaman Al Maraghi,
(Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2006), hlm.48
73
Surat Ali Imran, ayat 64, 110, 113, dan 199. Dari uraian tersebut, logis jika
mayoritas pemikir Muslim menyatakan bahwa ahli kitab adalah Yahudi dan
Nasrani. Meskipun beberapa pemikir Muslim memasukkan Majusi dan
Shabi’in sebagai ahli kitab.114 Hal ini tidak menjadi problem jika hanya
Yahudi dan Nasrani yang dimasukkan ke dalam kelompok ahli kitab
dikarenakan secara historis, kontak antara Nabi Muhammad dengan umat
Yahudi dan Nasrani lebih intensif dibandingkan dengan komunitas agama
lain.
Jika disusun secara nuzuli115, ayat-ayat ahli kitab dalam tersebut
mempunyai makna tersendiri. Salah satu ayat ahli kitab yang termasuk
dalam Surah Makiyyah menurut Noldeke yaitu QS 29: 46;
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara
mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan
Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri"
Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa keharusan untuk berbuat
baik dengan ahli kitab yang berada di Mekah agar Islam menjadi agama
yang menyebarkan kebaikan. Surah Al-‘Ankabut merupakan salah satu
Surah yang diperselisihkan masa turunnya. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa semua ayatnya turun sebelum hijrah ke Madinah, atau dengan kata
114 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, (Malang: UIN Maliki-
Press,2012,cet.II), hlm.12
115 QS 2:105, 109; QS 98: 1,6. QS 3:65,59,70,71,72,75,98,99; QS 57:29; QS 4: 153,159,171;
QS 59:2,11; QS 33:26;. QS 5:15, 19,59,65,68,77; dan QS 29:46 Makiyyah ketiga. Lihat lebih
jelasnya pada Theodor Noldeke, Tarikh Qur’an, terj. Farid Yarisy Syafali, (New York: Dar Nasyr,
2000), hlm. XXXVI
74
lain Surah ini Makiyyah.116 Kemudian dilanjutkan pada periode Madinah
yang diawali dari Surah Al Baqarah (2).
QS 2: 105, ayat ini mengingatkan kaum muslimin agar jangan
mempercayai persahabatan pada sebagian ahli kitab.117 Hal ini dilandaskan
dengan munasabah ayat sebelumnya yang menjelaskan adanya kejahatan
dan keburukan orang-orang Yahudi yang hidup pada masa turunnya al-
Qur’an, maka dari itu ayat tersebut menyatakan ketidakbolehan seorang
Muslim percaya pada ahli kitab. Dalam ayat QS 2: 109, ayat ini menyatakan
banyak di antara ahli kitab, bukan semuanya bukan pula kebanyakan,
sebagaimana diterjemahkan oleh beberapa penerjemah. Kenyataan sejarah
pada masa turunnya al-Qur’an, membuktikan bahwa banyak di antara ahli
kitab, yakni orang-orang Yahudi yang bertenpat tinggal di Madinah tidak
bersimpati dengan kaum Muslimin. Sangat sedikit di antara mereka yang
percaya kepada Nabi Muhammad jika dibandingkan dengan yang antipati.
Keinginan ini diwujudkan dengan berbagai cara, misalnya dengan
mengecam dan mengejek kekalahan orang Muslim ketika perang Uhud.
Keinginan ahli kitab mengembalikan orang Muslim kepada kekafiran
hanyalah angan-angan kosong, karena kepercayaan atas Islam telah
tertanam dalam hati mereka.118
QS 98:1,6, ayat ini menjelaskan sebelum kedatangan Nabi
Muhammad saw, orang-orang Yahudi yang bermukim di Madinah sering
116 M. Quraish Shihab, Tafzir Al Misbah, Vol. 10, hlm. 3 117 M. Quraish Shihab, Tafzir Al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol.1), hlm. 344 118 M. Quraish Shihab, Tafzir Al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol.1), hlm. 351-352
75
bermohon kepada Allah: “Wahai Tuhan! Menangkanlah kami atas musuh-
musuh kami, demi Nabi yang kami nantikan datang, kami akan menyambut
dan mempercayai dan kami akan mengalahkan kalian (2):98. Dalam
perjanjian lama Kitab Ulangan 18:18, dinyatakan bahwa Tuhan berfirman:
“Seorang Nabi akan Ku bangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka
seperti engkau ini. aku akan mernaruh firman-Ku dalam mulutnya dan ia
akan mengatakan kepada mereka segala yang Ku perintahkan kepadanya.”
Demikian juga dalam perjanjian Baru (Yohanes 14:16) ditemukan juga
pertanyaan berikut dari Isa yaitu “Aku akan meminta kepada Bapa dan Dia
akan memberikan kepadaku seorang penolong yang lain supaya ia
menyertai kamu selama-lamanya. Menurut pernyataan ini maka Yahudi dan
Nasrani selalu mengatakan bahwa “kami baru akan meninggalkan tuntunan
agama yang selama ini kami percayai jika Nabi yang dijanjikan ini datang
mengajari kami”. Masyarakat umat manusia sebelum diutusnya Nabi
Muhammad berada dalam kegelapan. Musyrik Mekah yang mengaku
pengikut Nabi Ibrahim, menyembah berhala yang justru diperangi Nabi
Ibrahim. Orang Yahudi yang mengaku mengikuti Nabi Musa juga
mengalami hal yang sama. Nilai-nilai spiritual mereka abaikan, sambil
membenarkan diri dan menganiaya selain kelompoknya. Begitu pula
Nasrani yang mengikuti Nabi Isa telah tenggelam dalam pengkultusan Nabi
agung hingga menjadikannya anak Tuhan. Allah kemudian mengutus Nabi
yang membawa ajaran, meluruskan kesesatan dan kekeliruan umat manusia.
Akan tetapi sayangnya sebagian mereka menerimanya dan sebagian lainnya
76
berlarut bahkan meningkat kesesatannya justru telah datangnya bukti yang
nyata.119
QS 3: 64, ayat ini sebagai salah satu ayat yang menilai ahli kitab
secara positif. Dalam tafsir al- Mizan karya Thaba’thaba’i kata As-sawa’
adalah sebuah masdar, meskipun pada lazimnya digunakan sebagai kata
sifat untuk menunjukkan sesuatu yang kedua sisinya sama. Yang lazim
antara kami dan kamu mengakui, menghargai dan mengamalkannya.
Dikatakan bahwa “kata yang lazim” merujuk kepada apa yang al-Qur’an,
Taurat dan Injil yang pada umumnya serukan dengan satu suara dan itu
adalah Tauhid. Jika propoorsisi, ide atau indikasi ini benar maka, maka kata-
kata berikutnya “bahwa kita tidak akan menyembah kecuali Allah...” akan
berfungsi sebagai penjelasan yang akurat tentang kata yang lazim antara
Muslim dan ahli kitab, itu mengajak ahli kitab untuk meninggalkan
interpretasi sendiri mengenai keesaan Tuhan. Sebagai contoh interpretasi
mengenai kepemilikan seorang putra, pemujaan akan pendeta-pendeta
mereka dan uskup-uskup mereka.120 Hal ini menjelaskan bahwa antara ahli
kitab dan Muslim haruslah menjadi satu kesatuan yang mempercayai
keesaan Tuhan, yang pada intinya ahli kitab dan Muslim mempunyai Tuhan
yang satu. Inilah apa yang dikatakan oleh ayat ini bahwa kita tidak akan
menyembah dan beribadah kepada apa dan siapapun kecuali kepada Allah.
119 M. Quraish Shihab, Tafzir Al Misbah, Vol. 15, hlm. 520 120 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. VI, hlm.137
77
Hal ini senada dengan kutipan Allah pada ucapan Yusuf dalam QS Yusuf :
39-40,
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa
(39) Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)
nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah
tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan
itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui"(40). Juga dalam firman Allah QS At Taubah:
31. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang
Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan.121
Dari ayat-ayat tersebut memberikan penguatan pada penjelasan
bahwa Tuhan hanya satu yaitu Allah dan perintah menyembah tidak dimulai
ketika masa Nabi Muhammad atau masa kedatangan Islam.
QS 3: 65, ahli kitab berdebat di antara mereka sendiri tentang
Ibrahim as. Argumen yang mana keinginan kedua kelompok
memperlihatkan kebenarannya. Kaum Yahudi ingin mengatakan: Ibrahim
adalah dalam kebenaran yang mendapatkan sedemikian banyak pujian dari
Allah, adalah dari kami, sebuah klaim yang kiranya disanggah oleh kaum
Nasrani dengan perkataan: Ibrahim adalah dalam kebenaran, sedangkan
kebenaran itu telah terejawentahkan melalui kedatangan Isa. Argumen ini
kemudian berubah menjadi kebekuan dan kefanatikan dan kebekuan.
Yahudi kemudian mengklaim bahwa Ibrahim adalah seorang Yahudi,
sedangkan orang-orang nasrani juga mengklaim demikian bahwa Ibrahim
121 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. VI, hlm.140
78
adalah seorang Nasrani. Namun demikian fakta yang termasyhur
memperlihatkan bahwa Yudaisme dan Kristianitas datang setelah
pewahyuan Taurat dan Injil, dan kitab-kitab ini diturunkan jauh setelah Nabi
Ibrahim as. Mana mungkin Ibrahim beragama Yahudi ataupun Nasrani,
yang dapat dikatakan sebenanrya Ibrahim adalah hamba yang patuh kepada
Allah, tulus mengikuti kebenaran dan jauh dari kesesatan.122
Dari ayat-ayat ahli kitab dalam surah Ali Imran dapat disimpulkan
bahwa golongan ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani meskipun dalam
sebuah hadis menempatkan kaum Zoroastian sebagai ahli kitab (dalam arti
bahwa mereka mempunyai kitab khusus mereka sendiri dan memiliki salah
satu kitab yang disebutkan oleh al-Qur’an. Tetapi dalam hal ini, al-Qur’an
tidak merujuk kepada mereka dan juga tidak menyebut kitab mereka.
Avastha yang mereka miliki tidak disebutkan dalam al-Qur’an sama sekali
dan mereka tidak mengakui kitab lain. Maka dari itu ketika al-Qur’an
menyebutkan ahli kitab maka yang dimaksudkan olehnya adalah kaum
Yahudi dan Nasrani.123
Surah selanjutnya yaitu Surah An-Nisa’ ayat 153 yang menjelaskan
perihal ahli kitab yang menginginkan diturunkannya kitab suci yang serupa
dengan kitab yang diturunkan kepada Musa. Seperti apa yang dijelaskan
dari asbaab an Nuzulnya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad bin
122 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. VI, hlm.146, lihat
juga Aksin Wijaya, Sejarah KeNabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah,
(Bandung, Mizan, 2016), hlm.434 123 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. VI, hlm.251
79
Ka’ab Al Qurazhi bahwasanya ia berkata, “beberapa orang dari agama
Yahudi datang menemui Rasulallah dan berkata “Sesungguhnya Musa
diutus kepada kami dengan membawa lembaran-lembaran dari Allah. Maka
datangkanlah lembaran seperti itu agar kami mempercayaimu.” Maka Allah
menurunkan firman-Nya. Hal ini memperlihatkan adanya keinginan ahli
kitab untuk mempercayai kenabian Muhammad dengan adanya penurunan
lembaran yang sama dengan Nabi Musa. Ayat 171, Allah masih
memberikan larangan secara tegas kepada ahli kitab agar mereka tidak
mempercayai adanya Tuhan yang tiga (Trinitas) dan percaya bahwa Isa
hanyalah utusan Allah. Kemudian pada ayat terakhir QS 5: 19 dijelaskan
bahwa Allah telah mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan isi Al Kitab
yang telah mereka sembunyikan kebenarannya.124
Dalam beberapa ayat mengenai ahli kitab yang telah tersusun secara
nuzuli tersebut, maka kemudian penulis memetakan fase-fase ahli kitab di
Mekah dan Madinah. Menurut Surah yang diturunkan di Mekah, jika ada
sebuah perdebatan di antara Muslim dan ahli kitab maka ajaklah mereka
untuk berdebat dengan cara yang paling baik. Hal ini bertujuan untuk
memperkenalkan Islam dengan cara yang halus agar dapat diterima di
semua kalangan masyarakat. Berbeda dengan Surah yang diturunkan di
Madinah yang mana apa yang disampaikan Allah melalui ayat-ayatNya
lebih mempertegas agar berhati-hati terhadapa ahli ktab dan di Madinah
juga, Allah menjelaskan perihal penyimpangan-penyimpangan yang
124 Lihat QS. 5: 15 dan 19
80
dilakukan oleh umat Yahudi maupun Nasrani. Berbeda dengan hal tersebut,
beberapa ayat yang dianggap memberikan apresiasi dan simpati terhadap
ahli kitab yaitu Surah Ali Imran. Salah satunya ayat 113:
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di
malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang) (113). Mereka
beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada
yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada
(mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang
saleh (114) Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali
mereka tidak dihalangi (menenerima pahala)nya; dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang bertakwa (115).
Dari ayat tersebut memberikan keterangan bahwa ahli kitab tidaklah
monolitik. Terdapat dua varian tentang ahli kitab yakni ahli kitab yang
konsisten dan ahli kitab yang tidak konsisten. Ahli kitab sebagaimana
dijelaskan dalam QS Ali Imran ayat 113 memang bermacam-macam salah
satunya kelompok yang qa’imah adalah kelompok yang konsisten dalam
iman dan ketaatan. Dalam ayat selanjutnya Allah memberikan beberapa
predikat penting terkait kelompok ahli kitab yang konsisten yaitu iman,
amar ma’ruf nahi mungkar, bersegera dalam melakukan kebaikan dan
memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang saleh yaitu ahli shirat
al-mustaqim, dan kelompok para Nabi, orang-orang yang jujur dan para
Syuhada’. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS Al Fatihah: (6-7) dan QS
An-Nisa’: 69.125
125 Waryono Abdul ghafur, Persaudaraan Agama-Agama, hlm.191
81
Contoh sikap konsisten didapatkan pada Abdullah bin salam126.
Tokoh karamistik dan rahib Yahudi ini langsung menyatakan keimanannya
kepada Muhammad tatkala ia mengetahui Nabi yang dijanjikan hijrah dan
tiba di Madinah. Sikap Abdullah tersebut merupakan komitmen
keimanannya terhadap Taurat yang memberitakan kehadiran dan
menyebutkan nama Nabi akhir zaman. Di kalangan Nasrani, sikap serupa
didapatkan pada seorang Negus. Raja Ethiopia yang shalih ini sebelum
sempat mengintrogasi rombongan hijrah kaum Muslimin yang dipimpin
oleh Ja’far bin Abi Thalib. Setelah dikethuinya common platform antara
Islam dan Nasrani sebagai agama wahyu, ia pun menerima dan melindungi
kaum muslimin dan bahkan menurut Ibnu Katsir, Abdullah Ibn Salam
akhirnya masuk Islam.127
Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang konsisten menjalankan Injil
dan Taurat sebagaimana yang diturunkan kepada Musa dan Isa maka ia akan
mendapat anugerah Allah yang banyak. Hal ini pararel dengan pernyataan
QS Al-A’raf [7]: 96, bahwa:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya.”
Ahli kitab yang seperti itulah, menurut Thabathaba’i ketika
menjelaskan QS al-Maidah [5]: 66, yang akan muncul sebagai ummatan
126 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, (Malang: UIN Maliki-
Press,2012,cet.II), hlm.14, hlm.191, lihat juga pada Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm. 207,
lihat Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama, hlm.191 127 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, hlm.14.
82
muqtashidah, yakni umat yang adil dalam persoalan agama dan pasrah
kepada perintah Allah. Sebaliknya jika kedua kelompok tersebut dan kitab-
kitab lain yang pernah ada, maka mereka dianggap tidak berpegang kepada
sesuatu yang semestinya mereka pegangi dalam menegakkan agama
Allah.128
Tampak kontras secara diametral contoh di atas dengan kelompok
kedua yaitu kelompok ahli kitab yang tidak konsisten. Ketika figur Abdullah
ibn Salam beriman dan masuk Islam, kalangan Yahudi menjadi lebih sengit
dalam melancarkan permusuhannya terhadap Nabi dan para pengikutnya.
Permusuhan yang sangat sengit, menurut Muhammad Husein Haekal,
disebabkan kedengkian Yahudi terhadap Nabi yang bukan berasal dari
golongan mereka. Nabi terakhir itu semula diperkirakan dari bangsa Israel,
namun ternyata berasal dari bangsa Arab yang telah lama menjadi seteru
mereka. Di antara pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi
adalah mengkorupsi kitab suci, menyimpang dari ajaran tauhid yang lurus
dan sebenarnya.129 Dalam QS 2:75, QS 4:46, QS 5:13 dan QS 5:41, keempat
ayat ini menjelaskan bahwa adanya pemalsuan kitab yang dilakukan oleh
Yahudi. Kata “yuharrifuna” dalam keempat ayat di atas menurut beberapa
mufasir klasik Jamal al-Din al-Qasimi, Ibn Katsir dan Ibn Jarir al-Tabari
menjelaskan bahwa maka kata “yuharrifuna” adalah menafsirkan (kalam
Ilahi) berbeda dengan makna yang sebenarnya. Sementara At-Tabari
128 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama, hlm.192 129 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, hlm.14
83
menjelaskan makna “yuharrifunahu” dengan mereka menukar makna dan
penafsirannya, dan mengubahnya. Setelah menjelaskan mengenai makna
kata yuharrifunahu yang mempunyai perbedaan di antara para mufasir,
sebenarnya tidak secara kesuluruhan diubah oleh tangan-tangan kelompok
Yahudi.130 Pembahasan ini masih mengalami perdebatan sampai saat ini.
Ayat penyembunyian pertama yang muncul dalam al-Qur’an adalah
QS 2:42 “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang
bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui.” Ayat ini diulang dengan redaksi yang hampir sama dalam QS
2:71. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa yang pertama di tunjukkan
kepada Bani Israel sementara yang kedua kepada ahli kitab. Ketika
menafsirkan hal ini Rasyid Rida menjelaskan bahwa kitab suci ahli kitab
berisi tentang munculnya Nabi-Nabi palsu di antara mereka yang mampu
memperlihatkan tindakan-tindakan ajaib dan janji Tuhan ke tengah mereka
seorang Nabi dari keturunan Ismail. Tetapi, Para Pendeta dan pemimpin
mereka menyangkal kenabian Muhammad dengan angkuh untuk
menyesatkan orang lain bahwa Muhammad termasuk salah satu Nabi
palsu.131
Penyembunyian kebenaran Islam yang dilakukan oleh kaum ahli
kitab juga banyak dikaji oleh pemikir Muslim. Sebenarnya, seluruh kitab
suci terdahulu telah menjelaskan akan datangnya utusan Tuhan yang dalam
130 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013), hlm. 172 131 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.206
84
Injil Yohane terdapat ayat “Paraclete” yang dipahami oleh orang Kristen
sebagai Ruh Kudus. Ibn Ishaq berpendapat bahwa Paraclete ditafsirkan
sebagai al-Muhanahhamana yang dalam bahasa Suryani berarti
‘Muhammad”, dan kata tersebut dalam bahasa Yunani adalah al-Baraqlitis
(Paraclete). Dalam QS 61:6, al-Qur’an menyatakan bahwa Isa memberikan
kabar baik kepada pengikutnya tentang Nabi yang akan datang setelahnya,
yang bernama Ahmad. Banyak kalangan Muslim percaya bahwa Ahmad
adalah Muhammad dan beberapa di antara mereka mengaitkannya dengan
Paraclete.132
Rasyid Rida mendiskusikan panjang lebar mengenai karakteristik
penyembunyian ahli kitab tentang kabar kedatangan Muhammad. Ia
memulai tafsirnya dengan penafsiran ahli kitab yang keliru dari kata
“Paraclete” (al-faraqlit). Dalam menjelaskan hal ini Rida bersandar pada
pemikiran Abduh yang memandang ayat ini sebagai argumentasi terhadap
orang-orang kafir secara umum dan orang Yahudi secara khusus, terkait
dengan penolakan mereka pada keNabian Muhammad. Tuhan mensifati
mereka sebagai telah “menyembunyikan apa yang telah diwahyukan
mengenai Muhammad” karena mereka menyatakan bahwa Nabi
sebelumnya tidak menjelaskan kedatangan Muhammad dari kalangan
bangsa Arab, anak cucu Ismail, dan tidak ada ayat dalam kitab suci mereka
yang menyebutkan agama dan kitab sucinya.133 Penyembunyian ahli kitab
132 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.203 133 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.210
85
dengan cara menghilangkan deskripsi tentang Muhammad dan
karakteristiknya dari kitab suci mereka.134
Rida menarik kesimpulan bahwa “ ayat tentang penyembunyian
kabar Muhammad memiliki aplikasi yang bersifat umum dalam arti bahwa
siapapun yang menyembunyikan ayat-ayat Tuhan dan petunjuknya dari
orang banyak, maka ia layak mendapat laknat Tuhan.”135
Maka dari itu kesalahan terbesar ahli kitab menurut al-Qur’an yaitu
adanya penyembunyian kabar berita kedatangan Muhammad dari kitab
mereka masing-masing dan bagi Nasrani adanya kepercayaan akan trinitas
dan menuhankan Yesus. Begitu pula Yahudi yang menyimpang dari ajaran
yang lurus.
134 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.210 135 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.211
86
BAB IV
APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR
RAHMAN TERHADAP PEMAKNAAN AHLI KITAB
A. Aplikasi Hermenutika Double Movement Dalam Tafsir al-Qur’an
Dalam mengaplikasikan hermeneutika Fazlur Rahman yang telah
dijelaskan dalam bab sebelumnya, terdapat tiga komponen yang harus diketahui.
Pertama, problematika kontemporer (sekarang). Kedua, historisitas problem
sebelum pewahyuan dan ketiga, respon Qur’ani dari ayat-ayat al-Qur’an sebagai
jawaban atas problem yang terjadi. Setelah mengetahui hal tersebut, dengan
menggunakan teori double movement Fazlur Rahman—teori ini penulis gunakan
hanya sebagai alat atau metode-- dalam memahami term ahli kitab maka penulis
memetakan konsep ahli kitab dalam tiga periode yaitu ahli kitab masa sekarang,
masa Pra-Islam dan masa pewahyuan.
1. Ahli Kitab Masa Sekarang
Pada era kontemporer ini masih banyak pertanyaan yang
muncul tentang ahli kitab. Apakah ahli kitab yang didefinisikan oleh
al-Qur’an masih ada di era sekarang. Dalam menjawab persoalan ini
memang perlu adanya penelitian yang intensif dengan mereka ahli
kitab. Akan tetapi beberapa pendapat dalam menjawab persoalan ini
yaitu pertama136, suatu kelompok berpendapat masih ada dan
menunjuk pada kelompok agama Kristen modern sebagai contohnya.
136 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, hlm.19
87
Pendapat ini banyak mengalami perubahan dan terutama berpendapat
bahwa Yesus adalah Tuhan. Sebuah dogma yang secara ditolak oleh
al-Qur’an, sehingga menjadi kontradiksi yang cukup jelas. Kedua,
kelompok ini berpendapat bahwa ahli kitab sebagaimana didefinisikan
oleh al-Qur’an sudahlah musnah, sudah tidak ada lagi. Namun
demikian, pendapat kedua ini tampaknya juga lebih sulit diterima. Hal
ini dikarenakan jika satu saja terdapat ahli kitab yang sama dengan
definisi al-Qur’an maka hal itu sudah memberikan kesimpulan bahwa
pendapat tersebut tidak tepat.137 Seperti apa yang telah dijelaskan,
bahwa ahli kitab menurut al-Qur’an mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda. Sebagian mereka mengimani kenabian Muhammad,
mengimani al-Qur’an dan kitab suci mereka masing-masing akan
tetapi sebagian yang lain ingkar dengan Muhammad dan memerangi
Islam.
Berbicara tentang kitab suci ahli kitab baik Yahudi dan
Nasrani, telah dijelaskan pula bahwa dari kitab keduanya telah
mengalami perubahan yang mana para pemikir Muslim berpendapat
berbeda-beda. Menarik ketika pertanyaan apakah Taurat – orang Islam
sering merujuk pada suci Yahudi dengan kata “Tawrah” (Taurat)
seperti yang disebut dalam al-Qur’an. Jelaslah bahwa ketika
menggunakan kata Taurat yang dimaksudkan adalah kitab suci Ibrani
itu, bukan bagiannya saja—sekarang yang dimiliki oleh orang Yahudi
137 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, hlm.19
88
masih bisa dipertanggungjawabkan validitasnya?138 Untuk menjawab
pertanyaan ini, seorang mufasir Suriah, Qasimi merujuk pada pendapat
Ibnu Taymiyah dan Ibn Qayyim. Yang pertama berpendapat bahwa
seluruh isi Taurat telah diubah dan Taurat yang ada sekarang tidaklah
sakral sama sekali dan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang
diubah bukan isinya akan tetapi penafsirannya. Sementara teksnya
masih bisa dipertanggung jawabkan. Ibn Taymiyah berpendapat
bahwa beberapa orang Islam berargumen bahwa saat ini tidak ada teks
al kitab yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya. Di sisi lain,
beberapa orang Islam yang percaya bahwa perubahan teks Alkitab
tidak mungkin karena al-Qur’an menegaskan bahwa “Bawalah Taurat,
lalu bacalah jika kamu orang-orang yang benar.”(QS 3:39).139
Sebenarnya perubahan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani terletak
pada berita tentang datangnya Muhammad sebagai Nabi (utusan Allah)
terakhir. Hal ini dijelaskan dalam QS Shaf (61) ayat : 6140;
Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani
Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,
membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar
gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)". Maka tatkala
rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata".
Umat Nasrani pada masa sekarang ini, mereka masih
mempercayai trinitas yang mana sebenarnya al-Qur’an telah
138 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.174 139 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.175 140 Dalam pembagian Surah al-Qur’an menurut Noldeke, Surah Shaf termasuk Surah
Madaniyyah.
89
mengkritik hal tersebut, akan tetapi umat Nasrani tetap percaya
pada kepercayaan mereka yang mana telah mereka dapatkan
melalui proses yang begitu lama.
Konsep Trinitas yang dipercayai oleh umat Nasrani juga
menjadi problem tersendiri. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa
ayat yang menurut beberapa penafsir menolak adanya konsep
Trinitas Nasrani.
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam
agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali
yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu,
adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya
yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh
dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-
Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga",
berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu.
Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.141
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:
"Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-
kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak
berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang
kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.142 Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera
Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah
aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?". Isa menjawab:
"Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang
bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka
tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku
tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".143
141 QS 4:171 142 QS 5:73 143 QS 5:116
90
Sejumlah ulama Muslim polemis sering mengutip ayat di
atas untuk menentang doktrin Trinitas, tetapi beberapa sarjana
mempertanyakan kevalidan penafsiran ini. Montgomery Watt
misalnya, mengatakan bahwa penolakan al-Qur’an terhadap
“Tuhan adalah satu dari yang tiga” (QS 5:73) biasanya dijadikan
dalil untuk menolak Trinitas, tetapi yang mengejutkan adalah
doktrin triteisme juga ditolak oleh kristen ortodoks. Geoffrey
Parrinder juga mengatakan bahwa yang ditolak dalam al-Qur’an
adalah doktrin heterik, dan orang kristen ortodoks sepakat atas hal
tersebut. Sarjana lain mengatakan bahwa hal ini mungkin adanya
kesalahpahaman tentang makna doktrin Trinitas karena dikaburkan
oleh Triteisme. Seperti yang dikemukakan oleh Chawkat Moucarry,
“apa yang sebenarnya dibantah oleh al-Qur’an adalah kesalahan
konsepsi tentang Trinitas”. 144 Yang dimaksud al-Qur’an itu bukan
Trinitas sebagaimana yang dipahami kaum Nasrani, tetapi
Triteisme monophysite tertentu yakni penganut keyakinan bahwa
Tuhan benar-benar tiga dengan meyakini bahwa Jesus adalah benar-
benar Tuhan (yang qadim dan azali). Yang pertama, yakni trinitas,
tetap merupakan tauhid, yakni tiga dalam satu (unitas), (yakni yang
dua adalah semacam tajalli-Nya, jika mengikuti pandangan ‘irfan).
Dalam konteks ini menarik untuk dicatat bahwa Hujjatul Islam
Imam al-Ghazali menyatakan ketika umat Kristen menyebut Allah
144 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.297-298
91
sebagai tsalitsu tsalatsah (salah satu dari yang tiga), pernyataan ini
tidaklah dipahami bahwa Allah itu tiga. Sebaliknya, Allah itu Esa
namun tiga itu ditinjau dari sifatnya. Dalam kata-kata mereka
sendiri, kutip al-Ghazali, “Allah itu Esa secara jauhar dan tiga
secara oknum”. “oknum dipahami sebagai sifat. Dengan kata lain
meskipun al-Ghazali menolak doktrin ini, beliau tetap adil untuk
mengakuinya megandung satu jenis monoteisme tertentu.145
Mungkin juga orang Kristen mempunyai konsepsi yang berbeda
tentang Trinitas daripada yang kita pahami saat ini, jadi itu sama
sekali bukan kesalahpahaman. Perlu diingat pula bahwa Kristen
juga fleksibel dan telah mengalami banyak perubahan dari waktu ke
waktu dan kekokohannya yang terus menguat pada universalitas
dogmatik.146 Maka dari itu untuk menyimpulkan masih ada atau
tidakkah ahli kitab pada zaman sekarang ini, memunculkan dua
analisa jawaban yang berbeda. Kemungkinan pertama yaitu masih
ada jika ahli kitab tersebut mempercayai kitab sucinya—meski
diperdebatkan perubahannya—dan mempercayai bahwa seluruh
agama yang ada berasal dari Tuhan dan Nasrani tidak mempercayai
Tuhan adalah tiga melainkan hanya satu “Esa”.
145 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia, (Bandung: Mizan, 2017), 206-207 146 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.297-298
92
2. Ahli Kitab Masa Pra-Islam
Situasi keagamaan di Arabia sebelum Islam, menarik minat
banyak penulis Barat. Peneliti berfokus pada kemunculan Islam,
situasi-situasi tersebut memiliki signifikansi guna “menjelaskan”
fenomena kelahiran Islam. Ketertarikan mereka adalah pada apa
yang disebut sebagai “sumber-sumber dari al-Qur’an”. Namun
terdapat perbedaan opini di kalangan sarjana Barat tentang apakah
terdapat kelompok Yahudi dan Nasrani di dalam dan di sekitar kota
Mekah dan jika demikian, sejuah mana dan bagaimana konsekuensi
keagamaannya.147
Rahman mengkritik para peneliti Barat bahwa mereka
hanya sibuk meneliti berbagai hal mengenai al-Qur’an dengan
dokumen-dokumen keagamaan dan tradisi-tradisi Yahudi Kristen,
yang hampir tidak menyinggung sedikitpun tentang keberadaan
pemikiran Yahudi-Nasrani di kalangan penduduk Arab Mekah
sebelum masa Islam. Opini ini secara tajam terbagi menjadi dua
kubu. Pertama, diwakili oleh Richard Bell, menyatakan bahwa
sumber historis utama dari ajaran al-Qur’an adalah Kristen
(Nasrani) sedangkan kubu kedua diwakili oleh Torrey, menekankan
bahwa ajaran Yahudi adalah sumber historis utama al-Qur’an.
Montgomery Watt berpendapat bahwa pemikiran Yahudi-Nasrani
147 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Quran, (Bandung: Mizan, 2017), hlm.219
93
secara umum telah ada di lingkungan Arabia, khusunya di Mekah
dan tradisi Yahudi-Kristen.148
Ada berbagai perbedaan mengenai apakah di Mekah pernah
ada sejumlah besar populasi Yahudi atau Kristen. Bell dan Watt
berpendapat bahwa tidak ada populasi “Ahli Kitab” di sana dalam
jumlah cukup besar. Torrey menyebut ada “koloni besar” Yahudi
tanpa menunjukkan bukti spesifik. Problem utama dengan opini
Torrey adalah bahwa kita tahu dengan baik apa terjadi pada
komunitas Yahudi di madinah dan Khaibar, tetapi tidak ada satu
ayatpun yang menjelaskan dalam al-Qur’an maupun literatur
historis umat Islam yang pernah menyebut keberadaan komunitas
besar Yahudi di Mekah. Pandangan yang berseberangan bahwa
hampir tidak ada komunitas Yahudi atau Kristen di Mekah. Di sini
perlu dikembangkan pandangan alternatif yang bisa menengahi
kedua kubu ini. Solusi memuaskan atas masalah ini juga akan
menggambarkan secara lebih jelas mengenai perjalanan Islam di
Mekah vis a vis “ahli kitab” dan kaum Musyrik Mekkah, yang
secara krusial mengubah beberapa pandangan sarjana Barat
mengenai perkembangan apa saja yang mencirikan karakteristik
ayat-ayat Madaniyah dan Makkiyah dan akan memberikan
penjelasan mengenai istilah-istilah kunci tertentu dalam al-
148 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Quran, hlm. 220
94
Qur’an.149 Menurut al-Shahrastani, ia membedakan ahli kitab dan
Umiyyun. Perbedaan diantara keduanya jika Umiyyun adalah orang
tidak mengetahui kitabnya. Jika Yahudi dan Nasrani adalah ahli
kitab yang berada di Madinah sedangkan Umiyyun bertempat di
Mekah.150 Berdasarkan penjelasan tersebut maka Shahrastani
menyetujui akan adanya ahli kitab yang hidup di Mekah. Ahli kitab
bersumber dari bani Israil sedangkan Umiyyun bersumber dari
Qobail, Bani Ismail.151
Al-Qur’an menjelaskan tentang kaum Yahudi yang ada
pada masa pra-kenabian Muhammad adalah tentang asal-usulnya
dan sikap mereka terhadap nabi Musa, Isa dan Maryam. Kaum
Yahudi berasal dari keturunan Nabi Ibrahim dari anak cucunya yang
bernama Ya’qub bin Ishak. Ishak adalah anak Ibrahim. Israil adalah
nama kedua dari Ya’qub, ayahnya Yusuf. Mereka sebagai
pendatang Mesir setelah Nabi Yusuf tinggal di Mesir. Sebagai
pendatang, sepeninggal Yusuf mereka berhadapan dengan Fir’aun.
Mereka yang masih beragama Tauhid bercengkrama dibawah
tekanan manusia yang mengaku Tuhan. Allah mengutus Nabi Musa
untuk menyelamatkan mereka dari cengkeraman Fir’aun.152
149 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Quran, hlm. 220 150 Al-Shahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, hlm.247 151 Al-Shahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, hlm.247 152 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm.421
95
Nabi Musa membawa mereka keluar dari Mesir
menghindari kejaran tentang Fir’aun melalui lautan yang dibelah.
Begitu selamat dari kejaran Fir’aun, mereka justru menentang dan
menolak mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Musa ketika
Musa sedang menghadap Tuhan selama kurang lebih 40 hari.153
Rahman membuat catatan penting dalam permasalahan ini,
bahwa sebelum Islam, telah ada kontak antara orang-orang Arab
dan Ahli Kitab, khususnya Umat Yahudi –mungkin kontak berskala
besar dan sistematis yang berlangsung lama, sehingga penduduk
Mekah bisa menyatakan bahwa mereka dan nenek moyang mereka
telah diberitahu tentang hari Akhir, dan al-Qur’an menyampaikan
kepada penduduk Mekah bahwa mereka pernah diajar oleh kitab
Musa apa yang mereka dan nenek moyang mereka tidak
mengetahuinya.154
Sebenarnya dalam beberapa literatur menjelaskan bahwa
kelompok yang hidup sebelum kedatangan Isam di Mekah adalah
kaum Pagan. Meskipun seperti apa yang telah dijelaskan bahwa
adanya Yahudi dan Nasrani meskipun dalam skala kecil. Penolakan
dakwah Nabi sejak periode Mekah bukan oleh Yahudi dan Nasrani
akan tetapi dari kaum Pagan. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Patricia Crone telah dengan sukses memperlihatkan bahwa
153 Lihat QS (2): 40, 83, 211 dan QS (3): 93 154 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Quran, hlm. 220
96
orang-orang pagan tidak kurang monoteisnya dibanding mereka
yang mengimani Tuhannya al-Qur’an.155 Akan tetapi dalam
pembahasan ini difokuskan pada ahli kitab yang hidup pra-Islam di
Mekah sebagai tempat pertama yang dijadikan lahan dakwah oleh
Nabi Muhammad.
Sebelum masuknya dakwah Muhammad masuk Mekah,
dinyatakan bahwa masyarakat Mekah menginginkan adanya agama
baru yang bercorak Yahudi-Kristen (QS 37: 168-170). Situasi ini
sebagian merupakan penetrasi pemikiran Yahudi-Kristen terhadap
ingkungan Arab. Al-Qur’an mengakui adanya benih-benih religius
di beberapa kalangan individu kelompok yang tercerahkan.
Meskipun hanya sedikit bukti historis yang menyatakan adanya
populasi Yahudi-Kristen di Mekah, dapat dipastikan bahwa
sejumlah individu telah sampai pada gagasan monoteisme dan
beberapa diantaranya penganut Kristen.156 Namun apa yang sering
ditonjolkan oleh al-Qur’an yaitu adanya messianisme, sebuah hasrat
untuk kehadiran seorang Nabi Arab yang baru (35:42). Dinyatakan
juga dalam al-Qur’an bahwa orang Mekah tidak ingin
“mendapatkan petunjuk yang lebih baik” daripada dua umat
terdahulu, Nasrani dan Yahudi (6: 157-158, 28:47-49, 28: 47-49).
Karena bagian-bagian tersebut muncul dalam pelbagai konteks
155 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.247, lihat lebih jelasnya pada Patricia Crome,
“The Religion of the Qur’anic Pagans: God and the Lesser Deities,” Arabica 57 (2010), hlm. 151-
200 156 Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 2017), hlm.198
97
berbeda selama perbincangan yang panjang dan sengit antara orang
Mekah dan Nabi Muhammad SAW, sungguh sulit untuk secara utuh
menilai pendirian mereka menyangkut isu tersebut selama periode
sesaat sebelum datangnya misi Nabi Muhammad. Sebab,
sebagaimana disindir oleh al-Qur’an bahwa mereka mengatakan
hal-hal tertentu demi menimbulkan kontroversi saja.157
3. Ahli Kitab Masa Pewahyuan
a. Masa Pewahyuan di Mekah
Dakwah Nabi memicu pertentangan sengit warga Mekah,
terutama kaum Oligarki yang menguasai kehidupan kota ini. mereka
tidak hanya khawatir bahwa Muhammad akan mengancam agama
leluhur mereka yang tak lain adalah politeisme itu, tetapi juga
mengkhawatirkan struktur masyarakat mereka beserta kepentingan
dagangnya, yang kian terancam dengan ajaran Nabi yang
mengutamakan keadilan sosial dan belakangan menjurus pada
pelarangan riba dan penekanan zakat. Segala macam tuduhan
dilontarkan kepada Nabi. Semakin hari permusuhan semakin gencar
dan kemarahan menjadi cemoohan, cemoohan menjadi serapah.
Permusuhan semakin panas disertai dengan penganiayaan tanpa
belas kasihan.158
157 Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 2017), hlm.198 158 Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie, (Bandung: Mizan, 2017), hlm.9
98
Seiring dengan perjuangan yang bergulir, ajaran Nabi perlahan
semakin terumuskan dengan memperjelas asumsi metafisiknya,
yakni teologi dasarnya, menggunakan strategi argumentasi dan
dengan mempertegas kewajiban-kewajiban para pemeluknya, baik
terhadap pemeluk maupun penantang. Riwayat batiniah Nabi
selanjutnya berada di antara dua sisi, yaitu kekecewaan terhadap
sikap orang Mekah yang di luar kendalinya dan dorongan kuat untuk
menunaikan tugasnya, karena sebagian doktrin al-Qur’an sendiri
mengatakan bahwa sebatas menyampaikan risalah saja, lalu merasa
kecewa dan tidak mengupayakannya, adalah termasuk spiritual yang
mentah.159
Al-Qur’an juga menggambarkan sikap kaum ahli kitab
terhadap kenabian Muhammad periode Mekah. Sikap sangat
apresiatif dan tidak ada tanda-tanda kekerasan baik dari ahli kitab
kepada Muhammad dan umat Islam maupun al-Qur’an sendiri
terhadap mereka, terutama periode awal Mekah. Sikap ini mucul
lantaran adanya kesamaan antara al-Qur’an dan kitab suci mereka,
dan kesamaan itu mendorong mereka untuk mempercayai kebenaran
risalah kanabian Muhammad dan kitab suci al-Qur’an (al-
Muddatstsir: 31)160
159 Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie, hlm.12 160 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 382
99
Kesamaannya meliputi beberapa hal, misalnya al-Qur’an
memperkuat kitab suci samawi ahli kitab, sembari menjelaskan
adanya kesamaan dengan prinsip-prinsip dasar dan orientasi
ajarannya. Penegasan adanya kesesuaian, kecocokan dan kesatuan
sumber antara kitab suci al-Qur’an dengan kitab suci ahli kitab
disuarakan oleh al-Qur’an sejak periode awal sampai periode akhir
dakwah kenabian Muhammad.161
Kepercayaan ahli kitab Mekah terhadap kitab suci al-Qur’an
menjadi bukti adanya kesatuan pesan dan orientasi antara al-Qur’an
dengan kitab-kitab samawi pertama, pengakuan ahli kitab tersebut
sekaligus menjadi pukulan telak bagi orang-orang kafir Mekah yang
menolak kenabian Muhammad. Hal ini seolah-olah menunjukkan
kepada orang-orang kafir dan musyrik bahwa penentangan dan
penolakan mereka terhadap dakwah kenabian Muhammad tidak ada
artinya sama sekali selama kaum ahli kitab yang mempunyai kitab
samawi mengakui kebenaran dakwah kenabian Muhammad.
Pengakuan ahli kitab lebih bernilai daripada pengakuan mereka. Al-
Qur’an juga menginformasikan adanya ahli kitab yang terpengaruh
oleh hasutan orang-orang musyrik, fanatisme berlebihan terhadap
agamanya dan ada yang mementingkan materi. Mereka pada
umumnya menggunakan cara berdialog kendati ada yang berlagak
161 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 385
100
sombong, terkadang melakukan tuduhan palsu, bahkan zalim
terhadap Nabi Muhammad dan umat Islam. Karena itu, al-Qur’an
mengajari tata cara berkomunikasi dengan mereka.162 Cara itu sesuai
dengan pengakuan yang diberikan al-Qur’an terhadap mereka, juga
dengan gaya ungkapan al-Qur’an fase Mekah, yakni berdialog
dengan baik. Penegasan cara berkomunikasi yang baik ini bernilai
penting terutama setelah umat Islam hijrah ke Madinah, dimana
kaum Yahudi yang menjadi sasaran dakwah mereka menjadi kaum
mayoritas di sana.163
Di dalam al-Qur’an Makiyyah tidak ada rincian tentang
penyimpangan dan pebedaan-perbedaan keyakinan kaum ahli kitab
Makkah. Penyimpangan Yahudi yang dibicarakan al-Qur’an adalah
sikap mereka di masa lalu pada zaman Nabi Musa dan sesudahnya,
penyimpangan mereka yang menyembah waktu, kesewenangan
mereka terhadap perintah Allah dan para nabi dan rendahnya akhlak
sosial mereka. Hanya saja karena kaum Yahudi di Mekah sangat
sedikit jumlahnya, mereka tidak mengambil bentuk permusuhan
dengan kaum Nasrani, Nabi Muhammad dan umat Islam. Selain
karena jumlahnya yang sedikit, juga karena secara subtansi ada
kesamaan dan kecocokan antara mereka dan dakwah Islam.164
162 QS. Al-Ankabut: 46-47 163 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 387
164 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 385
101
Nabi menginginkan risalahnya dapat ditegakkan sepenuhnya
dan memang begitulah dia bisa menjadi risalah yang sejati, karena
itu wajar jika Nabi tidak melewatkan kesempatan yang tersedia demi
melewatkan kesempatan yang tersedia demi mewujudkan
rencananya. Musuh-musuhnya, menyadari bahwa keprihatinan Nabi
terhadap kemanusiaan dan menawarinya kesempatan menarik
dengan imbalan konsesi Nabi, tetapi al-Qur’an terus
memperingatkan agar tidak melakukan kompromi apapun dan
mempertegas perbedaan antara kompromi dan strategi.165
Di Mekah Nabi berhasil mengumpulkan segelintir pengikut
setia, namun jelas setelah tiga belas tahun penyiaran dan perjuangan
tanpa henti, upayanya menemui kebuntuan dan tampaknya kecil
sekali peluang untuk memenangkan para penenteng yang keras
kepala. Pada titik inilah orang Madinah menjalin hubungan dengan
Nabi dan memohonnya untuk pindah dan menjadi pemimpin di sana.
Seandainya di Mekah misi Nabi berjalan dengan baik maka Nabi
tidak ingin meninggalkan Mekah, karena menguasai kota yang
merupakan pusat keagamaan adalah sasaran utamanya.
b. Masa Pewahyuan di Madinah
Keprihatinan dan perhatian Nabi terhadap kaum Yahudi dan
Nasrani di Madinah pada hakikatnya sama dengan keprihatinan dan
165 Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie, hlm. 13
102
perhatian Nabi kepada kaum Pagan Arab di Mekah,166 sebagaimana
dalam ayat QS 5: 68;
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang
beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran
Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu
(Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan
dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka
janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang
kafir itu.”
Kaum Yahudi yang hidup pada era kenabian Muhammad
berasal dari Israil. Mereka sebagai pendatang yang kemudian
menetap di Yasrib dan menjadi penguasa di sana, sehingga mereka
disebut Yahudi Israil al-Musta’ribab.167 Kaum Yahudi Madinah
terbagi menjadi dua kelompok utama.: pertama, kaum Yahudi yang
besar, yakni Bani Qainuqa', Bani Nazhir dan Bani Quraizhah.
Mereka merupakan keturunan Bani Israil. Mereka menguasai
kekayaan pertanian dan perdagangan di Madinah. Kedua, kaum
Yahudi yang kecil, yakni suku Auz dan Khazraj. Mereka merupakan
keturunan Arab Qahthaniyah. Sebagai pendatang belakangan, kaum
Yahudi dari suku Auz dan Khazraj menjadi warga kelas dua. Mereka
tidak mempunyai kuasa dan lahan ekonomi yang jelas, sehingga
mereka menjadi pekerja bagi kaum Yahudi Bani Israil. Sering terjadi
konflik antara mereka, baik pra maupun era kehadiran Nabi
166 Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie, hlm. 12 167 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 422.
103
Muhammad ke sana. Konflik terjadi baik antara kelompok besar
dengan kelompok kecil, antara kelompok yang berasal dari Bani
Israil sendiri, maupun antara kelompok kecil yang sama-sama dari
Arab.168
Kaum Yahudi menjadikan Yasrib (Madinah) dan daerah
sekitarnya sebagai daerah tempat migrasi dan tempat tinggal mereka
Karena jumlahnya yang banyak, mereka mempunyai kekuasaan
penuh di Kota Yasrib yang kaya dengan pertaniannya, pabrik dan
perdagangan. Juga karena mereka mempunyai posisi tertentu dalam
bidang agama dan ilmu pengetahuan sebagai konsekuensi logis
adanya ikatan sebagai penganut agama samawi dan mempunyai
hubungan erat dengan para Nabi. Di sana, mereka menjadi guru,
mursyid referensi, bahkan hakim dalam setiap persoalan yang
muncul. Karena itu, posisinya semakin kuat, terhormat dan semakin
berpengaruh. Mereka menikmati posisi sentral itu. Mereka juga
sering berhubungan dengan masyarakat tetangganya, seperti orang-
orang Arab. Dengan mereka inilah, Nabi Muhammad mengadakan
perjanjian untuk sama-sama menjaga Madinah dari serangan yang
datang dari luar, menjaga kebebasan menjalankan tradisi masing-
masing, harta-harta mereka, tempat sesembahan mereka, hak dan
168 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 422.
104
kewajiban mereka, termasuk hak beragama, yang dalam sejarah
dikenal dengan Piagam Madinah (Mitsaq Madinah).169
Dengan posisi mereka yang sentral di Madinah, dan dengan
keyakinan yang tinggi bahwa agamanya merupakan agama yang
benar dan akan memberi petunjuk manusia ke jalan yang benar,
mereka mengharapkan Nabi Muhammad tidak melakukan dakwah
ke dalam lingkungan mereka, apalagi berangan-angan
mengharapkan mereka masuk Islam. Sebaliknya, mereka
mengharapkan Nabi Muhammad dan umat Islam masuk ke dalam
agama mereka agar bisa masuk surga. Tidak hanya sebatas itu,
mereka juga memusuhi Nabi Muhammad dan umat Islam. Sikap
permusuhan kaum Yahudi tentu saja membawa implikasi negatif
terhadap dakwah kenabian Muhammad, dan di sisi lain, membawa
angin segar bagi kelompok lain yang memusuhi Nabi Muhammad
dan umat Islam, terutama orang-orang munafik 'dan orang-orang
musyrik Mekah. Di sinilah, al-Qur'an menggambarkan sepak terjang
kaum Yahudi di Madinah.170
Perhatian al-Qur'an terhadap kaum Yahudi di Madinah begitu
besar, dan tersebar di berbagai ayat dan surah, terutama surah al-
Baqarah, Ali Imran, an-Nisa' dan al-Maidah. Selain karena
169 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 422-425. 170 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 425.
105
banyaknya masyarakat Yahudi di Madinah, perhatian besar al-
Qur'an tidak lepas dari sikap mereka yang memusuhi Nabi
Muhammad dan umat Islam sejak awal kedatangannya ke Madinah.
Mereka lalu yang pertama kali bekerja sama dengan orang-orang
munafik dalam mengacak-acak Nabi Muhammad dan umat Islam.
Bahkan al-Qur’an menyindir mereka agar tidak menjadi orang yang
pertama kali kafir kepada Nabi Muhammad dan al-Qur'an karena
Allah telah memberikan nikmat kepada mereka dan mereka juga
telah mengadakan perjanjian dengan Allah, apalagi al-Qur'an
mengambil posisi membenarkan kitab suci mereka.171
Darwazah hanya mengkaji beberapa sisi saja dari sekian
banyak sisi yang bisa dikaji dari al-Qur'an tentang sepak terjang
kaum Yahudi: pertama, sikap mereka terhadap dakwah kenabian
Muhammad; kedua, sikap mereka yang bersifat argumentatif; ketiga,
sikap mereka yang suka memfitnah (merekayasa) umat Islam, dan
persekongkolan mereka dengan orang-orang munafik dan musyrik;
keempat, peristiwa menakut-nakuti (pengusiran) kaum Yahudi,
faktor-faktor dan hasilnya; kelima, pengecualian-pengecualian al-
Qur'an terkait dengan orang-orang mukmin yang adil (moderat) dan
signifikansinya.172
171 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 425-426. 172 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 426-427.
106
Pertama, sikap mereka terhadap dakwah kenabian
Muhammad. Beberapa ayat al-Qur'an mengisahkan betapa kaum
Yahudi menentang dakwah kenabian Muhammad, kendati al-Qur'an
sudah berkali-kali memberi peringatan dan mengingatkan akan
nikmat Allah yang diberikan kepada para pendahulu mereka, serta
bencana yang ditimpakan akibat pembangkangan mereka terhadap
Allah dan para nabi-Nya (2 : 47-53, 58-59). 173
Pelajaran yang bisa dipetik dari ayat-ayat al-Qur’an di atas,
menurut Darwazah: pertama, al-Qur’an terkadang menggunakan
gaya ungkapan yang berbentuk serangan dan kecaman terhadap
kaum Yahudi, terkadang menggunakan gaya ungkapan berbentuk
kisah. Tidak hanya di dalam al-Qur'an Makkiyyah, gaya ungkapan
seperti ini juga muncul di dalam al-Qur'an Madaniyyah. Kedua,
serangan dahsyat al-Quran yang terdapat di dalam ayat-ayat di atas
berhubungan dengan kesatuan tabiat dan akhlak mereka dalam setiap
generasi. Keturunan mereka mewarisi pendahulunya. Ketiga,
gambaran tentang sifat-sifat mereka yang suka menentang. Keempat,
al-Qur'an menjadi bukti meyakinkan betapa sikap mereka yang
menentang dakwah kenabian Muhammad dimulai sejak periode
awal di Madinah. Kelima, ketika berbicara tentang perkataan-
perkataan, sikap-sikap dan perilaku kaum Yahudi, maupun tentang
173 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 427.
107
hubungan antara anak-anak dan bapak-bapak mereka, Sikap mereka
secara umum adalah menentang dakwah kenabian Muhammad,
kecuali beberapa gelintir saja.174
Gaya ungkapan al-Qur'an yang bersifat mengecam itu
sebenarnya bukan fenomena umum yang digunakan untuk semua
ungkapan al-Qur'an terhadap kaum Yahudi. Gaya ungkapan yang
bernada mengecam itu tidak lain sebagai respons terhadap sikap
keras mereka terhadap dakwah kenabian Muhammad dan umat
Islam. Sebagaimana di Mekah, di Madinah juga terdapat ungkapan-
ungkapan al-Qur’an tentang mereka yang bersifat moderat,
argumentatif dan tidak ada nuansa kecaman. Bahkan Nabi
Muhammad secara khusus memberi maaf terhadap mereka.175
Kedua, sikap mereka yang bersifat argumentatif. Di antara
argumentasi mereka adalah klaim bahwa merekalah kelompok yang
mendapat petunjuk dari Tuhan. Mereka meyakini bahwa petunjuk
Tuhan itu hanya ada di dalam agama Yahudi. Mereka juga
mengklaim, agamanya sebagai agama yang paling baik dan benar,
karena agamanya sebagai pelanjut dari agama lbrahim. Mereka
mengklaim Ibrahim adalah bapak mereka dan sekaligus bapak para
nabi, bahwa anak-anaknya berjalan di atas agamanya, sedangkan
174 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 427. 175 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 431-432.
108
agama para nabi dan anak-anak mereka adalah Yahudi. Mereka
mengklaim bahwa kaum Yahudi berada dalam petunjuk berkaitan
dengan keyakinan mereka “Uzair adalah Anak Allah”. Begitu juga
kaum Nasrani mengklaim sebagai keturunan sekaligus pelanjut
agama Ibrahim. Mereka juga mengklaim bahwa Nabi Isa adalah
manusia yang berdimensi ilahi sebagai anak Allah, mereka
mensyariatkan ibadah dan keyakinan rububiyah-nya dengan Allah.
Mereka juga menjadikan para rahibnya, malaikat dan para nabi
sebagai Tuhan, atau paling tidak meminta syafaat kepada mereka
(QS At-taubah:30).176
Al-Qur'an menyanggah klaim mereka mengenai Ibrahim dan
agamanya. Nabi Ibrahim itu hidup pada masa sebelum turunnya
kitab Taurat yang dibawa Nabi Musa, sementara Yahudi muncul
bersamaan dengan hadirnya kitab Taurat. Karena itu, tidak masuk
akal mengklaim Ibrahim sebagai penganut agama Yahudi. Bahwa
posisi Ibrahim sebagai bapak kaum Yahudi tidak dengan sendirinya
mereka mesti menjadikan mereka beragama dengan agama Ibrahim.
AI-Qur’an menegaskan bahwa Ibrahim bukanlah orang musyrik,
bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani, melainkan penganut
agama yang hanif dan Muslim. Agama yang dibawa Nabi
Muhammad inilah yang disebut agama Islam, yang mengajarkan
176 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 432-433.
109
agar kita beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad, kepada Nabi Ibrahim, Ismail dan seterusnya (Ali
Imron: 79-80).177
Kaum Yahudi juga menolak kenabian Muhammad. Penolakan
mereka didasarkan pada fakta bahwa Muhammad, Nabi agung umat
Islam ini, berasal dari bangsa Arab, sementara mereka mengklaim
mendapatkan keistimewaan dari Allah bahwa Nabi harus berasal
dari Bani Israil, tidak dari yang lain. Al-Qur'an menyanggah klaim
tersebut, sembari menegaskan kebenaran kenabian Muhammad yang
berasal dari Arab yang ummi dan menjadi penerus agama nenek
moyangnya, yakni Nabi Ibrahim. Al-Qur’an juga mengecam sikap
mereka yang sebenarnya mengetahui kebenaran tentang kenabian
Muhammad, tetapi menyembunyikannya. Sangat menarik ketika al-
Qur’an menggambarkan mereka seperti keledai yang membawa
kitab Taurat, Yang tidak mengetahui manfaatnya(Al-Baqarah: 105-
109).178
Al-Qur'an juga menampilkan penolakan mereka yang bersifat
argumentarif seputar perubahan arah Kiblat. Kiblat merupakan arah
salat yang bersifat ketentuan dari agama, bukan pilihan bebas
seseorang yang sedang shalat. Kiblat orang-orang Arab pra-
177 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 434-435. 178 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 435-436.
110
kenabian Muhammad adalah Ka'bah. Ka’bah merupakan tempat suci
yang menjadi tujuan berziarah, bertawaf, berhaji dan berumrah dan
bershalat orang-orang Arab karena ia merupakan rumah Allah.
Berhala-berhala yang menjadi tuhan sesembahan mereka berada di
sekitar Ka’bah. Sebagai agama baru yang lahir dari Mekah, tempat
Ka'bah berada, Islam juga berkiblat ke Ka’bah yang berada di dalam
Masjid al-Haram, Kota Mekah. Ketika masih di Mekah, Muhammad
melaksanakan salat menghadap Ka'bah (Al-Baqarah: 142-152).179
Kaum Nasrani ada juga yang menolak dan menentang Nabi
Muhammad. Ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung kaum Nasrani
Madinah lebih banyak dan jelas dibanding dengan Mekah. Al-
Qur’an Makiyah menyebut kaum Nasrani lebih dapat menerima
dakwah Nabi dan bergabung dengannya. Sedangkan dalam al-
Qur’an Madaniyyah, terdapat banyak ayat yang berbicara tentang
kaum Nasrani, akidah mereka termasuk perbedaan di antara mereka.
Al-Qur’an menceritakan penyimpangan yang dilakukan oleh kaum
Nasrani yang hidup di zaman Nabi Muhammad terhadap janji dan
wasiat Allah sehingga terjadi permusuhan dan perselisihan diantara
mereka (al-Maidah:14). Karena itu Allah memerintah agar mereka
berjalan sesuai dengan kitab sucinya, Injil (al-Maidah: 46-47). Al-
Qur’an juga mengkritik kaum Nasrani yang meyakini keilahian Isa
179 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 436-437.
111
al-Masih dengan menyebut mereka sebagai orang kafir (Al-
Maidah:17). Masih dalam kerangka keyakinan mereka (at-Taubah:
30-31) berbicara tentang akidah mereka bahwa Isa adalah anak Allah
sekaligus sebagai Tuhan. Tentu saja yang dimaksud adalah kaum
Nasrani zaman Nabi bukan yang lain dan yang meyakini keilahian
Isa, bukan yang lain. kaum Nasrani yang mengatakan keilahian Isa
al-Masih adalah kafir dan karena itu diharapkan kembali ke jalan
yang benar yakni ajaran kitab suci yang dibawa Nabi Muhammad.180
4. Ahli Kitab Masa Sekarang (Sebagai Jawaban)
Setelah pemaparan di atas, ahli kitab pada zaman sekarang
yang mana diketahui bahwa ahli kitab masih ada. Secara
historisnya, umat Yahudi dan Nasrani yang tergolong ahli kitab
masih stagnan dengan kepercayaan mereka. Ahli kitab yang
diketahui mulai dari masa pra-Islam sampai masa pewahyuan tidak
mempunyai perbedaan dalam hal teologis. Nasrani mempercayai
Yesus sebagai Tuhannya dan Yahudi mempercayai Uzair sebagai
anak Tuhan. Meskipun telah mendapatkan kritikan melalui al-
Qur’an bahwa mereka yang mempercayai Isa sebagai Tuhan
mereka maka dianggap kafir dan begitu juga dengan Yahudi (QS
at-Taubah: 30).
180 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah, hlm. 455
112
“ Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah"
dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah".
Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka
meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati
Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling.”
Hal ini tidak mempengaruhi pemaknaan ahli kitab pada
masa sekarang karena pada hakikatnya keadaan ahli kitab sebelum
dan sesudah pewahyuan mempunyai karakter sama. Dalam
pandangan Islam revisionis mengatakan bahwa semua agama
mempunyai dua varian yaitu secara teologis dan historis, begitu
juga dengan ahli kitab yang mana dapat terbagi dalam teologis dan
historis. Maksud dari teologis yaitu apa yang mereka yakini dalam
sebuah keimanan sedangkan historis adalah apa yang melekat pada
diri mereka hingga saat ini. Menurutnya, jika agama non Islam
mereka lebih bersifat teologis karena mempunyai kepercayaan akan
Tuhannya.181 Yahudi dan Nasrani secara teologis tetap termasuk
ahli kitab karena mempunyai keimanan akan Tuhan mereka dan
mempercayai kitab yang dibawa oleh utusan mereka masing-
masing
181 Keterangan ini didapatkan dari Mun’im Sirry pada Public Lecture Islam Revisionis
tanggal 22 Maret 2018
113
B. Skema Double Movement dalam Memahami ahli kitab
C. Relevansi Aplikasi Double Movement Terhadap Pemaknaan Ahli Kitab
Dalam Konteks Indonesia
Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi rasa toleransi antar
umat beragama. Bermacam-macam agama hidup di Indonesia, meskipun
mayoritas penduduknya beragama Islam tidak memungkiri agama lain
untuk tetap berkembang dan bernafas bebas di Indonesia. Namun toleransi
beragama yang ada di Indonesia belumlah sampai pada kebebasan menikahi
mereka yang berada di luar agamanya (pernikahan beda agama). Banyak
fatwa yang dimunculkan dalam kajiannya mengenai pernikahan beda
agama. Sebenarnya dalam al-Qur’an telah dijelaskan dalam QS Al Maidah:
5 menyatakan bahwa kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita-wanita
114
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu (ahli kitab). Meskipun al-Qur’an telah menjelaskan hal
tersebut akan tetapi masih menjadi permasalahan yang belum menemukan
titik temunya.
Yayasan wakaf Paramadina—sebuah yayasan yang didirikan oleh
Nurcholis Madjid dkk—berijtihad mengenai masalah pernikahan beda
agama. Dalam pandangan Paramadina, setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan semestinya diberikan kebebasan untuk menikah dengan non-
muslim, apapun agamanya dan aliran kepercayaan yang dianutnya. Ijtihad
ini didasarkan pada dua asumsi yaitu pertama, hanya musyrik Arab yang
haram dinikahi, sementara hampir bisa dipastikan jika kepercayaan itu
sudah tidak ada. Kedua, seluruh agama dan aliran kepercayaan yang ada
saat ini merupakan agama samawi dan penganutnya disebut ahli kitab.
Ijtihad ini lebih tertuju pada pertimbangan muamalah, yakni terciptanya
kerukunan antar umat beragama.182 Apa yang telah diusulkan oleh Yayasan
Wakaf Paramadina tersebut, sejalan dengan apa yang telah ditemukan oleh
penulis dalam memahami makna ahli kitab dengan mengaplikasikan teori
hermeneutika double movement Fazlur Rahman.
Dengan mengaplikasikan teori hermeneutika double movement,
penulis menemukan bahwa penganut semua agama secara teologis
mempunyai keyakinan (keimanan) yang tidak berubah. Melalui penelurusan
182 Iffah Muzammil, “ Telaah Gagasan Paramadina Tentang Pernikahan Beda Agama” ,
Islamica, (Vol.10, No.2, Maret 2016), hlm. 417
115
secara historis, Yahudi meyakini bahwa Uzair adalah anak Tuhan dan
Nasrani berkeyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan mereka sudah sejak awal
pra-Islam. Sebelum Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai Nabi
terakhir, Yahudi dan Nasrani telah mengakui kebenaran atas keimanannya
tersebut. Mereka tetap mempertahankan atau tidak merubah keimanannya
meskipun telah dikirimkan seorang utusan oleh Allah—Muhammad—yang
menyempurnakan ajaran kitab-kitab sebelumnya. Dalam al-Qur’an jika
ditelusur melalui ayat-ayat ahli kitab memang secara spesifik hanya
menjelaskan agama Yahudi dan Nasrani. Menurut Nurcholish Madjid hal
tersebut dikarenakan pada zaman Nabi Muhammad berdakwah tidak ada
agama lain yang berskala besar kecuali Yahudi dan Nasrani, maka akan
menjadi hal yang kurang wajar ketika nama-nama agama lain dimunculkan
dalam al-Qur’an.
Jika konsep ahli kitab ditarik ke dalam konteks Indonesia yang
mengakui banyak agama sebagai warga negaranya, maka pertanyaan yang
akan muncul “apakah ahli kitab hanya terbatas kepada Yahudi dan
Nasrani?”. Hal ini masih menjadi perdebatan antar ulama dan para pemikir
Muslim. Sebenarnya, jawaban tersebut dapat dilihat dari apa sebenarnya
definisi ahli kitab bahwa semua komunitas yang mempercayai kitab suci
yang diturunkan Allah melalui Nabi dan RasulNya, merekalah yang
dianggap sebagai ahli kitab. Maka di Indonesia, ahli kitab mencakup semua
agama yang hidup dan berkembang sampai saat ini.
116
Dengan double movement Fazlur Rahman maka akan ditemukan
ideal moral (tujuan dasar moral yang dipesankan oleh al-Qur’an) dari
banyaknya agama dalam konteks Indonesia yaitu adanya persatuan
(kalimatun sawa) dan berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al
khairat). Maka relevansi adanya pengaplikasian hermeneutika double
movement Fazlur Rahman dengan menemukan ideal moral al-Qur’an
mengenai ahli kitab, pernikahan beda agama diperbolehkan dengan catatan
hal tersebut akan membawa kebaikan dan akan mempersatukan di antara
kedua pihak yang bersangkutan.
117
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap teori
hermeneutika double movement Fazlur Rahman, maka dalam rangka
memberikan jawaban rumusan masalah dalam penelitian ini, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep hermeneutika Fazlur Rahman terlihad dalam mekanisme
Double movement (gerakan ganda), pertama bertolak dari situasi
kontemporer menuju ke era al-Qur’an diwahyukan, dalam
pengertian bahwa perlu dipahami arti dan makna dari suatu
pernyataan dengan cara mengkaji situasi atau problem historis di
mana pernyataan al-Qur’an tersebut hadir sebagai jawabannya.
Kedua, dari masa al-Qur’an di turunkan (setelah menemukan
prinsip-prinsip umum) kembali lagi ke masa sekarang. Dalam
pengertian bahwa ajaran-ajaran (prinsip) yang bersifat umum
tersebut harus ditubuhkan dalam konteks sosio historis konkret
sekarang. Dari gerakan pertama akan menemukan respon
Qur’ani dari ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
bagaimana sebenarnya sebuah ayat menjawab problematika
pada saat ayat diturunkan. Dari gerakan pertama tersebut akan
ditemukan dua analisa yaitu legal spesifik dan ideal moral. Legal
spesifik yaitu ketentuan hukum yang diterapkan secara khusus
118
dan ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan al-
Qur’an. Setelah ditemukan keduanya kemudian ditarik kembali
ke masa sekarang sebagai jawaban atas problematika yang
sedang terjadi.
2. Aplikasi hermeneutika Fazlur Rahman terhadap pemahaman
term ahli kitab dalam al-Qur’an terbagi dalam tiga kelompok
yaitu ahli kitab masa sekarang, ahli kitab pra-Islam dan ahli kitab
masa pewahyuan. Jika melihat secara realitas yang ada, ahli
kitab—Yahudi dan Nasrani- pada masa ini adalah mereka yang
menuhankan Yesus (Nasrani) dan Yahudi yang juga mengubah
kitab suci mereka. Melihat realitas tersebut jika dikembalikan ke
masa dahulu pra-Islam maka keadaan Yahudi dan Nasrani
berada dalam kegelapan. Orang Yahudi yang mengaku
mengikuti Nabi Musa juga mengalami hal yang sama. Nilai-nilai
spiritual mereka abaikan, sambil membenarkan diri dan
menganiaya selain kelompoknya. Begitu pula Nasrani yang
mengikuti Nabi Isa telah tenggelam dalam pengkultusan Nabi
agung hingga menjadikannya anak Tuhan. Allah kemudian
mengutus Nabi yang membawa ajaran, meluruskan kesesatan
dan kekeliruan umat manusia. Akan tetapi sayangnya sebagian
mereka menerimanya dan sebagian lainnya berlarut bahkan
meningkat kesesatannya justru setelah datangnya bukti yang
nyata. Langkah selanjutnya menentukan jawaban spesifik dari
119
ayat tersebut bahwa ahli kitab masih ada sampai sekarang.
Kemudian ideal moral yang dapat diambil dari adanya
banyaknya agama adalah fastabiq al- khoirot berlomba-lomba
dalam kebaikan dan kalimatun sawa (satu kesatuan). Dan
menjadi sebuah jawaban bahwa pada masa ini masih ada ahli
kitab karena keimanan mereka dari pra-Islam, masa pewahyuan
hingga sekarang tetap sama.
3. Relevansi aplikasi hermeneutika double movement Fazlur
Rahman terhadap pemahaman term ahli kitab dalam konteks
Indonesia adalah adanya pembaharuan hukum pernikahan beda
agama. Kebolehan pernikahan beda agama dalam hal ini
disebabkan karena ditemukannya ideal moral dari banyaknya
agama yang ada di Indonesia yaitu fastabiq al khairat dan
kalimatun sawa. Dengan adanya kedua prinsip tersebut maka
akan menghindarkan ketidakadilan, ketidakrukunan ataupun
ketidakharmonisan dalam keluarga. Menjadi tugas tersendiri
bagi mereka yang menginginkan adanya pernikahan beda agama
untuk senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan dan
menemukan persamaan (persatuan) dalam berumah tangga.
B. Saran
Apa yang telah digagas Fazlur Rahman adalah sebuah gerakan
pembaharuan dari adanya kejumudan pemikiran intelektual Muslim masa
klasik. Keberhasilan Fazlur Rahman menjadi sebuah metode baru berupa
120
hermeneutika double movement (gerakan ganda), telah menjadi bukti
adanya kemajuan pemikiran Islam kontemporer. Metode penafsiran yang
ditawarkan oleh Rahman dipahami secara komprehensif, kontekstual dan
memperhatikan konteks sosio historis ayat yang ditafsirkan. Mengingat
adanya kebutuhan untuk menjawab tantangan problem kontemporer, maka
diperlukan adanya sebuah metode kontekstual dalam pembacaan kembali
“reinterpretasi” al-Qur’an sebagai kitab petunjuk umat Muslim.
Dalam menyemarakkan geliat pengembangan metode penafsiran
al-Qur’an, karya ini hanyalah sebagian kecil atas pengembangan studi al-
Qur’an. Dunia studi al-Qur’an masih memungkinkan melahirkan banyak
lapangan penelitian yang tidak pernah kering dan berakhir. Maka dari itu,
ke depannya masih dibutuhkan banyak karya untuk mengembangkan
pemikiran intelektual Muslim Fazlur Rahman dalam metode baru tafsir al-
Qur’an. Atau melakukan kajian kritik-konstruktif demi menyempurnakan
gagasan pemikiran serta membangun metodelogi yang relatif baru.
Akhirnya, penulis mengajak para pembaca untuk tidak secara serampangan
dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode yang tepat
untuk menjawab problematika yang sedang terjadi.
121
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asfihani, Ar-Raghib. Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an. Beirut: Dar al-
Fikr,t.t.
Al-Baqi’, Muhammad Fu’ad Abd. 1408 H/1988M . al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfazh al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr.
Amal, Taufik Adnan. 1996. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas
Pemikiran Hukum Fazlurrahman. Bandung: Mizan.
Andi Eka Putra.2016. Konsep Ahlil al-Kitab dalam Al Quran Menurut Penafsiran
Muhammed Arkoun dan Nurcholish Madjid. Al-Dzikra. Vol.X, No.1.
Arkoun, Mohammad. 1993. Pemikiran tentang Wahyu Dari Ahli Kitab sampai
Masyarakat Kitab. Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan.
IV(2): 47
Ar-Raniri. 2010. Tibyan fi Ma ‘ rifat al – Adyan. Banda Aceh: PeNa.
Ath-Thabari, Ibn Jarir. 1992. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Beirut, Dar al-
kutub al-‘ilmiyyah.
Bleicher, Josef . 1980. Contemporary Hermeneutics. London: Roudege & Kegars
Paul.
Darmaji, Agus. 2013. Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-
Georg Gadamer. Refleksi. 13(4)
Departemen Agama RI. 2006. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan
Kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta
Faiz, Fahruddin. 2015. Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial.
Yogyakarta:Kalimedia
122
Gadamer, Hans Gorge. 2004. Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ghofur, Waryono Abdul. 2016. Persaudaraan Agama-Agama;Millah Ibrahim
dalam Tafsir Al Mizan. Bandung:PT. Mizan Pustaka.
Hanafi, Hassan. 2003. Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus.
Yogyakarta:Prisma.
Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis al-Lughoh. Dar Fikr,t.t.
Ibrahim, Musa. 1996. Buhust Manhajiyyah fi Ulum Al Qur’an al Karim. ( Aman:
Dar Amaar)
Ichwan, Moch. Nur. 2003. Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an,
Jakarta:TERAJU.
Irkhami, Nafis. 2006. Keselamatan Bagi Ahlul Kitab? Menelusuri Pemahaman Al
Maraghi. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
K. Bertens. 1981. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta:Gramedia.
Khir, Mohd Faizal Abdul. 2011. Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-
Shahrastani. Jurnal Usuluddin.
Kurdi,dkk. 2010. Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta:eLSAQ Press.
Muslih,Mohammad. 2004. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma
dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.Yogyakarta:Belukar.
Muttaqin, Labib. 2013. Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap
Doktrin Kewarisan Islam Klasik. Al Manahij:Jurnal Kajian Hukum
Islam, Vol.VII, No.2
123
Muwafiq, Sudarto. 2015. Hermeneutika Al Quran: Kritik Atas Pemikiran Nasr
Hamid Abu Zaid. Akademika. 9(1).
Nasrullah. 2015. Ahli Kitab Dalam Perdebatan: kajian Survei Beberapa Literatur
Tafsir Al-Qur’an. Jurnal Syahadah.III(2).
Nugroho, Muhammad Aji. 2016 . Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi;
Merefleksikan Teks pada Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian.
Millati. 1(2): 192-193
Qadafy, Mu’amar Zayn. 2015. Buku Pintar Sababun Nuzul Dari Makro Hingga
Makro. Yogyakarta: IN AzNa Books.
Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual
Tradition. Chicago and London: University Press.
. 1989. Metode dan Alternatif neomodernisme Islam,
Penyunting: Taufik Adnan Amal. Bandung: Mizan.
.2000. Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi
Fundamentalis Islam. terj. Aam Fahmia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
. 2005. Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad.
Bandung: Pustaka, , cet. III.
. 2017. Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie. Bandung: Mizan.
. 2017. Tema-Tema Pokok Al Quran. Bandung: Mizan.
Reflita. 2016. Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir (menimbang
Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran Al Quran), Jurnal
Ushuluddin. 24(2).
124
Richard E Palmer. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj.
Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ridha, Muhammad Abduh dan Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Ma’rifah,t.t.
Robikah, Siti. 2017. Contextual Interpretations of the Quran: Telaah Hermeneutika
Inklusif Nasr Hamid Abu Zayd. Proceeding The 2nd BUAF 17-20 Juli.
Banjarmasin:UIN Antasari.
Shihab, M. Quraish. 1994. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
. 1994. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
. 2002. Tafzir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Sirry, Mun’im. 2013. Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sodiqin, Ali. 2008. Antropologi al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas.
Yogyakarta:ar-Ruzz Media.
Sumantri, Rifki Ahda. 2013. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman Metode
Tafsir Double Movement. Komunika: Jurnal Dakwah dan
Komunikasi.7(1):7
Sumbulah, Umi. 2012. Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis. Malang: UIN Maliki-
Press.
Syahrastani, Ahmad. 1993. Al Milal Wa Al Nihal. (Beirut: Dar Elmakrifah)
Syahrur, Muhammad. 2015. Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an
Kontemporer. Yogyakarta: Kalimedia.
125
Syamrudin. Hermeneutika Fazlur Rahman. Miqot.XXXV(2): 279
Syamsuddin, Abdul Muqtasim-Sahiron (ed).2002.Studi Al-Qur’an Kontemporer:
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya,
Syamsuddin, Sahiron. 2009. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran.
Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press
.2011. Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat.
Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN SUKA,2011.
. 2011. Upaya Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an
dan Hadis (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN
SUKA.
. 2017. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran,
Edisi Revisi dan Perluasan. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press.
Syukri, Ahmad.2007.Metodologi Tafsir Al Quran Kontemporer dalam Pemikiran
Fazlur Rahman, Jakarta: badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
Thabathaba’i, Muhammad Husein. 1991. Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut:
Mu’assasah al-‘A’alamy lil Mathbu’at.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia,.
Jakarta: Balai Pustaka.
W. Poespoprodje. 2004. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia.
126
Watt, W. Mountgomery. 1970. Bell’s Introduction to the Qur’an. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Wijaya, Aksin. 2016. Sejarah KeNabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli
Muhammad Izzat Darwazah. Bandung, Mizan.
Zayd, Nasr Hamid Abu. 2003. Al-Qur’an, Hermeneutika dan kekuasaan, terj. Dede
Iswadi. Bandung:RqiS.
Zayd, Nasr Hamid Abu. 2004. Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil. terj.
Muhammad Mansur. Jakarta: ICIP.
127
CURRICULUM VITAE
Identitas Diri
1. Nama : Siti Robikah
2. Tempat Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 23 Februari 1994
3. Agama : Islam
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Email : [email protected]
6. Phone : 085641886939
7. Alamat Tinggal : Dusun Ploso, Desa Gundi, Kecamatan
Suruh
8. Alamat Rumah : Dusun Gumuk, Ds Gentan, Susukan,
Semarang
9. Nama Orang Tua
a. Ayah : Munawari
b. Ibu : Siti Asiyah
10. Motto : There is a will, there is a way
Latar Belakang Pedidikan
MI Tamrinul Ulum Jetis : 1999-2005
MtsN Susukan : 2005-2008
MAN 1 Semarang : 2008-2011
S1 Ilmu Al Qur’an dan Tafsir : 2014-2018
128
Pengalaman Organisasi
1. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)
Ilmu Al Quran dan Tafsir (IAT) : 2014
2. Dewan Mahasiswa FUADAH : 2015-2016
3. Jami’iyyah Quro’ Wal Huffadz IAIN Salatiga : 2015
Pengalaman Akademik
1. Peserta dan Peneliti Junior dalam “Live in Ahmadiyah 2016” dengan tema
“Mengenal Dekat Komunitas Ahmadiyah” 05-07 Agustus 2016, Manislor,
Kuningan, Jawa Barat
2. Peserta Live in Lintas Agama dengan tema “ Belajar Bersama Live in
dengan Masyarakat Multi Agama” 7 Februari 2016, Tekhelan, Getasan.
3. Peserta International Conference on “New Trend in Qur’anic Studies” yang
diselenggarakan oleh International Qur’anic studies Association (IQSA)
dan UIN Yogyakarta Tahun 2015
4. Peserta Workshop bersama Universitas Molbourne dan UIN Sunan Kalijaga
Karya Tulis
Judul Keterangan
1. Membumikan Teologi
Transformatif Penyetaraan
Sosial Umat
Jurnal Fikrah Vol. 5, No.2 (2017)
Journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah
2. Analisis Living Hadist
Terhadap Tradisi Dzikir Fida’
(Studi Kasus di Dusun Gumuk,
Kecamatan Susukan,
Kabupaten Semarang)
Dibukukan oleh LPM Dinamika IAIN
Surakarta
3. Contextual Interpretations of
the Quran; Telaah
Proceeding The 2nd BUAF Juli 2017
129
Hermeneutika Inklusif Nasr
Hamid Abu Zayd
4. Dekonstruksi Hegemoni Laki-
laki atas Perempuan
(Studi Pemikiran Fatima
Mernissi)
Jurnal Dinamika, Vol.11, No. XXI, 2016
5. Jihad Anti Korupsi Sebagai
Upaya Pemerataan Ekonomi di
Indonesia (Kajian Ayat-ayat
Korupsi dalam Al Quran)
Belum diterbitkan
6. Kontroversi Media: Pro dan
Kontra Atas Radikalisme
Agama
Belum diterbitkan